Serial Pendekar Bayangan Sukma eps 24 : Sepasang Manusia Serigala

SATU
Pagi itu udara cerah. Matahari baru sepenggalah. Sinarnya membiasi seluruh dunia dan sebagian kecil yang menerpa halaman Perguruan Topeng Hitam. Di halaman itu, murid-murid perguruan Topeng Hitam sedang berlatih. Senjata andalan perguruan Topeng Hitam adalah sepasang pedang. Mereka semua mengenakan pakaian hitam-hitam dengan wajah berselubung topeng hitam.

Di depan mereka, nampak seorang wanita setengah baya sedang memimpin mereka berlatih. Dia adalah Ratih Ningrum, istri Madewa Gumilang atau yang bergelar Pendekar Bayangan Sukma.

Tahun demi tahun telah membuat wanita setengah baya itu semakin arif. Dan kecantikannya nampak terus terpancar di wajahnya yang berkulit putih. Tidak seperti murid-muridnya yang berpakaian hitam-hitam, Ratih Ningrum mengenakan pakaian warna putih yang ringkas, yang mencetak bentuk tubuhnya yang bagus.

"Bagus! Coba ulangi gerakan yang saya lakukan tadi!" desisnya setelah memberi contoh.

Serentak para muridnya membuat gerakan yang sama. Kaki kanan dimajukan satu langkah. Posisi kuda-kuda condong ke belakang. Pedang ditaruh di dada. Dan tiba-tiba pedang itu bergerak dengan cepat ke kanan sambil meloncat bersalto ke belakang. Lalu berbalik pedang menyabet ke bawah, disusul dengan jotosan tangan kiri ke arah depan.

"Bagus!" seru Ratih Ningrum puas. Lalu katanya, "Kalian boleh beristirahat!"

Belum lagi ada yang bergerak dari tempatnya, terdengar derap langkah kuda bergegas memasuki pintu gerbang perguruan Topeng Hitam yang bertembok cukup tinggi. Di atas punggung kuda itu tergolek sosok tubuh berpakaian hitam-hitam.

Dengan sekali salto dan satu sentakan, Ratih Ningrum menghentikan lari kuda itu. Dia menggeram marah ketika mengetahui satu sosok tubuh itu adalah salah seorang muridnya. Dan telah menjadi mayat!

"Bangsat! Siapa yang telah melakukan perbuatan biadab dan keji ini!" geramnya marah setelah memperhatikan tubuh yang hancur itu.

Para muridnya yang mengerumuni pun tak kalah geramnya. Ratih Ningrum melihat ada sebilah batang kayu terselip di bawah mayat itu.

Hati-hati dia mengambilnya. Ada huruf bertekan dalam dengan bertintakan darah. Ratih Ningrum diam-diam mendesah kagum melihat tenaga dalam yang menuliskan itu sungguh hebat. Hati-hati dia membacanya, 

"Madewa Gumilang, kini telah tiba ajal bagimu. Salam perkenalan dari kami Sepasang Manusia Srigala yang menghadiahkan mayat murid Perguruan Topeng Hitam."

"Sepasang Manusia Srigala?" desah Ratih Ningrum. "Siapa pula mereka? Dan ada urusan apa dengan suamiku?" Lalu dia berkata pada muridmuridnya, "Tolong kalian urus mayat saudara seperguruan kalian ini?" Kemudian wanita itu melesat ke dalam memasuki ruangan utama. Dicarinya suaminya yang nampak sedang bersemedi di ruang semedi.

Ratih Ningrum tidak mau mengganggu ketenangan suaminya, makanya dia hanya duduk bersimpuh menunggu semedi suaminya selesai.

"Aku sudah selesai, Ratih...." terdengar suara berat dengan nada berwibawa. Sepasang mata yang terpejam tadi kini membuka, memperlihatkan sorot yang arif dan bijaksana.

"Maafkan istrimu yang telah mengganggu ketenanganmu, Suamiku," kata Ratih Ningrum sambil menjura hormat.

"Duduklah! Ada apa gerangan, Dinda Ratih?" "Maafkan Dinda, Kanda... Ada satu masalah

yang penting yang terpaksa harus Dinda bicarakan dengan Kanda."

"Masalah apakah gerangan?"

"Sepasang Manusia Srigala telah membuat teror di perguruan kita, Kanda..."

"Sepasang Manusia Srigala?" "Ya, Kanda."

"Apa maksud mereka sebenarnya?" "Mereka... mereka ingin nyawa Kanda..."

"Mengapa itu yang mereka inginkan? Aku pun belum mengenal siapa mereka. Dan menurut perasaanku, aku tak punya salah dengan mereka. Ah, mungkin mereka salah alamat, Dinda..."

"Apakah dengan kematian salah seorang murid kita yang dibuat hancur secara mengerikan oleh mereka itu bukan bukti, Kanda? Apakah tulisan di kayu ini yang ditujukan pada Kanda, membuktikan mereka salah alamat, Kanda? Dinda pikir tidak. Mereka datang untuk menteror Kanda. " 

Madewa Gumilang tersenyum arif. Usia yang semakin bertambah membuatnya lebih bijaksana. Ditatapnya wajah istrinya yang malah semakin bertambah cantik di matanya. Wanita yang telah menemaninya hampir 25 tahun. Wanita cantik putri pembesar Biparsena dari desa Bojongronggo (baca: Pedang Pusaka Dewa Matahari).

"Tenanglah, Dinda... Semua akan Kanda hadapi...!"

"Tetapi, Kanda... yang membuat Dinda sedih, mengapa masih ada orang yang ingin berbuat jahat kepada Kanda...?"

"Dinda Ratih Ningrum... semakin hari dunia semakin menua. Semakin hari kehidupan selalu berubah. Dan semakin hari kejahatan di muka bumi ini semakin meningkat. Ini berarti, kebaikan telah jauh di bawah kejahatan. Sebagai manusia yang baik, kita harus membasmi setiap kejahatan. Nah, kita sambutlah kedatangan Sepasang Manusia Srigala itu dengan baik-baik. Kita tidak perlu menampakkan wajah bermusuhan..."

"Selamat pagi, Ayah dan Ibu..." terdengar seruan di belakang mereka. Pranata Kumala dan istrinya, Ambarwati menjura di belakang mereka.

"Hahaha... selamat pagi anak dan mantuku," sahut Madewa sambil bangkit berdiri. Jubah kebesarannya yang berwarna putih semakin membuatnya nampak agung. Pranata Kumala pun diamdiam semakin mengagumi ayahnya. "Bagaimana kabarnya Laut Selatan?"

"Semakin hari Laut Selatan semakin cantik, Ayah..." sahut Pranata. Memang, dia dan istrinya tinggal di Laut Selatan. Di rumah istrinya yang dulu disikat habis oleh Sengkawung, ketua Partai Pengemis Sakti (baca: Pendekar Kedok Putih). Namun kini rumah itu telah mereka betulkan kembali dan mereka tinggali.

"Dan kau bagaimana kabarnya, Menantuku?" Kali ini Ratih Ningrum yang bertanya kepada Ambarwati.

Ambarwati menjura dengan hormat. Dia pun kini tumbuh lebih dewasa, dari gadis manja kini telah mengalami pahitnya hidup dan kenyataan. "Saya dalam keadaan sehat, Ibu "

"Tentunya kalian letih, kalian beristirahat saja dulu," kata Ratih Ningrum pula.

Lalu anak dan menantunya itu berpamitan untuk beristirahat. Setelah itu kembali Ratih Ningrum dan suaminya membicarakan soal Sepasang Manusia Srigala.

Di kamarnya, Pranata Kumala tengah merebahkan tubuhnya. Walau sekilas, dia tadi dapat melihat wajah ibunya nampak menyimpan sesuatu yang dirahasiakan. Walaupun dia melihat wajah ayahnya nampak tenang-tenang saja. Ah, ayah memang seperti biasanya, selalu dapat menyimpan rahasia yang paling berat sekalipun.

Tetapi ada apa gerangan dengan ibunya? Mengapa ibu nampak begitu muram dan kesal sekali. Mendadak Pranata bangkit dari merebahkan tubuhnya. Dia harus mencari tahu persoalan ini.

Istrinya yang sedang salin baju melirik, "Ada apa, Kakang?"

"Oh, tidak ada apa-apa, Rayi. Kakang ingin berjalan-jalan di sekitar perguruan. Rayi ingin ikut serta?"

Ambarwati yang tengah kelelahan dan mengantuk karena hampir semalaman mereka menunggang kuda, menggeleng pelan. "Pergilah, Kakang... Saya ingin tidur sejenak."

Memang itu yang diharapkan Pranata Kumala. Setelah mengecup kening isterinya, lalu dia pun keluar. Melewati pintu samping untuk menghindari ayah dan ibunya.

Dia langsung menuju ke belakang gedung. Dan di sana dia melihat ada sedikit keramaian. Ketika dia mendekat, rupanya keramaian itu disebabkan ada sosok mayat yang tengah dimandikan.

"Hei, mayat siapa ini?" seru Pranata Kumala tak bisa menahan diri.

Beberapa orang murid segera menjura hormat setelah mengetahui siapa yang bertanya.

"Kawan seperguruan kami, Putra Guru," kata salah seorang.

"Mengapa ini terjadi? Tubuh dan wajahnya hancur mengerikan?"

"Sepasang Manusia Srigala telah membunuhnya. Dan siap mencabut nyawa Rama Guru. Tetapi kami, para murid Perguruan Topeng Hitam akan menyabung nyawa demi Rama Guru!"

"Kapan ini terjadi?" tanya Pranata Kumala kemudian.

"Setelah kami selesai berlatih, Putra Guru." "Hmm, kalau begitu masalah ini rupanya yang

membuat Ibu nampak muram dan kesal," kata Pranata dalam hati. Lalu dia pun segera masuk ke dalam lagi, mencari ayah dan ibunya.

Ayah dan ibunya masih berada di tempat yang tadi.

Pranata Kumala langsung menjura, "Maafkan saya, Ayah dan Ibu, yang telah mengganggu ketenangan kalian berdua."

"Hahaha... Pranata, ada apakah gerangan?" tanya Madewa.

"Siapakah Sepasang Manusia Srigala yang hendak membuat teror itu, Ayah?" tanya Pranata tanpa berpura-pura lagi.

Pranata sempat melihat wajah ibunya yang sedikit terkejut. "Rupanya anakku dapat menebak apa yang tengah merisaukan ibunya," desah Ratih Ningrum. Dia lupa, kalau Pranata yang sekarang ini adalah Pranata yang telah menjadi seorang suami. Pranata yang hampir tujuh tahun berguru di Gunung Muria.

Madewa pun tertawa. "Hahaha... baiklah, Anakku. Ayah sendiri tidak tahu siapa Sepasang Manusia Srigala itu. Tetapi teror yang mulai dilancarkannya tidak boleh kita anggap remeh. Dan tentunya kita selalu siap sedia menyambut kedatangan mereka."

"Rasanya saya tidak sabar untuk menghajar orang-orang itu, Ayah "

"Sabarlah, barangkali saja dengan jalan damai kita bisa menghindarkan kekerasan "

Lagi Pranata Kumala mengagumi ayahnya yang semakin arif dan bijaksana.

Tiba-tiba di luar terdengar keributan, seperti orang sedang berkelahi. Serentak ketiganya melompat ke luar dan melihat sepasang manusia sedang dikeroyok oleh murid-murid Perguruan Topeng Hitam.

Kedua orang itu nampak lincah. Mereka bersalto ke sana ke mari untuk menghindari seranganserangan yang datang. Keduanya mengenakan pakaian berwarna putih dan ikat kepala berwarna merah. Sedangkan murid-murid Topeng Hitam semakin geram karena tak satu serangan mereka pun yang masuk.

Hal itu membuat Pranata Kumala menjadi geram. Tiba-tiba dia mengibaskan tangan kanannya. Dan selarik sinar merah berkelebat ke arah kedua orang itu yang langsung dengan manisnya bersalto ke kiri dan ke kanan.

Melihat serangannya gagal, Pranata yang menduga sepasang manusia itu adalah Sepasang Manusia Srigala yang juga diduga oleh murid-murid Perguruan Topeng Hitam langsung melesat ke depan. Dia langsung menyerang dengan jurus Tangan Bayangan, warisan gurunya Ki Ageng Jayasih dari Gunung Muria. Mendadak saja tangannya bergerak bagaikan seribu. Sungguh cepat dan bertenaga. Kedua manusia itu pun mengerahkan kemampuan dan kelihaiannya untuk menghindari serangan Pranata Kumala.

Namun sepasang manusia yang sejak tadi hanya menghindar saja, kini mulai membalas. Yang laki-laki sambil bersalto mengirimkan sebuah pukulan ke arah kepala Pranata. Yang perempuan langsung melompat kembali begitu kakinya mendarat di bumi dan sambil berputar dia menendang ke arah perut Pranata.

Menghadapi serangan beruntun itu, Pranata bersalto ke samping. Disangkanya dia sudah dapat menghindari kedua serangan itu, sungguh tak disangka, di saat keduanya masih di udara mereka bisa bersalto ke arah Pranata dan mengirimkan serangan kembali.

"Hebat!" pekik Pranata mau tak mau. Menurutnya, bila Sepasang Manusia Srigala ini tidak hebat, mana mungkin mereka berani menantang ayahnya. Dan mau tak mau pula dia menjajaki kedua serangan itu, lalu memapakinya dengan nekat.

"Des! Des!"

Kedua benturan itu menimbulkan suara yang lumayan keras. Lalu masing-masing hinggap kembali ke bumi dengan manis. Ketika akan saling menyerang kembali, terdengar suara berwibawa, "Hentikan!" Madewa Gumilang mengangkat tangan kanannya. Lalu menatap sepasang manusia itu sambil tersenyum. "Sepasang Walet Putih... selamat datang di kediamanku yang jelek ini...!"

Yang laki-laki tertawa. "Hahaha... agaknya mata kami ini masih terlalu buta untuk melihat dalamnya lautan dan tingginya langit, Yang Mulia Madewa Gumilang "

"Gaok! Aku tetaplah Madewa Gumilang yang dulu hahaha!"

Lalu kedua laki-laki itu saling mendekat dan berangkulan. Membuat yang lain keheranan. Lho, bukankah mereka itu Sepasang Manusia Srigala?

"Telah lama kudengar nama besar Sepasang Walet Putih, dan kini aku diberi kesempatan untuk bersua denganmu dan istrimu, Sri Kemuning "

"Madewa... nama besarmu sampai terdengar di pinggiran Gunung Slamet, sehingga kujajaki daratan untuk berjumpa dengan orang yang bergelar Pendekar Bayangan Sukma. "

Madewa melambaikan tangannya pada Pranata Kumala. Dia mengenalkannya kepada Gaok dan istrinya yang sudah berada di sampingnya. Begitu pula dengan Ratih Ningrum.

"Pranata... mana mampu kau mengalahkan Sepasang Walet Putih, Gaok dan Sri Kemuning, majikan Gunung Slamet? Kau harus banyak belajar kembali darinya. "

Pranata langsung menjura hormat dan minta maaf.

"Madewa, kakiku dan kaki istriku memang sengaja kami bawa ke mari untuk menyambangi orang agung dan besar seperti kau. Namun ketika kami masuk ke sini, sikap para pengawal dan murid-murid Perguruan Topeng Hitam nampak tidak bersahabat pada kami. Apakah begini cara penyambutan Perguruan Topeng Hitam pada tamunya?" tanya Gaok setelah mereka berada di ruang perjamuan.

"Hahaha... maafkan aku, hai sahabat. Saat ini kami memang sedang menunggu kedatangan tamu yang lain "

"Apakah kau sedang mengadakan hajatan?" "Tidak, mereka datang untuk menteror!" "Siapakah gerangan mereka?"

"Mereka menamakan dirinya Sepasang Manusia Srigala. "

Mendengar nama itu disebutkan, wajah Gaok berubah beringas. Begitu pula dengan istrinya, Sri Kemuning. "Kapan, kapan dia akan datang?" tanyanya dengan suara bernafsu.

Madewa melihat ada sesuatu yang telah terjadi pula pada diri Sepasang Walet Putih.

"Tenang, Sahabatku. Saudara Gaok katakan-

lah sejujurnya, bahwa kalian meninggalkan Gunung Slamet bukan karena ingin menyambangiku. Nah, katakanlah !"

"Hahaha... kami memang benar-benar buta, tidak tahu dengan siapa kami berhadapan. Yang Mulia. kami akan berterus terang. Di samping in-

gin menyambangimu, dan istrimu, kami memang sedang mencari tokoh jahat yang menamakan dirinya sebagai Sepasang Manusia Srigala."

"Apa yang mereka telah perbuat?"

"Mereka mengacau di kediaman kami, lereng gunung Slamet. Entah sudah berapa banyak gadis dan perjaka yang mereka culik untuk memuaskan nafsu mereka. Mereka sangat kejam. Belum lagi bila mereka berubah menjadi srigala... tingkah mereka benar-benar seperti binatang itu. Rasa belas kasihannya tak ada sedikitpun juga. "

"Mereka berubah menjadi srigala?" potong Madewa sambil manggut-manggut.

"Betul, Madewa yang agung. Mereka dapat berubah menjadi srigala!"

Kembali Madewa Gumilang manggutmanggutkan kepala. Dulu dia pernah mendengar tentang ilmu sihir yang bila sudah sampai pada tingkat terakhir atau puncaknya bisa menjadi harimau. Atau juga, bagi yang mempelajari ilmu harimau, lambat laun dengan amalan yang kuat dan ajian yang hebat, dia pun kadang bisa berubah menjadi harimau. Orang-orang menyebutnya manusia harimau.

Dan sekarang datang pula orang yang bisa berubah menjadi srigala dengan menamakan dirinya Sepasang Manusia Srigala. Madewa mendesah. Betapa banyaknya ilmu sesat di dunia ini rupanya. Menjadi srigala atau berubah menjadi hewan apa pun atau benda apa pun, itu sudah menyalahkan kodrat yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa.

"Kadang manusia suka melupakan hal itu. Mereka terlalu bernafsu untuk memiliki suatu ilmu tanpa dipikirkan akibatnya atau efek sampingannya setelah ilmu itu dipelajari dan dikuasai," desah Madewa dalam hati.

Madewa kembali menatap Gaok. "Lalu apa lagi yang mereka perbuat?"

"Mereka menghancurkan desa kami. Suatu ketika, kami memergoki saat mereka sedang beraksi. Manusia yang menamakan diri Sepasang Manusia Srigala itu terdiri dari sepasang manusia yang amat tangguh dan tinggi ilmu silatnya. Mereka juga menguasai ilmu sihir yang hebat. Bentrokan yang terjadi antara kami dengan mereka, kami dapat dikalahkan oleh mereka. Namun rasa gejolak hati kami yang bersih, yang tidak menyukai kekerasan, dan dari pihak golongan putih, meskipun kami sudah mengalami kekalahan, setelah sembuh kami pun turun dari Gunung Slamet untuk mencari Sepasang Manusia Srigala yang entah telah melarikan diri ke mana."

"Hmm... sebenarnya, siapakah nama Sepasang Manusia Srigala itu?"

"Yang laki-laki bernama Laksamurka. Sedangkan yang perempuan bernama Dewi Murni."

Madewa terdiam. Merenung. Berpikir. Kini mulai cukup jelas siapa sesungguhnya kedua manusia srigala itu, yang datang dengan segenap terornya yang mengerikan.

Lalu Madewa menyuruh beberapa orang pembantunya untuk menyiapkan kamar untuk kedua tamunya.

***
DUA
Matahari hampir terbenam, setelah letih menjalankan tugasnya selama hampir 12 jam, bias-bias sinar merahnya masih membayang di ufuk barat. Sebagian sinarnya masih menerangi dunia, dan sisa-sisa biasnya kini menyinari pula desa Bojongpanjang. Sebentar lagi malam akan datang.

Biasanya para penduduk desa Bojongpanjang setiap senja bermain-main di halaman rumah. Mereka sangat menikmati senja yang indah dan manis. Namun minggu-minggu terakhir ini, keadaan menjelang malam sangat sepi. Tak seorang pun yang terlihat keluar dari rumah. Semua pintu dan jendela telah tertutup rapat. 

Ini terjadi sejak datangnya sepasang manusia yang mengaku bernama Laksamurka dan Dewi Murni. Kedatangan mereka semula disambut baik, namun lama kelamaan kelihatan kedok mereka yang sesungguhnya. Tingkah laku mereka tak beradab. Bahkan tidak tanggung-tanggung lagi, Laksamurka memperkosa seorang anak gadis di hadapan kedua orang tuanya. Dan sejak saat itu keadaan mencekam menyelimuti desa Bojongpanjang.

Ki Lurah Wiropura tak bisa berbuat apa-apa. Dia pun sudah mendapat ancaman yang mengerikan bila tak menyediakan seorang gadis dan seorang jejaka. Namun bagi Ki Lurah, dia lebih baik mati daripada memenuhi permintaan biadab kedua orang itu.

Malam pun mulai turun. Dari kejauhan terdengar lolong panjang srigala bersahut-sahutan. Hal itu semakin membuat para penduduk ketakutan. Mereka berdoa banyak-banyak semoga tidak terjadi malapetaka yang menimpa mereka.

Tiba-tiba muncul dua sosok makhluk berkaki empat dari balik hutan. Sepasang mata mereka bersinar merah mengerikan. Lidah mereka keluar dan meneteskan air liur. Mereka adalah dua ekor srigala yang nampak kelaparan. Dan pelan-pelan kedua srigala itu melangkah menuju sebuah rumah kecil.

Penghuni rumah itu adalah sepasang pengantin baru yang baru tiga hari menikah. Namun teror Sepasang Manusia Srigala tidak memberikan kesempatan lagi bagi keduanya untuk menikmati bulan madu mereka.

Kedua srigala itu semakin mendekat. Di dalam rumah, kedua pengantin baru itu saling dekap dengan erat. Mereka seolah mencium bau amis yang menjijikkan, semakin lama semakin jelas tercium.

"Kakang " desis istrinya ketakutan.

Suaminya seorang pemuda gagah perkasa dengan wajah tampan. Erat-erat didekapnya istrinya seolah memberikan ketenangan. Padahal dia sendiri tak lebih sama dengan istrinya.

Tiba-tiba terdengar derak keras pada pintu belakang. Istrinya semakin menggigil dalam dekapannya. Hati-hati dia mengambil parang besar yang tersampir di tembok. Sigap dan siaga dia berusaha untuk menjaga istrinya.

Dan suara derak itu terdengar kembali. Mendadak pintu itu hancur berantakan. Bukan main terkejutnya mereka berdua begitu melihat makhluk apa yang berada di hadapan mereka. Sepasang srigala dengan wajah buas mengerikan.

Sang suami bergerak dengan cepat mengayunkan parang besarnya ke arah kedua srigala itu. Namun seperti mengerti bahwa parang itu mengancam mereka, kedua srigala itu tiba-tiba melompat ke kiri dan menerkam. Buru-buru dia mengayunkan parangnya.

Laki-laki itu gugup. Dia merasakan tubuh istrinya terkulai di dekapannya. Istrinya telah pingsan. Kini dia menjadi siaga. Kedua srigala itu berdiri menatapnya dengan wajah beringas. Tiba-tiba, sungguh tiba-tiba, sepasang mata merah itu berubah menjadi putih dan tiba-tiba mengepul asap putih menyelimuti kedua srigala itu. Laki-laki yang bernama Warto itu bingung. Apa yang sedang terjadi?

Tiba-tiba asap putih tadi menghilang. Menghilang pula kedua srigala itu. Sebagai gantinya kini berdiri di hadapannya dengan sikap gagah dan angkuh sepasang manusia. Dia adalah Laksamurka dan Dewi Murni yang dapat menjelma menjadi srigala.

Laksamurka bertubuh besar dengan bulu-bulu tangan yang menyeramkan. Wajahnya cukup lumayan. Dengan bulu-bulu halus yang cukup lebat. Yang menyeramkan darinya adalah pakaiannya yang terbuat dari kulit srigala. Begitu pula dengan kalung yang berupa taring srigala.

Sedangkan yang berdiri di sampingnya, Dewi Murni adalah seorang wanita yang cantik dengan tubuh yang indah dan padat. Pakaiannya pun terbuat dari kulit srigala, namun berpotongan puteri rimba. Menampakkan pahanya yang indah dan sepasang buah dadanya bagian atas. Dia pun mengenakan kalung mirip Laksamurka.

Keduanya tertawa melihat Warto tertegun. Sebelum laki-laki itu berbuat apa-apa, Dewi Murni sudah berkelebat dan menotok urat kaku laki-laki itu hingga terdiam.

"Hik... hik.. hik... makanan lezat untukku malam ini, Laksamurka...." Wanita itu terkikik dengan suara yang menakutkan. Dia membelai-belai pipi Warto yang hanya terbelalak tanpa bisa berbuat apa pun. Laksamurka tertawa keras. "Aku pun memiliki hidangan yang cukup hangat, hanya sayang dia masih pingsan "

"Hik... hik... hik... penciumanmu tajam sekali, Laksamurka !"

"Dan nafsu seksmu sangat kuat, Dewi Murni....Sayang, aku harus menunggu gadis itu siuman dari pingsannya."

"Dan aku sudah bisa memotong hidangan ku, bukan?" kata Dewi Murni sambil mengerling genit. Lalu dia melenggang mendekati Warto yang hanya bisa membelalakkan matanya dengan gusar. Diusapnya pipi laki-laki itu dengan genit. Warto memejamkan matanya. Dan semakin memejamkannya ketika Dewi Murni membuka pakaiannya bagian atas sedikit. Pakaian yang minim itu, langsung menampakkan buah dadanya yang bulat dan montok. 

"Hihihi mengapa kau memejamkan matamu, Manis.... Ayo nikmatilah tubuhku ini dengan sepuas-puasnya. !"

Dewi Murni menotok urat mata Warto hingga kedua mata itu terbuka dan tak bisa ditutup lagi. Dewi Murni semakin tertawa-tawa. Lalu perlahan-lahan dia membuka seluruh bajunya hingga telanjang bulat di hadapan Warto. Sementara Laksamurka hanya terkekeh saja sambil menunggu istri Warto siuman.

Belum lagi musibah menimpa Warto dan istrinya, dari luar terdengar teriakan-teriakan keras yang menyuruh kedua orang itu keluar.

"Bangsat!" geram Dewi Murni atau manusia srigala betina sambil mengenakan pakaiannya lagi. 

"Siapa yang berani mengganggu keasyikan Dewi Murni, dia akan mampus dengan mayat yang mengerikan!"

"Keluar dari sini! Hei, manusia-manusia dajal, keluar!"

"Warto, bagaimana keadaanmu?!" 

"Bagaimana dengan istrimu?!"

"Hei, manusia busuk, keluar!"

Seruan-seruan ramai terdengar. Pintu depan terbuka, muncul sepasang laki-laki dan perempuan dengan wajah siap mencabut nyawa. Keduanya menggeram melihat sejumlah penduduk yang bersenjatakan parang, pisau, tombak, clurit siap mengurung mereka.

Salah seorang di antara mereka adalah Ki lurah Wiropura. Laki-laki setengah baya itu berkata dengan lantang,

"Manusia srigala busuk! Tolong jangan ganggu ketenangan kami!"

"Hahaha... Ki Lurah, sungguh besar nyalimu!" desis Laksamurka. "Namun agaknya sia-sia keberanianmu dan kenekatan seluruh penduduk desa ini untuk menghalangi sepak terjang Sepasang Manusia Srigala!"

"Kami lebih rela mati daripada menjadi budak iblismu!" geram Ki Lurah marah.

"Ki Lurah... berpikirlah baik-baik sebelum kau membuang nyawa tuamu dengan percuma. " berdesis Dewi Murni sambil mengerling genit.

"Malam ini, aku Wiropura, akan menyabung nyawa dengan kalian berdua!"

Kedua manusia itu tertawa ngakak. Membahana. Membelah malam yang semakin kelam. "Ki Lurah... Ki Lurah..." berkata Laksamurka. "Kau lihat dulu apa yang kau pegang itu?! Ular berbisa!"

Ki Lurah terkejut kaget ketika mendengar suara berdesis di tangannya. Tombak yang dipegangnya telah berubah menjadi ular berbisa dan siap memagut kepalanya. Sigap Ki Lurah membuang ular itu yang ketika jatuh ke tanah berubah kembali menjadi tombak.

"Ilmu sihir!" desisnya.

"Hahaha... dengan kepandaian seperti itu kau hendak mengalahkan bahkan membunuh kami?!"

"Tekadku sudah bulat untuk membasmi orangorang seperti kalian!" seru Ki Lurah mantap. Lalu melirik warganya yang kelihatan agak ketakutan. "Jangan takut! Saudara-saudara! Kita bunuh kedua manusia ini beramai-ramai! Serbuuuuu!"

Serentak warga yang agak ragu-ragu itu bangkit kembali semangat mereka. Mereka menyerbu dengan mengacungkan senjata yang mereka pegang.

"Lihat apa yang kalian pegang?!" seru Laksamurka.

Para penduduk yang menyerbu serentak berhenti melangkah, dan masing-masing melihat senjata yang mereka pegang. Mendadak semuanya berubah menjadi ular berbisa. Mereka menjadi panik. Beberapa orang tak sempat membuangnya hingga mereka pun harus menemui ajal. Dan ularular itu terus menyerang mereka dengan buas diiringi tawa menyeramkan dari kedua orang itu.

"Hahaha... lucu, lucu sekali!" seru Laksamurka tertawa. Orang-orang itu menyabetkan batang kayu yang mereka raih untuk mengusir ular-ular itu. Namun ular-ular itu sangat buas. Sebentar saja hanya tinggal Ki Lurah dan beberapa orang yang masih sibuk mengusir ular-ular itu. Sedangkan yang lain terkapar dengan tubuh membiru dan mulut mengeluarkan ludah berbusa.

"Kalian jangan coba-coba menghalangi perbuatan kami!" seru Laksamurka.

"Dan hari ini kalian lebih mengenal siapa Sepasang Manusia Srigala, yang siap untuk mencabut nyawa siapa saja! Juga nyawa Madewa Gumilang, Pendekar Bayangan Sukma!" sambung Dewi Murni.

Berkat kegigihan Ki Lurah dan beberapa warga yang masih hidup, mereka dapat membasmi ularular jejadian itu. Yang setelah terpotong dua kembali ke asalnya menjadi senjata-senjata yang mereka pegang tadi.

Ki Lurah melotot marah pada sepasang manusia itu. Wajahnya berkeringat. Dia tidak menjadi gentar menyaksikan kehebatan kedua orang itu. Malah kemarahannya dan dendamnya semakin naik memuncak. Walau apapun yang terjadi, dia tetap akan berusaha mengusir kedua manusia dajal ini.

"Manusia-manusia iblis, kami siap menyabung nyawa dengan kalian!" serunya seraya maju menyerang dengan parang di tangan kanannya ke arah Laksamurka.

Melihat kenekatan Ki Lurah, Laksamurka hanya tertawa. Dia cukup menggeser tubuhnya sedikit hingga tebasan parang itu tidak menemui sasaran. Dan tangannya bergerak dengan cepat menghantam punggung Ki Lurah Wiropura yang terhuyung ke depan dan muntah darah. Di samping pukulan Laksamurka yang mengandung cukup tenaga, dia pun terdorong oleh tenaganya sendiri saat mengayunkan parangnya.

Ki Lurah merasakan dadanya seakan remuk. Bagai dihantam pukulan godam yang tiba-tiba mengenai dadanya.

"Huak!" sekali lagi Ki Lurah Wiropura muntah darah, dan merasakan pusing yang teramat sangat. Matanya berkunang-kunang. Dan mual pun mulai menyiksanya.

Melihat hal itu beberapa warganya menjadi marah dan ikut menyerang. Serangan-serangan mereka ganas karena diliputi marah dan dendam. Namun mereka bukanlah tandingan kedua manusia itu. Yang dengan seenaknya menghabisi setiap gerakan mereka. Dan kelojotan dengan tubuh hancur tak berbentuk.

Ki Lurah Wiropura yang masih sekarat, betapa sedihnya menyaksikan warganya yang kembali tewas di tangan kedua manusia itu.

Dia mencoba bangkit untuk membalas. Namun tubuhnya terasa sakit dan berat sekali. Tetapi diusahakannya juga untuk bangkit. Dia harus membalas. Harus! Harus!

Belum lagi dia tegak berdiri, mendadak Dewi Murni menendang sebilah parang yang tergeletak di tanah. Bagai bernyawa, parang yang ditendang itu meluncur dengan deras ke arah Ki Lurah yang terbeliak kaget melihat datangnya parang itu. Dan... "Aaakhh! Bless!"

Tak ampun lagi parang itu menancap menembus dadanya diiringi dengan jeritan yang menyayat hati. Memilukan. Dan mampuslah Ki Lurah Wiropura yang gagah perkasa itu. Terdengar tawa kedua manusia srigala. 

"Hahaha... orang-orang tak berguna!" seru Laksamurka. "Dewi, mari kita nikmati lagi hidangan yang telah tersedia! Hahaha... untungnya hidangan kita ini tak akan pernah basi! Bukan begitu, Dewi?"

"Betul! Betul!"

Dalam keremangan malam, terdengar dengusan nafas dan ringkik kenikmatan diiringi desah kesakitan dan rintih kepedihan Warto dan istrinya yang belum sempat menikmati apa artinya malam pengantin itu bagi mereka.

***
TIGA
Teror yang dilancarkan Sepasang Manusia Srigala di desa Bojongpanjang pun menyebar ke seluruh rimba persilatan. Sepak terjang keduanya sangat mengerikan dan tak mengenal batas kasihan. Mereka tak segan-segan menurunkan tangan telengas untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Banyak tokoh-tokoh dari golongan putih yang mencoba menghalangi perbuatan mereka. Namun mereka pun tak bisa berbuat banyak. Sebagian besar malah mampus di tangan keduanya.

Namun malam itu, beberapa sosok tubuh mendekati sebuah bangunan yang terletak di ujung desa Bojongpanjang. Bangunan itu didiami oleh Sepasang Manusia Srigala. Dengan mengambil pengawal, pelayan, pembantu dan beberapa orang pemuas nafsu yang mereka culik secara paksa dari beberapa desa.

Malam ini pun Laksamurka baru saja meraih kenikmatan dengan menggumuli seorang perawan cantik yang diculik tadi sore. Dia terkekeh melihat perawan itu menangis meratapi nasibnya yang sangat malang.

"Hehehe... mengapa harus bersedih, Manis? Bukankah kau sudah kuajak berkeliling ke sorga yang indah... hehehe "

Wajah perawan itu pias. Ketakutan, sedih, marah, malu, dan kecewa karena tidak bisa berbuat apa-apa saat manusia iblis itu menjarah tubuhnya.

Di luar bangunan itu, sosok-sosok tubuh yang mendekat, mulai berpencar. Mereka terdiri dari lima orang. Di pinggang masing-masing nampak ada sebilah pedang tipis yang tajam. Mereka adalah Lima Pedang Maut. Orang-orang golongan putih dari Timur. Mereka pun sudah mendengar sepak terjang dan kekejaman sepasang manusia srigala itu. Dan mereka bertekad untuk menghentikan aksi kekerasan yang mereka lakukan. Para pengawal yang menjaga, dengan mudah sekali dibungkamkan. Dan mereka pun bersalto masuk ke dalam.

Tiba-tiba salah seorang berseru: "Hei, Sepasang Manusia Srigala! Muncullah kalian di hadapan kami!"

Suaranya menggema. Menyentak telinga Laksamurka yang tengah bersiap menikmati tubuh gadis itu lagi. Menjarah telinga Dewi Murni yang baru saja meraih kenikmatan yang panjang dari pemuda yang dipaksanya untuk melayaninya.

Dia pun bergerak cepat untuk berpakaian. Lalu melesat keluar melalui jendela. Di ruang tengah nampak di hadapannya lima orang berpedang berdiri gagah dengan tangan kiri mendekap di dada dan tangan kanan memegang pedang yang ujungnya berada di kaki kanan bawah.

Sikap mereka gagah dan jantan. Penuh perhitungan.

Dewi Murni terkekeh, "Hihihi... siapa rupanya kalian yang berani-beraninya mengganggu Sepasang Manusia Srigala, hah!?"

"Kami, Lima Pedang Maut dari Timur yang akan menghentikan sepak terjang kalian!" kata salah seorang yang bernama Suro Japara.

"Hihihi... rupanya malam ini aku kedatangan orang pemimpi... lucu, lucu!"

"Hhh! Jangan banyak bacot, Dewi Busuk! Kau akan merasakan kehebatan ilmu pedang kami!"

"Oh, ya? Hihihi... pemimpi-pemimpi yang ingin bermimpi dan bisa bermimpi lagi. Kalian tentunya telah bermimpi bukan, kalau kepala dan tubuh kalian terpisah akibat tanganku?"

Wajah Suro Jingga memerah. Tangannya makin mengepal pedangnya. Geram.

Terdengar tawa Dewi Murni lagi. "Hihihi... bagus, bagus sekali. Jadi kalian tidak terkejut bila kepala dan tubuh kalian terpisah!"

"Dewi... siapa yang datang malam-malam begini dengan sengaja untuk mengganggu kenikmatanku, hah?!" terdengar suara di belakang Dewi Murni. Laksamurka muncul dengan gagah.

Kelima orang itu segera memasang tenaga dalam mereka. Karena dalam suara yang dilontarkan Laksamurka mengandung tenaga dalam yang bisa menyerang mereka.

Diam-diam kelima orang itu pun kagum pada Laksamurka. Mereka menjadi bersiap dan semakin berhati-hati.

"Laksamurka... aku pun merasa terganggu dengan kedatangan orang-orang tak diundang ini. Ah, aku jadi bingung... mereka hendak kita suguhi dengan apa, Laksamurka?"

"Itu tugas kau sebagai perempuan, Dewi!" "Laksamurka, bagaimana bila mereka kita su-

guhi kotoran anjing saja! Kan banyak terdapat di belakang!"

"Hahaha... betul, betul... mereka kita beri kotoran anjing! Karena mereka tak ubahnya seperti anjing!"

Disindir sedemikian rupa, wajah Lima Pedang Maut itu memerah. Dan tanpa dikomando lagi mereka segera mengurung kedua manusia itu yang seakan tak sadar akan bahaya mengancam, karena keduanya masih asyik bercakap-cakap.

"Wah, anjing-anjing itu mengurung kita, Dewi!" "Itu lebih baik, Laksamurka. Mereka saja yang

kita jadikan kotoran dan kita berikan pada anjing." "Betul, betul... heit!" Laksamurka langsung bersalto karena pedang dari kelima orang itu sudah menyambar kakinya. Dan serentak di dalam bangunan itu terjadi pertempuran yang sengit.

Ilmu pedang kelima Pedang Maut itu tak bisa dianggap ringan. Mereka bergerak dengan cepat dan tangkas. Permainan pedang mereka pun sambung-menyambung tak putus. Satu menyerang, yang lain menunggu. Lepas dari serangan itu, mereka pun menyambung.

Hal ini cukup membuat kedua manusia itu sedikit kewalahan.

Tiba-tiba Laksamurka membentak, "Awas serangan!" Tubuhnya melenting ke atas dan menyerang ke arah Suro Japara. Sedetik Suro Japara tidak menunduk, habislah riwayatnya. Serangan yang mengandung tenaga dalam yang hebat itu lewat di kepala Sura Japara.

Melihat hal itu, Suro Japara semakin marah. Serentak dia membentak, "Saudara-saudara! Bentuk Lima Barisan Menutup Lautan!"

Seketika empat temannya yang sedang menyerang, bersalto mendekatinya. Dan segera membentuk Lima Barisan Menutup Lautan.

"Hhh! Ilmu apa yang kalian pamerkan di hadapan Sepasang Manusia Srigala, hah?!" tertawa Laksamurka.

Tetapi kelima orang itu tidak perduli. Barisan itu pun dilakukan. Suro Japara berdiri di depan. Di belakangnya dua orang berdiri dengan pedang yang seorang di tangan kiri dan seorang lagi di tangan kanan. Begitu pula yang di belakang mereka. Dua orang dengan posisi pedang yang sama. Jarak mereka masing-masing dua meter. Membentuk barisan sepanjang enam meter.

"Nah, silahkan kalian berdua tembus barisan ini!" seru Suro Japara, sambil bersiap.

Sepasang Manusia Srigala itu saling melirik. Lalu tanpa dikomando lagi keduanya menyerang, memasuki barisan yang ketat itu.

Luar biasa. Barisan itu sukar untuk ditembus. Setiap kali Laksamurka atau Dewi Murni menyerang, pedang-pedang itu pun menyambar hingga mengurungkan niat mereka untuk menyerang terus. Kalaupun mereka menyerang dari kiri, dua buah pedang menyambut. Menyerang dari kanan, begitu pula. Bila menyerang dari belakang, barisan itu memutar menutup barisan. 

Bila menyerang Suro Japara yang berada di depan, serentak keempat temannya maju membentuk horisontal dengan pedang yang menyerang secara bergantian. Sampai sekian jurus, Sepasang Manusia Srigala itu pun belum mampu menembus pertahanan dan serangan dari Lima Pedang Maut, yang benar-benar tangguh dan hebat.

Mendadak pula barisan itu berpencar dan menyerang dengan cepat. Namun setiap kali diserang, mereka kembali merapat dan membentuk jurus tadi, Lima Barisan Menutup Lautan.

Tiba-tiba Laksamurka berseru sambil bersalto mundur, "Dewi Murni, hentikan serangan!"

Dewi Murni pun menarik tangannya pulang dan bersalto berdiri bersisian dengan Laksamurka.

Lima Pedang Maut tertawa. Suro Japara mengejek, "Kalian jeri melihat pertahanan dan serangan kami, bukan? Nah, sebelum mampus lebih baik kalian berlutut! Atau kalian bunuh diri saja karena kami sudah muak melihat tampang dan sepak terjang kalian semua!"

"Hahaha... jangan merasa di atas angin dulu, Anjing-anjing dari Timur! Kalian harus ingat, dengan siapa kalian berhadapan sekarang ini! Kalian tengah berada di sarang srigala! Dan srigalasrigala itu tak akan puas bila belum mencabikcabik tubuh kalian!"

"Srigala busuk! Buktikan ucapanmu!" bentak Suro Japara.

"Hahaha... rupanya kau tak sabar ingin cepatcepat mampus. Baik, jangan sesali nasibmu!" Sehabis membentak demikian, Laksamurka terdiam sejenak. Lalu tertawa, "Lima Pedang maut, kalian lihat apa yang tengah kalian pegang itu! Ular berbisa!"

Serentak kelima orang itu melihat pedang mereka yang telah berubah menjadi ular berbisa. Masing-masing segera melempar pedang yang ada di tangan mereka.

Selagi pedang tak ada di tangan mereka, menerjanglah Laksamurka dan Dewi Murni. Tanpa ampun lagi dua jeritan terdengar. Dan dua nyawa melayang.

Melihat hal itu Suro Japara menjadi gusar dan marah karena dia hanya ditipu oleh ilmu sihir. Tetapi ular-ular jejadian itu terus mendekat dan menyerang mereka.

Dua orang lagi pun tewas dipatuk ular berbisa hingga tubuh mereka membiru. Kini tinggallah Suro Japara yang dengan sebisanya menghindari serangan patukan dari ular-ular itu.

Tiba-tiba dia bersalto dan menyambar salah seekor ular itu. Dan menyabetkannya pada ularular yang lain. Aneh, begitu tubuh ular-ular itu saling menyentuh, mereka berubah kembali menjadi pedang.

Sigap Suro Japara menyambar sebuah pedang yang tergeletak dan bersalto kembali. Lalu hinggap di tanah dengan ringannya. Wajahnya memancarkan sinar pembunuhan, dendam dan sakit hati. Apalagi dilihatnya empat mayat sahabatnya yang kini tergeletak tak jauh darinya dengan tubuh luka parah dan wajah yang mengerikan mengeluarkan darah.

"Sepasang Manusia Srigala!" geramnya dengan wajah memerah karena menahan geram yang sangat luar biasa. "Hari ini kau akan mampus menebus nyawa empat saudaraku, hah!"

"Kini kau tinggal sendiri, Suro Japara! Ternyata kau masih besar mulut pula!" kata Laksamurka sambil tertawa.

"Lebih baik kau menjadi pengawal kami, dan setiap malam... kau harus memberikan kehangatan padaku!" terkikik Dewi Murni. Lalu mengerling genit. "Suro Japara... kau padahal cukup ganteng, dan... ah, tubuhmu nampak begitu menggairahkan! Mengapa kau begitu bodoh hendak membuang nyawamu dengan percuma menghadapi kami? Kau sudah tahu bukan, tak ada seorang pun yang dapat membunuh kami!"

"Hhh! Kau melupakan seseorang rupanya, Manusia Srigala!"

"Siapa dia?!"

"Kau melupakan manusia maha sakti yang bisa disejajarkan dengan manusia dewa, Madewa Gumilang! Pendekar Bayangan Sukma! Kalian rupanya tidak tahu dalamnya lautan dan tingginya langit, Manusia Srigala!"

"Hahaha... Madewa Gumilang? Tak lama lagi nama dia pun akan terkubur dalam-dalam di dasar bumi!"

"Hhh! Rupanya kalian memang manusiamanusia iblis! Baik, kini tinggal aku seorang dari Lima Pedang Maut. Tapi aku bukanlah pengecut yang suka melarikan diri sementara keempat saudaraku tewas di tangan kalian! Nah, bersiaplah! Aku akan mengadu jiwa dengan kalian!"

"Hihihi... lebih baik kau pikirkan tawaranku, Suro Japara! Pikirkanlah lagi... hei!"

Belum lagi selesai ucapan Dewi Murni, Suro Japara sudah maju menyerang dengan tenaga penuh. Dewi Murni serentak melompat ke kiri dan balas menyerang.

Sigap Suro Japara melompat dan kembali menerjang. Tetapi kali ini Dewi Murni menjajakinya. Ujung pedang Suro Japara yang hampir mengenai dadanya, dia kibaskan dengan ujung jari telunjuknya. Lalu tangannya menghantam ke arah dada Suro Japara, yang cepat menangkis. Namun sungguh di luar dugaannya, tenaga yang tersalur dari tangan Dewi Murni demikian besar. Tangan Suro Japara terasa ngilu dan terdengar suara "krak!" yang menandakan tangan-tangan itu patah.

Suro Japara terhuyung. Laksamurka berseru, "Dewi, habisi saja! Jangan membuang waktu lagi!"

Dengan satu sentakan, tubuh Dewi Murni melesat ke depan. Dan kepalannya menghantam dada Suro Japara yang kini muntah darah. Dan tangan Dewi Murni bergerak cepat, menyambar leher Suro Japara dan memuntirnya.

"Krek!"

Leher itupun patah! Dewi Murni meludah sambil melemparkan tubuh.

"Orang-orang tak tahu diuntung!" geramnya. Sementara Laksamurka terbahak-bahak.

***
EMPAT
Sepak terjang Sepasang Manusia Srigala yang membuat onar serta membunuh Lima Pedang Maut, cepat tersebar ke rimba persilatan.

Saat ini pun di ruang pertemuan perguruan Topeng Hitam, sedang terjadi dialog antara Madewa Gumilang dengan Sepasang Walet Putih. Di sana juga hadir Ratih Ningrum, Pranata Kumala dan istrinya Ambarwati.

"Kita tidak bisa membiarkan hal ini berlarutlarut, Madewa," kata Gaok pada Madewa Gumilang.

"Benar, Ayah. Sebaiknya kita segera mencegah dan membasmi Sepasang Manusia Srigala sebelum mereka terus menerus membuat teror!" kata Pranata Kumala. "Atau sebaiknya... biar saya yang mencari kedua manusia dajal itu, Ayah..." kata Pranata lagi yang kali ini langsung dipegang tangannya oleh istrinya. Seperti memahami perasaan istrinya yang nampak cemas, yang jelas terlihat dari pancaran kedua bola matanya yang bening, Pranata Kumala membalas memegang lengan Ambarwati.

Madewa pun merasa sudah saatnya sepak terjang kedua manusia itu dihentikan. Selama ini dia tidak mau bergerak karena berharap kedua manusia itu akan insyaf dan menyadari kalau perbuatan mereka sangat keliru.

Namun tunggu punya tunggu keinsyafan itu tak muncul pula. Madewa mendesah panjang. "Sampai kapan kejahatan ini akan berlangsung?"

"Yah... kita memang harus segera menghentikan sepak terjang keduanya. Hal ini tak bisa berlarutlarut. Baik, Pranata... kuijinkan kau bersama beberapa murid Perguruan Topeng Hitam untuk mencari jejak kedua manusia itu,..." kata Madewa dengan suara yang terdengar arif dan bijaksana.

Pranata menjura. "Terima kasih, Ayah."

"Dan kau ingat, kau harus berhati-hati menghadapi mereka, Pranata!" "Hmm... jangan kuatir, Madewa. Kami akan menemani perjalanan Anak mas Pranata Kumala," kata Gaok yang melirik istrinya yang kemudian mengangguk.

Sudah tentu Ambarwati tidak mau membiarkan suami pergi sendiri. Meskipun ditemani Sepasang Walet Putih, Ambarwati tetap menyebutnya Pranata Kumala pergi sendiri, karena tanpa dirinya. Bila pergi bersamanya, bolehlah dikatakan itu ditemani. Ambarwati sangat menyintai suaminya. Lalu dia pun minta diijinkan ikut.

Bagi Madewa dan istrinya, Ratih Ningrum, hal itu boleh saja untuk mereka. Yang penting Pranata Kumala sendiri memperbolehkan istrinya menemaninya.

Sebenarnya Pranata hendak melarang istrinya ikut, karena dia tidak mau istrinya terlibat kesulitan. Tetapi tatapan Ambarwati yang begitu memohon dan kekeras-kepalaannya, sukar bagi Pranata untuk menolak.

Keesokan paginya, berangkatlah empat orang itu beserta beberapa murid Perguruan Topeng Hitam dengan menunggang kuda. Perjalanan yang masih membuat tanda tanya di manakah dan ke manakah mereka harus mencari sepasang manusia iblis itu.

Selama dua hari dalam perjalanan, tibalah mereka di desa Bojongpanjang. Begitu memasuki desa itu, semua menjadi keheranan. Betapa sunyinya. Hening. Desa itu bagai mati belaka. Desa yang dulu terdengar begitu makmur, kini bagai kuburan saja. Sepi, bahkan tak ada tanda-tanda kehidupan yang dapat dikenali di sana.

Mereka beristirahat di pinggiran desa itu. "Kakang Gaok... ada baiknya kita berpencar di

sini," kata Pranata Kumala kemudian, setelah mereka selesai bersantap siang. "Kupikir, bila kita selalu bersama, akan susah adanya mencari Sepasang Manusia Srigala. Waktu yang kita butuhkan akan lebih banyak. Jadi kupikir pula, sebaiknya kita berpisah. Kita datang dari Utara, maka sebaiknya aku dan istriku ke Barat, sedangkan Kakang dan Mbakyu Sri Kemuning ke arah Selatan. Bagaimana, Kakang?"

"Kalau itu kemauanmu, Dimas... bolehlah. Kupikir usulmu itu baik sekali. Pesanku, berhatihatilah menghadapi manusia-manusia itu...." kata Gaok.

Dua jam kemudian mereka pun berpisah. Seperti yang sudah disepakati, Pranata Kumala dan istrinya serta beberapa murid Perguruan Topeng Hitam pun berangkat ke Barat. Sedangkan Gaok dan Sri Kemuning berangkat ke Selatan.

Namun tanpa setahu mereka, kedatangan mereka sebenarnya sudah dicium oleh Sepasang Manusia Srigala. Keduanya pun berpencar mencegat perjalanan mereka, sedangkan Dewi Murni mengikuti jejak Gaok dan istrinya.

Malam hari, Pranata Kumala memerintahkan untuk bermalam di sebuah hutan, yang terdapat di desa Bojongpanjang.

"Agaknya di sini cukup aman," katanya kemudian. "Sampai sejauh ini kita belum mencium tempat tinggal Sepasang Manusia Srigala itu. Tetapi kita tetap harus waspada dan berhati-hati, karena keduanya adalah tokoh-tokoh yang sakti!"

Mereka pun bermalam dengan penjaga beberapa murid Perguruan Topeng Hitam.

Tengah malam tak jauh dari mereka bermalam, sepasang mata nampak memperhatikan rombongan kecil itu. Dia adalah Laksamurka. Dia menghitung hanya lima orang yang menjaga, itu pun nampak sudah terkantuk-kantuk akibat perjalanan yang jauh.

Laksamurka memetik lima lembar daun di dekatnya. Dan secara serempak kelima daun itu dilemparkannya ke arah para penjaga. Luar biasa, kelima murid Perguruan Topeng Hitam ambruk dengan urat nadi di leher berdarah.

Tanpa mengeluarkan suara, Laksamurka keluar dari persembunyiannya. Saat itu Pranata Kumala belum bisa memejamkan matanya karena memikirkan di mana tempat persembunyian Sepasang Manusia Srigala berada. Sementara istrinya sudah terlelap di sampingnya.

Pendengarannya yang cukup terlatih menangkap gerakan mendekati mereka. Sigap Pranata Kumala berdiri. Dia merasakan ada desir angin yang datang ke arah mereka. Serentak Pranata berguling sambil mendorong tubuh istrinya. Tiga buah senjata rahasia berbentuk taring srigala menancap di tanah.

"Bangsat keji!" geram Pranata.

Istrinya yang terbangun langsung bertanya, "Ada apa, Kakang?"

"Bersiap-siaplah, Rayi... manusia srigala itu sudah mengetahui kedatangan kita. "

Ambarwati mengambil pedangnya yang tergeletak di sampingnya.

Pranata Kumala melompat ke depan. "Manusia busuk! Keluar kau dari persembunyianmu!"

Seruan Pranata Kumala membangunkan beberapa murid Perguruan Topeng Hitam yang tertidur dan menjadi waspada melihat Pranata Kumala nampak bersiaga.

Dari balik semak muncul Laksamurka dengan sikap gagah. Dia tertawa melihat orang-orang itu dalam posisi siap tempur. Matanya langsung nanar memerah melihat Ambarwati. Gairahnya muncul.

"Hahaha... kalian ternyata punya nyali juga! Hmm, perkenalkan aku adalah Laksamurka salah seorang dari Sepasang Manusia Srigala, yang muncul untuk mencabut nyawa kalian!"

"Manusia dajal, maksud apa kau sesungguhnya membuat teror seperti ini?!" seru Pranata Kumala.

"Anak muda, aku mengenali kau sebagai putra Madewa Gumilang dan Ratih Ningrum! Bagus, tidak dapat orang tuanya, anaknya pun sudah lumayan! Hitung-hitung tak ada rotan akar pun jadi!"

"Laksamurka, omonganmu begitu besar! Seperti kau begitu yakin mampu mengalahkan aku, hah?!" "Hahaha... sebelum tubuhmu berkalang tanah, akan kuberitahukan mengapa aku membuat teror seperti ini? Tak lain untuk memancing Madewa Gumilang atau ayahmu keluar dari sarangnya. Bukan sebagai seorang yang pengecut, yang beraninya hanya bercokol di rumah!"

"Hmm... ada masalah apakah kau dengan ayahku? Dari nada ucapanmu sangat terdengar sekali nafsumu untuk membunuh ayahku!"

"Benar, aku dan Dewi Murni, Sepasang Manusia Srigala memang akan membunuh mampus ayahmu! Dan merebut Seruling Naga dari tangannya!"

Pranata Kumala tercekat. Seruling Naga? Bukankah seruling sakti itu berada di tangannya, dihadiahkan ayahnya sebelum dia menjadi murid Ki Ageng Jayasih tiga belas tahun yang lalu (baca: Kakek Sakti dari Gunung Murid). Lalu ada apa gerangan dan kenapa Sepasang Manusia Srigala ini hendak merebutnya?

"Laksamurka, Seruling Naga itu milik ayahku!

Mengapa kau hendak merebutnya?"

"Karena bukan dialah yang berhak memilikinya!"

"Hei, apa maksudmu? Seruling itu pemberian dari Kakek Guru Ki Rengsersari atau Pendekar Ular Sakti guru ayahku! Nah, dari fakta sejarah itu sudah jelas ayahku berhak memiliki seruling sakti itu!"

Seruling Naga yang mempunyai kesaktian luar biasa, dan bila ditiup bagi yang memiliki tenaga dalam pas-pasan akan hancur telinganya karena tak tahan mendengar suara seruling itu. Sedangkan bagi yang bertenaga dalam besar, dia pun akan tersiksa sehingga tidak bisa berbuat apa-apa. Bentuk seruling itu sama dengan seruling bisa, hanya bedanya pada Seruling Naga ada gambar sepasang naga. Seruling Naga itu memang pemberian Ki Rengsersari kepada Madewa (Baca: Pedang Pusaka Dewa Matahari).

"Hahaha... puluhan tahun yang lalu, seruling itu telah menjadi rebutan. Dan sekarang pun tetap menjadi rebutan... hahaha! Nah, bersiaplah untuk mampus di tanganku!" Laksamurka membuka jurusnya. Sebelum dia menyerang Pranata Kumala, beberapa murid Perguruan Topeng Hitam mengurungnya dengan pedang di tangan. Tanpa dikomando lagi pedang-pedang itu pun berkelebatan ke arah Laksamurka, yang menghindar ke sana ke mari dengan gerakan cepat.

"Manusia keparat! Kami datang untuk menuntut balas pada nyawa kawan seperguruan kami yang kau bunuh secara mengerikan!" seru salah seorang murid.

"Bagus! Majulah kalian, akan kubuat kalian menjadi sate!"

Pedang-pedang itu pun berkelebat kembali. Laksamurka tidak hanya menghindar sekarang, dia pun balas menyerang. Suaranya kini berubah menjadi mengerikan, seperti lolong srigala yang sedang marah.

Tangannya bergerak dengan cepat membentuk cakar srigala. Beberapa jeritan terdengar dengan menyayat hati disusul tubuh yang ambruk dengan luka yang mengerikan. Tergores dalam hingga ke tulang sumsum. Belum lagi yang terkena cakaran pada wajahnya, sangat menakutkan. Wajah itu robek tak berbentuk.

Namun murid-murid Perguruan Topeng Hitam sudah bertekad untuk membunuh manusia itu. Mereka tidak takut mati. Tetapi mereka pun tak bisa berbuat banyak menghadapi Laksamurka. Beberapa menit kemudian semua ambruk bergelimang darah dan tanah.

Laksamurka tertawa. "Pranata, lebih baik kau bunuh diri saja sebelum kurobek-robek wajahmu!" "Bangsat keji!" yang berseru Ambarwati. "Malam

ini pun aku bersabung nyawa denganmu!" "Hahaha... gadis manis. Siapakah kau sebenar-

nya?"

"Aku dan suamiku akan membunuhmu, Laksamurka!"

"Suamiku? Hahaha... berarti kau istri manusia sombong ini? Bagus! Bersiaplah kau untuk menemaniku melewati malam yang dingin!"

Ambarwati tidak tahan mendengar omongan yang kotor itu. Sambil menggeram dia menerjang dengan tusukan pedangnya ke arah dada. Laksamurka hanya tertawa. Masih tertawa dia menghindari serangan itu dan tangannya menepak lengan kiri Ambarwati yang langsung merasa kesemutan.

Melihat istrinya kena tampar, Pranata Kumala menjadi marah. Dia merangkum kedua tangannya. Dan menghentakkan ke depan. Muncullah selarik sinar merah ke arah Laksamurka.

"Pukulan Sinar Merah!" seru Laksamurka sambil menghindar. Sinar merah itu menghantam pohon di belakangnya yang langsung hangus berasap. "Ada hubungan apa kau dengan majikan Gunung Muria?"

"Dia adalah guruku! Nah, bersiaplah untuk mampus!" Kembali Pranata Kumala melancarkan pukulan sinar merahnya, membuat Laksamurka menjadi sedikit kerepotan.

Sambil bersalto dia melemparkan senjata rahasianya yang membuat Pranata Kumala menghentikan serangannya dan menghindari senjata rahasia itu.

Kesempatan itu dipergunakan Laksamurka untuk menyerang. Terjadilah bentrokan tangan kosong yang cukup hebat. Pranata pun mengeluarkan jurus Tangan Bayangannya. Sepuluh jurus pertempuran itu telah berlangsung.

"Tidak sia-sia kau berguru pada Ki Ageng Jayasih!" seru Laksamurka yang mau tak mau dibuat kagum juga oleh Pranata. "Tapi coba tahan seranganku kali ini!"

Sambil bersalto dua kali ke belakang, Laksamurka merangkum kedua tangannya di dada dan hinggap di bumi dengan manisnya. Dia membuka jurus Srigala Menangkap Mangsanya yang sangat hebat.

Sambil menggeram dia kembali menyerang. Kali ini Pranata Kumala yang dibuat sibuk untuk menahan serangan-serangan yang datang secara beruntun. Cepat dan penuh tenaga. Cakar-cakar maut Laksamurka bisa mendatangkan petaka bagi Pranata Kumala bila dia lengah sedikit.

Melihat suaminya cukup terdesak, Ambarwati pun melesat menerjang Laksamurka dengan ayunan pedangnya. Laksamurka yang siap hendak menyabetkan cakarnya ke wajah Pranata Kumala, jadi berbalik dan menepis pedang Ambarwati.

"Des!" Disusul dengan sebuah jotosan ke arah perut Ambarwati.

"Des!"

"Aduh!"

Tubuh itu terhuyung ke belakang. Karena terlalu marah dan emosi melihat suaminya terdesak, Ambarwati tidak memperhitungkan kesaktian Laksamurka, salah seorang dari Sepasang Manusia Srigala.

Melihat hal itu, Pranata Kumala menjadi marah sekali. "Bangsat hina! Aku akan mengadu jiwa denganmu!"

"Hahaha... kau hanya mengantarkan nyawa secara sia-sia," desis Laksamurka sambil ngakak.

"Bangsat! Lihat serangan!" Kembali Pranata melesat dengan jurus Tangan Bayangannya dan Sapuan Kaki Membelah Langit. Dia bertekad untuk mengadu jiwa. Dipadukannya dua jurusnya yang hebat itu. Benar saja, Laksamurka kini yang terdesak setelah lewat sekian jurus.

"Kunyuk! Jahanam!" serunya kocar-kacir. Dan Pranata sempat menghadiahkan sebuah tendangan yang tepat bersarang di dada Laksamurka.

Laksamurka menggeram. "Bangsat cilik, kau berani-beraninya menendangku, hah?!"

"Sudah kubilang, aku akan mengadu jiwa denganmu!"

"Baik, jangan sesali kata-katamu itu!" geram Laksamurka. "Hmm... lihat di sampingmu, Anak muda! Hahaha... lihatlah... betapa banyaknya ular-ular berbisa yang akan siap menelanmu dengan bisanya!" Pranata menoleh ke kirinya dan mendadak dia melihat sepuluh ekor ular berbisa yang mendesisdesis dan siap menyerangnya. Serentak Pranata melompat ketika ular-ular itu mematuknya dan mengejarnya dengan serentak. Ular-ular itu seakan mengerti perintah tuannya hanya dia yang diserang, karena Ambarwati tidak diserang. Perempuan itu sedang menahan rasa sakit di dadanya dan bergidik ngeri melihat suaminya yang diserang ular-ular itu. Rasa cemas dengan cepat menyergap perempuan itu.

Dia melirik Laksamurka yang terkekeh-kekeh melihat Pranata Kumala melompat ke sana ke mari. Ambarwati merasa, bila Laksamurka berhasil dikalahkannya, niscaya ilmu sihirnya akan punah. Dia harus menyerang. Berpikiran seperti itu, dia menjadi nekat. Tanpa memikirkan lukanya dan akibatnya, dia menerjang.

"Iblis busuk! Tarik kembali ilmu sihirmu!"

Tubuhnya berkelebat. Laksamurka menyambut dengan menghindar ke kiri. Tetapi perempuan itu bukanlah tandingannya yang berarti, karena sebentar saja dia sudah berhasil mematahkan serangan-serangan Ambarwati. Bahkan meringkus perempuan itu. Dan menotoknya.

"Hahaha... kau berani-beraninya berbuat lancang dengan Laksamurka, Manis... kau akan merasakan akibatnya nanti... hahaha!" Lalu ia berseru pada Pranata Kumala: "Anak muda... kau lihat istrimu, bukan? Hahaha... sebentar lagi akan menjadi hidangan makan malamku yang sangat mengasyikkan! Kulihat tubuhnya sangat montok dengan dada yang aduhai!"

"Anjing buduk! Jangan kau ganggu istriku?" bentak Pranata sambil melontarkan pukulan sinar merahnya pada ular terakhir yang menyerangnya, yang kemudian menjadi ranting. Dia bermaksud hendak menyerang Laksamurka dengan pukulan sinar merahnya, tetapi urung karena istrinya berada dalam kekuasaan manusia srigala itu. Pranata hanya bisa menggeram marah. Lebih marah lagi ketika Laksamurka menjawil dagu istrinya. "Lepaskan istriku, Srigala busuk!"

"Hahaha... mana aku mau melepaskan hidangan makan malamku ini?!"

"Lepaskan! Bertarung denganku sampai mati kalau kau berani!"

"Hahaha... Anak muda, carilah istrimu ini bila kau memang ingin mendapatkannya!" seru Laksamurka sambil menggendong Ambarwati. Lalu tubuhnya melompat menerobos kepekatan malam. Hanya suaranya saja yang terdengar menggema membelah malam.

"Tungguuu! Jangan kau ganggu istriku!" seru Pranata Kumala sambil mengejar. Ke mana pun akan dicarinya istrinya. Dan dia bertekad akan mengadu nyawa dengan Laksamurka bila istrinya diganggu, dan demi istrinya, Ambarwati!

*** 
LIMA
Sementara itu, Sepasang Walet Putih baru saja turun dari kuda-kuda mereka. Melihat malam yang semakin larut, keduanya bermaksud untuk bermalam saja.

"Agaknya tempat ini cukup aman, Rayi," kata Gaok setelah mengikat kudanya.

"Ya, Kakang. Aku pun sudah terlalu lelah." "Kau tidurlah... biar aku yang menjaga. "

"Tapi kondisimu, Kakang "

"Tidak apa-apa."

"Bangunkanlah aku bila kau benar-benar mengantuk " kata Sri Kemuning sambil hendak men-

gikat kudanya pula. Tiba-tiba saja dia menangkap ada desir angin yang datang kepadanya. Dengan sigap dia bersalto ke belakang.

"Cep! Cep! Cep!"

Tiga buah senjata rahasia menancap di kudanya yang langsung meringkik dan kemudian terjengkang mampus.

Gaok menjadi siaga.

"Bangsat busuk! Siapa yang berani menyerang istriku secara pengecut seperti ini, hah?! Cepat keluar dari persembunyianmu, sebelum kuobrakabrik hutan ini?!"

Mendadak melenting sesosok tubuh dengan manis dan hinggap di bumi dengan anggunnya. Dewi Murni mengikik di hadapan keduanya.

"Hihihi... rupanya Sepasang Walet Putih yang berkeliaran malam-malam begini " "Wanita iblis! Akhirnya kau nongol juga rupanya!" bentak Gaok marah.

"Kalian sengaja mencariku, ya? Hmm... rupanya kalian belum kapok menghadapi Sepasang Manusia Srigala."

"Kami akan mencabut nyawa iblismu. Di mana kawanmu itu, Iblis Betina?"

"Hihihi... rasa-rasanya dia tengah menikmati ranumnya tubuh Ambarwati sekarang. Dan telah mengganyang habis menjadi mayat Pranata Kumala. "

Sadarlah kedua tokoh dari golongan putih itu akan bahaya yang sedang menimpa Pranata Kumala dan istrinya. Mereka dapat menduga kalau Pranata Kumala dan istrinya akan menjadi sasaran empuk salah seorang dari Sepasang Manusia Srigala. Tetapi tentu saja mereka tidak menampakkan kekuatiran itu.

"Hmm.. Dewi Murni, kawanmu yang bernama Laksamurka yang kukira sudah menemui ajalnya di tangan murid tunggal Ki Ageng Jayasih!" seru Gaok yang sengaja membawa nama majikan Gunung Muria itu.

"Hihihi... kalian rupanya sedang bermimpi di siang bolong! Kalian berdua yang dikukuhkan sebagai majikan Gunung Slamet harus kocar-kacir menghadapi kami! Apalagi anak yang masih kemarin sore untuk unjuk gigi di rimba persilatan bisa mengalahkan salah seorang dari Sepasang Manusia Srigala! Kalian memang tengah bermimpi!"

"Omongan manusia ini memang kenyataan," desis Gaok. Rasanya terlalu berat buat Pranata Kumala dan istrinya untuk menang dari Sepasang Manusia Srigala.

Sri Kemuning rupanya sudah bosan untuk berbasa-basi segala, dia langsung menyerang dengan jurus Sambaran Walet Ke Sarang Musuh.

"Hihihi... rupanya istrimu pemarah sekali!" kikik Dewi Murni sambil menghindar ke kiri dan membalas dengan sebuah cakaran ke arah buah dada Sri Kemuning yang langsung menarik pulang tangan kanannya dan menangkis serangan itu.

"Des!"

Keduanya terpental ke belakang karena masingmasing tangan sudah dialiri tenaga dalam yang lumayan. Begitu hinggap di tanah, Sri Kemuning kembali melancarkan serangannya. Kali ini Dewi Murni langsung memapaki dengan kecepatan yang sama.

Kembali kedua benturan terjadi. "Des! Des!"

Kali ini Sri Kemuning yang terhuyung ke belakang sementara Dewi Murni telah berdiri gagah sambil terkikik-kikik. Melihat hal itu, Gaok pun langsung menyerang.

"Kenapa tidak sejak tadi kau bantu istrimu, hah?!" seru Dewi Murni sambil menghindar dan menyerang. "Ayo kalian keroyok aku! Biar tidak memakan waktu lama untuk menghabisi kalian!"

Diejek seperti itu membuat Sri Kemuning menjadi marah teramat sangat. Dia langsung menerjunkan diri. Menurutnya, bila mereka menyerang berdua, manusia ini akan lebih mudah dilumpuhkan. "Bagus!" seru Dewi Murni sambil menghindari serangan Sri Kemuning. "Tapi sayang, agaknya dua orang majikan Gunung Slamet harus menemui ajal di malam yang buta ini!"

Setelah berkata begitu dia menyerang dengan membabi buta. Cakar-cakar srigalanya siap mencabut nyawa masing-masing. Dia pun sudah menggunakan jurus Srigala Menangkap Mangsa yang juga dimiliki oleh Laksamurka. Jurus Srigala Menangkap Mangsa memang diciptakan oleh mereka yang lebih dahsyat bila dimainkan oleh seorang wanita. Dan jurus yang berada di tangan Dewi Murni ini kini kian merajalela dengan hebat.

Sepasang Walet Putih pun sudah menggunakan jurus berkelit mereka, Walet Terbang Ke Langit. Dan sekali-sekali masih mencoba untuk membalas menyerang.

Namun gempuran-gempuran Dewi Murni begitu dahsyat, sementara kemudian terdengar seruan Sri Kemuning mengaduh. Tangannya tersayat hingga mengeluarkan darah. Hal ini semakin membuat geram Gaok. Dia menyerang sambil mengeluarkan jeritan yang keras.

Karena diliputi dendam dan amarah, serangan Gaok menjadi membabi-buta. Dia tidak bisa lagi mengontrol serangan-serangannya. Apalagi ketika mengetahui istrinya merintih-rintih kesakitan. Gaok pun melihat kalau tangan istrinya berubah menjadi memerah. Itu bertanda serangan Dewi Murni mengandung racun yang luar biasa.

"Hihihi... sebentar lagi ajal akan menjemput istrimu, Walet jelek!" kata Dewi Murni sambil balas menyerang. Dan baginya kini hal yang mudah. Karena serangan Gaok di luar kontrol.

Tiba-tiba Dewi Murni menjerit dan melompat menerkam. Sambaran tangan kanannya yang berbentuk cakar menjambret dada Gaok dan mengibarkan sebagian pakaiannya yang terkoyak.

"Kali ini pakaianmu, Walet jelek! Sebentar lagi dadamu yang akan kurobek!"

Kemarahan Gaok semakin memuncak. Serangannya semakin membabi-buta. Dan ini memudahkan Dewi Murni untuk segera menghabisinya. Setelah lima jurus kembali berlalu, Dewi Murni semakin mudah menghabisi langkah lawannya.

"Des! Des!"

Dua pukulannya secara beruntun mengenai sasarannya. Gaok terhuyung. Selagi dia terhuyung, Dewi Murni meneruskan serangannya. Ajal kini telah berada di depan mata Gaok.

Namun tiba-tiba, sungguh tiba-tiba, Dewi Murni melompat ke kiri ketika dirasakannya desiran angin mengarah padanya.

"Bangsat busuk! Siapa gerangan yang pengecut seperti ini?!" geram Dewi Murni setelah hinggap di bumi.

Dari kegelapan malam, muncul sosok tubuh gagah perkasa. Sosok itu mengenakan pakaian kebesaran berwarna putih. Sikapnya arif dan bijaksana.

"Yang Mulia, Madewa Gumilang!" seru Gaok yang segera mengenali siapa yang telah menolongnya.

Sri Kemuning pun berseru yang sama. Dewi Murni terbelalak. Rupanya manusia inilah yang bernama Madewa Gumilang. Yang keperkasaannya menembus langit ketujuh dan ke dasar bumi.

Tetapi Dewi Murni tidak keder dengan nama besar itu. Dia berkata dengan sombong, "Rupanya nama Madewa Gumilang hanya kosong belaka! Ternyata hanya seorang manusia pengecut!"

Terdengar suara yang berwibawa dan bijaksana, "Dewi Murni... maafkan kelancanganku yang ikut campur dalam pertarungan ini. Sejak tadi aku sudah berada di sini melihat jalannya pertarungan ini. Hanya sayang, kuping kau rupanya tidak berfungsi untuk mengetahui kedatanganku "

Diam-diam Dewi Murni tercekat mendengarnya. Sungguh demi langit dan bumi, sedikit pun dia tidak mendengar datangnya Madewa Gumilang. Itu menandakan Madewa memiliki ilmu meringankan tubuh dalam tingkat maha sempurna. Diam-diam Dewi Murni mengukur tenaga dalam Pendekar Bayangan Sukma.

Dia mengirimkannya melalui suaranya, "Sejak tadi sudah kuketahui kedatanganmu, Madewa. Nah, kini bersiaplah untuk segera mampus di tanganku "

Madewa cuma tersenyum. Sedikit pun tidak nampak dia terganggu oleh tenaga dalam yang dikirimkan Dewi Murni secara diam-diam. Dia berkata, "Mati di tangan Tuhan, Dewi Murni. Bila Tuhan menghendaki aku mati sekarang, maka matilah. Tetapi agaknya Tuhan pun memberi jalan kepada umatNya agar dia berusaha. Karena kau mesti ingat, Tuhan yang menentukan, manusia hanya bisa berusaha."

Mendadak tubuh Dewi Murni bergetar. Keringat dingin pun keluar dengan deras. Dia merasakan sekujur tubuhnya menggigil. "Setan! Rupanya tenaga dalam Pendekar Bayangan Sukma pun sudah dalam tingkat yang maha sempurna," desahnya dalam hati. Dan pelan-pelan dia mengalirkan hawa murninya ke sekujur tubuhnya. Namun rasa dingin itu seolah tidak mau lepas, seolah telah mengikatnya erat-erat.

Dewi Murni menjerit hebat untuk mengusir hawa dingin itu. Namun lagi-lagi rasa dingin itu terus mengikatnya. Rupanya Madewa sudah mengirimkan tenaga dalam Salju Abadi.

"Maafkan aku, Dewi Murni... malam memang sangat dingin sekali "

Sementara Gaok dan istrinya semakin bertambah kagum pada Madewa Gumilang. Pendekar perkasa itu tetap bertingkah arif menghadapi lawannya.

"Madewa!" Sepasang mata itu melotot marah. "Aku akan mengadu jiwa denganmu! Hmm se-

rahkan Seruling Naga padaku! Cepat?!" "Itu milikku, Dewi Murni "

"Hhh! Biarpun itu milikmu, tetapi di dalam rimba persilatan siapa yang terkuat, dialah yang berhak memilikinya dan menguasai rimba persilatan ini! Dan aku akan merebut seruling pusaka itu dari tanganmu, Madewa Gumilang!"

"Hmm... bagaimana bila tidak kuberikan?!" kata Madewa yang kini mengerti duduk persoalannya. Munculnya Sepasang Manusia Srigala untuk merebut Seruling Naga dari tangannya. Tetapi baginya berhadapan dengan manusia semacam Sepasang Manusia Srigala ini, bukanlah hal yang menggelisahkan. Namun yang sangat disesalinya, mengapa masih banyaknya orang-orang serakah dan kejahatan di muka bumi ini. Teror yang dilancarkan Sepasang Manusia Srigala bukanlah hal yang kecil, karena telah puluhan nyawa manusia mampus di tangannya. Madewa bahkan yakin, sampai kiamat pun kejahatan tak akan pernah punah selama iblis masih diberikan hidup yang panjang.

"Nyawamu sebagai gantinya, Madewa!"

"Dewi Murni, dengarlah sebentar... mengapa kau masih membuat teror seperti ini? Bukankah bila kita hidup berdampingan, semuanya akan menjadi aman, tenang dan damai?"

"Karena kita berbeda golongan, Madewa. Kau dari golongan putih, sedangkan aku dari golongan hitam!"

"Tidak bisakah antara golongan putih dan golongan hitam bersatu?"

"Mustahil rasanya kejahatan dan kebaikan bersatu! Keduanya akan terus berperang selamanya, sampai kapanpun! Sampai dunia kiamat!"

"Tapi "

"Jangan berkhotbah di depanku, Madewa!" potong Dewi Murni. "Cepat kau berikan Seruling Naga itu padaku!"

"Maaf, Dewi Murni... Seruling Naga itu tidak berada padaku saat ini " "Bangsat! Rupanya kau pandai membual pula, Madewa! Baik, bersiaplah, aku akan memeriksa seluruh tubuhmu dan merebut Seruling Naga itu dari tanganmu!" Selesai berkata begitu, Dewi Murni langsung menyerang dengan jurus Srigala Menangkap Mangsa. Buas dan kejam. Serangannya cepat, beruntun dan berbahaya. Tetapi Madewa dengan mudah menghindarinya, dengan jurus Ular Meloloskan Diri. Hal itu membuat Dewi Murni semakin geram. Dia mempergencar serangannya. Sampai sepuluh jurus berlangsung, sekalipun Dewi Murni belum bisa menyarangkan pukulannya pada Madewa. Sementara Madewa sendiri belum sekalipun pula membalas. Madewa hanya berkeinginan, agar Dewi Murni menyadari bahwa dia berada di jalan yang keliru. Tetapi membuat wanita itu insyaf, hanya sia-sia belaka.

Menyadari serangannya tak membawa hasil sedikit pun, Dewi Murni menjadi marah karena merasa diremehkan pula, sebab Madewa tidak membalas. Tiba-tiba dia bersalto ke belakang dan berdiri sigap. Sepasang matanya menyala. Bersinar memerah. Tiba-tiba dia berseru, "Madewa, lihat di sebelah kirimu! Ular berbisa!"

Madewa melihat puluhan ular berbisa bergerak mendekatinya dan siap membunuhnya. Tetapi dia tetap berdiri tegak di tempatnya, malah dia berkata, "Sadarlah, Dewi Murni... kau sangat sesat sekali!"

Dewi Murni terbahak. Lebih terbahak lagi ketika melihat ular-ular itu sudah melilit di tubuh Madewa dan mematuknya berkali-kali. Tetapi pendekar itu tetap saja tenang di tempatnya. Sementara Sepasang Walet Putih yang melihat sekujur tubuh Madewa dililit dan dipatuki ular-ular, hanya bisa menahan nafas. Tegang.

Tetapi sungguh luar biasa, ular-ular yang melilit di tubuh Madewa dan mematukinya, satu persatu turun. Dan begitu menyentuh tanah, berubah kembali ke asalnya, menjadi ranting-ranting pohon kembali.

Dewi Murni terkejut melihatnya. Sangkanya pendekar sakti itu akan mampus. Ilmu sihirnya ternyata tidak ampuh bagi Madewa. Tetapi dia belum jera. Dia berseru lagi, kali ini lebih lantang, "Lihat pohon di depanmu, Madewa!"

Pohon jati yang berada di depan Madewa mendadak bergerak, dan berubah menjadi raksasa yang mengerikan. Tetapi Madewa hanya terdiam saja. Dia cuma mengibaskan tangannya. Raksasa yang menyeramkan itu kembali ke asalnya.

Merasa ilmu sihirnya tidak berguna, Dewi Murni menerjang kembali. Kali ini disertai pekikan yang hebat. Dan kali ini Madewa tidak hanya menghindar, tetapi juga balas menyerang dengan jurus Ular Mematuk Katak.

Serangannya pun cepat dan hebat.

"Des!" sebuah patukan mengenai sasarannya, membuat Dewi Murni menjerit kesakitan dan merasakan sekujur tubuhnya ngilu. Tetapi tiba-tiba dia menggeram luar biasa dan menyerang dengan tenaga kuat dan penuh. Madewa pun segera menyambutnya dengan jurus Tembok Menghalau Badai. Kembali terjadi benturan yang keras. Suasana di tempat itu menjadi ramai. Ketika keduanya berbenturan ada sepercik sinar yang cukup menyilaukan. Dan hasilnya sungguh luar biasa. Dewi Murni terhuyung dan muntah darah. Sedangkan Madewa Gumilang tetap berdiri dengan jubah putih yang berkibar terkena angin malam!

"Bangsaaat kau, Madewa!" geram Dewi Murni di antara kesakitan. Lalu dia muntah darah lagi. "Tunggu pembalasanku!"

"Lebih baik kau ajak kembali pulang kawanmu yang bernama Laksamurka ke Bukit Hantu. Dan katakan padanya untuk mengurungkan niatnya merebut Seruling Naga!"

"Dendam darah dibalas darah. Dendam nyawa dibalas nyawa. Dendam orang-orang Bukit Hantu akan abadi!"

"Kau telah diliputi dendam yang amat sangat, Dewi Murni. Lupakanlah semua itu. "

"Tak akan pernah kulupakan, Madewa! Karena... awas serangan!" tiba-tiba saja Dewi Murni melompat dan perlahan-lahan tubuhnya berubah menjadi seekor srigala yang buas.

Madewa melompat ke kiri. Namun sungguh luar biasa, saat lompatan srigala itu tak mengenai sasaran, mendadak saja hewan jelmaan Dewi Murni berbalik bersalto memburu Madewa kembali.

"Ilmu sihir!" geram Madewa sambil menyambut dengan pukulan yang keras.

Agaknya Dewi Murni lebih lincah ketika dia berubah menjadi srigala. Serangan Madewa itu dapat dihindarinya, malah hewan itu menerjang dengan buas. Sepasang matanya memancarkan sinar yang mengerikan diiringi air liur yang busuk.

"Hmm... Dewi Murni, kembalilah ke asalmu!"

Tiba-tiba saja, hewan yang tengah menerjang itu mendadak terjatuh. Dan saat tergeletak di bumi berubah kembali menjadi Dewi Murni. Yang menyeringai antara geram dan kesakitan.

"Ternyata tak sia-sia kau bergelar Pendekar Bayangan Sukma, Madewa! Tapi ingat, aku akan kembali lagi untuk mengadu jiwa denganmu!"

"Lupakanlah persoalan di antara kita ini, Dewi Murni. Sudah kukatakan tadi, kembalilah kau dan temanmu ke Bukit Hantu. Janganlah membuat onar di muka bumi ini!"

"Tapi dendam ini telah membakar sekujur tubuhku!" Selesai berkata begitu, tubuh itu melesat meninggalkan Madewa dan Sepasang Walet Putih yang tengah berdiri.

Keduanya mendekati Madewa.

"Terima kasih atas pertolongan Madewa yang agung."

Madewa cuma tersenyum.

"Agaknya pertentanganku dengan Sepasang Manusia Srigala tidak bisa dihindarkan lagi," sahut Madewa. "Ini bertanda, masih banyaknya kejahatan yang akan terus merajalela di muka bumi ini."

"Demi keadilan dan kebahagiaan umat manusia, kami, Sepasang Walet Putih akan terus membantu, Yang Mulia," kata Gaok yang menjura dan diikuti istrinya.

Tetapi Madewa tidak suka karena Sepasang Walet Putih itu nampak seperti bawahan yang sedang menghormati rajanya.

"Gaok dan Sri Kemuning... tingkah apa yang kalian perlihatkan di depanku sekarang ini? Tak sepatutnya kalian begitu menghormat padaku. Tapi sudahlah, di mana Pranata Kumala dan istrinya berada?"

Mendengar pertanyaan Madewa Gumilang, Gaok dan istrinya seperti diingatkan kembali akan Pranata Kumala dan istrinya yang dihadang oleh Laksamurka. Gaok menduga demikian, karena tadi saja dia dan istrinya dihadang oleh Dewi Murni. Sudah tentu kedua Manusia Srigala itu menghadang mereka sendiri-sendiri. Dan itu berarti kedatangan mereka sudah diciumnya.

Gaok menyadari akan kehebatan Sepasang Manusia Srigala. Menghadapi yang betinanya saja dia dan istrinya sudah kewalahan, bahkan maut hampir saja menyambar mereka. Apalagi Pranata Kumala dan istrinya menghadapi Laksamurka? Biarpun begitu, Gaok tak mau berpikir yang tidaktidak.

Tetapi dia pun menyadari akan keselamatan Pranata Kumala dan istrinya, Gaok pun berkata, "Kupikir... mereka sudah ditawan oleh Laksamurka, Madewa yang agung."

Kening Madewa berkerut. "Apa maksudmu, Gaok?"

Gaok pun menceritakan apa yang diberitahu Dewi Murni tadi dan kemungkinan Pranata Kumala dan istrinya bertempur melawan Laksamurka.

Tetapi sebagai tokoh yang sudah banyak makan asam garam dan pahit manisnya kehidupan, Madewa hanya menanggapi dengan senyum.

"Baiklah kalau begitu. Aku harus mencari anak dan menantuku. Sepasang Walet Putih, agaknya untuk sementara kita harus berpisah di sini "

Belum lagi Gaok dan Sri Kemuning berkata, bayangan putih itu sudah lenyap dari pandangan. Secepat angin dan bagai ditelan bumi.

"Tak percuma Madewa dikagumi oleh banyak jago-jago rimba persilatan," desisnya kagum.

"Dia adalah manusia dewa, Kakang," sambung istrinya.

"Benar, Rayi Sri Kemuning... kekagumanku padanya semakin bertambah saja dan awas, Rayi!"

Sebuah sambaran bertenaga besar mengarah pada mereka. Gaok serentak mendorong tubuh istrinya ke samping hingga bergulingan, sedangkan dia sendiri bersalto ke samping kanan.

Dan "Duarrr!"

Batang pohon yang berada di belakang mereka hancur terbakar oleh sambaran besar tadi. Wajah kedua Walet Putih itu pias. Tahu-tahu di hadapan mereka berdiri kembali Dewi Murni sambil mendekap dadanya yang terluka. Wajahnya geram dan penuh dendam. Memancarkan sinar membunuh.

"Sepasang Walet Putih, kini terimalah ajal kalian!" serunya seraya menyerang kembali, kali ini ke arah Sri Kemuning yang langsung menghindar melompat dan mengirimkan serangan balasan.

"Des! Duk! Duk!"

Beberapa kali terjadi benturan antara keduanya. Rupanya Dewi Murni hanya bersembunyi, menunggu Madewa Gumilang pergi dari tempat itu. Dia tidak puas bila belum membunuh salah seorang dari mereka, sebagai bayaran dan dadanya yang terluka karena serangan Madewa Gumilang.

Dan kini dia pun bertekad untuk mengadu nyawa. Dia tak perduli dengan lukanya yang nampak cukup parah. Yang penting baginya adalah membalas! Dan membalas!

Melihat istrinya diserang terus menerus, Gaok pun menerjang membantu membokong Dewi Murni dari belakang. Tetapi Dewi Murni bukanlah tokoh golongan hitam yang baru turun gunung. Dia sudah lama malang melintang bersama Laksamurka. Serangan bokongan Gaok hanya dihindari dengan memiringkan tubuhnya saja, lalu tangannya diayunkan menghantam dada Gaok.

"Des!"

Gaok terhuyung ke belakang. Dewi Murni tak mau menyia-nyiakan kesempatannya lagi. Meskipun dia tengah luka parah, serangan-serangannya masih cukup berbahaya.

Dia menerjang memburu Gaok dengan pukulannya yang ampuh.

"Awas serangan!"

"Kakaaaangg!" jerit Sri Kemuning yang tidak melihat kemungkinan bagi suaminya untuk menghindari serangan itu. Dia pun nekat menerjang dan menghalangi serangan Dewi Murni.

Tanpa ampun lagi pukulan sakti Dewi Murni menyerang tepat di dadanya.

"Des! Akhhhh...!" Seruan keras Sri Kemuning terdengar. Tubuhnya meluncur deras ke belakang. Dan ambruk dengan tubuh membiru, tanpa sempat bernapas sekali lagi. Nyawanya pun meregang dan melayang meninggalkan jasadnya.

"Sri Kemuning!" jerit Gaok seraya memburu. Dia mencoba menyadarkan istrinya, tetapi istrinya telah mati. Mendadak dia menoleh. Pandangannya berbahaya dan memancarkan sinar dendam.

"Kau harus membayar semua ini dengan nyawa busukmu, Srigala buas!" geramnya sengit.

Sementara Dewi Murni hanya tertawa, meskipun dia sedang menahan luka di dadanya.

"Nyawamu akan segera menyusul istrimu, Gaok!"

"Bangsat hina! Awas serangan!" jerit Gaok seraya meluncur menyerang. Kali ini dia menggunakan seluruh kepandaiannya untuk membunuh Dewi Murni.

Tetapi Dewi Murni menghindari semua itu dengan mudah saja. Dia merasa tidak begitu berat menghadapi Gaok seorang. Serangan-serangannya kian dahsyat.

Pertempuran kali ini menimbulkan suara bising yang amat sangat. Debu-debu beterbangan, dan daun-daun berguguran saat dua tenaga sakti berbenturan.

Lewat sepuluh jurus keduanya masih berimbang. Namun tiba-tiba Dewi Murni berseru sambil bersalto ke belakang menghindari serangan Gaok, "Lihat ada lima ekor ular di sekelilingmu!"

Mendadak Gaok menghentikan serangannya dan lima ekor ular berbisa mendesis di dekatnya. "Bangsat! Bisamu hanya menggunakan ilmu si-

hir saja! Ayo lawan aku!" serunya sambil menghindari patukan-patukan ular-ular berbisa itu. Dia nampak lebih kocar-kacir. Karena dengan susah payah dia harus menghindari serangan ular-ular itu, yang kian ganas dan sangat gencar.

"Hahaha... lucu sekali! Ada badut di sini!" terkekeh Dewi Murni sambil memegangi dadanya yang terasa amat sakit. Dia mengeluarkan ilmu sihirnya dengan maksud agar dia dapat beristirahat menahan rasa sakitnya.

"Srigala busuk! Tarik kembali ilmu sihirmu dan kita bertarung!" seru Gaok sambil susah payah menghindari ular-ular berbisa itu.

"Hahaha... baiklah, kalau itu maumu!" seru Dewi Murni sambil menerjang di saat Gaok tengah bersusah payah menghindari serangan ular-ular itu.

Dan sebuah pukulan menggedor dada Gaok hingga terhuyung dan muntah darah. Di saat dia sedang kesakitan, ular-ular itu menerjangnya. Tanpa ampun patukan ular berbisa itu secara bertubi-tubi menghantamnya.

"Akhhh!" jeritnya kesakitan dan ambruk dengan tubuh yang kering membiru.

Dewi Murni tertawa. Menarik kembali ilmu sihirnya. Lalu dia meludah. "Cih! Kau susul sana istrimu!" serunya seraya melesat meninggalkan tempat itu.

Meninggalkan Sepasang Walet Putih yang sudah menjadi mayat dengan tubuh membiru. 

***
ENAM
Sementara itu Pranata Kumala sudah berhenti mengejar. Bayangan Laksamurka yang berlari sambil menggendong Ambarwati tiba-tiba lenyap.

Matahari di ufuk Timur sudah menampakkan biasnya dan sebentar lagi pagi menjelang. Pranata menggeram marah bila mengingat istrinya yang dilarikan Laksamurka.

"Bila terjadi apa-apa dengan istriku, demi langit dan bumi, aku bersumpah, akan menghirup darah Laksamurka!" serunya sambil menengadah ke langit.

Dan tiba-tiba saja kilat menyambar dan bumi yang dipijaknya bergoyang bertanda sumpahnya telah didengar oleh penguasa langit dan bumi. Lalu Pranata Kumala melangkah lagi.

Dia tiba di sebuah sungai yang airnya mengalir jernih. Tubuhnya yang penat dan berkeringat dibasahinya dengan air itu. Lalu dia membuka bajunya dan berniat hendak mandi.

Mendadak saja telinganya mendengar suara seorang gadis sedang bernyanyi dari dalam sungai. Siapakah gerangan? Hati-hati Pranata Kumala mengenakan pakaiannya kembali dan mengintip dari balik semak. Di dalam sungai, sesosok tubuh kuning langsat tengah asyik berendam sambil bersabun.

Serentak Pranata menutup kembali semak itu. Tubuh yang dilihatnya tadi dalam keadaan telanjang bulat. Pranata memejamkan matanya. Dia bermaksud hendak meninggalkan tempat itu. Dan tanpa sengaja kakinya menginjak ranting kering yang membuat gadis yang sedang mandi itu langsung menoleh dan berenang ke tepian.

"Siapa di situ?" Pranata terdiam.

"Siapa di situ? Apa yang sedang kau perbuat?" seru gadis itu lagi dan pelan-pelan keluar dari sungai dan mengenakan kainnya yang hanya menutup bagian dada dan sebatas lutut. Hati-hati dan takut-takut gadis itu mengambil bakul yang berisikan pakaian yang baru saja selesai dicucinya.

Dia terkejut melihat sosok Pranata Kumala yang masih terpaku di tempatnya.

"Oh... kau... kau mengintip, ya?! Oh, jahat! Jahat!" jerit gadis itu antara malu dan marah.

Pranata menoleh, dia melihat betapa cantiknya wajah gadis itu. Sepasang matanya bersinar merah. Dan alis yang hitam dan lebat. Hidungnya bangir dengan dihiasi sepasang bibir mungil yang merah memikat. Dan kini wajah cantik itu pias karena malu diintip orang sedang mandi.

"Maaf... saya tidak sengaja mengintip "

"Bohong, bohong! Pemuda ceriwis! Pemuda cabul! Kerjamu hanya mengintip orang mandi saja!" seru gadis itu sewot.

Pranata menjadi gelagapan.

"Sungguh, Nona... saya tidak sengaja. Semula saya berniat hendak mandi, tetapi urung setelah mendengar suara orang bernyanyi. Dan tanpa sadar saya mencoba mencari siapa yang bernyanyi itu. Kiranya Nona yang... ah, maafkan saya, Nona...." kata Pranata sambil menundukkan kepalanya.

Tetapi gadis itu masih sewot karena malu yang tidak terhingga, sebab tubuhnya yang paling dirahasiakan telah dilihat orang. Dan orang ini pun berada di hadapannya. Namun lama kelamaan dia bisa memaklumi, setelah merasa bahwa pemuda ini jujur berkata.

Tetapi tak urung juga wajahnya masih memerah.

"Kau "

"Maafkan saya, Nona...." kata Pranata Kumala tetap menunduk. Perasaannya menjadi tidak enak. Dan dia menyesali kecerobohan dan kelancangannya.

"Kau telah melihat tubuhku!"

"Saya tidak sengaja melakukannya, Nona. "

Tiba-tiba Pranata mendengar isak di hadapannya. Hati-hati diangkatnya kepalanya. Dan dia melihat gadis itu yang terisak.

"Nona. "

"Pemuda ceriwis! Kau telah melihat tubuhku...huhuhu!" gadis itu kini terisak. Malunya tak terhingga karena tubuhnya ada yang melihat. Malu sekali!

"Saya tidak sengaja melakukannya, Nona. "

"Bohong! Kamu memang pemuda cabul!" gadis itu makin terisak.

Pranata menjadi serba salah. Hati-hati dan ragu dia melangkah mendekati gadis itu. "Maafkan saya. "

Tiba-tiba saja gadis itu berbalik sambil terisak. Bersamaan gadis itu berlari, muncul seorang pemuda yang bertelanjang dada. Dia memegang pacul. Sikapnya nampak tidak bersahabat. Dia masih sempat melihat gadis tadi berlari.

"Arum!" serunya.

Gadis itu berhenti melangkah dan berbalik. "Kang Bayu "

Pemuda yang bernama Bayu itu menghampiri gadis yang bernama Arum.

"Ada apa, adikku?"

Arum menubruk pemuda itu dan memeluknya.

Lalu menangis tersedu-sedu di dada pemuda itu. "Kang Bayu "

"Ada apa, Arum? Mengapa kau menangis? Apa yang diperbuat pemuda itu padamu?"

Arum masih terisak. Mendadak dia jadi malu untuk mengadu kepada Bayu yang ternyata kakaknya. Apa kata kakaknya nanti bila tubuh adiknya dilihat orang lain?

"Ti... tidak ada apa-apa, Kakang "

"Katakanlah, Arum. Kenapa kau menangis?" "Arum "

"Saya telah berbuat lancang, Saudara," terdengar suara Pranata. "Nama saya Pranata Kumala dari Laut Selatan."

"Hmmm... apa yang kau maksud dengan berbuat lancang?" suara Bayu terdengar tidak enak.

"Saya. "

"Oh, tidak ada apa-apa, Kakang. Tidak ada apa-apa," sela Arum dengan wajah yang semakin memerah.

Bayu melirik adiknya tidak percaya. Yang membuatnya heran, mengapa adiknya seperti menutupi sesuatu sedangkan pemuda yang mengaku bernama Pranata Kumala itu seperti hendak mengatakan sesuatu.

Untuk meyakinkan, maka dipandangnya Pranata Kumala.

"Hmmm... ki sanak, melihat dari cara kau berpakaian, rupanya kau bukan orang sembarangan. Nah, katakanlah apa yang telah terjadi antara kau dan adikku?"

Pranata melirik Arum yang kini menunduk. Dia mendesah. Haruskah dia mengatakannya, sementara gadis itu menjadi malu? Setelah mempertimbangkan Pranata mengambil keputusan untuk tidak mengatakan apa yang telah terjadi.

"Memang tidak terjadi apa-apa di antara kami, Saudara Bayu."

"Hmmm... dari tadi kau nampaknya hendak mengatakan sesuatu, Ki sanak. Dan kau telah berkata kau berbuat lancang. Nah, katakanlah...!"

Pranata menjadi semakin ragu, apalagi ketika sepasang mata yang kini bersinar lembut dan malu-malu mengharapkan dia tidak mengatakan yang sesungguhnya. Pranata menghela napas.

"Saya memang telah berbuat lancang, Saudara Bayu. Saya... yah... saya lancang berani mengutarakan cinta pada adik saudara."

Kali ini Bayu tersenyum. Arum terbelalak kaget lalu menunduk tersipu. Sedangkan Pranata sendiri heran mengapa dia mengatakan hal itu? Dia kuatir bila gadis itu salah tanggap. Pranata tahu, bagi seorang gadis bila dilihat tubuhnya oleh orang lain lebih baik bunuh diri kalau tidak laki-laki yang melihatnya itu harus mengawininya. Ah, apakah akan ada masalah lagi?

Bayu masih tersenyum. Melirik gadisnya yang tersipu.

"Adikku ini memang pemalu, Pranata," katanya yang kini langsung memanggil nama Pranata. "Hmmm... tapi aku yakin, kau akan bisa menaklukkan hatinya."

"Wah, agaknya akan ada persoalan lagi ini?" desah Pranata dalam hati.

Tetapi dia tersenyum. Didengarnya lagi Bayu berkata pada adiknya, "Mengapa kau harus marah, Arum? Bila kau tidak menyukainya kau kan bisa berkata dengan baik-baik. Tidak perlu marah."

Arum semakin menunduk. Wajahnya kembali bersemu merah. Dan tiba-tiba saja dia berbalik meninggalkan mereka dengan wajah tersipu-sipu.

Bayu tertawa. "Maafkan adikku, Pranata. Hmmm... melihat cara kau berpakaian, dan wajahmu yang gelisah, mungkin di samping masalah cinta dengan adikku, tentunya kau punya masalah lain. Nah, apakah gerangan?"

Pranata ingin berkata bahwa dia tidak mencintai adik Bayu, tetapi malah menjadi tidak. Setelah mendesah lalu dia berkata, "Aku sedang mencari seseorang, Bayu. Apakah kau melihatnya?"

"Siapakah dia?" "Dia bernama Laksamurka. Dia mengenakan pakaian berbulu srigala. Dengan wajah yang sedikit seram dan kalung yang berupa taring srigala. Dia pun tengah melarikan seorang gadis," kata Pranata. Lalu melanjutkan dalam hati, "Gadis itu istriku!"

Bayu terdiam. Lalu menggelengkan kepala. "Aku belum melihatnya. Ada masalah apakah gerangan?"

"Dia telah berbuat onar di desa Bojongpanjang.

Dia bergelar Sepasang Manusia Srigala." "Sepasang Manusia Srigala?!" seru Bayu terkejut. "Yah... kalau gelar orang itu saya pernah mendengarnya. Dia berpasangan dengan seorang wanita, bukan?"

"Betul!"

"Kami juga sebenarnya kuatir setelah mendengar teror yang mereka lancarkan di Bojongpanjang. Dan kami pun sudah bersiaga bila mereka membuat teror di desa kami ini, Kali Putih."

Pranata merasa dia harus bergegas kembali mencari istrinya. Lalu dia berkata, "Sebaiknya aku permisi saja, Bayu. Nampaknya matahari sudah semakin tinggi."

"Apakah tidak sebaiknya kau singgah dulu di rumah kami? Barangkali saja ada sesuatu yang akan kami hidangkan. Nampaknya kau pun lelah sekali, Pranata. Bukankah kau sebaiknya beristirahat dulu?"

Pranata membenarkan hal itu. Dia memang butuh istirahat. Tetapi bagaimana dengan nasib istrinya? "Lain kali mungkin aku bisa mampir. Terima kasih."

"Kalau memang itu kemauanmu, baiklah. Aku tidak bisa memaksa. Kalau soal Arum, serahkan saja padaku. Dia pasti mau menerimamu."

Pranata kembali hendak membantah, tetapi diurungkannya. Lalu dia pun berpamitan pada Bayu, lalu menerobos hutan yang cukup lebat dan matahari yang terus bersinar.

***
TUJUH
Jauh dari desa Kali Putih, ada sebuah gubuk tua yang tak terpakai. Suasana di tempat itu pun sunyi dan menyeramkan. Tak jauh dari sana ada pemakaman yang luas.

Di gubuk buruk itu Laksamurka membawa Ambarwati dan menawannya. Baginya, ini merupakan kesempatan yang sangat berharga bisa menawan Ambarwati dan sekaligus menikmatinya.

"Srigala busuk! Lepaskan aku!" seru Ambarwati yang dibaringkan di tanah dalam keadaan tertotok. "Ayo bertarung denganku sampai mampus!"

Laksamurka hanya terkekeh.

"Hehehe... sabar, Manis. Sabar. Kau agaknya sudah tidak sabar untuk ke sorga, ya?"

"Srigala busuk! Lepaskan aku!"

"Hehehe... aku akan menikmati dulu tubuhmu yang aduhai montoknya itu."

"Jahanam! Awas kalau kau berani menyentuh tubuhku!"

"Kau bisa berbuat apa, Manis? Di sini hanya tinggal kita berdua. Di sini kita bisa membagi kehangatan, bukan?"

"Busuk...!"

"Hehehe... sebentar lagi kau akan menikmati sorga dunia bersama orang yang kau sebut busuk ini."

"Jangan! Jangan kau lakukan itu padaku! Aku sudah bersuami, Srigala busuk!"

"Hehehe..."

"Lepaskan! Lepaskan! Hei, kau mau apa?" seru Ambarwati bergidik ketika Laksamurka mendekatinya dan membelai pipinya. Ambarwati menggeleng-gelengkan kepalanya menghindari belaian Laksamurka.

"Hehehe... pipi halus bak pualam, Manis. Alangkah nikmatnya!" katanya sambil terkekeh. "Coba kita lihat bagian dalam tubuhmu. Apakah seindah dan sehalus pipimu?"

"Jangan! Jangan!" seru Ambarwati yang hanya bisa berteriak-teriak sedangkan bagian tubuhnya tak bisa digerakkan karena dalam keadaan tertotok. Dia semakin bergidik ngeri ketika tangan Laksamurka hendak menggerayangi dadanya.

"Hehehe... dua buah gundukan yang besar dan indah. Tentu bagus bentuknya, bukan?"

"Kubunuh kau, Laksamurka!"

"Dalam keadaan tak berdaya begini bacotmu masih besar juga, Manis...." Tangan Laksamurka tiba-tiba bergerak cepat merobek baju bagian dada dari Ambarwati.

"Brek!" Terlihatlah dua buah gundukan yang putih halus di hadapannya. Ambarwati memejamkan matanya menahan kegeraman yang sangat luar biasa. Habis, habis sudah. Dia hanya bisa berdoa pada Tuhan akan pertolonganNya.

Mata Laksamurka langsung nanar melihat buah dada Ambarwati yang indah. "Benar dugaanku, Manis. Bentuknya bagus dan indah."

"Biadab! Jangan kau lakukan itu padaku!" "Hehehe..." Laksamurka tertawa. Tetapi tiba-tiba

dia menoleh. Telinganya menangkap suatu gerakan di luar. "Bangsat! Siapa kiranya yang berani mengganggu ketenangan Laksamurka?"

"Sepasang Manusia Srigala, keluarlah cepat! Sebelum aku tega untuk membunuhmu!" terdengar suara bernada cempreng dari luar.

"Bangsat!" seru Laksamurka sambil melangkah ke depan. Di hadapannya berdiri seorang nenek bertubuh bungkuk. Dia mengenakan konde yang bagus dengan tusukannya yang terbuat dari emas. Tangan kanannya memegang sebuah tongkat. "Hmm, siapa gerangan kau kiranya yang berani mengusik Laksamurka?"

"Hihihi... agaknya namaku tidak punya banyak arti untukmu, Laksamurka. "

"Katakan cepat, sebelum aku punya niat untuk membunuhmu!"

Di dalam gubuk Ambarwati menghela napas lega. Agaknya Tuhan mendengar doanya. Dia mendengar lagi suara dari luar, "Hihihi... kau begitu ngotot sekali. Baiklah bila kau ingin mengetahuinya.... Namaku Rumbila... hihihhi jelek, bukan?"

Tetapi bagi telinga Laksamurka cukup mengejutkan pula. Tetapi dengan tenang dia berkata dengan suara angker, "Ada apa majikan Bukit Ular yang bergelar Dewi Tongkat Ular keluar dari sarangnya?"

"Hihihi... rupanya kau belum tahu kalau namamu dan Dewi Murni yang bergelar Sepasang Manusia Srigala sudah terdengar sampai ke Bukit Ular?"

"Hmm... tak kusangka kalau nama itu menarik perhatian Majikan Bukit Ular!"

"Sudah tentu... sudah tentu... telingaku menjadi panas bila mendengar gelar itu. Apalagi teror yang kau lancarkan. Belum lagi dengan tantangan yang kau lontarkan pada Pendekar Bayangan Sukma. Hmm... agaknya kau pun tidak tahu akan kesaktian manusia agung itu Madewa Gumilang!"

"Sebentar lagi nama yang kau banggakan itu akan mampus di tanganku, Dewi Tongkat Ular!"

"Hihihi lucu, lucu... Maafkan aku yang telah mengganggu keasyikanmu dengan seorang gadis di dalam. Namun agaknya aku perlu bertanya pula. Kau apakan gadis itu, hah? Nampaknya dia berada di bawah kekuasaanmu."

"Jangan ikut campur urusanku!"

"Karena kau tidak menerangkannya aku akan ikut campur!"

"Hmmm... agaknya majikan Bukit Ular usil juga. Baik, aku pun ingin tahu sampai di mana kehebatan namamu, Rumbila!"

"Hihihi... mengapa tidak sejak tadi?!"

Ditantang dan diejek begitu, membuat darah Laksamurka mendidih. Tiba-tiba saja dia berkata, "Hmmm... tongkat yang kau pegang itu ular betulan rupanya!"

Tiba-tiba saja tongkat yang dipegang Dewi Tongkat Ular berubah menjadi ular. Tetapi nenek itu hanya tertawa saja. "Hihihi... keluarkanlah ilmu sihirmu, Laksamurka. Dan ciptakan berbagai macam ular jejadian!"

Sungguh aneh, ular jejadian dari ilmu sihir Laksamurka tidak berbuat apa-apa pada Dewi Tongkat Ular. Tidak sia-sia dia menjadi Majikan Bukit Ular.

"Bangsat!" Laksamurka menggeram dan menarik kembali ilmu sihirnya yang membuat tongkat itu berubah kembali ke asal. "Baik, kita lihat sekarang!"

Setelah berkata begitu, Laksamurka langsung menerjang dengan jurus Srigala Menangkap Mangsa. Rumbila cuma tertawa. Dia malah memapaki serangan itu dengan ayunan tongkatnya. Terdengar desir angin yang cukup kuat saat tongkat itu diayunkan. Laksamurka menarik kembali serangannya dengan jalan bersalto. Namun belum lagi dia hinggap di bumi, Rumbila sudah menyodokkan tongkatnya.

"Bangsat!" geram Laksamurka. Dan sungguh luar biasa, saat tubuhnya tengah melenting itu tiba-tiba melinting kembali.

"Bagus!" seru Dewi Tongkat Ular kagum. Dia kembali menyerang. Dalam sekejap saja tempat itu sudah menjadi ajang pertarungan dua tokoh sakti. Berpuluh jurus sudah berlangsung namun belum ada tanda-tanda ada yang kalah dan menang. Keduanya berimbang.

Laksamurka bersalto ke belakang. "Sekarang kau tahan seranganku, Rumbila!"

Tiba-tiba saja tubuhnya berubah menjadi seekor srigala dengan sepasang mata yang menyalang buas. Rumbila agak terkejut melihatnya. Belum lagi dia sadar apa yang tengah terjadi, srigala jelmaan Laksamurka itu sudah menerkam. Reflek Rumbila mengayunkan tongkatnya. Namun srigala jelmaan itu masih terus menerjang, membuat Rumbila terpaksa melompat menghindar.

Dan kini srigala itu siap untuk memangsanya. Tiba-tiba Rumbila melempar tongkatnya ke arah srigala jelmaan itu. Mendadak tongkat tadi berubah menjadi seekor ular cobra. Dan langsung hendak mematuk srigala jelmaan itu. Tentunya Laksamurka yang tengah menjelma menjadi srigala tidak mau mati konyol. Dia menghindar ke samping dan menerkam dari belakang.

Terjadilah pertarungan antara srigala dan ular jelmaan itu. Keduanya bertarung dengan sengit diiringi suara lolong dan desisan. Sementara Rumbila duduk bersila, mempertahankan ilmu sihirnya pada tongkatnya yang kini menjelma menjadi seekor ular.

Namun mendadak srigala itu menjelma kembali menjadi Laksamurka. Sambil bersalto menghindari serangan ular jejadian itu, dia melontarkan senjata rahasianya yang berbentuk taring. Dewi Tongkat Ular yang sedang berkonsentrasi tidak mengetahui serangan licik itu.

Tiga buah senjata rahasia Laksamurka menancap pada sasarannya membuat Dewi Tongkat Ular terjengkang ke belakang dengan muntah darah. Sementara ularnya kembali menjadi tongkat.

"Hahaha... hanya begitu saja kehebatan nama besar majikan Bukit Ular!"

"Bangsat pengecut!" geram Dewi Tongkat Ular sambil menahan sakit yang mulai menjalari tubuhnya.

"Untuk mengalahkan manusia sombong seperti kau segala cara dihalalkan!" Laksamurka terbahak-bahak. "Nah, kau nikmatilah rasa sakitmu itu, Dewi. Dalam waktu lima belas menit, kau akan mampus dengan tubuh yang mengerikan bagai dicincang oleh ribuan srigala! Hahaha. "

Dewi Tongkat Ular menahan rasa sakit dan marahnya. Laksamurka masuk kembali ke gubuk itu. Dia berkata pada Ambarwati yang masih dalam keadaan tertotok, yang hanya bisa melotot geram melihat munculnya Laksamurka.

"Kita pindah dari tempat ini, Manis. Tempat ini sudah diketahui orang," katanya sambil membopong tubuh Ambarwati yang menjerit-jerit namun tak bisa berbuat apa-apa ketika dibopong. Laksamurka cuma terkekeh.

Lalu dia keluar lagi. Dan berkata pada Dewi Tongkat Ular, "Selamat tinggal, Dewi. Nantikanlah ajalmu yang sebentar lagi akan menjemputmu dengan kereta emasnya yang sangat indah dan bagus hehehe!"

Bersamaan dia selesai berkata begitu, muncul Dewi Murni yang terengah-engah. Tangan kanannya mendekap dadanya. Wajahnya berkeringat dan pucat.

"Laksamurka!" rintihnya sebelum ambruk. "Dewi Murni!" seru Laksamurka terkejut dan

menurunkan tubuh Ambarwati lalu bergegas menghampiri Dewi Murni. "Apa yang telah terjadi, Dewi? Siapa yang berani berbuat begini, hah? Siapa, Dewi? Katakan, katakan padaku! Biar kulumat habis manusia yang membuatmu menderita begini!"

Mata itu terbuka. Sinarnya redup. Dewi Mumi menahan sakit di dadanya. Suaranya terputusputus, "Aku... aku sudah bertemu dengan... Pendekar Bayangan Sukma, Laksa... dia... dia maha sakti, Laksa. "

"Tahan, Dewi! Di mana dia sekarang?"

"Entahlah... aku tidak tahu... Laksa... sakit sekali... Akh... Laksa... aku telah membunuh Sepasang Walet Putih dari Gunung Slamet "

"Bagus! Sekarang kau tahan, biar aku obati!" kata Laksamurka sambil merobek baju bagian dada Dewi Murni. Nampaklah buah dadanya yang bulat dan montok. Putih bersih. Dalam keadaan begini, Laksamurka tidak bernafsu untuk menikmati sesaat pemandangan yang mengasyikkan di depan matanya. 

"Keluarkan hawa murnimu. Dan tahan sebentar...." katanya pula seraya mengalirkan hawa murni dan tenaga dalamnya melalui tangannya. Cukup lama hal itu terjadi. Tubuh Dewi Murni nampak menggigil. Keringat dingin mengucur dengan deras. Begitu pula dengan Laksamurka. Mendadak saja Dewi Murni muntah darah.

"Huak!" 

"Tahan, Dewi. Tahan... sebentar lagi "

Tiba-tiba saja dari samping kiri mereka sebuah sinar berwarna merah berkelebat ke arah mereka.

Serentak Laksamurka bersalto menghindar. Sedangkan Dewi Murni yang sedang terluka, harus bersusah payah menggulingkan tubuhnya. Terlambat dua detik, mampuslah srigala betina itu.

"Bangsat!" bentak Laksamurka. "Siapa yang kerjanya hanya berani membokong saja! Ayo keluar! Tampakkan wajah jelekmu!"

Tak ada sosok yang keluar. Laksamurka memberikan pil pemulih tenaga pada Dewi Murni. Lalu menyuruhnya untuk bersemedi. Kali ini dia berdiri di dekat Dewi Murni, kuatir ada serangan gelap lagi.

Tiba-tiba melompat sesosok tubuh dari balik semak dan hinggap di tanah dengan ringannya.

"Aku memenuhi panggilanmu yang menyuruhku keluar, Laksamurka!" kata sosok tubuh itu gagah.

"Hhh! Rupanya kau bocah jelek! Punya nyali pula kau untuk menyerang secara gelap begitu!"

"Aku datang untuk membebaskan istriku, Laksamurka! Dan mencabut nyawa iblismu serta srigala betina itu!"

Terdengar seruan dari samping sosok yang baru datang itu, "Kakang Pranata. !"

Serentak sosok yang tak lain Pranata Kumala menoleh ke arah suara yang memanggilnya. "Rayi Ambar " serunya seraya ingin mendekat.

Tetapi Laksamurka menghalanginya dengan mengirimkan satu tendangan yang cukup berisi, membuat Pranata Kumala mengurungkan niatnya dan menghindar. "Bagus!" serunya.

"Hhh! Bocah jelek, kau hanya mengantarkan nyawamu ke sini rupanya!"

"Sudah kukatakan, akulah yang hendak mencabut nyawamu!"

"Besar pula ucapanmu!"

"Karena kau tak akan lama lagi untuk hidup di muka bumi ini! Begitu pula dengan kawanmu yang nampak terluka parah! Maaf, kalau tadi aku harus membokong kalian!"

"Pandai sekali kau berucap, Bocah jelek! Kau hanya mengantarkan nyawamu saja ke sini!"

"Hahaha... mengapa tidak sejak tadi kau maju ke sini! Ayo, majulah, Laksamurka! Biar kuhantam perutmu dan kuburai isi perutmu!" Lalu disusul dengan tawa Pranata Kumala yang menyakitkan telinga.

"Kulumat tubuhmu, bocah jelek!" "Majulah, Srigala busuk!"

Laksamurka yang tengah murka karena ditantang seperti itu tak mau banyak omong lagi. Dia serentak menerjang dengan hebat diiringi pekikannya yang keras. Serangan-serangannya mantap dan mengundang maut. Pranata mengimbanginya dengan jurus menghindarnya Kijang Kumala dan jurus Tangan Bayangannya.

Pertempuran itu hebat. Ambarwati berdoa dalam hati demi keselamatan suaminya tercinta. Dia sudah gembira melihat suaminya mendadak muncul. Tetapi kini hatinya cemas melihat dan mengingat betapa hebatnya Laksamurka.

Sedangkan Rumbila berharap, Pranata Kumala mampu mengalahkan Laksamurka dan segera mengobatinya.

Pertempuran antara keduanya berlangsung dengan seru. Masing-masing mengeluarkan segenap kemampuannya. Dan seluruh tenaga mereka.

"Des!"

"Des!"

"Des!"

Berkali-kali benturan terjadi. Namun keduanya terus saling menyerang berupaya untuk segera menjatuhkan lawannya.

"Awas serangan, bocah jelek!"

"Hahaha... kulayani sampai seribu jurus sekali pun, Srigala busuk!"

Lagi keduanya saling menerjang. "Des!"

"Des!"

Lagi terjadi benturan yang hebat. Tiba-tiba Laksamurka menjerit, "Lihat sekelilingmu, Bocah! Ular berbisa!"

Mendadak saja ranting-ranting pohon yang berada di dekat berubah menjadi ular berbisa. Dan mendesis-desis siap menyerangnya.

"Kau hanya berani dengan ilmu sihir!" seru Pranata Kumala memaki sambil menghindari patukan ular-ular itu. Sambil menghindar dia kembali melontarkan pukulan sinar merahnya ke arah ularular itu.

Sebentar saja ular-ular itu mati dan berubah kembali menjadi sebatang ranting. Melihat serangannya gagal, kembali Laksamurka menerjang. Dengan dahsyat dan diiringi dengan pekikan mengerikan. Terjadilah pertarungan yang hebat antara keduanya.

Dewi Murni yang merasa tubuhnya mulai membaik, dan kesal serta marah dibokong sedemikian rupa, mulai membantu setelah mengalirkan hawa murninya ke sekujur tubuhnya. Pertempuran tak seimbang pun terjadi. Ambarwati ngeri melihat suaminya dikeroyok begitu.

Rumbila atau Dewi Tongkat Ular hanya bisa menonton saja dengan hati geram tanpa bisa berbuat apa-apa. Dan perlahan-lahan dia merasakan sakit yang luar biasa di sekujur tubuhnya. Rumbila tidak yakin dia bisa bertahan untuk hidup lebih lama.

Sementara pertempuran itu semakin seru berlangsung. Pranata mengeluarkan segenap kemampuannya dengan sekali-sekali melontarkan pukulan sinar merahnya.

Dia merasa beruntung karena Dewi Murni sedang terluka. Bila tidak, dia merasa tak mungkin mampu menahan gempuran-gempuran dahsyat yang dilancarkan keduanya.

Tiba-tiba dia menjerit, "Lihat serangan!" Pukulan sinar merahnya pun dilontarkan den-

gan membabi buta, membuat kedua manusia itu harus memperlihatkan kelincahan mereka. Dan tiba-tiba selagi Dewi Murni meloncat, Pranata menyerang masuk.

"Des!" Pukulannya bersarang di dada Dewi Murni yang terhuyung ke belakang.

Melihat hal itu Laksamurka melemparkan obat pemunah rasa sakit yang langsung ditelan oleh Dewi Murni dan segera bersemedi. Memulihkan hawa murninya dan menyalurkan segenap tenaga dalamnya ke seluruh tubuhnya.

Sementara Laksamurka terus menyerang dengan gencar dan nafsu untuk membunuh lawannya. Kali ini Pranata Kumala yang cukup kerepotan dibuatnya.

Tiba-tiba saja Laksamurka menjerit dan menyerang.

"Des!"

Tendangannya mengenai sasaran!

Membuat Pranata Kumala terhuyung beberapa tindak. Lalu menyeka bibirnya yang mengeluarkan darah.

"Kakang...." jerit Ambarwati pilu. Tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa karena tubuhnya masih dalam keadaan tertotok.

Laksamurka terbahak.

"Itulah akibatnya bila berani menantang Sepasang Manusia Srigala."

Pranata Kumala menyeka kembali bibirnya. Matanya nyalang.

"Bangsat! Majulah, Srigala busuk! Aku akan mengadu jiwa denganmu!"

"Hahaha... sudah dalam keadaan sekarat kau masih berani untuk menantangku? Baiklah, bila itu maumu! Nah, tahan serangan!"

Tubuh itu berkelebat lagi. Kali ini dengan pukulan lurus ke muka. Pranata menghindarkan kepalanya ke kiri, tiba-tiba saja pukulan yang berbentuk bogem itu berubah menjadi cakar srigala.

"Bret!"

Baju bagian bahu Pranata terkoyak oleh sambaran jari yang berbentuk cakar.

"Hahaha... sebentar lagi jantungmu yang akan kukorek ke luar dan kucabik-cabik, Bocah!"

Dewi Murni yang sudah merasa pulih tenaganya membuka matanya dan siap membantu Laksamurka. Begitu dilihatnya Laksamurka sedang berada di atas angin, diurungkannya niatnya.

Dia berseru, "Jangan kau kasih bernapas lagi manusia tak tahu diuntung itu, Laksa!"

"Baik, Dewi! Dia pun harus membalas perlakuan yang telah dibuatnya terhadapmu!" seru Laksamurka sambil terbahak. "Nah, Pranata Kumala... bersiaplah untuk mampus!"

Sehabis berkata demikian, Laksamurka menerjang dengan hebat. Pukulannya mengandung tenaga dalam yang penuh, siap menjemput nyawa Pranata Kumala. Sebisanya Pranata bertahan, namun satu benturan keras membuatnya mati langkah dan ambruk ke tanah.

Laksamurka tak mau membuang waktu lagi. Dia menjerit menerjang untuk menghabisi nyawa Pranata Kumala. Pranata hanya memejamkan matanya menyambut pukulan itu.

Tiba-tiba saja terdengar suara keras, "Des!" Tubuh Laksamurka terhuyung karena dia me-

rasa menghantam sebuah tembok besar. "Bangsat, siapa yang berani menghalangi perbuatanku ini?!" Tak jauh darinya berdiri sosok tubuh gagah berjubah putih.

"Madewa Gumilang!" seru Dewi Mumi.

"Ayah!" Ambarwati dan Pranata Kumala berseru bersamaan.

"Hhh! Nama besar Madewa hanya bisa membokong rupanya!" bentak Laksamurka dengan geram. "Tapi sayang, hari ini nama besar itu akan terkubur selama-lamanya!"

Madewa tersenyum arif. "Laksamurka, hendaknya kau kembalilah ke tempat asalmu. Dan ajak pasanganmu itu. Janganlah kau terus menerus membuat onar!"

"Hhh! Kau harus mampus di tanganku, Madewa!" geram Laksamurka. "Nah, cepat serahkan Seruling Naga padaku!"

"Ingatlah Laksamurka, janganlah kau menjadi manusia laknat!"

"Itu urusan ku! Cepat serahkan Seruling Naga sebelum kucabut nyawamu!"

"Kau tak ubahnya binatang haus darah, Laksamurka!"

Dikatakan seperti binatang, kemarahan Laksamurka langsung naik. "Aku memang binatang yang haus darah! Terutama darah kau, Madewa!" serunya seraya menerjang. Madewa sudah memperkirakan serangan itu. Dia menghindar dengan jurus Ular Meloloskan Diri.

Melihat serangannya gagal, Laksamurka kembali mempergencar serangannya. Serangannya begitu cepat dan bertenaga. Dia tidak tanggung lagi, langsung menghimpun tenaga dalamnya dalam tingkat tinggi.

Madewa pun kali ini tidak hanya menghindar, dia juga membalas dengan jurus Tembok Menghalau Badai. Hal itu membuat Laksamurka cukup kewalahan. Dewi Murni yang merasa kesehatannya cukup pulih, menerjang membantu. Tidak lagi mempersoalkan Pranata yang menghantamnya tadi.

Kini jadilah mereka kembali Sepasang Manusia Srigala. Kekuatan mereka berpadu. Madewa cukup merasakan gempuran yang hebat. Apalagi ketika keduanya menggunakan jurus Sepasang Srigala Melompat. Madewa bukan hanya dibuat kerepotan sekarang, tetapi harus membuatnya menghindar dengan lincah.

Tiba-tiba terdengar jeritan Dewi Tongkat Ular, "Aaaahh!"

Serentak pertarungan itu terhenti. Semuanya menoleh pada Dewi Tongkat Ular yang meringisringis kesakitan.

Seketika Madewa mengetahui kalau Dewi Tongkat Ular terkena senjata rahasia salah seorang dari Sepasang Manusia Srigala. Tanpa diketahui oleh keduanya, Madewa mengirimkan tenaga dalamnya melalui mata untuk menghentikan aliran racun yang sudah hampir mencapai jantung.

"Lihat Madewa, sebentar lagi kau pun akan sekarat seperti Dewi Tongkat Ular!" seru Laksamurka.

"Aku pun harus membalas apa yang telah kau lakukan padaku semalam, Madewa!" geram Dewi Murni. Masih mengirimkan tenaga dalamnya melalui matanya kepada Dewi Tongkat Ular, Madewa tertawa pada Laksamurka dan Dewi Murni.

"Kalian rupanya pemimpi-pemimpi yang luar biasa!"

"Jangan besar mulut kau, Madewa!"

"Hahaha... agaknya hari ini aku pun tak boleh bermurah hati lagi!" kata Madewa yang sengaja mengulur waktu untuk menolong Dewi Tongkat Ular yang merasa heran karena tubuhnya dirasakan agak berkurang sakitnya.

"Bacotmu besar juga, Madewa!"

"Lakukanlah bila kau mampu untuk membungkam bacotku!"

"Baik! Bersiaplah!" Laksamurka bersalto ke dekat Dewi Murni. Tubuh keduanya berapat punggung. Tangan mereka membentuk cakar. Agaknya keduanya tengah menyiapkan jurus mereka yang paling ampuh. "Hari ini kau harus mampus di tangan kami, Sepasang Manusia Srigala, Madewa!"

Madewa yang merasa sudah cukup menolong Dewi Tongkat Ular pun segera meladeni kedua Manusia Srigala itu.

Tiba-tiba terdengar pekikan keras yang menggema di seluruh tempat, dua manusia itu menerjang dengan masing-masing tangan membentuk cakar dan mengeluarkan sinar merah.

Madewa pun segera memapaki dengan pukulan Tembok Menghalau Badai yang dipadukan dengan jurus Ular Cobra Bercabang Tiga. Terjadilah benturan antara kedua tenaga yang menimbulkan suara seperti letusan. "DUUARRR!"

Sungguh di luar dugaan, Madewa terhuyung lima tindak ke belakang dengan mulut mengeluarkan darah! Sementara Sepasang Manusia Srigala itu hanya terhuyung dua tindak dan kini sudah berdiri dengan gagahnya.

"Hahaha... nama besar Pendekar Bayangan Sukma ternyata tak punya banyak arti hari ini!" seru Laksamurka. "Hmmm... Madewa keluarkan pukulan Bayangan Sukma yang kau banggakan!"

Dewi Murni yang sangat mendendam sekali dan melihat keadaan Madewa yang sudah di bawah angin akibat benturan tadi, tiba-tiba memekik menerjang dengan kedua tangan mengembang ke arah jantung Madewa.

Ambarwati menutup matanya ngeri.

Dewi Tongkat Ular hanya bisa mendesah tanpa bisa membantu karena tubuhnya masih lemah.

Laksamurka terbahak-bahak karena membayangkan tubuh Madewa akan hancur tercabikcabik.

Namun sungguh di luar dugaan, tubuh Dewi Murni yang meluncur dengan keras tiba-tiba terpental ke belakang sambil mengeluarkan jeritan kesakitan. Dan ambruk setelah terhuyung beberapa tindak.

"Huak!" dia muntah darah.

"Dewi!" pekik Laksamurka kaget sambil memburu.

Sebenarnya Dewi Murni telah membuat kesalahan yang teramat fatal. Dalam kondisi yang turun emosinya, Madewa bisa membuat lawannya yang dalam keadaan marah berbalik sendiri terkena pukulannya. Itu semua berkat rumput Kelangkamaksa yang tanpa sengaja dimakannya dan tanpa diduganya telah menghasilkan tenaga gaib yang keluar dari tubuhnya (baca: Dendam Orang-orang Gagah).

Melihat Dewi Murni dalam keadaan kesakitan, murkalah pasangannya. Laksamurka berdiri gagah, dan matanya memancarkan nafsu untuk membunuh.

"Hari ini kau harus mampus di tanganku, Madewa!" serunya kembali menerjang. Madewa berkelit ke kiri. Dan mengirimkan serangan balasan. Kembali tempat itu terjadi pertarungan yang sengit.

Entah sudah berapa puluh jurus yang dikeluarkan oleh keduanya. Namun sampai sejauh itu Madewa tidak telengas menurunkan tangan. Tadi pun dia hanya memakai separuh tenaganya ketika terjadi benturan sehingga dia harus terhuyung lima tindak.

Diam-diam pun Madewa mengalirkan tenaga dalam Salju Abadi ke tangan kanannya. Dan ketika tangan kanannya menyentuh tubuh Laksamurka, tubuh itu langsung menggigil. Laksamurka mengeluarkan seluruh tenaga dalam dan hawa murninya untuk mengusir rasa dingin yang menyengat.

"Bangsat!"

"Keluarkan ilmu simpananmu, Laksamurka! Keluarkan semuanya!"

Pelan-pelan hawa dingin itu terusir darinya. Laksamurka langsung menerjang kembali dan melemparkan senjata rahasianya. Madewa berkelit sambil membalas.

Tiba-tiba selarik sinar putih menerpa ke arah Madewa yang sigap bersalto ke samping.

"Duar!"

Sinar putih itu menghantam pohon di belakangnya hingga hangus. Dan kembali Laksamurka dengan gencar mengirim serangan jarak jauhnya yang berupa sinar putih. Dengan menggunakan jurus Ular Meloloskan Diri, Madewa menghindari serangan itu.

"Nama besar Madewa Gumilang ternyata cuma bisa menghindar saja!" seru Laksamurka sambil tetap dengan gencar menyerang secara membabi buta.

"Rupanya kau menginginkan aku membalas?!" "Hanya ingin kulihat keberanianmu!"

"Baik! Lihat serangan!" seru Madewa sambil melompat menghindari sinar putih itu, dia bersalto dua kali di atas dan menukik hendak menyambar kepala Laksamurka. Serentak Laksamurka berguling ke tanah menghindari serangan itu.

"Hebat!" serunya kagum.

Madewa telah bangkit tegak kembali.

"Rupanya rasa belas kasihanku sudah habis, Laksamurka. Hari ini terpaksa aku harus mencabut nyawamu!"

"Hahaha... sudah hampir seratus jurus kau menghadapiku, Madewa... tetapi sampai sejauh itu kau belum mengalahkanku juga."

"Baik! Kita sudahi pertarungan ini!" selesai berkata demikian, Madewa menyerang. Kali ini sungguh aneh. Serangannya nampak tidak bertenaga dan lemah. Namun Laksamurka sudah curiga melihat serangan seperti itu. Dia tidak berani memapaki. Dan sungguh di luar dugaannya. Batu besar yang berada di belakangnya hancur menjadi pasir ketika tangan Madewa menyentuhnya.

"Pukulan Bayangan Sukma!" seru Dewi Tongkat Ular.

Mendengar nama pukulan itu dijeritkan oleh Dewi Tongkat Ular, Laksamurka menjadi sedikit keder. Ngeri dibuat oleh Madewa Gumilang. Dalam hati dia mengakui, betapa hebatnya pukulan Bayangan Sukma yang dimiliki oleh Madewa.

Tetapi dia tetaplah manusia sombong. Dia berkata dengan pongah, "Ingin kulihat sampai di mana kehebatan pukulan itu, Madewa!"

"Bagus! Kini terimalah!" seru Madewa. Kali ini dengan jurus Tembok Menghalau Badai. Dan Laksamurka tetap tak berani memapaki karena kuatir pukulan Bayangan Sukma yang sedang dilancarkan Madewa.

Karena terlalu berhati-hati, dia terkena juga gempuran di dadanya yang membuatnya serasa dihantam gada yang besar. Napasnya menjadi sedikit sesak.

"Aku akan mengadu jiwa denganmu!" serunya marah dan kembali menyerang. Kali ini Madewa tak memberi ampun lagi. Dia memapaki. Dan terjadilah benturan yang teramat hebat.

Madewa terhuyung ke belakang dua tindak. Sementara Laksamurka ambruk dengan tubuh hancur. Nyawanya langsung lepas dari raganya. Dia tidak mengira kalau Madewa akan mengeluarkan Pukulan Bayangan Sukma-nya kembali. Dia salah perhitungan. Musnahlah salah seorang dari Sepasang Manusia Srigala.

Melihat Laksamurka menemui ajal, Dewi Murni yang dalam keadaan kesakitan menjadi kalap. Dia menerjang Madewa dengan sepenuh tenaga.

"Tunggu!" seru Madewa.

Tetapi tubuh itu sudah melesat dengan deras. Dengan pukulan lurus ke depan, ke arah wajah Madewa. Yang diserang hanya terdiam. Tidak bergeming. Malah menurunkan emosinya.

Dan hal itu membuat fatal bagi Dewi Murni. Dalam keadaan emosi saat menyerang Madewa, akan terjadi serangan balik yang mendadak. Semua itu berkat rumput Kelangkamaksa yang dihisap sarinya oleh Madewa tanpa disengaja.

Benar saja, tiba-tiba saja tubuh Dewi Murni terlontar ke belakang dengan deras. Tanpa ampun lagi tubuh itu berkelojotan dan mampus sekarat! Madewa mendesah panjang.

"Dua nyawa kurenggut hari ini," desahnya pilu. "Tetapi bila tak kulakukan, kejahatan pasti akan terus berlangsung."

Lalu Madewa menghampiri Ambarwati dan melepaskan totokannya. Ambarwati langsung merangkul ayah mertuanya. "Terima kasih, Ayah... terima kasih atas pertolongan Ayah "

"Hmm... duduklah, Ambar," kata Madewa lalu mendekati Pranata Kumala yang tengah terduduk sambil meringis kesakitan. "Ayah "

"Kau harus banyak belajar lagi, Anakku " kata

Madewa sambil mengalirkan sedikit tenaga dalamnya pada Pranata, yang langsung merasa lebih enak dari tadi.

"Ya, Ayah "

Sementara Madewa menghampiri Rumbila, Pranata Kumala mendekati istrinya. Ambarwati langsung memeluk suaminya dengan sukacita.

"Pranata "

"Ambar "

Keduanya saling tersenyum. Bahagia.

Sedangkan Madewa tengah berkata pada Rumbila, "Bagaimana keadaanmu, Rumbila?"

"Terima kasih, Yang Agung Madewa Gumilang," kata Dewi Tongkat Ular sambil menjura. "Aku yang sudah tua ini ternyata masih diberi kesempatan untuk mengenal namamu yang telah menjulang menembus langit, sebagai pendekar sakti yang budiman, Pendekar Bayangan Sukma!"

"Hmm... kulihat kau masih lemah sekali. Ulurkanlah telapak tanganmu, Dewi "

Dewi Tongkat Ular mengulurkan kedua tangannya. Madewa menindih telapak tangan itu dengan telapak tangannya. Matanya perlahan-lahan terpejam. Dewi Tongkat Ular merasakan ada hawa angin hangat mengaliri tangannya dan mengaliri sekujur tubuhnya. Menormalkan kembali aliran darahnya.

Tiba-tiba tiga buah senjata rahasia berbentuk taring srigala copot dari tempatnya. Dewi Tongkat Ular mendesah, rasa sakitnya telah lenyap.

Madewa membuka matanya dan menarik kembali tangannya.

"Kau sudah aman, Rumbila. "

Rumbila alis Dewi Tongkat Ular langsung menjura di depan Madewa.

"Saya yang tua ini, rasanya tidak pantas berlama-lama lagi di hadapan Madewa yang agung. Sebaiknya saya mohon diri. Terima kasih atas pertolongan dan petunjuk yang Madewa lakukan."

"Sikapmu ini seolah-olah aku seorang dewa, Rumbila... aku hanyalah manusia biasa. "

"Karena saya menganggap yang mulia adalah manusia dewa," kata Rumbila sambil memungut tongkatnya. "Amit mundur, Madewa!" Dan...

"Wuuuttt!" Tubuhnya lenyap bagai dibawa angin.

Setelah Rumbila pergi, muncul di tempat itu dua sosok tubuh. Yang satu seorang gadis dan yang satunya seorang pemuda. Keduanya adalah Bayu dan adiknya, Arum. Saat ini keduanya memang sengaja hendak mencari Pranata Kumala. Bagi Arum, dia sangat rindu dengan pemuda itu, pemuda yang mengutarakan cintanya. Hal itu membuatnya menjadi sakit dan setelah Bayu tahu apa yang menyebabkan sakit adiknya, dia pun meminta ijin pada ayahnya untuk meninggalkan desa Kali Sunyi.

Sudah tentu Arum sangat gembira mengetahui dia diperbolehkan mencari Pranata Kumala. Maka dengan ditemani kakaknya, dia pun melangkahkan kakinya dengan gembira.

Hampir empat hari keduanya mencari, dan sekarang secara tidak sengaja mereka bertemu dengan Pranata Kumala.

Kening Arum berkerut melihat Pranata Kumala tengah merangkul seorang wanita. Dan wanita itu membalas pula merangkulnya.

"Arum! Bayu!" seru Pranata setelah mengenali siapa yang datang. Sambil menarik tangan istrinya dia mendekati mereka, "Ada apa kalian sampai meninggalkan rumah?"

Bayu tersenyum, walau heran siapa wanita di sisi Pranata?

Sementara Arum merasakan dadanya sesak. Napasnya jadi tidak teratur. Dia hanya menunduk, tak mampu menyaksikan kemesraan yang sedang terpampang di depannya.

"Apa kabar, Saudara Pranata?" tanya Bayu. "Oh, kabar baik. Kau bagaimana, Bayu?" "Kabar baik pula."

"Kau bagaimana, Rayi Arum?"

"Saya... saya baik-baik saja, Kakang...." desis Arum masih tetap menunduk. Siapa gadis di sebelahnya itu?

Pranata mengenalkan mereka pada ayahnya. Madewa hanya tersenyum. Lalu Pranata berkata, "Saudara Bayu dan Rayi Arum... perkenalkan... ini istriku "

Ambarwati tersenyum. Bayu terperangah.

Arum terkejut dan terpekik. Istrinya? Dia istrinya? Mengapa dia mengutarakan cintanya padaku bila ternyata dia sudah beristri?

Tiba-tiba saja Arum berlari meninggalkan mereka dengan hati pedih dan terluka. "Rayi!" panggil Bayu.

Tetapi gadis itu terus berlari. Pranata menjadi serba salah. Sedikit banyaknya dia tahu apa yang menyebabkan Arum menjadi begitu. Pasti dirinya. Dirinya yang kini dianggapnya sebagai penipu. Buaya darat, yang kerjanya hanya mempermainkan para gadis-gadis saja. Dan salah satu di antaranya Arum!

Pranata mendesah. Madewa heran. Ambarwati apalagi. Mengapa gadis itu seperti kaget mengetahui dia istrinya Pranata Kumala? Apakah... gadis itu mencintai suaminya?

Berpikiran demikian, Ambarwati memegang lengan suaminya erat-erat.

Pranata menjadi tidak enak pada Bayu. Lalu dia menceritakan apa yang telah terjadi sesungguhnya.

"Benar Saudara Bayu, saya tidak sengaja melihatnya. Karena saat itu pikiran saya hanya terpaku pada Sepasang Manusia Srigala dan pada istriku ini. Di samping itu, saya tidak menceritakan kejadian yang sesungguhnya, karena tak ingin membuat malu Rayi Arum "

Bayu mengangguk mengerti. Paham akan duduk permasalahannya.

"Kalau begitu maafkan aku dan adikku, Saudara Pranata. Biar adikku aku yang mengurus dan memberikan penjelasan."

"Sampaikan maafku padanya, Saudara Bayu "

"Tak perlu kau suruh aku akan melakukannya, Saudara Pranata. Aku mohon pamit. Rayi Ambar dan Paman Madewa, saya amit mundur." Lalu Bayu pun berlalu.

Ambarwati memeluk suaminya erat-erat. Bila saja saat itu suaminya tidak sedang mencemaskan dirinya dan kuatir akan Sepasang Manusia Srigala, tentu dia akan marah besar.

Madewa mendehem. Keduanya menoleh.

"Sebaiknya kita kembali ke Perguruan Topeng Hitam sekarang "

"Ayah " kata Pranata kemudian.

"Ada apa, Anakku?"

"Sebenarnya... kedatangan kami ke Perguruan Topeng Hitam, untuk minta restu pada ayah dan ibu, kalau aku dan istriku hendak pergi bertualang "

"Maksudmu?"

"Kami akan bertualang, mencari pengalaman "

"Kalau itu maumu, lakukanlah. Karena aku dan ibumu dulu adalah para petualang. Lakukanlah!"

"Terima kasih, Ayah," kata Pranata. "Terima kasih, Ayah," kata Ambarwati pula.

"Tolong sampaikan salam kami pada ibu, Ayah " kata Pranata.

"Baiklah... pergilah. Pesan Ayah berhatihatilah...!" 

Sehabis berkata begitu tubuh Madewa pun melesat. Lalu Pranata Kumala dan Ambarwati pun berjalan. Memulai petualangannya.

SELESAI
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar