Si Rase Kumala Bab 20 : Kekecewaan Terhadap Engkong

20. Kekecewaan Terhadap Engkong

Tempo berjalan amat cepat sekali. Rasanya hanya dalam beberapa kejap saja dan sang musim rontok sudah menyerahkan tugasnya pada musim dingin. Namun musim dingin itupun tak kuasa mengganggu pemandangan indah permai dari lembah Liu-hun-hiap.

Memang Siau Ih bergirang atas rejeki Tan Wan yang diterima menjadi murid engkongnya itu. Tapi dia sendiri sebaliknya merasa sebal memikirkan nasibnya.

Bagi seorang pemuda yang biasanya hidup dalam alam kebebasan, tentu merasa jemu disekap dalam sebuah tahanan berupa pondok Jui-hun-lou itu. Lebih-lebih pelajaran yang diberikan oleh engkongnya itu, adalah terdiri dari pelajaran kitab kerokhanian yang sukar ditelaah.

Ditambah pula Shin-tok Liong yang diwajibkan mengurus kepentingannya itu, bersikap dingin sekali. Kecuali tiap hari membersihkan ruangan pondok, menyediakan makanan dan mengantarkan bahan pelajaran dari si Rase Kumala, sepatahpun Shin-tok Liong itu tak mau ngajak Siau Ih bicara.

Bermula Siau Ih masih mengharap pemuda itu dapat diajak bercakap-cakap barang sebentar untuk melepas kesepian, tapi tiap kali dia membuka mulut, tentu Shin-tok Liong cepat-cepat menyahut masih ada lain kerjaan atau dinanti oleh majikannya si Rase Kumala. Lama kelamaan Siau Ih merasa bahwa pemuda itu memang sengaja hendak menyingkir. Sudah tentu dalam hal itu, karena di perintah oleh engkongnya. Akhirnya Siau Ih pun tak mau menegur sapa lagi kepada Shin-tok Liong. Dengan begitu rasa kesepiannya pun makin besar.

Alam disekeliling pondok itu, sebenarnya indah bagaikan sebuah lukisan. Tapi karena tiap hari memandangnya, jadi diapun merasa bosan.

Baru dua tiga bulan berjalan, Siau Ih sudah merasa seperti dua tiga tahun lamanya. Kesunyian itu hampir saja membuatnya kalap. Beberapa kali dia mengandung pikiran untuk menerobos kebagian depan dari lembah bahkan meloloskan diri sekali, namun setiap kali terbayang akan  wajah engkongnya yang berwibawa itu, hatinya menjadi gentar.

Berulang kali dia coba menekan perasaannya, namun sang hati tetap berontak saja menginginkan kebebasan.

Pada hari itu, Siau Ih tengah berdiri di muka pondoknya. Diam-diam dia memperhitungkan bahwa waktunya berjanji bertemu dengan si Dewa Tertawa di gunung Ban-ke-san sudah hampir tiba. Suatu hal yang membuatnya makin resah gelisah.

Berjam-jam lamanya dia mondar-mandir dalam pondok mencari pikiran. Benar dia menaruh perindahan besar terhadap pribadi engkongnya itu, namun kecintaannya terhadap si Dewa Tertawa sudah membekas dalam.

Ah, alangkah baiknya kalau ayah angkatnya di Dewa Tertawa itu dapat berkunjung dipondok Jui-hun-lou itu. Akhirnya dia mengambil putusan hendak menghadap engkong untuk mengajukan suatu permohonan.

Dengan keputusan itu, barulah hatinya dapat tenang kembali. Dihampirinya meja tulis lalu menulis beberapa patah perkataan di atas secarik kertas. Tulisan itu berbunyi begini: „Rambut putih bertebaran, bersandar dipintu menjelang harapan. Pulang sudah anakku yang mengembara? Ah, diempat penjuru masih tetap tenang."

Dimasukkannya surat itu dalam sampul. Kebetulan saat itupun Shin-tok Liong datang mengantar makanan siang. Buru-buru dia menyambuti kiriman itu sembari menghaturkan terima kasih atas jerih payah orang.

Teguran itu telah membuat Shin-tok Liong terkesiap karena sudah sebulan lebih Siau Ih tak berbicara padanya. Biasanya pemuda itu (Siau Ih) bermuram durja, mengapa hari ini dia tampak berseri wajahnya?

„Siaote hendak minta bantuan, entah apakah Liong-koko sudi membantu?"

Kembali Shin-tok Liong terkesiap. Pertolongan apa yang diminta oleh pemuda itu? Tak berani gegabah menyanggupi, Shin-tok Liong hanya memandang ke arah Siau Ih sembari mendengus.

„Apa yang siaote hendak mohon itu, bukanlah suatu yang sukar, melainkan hendak minta Liong koko menyampaikan surat ini kepada engkong," buru-buru Siau Ih menjelaskan.

Shin-tok Liong menghela napas longgar, lalu menyahut:

„Ah, tak jadi apa, tentu kukerjakan.

Begitulah setelah Siau Ih menerimakan suratnya, Shin-tok- Liong pun segera berlalu. Sesore itu, Siau Ih menunggu dengan hati berdebar. Biasanya menjelang magrib tentu Shin- tok Liong datang menghantar makanan, tapi anehnya kala itu dia tak kunjung muncul. 

Siau Ih makin gelisah. Untunglah tak lama kemudian tampak sesosok bayangan berkelebat tiba di muka pondok. Baru Siau Ih hendak turun dari loteng, atau Shin-tok Liong sudah muncul dihadapannya.

„Liong koko, apa kabar?” tanyanya dengan tergesa-gesa. Dengan tertawa Shin-tok Liong mengeluarkan sepucuk sampul dan diberikan kepada Siau Ih. Hati anak muda itu makin berdebar keras. Begitu menerima sampul, dia tak mau lekas-lekas membuka melainkan menatap lekat pada Shin-tok Liong.

Rupanya Shin-tok Liong mengerti apa yang dimaukan pemuda itu. Buru-buru dia menerangkan bahwa dia tak mengetahui apa isi surat dari majikannya itu.

Dengan berdebar-debar, Siau Ih membuka sampul. Selembar surat warna biru muda, bertuliskan perkataan sebagai berikut:

„Selama tiga bulan kau belajar, ternyata tidak mendapat suatu apa. Setiap hari pikiranmu melamun, apakah sebabnya? Telah kusuruh Hou-ji mencari Bok Tong, dalam waktu singkat tentu akan dapat bertemu padamu. Jangan keliwat dipikirkan.

Adanya kusuruh kau belajar, ialah supaya kau dapat melatih watak pribadian, otak terang pikiran tenang. Jangan suka melamun, jangan meraikirkan yang tidak-tidak. Disitulah kau baru dapat berhasil.

Demikianlah permintaanku. Camkan benar-benar." Walaupun bakal berjumpa dengan ayahnya angkat si Dewa

Tertawa, namun Siau Ih masih belum puas karena dendam

ayah bundanya belum diketahui bilamana akan diusahakan.

„Kutahu bahwa engkong bermaksud baik terhadap diriku tapi mengapa soal itu tidak dijalankan saja setelah nanti pembalasan sakit hati ayah bunda itu selesai? Dengan cara begini, apakah engkong itu tidak keliwat dingin terhadap diriku?" ujarnya dengan geram.

Shin-tok Liong menaruh simpati terhadap pemuda itu, namun karena sudah diperintah oleh majikannya, diapun tak dapat berbuat apa-apa. Beberapa saat kemudian, dia tinggalkan pondok itu lagi. Lama Siau Ih berdiri tertegun seorang diri.

Tiba-tiba dia mendapat pikiran, ujarnya sendiri: „Dendam ayah bunda adalah suatu kewajiban besar. Dengan memerintahkan begini, entah bilamana engkong dapat menyelesaikan pembalasan sakit hati itu. Dari pembicaraannya tempo hari, nyata engkong juga menaruh dendam terhadap kedua Song-sat itu. Juga dalam penyelidikan masa itu, terang Siao-sat-sin Li Hun-liong itu tak terlepas dari dakwaan. Engkong menghendaki bukti yang kuat baru mau bertindak. Ah, mengapa aku tak mau nyerempet bahaya sedikit, tinggalkan tempat ini untuk melakukan penyelidikan. Asal berhasil menemukan bukti, biar engkong memarahi, tapi rasanya aku sudah dapat menunaikan kewajibanku sebagai anak terhadap orang tua …….”

Namun pada lain kilas, dia berpikir sendiri: „Rencana tadi memang bagus, tapi bagaimana caraku untuk menerobos dari pintu batu selat Liu-hun-hiap itu? Bukankah pintu itu dijaga oleh Liong koko ……”

Kembali Siau Ih gelisah hatinya. Beberapa kali dia naik turun loteng memikirkan daya yang sempurna, namun sia-sia jua. Baru ketika menjelang jauh malam, dia mendapat ketetapan hati.

„Dalam surat tadi engkong mengatakan kalau Hou koko tengah menuju ke Ban-ke-san, jadi yang menjaga pintu selat hanyalah Liong koko seorang. Tadi kuperhatikan dia agak menaruh simpati padaku, ah, asal aku dapat mengomonginya

……….”

Memikir sampai disini, kembali hatinya bergoncang keras. Teori sih bagus, tapi bagaimana kenyataannya nanti, wallahualam.

Keesokan harinya, dia menunggu kedatangan Shin-tok Liong dengan penuh harapan. Begitu pemuda itu mengantar makanan, Siau Ih segera menuturkan hasratnya. Begitu meluap rangsangan hatinya itu, hingga tak kuasa lagi dia menahan kucuran air matanya.

Shin-tok Liong seorang pemuda yang cerdas dan mendapat gemblengan dari si Rase Kumala. Tapi dikarenakan dia tak pernah turun gunung, jadi hatinya masih jujur, tak kenal akan kepalsuan dunia. Tergerak hatinya melihat penderitaan Siau Ih. Diam-diam diapun menganggap perbuatan majikannya (si Rase Kumala) itu kelewat bengis terhadap cucunya sendiri.

Setelah merenung beberapa saat, akhirnya dipandangnya wajah anak muda yang basah dengan air mata itu.

„Baiklah, biar bagaimana aku sedia membantu hiante. Segala kesalahan, aku yang menanggung. Tapi Hou-te sudah mencari Bok-lo-sian-ong dan tak lama lagi, beliau tentu sudah tiba kemari. Kalau hiante pergi terlalu lama, tentu akan dibuat pikiran oleh kedua cianpwe itu," kata Shin-tok Liong dengan nada tetap.

Mendengar itu serta merta Siau Ih memberi hormat selaku terima kasihnya.

„Ih hiante, ketahuilah apa sebabnya aku suka memberi bantuan padamu. Pertama, aku ketarik akan rasa baktimu terhadap orang tua. Kedua, semasa hidupnya bibi Lan itu memperlakukan kami baik sekali. Adalah demi untuk kepentingan mendiang, aku hendak membalas budi. Ai, bila kau hendak berangkat?"

„Kupikir malam nanti juga,” sahut Siau Ih.

Shin-tok Liong mengiakan dan menyatakan supaya anak muda itu berhati-hati dan lekas-lekas pulang kembali. Setelah itu, dia ngeloyor pergi lagi.

Saking girang mendapat kesanggupan itu, Siau Ih sampai mengucurkan air mata. Begitulah ketika malam tiba, dengan melalui jendela, dia loncat turun terus lari keluar menuju ke mulut lembah. Ketika tiba didekat pondok Kiam Jui Suan, dilihatnya ruangan pondok itu masih terang lampunya, lapat-lapat kedengaran suara sang engkong menerangkan suatu pelajaran pada Tan Wan.

Siau Ih tak berani berayal, pun jeri untuk menerbitkan sesuatu suara yang menimbulkan kecurigaan engkongnya. Dengan berindap-indap, dia menyusup ke dalam semak-semak pohon bunga.

Dengan jalan cara begitu, setengah jam lamanya barulah dia dapat tiba dimulut lembah. Pintu batu yang berdaun dua itu, ternyata tampak terbuka sedikit, tapi cukup untuk dimasuki tubuh orang. Betapa girang dan rasa syukurnya terhadap bantuan Shin-tok Liong, sukar dilukis. Tanpa berayal lagi, dia segera menyusup keluar.

Berada di luar, dia sejenak berhenti untuk menghela napas longgar. Kemudian lalu gunakan ilmu berlari cepat, berlarian disepanjang jalanan sempit menuju jembatan rantai besi yang menghubung lembah itu dengan dunia luar.

Sekeluarnya dari lembah yang berbahaya itu, pertama- tama dia menuju ke kota Tay-li-seng untuk mengambil kuda yang dititipkan dirumah penginapan tempo hari. Untuk kegirangannya, kedua ekor kuda itu masih ada bahkan  tambah gemuk dan segar. Setelah memberi uang pengganti ongkos perawatan pada jongos, dia segera mencongklang menuju ke selatan.

Walau hatinya amat lapang karena dapat menghirup alam yang bebas lagi, namun pikirannya masih tetap tertindih. Dengan berbagai jalan, dia coba mendekati beberapa kalangan persilatan, tetapi tetap tak berhasil mendapatkan keterangan siapakah pembunuh ayahnya itu.

Satu-satunya hasil yang diperolehnya selama dalam perjalanan tanpa arah tujuan itu, ialah pengalaman. Kini terbukalah matanya, bahwa dunia persilatan itu penuh pergolakan, tak setenang seperti yang disangkanya.

Orang tak boleh hanya mengandalkan akan ilmu silat saja, tapi juga kecerdasan. Jadi mengapa sebuah partai persilatan besar macam Thiat-sian-pang beberapa kali kalah dengan dia, adalah hanya karena kebetulan saja.

Kesal memikirkan usahanya yang sia-sia, teringat dia akan saudaranya angkat Liong Go. Dalam hal pengalaman, dia mengaku kalah dengan pemuda itu. Maka dia mengambil keputusan akan minta bantuannya. Segera dia menuju ke propinsi Hok-Kian.

Begitulah setelah mengadakan perjalanan selama sepuluh hari, menjelang magrib dia tiba di sebuah kota kecil dikabupaten Jiok-kiang-koan. Kalau melanjutkan perjalanan ke arah tempat penyeberangan sungai Jiok-kiang, terang tengah malam baru sampai, maka lebih baik dia bermalam di kota kecil itu saja.

Kota kecil yang dapat disamakan dengan desa itu, hanya terdiri dari dua-tigapuluh perusahaan yang sederhana. Disitu hanya terdapat sebuah rumah penginapan yang kamarnya diperuntukkan tidur beberapa orang.

Sebenarnya Siau Ih enggan untuk menginap disitu, tapi apa boleh buat, toh dia tak perlu tidur. Hidangan disitupun hanya terdiri dari ayam goreng dan telur rebus saja.

Selagi dia menikmati hidangannya, tiba-tiba dia melihat ada seorang tua diantara umur limapuluhan tahun tengah memandang ke arahnya. Orang itu duduk tak berapa jauh dari tempatnya. Didapatinya orang tua itu masih sehat gagah, teristimewa sepasang matanya berkilat-kilat macam orang yang berisi (ahli silat).

„Mengapa dia memandang begitu rupa padaku?” Siau Ih bertanya dalam hati. Justru dia baru berpikiran begitu, orang tua itu sudah bersenyum dan menegur: „Saudara tentu bukan orang sini, bukan?"

Siau Ih terkesiap, sahutnya: „Benar, cayhe berasal dari Siamsay. Tapi rasanya lotiang sendiri juga dari lain daerah."

Orang tua itu mengiakan dan menerangkan bahwa dia berasal dari Khay-hong. Kemudian dengan masih memandang lekat-lekat pada Siau Ih, dia menanyakan apa keperluan pemuda itu datang kesitu.

Pertanyaan itu telah menimbulkan rasa kecurigaan Siau Ih, namun dengan tak mengunjukkan perasaannya, dia mengatakan kalau hanya akan tinggal semalam, karena sudah kemalaman.

Orang tua itu mengangguk, ujarnya: „Menilik sikap saudara ini, tentulah bukan orang sembarangan, rasanya pasti tak senang menginap ditempat semacaam ini. Kalau tak buat celahan, sukalah menginap dirumah losiu saja!"

Kecurigaan Siam Ih makin menjadi. Namun karena dia memang gemar akan petualangan, dia menerima tawaran itu. Orang tua itu minta dikenalkan namanya.

„Aku Siau Ih dan siapakah nama yang mulia dari lotiang?” sahut Siau Ih.

Orang tua itu bernama Song Jin-kiat, kemudian dia segera ajak Siau Ih pulang kerumahnya. Siau Ih tak mau main sungkan, suatu hal yang membuat orang tua itu girang, membayari rekening makan Siau Ih dan terus ajak pemuda itu menuju ke arah barat.

Setelah membelok beberapa kali, tibalah mereka disebuah perkampungan yang bersih. Disitu terdapat sebuah gedung dengan halamannya yang luas sekali. Si orang tua  mengatakan bahwa itulah rumahnya. Siau Ih rnakin curiga, pikirnya: „Seorang yang memiliki rumah halaman yang begitu luas dan bagus, mengapa keluyuran ke tempat rumah makan murah?”

Tiba digedung itu, dari pintunya yang bercat hitam, segera muncul dua orang budak yang menyambuti kuda sang tamu. Dengan mengulum senyum, Song Jin-kiat ajak Siau Ih masuk ke dalam. Segera disuruhnya menyediakan hidangan.

Sewaktu dahar, secara berbelakar Jin-kiat berkata;

„Saudara Siau, kau pasti merasa heran segala apa sudah tersedia dirumah, tapi aku masih keluyuran dirumah makan sekotor itu. Ini tak lain, karena setempo aku sudah bosan dengan hidangan dirumah dan sesekali kepingin jajan-jajan."

Keterangan itu makin menambah kecurigaan Siau Ih. Orang apakah gerangan tuan rumah itu dan apakah maksudnya dia mengundangnya kesitu? Diperhatikannya bagaimana Song Jin- kiat itu kerap kali menatapnya lekat-lekat, namun dia pura- pura tak mengetahui.

Sebaliknya Song Jin-kiat pun tahu apa yang dikandung tetamunya itu. Ujarnya dengan tertawa: ,,Saudara Siau, meskipun kita baru berkenalan, tapi sudah seperti sahabat lama. Losiu hendak memperkenalkan isteri dan anakku, agar kelak, persahabatan kita dapat lebih erat."

Tanpa menunggu jawahan orang, Song Jin-kiat segera suruh bujang untuk memanggil isteri dan anaknya.

„Aneh benar, dia baru berkenalan, mengapa bersikap begitu?” Siau Ih menimbang dalam hati.

Pada lain saat, masuklah seorang wanita yang bersolek secara menyolok sekali. Usianya diantara tigapuluhan tahun. Sikapnya agak genit, lebih-lebih sinar matanya mengunjuk bahwa ia itu seorang perempuan yang cabul.

Di belakangnya mengikut seorang pemuda diantara umur duapuluhan tahun. Walaupun parasnya cakap, tapi sikapnya tidak simpatik. Kepalanya menunduk, wajahnya kurang senang.

Begitu melangkah masuk dan melihat Siau Ih, nyonyah rumah itu segera berobah wajahnya. Belum lagi Siau Ih habis herannya, tiba-tiba terdengar Song Jin-kiat tertawa sinis. Siau Ih makin terkesiap.

„Saudara Siau, kuperkenalkan, inilah isteriku Tian-si!”

Wanita itu sudah dapat menguasai perasaan kagetnya, lalu bersenyum kepada Siau Ih selaku memberi hormat. Pemuda itu buru-buru membalas hormat.

„Dan ini puteraku Song Wan," kata tuan rumah seraya menunjuk kepada pemuda murung tadi.

Aneh benar Song Wan itu. Walaupun Siau Ih memberi hormat padanya, tapi dia seolah-olah tak melihatnya, sampai kelopak, matanya yang sejak tadi ditutup, pun tak dibukanya. Sudah tentu Siau Ih merasa heran.

„Ai, anakku itu memang jarang bergaul, jadi kurang tahu adat, harap dimaafkan," kata Song Jin-kiat.

Siau Ih betul-betul berhadapan dengan rumah tangga gila. Ayah dan anak tidak akrab, suami isteri tidak sepadan. Disitu tentu terselip sesuatu. Dan puncak keanehannya, ialah mengapa orang she Song itu mengundangnya bermalam disitu.

Song Jin-kiat segera perintah bujangnya untuk mengganti hidangan dengan arak. Secara luar biasa ramahnya, dia berkali-kali menuang arak kecawan Siau Ih. Namun pemuda itu sudah mulai curiga dan tak mau minum terlalu banyak.

Menjelang tengah malam, akhirnya Siau Ih menyatakan tak kuat lagi minum dan ingin beristirahat. Tuan rumah sendirilah yang mengantarkannya kekamar tulis. Setelah berada seorang diri, Siau Ih dapatkan kamarnya itu walaupun sebuah kamar tulis, namun hiasan disitu tak karuan juntrungannya. Siau Ih membuat penilaian terhadap diri tuan rumah.

Kalau dia itu seorang durjana, wajah dan gerak-geriknya tentu tak sedemikian ramah dan baik. Namun kalau dikata Jin- kiat itu seorang terpelajar, sikapnya agak kasar blak-blakan seperti orang persilatan. Tetapi orang persilatan yang jujur, juga tak begitu aneh gerak-geriknya. Pusing Siau Ih memikirkannya.

Waktu sudah mengunjuk pukul dua malam, namun Siau Ih masih belum dapat tidur. Tiba-tiba di atas genteng ruangannya, terdengar derap kaki yang enteng sekali. Buru- buru lilin dipadamkan, diambilnya pedang, terus loncat keluar dari jendela.

Di luar suasana amat gelap. Langit tiada berembulan hanya diterangi oleh ribuan bintang. Sekalipun begitu, mata Siau Ih yang celi segera dapat melihat bahwa kira-kira sepemanah jauhnya terdapat sesosok tubuh menyusup masuk ke dalam halaman. Tapa berayal lagi, dia segera memburu.

Rupanya bayangan itu sudah paham seluk beluk gedung itu. Langsung dia menuju ke sebuah ruangan. Dari gerakannya, Siau Ih mengetahui bahwa orang itu tinggi ilmunya ginkang. Tapi dilihat dari gerak geriknya, terang kalau bukan orang baik-baik.

Dengan gunakan ginkang pat-poh-kam-sian, Siau Ih cepat sudah menyusul masuk, namun orang tadi sudah lenyap. Didapatinya halaman disitu, diatur dengan indah.

Diantara ruangan-ruangan yang dibangun pada tembok, terdapat ada yang masih memancarkan penerangan. Dan menyusul, terdengar gelak tertawa halus dari ruangan itu.

Sekali loncat, Siau Ih segera menghampiri. Mendapat warisan pelajaran dari si Dewa Tertawa, sudah tentu ginkang Siau Ih amat tinggi. Sekalipun malam amat sunyi, namun sedikitpun dia tak mengeluarkan suara apa-apa. Loncat ke atas genteng, dia segera kaitkan sepasang kaki ke atas serambi lalu bergelantungan melongok ke dalam ruangan.

Dari cahaya lilin besar yang menerangi, nyata ruangan itu merupakan sebuah kamar yang indah hiasannya. Didekat dinding terdapat sebuah ranjang kayu bercat merah.

Di atas ranjang duduk seorang wanita yang berpakaian amat tipis. Sementara di muka ranjang, berdiri seorang lelaki mengenakan pakaian ringkas warna hitam.

---ooo0dw0ooo---
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar