Wanita iblis Jilid 18

Jilid 18

SAMBIL ayunkan langkah perlahan-lahan, dia m-dia m Sin Ciong totiang me mperhatikan keadaan ruang itu dengan seksama. Tetapi asap yang me nyelubungi ruang itu tebal sekali sehingga apa yang berada di situ tak begitu jelas.

Siu-la m pun mengikuti dí belakang ketua Bu-tong-pay. Ketika lewat di muka si nona baju putih Bwe Hong-swat, tiba- tiba tubuh nona itu berputar melintas cepat di hadapannya. Seketika  Siu-la m  rasakan  sebuah  tangan  halus   telah menja mah tangannya. Pemuda yang cerdik itu cepat-cepat menya mbut tangán si nona, dan ah… benarlah. Kiranya nona itu telah menyusupkan dua butir pil sebesar kedele ke dalam tangannya. Dan secepat menyerahkan pil, Bwe Hong-swat terus menyelinap lenyap dalam lautan asap.

Sin Ciong mencabut pedangnya dan membo lang-balingkan untuk melindungi diri. Tindakan itu diikut i oleh se mua orang gagah.

Tiba-tiba terdengar suara menggelegar keras. Ternyata pintu gedung Hwe- lun-tian telah menutup sendiri.

Saat itu hanya separoh dari rombo ngan yang masuk. Yang separoh masih tertinggal di luar gedung.

Sin Ciong tojin me mbolang-balingkan pedangnya ke udara. Itulah pertandaan dari partai Bu-tong-pay. Anak murid Bu- tong-pay yang berada di belakang, cepat segera mengatur diri dalam barisan Ngo-heng-kia m-tin.

Asap makin la ma ma kin tebal sehingga menyerupai halimun pegunungan di pagi  hari.  Dan  mula ilah  terasa  hawa  yang le mbab-le mbab basah. Tiba-tiba dari sudut ruang yang tertutup kabut asap itu terdengar suara seorang wanita melengking, “Lekas lepaskan senjatamu dan duduk bersila mendengar keputusanku. Jika berani me mbangkang, jangan salahkan aku bertindak ganas!”

Nada suara me lengking nyaring bagaikan bunyi burung kenari yang sedap didengar.

Asup tebal sekali sehingga Sin Ciong tojin yang berusaha untuk menaja mkan pandangan matanya tetap gagal untuk mengetabui siapa wanita itu.

Tiba-tiba penerangan lilin di ruang itu padam serempa k. Gelap pekat tiada taranya. Tiba-tiba Siu-lam teringat akan pil pemberian si nona baju putih tadi. Sejenak ia merayu. Pil itu hanya dua butir. Kepada siapakah hendak ia berikan?

Tiba-tiba sebuah tangan halus mencekal lengannya dan disusul dengan suara Hian-song yang halus, “Engkoh La m, apakah kau takut?”

“Tidak!”

Dengan manja Hian-song rapatkan tubuhnya kepada Síu- lam seraya berbisik bahagia, “Asal bersama engkau, aku tidak takut segala apa!”

Siu lam mendengus. Pada saat ia hendak bicara, tiba-tiba serangkum angin bertenaga kuat me landa dari belakang.

Dalam te mpat dan keadaan segelap itu, satu-satunya alat penjagaan diri hanyalah telinga. Arah datangnya serangan atau gangguan lawan, hanya dapat diperhitungkan mela lui penangkapan telinga.

Sebenarnya Siu-lam dapat menghindar ke samping. Tetapi  ia tak berbuat begitu, melainkan  sabetkan pedangnya ke belakang. Seketika terdengarlah jeritan ngeri. Entah siapa, tetapi jelas pedangnya telah me makan satu korban. Sesungguhnya ketika menyabetkan pedang tadi, Siu-lam sudah  menginsyafi  akibatnya.  Dalam  keadaan  pekat   itu, ke mungkinan pedangnya akan me makan jiwa seorang kawan sendiri. Tetapi pedang sudah terlanjur disabetkan. Tak mungkin ditariknya kembali….

Ia baru terkejut ketika mendengar jeritan yang begitu ngeri. Korban tebasannya itu, jika tidak mati tentu  akan terluka parah.

Síu-la m menyesal sekali. Tiba-tiba terdengar suara gemerincing senjata beradu. Rupanya telah terjadi pertempuran seru antara rombongan orang gagah melawan orang-orang Beng-gak.

Siu-la m segera empos se mangatnya dan curahkan seluruh perhatiannya. Tetapi asap di dalam ruangannya sedemikian tebalnya hingga jari-jari tangannya sendiri tidak dapat terlihat, ia tak dapat melihat siapa bertempur dengan siapa. Yang didengarnya hanyalah senjata saling beradu!

Kembali terdengar dua kali jeritan ngeri. Dan tetap ia tidak mengetahui siapakah korban yang jatuh itu. Diam-dia m ia menge luh. Musuh tahu  terang,  tetapi  fihaknya  tak  dapat me lihat musuh. Jika mere ka melancar kan serangan dahsyat, rombongan orang  gagah  tentu   akan   terancam   bahaya ke musnahan. Demikian kece masan yang mulai menceka m hati Siu-la m.

Dari arah sudut ruangan, ke mba li terdengar suara wanita tadi  melengking,  “Kuberi  kalian   waktu   sepe minum   teh la manya. Jika tidak mau me mbuang senjata dan menyerah, kalian se mua akan kubinasakan, saat itu kalian  hendak menyerah sudah tak dapat kuterima lagi!”

Tiba-tiba terdengar sebuah suara teriakan yang lantang, “Asap dalam ruangan ini tebal sekali, harap saudara-saudara hentikan serangan!” Siu-la m me ngenal suara itu sebagai suara Sin Ciong totiang. Ia membisiki Hian-song, “Me mang suasana ruang ini gelap  sekali.  Bahkan  jari-je mari  kita   sendiri   tak   dapat me lihatnya. Apabila musuh menyuruh dua tiga  orangnya  untuk mengacau di tengah ruang ini, ke mungkinan kita akan berantam dengan kawan sendiri!”

Hian-song tertawa, “Tetapi walaupun lebih gelap lagi, aku tetap melihat kau.”

Dalam saat dan tempat yang dikuasai iblis-iblis maut itu, mudahlah orang tergetar hatinya. Siu-lampun segera me me luk si dara erat-erat.

Apakah Hian-siong tersipu-s ipu ma lu atau berseri girang, Siau-la m tak dapat melihat. Tapi yang dirasakan nyata, dara itu susupkan mukanya ke dadanya seraya berbisik, “Engkoh,  ke mungkinan kita tak dapat keluar dari sini lagi. Asap yang berhamburan ini mengandung racun!”

“Hai, bagaimana engkau tahu?”

“Dalam asap ini kucium bau yang harum. Karena bau  harum itu halus sekali, maka seorang tentu sukar merasanya…”

“Tetapi mengapa kau dapat merasakan?”

“Dahulu ketika aku masih tinggal bersa ma kakek, me mang pernah me mbaui se maca m wewangian halus seperti ini. Ketika itu kakek tak di rumah, maka aku segera lari ke dalam biliknya dan me mbuka kotak besinya. Ternyata dalam kotak itu terdapat beberapa maca m bunga yang sudah kering. Bau harum halus itu berasal dari bunga-bunga itu. Hanya saja bau yang sekarang ini lebih halus lagi maka tadi aku tak dapat lekas-lekas me ngenalnya….”

Dara itu menghela napas longgar, katanya pula, “Sekarang karena aku berada di sampingmu, sekali tahu bahwa kita segera akan mati, tetapi sedikitpun hatiku tak gentar?” “Sumoay, cobalah kau baui lagi yang seksama, apakah kau tak salah?”

Hian-song mengangkat kepala dan menge mas i ra mbutnya lalu berkata, “Tidak salah lagi.”

Siu-la m pun me ncobanya. Ah, benarlah. Ia rasakan dalam asap itu mengandung bau harum yang halus. Serentak timbullah ke marahan Siu- la m. Jika asap itu benar mengandung racun harum, celakalah sekalian orang gagah yang berada dalam ruang itu.  Serentak ia  hendak berteriak me mper ingatkan ro mbongan orang gagah. Tetapi pada lain saat ia teringat akan pil pemberian Bwe Hong-swat. Apakah pil itu bukan untuk meno lak racun? Jika aku berteriak, dikuatirkan tentu akan menyulitkan nona Bwe….

Sesungguhnya ia tidak me mpunyai ikatan apa-apa dengan Bwe Hong-swat. Tetapi entah bagaimana, seringkali ada sesuatu perasaan yang timbul dalam hatinya, bahwa  nona baju putih itu benar-benar telah menjadi isterinya seperti yang mereka ucapkan di bawah sinar rembulan dahulu.

Tiba-tiba   terdengar   suara   seorang   wanita    berseru me lengking, “Ketika masuk ke dalam le mbah ini, sebenarnya kalian sudah menghisap racun yang me mbaur dari padang bunga. Tetapi racun itu memang la mbat sekali ja lannya. Dua belas jam ke mudian baru terasa. Tetapi sekarang kalian telah menghisap racun yang lebih hebat dari asap di sini. Setelah kedua jenis racun itu berca mpur, jangan harap kalian ma mpu tertolong lagi. Jika tak percaya, cobalah kalian menyalurkan napas atau cobalah menyedot dengan hati-hati, adakah dalam asap itu tidak terbaur bau harum yang halus!”

Mendengar itu sekalian orang gagah hentikan usahanya untuk menjebol pintu besi. Mereka berusaha untuk menenangkan diri. “Ya, benar, memang asap ini mengandung racun halus. Kata-kata orang tadi me mang tak bohong!” teriak Hian-song dengan lantang.

Setelah mendapat penegasan dari dara itu barulah sekalian orang me mpercayai. Mereka segera menyedot napas. Ah, benarlah. Dalam asap itu me mang mengandung bau harum yang halus.

Demikianpun yang dirasakan Sin Ciong tojin. Ia merasakan sesuatu yang berlainan dalam dadanya. Namun ia tak mau mengakui, karena dikuatirkan sekalian orang akan menjadi panik.

“Kita harus lekas-lekas keluar dari ruang ini. Mari kita kerahkan seluruh kepandaian kita untuk mengge mpur ruangan ini!” serunya dergan nyaring.

Rombongan anak mur id Bu-tong-pay segera bersiap dalam barisan Ngo-heng-tin. Sa mbil menjaga kedatangan musuh, mereka telah mengeluar kan api untuk menerangi ruangan itu.

Rornbongan orang gagahpun mengeluarkan kipas untuk mengha lau asap di sekelilingnya. Kini keadaan ruang itu agak tenang.

Pada saat itu tiba-tiba Siu- lam rasakan kepalanya pening. Buru-buru ia telan sebutir pil pe mber ian Bwe Hong-swat itu. Kiranya karena untuk me mbuktikan kata-kata Hian-song, tadi  ia telah menyedot agak keras, sehingga racun yang masuk dalam tubuhpun lebih banyak.

Setelah minum pil, tubuhnya terasa panas. Tanyanya kepada Hian-song, “Sumoay, apakah kau tahu cara untuk menye mbuhkan racun asap itu?”

Hian song menggeleng, “Tidak tahu! Ketika kubuka kotak kakek dan terkena racun bunga, kakek segera datang dan meno longku. Tetapi aku harus beristirahat beberapa hari baru sembuh  betul.  Kakek  me mperingatkan  agar  aku  jangan  me masuki ka marnya dan me mbuka barang-barangnya lagi.

Harapan Siu- lam untuk meno long ro mbongan orang gagah tak tercapai. la menghe la napas, dan suruh si dara minum pil yang sebutir.

Saat itu setelah ruangan terang, rombongan orang gagah segera mengatur diri sejak mengge mpur barisan Ngo-kui-tin dan terjadi kekacauan ketika ruangan gelap, rombongan  paderi Siau- lim-s i telah kehilangan dua orang yang luka dan seorang yang mati. Ro mbongan murid Bu-tong-pay hanya mender ita dua orang yang luka.

Kini mur id Siau- lim-si telah me mbentuk barisannya Lo-han- tin pula dan mur id Bu-tong-pay siap dengan barisan Ngo- heng-tin.

Sambil me mbo lang-balingkan pedang, Sin C iong totiang berseru nyaring, “Sudah berani mengundang me ngapa tak berani unjuk diri? Jika mas ih ma in me ngumpat, ruang Hwe- lun-tian ini akan kami hancurkan….”

Tiba-tiba dari sudut ruang terdengar suara seorang perempuan me lengking, “Ruang Hwe-lun-tian ini terbuat dari baja   yang   kokoh.   Jika    ampuh,   silahkan     kalian mengge mpurnya….”

Dengan pendengarannya yang tajam dapatlah Sin  Ciong me mbedakan bahwa suara wanita itu bukanlah wanita yang tadi.

Tio Hong- kwat berbisik kepada Sin Ciong, “Kita telah terjebak dalam perangkap mereka. Bila bertempur, kita tentu lebih me nderita. Sebaiknya kita berusaha untuk keluar dari ruang ini!”

“Benar!” sahut Sin Ciong tojin, “tetapi  aku  tak  dapat mene mukan cara untuk me mbobolkan tembo k ruangan ini. Apakah me mpunyai cara yang bagus?” Tio Hong- kwat  tertegun,  “Ah,  saat   ini   aku   belum mene mukan cara untuk mengge mpurnya. Tetapi baiklah totiang me mberitahukan pada sekalian saudara untuk berusaha keluar dari sini!”

Jawab Sin Ciong, “Jika asap ini benar mengandung racun, kitapun  sudah  ke masukan  racun.  Jika  mundur  dari  sini, ke mungkinan juga tidak terdapat obat. Daripada begitu, lebih baik kita menyerbu masuk dan bertempur sampa i detik terakhir dengan siluman pere mpuan itu!“

Ngo Cong-han mendukung pernyataan ketua Bu-tong-pay itu.

Setelah merenung sejenak, ketua Bu-tong-pay itu berseru nyaring, “Asap dalam ruang ini ke mungkinan me mang mengandung racun. Kita hanya mempunyai  dua  jalan. Mengge mpur dan keluar dari ruangan ini atau beramai-ra mai menyerbu musuh!”

Habis berkata ketua Bu-tong-pay itu terus memutar pedang dan menyerbu ke sudut ruang dari mana suara  lengking wanita tadi berasal.

Saat itu korek api yang disulut ro mbongan orang gagah sudah ha mpir separo yang pada m. Hanya tinggal e mpat atau lima batang saja.

Begitu melihat pemimpinnya bergerak, barisan anak murid Bu-tong-pay pun segera bergerak mengikuti. Begitu pula sekalian orang.

Sebenarnya Sin Ciong tojin seorang yang cer mat dan hati- hati. Tetapi dalam saat dan tempat seperti itu, ketenangan pikirannya mulai goyah. Dia hendak mencar i orang Beng-gak untuk me maksanya supaya member itahukan rahasia keluar darí ruangan itu. Atau kalau ketemu dengan ketua Beng-gak, hendak ia terjang mati- matian. Tetapi di sudut, ruang, ia tak menemukan barang seorang musuhpun juga. Ketiga nona anakmurid Beng-gak itu entah Ienyap kemana!

Untuk menumpahkan ke marahannya, Sin Ciong hanta mkan pedangnya ke dinding. Dia seorang tokoh yang  bertenaga sakti. Pedangnyapun sebuah pedang pusaka yang dapat menabas loga m. Tetapi anehnya dinding ruangan itu sama sekali tak berge ming.

Sekalian  orang  gagahpun   mengha mpirí.   Dengan mengge mbor sekuat-kuatnya, delapan belas paderi jubah kuning sere mpak ayunkan tongkatnya menghanta m dinding. Terdengar ledakan dahsyat dan percikan bunga api, tetapi dinding itu tetap tangguh.

Tiba-tiba terdengar lengking tertawa dingin dari lain sudut, “Jika aku tak keluar untuk bertempur, mungkin kalian tak dapat mati dengan mera m….”

“Benar!”  teriak  Sin  Ciong  tojin,   “jika   kau   dapat menga lahkan ka mi dengan kepandaian, barulah ka mi benar- benar tunduk. Menang karena mengguna kan segala maca m akal mus lihat busuk, bukankah laku seorang kesatriya!”

Suara melengking itu menyahut, “Karena kalian berkeras hendak melihat aku, baiklah. Tetapi barang siapa melihat wajahnya, hanya dua pilihan. Kesatu, dia harus mati. Kedua, harus masuk menjadi anak buah Beng-ga k dan tak boleh berkhianat….”

Sin  Ciong  me mbentak,  “Hm,  kau   me lupakan   sebuah ke mungkinan lagi. lalah, suatu adu kesaktian yang akan dapat me mutus kan siapa yang lebih unggul dan harus mati dulu!”

Tiba-tiba asap dalam ruangan itu lenyap. Ruang tampak jelas keadaannya.

Dengan tenang, ketua Bu-tong-pay itu berseru kepada sekalian orang gagah, “Entah menang entah kalah, tetapi kita me mang me mpunyai harapan tipis bisa keluar dari Beng-gak sini. Di daerah Kang-la m dan Kang-pak dan di luar perbatasan, ke mungkinan me mang masih banyak okoh-to koh sakti yang bersembunyi. Tetapi berpuluh-puluh tahun ini tokoh-tokoh sakti yang terdapat di dunia persilatan hanyalah kita yang ada sekarang ini.”

Ucapan ketua Bu-tong-pay itu sangat berkenan dalam hati sekalian ro mbongan. Me mang yang aktif dan ternama dalam daerah masing- masing, hanyalah anggota-anggota yang ikut serta dalam rombongan yang datang ke Beng-ga k itu.

Kata Sin Ciong lebih lanjut, “Asap dalam ruangan ini tadi mengandung racun. Dan karena kita berada agak Iama di sini, tentulah sudah ke masukan racun itu.”

Sekalian orang me mandang ke arah ketua Bu-tong-pay itu dengan pandang keha mpaan.

Sin Ciong menghe la napas, “Jika kita binasa di sini, dunia persilatan tentu akan mengala mi perobahan. Sayang bahwa kepandaian sakti dari saudara-saudara sekalian, ikut lenyap!”

“Karena waktunya tak banyak, maka harap totiang lekas  me mber itahukan bagaima na rencana totiang,” seru Kau Cin- hong.

Sin Ciong totiang berkilat-kilat me mandang ke arah Siu-la m dan Hian-song. Tampak kedua anak muda itu berdiri berdampingan. Wajahnya kemerah- merahan dan matanya mera m seperti orang yang mabuk arak. Ketua Bu-tong-pay itu kerutkan dahi. Dia menghela napas pelahan. Wajahnya mengunjuk rasa putus asa….

Ketika berpaling, ia me lihat dua pe muda yang berada di belakang Kat Thian-beng. Segera ia menghampir inya, “Apakah kedua anak muda ini, putera saudara?” tanya kepada Kat Thían-beng. Kat Thian-beng mengiakan. Walaupun disertai dengan tertawa, tetapi diam-dia m hatinya berduka. Karena orang yang datang ke Beng-gak situ kebanyakan tentu seorang diri. Hanya dia sendiri yang me mbawa kedua puteranya. Dengan begitu ludaslah ayah dan anak…. 

“Kat-heng me mpunyai berapa putera?”

Pertanyaan ketua Bu-tong-pay itu bagaikan ujung pisau menyayat hati Kat Thian-beng. Jago tua itu menghela napas pelahan, “Me mang puteraku hanya dua oranrg itu!”

Hubungan antara ayah dan anak adalah seperti mata dengan kaki. Apabila sang kaki terluka, mata  tentu ikut mengucurkan air mata sedih. Kat Thian-beng yang gagah perkasa, akhirnya harus mengusap air mata  yang mulai  menitik di pelupuknya….

Melihat itu Kat Wi dan Kat Hong segera menghibur ayahnya, “Harap ayah jangan berduka. Anak berdua tak takut mati….”

Mendengar pernyataan kedua puteranya itu, tiba-tiba Kat Thian-beng tertawa terbahak.

“Bagus puteraku. Kalian tak kecewa menjadi  putera keluarga Kat yang gagah perkasa. Ayah dan anak bisa mati bersama, me mang suatu ke matian yang ge milang!”

Tiba-tiba Sin Ciong tojin menutuk jalan darah kedua  pemuda itu. Sudah tentu Kat Thian-beng terkejut sekali, “Eh, apa ma ksud totiang?”

Wajah ketua Bu-tong-pay berobah serius. la memandang kepada rombo ngannya, “Saat ini kita semua sudah terkena racun. Sekalipun belum tentu seperti yang dikatakan oleh si perempuan siluma n bahwa kita hidup hanya beberapa jam saja tetapi jelas hari ini kta me mang sukar keluar dari sini….”

Sekalian orang mendengar ucapan ketua Bu-tong-pay itu dengan penuh perhatian. Sin Ciong tojin menghe la napas pula, “Pinto me mpunyai dua butir pil kim-tan. Pil ini adalah pusaka warisan dari partay Bu-tong-pay. Entah terbuat dari bahan apa tetapi khasiatnya seperti pil dewa yang dapat menghidupkan orang yang hampir mati, dapat me munahkan segala maca m racun. Sayang pil itu hanya kubawa dua butir sedang yang terluka sekian banyak orang. Maka pil ini akan kuberikan pada anak muda yang berbakat bagus dan berotak terang…!”

“Ah, mana bisa?  Lebih  baik  totiang  sendiri  saja  yang  me minumnya!” Kat Thian-beng berseru kaget.

Tetapi  ketua   Bu-tong-pay   itu   tak   menghiraukanya. Me mandang kepada ro mbongan orang gagah ia berkata pula, “Kedua putera saudara Kat ini, termasuk yang paling muda sendiri di antara kita. Mereka me mpunyai bakat bagus dan pribadi yang perwira. Pinto hendak me minumkan pil ini pada mereka. Mudah- mudahan kedua pemuda itu dapat lebih kokoh tenaga dalamnya. Tetapi saudara-saudara harus menyetujui sebuah syaratku agar ilmu kepandaian saudara-saudara jangan sampa i lenyap!”

Kini sekalian orang mengerti apa yang dimaksud Sin Ciong tojin. Tetapi mereka tak berani berkata apa-apa.

Ketua Bu-tong-pay itu kemudian menge luarkan dua butir pil dari botol kumala la lu me masukkannya ke dalam mulut Kat Wi dan Kat Hong.

Kat Thian-beng terharu sekali sehingga mengucur kan air mata.

“Pinto akan menulis ilmu simpanan dari Bu-tong-pay, baik ilmu silat tangan kosong, ilmu pedang maupun pukulan Bian- ciang di atas baju ini.” Sin Ciong tojin merobek lengan baju dan dengan peniti ia menulis di atasnya. Dengan  tenaga dalam yang hebat, dapatlah ketua Bu-tong-pay itu mengerjakan se mua rencananya. Sekalian orang tergerak hatinya melihat tindakan Sin Ciong tojin itu. Merekapun segera mengikuti. Ada yang merobek lengan baju dan menulis dengan ujung senjatanya. Ada pula yang menuliskan thiat-pit (pena baja) pada tangkai pedang dan lain- lain.

Dalam beberapa kejap di hadapan kedua anak muda Kat Wi dan Kat Hong telah bertumpuk seonggok robekan baju, tangkai pedang dan ikat kepala.

Setelah itu, Sin Ciong tojin gunakan tenaga sakti, tempelkan tangannya ke punggung kedua anak muda yang masih pingsan itu. la salurkan Iwekang ke tubuh mere ka.

“Toheng, biarlah kubantumu! ” tiba-tiba Bu-ing-sin- kun Pek Co-gi jago tua dari Tibet mengha mpir i. Dan tanpa tunggu jawaban Sin Ciong ia segera lekatkan tangannya pada punggung Kat Hong.

Berkat Iwekang kedua tokoh yang sakti itu,  dalam beberapa  kejap  saja  kedua  anak  muda   itu  dapat   sadar  ke mbali.

“Harap kalian berdua jangan bicara dulu. Salurkanlah darahmu untuk menya mbut saluran Iwekang pinto. Pinto akan me mbantu kalian untuk mene mbus ja lan darah penting dalam tubuh kalian!”

Kedua pe muda itu me mandang kepada ayahnya. Tampak Kat Thian-beng dengan wajah bersungguh-sungguh menyuruhnya segera menurut perintah Sin Ciong tojin.

Kat Hui dan Kat Hong pun segera mengerahkan lwekangnya untuk menyambut saluran lwekang kedua tokoh tua itu.

Bluk! Tiba-tiba terdengar dua sosok tubuh berjatuhan ke lantai. Ketika sekalian orang berpaling, ternyata yang jatuh itu adalah Siu- lam dan Hian-song. Golok Sakti Lo Kun segera mengha mpirinya dan ketika hendak mengangkat tubuh mereka tiba-tiba terdengar gelak tertawa melengking me menuhi ruang. Ketika ma mandang ke sudut ruang, ternyata di situ telah muncul e mpat wanita yang berpakaian e mpat maca m warna.

Karena sudah menumpahkan perhatian pada Kat Hui dan Kat Hong serta terkejut atas rubuhnya Siu-lam dan Hian-song, maka mereka tak tahu ke munculan kee mpat wanita itu.

Pada saat Sin Ciong tojin tengah menyalurkan Iwekang ke tubuh Kat Hui, sekalian orang dia m-dia m menganggap Thian Hong siansu sebagai pimpinan. Karena paderi itu diam saja. Sekalian orangpun tak berani bicara.

Keempat wanita itupun maju mengha mpir i ro mbongan orang gagah. Yang tiga orang ternyata si nona baju merah, baju biru, dan si putih Bwe Hong-swat. Tetapi yang seorang lagi mengenakan pakaian warna hitam, begitu pula wajahnya tertutup kerudung hita m.

Perawakan wanita misterius itu lebih tinggi dari ketiga  nona. Suara ketawa melengking tadi, berasal dari wanita itu juga.

Begitu kee mpat wanita itu ha mpir tiba, Kat Thian-beng loncat menerjangnya dengan senjata thiat-pit.

Si nona baju merah yang mengawa l di sebelah kanan si wanita, tertawa dingin terus loncat menyongsong Kat Thian- beng dengan kebut hud-tim berbareng itu tangan kanan mencabut pedang dan ditusukkan ke dada orang.

Thiat-pit dan pedang susul- menyusul datangnya Kat Thian- beng yang sudah merasa berterima kasih kebaikan Sin Ciong tojin mcno long kedua puteranya, telah me mbulatkan tekadnya. Dengan menge mbor keras, ia benturkan thiat-pitnya kepada kebud si nona. Nona berbaju merah tertawa dingin. Kebud disentakkan keatas untuk melibat thiat-pit sedang pedang digerakkan dengan jurus Keng-hong-hwi atau burung hong kaget meninggalkan rumpun alang-alang. Pedang berkilat laksana kilat.

Terlibat oleh kebut, pedang Kat Thian-beng tak dapat seketika bergerak. Jika ia menghindari pedang si nona, ia harus lepaskan thiat-pitnya.

Kat Thian beng tak me mpunyai banyak waktu untuk merenung. Cepat-cepat ia lepaskan pedang dan Ioncat mundur. Tetapi nona baju merah ítu setelah kebutkan thiat- pit, dengan tertawa melengking ejek segeria mengejar, “Huh, hendak lari ke mana kau?

Maju selangkah, pedang dima inkan dalam jurus Coan-hun- ki-gwat atau mene mbus awan menga mbil re mbulan. Bagaikan kilat menyambar pedang berkiblat menusuk dada.

Saat itu belum saja Kat Thian-beng berdiri tegak atau pedang sudah ha mpir melekat dadanya. Dalam kejutnya ia hantamkan tangan kanan dengan pukulan Tou- ping-boan- gwat atau bintang me mbentur bulan.

“Huh, kau masih berani me lawan?” dengus nona baju merah itu. Pedang tiba-tiba dirobah dengan jurus Lan-ho cay- tou atau Bintang bima sakti menjatuhkan bintang. Pedang tiba-tiba menabas.

Uh… terdengar orang tertahan disusul dengan muncratnya darah merah. Separoh lengan kiri jago she Kat itu terpapas kutung.

Tetapi jago tua itu dengan keraskan hati, gerakkan tangan kanan menghantam dengan jurus Pit-to-hong-liong atau Menyogok naga kuning.

Kenekadan orang she Kat itu me mbuat si nona baju merah yang berhati ganas mau tak mau menjadi terkesiap juga…. Duk… karena tertegun, dada si nona termakan tinju Kat Thian-beng. Seketika nona itu terhuyung mundur dua langkah!

Mendapat hasil, Kat Thian-beng mengge mbor keras dan maju dua  laugkah untuk  menyodokkan  tinjunya  yang masih le mpang ke muka tadi ke dada si nona. Ia bergerak dengan cepat dan keras.

Tetapi ternyata si nona baju merah lebih  cepat lagi. Kisarkan tubuh ke samping, pedang diputar dan tiba-tiba di papaskan ke atas.

Uh!…. Kembali terdengar jeritan tertahan dari mulat Kat Thian-beng. Lengan kanannyapun terpapas kutung!

Tetapi entah dengan kekuatan apa, jago she Kat itu tidak mengerang dan tidak rubuh. Bahkan seperti orang yang kerasukan setan, setelah kedua lengannya kutung, sekonyong-konyong ia ayunkan kaki kanannya dengan ilmu tendangan Gai-sing-thi-tou atau bintang pagi berjumpa litan. Dengan sekuat tenaga ia tendang perut si nona.

Nona baju merah itu berkerut alis dan tertawa dingin, “Benar seorang jago yang gagah perkasa!”

Kata-kata itu ditutup dengan menyapukan kebutnya ke kaki lawan. Begitu kaki Kat Thian-eng terpental, nona itu segera susuli dengan tusukan pedang ke dada.

Cres! .. ujung pedang menusuk dada terus tembus sa mpai ke punggung. Namun orang she Kat itu pantang berteriak. la hanya mengerang perlahan lalu menyurut mundur dan rubuh ke ataa tanah.

Kat Thian-beng jago yang termasyhur dengan senjata thiat- pit (pena baja), terpaksa mesti mengakhir i hidupnya secara mengenaskan.

Adalah karena racun asap itu maka Khat Thian-beng  mender ita kekalahan dari si nona berbaju merah. Buru-buru Sin Ciong tojin menotok pinggang Kat Hong dan Kat Wi lagi. la kuatir karena me lihat ayahnya meninggal secara begitu mengenaskan, kedua pemuda itu akan terpengaruh sehingga darahnya me liar dan menderita apa yang dikata Co- hwe-jip- mo atau tubuhnya rusak mender ita aliran darah yang liar.

Setelah Kat Thian-beng meninggal, baru]ah Sa m-kia m-it-pit Tio Hong- kwat mengge mbor dan menerjang dengan pedangnya. Memang pengaruh racun itu menjadikan pikiran sekalian orang gagah menjadi tumpul.

Si nona baju merah tertawa dan berpaling, “Ji sumoay, kau saja yang me mbereskan!”

Si putih Bwe Hong-swat mengia kan. Sekali me lesat ia menyongsong Tio Hong- kwat.

Tring, tring terdengar benturan senjata tajam dan Tio Hong-kwatpun tersurut mundur beberapa langkah….

Sekalian orang gagahpun mengikuti Sa m-kia m-it-pit Tio Hong-kwat manyerbu. Mereka segera disa mbut oleh si nona baju biru dan baju merah. Tetapi si wanita berkerudung kain hitam tegak berdiri me ngawasi saja.

Ketliga nona murid  Beng-ga k itu berkepandaian sakti. Dengan bahu me mbahu, mereka bertiga dalam me mbendung serbuan lawan. Pertempuran lawan berlangsung seru sekali. Senjata macam tanduk rusa dari si nona baju biru, tampaknya mengganas dengan hebat!

Tring, tring, tring, tak henti-hentinya terdengar ge merincing senjata beradu. Beberapa saat kemudian terdengar jerit orang tertahan dan seorang murid Siau- lim-si telah terbelah dua oleh senjata si nona baju biru.

Sin Ciong tojin mengawasi pertempuran itu dengan hati dingin. Walaupun serangan ro mbongan orang gagah cukup dahsyat, tetapi mereka lebih mir ip dengan kerbau gila daripada jago persilatan yang menyerang dahsyat. Hal itu menandakan bahwa racun dalam tubuh mereka sudah mulai bekerja.

Dia m-dia m ketua Bu tong pay itu menggigil….

Ia menghela napas. Sambil putar pedangnya ia berbisik kepada kedua jago Ceng-sia-pay ialah kedua saudara Siong Hong dan Siong Gwat totiang, “Apa yang toheng berdua rasakan saat ini?”

“Hatiku agak berdebar tak tenang…” jawab Siong Hong totiang.

“Harap toheng tenangkan semangat dulu. Setelah itu harap me mber itahukan pinto. Nanti Kita bersa ma-sama menyerbu….”

Tiba-tiba terdengar dua buah jeritan ngeri. Dua  orang gagah dalam ro mbongan, telah rubuh.

“Omitohud!” terdengar ucapan doa melantang. Serempak terdengarlah nyanyian me manjatkan doa untuk kedua korban yang jatuh itu.

Nyanyian itu telah me mbangkitkan se mangat anak mur id Siau-lim-si. Mereka menyerang dengan cepat dan dahsyat. Terpaksa  lain- lain  orang  gagah   menyingkir  ke   samping me mber i jalan.

Munculnya gelombang serangan barisan Siau- lim-s i itu dapat mencegah a mukan ketiga nona.

Adalah karena ro mbongan orang gagah itu terhadang oleh ketiga nona dan ada beberapa yang terbunuh maka kepala barisan Siau-lim-si segera lantangkan doa ke mudian terdengar nyanyian-nyanyian doa dari dalam kitab suci. Ayat dan doa yang dinyanyikan itu me mbangkitkan kerelaan se mangat berkorban untuk kepentingan lain orang. Mendekatkan akan hakiki dari ke matian dengan kehidupan. Mati adalah seperti pulang ke rumah asal. Dengan semangat yang telah diisi itu, barisan Lo-han-tin segera bergerak dengan mantap.

Ke tigapuluh enam paderi Siau-lim-si itu merupakan mur id angkatan kedua dari Siau-lim-si. Mereka berkepandaian tinggi. Begitu pula barisan Lo han-tin itu merupakan barisan Siau-lim- si yang paling  dibanggakan. Penuh dengan perobahan- perobahan yang sukar diduga dan variasi yang mengagumkan.

Melihat perbawa barisan Lo han-tin, timbullah se mangat Sin Ciong tojin. Dengan lwekang yang hebat, ia dapat menekan menja larnya racun dalam tubuhnya.

Sambil me mbo lang-balingkan pedang, ia berseru lantang kepada anak murid Bu-tong-pay, “Barisan Lo han-tin sudah bergerak. Tapi cara bertempur dahsyat itu akan me mpercepat bekerja racun. Sekali racun menge mbang, tak mungkin terobati Iagi….”

Ketua Bu-tong-pay itu menghela napas, kemudian ia berbisik-bisik me mberi pesan kepada anak murid Bu-tong-pay. Setelah itu ia berpaling dan bicara beberapa saat dengan jago Ceng-sia-pay Siong Hong dan Sing Gwat, kemudian dengan jago tua dari Tibet Pek Co-gi. la bicara pelahan sekali sehingga lain orang tak dapat menangkapnya.

Hanya yang tampak, saat itu anak murid Bu-tong-pay, kedua jago Ceng-sia-pay, Bu-ing-sin-kun Pek Co-gi segera duduk berse medhi.

Sementara Sin Ciong tojin pun segera bekerja. la mengumpulkan warisan ilmu pelajaran silat dari beberapa tokoh yang ditulis pada tangkai pedang, robekan baju dan lain-la innya itu. Lalu dibagi dan dibungkus jadi  dua bungkusan. Ke mudian iapun duduk bersemedhi.

Tak berselang beberapa saat, tiba-tiba Sin Ciong  tojin rubuh lebih dulu. Setelah itu berturut-turut rubuhlah Bu- ing- sin-kun Pek Co-gi, kedua jago Ceng-sia-pay dan anak murid Bu-tong-pay. Mereka menggeletak malang- me lintang di lantai. Ada yang rubuh terlentang, ada yang miring, dan ada pula yang tengkurap sehingga menimbulkan kesan kalau pekakas dalam tubuhnya hancur karena keracunan….

Karena melihat mereka rubuh, dia m-dia m Kau Cin-hong heran, “Eh, mengapa mereka begitu mudah terjungkal!? Apakah mereka tak ma mpu menahan bekerjanya racun?”

Seketika ia nekad. tetapi serempak dengan itu matanya terasa berkunang-kunang. Ah, ia pun hampir tak  kuat bertahan lagi. Dengan mengge mbor keras, ia taburkan senjatanya Kiu-mo-ci- hoat atau gelang jari sembilan. Lontaran itu dila mbari dengan sisa tenaganya dan ditujukan pada si wanita berkerudung kain hitam!

Tetapí sehabis mele mpar, ía sendiripun rubuh. Sebaliknya si wanita berkerudung itu acuh tak acuh ayunkan tangannya mena mpar. Senjata Kiu- mo-ci- hoan itupun terle mpar jatuh.

Sehabis  mena mpar,  wanita  berkerudung  itu   tiba-tiba me lengking nyaring dan mela mbung ke udara. la  melayang me la mpau barisan Lo-han-tin dan rubuh di depan Kau Cin Hong. Begitu menginjak lantai, ia segera mena mpar. Huak… Kau Cin-hong menyembur darah segar dan rubuh terkapar!

Sekalian orang gagah yang tengah menyalurkan darah untuk menekan racun, begitu dengar jeritan Kau Cin-hong, mereka segera loncat menyerbu wanita berkerudung itu.

Tiba-tiba wanita berkerudung menyingkap kain kerudungnya, “Kalian sudah terkena racun. Jangan harap dapat hidup lama. Lekas buang senjatamu dan menyerah. Nanti akan kuberi kalian masing- mas ing sebutir pil pe munah racun. Percuma saja kalian hendak berusaha untuk menekan bekerjanya racun itu….”

Ia menutup kata-katanya dengan membuka pakaian hitamnya. Pada saat wanita itu menyingkap kain kerudung, seketika tercenganglah sekalian orang gagah ketika melihat sebuah wajah yang cantik ge milang. Dan pada waktu mendengar lengking suara wanita itu, mereka pun seperti mendengar bunyi seruling nafiri. Lebih-Iebih ketika wanita itu me lolos pakaiannya, seketika terbanglah se mangat mereka….

Insan manus ia atau seorang bidadarikah yang berada di hadapan mereka itu? Begitu indah jelita wajahnya, sedemikian sempurna setiap lekuk potongan tubuh wanita itu.

Darah mereka terasa mendidih, senjata-seniata yang mereka pegangpun serasa lunglai. Ha mburan darah yang mengge lora keras dalam tubuh mereka me mbuat racun lebih cepat bekerja.

Tiba-tiba terdengar jeritan ngeri dan seorang paderi Siau- lim-s i terbelah kepalanya oleh si nona baju biru. Menyusul empat orang paderi Siau-lim-s i mati di bawah pedang si nona baju merah dan biru.

Jeriran-jeritan ngeri mengandung lengking tertawa dari kedua nona itu. Sedang si nona baju putih tetap berwajah dingin. Sepatahpun dia tak mengucap, juga tak tertawa.

Sepasang giok-ci dari nona baju putih itu bertebaran kian  ke mari untuk menggasak rombongan murid Siau- lim-s i. Tetapi anehnya, setiap kali ha mpir mengena i tubuh lawan, cepat- cepat ia tarik kembali sehingga t iada seorangpun yang dilukainya!

Barisan Lo-han-tin yang menjadi kebanggaan gereja Siau- lim-s i dan diagungkan sebagai barisan yang tak mungkin dihancurkan, ternyata saat itu menjadi porak-poranda!

Banyak paderi Siau- lim-s i yang terluka. Bahkan yang mati sudah mencapai jumlah dua belas orang.

Si nona baju biru dan merah itu ganas sekali. Setiap menyerang tentu mengarah bagian tubuh orang yang berbahaya. Banyak mur id Siau- lim-si yang menjadi korban keganasannya.

Me mang pada saat pertempuran itu berlangsung, racun dalam tubuh paderi-paderi Siau- lim-s i itu sudah mulai bekerja. Kepala mereka pening, mata  berkunang dan  kaki tangannya le mas. Sudahlah tentu mere ka menjadi ma kanan yang e mpuk bagi kedua nona yang ganas itu….

Kedua nona itu bergerak dengan cepat. Dalam beberapa kejap saja, ketigapuluh enam anggota barisan Lo-han-tin itu sudah diganyang habis se mua!

Walaupun pakaiannya yang putih berlumuran darah, tetapi Bwe Hong-s wat tak melukai seorang lawanpun juga.

Pemandangan saat itu benar-benar merupakan  suatu penjagalan yang ngeri. Tubuh manusia malang- me lintang mengge letak di lantai tanpa kepala, tanpa kaki atau tangan dan lain-lain atau anggota tubuhnya. Sin Ciong tojin yang pura-pura mengge letak mati, hampir saja tidak kuat menahan ke marahannya. Hampir saja ia hendak  loncat  menerjang kedua nona ganas itu. Tetapi syukurlah ia masih dapat menahan hatinya….

Selesai me mbas mi barisan Lo-han-tin, ketiga nona itu segera menyerbu ro mbongan orang gagah lainnya.

Pedang berkelebat, darah disertai gumpal potongan daging manus ia berha mburan. Jeritan ngeri susul- menyusul. Dalam beberapa kejap, tujuh, delapan orang telah terganyang!

Tiba-tiba terdengar wanita berpakaian hitam tadi tertawa me lengking. Ke mudian ia hentikan pertunjukannya yang cabul, lalu menyerang ro mbongan orang gagah. Secepat dengan gerak tusukan jari dan pukulan tangannya, maka terdengarlah jeritan ngeri dan jatuhnya tubuh susul- menyusul.

Me mang saat itu racun di dalam tubuh ro mbongan orang gagah itu sudah bekerja. Mereka tak berdaya menangkis. Gerakan mereka hanya sekedar bergerak saja. Sama sekali tidak menunjukkan tata silat.

Kalau Sin Ciong tojin mas ih dapat menahan ke marahannya, tidak demikian dengan kedua jago Ceng-sia-pay.  Seketika Siong Hong dan Siong Gwat tojin hendak melenting bangun. Untung cepat-cepat Sin Ciong tojin mencegahnya. Walaupun mera mkan mata, tetapi ketua Bu-tong-pay itu tetap mencurahkan perhatian pada keadaan di sekelilingnya. Begitu me lihat kedua ima m dari Ceng-sia-pay itu hendak bergerak, iapun segera mendahului mengga mit tubuh mere ka.

Siong Hong tersadar. Diam diam ia mengeluh dan me nyesal atas tindakannya yang kurang sabar itu.

Dengan gunakan ilmu suara Coan-bi-jip- im Sin Ciong tojin menyusupkan suara kepada kedua jago Ceng-sia-pay itu, “Tunggu begitu pintu ruangan ini terbuka, pinto dan Pek-heng akan menerjang. Dan to-yu berdua harap me nggotong kedua anak muda itu mengikuti keluar. Barisan Ngo-heng-tin dari Bu- tong-pay akan bertugas buat menahan musuh!”

Dia gunakan C ian-li- jip-bi (ilmu menyusupkan suara). Kecuali Pek Co-gi, Siong Hong, Siong Gwat dan murid- murid Bu-tong-pay, lain-lain orang tak dapat mendengarnya.

Suasana dalam ruang Hwe- lun-tian saat itu sunyi seperti sebuah kuburan. Rombongan orang gagah hancur berantakan di bawah pedang kedua nona baju merah dan biru atau si wanita berkerudung. Beberapa orang yang belum se mpat ditanyai, pun karena bekerjanya racun, sudah jatuh sendiri!

Sin Ciong tojin mencuri sebuah kese mpatan untuk me lir ik ke sekeliling. Dilihatnya mayat rombongannya bergelimpang mandi darah. Tubuh mereka banyak yang tak utuh. Dia m- diam ketua Bu-tong-pay itu me nghela napas duka.

Sejenak me mandang sekeliling ruang, tiba-tiba wanita berkerudung itu berseru keras suruh ketiga mur idnya berhenti. Kemudian ia tertawa mengekeh. “Buka pintu dan suruh mereka bersihkan ruangan ini. Yang belum mati, jebloskan ke penjara dan tunggu keputusan!” serunya. Tetapi si nona baju biru membantah, “Kemungkinan di antara mereka ada yang bersiasat pura-pura mati. Maksud mur id, lebíh baik habisi saja mereka se mua!”

Wanita berkerudung itu merenung sejenak, lalu katanya, “Benar, me mang tentu ada yang pura-pura mati. Begitu pintu terbuka tentu akan gunakan kesempatan untuk lolos….“ Sejenak ia sapukan pandangan ke segenap penjuru. kemudian tertawa dingin, “Tetapi sekalipun dapat melar ikan diri, jangan harap mereka dapat melintasi rintangan. Mereka kebanyakan jago silat ternama. Satu saja diberi hidup  tentu akan menimbulkan kesulitan di belakang hari.”

“Jika begitu, silahkan suhu beristirahat. Biarlah mur id berdua yang menyelesaikan di sini,” kata si nona baju biru….

Si wanita berkerudung mengangguk la lu me langkah pergi dari ruangan.

Pada saat Bwe Hong-swat mengantar kepergian suhunya itu, ia menggunakan kese mpatan untuk menendang tubuh Siu-la m dan Hian-song. Sebelumnya ia telah me mperhatikan arah jalan dalan kedua pemuda itu. Maka tanpa melihat lagi, dengan tepat ia telah dapat menendang jitu jalan darah untuk menyadarkan kedua pe muda itu.

Karena jalan darah Seng-si-hian-kwan sudah terbuka, maka Hian-songlah yang lebih dulu cepat sadar. Baru Bwe Hong- swat berjalan beberapa langkah saja, Hian-song sudah sadar dan me mbuka mata.

Tetapi dara itu baru pertama kali menyaksikan sekian banyak mayat malang- me lintang secara menger ikan. Maka tidak urung ia merasa ngeri dan buru-buru pejamkan  mata lagi. Rasa ngeri itu menyebabkan jalan darahnya mengalir deras sehingga se mangatnya ma lah bertambah segar. Sejenak ke mudian ia me mbuka mata dan me mandang kepada Siu-la m. Dilihatnya pemuda itu mula i berkedip- kedip seperti mau me mbuka mata. Buru-buru Hian-song mencekal tangan kiri pe muda itu dan terus menyalurkan lwekangnya.

Begitu mendapat saluran tenaga sakti, cepat sekali Siu- lam sudah me mbuka mata. Pada saat ia hendak loncat bangun, tiba-tiba si dara me mbisikinya, “Engkoh La m, jangan terburu- buru dulu. Lekas salurkan tenaga dalammu. Ke mungkinan kita akan bertempur!” 

Siu-la m me njabat tangan si dara yang mencekal pergelangan tangannya sebagai tanda terima kasihnya.

“Engkoh La m, apakah sesungguhnya kau suka padaku?” tanya si dara dengan ke malu- maluan.

Sudah tentu Siu-la m tergetar hatinya. Sesaat ia tak dapat menjawab apa-apa. Tiba-tiba pada saat itu terdengar pintu berderit-derit terbuka. Segumpal sinar  matahari,  meningkah ke dala m.

Tiba-tiba terdengar Sin Ciong tojin berteriak keras dan loncat bangun terus menerjang ke pintu. Tindakan itu disusul oleh Bu-ing-s in-kun Pek Co-gi yang begitu loncat bangun terus lepaskan dua buah pukulan. Tenaga pukulan  yang tak kelihatan itu meluncur ke arah si nona baju biru dan baju merah. Tahu-tahu kedua nona itu merasakan dadanya empek dan terpaksa mundur dua langkah.

Dan habis me lancarkan pukulan, Pek Co-gi pun segera loncat ke udara dan melayang ke pintu besi. Secepat kaki hendak menginjak tanah, ia sudah lepaskan pukulan Bu- ing- sin-kun lagi ke arah delapan gadis baju putih yang bersenjata golok bian-to….

Siong Hong dan Siong Gwatpun loncat bangun. Yang satu menggendong Kat Wi, yang satu me manggul Kat Hong. Setelah menyusupkan buntalan kain yang berisi ilmu pelajaran silat dari ro mbongan orang gagah yang berada dalam ruang itu, mereka segera berlari me nuju ke pintu.

Begitu melihat Sin C iong tojin bergerak, se mangat Hian- song pun menyala. Cepat-cepat ia loncat bangun. Tetapi ia  lupa kalau masih menceka l pergelangan tangan Siu-la m. Tanpa disadari karena loncat bangun itu, Hian-song menggunakan tenaga besar sehingga Siu-la m peringisan setengah mati. Napas pemuda itu terengah-engah menahan sakit.

Sesaat kemudian barulah dara itu menyadari. Buru-buru ia lepaskan cekalannya.

Saat itu si wanita berkerudung baru tiba di ujung ruang dan belum se mpat me langkah masuk ke dalam pintu rahasia. Ia agak terkejut melihat perubahan mendadak itu. Cepat berpaling, tertawa dingin lalu la mbaikan tangan kiri me mberi isyarat Bwe Hong-swat membantu kedua sucinya. Dia sendiri menekan ke atas tembo k dan seketika terbukalah sebuah pintu. Cepat-cepat ia masuk ke  dala m.  Jelas bahwa  ia  tak me mandang mata sama sekali akan menga muknya ketua Bu- tong-pay dan beberapa kawannya itu.

Saat itu si nona baju biru dan baju merah sudah bertempur dengan barisan Ngo- heng-tin dari anak mur id Bu-tong-pay.

Ngo-heng-tin dari Bu-tong-pay dan Lo-han-tin dari Siau-lim- si merupakan dua buah barisan sakti yang termasyhur. Betapapun sakti kedua nona itu, namun dalam waktu yang singkat mereka sukar juga me mbobo lkan barisan Ngo-heng-tin itu. Apalagi anak murid Bu-tong-pay tak bersungguh-sungguh bertempur. Sambil bertempur mereka mundur. Tujuannya hanya mencegah kedua nona itu menghalang ketua Bu-tong- pay melo loskan diri.

Sedangkan Sin Ciong tojin saat itupun sudah berte mpur  me lawan kedelapan nona baju putih. Bu- ing-sin- kun Pek Co- gie, Siong Hong dan Siong Gwat tak ikut turun, mela inkan pejamkan mata me mulangkan se mangat.

Begitu melihat anak murid Bu-tong-pay bergerak dengan teratur mendekati pintu, Sin Ciong tojin bersuit nyaring. Pedang diputar laksana kilat menya mbar-nyambar. Ketua Bu- tong-pay yang sakti itu, akhirnya dapat me mbuat kedelapan gadis menjadi kelabakan.

Saat itu Pek Co-gi pun me mbuka mata dan dari jauh ia lepaskan dua buah pukulan Bu-ing-s in-kun. Segera terdengar lengking tertahan dan dua orang gadis baja putih serentak muntah darah terus terkapar di tanah.

Melihat pukulannya berhasil, Pek Co-gi  menggerung dan me lepaskan dua buah pukulan tanpa bayangan lagi.

Setelah kehilangan dua orang kawannya, keenam kawanan gadis baju putih itu pecah nyalinya. Begitu melihat Pek Co-gi gerakkan tangannya mereka buru-buru loncat menghindar.

Menggunakan kese mpatan keenam gadis itu berloncatan menghindar, Sin Ciong tojin gunakan jurus Sing gwat-to-kwa (bintang dan bulan berjungkir balik), me mbuka sebuah jalan. Melihat itu Siong Hong dan Siong Gwat segera  loncat mengikut i di belakang ketua Bu-tong-pay.

Pek Co-gi lepaskan enam pukulan kepada keenam gadis baju putih lagi. Keenam gadis baju putih itu walaupun sakti tetapi kurang pengala man. Karena sedang me layani a mukan pedang ketua Bu-tong-pay, mereka lengah menjaga pukulan tanpa bayangan dari Pek Co-gi. Baru setelah merasa dadanya ampek, mereka terkejut dan buru-buru hendak me nghindar tapi sudah kasip.

Jantung mereka serasa bergoncang keras dan sere mpak terhuyung-huyunglah mereka ke belakang. Tetapi dua orang yang terkena agak parah, terus jatuh ke tanah. Dia m-dia m Bwe Hong-swat girang karena melihat Sin Ciong tojin berhasil lolos dari pintu Sen-si-bun. Si nona baju merah dan biru mas ih terpancang oleh rintangan barisan Ngo-heng- tin yang kokoh. Tetapi kuatir akan menimbulkan kecurigaan kedua sucinya, Bwe Hong-swat pun loncat menyerang dengan senjata giok-ci. Begitu ia turun gelanggang, barisan Ngo-heng- tin itu pun segera menderita tekanan keras. Tampaknya ma kin la ma mereka ma kin tidak kuat lagi bertahan.

Melihat itu Siu-la m segera me mbisiki Hian-song, “Sumoay. lekas kau bantu Sin C iong tojin me mbuka jalan. Aku hendak me mbantu anak mur id Bu-tong-pay yang merintangi musuh di belakang itu!”

Hian-song cepat loncat ke udara. Ia mela mpaui  kepala Siong Hong dan Siong Gwat lalu me layang turun di belakang Sin Ciong tojin, “Harap totiang beristirahat, biar aku yang menghajar mere ka!”

Me mang setelah banyak mengeluarkan tenaga Sin Ciong rasakan racun dalam tubuhnya tentu akan bekerja. Jika tidak lekas-lekas beristirahat menekan racun itu, ia tentu roboh. Maka ia lancarkan dua buah serangan untuk mengundurkan lawan la lu cepat-cepat loncat mundur.

Sebenarnya Sin Ciong tojin sudah mencapai pintu Seng-si- bun. Tetapi di situ ia harus berhadapan dengan barisan Beng- gak yang terdiri dari dua belas orang aneh. Tiga kali sudah ketua Bu-tong-pay itu mencoba untuk menerjang tetapi tiga kali itu juga ia terpaksa menderita kegagalan!

Sejenak Hian-song menendang ke arah kedua belas orang aneh itu. Mereka berpakaian serba aneh dan mukanya dicoreng tak keruan. Walaupun tahu bahwa mereka hanya manus ia, tetapi karena wajahnya begitu menyeramkan, tak urung si dara ngeri  juga.  Ia  berpaling  kepala  tak  berani  me lihatnya. Pedang diputar lalu sambil melengos, ia menyerang dua orang aneh. Sekalipun tanpa melihat tetapi tusukannya tepat sekali. Yang menjadi sasaran adalah bagian jalan darah berbahaya. Kedua orang aneh yang ternyata pemimpin barisan, dipaksa harus mundur selangkah.

Tusukannya berhasil, nyali, Hian-song mulai menge mbang cepat ia putar pedangnya makin  cepat dan dalam waktu sekejap mata saja sudah lancarkan delapan buah serangan.

Ia sendiri tak menyadari bahwa kedelapan serangannya itu merupakan jurus-jurus yang luar biasa ganasnya. Kedua belas orang aneh, menjadi kelabakan setengah mati. Mata rantai hubungan barisan, menjadi kacau balau.

Sambil menyalurkan penyaluran darah, dia m-dia m Sin Ciong tojin me mperhatikan ilmu pedang si dara. Ia terkejut heran karena sela ma itu tak pernah ia me lihat semaca m ilmu pedang sedemikian anehnya!

Jika  saja  ia  belum  terkena  racun,  tentulah  ia   dapat me mpe lajari ilmu pedang dara itu. sudah berpuluh-puluh tahun ia me mbena m diri dalam ilmu  pedang  ma ka  setiap me lihat ilmu pedang yang belum pernah dilihatnya tentu diperhatikan dengan seksama. Sayang selama ini ia belum pernah mene mui lawan yang lebih unggul ilmu pedangnya. Oleh karena itu, ia belum mendapat tambahan ilmu pedang yang baru.

Sejak matanya terluka oleh si wanita bersenjata Chit- jiau- soh, dewa pedang Siau Yau-cu tak pulang ke Bu-tong-san lagi. Sin Ciong tojin tak henti-hentinya mencar i berita tentang angkatan tua dari Bu-tong-pay dari itu untuk me mintanya pulang. Dengan pulangnya jago tua itu,  dapatlah  Sin  Ciong me mperdala m ilmu pedangnya lebih jauh. Dengan begitu ilmu pedang Bu-tong-pay tentu akan lebih tinggi mutunya.

Tetapi ketika Siau Yau-cu pulang, tepat pada saat itu Beng- gak telah menyebarkan jarum Chit-jiau-soh untuk mengundang sekalian orang ke Beng-gak. Dengan begitu Sin Ciong tak se mpat untuk me minta pelajaran pada jago tua itu.

Ilmu  pedang  yang  dimainkan  Hian-song   benar-benar me mikat perhatian ketua Bu-tong-pay. Hanya sayang saat itu dia sudah terkena racun. Dengan menghela napas ia me mentil batang pedangnya…

Tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara orang tertahan dan berkiblatnya sinar merah. Ketika me mandang dengan seksama ternyata saat itu Hian-song berlepotan darah pakaiannya. Ternyata dia menga muk dengan hebat. Empat orang aneh telah diganyangnya!

Saking kagum dan terpesona menyaksikan ilmu pedang Hian-song, Pek Co-gi, Kat Hui, Kat Hong, Siong Hong  dan Siong Gwat sesaat lupa bahwa mere ka masih berada dalam sarang macan.

Kembali Hian-song taburkan pedangnya dan kemba li dua orang aneh telah rubuh mandi darah. Barisan orang aneh itu benar-benar tak berdaya menghadapi per mainan pedang si dara yang luar biasa.

Kalau di sini Hian-song menga muk, di sanapun Siu-la m juga unjuk kegagahan. Dia dapat menahan ketiga nona murid Beng-gak yang sakti.

Dengan terjunnya Bwe Hong-swat dalam gelanggang, barisan Ngo-heng-tin dari Bu-tong-pay menjadi kalang kabut. Untung pada saat itu Siu-la m cepat datang me mbantu. Dalam tiga kali serangan saja, barisan Ngo-heng-tin sudah kembali tenang lagi.

Si nona baju merah tertawa mengikik, “Bagus, kiranya kaupun juga pandai berpura-pura mati!” Sa mbil berkata ia lancarkan dua buah serangan. Tetapi dengan gunakan jurus Tou-coan-cee-ih atau bintang pindah te mpat, Siu-la m berhasil me matahkan serangan itu. Ke mudian dengan jurus Pi-peh biat-poh (menyanggul harpa), ia balas menusuk tiga buah jalan darah di tubuh nona baju biru.

Tring, tring, tring, nona baju biru itupun segera mainkan senjatanya tanduk rusa dalam jurus Thiat-chiu-gin-hoa (pohon besi bunga perak). Dua buah senjata saling beradu….

Melihat Siu-la m mencapai ke majuan yang  begitu  pesat, dia m-dia m Bwe Hong-swat ge mbira sekali. Na mun wajahnya terap dingin-dingin saja. Terpaksa iapun menyerang dari samping dengan jurus Ho-liong-tia m-ceng atau melukis naga menitik mata.

Dia m-dia m Siu- lam menimang. Jika  ia tak melayani serangan nona itu, tentu akan menimbulkan kecurigaan si nona baju merah dan biru. Maka terpaksa ia gunakan jurus Tiau-hoat-la m-hay untuk menangkis dan balas menyerang. Bwe Hong-swatpun cepat-cepat menangkis dan balas menyerang.

Tiba tiba terdengar si nona baju merah tertawa menyindir, “Huh, benar-benar seorang le laki yang berhati buta. Masakan terhadap sam- moay, kaupun menyerang begitu ganas….”

Tiga buah kiblatan pedang yang dimainkan Siu-la m telah berhasil me maksa si nona baju merah itu mundur selangkah. Sementara serangan si nona baju biru dan Bwe Hong-swat dapat dibendung oleh barisan Ngo-heng-tin. Barisan yang penuh dengan perubahan aneh itu, dapat melindungi Siu-la m dari serangan kedua nona.

Tiba-tiba terdengar erang tertahan. Seorang anggota barisan Ngo-heng-tin dipentalkan pedangnya oleh Bwe Hong- swat. Seperti kilat si nona baju biru nyelonong dari samping. Sekali menabas, mur id Bu-tong pay itu terbelah badannya. Dengan hilangnya seorang anggota, barisan Ngo-heng-tin mulai kacau.

Si nona baju biru terus merangsek maju. Senjatanya yang berbentuk seperti tanduk rusa, berkelebat kian kemari me masuki barisan. Dengan begitu barisan Ngo-heng-tin ma kin kacau.

Siu-la m masih sempat me mperhatikan bahwa ima m- ima m anak mur id Bu-tong-pay itu sudah mandi keringat. Gerak permainannyapun mulai kaku. Jelas racun dalam  tubuh mereka sudah mulai bekerja. Sekalipun tak diterjang ketiga nona, merekapun tentu akan rubuh sendiri.

Dia m-dia m Siu-la m menghela napas. Ia menyadari bahwa adanya Hian-song dan ia tak merasa menderita keracunan, tentulah karena pertolongan dua butir pil pe mberian Bwe Hong-swat. Tak tahu ia bagaimana kelak ia dapat me mba las budi nona baju putih itu….

“Engkoh La m, lekas mundur!” tiba-tiba ia dikejutkan oleh teriakan Hian-song.

Tetapi saat itu si nona baju merah ma lah me ndesak dengan seru seraya tertawa melengking.

“Sa m-sumoay, perlu apa menyayangi seorang kekasih yang tak berbudi? Sa m-sumoay, ayo bunuhlah dia agar penasaranmu hilang!”

Dengan mengge mbor keras, Siu-la m tiba-tiba rubah permainan pedangnya. Dia gunakan jurus J iau-toh-co-hoa untuk sekaligus menyerang ketiga nona pengeroyoknya.

Jurus itu merupakan ilmu pedang yang luar biasa hebatnya dan perubahan-perubahan yang aneh. Sekalipun  hanya sebuah jurus dan diserangkan ke arah tiga musuh, tetapi cukuplah hal itu me ma ksa ketiga nona itu mundur.

“To-heng bere mpat lekas mundur!” Siu-la m segera menar ik pulang pedang, loncat ke pintu Seng-Si- bun. Tetapi ketika ia berpaling ternyata keempat murid Bu-tong-pay tadi sudah rubuh terkapar. Dan sekali kedua nona baju merah dan biru ayunkan senjatanya, keempat mur id Bu-tong-pay itupun terbelah menjadi dua. Racun dalam tubuh mereka sudah bekerja. Ketika Siu- lam menyertakan supaya mereka mundur sebenarnya  kee mpat mur id Bu-tong-pay itu sudah tak kuat. Maka begitu  ketiga nona itu menyerang, merekapun segera jatuh.

Saat itu Hian-song sudah dapat menguasai musuh. Barisan orang aneh sudah separoh lebih yang dibasminya.

Sesungguhnya  Sin  C iong  a mat   berduka   sekali   atas ke matian anak murid   Bu-tong-pay.  Tetapi  sebelumnya  ia me mang telah me mbayangkan peristiwa itu. Maka dengan keraskan hati ia segera menyerbu. Kedua jago Ceng-sia-pay yakni Siong Hong dan Siong Gwat serta jago Tibet Pek Co-gi karena menginsyafi bahwa racun dalam tubuh mere ka tentu segera bekerja, maka merekapun bergegas-gegas  mengikuti Sin Ciong tojin untuk menerjang keluar dari pintu Seng-s i-bun.

Dalam menghadapi ketiga orang mur id Beng-gak yang sakti itu, Siu-la m bertempur dengan gigih sekali. Setiap kali ia terancam, buru-buru ia mengeluarkan jurus aneh dari ilmu Jiau-toh-co-hoa. Setiap kali jurus peninggalan kakek Hian-song itu digunakan, ketiga nona itu tentu terdesak mundur.

Sementara dari jarak jauh, Bu-ing-s in-kun Pek Co-gi lepaskan pukulan untuk me mbantu Siu-la m. Dengan begitu ketiga nona murid Beng-gak itu tak berdaya untuk mengejar Siong Hong dan Siong Gwat yang menggendong kedua anak muda Kat Wi dan Kat Hong.

Hian-song makin bersemangat untuk me mbuka jalan darah. Dia tak menyadari bahwa ilmu pedangnya sebenarnya sudah tergolong tingkat tinggi. Bermula karena  kurang pengalaman, ia masih agak kikuk. Tetapi makin la ma nyalinya ma kin besar dan permainannyapun makin tangkas sekali.  Jurus yang dimainkan pun makin ganas. Barisan orang aneh yang  tangguh itu tak kuasa untuk menahan a mukan si dara. Setiap kali pedangnya berkelebat, tentu salah seorang aneh itu terbelah. Akhirnya berhasillah ia me mbo bolkan  penjagaan pintu Seng-si-bun itu. Sin Ciong tetap mengikuti di belakang si dara. Dia m-dia m ia kerahkan tenaga untuk setiap waktu turun tangan me mbantunya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar