Wanita iblis Jilid 10

Jilid 10

JAGO tua itu tak melanjutkan bicaranya dan tiba-tiba loncat me mbur u ke muka. Thian Hong totiang dan Lo Kun pun segera menyusulnya. Sebenarnya kedua orang itu  masih belum percaya penuh atas kesaktian Siu-la m.

“Tak perlu to-heng kuatir,” bisik Lo Kun kepada Thian Hong totiang, “walaupun kepandaian budak she Pui masih kurang, tetapi dara itu sakti sekali. Apalagi masih ada It-pit-hoat-thian Kat Thian-beng yang menyertai. Kemungkinan besar tentu dapat menerobos penjagaan mereka!”

Ketika tiba di muka batu tempat kedua paderi bersembunyi, Siu-la m berseru nyaring, “Harap siansu berdua menjaga hati- hati, aku hendak melalui penjagaan di sini!”

Seruan itu dimaksud untuk me mancing supaya kedua paderi keluar dari persembunyiannya. Tetapi ternyata perhitungannya meleset. Kedua paderi itu ter masuk golongan ko-ceng (paderi yang berilmu tinggi) dari Siau-lim-s i. Mereka me miliki ilmu kepandaian silat dan kecerdasan yang tinggi. Mereka tak mengacuhkan seruan Siu- la m.

Begitu tiba di sa mping Siu-la m terus saja Hian-song tertawa, “Biar kubukakan jalan untukmu, suheng!” tahu-tahu secepat kilat dara itu sudah me lesat ke muka.

“Sumoay, jangan gegabah!” Siu-la m terkejut tetapi tak keburu mencegah lagi. Terpaksa ia mengejar ke muka.

Dari balik batu terdengar suara Omitohud dan sere mpak dengan itu berhamburanlah gelombang angin tamparan yang kuat. Paderi Siau-lim-si pada umumnya paderi yang menjunjung budi welas asih. Walaupun pukulan mere ka a mat dahsyat tetapi tidak langsung ditujukan pada orang, mela inkan hanya untuk mencegah agar orang jangan dapat menerobos maju. Tetapi mereka salah menila i Hian-song. Sejak jalan darah bagian Seng-si-hian- kwan sudah terbuka dara itu seolah-olah berganti tubuh baru. Sayang dia masih kurang pengala man menghadapi lawan. Melihat lawan menghanta mnya dengan dahsyat,  dara  itu  tak mau  adu  kekerasan.  Cepat  ia  menge mpos se mangatnya dan sekali enjot sang kaki, tubuhnya mela mbung sa mpai dua to mbak tingginya. Di atas udara, dara itu bergeliatan membuat gerakan salto (jungkir balik) dan tahu-tahu ia melintang turun kira-kira dua tombak jauhnya dari batu besar!

Ilmu gin- kang yang dipertunjukkan si dara itu benar-benar me mpesonakan sekalian orang. Bahkan seorang tokoh sakti seperti Kat Thian-beng pun dia m-dia m merasa kagum.

Pada saat Hian-song dapat mela mpaui penjagaan, Siu-la m pun sudah tiba. Ke mbali terdengar suara orang melantangkan O-mi-to-hud dan pada lain saat muncullah sebatang tongkat besi yang berputar-putar seperti hujan mencurah menghadang jalan!

Siu-la m mulai menduga akan hal itu. Cepat ia mencabut pedang. Dengan jurus Ing-hun-hong-ji atau Menyambut awan menyongsong matanya, ia menusuk lingkaran sinar tongkat….

Tringgg….!

Terdengar dering melengking nyaring. Lingkaran sinar tongkat itu tersiak dan lenyap. Sebagai gantinya tampaklah sebuah ujung pedang menekan  di atas sebatang tongkat besi….

Bagi Siu-la m me mang t iada pilihan lagi. Jalanan di sebelah muka makin se mpit. Separuh bagian tertutup oleh karang besar dan yang separoh terhadang oleh lingkaran sinar tongkat si paderi. Sedang di kedua samping jalanan itu, terbentang dua buah jurang yang curam. Kecuali me miliki kepandaian ginkang hebat yang dapat melampaui batu karang itu, jalan lain hanya harus menerobos lingkaran tongkat. Karena Siu-la m tak dapat mengikuti jejak Hian-song, terpaksa ia mene mbus lingkaran sinar tongkat.

Tetapi lingkaran sinar tongkat itu hebat sekali. Bermula Siu- lam meragukan apakah dia ma mpu menerobosnya.  Tiba-tiba ia teringat akan jurus In-huan-hong-jit ajaran kakek Hian- song. Segera ia kerahkan seluruh tenaga dalam ke ujung pedang!

Walaupun jurus Ing-hun-hong-jit itu merupakan jurus yang khusus untuk me mbuyarkan serangan dahsyat, tetapi mengandung bahaya juga. Sekali tutukannya  meleset,  dia akan kehilangan keseimbangan tubuh dank arena seluruh tenaga sudah tercurah ke ujung pedang, maka mudahlah bagi musuh untuk me mbunuhnya!

Dalam keadaan seperti saat itu, Siu-la m me mberanikan diri untuk menga mbil resiko. Dan ternyata ia berhasil. Setelah berhasil  ia  maju  ke  muka.  Pada  saat  ia  hampir   berhasil me lewati batu karang itu, sekonyong-konyong terdengar suara bentakan keras.

“Ho, kiranya sicu me miliki kepandaian hebat maka  tak heran kalau berani buka suara besar!” suara itu ditutup dengan munculnya seorang paderi yang melintangkan tongkatnya di depan Siu-lam. Rupanya yang menghadang jalan kali ini paderi yang kedua. Sedang paderi yang pertama setelah menarik tongkatnya, segera melenyapkan diri di balik batu.

Dia m-dia m Siu- lam me mbanding bahwa paderi-paderi gereja Siau-lim-si itu benar-benar tak boleh dipandang ringan.

Dalam pada itu Kat Thian-beng bersama kedua puteranya pun tiba di tepi karang besar itu. Sesaat timbullah pikiran Kat Wie dan Kat Hong. Konon didengarnya ilmu silat dari Siau-lim- si hebat sekali, maka kedua anak muda itu ingin mencari pengalaman. “Yah, izinkan aku maju untuk mewakili saudara Pui,” bisik mereka.

Kat Thian-beng me lir ik kepada puteranya dan mendengus, “Penjaga-penjaga di belakang gunung ini adalah paderi-paderi berilmu dari gereja Siau- lim. Sedang  aku sendiri  pun  tidak me mpunyai keyakinan menang, apalagi kau!”

Dalam pada itu Siu-la m ternyata sudah bertempur dengan paderi  yang  kedua.  Paderi  ini  rupanya  lebih  hebat  lagi. Me miliki tenaga dalam yang hebat, gerakan tongkatnya menimbulkan deru angin yang dahsyat.

Dia m-dia m Siu- lam me mbenarkan anggapan dunia persilatan bahwa Siau- lim-s i layak diangkat sebagai pe mimpin dunia persilatan. Jika ia tak mendapat pelajaran dari kakek si dara, tentu dari tadi ia sudah kalah.

Siu-la m tumpahkan seluruh perhatian menghadapi serangan si paderi. Setelah lintangkan pedang menutup jalan sempit di sa mping batu karang secepat kilat ia loncat mundur.

Paderi itu tak mau me mber i kese mpatan. Ia mengejar. Tongkatnya dibolang- balingkan kian ke mari sehingga menimbulkan da mparan angin yang dahsyat.

Kegarangan paderi itu me mbuat kedua kakak beradik Kat Wi Kat Hong terperanjat. Bahkan si Golok Sakti Lo Kun dan paderi Thian Hong pun dia m-dia m merasa kagum. Baru paderi yang belum masuk deretan pimpinan  gereja saja sudah sedemikian hebat, apalagi pucuk pimpinannya.

Kat Thian-beng mencabut bun-jing-pitnya. Ia siap bertindak apabila  terjadi  sesuatu.  Juga  si  dara   Hian-song   tampak ke mbali mengha mpiri ke te mpat perte mpuran lagi. Sekonyong-konyong seorang paderi melesat keluar dari balik batu karang dan menghadang Hian-song.

“Nona sudah berhasil melintasi pos penjagaan di sini. Kamipun tidak mau me lakukan pengejaran. Tetapi apabila nona kemba li hendak ikut me mbantu kawan nona, terpaksa kami pun tak mau me megang janji…!” seru paderi itu.

Baru paderi itu mengucapkan begitu, tiba-tiba terdengar Siu-la m mengge mbor keras. Pedangnya berhamburan laksana beribu bintang menabur di langit. Kini ia balas menyerang….

Sebenarnya sewaktu dige mpur serangan tongkat si paderi, Siu-la m terus main mundur. Dia bingung untuk menghadapi serangan kilat itu. Tak tahu ia jurus ilmu pedang ajaran si kakek yang mana yang harus dikeluarkan. Justeru karena bingung, pikirannya ma kin kalut dan per mainan pedangnya pun ma kin kacau. Di dalam detik-detik ha mpir mender ita kekalahan itu, tiba-tiba ia teringat akan sebuah jurus dari si kakek yang disebut Thian-ho-to-kwa atau Bintang Bima Sakti. Jurus itu terdiri dari tujuh buah rangkaian gerak yang dapat digunakan untuk menyerang maupun bertahan. Diiringi oleh gemboran keras segera loncat maju dan ma inkan jurus Thian- ho-to-kwa itu….

Sebenarnya ilmu pedang itu berasal dari ilmu pedang partay Bu-tong-pay. Tujuh  rangkaian gerak pedang itu digabung menjadi satu jurus. Hebatnya bukan  kepalang. Dalam beberapa kejap, paderi itu berbalik terdesak….

Kat Thian-beng terkesiap, sebenarnya ia sudah hampir loncat me mbantu pe muda itu. Hampir ia tak percaya bahwa pemuda itu begitu mudah dikalahkan oleh paderi Siauw- lim-s i. Bahkan saat itu timbullah  suatu keraguan dalam hatinya. Apakah kekalahan yang diderita dari Siu-la m itu bukan karena secara kebetulan saja? Buktinya sekarang pemuda itu tak berdaya sama sekali menghadapi serangan si paderi.

“Ah, betapapun halnya, dia pernah menolong puteraku. Aku harus me mbalas budi,” akhirnya ia me mutuskan.

Tepat pada saat ia  hendak ayunkan tubuh me mbantu Siu- la m, sekonyong-konyong pemuda itu mengge mbor dan lancarkan serangan balasan yang mengagumkan. Dan dengan jurus Thian-ho-to-kwa itu, Siu-la m dapat me maksa si paderi mundur e mpat lima langkah….

Hian-song hentikan langkah. Kat Thian-beng tertegun dan paderi yang mencegat Hian-song itupun kesima. Jelas jurus yang dimainkan pe muda itu adalah ilmu pedang Bu-tong-pay. Adakah pemuda itu anak murid Bu-tong-pay? De mikian paderi itu bertanya-tanya dalam hati….

Belum  se mpat  paderi  yang   diundurkan   Siu-la m   itu me mperbaiki posisinya, Siu-la m sudah menyusului me nusuk siku lengan kanan si paderi lagi.

Kali ini Siu-la m gunakan jurus Cu-si-jan-wan atau Jaring lebah-lebah menjerat lengan. Sebuah ilmu pedang dari partay Hoa-san-pay….

Tiga kali paderi itu berusaha untuk menghindari anca man ujung pedang Siu-la m, tetapi tak  berhasil. Terpaksa ia berputar tubuh loncat ke belakang sa mpai beberapa langkah!

Tetapi Siu- lam benar-benar tak me mberi a mpun. Menerjang maju ia lancarkan jurus yang ketiga, ujung pedang diayunkan ke dada si paderi, diputar-putar melingkar baru ditusukkan ke dada.

Kali ini Siu- lam berganti dengan ilmu pedang baru yakni jurus Jay-hun-hui-hong (Mega gemilang bianglala me layang) dari ilmu pedang partay Kun- lun-pay! Lingkaran pedangya itu menerbitkan tiga kuntum sinar pedang yang sukar dibedakan dan diduga lawan….

Si paderi menangkis dengan tongkatnya. Siu-lam tertawa dingin. Pedangnya mendadak bergeliat menyusup dari sela tongkat yang kosong terus menusuk pecah jubah si paderi di bagian pundak….

Menyaksikan Siu-la m dapat menggunakan ilmu pedang dari Bu-tong-pay, Hoa-san-pay dan Kun-lun-pay sekaligus dalam sebuah serangan bukan me lainkan  ro mbongannya yang kesima, pun paderi lawannya mau tak mau harus menga kui kekalahannya.  Paderi  itu  buang  tongkatnya  dan   sambil me mber i salam ia menyisih ke sa mping, serunya, “Sicu hebat sekali. Silahkan sicu naik!”

Siu-la m menyimpan pedang, serunya dengan merendah, “Ah, para  paderi  Siau-lim  me ma ng  patut  dihor mat i!”  ia me mber i hor mat la lu melangkah ke muka. Kat Thian-beng, paderi Thian Hong dan Lo Kun pun segera mengikut i.

“Ah, sungguh mengagumkan sekali bahwa sela ma ini saudara tak mau menonjo lkan diri,” akhirnya Lo Kun me muji.

Siu-la m menjawab dengan berkata rendah.

“Me mang sungguh,” kata paderi Thian Hong, “jika pertempuran tadi dilanjutkan, dalam lima jurus lagi, paderi Siau-lim tadi itu tentu tak dapat bertahan….”

Mendengar orang sa ma me muji Siu-la m, dia m-dia m Hiang- song girang, serunya, “Ah, mungkin tak sa mpa i lima jurus!”

Kat  Thian-beng  tertawa,  “Selama   berpuluh   tahun menge mbara di dunia persilatan, rasanya Pui-henglah  jago silat paling  luar biasa yang pernah kujumpai.  Jurus-jurus permainan pedang Pui- heng tadi sekaligus me liput i ilmu pedang sakti dari partai Bu-tong-pay, Kun-lun-pay dan Hoa- san-pay. Tiga partai persilatan yang termasyhur dalam ilmu pedang….”

“Suheng,” tiba-tiba Hian-song menyeletuk, “setelah kedua paderi tadi, apakah yang bakal kita hadapi lagi?”

Siu-la m me ma ndang ke atas puncak. Jaraknya masih lumayan jauhnya. Ia tertawa, “Rasanya tentu masih ada lagi!”

Siu-la m tahu bahwa kepandaian dara itu lebih tinggi dari dia. Maka  iapun mengiakan, “Baiklah, nanti kau yang menyelesaikan….” Baru ia berkata begitu, sekonyong-konyong terdengar suara orang menyebut O-mi-to-hud dan diantar oleh tiupan angin, dari atas sebatang pohon siong besar, meluncur turun dua orang paderi berjubah putih. Kedua paderi itu menghadang di tengah jalan. Mereka bertubuh tinggi besar. Jika tak me miliki gin-kang tinggi, tak mungkin mereka dapat me layang turun indah sekali.

Cepat Hian-song melesat maju ke sa mping kedua  paderi  itu. Paderi itu yang seorang mencekal tongkat dan yang seorang me megang golok kwat-to.

“Apakah kalian hendak menghadang perjalanan ka mi?” tegur Hian-song secara langsung.

Karena terkesiap menerima pertanyaan begitu,  kedua paderi itu hanya dapat menganggukkan kepala.

“Kalau  begitu,  kita   harus  bertempur!”  Hian-song  tak me mber i kesempatan kedua paderi bicara.

Paderi di sebelah kiri yang menceka l tongkat, lintangkan tongkat, menyahut, “Ka mi hanya menerima perintah….”

Tiba-tiba Hian-song mengayunkan tangannya mena mpar, “Tak usah banyak ini itu. Kalau mau bertempur lebih baik segera mulai saja!” si dara menutup kata-katanya dengan gerak mena mpar.

Kedua paderi itu gugup menghadapi seorang yang lincah bicara lincah menyerang. Sekaligus  dara itu menyerang dengan kedua tangannya. Serangannya tepat mengarah jalan darah berbahaya. Ancaman itu me mbuat kedua paderi terpaksa menyurut mundur….

Tetapi rupanya si dara tak ingin me mberi kelonggaran lagi.

Ia maju dan me nyerang keras kedua paderi itu.

Baik Kat Thian-beng ma upun paderi Thian Hong menganggap dara itu terlalu kasar. Masakan mengatakan menyerang terus saja menyerang sungguh. Diam-dia m Kat Thian-beng berjaga-jaga untuk me mberi bantuan apabila dara itu sampai terancam bahaya. Mereka belum kenal Hian-song. Diperkirakan begitu kedua paderi itu balas menyerang, Hian- song tentu akan kelabakan.

Tetapi apa yang mereka saksikan benar-benar me mbuat mereka tercengang heran. Hian-song menyerang ma kin gencar. Menutuk jalan darah, dan memukul dan mena mpar dengan gerak yang dahsyat. Kedua paderi itu benar-benar kewalahan. Sampai mere ka tak se mpat lagi melancarkan serangan balasan. Senjata yang dibawanyapun tidak bisa digunakan lagi….

Kat Thian-beng dan pendeta Thian Hong terkesiap kaget. Mereka tak menyangka bahwa si dara ternyata lihai sekali. Jurus-jurus yang dimainkan sukar diduga. Setiap kali tentu mendahuluinya menindas gerak-gerik kedua paderi yang hendak balas menyerang. Kedua paderi sudah ta mpak kepayahan. Kebalikannya, makin la ma si dara makin keras dan cepat serangannya. Karena tak berdaya, kedua paderi itu terpaksa loncat mundur sa mpai beberapa belas langkah.

Rupanya mundurnya kedua paderi itu memang hendak mengatur rencana. Apabila Hian-song berani mendesak, kedua paderi itu akan me laksanakan rencana pengerutan. Kalau yang satu diserang, yang lain akan cepat menyerang lawan.

Kedua paderi itu tergolong sebagai mur id kelas tinggi dari ruang Tat-mo-wan gereja Siau-lim-s i. Mereka telah melatih diri dalam ilmu bertempur berantai atau saling bantu me mbantu.

Walaupun me miliki kepandaian sakti, na mun Hian-song masih hijau dalam pengala man. Melihat  kedua paderi itu mundur, sesaat dara itupun tertegun. Tak tahu ia harus menyerang paderi yang mana lebih dulu. Paderi berdiri berpencar, masing- masing terpisah dua tiga meter jauhnya.

Jika Hian-song ragu-ragu, tidak de mikian dengan kedua lawannya. Setelah me mpersiapkan diri untuk bertempur berdua,  maka  majulah  kedua   paderi   itu.   Paderi   yang  me mbawa tongkat segera memutar tongkat dan menyerang dari sebelah kiri. Yang mence kal golok kwat-to pun menyerang dari sebelah kanan. Serangan mereka itu  cepat dan dahsyat.

Siu-la m terkejut dan cepat-cepat mencabut pedangnya. Ia mence maskan keadaan si dara yang tak menggunakan senjata apa-apa. Tetapi sebelum ia bergerak, tiba-tiba terdengar Hian- song melengking dan tahu-tahu tubuhnya mence lat ke udara.

Uh… kedua paderi itu mengeluh kaget ketika serangannya mene mui te mpat kosong. Tetapi sebelum se mpat menar ik pulang senjatanya, Hian-song sudah berjumpa litan di udara dan turun menukik ke bawah sambil taburkan kedua tangannya menyerang kedua paderi.

Kedua paderi itu me mang  lancarkan  serangan  dahsyat. Me mang sudah me mpunyai latihan yang se mpurna dalam hal menyerang serempa k. Dalam masa itu jarang sekali jago silat yang mampu lolos dari serangan serempak dari kedua paderi itu. Bahwa seorang dara ternyata mampu menghindari serangan istimewa itu benar-benar me mbuat sekalian orang terlongong heran. Bahkan kedua paderi itu sendiri segera menyadari bahwa mereka berhadapan dengan seorang dara yang aneh dan me miliki ilmu kesaktian aneh pula.

Kedua paderi Siau-lim itu tak se mpat lagi menilai kepandaian lawan karena saat itu si dara sudah menukik dan menyerang. Terpaksa mereka loncat ke samping, lemparkan senjatanya dan tegak berdiri rangkapkan kedua tangan di dada.

“Hian-song, jangan me lukai orang!” cepat-cepat Siu-la m mencegah. Si dara tertawa. Sekali berjumpalitan, ia buang tubuh ke belakang dan melayang turun seto mbak jauhnya. Indah dan lincah sekali….

Kedua paderi itu mundur selangkah untuk me mberi ja lan…. Dengan dipelopori oleh Siu- lam yang berjalan di sebelah muka, maka ro mbongan Kat Thian-beng dan kawan-kawannya segera meneruskan perjalanan. Sejak saat itu, pandangan mereka terhadap kedua muda- mudi itu berobah seratus delapan puluh derajat. Tak berani lagi mereka me mandang rendah.

Sejak kecil Hian-song me mang dimanja kan oleh kakeknya. Boleh dikata, kepandaian kakeknya telah diberikan kepadanya. Sekali pun ia tidak tahu kepandaiannya termasuk tingkat yang bagaimana, tetapi ia anggap mengalahkan kedua paderi itu, adalah sudah sewajarnya. Maka iapun tak bangga  atas hasil ke menangannya tadi.

Tidak demikian dengan Siu-la m. Dia m-dia m ia terkejut atas kepandaian yang dimilikinya sekarang. Nyatanya menghadapi paderi Siau-lim-si yang termasyhur aliran ilmu silat, dengan mudah ia dapat mengatasi. Kini makin besar rasa kagumnya terhadap kakek dari Hian-song. Jelas kakek itu tentu seorang sakti yang terpendam….

“Ah, baru kali ini aku si orang tua benar-benar kabur pandanganku karena tak dapat melihat diri Pui-heng yang sebenarnya,” tiba-tiba Lo Kun menghela napas.

“Hah, jangankan kau, sedang aku sendiri pun tahu dan tak percaya kalau aku me mpunyai kesaktian begitu hebat,” dia m- diam Siu-la m mengeluh dalam hati. Na mun mulutnya menjawab, “Ah, lo-cianpwe kelewat me muji!”

Lo Kun makin suka pada anak muda yang tak sombong itu. Dalam pada bercakap-cakap itu, mereka sudah tiba di puncak. Ternyata puncak gunung itu tertutup oleh sebuah hutan pohon siong.

Kata Kat Thian-beng, “Gunung Beng-gwat-ciang ini,  sebelah kanan kirinya tertutup oleh hutan siong. Satu-satunya jalanan hanya di sebelah muka. Terpaksa kita harus melintas hutan ini….” Tiba-tiba dari arah hutan terdengar suara nyanyian dan muncullah e mpat orang paderi tinggi besar. Keempat paderi yang mengenakan jubah putih itu segera berjajar menghadang!

Kat Thian-beng pernah me menuhi undangan ketua gereja Siauw-lim-si dan tinggal beberapa hari di gereja itu. Terhadap pakaian seragam dari para paderi, ia agak paha m. Melihat pakaian yang dikenakan kee mpat paderi itu, segeralah ia tahu tingkatan mereka. Ternyata adalah golonga Tiang-lo, paderi yang berkedudukan tinggi dari Siauw-lim-s i. Dia m-dia m Kat Thian-beng ce mas.

Buru-buru ia me mber i hor mat, ujarnya, “Aku yang rendah adalah Kat Thian-beng datang me menuhi undangan Tay Hong siansu untuk menghadir i rapat orang gagah di gunung Thay- san sini. Karena kesengsem menikmati alam pemandangan yang indah, maka sampai tersesat ke belakang gunung ini. Mohon taysu suka me mberi ja lan….”

Keempat paderi yang berumur di sekitar lima puluhan itu berwajah angker. Yang berdiri di ujung kiri me megang sebatang tongkat besi, besar bulat seperti telur itik. Yang berdiri di ujung kanan, mence kal sepasang golok kwat-to yang putih berkilau-kilauan. Sedang dua paderi yang berdiri di tengah-tengah, masing- masing me megang se maca m golok yang kedua pinggiraannya ber mata tajam.

Mendengar kata-kata Kat Thian-beng, keempat paderi itu saling berpandangan. Ke mudian paderi yang berdiri di ujung kiri, berseru, “Karena Kat sicu menerima  undangan  ketua kami, maka sicu adalah tetamu ka mi. Di sebelah muka gunung telah dibangung beberapa pos penyambutan tetamu. Kami mendapat perintah dari ketua bahwa para tetamu tak boleh jalan dari belakang gunung. Maka kami mohon sicu sekalian suka ke mba li dan jalan dari sebelah muka saja.”

Sebenarnya Siu-lam agak jeri melihat sikap kee mpat paderi yang begitu angker. Tetapi mengingat yang menerima undangan itu hanya Kat Thian-beng  seorang,  sekalipun menga mbil jalan muka gunung toh tetap akan  ditolak.  Menurut perhitungannya karena sudah terlanjur naik dari sebelah belakang gunung dan ke mungkinan  pos yang dihadapinya saat itu merupa kan pos rintangan terakhir, Siu- lam me mutus kan untuk menerjang terus!

Siu-la m pun tertawa nyaring, “Siansu berempat me mang hanya menjalankan tugas. Tetapi bagaimana  kalau aku hendak melintasi penjagaan ini. Apakah siansu me ngijinkan?”

Keempat paderi sere mpak me mandang  Siu- la m.  Sesaat ke mudian, paderi bersenjata sepasang golok,  menyahut pelahan, “Jalanan di belakang gunung itu me mpunyai tiga pos penjagaan. Bahwa sicu sekalian sudah dapat melewati dua buah pos di bawah, tentulah sicu me mpunyai kepandaian tinggi. Tetapi kami terpaksa harus me matuhi perintah ketua, me larang siapa pun yang hendak naik dari sini. Jika sicu yakin dapat melintasi pos di sini, kami pun tak dapat mencegah!”

Siu-la m tersenyum, “Terima kasih atas penjelasan siansu. Karena sudah terlanjur melintasi dua buah pos, terpaksa kamipun hendak coba me lintasi pos di sini. Mohon taysu berempat suka ber murah hati!”

Siu-la m mencabut pedang di punggung la lu me langkah perlahan-lahan ke muka.

“Pui-suheng, aku ikut!” tiba-tiba Hian-song berseru perlahan.

Siu-la m tersenyum, sahutnya, “Biarkan aku seorang diri yang mencoba. Jika me mang gagal barulah sumoay yang maju!”

“Ooo, aku jadi cadangan?” Hian-song tertawa. Setelah mengenakan pakaian baru, dara itu tampak makin cantik. Jika tertawa, lesung pipit pada pipinya tampak menggiur kan. Hati Siu-la m berdetak keras tetapi cepat-cepat ia berpaling ke  muka dan lanjutkan langkah. Keempat paderi itu ta mpak pejamkan mata. Sedikitpun tak tampak tanda-tanda mereka akan bertempur.

“Harap siansu bere mpat suka berlaku murah!” ke mba li Siu- lam berseru nyaring.

Keempat paderi itu sedikit rentangkan mata me mandang Siu-la m, serunya, “Silahkan sicu mulai!” Habis berkata mereka pejamkan mata lagi.

Siu-la m maju ke muka, pedang lurus dijulurkan ke muka. Ia salurkan tenaga dalam ke batang pedang. Kira-kira lima enam langkah dari keempat paderi, tiba-tiba ia berhenti.

Sebenarnya keempat paderi itu tak me mandang mata  Siu- la m. Tetapi demi melihat  sikap  dan perbawa Siu-la m mengacungkan pedang la in dari yang lain,  seketika merekapun tegang.

Ketegangan lebih hebat menyerang Kat Thian-beng, paderi Thian Hong, Lo Kun, Kat Wi dan Kat Hong. Mata dan perhatian mereka ditumpahkan seluruhnya ke muka.

Keempat paderi itu tegak laksana gunung karang yang angker. Sikapnya me mbuat orang jeri. Tiba-tiba Siu-la m mengge mbor keras, pedang diputar menjadi setengah lingkaran. Nampaknya perlahan dan biasa gerak putarannya pedang Siu-la m tetapi keempat paderi itu tampak berubah wajahnya. Serempak mereka menjulurkan senjatanya  ke muka.

Ternyata gerakan pedang Siu-la m itu, dari salah sebuah jurus ilmu pedang Bu-tong-pay  yang  disebut  Thay-kek-hui- kia m. Memang ta mpaknya  perlahan saja, tetapi dalam keperlahanannya itu mengandung gerakan perubahan yang sukar diduga.

Kiranya sebagai paderi tingkatan tiang-lo dari gereja Siauw- lim-s i, keempat paderi itu bertemu dengan jago-jago sakti dari partai Bu-tong-pay. Oleh karena itu mereka mendengar juga tentang ilmu pedang Thay-kek-hui-kia m yang sakti dari Bu- tong-pay, seketika hilanglah sikap me mandang rendah kepada pemuda itu.

Di luar dugaan, sehabis ma inkan pedang beberapa saat, Siu-la m tiba-tiba berdiri tegak tak mau menyerang.

“Apakah sicu anak murid  Bu-tong-pay?”  paderi  yang mence kal tongkat besi berseru.

Sahut Siu-la m, “Guruku tak pernah mendir ikan partai apa- apa. Silahkan siansu bere mpat menyerang!”

“Perma inan pedang sicu tadi jelas menggunakan jurus Thay-kek-hui- kiam mengapa sicu tak mengakui sebagai murid Bu-tong-pay? Apakah kau hendak menghina ka mi paderi- paderi tak kenal ilmu pedang?”

Siu-la m menjawab bersungguh-sungguh, “Apa yang kuyakinkan, me mang tidak keruan maca mnya. Tetapi  ilmu silat itu pada dasarnya tentu tak meningga lkan sumber asalnya. Sekalipun gerakan pedangku tadi mir ip dengan ilmu pedang Bu-tong-pay, tetapi bukan menandakan bahwa aku ini mur id Bu-tong-pay!”

Mendengar kata-kata itu, tiba-tiba paderi yang bersenjata tongkat besi sebesar telur itik, segera hambur kan tongkatnya. Tongkat itu berubah menjadi sebuah lingkaran sinar yang mengha mburkan angin menderu-deru. Katanya, “Kami hanya menja lankan perintah. Barang siapa tak me mbawa undangan, dilarang mendaki ke atas. Jika sicu yakin ma mpu menerjang tempat ini, silahkan mencoba!”

Dia m-dia m Siu-la m terkejut me lihat gerak per mainan tongkat si paderi. Tapi karena sudah terlanjur seperti orang naik di panggung macan, terpaksa ia tak dapat mundur lagi.

“Maaf, perintah siansu terpaksa kulaksanakan,” Siu-la m menutup kata-katanya dengan menusukkan pedangnya kepada paderi yang berdiri paling ujung kanan. Dan serempak dengan itu, ia me langkah maju tiga tindak.

Paderi di ujung kanan, cepat gerakkan golok kwat-to untuk menangkis. Siu- lam menar ik pulang pedangnya, paderi itupun juga menarik pulang goloknya la lu tegak berdiri lagi.

Sikap paderi itu me mbingungkan Siu- la m. Mereka tak mau menyerang jika tak diserang. Musuh diam mereka dia m. Musuh bergerak, merekapun bergerak. Jika  tak diserang habis-habisan, sukarlah untuk menerobos penjagaan mereka. Demikian Siu- lam menimang.

Dan mulai ia meneropong letak kekuatan lawan. Ia hanya menyerang mereka berempat secara serempak, barulah dapat dikacau. Dan setelah pertahanan mereka kacau balau, barulah mudah diserang.

Sesudah menetapkan siasat, Siu-la m segera lancarkan sebuah jurus yang disebut Keng-hong-li-wi, atau burung bangau terkejut meningga lkan, biarpun. Ujung pedang diarahkan pada paderi di tengah yang mence kal senjata golok datar (kedua tepinya bermata tajam). Sambil menurutkan  gerak tusukan, Siu- lam maju ke muka.

Kedua paderi yang berdiri di tengah, cepat putar  golok datar mereka. Lingkaran sinar putih menutup tubuh mereka. Tetapi Siu-la m tak mau adu senjata. Tiba-tiba ia mengge mbor keras dan tubuhnya melambung di udara. Secepat kilat ia menyerang paderi yang bersenjata tongkat.

Meskipun Siu-la m telah mendapat ajaran berbagai ilmu pedang dari kakek Hian-song tetapi ilmu lwekangnya belum sempurna hingga tak dapat mengimbangi ke majuan ilmu pedangnya. Memang jika berhadapan dengan jago-jago kelas satu saja, tentu dapat dikaburkan pandangannya dan diserang kelabakan. Tetapi keempat paderi tiang-lo dari Siau- lim-si itu me mpunyai latihan silat selama tiga puluh tahun. Hebatnya bukan kepalang. Sikapnya setenang gunung tetapi gerakannya segesit ular menya mbar.

Dalam gebrak pertama, me mang ta mpaknya keempat tiang-lo itu terdesak oleh per mainan pedang Siu-la m. Tetapi setelah lewat jurus yang ke sepuluh, mulailah keempat paderi itu me mperoleh kepribadian gayanya. Mereka mulai tenang dan tongkatpun mulai berha mburan deras menjadi sebuah dinding tembo k sinar. Betapapun Siu- lam lancarkan serangan- serangan yang hebat, tetapi ia tak maju selangkahpun juga.

Tiba-tiba terdengar paderi yang bersenjata golok kwat-to berseru, “Kata-kata sicu tadi memang benar. Ilmu pedang sicu me mang luas dan beraneka raga m. Dalam sepuluh jurus tadi, sicu telah ma inkan beberapa ilmu pedang sakti dari beberapa partai persilatan. Sayang  tenaga  dalam  sicu  masih  belum me madai sehingga tak ma mpu menge mbangkan ilmu pedang itu sebagaimana must inya….”

Paderi itu menutupi kata-katanya dengan berseru o-mi-to- hud, tiba-tiba ia berseru, “Harap sicu berlaku hati-hati, ka mi hendak balas menyerang!”

Dalam berkata-kata itu si paderipun sudah maju dan hambur kan sepasang golok kwat-to mengge mpur kepala Siu- la m!

Karena seluruh kepandaian sudah ditumpahkan tanpa hasil, mulailah Siu-la m bingung.  Ia  merasa  tak  mungkin  dapat me menangkan mereka. Lebih  baik ia undurkan diri saja. Tetapi  belum  sempat  ia   bergerak,   tiba-tiba   paderi   itu me la mbung ke udara dan menaburkan goloknya.

Berkata Kat Thian-beng kepada kedua puteranya, “Kata- kata paderi itu me mang benar. Seandainya Siu- lam me miliki ilmu lwekang seperti aku, kee mpat paderi itu pasti sudah kalah. Hm, kalau kee mpat tiang- lo itu sa mpai jatuh di tangan seorang pemuda tak terkenal, dunia persilatan pasti gempar. Pertempuran kali ini cukup sudah untuk mengangkat nama anak muda itu.”

Kat Thian-beng menaruh kepercayaan penuh pada Siu-la m. Dia percaya akhirnya pertempuran itu tentu dimenangkan si anak muda soalnya hanya waktu.

Tiba-tiba Golok Sakti Lo Kun menyelutuk, “Kat-heng, mungkin anak itu tak dapat bertahan. Bagaimana kalau kita maju me mbantunya?”

Kat Thian-beng me mandang ke muka. Tampa k paderi yang bersenjata kwat-to itu loncat ke udara lalu me nukik menyerang kepala Siu- la m. Pada hal saat itu Siu-la m sedang menghadapi ketiga paderi lainnya. Ia tidak berdaya menjaga serangan dari atas itu….

Kat Thian-beng terkejut sekali. Jelas pemuda itu terancam bahaya. Cepat-cepat ia hendak bergerak  me mberi pertolongan, tetapi sudah terlambat….

Pada saat sinar golok  berhamburan  menabur  kepala  Siu- la m, tiba-tiba anak muda itu meraung sekeras-kerasnya dan pedang tiba-tiba pecah menjadi ratusan pedang yang berhamburan menyerang ke segenap penjuru….

Kiranya dalam kebingungan menghadapi serangan keempat paderi itu, tiba-tiba Siu-la m teringat akan sebuah jurus Kiau- toh-co-hoa ajaran si kakek dari Hian-song. Cepat ia mainkan jurus itu. Begitu jurus itu dikeluarkan, terkejutlah keempat paderi.

Tring tring tring…! Terdengar dering senjata beradu dan keempat paderi itupun susul mundur ke belakang. Paderi yang menukik dari udara pun tiba-tiba menarik  goloknya  dan mence lat ke belakang.

Kat Thian-beng, paderi Thian Hong dan rombongannya terkesiap kaget. Tak tahu mereka jurus apa yang dima inkan anak muda itu. Yang ia ketahui hanyalah pedang Siu-la m seolah-olah berubah menjadi ratusan ujung pedang yang berhamburan seperti ke mbang api….

Setelah keempat paderi itu mundur, Siu-la m pun menar ik pulang pedangnya. Sesaat suatu hening lelap.

Sekalian orang tak tahu bagaimana Siu- lam gerakkan pedangnya tadi. Saat itu tampak kee mpat paderi berdiri tegak. Dengan kepala menunduk mereka ke mpit senjatanya masing- masing.

Berseru salah seorang paderi, “Sicu me mpunyai ilmu pedang yang hebat. Kini baru kami mendapat pengala man.” Mereka lalu mundur ke sa mping me mbuka sebuah jalan untuk Siu-la m.

Siu-la m tertegun sendiri. Dipandangnya keempat paderi itu satu demi satu. Tampak jubah dari kedua paderi yang bersenjata tongkat berlubang beberapa tempat. Sedang paderi yang mencekal golok kwat-to, selain jubahnya robek, pun lengannya tergurat beberapa luka.

Kat Thian-beng berpaling kepada Lo Kun dan paderi Thian Hong ujarnya, “Baru pertama kali dalam hidupku, kusaksikan adanya ilmu Kiau-toh-co-hoa….”

Siu-la m terkejut berseru, “Apakah lo-cianpwe kenal akan jurus yang kuma inkan tadi?”

Kat Thian-beng gelengkan kepala, “Ilmu pedang Pui-heng luar biasa anehnya, mana aku dapat mengenalnya?”

Siu-la m dia m. Sambil berjalan tak henti-hentinya ia me mikir tentang perubahan-perubahan yang terdapat dalam jurus Kiau-toh-co-hoa tadi. Pada waktu si kakek sakti menurunkan ilmu pedang satu jurus itu kepadanya, meskipun diberi keterangan tentang kegunannya sampai beberapa kali, namun Siu-la m mas ih belum dapat me maha mi. Tadi dalam keadaan terdesak, ia secara sembarangan ma inkan jurus itu. Ah, ia tak ma mpu ma inkan jurus itu sampai selesai. Bahkan bagaimana cara me mulaikan jurus itu, hampir tak dapat ia me ngingatnya lagi.

“Apakah ilmu pedang yang suheng mainkan tadi bukan yang disebut Kiau-toh-co-hoa?” tiba-tiba Hian-song bertanya.

“Benar, apakah sumoay  juga  pernah belajar?” balas Siu-  la m.

Hian-song tertawa, “Rasanya kakek pernah mengajarkan juga. Maka ketika kau bergerak tadi rasanya aku seperti sudah pernah tahu. Tetapi agak lupa. Ih, benar-benar aku seorang tolol!”

“Kalau begitu apabila senggang kita dapat berlatih bersama, tentu bermanfaat,” kata Siu-la m.

Saat itu keempat paderi tadipun sudah melenyapkan diri di dalam hutan. Tampaknya dari luar hutan itu hanya sebuah hutan lebat ternyata dalamnya hanya sejauh lima enam tombak. Begitu keluar dari hutan, tiba-tiba  mereka  melihat dua orang paderi bocah yang umurnya baru antara lima belas- enam belas tahun. Kedua  paderi  kecil  itu  berlari- lari mengha mpiri. Cepat sekali mereka sudah tiba di muka rombongan Siu-la m.

“Berhenti!” bentak Hian-song yang mengira kedua paderi kecil itu tentu akan menghadang jalan.

Kedua paderi kecil menurut kata. Begitu berhenti mereka segera me mberi hor mat, “Kami dapat perintah dari ketua untuk menya mbut kedatangan tuan-tuan sekalian. Harap nona jangan salah paha m!”

Kat Thian-beng maju selangkah, tanyanya, “Di manakah hong-tiang (ketua) sekarang ini?”

“Hong-tiang berada di puncak gunung sedang menyambut tetamu. Marilah kami antarkan ke sana.” Paderi kecil itu me mbawa ro mbongan ta mu ke sebuah kuil. Pintu kuil yang berwarna hitam terpentang lebar. Kedua paderi kecil itu me mpersilahkan ro mbongan tamunya berhenti di muka pintu, sedang mereka masuk melapor pada gurunya. Tetapi  baru  mengisar  langkah,  tiba-tiba  dari  dalam  kuil me lantang sebuah suara, “Loni (seorang paderi menyebut dirinya sendiri) sudah mener ima laporan dari kee mpat tiang-lo bahwa Kat tayhiap dan beberapa ko-jin telah datang. Maafkan loni tak dapat segera menyambut….”

Serempak dengan seruan itu seorang paderi tua yang alisnya putih me langkah keluar perlahan- lahan. Kat Thian- beng pun cepat-cepat menyongsong  me mberi  hor mat, “Kehor matan yang lo-siansu berikan kepadaku supaya menghadiri rapat di gunung ini, sudah tentu kulaksanakan.”

Paderi beralis putih itu menghe la napas perlahan, “Ah, walaupun sudah lima puluh tahun me ngabdi gereja me mbaca kitab, tetapi loni masih tak dapat me mbebaskan diri dari nafsu amarah. Maka loni telah merepotkan sekalian ksatria persilatan!”

Terhadap pemimpin gereja Siau-lim-si yang dipandang sebagai pemimpin dunia persilatan itu Kat Thian-beng menaruh perindahan. Ia mengucapkan kata-kata dan pujian atas langkah yang diambil Siau-lim-si untuk menyelenggarakan rapat itu.

Paderi beralis putih itu mengucapkan kata-kata merendah. Kemudian ia menanyakan lebih jauh tentang pemuda yang dapat melintasi penjagaan kepada kee mpat tiang- lo tadi.

Kat Thian-beng segera perkenalkan Siu-la m kepada paderi itu, setelah Siu-la m perkenalkan na manya, berkatalah paderi beralis putih, “Loni bergelar Tay Hong. Siu-sicu baru berumur dua puluh satuan tahun tetapi sudah me miliki kepandaian yang tinggi. Kelak siu-sicu pasti menjadi bintang ce merlang di dunia persilatan!” Siu-la m tersipu-s ipu menjawab dengan kata-kata merendah. Setelah bercakap-cakap beberapa jenak, kemudian ketua Siau-lim-s i itu me mpers ilahkan rombongan tetamu masuk.

Tetamu yang jumlahnya lebih  dari dua puluh  orang serentak berbangkit ketika  Tay Hong sian-su masuk  di ruangan besar. Diam-dia m Kat Hong dan Kat Wi heran. Ratusan orang yang berkunjung ke gunung, tetapi mengapa yang hadir saat itu hanya dua puluhan orang saja di situ. Dan lima buah meja besar untuk perjamuan yang disiapkan  di ruang tersebut, menandakan bahwa jumlah tetamu yang diundang hadir paling banyak e mpat lima puluh orang saja.

Setelah me mpersilahkan para ta munya duduk, Tay Hong segera me mbuka perja muan. Diperhatikan Siu- lam bahwa para tetamu yang hadir di situ rata-rata berusia lima puluhan tahun. Sinar mata mereka tajam dan pelipisnya menonjo l, pertanda dari tokoh-tokoh yang memiliki ilmu lwekang tinggi. Siu-chiu-kiau-in Su Bo-tun tak tampa k hadir.

Tay Hong siansu mengangkat cawan, mengucap kata-kata sambutan  dan  terima  kasih  kepada   tetamu   yang  telah me menuhi undangannya.

Tiba-tiba dua orang paderi kecil masuk mengantar empat orang tetamu. Begitu berada dalam ruang, keempat  tetamu itu me mandang lekat-lekat ke arah Siu-la m.

Hian-song mengga mit lengan Siu-la m, “Apa suheng masih kenal orang itu?”

Siu-la m mengangguk dan menjawab lirih, “Mereka me mang me musuhi kita, tak perlu dihiraukan….”

Rupanya Tay Hong dapat menangkap kasak-kusuk kedua pemuda itu. Segera ia berpaling kepada kee mpat pendatang itu dan me mpersilahkan duduk. Keempat orang itu bukan la in kedua tokoh Thian- la m-song- gan, Su Bo-tun dan jago tua berjenggot putih Ngo Cong-han.

Thian-la m-so ng-gan dan Ngo Cong-han me mbalas hor mat Tay Hong siansu, tetapi Su Bo-tun si manusia aneh tetap bersikap dingin. Tanpa berkata apa, dia melangkah masuk dan menga mbil te mpat duduk.

Tay Hong siansu tak menghiraukannya. Setelah para tetamu duduk tenang, Siau- lim-s i me mbuka sidang perjamuan.

“Maksud tujuan gereja kami menyelenggarkan pertemuan besar ini, tentulah saudara-saudara sekalian sudah mengetahui. Jarum Chit-jiau-soh yang sudah  lama menghilang, kini muncul di dunia persilatan.”

Ia berhenti sejenak me mandang sekalin tetamu ke mudian me lanjutkan pula, “Berpuluh tahun yang lampau, jarum Chit- jiau-soh pernah muncul di dunia persilatan. Entah berapa banyak kawan-kawan persilatan yang binasa di tangan pemilik jarum itu. Karena keganasannya maka jarum kecil itu dipandang sebagai la mbang ke matian. Barang siapa melihat jarum itu tentu mati. Kala itu loni belum menerima jabatan ketua gereja Siau-lim. Loni mendapat perintah dari ketua gereja supaya bersama delapan orang ko-chiu t ingkat ruang Tat-mo-wan, menyelidiki  jejak pemilik jarum Chit-jiau-soh. Siapa tahu orang itu licin dan misterius sekali.  Sebentar muncul  sebentar  lenyap,  sukar  disergap.  Setengah  tahun la manya loni mengejar jejak tetapi tetap sia-sia. Terpaksa loni ke mbali pulang me lapor pada ketua….

Ketua kami menganggap pemilik jarum Chit-jiau-soh itu kelewat dan berbahaya. Jika tidak lekas-lekas dibas mi tentu akan menimbulkan ma lapetaka. Maka Siau-lim-sie segera mengundang partay Kun-lun-pay, Bu-tong-pay dan lain-lain partay persilatan untuk bersama-sama menge mpur orang itu. Lama benar pengejaran dilakukan sehingga ha mpir makan waktu setahun barulah berhasil me nyergapnya di luar kota Kim- leng. Terjadilah perte mpuran yang dahsyat….”

Kembali Tay Hong siansu berhenti menengadahkan kepala seolah-olah seperti mengenangkan perist iwa itu.

Beberapa saat kemuidian baru ia melanjut kan pula,  “Kala itu loni tak me mpunyai kese mpatan ikut bertempur. Tetapi menurut cerita kedua suheng loni. Setiap orang yang ikut dalam perte mpuran yang paling dahsyat dan ganas. Dua belas jago-jago sakti dari beberapa partay ikut bertempur dalam pertempuran yang dimulai dari petang hari sa mpai pagi. Dia berhasil melukai e mpat orang dan dapat melo loskan diri dari kepungan. Mungkin perte mpuran itu jarang tersiar di dunia persilatan dan kiranya saudara-saudara yang hadir di  sini tentu jarang yang mengetahui peristiwa itu….”

Tiba-tiba dari meja sebelah kiri berbangkit seorang  lelaki tua yang matanya tinggal satu. Serunya, “Jelek-jelek aku si orang tua ini juga ikut dalam pertempuran besar itu!”

Sekalian mata segera tertumpah ke arah orang tua ber mata satu itu. Seorang tua yang berumur lebih dari tujuh puluh tahun. Jenggotnya yang putih menjulai turun ke dada. Mata kirinya yang hilang ditutup sehelai kain hitam. Di tengah alisnya terdapat sebuah noda guratan bekas terluka golok.

Dia menghe la napas perlahan- lahan la lu menyingkap kain hitam penutup matanya, “Mataku kiri ini hilang pada waktu pertempuran itu. Selain aku, masih ada enam orang lagi yang terluka….”

Perlahan-lahan ia me mandang kepada Tay Hong siansu, katanya, “Di antara ketujuh orang yang terluka itu, yang tiga telah meningga l. Maka tak salah kalau mengatakan bahwa yang terluka e mpat orang!”

Tay Hong siansu lekas-lekas me mberi hor mat, “Bukankah lo-cianpwe ini kojin dari Bu-tong-pay Siauw Yau-cu-lo- cianpwe?” Mendengar itu hadirin serentak berbangkit dan me mberi hormat kepada si orang tua ber mata satu!

Siau Yan cu merupakan jago pedang nomor satu dari partai Bu-tong-pay sejak seratus tahun yang terakhir ini. Berpuluh- puluh tahun berselang, na manya sudah menggetarkan dunia persilatan. Setiap jago silat yang berumur enam puluh  tahun ke atas tentu mendengar nama Siau Yan-cu. Lima puluh tahun yang lalu, ketika kee mpat partai persilatan yang ter masyhur ilmu pedangnya, yakni Bu-tong-pay, Hoa-san-pay.  Kun-lun- pay dan Go-bi-pay berkumpul di gunung Gobi untuk merundingkan ilmu pedang (istilah halus untuk menyebut saling menguji kepandaian) Siau Yan-cu yang masih muda telah berhasil menundukkan jago-jago pedang Hoa-san-pay, Kun-lun-pay  dan  Go-bi-pay.   Sejak   peristiwa   yang mengge mpar kan itu, Siau Yan-cu dianggap sebagai jago pedang sakti no mor satu! 

Tetapi sayang, sejak peristiwa yang mengharumkan na ma partay Bu-tong-pay itu, Siau Yan-cu melenyapkan diri dari dunia persilatan. Maka kehadirannya di gunung Thaysan saat itu, benar-benar mengejutkan. Itulah sebabnya maka sekalian hadirin sere mpak berbangkit untuk mengunjuk hor mat. Bahkan Su  Bo-tun  yang  berhati  dingin,  ikut  juga  berdiri me mber i hor mat. Hanya pemuda-pemuda maca m Siu- la m, Hian-song, Kat Wi dan Kat Hong yang tak kenal siapa Siau Yan-cu, tetap duduk di te mpatnya.

Rupanya Siu-la m sungkan juga. Akhirnya  ia  ikut  berdiri me mber i hor mat. Tetapi Hian-song menarik ujung bajunya dan berbisik, “Apakah kau kenal pada orang tua mata satu  itu?”

Kuatir dara itu mengoceh tak karuan, Siu-la m buru-buru mengga mit tangan Hian-song dan digoyang-goyangkan.

Rupanya Hian-song mengerti  apa  yang  dikehendaki  Siu- la m. Ia bangun dan berbisik ke dekat telinga si anak muda, “Bukankah suheng melarang aku banyak bicara?” Siu-la m berpaling dan mengangguk.

Siau Yan-cu menutup mata kirinya dengan kain hitam pula ke mudian berkata, “Kala itu aku masih muda. Karena suhu sayang padaku ma ka aku diberi pelajaran suatu ilmu lwekang yang sakti. Setelah pelajaran selesai timbullah keinginan untuk ikut dalam pengejaran wanita siluma n pemilik jarum maut. Segera kumenghadap Ciang-bun-jin (ketua) me mohon ijin untuk turun gunung dan menggabungkan diri pada kee mpat partay….”

Golok Sakti Lo Kun tiba-tiba berbangkit, serunya, “Ikut sertanya Siau lo-cianpwe dalam pertempuran bersejarah itu tentu menjadi buah tutur orang. Tetapi mengapa tiada orang yang pernah mencer itakan?”

Kata Siau Yan-cu, “Partay Bu-tong-pay menganggap musuh terlalu sakti, maka hon-tiang melarang aku mengunjuk diri secara terang-terangan….”

Walaupun Siau Yan-cu tak me lanjut kata-katanya namun sekalian orang tahu apa yang dimaksud Siau  Yau-cu merupakan mur id ce merlang dari Bu-tong-pay. Namanya sudah semerbak di seluruh penjuru. Jika dalam pertempuran itu sampai kalah, bukan saja Siau Yau-cu tetapi partay Bu- tong-pay pun akan jatuh na manya!

“Omitohud!” seru Tay Hong siansu, “kedatangan lo-cianpwe benar-benar me mberi muka terang kepada sekalian saudara. Loni mohon sudilah kiranya lo-cianpwe me megang ta mpuk pimpinan rapat sekarang ini….”

Tetapi Siau Yau-cu menola k. Ia anggap Siau-lim-pay lah yang paling tepat me megang pimpinan.

“Sekalipun lo- cianpwee tak mau menjadi ketua rapat ini, tetapi loni mohon sudilah lo-cianpwe me mberi petunjuk- petunjuk yang berharga!” kata Tay Hong pula. Siau Yau-cu menghela napas perlahan, “Berhasil atau gagalnya gerakan ini, tak berani kupastikan. Tetapi menilik kehadiran para tokoh-tokoh persilatan yang mewa kili berbagai partai dapatlah kita berbesar hati. Kalah dan menangnya tergantung dalam perkembangannya nanti. Dahulu dalam pertempuran itu aku telah kehilangan sebuah mata tetapi aku berhasil menggurat pecah kain kerudungnya hingga  tahu bahwa dia ternyata seorang wanita….”

Tiba-tiba seorang tua yang menyanggul sepasang pedang berbangkit, serunya, “Maukah lo-cianpwe menuturkan peristiwa itu agar kita semua dapat tambah pengala man?”

Siau Yau-cu tertawa, “Setelah mataku terluka, aku tak segera kembali ke gunung Bu-tong-pay. Kucari sebuah tempat persembunyian untuk mengobati lukaku. Sesudah se mbuh, mulai lagi kuyakinkan beberapa ilmu pelajaran yang belum selesai. Ketua Bu-tong-pay telah menyebar seluruh anak untuk mencari jejakku, tetapi tak berhasil….”

Walaupun tak menje laskan, tetapi tahulah sekalian hadirin bahwa adanya Siau Yau-cu tak mau pulang ke gunung, tentulah karena merasa malu.

Siau Yan-cu melanjut kan pula, “Kepandaian pere mpuan itu selain sakti juga ganas sekali. Banyak sekali jurus-jurusnya yang tak pernah tampak di dunia persilatan. Gerakannya luar biasa gesitnya. Dalam kepungan tokoh-tokoh empat partai, dia masih tetap dapat bergerak sebebas-bebasnya. Dan yang paling mengagumkan ialah daya kelahinya yang luar biasa. Bermula dia dikepung oleh dua belas jago-jago  sakti.  Yang me mpe lopori me mbuka serangan ialah Tay Ti taysu dari Siau- lim-pay….”

“Tay Ti adalah suhengku. Sayang dia sudah gugur dalam pertempuran itu!” seluruk Tay Hong.

Siau Yan-cu tertawa hambar, “Belum sa mpai sepuluh jurus, Tay Ti siansu telah terdesak oleh jurus permainan musuh yang luar biasa anehnya. Maka berhamburanlah jago-jago yang ikut dalam pengepungan itu menyerbu maju. Aku turun tangan yang terakhir karena hendak kupelajari dahulu gaya permainannya dan aliran pelajarannya. Tetapi di luar dugaan, sampai la ma sekali belum juga kuketahui induk  partai persilatan.

Saat itu sebelas jago-jago sakti sudah sere mpak turun tangan namun tetap tak mampu mengalahkan.   Bahkan mereka malah terdesak oleh permainan  aneh orang itu.  Melihat para jago sakti terdesak, terpaksa aku turun tangan. Ya, baru sejam aku terlibat pertempuran….”

“Omitohud!” seru Tay Hong siansu, “Lo-cianpwe benar- benar hebat!”

“Begitu aku turun gelanggang, keadaanpun berubah baik. Para kawan  mulai  dapat  bernapas  longgar  dan  dapat menge mbangkan kepandaiannya lagi. Di antara yang paling menonjo l ialah gaya permainan partai Siau- lim-s i. Walaupun akhirnya gugur, namun se mangat dan kegagahan Tay Ti amat berkesan sekali…” kata Siau Yan-cu pula, “Saat itu sekalian jago-jago belum mengetahui diri siapa. Satu-satunya yang bermata tajam hanya Tay Ti siansu seorang. Sengaja ia mengisar langkah  mengha mpir i  ke  sa mpingku  ke mudian me manggil na maku perlahan-lahan. Karena sedang menumpahkan seluruh perhatian pada pertempuran, sekalian jago-jago tak mendengar seruan Tay Ti siansu itu….”

Siau Yan-cu berhenti sejenak lalu melanjutkan, “Karena sudah kepergok, terpaksa aku me mberi anggukan kepala kepada Tay Ti siansu. Sa mbil perhebat serangannya, Tay Ti siansu mencar i kesempatan untuk bicara padaku, merundingkan siasat untuk me nghancurkan lawan. Dia mengusulkan suatu rencana. Dia hendak mendesak lawan sekuat-kuatnya dan aku disuruh segera berusaha untuk mencongkel kain kerudung hitam yang menutupi wajah wanita iblis itu. Permintaan Tay Ti siansu itu me mang tepat. Sayang tak mudah untuk me laksanakan. Jelas permainan lawan tetapi gesit dan makin dahsyat. Untuk menyingkap kain kerudung yang menutup wajah pere mpuan iblis itu, bukanlah suatu pekerjaan yang mudah….”

“Oh, jadi lo-cianpwe menolak rencana Tay Ti suheng?” tiba- tiba Tay Hong siansu me nyeletuk.

Siau Yau-cu mendongak dan tertawa panjang. Serunya, “Karena hal itu ha mpir saja timbul salah paham antara partay Siau-lim-si dengan Bu-tong-pay. Dalam hal itu me mang tak dapat menyalahkan orang yang menyiarkan desas-desus mengenai kesalahan paham itu. Oleh karena sukar untuk menuduh siapakah orang yang menyiarkan desas-desus tersebut. Adanya kali in segan untuk mengundang orang Bu- tng-pay, kemungkinan tentu masih terdapat  dendam kesalahan paha m!”

“Me mang desas-desus itu santer sekali di dunia persilatan. Namun loni segan untuk mencari per musuhan dengan orang Bu-tong-pay. Apalagi Tay Ti suheng sudah binasa, kita benar- benar prihatin sekali. Kami tak se mpat lagi mengurus i soal dendam kepada orang Bu-tong-pay…. Orangnya toh sudah mati, perlu apa ketegangan dibesar-besarkan tanpa guna….”

Kata Siau Yau-cu, “Hal itu me mang tak dapat dipersalahkan. Ketika itu hanya paderi Thian In to-tiang yang dapat menangkap pembicaraanku dengan Tay Ti siansu. Sayang Thian In to-tiang sudah meninggal sehingga sukar mencari saksi yang benar-benar mengetahui peristiwa itu….”

Siau  Yan-cu  tiba-tiba  pejamkan   kedua   matanya   lalu me lanjutkan, “Kala itu me mang aku mas ih belum menyatakan apa-apa terhadap rencana Tay Ti siansu. Tiba-tiba Tay Ti siansu gerakkan tongkatnya dan di e mpat penjuru segera terpancar gulung sinar tongkat yang sederas hujan mencurah dari langit….” Saat itu aku tak dapat me mpertimbangkan apa-apa lagi. Pedang kucabut dan menyurut mundur. Tay Ti siansu benar- benar kembangkan sehebat-hebatnya ilmu kepandaiannya. Tongkatnya berayun laksana naga bergeliatan di udara. Angin menderu-deru laksana badai prahara. Ah, memang sudah selayaknya apabila Siau-lim-si  dipandang sebagai aliran pemimpin dunia persilatan!”

“Ah, lo-cianpwe sendirilah yang sepantasnya menerima penghormatan itu,” kata Tay Hong siansu merendah. Tiba-tiba ia tak melanjutkan kata-katanya karena teringat akan mata Siau Yan-cu yang terluka itu.

Jago pedang Bu-tong-pay itu tertawa getir, serunya, “Saat itu aku menyisih ke samping untuk me mulangkan napas dan menunggu kese mpatan. Setelah melihat suatu liang kesempatan yang bagus, segera kuloncat ke udara menerjangnya. Aku berhasil menggurat pecah kain kerudungnya tetapi tak kuduga-duga dengan suatu gerakan me mba lik tangan yang luar biasa, diapun berhasil melukai sebelah mataku. Luka itu me mbuat aku tak dapat melanjutkan serangan lagi. Dan kesempatan itu tak disia-siakan wanita iblis. Dia lancarkan serangan balasan yang hebat. Yang pertama-tama menjadi korban ia lah Thian In totiang. Dadanya tertusuk pedang siluman perempuan itu. Namun dalam keadaan terluka parah, totiang kerahkan seluruh sisa tenaganya dan berhasil balas menusuk dan menutuk lawan.

Rencanaku telah menyalurkan napas secukupnya, aku hendak mene mpurnya lagi. Tetapi ternyata pertempuran telah menga la mi    perubahan    yang    hebat     sehingga     tak me mungkinkan lagi aku maju ke gelanggang. Thian In totiang menghe mbuskan napas. Tay Ti siansu terluka berat dan aku kehilangan sebelah mata. Dan kawan yang lain-lain sudah kehabisan tenaga. Ke mudian terdengar jeritan ngeri berturut- turut. Dalam beberapa kejap saja, siluman pere mpuan itu telah dapat melukai tujuh orang ke mudian ia menerobos keluar dari kepungan. Di antara ketujuh orang yang  terluka itu, tiga orang termasuk Thian In totiang telah meninggal. Aku dan Tay Ti siansu terluka berat. Dari partai Go-bi-pay dan Kun-lun-pay masing- masing terluka seorang. Dalam keadaan yang sedemikian itu, terpaksa kami tak dapat  mengejar siluman pere mpuan itu. Demikianlah kurang lebih gambaran dari pertempuran besar yang bersejarah itu…”

Tay Hong siansu menghe la  napas, “Berpuluh-puluh tahun la manya antara partai kami dengan partai lo-cianpwe tak dapat akur adalah disebabkan kesalahpahaman itu. Ah, sebaiknya urusan la ma tak perlu diungkat lagi.  Dengan pendirian itu maka loni telah mengir im undangan kepada Bu- tong-pay agar suka mengirimkan wakil menghadiri pertempuran besar ini….”

“Ah, meskipun tak me nerima undangan tetapi karena Bu- tong-pay mendapat undangan dari Beng-gak supaya datang menghadiri pesta Ciau-hun-yan, sudah tentu ketua Bu-tong- pay pun akan datang ke lembah Coat-beng-ko juga!” kata Siau Yau-cu.

Tiba-tiba terdengar seorang berseru nyaring, “Pemimpin gerombo lan Beng-ga k telah mengirim undangan pada seluruh partai-partai persilatan dan jago-jago di segenap penjuru, supaya menghadiri pesta mau yang disebut Ciauhun-an (pesta panggil arwah). Entahlah apa maksudnya undangan itu. Tetapi rasanya kaum persilatan tentu bakal menghadapi bencana besar! Meskipun musuh sangat kuat, tetapi pihak kita pun cukup kuat. Rasanya dengan tenaga persatuan yang berkumpul saat ini, kita tak perlu gentar menghadapi musuh. Tetapi yang patut dikuatirkan ialah tipu mus lihat musuh. Jika mereka secara licik menca mpur kan racun di dalam arak atau hidangan lain, sabarlah kita hadapi….”

Sekalian orang berpaling ke arah suara itu. Ternyata yang bicara itu adalah Ngo Cong-hian yang bergelar It-ciang-tin- sam-sian atau dengan sebuah pukulan  menundukkan tiga wajah. Jago tua yang sudah berumur tujuh puluhan itu yang tadi datang bersama-sa ma Su Bo-tun.

Kemudian jago tua itu beralih me mandang ke arah Siu- lam dan Hian-song, serunya, “Dan masih ada sebuah hal lain yang tak kurang bahayanya. Ialah kita tak tahu bagaimana keadaan musuh yang sebenarnya. Tetapi sebaliknya musuh dapat menyelundupkan orangnya ke dalam rapat kita ini.”

Begitu ucapan itu berkumandang, ge mparlah suasana pertemuan.   Siau   Yau-cu   serentak    me mberingas    dan me mandang tajam-taja m pada setiap tetamu….
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar