Wanita iblis Jilid 01

Jilid 01

KRIITT……

Pemuda baju biru itu terkejut ketika pintu ruma h gurunya, sekali dorong terbuka sendiri. Dan kejutnya itu segera diselimuti rasa heran ketika didapatinya ruangan sunyi senyap.

Ia meragu beberapa saat lalu melangkah masuk.  Setelah  me lalui ruang depan, ia menuju ke ruang besar. Ada suatu firasat aneh melekat di benaknya. Tentunya terjadi sesuatu dalam rumah gurunya itu.

Saat itu malam hari. Ruangan besar gelap gulita. Tiada sepelik penerangan sama sekali.  Sedemikian gelap  sehingga ia  tak  dapat  me lihat  jari  tangannya  sendiri.  Desir  angin ma la m, mena mbah keseraman suasana saat itu. Walaupun pemuda itu berilmu silat tinggi, na mun ma u tak ma u ia merasa ngeri juga. Tanpa disadari, tangannya meraba batang pedang yang terselip di pinggirnya.

Berkat ilmu silatnya, matanya tajam sekali, dapat melihat dalam kegelapan. Ketika menaja mkan pandangan mene mbus kegelapan, segera ia dapat melihat jelas segala benda  di dalam ruangan.

Di ujung dinding terdapat sebuah meja segi delapan dan empat buah kursi yang teratur rapi. Perabot-perabot ruangan terletak di te mpat yang sesuai.

Pemuda itu tiba-tiba lari  menuju ke  ruang belakang.  Tiba di sebuah bilik yang pintunya tertutup. Ia tertegun. Tetapi pada lain saat cepat ia mendorong pintu. Pada saat tangan hendak  menyentuh  daun  pintu,   tiba-tiba   ia   menariknya ke mbali.

Bilik itu adalah ruang se medi gurunya. Ia tahu tak boleh sembarang orang me masukinya. Ia takut dimarahi gurunya. Sebagai gantinya ia berbatuk-batuk dan dengan nada menghor mat, segera ia berseru: “Murid Pui Siu- la m, mohon berkunjung….”

Nyaring sekali ucapannya. Ruang seolah-olah terdengar oleh kumandang suaranya. Tetapi me las! Tiada penyahutan sama sekali….

Saat itu dalam musim salju. Ketika angin mala m meniup, gumpalan salju yang menumbuk di atas payon, bilik semedi, berhamburan menabur ke muka si pe muda.

Siu-la m atau pe muda baju biru segera bersiap-siap hendak mendobra k pintu tetapi pada la in kilas terbayanglah ia akan wajah gurunya yang angker. Kembali ia batalkan niatnya dan terus ayunkan tubuh loncat ke pagar te mbok.

Di atas pagar tembok, sejenak ia lepaskan pandangannya ke sekeliling penjuru. Dua pohon bwe masih tumbuh di halaman kebun. Berselimut kan salju putih pohon itu ma kin mengha mburkan bunga-bunga harum se merbak.

Sekilas terbayanglah Siu-la m akan kenangan pada belasan tahun yang lalu….

Pada masa itu bersa ma Hui-ing, putri gurunya, masih kanak-kanak yang berumur delapan atau sembilan tahun. Berma in bersama belajar silat bersama, sama-sama me mbagi suka dan duka. Keduanya tak ubah seperti kakak dan adik. Tetapi sang waktu berjalan laksana anak panah. Tak terasa kini berselang belasan tahun. Ketika meninggalkan rumah gurunya, Siu-lam dan sumoay itu Hui- ing sudah dewasa. Dan kini ia sudah bertahun-tahun ia berpisah. Dari te mpat jauh sengaja datang ke telaga Ping-ou. Tujuannya tak lain tak bukan hanya menjenguk kesela matan gurunya dan sekalian untuk berte mu dengan Hui-ing….

Setelah puas merenung, barulah Siu- lam loncat turun. Perlahan-lahan ia melangkah ke bilik gurunya berlatih ilmu lwekang. Dalam pe mbayangannya, apabila rumah tangga gurunya itu mender ita ancaman bahaya tentulah guru dan ibu  gurunya me mbawa putrinya (Hui-ing) pindah ke la in tempat yang aman.

Tiba di muka pintu, segera ia mendorong pintunya. Kritt… pintu terentang lebar-lebar dan hai…! Seketika mendeliklah mata pe muda itu. Rambunya berdiri tegak dan mulut menganga tak dapat berkata apa-apa. Apa yang disaksikan dalam bilik ruangan itu, benar-benar me mbuatnya terlongong- longong seperti patung.

Ruang bilik kosong me lo mpong. Yang ada hanya… sepasang peti mati berjajar berda mpingan…!

“Suhu….!” serentak menjeritlah Siu-la m seraya lari menubruk kedua peti mati itu. Pecahlah tangisnya tersedu sedang air matanya me mbanjir….

Setelah beberapa waktu menumpahkan air mata, agak tenanglah hatinya. Dan mulailah ia  mengadakan  analisa: “Suhu seorang tokoh yang me miliki kepandaian sakti. Namanya menggetarkan dunia persilatan. Subo (ibu  guru) juga seorang pendekar wanita yang termasyhur. Senjata rahasia Kim-lian-hoa, disegani di seluruh wilayah Kangla m. Andaikata diserang oleh beberapa tokoh silat kelas satu, beliau tentu masih dapat menyela matkan diri  atau lolos.  Ah, mungkin dalam kedua peti mat i itu bukan terisi jenazah suhu dan subo.”

Me mikir sa mpa i di sini, tergeraklah pikirannya. Dia m-dia m segera ia salurkan tenaga dalam hendak me mbuka tutup peti mati.

“Jangan!” sekonyong-konyong terdengar gemerincing suara me lengking maca m butir mut iara tertumpah di dalam tampi. Merdu tetapi bernada dingin. Cepat Siu-lam berpaling. Entah kapan, tahu-tahu di belakangnya tegak seorang dara cantik. Rambutnya terurai lepas sampai ke bahu. Pakaiannya serba putih.

Sekalipun kecantikan dara itu menyolo k sekali tetapi dalam tempat dan suasana seperti saat itu, dan ke munculannya secara misterius tanpa sedikitpun mengeluar kan suara, mau tak mau me mbuat hati Siu-la m berdebar keras.

“Siapa kau?  Mengapa  tengah  mala m  buta  kau  datang ke mari dan menangis seperti anak kecil?” tegur dara itu dengan dingin. Sa ma sekali tak mau ia me mandang Siu- la m. Kepalanya menunduk.

“Aku mur id C iu Pwe lo-enghiong. Na ma ku Pui Siu….” “Sudahlah, aku tak menanyakan na ma mu!” tukas dara baju

putih itu.

Siu-la m kerutkan dahi, ujarnya: “Bolehkah aku me lihat apa isi kedua peti mati itu?”

“Tak perlu!” sahut si dara tetap bernada dingin, “Yang satu berisi jenazah Ciu Pwe lo-enghiong. Dan yang satu jenazah isterinya.”

Seketika mengge loralah darah Siu-la m, bentaknya: “Benarkah itu?”

Dengan wajah tetap sedingin salju, dara itu menyahut tawar. “Kalau tak percaya, bukalah sendiri.”

Sekali kerahkan tenaga, Siu-lam mengungkap tutup peti mati sebelah kiri. Ia menyulut korek. Seketika ruangan itu menjadi terang. Dilihatnya di depan tengah  kedua  peti mati itu terdapat sebuah meja knaap. Di atas meja masih terdapat sisa batang lilin. Segera disulutnya lilin itu sehingga ruang semakin terang benderang.

Berpaling ke belakang, dilihatnya wajah dara itu masih mena mpil keha mbaran. Ia tegak di sisinya diam me matung. Siu-la m berpaling lagi me lihat ke dalam peti mati. Ta mpak setampang wajah seorang tua berjenggot putih, tersembul di atas sosok tubuh yang terbungkus kain putih. Bagi Siu-la m suami isteri Ciu Pwe itu bukan mela inkan sebagai guru, pula merupakan orang tuanya yang kedua. Sudah tentu cepat ia dapat mengenali wajah guru yang dicintainya.

Seketika bergolaklah darah di dada Siu-la m. Tak kuasa lagi Siu-la m menahan perasaannya. Huak… segumpal darah segar menye mbur dari mulut. Jatuhkan diri di hadapan peti mati, menangislah sekeras-kerasnya….

Dari jauh ia me mbawa kenangan indah untuk mengunjuk bukti kepada sang guru, tetapi apa yang didapatinya hanyalah kedukaan yang tak terhingga. Benar-benar remuk redam hati Siu-la m. Entah berapa la ma ia tumpahkan air mata sehingga air matanya kering  dan berganti dengan cucuran darah. Karena hanya dengan menangislah ia dapat  menumpahkan rasa kedukaan yang menceka m sanubarinya.

Setelah puas menangis, dilihatnya lilin hanya tinggal sisa sedikit.  Dan  si  dara   berwajah  dinginpun   mas ih   tegak me matung di sebelahnya.

Siu-la m berbangkit pelahan-lahan. Ditatapnya dara berbaju putih itu, tegurnya: “Siapakah nona ini? Apakah jenazah suhuku kau berdua yang me masukkan ke peti?”

Tanpa me mandang yang bertanya, dara itu menyahut dingin: “Ayah bundaku pernah mener ima pertolongan Ciu lo- enghiong. Kurawat jenazah mereka selaku balas budi, kau sudah menangis setengah mala m, seharusnya  tentu tinggalkan tempat ini! ”

Dara itu berputar tubuh dan melangkah pelahan- lahan ke belakang.

“Harap berhenti dulu, nona. Aku hendak bertanya  beberapa hal,” cepat Siu-la m berseru. Si dara tertegun di depan kain gordin putih, sahutnya: “Lekas katakan!”

Tak puas Siu-la m me lihat tingkah laku si dara yang kelewat tak me mandang mata kepadanya itu. “Hm, dara itu benar- benar tak bersahabat!” pikirnya.

Dalam dia menima ng itu, rupanya si dara tak sabar menunggu lagi. Selagi bergerak, iapun sudah menyusul ke dalam kain gordin putih.

Karena Siu-la m biasa menerima pelajaran dalam bilik semedhi itu, tahulah ia bahwa di balik kain gordin itu tiada terdapat tembusan ke lain ka mar lagi. Maka iapun berseru: “Tahukah nona ke mana gerangan putri suhuku itu?”

“Tak tahu!” benar seperti yang diduga Siu- la m, terdengarlah dara itu menyahut dari balik kain gordin.

“Bila mana nona datang kemari? Tahukah nona siapakah yang mencela kai kedua suhuku itu?” ke mbali Siu-la m bertanya.

Terdengar dara itu menyahut ringkas: “Ketika aku tiba di sini mereka sudah binasa beberapa waktu.”

Keterangan itu menimbulkan kecurigaan Siu- la m, serunya pula: “Mengapa nona tahu bahwa suhu binasa lalu sengaja datang kemar i untuk mengurus jenazah mereka?”

“Bagaimana? Kau mencuriga i aku yang me mbunuh kedua suhumu?” tiba-tiba kali ini si dara tertawa gemerincing. Nadanya penuh mengandung kesera man yang menggigilkan bulu ro ma pendengarannya.

Tiba-tiba mata Siu-la m tertuju pada sebuah lengan halus yang tersembul dari gulungan kain putih. Tangan itu tengah menyekal sebatang lilin merah. Belum se mpat Siu-la m mengatakan apa-apa, dara itupun berseru pula: “Jika kau hendak menjaga peti mati suhumu, baiklah. Sulutlah lilin ini dan tutuplah lagi peti mati yang kau buka itu!” Siu-la m me mpunyai perasaan bahwa tingkah laku dan ucapan dara itu serba misterius. Dalam keadaan dan saat seperti itu, walaupun me miliki ilmu silat tinggi, namun mau tak mau bergidik juga hati Siu-la m. Na mun diberanikan  juga untuk menerima lilin dari tangan si dara.

“Lilin itu cukup sampai nanti terang tanah. Jika kau tak takut, silahkan kau bergadang di sini mala m ini!”

Siu-la m tak menyahut. Disulut lilin itu, menutup peti mati suhunya  lalu  duduk  bersila  di   sisi   peti   mati  gurunya. Me mandang cahaya lilin, pikirannya penuh sesak dengan berbagai persoalan aneh….

Selama berguru, ia mengetahui sendiri bahwa Ciu-pwe itu seorang jago silat yang berwatak lurus dan tegas. Penuh wibawa. Sedangkan ibu gurunya, seorang wanita cantik yang ramah-ta mah, halus budi pekerti. Sumoay-nya pun seorang dara yang tangkas jelita, mengesankan. Kese muanya itu merupakan kenangan indah yang me mbekas dalam lubuk hatinya. Siapa tahu,  ya siapa sangka bahwa apa yang didapatinya saat itu hanyalah suatu keruntuhan puing-puing kenangan. Kedua gurunya telah menjadi jenazah dalam peti dan sumoay-pun entah lenyap kemana perginya. Masih hidup atau sudah mati.

Malam makin larut. Dihe mpas oleh kedukaan hebat dikoyakkan oleh kehancuran impian, dibenam oleh kegelapan ma lam yang rawan dan seram, tak terasa Siu-lampun jatuh tertidur bersandar pada peti mati.

Tak tahu entah berapa lama ia berada dalam keadaan tertidur itu, tahu-tahu ia rasakan tubuhnya didorong tangan. Ketika me mbuka mata, seorang lelaki tua berwajah sedih, tengah berdiri di dekat peti mati.

Serentak loncatlah Siu- lam dan terus mende kap kaki orang itu seraya menangis tersedu-sedan. Lelaki tua itu menghela napas pelahan, ujarnya: “Bangunlah, mari kita bicara yang tenang.”

Siu-la m me mbesut air matanya dan berbangkit bangun. Kemudian ia menerangkan: “Ketika tadi  mala m  wanpwee (aku) tiba, suhu dan subo sudah menjadi jenazah dalam peti mati… ”

Lelaki tua itu terbeliak kaget: “Hay, apakah jenazah kedua gurumu bukan kau yang me masukkan ke dalam peti?”

“Bukan!” sahut Siu-la m. Tiba-tiba ia teringat akan si dara baju putih tadi. Sigap sekali ia segera menyingkap kain gordin putih di belakangnya. Astaga! Dara itu tak na mpa k lagi. Sebagai gantinya di balik kain gordin itu terdapat sederet kepala manus ia!

Wajah lelaki tua itu serentak berubah. Ia melangkah  ke balik kain gordin. Siu- lam tercengang lalu cepat-cepat menyusul si lelaki tua.

Pada sudut bilik di balik kain gordin putih itu terdapat setumpuk mayat tanpa kepala. Jumlahnya entah  berapa! Ketika dia m-dia m Siu- lam me nghitung, jumlahnya tepat lima belas mayat.

Lelaki tua itu bukan la in adalah suheng (kakak seperguruannya) dari Ciu Pwe. Berna ma Tio It-ping.

“Benar-benar ganas sekali. Sebuah penumpasan total seorangpun tak ada yang dit inggalkan hidup,” Tio It-ping mendengus gera m.

Siu-la m tahu bahwa supehnya (pa man guru) itu jauh lebih sakti dari gurunya (Ciu Pwee). Dalam saat seperti ini ia dapat berjumpa dengan sang supeh, girangnya bukan kepalang. Harapan untuk menuntut balas atas kematian suhunya, timbul segera.

Dengan meratap Siu- lam segera me mohon pertolongan supeh itu: “Supeh me mpunyai pengala man luas. Wanpwe mohon dengan sangat agar supaya sudi me mbalaskan sakit hati suhu.”

Tio It-ping menghe la napas, ujarnya: “Nak, tak perlu kau utarakan kata-kata itu. Dengan sendirinya sudah menjadi tanggung jawabku untuk me mbalas sakit  hati  suteku. Mungkin kedukaan hatiku tak lebih kecil dari kau. Asal supehmu Tio It-ping masih bernyawa, tentu akan menuntut balas…”

Jago tua itu tak dapat mela mpias kan kata-katanya karena dua tetes air mata meluncur keluar.

Serta merta Siu- lam jatuhkan diri me mberi hor mat di hadapan supehnya: “Atas nama mendiang suhu, dengan ini Wanpwe menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Budi supeh takkan Wanpwe lupakan seumur hidup!”

Tio It-ping terharu mendengar pernyataan pemuda itu.

Beberapa saat kemudian ia suruh Siu-la m bangun.

Dia m-dia m Sui-la m me mperhatikan seksa ma pada tumpukan kelima belas mayat itu. Ternyata di antara mereka tak terdapat sumoaynya. Segera ia menuturkan pengalamannya se mala m.

Mendengar tentang gerak-gerik si dara baju putih yang serba misterius itu, dia m-dia m timbullah keheranan Tio It- ping.   Anak  perempuan   tentu   bernyali   kecil.   Sekalipun me miliki kepandaian silatpun sukar diterima bahwa seorang dara akan datang ke ruma h ke matian pada saat seperti itu.

“Keterangan wanpwe ini me mang sungguh,” karena takut tak dipercaya, buru-buru Siu-lam me mber i penegasan, “Gerak- gerik dara itu me mang me nyerupai dengan bangsa kuntilanak…”

Tio It-ping tertawa hambar: “Di dunia me mang terdapat hal-hal yang tak mungkin. Sekiranya kau tak pepat pikiranmu karena berduka tentulah diri gadis itu merupakan bahan penyelidikan yang penting. Siapa tahu di sinilah terletaknya kunci rahasia pe mbunuhan gurunya sekeluarga!”

Siu-la m me ngakui kebenaran kata-kata supehnya itu lalu mengulangi keterangannya kembali: “Me mang jika tak melihat dengan mata kepala sendiri, tentulah wanpwe takkan percaya tentang diri gadis yang misterius itu.”

Baru Siu- lam berkata begitu, tiba-tiba secercah kilat putih menya mbar ke arahnya. Dengan sigap Siu-la m  ulurkan tangan menyumpit benda itu. Ai, dingin sekali. Ternyata segenggam es.

Perongkol es sebesar gundu itu, dilontarkan oleh tangan lihay. Mene mbus kain gordin langsung menya mbar Siu- la m.

Tio It-peng mendengus. Sekali beringsut, ia  me lesat  ke luar. Siu-lam pun gunakan gerak Yan-cu-coan-bun (burung wallet menerobos awan) me letik ke luar hala man. Dilihatnya Tio It-ping sudah berdiri di atas wuwungan  rumah  seraya  me mandang ke seluruh penjuru.

Tiba-tiba jago tua itu meluncur ke bawah mengha mpiri Siu- la m: “Ah, sudahlah. Hari ini aku Tio It-ping benar-benar kena diper mainkan orang. Nah, cobalah kau re mas perongkol es yang kau sanggupi itu!”

Sekali pijat, Siu-la m mere mas hancur perongkol salju. Ternyata di dalamnya terisi sehelai kain putih  yang bertuliskan: “Tempat ini bukan te mpat yang sesuai, tinggalkan secepat mungkin, agar terhindar dari kematian.” Tanpa tanda tangan, tanpa tanda suatu apa.

Tio It-ping terkesiap. Me mang ia sudah menduga dalam gumpalan es itu tentu terdapat apa-apa. Tetapi sedikitpun tak menyangka bahwa is inya ternyata sebuah peringatan maut.

“Tio supeh, kita tunggu kedatangan mereka,” kata Siu- lam dengan geram. Tio It-ping kerukan alis dan menghe la napas dala m-dala m: “Ah, kau seorang pemuda yang berani. Tak kecewa  gurumu me mber ikan pelajaran padamu. Tetapi jika kau menunggu di sini takkan me mbawa faedah apa-apa.”

Karena hatinya kesal. Sui-la m sampai mengucurkan air mata. Ke mudian ia berseru tegas: “Aku bersumpah untuk menuntut balas atas kematian suhu. Jika aku Pui Sui-la m dalam hidup sekarang ini tak ma mpu menumpas musuh, lebih baik aku menjadi seperti pohon ini….!” Ia menutup kata- katanya dengan menyabetkan pedangnya ke pohon bwe. Bum…. Pohon bwe yang pernah menjadi te mpat ber main- main semasa kanak-kanak itu, kutung menjadi dua dan rubuh ke tanah….

Tio It-ping beringas. Ia terharu sekali melihat kesetiaan anak muda itu terhadap gurunya. Tetapi pada lain kilas jago tua itu tenang sekali.

“Jika tak tahan menghadapi persoalan kecil, tentu sukar untuk mela ksanakan pekerjaan besar. Menilik kepandaian orang yang melemparkan es berisi peringatan maut itu, jelas dia tentu seorang sakti. Jangankan kau, bahkan aku sendiri pun belum tentu dapat menandinginya. Aku sudah tua, soal mati hidup tak kuhiraukan lagi. Tekadku sudah bulat. Aku pasti akan berusaha sekuatnya untuk memba laskan sakit hati Ciu sute. Jika aku bisa lolos dari lingkaran maut ini, aku tentu akan berusaha untuk mengundang sahabat-sahabat persilatan untuk mencari musuh itu…”

Tiba-tiba jago tua itu berhenti bicara. Serentak dicekalnya siku lengan Siu-la m diajak lari keluar dari lingkungan rumah Ciu Pwe.

Kira-kira lima li jauhnya, barulah Tio It-ping melepaskan cekalannya. Ia menghela  napas  seraya  bertanya: “Kau  kira ke matian suhu dan subo mu itu secara mendadak?” Sebenarnya tak puas hati Siu-lam karena seolah-olah diseret oleh pa man gurunya itu. Padahal ia  benar-benar sudah bertekad hendak menjaga jenazah gurunya. Ia hendak meronta dari cekalan paman gurunya atau tiba-tiba Tio It-ping sudah lepaskan diri. Dan lebih kesima  Siu-la m, ketika mendapat pertanyaan semaca m itu.

“Apakah maksud supeh? Apakah supeh hendak mengatakan bahwa suhu dan subo sebelumnya sudah tahu bakal mender ita bencana itu?” tanyanya.

Tio It-ping tengadahkan kepala dan menghela napas pula, sahutnya: “Benar, bukan saja sudah tahu pun suhu dan subomu itu juga tahu bahwa mereka berdua tidak nanti dapat lolos dari anca man musuh. Oleh karena itu  dia tak se mpat lagi untuk mengundang bantuan orang luar atau me larikan diri!”

“Benar-benar wanpwe tak mengerti ma ksud keterangan supeh ini. Dunia begini luas apalagi suhu dan subo berkepandaian tinggi. Kalau tahu bakal tak dapat melawan, masakan mereka tak dapat melo loskan diri?” Siu-la m ma kin tak mengerti.

Tio It-ping merenung sejenak, ujarnya: “Justru itulah yang hendak kujelaskan pada mu. Gurumu itu berwatak keras dan disiplin. Dia tak me mpunyai banyak musuh.  Sejak  jemu dengan pergaulan ramai, mereka menyembunyikan diri di Telaga Ping-ou dan sejak itu seolah-olah putuskan hubungan dengan dunia persilatan. Kecuali hanya dengan seorang dua orang sahabat karibnya, jarang sekali mereka berdua bergaul dengan tokoh-tokoh persilatan. Dua puluh tahun hidup dalam kesenangan, mereka menikmati kehidupan  yang  bahagia.  Tiga tahun yang lalu ketika  aku berkunjung, kudapatkan ilmunya lwekang makin bertambah se mpurna. Juga subomu  me mpero leh ke majuan yang mengejutkan. Di seluruh wilayah Kangla m, rasanya tiada seorang jago silat yang mampu menandingi suhumu berdua. Tetapi dari penyelidikan yang kudapatkan dalam ruma h kedia mannya tadi, jelas bahwa suhumu berdua sudah mengetahui akan datangnya bencana maut itu. Dari siang-s iang keduanya sudah me mbuat persiapan…”

“Sukalah supeh segera menjelaskan, agar wanpwe jangan selalu terselubung kegelapan,” pinta Siu-la m yang masih bingung.

Setelah me mandang kian ke mar i, barulah Tio It-ping berkata: “Apa yang kukatakan itu hanyalah berdasarkan pengalaman saja. Apakah di antara mayat-mayat itu terdapat mayat sumoay-mu?”

“Gadis secantik sumoay, jarang terdapat di dunia. Mungkin dia telah dibawa lari pe mbunuh-pe mbunuh itu. Wanpwe tak dapat me mbayangkan….”

Tio It-ping tertawa tawar: “Tentang tak terdapatnya sumoay mu di antara mayat-mayat itu, ada dua kemungkinan. Dugaan  dia   dilarikan   si   pe mbunuh   me mang   banyak  ke mungkinannya.  Tetapi  dugaan  bahwa  sebelumnya  dia me mang sudah diperintahkan suhumu untuk me nyingkir lebih dulu ke  lain  tempat,  juga  dapat  terjadi.  Yang  nyata sumoay mu tak terdapat di antara tumpukan  mayat,  ini mencur igakan!”

“Ah,  wanpwe  benar-benar  gelap  pikiran,   tak   dapat  me mikirkan hal itu.”

Tio    It-ping    menghe la    napaas:    “Jika    kau     mau me mperhatikan bahwa tumpukan mayat- mayat itu semua berpakaian ringkas (pakaian siap te mpur), jelas menandakan bahwa suhumu me mang sudah mengetahui.  Dia  tak  mau mati konyol dan bersiap-s iap mengadakan perlawanan.”

Seluruh bujang dan anggota keluarga dikerahkan untuk menghadapi musuh. Tetapi rupanya musuh terla mpau kuat. Suhumu dan seluruh penghuni rumah tangganya telah dihabiskan. Satu hal yang tak habis kumengerti.  Kalau sudah tahu bakal menerima bencana hebat, mengapa tak mau menyingkir saja? Walaupun musuh tentu tetap mengejar jejaknya,  tetapi  untuk  se mentara  waktu  suhumu  tentu  me mpunyai kese mpatan untuk me mbuat rencana persiapan yang lebih sempurna. Ah, Thian (Allah), mengapa aku tak datang tiga hari yang lalu? Ah, hanya karena terlambat dua  hari saja, keadaan menjadi begini rupa.”

Dia m-dia m Siu- lam menga kui apa yang dikatakan supehnya itu me mang tepat. Diapun menyatakan keheranannya. “Ya, mengapa suhu tak ma u mengundang bantuan sahabatnya?”

“Me mang hal itu mengherankan,’ kata Tio It-ping. “Tetapi untuk mengundang tenaga yang lebih sakti atau sekurang- kurangnya menya mai kepandaian suhumu, bukanlah hal yang gampang. Dan untuk keluar mencar i bantuan, tidaklah semudah seperti yang kita bayangkan. Kalau tak salah penilikanku, kemungkinan tempat kedia man suhumu itu sudah dikepung rapat dan diawasi ketat oleh musuh. Yang me lontar gumpalan salju, kemungkinan tentu si nona baju putih yang kukatakan itu. Dalam hal ilmu ginkang (mer ingankan tubuh) rasanya kepandaianku  tak  jelek.  Tetapi  aneh,  ketika  aku me lesat keluar, sama sekali tak tampak  bayangan  orang. Jelas pembunuhnya itu dilakukan oleh tokoh hebat. Baik kepandaian maupun keganasannya, tiada tandingannya. Gerak-gerik nona baju putih menjaga jenazah suhumu tentu me mpunyai maksud tertentu. Ke mungkinan  walaupun suhumu me mpunyai rencana hendak mencari bantuan, pun sukar melaksana kan…..”

Tio It-ping berhenti beberapa saat, lalu melanjutkan pula: “Pada hematku ada dua hal yang perlu kita kerjakan. Pertama mencari jejak sumoay mu yang lenyap.  Dan  kedua, menyelidiki siapa pe mbunuh ganas itu. Paling tidak kita harus dapat mengetahui jejak si pe mbunuh, baru merencanakan tindakan selanjutnya. Tetapi kedua tugas itu tak semudah seperti yang kita katakan. Kita berhadapan dengan musuh yang luar biasa!”

Siu-la m jatuhkan diri di hadapan jago tua itu. “Wanpwee masih hijau, terserah bagaimana supeh hendak mengatur. Walaupun harus masuk ke dalam lautan api menerjang hutan golok, wanpwe tentu akan mela kukan perintah supeh!”

Tio It-ping suruh pe muda itu bangun. “Musuh terla mpau sakti. Tak perlu kita harus mene mpurnya, tetapi cukup menyelidiki jejaknya saja. Kalau kita pergi bersama,  bukan saja mudah diketahui musuhpun juga me mbagi tenagaku untuk melindungimu. Mencari sumoay mu, lebih penting dari menyelidiki jejak musuh. Karena apabila sumoaymu telah dikete mukan, tentulah kau akan dapat me minta keterangan yang dapat menyingkap tabir pembunuhan itu!”

Dia m-dia m Siu-la m me mbenarkan pandangan supehnya. Akhirnya ia me mberi pertanyaan: “Baiklah, wanpwe hanya menurut saja. Tetapi dunia yang begini luas, kemanakah wanpwe harus mencari jejak sumoay?”

Tio It-ping mengeluar kan sebuah uang mas berbentuk segi empat: “Bawalah uang e mas ini ke Co-yang-ping di Lu-an, temuilah Siu-chin- kiau- in Su  Bo-tun.  Jika  dia  tak  mau mene muimu, tunjukkanlah uang e mas ini. Dia tentu akan menanyakan apa yang kau kehendaki. Jangan buru-buru mengatakan bahwa kau hendak minta bantuannya untuk mencari sumoay mu. Cukup bilang saja, pemegang uang emas belum datang. Kau hanya disuruh menya mpaikan dulu. Percayalah, betapa dingin sambutannya kepadamu, tetapi dia tenu akan menahan kesabarannya. Hanya saja jangan sekali- kali kau bersikap kasar sehingga menimbulkan ke marahannya. Tunggu setelah dia menge mba likan uang e mas itu kepada mu, barulah kau boleh mengatakan tentng maksud  mencari sumoay mu,” Tio It-ping berhenti sejenak, “Masalah ini penting sekali, jangan sampa i kau me lantarkan. Kau harus bersabar dan menekan segala perasaanmu terhadap segala ucapannya yang sinis. Ingat, dapat diketemukan sumoaymu dan pembunuh dari suhumu hanya tergantung pada sikap dan tindakanmu saat itu.”

Siu-la m menyatakan kesanggupannya.

Tio It-ping menghe la napas: “Orang she Su itu aneh sekali perangainya. Seumur hidup dia  tak  me mperdulikan orang. Dia dingin sekali sikapnya. Nah, waktu berharga sekali. Tak dapat kuceritakan lebih panjang. Segeralah kau berangkat. Dan dalam satu dua hari lagi akupun tentu menyusul ke sana…”

Tio It-peng merenung sejenak, lalu berkata lagi:  “Jika dalam tiga hari aku belum t iba, gunakan kekuasaan uang emas minta pada Su Ba-tun supaya dalam waktu tiga bulan harus dapat me mberi keterangan siapa pe mbunuh suhumu!”

Tio It-peng menghela napas.

Setelah mener ima petunjuk-petunjuk dari supehnya, Siu- lam segera minta diri. Menjelang petang, tibalah ia di sebuah kota kecil. Karena sehari se mala m ia tak makan, perut Siu- lam terasa merintih. Kebetulan di dekat  jalan  ia  meliha sebuah warung makan.

Sebuah    warung    makan    yang   sederhana.    Hanya me mpunyai tiga buah meja dengan kursi-kurs i yang kasar. Karena lapar sekali, Siu-la m segera berseru me manggil pelayan. Tetapi tak ada yang menyahut.

“Hai, apakah di warung ini tiada orang?” serunya dengan keras.

Seorang dara berumur lima belas enam belas muncul dari kain penutup pintu. Pakaiannya dari kain kasar, rambutnya dikepang dua dan suaranya melengking  runcing:  “Ayah sedang ke pasar. Makanan sudah habis dipesan kedua tamu itu!” Me mang sebelum Siu-la m masuk, di warung itu sudah terdapat dua orang tamu.

“Setan alas, kalau makanan habis mengapa tak tutup….” Siu-la m marah tetapi pada la in saat ia teringat. Apa perlunya ia harus marah- marah  terhadap seorang perawan desa. Segera ia tertawa ramah: “Karena sudah sejak tadi mala m tak makan dan saya masih perlu melanjutkan perjalanan jauh, maka tolonglah nona buatkan ma kanan sederhana. Terserah apa saja. Nanti akan kubayar secukupnya.”

Semakin Siu- lam marah, si  dara tenang saja.  Sedikitpun tak takut. Setelah Siu-lam habis bicara, barulah nona itu tersenyum: “Menilik pakaian dan gaya, tuan tentu  putera orang raja atau pangkat. Warung desa kecil ini, persediaan makanan me ma ng terbatas. Kalau habis ya habis benar- benar. Sekalipun tuan hendak me mbayar berapa, aku tak dapat.”

Nada dan rangkaian kata-katanya luwes serta lancar. Jelas kalau perawan itu tentu berpendidikan. Tetapi  mengapa tinggal di desa sunyi?

Di luar kesadarannya, Siu-la m  mengangkat  kepala  dan me mandang gadis itu. Ah, seorang gadis  jelita.  Dalam pakaian serba sederhana, gadis itu tetap menonjol kecantikannya. Hanya kulitnya agak kehitam-hita man. Serta merta Siu- lam me minta maaf atas kata-katanya yang kasar tadi. Setelah itu Siu- lam ngeloyor pergi.

“Tunggu dulu, tuan!” tiba-tiba gadis itu melengking.

Ketika Siu-la m berpaling, tampa k gadis itu telah berdiri di ambang  pintu   warung,   serunya   sambil   tersenyum: “Mene mpuh perjalanan dalam hawa yang begini dingin, tentulah tuan mempunyai urusan yang penting sekali. Hari sudah ha mpir gelap, tentu makin dingin. Meskipun tuan seorang persilatan, tetapi jangan harap dapat berburu binatang   untuk   isi  perut.   Binatang-binatang   sama menye mbunyikan diri karena hawa dingin.”

Siu-la m terkesiap. Ia heran mengapa dara itu tahu kalau ia bisa ilmu silat.

“Jika tak meno lak, silahkan tuan masuk ke dalam lagi, nanti akan kusiapkan masakan seadanya,” dara itu tersenyum.

Siu-la m benar-benar tercengang. Gerak-gerik dan ucapan gadis itu me mang serba mengherankan. Pikirnya ia hendak meno lak, tapi perutnya sudah tak tahan lagi. Terpaksa ia menurut tawaran gadis itu.

Eh… Siu- lam terbeliak. Kedua orang lelaki yang duduk di meja tadi, masih terpaku di tempatnya. Seperti patung yang tak bergerak. Timbul kecurigaan Siu-la m. Dipandanginya kedua tamu itu. Astaga….! Kedua  tamu  itu  ternyata  tak dapat berkutik karena tertotok jalan darahnya. Tadi  karena me mikirkan    perutnya    yang    lapar,    ia    tak    se mpat me mperhatikan keadaan kedua orang itu.

Si dara tertawa tawar.  Rupanya ia  tahu keterkejutan Siu- la m. Serunya: “Jika tuan tak merasa jijik, silahkan mendahar masakan kedua orang itu dulu. Mereka belum menja mahnya.”

“Terima kasih,” sahut Siu-la m, “tetapi hidangan yang sudah dipesan orang, masakan hendak kurebut!”

Si dara tertawa: “Baiklah, kalau tuan tak ma u, tunggulah sebentar kumasakkan.” Ia terus masuk ke dalam dapur.

Siu-la m se mpat me mandang keadaan warung itu. Sebuah warung yang hanya mempunyai tiga ruangan kecil. Ruang muka untuk tetamu, tengah untuk meracik hidangan  dan dapur untuk masak. Kecuali tiga meja dan beberapa kursi bambu, warung itu tidak ada perkakas lain- lainnya lagi.

Seketika timbullah kecurigaan Siu- la m. “Tempat sesepi ini tentu jarang dikunjungi tetamu. Hih, jangan-jangan warung ini warung hitam untuk me njegal orang… Gadis itu, gadis itu me mang mencur igakan!”

Tiba-tiba si dara muncul dengan me mbawa setalam berisi sepuluh butir telur rebus: “Maaf, hanya ini yang dapat kuhidangkan. Mudah-mudahan dapat menenangkan perut tuan!”

Siu-la m menge luarkan uang perak: “Harap nona suka terima sedikit pengganti pe mbelian telur ini!”

“Ah, hanya sepuluh butir telur masakkan  tuan begitu sungkan?” seru si dara dengan sa ma sekali tak me mandang uang perak yang diletakkan di atas meja.

Tetapi Siu- lam me ndesaknya. Setelah mengucap terima kasih segera ia menyambar telur dan keluar….

Kira-kira sepuluh lie jauhnya, barulah ia berhenti. Saat itu cuaca sudah gelap. Dan benar yang dikatakan gadis pemilik warung tadi, di hadapannya kini terbentang hutan pegunungan. Siu-lam menghela napas. Apa boleh buat. Ia segera me makan telur lalu duduk di tanah  menyalurkan napas. Setelah rasa letih hilang, barulah ia bangun dan meneruskan perjalanan.

Setengah jam ke mudian, jalan makin berbahaya. Lamping gunung penuh jurang dan tebing terjal. Batu-batu karang menggunduk t inggi, menutup ja lan. Apa lagi jalan-jalan tertutup hilang oleh salju. Siu-la m benar-benar harus peras keringat. Berjalan mala m hari di pegunungan yang tertutup salju, sungguh berbahaya sekali!

Menjelang fajar, barulah ia tiba di tempat tujuan ini di karang Po-to-kang. Puncak gunung menyusup  ke  dalam awan, lerengnya melanda i berkilat-kilat licin sekali.

Karena sehari semala m mene mpuh perjalanan, Siu- lam letih sekali. Ia merasa tak kuat untuk mendaki ke puncak. Terpaksa ia beristirahat di bawah karang. Tak terasa ia tertidur. Ketika bangun, matahari sudah sepenggalah tingginya.

Menurut keterangan Tio It-ping, dataran Co-yang-ping itu terletak di la mping gunung yang penuh batu karang. Kecuali me mang ala mnya, pun keadaan di situ diperbaiki lagi oleh Su Bo-tun sehingga merupakan sebuah te mpat-tempat yang tak mudah dicapai orang.

Ketika tiba di daratan Long-yang-ping, dilihatnya sebuah karang yang mengunjuk besar sekali, menyerupai  sebuah bukit kecil. Jalanan ke karang it,  hanya dicapai dengan gunduk-gunduk tiang batu yang hanya cukup dila lui seseorang. Setiap gunduk tiang karang, terpisah dua-tiga meter. Sekali orang tak berhati-hati, pasti akan tergelincir jatuh ke dalam jurang di bawah. Sebuah jurang yang tak kelihatan dasarnya…..

Siu-la m me mperhitungkan kepandaiannya. Ia merasa dapat melintasi jalanan berbahaya itu. Segera ia berseru nyaring: “Wanpwe Pui Siu- lam mohon berte mu pada locianpwe…” ia menutup kata-katanya dengan sebuah gerak Walet Menerobos Awan. Tubuhnya mencelat  ke  udara dan  me layang  turun  ke  tiang   karang  yang  pertama.   Ketika me mandang ke bawah, matanya berkunang-kunang, bulu roma bergidik. Jauh di sebelah bawah, terhampar sebuah jurang yang tak diketahui dasarnya, buru-buru ia pejamkan mata dan pusatkan pikiran. Kemudian ia apungkan tubuh ke udara dan melayang ke batas karang yang kedua.

Kini ia me mpunyai pengala man.  Tak mau ia  me mandang ke bawah agar nyalinya tak pecah. Dan mulailah ia melayang ke batu karang yang ketiga. Setelah berturut-turut melayang delapan kali, habislah tiang-tiang karang yang menjadi penghubung dengan karan bunting. Kini jaraknya  hanya tinggal tiga tomba k. Suatu jarak yang tak mungkin dapat ia loncati. Tengah ia gelisah menghadapi r intangan terakhir tiba-tiba terdengarlah lengking suara tajam menyusup ke telinganya: “Guruku sudah sela ma dua puluh tahun putuskan hubungan dengan dunia luar. Lebih baik kau ke mba li saja!”

Siu-la m terkejut. Ketika me mandang seksa ma ta mpak seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun. Sepasang  mata pemuda baju biru itu berkilat-kilat me mandang Siu-la m dengan pandangan dingin.

Karena sudah dipesan Tio It-ping, Siu- lam pun mengekang kesabarannya. Ia me mberi hor mat: “Aku Pui Siu-la m hendak mohon menghadap Su- locianpwe. Ada urusan penting yang hendak  kusa mpaikan  pada  beliau.  Harap  saudara  suka   me laporkan pada beliau. Harap saudara suka  melaporkan pada beliau!”

Pemuda yang berkulit hitam itu tertawa mengakak: “Ho, belum pernah aku bertemu dengan orang berkulit setebal kau. Sudah kukatakan suhu tak mener ima tetamu, kalau tak percaya, bolehkan kau tungguh sa mpa i se minggu  atau sebulan!” Habis berkata ia terus berputar diri dan me langkah pergi.

“Tunggu!” teriak Siu- la m.

Pemuda berkulit hitam berhenti dan berputar tubuh, serunya geram: “Seorang lelaki mengapa banyak mulut? Apakah tak merasa malu?”

Siu-la m mengeluarkan uang emas dan diangsurkan ke atas: “Kenalkah saudara akan benda ini?”

Sejenak me mandang uang e mas itu, kerut wajah pemuda berkulit hitam itu rupanya agak tenang. Ia tertawa: “Mengapa dari tadi kau tak mau mengatakan me mbawa Soh-in- kim- chi dari suhuku sehingga aku bersikap kasar?” Pemuda  itu  segera  menge luarkan  segulung  tali  terus dile mparkan ke arah Siu-la m. Le mparannya tepat  sekali. Ujung tali me layang ke dada Siu-la m dan disa mbutinya.

“Jika saudara percaya padaku, peganglah tali erat-erat dan kutarik ke mari. Tetapi jika saudara tak percaya kepadaku, silahkan mengikat ujung tali pada tiang karang dan gunakan ilmu meringankan tubuh meluncur di sepanjang tali!”

“Tentu, aku tentu percaya pada saudara,” seru Siu- la m. Setelah mencekal tali dengan kedua tangan, segera diayunkan tubuh melayang ke bawah. Cepat sekali ia sudah melayang ke batu karang. Begitu membentur karang, tiba-tiba tubuhnya terangkat naik dan tahu-tahu sudah berada di atas karang buntung.

Pemuda muka hitam menggulung tali  dan  tertawa: “Dengan Soh-in- kim-chi dari suhuku, saudara tentu sudah mengerti cara mene mui suhu.”

Soh-in-kim-chi artinya uang e mas pengikat budi, Siu- lam gugup. Jika mengatakan terus terang, ia kuatir pemuda muka hitam itu akan me mperolo knya. Maka ia menjawab: “Masa  kau tak tahu!”

“Mana berikan padaku!” pe muda muka hitam tertawa dan angsurkan tangannya.

Tetapi Siu- lam cukup cerdas. Cepat-cepat ia mengelak: “Soh-in kim-chi dari Su locianpwe ini merupakan barang tak ternilai. Hendak kuhaturkan sendiri pada Su lo-cianpwe.”

“Tetapi saat ini suhu sedang semedhi, tunggu saja dua jam lagi!” kata si muka hita m.

“Tetapi  urusan  ini  penting  sekali,  jika  saudara   suka  me mbantu, aku tentu berterima kasih sekali,” desak Siu- la m. Bahkan ia segera menjura. Akhirnya pemuda muka hitam itu terpaksa menggerutu: “Baik, baik, coba-coba saja aku laporkan. Tetapi berhasil tidaknya tergantung dari peruntunganmu.

Segera  ia  berlari menuju  ke  sebuah  gubuk. Tak berapa la ma ia muncul lagi dan tertawa-tawa: “Peruntunganmu besar sekali, suhu suka mener ima!”

Siu-la m menghaturkan terima kasih dan menanyakan nama si hitam itu.

“Aku she Seng na ma Kim- po.”

“Saudara Seng tentu mewarisi kepandaian Su lo-cianpwe yang sakti. Kelak apabila muncul di dunia persilatan tentu menjadi bintang yang ce merlang!”

Kim-po tertawa: “Suhu tak suka campur urusan dunia, tak suka menerima ta mu. Dan aku sendiripun tak suka  cari nama.”

Merekapun tiba di muka pondok. Kim-po  me mbawa tamunya masuk. Di ruang dalam mereka berhadapan dengan seorang tua bertubuh kurus. Mengenakan baju pendek warna biru, berikat pinggang tali rumput. Orang tua itu duduk di sebuah kursi kayu. Wajahnya dingin. Kedatangan kedua pemuda itu tak dihiraukan sa ma sekali.

Siu-la m me mberi hor mat, serunya: “Wanpwe Pui Sui-la m mohon menghadap Su lo-cianpwe.”

Su Bo-tun mendengus dingin. “Aku tak suka bicara dengan orang yang tak berkepentingan. Berikan Soh-in-kim-chi dulu baru kita bicara lagi.”

Dia m-dia m Siu- lam  mendo ngkol.  Tapi  ia terpaksa menge luarkan Soh- in-kim-chi. Ketika menya mbuti dan selesai me mer iksa, Su Bo-tun menghe la napas. “Inilah uang emas hutang budi yang terakhir kukeluarkan. Sehabis ini, aku sudah tak berhutang budi pada orang lagi. Bilang, kau perlu apa padaku?” kata Su Bo-tun.

“Pe megang Soh-in-kim-chi, karena masih ada urusan dan lalu agak lambat datang. Aku hanya disuruh menyampaikan dulu pada lo-cianpwe.”

Seketika wajah Su Bo-tun berubah gelap, dengusnya:  “Siapa yang suruh kau ke mar i, katakan! Karena beberapa biji Soh-in-kim-chi, aku telah mender ita kedinginan di Co-yang- ping  sini   sela ma   duapuluh    mus im   dingin.    Jika    tak me mber itahukan siapa yang menyuruh kau, anak  muda seperti kau, jangan harap kau bisa pergi dari sini!”

Betapa geram hati Siu- lam namun ia masih bisa bersikap tenang dan menghias sebuah tawa: “Ke masyhuran na ma lo- cianpwe, siapakah yang menaruh perindahan….”

“Jangan ngaco belo!” bentak Su Bo-tun. “Di dunia persilatan hanya sedikit sekali yang tahu diriku. Hm,  anak muda seperti kau, sudah pandai menjilat pantat!”

Karena ingat pesan Tio It-ping, Siu-la m tetap mengekang diri. Walaupun dima ki, ia tertawa: “Tokoh sakti seperti lo- cianpwe, karena enggan keluar sudah tentu banyak angkatan muda seperti wanpwe yang tak mengenal….”

Mata Su Bo-tun berkilat, dibentaknya Siu-la m dengan marah: “Aku benci dengan manusia palsu. Kalau kau  mau minta tolong, lekas bilang. Jika bicara yang tak ada gunanya, jangan kaget kalau penyakit ge mar me mbunuhku kumat lagi!”

Hampir Siu- lam kehilangan sabar. Pada saat ia  hendak balas menda mprat, tiba-tiba  terlintas  bayangan  ngeri  dari ke matian suhunya.

“Siu- la m. Siu-la m. Jika kau tak dapat menahan kesabaran, mungkin kau akan bentrok dengan Su Bo-tun. Kau mati tak mengapa, tapi bagaimana dengan cita-citamu hendak me mba laskan sakit hati gurumu?” dia m-dia m ia me ma ki dirinya sendiri.

Serentak ia tenang lagi dan tertawa tawar, sahutnya: “Wanpwe hanya disuruh. Sudah tentu tak berani mengambil keputusan sendiri. Harap lo-cianpwe me maafkan.”

Jawaban yang tenang hambar itu me mbuat Su Bo-tun tak berdaya. Ia kerutkan dahi: “Kalau tak bisa a mbil putusan, perlu apa kau datang kemari? Apakah maksudmu suruh aku menge mba likan lagi uang ini kepada mu.”

“Banyak terima kasih karena lo-cianpwe sudi menyerahkan ke mbali uang e mas itu kepada wanpwe,” kata Siu- lam sa mbil me mbungkuk me mberi hor mat.

Su Bo-tun mendengus: “Hm, hidup tujuhpuluhan tahun baru sekali ini aku berte mu dengan ma nusia yang begini berbelit!”

Walaupun mengo me l tetapi ia serahkan kembali uang emas Soh-in-kim-chi kepada Siu- la m.

Setelah menyimpan uang e mas Siu-la mpun tertawa, ujarnya: “Wanpwe hendak mohon bantuan lo-cianpwe tentang diri seseorang. Apakah lo-cianpwe mengetahui?”

Su Bo-tun mendengus: “Asal kau mau menyerahkan Soh- in-kim-chi kepadaku, cukup kau sebut nama orang itu, tentu akan kucari dan kubawanya ke mari.”

“Ah, tak perlu,” kata Siu- la m, “wanpwe hanya sekedar bertanya saja. Kalau lo-cianpwe tak tahu, tak apalah. Tetapi wanpwe tahu orang itu me mang sudah berada di Co-yang- ping sini!”

“Kurang ajar, siapakah yang berani menyusup ke Co-yang- ping tanpa ijinku, bilang!” Su Bo-tun melengking marah. Siu-la m tertawa: “Dia orang she Ciu, na manya Hui-ing. Tahun ini berumur delapan belas tahun. Entah benar tidak dugaan wanpwe itu?”

Serentak berbangkitlah Su Bo-tun dan me la mbai pada Kim- po: “Bawa budak ini kepada budak perempuan itu! Lekas, aku mua k me lihat ta mpangnya!”

Kim-po segera mengajak Siu- lam keluar.

“Siasat me mba kar hati yang saudara lakukan tadi, hebat benar. Sejak aku menjadi mur id suhu, belum pernah kulihat beliau mengaja k orang bicara begitu la ma,” Kim- po me muji.

Siu-la m jawab: “Dunia persilatan menyohorkan Su lo- cianpwe berwatak aneh. Tetapi apa yang kusaksikan tadi, ternyata tak sesuai. Bukan saja beliau seorang tokoh yang pegang janji pun hanya lahirnya saja seorang yang dingin tapi hatinya mudah terbakar.”

Berubahlah seketika wajah Kim-po, katanya dengan tajam: “Sebaiknya jangan menilai diri suhuku agar jangan ditimpa bencana maut!”

Siu-la m mengia kan. Tapi dia m-dia m ia menggerutu dalam hati: “Guru kencing berdiri, mur id kencing berlari. Gurunya kukway, mur idnyapun aneh. Eh, mengapa mereka bisa saling bertemu?”

Dalam bercakap-cakap itu mereka tiba di ujung karang. Menunjuk pada sebuah lekukan batu karang, berkatalah Kim- po: “Aku paling takut bicara dengan pere mpuan. Pere mpuan itu berada dalam goa. Apabila berjalan ke ujung situ, tentulah saudara akan melihat pintu masuknya.”

Dan habis berkata Kim-po berputar tubuh terus me lesat tinggalkan tamunya. Siu-la m tak menghiraukan pemuda limbung itu, benar juga ketika tiba di ujung karang, ia melihat pintu sebuah goa. Setelah masuk dan me lalui tiga buah tikungan, tibalah ia di hadapan sebuah kamar batu seluas satu tombak. Seorang dara berbaju biru sedang duduk bersila me ma ndang ke langit kamar. Seolah-olah sedang merenungkan sesuatu.

Hati Siu-la m bergetar keras sekali ketika melihat dara itu adalah sumoaynya Ciu Hui-ing yang telah berpisah selama dua tahun. Melihat sumoaynya tak kurang suatu apa, sampai beberapa saat Siu-la m tak dapat bicara.

“Adik Ing….” akhirnya berserulah Siu-la m dengan nada agak ge metar.

Dara itu terkejut dan berpaling. “Hai, Pui su-heng!” serentak ia loncat berbangkit.

Entah bagaimana perasaan Siu-la m menghadapi pertemuan itu. Tapi yang nyata ia mencucurkan air mata karena teringat akan nasib ma lang yang menimpa kedua suhunya.

“Pui suheng, kau mengapa?” seru Hui-ing terheran-heran  me lihat Siu-la m me nangis. “Apakah suheng menjenguk ke rumahku? Bagaimana keadaan ayah bundaku?”

Gemetar tubuh Siu-la m menerima pertanyaan semacam itu. Namun diulasnya sang wajah dengan tertawa: “Suhu dan subo sehat walafiat.”

“Lalu mengapa  kau mengucur kan air mata?” Hui- ing kerutkan dahi.

Setiap patah kata-kata dara itu dirasakan Siu-la m seperti pisau yang menyayat hatinya. Hampir ia tak dapat menahan banjirnya sang air mata. Tetapi dikeraskan juga hatinya dan agar jangan diketahui sang sumoay, iapun tertawa ringan: “Aku terharu girang karena pertemuan ini. Bukankah sudah dua tahun berpisah?”

Jawaban itu membuat si dara tersipu malu, gerutunya: “Ah, penyakit suheng masih belum baik. Selalu suheng suka berolok-olo k!” Hui- ing mengeluarkan sapu tangan dan diberikan kepada Siu-la m: “Pesutlah air matamu agar jangan ditertawakan orang. Masakan sudah besar masih seperti bocah kecil saja. Sedikit-sedikit menangis.”

Siu-la m menurut. Ke mudian ia bertanya: “Mengapa kau lari ke tempat itu sehingga aku bersusah payah mencarimu?”

Hui- ing tertawa: “Setengah bulan yang la lu, entah bagaimana tiba-tiba ayah suruh aku me mbawa sebuah uang emas kepada Sin-chiu- kian- in Su Bo-tun. Maksudnya minta Su Bo-tun supaya suka member i pelajaran ilmu silat kepadaku. Huh, tua Bangka Su itu ternyata manusia berhati dingin dan berwatak aneh. Dia tak mau banyak bicara.  Begitu menerima uang emas yang kuserahkan, terus diamat-amati seperti orang yang belum pernah me lihat uang. Dia tertawa gelak-gelak seperti  orang  gila.  Tetapi  begitu  kukatakan  supaya   dia me mber i pelajaran silat kepadaku, serentak berubah gelaplah wajahnya. Dia suruh mur idnya me mbawa aku ke sini. Hari kedua, dia baru datang ke sini me mberi pelajaran ilmu silat. Aku tak boleh keluar dari ka mar ini. Tiap hari muridnya yang bermuka hitam itu yang mengantar makanan. Aku sebal sekali. Kuanggap orang she Su itu tak me mberi pelajaran ilmu silat mela inkan suruh aku duduk sepanjang hari di sini. Kuhitung, sampa i hari ini sudah berjalan setengah bulan lebih. Tetapi Su tua itu tak pernah datang lagi. Jika  tahu begini  lebih baik  kutolak  perintah  ayah  sekalipun   aku  tentu  dida mpratnya!”

Siu-la m tahu sumoaynya itu manja sekali. Tentulah tak betak ditahan dalam kamar yang sesunyi itu. “Suhu suruh kau me mpe lajari  ilmu  silat   apa?”  tanyanya.   Diam-dia m  ia  me mbenarkan dugaan supehnya Tio It-ping bahwa suhunya me mang sebelumnya sudah tahu akan bencana ma ut itu. Tetapi yang menjadi  keheranan Siu-la m, kalau se mpat mengungsikan puterinya, mengapa  suhunya itu tak mau menyingkir sendiri? Kembali Siu-la m menghela napas panjang.

“Suheng, kau ini kenapa? Mengapa beda  dengan biasanya?” Hui-ing benar-benar heran.

Siu-la m gelagapan, ujarnya sekena saja: “Su lo-cianpwe meskipun berwatak aneh tetapi me mpunyai kepandaian yang sakti. Jika adik Ing bisa mendapatkan pelajarannya, tentu bermanfaat sekali….”

“Oh, kau ini suheng!” Hui- ing tertawa, “Ke manakah terbangnya pikiranmu? Mengapa ucapanmu simpang-s iur tak karuan. Hm, entah apa yang sedang kau pikirkan.”

Melihat tingkah laku Hui-ing mas ih sa ma seperti semula, mulailah timbul se mangat Siu- la m. Jelaslah bahwa sumoaynya tak tahu sama sekali tentang peristiwa yang menimpa keluarga Ciu.

“Eh, adik Ing, kau tadi belum menerangkan pertanyaanku,” kata Siu-la m, “yaitu tentang ilmu kepandaian yang kau minta pada Su lo-cianpwe!”

“Sebuah ilmu silat yang gayanya mirip untuk menghindari serangan musuh. Tetapi aku sendiripun tak mengerti di mana letak keistimewaan ilmu itu.” Hui-ing mengutarakan keluhannya, “Ketika pertama kali datang me mber i pelajaran, Su Bo-tun mengatakan bahwa ilmu sakti yang diajarkan itu sebuah ilmu yang sakti. Tak se mbarang orang ma mpu meyakinkan berhasil. Si tua itu hanya mengajar kan, dia tak ambil mumet apakah aku dapat mener imanya atau tidak. Dia tak mau menye mbunyikan ilmunya. Seluruh jurus diajarkan padaku. Tetapi dia hanya mengajar satu kali saja tak mau untuk yang kedua kali. Sebagai batas waktu aku diberi tempo tiga bulan.  Dalam  tiga  bulan,  sampai  dimana  aku  dapat me mpe lajari, disitulah dianggap selesai. Aku harus meninggalkan Co-yang-ping. Coba kau  pikir,  suheng. Masakan di dunia ada seorang guru yang sede mikian sintingnya. Tidak mau me mberi pelajaran yang kedua kalinya, bisa atau tidak, itu urusan mur idnya….”

Siu-la m merenung sejenak, ujarnya: “Tahukah adik  Ing, apa nama ilmu pelajaran itu?”

“Ayah mengatakan padaku supaya aku minta  pada si tua Su mengajarkan ilmu kepandaian Chit-sing-tun-hiang (tujung bintang meluncur). Me mang ilmu itu berdasarkan tujuh gerak langkah. Lingkarannya hanya setombak. Aku tak percaya suheng, bahwa dalam gerak lingkaran sese mpit itu kita dapat menghindari serangan musuh.”

Siu-la m me ma ndang ke sekeliling ka mar. Memang di tengah ruang, terdapat bekas-bekas telapak kaki.

“Suhu me miliki ilmu silat dan ilmu pedang yang hebat. Mengapa dia masih suruh puterinya minta pelajaran dari pada Su Bo-tun? Rahasia apakah yang tersembunyi dalam ilmu silat Chit-sing-tun-heng itu?” dia m-dia m ia menimang dalam hati.

Me mperhatikan bekas telapak kaki, Siu-la m me ndapat kesan bahwa ilmu silat Chit-sing-tun-heng me ma ng mirip dengan ilmu Thian- kong-chit-sing!

“Suhu seorang tokoh yang luas pengalaman. Kalau beliau menyuruhmu belajar di sini, tentulah karena mengetahui kesaktian Su lo-cianpwe,” kata Siu-la m.

“Eh, karena kaulah yang selalu bertanya ini itu, sampai aku tak sempat bertanya padamu. Apakah ayah mengatakan padamu aku berada di sini? Tetapi tentulah beliau tak menyuruhmu datang ke sini!” seru Hui- ing.

“Mengapa?” Siu- lam heran.

Hui- ing tertawa mengikik. “Mudah saja. Ketika menyerahkan uang e mas Soh- in-kim-chi, ayah menandaskan bahwa dia hanya memiliki sebuah saja. Maka aku dipesan wanti-wanti jangan sampai menghilangkan dan harus menyerahkan sendiri pada Su Bo-tun. Co-yang-ping merupakan gunduk karang yang terpisah dari deretan karang- karang lain. Jika tiada orang yang menyambut, tak mungkin orang ma mpu datang kemari. Tak me mbawa uang emas Soh- in-kim-chi, tak mungkin diterima Su Bo-tun. Su Bo-tun hanya me mandang uang e masnya tidak me mandang orang. Tak mungkin ayah me mberi Soh-in-kim-chi. Karena tak  punya uang emas itu tak mungkin ayah tega menyuruhmu datang ke Cio-yang-ping!”

“Hanya berpisah dua tahun saja, kau sudah pintar, adik Ing,” Siu- lam tersenyum. Ke mudian ia menge luarkan Soh-in- im-kim-chi.

“Hai, dari ma na kau mendapatkan benda itu? Masakan ayah……”

“Jangan ngawur, adik Ing,” sahut Siu-la m, “Benda ini pemberian dari Tio supeh…” tiba-tiba Siu- lam teringat lagi akan peristiwa ngeri yang terjadi di dalam rumah tangga suhunya. Darahnya bergolak keras hampir ia tak dapat menahan air matanya. Buru-buru ia berbatuk-batuk untuk menutupi perasaannya.

“Pui suheng, sikapmu hari ini benar-benar aneh. Apakah yang sebenarnya telah terjadi selama ini?” akhirnya Hui- ing mendesak.

“Apanya yang aneh? Ah, janganlah adik Ing banyak curiga. Hanya karena….” Walaupun Siu-la m seorang pe muda cerdas, tetapi di hadapan sumoaynya yang sejak kecil menjadi kawan sepermainannya mulutnya terasa berat untuk berbohong.

“Karena apa? Hm, jelas kau tentu menye mbunyikan apa- apa terhadapku. Jika tak mau mengatakan sebenarnya, sudahlah, tak usah kita bertemu lagi!”

Siu-la m makin gelisah. Sampai beberapa saat ia termangu- mangu tak dapat bicara. Tak tahu ia  harus  berbuat bagaimana. Tiba-tiba dari belakang terdengar sebuah suara yang bernada dingin: “Sekarang akan kuberi pelajaran tentang gerak perubahan dari pelajaran te mpo hari.”

Kedua suheng dan sumoay itu terkejut. Ketika berpaling ternyata Su Bo-tun sudah masuk menggendong tangan di punggung. Kedatangannya sama sekali tak terdengar. Dia orang she Su itu me nengadah me mandang ke langit ka mar. Sama sekali tak me mperdulikan kedua pe muda.

Siu-la m berkata: “Yang penting belajarlah ilmu silat itu sampai paham. Nanti kita bicara lagi.” Ia terus melangkah keluar.

Ketika Siu-la m me mberi hor mat, Su Bo-tun tak menghiraukan, seolah-olah tak me lihatnya. Angkuh dan congkak benar orang she Su itu.

“Ilmu Chit-sing-tun-hing yang lo-cianpwe berikan padaku itu, dapatkah dipersingkat waktunya? Jika disekap dalam tempat begini, belum tiga bulan aku tentu sudah mati!”  Hui- ing me lengking.

Sambil me mandang ke langit ka mar, Su Bo-tun menyahut tawar: “Tiga bulan tetap tiga bulan, seharipun tak boleh kurang!”

“Kalau aku tak mau?”

“Aku tak perduli kau mau tak soal,” sahut Su Bo-tun, “tetapi aku tetap mengajarkan sampai selesai. Seumur hidup aku tak suka berhutang budi orang.”

Hui- ing makin mendongkol terhadap sikap dan kata-kata Su Bo-tun yang mau menang sendiri. Tiba-tiba ia lari me nerobos keluar seraya berteriak: “Aku tak sudi menerima pelajaranmu, mau apa?”

Su Bo-tun marah, ia tampar tangan kiri. Pintu ka mar tertutup dan serempak Hui- ing rasakan dilibat oleh suatu tenaga tarik yang menyedot tubuhnya. Ia terkejut. Su Bo-tun tertawa dingin. “Perhatikan baik- baik, sekarang kuajarkan tujuh perubahan dari ilmu Chit-sing-tun-hing!”

Habis berkata tanpa me mperdulikan apakah Hui- ing menurut atau tidak, Su Bo-tun pun segera berlincahan di antara bekas-bekas telapak kaki dalam lantai ruangan situ.

Karena geramnya, Hui-ing peja mkan mata tak sudi me lihat. Tetapi Su Bo-tun pun tak menghiraukan. Dia tetap bersilat terus….

Sekalipun mera m tetapi dia m-dia m Hui- ing teringat akan pesan ayahnya supaya menggunakan hak Soh-in- kim- chi untuk belajar Chit-sing-tun-hing. Jika ia menur uti ke marahan dan tak ma mpu me mpelajari ilmu itu, bukankah ayahbundanya akan berduka?

Tiba-tiba ia me mbuka mata. Yang na mpa k di hadapannya hanyalah sesosok bayangan menyambar kian ke mar i seperti kilat.

“Huh, berputar-putar seperti orang gila begitu,  apanya yang harus kupelajari? Asal orang memiliki ginkang tinggi tentulah ma mpu melakukan gerak se maca m itu!” dengus Hui- ing.

Tiba-tiba tubuh Su Bo-tun berputar seperti roda dan beberapa kejap ke mudian berhenti seketika.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar