Si Rase Kumala Bab 03 : Orang Baik, Nasib Mengenaskan

3. Orang Baik, Nasib Mengenaskan

Siau-sian-ong berhenti sejenak untuk memandang anak yang tengkurep di dalam pangkuannya itu, lalu menghela napas. Pikiran pak tua itu melayang jauh kekejadian yang lampau. Sejenak kemudian baru dia dapat melanyutkan penuturannya.

„Peristiwa itu bukan menimpah kalangan partai-partai, tapi terjadi dalam lingkungan sepuluh Datuk, makapun bukan urusan biasa. Dalam kalangan sepuluh Datuk itu, hanyalah it- ceng Beng Keng Siangjin dengan ilmu silat kalangan gerejanya yang sakti dan si Rase Kumala Shin-tok Kek, yang berkepandaian setingkat lebih tinggi dari kedelapan rekan- rekannya. Cerita ini berkisar pada diri si Rase Kumala itu. Dia memilik kecerdasan yang cemerlang, tapi berhati dingin dan tinggi, sombong tak suka bergaul. Sejak isterinya yang  tercinta menutup mata, dia mengasingkan diri di lembah Liu- hun-hiap di gunung Tiam-jong-san dan tinggal di gubuk pertapaan Kiu-jui-suan. Disitulah dia menghibur diri berkawan dengan arak dan syair. Kecuali dengan Siau-sian-ong, dia sudah putuskan hubungan dengan dunia persilatan.” „Adalah mungkin sudah jalannya nasib, maka berita tentang partai-partai menyuruh masing-masing anak muridnya keluar mengembara mencari pengalaman itu, sampai juga ke tempat pertapaannya yang terasing itu. Seorang tokoh cemerlang dalam angkasa persilatan macam Shin-tok Kek itu, ternyata masih belum dapat melepaskan diri dari nafsu ingin menang. Diutusnya Shin-tok Lan, puteri tunggal yang menjadi biji matanya itu, untuk turun gunung. Bukan melainkan cantik saja Shin-tok Lan itu, pun kepandaiannya telah menerima warisan dari ayahnya. Hanya satu hal yang berlainan, ialah perangai gadis itu amat peramah dan baik budi, jauh bedanya dengan sang ayah. Sekalipun begitu, ternyata si Rase Kumala itu masih belum tega betul-betul akan puterinya, maka dimintanya sang sahabat Siau-sian-ong untuk diam-diam mengikuti perjalanan nona itu.”

Selain menjadi sahabat kental Shin-tok Kek, pun si Dewa Tertawa itu memungut Shin-tok Lan sebagai puteri angkatnya. Jadi tiada alasan lagi, baginya untuk menolak permintaan menjadi pelindung. Bermula setelah turun dari Tiam-jong-san itu, Shin-tok Lan tak mengalami suatu apa. Tapi dikarenakan sejak kecil hidup di tengah pegunungan yang sepi, jadi begitu berada dimasyarakat ramai, Shin-tok Lan tak ubah seperti seorang nenek tua yang masuk kota. Apa saja dia kepingin tahu. Ada kalanya, ia turun tangan juga untuk membantu yang lemah membasmi si jahat. Nona cantik yang berilmu tinggi dan gagah budiman itu, dalam sesingkat waktu saja telah menjadi buah bibir setiap orang persilatan. Juga jago- jago muda dari partai-partai yang sedang bertugas mengembara itu, tertarik akan sepak terjang Shin-tok Lan. Mereka beramai-ramai menyanjungnya dengan sebuah  julukan “San-hoa sian-cu" atau Dewi penabur bunga.

Dalam sesingkat waktu itu, banyak sudah Shin-tok Lan mengikat persahabatan dengan jago-jago muda dari berbagai partai persilatan. Salah seorang yang paling akrab, ialah anak murid Ay-tojin Goan Goan Cu yang bemama Siau Hong bergelar Giok-sian-thong si Anak Dewa. Seorang pemuda dan pemudi yang bergaul lama, sukar terhindar dari kasih asmara. Juga Shin-tok Lan dan Siau Hong tak terkecuali. Dengan berjalannya sang hari, sepasang muda mudi itu makin kelebuh dalam lautan asmara. Hal ini sudah tentu menimbulkan dengki sirik para jago muda lainnya terhadap Siau Hong.

Diantara yang paling kentara kemarahannya, ialah anak murid Pak-thian-san Song Sat, (juga tokoh sepuluh Datuk) bernama Li Hun-liong bergelar Siau-sat-sin (Iblis kecil). Di depan umum, dia sumbar-sumbar tak mau hidup bersama di bawah kolong langit dengan Siau Hong. Mendengar itu, Shin- tok Lan dan Siau Hong terperanjat, namun dasar watak anak muda, dalam tempo tak berapa lama saja, mereka melupakan hal itu.

Menilik sang ayah amat mengasihinya, Shin-tok Lan ajak Siau Hong menghadap ke Tiam-jong-san. Memang walaupun si Rase Kumala itu aneh wataknya, tetapi terhadap puterinya dia amat memanjakan sekali. Dengan alasan menghaturkan sembah kepada Shin-tok Kek yang sangat dikaguminya itu, akhirnya mau juga Siau Hong mengikut ke Tiam-jong-san. Tapi bagi si Rase Kumala yang bermata tajam, hal itu tak dapat mengelabuhinya bahwa sang puteri dan anak muda itu sama saling menyinta.

Melalui penilaian beberapa hari, Shin-tok Kek mengetahui bahwa Siau Hong bukan saja seorang murid dari tokoh termasyhur, pun pribadinya juga luhur berbudi. Diam-diam orang tua itu bersyukur dalam hati. Harapan kepada puteri satu-satunya itu, ternyata bakal tak tersia-sia. Pada hari kesepuluh dari kedatangan Siau Hong di. Tiam-jong-san, si Rase Kumala menyatakan bahwa dia memberi persetujuan puterinya diperisteri Siau Hong.

Walaupun girang, namun Siau Hong tak berani meninggalkan gurunya. Sebelum ‘mendapat izin suhunya dia tak berani mengambil keputusan sendiri. Si Rase Kumala tertawa sinis dan menyatakan dengan jumawa, bahwa dengan kemasyhuran gengsinya dan kecantikan puterinya itu, tak nanti Goan Goan Cu menolak. Dia berkeras minta Siau Hong tinggalkan mainan permata yang dipakainya selaku panjar pertunangan. Setelah itu dia suruh kedua anak muda itu menuju ke Mosan untuk menghadap Goan Goan Cu.

Tiga bulan berlalu dan dua kali sudah mereka mengunjungi Mosan, namun tak dapat berjumpa dengan suhunya, karena kala itu Goan Goan Cu belum pulang dari kelananya, Siau Hongpun sungkan untuk memberitahukan hal itu kepada saudara-saudara seperguruannya, terpaksa dia ajak sang tunangan turun gunung mengembara lagi untuk beberapa waktu, baru nanti pergi ke Mosan untuk yang ketiga kalinya.

Awan dan angin di langit sukar diduga datangnya, untung dan kesialan orang sukar ditentukan tibanya. Dikala kedua sejoli itu pesiar menikmati alam pemandangan yang permai, halilintar-malapetaka menyambar mereka. Kala itu mereka berada diperbatasan Kansu dan Se-liang dan menginap di sebuah hotel.

Malam hari selagi tengah bercakap-cakap, tiba-tiba hidung mereka mencium serangkum asap wangi yang datang dari arah jendela. Tanpa disadari, keduanya menyedot-nyedot bebauan harum itu, dari hidung terus menyalur ke seluruh tubuh. Ketika Siau Hong sadar dan curiga, ternyata sudah kasip. Darah dalam tubuhnya serasa membakar, nafsunya bergolak-golak. Dalam pandangannya, Shin-tok Lan yang berbaring di tempat tidur itu, laksana bidadari cantiknya.

Siau Hong masih sadar pikirannya. Dia tahu bahwa mereka berdua dibokong orang. Dia berusaha keras untuk menghadapi keadaan yang genting itu, namun bagaimanapun juga ternyata hawa jahat dari bebauan wangi itu, lebih berkuasa. Baru setelah keduanya tersadar, ternyata ibarat “bunga sudah terhisap sarinya oleh sang kumbang”. Shin-tok Lan menangis tersedu-sedu. Siau Hong kerak keruk menyumpahi dirinya. Namun nasi sudah menjadi bubur.

Akhirnya kedua pasangan itu mengambil putusan, walaupun perbuatan itu kurang layak, tapi pertama sudah mendapat persetujuan Shin-tok Kek, kedua kalinya, dipedayai orang. Maka meskipun menurut susila kurang layak, tapi karena sudah terlanjur jadi lebih baik itu, bulat tekad mereka untuk menuntut balas kepada orang yang mencelakainya itu. Mereka bersumpah akan mencarinya sampai ketemu.

Pada kala itu si Dewa Tertawapun mendapat berita, bahwa ada seseorang yang bermaksud mencelakai Shin-tok Lan – Siau Hong. Sebagai orang yang sanggup menjadi pelindung nona itu, buru-buru dia mencari kedua anak muda itu. Pada waktu dia berhasil menemukan mereka di daerah Se-liang, ternyata Siau Hong sudah sejak 3 hari yang lalu menerima amanat Ceng-hu-leng dari suhunya dan sudah menuju ke biara tua di puncak Loh-gan-nia gunung Hoasan.

Kaget Siau-sian-ong bukan kepalang. Siau Hong pasti akan celaka. Bergegas-gegas dia ajak Shin-tok Lan menyusul ke Hoasan. Walaupun perjalanan itu dilakukan siang malam, namun tiba disana ternyata sudah terlambat selangkah. Siau Hong sudah berlumuran darah tak bernyawa lagi.

Setelah terjadi perdebatan, dimana Siau-sian-ong dapat membuktikan bahwa surat pengaduan yang diterima Goan Goan Cu itu palsu belaka, dari malu Goan Goan Cu berobah menjadi murka. Dimana sang mulut tak kuasa mencari penyelesaian, pukulan segera berbicara. Dikala kedua datuk itu bertempur mati-matian biara tua yang sudah rusak itu saking tak kuat menahan deru angin pukulan mereka, menjadi rubuh dan menguruki mayat Siau Hong. Memang amat mengenaskan sekali nasib pemuda itu, sudah jatuh dihimpit tangga pula.

Terkejut oleh peristiwa itu, kedua tokoh itu sama berhenti bertempur. Siau-sian-ong kuatir jangan-jangan Shin-tok Lan yang menderita kedukaan hebat itu sampai terluka dalam pada hawa murninya. Nona itu harus ditolong dahulu. Begitulah setelah menangguhkan pertempuran itu pada lain waktu. Siau-sian-ong lalu membawa nona yang malang itu pergi .........

Mendengar sampai disini, Ih-ji menghela napas: „Yah, mengapa orang baik sebagai kedua anak muda itu, sampai mengalami nasib yang begitu mengenaskan, ah, sungguh kasihan sekali!”

Orang tua itu dapatkan anak dipangkuannya itu berlinang- linang air mata. Dengan terharu diapun mengiakan: „Ah, benar katamu itu. Mengapa orang baik mendapat balasan yang begitu mengenaskan? Memang kalau dirasa, Allah tidak adil!"

„Yah lalu bagaimana kelanjutannya?" tiba-tiba si anak mendesaknya lagi.

Sampai sekian saat pak tua itu belum membuka mulut. Dia hanya memandang ke arah wajah anak itu dengan rasa haru. Berselang beberapa lama, barulah dia mulai lagi,

„Siau-sian-ong ternyata membawa Shin-tok Lan ke suatu tempat yang sepi untuk mengobatinya. Adalah dikala itu, dia baru mengetahui bahwa nona itu sudah mengandung. Sudah tentu dia menjadi kaget sekali. Setelah Shin-tok Lan sadar, barulah dia menanyainya. Dengan kemalu-maluan Shin-tok Lan menceritakan peristiwa fitnah yang dialaminya di hotel itu.

Siau-sian-ong banting-banting kaki dan menghela napas panjang pendek. Sebagai orang yang telah menyanggupi permintaan seorang sahabatnya, dia merasa turut bertanggung jawab juga. Tapi karena nasi sudah menjadi bubur, jadi yang penting ialah harus berusaha untuk menolong nona itu.

Akhirnya dia bawa Shin-tok Lan ke tempat tinggalnya di sebuah tempat yang terpencil. Selama itu tak jemu-jemunya dia memberi nasehat dan menghibur hati Shin-tok Lan, namun rupanya nona itu tak dapat melupakan peristiwa yang menggoncangkan seluruh jiwa raganya itu.

Setelah tiba waktunya, maka Shin-tok Lan melahirkan seorang bayi lelaki. Tiga hari setelah kelahiran itu, karena tak kuat menanggung derita kedukaannya, Shin-tok Lan pun menutup mata menyusul arwah sang kekasih. Si Dewa Tertawa yang diwarisi seorang orok itu, menjadi kelabakan, tak tahu bagaimana hendak merawatnya.

Akhirnya dia mengambil putusan, menitipkan dahulu bayi itu pada seorang keluarga petani yang tinggal di dekat itu, kemudian dia bawa jenazah Shin-tok Lan ke Tiam-jong-san untuk diserahkan pada Shin-tok Kek. Disitu dia akan menjelaskan duduknya perkara sekalian menghaturkan maaf sebesar-besamya kepada sang sahabat. Dia bersedia menerima tegur makian dari si Rase Kumala. Dia tak berani membayangkan bagaimana perasaan Shin-tok Kek dikala menerima kedatangan puteri kesayangannya itu sudah menjadi mayat.

Tapi di luar dugaan, sikap si Rase Kumala dingin-dingin saja, seolah-olah kematian puteri biji hatinya itu, bukan perkara apa-apa. Sikap itu membuat si Dewa Tertawa kelabakan setengah mati. Beberapa kali dia hendak menceritakan, tapi mulut serasa terkancing demi melihat sikap yang melebihi es dinginnya dari si Rase Kumala pada saat itu. Siau-sian-ong menginap sampai tiga hari lamanya disitu, untuk menunggu kesempatan menjelaskan duduk perkaranya, namun kesempatan itu tak kunjung tiba. Si Rase Kumala tetap bersikap aneh. Akhirnya si Dewa Tertawa pamitan pulang dan si Rase Kumalapun tak mau banyak kata untuk menahannya.

Sepeninggalnya dari Tiam-jong-san, diam-diam si Dewa Tertawa bersumpah dalam hati, akan menggembleng putera Siau Hong - Shin-tok Lan, agar dapat mencuci penasaran orang tuanya dan dapat diterima kembali dalam lingkungan keluarganya (Shin-tok Kek).

Sejak itulah maka si Dewa Tertawa lenyap dari pergaulan ramai. Banyak nian desas-desus yang tersiar di kalangan persilatan tentang jago sakti itu, namun tiada seorangpun yang mengetahui bahwa sebenamya dia mengasingkan diri di pedalaman gunung yang sunyi, merawati dan mendidik putera calon suami isteri yang bemasib malang itu.”

Sampai disini, tak kuasa lagi Ih-ji menahan kucuran air matanya. Memandang si pak tua, bertanyalah dia: „Yah, apakah benar-benar si Rase Kumala Shin-tok Kek itu tak menghiraukan sama sekali atas kematian puterinya itu? Bukankah tadi ayah mengatakan bahwa dia amat cinta sekali kepada puteri tunggalnya itu?”

Wajah pak tua yang keren, tiba-tiba mengulum senyum getir, sahutnya: „Si Rase Kumala memang menyintai sekali kepada puterinya itu. Hanya karena dia seorang pribadi yang kuat dalam menahan getar perasaan duka atau gembira, jadi sukarlah orang untuk menyelami hatinya.

Adalah berselang dua tahun kemudian sejak si Dewa Tertawa menyepi di gunung, pada suatu hari dia turun gunung untuk mencari daun obat-obatan dan bahan keperluan sehari- hari, tak terduga dari mulut seorang persilatan, didengarnya sebuah berita yang membuat jago tua itu sedih-sedih girang.

Kiranya dukacita si Rase Kumala tak terperikan besamya. Beberapa hari setelah si Dewa Tertawa meninggalkan Tiam- jong-san, si Rase Kumala pun juga turun gunung. Kecuali tentang menghilangnya si Dewa Tertawa dan Shin-tok Lan melahirkan putera, semua yang terjadi di luar telah diselidikinya. Setelah diketahui duduk perkaranya yang benar, kini dia tumpahkan seluruh kemarahannya kepada Goan Goan Cu! Pada suatu petang, kawanan paderi dari biara Siang Ceng Kiong sama mengambil angin di luar, karena habis menyelesaikan pelajaran malam. Tiba-tiba dari kaki gunung, tampak ada dua orang anak memanggul sebuah tandu. Walaupun mendaki namun kedua anak itu dapat berjalan dengan cepat, ya begitu amat cepatnya, hingga dalam beberapa menit saja sudah tiba di muka biara Siang Ceng Kiong.

Tandu itu berisi seorang sekolahan yang berparas cakap, kira-kira berumur 35-36 tahun. Pada kain kepalanya, melekat sebuah zamrud yang berkilau-kilauan, tubuhnya yang tinggi kurus itu tertutup dengan pakaian orang sekolahan dari bahan sutera berwarna kelabu perak. Sungguh seorang pribadi yang berwibawa. Sedikit cacadnya, ialah wajahnya menampilkan sifat-sifat jumawa.

Dengan tenang, turunlah dia dari tandu. Begitu tangannya dikipaskan pelahan-lahan, maka kedua anak tadi segera cepat- cepat turun gunung lagi. Setelah itu barulah orang terpelajar itu ayunkan langkah. Kira-kira terpisah satu tombak dari biara, dia berhenti. Dia mendongak mengawasi biara itu dengan pandangan yang dingin, lalu perdengarkan tertawa sinis. Kawanan anak murid Siang Ceng Kiong yang tengah mencari angin di luar halaman itu, seolah-olah tak diacuhkan sama sekali.

Setelah tegak berdiri beberapa lama, sekonyong-konyong kedua tangannya dirangkapkan ke dada. Gerakan itu telah membuat lengan bajunya bergoncangan dan tiba-tiba “brak, bum” terdengarlah suara benda berat jatuh berkerontangan ke tangga. Papan bertuliskan huruf emas “Ki Kian Siang Ceng Kiong” (Siang Ceng Kiong yang didirikan atas titah raja) telah jatuh dari tempatnya di atas pintu. Papan itu panjangnya hampir dua tombak, lebar setombak. Begitu jatuh di tangga, pecahlah papan besar itu menjadi berkeping-keping Seperti disamber petirlah kaget kawanan paderi tadi. Buru- buru mereka mengepung pendatang yang mengacau itu. Orang terpelajar itu hanya acuh tak acuh kedipkan mata melirik kawanan pengepungnya itu. Sinar matanya yang amat berpengaruh, telah membuat kawanan paderi itu sama bercekat dan menyurut mundur beberapa langkah lagi.

Pada saat itu tiba-tiba dari dalam biara terdengar suara sebuah giok-ceng (alat tetabuhan dari batu kumala) yang amat nyaring. Kawanan paderi itu serempak sama menyingkir ke samping.

Si orang terpelajar lirikkan matanya dan dapatkan dari dalam biara itu muncul tigapuluhan tosu lengkap dengan pakaian keagamaannya berwarna kuning. Yang agak istimewa, kawanan tosu itu sama menyanggul pedang di punggung. Begitu terpisah dua tombak dari orang sekolahan tadi, mereka cepat pecah diri dalam formasi barisan kipas.

Suasana di biara itu menjadi hening lelap, tapi penuh dengan kegentingan meruncing. Sekalipun begitu orang sekolahan tadi, tetap tenang-tenang saja sikapnya. Pada lain saat, seorang tojin yang bertubuh tinggi besar, tampil  ke muka dan berkata kepada si orang sekolahan: „Bu-liang-siu- hud, tolong tanya, apa sebabnya sicu menggempur papan biara kami ini?"

Si orang sekolahan sapukan matanya memandang tojin itu dengan seksama, wajahnya bagai bulan pudar, alis panjang menjulai lima kepang janggutnya menjulai berkibaran di muka dada, matanya berkilat-kilat, tubuhnya tinggi tegar, walaupun tojin itu usianya ditaksir hampir limapuluhan, namun sikapnya masih gagah. Terang kalau dia memiliki ilmu lwekang yang tinggi.

„Kau tak layak menanya aku, panggil Goan Goan Cu keluar!" sejenak habis menaksir diri orang, orang sekolahan itu menyahut dengan angkuh. Sepasang alis tojin tua itu menyungkat.

„Pinto Kat Hian Cin, kamsi (penilik) biara Siang Ceng Kiong ini. Karena menyangkut kewajibanku, maka pinto berhak untuk bertanya."

Mendengar itu, tampillah kerut amarah wajah si orang sekolahan, serunya: „Cukup sebuah pertanyaan padamu, apakah Goan Goan Cu ada di dalam biara?”

„Kwan-cu sedang keluar, dua hari lagi baru pulang," sahut Kat Hian Cin.

„Kalau begitu, akupun takkan membikin susah kalian, nanti dua hari lagi aku datang pula kemari," ujar si orang sekolahan.

Sikap yang tak memandang orang itu, membuat Kat Hian Cin tak dapat menahan sabar lagi, serunya: „Bu-liang-siu-hud! Si-cu hendak begini saja berlalu, lalu bagaimana dengan urusan papan biara itu?”

Si orang sekolahan yang sebenamya sudah ayunkan langkah itu, tertegun mendengarnya. Diiring tertawa dingin, dia menantang: „Habis bagaimana kehendakmu?”

Sedari kecil Kat Hian Cin sudah masuk ke dunia gereja. Ajaran keagamaan yang diterimanya sejak berpuluh-puluh tahun itu, telah membuatnya seorang alim ulama yang saleh, penuh kesabaran. Namun menghadapi sikap yang congkak dari tetamu tak dikenal itu, tak urung darahnya bergolak juga.

„Tiada lain permohonan, kecuali mengembalikan papan itu di tempatnya!"

Kontan si orang sekolahan menyahut dengan tawar: „Kalau tak dapat?"

„Terpaksa akan minta keadilan pada sicu," jawab Kat Hian Cin. „Ha, ha, ha .....” tiba-tiba pecahlah mulut si orang sekolahan tertawa nyaring. Nadanya sedemikian menggetarkan sehingga kawanan tosu tadi sama bercekat.

Kat Hian Cin sendiripun tak kurang kagetnya. Lwekang murni dalam nada ketawa itu, belum pernah didengarnya. Sekalipun suhu mereka, Goan Goan Cu, juga masih kalah setingkat kepandaiannya.

Habis tertawa, wajah orang sekolahan itu berobah keren, serunya: „Sudah hampir duapuluhan tahun aku si orang tua itu tak menginjak dunia persilatan, tak kusangka kalian berani jual kesombongan begitu rupa. Kalau kini tak kuberi keadilan, kalian tentu tak tahu siapakah aku si orang tua ini!"

Sekonyong-konyong dari belakang Kat Hian Cin, tampil maju seorang imam muda. Setelah memberi hormat kepada Kat Hian Cin, dia berputar menghadapi si orang sekolahan.

„Tinggi nian sikap sicu sampai menonjol langit, tentulah karena memiliki kepandaian sakti. Pinto ingin benar mendapat pelajaran barang sejurus dua saja!"

Kembali orang sekolahan itu terbahak-bahak, serunya:

„Buyung, nyalimu besar juga! Kalau tak kupenuhi permintaanmu, aku si orang tua ini tentu akan membikin kecewa hatimu. Nah, cabutlah pedangmu!"

Mundur dua langkah, tojin muda itu mencabut pedang, kemudian dengan mengambil sikap dalam gerak hoay-tiong- po-gwat (dalam dada memeluk rembulan), dia memberi hormat.

„Mohon sicu suka memberitahukan nama gelaran sicu yang mulia, agar pinto lebih mantep!"

Serempak menyahutlah si orang sekolahan itu dengan nada berat: „Aku si orang tua ini orang she Shin-tok, bernama tunggal Kek. Buyung, ayuh kau mulailah menyerang!" Demi mendengar ucapan itu, hiruk berisiklah ratusan tojin yang berada dalam gelanggang itu. Kat Hian Cin sampai berhenti denyut jantungnya untuk sesaat. Mimpipun tidak dia, bahwa si orang sekolahan yang jumawa itu, bukan lain ternyata bintang cemerlang dari sepuluh Datuk, seorang tokoh berwatak aneh, seorang datuk yang menggetarkan seluruh dunia persilatan, si Rase Kumala Shin-tok Kek.

Kecuali memiliki kepandaian yang sakti, dia mempunyai perangai yang luar biasa. Setiap kali muncul digelanggang pertempuran, belum mau sudah kalau lawan belum jatuh bangun sungsang sumbal.

Kalau pertempuran sampai berkorbar, Siang Ceng Kiong pasti akan berantakan karena kwan-cu (kepala biara) Goan Goan Cu sedang tak ada. Namun karena keadaan sudah ibarat anak panah terpentang pada busurnya, jadi terpaksa harus gunakan dua siasat, sembari bertahan sedapat mungkin, sembari kirim orang lekas-lekas minta kwan-cu pulang. Demikian Kat Hian Cin mendapat pikiran begitu, demikian dia diam-diam segera menyuruh orang memberitahu pada Goan Goan Cu.

Kesemuanya itu tak lepas dari mata si Rase Kumala yang tajam, namun acuh tak acuh tokoh itu kicupkan ekor matanya memandang kian kemari. Melihat kesibukan Kat Hian Cin dan kegelisahan tojin muda tadi, dia tertawa nyaring.

„Hai, buyung, takutkah kau?"

Memang siapa orangnya yang tak jeri berhadapan dengan datuk pemimpin ke sepuluh Datuk itu? Tapi dasar darah  muda, tojin itupun naik pitam (marah). Lantang-lantang dia menyahut: „Anak murid Siang Ceng Kiong haram akan kata- kata 'takut'. Sekalipun nama besar sicu laksana halilintar di angkasa, tapi perbuatan merusakkan papan nama itu, tetap menyatakan permusuhan pada Siang Ceng Kiong. Sebagai anak murid Siang Ceng Kiong, pinto mempunyai tanggung jawab untuk melindungi. Kesampingkan lain-lain kata yang tak berguna dan marilah sicu memberi pelajaran!”

Si Rase Kumala tertawa: „Melihat keberanianmu, kusuka memberi kelonggaran. Silahkan menyerang sepuas-puasmu, aku si orang tua akan mengalah sampai tiga jurus!"

Tanpa menyahut lagi, si tojin muda melangkah maju. Pedang diangkat, dia tusuk pundak kanan Shin-tok Kek dalam jurus sian-jin-ci-lo (dewa menunjuk jalan). Tanpa sang kaki bergerak, bahu si Rase Kumala agak dimiringkan dan ini sudah cukup untuk menghindari serangan itu.

„Buyung, jurus yang pertama!" serunya.

Si tojin muda tetap membisu. Tanpa merobah kuda- kudanya, tubuhnya diacungkan maju, pedang dibabatkan ke perut orang dengan jurus hong-sao-loh-yap (angin meniup daun). Kali ini si Rase Kumala unjukkan kegesitan. Seperti kilat menyambar, tahu-tahu tubuhnya melesat ke samping kanan. Sabetan pedang lewat di sisi tubuhnya.

Tojin muda susuli lagi serangannya dengan jurus li-liong-hi- cu atau naga memain mustika. Pedang maju menusuk tenggorokan.

Kembali si Rase Kumala unjukkan demonstrasi. Tubuh didongakkan ke belakang dan lewatlah ujung pedang beberapa senti di atas tenggorokannya. Jurus ketiga, tetap tak berhasil.

Si tojin muda mengertak gigi. Membarengi lawan belum sempat bergerak dia hendak tabaskan pedangnya ke bawah, mengarah kepala si Rase Kumala. Keadaan si Rase Kumala tertimpa mara bahaya.

Tapi suatu kejadian istimewa terjadi. Gelak tertawa keras berderai-derai dari mulut tokoh aneh itu, tubuh diangkat dan kedua lengan baju dibalikkan ke atas dan tahu-tahu  tangannya si tojin muda sakit seperti dipatahkan dan saking tak kuatnya maka terlemparlah pedangnya ke udara. Kebutan lengan baju si Rase Kumala tadi ternyata menerbitkan angin kong-hong (angin tenaga dalam) yang luar biasa dahsyatnya.

Wajah si tojin muda berobah pucat. Baru dia hendak mundur, tahu-tahu separoh tubuhnya serasa mati rasa dan tanpa dapat di tahan lagi, mendumprahlah dia ke tanah. Dua orang to-thong kecil buru-buru maju menggotongnya.

Melihat tojin muda itu pucat kelabu wajahnya dan tak sadarkan diri, tahulah Kat Hian Cin bahwa kawannya itu kena tertutuk jalan darahnya. Dia segera coba untuk menolongnya membuka, tapi tak mampu. Gagal menolong, dengan alis mengerut, dia memandang ke arah si Rase Kumala.

„Bahwa sicu memiliki kepandaian yang menggetarkan dunia, ternyata memang nyata, namun tak selayaknyalah menurunkan tangan keliwat ganas''.

Si Rase Kumala tertawa dingin, sahutnya: „Dia sendiri yang tak tahu diri, jangan salahkan orang lain. Aku si orang tua kan sudah keliwat bermurah hati, masakan kau masih belum terima?”

Dalam keadaan begitu, betapapun toleransinya Kat Hian Cu. namun tak kuasa lagi untuk mengendalikan diri. Sepasang alisnya menjungkat, dia berkata dengan keras: „Sungguhpun sicu teramat sakti, tapi Siang Ceng Kiong pun bukan tempat orang pengecut. Hari ini ”

„Harap penilik mengizinkan, tecu berempat siap sedia menempur lawan!" sekonyong-konyong empat orang tojin datang dan menukas kata-kata Kai Hian Cin tadi.

Alis panjang dari Kat Hian Cin menggontai, hendak dia mencegah, tapi disana si Rase Kumala sudah mendengus dan menyahut: „Asal tak takut mati, aku si orang tua ini tetap tak menolak setiap pendatang!" Apa boleh buat, Kat Hian Cin tak dapat mencegahnya. Dia hanya membisiki keempat tojin itu supaya berhati-hati. Setelah mengiakan, keempat orang tojin itu berputar diri dan berpencaran dalam empat penjuru. Pedang dilolos, tanpa pendahuluan kata-kata lagi, mereka berbareng maju menusuk si Rase Kumala.

Gerakan keempat tojin itu memang rapi dan cepat, tapi bagi mata seorang datuk macam si Rase Rumala, cepat dapat mengetahui isi serangan musuh, Dari keempat pedang itu, ternyata tiga serangan kosong dan satu serangan isi (sungguh). Diantar oleh tertawa dingin, tubuh si Rase Kumala berputar, lengan baju kanan dikebutkan pelahan-lahan. Angin kong-hong, segera mendorong dua serangan dari arah timur dan selatan.

---ooo0dw0ooo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar