Si Rase Kumala Bab 04 : Pertempuran Di Biara

4. Pertempuran Di Biara

Empat sekawan itu, lihay juga. Melihat kedua kawannya terbuka, tojin yang menyerang dari barat dan utara, lalu robah serangannya, dari kosong menjadi sesungguhnya. Si Rase Kumala tak bergerak menghindar, seolah-olah dia biarkan saja kedua pedang, itu menyentuh tubuhnya. Tapi sewaktu hampir mengenal, tiba-tiba tubuhnya menghindar, jari tangan ditekuk macam cakar terus dikebutkan ke atas.

“Tring, tring,” dua buah suara gemerincing terdengar dan dua buah benda berwarna perak melayang ke udara. Menyusul, terdengar jeritan kaget dan sesosok bayangan kelabu melesat-lesat. “Ak, uk, ak, uk,” berturut-turut  terdengar suara mengerang dan rubuhlah keempat tojin itu ke tanah ..........

Kesemuanya itu hanya berlangsung dalam beberapa detik saja. Sebelum orang tahu apa yang terjadi, tahu-tahu mereka (kawanan tojin lainnya) sudah melihat keempat kawannya itu tersungkur, tiada berkutik lagi. Rasa kagum dan jeri membayangi wajah sekalian tojin itu.

Tegak tak acuh disana, tampak si Rase Kumala sejenak mengicupkan mata ke arah keempat tojin yang telah ditutuk jalan darahnya itu, sembari tangannya mengebut-kebut debu di pakaiannya. Setelah itu, dia memandang Kat Hian Cin.

„Nah, siapa lagi yang tak takut mati, silahkan maju!" serunya.

Melihat kesaktian si Rase Kumala tadi, Kat Hian Cin kagum dan marah. Pikirnya: „menilik gelagatnya, kalau tak menggunakan siasat bertahan sampai kwan-cu datang, keadaan tentu runyam, ini ”

Sampai disini, tiba-tiba dia mendapat pikiran bagus. Menentang ke arah si Rase Kumala, dia berseru: „Pihak biara kami mempunyai sebuah kiam-tin (barisan pedang) yang tak berarti. Bagai seorang kojin yang termasyhur di kolong dunia, dipercaya sicu tentu suka memberi petunjuk!"

Si Rase Kumala tertawa gelak-gelak, balasnya: „Kat Hian Cin, seorang pengabdi gereja tak mau bohong. Barisan ngo- heng-pat-kwa-kiam-tin dari Siang Ceng Kiong, jauh tersiar kemasyhurannya. Bukankah kau mempunyai rencana begini, akan gunakan barisan itu untuk mengepung diriku. Menang ya syukur, kalau tidak, sekurang-kurangnya akan dapat mengulurkan waktu sampai Goan Goan Cu sudah dapat datang!

Tapi biarlah aku seorang tua ini, menuruti permintaan itu. Dalam seratus jurus, kalau sampai tak .dapat menjebolkan barisanmu itu, aku Shin-tok Kek akan mengirim surat undangan pada para tokoh-tokoh persilatan, untuk menyaksikan upacara aku menghaturkan maaf dan memasang papan biara Siang Ceng Kiong disini. Pula, hutang Goan Goan Cu. padaku, akan kuhapuskan dan sejak itu juga nama Rase Kumala itu, biar dicoret dalam daftar persilatan. Masih aku si orang tua hendak memberi keringanan padamu. Habis membobolkan barisanmu itu, aku takkan mengapa-apakan dirimu dan kawan-kawan, tetap akan menantikan kedatangan Goan Goan Cu untuk membikin beres perhitungan. Nah, kau anggap bagaimana?”

Memang demikian yang dimaukan Kat Hian Cin. Jadi nyata si Rase Kumala dapat meneropong isi hatinya. Dengan kesaktiannya itu, Kat Hian Cin yakin tiada seorangpun dari pihaknya yang sanggup menandingi. Dengan barisan kiam-tin itu, sekalipun tak dapat merebut kemenangan, tapi sekurang- kurangnya dapat juga mengulur waktu sampai Goan Goan Cu datang. Memang si Rase Kumala bintang cemerlang dari angkasa persilatan itu, tinggi ilmunya sastera, sakti ilmunya silat.

Barisan-barisan ngo-heng-tin, kiu-kiong-pat-kwa, tentulah amat mahir. Tapi ngo-heng-pat-kwa-kiam-tin itu adalah pusaka pelajaran dari biara Siang Ceng Kiong, kedasyatannya bukan olah-olah. Mungkin dengan barisan itu. siapa tahu gengsi Siang Ceng Kiong akan direhabilitir (dikembalikan semula). Demikian angan-angan yang memenuhi benak Kat Hian Cin.

„Bu-liang-siu-hud, sicu amat cekat dalam segala hal. Pinto tak berani membantah lagi," serunya dengan bersemangat. Tangannya diangkat dan empat orang tojin yang usianya agak tua dari tadi, tampil ke muka. Mereka bantu Kat Hian Cin mengatur barisan ngo-heng.

Baru kelima orang itu mengambil posisi masing-masing, lalu ada enambelas tojin berjajar-jajar melingkari mereka, seolah- olah dinding yang melapisi di luar. Sebenamya itulah dimaksudkan dengan delapan pintu yang disebut pintu kian, gan, tin, kin, sun li, gun dan tui, atau yang disebut pat-kwa. Berbareng, dengan selesainya barisan itu, maka ratusan kawanan tojin lainnya, segera menyingkir dan terbukalah di tengah gelanggang itu sebuah lapangan seluas sepuluh tombak persegi.

Kini ke duapuluh satu tojin (lima di dalam enambelas di luar), sama menghunus pedang. Setelah memberi hormat kepada si Rase Kumala, Kat Hian Cin memberi isyarat tangan dan bergeraklah barisan pedang ngo-heng-pat-kwa-kiam-tin itu ......

Si Rase Kumala mengawasi dengan tajam. Dilihatnya kelima tojin yang berada disebelah dalam, tegak berdiri dengan pedang di dada. Sedang ke enambelas tojin yang memagari di luarnya, hilir mudik bergantian posisi. Isi mengisi, tutup menutup, rapat kokoh sampaipun hujan tak dapat menetes masuk. Sedemikian hebat perbawanya, sampaipun pribadi jumawa seperti si Rase Kumala. menjadi terkejut juga.

„Melihat gelagatnya, kalau tak mengeluarkan kesaktian, tentu sukar memenangkan, apalagi terbatas dalam seratus jurus," diam-diam dia berpikir.

Merenung beberapa jenak, segera dia dapat meneropong inti rahasia barisan itu. "Lawan diam, akupun diam. Tapi kalau lawan hendak bergerak, aku harus mendahului bergerak." Demikian resepnya. Si cerdas Rase Kumala itu, cepat dapat mereka siasat. Dia hendak gunakan siasat „berjalan menyungsang, kemudian baru menghancurkan". Kaki kiri menekan tanah, tangan kanan mengibas dan tubuh berputar mendorong kiam-tin.

Barisan pedang yang terdiri dari duapuluh satu tojin itu, segera menurutkan gerakan orang. Mereka berputar-putar menunggu serangan lawan, untuk segera membuat reaksi balasan. Tapi ditunggu-tunggu, si Rase Kumala tak juga menyerang.

Begitulah mereka berputar-putar sampai sekian lama tanpa mulai serang menyerang, hanya lebih banyak mirip dengan perang urat syaraf saja. Terlintas dalam pikiran Kat Hian Cin: „Kalau begini naga-naganya, sekalipun berputar-putar sampai tiga hari tiga malam, tetap tiada kesudahannya. Sakti sekalipun dia itu, namun ngo-heng-pat-kwa-tin juga bukan barisan biasa, apalagi dia sudah sumbar-sumbar hanya bertempur dalam seratus jurus saja. Ah, lebih baik menyerempet bahaya sedikit. dari bertahan berganti menyerang. Asal seratus jurus sudah lampau, masakan dia berani menelan ludahnya!"

Secepat berpikir, secepat itu juga dia mengeluarkan komando rahasia kepada keempat tojin, siapapun dapat menangkap maksudnya.

Melihat itu, diam-diam si Rase Kumala bergirang hati. Sengaya dia perlambat tindakan kaki untuk akhirnya hentikan seluruh gerakannya.

Keempat tojin yang menerima isyarat dari Kat Hian Cin tadi, segera merapat satu sama lain. Serempak mereka berbareng menusuk punggung si Rase Kumala. Gerakannya amat cepat dan jitu. Dikala mereka mengira serangannya akan berhasil, di luar persangkaan. si Rase Kumala loncat ke muka sembari kebutkan lengan kiri ke belakang dalam gerak to-cwan-tiang- hong (membalik lingkarkan bianglala). Lengan bayunya yang panjang gerombyongan itu, telah menampar batang pedang lawan.

“Tring,” tahu-tahu keempat batang pedang itu terbang ke udara dan melayang jatuh ke arah kawanan tojin yang menonton di pinggir sana.

Mendapat hasil, si Rase Kumala tak mau berhenti. Tubuh berputar, jarinya berturut-turut bekerja menutuki darah keempat tojin .itu. Tanpa sempat menghindar lagi, keempat tojin itu rubuh mendumprah di tanah. Kejadian itu hanya berlangsung dalam sekejapan mata saja. Dalam kagetnya, Kat Hian Cin menusuk punggung si Rase Kumala dalam jurus Siau- ci-thian-lam (tertawa menunjuk Thian-lam). Untuk serangan dari belakang itu. si Rase Kumala sedikit condongkan tubuh ke muka, berbareng itu dia sambar dua orang tojin yang tertutuk rubuh di tanah tadi, terus dilemparkan keluar gelanggang. Barisan menjadi panik dan si Rase Kumala bergerak-gerak seperti kupu menyusup bunga. Kedua lengan bayunya dikebut-kebutkan. Sekejap saja, disana sini ke duapuluh tojin sama rubuh tumpang tindih.

Habis “menyelesaikan", tenang-tenang si Rase Kumala menghampiri ke muka Kat Hian, ujarnya: „Ngo-heng-pat-kwa- kiam-tin yang begitu disohorkan, ternyata hanya bernama kosong, Kat Hian Cin, apa katamu sekarang?"

Kecewa dan dendam perasaan Kat Hian Cin saat itu. Mimpipun tidak dia, bahwa ngo-heng-pat-kwa-kiam-tin yang tiada tandingan di dunia persilatan selama ini, ternyata dapat dipukul hancur berantakan oleh si Rase Kumala. Hanya karena sedikit salah perhitungan saja, maka dia sampai menderita kekalahan yang begitu menyedihkan ...........

Saking dendam dan malunya, timbul pikiran nekad dari pemilik Siang Ceng Kiong itu untuk bunuh diri. Tapi demi matanya tertumbuk akan kawanan tojin yang menggeletak di tanah itu sama pucat wajahnya seperti tak bernyawa, dia menghela napas. Pedangnya yang sedianya hendak ditabaskan kebatang lehernya sendiri, dilemparkan. Serunya:

„Jenderal yang kalah perang, tak berani temberang (sombong). Silahkan sicu menghukum diri pinto, hanya saja

..........

Tertawa gelak-gelak si Rase Kamala, tukasnya

„Tenteramkanlah hatimu, Kat Hian Cin. Penasaran ada awalnya, hutang ada yang menanggungnya. Setelah kuselesaikan rekening lama dengan Goan Goan Cu, tentu akan kukembalikan padamu lagi duapuluh orang hidup. Tapi untuk sekarang, biarlah mereka tenang-tenang berbaring disitu dulu. Kalau terlalu mengurusi soal itu, dikuatirkan akan merusak kemurahan hatiku si orang tua ini!" Kawanan tojin yang menonton di sekeliling tempat itu, sama belum bubaran. Melihat itu, alis si Rase Kumala agak menjungkat. Tiba-tiba dia melangkah setindak ke muka,. tangan kiri menyambar lambung kanan Kat Hian, Seperti sesosok tubuh yang tak punya tenaga lagi, tubuh Kat Hian dibawa loncat oleh si Rase Kumala, melayang ke arah rombongan tojin sana.

Seperti kumbang dijolok sarangnya, maka berserabutanlah kawanan tojin itu lari tunggang langgang keempat penjuru. Si Rase Kumala tertawa keras, sembari kebut-kebutkan lengan baju kian kemari. Serasa ditiup angin taufan rombongan tojin yang tak kurang dari seratusan orang jumlahnya itu, sama tersungkur ke tanah.

„Kalau berdiri disana tadi, mereka menjadi penghalang, maka biarlah mereka tiduran mengasoh saja untuk menemani kawannya yang ke duapuluh orang tadi,” kata si Rase Kumala dengan jumawa kepada Kat Hian Cin.

Keadaan Kat Hian Cin, lebih menderita dari orang disiksa. Melihat anak murid Siang Ceng Kiong didera orang, dia tak dapat berbuat suatu apa, karena dirinya sendiripun berada dalam kekuasaan orang. Dia terdiam tak dapat bicara.

„Lama sudah nama biara Siang Ceng Kiong termasyhur di seluruh jagad, sayang kwancu belum pulang. Tapi apakah kian-wan (penilik) suka mengantarkan aku melihat-lihat dalamnya?" tanya si Rase Kumala dengan tertawa.

Pertanyaan sederhana yang mengandung olok tajam itu, membuat darah Kat Hian bergolak. Dia mendongak, lalu menyahut dengan geram, "Seorang kesatria boleh dibunuh, tak boleh dihina. Janganlah sicu keterlaluan!"

„Kamu pihak Siang Ceng Kiong sendiri yang tak genah, mengapa salahkan lain orang. Dengan sejujurnya aku minta kautemani melihat-lihat, tapi kau sendiri yang cari penyakit .....” tukas si Rase Kumala sembari pijatkan kelima jari kanannya.

Serangkum hawa panas mengalir ke tubuh Kat Hian dan segera dia merasa ulu hatinya seperti digigiti ribuan semut. Bermula masih dapat dia bertahan, tapi sejenak kemudian, dahinya mengucurkan butir-butir keringat sebesar kedele. Mulutnya menggereng sakit, namun sang geraham mengancingkan gigi rapat-rapat untuk bertahan sampai mati.

Si Rase Kumala mendengus.

„Kat Hian Cin, sepatah kau berani membangkang, seratusan kawanmu itu, akan menjadi bangkai semua!" serunya.

Belum pernah sepanjang hidup Kat Hian mengalami dera derita yang segetir seperti kala itu. Dirinya disiksa, kini mendengar lagi ancaman yang mengerikan. Dia yakin, tokoh aneh yang sakti itu selalu mengerjakan apa yang diucapkan.

„Aku ..... menurut ...... permintaanmu", akhirnya mulutnya menggetar kata.

"Telah kuduga bahwa kau tentu tak mau membangkang," sahut si Rase Kumala sembari kendorkan jepitannya.

Begitulah seperti sepasang sahabat karib, keduanya masuk ke dalam Siang Ceng Kiong untuk melihat-lihat. Adalah selagi mereka berdua mulai keliling, di bawah kaki gunung Mosan sana, tampak sesosok bayangan kecil pendek melesat naik ke atas gunung. Laksana bintang meluncur, dalam sekejap saja tibalah orang itu ke muka Siang Ceng Kiong.

Pemandangan pertama yang disuguhkan kepadanya telah membuat sang jantung mendebar keras. Seratusan lebih anak murid Siang Ceng Kiong berserakan tersungkur di halaman muka dengan wajah pucat lesi. Mendongak ke atas. papan nama ''Siang Ceng Kiong" yang tergantung di atas pintu biara, sudah tiada tampak lagi. Dia banting-banting kaki. „Shin-tok Kek, perbuatanmu serendah itu, sungguh keliwatan sekali. Goan Goan Cu menunggu disini!" serunya dengan lantang.

Tepat kumandang seruan itu berhenti. dari dalam biara terdengar suara ketawa keras, menyusul dua sosok bayangan kelabu dan kuning melesat keluar muka pintu. Sejenak memandang, Goan Goan Cu dapatkan kedua bayangan itu adalah seorang pelajar setengah umur yang bertubuh tinggi kurus sedang menggandeng Kat Hian Cu, sutitnya (keponakan murid Goan Goan Cu). Orang sekolahan itu mengulum senyum memandang kepadanya.

Diam-diam Goan Goan Cu terkesiap, pikirnya: "Menurut perhitungan si Rase Kumala itu sudah hampir tujuhpuluhan umurnya, mengapa tampaknya dia masih begitu muda? Jangan-jangan dia sudah dapat mencapai tingkat peyakinan yang sempurna, atau ”

„Ah, jangan hiraukan hal itu.” Demikian dia mengambil ketetapan, terus menegur dengan geramnya: „Adakah yang datang ini Shin-tok Kek?"

„Ha, ha,” demikian si Rase Kumala menertawainya, lalu menyahut: „Kau mempunyai mata tapi tak dapat melihat gunung Thaysan. Lohu sudah lama menantimu disini!"

Mimik muka Goan Goan Cu berobah.

„Shin-tok Kek, selama ini kau dan aku tak pernah berhubungan, ibarat air sumur tak melanggar air sungai. Sekarang kau datang ke Siang Ceng Kiong, merusakkan papan biara dan melukai orang, apakah maksudmu ?" bentaknya.

Dengan wajah membeku, menyahutlah si Rase Kumala:

„Masih ingatkah kau akan peristiwa Siau Hong ?"

Atas kerusakan yang diderita biara Siang Ceng Kiong, Goan Goan Cu sudah naik darah. Kini mendengar diungkatnya peristiwa Siau Hong, darahnya makin panas. „Terhadap murid murtad, tak perlu diingat lagi. Dan lagi itu adalah urusan intern kaum kami, orang luar tak berhak turut campur!" sahutnya dengan tertawa dingin.

„Sewenang-wenang mengandalkan kekuasaan, membabi buta tak dapat membedakan salah dari yang benar, aturan partai apakah itu? Benar urusan intern Siang Ceng Kiong tiada sangkut pautnya dengan diriku, tapi bagaimanakah kau hendak mempertanggung jawabkan kematian puteriku karena disebabkan ‘kebijaksanaanmu’ itu!" balas si Rase Kumala dengan tajam.

„Setiap perbuatan harus ditanggung sendiri, mengapa ditimpahkan pada lain orang ?" Goan Goan Cu mendebat.

„Heh, heh,” tertawa si Rase Kumala dengan nada sedingin

es.

„Berdasarkan 'falsafatmu' itu, menjelang usia mendekati

liang kubur ini, lohu hendak berbuat jahat sekali lagi. Pada hari dan detik ini, kalau tak dapat minta kembali keadilan padamu, tiga huruf ‘Shin-tok Kek' itu, sejak ini akan kuhapus selama-lamanya!"

Habis berkata itu, tangannya kanan yang masih menguasai jalan darah Kat Hian, segera dilepaskan. Diiring dengan sebuah jentikan jari, menjeritlah Kat Hian terus rubuh tersungkur. Kasihan tojin itu. Dia menjadi korban kemarahan bintang cemerlang dari sepuluh Datuk.

Tahu bahwa sang sutit menderita luka hebat dalam hawa cin-gi nya, amarah Goan Goan Cu makin meluap.

„Shin-tok Kek, tidakkah kau malu berbuat seganas itu terhadap seorang angkatan muda ?" jengeknya.

Namun si Rase Kumala tokoh yang aneh itu. tetap tak mengacuhkan kemarahan lawan Dingin-dingin dia menyahut:

„Cara lohu menyelesaikan urusan, memang berbeda-beda menurut terhadap siapa orangnya. Terhadap seorang yang tak kenal rasa kemanusian seperti kau ini, apa perlunya lohu pakai aturan ini itu!"

Sungguh mata Goan Goan Cu hendak melotot keluar bahna marahnya, namun berhadapan dengan seorang lawan yang kuat, dia tak berani gegabah. Sekali salah urus, akan jatuhlah namanya yang agung selama ini.

Selagi ketua Siang Ceng Kiong memutar otak mencari siasat perlawanan, si Rase Kumala sudah menantangnya:

„Goan Goan Cu, urusan hari ini, tiada lain jalan kecuali harus diputuskan dengan adu kepandaian, siapa kuat siapa lemah. Kalau lohu kalah, kecuali akan menghaturkan maaf pada dewa-dewa penunggu biaramu serta memasang kembali papan nama Siang Ceng Kiong, pun urusan anak perempuanku, tak kutarik panjang lagi. Dan sejak itu, aku akan menutup diri di Tiam-jong-san, takkan menginjak di dunia persilatan untuk selama-lamanya lagi. Tapi ”

Sampai disini, dia berhenti sejenak. Dengan mata berkilat- kilat ditatapnya Goan Goan Cu, baru melanyutkan pula: „Jika kau tak mampu menangkan lohu, apakah katamu ?"

Dirangsang oleh kemarahan, tanpa berpikir lagi menyahutlah Goan Goan Cu: „Kalau pinto kalah, pedang akan mengakhiri hidupku!"

„Bagus!" seru si Rase Kumala dengan jumawanya,

„Seorang yang mati di tempat tinggalnya, juga takkan mengecewakan. Hanya saja aku si Shin-tok Kek ini, selamanya tak mau minta kemurahan. Pertandingan kali ini, kuminta hanya dalam tiga macam babak saja. Bagaimana caranya, terserah padamu!"

Sejenak kesadarannya pulih, menyesal juga Goan Goan Cu. Namun kata sudah terlanjur diucapkan, malu juga dia hendak menariknya.

„Adu tajamnya lidah, adalah perbuatan seorang rendah. Lama nian kemasyhuran ilmumu lwekang tay-ceng-kong-gi, sungguhpun pinto tidak becus, namun ingin sekali menerima pelajaranmu itu!" sahutnya dengan geram.

Si Rase Kumala mengangguk: „Tak nanti lohu mensia- siakan harapanmu itu. Tapi entah bagaimana caranya bertanding".

Goan Goan Cu menerangkan: „Dalam lingkaran tanah seluas satu tombak persegi, kita berdua berdiri di dalamnya dan bertanding ilmu lwekang. Siapa yang terlempar keluar dari lingkaran itu, dialahyang kalah!”

Si Rase Kumala menyatakan setuju. Tanpa buang waktu lagi, Goan Goan Cu lantas gunakan dua buah jarinya berputaran menuding ke tanah. Batu dan pasir seluas satu tombak di sekelilingnya, sama berserakan. Dan disitu terdapatlah sebuah garis lingkaran sedalam tiga inci. Setelah itu, dia mundur beberapa langkah, siap sedia menanti musuh.

Si Rase Kumala hanya tertawa dingin, lalu tenang-tenang melangkah masuk. Kira-kira terpisah dua meter dari Goan Goan Cu, dia berdiri tegak sembari julurkan tangan kanan ke muka. Melihat ketenangan orang, Goan Goan Cupun tak berani berayal. Peyakinan ilmu lwekang sam-im-sin-kang (tenaga sakti hawa negatif) yang dipelajari berpuluh tahun, dikerahkan di tangan kiri, lalu dijulurkan ke muka menghadapi tangan lawan.

Sekalipun lahirnya tenang jumawa, namun dalam batin si Rase Kumala tak berani memandang enteng pada lawan. Bahwa orang sudah digolongkan dalam daftar sepuluh Datuk, tentulah menguasai ilmu kepandaian yang sakti. Bagaimanapun Goan Goan Cu juga anggauta ke sepuluh Datuk zaman itu. Hanya saja, pribadi si Rase Kumala itu dapat menguasai mimik pada wajahnya.

Benar thay-ceng-kong-gi merajai dunia lwekang, tapi sam- im-sin-kang pun juga luar biasa. Apalagi kedua lwekang itu tergolong lwekang im (gaya lemah), jadi serumpun. Memang dikala kedua hawa lwekang itu saling memancar, kedua tokoh itu sama merasakan hawa dingin bergaya lunak, merasuk ke dalam ulu hati.

Beberapa detik adu lwekang itu berlangsung, masing- masing sudah sama dapat mengadakan penilaian. Goan Goan Cu merasa, walaupun tenaga thay-ceng-kong-gi itu laksana gunung menindih, tapi perbawanya tak sedahsyat yang disohorkan orang. Sekalipun tak menang, kemungkinan kalahpun tak nanti terjadi Rupanya isi hati Goan Goan Cu itu dapat juga diteropong oleh si Rase Kumala yang tajam panca inderanya. Dengan mengeram pelahan, dia perlipat gandakan kekuatan thay-ceng-kong-gi nya.

Dalam suatu pertempuran antara tokoh sakti, lebih-lebih kalau adu lwekang, terpaut sedikit saja tingkatannya. akan sudah kentara. Demikianlah keadaan Goan Goan Cu yang memang kalah setingkat dengan si Rase Kumala. Baru dia memperhitungkan kekuatan lawan, tahu-tahu tenaga tekanan si Rase Kumala menjadi lipat dua kali kerasnya. Dalam kejutnya, buru-buru kerahkan seluruh lwekangnya untuk mempergandakan kekuatan sam-im-sin-kangnya sampai sepuluh kali.

Sekalipun begitu, namun sudah terlambat setindak. Tanpa dapat ditahan lagi, tubuhnya terdorong mundur. Dia mundur selangkah, si Rase Kumala maju setindak. Adegan satu mundur satu maju itu berlangsung pelahan sekali. Tanah yang bekas diinjaknya itu, meninggalkan bekas telapak kaki yang dalam.

Pada saat itu dahi Goan Goan Cu sudah berketetesan keringat. Ketika terdorong mundur sampai di tepi garis lingkaran, hilanglah sudah harapannya. Dalam detik-detik kekalahan itu, dia nekad. Dikerahkannya seluruh tenaga untuk memberi perlawanan terakhir. Tapi sekonyong-konyong desakan si Rase Kumala itu ditarik, lalu orangnyapun loncat keluar lingkaran. Merah padam selebar muka ketua Siang Ceng Kiong itu. Mau tak mau dia harus mengakui kekalahannya. Belum sempat dia membuka mulut, si Rase Kumala sudah mendahului: „Batas waktu pertandingan tadi sudah tiba. Oleh karena kedua pihak belum terdorong keluar garis, jadi pertandingan ini boleh dianggap seri. Nah, katakanlah cara pertandingan yang kedua!”

Lapang dan gamblang kata-kata itu diucapkan, namun bagi telinga Goan Goan Cu dirasakan seperti sebilah pisau yang menyayat-nyayat hati. Memandang ke arah lawan, berkatalah dia dengan geramnya: „Pinto mengaku kalah, usah kau berlaku ramah. Acara yang kedua tetap dijiwai dengan mati hidupnya biara Siang Ceng Kiong. Lama sudah dunia persilatan mengagungkan permainan, seratusdelapan jurus dari senjata ji-i-san-chiu itu amat gaibnya. Ingin pinto dengan sebilah pedang, menerima lagi pelajaran!”

Melihat kejujuran lawan mengakui kekalahan, terbit rasa kagum pada si Rase Kumala. Diam-diam dia menghargai sifat kesatria lawan.

„Sifat kesatria totiang itu, pantas dikagumi. Ilmu pedang totiang cap-sa-kiam itu, mengguntur di angkasa persilatan. Shin-tok Kek akan mengiringkan kehendak totiang,” ujarnya, lalu mundur tiga langkah. Dari bajunya, dia merogoh keluar sebuah senjata aneh bentuknya. Benda itu berkilat-kilat kebiru-biruan cahanya. Itulah senjata ji-i (menurut kehendak orang) yang terbuat dari cui-giok (kumala biru).

Melihat orang sudah mengeluarkan senjata cui-giok-ji-i yang berpuluh tahun tak pernah digunakan. Goan Goan Cu pun segera menyiapkan sebatang pedang di tangan kiri. Tubuh tegak lurus, pedang siap di dada, diimbangi dengan gerakan tangan kanan. Sikapnya amat perkasa.

Ilmu pedang adalah rajanya ilmu senjata, lebih-lebih kalau permainan itu dilakukan dengan tangan kiri. Sukarlah orang menduga gerak perobahannya. Demikian Goan Goan Cu dengan ilmu pedangnya ki-bun-cap-sa-kiam (tigabelas pedang sakot) yang menggetarkan dunia persilatan itu. Namun sedikitpun si Rase Kumala tak gentar.

Ilmu permainannya senjata ji-i-san-chiu yang terdiri dari seratusdelapan jurus itu, adalah mencangkum semua inti sari dari berbagai jenis permainan ilmu senjata. Kebagusan dari pelbagai ilmu senjata itu dilebur menjadi satu kreasi (ciptaan) ilmu ji-i-san-chiu. Jadi dapat dibayangkan betapa kesaktiannya. Disamping itu senjata ji-i-san-chiu terbuat dari mustika kumala kuno. Sebuah senjata pusaka yang tak terkutungkan dengan senjata apapun juga.

Kalau Goan Goan Cu tersirap kaget dengan lawan yang mengeluarkan senjata ampuh itu, adalah si Rase Kumala juga tak kurang kejutnya. Dalam keadaan segenting itu, kedua tokoh dari sepuluh Datuk itu, sama tak berani meninggalkan kewaspadaannya. Goan Goan Cu sangat prihatin, si Rase Kumalapun tak lagi bersikap jumawa.

Setelah masing-masing mempersilahkan lawan, keduanya sama bergerak putaran sejenak. Pada lain saat, mulailah pertandingan di dunia. Diiringkan keseimbangan gerakan tangan kanan, pedang di tangan kiri Goan Goan Cu menusuk dada lawan dengan jurus Siau-cin-thing-lam. Begitu ujung pedang hampir mengenai, harus lah si Rase Kumala miringkan tubuh sedikit, senjata diputar dalam jurus kiau-hi-liom-hoan untuk balas menutuk jalan darah di-bun-hiat di tetek lawan.

Gebrak pertama yang dilakukan oleh dua orang datuk persilatan itu, perbawanya menerbitkan desus angin yang santer laksana naga bertempur dengan harimau. Sinar putih dari pedang deras bagai hujan mencurah, sinar hijau dari senjata cui-giok-ji-i memagut-magut bianglala mengarungi angkasa. Setiap jurus dan gerak, adalah ilmu sakti yang jarang tertampak dalam dunia persilatan.

Goan Goan Cu gunakan ilmu pedang hoan-ki-bun-kiam- hwat yang seumur hidup belum pemah dikeluarkan dalam pertempuran. Hoan-ki-bun-kiam-hwat atau ilmu pedang sungsang balik, setingkat lebih dahsyat dari ilmu pedang biasa. Dikata sungsang balik, karena arah serangannya, berlawanan dengan serangan ilmu pedang biasa. Lain dari itu, seluruh tenaga lwekang dicurahkan ke batang pedang, jadi setiap jurus serangannya tentu menderu-deru laksana halilintar menyambar.

Bagaimana dengan si Rase Kumala? Si Rase dengan senjata kumalanya itu tak kurang hebatnya. Dalam sambaran pedang yang deras, dia berlincahan menghindar, menangkis, menutuk, membabat, mengait, menyodok, memapas, delapan inti sari ilmu cui-giok-ji-i. Senjata kumala yang berkeredipan laksana kunang-kunang di malam hari itu, bertebaran dengan gerakan yang serba aneh.

Begitulah dalam sekejap saja, pertempuran telah berjalan lebih dari duaratus jurus. Sesaat Goan Goan Cu lancarkan tiga buah serangan berantai, liong-siang-hong-bu (naga melayang burung hong menari), to-kwa-thian-sin (menggantung terbalik malaekat langit) dan ban-hwat-kui-cong atau selaksa ilmu kembali pada pusatnya. Udara penuh dengan suara deru halilintar menyambar, ribuan sinar pedang berhamburan ke bawah.

Si Rase Kumala mendongak bersuit nyaring, lalu sekonyong-konyong melambung ke udara. Laksana biangkala melayang ke angkasa, dia terbang menyusup ke dalam hujan sinar pedang. “Tring, tring, tring....” berbareng dengan buyarnya hujan sinar berhamburan keempat penjuru, dua sosok bayangan loncat keluar dari gelanggang. Apa yang terjadi?

Kedua bayangan itu adalah si Rase Kumala dan Goan Goan Cu yang sama loncat keluar. Ketika memeriksa pedangnya, Goan Goan Cu dapatkan senjatanya itu ujungnya gempil dan kutung beberapa centi. Kala itu hampir menjelang jam 4 pagi. Rembulan sudah condong kebarat. Di bawah cahaya bulan remang itu, tampak wajah Goan Goan Cu pucat seperti kertas.

Pedang kutung dibuangnya dan berserulah ketua Siang Ceng Kiong itu dengan geram: „Ilmu ji-i-san-chiu, nyata tak bernama kosong. Dua kali pinto menderita kekalahan, tak ada lain kata lagi kecuali hendak menurutkan janji membunuh diri!"

Si Rase Kumala adalah seorang tokoh yang jumawa berhati dingin. Hanya ada satu hal yang dia paling indahkan, yakni kepribadian. Melihat Goan Goan Cu seorang tokoh yang berkepribadian kesatria, dia menaruh perindahan juga. Tiada lagi dia bersikap jumawa, dengan bersungguh-sungguh berkatalah dia: „Shin-tok Kek menaruh respek (perindahan) besar atas sikap totiang. Semua dendam penasaran berakhir sampai disini saja dan aku hendak minta diri!"

Ucapan itu ditutup dengan sebuah bungkukan menghormat kepada Goan Goan Cu. Namun ketua Siang Ceng Kiong itu tidak balas menghormat. Wajahnya menampil senyum getir.

Memandang sejenak ke arah kawanan tojin yang menggeletak di muka halaman Siang Ceng Kiong, sekonyong- konyong dia angkat tangannya menghantam ke atas batok kepalanya sendiri ..........

---ooo0dw0ooo---
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar