Si Rase Kumala Bab 12 : Tabib Kukoay, Hwat-yok-ong

12. Tabib Kukoay, Hwat-yok-ong

Begitulah kereta segera dijalankan pula dengan cepatnya. Namun walaupun sudah mencapai kecepatan maksimal, namun Siau Ih masih kurang puas. Kalau dapat, sekali melangkah bisalah sudah dia tiba di Ki-he-nia.

Sepanjang jalan, pikirannya selalu dibayangi dengan kegelisahan, jangan-jangan nanti setiba di Ki-he-nia tak dapat berjumpa dengan Hwat-yok-ong atau si Raja Obat To Kong- ong itu. Diam-diam dia tak mengerti sendiri, mengapa dia mempunyai pikiran semacam itu. Sepanjang hidup, baru pertama kali itu dia dihinggapi oleh suatu perasaan aneh seperti itu.

Diam-diam Liong Go pun memperhatikan sikap adik angkatnya itu. Dia menduga sesuatu, namun Siau Ih tak terasa. Begitulah dalam perjalanan itu, mereka berdiam hanya cambuk yang sering terdengar memecah kesunyian malam. Menjelang fajar, puncak Ki-he-nia pun sudah tampak dari kejauhan. Siau Ih seperti orang yang mendapat semangat baru. Diiring helaan napas longgar, dia tertawa: "Toako, bagaimana dengan kepandaianku mengendarai kereta itu?"

„Bagus juga, tapi yang menderita kuda itu," sahut Liong  Go.

Siau Ih mengusap keringat didahi, lalu menjawab:

„Bukannya siaote tak mengetahui hal itu, namun apa boleh buat karena keadaan memaksa."

Liong Go mengangguk, sembari mengulum senyum dia menggoda: „Siaote, dapatkah kau menjawab pertanyaan ini 'dari mana datangnya lintah' itu ?"

Siau Ih tahu kemana jatuhnya perkataan sang toako itu.

Selebar mukanya menjadi merah.

„Kita bertigakan sudah mengangkat persaudaraan, mengapa pikirkan yang tidak-tidak? Pula Toako juga mengobati adik Yan, apakah itu dianggap yang bukan-bukan? Pantun kiasan toako itu, salah alamat!" ujarnya.

„Ha, ha, demikian Liong Go tertawa terbahak-bahak.

„Debatan yang jitu, aku tak dapat membuat replik (debat balasan), aku terima salahlah!" katanya.

Biasanya Siau Ih itu pandai sekali merangkai kata-kata, lebih-lebih kalau adu perdebatan, musuh tentu dikocok habis- habisan. Tapi pada saat itu, dia seperti kehabisan kata-kata. Melihat itu, Liong Go memandangnya dengan senyum simpul Siau Ih makin kemalu-maluan dibuatnya.

Tak berapa lama, tibalah kereta di bawah gunung Ki-he- nia.

Ki-he-nia adalah sebuah gunung ternama dari propinsi Ciatkang, letaknya disebelah barat dari gunung Kat-nia. Setiap musim semi tiba, sepasang gunung itu merupakan dua buah raksasa yang berhias bunga, laksana bersunting pelangi warna warni. Dari zaman ke zaman, kedua gunung itu merupakan tempat berziarah bagi kaum pujangga dan penyair yang memuja seni keindahan alam.

Kala itu ditengah musim rontok. Walaupun pohon-pohon tho sudah banyak yang layu, namun kepermaian alam pemandangan di gunung itu, masih tetap membekas.

Menghentikan keretanya, berkatalah Siau Ih: „Toako, jalanan gunung ini berkelok-kelok, kalau tetap naik kereta, tentu sukar menempuhnya. Lebih baik mumpung sekarang masih sepi orang, biarlah siaote panggul adik Yan untuk mendaki ke atas. Selain cepat pun aman rasanya, entah bagimana pikiran toako?"

Merenung sejenak, Liong Go menyahut: „Aku setuju juga, tapi bagaimana dengan kereta dan kuda kita ini?"

„Bukankah tadi toako mengatakan aku berlaku kejam terhadap kuda itu? Ai, lepaskan saja mereka biar bebas semalam ini," kata Siau Ih tertawa.

Liong Go mengiakan. Begitulah setelah kereta dipinggirkan, kudanyapun dilepas. Menyingkap kerai kereta, Siau Ih lalu mendukung tubuh Hui-yan, setelah itu dia minta agar Liong Go berjalan disebelah muka mencari jalan.

Dengan gunakan ilmu berjalan cepat, kedua anak muda itu mulai mendaki ke atas. Tak berapa lamanya, tibalah mereka dilamping gunung. Kala itu matahari sudah mulai menyingsing di atas puncak. Cahaya keemasan yang gilang gemilang menabur di seluruh hutan-hutan pegunungan itu. Burung- burung berkicau, angin sepoi-sepoi mengembus, daun-daun bergontai, pohon-pohon menggeliat. Rupanya mereka menyambut dengan riang akan kedatangan sang pagi.

Tiba-tiba, dari daerah pedalaman di atas puncak, terdengar suara khim (harpa). Alun suaranya begitu tinggi melengking, laksana air mengalir di gunung tinggi, bagaikan burung cenderawasih bersiul nyanyi. Sebuah irama yang biasa diperdengarkan untuk menyambut kedatangan para dewa. Halus merdu melayang-layang .......

Liong Go berhenti sejenak untuk mendengari. Serentak berserulah dia dengan girangnya: „Hiante, perjalanan kita tak sia-sia, To locianpwe ada di rumah!"

„Bagaimana toako mengetahui?”

„Meskipun sudah mengasingkan diri, namun setempo- tempo To locianpwe suka pergi ke gunung-gunung dan lembah-lembah untuk mencari daun-daunan obat. Dulu pernah aku mengikut engkong beberapa kali mengunjungi beliau. Turut keterangan engkong, tokoh dunia pengobatan yang luar biasa itu mempunyai perangai aneh juga. Setiap perbuatannya, seringkali di luar dugaan orang, tidak umum. Misalnya, kebiasaannya bangun pagi-pagi dan memetik khim, sangatlah mengherankan orang. Saat ini baru saja terang tanah dan dengan adanya bunyi khim itu, bukankah pertanda kalau beliau berada dirumah?”

Siau Ih tertawa: „Apa yang siaote ketahui, orang bermain musik untuk menyambut kedatangan rembulan, tapi tak pernah mendengar ada orang menabuh musik karena hendak menyongsong kedatangan matahari. Memang aneh juga tabib Hwat-yok-ong itu!"

„Irama khim itu menandakan sang pemain sedang riang hatinya, ayuh, kita lekas-lekas kesana," ajak Liong Go.

Begitulah keduanya teruskan langkah, menyusur kelok tikungan gunung yang curam. Akhirnya tibalah mereka di sebuah batu besar hampir setombak tingginya. Batu itu terletak dipinggir jalan dan di sisinya terdapat sebuah terowongan yang hanya pas untuk dimasuki tubuh seseorang. Suara khim itu jelas terdengar dari balik batu itu.

Berhenti di muka batu, Liong Go menunjuk pada lubang terowongan, lalu masuk ke dalamnya. Siau Ihpun ikut masuk. Ternyata terowongan itu merupakan sebuah jalanan kecil yang hanya untuk seorang saja berliku-liku naik turun. Pada kedua samping jalan itu, tumbuh jajaran pohon pik yang rindang daunnya. Dihembus angin lembut, maka terasalah suatu bau harum yang menyegarkan semangat.

Lebih kurang sepuluh tombak jauhnya, tiba-tiba ada sebuah batu yang aneh bentuknya, menghadang ditengah jalan. Di atas batu itu terdapat ukiran yang berbunyi

„Piat yu tong thian”

sebuah tempat lain yang menyambung kelangit. Keempat huruf itu ditulis dengan huruf kuno yang besar-besar.

Menduga sudah tiba ditempat tujuan, Siau Ih hendak bertanya, tapi tiba-tiba terdengar suara “krak” dari snaar khim yang putus. Menyusul dengan itu, terdengar suara seseorang yang nyaring bening: „Tetamu yang terhormat dari mana yang sudi berkunjung kepondok jelek sini?”

Siau Ih menduga kalau yang berseru itu tentulah Hwat-yok- ong To Kong-ong sendiri. Sementara itu Liong Go segera memberi hormat, sahutnya: „Wanpwe Liong Go mohon menghadap!"

„Oh, kiranya putera kenalan lama. Dan siapakah yang satunya?" seru To Kong-ong dengan tertawa.

Pertanyaan itu membikin Siau Ih terbeliak. Belum melihat, mengapa sudah mengetahui ada lain orang lagi? Demikian pikirnya.

Liong Gopun terkejut, namun dia memberi isyarat kepala agar Siau Ih jangan buka suara.

„Gi-te Siau Ih dan gi-moay Lo Hui-yan ikut menghadap,” sahut Liong Go. „Sekalian tetamu ini memang berjodoh, hanya saja karena Piat-yu-tong-thian ini tiada berpintu, harap samwi masuk dengan meloncati batu itu,” kembali To Kong-ong tertawa.

Demi melihat batu yang aneh bentuknya itu tak kurang dari delapan tombak tingginya Liong Go berpikir: „Aneh benar orang tua ini, meskipun batu itu tak begitu tinggi, tapi jite mendukung adik Yan, mungkin agak sulit.

Liong Go kerutkan alis. Sebaliknya Siau Ih yang melihat sikap toakonya itu segera mengerti apa yang dipikirkan. Cepat dia menggelengkan kepala sambil tersenyum, pertanda dia sanggup mengatasi percobaan itu. Sudah tentu Liong Go lega hatinya.

„Kalau begitu, maafkan, wanpwe tak tahu adat,” serunya sembari terus enjot kakinya meloncati batu itu.

Siau Ih pun bersiap. Setelah menghimpun tenaga, dengan gerak tit-siang-ceng-hun atau lurus menjulang ke awan, tanpa tubuh bergerak, tahu-tahu dia sudah melambung sampai empat tombak tingginya. Di udara, ujung kaki kanan dipijakkan kepunggung kaki kiri, dengan meminjam tenaga injakan itu, kembali dia melambung sampai lima tombak lagi.

Sembari mengepit tubuh Hui-yan di tangan kiri, lengan bajunya dikebutkan, indah dan tepat sekali dia melampaui batu tinggi itu, terus melayang turun.

Baru saja kakinya menginjak bumi, atau terdengar To Kong-ong berseru memuji: „Gerakan yang indah sekali!”

Mendongak ke muka, Siau Ih dapatkan sebuah dataran seluas satu hektar. Sekelilingnya dilingkungi puncak-puncak kecil yang hijau, penuh dengan berbagai pohon dan bunga- bungaan. Sebuah air terjun kecil, mencurah dari lamping puncak, menghamburkan ribuan permata titik air. Panorama disitu benar-benar seperti dalam lukisan. Tak jauh dari air terjun itu, diantara bayang-bayang pohon bambu, tampak menonjol sebuah pondok. Diserambi pondok itu ada sebuah batu besar yang bening seperti kaca. Di atasnya duduklah seorang orang tua berbaju putih, tengah memangku sebuah khim. Sebuah api perdupaan berada di sisi orang tua itu, asapnya bergulung-gulung ke angkasa .........

Pemandangan disitu tak ubah seperti tempat keinderaan (dewa), sehingga Siau Ih menjadi terlongong-longong dibuatnya. Tapi pada lain kilas serta diketahuinya orang tua itu memandang dirinya dengan berseri senyum, dia (Siau Ih) menjadi likat. Buru-buru dia tenangkan pikiran, membungkuk lalu berkata dengan hormatnya: „Wanpwe Siau Ih memberi hormat!"

Orang tua itu bukan lain adalah Hwat-yok-ong To Kong- ong, tokoh sakti dalam dunia persilatan dan tabib mujizat dalam dunia pengobatan. Berpuluh tahun namanya harum memasyhur di dunia persilatan.

„Sudah sekian lama losiu mengasingkan diri, lupa sudah akan segala peradatan, maka harap lo-tethay jangan banyak peradatan lagi,” si orang tua lambaikan tangan dengan tersenyum. Sepasang matanya berkilat mengawasi ke arah Lo Hui-yan, lalu berpaling kepada Liong Go.

„Hai, buyung, kalau tak ada urusan masakah kau sudi datang kemari? Kedatanganmu kemari bukankah karena untuk nona itu?” tegurnya.

Wajah Liong Go menjadi merah, ujarnya: „Lo-jinke benar, wanpwe memang hendak mohon pertolongan guna gi-moay Lo Hui-yan ini.”

Merenung sejenak, tokoh aneh itu memberi isyarat kepada Siau Ih: „Harap lo-tethay membawa nona Lo kemari, losiu hendak memeriksanya."

Setelah Siau Ih meletakkan tubuh Hui-yan di atas batu altar, maka tabib sakti itu lalu memeriksa pergelangan tangannya. Lewat sejenak kemudian, kedengaran dia berkata:

„Coba kalian ceritakan bagaimana nona Lo ini sampai terluka."

Melihat wajah To Kong-ong mengerut dalam-dalam, tahulah Liong Go bahwa luka adik angkat perempuan itu berat sekali. Segera dia tuturkan semua apa yang terjadi. Mendengar itu, To Kong-ong mengangguk.

„Oh, kiranya begitu. Mendapat pukulan dari Teng Hiong, sebenarnya nona Lo sudah terluka-dalam yang parah, walaupun telah kaugunakan kipas tui-hun-san untuk menutuki jalan darah kemudian kausaluri lwekang, namun lukanya itu masih belum sembuh sama sekali. Bahwa ketika di dalam kereta ia sudah gunakan lwekang untuk menaburkan jarum kepada musuh, telah menyebabkan lukanya merekah lagi. Untung segera kauberi makan pil bik-hun-tan kalau tidak, tentu sudah takkan ketolongan lagi.

Sekalipun begitu, keadaannya sekarang amat berbahaya sekali. Terlambat sejam lagi kau datang kemari, walaupun ada pil dewa, juga takkan dapat menolong jiwanya lagi. Menolong jiwa orang adalah kegemaran losiu, apalagi telah kukatakan tadi bahwa kedatangan kalian ini memang berjodoh. Biar bagaimana aku tentu akan berusaha untuk menolongnya."

Mendengar keterangan dari tabib aneh itu, hati Siau Ih sudah kebat kebit. Buru-buru dia memberi hormat dan memohon: „Sudilah kiranya locianpwe bermurah hati menolongnya."

To Kong-ong tertawa, ujarnya: „Harap lo-tethay legakan pikiran. Karena sudah berada di Piat-yu-tong sini, apabila sampai terjadi apa-apa, bukankah ilmu ketabibanku akan ditertawai orang. Apalagi rupanya nona Lo itu mempunyai rejeki besar.

Setahun yang lalu, secara tak terduga losiu telah berhasil mendapat ho-siu-oh (semacam tanaman yang hidup beratus tahun hingga seperti berjiwa). Losiu gunakan waktu delapan bulan lamanya, menjelajah gunung dan hutan untuk mencari 128 ramuan daun obat. Dan setelah memakan tempo 49 hari, berhasillah losiu membuat semacam pil yang dinamakan siok- beng-cek-soh-tan (pil perebut jiwa). Semua itu terjadi pada beberapa hari yang lalu.

Siok-beng-cek-soh-tan walaupun bukan pil dewa, tapi untuk mengobati segala luka dalam, tak nanti sampai gagal. Asal korban masih ada setitik napasnya, tentu akan dapat disembuhkannya. Tapi ada satu hal yang patut disayangkan. Setelah makan pil mujijat itu, walaupun nantinya nona Lo  akan sembuh, tapi ilmu kepandaiannyapun akan berkurang sampai separoh."

To Kong-ong berhenti sejurus, lalu berkata pula dengan tertawa: „Losiu hanya membuat siok-beng-cek-soh-tan itu sebanyak 34 butir saja. Walaupun pil itu merupakan obat berharga yang jarang ada, namun mengingat kita saling berjodoh, jadi losiu pun takkan berlaku pelit."

Bahwa tabib sakti itu ternyata mau bersungguh-sungguh menolong, telah membuat Siau Ih kegirangan. Pikirnya:

„Orang menyohorkan Hwat-yok-ong itu beradat aneh sukar diduga hatinya. Tapi apa yang kulihat sekarang, ternyata jauh dengan desas desus itu.”

Memang disitulah letak keanehan To Kong-ong itu, suatu hal yang tak mudah dipahami oleh Siau Ih. Seperti telah dikatakan berulang kali, bahwa kedatangan ketiga muda-mudi itu dikatakan ada jodoh padanya, dari itulah dengan mudah saja ia telah bersedia menolong dan memberi obat pil yang dibuatnya dengan susah payah itu.

To Kong-ong kembali berkata kepada Liong Go: „Walaupun sudah mendapat pertolongan pil siok-beng-cek-soh-tan, namun luka nona Lo tak dapat disembuhkan dalam waktu sehari dua. Losiu sudah puluhan tahun menghuni dipondok ini seorang diri. Disini hanya terdapat tiga buah kamar. Setelah kupikirkan, kamar sebelah barat yang biasanya losiu gunakan sebagai kamar tulis itu, akan kuberikan untuk tempat tinggal sementara kepada nona Lo. Kau buyung dan Siau lote, untuk sementara tinggal di ruangan tengah sajalah."

Liong Go mengiakan dan menghaturkan terima kasih. Kemudian berbangkit pelahan-lahan dari atas batu,

berkatalah tokoh aneh itu dengan kurang senang: „Seumur hidup, losiu tak suka akan segala aturan dunia, lebih-lebih kalau yang melakukan kaum muda yang pada hakekatnya hanya suka main etiket-etiketan palsu saja. Maka kalau kau masih mempertahankan sikap etiketmu itu, losiu pasti tak ambil mumet lagi!"

Mendengar itu buru-buru Siau Ih menyanggapi: „Toako, karena lo-jinke tak suka segala peradatan, kitapun harus mengindahkan!"

„Ha, itu baru mencocoki selera. Nah, sekarang mari ikut aku masuk," kata To Kong-ong sambil tertawa.

Dengan memondong Hui-yan, Siau Ih mengikuti Liong Go turut masuk dengan To Kong-ong.

Ternyata hutan bambu disitu, luas sekali. Di tengah- tengahnya terdapat tiga buah pondok terbuat dari bambu. Di muka pintu tergantung tirai bambu yang tinggi, di bawah serambinya terdapat sebuah tiang baja. Di atas tiang itu, terikat seekor burung kakaktua yang besar. Bulunya yang merah tercampur hijau itu, amatlah indahnya. Sementara di muka jendelanya, dihias dengan empat buah vaas kembang yang harum baunya.

To Kong-ong berhenti di muka pintu, dia tampak tersenyum dan memberi isyarat tangan. Ketika Liong Go dan Siau Ih naik ke atas dan masuk ke dalam pondok, ternyata keadaan dalam pondok itu sangat bersih sekali. Boleh dikata tiada setitik debupun yang melekat pada semua pekakas. Di tengah ruangan, terdapat tempat perapiannya, sedang disebelahnya dibentangi dampar permadani. Kitab-kitab yang terletak di atas meja, diatur dengan rapi sekali.

Ruangan sebelah barat, adalah kamar tulis To Kong-ong. Boleh dikata, ruangan itu berdindingkan buku, karena keempat dindingnya penuh dengan jajaran buku-buku. Beberapa lukisan dan ukiran-ukiran gading yang terdapat disitu, amat menarik sekali. Sebuah pembaringan yang diberi alas rami sebagai kasurnya, terletak didekat dinding.

„Harap letakkan nona Lo dipembaringan ini, "kata To Kong- ong.

Siau Ih segera melakukan perintah.

Setelah menengok sebentar ke arah Hui-yan, maka To Kong-ong pun tinggalkan ruangan itu. Tak lama kemudian, dia sudah kembali dengan membawa sebuah peti obat dari batu kumala hijau dan sebuah botol kecil juga dari batu kumala. Diletakkan peti itu di atas meja lalu dibukanya. Peti itu berisi berpuluh-puluh pil terbungkus malam (paraffin). Dijemputnya tiga buah pil, lalu ditutupnya pula peti obat itu.

„Peti ini berisi 34 butir pil siok-beng-cek-soh-tan, obat yang telah menghabiskan waktuku selama satu tahun,” kata tabib itu.

Setelah pembungkusnya diremas, maka keluarlah sebutir pil warna ungu sebesar biji mata naga. Serangkum hawa wangi segera semerbak memenuhi ruangan. Sekali pijat, pil besar itu hancur menjadi sepuluh pil kecil lalu dimasukkan ke dalam botol kumala.

Begitulah dalam sekejap saja, To Kong-ong telah meremas tiga pil besar menjadi tigapuluh pil kecil-kecil dan dimasukkan ke dalam botol. Hanya ada sebutir yang ditinggalkan di dalam tangan, katanya: „Sekarang losiu hendak mulai mengobati nona Lo!" Secepat itu, dia sudah menutuk buka jalan darah penidur Lo Hui-yan. Demi membuka mata dan melihat ada seorang tua berpakaian serba putih tengah memandangnya dengan mengulum senyum, kejut Hui-yan bukan kepalang.

Tapi baru ia hendak membuka mulut, Siau Ih sudah mendahului: „Adik Yan, ini adalah Piat-yu-tong-thian di puncak Ki-he-nia, ialah tempat kediaman To locianpwe. Semalam karena kau gunakan lwekang, lukamu kambuh kembali. Kini To locianpwe sudah bermurah hati hendak memberimu pil mujizat untuk mengobati lukamu

Belum selesai Siau Ih berkata, Hui-yan tampak akan berusaha bangun, tapi buru-buru dicegah To Kong-ong, ujarnya: „Nona, selamanya losiu tak suka akan segala peradatan kosong. Kalau nona ada pembicaraan apa-apa, harap tunggu nanti saja apabila sudah sembuh."

Habis itu, To Kong-ong minta Siau Ih mengangkat si nona supaya duduk. Liong Go dan Siau Ih segera sama menyangga tubuh Hui-yan. Setelah memasukkan pil ke dalam mulut si nona, To Kong-ong lalu duduk bersila, katanya: „Nona, ulurkan kedua tanganmu!"

Tahu orang hendak menyalurkan pengobatan lwekang, buru-buru Hui-yan julurkan kedua tangannya ke muka. Setelah saling berapatan tangan, maka mulailah To Kong-ong salurkan hawa-murninya ketubuh si nona Seketika itu Hui-yan rasakan ada aliran hawa panas merangsang tubuhnya. Buru- buru ia jalankan lwekangnya.

Bahwa tokoh yang pandai ilmu silat dan ketabiban itu disamping memberi obat pun mau juga menyumbangkan lwekangnya untuk mengobati si nona, tak terkira rasa terima kasih Siau Ih dan Liong Go.

Saat itu ubun-ubun kepala To Kong-ong mengeluarkan uap panas, butir-butir keringat mengucur pada dahinya. Lewat beberapa saat kemudian, barulah tokoh itu menarik pulang tangannya. Serunya: „Harap nona jangan membuat gerakan dahulu, tapi jalankan penyaluran hawa, agar obat dapat bekerja untuk menyembuhkan luka dalam."

Lo Hui-yan tersenyum mengangguk selaku pernyataan terima kasih, kemudian ia meramkan mata mulai menjalankan penyaluran hawa.

Mengusap keringatnya, To Kong-ong berkata pula: „Tenaga dalam nona Lo cukup kokoh, kalau tiap hari minum obat ini tiga kali, dalam sepuluh hari tentu akan sembuh sama sekali!"

Botol kumala yang berisi 29 butir pil siok-beng-cek-soh-tan itu berikut resep penggunaannya diberikan kepada Siau Ih, lalu katanya: „Dalam dapur sana tersedia lengkap segala alat- alat perkakas. Sewaktu-waktu kalian lapar, boleh masak sendiri. Losiu tak tentu makannya, boleh tak usah tunggu aku!"

Mengetahui watak-watak yang aneh dari tabib itu, kedua pemuda itupun hanya mengiakannya saja. Karena merasa lelah, To Kong-ong lalu tinggalkan ruangan itu. Siau Ih dan Liong Go mengantar sampai keluar pintu baru balik.

Kala itu didapatinya Hui-yan masih duduk bersila meramkan mata, tampak berseri merah wajahnya. Suatu hal yang membuat kedua pemuda itu lega. Karena semalam penuh tak tidur dan kemasukan nasi, Siau Ih dan Liong Go merasa lapar. Siau Ih nyatakan hendak menyiapkan hidangan. Begitulah ke duanya menuju kedapur.

Siau Ih singsingkan lengan baju menanak nasi memasak sayur. Sebaliknya karena tak biasa masak Liong Go menjadi canggung. Tak tahu dia bagaimana harus membantu. Melihat itu Siau Ih tertawa dan mempersilahkan toakonya itu menjaga Hui-yan saja, apabila nona itu memerlukan sesuatu.

Bermula Liong Go menyatakan enggan, tapi setelah didesak Siau Ih terpaksa dia menurut juga. Benar juga, dengan bekerja sendiri, Siau Ih malah lebih lekas. Tak berapa lama, hidanganpun telah siap. Karena Hui-yan belum terjaga, mereka berdua makan lebih dahulu. Tengah makan Liong Go teringat bagaimana nanti kalau Hui-yan bangun dan makanannya habis.

„Harap toako tak usah pikiri, siaote sudah menyediakan bubur untuknya, ' kata Siau Ih.

„Ai, hiante sungguh memikirkan sekali," Liong Go menggodanya.

Wajah Siau Ih bersemu merah, ujarnya: „Ah, janganlah toako menggoda begitu, kalau didengar adik Yan, malu sih!"

---ooo0dw0ooo---
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar