Si Rase Kumala Bab 05 : Banteng Lawan Harimau

5. Banteng Lawan Harimau

Tepat pada saat tinju Goan Goan Cu melayang ke batok kepalanya, sekonyong-konyong dari udara terdengar sebuah doa keagamaan melengking nyaring. Menyusul, serangkum angin lembut yang berbau harum, meniup lemah ke bahunya. Tangan yang akan membawa maut tadipun terpental.

Dalam kejutnya, Goan Goan Cu membuka mata dan dapatkan seorang paderi tua bertubuh tinggi besar berdiri dihadapannya. Wajah berseri paderi itu mengulum senyum, sebuah senyum yang membuat Goan Goan Cu sesal kemalu- maluan.

Melihat kepala Siang Ceng Kiong menundukkan kepala kemalu-maluan, berserulah hwesio tua itu dengan nada ramah. „Urusan toheng, telah kuketahui semua. Untuk sahabat lama, aku bersedia mengulurkan bantuan."

Dan belum lagi Goan Goan Cu menyahut, paderi tua itu sudah berputar tubuh menghadapi si Rase Kumala. Sambil memberi hormat berkatalah dia: „Loni Bing King ”

„Taysu adalah seorang saleh sakti yang termasyhur. Kedatangan taysu secara tiba-tiba kemari ini, bukankah  karena hendak memberi pengajaran pada Shin-tok Kek?"

Paderi tua yang bukan lain memang Bing King Siangjin, itu tokoh nomor satu dalam sepuluh Datuk, tersenyum menyahut.

„Kedatangan loni kemari ini hanya secara kebetulan saja karena hendak menyambangi seorang sahabat lama. Tapi urusan Shin-tok sicu dengan Goan Goan toheng itu, telah loni ketahui. Sungguhpun cara Goan Goan toheng menghukum muridnya Siau Hong itu terlampau keras, namun layak tidaknya anak itu menerima hukuman begitu serta benar tidaknya dia dicelakai orang, pada waktu ini masih belum ketahuan jelas. Oleh sebab itu, apa yang sicu lakukan malam ini, turut keadilan yang jujur, juga tak terluput dari kurang pertimbangan yang mendalam."

Tertawalah si Rase Kumala nyaring-nyaring, bantahnya:

„Shin-tok Kek amat mengagumi ketajaman lidah tay-hweshio. Hanya apakah kematian puteriku itu juga cukup sampai disini saja?"

Hweshio tua yang telah mencapai kesempurnaan ajaran agama itu, tak tersinggung dengan ucapan si Rase Kumala yang sinis itu. Dengan wajah tetap berseri ramah, dia kembalikan bantahan: „Membalas dendam, tetap menggelora dalam dada manusia sepanjang masa. Kematian leng-ay (anakmu perempuan), disebabkan musabab lain. Mengapa sicu tak mencarinya kesitu? Setelah sebab musababnya diketemukan, barulah dapat dijatuhkan putusan mana yang salah dan benar. Entah bagaimana pendapat sicu?”

Si Rase Kumala tertawa.

„Peribahasa mengatakan: 'obat takkan mematikan  penyakit, mengabdi agama itu memang ada jodohnya’.  Sayang Shin-tok Kek tak berjodoh dengan Buddha, jadi betapapun taysu cape-cape putar lidah, sukar untuk menyadarkan pikiran yang sudah kalut. Dalam melakukan sepak terjang, Shin-tok Kek mengutamakan leganya sang hati. Oleh karena itu dalam soal jiwa siao-li, Shin-tok Kek baru akan merasa puas kalau sudah mendapat ganti jiwa orang yang tersangkut. Ah, lama nian toa-hwesio memiliki ilmu kesaktian kalangan sian-bun (agama). Bahwasanya dengan berkunjung kemari mencampuri urusan ini, tentulah toa-hweshio mempunyai maksud tertentu. Tambahan pula, berita tentang bertemunya tiga orang datuk di gunung Mosan sini, tentu akan menjadi buah tutur yang menggemparkan di kalangan persilatan. Dipercaya toa-hweshio tentu tak mau pelit memberi pelajaran!"

Melihat wajah orang membengis murka, mau tak mau mengerut juga alis hweshio besar itu, ujarnya: „Sesuai dengan ajaran kasih sayang dari agama kami, loni selalu menggunakan jalan damai dalam setiap persengketaan. Cara kekerasan, pantang ditempuh oleh kaum agama. Namun karena urusan malam ini rasanya tak mungkin diselesaikan dengan kata-kata saja, maka loni ikhlas serahkan tubuh loni untuk menerima sebuah hantaman dari sicu. Semoga hal itu dapat menjadi cara penyelesaiannya. Apabila loni sampai rubuh atau terluka dengan pukulan sicu itu, silahkan sicu sekehendak hati menyelesaikan urusan malam ini, loni takkan ikut-ikutan. Namun apabila Hud memberkahi loni, harap, sicu suka tangguhkan urusan ini sampai lain kali apabila sudah ketahuan terang siapa yang bersalah. Entah apakah sicu dapat menerima usul loni ini?"

Mendengar itu pecahlah gelak tawa si Rase Kumala.

„Sungguh malam yang berbahagia dapat berjumpa dengan seorang kojin (sakti). Prinsip kasih sayang yang toa-hweshio pegang teguh itu, betul-betul Shin-tok Kek amat menjunjung tinggi dan tak berani membantah. Silahkan toa-hweshio segera bersedia, agar Shin-tok Kek dapat menunaikan 'jodoh sebuah pukulan' itu."

Habis berkata, serentak dia menyimpan senjata cui-giok-ji-i ke dalam lengan baju, kemudian melangkah maju dan berdiri dengan jumawanya. Sebenarnya Goan Goan Cu sudah hendak mencegah Bing King Siangjin, namun urusan sudah sampai sedemikian rupa, dia tak berdaya lagi dan terpaksa diam.

Benar dia mendengar bahwa ilmu Bing King Siangjin telah mencapai tingkat kesempumaan "Kim-kong-put-huay" (malaekat yang tak rusak atau kebal), namun si Rase Kumala adalah bintang cemerlang dari sepuluh Datuk. Betapa dahsyat pukulannya, dapat dikira-kirakan sendiri. Kalau sampai terjadi sesuatu, bukankah dia (Goan Goan Cu) seperti mencelakai sahabatnya itu?

Dengan kekuatiran itu, dia melangkah maju, maksudnya hendak melerai. Tapi dikala sang kaki baru diayun, Bing King sudah mencegahnya.

„Harap toheng jangan kuatir. Kalau loni benar-benar tak dapat bertahan, kiranya tak terlambat apabila pada saat itu toheng menghabisi jiwa!"

Mundur teraturlah Goan Goan Cu. Tapi demi mengawasi ke arah si Rase Kumala, dia menjadi terkesiap. Wajah si Rase Kumala itu menampilkan hawa pembunuhan yang bernyala- nyala, ubun-ubun kepalanya mengeluarkan asap. Diam-diam kepala Siang Ceng Kiong itu kucurkan keringat dingin. Sebaliknya, Bing King Siangjin tetap tenang. Seperti tak merasa apa-apa dia tampil ke muka dan berdiri kira-kira setombak jauhnya dari si Rase Kumala. Kemudian dia mempersilahkan orang segera melancarkan pukulan.

Si Rase Kumala tertawa tawar sambil diam-diam memusatkan sembilan bagian dari lwekang tay-ceng-kong-gi ke tangan kanan.

„Toa-hweshio, bersiaplah!"

Maju setengah langkah, lengan kanan dilempangkan lurus ke muka dan sekali telapak tangan digerakkan, dia mendorong ke arah dada Bing King. Angin menderu, baju berkibar-kibar.

Sepasang alis Bing King mengerut, matanya menunduk ke bawah. Tubuhnya yang tinggi besar itu, berayun-ayun menuruntukan deru angin pukulan. Bumi yang dipijaknya, pelahan demi pelahan turut ambles. Sebuah adegan yang ngeri penuh maut.

Demikian kira-kira sepeminum teh lamanya, tiba-tiba si Rase Kumala tarik pulang tangannya. Sorot matanya memancarkan sinar kekaguman yang tak terhingga. Ditiup desir angin malam, baju Bing King sekonyong-konyong menghamburkan debu, beterbaran keempat penjuru. Di bawah leher bayunya, sama rowak berkeping-keping seperti dicakar dengan lima buah jari.

Kala itu, Bing King mulai membuka mata. Dengan agak terengah, dia berkata: „Syukur hud-cou memberi berkah dan terkabullah penyelesaian dengan sebuah pukulan."

Tiba-tiba si Rase Kumala tertawa nyaring, serunya: „Toa- hweshio benar-benar sakti, Shin-tok Kek kagum tak terhingga. Dengan ini selesailah persoalan malam ini, selanjutnya perkembangan lain harilah yang akan memutuskan. Sekalian tojin itu, hanya tertutuk jalan darah hun-hiatnya, rasanya dengan ilmu Hud-hwat toa-hweshio yang tiada terbatas itu, tentu aku dapat mengembalikan mereka. Hanya dikarenakan mereka sudah cukup lama tertutup jalan darahnya, jadi perlulah dirawat seperlunya. Disini tersedia pil ceng-leng-wan, cukup diaduk dengan air bersih dan diminumkan, tentulah akan jadi baik."

Habis berkata, diambilnya sebuah botol kumala lalu ditaruhkan di atas tanah. Begitu bersuit panjang, dua orang anak muncul dengan menggotong sebuah tandu. Secepat si Rase Kumala loncat ke dalam, kedua anak itu segera memanggulnya turun gunung .........

Menutur sampai disini, pak tua berhenti. Dia mendongak ke atas, seolah-olah seperti mengenangkan kejadian pada masa yang lampau. Pemuda tanggung yang tengah asyik mendengarkan itu, sudah tentu tak mau tahu.

„Yah, bukankah Siau-sat-sin Li Hun-liong putera dari Pak- thian-san Song-sat pernah mngatakan, tak mau hidup bersama-sama dengan Siau Hong? Dari ucapan itu, terang yang menulis surat kaleng itu tentulah dia. Apakah begitu mudah saja si Rase Kumala melepaskan dia?” tanyanya.

Pak tua merenung sejenak. Kemudian menatap wajah si anak, dia kedengaran menghela napas, ujarnya: „Dulu ketika ayah mendengar cerita itu, juga mengajukan pertanyaan serupa dengan kau ini. Tapi perkembangan kisahnya, ternyata di luar dugaan orang! Turut kata orang yang membawakan cerita ini padaku, sepergi dari gunung Mosan, si Rase Kumala terus langsung menuju ke gunung Pak-thian-san untuk mencari Song-sat. Ternyata disana Song-sat menyambutnya dengan tenang dan berterus terang. Dia amat menghormat sekali kepada si Rase Kumala, kemudian menyuruh puteranya (Li Hun-liong) keluar mengadakan testing tulisan. Setelah dipadu, ternyata tulisannya itu tak sama dengan tulisan dalam surat kaleng itu.

Hal itu telah membuat si Rase Kumala yang cerdik jumawa, bungkam dalam seribu bahasa. Walaupun biasanya dia suka membawa kemauan sendiri tak menghiraukan segala alasan orang, namun dalam keadaan seperti itu, tak dapat lagi dia berkeras kepala menuduh secara membabi buta. Datang dengan kemarahan menyala-nyala, terpaksa si Rase Kumala kembali dengan semangat padam lesu. Sejak itu, walaupun sudah berpuluh tahun lamanya dia tak henti-hentinya melakukan penyelidikan, namun hingga kini tetap belum berhasil. Berpuluh tahun lamanya, peristiwa itu tetap terbungkus kabut ”

„Yah, siapa si curang yang telah mencelakai dan menulis surat kaleng itu? Apakah Siau Hong sungguh dicelakai orang sehingga tak sadar melakukan perbuatan itu?” tanya Ih-ji.

Dihujani pertanyaan, pak tua hanya ganda tertawa, sahutnya: „Anak tolol, itulah pertanyaan-pertanyaan yang tetap menjadl rahasia sampai sekarang. Kalau dulu-dulu sudah terpecahkan, tentu urusan akan sudah selesai!"

Muka si bocah tampak kesal, ujarnya: „Yah, dalam peristiwa itu, turut penglihatan Ih-ji, kesemua-semuanya terletak pada Goan Goan Cu yang memberi hukuman menurut kemauannya sendiri. Seharusnya dia menyelidiki sampai terang, baru menjalankan keputusan, dengan begitu tentulah tak sampai terjadi onar besar, yang paling kasihan adalah Shin-tok Lan, hem ...... kalau aku menjadi si Rase Kumala, bukan hanya meminta ganti jiwa Goan Goan Cu pun menjadikan biara Ceng Kiong Kiong sebuah karang arang!"

Menampak bagaimana si Ih-ji dengan wajah murka dan nada dendam mengucapkan kata-katanya itu, kejut si pak tua tak terkira. Serentak dicekalnya tangan si bocah itu.

„Betapapun kurang bijaksananya tindakan Goan Goan Cu, namun tak seharusnya kau berpikir demikian, bagaimanapun juga dia adalah kau ”

Baru mengucap sampai disini, seperti terkena stroom listrik, buru-buru si pak tua berhenti. Dia merasa sudah kelepasan omong. Namun Ih-ji yang cerdik itu sudah dapat mencium bau. Loncat dari pelukan sang ayah, dia tegak berdiri menggagah (memandang dengan bernyala-nyala) ke arah pak tua, serunya: „Yah, kaukatakan Goan Goan Cu itu apaku?!"

Pak tua menghela napas panjang.

„Apakah yang seharusnya tak boleh dikatakan, terpaksa kukata kan juga " gerutunya.

Bahwa berlainan jawab dengan apa yang ditanyakan, Ih-ji segera menggoyang-goyang kedua bahu sang ayah, seraya merengek: „Yah, bilanglah, apa hubunganku dengan Goan Goan Cu itu?"

Sekonyong-konyong sepasang biji mata pak tua membeliak dan dengan nada berat berkatalah dia: „Dia adalah

sucoumu (kakek guru)!”

Ih-ji menyambut kata-kata ayahnya itu dengan sebuah teriakan kaget. Setelah termenung sampai sekian saat, akhirnya dengan nada gentar, dia berkata: „Yah, kalau begitu, Ih-ji ini adalah Siau ”

Belum Ih-ji menyelesaikan kata-katanya, pak tua sudah merangkulnya   kedalarn   pelukan,   katanya   dengan rawan:

„Benar, kau adalah putera dari Siau Hong. Ayahmu ini adalah orang yang mengemban titipan seorang sahabat tapi ternyata tak dapat menyelesaikan tugas itu, yakni si Dewa Tertawa

......”

Bayangan peristiwa yang lampau, menyebabkan dia tak dapat meneruskan kata-katanya. Alam pegunungan yang bermandikan cahaya gemilang dari sang surya, terasa diliputi oleh suasana haru duka. Tokoh terkemuka dunia persilatan pada zaman itu, tampak membelai-belai rambut Ih-ji dengan sebentar-sebentar menghela napas panjang pendek. Muka si anak yang tertelungkup dalam pelukannya itu, diangkatnya pelahan-lahan, lalu dengan kasih sayangnya diusapinya air mata yang menggenangi muka anak itu. „Sebenarnya setelah kau dewasa, baru ayah akan menuturkan hal itu padamu, tapi ah, apa mau dikata ”

Tapi Ih-ji segera menukasnya: „Yah, tapi begitu ada lebih baik. Dengan mengetahui kalau mempunyai tugas besar membalas dendam orang tua, Ih-ji tentu lebih giat belajar. Ih- ji bersumpah akan menuntut balas dan mencuci bersih noda cemar ayah bunda itu. Musuh besar almarhum ayah bunda itu akan kucingcang menjadi frikadel, agar arwah ayah bunda dapat mengasoh dengan tenteram di alam baka!"

Jalan sang waktu seperti anak panah terlepas dari busurnya. Musim ganti berganti menunaikan tugasnya di  bumi. Tak terasa tiga tahun telah lalu. Jejaka tanggung kini sudah berusia enambelas tahun. Dalam sesingkat waktu itu, dia seperti didorong oleh suatu kemauan keras untuk belajar giat. Maka tak heranlah, dalam segala hal baik ilmu silat maupun surat, dia telah mencapai prestasi yang gilang gemilang.

Seorang anak yang naik dewasa, bukan melainkan pertumbuhan tubuhnya saja yang pesat, pun orangnya akan menjadi lebih cakap dan ganteng. Sifat kekanak-kanakan yang suka ceriwis itupun hanyut ditelan alam kedewasaannya. Dia lebih tenang dan anteng. Selama belasan tahun berkumpul dengan tokoh Dewa Tertawa itu, kecuali dengan ayah- angkatnya itu, jarang benar dia bersuara. Dia seolah-olah dikejar waktu.

Sepanjang hari hanya berlatih keras dan sepanjang malam hanya mencita-citakan menuntut balas. Walaupun ada kalanya senggang (tak berlatih), namun dia tak mau nganggur. Ya, hanya belajar dan berlatih terus!

Kesemuanya itu tak terlepas dari tinjauan si Dewa Tertawa. Diam-diam tokoh-tokoh itu makin sayang akan anak- angkatnya yang berbakat bagus dan berhati keras. Ibarat burung bagus hinggap di dahan bagus, begitulah seorang tunas yang berbakat bagus telah mendapat bimbingan dari seorang tokoh yang lihay. Dalam waktu tiga tahun saja, Ih-ji telah menjadi seorang pemuda yang tinggi ilmu silatnya baik dalam hal gwakang (tenaga luar) maupun lwekang (tenaga dalam).

Pada suatu sore, si Dewa Tertawa memanggil Ih-ji.

„Dalam tiga tahun terakhir ini, kau telah mencapai kemajuan pesat. Seluruh kepandaian ayah, telah kuturunkan semua padamu. Kekurangan satu-satunya padamu, hanyalah berlatih terus sampai sempurna. Asal mau berlatih giat, tentu akan berhasil. Sekalipun demikian, tingkat kepandaian yang kaumiliki sekarang ini, tiada sembarang ko-khiu (tokoh kelas berat) dalam dunia persilatan dapat menandingi kau.

Kini kau sudah berusia enambelas tahun. Sudah tiba waktunya kau turun ke dunia persilatan, mencari pengalaman disamping mengembangkan pelajaranmu. Kalau terus-terusan ikut pada ayah, sekalipun sepuluh tahun lagi, kau akan tetap menjadi seorang anak kecil. Oleh karena itu, walaupun dengan berat hati, namun terpaksa ayah hendak menyuruhmu turun gunung besok pagi. Juga ayah sendiripun akan menuju ke daerah Lamkiang untuk menyelesaikan suatu urusan lama. Setahun kemudian, kau harus kembali lagi ke gunung Hoan- ke-san sini, pada waktu itu ayah tentu sudah menunggu disini. Dalam setahun ini, kau bebas bergerak kemana saja, pesiar menikmati pemandangan di berbagai daerah, sekalian mencari jejak musuhmu.

Tapi ingatlah senantiasa! Jangan agulkan karena sudah memiliki kepandaian tinggi, karena dunia persilatan itu sebuah gelanggang yang penuh bahaya. Gunakanlah kecerdasan otak dan kesaktian ilmu untuk menghadapi segala sesuatu!"

Sewaktu si Dewa Tertawa mengakhiri pesannya, Ih-ji tampak termangu-mangu. Benar menuntut balas senantiasa menjadi idam-idamannya, tapi serambutpun dia tak menyangka bahwa waktunya bakal datang secara begitu singkat. Juga untuk berpisah dengan ayah angkatnya yang telah mengasuhnya selama belasan tahun itu, terasa amat berat dalam hatinya. Tanpa dikuasai lagi, air matanya bercucuran membasahi kedua belah pipinya. Terkejut, girang atau sedihkah dia? Entah tak tahu dia merasakannya.

Demikian perasaan Ih-ji, demikian perasaan Siau-sian-ong. Jago tua itupun seperti disayat-sayat hatinya. Namun mengingat bahwa harapan selama belasan tahun itu sudah terlaksana, hatinya terhibur juga.

Dengan sedih-sedih girang, diusapinya air mata Ih-ji, lalu dengan sikap amat menyayang dielus-elusnya bahu pemuda itu.

„Hari sudah malam, karena besok kau akan berangkat, baik lekas beristirahat sana!"

Begitulah malam itu tak terjadi suatu apa dan pada keesokan harinya, si Dewa Tertawa memanggil anak angkatnya.

„Ayah tak mempunyai suatu barang berharga sebagai bingkisan perjalananmu, kecuali beberapa patah kata ini:

„Hati tak boleh melamun kosong, tubuh tak boleh sembarangan bergerak, mulut tak boleh semau-maunya bicara. Ini artinya cermin dari kesungguhan hati yang bersih. Ke dalam tak menipu diri sendiri, keluar tak menghina orang, ke atas tak menyalahi Tuhan, ini namanya dapat bertindak secara hati-hati dan bijaksana.

Harap camkan baik-baik!”.

Habis memberi pesan itu, diambilnya sebuah bungkusan kecil dan sebilah pedang, katanya pula: „Dalam bungkusan ini terdapat seratus tail mas, berpuluh tail perak hancur dan beberapa potong pakaian yang baru yang khusus kubuat untukmu." Berkata sampai disini, mendadak wajah si Dewa Tertawa berobah keren. Memandang ke arah pedang yang dicekal dalam tangannya itu, dia berkata dengan nada berat: „Pedang ini bernama Thian-coat-kiam. Benar bukan rajanya sekalian pedang, namun dapat juga mengutungkan tebaran rambut dan memapas segala logam. Dia pernah mengikut aku selama berpuluh-puluh tahun, menjelajah negeri menyelam laut. Entah sudah berapa banyak kepala bangsa durjana yang kutung, entah berapa banyak darah orang jahat yang diminumnya. Saat ini ayah, hendak serahkan pedang itu padamu, dengan harapan agar kau dapat menyintai dan menggunakannya seperti dahulu ayah memperlakukannya. Ingat, sejak dahulu kala hingga sekarang, pusaka itu mempunyai khasiat gawat. Barang siapa yang menjalankan dharma kebajikan, dia tentu kuat memiliki. Tapi bagi siapa yang memiliki pusaka dan berbuat jahat, dia tentu menerima kutukan kemusnahan. Sekali lagi kuharap kau suka mengukir baik-baik dalam hatimu, kalau tidak ayahpun berdaya untuk melindungimu

Sewaktu mengucapkan dua patah kata-kata yang terakhir. wajah si Dewa Tertawa mengerut keren. Ih-ji bercekat dan dengan hormatnya dia tersipu-sipu menyambutinya. Ketika menjentik dengan jari, pedang itu berdering nyaring laksana aum seekor naga. Panjang pedang itu hanya tak sampai satu meter, bentuknya seperti ekor burung seriti.

Begitu Ih-ji melolosnya, serangkum cahaya berkilauan yang dingin segera memancar. Pedang dilintangkan ke muka dada, kemudian berlutut ke tanah dia mengucapkan sebuah sumpah:

„Kalau Ih-ji sampai menyeleweng dari petuah ajaran ayah, biarlah Tuhan memusnahkan diriku!"

Kerut wajah si Dewa Tertawa pulih tenang, lalu tersenyum: "Bagus, bangunlah, ayah masih ada pesan lagi!" Ih-ji menurut perintah. Dari dalam baju, si Dewa Tertawa merogoh keluar sepucuk sampul dan sebuah mainan kumala.

„Begitu turun gunung, kau, harus segera menyambangi kuburan ayah bundamu. Bundamu dimakamkan di selat Liu- hun-hiap gunung Tiam-jong-san, sementara jenazah ayahmu yang kala itu teruruk runtuhan puing, konon kabarnya dipindah Goan Goan Cu untuk di kubur di belakang biara Siang Ceng Kiong. Entah benar entah tidak. Lebih dahulu kau boleh menuju ke Mosan, tapi ingat, jangan sekali-kali bentrok dengan para tojin Siang Ceng Kiong, lebih-lebih terhadap Goan Goan Cu tak boleh mendendam rasa permusuhan. Percayalah, bahwa meskipun dia keras adatnya, tapi tak nanti mencelakai anak-anak angkatan muda.

Jangan tinggal lama-lama di Mosan, begitu sudah menyambangi kuburan ayahmu, harus lekas pergi ke Tiam- jong-san untuk menghadap gwakong-mu (kakek), disitu sekalian menyambangi makam ibumu. Gwakongmu itu aneh wataknya, tak dapat kubayangkan bagaimana sikapnya apabila bertemu denganmu nanti. Tapi ingatlah, apapun pelayanan yang kau terima, harus tetap menghormatinya jangan sekali-kali unjuk kekurang-ajaran. Sampul surat ini, boleh kau terimakan pada gwakongmu. Dan mustika kumala ini adalah milik almarhum ayahmu yang diberikan pada ibumu selaku panjar kawin. Ini dapat dijadikan barang bukti. Nah, sekian pesan ayah dan sekali lagi harap kau selalu berhati-hati dalam perjalanan!"

Bicara sampai disini, hidung si Dewa Tertawa tampak berkembang kempis karena menahan air mata. Demikianpun Ih-ji Suatu perpisahan yang dirasakan amat berat sekali. Dengan menahan kucuran air mata, sampul dan mustika kumala disambuti dan dimasukkan ke dalam dada bayunya, kemudian menyanggulkan bungkusan dan pedang di belakang bahunya. Sejenak menyapukan matanya ke sekeliling gubuk kayu yang menjadi tempat tinggalnya selama belasan tahun, dia terlongong seperti berat meninggalkan. Akhirnya setelah puas merenung, barulah dia bersama sang ayah angkat turun gunung.

Tiba dimulut gunung, kembali si Dewa Tertawa memberi nasehat panjang lebar, bagaimana seharusnya membawa diri dalam masyarakat dunia persilatan yang penuh golak bahaya itu. Menjelang tengah hari, barulah kedua sama berpisah dengan berat hati.

---ooo0dw0ooo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar