Si Rase Kumala Bab 25 : Pria Mati, Bila Masuk

25. Pria Mati, Bila Masuk

„Tidak berhasil membalas sakit hati, pun Pao-gwat-chung tetap akan kuhancurkan!" Kiau Hoan membulatkan tekadnya.

Selagi dia berpikir begitu, disana Gan-li Cinjin telah tutukkan dua buah jarinya ke arah jalan darah ciang-thay-hiat Go Ki. Namun seperti tak merasa apa-apa, Go Ki kerahkan tongkatnya untuk menghantam kepala Gan-li.

Tokoh dari pulau Cip-peng-to itu tertawa dingin. Dia tahu lawan akan mengayak mati sama-sama. Begitu bahunya tergetar, dia segera nyelonong ke samping.

Inilah memang yang dikehendaki Go Ki. Begitu Gan-li hendak menyerang, dia (Go Ki) sudah mendahului enjot tubuhnya ke atas udara. Sekali berputaran, dia sudah melayang turun empat tombak jauhnya, terus hendak melarikan diri.

„Mau lari kemana kau?" seru Gan-li setelah mengetahui dirinya diselomoti. Malah berbareng dengan seruannya itu, orangnya pun sudah terbang mengejar, sembari kebut- kebutkan lengan jubahnya. Beberapa bintik sinar biru macam ular hidup segera melayang ke arah punggung Go Ki.

Saat itu Kiau Hoan pun lancarkan beberapa serangan hebat untuk mendesak Liong Bu-ki. Dan begitu lawan mundur, dia terus enjot kakinya. Begitu di atas udara, matanya segera tertumbuk akan beberapa sinar biru yang berkelip-kelip tadi. Kejutnya bukan kepalang.

„Go hiangcu, awas, senjata rahasia coa-yan-cian Kho Goan- thong, lekas membungkuk ”

Belum habis Kiau Hoan memberi peringatan, disana Go Ki sudah menjerit ngeri.

„Nah, rasakanlah coa-yan-cian yang akan membakar dirimu, pengecut!" Gan-li Cinjin tertawa sinis.

Memang Cian-ciu-wi-tho Go Ki telah terkena dua batang panah dipundaknya. Begitu menyentuh daging, coa-yan-cian itu mengeluarkan suara letikan pelahan, lalu memancarkan bintik-bintik sinar biru macam kunang-kunang. Memang dari kejauhan tubuh Go Ki tampak bergemerlapan seperti berhias bintang, tapi sakitnya bukan kepalang.

Kelihayan dari senjata panah coa-yan-cian itu, begitu mengenai tubuh, lantas pecah membiak. Ya, hanya dalam beberapa kejap saja, tubuh Go Ki sudah dijalari sinar kunang- kunang.

Pakaiannya luar dalam, sudah habis terbakar. Hidup Go Ki penuh berlumuran darah, tapi akhirnya diapun harus menerima kematian yang mengerikan. Dengan mengerang- erang kesakitan, dia segera bergelundungan ke tanah untuk memadamkan api itu.

Tapi api itu memang luar biasa anehnya. Waktu dipadamkan makin membakar dan Go Ki pun makin merintih- rintih memilukan hati.

Orang-orang yang menyaksikan, sama bercekat kaget.

Dunia persilatan menyohorkan sebagai raja api, namun kecuali Siau Ih yang pernah merasakan serangan hui-thian- hwat-yan (burung walet berapi) dari murid Gan-li Cinjin, sekalipun Thiat-san-sian Liong Bu-ki yang menjadi sahabatnya berpuluh tahun serta puterinya sendiri (Kho Wan-ji), semua belum pernah menyaksikan kelihayan senjata panah yang ganas itu.

Saking ngerinya, Wan-ji menjadi pucat dan terus lari menubruk sang ayah: „Ayah ……”

Gan-li memeluk puterinya. Meskipun maksudnya hendak menghibur, tapi wajahnya yang dingin itu tetap menampilkan kemarahan.

Melihat sang kawan mengalami nasib ngeri, nyali Kiau Hoan menjadi copot. Dia harus lekas-lekas bertindak untuk lolos.

Secepat mengambil keputusan, segera dia enjot tubuh melayang melampaui kepala Liong Bu-ki lalu melayang turun ke padang bunga. Jadi dia tak mengambil jalan turun gunung, sebaliknya malah kembali masuk ke Pao-gwat-chung lagi.

Cepat dia merogoh kedalam bajunya. Tapi baru dia hendak berpaling untuk menimpukkannya, terlintas sesuatu pada pikirannya: „Ah, kalau seranganku ini gagal, berarti membuang kesempatan untuk lolos. Lebih baik kuteruskan rencana semula, menghancur leburkan desa ini!"

Ketika sekalian orang menyadari, Kiau Hoan sudah berada sepuluh tombak jauhnya. Dengan menggerung keras, Liong Bu-ki cepat mengejar. Tapi secepat itu pula dia segera melihat si Manusia Iblis berulang-ulang mengayunkan tangan, menaburkan berpuluh-puluh sinar ungu sebesar biji kacang ke seluruh pelosok.

„Celaka!" teriak Liong Bu-ki dengan gusarnya.

„Bum, bum,” desa Pao-gwat-chung yang sunyi tenteram itu, segera berobah hiruk pikuk dengan berpuluh letusan petasan. Menyusul, dahan-dahan pohon mencelat kian kemari, batu-batu meledak berhamburan. Bumi Pao-gwat-tihung seolah-olah ditimpah gempa yang dahsyat. Dengan menerjang ke daerah ledakan yang amat berbahaya itu, Kiau Hoan lari ke arah desa lain yang terletak disebelah atas lagi, dari situ terus turun meloloskan diri.

Ketika letusan-letusan itu sirap, desa Pao-gwat-chung yang indah seperti lukisan, sudah berobah menjadi tumpukan puing. Yang masih tampak hanyalah beberapa batang pohon bunga. Pondok-pondok dan barisan pohon telah hancur lebur.

Saking gusarnya, mata Liong Bu-ki sampai melotot. Beberapa saat kemudian barulah dia dapat berkata: „Berpuluh tahun losiu mengasingkan diri di tempat yang terpencil, toh akhirnya tetap dikejar musuh juga. Daripada begitu, lebih baik losiu buang sampah losiu dahulu saja dan terjun kembali ke dunia persilatan untuk membasmi kawanan manusia jahat!"

Karena masygulnya, Liong Go dan Ji-yan, diam kesima.

Pun Gan-li Cinjin turut marah melihat perbuatan Kiau Hoan tadi, ujarnya: „Tak kira setelah berpuluh tahun berada di luar lautan, ternyata di Tiong-goan masih tetap banyak urusan. Kemungkinan dalam mencari murid pinto nanti, pinto akan berhadapan juga dengan jago-jago lihay dari kalangan hijau (begal)!"

Mendengar itu, Siau Ih terkesiap. Dia tahu murid yang dimaksudkan Gan-li Cinjin itu, ialah orang berbaju merah kawan Li Thing-thing yang telah dibinasakan di gunung Tay- lo-san itu.

"Aku yang membinasakan, harus aku sendiri yang menanggung jawabkan. Rasanya tak perlu takut. Pertama, dia ternyata galang-gulung dengan seorana wanita cabul macam Li Thing-thing. Kedua kalinya, dialah yang lebih dulu menggunakan tipu keji untuk menyerang dan yang ketiga kalinya, ada Goan Goan Totiang yang menjadi saksi," diam- diam Siau Ih berpikir. Habis itu, dia terus hendak tampil ke muka memberi pengakuan kepada Gan-li Cinjin. Tapi tiba-tiba terlintas sesuatu pada pikirannya.

„Ah, tetapi dahulu ayahku pernah menceritakan bahwa Gan-li Cinjin itu sering-sering membawa maunya sendiri. Kalau karena malu dia lantas marah, bukankah akan runyam nanti? Kiranya baik kutangguhkan saja sampai lain kali apabila waktunya sudah mengizinkan."

Kata-kata yang sudah disiapkan dibibir tadi, ditelannya kembali. Wajah Siau Ih pun kembali pulih tenang. Kesemuanya itu berlangsung dalam waktu yang singkat, hingga orang-orang tiada mengetahuinya, kecuali Liong Go.

Liong Go cukup kenal watak saudaranya angkat itu. Dia terkejut melihat perobahan wajah Siau Ih tadi dan diam-diam menduga anak itu tentu mengetahui persoalan murid Gan-li Cinjin.

Tanpa disadari, Liong Go menatap tajam-tajam ke arah Siau Ih. Anak muda itupun rupanya merasa. Wajahnya bersemu merah. lalu cepat-cepat mmeberi isyarat mata kepada Liong Go agar jangan membuka mulut.

Liong Go makin cenderung akan dugaannya tadi. Diam- diam dia heran melihat sikap Siau Ih, pikirnya: „Biasanya Siau hiante itu tiada kenal takut, tapi mengapa kini dia berlaku aneh? Jangan-jangan apa dia yang dipihak salah?”

Tapi pada lain kilas, Liong Go membantah pikirannya sendiri. Dia kenal siapa Siau Ih itu, seorang pemuda yang diamuk oleh rasa dendam membalas sakit hati orang tua, namun belum pernah berlaku jahat pada lain urusan. Sampai sekian saat, Liong Go tak dapat menemukan jawaban.

Pada saat itu, kedengaran Thiat-san-sian Liong Bu-ki menyatakan sesalnya kepada Gan-li Cinjin: „Sebenarnya aku sudah mengetahui hal itu, tapi memang sengaja aku tak memberitahukan to-heng karena tak ingin mengganggu to- heng. Tapi ternyata urusan telah berlarut begini. Gubuk musnah, tak punya tempat untuk melayani tetamu. Sungguh menyesal sekali."

Saking hendak menghiburnya, wajah Gan-li sampai menampil kerut tawa yang aneh, ujarnya: „Liong-heng, kita bukan kenalan baru melainkan sahahat karib yang sudah berpuluh tahun. Jangan begitu sungkan. Karena turut mengalami, sudah tentu pinto campur tangan juga. Pintopun turut menyesal tempat istirahat yang Liong-heng bangun bertahun-tahun itu, dalam beberapa kejap saja menjadi musnah."

Gan-li tampak berhenti sejenak. Pada lain saat air mukanya berobah keren lagi, katanya pula: „Urusan pinto hendak mencari murid murtad itu, tak dapat dipertangguhkan lama- lama lagi. Mungkin pinto akan agak lama tinggal di daerah Tiong-goan. Oleh karena Liong-heng telah memutuskan hendak aktif dalam masyarakat persilatan lagi, tentulah lain hari kita bakal berjumpa lagi. Sekarang haripun sudah menjelang terang, oleh karena kita masih mempunyai urusan sendiri-sendiri, dengan ini pinto hendak minta diri."

Tanpa menunggu jawaban tuan rumah, Cinjin itu anggukkan kepala memberi hormat lalu melesat pergi. Hwat- poan-koan Lu Wi dan Cek-i-liong-li Kho Wan-ji tersipu-sipu memberi hormat kepada tuan rumah, lalu mengikut jejak suhunya. Dalam beberapa kejap saja, mereka sudah lenyap dari pemandangan.

Sewaktu hendak angkat kaki tadi, Kho Wan-ji mencuri kesempatan sejenak untuk memanahkan lirikan mata ke arah Siau Ih. Suatu lirikan yang mengandung arti dalam. Namun pemuda yang berhati baja itu, tiada mempunyai kesan suatu apa.

Kepergian sang sahabat secara begitu mendadak itu, telah membuat Liong Bu-ki makin berduka. Berselang beberapa saat kemudian, dia berpaling ke arah Siau Ih, ujarnya: „Losiu pun pernah berpuluh tahun berkecimpung dalam gelombang dunia persilatan. Pasang surutnya derita kesulitan, pernah losiu alami juga. Tapi tidak seperti hari ini. Usia losiu makin loyo, sehingga tak mampu melindungi rumah tangga, ah benar-benar memalukan."

Dengan tegas Siau Ih menyahut: „Tombak yang diserangkan secara terang-terangan mudah dihindari, tapi panah gelap sukar dijaga. Perbuatan pengecut dari kawanan manusia jahat, memang sering berhasil menjatuhkan kaum kesatria. Locianpwe, mengapa kau anggap dirimu tiada berguna?”

„Walaupun sisa hidup losiu tinggal tak berapa lama, tapi selama hayat masih dikandung badan, losiu tentu akan menghaturkan si Kiau Hoan itu," dengan mata berkilat-kilat Liong Bu-ki mengikrarkan tekadnya. Setelah itu sikapnya berobah tenang kembali.

„Hian-tit, menilik pribadi dan kecerdasanmu, hari depanmu tentu amat gemilang. Hanya sayang pada sepasang alismu itu mencerminkan hawa pembunuhan, jadi kau tentu banyak menghadapi kesulitan-kesulitan. Namun kalau tiada digosok, berlian itu takkan menampakkan wajahnya yang gemilang. Manusia kalau tak digembleng, takkan sempurna. Asal teguh iman, pantang surut menghadapi segala coba derita, semua tujuan pasti berhasil. Losiu tiada mempunyai suatu apa yang berharga untuk kuberikan padamu. Hanya dengan sedikit ucapan itulah, Losiu persembahkan pada hiantit."

Serta merta Siau Ih menjurah dan menghaturkan terima kasih. Ujarnya: „Karena locianpwe masih mempunyai banyak urusan, wanpwe tak berani mengganggu lebih lama dan dengan inipun hendak mohon diri.”

„Dalam keadaan begini, losiu terpaksa tak dapat menahan hiantit. Begitu urusan disini selesai, losiu pun hendak berkelana. Kelak apabila hiantit bertemu dengan engkongmu, toiong sampaikan salam losiu padanya!"

Kembali Siau Ih haturkan terima kasih. Kemudian setelah memberi selamat tinggal pada Liong Go, dia segera ayunkan langkah.

Ketika tiba di padang bunga, tampak olehnya mayat Cian- chiu-wi-tho Go Ki sudah terbakar menjadi abu. Juga jalanan kiu-jiok-pat-poa-it-sian-thian itu, sudah rusak porak poranda. Dua deret rumah kayu yang berada dipinggir karang, pun sudah lenyap.

Berpuluh-puluh sosok mayat malang melintang, ada yang pecah kepa¬lanya, ada yang jebol dadanya dan ada yang sudah tak keruan tubuhnya. Benar Siau Ih satu waktu juga berbuat ganas, tapi pemandangan yang disaksikan pada saat itu, benar-benar membuatnya bergidik.

Sekeluarnya dimulut gunung, mataharipun sudah terbit. Walaupun dijalan itu tiada tampak orang berjalan, namun dia tak mau gunakan ilmu berjalan cepat.

♠♠♠♠♠

Dini hari dijalanan yang menuju ke gunung Lou-hu-san, tampak seorang pemuda cakap tengah naik kuda dengan pelahan-lahan.

Alam pemandangan disepanjang jalan ke Lou-hu-san itu, terkenal cantik. Walaupun Lou-hu-san di propinsi Kwitang itu termasuk daerah beriklim sedang, namun dikala pagi hari, hawanya pun cukup dingin.

Tampak pemuda yang berpakaian warna biru itu, tak terlalu menghiraukan alam sekelilingnya, karena tengah sibuk kelelap dalam lamunannya pribadi. Hal itu kelihatan dari perobahan mimik wajahnya yang sebentar mengerut dahi, sebentar mengilas senyum dan sebentar pula memangu muka. Siapakah gerangan pemuda itu, kiranya pembaca tentu sudah dapat memaklumi sendiri.

Banar, memang dialah Siau Ih yang hendak melaksanakan hasratnya menuju ke Lou-hu-san. Menurutkan suara hatinya, dia ingin mengadakan pertemuan empat mata dulu dengan juwita Lo Hui-yan, sebelum kembali ke ‘tahanan’ di Tiam-jong- san.

Kejadian singkat yang di alaminya di Pao-gwat-san itu, telah menyadarkan pikirannya. Hanya dengan kesabaran derita dan gemblengan lahir batin, barulah dia akan berhasil membalaskan sakit hati orang tuanya.

Kaum muda banyak yang dihinggapi bercita-cita muluk, melamun yang indah-indah, Siau Ih pun tak terkecuali. Dia mempunyai lamunan sendiri akan hari depannya.

Menuntut balas, menjalankan dharma kebajikan, mempersunting juwita idamannya, mendirikan mahligai penghidupan yang bahagia.

Demikian lamunan yang menyelubungi lubuk pikiran anak muda itu. Rangsangan hati itu, memerlukan tempat untuk menyalurkan dan Lo Hui-yan adalah tempatnya yang sesuai.

Biara Peh-hoa-kiong di gunung Lou-hu-san adalah sebuah biara wanita yang terkenal keras peraturannya. Di bawah pimpinan ketiga perawan suci Hun-si-sam-sian yang berilmu tinggi, daerah itu merupakan daerah terlarang bagi kaum pria.

Mereka melarang anak murid Peh-hoa-kiong menikah. Lo Hui-yan menjadi murid kesayangan Hun-si sam-sian, jadi diapun tunduk dengan peraturan itu.

Siau Ih telah membayangkan kesukaran-kesukaran itu, namun dia datang dengan membawa keyakinan. Kisah roman dikolam gunung Ki-he-nia, tetap menggores dalam kalbunya.

„Manusia tetap insan yang berperasaan ……." Kata-kata Lo Hui-yan itu amat membesarkan semangat Siau Ih. Namun bila teringat akan peraturan keras dari Peh- hoa-kiong, mau tak mau dia menjadi gelisah juga. Makin dekat ke Lou-hu-san makin keras debar hatinya.

Derap kaki kudanya makin lambat dan akhirnya berhenti. Siau Ih termangu-mangu lama sekali. Akhirnya dia tersadar. Mengapa takut akan bayang-bayang sendiri? Asal Hui-yan setuju, segala rintangan pasti akan dapat diatasi.

Semangatnya bangun kembali dan bersuitlah dia dengan kerasnya laksana seekor ajam jago menunjuk kejantanannya. Kuda mencongklang pula dengan pesatnya.

Lou-hu-san termasuk salah satu dari sepuluh gunung besar di Tiongkok, yang puncaknya dapat menembus ke nirwana. Demikian menurut anggapan kaum paderi agama Buddha itu. Nama aseli dari gunung itu sebenarnya adalah Lo-san.

Menurut kitab Goan-ho-ci, sebelah bagian barat dari gunung itu terus membentang ke laut. Karena bagian atas gunung yang masuk laut itu penuh ditumbuhi hutan alang- alang, jadi tampaknya seperti terapung di laut. Itulah sebabnya maka dinamakan Lo-hu-san (hu artinya terapung).

Menjelang sore, tibalah Siau Ih di kaki gunung tersebut. Dilihatnya dibeberapa tempat dari kaki gunung itu terdapat beberapa petak rumah petani.

Sekilas teringatlah dia akan pesan Hui-yan tempo hari, supaya jika datang ke Lo-hu-san, lebih dulu mencari petani she Kau. Nona itu telah memberikan kalung kiu-hong-giok-hu padanya. Akhirnya dia memutuskan untuk menurut petunjuk nona itu.

Kala itu hari sudah petang. Belasan petak rumah petani itu sudah menyalakan lampu. Pada pintu dari salah sebuah rumah, terdapat dua larik lian (poster) menyambut kedatangan musim semi. „Ah, setiap keluarga tengah bersuka ria merayakan Tahun Baru, hanya aku sendiri ……. ai!" sesaat dia mengeluh, tapi pada lain kilas dia buang pikiran itu, lalu mengetuk pintu itu.

Seorang petani berumur empatpuluhan tahun, muncul menyambut. Demi melihat orang itu terbeliak kaget, buru-buru Siau Ih memberi hormat dan menyatakan maksud kedatangan mencari petani she Kau itu. Belum lagi Siau Ih habis bicara, petani itu sudah goyang-goyang tangan seraya menunjuk telinganya.

Bermula Siau Ih terkesiap, tapi segera dia mengetahui apa sebabnya. Petani itu orang Kwitang, jadi tak mengerti logat bahasa daerah utara.

Siau Ih tak keputusan akal, segera dia mencorat-coret ditanah. Tapi petani itupun hanya menunjuk matanya sembari tersenyum menggelengkan kepala. Siau Ih terpaksa pamitan.

Dari satu ke lain rumah, dia sudah mendatangi enam-tujuh keluarga, namun hasilnya sama saja. Mereka tak dapat sambung bicara pun buta huruf. Diam dia mengeluh.

Syukur akhirnya dia bertemu juga dengan sebuah keluarga petani yang berasal dari lain daerah.

Menurut keterangan orang itu, petani Kau itu tidak tetap tinggal disitu. Kebanyakan dia pergi ke lain daerah dan hanya dua-tiga kali saja pulang menjenguk rumah. Dua bulan yang lalu, orang itu pergi hingga kini belum pulang lagi.

Siau Ih tertegun kecewa.

„Jauh-jauh kongcu datang kemari, tentulah mempunyai urusan penting. Sayang Kau-loya tak ada, sekalipun begitu, aku bersedia melakukan perintah kongcu," kata tuan rumah demi melihat sikap anak muda itu.

Siau Ih menjadi lega. Setelah menghaturkan terima kasih, menerangkan bahwa maksudnya mencari orang she Kau itu ialah hendak minta tolong supaya menyampaikan suatu berita ke Peh-hoa-kiong.

Demi mendengar itu, pucatlah seketika wajah petani itu. Serunya sembari geleng-geleng kepala: „Maaf, kongcu, aku tak dapat melakukannya."

„Mengapa …….?”

„Peh-hoa-kiong di Hiang-swat-hay adalah tempat pertapaan dari Hun-si-sam-sian, merupakan daerah terlarang bagi kaum lelaki. Berpuluh tahun lamanya, tiada orang yang berani melanggar. Memang pernah ada beberapa orang yang coba- coba kesana, tapi tiada seorangpun yang kembali. Kau-loya pun hanya membelikan barang-barang keperluan dari beberapa anak murid Peh-hoa-kiong, namun tak berani masuk kesitu. Mengingat kongcu orang persilatan, tentulah memaklumi kesukaranku dan sudi memaafkan.”

Siau Ih mendengarkan keterangan itu dengan merenung. Akhirnya dia tak mau memaksa hanya menanyakan letak jalanan menuju ke Peh-hoa-kiong itu.

Tapi untuk keherannya, kembali orang itu mengunjuk wajah gelisah. Akhirnya terpaksa orang itu memberi keterangan.

„Hiang-swat-hay Peh-hoa-kiong terpisah hanya seratusan li dari sini. Tempatnya mudah dicari, asal berjumpa dengan sebuah puncak indah. Peh-hoa-kiong berada di dalam lembahnya. Pada waktu ini lembah Hiang-swat-hay sedang musim bunga bwe, baunya se-merbak sampai sepuluhan li, jadi mudah dicarinya. Hanya saja, kuharap kongcu suka berhati-hati memasuki daerah terlarang itu."

Siau Ih menghaturkan terima kasih dan minta tolong titip kuda, karena malam itu juga dia segera hendak berangkat.

„Maaf, kongcu, sebenarnya aku suka sekali menolong orang. Tapi dikarenakan kongcu hendak menuju ke Peh-hoa- kiong jadi aku kurang leluasa. Kiranya kongcu tentu dapat memaklumi kesulitanku ini," kata orang itu.

Siau Ih hanya tersenyum dan segera berlalu. Tak lama masuk ke daerah gunung, lebih dulu dia ambil buntelan yang menggamblok dipunggung kuda, kemudian baru dia tepuk pantat binatang itu. Meringkik keras, kuda itu mencongklang lepas masuk kedalam hutan.

Kini bebaslah Siau Ih gunakan ilmu mengentengi tubuhnya, menyusup ke dalam pegunungan.

Kira-kira berlari seratusan li jauhnya, tiba-tiba hidungnya tersampok dengan angin harum. Dia cepat berhenti dan memandang ke sekeliling. Benar juga tak berapa jauhnya disebelah muka, sebuah puncak menonjol dalam bungkusan kabut.

Keadaan puncak itu, tepat seperti yang dilukiskan petani tadi. Bau wangi tadi, mengunjuk bahwa daerah terlarang bagi kaum lelaki, sudah berada di depan mata.

„Adik Yan, beratnya hatiku hendak bertemu padamu, terpaksa aku melanggar larangan suhumu," demikian dia berkata seorang diri, lalu lari turun ke lembah.

Tak lama kemudian, tibalah dia di sebuah mulut lembah yang sempit. Itulah batas dari daerah terlarang Peh-hoa- kiong. Setelah menenangkan hatinya yang berdebur keras, barulah dia melangkah pelahan-lahan.

Makin masuk, hawa wangi itu makin keras. Kira-kira sepeminum teh lamanya, tiba-tiba disebelah muka tampak ada penerangan remang-remang.

Peh-hoa-kiong makin dekat dan jantung Siau Ih makin berdetak keras. Kalau sampai urusan pribadinya itu menjadi onar besar, apakah dia takkan menjadi malu pada ayah dan engkongnya luar? Memikir akan akibat itu, keringat mengucur deras pada dahinya. Kaki serasa berat untuk melangkah. Akhirnya setelah meragu sekian saat, dia mendapat ketetapan hati.

„Cinta suci pantang mundur menghadapi segala rintangan. Dan pula seorang lelaki harus berani memikul resiko atas setiap perbuatannya …….”

Begitu jalanan itu habis, dia segera berhadapan dengan sebuah hutan pohon bwe. Setiap batang pohon itu, hampir dua tombak tingginya, daunnya rindang, bunganya penuh meratai setiap ranting.

Karena pohon bwe disitu berpuluh ribu jumlahnya, jadi hutan itu laksanakan merupakan lautan bunga bwe. Itulah sebabnya maka lembah itu dinamakan Hiang-swat-hay atau lautan salju wangi. Di depan hutan itu, terpancang sebuah papan batu kumala yang berukiran tiga buah huruf

„Hiang-swat-hay”

Walaupun sudah larut malam, tapi karena langit cerah jadi dapatlah Siau Ih memandang ke muka.

Jauh diujung hutan itu, samar-samar tampak suatu bangunan yang dindingnya berwarna merah, atapnya hijau. Tak salah lagi, itulah biara Peh-hoa-kiong.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar