Si Rase Kumala Bab 11 : Manusia Iblis Sipat Kuping.

11. Manusia Iblis Sipat Kuping.

Malam belum larut, namun rembulan sudah purnama. Sekalipun begitu, desa kediaman Li Seng itu sudah sepi dengan orang. Sekonyong-konyong dari sebuah tegalan, muncul tiga sosok bayangan. Bagaikan bintang jatuh, ketiga bayangan itu meluncur dengan pesatnya ke arah pondok Li Seng. Sekejap saja, mereka sudah berhenti diantara pagar pohon bambu yang mengelilingi pondok Li Seng.

Di bawah cahaya bulan remang, jelas kelihatan yang menjadi pemimpinnya itu bukan lain ialah si Manusia Iblis Kiau Hoan itu, ho-hwat atau pelaksana undang-undang dari Thiat- sian-pang. Dia tetap mengenakan baju warna kuning. Di belakang pundaknya menggamblok sepasang oh-kim-song- catnya.

Sejenak mengawasi ke muka, dengan nada dingin yang mengandung kebengisan, dia tegur kedua orang pengikutnya:

„Apakah sudah kalian selidiki benar, ketiga bocah itu bersembunyi dipondok itu?”

Kedua pengikutnya itu membungkukkan tubuh seraya menyahut: „Tecu sudah menyelidiki dengan sungguh- sungguh, kalau tidak masakah berani melapor pada ho-hwat?”

Kiau Hoan menyengir dingin.

„Ketiga budak itu, yang dua sudah dekat ajal. Tinggal satu, tak perlu dikuatirkan. Malam ini kalau tak dapat mencincang mereka, aku jangan dipanggil Manusia Iblis!” demikian dia sumbar-sumbar.

Mereka bertiga sahut menyahut seenaknya sendiri, seolah- olah tak menghiraukan penghuni dalam pondok itu. Karena berisiknya, lebih-lebih suara si Manusia Iblis yang melengking kering itu tak sedap didengar, maka tiba-tiba dari dalam pondok itu, lampunya dinyalakan. Menyusul terdengarlah seorang lelaki berseru: „Siapakah yang ramai-ramai di luar itu?”

Kiau Hoan tak menyahut. Wajahnya menampil senyum iblis, mata berkilat-kilat buas dan sekali tubuh bergerak, dia loncat melalui pagar pohon bambu, melayang masuk ke dalam halaman rumah. Kedua pengikutnyapun meniru.

Berbareng pada saat itu, penerangan dinyalakan amat terangnya dan muncullah seorang lelaki bercelana pendek. Dia bukan lain Li Seng adanya.

Bahwa tahu-tahu dihalaman rumah terdapat seorang tua kurus kecil berwajah pucat dan membekal senjata bersama dua orang pengikut yang bertubuh tegap, telah membuat Li Seng terbeliak kaget. Sikap kedua orang pengikut itu yang bercekak pinggang sambil memandang dengan sorot mata buas, telah membuat tubuh tuan rumah gemetar.

„Tuan bertiga ......... hendak ..... cari ”

„Jangan banyak omong, lekas suruh ketiga anak itu  keluar!” bentaknya Kiau Hoan dengan aseran.

Mendengar kata-kata „ketiga anak” itu, Li Seng menduga tentu ketiga pemuda she Siau itu yang dimaksudkan. Seketika teringatlah dia akan pesan Siau Ih tempo hendak berlalu itu. Ketika diawasi, memang benar orang itu memakai baju warna kuning.

„Oh, kiranya lo-jinke (orangtua) hendak mencari kongcu Siau bertiga itu. Ah, sayang, kalau lo-jinke datang kemari tiga jam lebih pagi, mereka belum pergi ”

„Apa? Mereka sudah pergi?!” tukas Kiau Hoan dengan nyaring.

Li Seng mengiakan, sahutnya: „Tapi sebelum pergi, ji- kongcu pesan padaku, apabila ada seorang tua yang dandanannya mirip dengan lo-jinke ini, boleh memberitahukan bahwa karena ada urusan, dia terpaksa berangkat lebih dahulu dan akan menanti ditengah jalan saja. Walaupun sudah berangkat, tapi karena mereka hendak menunggu, tentunya juga tak berjalan cepat-cepat. Jika sekarang lo-jinke lekas mengejarnya, tentu akan berjumpalah!” Mendengar rencana pengejarannya itu sudah diketahui lawan, apalagi ketiga anak muda itu tak gentar dan menyatakan akan menunggunya, marah Kiau Hoan bukan kepalang.

„Sombong benar bocah itu. Kalau kau dapat lolos dari tangan si Manusia Iblis ini, aku bersumpah tak mau hidup!” dampratnya dengan gusar. Habis memaki, dia mulai memikir- mikir kemanakah gerangan lari ketiga pemuda itu. Akhirnya dia ambil putusan hendak mengorek keterangan dari tuan rumah itu.

„Ho, kiranya begitu. Apa kau tahu kemana mereka menuju?” tanyanya dengan senyum meringis yang dibuat- buat.

„Mereka tak mengatakan apa-apa, tapi yang nyata mereka itu menuju ke arah utara!” menerangkan Li Seng.

Kiau Hoan mendengus, lalu mengerutu seorang diri:

„Keutara ..... itulah arah ke gunung Ki-he-nia, baik ”

Sesaat wajahnya membengis, berkatalah dia dengan garangnya: „Turut kedosaanmu memberi tempat perlindungan pada ketiga budak itu, seharusnya menerima hukuman mati. Tapi menilik kau tak mengerti persoalannya, serta mau memberitahu dengan terus terang, maka kau mendapat pengampunan jiwamu. Dihukum mati sih tidak, tapi juga tak bebas dari hukuman sama sekali ”

Berkata sampai disini, tangan kiri si Manusia Iblis mengebut pelahan-lahan dan segera terdengarlah jeritan Li Seng yang seram.

„Bluk,” tubuh petani yang tak berdosa itu terpental sampai beberapa meter dan terus rubuh tak sadarkan diri.

Bersuit nyaring, si Manusia Iblis enjot tubuhnya loncat melalui pagar bambu, terus lari sekencang-kencangnya ke arah utara. --0dw0--

Pada sebuah jalan di luar kota Hangciu, tampak meluncur sebuah kereta dengan cepatnya. Kala itu malam hari. Tak usah kami terangkan lagi, tentulah pembaca akan maklum sudah siapa yang berada dalam kereta itu. Ya, benar memang di dalamnya terisi Liong Go, Siau Ih dan Lo Hui-yan.

Ketika Siau Ih mendongak ke atas, didapatinya rembulan memancarkan sinarnya dengan gilang gemilang. Cuaca cerah, bumi bagaikan bermandikan cahaya sang dewi malam. Pemandangan yang indah permai itu telah berkesan sekali dalam hati anak muda itu.

„Toako, alangkah bahagianya orang-orang dulu yang suka pesiar menikmati keindahan malam purnama sidi. Tidak seperti kita yang buru-buru berjalan seperti dikejar setan ini. Jangan-jangan kita mirip dengan manusia yang buta akan seni keindahan,” katanya.

Liong Go tertawa: „Ini kan hiante sendiri yang mengaturnya, jadi tak dapat menyalahkan lain orang. Nanti apabila musuh tiada mengejar, bolehlah kita menikmati rembulan dengan sepuas-puasnya!"

Siau Ih tertawa dingin: „Kalau iblis tua itu tak datang, itu sih baik. Tapi kalau dia berani datang, ingin benar Siaute menjajal pukulannya thou-kut-im-hong-ciang yang lihay itu!"

Melihat Siautenya itu hendak mengagulkan diri, dengan wajah bersungguh berkatalah Liong Go: „Bukannya aku bermaksud akan mengagungkan pihak lawan dan meremehkan kekuatan diri sendiri. Benar ilmu sakti yang hiante pelajari itu adalah penumpasnya ilmu jahat macam im- ham-tok-kang itu, namun peyakinan iblis tua itu memang sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Kalau nanti sampai bertempur, harap hiante berlaku hati-hati!" Siau Ih dapat menerima peringatan sang toako itu, namun disamping itu dia cenderung kalau toakonya itu agak jeri dengan si iblis.

„Mungkin setelah mendapat pukulan dari iblis itu, toako menjadi agak jeri. Adik Yan, bagaimana pendapatmu?" katanya sembari berpaling ke dalam ruang kereta.

Tapi ternyata Hui-yan tak menyahut karena tidur dengan nyenyaknya.

„Menilik keadaannya begitu letih, terang kalau ia terluka parah. Mudah-mudahan kita lekas berhasil mendapatkan Hwat-yok-ong Toh Kong locianpwe itu “

Baru dia merenung begitu, sekonyong-konyong dari arah belakang terdengar sebuah suitan nyaring melengking, bernada seram membikin sakit anak telinga. Suitan itu mengalun tinggi rendah, jauh-jauh dekat, kumandangnya lama terdengar mengarungi angkasa.

„Cepat benar iblis itu menyusul kita!” seru Liong Go dengan terkejut.

Siau Ih pun tak urung tergetar juga. Dia segera minta Liong Go tetap tinggal didalam kereta untuk melindungi Hui-yan, sedang dia sendiri hendak keluar menyongsong kedatangan iblis itu.

„Hiante, bukannya aku takut, tapi sebaiknia hiante jangan sampai meninggalkan kewaspadaan!" kata Liong Go.

Siau Ih mengiakan dan memberi jaminan kepada sang toako. Saat itu suara suitan makin dekat. Sekali enjot, Siau Ih melambung ke udara. Setelah berjumpalitan satu kali, kakinya menjejak ke udara, lalu meluncur turun terus "terbang" ke muka.

Liong Go pun melarikan keretanya cepat-cepat. Sedang begitu lari sampai sepuluhan tombak jauhnya, Siau Ih segera melihat ada tiga sosok bayangan berlarian mendatangi. Dia menduga yang lari paling depan itu tentulah si Manusia iblis. Dilihatnya saat itu kereta Liong Go sudah jauh, maka sengaja dia hentikan langkah dan berdiri di tengah jalan.

Begitu ketiga bayangan itu tiba, Siau Ih segera membentaknya: „Berhenti!"

Orang yang terdepan mendengus dan berhenti.

„Siapa yang berani menghadang ini!" serunya dengan bengis.

Siau Ih menatap tajam-tajam dan memang benar seperti yang diduga, orang itu ialah si Manusia Iblis Kiau Hoan.

„Iblis tua, hanya semalam berpisah masakah kau tak dapat mengenali aku lagi?!" sahutnya dengan tertawa dingin.

Mata si iblis berjelilitan. Demi mengetahui yang berdiri dihadapannya pemuda satunya yang semalam bertempur dimakam Gak-ong, tertawalah dia dengan congkaknya.

„Mengapa kedua kawanmu itu tak muncul? Jangan-jangan mereka sudah menghadap raja akhirat, he?" serunya menyindir.

Siau Ih tertawa sinis, sahutnya: „Mati hidup itu sudah suratan nasib. Hanya karena agak lengah maka toakoku itu telah terkena pukulanmu gelap, apanya yang dibuat bangga itu? Kini dia tengah pesiar menikmati rembulan purnama. Karena tak mau diganggu, dia lantas suruh aku kemari mengusirmu!"

Betapa kejut Kiau Hoan demi mendengar bahwa yang menjadi korban pukulannya itu ternyata tak kurang suatu apa. Dan kekagetannya itu berobah menjadi kemarahan besar karena melihat sikap Siau Ih yang jumawa itu. Dengan berjingkrak-jingkrak seperti orang kebakaran janggut, dia segera perintah kedua pengikut: „Hai tolol, mengapa hanya melihati saja? Ayuh lekas kejar, aku masih harus memberesi dulu budak kurang ajar ini, baru nanti menyusul!" Seperti anjing digebuk, kedua pengikut itu terbirit-birit lari mengejar kereta Liong Go.

Siau Ih biarkan saja mereka lewat. Asal sang benggolan sudah diremuk atau dihalau, tentulah kedua kerucuk itu dapat diberesi Liong Go sendiri. Maka tenang-tenang saja dia melihati.

Sebaliknya sikap itu, telah membuat Kiau Hoan kelabakan.

„Tenang-tenang saja dia biarkan orang mengejar, jangan- jangan dia sudah mengatur persiapan?" pikirnya. Dengan dugaan itu, dia mundur selangkah.

Melihat kesibukan orang, tertawalah Siau Ih, ujarnya: „Iblis tua, kalau dengar nasehatku, lebih baik kau lekas pulang saja. Kalau sampai membuat siaoyamu marah, Teng Hiong dan kawan-kawan itulah contohnya!"

„Jadi Teng-tongcu bersama empat orangnya itu kaulah yang membunuhnya?" seru Kiau Hoan dengan terbeliak.

„Benarlah! Terhadap tindakan siaoyamu menumpas orang jahat begitu, puas tidak kau?" Siau Ih balas bertanya dengan tertawa.

„Anjing buduk, kalau hari ini tak kuhancur leburkan tulangmu, hatiku sungguh tak puas!" teriak Kiau Hoan dengan geramnya.

Sebaliknya tak kurang jitunya Siau Ih membalas: „Justru siaoyamu hendak menjajal sampai dimanakah kelihayan ilmu tho-kut-im-hong-ciang yang kau bangga-banggakan itu!"

Kala itu kebencian Kiau Hoan terhadap Siau Ih sudah menyusup sampai kesumsum. Berbareng dengan tertawa melengking, tangannya segera menghantam ke muka. Ketika Siau Ih menghindar, dia susuli pula dengan menggerakkan sepasang tangan. Sekali gus, enam buah serangan dilancarkan. Begitu rupa Manusia Iblis itu mengumbar kemarahannya, sampai pasir dan batu-batu sama berhamburan. Setiap jurus serangannya, selalu mengarah tempat-tempat maut.

Melihat lawan begitu kalap dan menyerangnya dengan hebat, Siau Ih pun tak berani mengabaikan. Segera dia keluarkan ilmu ginkang ceng-hoan-kiu-kiong-leng-liong-poh- hwat. Berlincahan dia diantara samberan angin pukulan musuh. Walaupun diam-diam dia terkejut akan  tenaga pukulan si iblis yang luar biasa hebatnya itu, namun dia percaya ginkang ceng-hoan-kiu-kiong-leng-liong-poh-hwat itu tentu dapat menghadapinya.

Ceng-hoan-kiu-kiong-leng-liong-poh-hwat atau gerakan kaki dari kiu-kiong terbalik arahnya itu, adalah sebuah ilmu yang sakti dalam dunia persilatan. Keindahan dan perobahannya sukar diduga, lincahnya bukan kepalang.

„Iblis tua, mengingat umurmu lebih tua, maka siaoya suka mengalah sampai seratus jurus. Setelah itu, jangan kau sesalkan siaoya berlaku kejam, ya!" seru Siau Ih sembari berlincahan.

Seumur hidup, kecuali tempo dahulu pernah dijatuhkan Thiat-san-sian Liong Bu-ki, belum pernah dia mendapat hinaan semacam ini. Apalagi setelah muncul untuk yang kedua kalinya di dunia persilatan, dia telah diangkat menjadi ho-hwat dari partai Thiat-sian-pang, sebuah partai yang amat besar pengaruhnya. Ilmu kebanggaannya yakni thou-kut-im-hong- ciang itu, belum pernah mendapat tandingannya.

Bahwa seorang anak muda berani sumbar-sumbar mau mengalah sampai seratus jurus tanpa membalas menyerang, telah membuat Kiau Hoan hampir mati kaku saking marahnya. Rambutnya yang sudah bertabur uban sama menjingrak, sepasang tangannya bergerak laksana angin pujuh, wajahnya merah padam seperti kepiting direbus. Keadaan orang tua she Kiau itu, benar-benar mirip dengan sesosok iblis yang haus darah. Dengan cepatnya limapuluh jurus telah berlalu. Betapapun si Manusia Iblis tumpahkan seluruh kepandaiannya untuk menyerang, namun jangankan dapat melukai sedangkan menyentuh baju lawan saja dia tak mampu. Setiap serangan bermulai tampaknya tentu akan tepat mengenai sasarannya, tetapi ketika hampir terpisah beberapa dim saja, entah bagaimana dengan mudah dan indahnya Siau Ih tentu dapat menghindarinya. Aneh tapi nyata.

Akhirnya mau tak mau, bercekatlah hati Kiau Hoan, pikirnya: „Bocah ini masih begini mudanya, namun kepandaiannya melebihi cucu Liong Bu-ki itu. Yang istimewa, ialah gerakan kakinya itu, mengapa sedemikian aneh luar biasanya. Kalau terus menerus begini, tentu malam ini aku tak dapat merebut kemenangan. Apabila seratus jurus sudah habis, kemana hendak kusembunyikan mukaku, ah lebih baik

.........”

Dia mengambil putusan hendak gunakan jurus yang ganas. Dengan tertawa seram, dia mundur selangkah. Dua buah tangannya yang kurus panjang macam cakar burung, diangkat ke muka dada. Membarengi dengan gerakan mundurnya tadi, dia menghantam ke arah lawan.

Siau Ih tak kurang waspadanya. Bahwa si iblis perdengarkan tertawa seram itu, dia sudah menduga kalau hendak gunakan pukulan maut thou-kut-im-hong-ciang yang termasyhur itu. Anak muda tetap suka segala avontuur (petualangan). Tahu bahwa thou-kut-im-hong-ciang itu termasyhur ganas, namun masih dia ingin mencobanya dengan kian-goan-sin-kong. Begitulah diam-diam dia segera salurkan lwekang kian-goan-sin-kong itu keseluruh tubuh, lalu tertawa mengejek.

„Iblis tua, mau lari kemana kau? Hari masih begini sore!" serunya sembari julurkan sang tubuh. Dengan gerak ji-hong- si-pit, dia siap menyambut pukulan lawan. Begitu angin pukulan saling berbentur, Kiau Hoan segera rasakan ada sambaran hawa panas yang keras sekali. Bukan saja hawa dingin dari pukulannya thou-kut-im-hong-ciang itu punah gayanya, pun hawa panas itu masih kuat pula menyerangnya. Bagaimana kejut si Manusia Iblis, sukar dibayangkan. Tanpa malu-malu lagi, dia gerakkan dua buah pukulan untuk menangkis dan dengan meminjam tenaga pukulan itu, tubuhnyapun segera melesat mundur dua tombak.

Disana tampak Siau Ih seperti tak terjadi suatu apa, tegak berdiri tersenyum bangga.

Dengan mulut komat kamit dan mata dipentang lebar- lebar, Kiau Hoan menatap pemuda lawannya itu tajam-tajam.

„Buyung, pernah apa kau dengan si Dewa Tertawa ?!" serunya.

„Peduli apa kau!" sahut Siau Ih dengan tertawa dingin.

Berbareng itu, sekonyong-konyong dari kejauhan terdengar beberapa kali jeritan seram. Karena terkejut, Siau Ih dan Kiau Hoan pada berputar tubuh lalu memburu ke arah datangnya jeritan itu.

Kiau Hoan di depan dan Siau Ih mengikuti dari belakang. Tanpa disengaja, kedua lawan itu saling adu kecepatan lari. Ternyata keduanya sama lihaynya. Hanya dalam beberapa kejap saja, mereka sudah tiba ditempat tujuannya.

Ditepi jalan terdapat sebuah kereta, di sisinya berdiri seorang muda tengah mencekal sebuah kipas. Di bawah cahaya bulan terang, di atas jalanan yang lebar itu, terkaparlah dua sosok tubuh yang sudah menjadi mayat. Sekali lihat tahulah Kiau Hoan apa yang terjadi.

Saat itu mata si Manusia Iblis bagai memancar api. Dengan menggerung keras, dia cepat cabut sepasang oh-kim-cat, lalu menyerang Liong Go. Pemuda itu cepat menghindar sembari mainkan kipasnya untuk menyampok senjata lawan.

„Tring,” letikan bunga api muncrat dan kedua orang itupun sama mundur selangkah.

Kuatir sang toako yang baru saja sembuh dari lukanya itu akan kehabisan tenaga, buru-buru Siau Ih loncat maju. Dengan sinarnya yang berbentuk macam ekor burung walet, pedang thian-coat-kiam segera diserangkan si iblis.

Melihat sinar pedang yang luar biasa itu, Kiau Hoan tak berani adu kekerasan. Tubuh agak didongakkan, dia enjot sang kaki melesat ke belakang. Betapapun hebat dendam kebenciannya, namun dia tetap memakai perhitungan juga. Satu saja sudah sukar, apalagi dua maju berbareng, tentu akan kalahlah dia nanti.

„Selama masih ada gunung, masakah kuatir tak dapat kayu bakar," demikian dia menimang, lalu tertawa dingin: „Budak, hari ini biarlah kutitipkan dulu kepalamu di atas batang lehermu. Kalau kalian dapat lolos dari tanganku, jangan panggil aku si Manusia Iblis!"

Habis berkata, dia loncat ke samping. Dengan beberapa loncatan lagi, Manusia Iblis itu sudah menghilang di dalam kegelapan.

Hal itu telah membuat kedua anak muda terlongong- longong heran. Waktu Siau Ih hendak berseru mengejek lawan, tiba-tiba dilihatnya Hui-yan bersandar dipintu kereta, wajahnya pucat lesi, dadanya berombak keras.

„Adik Yan, kau ......," seru Siau Ih sembari loncat menghampiri.

Liong Go pun terkejut dan ikut menghampiri. Didapatinya Hui-yan memejamkan mata, dadanya berkembang kempis memburu napas, wajahnya pucat seperti kertas. „Toako, mengapa tiba-tiba adik Yan menjadi begini?" tanya Siau Ih.

Liong Go kerutkan alis dan menggelengkan kepala: „Tak lama setelah hiante pergi tadi, kulihat ada orang mengejar kemari, maka segera kupinggirkan kereta untuk menyambutnya. Siapa kira ternyata kedua pengikut Kiau Hoan itu berkepandaian tinggi. Dikarenakan aku baru sembuh dan pula membantu pengobatan lwekang pada adik Yan, maka dalam menghadapi serangan kedua orang itu hampir saja aku kewalahan.

Entah bagaimana, pada saat-saat berbahaya, tiba-tiba kedua orang itu sekonyong-konyong tutupi mukanya dengan kedua tangan, darah mengucur tak henti-hentinya Rupanya mereka kena dibokong orang. Dengan mudah dapatlah kuhabisi jiwa mereka. Kemudian baru diketahui, kalau mata kedua orang itu tertancap jarum halus.

Terang kalau adik Yan yang melepaskannya. Mungkin karena menampak aku terdesak, adik Yan lalu taburkan jarum san-hoa-ciam. Hanya dikarenakan timpukan jarum itu harus menggunakan tenaga lwekang, maka luka dalamnya yang belum sembuh betul itu menjadi kambuh lagi.

Tadi karena melihat hiante berlarian datang bersama Kiau Hoan, aku sampai tak memikirkan keadaan adik Yan lagi. Kini nyata kalau luka dalamnya parah lagi, kita tak boleh mempertangguhkannya lagi. Kita minumi dulu dengan pil bik- hun-tan untuk menahan sementara, habis itu harus lekas- lekas menuju ke Ki-he-nia."

Bagi Siau Ih tak ada lain daya kecuali menurut saja. Liong Go mengeluarkan dua biji pil bik-hun-tan lalu dimasukkan ke dalam mulut Hui-yan. Setelah menutup jalan darah penidurnya, tubuh Hui-yan dibaringkan di dalam kereta. Kemudian bertanyalah Liong Go kepada Siau Ih, akan diapakan kedua mayat orang Thiat-sian-pang itu. „Ai, mengapa toako lupa? Kita toh masih punya pil yong- kut-tan ? Pil itu dapat melenyapkan segala jejak," sahut Siau Ih.

Dikeluarkannya tiga biji pil yong-kut-tan, setelah diremas hancur lalu ditaburkan di atas mayat kedua orang itu.

„Toako, karena urusan sudah beres, sebaiknya kita lekas- lekas berangkat menuju ke Ki-he-nia, rasanya lebih cepat lebih baik bagi adik Yan," kata Siau Ih.

Melihat anak muda itu sangat memperhatikan sekali kepada si nona, Liong Go menggodanya : „Ai, benarlah, lebih lekas lebih baik!"

--0dw0--
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar