Si Rase Kumala Bab 19 : Si Rase Kumala

19. Si Rase Kumala

Ketika pemuda penunjuk jalan itu menekan dengan jarinya, kedua buah daun pintu batu yang berat itu terbuka pelahan- lahan. Begitu masuk, Siau Ih dan Tan Wan segera tertumbuk dengan cahaya terang.

Sebuah padang yang subur dengan rumput dan bunga beraneka warna, terbentang dihadapan. Angin mendesir, bunga berlomba-lomba mengadu kecantikan, batang bambu berbaris dengan daunnya yang rindang. Di bawah tempat yang teduh, samar-samar tertampak sebuah pondok.

Sampai pada detik itu, barulah Siau Ih percaya apa yang diucapkan si Dewa Tertawa dahulu. Keindahan selat Liu-hun- hiap itu benar-benar seperti sebuah lukisan.

Siau Ih yakin itulah Kam-jui-suan, pondok tempat pertapaan enkongnya Iuar si Rase Kumala Shin-tok Kek. Membayangkan bagaimana sebentar lagi dia bakal berjumpa dengan engkongnya yang belum pernah dilihatnya itu, hati Siau Ih berdebar keras.

Sepintas terbayanglah dia akan makam almarhum mamanya. Sesaat tertegun, dia termangu-mangu seperti terpaku di tanah.

Juga Tan Wan pun tak luput dari kegoncangan hati. Betapa tidak? Sejenak lagi dia bakal berhadapan muka dengan tokoh termasyhur yang memiliki kepandaian sakti dan berperangai aneh. Bagaimana sikap tokoh yang menggetarkan dunia persilatan itu?

Tampak kedua pemuda itu tertegun mengandung kesangsian, tertawalah penunjuk jalan tadi, serunya:

„Majikanku tengah menunggu, harap kalian berdua ikut padaku.”

Teguran itu telah membuat Siau lh berdua tersadar, buru- buru dia menghaturkan terima kasih. Demikianlah mereka bertiga berjalan pula dengan cepatnya. Setelah melalui padang bunga yang semerbak, mereka segera tiba di muka sebuah pondok yang bersih. Pondok itu terdiri dari lima buah ruangan besar kecil, sederhana tapi cukup terawat resik. Pada pintu yang tertutup tirai, di atasnya tergantung sebuah papan besar bertuliskan tiga buah huruf

"Kam Jui Sian"

Di kedua samping pintu terdapat sepasang sajak dari bambu, berbunyi demikian:

Bebas dari kemilikan, lepas tiada terikat, adalah laksana salju cair di api air tertimpa matahari.

Pandangan mata yang lepas, hati nan bebas, setiap waktu dapat menikmatl bayangan langit dipermukaan air.

Melihat itu, diam-diam Siau Ih membatin bahwa sekalipun engkongnya itu tinggal mengasingkan diri, namun merasa bebas lepas dari urusan duniawi. Menandakan bahwa si Rase Kumala itu seorang pemuja keindahan hidup bebas.

Tiba di muka pondok, tiba-tiba tirai itu tersingkap dan muncullah pula seorang pemuda bercelana pendek warna hijau memberi hormat kepada Siau Ih berdua, ujarnya:

„Majikan kami mempersilahkan kongcu berdua masuk."

Pemuda pertama yang menjadi penunjuk jalan tadipun segera menjajari kawannya yang baru muncul itu, tegak berdiri di kanan kiri pintu sambil menyingkap tirai.

Setelah mengucap terima masih, Siau Ih ajak Tan Wan melangkah masuk. Di dalam ruangan itu, terdapat sepasang pintu angin terbuat dari batu marmer putih berlukiskan pemandangan alam.

Dibalik pintu angin itu, terdapat sebuah ruangan yang indah. Meja kursi di itu, terbuat daripada batu kumala hijau. Beberapa buah lukisan pelukis ternama, menghias dinding. Sebuah tempat perapian dan tempat alat minum dan lain-lain benda yang antik (kuno). Ruangan itu dipisahkan menjadi dua oleh sebuah tirai berukirkan lukisan bunga.

Siau Ih dan Tan Wan masuk ke dalam lagi. Ruangan disitu lebih menyengsamkan lagi. Sebuah meja yang terbuat dari jalinan akar pohon yang berumur seratusan tahun, dengan di atasnya terdapat sebuah alat khim dan empat sudut kamarnya berjajar beberapa pohon bunga yang aneh. Sederhana sekalipun hiasannya, namun ruangan yang cukup sedang besarnya itu, menjadi sebuah tempat yang tenteram suci.

Di dekat dinding terbentang sebuah tempat duduk dari kayu mahoni yang bertutupkan selembar tikar dari anyaman jenggot naga. Disitu tengah duduk seorang yang berwajah agung. Dilihat dandanannya, dia itu mirip dengan orang terpelajar, usianya disekitar empatpuluhan tahun. Dia tengah memegang sepucuk surat dan sebuah kumala, wajahnya merenung dalam.

Walaupun belum pernah bertemu muka, tapi sepintas pandang dapatlah Siau Ih menduga bahwa orang itu tentu engkongnya sendiri. Melangkah maju ke muka tempat duduk, dia menjurah memberi hormat, ujarnya: „Cucu luar Siau Ih, mengunjuk hormat pada engkong!"

Memang orang terpelajar itu bukan lain ialah orang tua yang telah kehilangan puterinya, kemudian mengasingkan diri me¬yakinkan sin-kang (ilmu sakti), si Rase Kumala Shin-tok Kek. Pelahan-lahan tampak tokoh itu mengangkat kepala sepasang matanya yang memancarkan sinar penuh perbawa, agak dibukanya.

Lebih dahulu memandang ke arah Tan Wan yang tengah berlutut disamping pintu, baru kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Siau Ih, lalu berkata dengan nada berat: „Angkatlah kepalamu ke muka!"

Siau Ih mengiakan. Demi dia mendongak, tampak si Rase Kumala memandangnya lekat-lekat, dari ujung kaki sampai ke atas kepala. Rupanya dia tengah mencari sesuatu pada anak muda itu.

Beberapa jenak kemudian, dia tiba-tiba ulurkan tangannya kanan yang halus mengelus-elus kepala Siau Ih. Ujarnya dengan didahului helaan napas: „Anak mengganti ayah, itu sudah sewajarnya. Kau mirip benar dengan Siau Hong."

Berkata sampai disini, sepasang alisnya yang melengkung bagai batang pedang itu tampak agak menyungkat, lalu katanya pula: „Apa maksudmu datang kemari?”

Beberapa butir air mata menitik dari pelapuk Siau Ih, sahutnya dengan sayu: „Menghadap pada engkong, menebar bunga dikuburan mama dan masih lagi …… dendam ayah bunda yang harus dihimpaskan. Atas titah kakek Dewa Tertawa, Ih-ji disuruh menghadap kepada engkong untuk mohon petunjuk."

Mendengar kata itu, wajah si Rase Kumala agak berobah, menampilkan rasa benci. Dengan menganggukkan kepala dia berkata: „Puluhan tahun tetap tak melupakan, menandakan bahwa kau mempunyai rasa bakti terhadap orang tua. Hanya saja …..... sejak berpisah tempo dahulu, mengapa dia si Bok Tong itu menyembunyikan diri. Pula, mengapa baru hari ini  dia mengatakan tentang dirimu."

Tak kurang rawannya, Siau Ih menjawab: „Kata kakek karena peristiwa mamaku itulah maka dia malu menemui engkong ……”

Belum lagi dia selesaikan kata-katanya, si Rase Kumala sudah menukasnya dengan sebuah tertawa nyaring. Nada ketawanya melengking menyusur atap.

Puas tertawa, berkatalah dia dengan nada geram: „Jika benar dia mempunyai perasaan begitu, mengapa tak dulu-dulu membunuh diri saja?” Benar si Dewa Tertawa itu bukan orang tuanya sendiri, namun karena diasuh dan dirawat berpuluh tahun, rasanya kecintaan Siau Ih terhadap orang tua itu sudah sangat mendalam. Mendengar engkongnya seperti menyesali perbuatan si Dewa Tertawa. Siau Ih tidak puas.

„Apa yang terjadi tempo dahulu, baik jangan diungkat lagi. Taruh kata beliau benar bersalah karena lalai melindungi ibuku, tapi beliau orang tua itu sudah menebus dosanya. Belasan tahun mengasing diri di pegunungan sepi, rela melepas kewajibannya sebagai orang persilatan, rela pula memikul beban sukar untuk merawat dan mengasuh seorang anak piatu. Perbuatan itu rasanya sudah cukup untuk membayar kedosaannya. Apalagi, masih beliau mengantarkan jenazah mamaku ke Tiam-jong-san dan bersedia untuk menerima hukuman. Mengapa beliau tak dulu-dulu mengemukakan perihal diri Ih-ji, rasanya engkong tentu maklum sendiri. Maafkan, Ih-ji hendak kelepasan omong. Manusia itu bukan dewa, bagaimanapun juga sesekali tentu takkan terluput dari kesalahan, engkong kau ”

Baru berkata sampai disini, tiba-tiba si Rase Kumala memberi isyarat supaya Siau Ih berhenti bicara. Wajah tokoh aneh ltu menampilkan kekerenan.

Siau Ih terkesima.

Sekonyong-konyong mata si Rase Kumala menyapu ke arah Tan Wan. Mulutnya tampak bergerak-gerak seperti hendak mengatakan sesuatu.

Tan Wan yang sejak masuk di ruangan itu terus berlutut di belakang Siau Ih, kini buru-buru mengisut ke muka lalu menganggukkan kepalanya berkata: „Wan-pwe Tan Wan dengan hormat datang menghadap."

Siau Ih heran juga terhadap sikap engkongnya yang aneh itu. Kuatir kalau terbit salah paham, buru-buru dia memberi penjelasan. Mendengar itu tampaknya si Rase Kumala berobah tenang lalu menyuruh kedua pemuda itu berdiri.

Siau Ih dan Tan Wan lalu mengambil tempat duduk disebelah itu.

Kembali si Rase Ktunala menatap ke arah Tan Wan dan menanyakan siapakah suhu dari anak muda itu.

Dengan sikap menghormat sekali, Tan Wan menuturkan asal usul dirinya.

Si Rase Kumala tampak mengangguk, ujarnya: „Melihat sikapmu dan tulang-tulangmu amat bagus, rasanya dapat digembleng. Asal dapat melatih diri dengan disiplin keras, hari depanmu pasti gemilang."

Siau Ih longgar perasaannya dan turut bergirang atas rejeki sang kawan yang di ‘sir’ (disukai) oleh engkongnya itu. Sedangkan Tan Wan sudah lantas berbangkit dan menyatakan kesediaannya dengan tetap: „Wanpwe dengan penuh ketaatan sedia menerima kebaikan cianpwe dan berjanji akan belajar sungguh-sungguh. Kelak wanpwe tentu tak bakal mengecewakan kebaikan cianpwe itu."

Si Rase Kumala bersenyum dan menyuruhnya duduk kembali. Kemudian dengan wajah bersungguh dia berkata kepada Siau Ih: „Kata-kata pembelaanmu untuk si Bok Tong tadi, meskipun kedengarannya penuh dengan ikatan budi, tapi mengandung sifat menentang!"

Sudah tentu kejut Siau Ih yang baru saja bergirang itu, bukan kepalang. Buru-buru dia tundukkan kepala menyahut:

„Apa yang Ih-ji ucapkan tadi adalah keluar dari setulus hatiku. Apabila engkong menganggap hal itu menentang, Ih-ji rela terima kesalahan."

Sejenak menatap si anak muda, tiba-tiba wajah si Rase Kumala menampil seri senyum, katanya: „Kau bersedia menerima kesalahan, tapi tentunya kau tak mengetahui adalah aku mempersalahkan kau atau tidak! Kukira kau tentu sudah banyak mendengar tentang sepak terjang engkongmu ini dahulu. Mungkin orang menganggap aku ini seorang yang berhati dingin berwatak aneh tak mengenal budi kecintaan. Tapi pada hakekatnya tidak begitu halnya. Benar setiap tindakanku itu sepintas pandang hanya seperti menuruti kepuasan hatiku saja. Namun sebenarnya setiap apa yang kulakukan itu, telah kupertimbangkan masak-masak. Kuadakan garis tajam mana budi mana dendam, tak nanti kulalaikan cengli (nalar). Dan, ketahuilah bahwa aku ini seorang yang paling menjunjung ikatan rasa kecintaan. Ucapanmu tadi memang bersifat pembelaan, tapi keluar dari hati sanubarimu. Manusia tetap takkan melupakan ikatan kebaikan.”

Sampai disini, barulah membuktikan sendiri bahwa engkongnya itu benar-benar seorang biasa dengan watak yang luar biasa Kini tak berani lagi dia membantahnya.

Saat itu, mendadak si Rase Kumala angkat tangannya memukul tiga kali dan masukkan kedua pemuda bercelana pendek tadi.

„Inilah cucuku luar Siau Ih dan ini sahabatnya Tan Wan," katanya sembari menuding pada Siau Ih dan Tan Wan. Kedua pemuda bercelana pendek itu tersipu-sipu memberi hormat dan menyebut kongcu (tuan muda) pada Siau Ih berdua.

Kemudian si Rase Kumala memperkenalkan kedua orangnya itu kepada Siau Ih berdua.

„Dia bernama Liong-ji." katanya sambil menunjuk kepada pemuda berparas cakap, Liong-ji artinya si Naga.

Kemudian menuding ke arah pemuda yang bermata bundar besar, beralis tebal dia berkata: „Dia bernama Hou-ji (si Harimau). Sejak kecil mereka berdua ikut padaku. Karena tiada berorang tua dan tiada mempunyai she, maka ikut aku she Shin-tok. Kamu berdua boleh membahasakan Liong-ko dan Hou-ko pada mereka!"

Berhenti sejenak merenung, berkata pula si Rase Kumala:

„Menyambangi kuburan orang tua, adalah kewajiban anak. Nah, kini boleh kusuruh Liong-ji dan Hou-ji membawamu kesana."

Berkata sampai disini, nada si Rase Kumala mengunjuk rasa kekeluargaan.

Siau Ih berlinang-linang air matanya. Antara engkong dengan cucu, telah terdapat perpaduan kalbu.

Tan Wan pun ikut terharu. Untuk menyimpangkan suasana haru itu, dia buru-buru ajak Siau Ih untuk lekas-lekas ikut pada si Liong dan si Hou.

Kira-kira sepeminum teh lamanya berjalan melalui  beberapa tikungan di belakang pondok Kam Jui Sian, tibalah mereka berempat di sebuah hutan bunga. Dibilang hutan bunga karena lapangan yang cukup luasnya itu penuh ditumbuhi ratusan batang pohon tinggi yang tengah berbunga.

Warnanya biru muda, besarnya hampir menyerupai mangkuk, sungguh suatu jenis bunga yang aneh. Bergontaian dihembus angin, bunga itu menebarkan bau yang harum.

Ditengah hutan bunga itu, terdapat sebuah bungalow (Pagoda kecil) yang terbuat dari batu marmar hijau, berpayon atap biru. Shin-tok Liong dan Shin-tok Hou berbenti di muka hutan.

Sementara dengan sepintas pandang, tahulah Siau Ih bahwa bangunan indah itu tentulah makam ibunya. Tanpa terasa air mata bercucuran membasahi kedua belah pipinya. Setelah puas melepaskan kedukaannya, barulah dia melangkah masuk menghampiri bangunan itu. Benar juga ditengah ruangan itu, terdapat sebuah makam dari batu marmar hijau. Di muka makam, terdapat sebuah batu nisan bertuliskan:

‘Makam puteriku tercinta Lan-ji'

Tak dapat lagi Siau Ih membendung air matanya yang membanjir turun. Segera dia masuk dan bertekuk lutut menangis tersedu-sedu. Ratap tangis dihutan bunga nan sunyi senyap itu, telah menimbulkan suatu suasana haru rawan.

Tan Wan, Shin-tok Liong dan Shin-tok Hou ikut-ikutan menetes air mata.

Puas menangis, Siau Ih mencabut pedang thiat-coat-kiam. Melintangkannya di dada, dia segera mengikrarkan sumpahnya untuk membalas dendam ayah bunda.

Habis bersumpah, digunakannya pedang itu pada jari tengah. Beberapa titik darah menetes di muka batu nisan. Kemudian setelah bersujud dengan khidmatnya, barulah dia berdiri.

Tan Wan segera memberi hormat.

Begitulah setelah agak lama mengelu-elu makam mendiang ibunya, barulah Siau Ih dan kawan-kawan kembali ke pondok.

Karena berjumpa dengan cucu satu-satunya, waktu makan siang, si Rase Kumala sengaja datang menemani. Untuk pertama kali sejak kehilangan puteri kesayangannya, barulah saat itu dia merasa gembira, namun pada lahirnya dia tetap tenang.

Selama makan itu, disuruhnya Siau Ih menuturkan masa kecilnya serta pengalamannya selama turun gunung itu.

Diam-diam si Rase Kumala puas akan pengorbanan si Dewa Tertawa mendidik anak itu. Tapi demi mendengar sampai di bagian Siau Ih bertemu dengan Goan Goan Cu, si Rase Kumala menyela dengan kejutnya: „Masakah ia mandah saja menerima kata-katamu yang menusuk hati itu?"

Merenung sejenak, Siau Ih menerangkan bahwa disaat hendak pergi, kepala biara Siang Ceng Kiong itu titip omongan padanya, kelak dia tetap akan menyelesaikan peristiwa di Siang Ceng Kiong tempo dahulu.

Mendengar itu, si Rase Kumala tertawa dingin, ujarnya:

„Kematian mendiang ayahmu itu, terang dicelakai orang. Tapi siapa durjana itu, hingga kini masih belum ketahuan. Justru inilah yang menjadikan kita, angkatan tua, merasa malu. Kini sudah berselang puluhan tahun, namun dia (Goan Goan Cu) masih berlagak tinggi. Yang nyata biar bagaimana juga, dia tak terluput dari kesalahan telah menghukum murid secara sewenang-wenang. Selebihnya, apa yang diucapkan itu hanyalah sebagai pelabi (alasan) menutup malunya saja.''

Sebenarnya saat itu, demi melihat wajah engkongnya menampilkan dendam kemarahan, Siau Ih sudah lantas mau minta petunjuk untuk rencana melakukan pembalasan.

Tapi kala itu, si Rase Kumala mempunyai pikiran lain.

Ditatapnya anak muda itu lekat-lekat.

„Ibumu adalah anak perempuanku tunggal, sementara kau adalah satu-satunya darah dagingnya. Harapanku ialah  hendak menjadikan kau seorang manusia gemblengan. Kaum muda di kalangan persilatan, walaupun lebih dahulu belajar ilmu silat, tapi sekali-kali tak boleh meninggalkan ilmu sastera. Kedua hal itu, harus dituntut bersama barulah dapat dikata sempurna jasmaniah dan rokhaniah. Yang dibilang ilmu, ialah ilmu silat dan ilmu sastera itu. Untuk mencapai kedua hal itu, pertama-tama harus melatih watak pribadi. Hanya saja membentuk kepribadian itu laksana menempa emas. Beratus kali menempanya, barulah dapat sempurna.”

„Kau memiliki kecerdasan dan berbakat bagus. Apalagi sejak kecil telah mendapat warisan seluruh kepandaian si Bok Tong. Ibarat pisau, makin tajam makin berbahaya kalau salah yang menggunakan, kaupun demikian juga. Setelah memiliki ilmu silat yang tinggi, haruslah membentuk kepribadian yang kuat. Oleh karena itu, sejak hari ini kusuruh kau tinggal di pondok Chui-hun-lou yang berada di belakang selat ini. Tiap hari akan kuberimu pelajaran surat. Kuberi batas waktu satu tahun, kalau selama itu kau mematuhi apa yang telah kutetapkan itu, kelak seluruh kepandaianku akan kuberikan semua padamu. Kemudian kauboleh turun gunung melakukan pembalasan. Tapi ingat, selama setahun itu, kau hanya diperbolehkan bergerak seluas sepuluh tombak di muka pondok itu. Apabila berani melanggar, akan menerima hukuman berat."

Siau Ih tak menyana sama sekali bahwa engkongnya mengemukakan hal seperti itu. Benar engkongnya itu mempunyai maksud baik, tapi dalam kebatinan Siau Ih mengeluh. Masakah untuk membalas sakit hati orang tuanya, dia harus belajar sastera sampai satu tahun lamanya.

Namun demi memperhatikan wajah sang engkong mengerut keren, dia bercekat dalam hati. Tanpa terasa, dia tundukkan kepala dan menelan kembali kata-kata yang sedianya hendak diajukan.

Si Rase Kumala bukan bintang cemerlang dari sepuluh Datuk, kalau dia tak dapat membaca hati cucunya itu.

„Apakah kau merasa enggan?" tanyanya dengan berat.

Dalam kejutnya Siau Ih buru-buru mendongak dan menyahut lantang: „Ih-ji tak berani menentang, hanya ”

Dia berhenti sejenak, tapi ketika hendak melanjutkan lagi dilihatnya wajah si Rase Kumala berobah membesi, sepasang matanya membeliak. Dengan isyarat tangan, tokoh itu segera menukas: „Karena tiada keberatan, baik jangan banyak  omong lagi!”

Habis itu, segera dia panggil Shin-tok Liong. „Bawalah adikmu Ih ini ke Jui-hun-lou sana. Selama satu tahun, baik mengenai pelajaran yang kutetapkan dan makan pakainya, kaulah yang mengurus. Tapi dia dilarang keluar seluas sepuluh tombak dari pondoknya. Apabila berani melanggar, aku akan minta pertanggungan jawab padamu," katanya.

Shin-tok Liong terkesiap. Dengan penuh keheranan dia melirik ke arah Siau Ih, tapi baru saja dia berniat membuka mulut, si Rase Kumala sudah mengisyaratkan supaya dia lekas kerjakan apa yang diperintahnya itu.

Dengan agak mendongkol, Siau Ih berbangkit, katanya:

„Titah engkong itu, Ih-ji tak berani membantah, tapi …….”

„Apa isi hatimu, aku cukup mengerti. Benar sakit hati orang tua itu, harus diutamakan. Tetapi ketahuilah, bahwa kematian ayahmu itu mempunyai sebab-akibat yang berliku-liku. Dan lagi orang orang yang tersangkut, bukan tokoh sembarangan. Sekali terjadi penyelesaian, tentu akan menimbulkan kegoncangan besar yang belum pernah terjadi di dunia persilatan. Pun pihak lawan itu dapat menyimpan rahasia itu sebaik-baiknya. Untuk menjaga gengsi, aku tak berani bergerak sembarangan. Harus mempunyai rencana yang cermat, baru boleh bertindak. Selamanya aku tak mau berbuat kalau belum mempunyai pegangan yang meyakinkan. Tentang bagaimana sifat seluk-beluknya itu, kelak kau pasti mengetahui sendiri. Pendek kata, pasti tak membuatmu kecewa ……."

Tiba-tiba dengan bergelora, Siau Ih menyela: „Pihak lawan yang engkong maksudkan itu, tentulah durjana yang mencelakai ayah. Menurut gejala pada masa terjadinya peristiwa itu, apakah Siao-sat-sin Li Hun-liong tiada tersangkut?"

Dengan penuh perhatian, Siau Ih menunggu jawaban yang positif dari engkongnya. Tapi di luar dugaan, si Rase Kumala tertawa dingin, serunya: „Bukti apa yang kau dapat kemukakan bahwa Li Hun-liong yang melakukan hal itu?"

Pertanyaan itu telah membuat Siau Ih bungkam dalam seribu bahasa. Sesaat kemudian kembali si Rase Kumala menghela napas panjang.

„Aku tak mau main menyangka saja, tapi harus memiliki bukti yang kuat, baru dapat menuduh positif. Kedua song-sat itu bukan tokoh picisan, tentu mereka tak begitu saja mandah melihat puteranya dicelakai orang. Dan taruh kata memang berbukti anak itu yang berbuat, juga harus diselesaikan dengan pertandingan jiwa. Belasan tahun aku menyikap diri ditempat yang sepi sini, bukan berarti sudah melupakan dendam itu. Sedianya tiga tahun lagi, aku hendak turun gunung untuk yang kedua kalinya guna menghabiskan dendaman itu. Kini sekall pun rencana itu masih belum berobah, namun pelakunya terpaksa harus diganti. Tugas berat itu, kini akan kuletakkan padamu. Ah, banyak bicara kurang bermanfaat, kuharap kau dapat melatih diri baik-baik.”

Betapapun rongga dada Siau Ih penuh dengan seribu satu pertanyaan, namun sikap engkongnya itu telah membuatnya tak dapat berbuat apa-apa lagi. Setelah memberi hormat, dia tinggalkan ruangan itu. Tiba di muka pintu, dia tertegun sebentar memandang ke arah Tan Wan, kemudian berjalan keluar mengikut Shin-tok Liong.

Tan Wan tergerak hatinya. Segera dia berbangkit dan mengajukan permintaan pada si Rase Kumala agar diijinkan mengawani Siau Ih.

Si Rase Kumala tak mau lekas-lekas menjawab, melainkan menatap tajam-tajam ke arah pemuda itu.

„Tak usah, biar dia seorang diri saja. Dengan begitu, mungkin dia akan lebih berhasil melatih diri. Ih-ji amat cerdas, tapi kurang toleransinya. Benar setingkat lebih atas dengan pemuda kebanyakan, tapi masih jauh sempurna dari pikiran yang bijak. Karena digembleng Bok Tong, dia tentu tergolong jago kelas satu. Justeru inilah yang mempertebal sifat kecongkakannya. Congkak mudah menjurus keganasan, mudah menuruti kemauannya sendiri.”

„Hal itu telah kualami sendiri. Selama bertahun-tahun menyepi ini, pikiranku makin sadar. Oleh karena itu, banyaklah sudah terjadi perobahan pada watak perangaiku. Apa yang telah berhasil kucapai itu, hendak kuajarkan pada orang lain. Mungkin kau mengira bahwa aku keliwat tawar terhadap Ih-ji, tapi pada, hakekatnya tidak demikian. Ingatlah akan peribahasa yang mengatakan behwa, kalau tak digosok batu kumala itu takkan jadi barang berharga. Apa yang kelak dicapainya, pasti amat berguna baginya."

„Wanpwe tak berani menduga yang tidak-tidak," buru-buru Tan Wan menyatakan.

„Ah, kau tentu belum yakin benar," tukas si Rase Kumala. Diterka isi hatinya, wajah Tan Wan menjadi merah padam.

Dia tundukkan kepala tak berani bercuit.

Si Rase Kumala tertawa.

„Tak usah kau resahkan hal itu. Memang bagi siapa yang sudah mempunyai penerangan batin, tentu mengerti ceng-li (logika). Buktinya, Liong-ji sama sekali tak kaget mendengar perintahku tadi. Setelah sadar akan maknanya, tentulah orang tak menganggap aku buta perasaan," kata si Rase Kumala.

Rasa mengindahkan terhadap tokoh termasyhur dari kalangan sepuluh Datuk itu, makin besar dalam hati Tan Wan. Serta merta dia menghaturkan maaf terhadap si Rase Kumala.

„Manusia tak luput dari kesalahan. Yang penting, ialah dapat memperbaiki kesalahan itu. Kau mempunyai tulang bagus. Sementara akupun belum mendapatkan calon ahliwaris. Puteriku satu-satunya, siang-siang sudah menutup mata. Darah keturunanku yang semena-menanya hanyalah Siau Ih seorang. Oleh karena itu, kubermaksud hendak menggernblengmu!”

Mungkin pada saat itu, Tan Wan merasa dirinya sebagai seorang yang paling berbahagia di atas bumi. Mengapa tidak? Bagi orang persilatan, ilmu pelajaran silat merupakan benda yang paling dihargakan. Bakal diangkat menjadi pewaris dari tokoh semacam si Rase Kumala, siapa orangnya yang tidak kegirangan setengah mati!

Namun Tan Wan bukan seorang yang mudah melupakan budi. Terhadap suhunya yang dulu, dia belum berhasil membalaskan sakit hati. Kalau dia sekarang berguru pada lain orang, bukankah akan meninggalkan budi kebaikan gurunya yang lama?

Tapi kalau saat itu dia menampik kebaikan si Rase Kumala, mungkin dia akan menyesal seumur bidup. Ah, serba sulit. Tan Wan tundukkan kepala tiada memberi pernyataan apa-apa.

Si Rase Kumala cukup mengetahui apa yang diresahkan anak muda itu. Mengangguk dia dengan tersenyum simpul, serunya: „Bukankah kau mengenangkan mendiang suhumu?”

Dengan suara rawan Tan Wan mengiakan.

„Minum air, mengenangkan sumbernya, berarti tak melupakan asal-usulnya. Itulah suatu pertanda yang baik bagi seorang murid. Sekali aku hendak menjadikan kau, tetap akan menjadikan sampai sempurna. Begini sajalah. Anggap  saja kau ini menjadi anak angkat dari almarhum puteriku Shin-tok Lan, dengan begitu berarti kau tak berguru pada lain perguruan, sedang rencanaku pun tetap berjalan. Mengenai upacara, kita nanti pilih hari baik!”

Tersipu-sipu Tan Wan berlutut dihadapan si Rase Kumala untuk menghaturkan terima kasihnya. Girangnya bukan kepalang. Si Rase Kumala segera suruh Shin-tok Liong menyediakan tempat tinggal bagi Tan Wan. Demikianlah lembah Liu-hun-hiap yang belasan tahun hidup cialam ketenangan, pada hari itu diliputi oleh suasana kegirangan. Tan Wan tinggal di muka lembah, sementara Siau Ih dibagian belakang pondok Jui-hun-lau.

---oo0dw0oo--
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar