Serial Pendekar Bayangan Sukma eps 25 : Datuk Sesat Bukit Kubur

SATU
Desa Jati Gede malam hari. Suasana desa nampak hening. Malam semakin kelam. Rembulan di sana tersenyum tipis, memancarkan sinar keemasannya menerangi desa Jati Gede.

Suara binatang malam bersahutan. Bernyanyi gembira karena baru saja hujan berhenti turun. Geresek dedaunan dan bau tanah basah menguar, semakin membuat desa yang aman itu terbuai dalam tidurnya.

Namun tiba-tiba saja desa yang tenang itu didatangi oleh derap langkah kuda yang bergemuruh memasuki desa itu. Ada sekitar delapan orang di atas kuda masing-masing. Mereka berwajah bengis dan menyeramkan. Di tangan mereka terpegang sebuah cakram berbentuk gerigi.

"Hhh! Di sini kita akan membangun sebuah benteng, Kawan-kawan!" berseru salah seorang yang mengenakan ikat kepala biru menandakan dia adalah pimpinan dari gerombolan itu.

"Benar, nampaknya desa ini cocok untuk kita!" sahut yang lain.

"Kalau begitu, mulailah kita menteror di sini!"

Tiga orang melompat dari kuda mereka. Dan mengambil beberapa dahan pohon yang kering. Lalu membakarnya. Setelah itu dilemparkannya dahan-dahan yang terbakar itu ke atap rumah penduduk.

Suasana desa yang tenang berubah menjadi kekalutan. Terdengar pekik dan jerit penduduk yang rumahnya terbakar. Para penjaga malam yang melihat api berkobar segera berlari mencari sumbernya. Serentak mereka memukul kentongan, menandakan desa dalam bahaya.

Seketika kepanikan terjadi. Orang-orang berusaha memadamkan api yang makin menjulang. Sementara orang-orang yang menunggang kuda itu terbahak-bahak.

"Hei, mereka rupanya yang membuat ulah!" berseru salah seorang penjaga malam yang bernama Jaya.

"Benar, mereka rupanya!" 

"Siapa pula mereka!"

"Baiknya kita datangi saja, sementara yang lain berusaha memadamkan api!"

Empat orang penjaga malam dengan gagah mendekati orang-orang yang menunggang kuda itu yang tetap tertawa. Seperti gembira menyaksikan penduduk yang panik dan ketakutan. Sementara sebagian penduduk berusaha memadamkan api yang terus membakar.

"Orang-orang penunggang kuda, dengan maksud apa kalian membuat keonaran di sini?!" tanya Jaya dengan gagah di hadapan orang-orang itu.

Pemimpin gerombolan yang bernama Agung Seta terbahak. "Rupanya ada tikus kecil yang berani membentak kami, Gerombolan Carok dari Barat!"

"Perduli setan dengan siapa kalian! Tapi kalian telah membuat keonaran di sini!"

"Besar juga nyali manusia ini!"

"Cepat kalian tinggalkan desa ini sebelum kami marah!" Serentak terdengar tawa membahana dari orang-orang itu. Merasa sangat lucu melihat ada yang begitu berani membentak dan mengusir mereka.

"Punya keberanian juga kau, Tikus jelek!"

Salah seorang berbisik pada Jaya, "Agaknya mereka memang sengaja ingin membuat onar di sini. Kita harus bersiap Jaya. Nampaknya mereka tidak bersahabat!"

"Betul. Kita hadapi mereka. "

Belum lagi Jaya selesai berucap, tiba-tiba terdengar suara berdesing menderu ke arah mereka. Serentak mereka berlompatan menghindar. Juga ada yang bergulingan.

Suara yang mendesing tadi rupanya cakram bergerigi yang dilemparkan Agung Seta dan kini memutar kembali pada pemiliknya.

"Cepat kalian berlutut di hadapan kami, sebelum kami menjadi marah! Dan umumkan pada seluruh penduduk, bahwa kini kami yang berkuasa!" 

"Enak saja kau omong! Bupati Jarotseda yang kami anggap sebagai ketua di sini! Juga Lurah Tungtura yang menjadi ketua desa ini!"

"Bangsat! Mulai sekarang, kalian harus tunduk di bawah kekuasaan kami! Bila tidak, akan kami buat rata desa ini dengan tanah!"

"Kami akan mempertahankan tanah kelahiran kami ini dari tangan-tangan kotor orang-orang seperti kalian! Seraaaangg!" seru Jaya dan langsung menyerang dengan golok di tangan. Begitu pula dengan ketiga temannya.

Serangan mereka hanya disambut dengan tertawa oleh Agung Seta dan teman-temannya.

Lalu tangan kanan empat orang dari gerombolan Carok itu bergerak.

"Sing!"

"Sing!"

"Sing!".

"Sing!"

Empat buah cakram yang berada di tangan mereka pun terlepas, menyambut serangan dari Jaya dan teman-temannya. Mereka tersentak kaget dan masing-masing berusaha menghindar.

"Bluk!"

"Trang!"

"Trang!"

"Akhhhh...!"

Jaya berguling ke tanah. Kedua temannya berhasil menangkis dengan golok mereka. Tetapi yang seorang lagi harus ambruk ke tanah dengan dada robek besar. Lalu mampus orang itu setelah menahan rasa sakit yang luar biasa sejenak. Darah mengucur dari dadanya.

Sementara senjata-senjata tadi seperti mempunyai mata kembali kepada masing-masing pemiliknya.

Jaya menggeram marah. "Kami akan mengadu jiwa denganmu!" serunya kembali menyerang diikuti oleh kedua temannya yang dendam dan marah luar biasa melihat kawan mereka harus mampus dengan tubuh yang robek mengerikan.

Namun lagi-lagi tanpa turun dari kuda mereka, tiga buah senjata cakram itu bergerak mencari sasarannya. Kali ini tak ada yang dapat menghindar. Mereka pun ambruk dengan luka yang parah dan segera menyusul kawan mereka yang seorang ke akhirat.

Orang-orang itu terbahak.

Lalu mereka pun menggebrak kuda masingmasing diiringi seruan yang keras.

Suasana desa itu pun menjadi neraka. Api terus berkobar. Kepanikan terus terjadi. Jerit dan rintih anak-anak dan wanita terdengar menyayat. Belum lagi jerit kematian orang-orang yang mencoba melawan, dan ambruk dengan bagian tubuh yang robek terluka.

Tiba-tiba di hadapan orang-orang itu berdiri beberapa orang dengan gagah, dengan senjata di tangan mereka masing-masing.

Seorang laki-laki setengah baya berkata dengan nada berwibawa, "Hentikan kekejaman ini!"

"Hahaha... siapakah kau adanya, Laki-laki jelek!" menggema suara Agung Seta disambut dengan tawa yang lainnya. Memekakkan telinga dan penuh ejekan.

"Hhh! Ketahuilah, aku Lurah di sini! Namaku Tungtura! Cepatlah kalian tinggalkan tempat ini, Manusia dajal! Jangan membuat onar di sini!" sahut Lurah Tungtura gagah. Sikapnya pun berani.

"Hahaha... rupanya warga desa Jati Gede tergolong punya nyali semua! Bagus, aku sangat menyukai laki-laki yang jantan dan gagah berani! Nah, usirlah kami dari desamu ini! Bila kau mampu mengalahkan salah seorang di antara kami, kami akan pergi meninggalkan desa ini! Tapi bila kau kalah atau pun mampus, bilang pada wargamu agar patuh kepada kami! Gerombolan Carok dari Barat!"

Lurah Tungtura menimbang penawaran itu Baginya tak ada jalan lain selain melayani tantangan para gerombolan. Yang penting warganya terbebas dari kekuasaan manusia-manusia laknat ini.

Dengan langkah gagah Lurah Tungtura maju ke kalangan. Di tangannya tergenggam sebuah golok.

Tetapi sebelum dia berkata, salah seorang dari pengawalnya berkata, "Ki Lurah, biarlah aku yang melayani tantangan manusia sesat ini! Sebaiknya Ki Lurah mundur saja!"

"Bayu... biarlah aku yang tua ini yang menghadapi mereka...." kata Lurah Tungtura dengan nada suara yang tetap berwibawa.

"Tapi, Ki Lurah "

"Aku tahu... karena kakakmu Jaya telah mampus di tangan mereka. Dan kau bermaksud ingin membalas, bukan?"

Laki-laki gagah yang bernama Bayu itu menundukkan kepalanya. Malu karena maksudnya diketahui Lurah Tungtura.

"Ki Lurah "

"Hahaha... mengapa tidak sekalian saja maju, heh?! Kalian adalah makanan yang sangat empuk bagi kami! Ayo, jangan sungkan majulah!" berseru Agung Seta.

Tanpa menunggu persetujuan Lurah Tungtura, Bayu sudah berkelebat meraih goloknya, dan melangkahkan kakinya mantap ke kalangan.

"Gerombolan busuk, kalian harus membayar lunas nyawa kakakku!" 

"Bagus! Morodama, kau hadapilah mereka! Kasih mereka pelajaran yang berarti, biar mereka tak punya lagi ucapan besar!" seru Agung Seta dan setelah itu tawanya membahana keras di tengah malam desa Jati Gede. Desa yang tadi sunyi kini menjadi ramai.

Bekas rumah yang terbakar masih menampakkan sisa-sisa apinya. Para penduduk hanya memperhatikan dengan hati cemas ketika Morodama meloncat dari kudanya. Dan berdiri berhadapan dengan Ki Lurah Tungtura dan Bayu. Para penduduk tidak berani berharap banyak pada keduanya, tetapi mereka berdoa agar Lurah Tungtura dan Bayu memenangkan pertandingan ini.

Mereka tidak mau dipimpin oleh para gerombolan yang sangat mereka yakin tentunya akan berbuat sewenang-wenang. Ini adalah hal yang sangat mengerikan! Apalagi bagi yang mempunyai anak perawan, tentunya mereka adalah makanan yang empuk buat Gerombolan Carok dari Barat!

Morodama adalah laki-laki bertubuh besar. Dengan kedua tangan yang kekar. Kumisnya baplang. Dia terbahak begitu berhadapan dengan Lurah Tungtura dan Bayu.

"Majulah kalian, ingin kulihat sampai di mana nyali kalian!" serunya.

Bagi Bayu tak ada lagi waktu untuk bercakapcakap. Kegeramannya memuncak. Apalagi setelah dia melihat mayat kakaknya yang mampus dengan luka di dada yang besar. Ini membuatnya marah dan dendam.

Dengan satu pekikan keras dia melesat menerjang. Para penduduk menanti dengan cemas. "Hati-hati, Bayu!" seru Lurah Tungtura.

Morodama terbahak sambil menghindari sabetan golok di tangan Bayu.

"Kenapa tidak maju sekalian, Lurah Tungtura! Biar aku tak membuang-buang waktu untuk menghabisi kalian!"

Lurah Tungtura pun segera melesat.

Goloknya berkelebat ke sana ke mari mencari sasaran. Dia pun tak berani berharap banyak pada dirinya dan Bayu untuk memenangkan pertarungan ini. Tetapi dia akan berbuat sekuat tenaga. Dia pun tak mau desanya dipimpin oleh para gerombolan.

Namun Morodama adalah salah seorang dari gerombolan yang tangguh itu. Dia pun melayani serangan-serangan Ki Lurah Tungtura dan Bayu dengan santai saja. Malah bila diperhatikan dengan seksama, tak ada rasa kesulitan sedikit pun.

Dia malah tertawa-tawa saja.

"Bah! Kepandaian seperti anak kecil saja kalian perlihatkan padaku!"

"Morodama, buat apa kau berlama-lama bermain-main dengan manusia-manusia itu! Cepat selesaikan, malam sudah semakin larut! Aku sudah tidak tahan untuk mencari hidangan makam malamku berupa perawan-perawan murni dari desa ini!" seru Agung Seta yang matanya selalu jelalatan memperhatikan gadis-gadis yang nampak ketakutan.

Dan begitu mendengar kata-kata Agung Seta, mereka semakin ketakutan. Sebagian kembali masuk ke rumahnya. Dan sebagian mengajak keluarganya untuk meninggalkan desa itu.

"Agung Seta, bila itu maumu boleh saja!" seru Morodama sambil bersalto menghindari dan mengirim satu jotosan ke dada Bayu, yang langsung terjengkang muntah darah.

Tetapi dendam yang membakar Bayu, membuat pemuda itu bangkit kembali. Namun sekali lagi dia harus terjengkang. Kali ini ambruk dengan muntah darah. Dan kali ini nyawanya pun harus minggat pada jasadnya.

Hal ini membuat Ki Lurah Tungtura menjadi geram. Namun dia pun tak bisa berbuat banyak, karena satu tendangan dari Morodama telah menghentikan perlawanannya.

"Hahaha... hanya begitu saja rupanya kemampuan kau, Ki Lurah!" tertawa Agung Seta. "Dengan kemampuanmu yang hanya begitu, mana mampu kau membela para penduduk mu! Nah, Ki Lurah, kau sudah kalah, bukan? Bagaimana dengan perjanjian kita tadi?"

Lurah Tungtura yang dadanya bagai digedor godam besar, berkata sambil menahan sakitnya. "Tak akan pernah... tak akan kubiarkan orangorangmu memimpin di desa ini! Tak akan pernah!"

"Hahaha... di samping tak mempunyai kemampuan apa-apa, juga orang yang tukang mengingkari janjinya! Orang seperti kau tak layak memimpin desa ini, Ki Lurah!"

"Apalagi orang seperti kalian, yang hanya membuat onar dan kerusuhan!"

"Ki Lurah, aku tak suka berbasa-basi lagi! Nah. katakan sekarang, apakah kau dan wargamu mau tunduk di bawah kekuasaan kami?"

"Biarlah Tuhan yang menyaksikan semua ini! Biarlah Tuhan yang akan memusnahkan kalian! Aku, Lurah Tungtura atas nama wargaku tak akan pernah mau tunduk kepada kalian!"

"Bangsat! Kau sudah diberi ampun minta mati! Baik, aku tak segan-segan lagi padamu!" selesai berkata begitu, Agung Seta menggerakkan tangannya. Cakram yang sejak tadi sudah nyantel di pinggangnya bergerak dengan cepat dan menyambar leher Ki Lurah Tungtura.

"Brak! Akhhh!"

Terdengar suara tulang leher Lurah Tungtura yang patah. Di susul dengan jeritannya yang keras. Lalu Lurah yang gagah berani itu pun ambruk dan mati untuk selama-lamanya.

Sementara senjata cakram tadi dengan anehnya kembali pada Agung Seta yang terbahak-bahak.

"Hahaha... hei, warga Jati Gede, mulai saat ini aku, Agung Seta, ketua gerombolan Carok dari Barat yang akan memimpin kalian!"

Sebagian terdiam.

Sebagian berseru, "Tidak, kami tidak mau dipimpin oleh kalian, kami... akhhh!"

Belum selesai orang itu berseru, mendadak dirasakannya sambaran angin di dadanya. Dan "des!" dada itu robek besar karena termakan cakram Agung Seta. Tubuh itu pun seketika ambruk. "Hhh! Siapa lagi yang berani membangkang! Ayo

bicara!"

Tak ada lagi yang berani membuka mulut semua dicekam ketegangan yang luar biasa. Melihat para penduduk terdiam, Carok-carok itu terbahakbahak.

"Bagus, bagus! Mulai besok, kalian harus patuh pada kami! Dan menyetor setiap hasil panen kalian?! Tidak ada kata tidak, aku yang menentukan di sini! Mengerti?!"

Lagi tak ada yang bersuara. Ketegangan itu semakin merambat. Apalagi ketika tiba-tiba Agung Seta menggebrak kudanya dan menyambar naik seorang perawan yang langsung menjerit-jerit ketakutan.

"Hahaha... kenapa takut, Manis? Kau akan menjadi hidangan makan malamku yang sangat lezat!"

Perawan itu masih meronta. Namun sia-sia. Ayahnya yang melihat bahaya yang sangat besar akan mengancam anak perawannya, nekat untuk menolong.

"Lepaskan anakku, Bangsaaaattt!" Angin pukulannya menderu.

Tetapi yang dihadapinya adalah Agung Seta. Dengan sekali mengayunkan kakinya, laki-laki itu terjengkang ambruk dan nyawanya melayang!

"Bapaaaa!" berseru istrinya sambil memburu. Ketika dia hendak membalas kematian suaminya, beberapa orang menahannya.

"Lepaskan, lepaskan! Biar aku mati saja! Biar aku mati saja! Lepaskan!"

Tetapi orang-orang tidak melepaskannya, karena mereka tak ingin satu nyawa lagi melayang oleh tangan orang-orang biadab itu. Agung Seta terbahak. "Bagus! Kalian telah berbuat yang sangat bagus! Hei, Kawan-kawan, kalian tidak mencari hidangan makan malam?!" seru Agung Seta sambil menggebrak kudanya membawa tubuh sang anak perawan.

Sudah tentu teman-temannya tak mau ketinggalan. Mereka pun dengan tertawa-tawa mengejarngejar para anak perawan.

Di malam yang menjelang pagi, samar-samar penduduk desa Jati Gede mendengar rintihan kesakitan para anak perawan dan tawa keenakan dari orang-orang durjana itu.

***
DUA
Dua hari kemudian setelah kejadian yang menimpa desa Jati Gede, beberapa penduduk yang berhasil menyelamatkan diri mendatangi Bupati Jarotseda.

Bupati Jarotseda pun terkejut mendengar berita yang mengerikan itu.

"Lurah Tungtura pun tewas?"

"Benar, Bupati. Untungnya kami berhasil melarikan diri."

"Benar-benar kejam gerombolan itu."

"Kita harus segera ke sana, Bupati," kata salah seorang pengawal Bupati yang bernama Handaka. Dia seorang laki-laki yang berusia 50 tahun. Dan pengawal setia dari Bupati. Handaka memiliki kemampuan ilmu silat yang cukup tinggi. Dia bersenjata sepasang kipas yang dengan sekali kebut mampu mendorong benda yang berat sekali pun.

Bupati Jarotseda mengangguk-angguk. "Benar, Pengawalku. Kita harus segera meredam kesombongan dan keangkaramurkaan yang dibuat oleh orang-orang sesat itu!"

Tiba-tiba masuk salah seorang pengawal dari Bupati dengan langkah tergopoh-gopoh dan nafas terengah-engah. Wajah orang itu berkeringat.

"Hei, ada apa gerangan, Jaka Pamuran?!" tanya Bupati Jarotseda heran.

Pengawal yang bernama Jaka Pamuran itu menjura dengan masih terengah-engah. Tangannya menunjuk-nunjuk keluar. Dan saat tangan itu terangkat, barulah yang hadir dapat melihat dengan jelas. Di bawah tangan kanan itu terdapat sebuah luka yang cukup besar dan kini darah merembas pada bajunya yang berwarna putih!

"Jaka Pamuran! Apa yang telah terjadi?!" seru Handaka sambil melompat dan memapahnya.

Begitu dipapah, Jaka Pamuran terjatuh. Nampak sekali kalau lukanya teramat parah.

Bibirnya biru bergetar. Dan suaranya pelan, "Kami... kami diserang oleh... Gerombolan... Carok dari Barat... akhhh!"

"Di mana, Jaka? Di mana mereka berada?!" tanya Handaka menjadi waspada. Begitu pula dengan dua orang pengawal pribadi Bupati Jarotseda. Sula Panaran alias si Pisau Terbang. Dan Singaranu yang berjuluk si Manusia Angin.

"Mereka... akhhhh!" belum selesai ucapan yang keluar dari mulut Jaka Pamuran, tubuh itu sudah terkulai, lalu mereganglah nyawanya.

Hal itu membuat suasana menjadi tegang. Terutama beberapa penduduk Jati Gede yang datang melapor.

Tetapi Bupati Jarotseda menenangkan mereka. "Bila kalian merasa takut untuk kembali, biarlah kalian tinggal di sini untuk sementara."

Orang-orang itu langsung memilih tinggal di sana, dan tak mau mengambil resiko maut dihadang oleh orang-orang jahat dari Barat itu.

Tiba-tiba terdengar suara desing angin yang cukup keras ke arah mereka. Dan siurnya menderu cukup memekakkan telinga. Tiba-tiba, "Traaangg!" kaca jendela di mana mereka sedang berbicara, mendadak pecah terhantam suatu benda. Dan pecahan kaca itu memburai ke arah mereka.

Serentak Handaka langsung melompat menubruk tubuh Bupati Jarotseda dan menggulingkannya hingga selamat dari pecahan kaca yang berhamburan.

Begitu pula dengan Sula Panaran dan Singaranu yang bersalto untuk menghindari pecahan kaca. Tetapi dua orang penduduk Jati Gede yang terpana tak sempat untuk mengelak. Tak ayal lagi, tubuh mereka terhunjam pecahan kaca yang cukup tajam.

"Cep!"

"Cep!"

Dan kedua tubuh itu pun mengejut, berkelojotan dan ambruk.

Namun ketegangan itu tidak hanya sampai di sana saja. Benda yang menabrak kaca itu ternyata sebuah cakram yang kini bergerak mencari sasarannya. Cakram itu seperti mempunyai mata saja, karena dia dapat bergerak seolah mencari sasaran.

Hal ini sangat mengejutkan orang-orang yang berada di dalam ruangan itu.

Mereka menjadi tunggang langgang menyelamatkan diri.

Dan "Des!"

"Des!" 

"Aaakhhh!"

Tiga orang penduduk Jati Gede pun ambruk dengan leher hampir putus. Lalu melayanglah nyawanya. Ini membuat Bupati Jarotseda marah. Tetapi dia cepat merundukkan kepalanya kalau tidak mau disambar oleh cakram bergerigi itu. Tiba-tiba terdengar jeritan Handaka sambil mengibaskan kipasnya. Sebuah angin yang cukup besar menghantam cakram itu hingga ambruk ke lantai.

Namun suatu keanehan terjadi.

Ketika Handaka hendak mengambil cakram itu, tiba-tiba benda bergerigi itu melayang ke atas, keluar melalui kaca jendela yang pecah tadi.

"Gila!" seruan itu keluar bersamaan dari mulut tiga pengawal Bupati.

Suatu pertunjukan tenaga dalam yang luar biasa.

Mendadak terdengar bentakan dari luar, "Hei, orang-orang yang berada di dalam! Cepat keluar, jangan bersembunyi mirip anak perempuan!"

Orang-orang yang berada di dalam saling pandang. Dan serentak mereka keluar. Bupati Jarotseda berdiri gagah di hadapan delapan orang penunggang kuda yang tertawa-tawa begitu melihat mereka muncul.

"Hahaha... rupanya kalian punya nyali juga!" bentak salah seorang yang tak lain Agung Seta, pimpinan Gerombolan Carok dari Barat. "Kupikir, Bupati Jarotseda dengan ketiga pengawalnya hanyalah manusia-manusia pengecut yang beraninya cuma bersembunyi di ketiak ibunya!"

Kata-kata Agung Seta disambut oleh tawa teman-temannya.

"Hhh! Rupanya kalianlah manusia-manusia busuk yang mengganggu desa Jati Gede!" seru Jarotseda gagah. "Ada maksud apa sebenarnya kalian mengganggu ketentraman kami?!"

"Hahaha... rupanya memang tak salah raja mengangkatmu menjadi Bupati di wilayah Timur ini, Jarotseda. Nyalimu lumayan besar, beraniberaninya membentak kami!"

"Katakan cepat, maksud apa kalian mengganggu ketentraman di wilayah ini?!"

"Sudah tentu ingin menjarah hasil bumi dari desa Jati Gede, Bupati!"

"Hhh! Menyingkirlah kalian dari desa ini, janganlah membuat kami marah!"

"Hahaha... kami memang ingin melihat kalian marah! Ingin melihat sampai di mana kalian bisa mengusir kami dari desa yang indah ini!"

"Bangsat!" menggeram Bupati Jarotseda.

Begitu pula dengan ketiga pengawalnya yang kini dalam keadaan siaga. "Ayo, unjuk gigilah kalian di hadapan kami! Biar kami tahu hanya setitik debu kemampuan kalian... hahaha!" tawa Jarotseda membahana.

Diikuti oleh teman-temannya yang merasa lucu karena ada yang berani menantang mereka.

Handaka sudah tidak bisa menahan diri lagi. Sambil memekik dia maju menerjang ke arah Agung Seta yang masih tertawa-tawa.

"Heit! Hebat juga seranganmu!" seru Agung Seta sambil bersalto melompat turun.

Namun Handaka bermaksud tidak memberi kesempatan. Dia pun menerjang lagi dengan hebat. Kali ini Agung Seta segera memapakinya.

"Des!"

"Des!"

Dua buah pukulan yang mengandung tenaga dalam yang cukup lumayan bertemu. Dan masingmasing mundur dua tindak dengan tangan yang terasa ngilu.

"Tak sia-sia kau menjadi pengawal Bupati, Orang tua! Tapi coba kau hadapi ini!" berserulah Agung Seta seraya mengeluarkan jurus berikutnya.

"Majulah, Orang busuk!" balas Handaka sambil menyiapkan diri menyambut serangan berikutnya.

Melesatlah tubuh Agung Seta ke arah Handaka, yang segera memapakinya. Kedua jago itu pun bertarung kembali. Namun lewat lima jurus berikutnya, kelihatan Agung Seta dapat mendesak lawannya.

Hal itu membuat Sula Panaran dan Singaranu bermaksud membantu. Tiba-tiba mereka mengurungkan niatnya dan bersalto, karena dua buah cakram sudah meluncur ke arah mereka.

"Bangsat!" maki Sula Panaran. "Anjing buduk!" maki Singaranu.

"Hahaha...." Morodama tertawa. "Rupanya kalian adalah manusia-manusia busuk yang pengecut! Beraninya hanya menyerang dari belakang saja! Buat apa kalian bersusah payah mencari lawan, bukankah kami telah siap untuk menghadapi kalian? Membuat kalian mampus berkalang tanah dengan tubuh hancur kelojotan... hahaha!"

"Bangsat!" menggeram Singaranu. "Cepat kalian turun dari kuda-kuda kalian, ayo hadapi kami!"

"Dengan senang hati!" Morodama bersalto, yang diikuti oleh seorang temannya yang bernama Tungga Merdeka, "Hahaha... kita merupakan pasangan yang cocok sekali!"

Tak ayal lagi pertempuran pun terjadi. Masingmasing sudah menggunakan jurus-jurus yang sangat berbahaya. Singaranu pun mengeluarkan jurus Angin Memutarnya untuk menghindari sambaran-sambaran cakram Morodama. Begitu pula dengan Sula Panaran yang menyambut seranganserangan Tungga Merdeka dengan sambaransambaran pisau terbangnya, yang juga dialiri tenaga dalam. Sekaligus mencoba membuat keder lawannya, karena pisau-pisau terbang itu bisa kembali pulang pada tuannya.

Tinggal Bupati Jarotseda yang masih berdiri dengan tenang. Namun hal itu tidak berlangsung lama. Karena dua orang dari gerombolan Carok itu sudah mengurungnya, mau tak mau membuat Bupati Jarotseda harus melayani mereka demi mempertahankan selembar nyawanya.

Pertempuran itu berlangsung cukup sengit, alot dan saling mempertahankan diri. Namun lewat beberapa jurus kemudian, terdengarlah pekik dari mulut Handaka. Bahunya terkena sambaran cakram bergerigi Agung Seta.

"Hahaha... lebih baik kau berlutut dan mencium ibu jariku, Orang tua! Atau... nyawamu akan lepas meninggalkanmu untuk selama-lamanya!"

"Bangsat! Aku akan mengadu jiwa denganmu!" Handaka pun mengeluarkan senjatanya yang berupa sepasang kipas dari balik bajunya. Lalu membuka jurusnya dengan mengibas, memutar dan membuka kipasnya. Saat dia berbuat begitu, timbul angin yang cukup kuat dan sambaran berbunyi dengung dari kipasnya.

Agung Seta cukup terkejut melihatnya. Dan dia pun tertawa, "Hahaha... kipas untuk memanggang sate kau pergunakan dan kau perlihatkan di hadapanku, Orang tua! Majulah!"

Sambil menggeram, Handaka melesat menyerang. Angin yang ditimbulkan dari kipasnya cukup memekakkan telinga. Dan dengungnya bagai ada ratusan tawon yang menyerang.

Agung Seta pun menyambut dengan sambaransambaran cakramnya yang cukup merepotkan Handaka.

Begitu pula halnya dengan pertempuran antara Singaranu dan Morodama berlangsung tak kalah sengitnya. Kelihatan kalau keduanya nampak berimbang. Dan masing-masing telah mengeluarkan jurus-jurus andalan mereka.

Sedangkan pertempuran antara Sula Panaran dan Tungga Merdeka, sedikit nampak tidak berimbang. Sula Panaran dengan pisau-pisau terbangnya mampu membuat Tungga Merdeka kalang kabut. Serangannya sering kali dipatahkan oleh Sula Panaran. Dan ini membuatnya menjadi marah dan jengkel.

Serangannya menjadi tak terarah karena diliputi oleh rasa marah sedangkan konsentrasinya sudah pecah. Ini membuat Sula Panaran menjadi di atas angin.

Tiba-tiba dia berseru sambil bersalto, "Awas serangan!" Dua buah pisau terbangnya pun melesat menuju sasarannya.

Tungga Merdeka terkejut. Serentak dia bersalto sambil melemparkan cakramnya.

Traaangg!

Cakram itu beradu dengan salah sebuah pisau yang menimbulkan suara cukup keras. Tetapi yang sebuah lagi terus meluncur mencari sasarannya.

Tungga Merdeka berguling menghindari pisau terbang itu. Tetapi pisau yang sudah dialiri tenaga dalam dari jauh oleh Sula Panaran, tiba-tiba saja berbalik dan menukik menuju sasarannya.

Tungga Merdeka yang dalam keadaan berguling, tak mampu lagi untuk menghindari serangan pisau terbang itu.

Dia cuma bisa terpaku dengan sepasang mata yang terbuka melotot melihat datangnya pisau itu ke arahnya, dan terdengarlah jeritannya yang sangat keras ketika pisau itu menembus jantungnya. "Aaaakhhhhh!"

Dan tubuh itu pun berkelojotan, bergulingan, lalu terdiam kaku dengan tubuh bersimbah darah. "Tunggaaaa!" terdengar seruan dari salah seorang carok yang masih berada di atas kudanya. Dengan kemarahan yang luar biasa, dia melompat menerjang Sula Panaran yang dengan cepat me-

nyambutnya pula.

Sementara itu keadaan Bupati Jarotseda cukup terdesak. Bupati yang ternyata pandai ilmu silat itu pun harus sekali-kali terkena hantaman pukulan, gedoran, sambaran dan tendangan dari kedua lawannya.

"Des!"

"Des!"

"Des!"

Tubuh Bupati Jarotseda menjadi bulan-bulanan dari kedua carok itu yang tertawa-tawa.

Di tempat lain, Agung Seta sudah mampu mendesak hebat Handaka. Apalagi setelah sambaran cakramnya mengenai tangan kanan Handaka hingga kipasnya terjatuh. Dengan hanya menggunakan kipas sebuah, tak banyak yang bisa diperbuat jago tua itu.

Sebuah tendangan yang dilancarkan Agung Seta dengan kekuatan penuh pun mengenai sasarannya hingga jago tua itu ambruk.

"Hahaha... terimalah serangan selanjutnya, Orang tua! Dan mampuslah kau menemani salah seorang anak buahku yang telah mampus lebih dulu!" Lalu dengan kegeraman yang amat sangat, Agung Seta melemparkan cakramnya dengan tenaga dalam penuh ke arah Handaka. Handaka yang sudah sangat lemah tak bisa berbuat banyak. Tanpa ampun lagi, cakram itu pun masuk pada sasarannya. Menembus dada Handaka yang menjerit membelah langit dan ambruk meregang nyawa dengan tubuh bersimpuh darah.

Mampuslah tokoh dari Bupati Jarotseda dengan ajal yang mengerikan.

"Hahaha... kau temanilah kawanku Tungga Merdeka di neraka sana, Jago tua!" seru Agung Seta. "Hei kalian!" serunya pada teman-temannya yang masih bertarung. "Cepat sudahi lawan-lawan kalian beri mereka pelajaran yang tak akan pernah terlupakan! Untuk Bupati Jarotseda, tangkap dia hidup-hidup! Dia akan kita hidangkan satu suguhan yang sangat menarik untuknya... hahaha! Cepat laksanakan!"

Begitu habis Agung Seta berkata, temantemannya pun makin meningkatkan seranganserangan mereka.

Singaranu menjadi terkejut ketika Morodama menyerangnya dengan hebat. Dia sudah mengeluarkan jurus andalannya, Cakram Membalik Bumi. Dan ini membuat Singaranu menjadi kewalahan. Berkali-kali sambaran cakram itu mengenai sasarannya dan menghantamnya.

Mendadak Singaranu menjadi nekat. Dia mengibaskan kipasnya yang tinggal sebuah hingga menimbulkan dorongan angin yang besar. Tetapi Morodama pun tak mau menjadi sasaran kemarahan Singaranu. Dia pun membalaskan dengan melemparkan cakramnya dengan cepat dan hebat.

"Des!"

Sambaran cakram itu kembali mengenai pergelangan tangan kiri Singaranu hingga kipas saktinya terlepas. Ketika dia hendak mengambilnya kembali, sambaran cakram itu pun melesat lagi. Kali ini tepat mengenai sasarannya.

"Akhhh!"

Ambruklah Singaranu dengan leher yang terkoyak hampir putus.

Melihat hal itu Sula Panaran menjadi nekat pula. Dia bertekad hendak mengadu jiwa dengan kedua lawannya ini. Namun kedua lawannya begitu tangguh. Apalagi setelah mereka mengeluarkan senjata cakram masing-masing yang segera menyambar bagai elang dengan cepat.

Sula Panaran pun berusaha menangkis dan membalas dengan lemparan-lemparan pisau terbangnya. Tetapi gerakan kedua lawannya begitu cepat dan mampu mengecohnya.

Hingga membuatnya mundur kewalahan. Dan dua buah cakram itu pun menyambarnya hingga menimbulkan jeritan yang sangat menyayat sekali yang keluar dari mulut Sula Panaran.

Lalu tokoh yang tangguh itu pun ambruk meregang nyawa.

Melihat kenyataan tiga pengawalnya telah tewas, Bupati Jarotseda bermaksud hendak menyusul mereka. Karena dia sudah bisa menduga bila menghadapi orang-orang ini tak akan menang. Dia juga tak mau ditangkap hidup-hidup, karena Bupati Jarotseda sudah dapat menduga apa rencana keji di balik otak Agung Seta.

Baginya lebih baik mati, bila hidup dalam keadaan disiksa.

Makanya dia berusaha untuk mendesak kedua lawannya meskipun dia yakin tak akan menang. Tetapi dia mengharapkan mati di tangan orangorang itu, menyusul ketiga pengawal pribadinya yang setia.

Mati bersama.

Namun kedua lawannya seakan tahu apa maksud dari Bupati Jarotseda, makanya mereka kali ini tidak menyerang dengan hebat. Malah terlihat mereka lebih banyak mengalah.

"Sura Jaya dan Tugi Sama!" bentak Agung Seta. "Apakah kalian perlu bantuan untuk menangkap monyet itu, hah?!"

Mendengar bentakan dari sang pimpinan, membuat keduanya mulai memperlihatkan kelincahan mereka lagi. Kali ini mereka pun sekali-sekali menyerang walau dengan tidak tenaga yang penuh. Karena mereka masih berupaya untuk menangkap hidup-hidup Bupati Jarotseda yang masih menyerang secara membabi buta.

Karena baginya tak ada pilihan lain. Kecuali mati.

Menyusul ketiga pengawalnya.

Tiba-tiba Sura Jaya berguling dan tangannya menepak kaki Bupati Jarotseda hingga tersungkur. Menyusul Tugi Sama yang menangkap dan meringkus sang Bupati.

Jarotseda meronta-ronta, "Bunuh saja aku! Bunuh saja!"

"Hahaha... bukankah tadi kau dengar pimpinan kami hendak menghidangkan suguhan menarik untukmu, Bupati yang gagah berani?!" ejek Tugi Sama.

"Bangsat! Bunuh saja aku! Aku lebih baik mampus daripada jadi budak kalian!"

"Permintaan konyol!" Tugi Sama mengayunkan tangannya ke tengkuk Jarotseda hingga pingsan seketika.

Agung Seta terbahak-bahak.

"Hahaha... ayo kita tinggalkan tempat ini! Bawa mayat teman kita itu Tungga Merdeka dan kuburkan! Malam nanti aku hendak melapor pada Datuk Tumbalpala di Bukit Kubur!"

Lalu kuda-kuda itu pun bergerak. Membawa mayat kawan mereka Tungga Merdeka. Membawa tubuh Bupati Jarotseda yang dalam keadaan pingsan. Dan meninggalkan mayat-mayat yang berserakan.

***
TIGA
Udara malam berhembus dingin. Suasana bukit itu nampak menyeramkan. Dari kejauhan mirip raksasa yang sedang tertidur. Pohon-pohon tinggi yang tumbuh di sekitar sana membuat bukit itu menyeramkan. Bukit itu bagaikan mati.

Tak ada tanda-tanda kehidupan yang nampak di sana.

Orang-orang memanggilnya Bukit Kubur. Keadaan yang sepi dan menyeramkan itu me-

mang patut bila bukit itu diberi nama Bukit Kubur.

Di tengah malam buta itu nampaklah seekor kuda yang bergerak cepat menuju ke sana. Menerobos angin malam dan hutan yang terdapat di Bukit Kubur.

Penunggangnya nampak memburu waktu, dilihat dari kudanya yang berlari sangat cepat.

Orang itu tak lain adalah Agung Seta, pemimpin Gerombolan Carok dari Barat. Dia memacu kudanya secepat angin. Ketika tiba di hutan yang menuju ke Bukit Kubur, dia berhenti dan mengikat kudanya.

Lalu dia berlari menaiki Bukit Kubur. Mengerahkan segenap kemampuannya berlari. Dia tak boleh terlambat sedikit pun untuk sam-

pai di Bukit Kubur.

"Kalau aku terlambat satu detik, bisa marahlah datuk itu!" kata Agung Seta dalam hati. "Sialan, mengapa aku harus menikmati tubuh anak perawan itu dulu! Tapi... hahaha... bila tak kunikmati sayang sekali, bisa-bisa diganyang oleh yang lain! Tak boleh tidak!"

Agung Seta mempercepat larinya.

Tak lama kemudian dia tiba di atas Bukit Kubur.

Lalu dia berbelok ke kiri. Dan kini di hadapannya terlihat sebuah goa yang tertutup agak rapat oleh semak-semak.

Agung Seta berhenti di depan pintu gua itu. Dia menjura.

"Masuklah, Agung Seta...." terdengar suara dari dalam penuh wibawa.

Dan perlahan-lahan secara aneh semak-semak yang menutupi pintu goa itu terbuka. Agung Seta kembali menjura, lalu masuk ke dalam.

Begitu dia masuk, ditemuinya lorong kecil yang menuju ke dalam. Lalu lama kelamaan lorong itu melebar dan melebar. Dari kejauhan nampak cahaya terang menerangi tempat di dalam goa yang cukup lebar.

Di tempat sana, Agung Seta menjura kembali. "Datuk Tumbalpala... aku datang memenuhi

panggilan Datuk yang kuhormati "

Entah dari mana datangnya tiba-tiba terdengar suara desir angin dan mendadak di hadapan Agung Seta, di atas batu yang tipis, telah duduk satu sosok tubuh.

"Hahaha... bagus, bagus, Agung Seta! Kau telah memenuhi panggilanku!" sosok tubuh itu tertawa dengan suara yang keras. Suaranya menggema di dalam goa.

Sosok itu tinggi. Bertubuh kurus kering. Bagian dadanya yang bertelanjang memperlihatkan tulang-tulangnya yang bertonjolan. Wajahnya pun berkeriput tua. Dengan janggut hitam yang panjang. Di tangannya ada sebuah kipas yang selalu dipakainya untuk mengipas tubuhnya yang nampak kegerahan. Padahal Agung Seta merasakan dingin di sekitarnya, entah mengapa datuk Tumbalpala selalu berkipas.

"Hamba akan selalu memenuhi panggilan, Datuk!" Agung Seta dengan suara yang makin menghormat.

"Hahaha.... kau memang muridku yang paling hormat padaku, Agung Seta," kata Tumbalpala. "Bagaimana dengan pekerjaanmu itu, hah?!"

"Semua beres, Datuk!"

"Bagus! Dan mulai setiap malam Jumat, kau harus menyerahkan seorang anak perawan untukku! Aku tengah mempelajari satu ilmu yang sangat dahsyat! Kau sanggup memenuhi permintaanku itu, Agung Seta?!"

"Baik, Datuk. Semua akan hamba usahakan."

"Jangan terlambat, Agung! Ingat, bila usahaku gagal dalam mempelajari ilmu ini dikarenakan keterlambatanmu mengirimkan seorang perawan, kau akan tahu sendiri akibatnya! Mengerti?!"

"Baik, Datuk!"

"Di luar dari itu, kau boleh mengambil harta sepuas-puasmu! Aku tak butuh harta atau pun apa! Mengerti?!"

"Ya, Datuk."

"Bila ilmu yang kupelajari sudah tuntas, aku akan turun bukit untuk menantang jago-jago rimba persilatan! Keinginanku cuma satu, menguasai rimba persilatan ini... hahaha! Dan bila sudah kukuasai rimba persilatan, namaku akan menjulang setinggi langit... hahaha... aku akan menjadi penguasa tunggal di dunia... hahaha!" 

"Benar, Datuk... nama Datuk Tumbalpala tak akan ada duanya di dunia persilatan ini!"

"Bagus! Nah, mulai malam Jumat depan, kau sudah harus menyediakan seorang anak perawan untukku!"

"Baik, Datuk!"

"Nah, cepatlah kau pergi dari sini. Aku hendak bersemedi lagi!"

"Baik, Datuk! Hamba amit mundur!"

Belum selesai Agung Seta berucap, tubuh datuk sesat itu sudah lenyap dari pandangannya. Membuat Agung Seta semakin mengaguminya.

Lalu dia pun segera meninggalkan tempat itu.

***

Suasana di desa Jati Gede tetap dalam keadaan mencekam dan menakutkan. Teror yang dilancarkan oleh gerombolan Carok dari Barat itu lebih mengerikan daripada wabah penyakit yang berbahaya sekalipun.

Hampir setiap detik suasana sangat mencekam. Para penduduk diharuskan membayar pajak dari hasil bumi. Dan mereka harus menyediakan makanan dan minuman yang enak-enak untuk gerombolan orang-orang itu.

Yang lebih mengerikan tentunya bagi kaum wanita baik yang sudah menikah atau yang belum. Orang-orang dengan buas mengambil mereka dan menggumulinya. Kadang dilakukan secara beramai-ramai.

Bila sudah begitu adanya, para wanita yang telah diperkosa sebagian besar ada yang memilih lebih baik mati daripada menanggung malu, atau membunuh diri sebelum perkosaan itu menimpa mereka.

Dan kini teror yang dilancarkan orang-orang itu semakin mengerikan saja. Padahal orang-orang warga desa sudah gembira karena orang-orang itu tidak mengambili lagi anak perawan mereka. Tetapi di malam Jumat yang gelap dan dingin, tiba-tiba terdengar jeritan yang menyayat hati, merobek keheningan malam.

Lalu dari salah sebuah rumah penduduk. Nampaklah sosok tubuh melesat keluar sambil memanggul seseorang yang nampak meronta-ronta.

Buas dan secara paksa mengambilnya dan menggumulinya. Kadang dilakukan secara beramai-ramai. Mereka tak ubahnya gerombolan srigala yang tengah memangsa anak domba yang lucu.

Bila sudah begitu adanya, para wanita yang telah diperkosa sebagian besar memilih jalan lebih baik mati daripada harus menanggung rasa malu yang berkepanjangan, atau membunuh diri sebelum perkosaan itu menimpa mereka dan menghancurkan masa depan mereka.

Namun akhir-akhir ini tindakan perkosaan yang dilakukan orang-orang itu berkurang. Para penduduk bersyukur karena merasa terbebas dari belenggu kejahatan mereka.

Tetapi ketegangan itu tak berlangsung lama, karena hampir setiap malam Jumat terdengar jeritan dan rintih kematian menimpa beberapa sahabat mereka. Ternyata orang-orang itu setiap malam Jumat menculik seorang anak perawan yang entah dilarikan ke mana.

Ini semakin membuat suasana tambah mencekam. Rupanya teror yang dilancarkan oleh orangorang itu tak habis-habisnya. Entah kapan akan berhenti.

Mereka hanya bisa berdoa pertolongan akan datang dan melepaskan mereka dari tangan-tangan manusia durjana itu.

Mereka juga mengetahui kalau saat itu Bupati Jarotseda berada dalam kekuasaan orang-orang itu. Menurut orang-orang yang telah melihat keadaan Bupati, mereka hanya bisa menghela nafas panjang dan mengelus dada.

Keadaan Bupati Jarotseda sangat menyedihkan sekali. Dalam beberapa hari saja tubuhnya telah kurus kering dan penuh luka-luka.

Belum lagi hampir setiap jam dia dipaksa minum tuak anggur merah. Siksaan yang dialami Bupati Jarotseda sangat mengerikan. Setelah meminum tuak anggur merah yang dapat membangkitkan nafsu birahi, dipaksanya sang Bupati oleh orang-orang itu untuk menggumuli wanita-wanita yang menjadi tawanan mereka.

Sangat mengerikan.

Ini adalah malam Jumat. Dan para penduduk dicekam rasa ketakutan. Terutama yang masih punya anak perawan. Tiba-tiba, terdengar jeritan yang menyayat hati, merobek keheningan malam.

Lalu dari salah sebuah rumah penduduk, nampaklah sosok tubuh melesat keluar sambil memanggul seorang yang nampak meronta-ronta. Sosok tubuh itu menaiki kudanya yang juga ditunggui oleh seseorang yang menunggang kuda pula. Lalu keduanya melesat.

"Tolong! Lepaskan aku! Lepaskan! Bapaaaaa! Tolong! Lepaskan! Lepassskan!" terdengar jeritan, rontaan dan makian dari sosok tubuh yang dipanggul oleh sosok tubuh yang tinggi dan besar itu.

Orang-orang yang mengintip tak berani berbuat banyak. Mereka hanya mendesah panjang sambil memeluki keluarganya.

Namun diam-diam dari salah sebuah rumah ke luar sosok tubuh dari belakang rumah. Dia seorang pemuda yang bertubuh tegap. Wajahnya tampan.

"Tari... bukankah itu Tari yang menjerit?" desis pemuda itu agak kaget dan berusaha mengenali jeritan tadi. "Oh, benar! Itu Tari! Mau dibawa ke mana kekasihku itu sama manusia-manusia busuk yang tak punya rasa kasihan itu!"

Pemuda tadi berlari ke rumah Tari. Dan betapa terkejutnya dia melihat pemandangan yang ada di lantai. Dua sosok terkulai lemah dengan tubuh luka parah dan berdarah.

"Oh, Tuhan! Betapa biadabnya orang-orang itu!" desis pemuda yang bernama Pandu itu geram. Tangannya mengepal.

Tiba-tiba pendengarannya menangkap suara yang sangat lemah sekali. Pandu mencari-cari. Suara itu ternyata berasal dari ayahnya Tari yang dalam keadaan sekarat. "Pak...." desis Pandu sambil membungkuk. Dan memangku kepala yang lemah itu.

"Ya... Pandu?"

"Saya Pandu, Pak "

"Tari... Pandu... Tari... dia, dia diculik oleh

orang-orang jahat itu "

"Saya akan mencarinya, Pak "

"Berjanjilah... untuk membebaskannya. "

"Yah... saya berjanji "

"Bagus akh!"

"Pak ke mana Dik Tari dibawa pergi oleh orang

itu?"

"Ka-katanya... hendak... hendak diper sem-

bahkan... pada datuk sesat di Bukit Kubur "

"Bukit Kubur?"

"Yah... pergilah ke arah Utara, Pandu... tolong...

tolong selamatkan anakku... akhh! Aku aku

hendak menyusul... menyusul, is... istriku...

akkkhhh!"

Lalu kepala itu pun terkulai dalam pangkuan Pandu. Pandu memejamkan matanya. Menahan air matanya agar tidak jatuh. Sejak lama dia memendam keinginannya untuk memberontak dari orang-orang dajal itu, tetapi dia masih menunggu waktu yang tepat.

Sudah berulangkali dia menekan pada para penduduk, agar bersatu untuk melawan orangorang itu. Tetapi tak satu pun penduduk yang mempunyai keberanian. Padahal Pandu sudah mengatakan, biarpun mereka tidak memberontak dan melawan, tetap saja mereka akan dibunuh! Bukankah lebih baik mati dengan cara terhormat?

Dan malam itu Pandu bertekad untuk melawan orang-orang itu. Kembali dia menyelinap di kegelapan malam. Diambilnya kudanya. Lalu dilarikan menuju Bukit Kubur.

***
EMPAT
Daerah sekitar Bukit Kubur malam hari. Dari kegelapan malam, nampaklah dua bayangan kuda bergerak perlahan-lahan.

Lalu terdengar salah seorang berkata: "Kita sebaiknya bermalam di sini saja, Kakang... sebelum melanjutkan perjalanan.... Tubuhku sudah letih sekali. Dan kupikir, daerah ini aman dari gangguan orang-orang jahat "

"Benar, Rayi. Aku pun hendak mengusulkan begitu. Baiklah, kita bermalam di sini," sahut yang satu lagi.

Lalu kedua orang itu melompat turun dari kuda mereka masing-masing. Dan mengikatnya di dahan pohon. Malam berjalan terus. Kedua orang itu pun merebahkan tubuhnya di atas rumput, di balik semak. Siapakah mereka sebenarnya?

Keduanya tak lain dari Pranata Kumala dan istrinya, Ambarwati yang dalam petualangan mereka telah membawanya ke daerah di lereng Bukit Kubur.

Pranata Kumala adalah putra dari Madewa Gumilang, manusia dewa yang bergelar Pendekar Bayangan Sukma. Sedangkan Ambarwati adalah istrinya yang tercinta.

"Dingin sekali, Kakang...." terdengar suara Ambarwati sambil memeluk suaminya.

"Ya, Rayi. Biar kupeluk kau erat-erat," sahut Pranata Kumala sambil merangkul istrinya.

"Kakang... tempat ini sunyi sekali."

"Benar, Rayi. Matahari menampakkan biasnya besok pagi, kita akan segera meninggalkan tempat ini."

"Perasaanku tidak enak, Kakang "

"Tenanglah, Rayi "

"Kakang "

"Ya, Rayi "

"Sungguh, perasaanku mengatakan... akan terjadi sesuatu di sini "

"Tenang, Rayi. Tenanglah. Tidurlah... biar aku yang menjaga. "

Ambarwati mencoba memejamkan matanya. Tetapi perasaannya tetap tidak tenang. Dia pun menjadi gelisah. Pranata Kumala yang mencoba tidak perduli dengan kata-kata dan perasaan istrinya, menjadi waspada.

Dia yakin, kadang-kadang perasaan perempuan lebih tajam dari pada perasaan laki-laki.

Dia pun menjadi siaga.

Waspada dengan suasana di sekitarnya. Matanya nyalang memperhatikan segala sesuatu yang ada di sekitar lereng Bukit Kubur.

Sementara istrinya masih belum bisa memejamkan matanya. Masih merasa akan ada sesuatu yang terjadi.

"Kakang "

"Ya, Rayi "

"Aku susah tidur, Kakang "

"Tenanglah, Rayi tidurlah dengan tenang. Ayo, tidurlah. Besok kita akan meneruskan petualangan kita, bukan?"

Ambarwati mengangguk. Yah, rencana perjalanan ini mereka lakukan untuk bertualang dan mencari pengalaman. Itu pun sudah disepakatinya. Bagi Ambarwati, ini adalah dunia lain yang mana dulu dia adalah gadis yang manja sebelum menikah dengan Pranata Kumala (baca: Pendekar Kedok Putih).

Dan tiba-tiba saja Pranata menangkap suara derap langkah kuda mendekati Bukit Kubur. Dia menjadi siaga. Begitu pula dengan istrinya.

"Siapa, Kakang?" tanya Ambarwati dengan bersiaga pula. Dia memegang tangkai pedangnya yang tersampir di punggungnya.

"Aku belum tahu, Rayi. Nampaknya ada dua ekor kuda yang menuju ke mari!"

Samar-samar keduanya mendengar seorang gadis menjerit-jerit minta dilepaskan.

"Lepaskan aku! Lepaskan aku, Manusia busuk! Lepaskan! Lebih baik kalian bunuh saja aku! Ayo, bunuh saja! Lepaskan aku! Lepaskaaaaannn!"

Terdengar pula bentakan keras yang menggema di sekitar lereng bukit, "Diam!"

Lalu terdengar suara, "aakhh!" yang cukup keras. Rupanya yang membentak tadi telah menotok urat suara yang menjerit-jerit itu.

Ambarwati memegang lengan suaminya, "Nampaknya ada yang tidak beres, Kakang "

"Benar, Rayi "

"Gadis itu sepertinya membutuhkan pertolongan," kata Ambarwati yang tak tahan mendengar jeritan pilu yang sanggup membuat hatinya tergugah.

"Kalau itu maumu, lebih baik kita melihatnya, Rayi," kata Pranata Kumala. Dan tiba-tiba saja tubuhnya melenting ke atas, dan hinggap di sebuah dahan di atas pohon dengan ringannya. "Ayo, Rayi!"

Ambarwati pun berbuat yang sama. Dan "hup!" dengan sekali menggenjot tubuhnya, dia pun sudah hinggap di samping suaminya.

"Dari arah sana suara itu terdengar, Kakang," kata Ambarwati sambil menunjuk ke Selatan.

"Benar, Rayi. Hei, tidakkah kau lihat sekarang, ada dua ekor kuda yang mendekat ke mari. Dan di salah satu kuda, ada sosok tubuh yang terkulai "

"Rupanya dia yang menjerit minta dilepaskan tadi, Kakang Kalau begitu, agaknya kedua orang

itu manusia-manusia jahat yang kerjanya hanya menculik anak-anak gadis orang!" kata Ambarwati dengan suara geram. Dia sangat benci dan muak melihat kenyataan itu, bahwa perempuan hanya dijadikan pemuas nafsu laki-laki. Apalagi ini dengan jalan yang sadis dan kekerasan. 

Pemerkosaan! Ah, betapa mengerikannya bila hal itu menimpa salah seorang perawan. Diperkosa! Duh, betapa menyakitkan! Lebih mengerikan daripada kematian sekalipun! Orang yang diperkosa akan hancur masa depannya dan harga dirinya. Ini sungguhsungguh sangat mengerikan.

Dan Ambarwati sangat marah bila hal ini terus menerus terjadi. Dia saja hampir mengalami hal yang mengerikan itu. Pertama dari Sengkawung, Ketua Partai Pengemis Sakti (baca: Pendekar Kedok Putih). Kedua dari Laksamurka. salah seorang dari manusia srigala (baca: Sepasang Manusia Srigala).

"Rayi...." panggil Pranata Kumala yang melihat wajah istrinya nampak geram.

"Ya, Kakang "

"Kita akan menolong gadis itu."

"Bagus, Kakang. Tanganku pun sudah gatal ingin menghajar kedua manusia durjana itu yang kerjanya hanya memetik bunga-bunga yang sedang mekar saja!"

"Hei, tunggu dulu, Rayi... kalau tidak salah lihat, mataku menangkap sosok kuda yang mengikuti kedua orang itu...." kata Pranata Kumala sambil memicingkan matanya.

Ambarwati pun berbuat yang sama.

"Benar, Kakang... tapi, ah, siapa lagi kalau bukan teman kedua manusia itu!"

"Mungkin juga... tapi... kau lihat Rayi, orang itu sambil berkuda melepaskan anak panah dari busurnya! Lihat, panah itu melesat ke arah dua penunggang kuda yang berada di depannya. Lihat!" Di hadapan mereka yang masih cukup jauh, dua sosok penunggang kuda melompat bersalto menghindari sambaran anak panah yang melesat cepat.

Salah seorang penunggang itu dengan sigap menyambar sosok tubuh yang terkulai yang ada di atas kudanya, dan bersalto dengan Lidahnya.

"Bangsat! Siapa yang berbuat begini?!" bentaknya geram.

Di atas pohon tempat persembunyiannya, Pranata Kumala berkata, "Dugaanmu salah, Rayi....

Nampaknya yang datang belakangan tidak menunjukkan persahabatan dengan penunggang yang ada di depannya. "

"Benar, Kakang Agaknya mereka juga bermusuhan... Kakang "

Di hadapan mereka kini terlihat dua orang yang bersalto tadi menjadi siaga dan mencari-cari pembokong mereka. Namun orang itu tak nampak.

"Dia bersembunyi di balik semak itu, Kakang "

kata Ambarwati.

"Benar, Rayi... Dia tengah menyiapkan panah kembali. Dia penembak yang jitu."

Orang yang sedang menyiapkan panahnya kembali itu tak lain adalah Pandu, yang sedang mengejar orang-orang yang menculik kekasihnya ke Bukit Kubur.

Sebenarnya anak panah dan busur itu adalah untuk berburu, yang setiap saat terikat pada kudanya.

Dan sekarang digunakan untuk menghantam kedua manusia dajal yang menculik kekasihnya. Sedangkan yang menculik itu adalah Sura Jaya dan Tugi Sama, dua orang dari Gerombolan Carok dari Barat yang ditugaskan Agung Seta untuk menculik seorang gadis yang akan dipersembahkan pada Datuk Tumbalpala di Bukit Kubur.

"Cepat kau keluar, Pembokong pengecut!" bentak Sura Jaya jengkel, sementara Tugi Sama sudah menurunkan Tari yang kini dalam keadaan pingsan. Karena letih berteriak-teriak juga karena kekuatan yang sangat dalam.

Suara Sura Jaya disumbat dengan sambaran anak panah yang melesat dengan cepat. Desingan angin yang ditimbulkan oleh anak panah itu terdengar oleh telinga Sura Jaya. Dengan cepat pula dia berguling menghindari anak panah itu yang kini menancap di batang pohon.

"Bangsat! Ke luar kau pembokong pengecut!" geram Sura Jaya makin jengkel. Dan dia segera mengeluarkan senjata cakramnya dari balik bajunya. "Bila kau tidak keluar sampai hitungan ketiga, cakram ini akan meratakan semak-semak dan belukar yang ada di sini, juga tubuh pengecutmu akan mampus sejajar dengan tanah! Satu "

Tak ada tanda-tanda yang keluar dari tempat mana pun.

"Dua!"

Hal yang sama terjadi. Sura Jaya menunggu dengan geram. Tugi Sama pun tak kalah jengkelnya. Bukankah ini berarti keterlambatan mereka untuk mengirimkan anak perawan pada Datuk Tumbalpala? Kalau terlambat, atau lewat tengah malam, mereka tak bisa membayangkan apa yang terjadi nanti. Betapa besar pasti kemarahan Datuk Tumbalpala.

"Sura! Cepat kau bereskan manusia pengecut itu! Ingat, kita tidak punya banyak waktu untuk memberikan persembahan ini kepada Datuk Tumbalpala!"

"Baik, Tugi Sama," kata Sura Jaya. Lalu berseru. "Hei, manusia pengecut! Kau belum juga mau keluar! Baik, ini hitungan ketiga! Kuberi kau waktu sepuluh detik untuk keluar dan minta maaf! Tiga!"

Detik ke detik mereka menunggu. Tapi tak ada bayangan yang keluar satu pun. Sura Jaya tak bisa menahan rasa emosinya karena merasa dipermainkan.

"Baik, kini aku tak sungkan-sungkan lagi!"

Lalu tangannya bergerak, mengayunkan dan melemparkan cakramnya. Cakram itu mendesing seperti suara ribuan tawon menyerang. Dan membabat apa saja yang menghalanginya.

Pandu yang sudah menyaksikan kehebatan senjata yang dimiliki oleh gerombolan Carok dari Barat, cepat berguling menyingkir agak jauh dari mereka. Bahkan dia nekat, melewati sebelah kanan sambil terus berguling menghindari cakram yang terus menderu, dia memutar dan kini berada di belakang kedua orang itu. Ini merupakan lingkaran sasaran yang tak bisa dijangkau oleh benda bergerigi itu.

Sementara di atas pohon, Pranata Kumala mendecak kagum.

"Luar biasa, Rayi! Kau lihat benda itu, berputar bagaikan memiliki mata! Dan suaranya pun menderu menimbulkan getaran angin yang cukup kuat!"

"Iya, Kakang. Lihatlah, benda itu membabat apa saja yang ada di hadapannya. Seolah benda itu begitu patuh pada pemiliknya! Bukankah itu senjata yang sangat luar biasa, Kakang? Bukan main!"

"Benar, Rayi... sungguh aneh senjata itu! Kau dengar saja derunya!"

Di hadapan mereka, benda yang berbentuk cakram bergerigi yang dilemparkan oleh Sura Jaya membabat habis rerumputan, semak dan pohonpohon kecil yang ada di sana.

Tetapi bayangan sang pembokong tak nampak sedikit pun.

Di atas Pranata berkata lagi, "Hmm... aku tahu sekarang, Rayi. Benda itu sudah dialiri tenaga dalam oleh pemiliknya. Berarti, untuk memunahkan laju benda itu, harus membunuh atau melukai sang pemilik. Karena dari dialah sumber kekuatan benda itu!"

"Kau lihat sekarang, Kakang... penyerang gelap itu sudah menyiapkan kembali anak panahnya."

Di bawah, Pandu yang kini membelakangi kedua orang itu, memang sudah menyiapkan anak panahnya. Lalu ditariknya busurnya dan melesatlah anak panah itu secepat kilat.

Tetapi dua orang dari gerombolan Carok itu bukanlah orang-orang yang mudah dibokong begitu saja. Begitu angin yang ditimbulkan oleh anak panah itu terasa, Tugi Sama dengan cepat melemparkan pula cakramnya.

Dan menyambut anak panah yang melesat. "Trangg!"

Keduanya berbenturan dan menimbulkan suara yang lumayan keras.

"Anjing buduk!" memaki Tugi Sama. "Rupanya pembokong busuk itu berada di belakang kita!"

Melihat gelagat yang tidak menguntungkan karena tempatnya kini diketahui kedua orang itu, Pandu cepat menyelinap di balik semak.

Namun kedua orang itu sudah tak mau bertindak tanggung-tanggung lagi. Serentak keduanya memanggil pulang senjata cakramnya masingmasing dan melemparkannya kembali secara bersama-sama ke arah tempat persembunyian Pandu.

Mau tak mau Pandu melesat melompat keluar. "Rupanya itu pembokong pengecut!" bentak Sura Jaya.

"Kita habisi saja sekarang! Aku tak boleh terlambat untuk tiba di Bukit Kubur!"

Kembali dua buah senjata cakram menerjang mencari sasaran. Sebisanya Pandu melompat ke sana ke mari.

"Kakang...." kata Ambarwati di tempat persembunyiannya. "Kita harus menolong orang itu. Nampaknya dia sangat terdesak sekali."

"Benar, Rayi! Nyawanya terancam!"

Sementara dua buah cakram bergerigi itu terus mengejar Pandu, seakan mengajak Pandu untuk bersama-sama ke tempat maut. Pandu sendiri sebisanya menghindar, dia tak mau kena makan oleh senjata itu.

Rupanya secara diam-diam Pandu memiliki sedikit kepandaian bersilat, hingga tubuhnya dapat bergerak dengan lumayan cepat.

"Tugi Sama! Kau bawalah gadis itu ke Bukit Kubur! Cepat, kulihat bulan di atas sebentar lagi berada tepat di kepala kita!" kata Sura Jaya sambil terus mencecar Pandu dengan cakram yang sudah dialiri tenaga dalam.

"Baiklah kalau begitu!" Tugi Sama menarik pulang senjata cakramnya.

Lalu dia menghampiri Tari yang masih dalam keadaan pingsan. "Kita jalan-jalan lagi, Manis!" desisnya sambil memanggul tubuh Tari kembali.

Dengan sekali lompat Tugi Sama sudah berada di atas kudanya dan memacunya dengan cepat.

"Tariiii...!" jerit Pandu yang melihat kekasihnya kembali dilarikan. Dia bermaksud hendak mengejar, tetapi sambaran cakram itu menghalanginya.

Bahkan menyambar bagian bahu sebelah kanannya.

"Akkkhh!" tubuh Pandu bergulingan. Lalu ditekapnya bahunya yang mengeluarkan darah. Matanya melotot nyalang. "Bangsat!"

Sura Jaya terbahak.

"Sebentar lagi kau akan mampus setan!" geramnya sambil menangkap pula cakramnya dan hendak dilemparkannya lagi ke arah Pandu yang nyalang dengan tatapan marah.

Tetapi tiba-tiba selarik sinar merah melesat ke arahnya. Mengurungkan niat Sura Jaya untuk melemparkan cakram itu.

"Anjing buduk!" makinya sambil bersalto. "Siapa yang berani menyerang Sura Jaya dengan keadaan pengecut seperti ini, hah?! Cepat keluar!"

***
LIMA
Mendadak dari atas sebuah pohon melihat dua sosok tubuh dan hinggap dengan ringannya di depan Sura Jaya. Sura Jaya melotot marah. Dia bersyukur dapat menghindari serangan gelap itu. Bila tidak, maka hancurlah tubuhnya termakan pukulan sinar merah yang dilepaskan oleh Pranata Kumala.

Melihat keadaan Pandu yang sudah terdesak dan terluka, Pranata akhirnya tidak tahan untuk membantu. Maka dilepaskannya pukulan sinar merahnya.

"Maafkan aku, Ki sanak... yang kiranya mengganggu dan sok ikut campur dalam masalah ini "

kata Pranata Kumala sambil menjura yang diikuti oleh istrinya.

Sikapnya santun.

Tetapi di mata Sura Jaya, keduanya adalah manusia-manusia yang harus dihabisi dan dimampusinya, karena berani-beraninya turut campur dalam urusannya.

"Bangsat! Siapa kalian!" maki Sura Jaya dengan kejengkelan yang amat luar biasa.

Masih tetap dengan suara yang santun, Pranata Kumala menjawab, "Sekali lagi maafkan kami, Ki sanak. Namaku... Pranata Kumala dan ini istriku... Ambarwati.... Kami mengucapkan salam perkenalan pada Ki sanak."

"Bangsat! Jangan kalian berbasa-basi segala! Kalian telah membuat kelancangan di sini! Dan kalian tengah berkenalan dengan salah seorang gerombolan Carok dari Barat "

"Kalau begitu adanya... salam perkenalan dari kami untuk Gerombolan Carok dari Barat...." kata Pranata pula, masih tetap menjura.

Sikap Pranata Kumala yang masih santun, malah membuat Sura Jaya murka. Pikirnya sikap itu sangat merendahkannya karena selama ini Sura Jaya tak pernah berbuat santun. Dia hidup dalam alam kekerasan.

"Bangsat! Kau harus mampus di tanganku!" 

"Tenang, Ki sanak. Kalau boleh kami tahu, siapakah nama Ki sanak gerangan?" 

"Hmm namaku Sura Jaya!"

"Sura Jaya... sejak tadi kami memperhatikan sepak terjang dari Ki sanak. Dan nampaknya Ki sanak beserta teman Ki sanak yang pergi membawa seorang gadis, tidak bersahabat dengan Saudara yang terluka itu. Benarkah dugaan saya adanya?"

"Benar sekali, Orang lancang! Kami memang tak bersahabat dengan pemuda yang terluka itu! Nah, kau mau apa?" balas Sura Jaya dengan nada congkak. Sementara itu Pandu yang merasa tertolong oleh Pranata Kumala menjadi heran. "Siapakah dia? Mengapa menolongku?" tanyanya dalam hati.

Tetapi dia merasa berterima kasih sekali karena merasa diselamatkan nyawanya oleh Pranata Kumala. Bahkan dia berharap, orang yang telah menolongnya itu dapat membantunya. Juga membantu desanya dari cengkraman orang-orang jahat dari Gerombolan Carok dari Barat.

Lalu didengarnya lagi suara dari Pranata Kumala, "Hm... kalau boleh aku tahu ada masalah apakah gerangan?"

"Orang lancang! Kau tak boleh tahu apa yang terjadi di antara kami! Nah, sebaiknya kau menyingkir saja dari sini! Tapi... hehehe... kau tinggalkan istrimu itu untukku! Agaknya dia cukup hangat untuk menemaniku tidur... hehehe!"

Pranata mencoba menahan emosinya, istrinya dilecehkan.

Tetapi lain dengan Ambarwati atau istrinya, yang sangat geram oleh Sura Jaya. Tanpa banyak cakap lagi, dia melompat sambil mencabut pedangnya menyerang Sura Jaya.

"Mulutmu kotor, Sura Jaya!" bentaknya. "Hehehe... ternyata galak juga betina ini!" sambil

menyambut serangan, Sura Jaya keluarkan katakata yang kotor, "Tapi lumayan untuk menemaniku tidur... hehehe!"

Sura Jaya bersalto ke belakang. Pikirnya dia mampu dengan mudah menghindari serangan pedang Ambarwati. Tetapi ia menjadi terkejut ketika pedang Ambarwati menyerangnya susul menyusul. Cepat. Tangkas.

Dan mengejutkan.

"Hei! Rupanya berisi juga betina ini!" makinya sambil menghindar dan membalas.

"Keluarkan semua kebisaanmu, Sura Jaya! Mulutnya patut dibungkam oleh pedangku ini!" seru Ambarwati dan terus menyerang dengan cepat.

Sura Jaya pun tak mau menganggap remeh lagi. Dia pun membalas dengan satu pukulan ke depan, namun buru-buru ditariknya tangannya karena pedang yang di tangan Ambarwati mengibas dengan cepat.

Dan bergerak dengan satu tusukan ke perut.

Membuat Sura Jaya melompat ke samping dan melancarkan satu tendangan ke arah kemaluan Ambarwati.

"Heit! Cabul!" maki Ambarwati sambil melenting ke belakang dan hinggap dengan ringannya.

Sementara Sura Jaya sudah bangkit berdiri dan terkekeh.

"Hehehe... lumayan, lumayan kau, Manis. Ayo... buat apa kau bersusah payah untuk membunuhku! Ayo, ikutlah denganku... kau akan kuberikan emas dan intan yang banyak... hehehe!"

"Cabul!" bentak Ambarwati yang sangat tidak tahan mendengar kata-kata busuk itu. Lalu dia menerjang lagi kali ini dengan gerakan cepat.

Pedangnya pun menyambar-nyambar.

Pranata Kumala membiarkan saja istrinya mengumbar kemarahannya. Dia pun sebenarnya sudah tidak dapat menahan emosinya karena katakata jorok itu.

Tetapi dia ingin mengukur sampai di mana kehebatan Sura Jaya.

Sedangkan Pandu merasa heran karena Pranata Kumala tidak menolong atau pun membantu istrinya. Bila dia yang mengalami hal seperti itu, sudah dibunuhnya manusia yang berani menghina istrinya dengan kata-kata busuk seperti itu!

Sementara Ambarwati terus menyerang dengan hebat. Sura Jaya pun melayaninya dengan hebat pula.

Suatu ketika padang Ambarwati bergerak cepat dan menyambar ke bagian kaki Sura Jaya. Sura Jaya sambil memekik terkejut melompat ke atas dan kesempatan itu dipakai oleh Ambarwati dengan menyambarkan pedangnya ke kepala Sura Jaya yang tak ada kesempatan lagi untuk menghindar.

Namun sungguh di luar dugaan Ambarwati. Dalam posisi yang cukup berbahaya itu, Sura Jaya dengan kecepatan per detik melemparkan cakramnya.

"Siiingg!"

Siap mencabut nyawa Ambarwati.

Serentak Ambarwati mengurungkan niatnya untuk menebas kepala Sura Jaya. Dibelokkannya pedangnya ke arah cakram itu.

"Traaaaanggg!"

Dua senjata itu pun beradu.

Ambarwati merasakan tangannya kesemutan. Sedangkan senjata cakram milik Sura Jaya tak bisa kembali pada tuannya. Karena tenaga dalam yang dikerahkan oleh Ambarwati lebih besar, sebab pedang itu berada di tangannya, dialiri langsung oleh tenaga dalamnya. Sedangkan cakram milik Sura Jaya hanya dialiri oleh tenaga dalam dari jarak jauh.

Hingga cakram itu akhirnya jatuh ke tanah.

Dan sulit untuk ditarik kembali melalui tenaga dalam yang dialiri dari jarak jauh.

Sura Jaya mencoba menubruk senjata cakramnya karena dilihatnya gelagat yang tidak menguntungkan.

Namun Ambarwati lebih cepat bergerak. Pedangnya menyambar.

"Creess!"

Pedang itu mengenai tangan kanan Sura Jaya hingga buntung.

Terdengarlah raungan kesakitan yang terlontar dari mulut Sura Jaya membelah malam.

Menyayat.

Dan mencekam.

Lalu tubuh itu ambruk, bergulingan di tanah dengan menahan rasa sakit yang luar biasa.

Ambarwati menghentikan serangannya.

"Hhh! Seharusnya kututup mulutmu dengan pedangku, Manusia cabul!" geramnya.

Namun tiba-tiba, sungguh tiba-tiba, sebatang anak panah meluncur dengan deras ke arah Sura Jaya.

Sura Jaya yang dalam keadaan kesakitan tak mampu lagi untuk menghindar. Tanpa ampun lagi, anak panah itu tepat mengarah ke jantungnya. "Akkhhhh!"

Tubuh itu kelojotan sejenak. Lalu ambruk meregang nyawa dengan tangan yang buntung akibat tebasan pedang Ambarwati yang keras.

Ambarwati terkejut.

Begitu pula dengan Pranata Kumala.

Sementara Pandu yang melepaskan anak panah itu tersenyum puas.

"Rasakan kematianmu, Manusia dajal!" rutuknya sambil meludah.

"Ki sanak... mengapa kau lakukan itu?!" seru Pranata Kumala yang tidak menyangka hal itu akan terjadi. Bila dia tahu, tentunya akan dilarangnya.

Mendengar suara yang penuh nada teguran itu, membuat Pandu menoleh dan menjura.

"Maafkan saya, Kakang Pranata... Nama saya Pandu... pemuda desa dari Jati Gede "

Sikap pemuda itu yang sopan membuat Pranata menurunkan nada suara mendengusnya. Dia mendesah panjang.

"Tentunya kau sudah mengetahui namaku dan nama istriku tadi "

"Benar, Kakang Pranata."

"Pandu... mengapa kau bunuh Sura Jaya?" tanya Pranata Kumala kemudian.

"Maafkan saya, Kakang.... Tetapi manusia seperti dia memang harus dibunuh. Sudah banyak nyawa yang dicabutnya tak ubahnya bagai malaikat pencabut nyawa."

"Baiklah... ceritakanlah mengapa sampai kau melakukan hal seperti itu. Terutama lagi, mengapa nampaknya kau bermusuhan dengannya, salah seorang dari Gerombolan Carok itu?"

Lalu Pandu pun menceritakan apa yang telah menimpa desanya. Bagaimana keadaan desanya yang menjadi bagai neraka sejak orang-orang itu datang. Dia pun menceritakan bagaimana nasib penduduk yang harus tunduk diperintah apa saja, bila tidak mau menjalankan perintah dari gerombolan itu, maka mautlah taruhannya. Belum lagi dengan nasib para kaum wanita yang dijadikan pemuas nafsu orang-orang itu.

"Begitulah, Kakang... keadaan desa kami menjadi sangat mengerikan sekali...." kata Pandu di akhir ceritanya. "Itu sebabnya saya menjadi geram melihat Sura Jaya masih hidup. Dan keinginan untuk membunuhnya sudah gatal sekali rasanya. Bila saya tidak membunuhnya, ini akan mengakibatkan penyesalan yang besar bagi saya dalam hidup saya!"

Pranata Kumala pun menjadi maklum.

Tiba-tiba Ambarwati berkata, "Oh! Bagaimana dengan gadis yang dilarikan itu?"

Mendengar kata-kata Ambarwati, Pandu seperti disadari kembali akan nasib kekasihnya Tari yang diculik oleh Tugi Sama dan dilarikan ke atas Bukit Kubur.

"Oh, Tuhan! Tariii!" desisnya.

Pranata menjadi sigap melihat kepanikan Pandu.

"Tenang, Pandu... sebaiknya kita tenang dulu." 

"Tapi... tapi... dia... oh, Tari kasihku... bagaimana nasibmu sekarang?" Pranata pun menenangkan kembali Pandu. "Tenanglah... sekarang ceritakan nasib apa yang telah menimpa kekasihmu itu "

Lagi Pandu bercerita tentang setiap malam Jumat seorang anak perawan dari desa Jati Gede diculik. Entah dipersembahkan kepada siapa.

"Tetapi yang pasti dibawa ke Bukit Kubur." 

"Kalau begitu... sebaiknya kita cari kekasihmu itu," kata Pranata Kumala akhirnya.

***
ENAM
Sementara itu di dalam goa yang terdapat di atas Bukit Kubur, datuk sesat Tumbalpala tengah menyiapkan beberapa ramuan di dalam kuali besar. Dan menggodoknya.

Datuk bertubuh kerempeng itu sekali-sekali melirik pada Tari yang kini terlentang dalam keadaan terikat di atas sebuah batu yang berbentuk dipan.

Dan di sampingnya Tugi Sama duduk bersimpuh memperhatikan apa yang sedang diperbuat datuk Tumbalpala.

"Hahaha... dengan darah perawan yang menyembur dari kemaluan anak perawan ini, maka sempurnalah sudah ilmu yang kupelajari ini! Hahaha. sebentar lagi, sebentar lagi aku akan turun

bukit untuk menantang jago-jago rimba persilatan hahaha!"

Tari yang sudah sadar dari pingsannya terkejut melihat dirinya terlentang terikat, juga kaget begitu mengetahui di mana dirinya berada.

Dia mencoba meronta, namun ikatan itu terlalu kuat untuk diputuskannya.

Tumbalpala bangkit dari duduknya, lalu berjalan mendekati Tari yang langsung menutup matanya melihat betapa buruknya dan mengerikannya wajah manusia kerempeng ini.

"Hihihi... mengapa kau tutup matamu, Manis... sebentar lagi... sebentar lagi akan kuperas darah keperawananmu dan kuminum setelah kucampurkan dengan ramuanku itu... Hahaha... dan selesailah sudah ilmu yang akan kupelajari... yang membuatku tak mempan oleh senjata sakti apa pun dan pukulan sakti macam apa pun... hahaha!" 

"Lepaskan aku... lepaskan aku, Orang kerempeng!" maki Tari masih dengan menutup matanya.

Wajah yang terpampang di hadapannya sungguh menakutkannya.

"Hahaha... lepaskan? Hahaha... orang kerempeng? Oh, Manis... mengapa kau tutup matamu, hah? Bukankah wajahku cukup tampan untuk dinikmati... hahaha?"

Tangan Tumbalpala menggerayang ke dada Tari yang menjerit-jerit minta dilepaskan. Betapa menakutkannya detik ke detik yang harus dilaluinya. Mengerikan.

"Hahaha... tubuhmu, oh, tubuhmu montok sekali, Manis... sayang... aku tak butuh tubuhmu... aku hanya butuh darah perawanmu yang akan kusedot dengan mulutku... hahaha... kau akan merasakan keenakan... kau akan merasakan kegelian... hahaha "

"Lepaskan, lepaskan aku, Kerempeng! Lepaskan... tolong oh, tolong aku!" jerit Tari dengan suara yang menyayat. Ketakutannya sangat menjadi-jadi.

"Hehehe... bukalah matamu, Manis bukalah.... Nikmatilah wajahku yang tampan ini...." kata Tumbalpala masih tetap menggerayang tangannya.

Dan tiba-tiba tangan kanannya menotok urat mata Tari, hingga gadis itu terbelalak dengan terpaksa dan sulit untuk dipejamkan kembali matanya.

"Hehehe... bukankah dengan begitu kau lebih leluasa menikmati wajahku... Aduh, betapa montoknya dadamu ini "

Tiba-tiba tangan itu bergerak dengan cepat. "Breeet!"

Baju di bagian dada Tari terbuka, menampakkan sepasang buah dadanya yang montok.

"Benar dugaanku... benar sekali... oh, betapa indahnya... hehehe... indah sekali "

Sementara Tugi Sama melotot melihat keindahan buah dada milik Tari. Diam-diam dia menelan ludahnya.

"Hei!" dirasakannya sebuah sambaran menepak kepalanya. "Jangan melotot, ke sini!"

"Oh... maafkan saya, Datuk...." kata Tugi Sama terkejut dan buru-buru memalingkan wajahnya. Sialan, ketahuan lagi! Bukankah itu sebuah pemandangan yang sangat mengasyikan mata?

Tari menangis dalam hati. Malunya minta ampun. Apalagi ketika tiba-tiba saja datuk kerempeng itu membuka celananya sendiri sambil terkekeh.

"Hehehe... bagaimana dengan tubuhku, Manis? Ayo, nikmatilah tubuhku ini, Manis... nikmati lah "

Tari hanya bisa mengeluh. Matanya mau tak mau tetap terbuka, karena dalam keadaan tertotok. Ini membuat Tari semakin mau mati saja. Karena pemandangan di hadapannya berubah menjijikkan di samping menyeramkan dan menakutkannya.

"Hahaha. bagus, bukan?"

Sementara Tugi Sama mau muntah melihat tubuh datuk Tumbalpala itu telanjang bulat. "Kambing diberi obat perangsang pun belum tentu mau sama datuk itu," katanya dalam hati.

Tiba-tiba datuk sesat itu mendongak, menatap langit-langit goa.

Dia bergumam, "Hmm... agaknya waktu telah datang, Manis. Nah... bersiaplah untuk kusedot darah perawanmu dan kucampurkan dengan ramuan sakti buatanku.... Hahaha... kau sudah siap, Manis?"

Detik ke detik semakin mencekam dirasakan Tari. Kejadian-kejadian yang tadi dialaminya saja sudah sangat mengerikan dan menakutkan, belum lagi dengan kejadian selanjutnya.

Tumbalpala mengenakan kembali pakaiannya.

Lalu berjalan ke kuali ramuannya. Dia mengaduk-aduk sebentar.

Lalu diambilnya anglo dan dibakarnya dupa hingga mengeluarkan asap tebal dan bau yang menusuk.

Dia duduk bersila di depan dupa itu. Mulutnya berkomat-kamit.

Dan tiba-tiba dia berdiri. Wajahnya kali ini terlihat lebih mengerikan. Sepasang matanya menyalanyala. Alisnya bergerak ke atas. Mulutnya tersenyum mengerikan.

Dia tak ubahnya iblis belaka.

Tugi Sama sendiri terkejut melihat perubahan wajah Tumbalpala.

Dan perlahan-lahan Tumbalpala melangkah mendekati Tari yang menjerit ketakutan melihat wajah yang semakin menyeramkan. Gadis itu mendadak pingsan karena tak tahan melihat wajah itu. Sungguh mengerikan.

Tiba-tiba Tumbalpala mengikik. Suaranya mirip kuntilanak yang sangat mengerikan.

Tiba-tiba lidahnya terjulur keluar.

Dan dengan sekali jambret, Tumbalpala melucuti pakaian Tari hingga gadis itu bertelanjang bulat. Lalu datuk sesat itu pun berjalan mendekati pangkal paha Tari yang masih dalam keadaan pingsan. Lidah Tumbalpala makin terjulur. Matanya tetap memerah. Dan perlahan-lahan kepalanya mendekati kemaluan Tari yang terbuka lebar.

Siap untuk menyedot darah perawan Tari hingga habis dan gadis itu akan mati dengan tubuh kering dan hangus. Tak ubahnya tubuh terbakar api.

Namun mendadak saja, kepala Tumbalpala berpaling ke kiri. Telinganya yang terlatih untuk mendengar bunyi yang sekali pun, menangkap suatu gerakan yang mencurigakan dari luar sana.

Tugi Sama pun mendengarnya. Dan bersiap.

Dia merasa beruntung karena mendengar suara itu. Baginya melihat Tumbalpala menyiangi korbannya sangat mengerikan sekali.

Tugi Sama segera melompat. "Siapa di sana?!" bentaknya.

Lalu muncullah tiga sosok tubuh dari pintu goa bagian dalam. Ketiganya tak lain dari Pranata Kumala, Ambarwati dan Pandu. Bila mereka terlambat sedetik saja, tamatlah riwayat Tari, mati dengan keadaan tubuh kering kerontang.

Mereka melihat satu pemandangan yang mengerikan di hadapan mereka. Kening ketiganya berkerut ketika beradu pandang dengan Tumbalpala.

"Mayat hidupkah?" tanya ketiganya dalam hati. Namun begitu melihat keadaan Tari yang telan-

jang bulat dan pingsan, membuat jantung Pandu berdetak lebih cepat. Bersamaan dengan kemarahannya yang naik sampai ke ubun-ubun dan siap meledak.

"Tari!" panggilnya dan hendak memburu. Tetapi tangannya ditahan oleh Pranata.

"Hati-hati, Pandu... agaknya orang kerempeng yang mirip mayat hidup itu sangat berbahaya. Tidakkah kau melihat sepasang matanya yang nyalang siap memangsa siapa saja?"

Pandu menelan ludahnya. Hatinya galau dan pilu menyaksikan keadaan kekasihnya.

"Hahaha... tikus-tikus cilik, selamat datang di kediaman Tumbalpala, majikan Bukit Kubur!" manusia kerempeng itu terbahak dengan sikap yang mengerikan.

Ambarwati sendiri berusaha menenangkan hatinya. Dia merasakan getaran angin yang cukup kuat menerpa telinganya saat orang kerempeng itu bersuara.

Begitu pula yang dirasakan oleh Pranata Kumala dan Pandu. Desiran angin itu cukup kuat terasa. Pranata bergumam dalam hati, "Bukan main tenaga dalam yang dimiliki manusia kerempeng itu."

Sementara Tugi Sama mendengus begitu mengenali salah seorang di antara ketiga orang itu.

"Hhh! Kau rupanya pembokong busuk! Punya nyali juga kau mendatangi tempat ini, haha?! Rupanya kau memang ingin mati!"

"Hhh! Manusia busuk! Kau yang akan mati, menyusul kawanmu yang telah mampus menjadi mayat!"

"Bangsat!" geram Tugi Sama murka. "Kau telah membunuh Sura Jaya?!"

Pandu melipat kedua tangannya di dada. "Hmm... sebentar lagi nyawamu yang akan kucabut, untuk menemani temanmu di neraka sana!"

Sehabis berkata begitu, Pandu segera memasang anak panahnya pada busurnya. Tetapi satu gerakan telah dilakukan oleh Tugi Sama dengan melemparkan cakramnya.

"Wuuut! Siiingg!"

Cakram itu bergerak menghantam busur yang dipegang Pandu dan kembali lagi pada tuannya.

Pandu sendiri terkejut melihat serangan yang mendadak itu. Tangannya terasa kesemutan oleh getaran yang cukup kuat yang menimpa tangannya.

"Anjing!" makinya.

"Hahahaha. " terbahak Tugi Sama.

Tiba-tiba terdengar bentakan dari belakangnya dengan suara yang angker penuh tenaga dalam. "Tugi Sama! Hantam mereka! Dan bunuh!"

"Baik, Datuk!"

"Cepat! Aku harus menyelesaikan ilmuku sekarang juga!" kata Tumbalpala dan kembali mendekatkan kepalanya pada pangkal paha Tari.

Melihat bahaya hendak menimpa gadis itu, Pranata Kumala cepat bersalto sambil melancarkan pukulan sinar merahnya.

"Siiing!"

Secepat kilat Tumbalpala tarik kepalanya kembali. Dan menoleh dengan marah. Tiba-tiba dia mengibaskan tangan kanannya.

Serangkum angin besar menderu menerpa Pranata Kumala hingga jatuh terguling.

"Kakang!" jerit Ambarwati terkejut dan hendak menghampiri. Namun urung ketika dirasakannya desir angin mendekat padanya. Rupanya senjata cakram milik Tugi Sama sudah melancarkan tugasnya.

"Bangsat!" maki Ambarwati seraya bersalto menghindar. Dan segera membalas menyerang Tugi Sama dengan sambaran pedangnya.

Begitu pula dengan Pandu. Dia mengambil kembali anak panah dan busurnya. Lalu membidik Tugi Sama yang bersalto ke sana ke mari sambil mempertahankan aliran tenaga dalamnya pada cakram yang berputar-putar mencari mangsa.

Sementara itu Tumbalpala semakin murka pada Pranata Kumala karena telah mengganggu kerjanya.

Apalagi ketika dia merasakan waktu untuk menyempurnakan ilmu yang dipelajarinya telah habis. Dan tak bisa diulangi kembali.

Semua itu membuatnya makin murka. Dia kembali mengibaskan tangan kanannya dan serangkum angin besar kembali menderu pada Pranata.

Tetapi kali ini Pranata lebih sigap. Dengan gesitnya dia berguling. Namun belum lagi dia bisa bernafas dengan lega, kembali serangan-serangan itu dilancarkan oleh Tumbalpala. Membuat Pranata Kumala menjadi kalang kabut.

Tetapi tiba-tiba Pranata berseru keras dan mendadak tubuhnya melenting ke atas. Lalu dia pun segera membalas Tumbalpala dengan pukulan sinar merahnya.

"Sing!"

"Sing!"

Tumbalpala cuma terkekeh. Dan menghindar ke kiri seraya melompat menerjang dengan pukulan lurus ke depan.

Pranata merasakan angin yang keras keluar saat kepalan itu mendekati wajahnya. Buru-buru ia menunduk dan memutarkan tubuhnya ke bawah.

Lalu satu jotosan dia lancarkan pada bagian rahasia Tumbalpala. Yang segera menangkisnya dengan tangan kirinya.

Kedua tangan itu berbenturan.

Dan benturan keduanya mampu mendatangkan rasa kesemutan pada tangan Pranata. Lain halnya dengan Tumbalpala yang terkekeh-kekeh.

"Hahaha... hanya begitu saja kebisaanmu, Bocah! Tetapi kau tak akan kuampuni! Kau telah lancang membuat kesalahan di depanku! Kau mengeri?!"

"Manusia busuk! Bukankah kau sendiri yang berbuat salah! Bukankah kau yang tengah melakukan kelaknatan yang tak bisa dimaafkan?!"

"Ini demi sempurnanya ilmu yang kupelajari!" 

"Tetapi tidak dengan mengorbankan orang lain!

Darah perawan itu kau hisap, lalu kau campurkan pada ramuanmu! Bukankah itu perbuatan biadab?!"

"Hhh! Nyawamu tak akan kuampuni, Bocah! Nah, sebelum kau mampus katakan siapa kau sebenarnya!"

"Namaku Pranata Kumala dari laut Selatan. Dan perempuan itu istriku, namanya Ambarwati. Sedangkan pemuda yang sedang membantu istriku menghadapi anak buahmu, bernama Pandu! Sudah cukup puas? Sekarang siapa kau adanya, Datuk sesat?!"

"Hhh! Namaku Tumbalpala! Dan orang-orang rimba persilatan memanggilku Datuk Sesat Bukit Kubur!"

"Kau memang manusia sesat!"

"Hhh, Bocah! Kau telah menggangguku menyempurnakan ilmuku! Nah, katakan siapa gurumu, hah?!"

"Guruku majikan Gunung Muria. Beliau bernama Ki Ageng Jayasih!"

"Hmm... rupanya dia gurumu. Boleh juga. Kupikir... kau murid dari manusia dewa yang maha sakti, Madewa Gumilang alias Pendekar Bayangan Sukma! Bila iya, katakan padanya, aku pun akan menaklukkannya!"

"Apakah kau tidak jeri bila kukatakan sesuatu?" 

"Bangsat! Katakan, tak perlu menggertak!" 

"Pendekar yang namanya baru saja kau sebutkan, adalah ayahku!"

"Ayahmu?! Bagus, ini akan kuuji sampai di mana kehebatan anaknya Madewa Gumilang!"

Usai berkata begitu tubuh Tumbalpala melesat bagaikan terbang. Pranata terkejut dan sebisanya memapakinya. Dia merasakan sekujur tubuhnya bagai kesetrum saat tangannya berbenturan dengan tangan Tumbalpala.

Datuk bertubuh kerempeng itu memang luar biasa. Dia menyerang dengan sikap tenang saja, namun di balik semua itu terdapat kegeraman yang sangat luar biasa. Dan siap menyambar nyawa Pranata Kumala.

Pranata sendiri sudah mengeluarkan jurus Tangan Bayangannya. Namun jurus itu tak berarti banyak buat menghadapi datuk sesat Bukit Kubur, yang dengan sigapnya menangkis dan membalas.

Belum lagi gempuran-gempurannya yang setiap kali bagian tubuhnya bergerak menimbulkan suara atau angin yang cukup keras.

Lewat lima belas jurus, terlihat Pranata Kumala mulai terdesak. "Des!"

Satu gedoran pada dadanya membuat terhuyung ke belakang. Lalu disusul dengan sambaran lagi pada bagian punggungnya, membuat Pranata Kumala terhuyung lagi. Dan muntah darah.

"Hhh! Terimalah ajalmu, Orang iseng!" seru Tumbalpala dan segera menyiapkan satu pukulan yang terangkum di tangan kanannya.

Dan tubuh itu pun melesat. Namun kembali bersalto ketika sebatang anak panah menyambar ke arahnya.

"Setan alas!"

Maki Tumbalpala dan ganti berbalik arah melepaskan pukulannya pada Pandu yang tengah memasang kembali anak panahnya.

Namun lagi-lagi Tumbalpala urung karena selarik sinar merah melesat ke arahnya. Disusul dengan anak panah yang dilepaskan Pandu.

"Bangsat!" makinya sambil bersalto.

Sementara Ambarwati terus mengimbangi serangan-serangan dari Tugi Sama, yang dengan senjata cakramnya mampu membuat Ambarwati pun tunggang langgang. Namun dengan satu sentakan kuat, cakram itu berhasil dipukul jatuh.

Tugi Sama menjadi geram melihatnya. Dia menjerit menyerang dengan satu pukulan lurus ke depan. Ambarwati merundukkan kepalanya hingga pukulan itu mengenai angin. Lalu dengan satu tendangan memutar dia berhasil memukul bagian punggung Tugi Sama hingga tersuruk.

Dan kesempatan itu digunakan oleh Ambarwati untuk menusukkan pedangnya. Namun tanda diduganya, Tugi Sama berhasil memukul pergelangan tangannya. Hingga pedangnya terlepas.

Mendadak Ambarwati bersalto dan dengan satu gerakan yang menakjubkan diperlihatkan perempuan itu. Sambil bersalto dia menendang tangkai pedangnya yang terlepas di udara.

Des!

Tepat mengenai ujung tangkainya. Dan pedang itu meluncur dengan deras ke arah Tugi Sama yang tidak menyangka sama sekali. Lalu terdengarlah jeritan kematian menggema di dalam goa itu.

"Akkhhhhhkhhh!"

***
TUJUH
Tumbalpala sendiri kaget melihat gerakan yang hebat itu diperlihatkan Ambarwati. Namun baginya hal itu bukanlah sesuatu yang menakjubkan..

Dia terus mencecar Pranata Kumala dan Pandu. Pandu sendiri sebenarnya sudah tak bisa berbuat apa-apa. Dia pun sudah berkali-kali terkena pukulan Tumbalpala.

Sedangkan Pranata Kumala terus mencoba bertahan. "Ambar! Cepat kau bawa gadis itu, dan pergilah dari sini! Cepat!" serunya.

Ambarwati pun bergerak cepat. Dia membuka tali yang mengikat Tari dan membebaskan totokan pada urat matanya hingga matanya perlahanlahan terkatup.

Lalu dibopongnya gadis itu dan dilarikannya keluar. Melihat hal itu, Tumbalpala menjadi murka. Dia menyerang dengan satu pukulan jarak jauh. Namun Ambarwati berkelit dengan gesit. Lalu melesat keluar.

Melihat istrinya sudah berhasil melarikan gadis itu dan meloloskan diri, Pranata Kumala yang merasa tak akan bisa bertahan menghadapi serangan-serangan Tumbalpala, berseru pada Pandu.

"Pandu cepat kau tinggalkan tempat ini! Biar aku yang menahan manusia sesat ini!"

"Tapi, Kakang " desis Pandu ragu-ragu.

"Cepat kataku, cepat!"

Tanpa banyak cakap lagi, Pandu segera melesat keluar dari goa itu. Melihat seorang berhasil pula meloloskan diri, kegeraman Tumbalpala semakin menjadi-jadi.

"Kau harus mampus di sini, Bocah!" geramnya dan menyerang kembali.

Pranata sendiri dengan sebisanya melepaskan pukulan sinar merahnya berkali-kali. Dan begitu dilihatnya kesempatan untuk meloloskan diri, dia pun melesat berlari.

Dan berseru pada Pandu dan istrinya yang menunggu di luar. "Ayo pergi dari sini!" seru Pranata. Lalu ketiganya segera memacu kuda-kuda mereka berlari secepat angin.

Tumbalpala hanya tiga detik terlambat keluar. Dia menggeram marah. Wajahnya yang menyeramkan semakin tambah menyeramkan. Tiba-tiba dia menggeram.

"Bangsat! Kalian tak akan bisa lolos dari tanganku!" bentaknya keras ke penjuru Bukit Kubur. Tiba-tiba tangannya bergerak ke dinding atas pintu ke goa.

"Duar!"

Terdengar ledakan keras begitu angin yang keluar dari tangannya menyambar dinding goa. Dan mendadak saja dinding goa itu runtuh.

"Ke mana pun kalian akan kucari!" maki Tumbalpala sambil melesat meninggalkan tempat itu.

Sementara batu-batu yang berasal dari dinding goa yang dihancurkannya berguling ke bawah.

Menimbulkan suara bergemuruh.

***

Ketiga orang yang melarikan diri dari Bukit Kubur itu, tidak mengarahkan kuda-kuda mereka menuju desa Jati Gede. Tetapi mereka bersembunyi dulu di sebuah hutan. Karena menurut mereka, pasti datuk sesat itu akan mencari mereka di desa Jati Gede.

Di hutan itu, Pranata berusaha menyadarkan Tari dari pingsannya. Begitu siuman, gadis itu tersentak kaget melihat sekelilingnya gelap dan menyeramkan. Namun begitu didengarnya suara Pandu, gadis itu menjadi terisak.

"Kakang Pandu?"

"Iya, Tari... aku Pandu " kata Pandu terharu.

"Oh... Kakang!" seru Tari sambil merangkul Pandu. Kegembiraannya tak terkira. Bibirnya terus menyunggingkan senyuman yang manis.

Lalu Pandu memperkenalkannya pada Pranata Kumala dan Ambarwati yang telah membantunya membebaskan Tari dari cengkraman datuk sesat itu. Tari pun segera mengucapkan terima kasih. Lalu Pranata nampak bersemedi, untuk menghi-

langkan rasa sakit pada dadanya. Dibantu dengan Ambarwati yang mengalirkan tenaga dalamnya melalui punggungnya, dan hawa murni yang telah dibuka, rasa sakit pada dadanya berangsur-angsur mulai menghilang.

Lalu dadanya terasa pulih kembali. Ambarwati tersenyum. Tadi saat dia disuruh meloloskan diri, betapa kuatirnya melihat keadaan suaminya yang terdesak hebat oleh Tumbalpala.

"Sebaiknya kita istirahat saja dulu di sini," kata Pranata Kumala. "Besok pagi, barulah kita berangkat ke Jati Gede untuk membebaskan para penduduk dari cengkeraman orang-orang jahat itu!"

Usul itu pun disetujui. Dan mereka pun segera terlelap di dalam hutan dengan tubuh lebih yang amat sangat.

*** 
DELAPAN
Agung Seta tersentak begitu mendengar suara menggelegar membentaknya. Terdengar kalau yang membentak itu dalam keadaan marah yang amat sangat.

Agung Seta langsung melompat dari peraduannya, memakai pakaiannya kembali. Dan meninggalkan perempuan yang berada di peraduannya, yang segera menangis karena merasa bahagia terbebas dari jamahan Agung Seta lagi.

"Agung! Ke luar kau!"

Tergopoh-gopoh Agung Seta keluar. Suara itu menggelegar kembali.

"Anak monyet! Cepat keluar!"

Kini Agung Seta sudah berada di luar. Dia tak menyangka kalau yang berada di hadapannya datuk sesat Tumbalpala Begitu pula dengan temantemannya yang keluar dan tempat masing-masing.

"Ada apa, Datuk?" tanya Agung Seta dengan hormat. Dia ngeri melihat wajah mirip iblis itu tengah marah-marah. Agung Seta yang terkenal bengis, sadis dan tak berperi kemanusiaan, harus merasa jeri melihat gurunya dalam keadaan murka.

"Hhhh! Kau cari orang yang bernama Pranata Kumala, Ambarwati dan Pandu!"

"Ada apakah gerangan, Datuk? Dan siapa pula mereka, hah?" tanya Agung Seta.

"Mereka adalah orang-orang yang akan kubuat mampus! Mereka mengganggu kerjaku dalam menggarap bagian terakhir dari ilmu kebalku! Dan yang perlu kau ketahui, anak buahmu Tugi Sama dan Sura Jaya sudah mampus di tangan mereka!"

Wajah Agung Seta menjadi marah. Malam yang mendekati pagi, saat itu pula dia memerintahkan sisa-sisa anak buahnya untuk mencari ketiga orang itu. Dan malam yang hening itu harus kembali dirobek oleh hiruk pikuk dan jerit ketakutan para penduduk.

Namun bayangan ketiga orang itu tidak nampak. Begitu pula dengan Tari. Sebagian penduduk merasa gembira karena Pandu dan Tari selamat. Mereka tidak menyangka kalau Pandu akan nekat menolong kekasihnya.

Dan mereka juga gembira mendengar dua nama asing tadi disebutkan. Apakah mereka manusiamanusia penolong yang dikirimkan oleh dewata?

Namun kegembiraan itu hanya sejenak, karena Tumbalpala menjadi murka begitu Agung Seta melaporkan tak ada tanda-tanda ketiga manusia itu berada di sana.

"Bunuh semua penduduk!" serunya keras.

Dan pembantaian itu pun terjadi dengan hebat. Jerit kematian dan darah mengalir membasahi desa itu.

Agung Seta, Morodama, Wiromaya, Surapati dan Baurekso, secara membabi buta melemparkan cakram mereka yang dengan ganasnya mencari mangsa.

Di samping itu mereka juga geram dengan tewasnya lagi sahabat mereka Tugi Sama dan Sura Jaya. Namun tiba-tiba melesat selarik sinar merah dan beberapa anak panah ke arah mereka.

Semuanya tersentak kaget. Serentak Agung Seta, Morodama dan Baurekso menghindar. Namun malang bagi Wiromaya dan Surapati yang harus termakan oleh sinar merah itu dan anak panah.

"Bangsat! Cepat kalian keluar dari tempat persembunyian kalian! Jangan mirip perempuan yang hanya bisa menangis dan bersembunyi!" bentak Agung Seta sambil menarik pulang senjata cakramnya.

Dan ketiga pasang itu terbelalak ketika sosok tubuh keluar dari balik semak. Sosok tubuh gemulai dan aduhai dengan wajah jelita.

Dia tak lain adalah Ambarwati.

"Hihihi... apakah aku mirip perempuan? Aku memang perempuan! Kau salah memaki, Manusia besar!"

Dari rasa marah dan murka, Agung Seta berbalik gembira.

"Hahaha... rupanya kelinci manis yang berbuat onar seperti ini! Hei, menyerahlah kau! Sini mendekatlah padaku, biar kau kudekap dan tak kulepaskan lagi... kayaknya kau cukup layak menemaniku tidur!"

Ambarwati menekan rasa marah dan muaknya. Dia melangkah dua tindak dan berkata, "Manu-

sia-manusia bejat, hendaknya kalian tinggalkan tempat ini! Dosa kalian sudah terlampau banyak dan tak terhitung!"

"Hahaha... kau menasehatiku, Manis? Oh, itu baik sekali! Aku suka diberi nasehat oleh kelinci manis dan montok macam kau!"

Tiba-tiba terdengar suara Tumbalpala dengan nada angker.

"Agung Seta! Buat apa kau banyak cakap lagi, hah?! Cepat kau tangkap perempuan itu! Dia adalah salah seorang dari tiga pengacau yang mengganggu kerjaku! Cepat kau bereskan dia! Dan cari yang dua orang lagi! Cepat, aku sudah tidak tahan untuk menyianginya dan membunuhnya secara perlahan-lahan!"

Agung Seta mendesah pelan. Agaknya merasa sayang melihat gadis itu yang harus ditangkap dan diserahkan pada Tumbalpala. Yang tentunya akan membunuhnya dengan kejam.

Namun tak ada pilihan lain kecuali bergerak menangkap gadis itu.

Melihat gelagat yang tidak menguntungkan, Ambarwati pun meloloskan pedangnya.

"Hahaha... rupanya kelinci manis ini galak juga!

Morodama, kau tangkap dia!" seru Agung Seta.

Morodama terkekeh sambil menggebrak maju.

Ambarwati pun segera melayaninya.

Pukulan ke depan yang dilancarkan Morodama, hanya disambutnya dengan memiringkan kepalanya ke kiri.

Lalu ditebaskannya pedangnya ke arah leher Morodama yang bersalto ke belakang.

"Hebat!"

"Kau akan melihat lagi pertunjukan yang hebat sebelum lehermu putus kutebas!" seru Ambarwati. Morodama pun mempergencar serangannya. Dan serangan itu sungguh suatu serangan yang sangat cabul. Tangan-tangannya malah berusaha menyentuh dan menepuk bagian-bagian tubuh terlarang dari Ambarwati.

"Setan!" maki Ambarwati sambil menebaskan pedangnya ke tangan Morodama yang hendak menyentuh buah dadanya.

"Hehehe... kau pelit sekali, Manis. Hanya sedikit saja kusentuh tak kau perbolehkan. Kau macam apa sebenarnya, hah?! Ayolah, jangan berpurapura. Bukankah kau memang menginginkannya?!" 

"Setttaaann!" jerit Ambarwati murka. Lalu dia bergerak cepat menyerang.

Namun Morodama tetap saja mengimbanginya dengan santai. Bahkan sekali waktu tangannya berhasil menepuk pinggul Ambarwati.

"Hehehe... betapa montok dan lembutnya pinggulmu, Manis.... Buat apa kita bersusah payah bertempur? Lebih baik kau menyerahkan diri saja! Dengan senang hati kami akan menyambut kedatanganmu itu... hehehe!" tertawa Morodama sambil cengengesan.

"Setan!" maki Ambarwati geram. Lalu dengan cepat dia kembali menyerang.

Kibasan pedangnya gencar dan cepat mencari sasaran. Kali ini Morodama tidak bisa berbuat banyak, karena dia tengah melawan Ambarwati yang tengah murka.

Dan di ambang kewalahannya, Morodama tibatiba bersalto dan mencabut senjata cakramnya. Lalu dilemparkannya pada Ambarwati yang masih terus menyerang. "Wuutt! Suiiing!" Sambaran angin dan desing suara senjata itu bagaikan maut yang siap menjemput. Dan seakan ada ribuan tawon yang menyerbu dengan sengatan-sengatan yang mematikan.

Sebisanya Ambarwati menangkis, menghindar, bergulingan menghindari sambaran-sambaran cakram itu.

Namun tiba-tiba senjata yang cukup aneh itu mendadak terpental karena selarik sinar merah menghantamnya. Dan sungguh menakjubkan, sambaran sinar merah itu demikian kerasnya, hingga senjata cakram itu terpental pulang pada pemiliknya.

Morodama menjadi terkejut, sebisanya dia menghindar. Namun tak urung bahunya terserempet oleh senjatanya sendiri. Mengeluarkan darah.

"Anjing! Siapa yang membokong ini!" makinya sambil menekap darah yang mengalir.

Dari balik semak-semak, meloncatlah dua orang laki-laki. Mereka adalah Pranata Kumala dan Pandu.

Ambarwati sendiri mendesah lega. Bila saja suaminya terlambat membantu, tentu nyawa tak akan bisa selamat. Tetapi dia yakin, tentunya suaminya tak akan membiarkannya celaka ataupun terluka.

Melihat dua orang datang lagi, Morodama mendengus. Begitu pula dengan Agung Seta dan Baurekso. Keduanya langsung mencari lawan masingmasing.

Dan tak ada yang banyak bicara lagi. Mereka sudah saling tempur dengan hebat.

Para penduduk yang menyaksikan pertempuran tadi dari dalam rumah masing-masing.

Mereka terkejut melihat Pandu berada di antara yang saling tempur. Dan mereka berdoa agar ketiganya bisa memenangkan pertempuran itu.

Agaknya Pranata Kumala dan istrinya mampu mengimbangi kedua lawannya. Sementara Pandu yang menghadap Baurekso harus menerima beberapa kali pukulan dan tendangan dari lawannya.

Melihat hal itu, Pranata segera melepaskan pukulan sinar merahnya pada Baurekso. Baurekso yang sedang asyik dan geram melepaskan pukulan dan tendangannya secara beruntun pada Pandu, tidak melihat selarik sinar merah menuju padanya. Tanpa ampun lagi, tubuhnya terkena sinar merah itu. Dan ambruk dengan tubuh hangus tanpa

bisa menjerit sedikit pun. Mati!

Melihat hal itu Agung Seta dan Morodama semakin mempergencar serangannya. Pranata Kumala pun segera mengimbanginya dengan jurus Tangan Bayangannya.

Ambarwati pun mempergencar permainan pedangnya.

Sementara Pandu menyingkir sambil menahan rasa sakitnya.

Tiba-tiba Pranata Kumala dan Ambarwati merasakan ada serangkum angin besar menuju padanya. Keduanya tak sempat mengelak.

Keduanya terpelanting. Keduanya ambruk.

Dan keduanya muntah darah. Ketika mereka melihat siapa yang menyerang, datuk Tumbalpala sudah berdiri dengan kaki terbuka gagah di hadapan keduanya.

"Hhhh! Kalian sudah ditakdirkan untuk mampus di tempat ini rupanya!" berkata Tumbalpala dengan wajah yang menyeringai menyeramkan.

Mirip iblis.

"Hhh! Kami tidak takut mati untuk membela kebenaran!" seru Pranata Kumala.

"Besar pula omonganmu!"

"Lakukanlah bila kau mampu!" tantang Pranata Kumala dengan gagah.

"Setan!" Lalu tangan kanan Tumbalpala bergerak lagi. Dan serangkum angin besar menderu menghantam Pranata Kumala hingga bergulingan.

"Kakang!" jerit Ambarwati yang melihat suaminya kelojotan kesakitan dan muntah darah.

Dipegangnya tangan suaminya yang nampak lemah, namun suaminya masih berusaha untuk tersenyum.

"Rayi "

Hati Ambarwati menjadi pilu dan marah. Tibatiba dia berdiri menyerang Tumbalpala. Pedangnya mencecar dengan hebat.

Namun datuk sesat itu hanya terkekeh dengan wajah iblisnya. Membiarkan saja pedang Ambarwati membacoki seluruh tubuhnya.

Dan tak satu pun bacokan pedang itu yang membuat tubuhnya terluka.

Begitu pula dengan panah Pandu yang harus jatuh ke tanah setelah mengenai sasarannya. Dan tak membuat tubuh Tumbalpala terluka. Malah tubuh Pandu yang harus bergulingan ketika tangan kanan Tumbalpala bergerak.

Begitu pula dengan Ambarwati yang harus kelojotan muntah darah. Dadanya bagaikan dihantam oleh godam yang sangat keras dan berat, hingga membuatnya remuk terasa di dada.

Tumbalpala pun tak mau bertindak tanggung lagi. Dia menyiapkan kembali pukulan pada kedua tangannya, yang siap dikibaskan pada orang-orang yang telah tak berdaya itu.

Dan kedua tangan itu bergerak.

Namun suatu keajaiban terjadi. Saat kedua tangan itu bergerak, tubuh Tumbalpala terjengkang ke belakang. Dan pukulan Serangkum Angin yang menderu pada Pranata Kumala dan Ambarwati, membelok ke kiri dan menghantam sebuah pohon besar hingga tumbang.

Tumbalpala terkejut. "Mengapa jadi begini?" Begitu pula dengan Agung Seta dan Morodama. Tak kalah herannya Pranata Kumala dan Am-

barwati yang hanya bisa memejamkan mata menunggu ajal.

Dan tak jauh dari mereka berdiri dua sosok tubuh dengan gagah. Yang satu seorang laki-laki setengah baya yang arif dan bijaksana. Wajahnya memancarkan sinar yang menyejukkan. Dia mengenakan jubah berwarna putih. Yang seorang lagi, seorang wanita yang nampak cantik jelita. Di punggung wanita itu terdapat dua buah pedang yang bersilangan.

"Ayah! Ibu!" seru Pranata Kumala dan Ambarwati berbarengan begitu mengetahui siapa kedua orang itu adanya.

Kedua orang yang muncul itu tak lain dan tak bukan adalah Madewa Gumilang alias Pendekar Bayangan Sukma dan istrinya Ratih Ningrum.

Keduanya tersenyum pada Pranata Kumala dan Ambarwati. Ratih Ningrum segera menghampiri anak dan menantunya. Sementara Madewa Gumilang berdiri gagah berhadapan dengan Tumbalpala yang sudah terdiri kembali.

Madewa tersenyum arif.

"Maafkan aku, Saudara... yang telah lancang mengganggu keasyikan Saudara!"

Tumbalpala yang mendengar tadi Pranata Kumala memanggil kedua orang yang baru datang "ayah dan ibu," langsung menduga siapa laki-laki ini adanya. Tentunya dia Madewa Gumilang alias Pendekar Bayangan Sukma.

"Hmm... rupanya kau Madewa Gumilang alias Pendekar Bayangan Sukma, bukan?" katanya dengan suara yang angker. "Ah, nama besarmu agaknya sudah setinggi langit dan sedalam lautan. Dengan Pukulan Bayangan Sukma kau dianggap sebagai manusia dewa di dunia ini, karena tak ada satu pun yang dapat menandingi kesaktian pukulanmu itu. Dan tak satu benda pun yang dapat sanggup menahan hebatnya pukulanmu. Tapi di hari ini, aku Tumbalpala, majikan Bukit Kubur yang akan menghentikan semuanya. Bahkan membunuhmu, Madewa Gumilang!"

Madewa tetap tersenyum arif. Dia sudah bisa menduga siapakah orang ini sebenarnya. Juga dua orang yang berdiri di dekatnya yang memegang senjata berupa cakram.

Madewa pun menduga apa yang telah menimpa desa ini, melihat situasi desa yang sunyi dan lengang. Dan kini porak poranda dengan mayat bergelimangan di sana sini.

Tentunya orang itu dengan telengas menurunkan tangannya.

"Sebenarnya kita tidak punya silang sengketa, Tumbalpala. Tapi agaknya keonaran yang kau timbulkan ini memanggil naluriku untuk menghentikannya. Maafkan aku, yang mengganggu ketenanganmu."

"Jangan jual lagak di depanku! Sudah lama aku ingin menaklukkan jago-jago rimba persilatan. Dan agaknya, kaulah orang pertama yang akan mampus di tanganku!"

"Maafkan aku "

"Manusia sombong! Awas seranganku!" Tumbalpala menggerakkan tangan kanannya. Serangkum angin besar menderu pada Madewa.

Madewa melompat ke kiri dengan ringannya.

Angin itu menerpa sebuah pohon yang langsung tumbang, roboh.

"Luar biasa!" desis Madewa.

"Dan kau akan menyaksikan yang lebih hebat lagi!" seru Tumbalpala seraya menerjang dengan pukulan-pukulan saktinya, cepat dan membabi buta.

Madewa pun menggunakan jurus menghindarnya, jurus Ular Meloloskan Diri. Lalu disusul dengan jurus Ular Cobra Bercabang Tiga, yang membuat tangannya seolah bergerak bagaikan seribu. Cepat dan tangkas.

Tumbalpala pun sudah menggunakan jurus yang dipelajarinya. Yaitu jurus ilmu kebalnya.

Patukan-patukan jurus ular Madewa tak banyak berarti bagi tubuh Tumbalpala.

Madewa bersalto dan menarik kembali jurusnya.

Tumbalpala terbahak.

"Hahaha... rupanya hanya begitu saja nama besar dari Madewa Gumilang! Nama yang ternyata kosong belaka! Cepat kau keluarkan pukulan saktimu itu, Madewa! Pukulan Bayangan Sukma! Ayo, mengapa kau ragu? Atau kau ngeri melihat kehebatan ilmu kebalku?!"

Madewa tetap tersenyum arif.

"Kau agaknya terlalu sesumbar dan memandang sebelah mata padaku, Tumbalpala "

"Malah aku memandangmu dengan kedua mata tertutup! Karena nama besarnya tak lebih dari seonggok taik kucing belaka, Madewa!"

"Nah, kau bersiaplah sekarang!" desis Madewa sambil membuka jurusnya lagi. Pukulan Tombak Menghalau Badai.

"Hahaha... keluarkan semua jurus yang kau punya! Ayo, hantam aku! Hantam!"

Sementara Agung Seta dan Morodama pun tengah bersiap-siap untuk membokong Madewa dengan melemparkan senjata cakram mereka.

Keduanya yakin nama besar Madewa Gumilang bukanlah nama kosong belaka.

Dan keduanya mempersiapkan senjata mereka. Namun agaknya Ratih Ningrum dapat mencium gelagat yang tidak menguntungkan itu. Dia pun bersiap-siap untuk menghadapi kedua manusia itu.

Begitu Madewa melepaskan pukulannya pada Tumbalpala. serentak pula Agung Seta dan Morodama melemparkan senjata cakram mereka. Dan melesat pula Ratih Ningrum sambil mencabut kedua pedang kembarnya dan memapaki senjata cakram itu.

"Trang!"

"Trangg!"

Senjata-senjata itu beradu. Dan kedua cakram itu pun jatuh. Kesempatan itu dipergunakan oleh Ratih Ningrum untuk maju menyerang.

Agung Seta dan Morodama yang tidak menyangka kalau sikap pengecut mereka diketahui oleh Ratih Ningrum, tak bisa berbuat banyak menghadapi serangan-serangan sepasang pedang kembar Ratih Ningrum.

"Ces!"

"Ces!"

Keduanya pun tersambar oleh pedang itu dan terluka. Hal ini makin membuat keduanya nekat. Ratih Ningrum pun bergerak dengan cepat. Dia memasukkan jurus pukulan tangan seribunya dengan gerakan pedang.

Dan pedang itu bergerak seakan menjadi seribu.

Membuat Agung Seta dan Morodama menjadi kaget, terkejut dan kewalahan.

Pedang itu bergerak dengan kecepatan yang luar biasa. Dua jurus kemudian, Agung Seta dan Morodama mati langkah. Tanpa ampun lagi pedang Ratih Ningrum pun menemui sasarannya. Matilah sisa dari gerombolan carok itu.

Sementara itu, Madewa tengah melancarkan pukulan Tembok Menghalau Badainya. Namun lagi-lagi Tumbalpala hanya tertawa-tawa saja begitu pukulan tadi mengenai bagian-bagian dari tubuhnya.

Ilmu kebal yang dipelajarinya hampir mencapai tingkat yang sempurna.

Madewa bersalto ke belakang.

"Hebat! Sayang ilmu sehebat itu kau gunakan untuk kejahatan, Tumbalpala!"

"Hahaha... bilang saja kau jeri menghadapi ilmu kebalku, Madewa!" seru Tumbalpala sambil terbahak. Lalu ganti dia menyerang dengan Pukulan Tapak Anginnya. Yang menderu-deru dengan dahsyat menimbulkan angin yang cukup besar.

Madewa dengan menggunakan jurus Ular Meloloskan Diri berhasil menghindari seranganserangan itu.

Namun lewat lima jurus kemudian, satu pukulan masuk menggedor dada manusia sakti itu.

"Hahaha... terimalah ajalmu sekarang, Madewa!" seru Tumbalpala sambil menyerang lagi.

Tetapi keajaiban terjadi. Tangan Tumbalpala yang sudah dialiri tenaga sakti dan tubuh yang melesat dengan cepat, mendadak tubuh itu berbalik, seolah menerpa sebuah tembok yang sangat tebal.

"Akkkh!" jerit Tumbalpala sambil jatuh bergulingan.

Itulah salah satu kesaktian dari Madewa Gumilang. Dulu secara tidak sengaja dia menghisap sari rumput sakti Kelangkamaksa yang membuatnya menjadi sakti dengan adanya tenaga dorongan yang keluar dari tubuhnya tanpa bisa dia rasakan (Baca: Pedang Pusaka Dewa Matahari).

Kesaktian itu keluar bila keadaan Madewa terdesak, dan emosinya menurun. Tetapi bila dia dalam keadaan emosi, kesaktian yang tak bisa terlihat oleh pandangan mata itu tak akan keluar.

"Bangsat! Ilmu apa yang kau pakai itu, Madewa?!" seru datuk kerempeng sambil mengusap mulutnya yang mengeluarkan darah.

Madewa tersenyum arif. "Sadarlah, Tumbalpala "

"Anjing buduk! Jangan berkhotbah di depanku, Madewa!" maki Tumbalpala sambil menyiapkan kembali pukulan Tapak Anginnya. Kali ini diimbangi dengan ilmu kebalnya.

Madewa masih berusaha menyadarkan Tumbalpala.

"Sadarlah, Tumbalpala "

"Bangsat! Keluarkan ilmu pukulan Bayangan Sukma! Ayo, aku ingin melihat sampai di mana kehebatannya!"

Madewa tersenyum. "Bila itu yang kau inginkan, baiklah."

Madewa lalu merapal ilmu pukulan Bayangan Sukma. Dan merangkum kedua tangannya di dada. Terlihatlah asap putih mengepul dari kedua tangannya.

"Bersiaplah, Tumbalpala!"

"Hahaha... pukulan Bayangan Sukma tak banyak membawa arti buatku, Madewa!" katanya sombong dan congkak. "Majulah!"

Lalu Madewa pun menderu maju.

Begitu pula dengan Tumbalpala yang sudah menyiapkan pukulan Tapak Anginnya dan ilmu kebalnya.

Suasana mencekam. Tegang dan hening.

Dan kedua pukulan maha sakti itu pun berbenturan. Hingga menimbulkan ledakan yang hebat.

"DUUUAAARR!"

Tubuh keduanya terpental ke belakang. Madewa bergulingan dan muntah darah. Begitu pula dengan Tumbalpala. Tetapi datuk kerempeng itu cepat bangkit dan terbahak.

"Hahaha... hanya segitu saja Pukulan Bayangan Sukmamu, Madewa!" serunya lalu bergerak perlahan.

Dar mendadak gerakannya menjadi pelan, makin pelan dan sangat pelan. Tiba-tiba dia muntah darah. Dan ambruk dengan meregang nyawa!

Madewa mendesah panjang. Betapa hebatnya ilmu kebal milik Tumbalpala. Andaikata sudah mencapai tingkat yang sempurna, mungkin tak satu pukulan pun yang bisa mengalahkannya. Ratih Ningrum menghampiri suaminya. Begitu pula dengan Pranata Kumala dan Ambarwati.

"Tamat sudah riwayat Tumbalpala," kata Madewa. "Dinda Ratih... apakah tidak sebaiknya kita pulang, kembali ke Perguruan Topeng Hitam? Bukankah rindumu sudah tuntas melihat Pranata Kumala dan Ambarwati?" Ratih Ningrum mengangguk sambil tersenyum. "Iya, Kanda... rindu Dinda sudah tuntas. Pranata dan Ambar, apakah kalian akan meneruskan petualangan kalian?"

Pranata mengangguk. "Iya, Ibu. Saya dan istri saya akan melanjutkan petualangan kami "

"Kalau begitu, hati-hatilah. Mari, Kanda!" kata Ratih Ningrum. Dan "wuuut!" tubuh keduanya sudah lenyap dari pandangan mata.

Pandu yang masih terluka, bangkit mengucapkan terima kasih pada Pranata Kumala dan istrinya. Lalu Pranata dan istrinya pun berpamitan untuk meneruskan petualangan mereka.

SELESAI
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar