Si Rase Kumala Bab 23 : Arti Persaudaraan …….

23. Arti Persaudaraan …….

Siau Ih menghaturkan terima kasih atas nasehat itu. Selang berapa jenak kemudian, Siau Ih menerangkan rencana perjalanannya.

Pertama dia akan tinggal beberapa hari di Pao-gwat-san itu, lalu menuju ke Lo-hu-san untuk menjenguk Lo Hui-yan, setelah itu baru pulang ke Tiam-jong-san menerima dampratan engkongnya.

Mendengar Siau Ih hendak pergi ke Lo-hu-san, Liong Go bercekat, ujarnya: „Rencana hiante itu bagus sekali, tapi sebaiknya perjalanan ke Lo-hu-san itu ditiadakan sajalah!"

Siau Ih ganda bersenyum, katanya: „Meskipun Peh-hoa- kiong itu suatu daerah terlarang bagi kaum lelaki, tapi kita bertiga sudah saling angkat saudara, jadi rasanya lebih dari pantas kalau siaote menyambanginya. Apalagi ketika hendak pulang, adik Yan pernah memberitahukan siaote, bahwa asal lebih dahulu mencari pada seorang petani she Kau, siaote pasti akan dapat berjumpa pada adik Yan. Jadi tak perlu siaote masuk ke daerah Peh-hoa-kiong, harap toako jangan kuatir.”

Liong Go tahu bahwa antara kedua muda-mudi itu sudah terjalin suatu ikatan asmara yang berkesan, jadi diapun merasa tak enak untuk mencegahnya.

Setelah meneguk habis araknya, Siau Ih mengingatkan akan keterangan Liong Go tempo mendaki ke atas gunung tadi pagi, bahwa Pao-gwat-san dalam beberapa hari belakangan ini, terjadi suatu peristiwa.

„Ah, kejadian itu boleh dianggap akulah yang menjadi gara- garanya saja, ceritanya amat panjang. Sembari minum- minum, akan kututurkan hal itu pelahan-lahan,” sahut Liong Go.

Setelah menghabiskan araknya, mulailah Liong Go menutur: „Sepulangnya ke gunung, segera kuceritakan pada engkong tentang munculnya kembali si Jin-mo Kiau Hoan dan pertempuran dimakam Gak-ong itu. Engkong menerangkan, bahwa Manusia Iblis itu tentu akan melakukan pembalasan kepada beliau atas kekalahannya tempo hari. Dalam waktu setahun, Kiau Hoan tentu melakukan pembalasan."

Liong Go berhenti sejenak menghirup arak, lalu melanjutkan pula: „Bermula aku kurang percaya atas keterangan engkong itu. Pertama letak Pao-gwat-san sini  amat pelik, kedua kali rakyat disini jarang turun gunung jadi tak mudah dimata-matai orang. Tapi kenyataan, memang tepat sekali dugaan engkong itu. Kira-kira setengah bulan lalu, daerah sini telah kemasukan seorang kaum persilatan. Dua buah keluarga pemburu yang menghuni disekitar tempat ini, telah dibunuh dan dibakar rumahnya.”

„Engkong segera menentukan bahwa yang melakukan keganasan itu, pasti si Jin-mo. Karena tak mau menunjukkan letak Pao-gwat-san, maka Manusia Iblis tentu membasmi kedua keluarga pemburu itu. Engkong sangat memikirkan kepentingan beberapa keluarga pemburu yang tersebar tinggal disekitar daerah gunung sini. Agar jangan sampai mereka diganas si Jin-mo, engkong menyuruh mereka sama pindah kemari. Selanjutnya engkong telah mengambil putusan untuk menghadapi durjana itu secara terang-terangan. Seorang yang pernah diberi ampun tapi ternyata tak dapat insyaf, sudah seharusnya dibasmi.”

„Benar juga pada suatu hari muncullah Manusia Iblis itu. Tapi dia belum bertindak apa-apa, melainkan sesumbar di muka jalanan kiu-jiok-pat-poa-it-sian-thian, bahwa dalam waktu sepuluh hari, dia akan datang untuk menghancurkan Pao-gwat-chung. Untuk menghadapi ancaman itu, maka telah kusiapkan penjagaan yang rapi. Tiga hari kemudian, datang Kho Cinjin, namun engkong tak mau menceritakan hal itu kepadanya, karena beliau tak mau lain orang terlibat dalam urusan itu. Menurut perhitungan, besok pagi itu sudah genap sepuluh hari, apabila terjadi suatu apa, kuharap hiante jangan turut campur.”

Siau Ih tenang-tenang meneguk cawannya, kemudian membuka mulut: „Apakah toako masih ingat tentang asal-usul diri siaote dan bagaimana suhu telah menggembleng siaote itu?”

Liong Go terkesiap dan mengiakan.

„Bagus, bagaimanakah sepak terjang ayah angkatku si Dewa Tertawa itu pada masa dahulu?" tanya Siau Ih.

„Beliau adalah seorang tokoh yang gigih memperjoangkan keadilan dan kebenaran. Angkatan muda dalam dunia persilatan sangat mengagungkannya,” sahut Liong Go.

„Jadi pada hakekatnya, ayahku angkat itu memang tak mau berpeluk tangan terhadap sesuatu yang tak adil. Sejak kecil siaote digemblengnya, sudah tentu perangai siaote pun tak terlepas dari ”

„Hiante ,” tukas Liong Go.

„Toako, orang bijaksana bicara dengan otaknya, masakah toako tak kenal pribadiku. Apalagi aku pernah bentrok dengan iblis itu.”

Kembali Liong Go mencegahnya, namun dengan wajah bersungguh Siau Ih menegaskan: „Pertempuran di makam Gak-ong itu termasuk tugas kaum persilatan dalam rangka membasmi kejahatan. Segala resiko, biarlah siaote yang tanggung. Benar locianpwe (Liong Bu-ki) tak mau menerima bantuanku, tapi urusan itu siaote sendiri yang bertanggung jawab, tak nanti menyusahkan toako.” Masih Liong Go hendak memberi penjelasan untuk menasehatinya, tapi Siau Ih segera menyimpangkan pembicaraan: „Toako, sudahlah jangan plkirkan hal itu, mari kita rayakan pertemuan kita ini dengan minum dan mengobrol puas-puas.”

Liong Go terpaksa menerima cawan yang diangsurkan pemuda itu dan meneguknya habis.

Kemudian Siau Ih menceritakan panjang lebar tentang pengalamannya selama ini, Bagaimana dia menolong Tan Wan, bertempur dengan Li Thing-thing, menje¬nguk si Rase Kumala dan disekap selama tiga bulan di Tiam-jong-san dan lain-lain.

Tapi ada sebuah hal yang dirahasiakan ialah tentang pertempuran di gunung Tay-lo-san, dimana anak murid Gan-li Cinjin telah binasa. Bukan karena dia takut terhadap Kho Goan-thong, tapi karena dia tak mau Liong Go terlibat di dalamnya.

Hanya saja sewaktu dia menceritakan tentang pertempurannya dengan si Wajah Kemala Tio Gun. Liong Go tampak terperanjat.

„Tio Gun itu kecuali berkepandaian tinggi, juga wajahnya mirip sekali dengan siaote. Karena hal itulah maka siaote hampir disangka orang sebagai tukang pengrusak wanita. Sayang walaupun Siaote berhasil mengutungi sebelah tangannya, bangsat itu dapat meloloskan diri."

Liong Go menerangkan bahwa sebenarnya si Wajah Kumala itu bernama Tio Giok-gun, anak murid dari Ngo Siu-wan Totiang. ketua Bu-tong-pay.

„Orangnya sih cerdas dan berkepandaian tinggi, hanya sayang gemar paras cantik. Sebenarnya Ngo Siu-wan Totiang hendak menghukumnya berat, tapi mengingat hubungan suhu dan murid, dia tak tega dan hanya mengusirnya dari perguruan. Sejak itu, dia pun berganti nama dengan Tio Gun dan menurutkan kemauan hatinya. Nah, jelas sudah bahwa rumah perguruan baik belum tentu menghasilkan anak murid baik. Baik buruk itu tergantung dari dasar sanubarinya.”

Siau Ih menanyakan kalau-kalau Liong Go kenal dengan orang itu.

Liong Go menggeleng kepala, ujarnya: „Aku tidak kenal padanya, melainkan dengan sutenya Kin-kiong-hoan Sun Kian- hin, aku memang kenal baik. Adalah dari Sun Kian-hin, aku mengetahui riwayat si Wajah Kumala itu."

Demikian Kedua pemuda itu mengobrol sampai jauh malam. Tahu-tahu langit sudah muiai terang tanah. Keduanya segera berpisah untuk beristirahat dikamar masing-masing.

Siangnya setelah habis makan, Liong Go ajak Siau Ih berjalan-jalan diperkampungan itu. Kecuali beberapa petak rumah pondok Soh-yap-suan, Thing-hong-simo-cu dan Khim- kwat, desa Pao-gwat-chung itu seluruhnya adalah tanah lapang yang penuh ditumbuhi bunga-bunga.

Memang propinsi Kwitang di daerah selatan, dalam empat musim selalu menghidangkan pemandangan alam yang permai. Siau Ih tak putu-putusnya memuji.

„Ah, hiante terlalu memuji, masakah Pao-gwat-san menang dengan Tiam-jong-san dengan selat Liu-hun-hiap yang keramat dan suci itu?” sahut Liong Go.

„Indah sih indah, tapi disini lebih bebas".

„Ah, memang di rumah sendiri itu ibarat kuda lepas, kalau tak dikekang tentu membawa maunya sendiri."

Mendengar ucapan Liong Go itu, Siau Ih agak terkesiap, katanya: „Siaote telah mengetahui kesalahan siaote. Rindu akan toako, telah terpenuhi. Nanti setelah mengunjungi Lo-hu- san, siaote tentu segera pulang ke Tiam-jong-san untuk menerima dampratan dan menunggu kesempatan melakukan pembalasan dendam yang tak kunjung datang itu." Liong Go mengangguk, serunya dengan sungguh: „Tahu kesalahan dan dapat merobahnya, itulah orang yang bijaksana. Dan tak pernah melupakan dendam orang tua, itulah orang yang berbakti.”

„Memang benar. Tapi kalau berlarut terlalu lama, mungkin bukti-bukti peristiwa itu makin hilang. Kalau sampai demikian, siaote hidup pun menanggung penasaran, mati juga tak ada muka bertemu dengan kedua ayah bunda."

Liong Go menghiburnya: „Segala apa tak dapat lepas dari hukum alam. Siapa menanam pasti akan memetik buahnya. Misalnya, si Jin-mo itu. Tanpa diharap diapun muncul sendiri kemari untuk mempertanggung-jawabkan kedosaannya. Harap hiante jangan putus asa."

„Dalam, kamus hidup siaote, tak terdapat kata putus asa itu. Setiap perbuatan yang benar, tentu siaote lakukan sampai selesai. Mengenai hukum alam, uraiannya memang begitu, namun prakteknya belum tentu bahwa perbuatan baik itu tentu mendapat buah baik. Seperti si Jin-mo yang telah diberi kemurahan oleh Locianpwe, sebaliknya malah memberi kesempatan pada durjana itu untuk melanjutkan kejahatannya. Kesimpulannya, baik buruknya hasil yang kita petik itu, tergantung juga bagaimana tempatnya kita menanam ……”

Liong Go agak terbeliak.

„Juga nasib seperti yang di alami oleh kedua almarhum ayahbundaku itu. Apa salah mereka terhadap orang lain? Hanya karena mereka dilahirkan sebagai sejoli rupawan dan budiman, maka telah menimbulkan iri hati orang. Dari iri hati orang lalu mencelakai mereka. Menurut hukum alam, bagaimana hendak menjelaskan? Pada hakekatnya, dunia itu memang tidak adil,” Siau Ih melanjutkan pula.

Kembali dia berhenti sejenak, lalu berkata pula: „Memiliki hati welas asih dan menjalankan kebaikan, memang suatu hal yang mulia. Namun kalau tidak menyesuaikan dengan waktu dan tempat, akibatnya akan runyam sendiri."

Liong Go merenung beberapa detik, baru dia mengiakan.

Dia memuji kematangan pikiran hiantenya itu.

Siau Ih mengucapkan kata-kata merendah, lalu katanya:

„Ai, toako, karena mengobrol kita baru berjalan beberapa puluh langkah saja. Kalau begini gelagatnya, mungkin dalam tiga hari, siaote tak dapat menjelajahi Pao-gwat-chung ini sampai habis."

Liong Go tersadar dan buru-buru ajak hiantenya itu lanjutkan perjalanan lagi.

Tapi belum berapa langkah mereka berjalan, tiba-tiba terdengar lengking orang tertawa.

„Suheng, alangkah indahnya bunga ini!" seru seorang  nona.

„Sumoay, tanpa ijin yang empunya, jangan gegabah memetiknya," sahut seorang pemuda.

Membantah si gadis tadi: „Berapakah harganya setangkai bunga, masakah si pemilik begitu sekaker?”

Rupanya kedua muda mudi itu tengah berbantah. Siau Ih segera menanyakan mereka kepada Liong Go.

„Rasanya tentu puteri kesayangan Kho Cinjin yang bernama Cek-i-liong-li Kho Wan-ji ……,” baru Liong Go berbisik sampai disini, dari semak disebelah muka, berkelebat keluar seorang gadis berbaju wungu, beserta seorang imam muda.

Nona itu berumur duapuluhan tahun dipunggung menyelip sebatang pedang. Sedang imam itu berjubah merah.

Menampak Liong Go, nona itu menghampiri. Dengan bersenyum-senyum ia mununjuk ke arah bunga yang disunting dirambutnya, serunya: „Liong toako, kupetik setangkai bungamu, apakah kau keberatan?”

Biasanya Liong Go amat sayang terhadap pohon-pohon bunganya. Dia sendiri yang menanam dan merawat bunga- bunga itu. Orang dilarang memetiknya. Dengan hobby itu, hatinya terhibur. Sebenarnya dia kurang senang, namun dipaksakan juga bibirnya bersenyum.

„Jika nona Yan suka, setangkai bunga tak menjadi soal!" Nona baju ungu itu, adalah puteri tunggal dari Gan-li Cinjin

Kho Goan-thong. Kho Goan-thong mulai menjadi orang pertapaan, ketika sudah dalam pertengahan umur.

Tigapuluh tahun berselang, dia ajak seluruh keluarga dan anak muridnya ke pulau Cip-peng-to. Disitu dia mendirikan istana-biara Li-cu-kiong.

Meskipun dia mempunyai banyak selir, tapi ketika berusia lanjut baru dia memperoleh seorang puteri. Maka dapat dibayangkan betapa kasih sayangnya terhadap sang buah hati itu.

Inilah yang menjadikan Yan-ji, seorang nona yang manja. Karena sejak kecil tak pernah meninggalkan pulau kediamannya, maka terhadap tata cara pergaulan, ia tak mengerti.

Waktu ayahnya pergi kedaratan Tiong-goan ia berkeras mau ikut. Direngeki puterinya, Kho Goan-thong terpaksa meluluskan.

Mengingat puterinya sudah dewasa, maka baik jugalah kiranya tambah pengalaman dan sekalian barangkali dia (Kho Goan-thong) dapat mencarikan anak mantu yang sesuai dengan puterinya itu.

Wan-ji amat gembira mendapat bunga itu. Berpaling ke arah si imam muda, berkatalah ia dengan rasa bangga: „Ngo- suheng, bagaimana, kan sudah kukatakan bahwa Liong toako tak nanti begitu pelit."

Si imam muda tak mau menyahuti ejekan sumoaynya, melainkan sepasang matanya berkilat-kilat menatap Liong Go, kemudian hidungnya mendengus dingin.

Sudah tentu Liong Go terkesiap, pikirnya: „Jangan-jangan dia tak senang padaku karena bunga itu."

Karena memikirkan hal itu, mau tak mau wajah Liong Go agak berobah. Sedang si imam mudapun tampak membesi mukanya.

Kesemuanya itu tak lepas dari pandangan Siau Ih. Dia tahu bahwa antara kedua orang itu diam-diam telah terbit ganjelan. Buru-buru dia menyela: „Toako, mengapa tak mengenalkan siaote?"

Sebagai seorang terpelajar, Liong Go malu di dalam hati karena telah memperlihatkan tanda-tanda yang kurang menyenangkan tadi. Segera dia tertawa terbahak-bahak, serunya: „Kedua pihak adalah tetamu-tetamu yang mulia, sukar aku menjadi tuan rumah."

Kemudian menunjuk kepada si nona, dia berkata: „Inilah puteri kesayangan dari salah seorang tokoh sepuluh Datuk Gan-li Cinjin Kho Goan-thong Totiang, nona Kho Wan-ji. Sedang Totiang ini adalah Hwat-poan-koan Lu Wi, murid pilihan dari Kho Cinjin. Dan ini adalah Siau Ih, adik angkatku, harap ”

Belum lagi Liong Go menghabiskan kata-katanya, Siau Ih sudah segera tampil ke muka memberi hormat pada Wan-ji:

„Sungguh beruntung dapat berjumpa dengan nona dan Totiang."

Wan-ji balas memberi hormat. Menatap si anak muda, diam-diam ia membatin: „Seorang anak muda yang gagah dan tampan, hanya sayang sepasang alisnya memancarkan hawa pembunuhan."

Dilihati begitu rupa, Siau Ih tak senang. Apalagi dia sudah mempunyai purbasangka terhadap anak murid Gan-li Cinjin. Namun sedapat mungkin, dia mengendalikan perasaannya.

Hwat-poan-koan Lu Wi terpaksa membalas hormat juga. Melihat itu, diam-diam Liong Go malu hati terhadap Siau Ih. Masakah hanya karena setangkai bunga, dia hampir saja kehilangan harga sebagai tuan rumah.

Tiba-tiba kedengaran Wan-ji tertawa, ujarnya: „Sewaktu di pulau Cip-peng-to, ayah telah menceritakan bahwa alam pemandangan di gunung Pao-goat-san sini indah bagai lukisan. Dan memang kenyataannya begitu. Hanya saja ayah pernah memesan bahwa setiap jengkal tanah di Pao-gwat- chung sini penuh dengan perkakas rahasia, kalau tidak diantar tuan rumah tentu akan celaka. Oleh karena itu, sejak tiba disini, aku tak berani keluar-keluar. Kini apakah Liong toako senggang dan suka membawa aku berjalan-jalan!"

Sebenarnya karena masih menguatirkan kedatangan Jin- mo. Liong Go tiada mempunyai kegembiraan. Tapi untuk jangan dikatakan kurang ramah, terpaksa dia menyahut:

„Sebagai tuan rumah, sudah sewajibnya aku menemani keinginan nona. Hanya saja diperdesaan sini, tiada apa-apa yang menarik, kecuali beberapa pohon dan beberapa bangunan yang didirikan engkong. Apabila nona Wan sudah menyaksikan, tentu akan kecewa."

„Ai, Liong toako terlalu merendah," sahut Wan-ji, kemudian katanya kepada Lu Wi, „Ngo-suheng, mumpung tuan rumah mempunyai kegembiraan, apalagi ada Siau-siaohiap, ayuh kita puaskan mata."

Hwat-poan-koan Lu Wi memandang Liong Go dengan dingin. Dia hanya mengangguk tak mau menyahut apa-apa. Namun rupanya Wan-ji tak merasa akan sikap aneh dari suhengnya itu. Dengan riangnya, segera dia ajak Liong Go berangkat.

Sekonyong-konyong terdengarlah suitan pelahan, tapi nadanya amat penuh hingga berkumandang sampai lama. Liong Go dan Siau Ih terbeliak.

Sebaliknya sepasang mata yang bersorot aneh dari Lu Wi tadi, segera menatap kepada Wan-ji.

„Suhu memanggil, mungkin akan memberi perintah," serunya. „Ah, kesempatan bagus ini tersia-sia lagi,” gerutu Wan-ji dengan kurang puas.

„Asal nona Yan suka, lain hari masih dapat kuantar,” buru- buru Liong Go membujuknya.

Wan-ji mengangguk. Entah sengaja entah tidak, kembali matanya melirik kepada Siau Ih. Setelah tertegun sejenak, baru ia melangkah ke arah pondok Khim-kwat. Hwat-poan- koan Lu Wi mengikutinya.

Setelah mereka pergi, kedengaran Liong Go menghela napas, ujarnya : „Urusan dunia ini memang sukar diduga, lebih-lebih kaum wanita. Menilik naga-naganya, nona tadi rupanya ada hati pada hiante. Kalau benar begitu, urusan pribadi hiante bakal tambah banyak lagi."

Siau Ih ganda tertawa, tiba-tiba dia berkata dengan nada sungguh: „Benar bunga yang jatuh itu ada artinya, tapi belum tentu air yang mengalir itu mempunyai maksud (kiasannya: bertepuk sebelah tangan). Godaan kejahatan tak mempan pada siaote, apalagi soal cinta, tidaklah semudah itu.”

Begitulah kedua pemuda itu lanjutkan langkah. Tanpa terasa haripun sudah mulai petang.

Habis makan malam, kembali Liong Go ajak Siau Ih duduk diserambi muka minum arak. Sebenarnya Liong Go itu seorang pemuda yang mempunyai didikan tinggi. Tapi dikarenakan hari itu adalah hari penghabisan dari janji Jin-mo, jadi tak urung dia tampak gelisah juga.

Tanpa terasa waktu sudah hampir tengah malam. Suasana di Pao-gwat-chung itu makin lelap. Langit bertabur bintang, angin malam membawakan bau bunga, membuat tempat itu seperti tempat dewata.

Sebaliknya Liong Go merasa, justeru dalam ketenangan itulah, alamat akan datangnya bahaya.

Siau Ih tak dapat menyelami perasaan toakonya. Belum pernah dia merasakan ketenangan yang seperti saat itu, maka enak-enak saja dia menikmati araknya. Akhirnya dia terpaksa tak tega melihat kegelisahan Liong Go.

„Dimisalkan si Jin-mo datang, itu adalah suatu kejadian jamak dalam dunia persilatan. Mengapa toako begitu gelisah? Kewibawaan tui-hun-cap-sa-san, tak mengizinkan perasaan semacam itu,” dia membatin.

Pada lain saat, dia menduga mungkin Jin-mo Kiau Hoan itu akan datang dengan konco-konconya yang banyak. Sekalipun ada Gan-li Cinjin dan anak muridnya, dikuatirkan engkong Liong Go itu tak mau meminta bantuannya. Ah, biar bagaimana, dia (Siau Ih) akan berusaha untuk membantu sekuat mungkin.

„Toako kemarin malam telah memberi nasehat tentang keperwiraan pada siaote, tapi mengapa kini toako sendiri begitu gelisah? Ai, biarlah siaote menghaturkan secawan arak pada toako, sekedar untuk penenang hati."

Liong Go tersipu-sipu malu, dan lalu mengangkat cawan meminumnya. Siau Ih menuangkan lagi arak ke dalam cawan Liong Go, ujarnya: „Ai, tak usah toako likat-likat …….”

Baru dia mengucap begitu, tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara letusan. Siau Ih cepat loncat untuk mengambil pedangnya yang digantungkan ditembok, tapi ketika melihat Liong Go, ternyata toakonya itu sudah lari keluar.

Cepat Siau Ih memanggil Ji-yan dan suruh anak itu mengikutnya. Begitu loncat keluar halaman, dilihatnya dijalanan kiu-jiok-pat-poa-it-sian-thian sana, asap me¬ngepul mengantar ledakan batu yang muncrat ke udara. Memang Siau Ih menduga bahwa si Manusia Iblis Kiau Hoan tentu datang, tapi dia tak menyangka sama sekali bahwa musuh begitu ganasnya.

Liong Go tak tampak sama sekali.

Setelah memanggil Ji-yan, dengan gunakan gerak yan-cu- sam-jo-khi, dia berloncatan menuju ke mulut jalanan itu. Makin dekat, letusan itu makin keras bunyinya. Dari udara berhamburan pecahan batu sebesar mangkok.

Pada lain saat, letusan itu membawa juga jeritan orang yang mengerikan. Terang itulah tentu para keluarga pemburu yang mengungsi di Pao-gwat-chung.

Dengan amarah yang meluap-luap, Siau Ih berlari keras dan sebentar saja dia sudah tiba dimulut jalanan. Beberapa jenak kemudian, Ji-yan pun menyusul datang.

Saat itu, Siau Ih melihat Thiat-san-sian Liong Bu-ki bersama Gan-li Cinjin Kho Goan-thong berjajar berdiri kira-kira seratusan langkah dari mulut jalanan. Di belakangnya tampak Cek-i-liong-li Kho Wan-ji, Hwat-poan-koan Lu Wi dan Liong Go.

Siau Ih tarik tangan Ji-yan. Sekali loncat sampai satu tombak tingginya, lebih dulu dia lemparkan Ji-yan ke muka. Begitu anak itu tiba disebelah kedua jago tua tadi, Siau Ihpun sudah menyusul tiba.

Namun belum lagi dia sempat memberi hormat, kedua tokoh itu sudah membentaknya: „Mundur!” Menyusul dengan mementang kedua tangan, maka memancarlah suatu tenaga lembek yang luar biasa beratnya, mendorong Siau Ih berlima mundur.

Kemudian pada lain saat, terdengarlah letusan dahsyat. Dua buah puncak bukit batu yang berada di sebelah muka, telah meledak menghamburkan beribu-ribu pecahan batu. Dalam hujan batu itu, tiba-tiba melesat datang lima buah bayangan.

Yang paling muka, ialah Jin-mo Kiau Hoan. Dia tetap mengenakan pakaian warna kuning, pundaknya memanggul sepasang senjata oh-kim-song-cat, senjata yang mirip pedang bukan pedang, gaetan bukan gaetan. Wajahnya yang tirus pucat, be-ringas haus darah.

Di belakangnya tampak seorang tua berwajah merah, brewok, hidung dan mata seperti kukuk beluk, membawa senjata tongkat besi ciang-mo-thiat-jo. Kawannya yang dua lagi, berumur kira-kira tigapuluhan tahun, wajahnya buas- buas.

Mereka berdiri pada jarak satu tombak jauhnya. Reaksi Kiau Hoan waktu melihat Gan-li Cinjin Kho Goan-thong berada disitu, ialah terperanjat.

„Bukanlah saudara ini kepala pulau Cip-peng-to yang pernah menginjak Tiong-goan?" tegurnya.

Benar Gan-li Cinjin sudah berpuluh tahun tinggal di luar lautan sehingga seolah-olah terputus hubungannya dengan kaum persilatan. Tapi warna jubahnya yang merah membara itu, memang sangat istimewa sekali sehingga mudah dikenal orang.

Mendengar teguran orang, dengan sikap dan nada yang dingin, dia menyahut: „Jika sudah tahu pinto berada disini, mengapa tak lekas-lekas pergi …….” Manusia Iblis Kiau Hoan cepat menukasnya dengan sebuah tertawa yang seram: „Kemasyhuran nama sepuluh Datuk berkumandang sampai diseluruh pelosok, namun tak dapat menggertak orang she Kiau ini. Pulau Cip-peng-to boleh kau kuasai, tapi di daratan Tiong-goan sini, lain halnya!"

Seorang tokoh yang congkak macam Gan-li Cinjin mana mau menelan sindiran begitu. Amarahnya meluap, terus membentak garang. „Manusia yang tak kenal tingginya langit. Kalau tak kuhajar, tentu kau belum tahu kelihayan pinto!”

Habis berkata, dia kibaskan lengan baju kanan. Serangkum hawa panas telah menyambar ke arah Kiau Hoan. Cepat Manusia Iblis ini surutkan dada, lalu loncat ke samping. Serunya: „Sekarang masih terlalu pagi, aku masih belum membereskan hutang lama. Nanti setelah itu selesai, baru akan kuminta pelajaran!"

Gagah ucapannya itu, namun sebenarnya di dalam hati dia sudah gentar. Ci-yang-sin-kang (lwekang positif) yang diyakinkan Gan-li Cinjin itu, adalah penakluk dari him-han- kong-lat (lwekang negatif) kepunyaan Kiau Hoan. Sayang Gan-li Cinjin tak mengetahui kelemahan itu, sebaliknya Liong Go dan Siau Ih terang gamblang.

Thiat-san-sian Liong Bu-ki sudah menyala amarahnya. Sebenarnya tokoh itu tak mengingat lagi permusuhannya dengan si Manusia Iblis. Dia yakin jalanan kiu-jiok-pat-poa-it- san-thian dan hutan yang tersusun seperti barisan itu, cukup buat menahan Kiau Hoan dan kawan-kawan menyerbu masuk. Ditambah oleh perangai Liong Bu-ki yang berhati angkuh itu, dia melarang Liong Go untuk menceritakan hal permusuhan itu kepada lain orang.

Tapi di luar dugaan, dengan menggunakan senjata ganas pik-li-cu, dapatlah Kiau Hoan menghancurkan benteng pertahanan Pao-gwat-chung. Rombongan keluarga pemburu yang mengungsi disitu, telah menjadi korban dan para tetamupun menjadi kaget. Suatu hal yang telah membuat Liong Bu-ki marah seperti orang kemasukan setan.

„Balas membalas dendam, adalah hal yang jamak bagi kaum persilatan. Tapi mengapa kau telah mengganas juga keluarga pengungsi yang tak berdosa itu?" tegurnya dengan marah.

Kiau Hoan si Manusia Iblis mendongak tertawa memanjang. Habis tertawa, mukanya yang tirus pucat itu segera membesi, serunya: „Dendam puluhan tahun itu, tiada sedetikpun kulupakan. Yang tadi hanyalah selaku bunganya (rente) saja!"

„Dahulu karena kasihan, telah kuberi hidup. Siapa tahu hal itu malah menimbulkan bencana bagi rakyat. Sekarang kalau kau dapat terlepas, aku bersumpah tak mau jadi orang," seru Liong Bu-ki dengan geramnya.

„Kalau dapat melaksanakan, itulah bagus. Hanya dikuatirkan jiwamu hanya tinggal beberapa jam saja,” Kiau Hoan membalas dengan tertawa seram.

Sejak melihat cecongor si Kiau Hoan, sebenarnya Siau Ih sudah tak sabar lagi. Tapi karena ada para cianpwe jadi dia tak berani melancangi.

Tapi demi melihat sikap Kiau Hoan yang begitu congkaknya, dia sudah tak kuat menahan hatinya lagi. Tampil ke muka, dia segera memberi hormat kepada Liong Bu-ki:

„Maafkan, kelancangan wanpwe."

Habis itu, tanpa menunggu jawaban orang, dia segera membalik diri menghadapi Kiau Hoan.

„Tua bangka yang tak tahu malu. Masih ingatkah kau akan hadiahku di Ki-he-nia dulu?" tanyanya dengan tajam.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar