Pusaka Negeri Tayli Jilid 13

Jilid 13

Tring terdengar dering senjata beradu di susul dengan

erang kesakitan. Andaikata tak tertahan oleh tongkat dari Bu Mo, tentulah Toa-lat-sin-mo sudah mati.

Tetapi sekalipun tertahan tongkat, ujung pedang kutung dari Cu Jiang masih dapat melukai punggung Toa lat sin- mo sampai sepanjang beberapa jari. Kembali bercucuran darah lagi. Dan lebih sakit dari luka di  dadanya sehingga dia terhuyung-huyung hampir rubuh. Cu Jiang tak mau buang tempo. Kin dia akan  membereskan Bu Mo, Tongkat besi merupakan senjata berat dan panjang. Harus dibasmi dulu.

Tetapi Bu Mo memang lebih berpengalaman. Sesuai dengan gelarnya Bu Mo atau iblis-silat. dia memang sakti dan waspada. Pada saat Cu Jiang bergerak, diapun sudah cepat-cepat menghindar lalu menghantam.

"Ahhh !" terdengar jeritan ngeri. Karena Bu Mo menghindar, babatan Cu Jiang itu berganti sasarannya. Karena menderita luka dan gerakannya agak lamban, maka Toa lat sin mo tak keburu menghindar.

Kepalanya terbelah, darah menyembur dan tubuhnyapun rubuh.

Serempak pada saat itu, pukulan jarak jauh dari Bu Mo tadi telah menghantam tubuh Cu Jiang. Karena sedang melancarkan serangan maka tenaga sakti yang digunakan Cu Jiang untuk melindungi tubuhnya agak lemah. Dia mengerang tertahan dan terhuyung-huyung tiga langkah ke belakang.

Melihat itu Bu Mo tak memberi kelonggaran lagi. Dia terus menyerang dengan tongkat besinya. Ilmu permainan tongkatnya, luar-biasa dahsyat dan aneh. Cepat dan gencar sekali sehingga Cu Jiang tak sempat menangkis. Dia terpaksa hanya menghindar saja.

Trang. . . . tongkat tersiak tetapi kedua tangan Cu Jiangpun terasa kesemutan, pedangnya hampir terlepas. Darah bergolak keras.

Dia sempoyongan sampai lima langkah baru   dapat berdiri tegak.

Bertempur menghadapi serbuan berpuluh-puluh ko jiu dari Thong-thian kau lalu harus menghadapi keroyokan kedua iblis itu, menyebabkan Cu Jiang banyak kehilangan tenaga dalam. Kekuatannyapun banyak berkurang.

Bu Mo tak mau memberi ampun lagi. Dia menyerang lagi dengan jurus2 permainan tongkat yang aneh dan keras.

Cu Jiang menghindar lalu tangan kirinya menuding memancarkan tenaga-dalam ke luar.

"Hem ..." Bu Mo mengerang. Bahu sebelah kiri tertembus, darah bercucuran. Tetapi iblis durjana yang buas dan ganas itu tidak menyerah karena luka sekecil itu. Dia menyerang lagi makin dahsyat dan gencar.

Dalam keadaan itu tiada lain jalan bagi Cu Jiang kecuali menggunakan cara menghindar. Kadang dalam keadaan terpaksa, baru dia menangkis adu kekerasan.

Tetapi lama2 dia marah juga. Dia memilih cara yang belakang yakni adu kekerasan. Dengan mengerahkan seluruh tenaga, dia segera memutar pedang terus menyerang, tring

Tongkat Bu Mo terbabat, melayang ke udara. Mulut, hidung, mata dan telinganya mengucurkan darah dan tubuhnya sempoyongan lalu rubuh. Dia tak kuat mengadu kekerasan dengan Cu Jiang.

Urat2 jantungnya putus.

Tetapi Cu Jiang juga menderita luka dalam. Mulutnya menyembur darah sampai separoh dari kerudung mukanya merah. Diapun terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang lalu jatuh terduduk.

Melihat itu belasan jago2 Thong thian-kau segera berteriak dan menyerbu Cu Jiang yang ngelupruk di tanah itu. Melihat maut mengancam, dengan kuatkan diri Cu Jiangpun berdiri lagi. Ia mengerahkan lagi tenaganya untuk menyambut serangan musuh.

Huak, huak . . . dua orang jago Thong-thian-kau rubuh.

Yang lain2 serempak mundur.

Napas Cu Jiang makin tersengal-sengal dan tubuhnya gemetar keras. Tiba2 terdengar gemboran keras. Empat orang menyerang lagi dari empat arah.

Cu Jiang mengertek gigi.

"Cu Jiang, jangan engkau rubuh. Kalau engkau rubuh, habislah riwayatmu. Hayo, kuatkan dirimu dan bunuhlah mereka . . ." seolah telinganya mendengar sebuah suara mengiang-ngiang, membangunkan semangatnya.

Dengan kuatkan diri. Cu Jiang lalu memutar pedangnya. Terdengar jeritan ngeri dan keempat orang itupun rubuh mandi darah. Musuh yang berada di sebelah depan, malah mengalami kematian yang mengerikan.

Kepalanya terbelah, darahnya muncrat mengenai kain kerudung muka Cu Jiang.

Darah, mayat dan kutungan anggauta badan. Berserak- serak memenuhi tempat itu. Sekilas terbayanglah benak Cu Jiang bahwa keadaan tubuh ibunya ketika menghadapi keroyokan dari berpuluh tokoh2 sakti, tentulah sedemikian juga.

Teringat akan kematian ayah bundanya, darahnya meluap, semangatnya pun berkobar lagi.

"Ha, ha, ha . ..." Ia tertawa nyaring. Nadanya menyerupai aum singa yang menginjak korbannya.

Kini yang masih tinggal hanya sembilan orang. Mereka saling bertukar pandang. Menilik keadaannya, Cu  Jiang telah seperti pelita yang kehabisan minyak. Jika tidak saat itu membunuhnya, tentu akan mensia-siakan suatu kesempatan yang bagus.

Tetapi ilmu pedang Toan kiam jan-jin itu luar biasa aneh dan saktinya. Dalam keadaan menderita luka, masih mampu membunuh empat orang jago kojiu ...

Saat itu Cu Jiang seperti orang kerasukan setan. Ia terbayang akan akan kematian kedua orang tua, kedua adiknya yang masih kecil, paman Liok dan isterinya serta anak perempuannya, gadis malang yang diperkosa lalu dibunuh itu.

Hutan darah, dendam darah, saat itu berkecamuk dalam dada Cu Jiang sehingga tenaga-dalamnya yang sudah menurun itu mulai bangkit lagi.

Pelahan-lahan dia berputar tubuh menghadapi kesembilan sisa jago2 Thong-thian-kau itu.

Pandang mata Cu Jiang yang penuh dendam kesumat berdarah, tampak merah membara sehingga nyali kesembilan orang itupun makin berguguran, berganti dengan bayang2 ketakutan.

"Pergi . . ." entah siapa yang berseru tetapi ke sembilan orang itupun segera berhamburan mundur.

"Berhenti!" Cu Jiang menggerung dan secepat kilat berputar-putar menyerang mereka.

Huak, huak, huak . . . jeritan susul menyusul, darah berhamburan memerah tanah dan sosok2 tubuhpun rubuh morat marit.

Ia berhasil membasmi beberapa jago itu tetapi setelah itu diapun kehabisan tenaga, Bluk, dia jatuh terduduk, mata berkunang-kunang. Entah berselang berapa lama, hingga pikirannya timbul: "Aku harus tinggalkan tempat ini."

Apabila saat itu Thong-thian-kau mengirim jago-jagonya, cukup seorang saja, tentulah dengan mudah mengambil jiwa Cu Jiang. Karena dia benar-benar lunglai sehingga rasanya tak kuasa lagi mengangkat pedangnya.

Namun tekadnya yang membaja menimbulkan kekuatannya. Dia merangkak bangun dan dengan terhuyung-huyung ia melangkah pergi.

"Cu Jiang, kuatkan dirimu. Jangan rubuh, ayo,  terus jalan pelahan-lahan. Makin jauh dari tempat itu makin baik

. . ." suara hatinya membisikinya.

Entah berapa lama dan entah sampai di mana, akhirnya ia merasa tak kuat lagi.

"Ayo, jangan rubuh ..." hatinya berkata namun tubuhnya tak kuat Dan jatuhlah ia ke tanah, tak ingat apa2 lagi. .

Tak berapa lama, sesosok bayangan merah muncul. Dia terlongong tegak di samping Cu Jiang, berjongkok membuka kain penutup muka anakmuda itu dan menjerit kaget:

"Oh, kiranya dia!"

Dari nadanya menunjukkan bahwa pendatang itu seorang wanita. Tetapi siapakah dia? Apakah dia kenal pada Cu Jiang?

Tiba-2 terdengar suara pekik seram berkumandang dari kejauhan. Bayangan merah itu segera menghilang dalam kegelapan lagi.

Selekas bayangan merah itu lenyap maka muncullah seorang berjubah hitam. Wajahnya juga ditutup dengan kain kerudung. Gesit sekali orang itu sudah melompat ke tempat Cu Jiang, membuka kain penutup mukanya dan menyurut mundur tiga langkah.

"Kiranya tak salah dugaan itu, memang dia!"

Habis berkata dia terus mengangkat tangan dan menghantam kearah Cu Jiang, tetapi di tengah jalan tiba2 dihentikan lagi.

"Apakah harus sekarang mencabut jiwanya?" Beberapa saat kemudian, dia mengangkat lagi tangannya. Tiba2 terdengar tawa dari seorang perempuan. Orang berjubah hitam itu menarik tangannya dan secepat kilat terus lari kearah suara tawa itu.

Kembali muncul sesosok bayangan. Dengan cepat orang itu terus menyambar tubuh Cu Jiang dibawa lari.

Ketika sadar, Cu Jiang dapatkan dirinya tidur diatas tumpukan rumput yang empuk. Walaupun gelap, dia dapat mengetahui kalau sedang berada disebuah goa.

"Hah, mengapa aku berada disini ? Bukankah aku terkulai rubuh kehabisan tenaga ?" Ia terkejut sendiri.

Demi menjaga keselamatan, dia tak berani bergerak dan pura2 tetap pingsan. Tetapi diam2 ia kerahkan tenaga- dalam. Ternyata sudah pulih separoh bagian. dan sudah tak merasa sakit.

Hal itu tak mengherankannya. Jalan darah utama Seng- si-hun-koen pada tubuhnya sudah tertembus. Dan hal itu hanya merupakan satu langkah lagi untuk mencapai kesempurnaan tenaga-dalam.

Diam2 dia mengingat dan menghafalkan isi pelajaran kitab Giok ka-kim-keng mengenai ilmu pernapasan untuk menenangkan perasaan hati. Dalam beberapa saat kemudian, tenaganya makin pulih. Dan kilat pandang matanyapun bertambah tajam. Memang benar tempat itu sebuah gua yang dalamnya dua tombak. Diluar tampak bintang2 berkelip-kelip. Menunjukkan bahwa saat itu masih malam hari.

Tiba2 ia mengetahui bahwa dalam suasana yang  gelap itu ada sepasang mata yang berkilat-kilat tajam memandang kepadanya. Dia terkejut sekali dan beranjak bangun.

Dari sinar bulan yang menyeruak ke dalam gua, ia segera mengetahui bahwa pemilik sepasang mata tajam itu tak lain adalah pencuri-sakti Ciok Yau to bergelar Thian-put-hoa.

Mengapa orang tua itu berada disitu? Belum sempat ia menegur, orang itu sudah mendahului tertawa:

"Ho, hebat sekali. Ternyata engkau cepat kali sudah sembuh !"

Diam2 Cu Jiang merabah pedangnya.

"Sahabat kecil, jangan banyak curiga. Kalau mau, aku dapat dengan mudah mencabut jiwamu!"

Cu Jiang malu atas tindakannya mencurigai orang. "Apakah cianpwe yang menolong aku?"

"Separoh bagian."

"Separoh bagian? Aku tak mengerti maksud cianpwe." "Engkau mati satu kali."

Cu Jiang makin bingung. "Aku benar2 masih tak jelas!"

"Duduk   dan   mari kita bercakap-cakap,” orang itu memberi isyarat tangan. Dan Cu Jiangpun menurut.

Setelah berbatuk-batuk, Thian-put-thou berkata pelahan- lahan. "Setelah engkau membunuh ketiga iblis, membasmi kawanan kunyuk2 kecil, engkau kehabisan tenaga dan menggeletak dalam hutan . . ."

"O, lo cianpwe tahu semua ini?" Cu Jiang terkejut. "Tentu."

"Lalu?"

"Seorang gadis baju merah yang mukanya bertutup kain cadar, muncul dan membuka penutup wajahmu . . ."

"Ah, dia "

"Bentuk badannya seperti hantu. Jika aku tak salah terka, dia adalah iblis wanita yang disohorkan orang sebagai Ang Nio Cu !"

"Ang Nio Cu ?" Cu Jiang mengulang gemetar.

"Tetapi itu hanya dugaan saja. Akupun hanya mendengar namanya belum pernah tahu orangnya."

"Lalu?"

"Ang Nio Cu membawa anak buahnya yang sembunyi. Ketika mendengar anak buahnya bersuit memberi tanda, dia terus kabur. Dan lalu muncul lagi seorang lain. "

"Siapa ?"

"Seorang yang pakaian dan mukanya bertutup kain hitam, entah siapa "

Cu Jiang mengangguk. Pikirnya, mungkin ketua Gedung Hitam tetapi Thian-put-thou tak mau mengatakan.

Pencuri-sakti Thian-put-thou melanjutkan: "Orang itu mengenal engkau "

"Apakah dia juga membuka kain penutup mukaku ?" Cu Jiang terkejut. "Benar, dia hendak menghancurkan dirimu, tetapi ragu2. Itulah sebabnya maka kubilang, engkau sudah mati satu kali."

"Akhirnya dia tak jadi turun tangan ?"

"Jadi. tetapi pada saat dia hendak melepaskan hantaman, tiba2 Ang Nio Cu bersuit untuk mengganggunya."

"Oh !" Cu Jiang mendesah pula. Diam2 ia mengeluh karena merasa terlalu banyak berhutang budi pada Ang Nio Cu.

"Ketika si baju hitam itu pergi, akupun segera membawamu ke mari, Itulah sebabnya maka aku katakan bahwa aku hanya memberi pertolongan separoh bagian adalah wanita baju merah itu." kata Thian put thou pula.

Cu Jiang bangun dan memberi hormat:

"Terima kasih lo cianpwe. Budi locianpwe akan kucatat baik2 dalam hati."

"Tak usah, tak usah," Thian-put thou gopoh mencegah, "aku situa ini masih berhati seperti anak kecil. Kita jadi sahabat saja."

"Tua dan muda harus ada tata peraturannya, masakan .." "Duduk, duduk. Kalau engkau suka, panggil saja aku

sebagai lo-koko, mau?" "Ini ..."

"Aku tak senang segala macam peradatan." "Kalau begitu terpaksa aku menurut saja." "Begitulah, adik kecil, ha, ha, ha . . ."

"Rupanya lo-koko terus menerus mengikuti aku . . ." "Kukatakan, hatiku masih seperti anak kecil," kata Thian put thou lalu berobah serius, katanya. "adik kecil, aku mempunyai isi hati, seperti tulang menyekat di tenggorokanku, kalau tak kukatakan cukup mengganjel. . ."

"Lo koko mau bilang apa, silakan."

"Adik kecil! Aku, bagi seorang ksatrya sejati, apakah pantangannya nomor satu?"

Cu Jiang terbeliak. Ia tak mengerti apa yang akan dimaksud oleh orang tua itu.

"Pantangan apa?"

"Wanita !" Thian-put-thou berkata dengan tegas.

Serentak Cu Jiang teringat, ketika hendak meninggalkan rumah berhala di luar kota Gong-an. Thian put thou pernah bergumam: "Hm, jangan menganggap dirinya paling gagah sendiri di dunia. Lambat atau cepat, pasti akan mengantar jiwa ke bawah kun ( rok ) si Ciok Liu "

Kini orang tua itu mengatakan soal pantangan, tentu ada sebabnya. Tetapi Cu Jiang heran, ke mana tujuan kata2 Thian-put thou itu. Selama ini ia merasa selalu menjaga diri dan menjauhi kehidupan dengan wanita iseng ....

Ia hendak menyatakan keadaan dirinya kepada Thian put-thou tetapi saat itu dari kejauhan terdengar lengking jeritan ngeri dari seorang wanita.

Thian-put thou pun serentak berbangkit: "Jangan2 wanita baju merah itu disiksa orang berbaju hitam itu ?"

"Mungkinkah ?" teriak Cu Jiang penuh emosi.

"Mungkin sekali. Ketika kubawa engkau kemari, wanita baju merah itu masih berkeliaran ditempat itu, rupanya dia hendak mencari engkau " "Lo koko, mari kita ke sana." "Hayo !"

Keduanya segera melesat dari goa. Menilik letak bintang Pak-tou, saat itu tengah malam. Setelah jeritan ngeri itu, tak terdengar suara apa2 lagi. Sukar untuk menentukan arahnya.

Cu Jiang yakin dugaannya tentu benar. Orang berbaju hitam dan berkerudung muka kain hitam itu tentulah ketua Gedung Hitam dan wanita baju merah itu tentulah Ang Nio Cu.

Kemungkinan Ang Nio Cu tentu bukan tandingan dari Ketua Gedung Hitam. Ia memang telah banyak berhutang budi kepada Ang Nio Cu, tak dapat ia berpeluk tangan tak memperdulikan. Dan lagi, diapun hendak mencari ketua Gedung Hitam itu untuk menyelesaikan dendam hutang darah yang terakhir.

"Lo-ko, lari ke timur dan aku yang kebarat. Kalau bertemu sesuatu, berilah pertandaan suitan."

"Baik," kata Thian put thou yang terus lari ke timur. Cu Jiangpun menuju ke barat.

Cu Jiang melintasi sebuah hutan. Walaupun gelap sekali tetapi berkat tenaga-dalam yang dimiliki sudah mencapai tingkat tinggi, dia tetap dapat menembuskan pandang sampai jarak seluas delapan tombak.

Beberapa saat berlari dia sudah tiba di ujung hutan. Ketika dia hendak berputar tubuh balik lagi mencari lain jalan, tiba2 ia melihat sesosok bayangan bergerak cepat dari balik gerumbul.

Cu Jiang cepat mengejarnya. Tetapi karena kaki kirinya pincang. dia kalah gesit dengan orang itu yang diduga tentu seorang jago ko jiu. Jaraknya makin lama makin jauh. Orang itu sebentar tampak sebentar lenyap.

Setelah sepuluhan li, tiba2 orang itu berhenti seperti sudah lelah. Cu Jiang percepat gerakannya.  Dalam beberapa loncatan dia sudah tiba di samping orang. Tetapi ketika memandangnya, kejutnya bukan kepalang.

Yang dihadapannya, seorang wanita baju merah dan dibawah kaki wanita itu menggeletak sesosok mayat dari seorang wanita baju merah lagi.

Cu Jiang tak asing lagi. Wanita baju merah itu adalah salah seorang dari keempat wanita baju merah yang memikul tandu tempo hari. Dengan demikian benarlah dugaan Thian put-thou, bahwa wanita baju merah yang muncul di hutan itu, tak lain adalah Ang Nio Cu. 

Tampaknya wanita baju merah itu tak terkejut atas kemunculan Cu Jiang. Mungkin pada waktu berkejar- kejaran tadi, wanita itu sudah tahu.

"Apakah anda Toan-kiam-jan-jin?" tegur wanita itu. "Ya, benar."

"Engkau tidak mati?" tanya pula wanita itu tanpa sungkan lagi.

Mengingat Ang Nio Cu, Cu Jing tak marah kepada bujang baju merah itu, sahutnya:

"Kalau mati masakan bisa datang ke sini."

Sambil menunjuk pada kawannya yang menggeletak di bawah kakinya, bujang baju merah itu menggeram:

"Engkau masih bernyawa tetapi dia sudah mati." "Mengapa mati?"

"Karena engkau." Cu Jiang terperanjat, serunya:

"Apa? Dia mati karena aku?" "Siapa bilang tidak?" "Bagaimana peristiwanya?"

"Kami berdua menerima perintah majikan untuk mencari jejakmu . . ."

"Oh, lalu siapa yang membunuhnya?" "Seorang baju hitam yang berkerudung muka." "Dia!" Cu Jiang mengertek gigi.

"Siapa?" dayang baju merah itu tegang. "Ketua Gedung Hitam!"

"Dia ... dia pemimpin Gedung Hitam yang menguasai dunia persilatan itu?"

"Ya. "

"Hm, baik, baik . . ." bujang baju merah itu tak melanjutkan katanya karena terdesak oleh rasa tegang yang meluap-luap.

Dengan mengertek gigi, berkatalah Cu Jiang dalam nadi tegas:

"Aku akan membalaskan sakit hatinya." "Majikan kamipun dapat juga!"

"Di mana majikanmu?"

"Mengejar jejak lelaki jubah hitam itu."

"Lalu hendak engkau apakan mayat kawanmu itu?" "Menurut   peraturan   perguruan   kami, akan dikubur

dengan baik. " "Apakah aku dapat membantu? " "Tak usah."

"Majikanmu mengejar ke arah mana?" tanya Cu Jiang. "Barat. "

"Bila bertemu dengan majikanmu, tolong sampaikan, bahwa Toan-kiam-jan-jiu takkan melupakan budinya!"

"Hm,   mudah-mudahan   hatimu sesuai dengan kata- katamu." wanita baju merah mendengus dingin.

"Apa maksudmu ?"

Wanita baju merah itu tertawa rawan.

"Orang bawahan tak bebas bicara. Semoga anda ingat apa yang anda ucapkan tadi!"

Cu Jiang tak mengerti tetapi dia tak mau mendesak. "Aku seorang lelaki, apa yang kuucapkan adalah

pendirianku   Bagaimana   aku   tak   dapat   pegang   Janji?

Sudahlah, jangan cemas," kata Cu Jiang terus lari ke arah barat.

Karena sampai terang tanah tak bertemu suatu apa, terpaksa dia kembali ke timur lagi.

"Thian put-thou kebanyakan tentu sudah tak berada dalam goa itu. Karena aku harus menepati janji dengan Tio Hong Hui di Li-jwan. Lebih baik aku kesana dulu." pikirnya. Dengan keputusan itu ia segera melanjutkan perjalanan.

Setiba di kota lebih dulu ia membeli seperangkat pakaian baru untuk ganti, lalu meneruskan perjalanan lagi. Dan pada hari itu setelah menyeberang di pangkalan Ciok-po- say, tibalah dia didaerah pegunungan Bu-leng san. Dengan kota Li-Jwan sudah tak berapa jauh lagi. Begitu memasuki daerah gunung Bu-leng san, perasaan Cu Jiang mulai tegang. Keluarganya telah terbunuh di gunung itu. Dendam darah itu belum terbalas, bagaimana ia dapat menghibur arwah kedua orang tua dan adik-adiknya?

Untuk mempersingkat jalan, dia tak mau mengambil jalan besar tetapi melintasi daerah hutan di gunung.

Saat itu matahari sudah condong ke barat. Di sebelah muka hutan belantara yang tak diketahui ujungnya. Tak terdapat sebuah rumah pendudukpun juga.

Pada saat ia bingung, tiba2 ia melihat gumpalan asap mengepul dari arah lamping gunung. Jelas itu sebuah perumahan, entah milik kaum pemburu entah orang lain. Cepat ia lari menuju ke tempat itu.

Setelah melintas sebuah bukit, ternyata lamping gunung itu merupakan sebuah lembah sempit dengan sebuah air- terjun. Di dekat air-terjun itu, terdapat sebuah rumah bambu. Membelakangi gunung dan menghadap air-terjun.

Cu Jiang termangu-mangu menyaksikan tempat yang tenang dengan dikelilingi alam yang indah itu. Ia duga tempat itu tentu bukan rumah orang tani melainkan tempat persembunyian seorang yang mengundurkan diri dari pergaulan ramai.

Cepat ia menuju ke tempat itu. Tiba di muka pagar, pada waktu hendak berseru tiba2 muncul seorang lelaki berpakaian seperti seorang sasterawan, tangannya membawa sebuah buntalan kain panjang.

Jelas dia bukan orang desa atau bangsa pemburu. Cu Jiang cepat melesat ke belakang sebuah batu besar.

Sasterawan itu melangkah pelahan-lahan ke tengah ruang. kemudian berdiri tegak dan memandang langit seolah seperti memikirkan sesuatu yang sulit. Wajahnya gagah, alis tebal menaungi sepasang matanya yang bundar. Usianya lebih kurang tiga puluhan tahun.

"Adakah dia seorang persilatan yang menyembunyikan diri dari kejaran musuh?" tiba2 timbul dugaan Cu Jiang.

"Engkoh Hong!"

"Ya, aku di sini!" terdengar sebuah penyahutan dan tahu2 muncul seorang wanita muda yang cantik sekali.

"Ah, mengapa kedua orang itu tinggal ditempat yang sesunyi begini?" timbul lagi pikiran Cu Jiang.

Dengan langkah tergontai, wanita cantik itu menghampiri ke sisi sasterawan, memandangnya sejenak, lalu berseru:

"Engkoh Hong, mengapa tiba2 engkau berobah?"

"Ceng-moay, aku tidak berobah." sahut sasterawan itu dengan tak acuh.

"Ih, mengapa engkau tak mau mengaku. Sejak tiga hari yang lalu engkau turun gunung, pulang di rumah sikapnya agak lain ..."

"Ah, engkau terlalu banyak mereka-reka sesuatu."

Wanita cantik itu beralih memandang pada bungkusan kain yang dipegang sasterawan itu, seketika wajahnya pucat dan tubuh gemetar.

"Engkau . . . mengeluarkan . . . barang itu lagi?" serunya dengan nada tergetar.

Wajah sasterawan itu mengulum senyum tetapi tak  sedap dipandang. Suatu senyum hambar yang dipaksakan. Dan cepat sekali wajahnya sudah membeku lagi.

"Ceng-moay. aku . . . aku ..." "Engkau bagaimana?"

"Terus terang saja, selama tiga tahun ini aku memang tak dapat melupakan barang ini!"

Airmata wanita itu mulai berlinang-linang dan dengan rawan berkata:

"Kalau begitu selama tiga tahun ini, engkau mempermainkan aku?"

Sasterawan itu tertawa hambar, sahutnya: "Bagaimana engkau mengatakan begitu?"

"Engkau membohongi aku! Mempermainkan cinta . . ." "Tidak, aku tidak merasa begitu. Kalau aku memang

bermaksud hendak membohongimu, tentu tak dapat mengatakannya."

"Tetapi engkau . . . berobah.." "Berobah?"

"Engkoh Hong, bilanglah dengan setulus hatimu, engkau mencintai aku atau tidak?"

Di tempat persembunyiannya, Cu Jiang tak mengerti apa yang terjadi pada kedua orang laki dan wanita itu.

"Sudah tentu mencintaimu." sahut sasterawan itu. "Kalau sungguh-2 mencintai aku, lupakan barang itu! "

seru wanita itu dengan tegang. "Tetapi ..."

"Oh, tak dapat melupakan, bukan?"

"Ceng moay, kuminta dengan sangat akan pengertianmu.

Hal itu merupakan tujuan utama dari hidupku . . ." "Tutup mulut! Engkau lupa bagaimana kita berdua sampai berkumpul disini. Bukankah karena hendak menghindari keramaian dunia?"

Dahi sasterawan itu nampak berkerut.

"Engkoh Hong, darimana sepuluh buah luka yang terjadi pada tubuhmu itu? Tampaknya engkau sudah hampir mati sampai beberapa kali ? Engkau pernah mengatakan bahwa selamanya engkau akan melupakan dan takkan membuka bungkus kain itu lagi. Tetapi mengapa sekarang engkau berobah pendirian ?"

Wajah sasterawan itu makin tak sedap dipandang.

Menandakan bahwa saat itu hatinya sedang kacau.

"Ceng-moay, aku sangat menderita. Banyak kali aku berusaha untuk melupakannya, tetapi aku . . . tak dapat!" akhirnya ia berkata.

"Eh, sebenarnya engkau bertemu apa waktu kali ini turun gunung ?" seru wanita cantik itu dengan tegang.

"Kudengar. di daerah Tionggoan telah muncul seorang

jago pedang yang hebat sekali, bernama Toan-kiam-jan jin!"

"Benar, sejak dulu memang begitu. Begitu mendengar di daerah mana muncul seorang jago pedang, engkau terus buru2 mencarinya.  Apa  yang  engkau dapatkan? Engkau....

engkau. "

Wanita itu tak dapat melanjutkan kata-katanya karena tersekat oleh kemarahan.

Sasterawan kerutkan alis dan berkata dengan nada tegang:

Tetapi kali ini memang berbeda. Kaum persilatan menyanjung Toan-kiam-Jan Jin sebagai seorang Dewa- pedang. Setiap kali dia hanya menggunakan sebuah jurus dan musuh tentu terluka atau mati. Kalau.... aku dapat mengalahkannya, aku merasa puas seumur hidup !"

Diam2 Cu Jiang tercekat hatinya. Lelaki itu jelas seorang silat maniak, seorang yang gila akan ilmu silat. Suatu cita2 yang jahat dan juga melanggar etika (susila) persilatan.

Bukankah banyak jalan untuk mengangkat nama supaya termasyhur. Menjalankan kebaikan, menolong yang lemah, memberantas yang jahat dan lain2 cara  yang  bersifat ksatrya, merupakan cara yang lebih utama dan  terpuji daripada dengan jalan menghancurkan setiap orang yang dipandang lebih tinggi kepandaiannya dari dirinya.

Terdengar pula sasterawan itu berkata: "Kabarnya dia muncul disekeliling daerah ini. Aku hendak mencarinya Ceng moay, ijinkan aku. Hal ini kecuali dirimu, merupakan cita2 harapanku yang utama. Sejak aku berumur tujuh belas tahun dan mendapat pelajaran ilmu pedang dari jago pedang yang tak dikenal itu, baru hari ini aku dapat memahaminya dengan sempurna."

Tampak wanita cantik itu agak tenang. "Apakah engkau tetap hendak menantang Toan-kiam jan jin ?" serunya dingin.

Wajah sastrawan itu berobah merah. "Ceng-moay, kabulkanlah keinginanku !"

Sepatah demi sepatah, wanita cantik itu berkata dengan tegas:

"Jika begitu, bunuhlah aku lebih dulu !"

Sastrawan terkejut sekali, serunya: "Apa maksudmu?" "Karena kita berdua takkan dapat berkumpul" "Mengapa ?" "Aku mempunyai firasat, kali ini engkau pasti takkan kembali lagi."

Sastrawan itu mundur dua langkah. Sepasang matanya berkilat tegang lalu berseru dengan suara tergetar:

"Ceng-moay, menganggap aku akan mati ditangan Toan- kiam jan Jin?"

"Aku benar2 mempunyai firasat begitu !"

Sasterawan membuka bungkusan kain panjang dan sebatang pedang pusaka nampak menongol.

"Engkoh Hong, apakah engkau benar2 sudah tetap pada keputusanmu?" teriak wanita cantik itu.

Setelah mencabut pedang itu maka tampak pedang itu memancarkan hawa panas yang menyeramkan. Ditingkah sinar matahari silam, pedang itu memancarkan sinar yang aneh, seolah memberi suatu firasat.

"Ceng-moay, hanya sekali ini saja aku mohon kepadamu!"

Tampak cahaya muka wanita cantik itu sebentar-sebentar berobah dan akhirnya membeku. Dia mengangguk:

"Sejak dulu aku memang sudah meramalkan  bahwa kelak tentu akan menghadapi saat seperti ini. Tetapi aku tetap menikah dengan engkau. Mungkin kesemuanya ini sudah garis takdir !"

"Ceng-moay, jangan berkata begitu!"

"Sekarang aku baru tahu. Engkau tidak mencintai diriku tetapi lebih cinta pada pedang. Hidup-mu hanya untuk pedang..."

"Ceng-moay, ucapanmu terlalu tajam..." Wanita cantik tertawa dingin: "Bukankah kenyataan memang begitu?"

"Ceng-moay," kata sasterawan dengan nada pilu, "aku cinta padamu. Tindakanku ini membuatmu bersedih tetapi kumohon engkau suka maafkan. Aku berjanji, hanya satu kali ini saja, ya, sekali ini saja !"

"Ya hidup itu .. . memang hanya sekali ini saja !" "Ceng-moay . .."

"Hong-ko, semoga engkau berhasil mengangkat nama !" habis berkata tiba2 wanita cantik loncat kebelakang rumah dan terus lari keatas gunung.

Sasterawan itu tercengang, sesaat kemudian baru berteriak:

"Hai, hendak kemana engkau, Ceng-moay?"

Tetapi wanita cantik tak menghiraukan lagi. Larinya makin kencang. Melihat itu sasterawanpun segera mengejar dan berteriak-teriak memangginya:

"Ceng-moay . . . Ceng-moay ..."

Cu Jiang geleng2 kepala dan menghela napas. Pikirnya, manusia memang aneh. Mengapa sudah enak2 hidup tenteram, masih hendak cari perkara? Mengapa orang itu lebih mengutamakan nama daripada cinta? Apakah kemasyhuran nama itu? Ayah juga diagungkan sebagai Seng-kiam (Dewa Pedang), tetapi apa jadinya?

Tertarik oleh peristiwa kedua suami isteri itu, Cu Jiang diam2pun lari mengikuti, Ia lupa akan rasa lapar.

Tiba di lamping gunung, ia terkejut menyaksikan suatu adegan yang mendebarkan. Wanita cantik itu berdiri di atas sebuah batu karang tinggi yang hanya cukup untuk ditempati seorang. Di bawah karang itu terbentang air- terjun yang meluncur ke bawah sampai beratus tombak. Sasterawan merangkak naik menghampiri seraya berseru membujuknya.

"Ceng moay . . . kembalilah, aku. . . akan menurut segala permintaanmu!"

Wanita cantik tertawa dingin:

"Terlambat, aku tak mau mengemis cinta karena engkau kasihan kepadaku. Aku tidak bersandiwara, juga tidak menggertakmu. Semoga engkau menjaga diri baik2, engkoh Hong, selamat tinggal, jago pedang nomor satu di dunia . ."

Saat itu sasterawan sudah merangkak ke atas permukaan karang dan terus menyambar kaki wanita itu tetapi ah....

hanya terpaut seujung jari dan terlambatlah dia. Wanita cantik itu sudah loncat ke bawah jurang ....

"Ceng moay . . . !" terdengar sasterawan itu melolong seperti serigala mengaum di tengah malam. Nadanyapun kepiluan dan putus asa.

Tetapi hal itu tidak menolong apa2. Bahkan hanya merupakan suatu irama musik yang menghantar tubuh wanita cantik lenyap tenggelam dalam kabut senja yang menutupi permukaan jurang.

Hidung Cu Jiang turut mengembang air. Betapa menyedihkan peristiwa itu. Kematian wanita cantik itu walaupun dengan cara membuang diri ke bawah jurang, tetapi hal itu tak lain hanya sebagai akibat dari ambisi sasterawan itu. Atau lebih jelas, dia mati di tangan lelaki yang dicintainya.

Karena tak ingin menderita berpisah mati dengan suaminya yang akan menantang ilmu pedang dengan Toan- kiam-jan jin, lebih baik ia mati lebih dulu. Tetapi adakah pengorbanan jiwanya itu mampu meredakan ambisi besar dari suaminya yang begitu sangat bernafsu untuk mencari nama itu?

Sebenarnya Cu Jiang tak suka akan pikiran dan tindakan sasterawan itu. Dia hendak muncul dan memberinya pengajaran. Tetapi mengingat bahwa baru saja sasterawan itu berduka cita kehilangan isteri tercinta, dia terpaksa menahan diri. Dia mengharap semoga peristiwa pahit itu akan menyadarkan pikirkan orang itu.

Sasterawan itu terus lari ke bawah untuk mencari mayat isterinya di bawah air-terjun. Cu Jiang pun tak mau mengikuti lagi dan terus melanjutkan perjalanan.

Keesokan harinya dia sudah keluar dari daerah gunung Bu-leng-san. Hanya tinggal lima puluh li dari kota Li-jwan. Ia berhenti di sebuah kota kecil lalu meneruskan jalan lagi. Diperhitungkan waktu lohor nanti dia akan sudah tiba di Li-jwan.

Menurut perhitungan hari itu masih kurang dua hari dari waktu perjanjian. Entah apakah Tio Hong Hui dan puterinya sudah datang atau belum.

Tengah berjalan tiba2 dia melihat beberapa rumah pondok di pinggir jalan. Ternyata beberapa kedai minuman. Kedai2 itu menjadi tempat persinggahan dari para penjual dari desa.

Cu Jiang juga merasa haus. Dia singgah di sebuah kedai dan minta disediakan arak putih.

Tengah dia perlahan-lahan menikmati minuman, tiba2 terdengar suara orang tertawa dan seorang pemuda berseru:

"Aneh, Can Su Nio, kepala perguruan Hot-goat-bun, selama ini tak pernah meninggalkan kota Gong-an. Tetapi mengapa kali ini tiba2 dia membawa muridnya Kim hun-li pesiar ke daerah yang begini sunyi?"

Kawannya,  juga seorang anak muda menyahut: "Saudara Tio, mungkin bukan hendak pesiar tetapi ada

lain tujuan . . ."

"Ha, ha, ha .... Ho toako, kecuali cari kumbang memikat kupu-kupu", apalagi pekerjaan perguruan Hoa-goat-bun itu?"

"Apakah engkau bermaksud . . . bertamasya di taman bunga Tho yang indah?"

"Apakah Ho toako tak ingin juga?"

"Kita satu tujuan, satu warna, ha, ha, ha, ha..."

"Ho toako hendak memberi bingkisan apa kepada mereka ?"

"ini... ya, sebatang pohon Cian lian-hosiu-oh." "Ah, benar2 sebuah benda yang jarang sekali." "Dan engkau ?"

"Sepasang mustika Han-giok warisan leluhurku . . ." "Ah, cukup nilainya."

Agak panas juga telinga Cu Jiang. Partai Hoa-goat-bun, dia pernah mendengar. Partai itu menggunakan paras cantik untuk menggaet kawanan orang persilatan yang rendah moralnya, mengadakan tukar menukar ilmu kepandaian dengan benda2 pusaka. Setiap kota, besar kecil, dibuka cabang.

Pengaruhnya cukup besar. Sepak terjang mereka tak  lebih tak kurang seperti sarang pelacur. Hanya bedanya setiap anak murid perempuan dari partai itu, rata2 memiliki ilmu silat yang tinggi.

"Ho toako, engkau lebih banyak pengalaman. Menurut pendapatmu, apakah kita akan berhasil?" tanya pemuda yang pertama.

"Asal imbalannya cukup tinggi, dimana-mana  tentu dapat saling tukar. Apakah engkau baru pertama kali ini?"

"Ah, sudah . . . pernah sekali." "Bagaimana?"

"Sukar dikata." "Ha, ha, ha, ha "

"Selama bunga Bo-tan masih berkembang, sudah jadi setanpun orang tetap akan mengenang."

"Anak murid Hoa-goat-bun rata2 memiliki ilmu kepandaian Kwan-ing-kang-hu (lunak dan keras). Terutama dalam kepandaian di atas ranjang... sekali engkau pernah merasakan mereka, engkau takkan kepingin lagi terhadap lain wanita sekalipun dia itu secantik bidadari."

"Ho toako, hari ini kita akan sama2 mendayung dalam satu perahu, bukan?"

"Ha, ha, ha . . . lote, jangan kuatir, hari ini aku hendak coba2 menempel ketuanya, Hong Cek. Dengan sebatang mustika Cian-lian-ho-siu-oh ini, tentu dapat menarik perhatian ketuanya. Jika muridnya sudah begitu yahud, ketuanya tentu lebih hebat lagi, heh, heh "

"Aku sih asal dapat menggaet muridnya yang bernama Soh-hunli itu saja, rasanya sudah puas!"

"Jika begitu kita sudah ada pembagian, tak mungkin terjadi rebutan, ha, ha, ha " "Apakah mereka benar menginap di kuil Lian hoa-yan sana?"

"Benar, kita harus lekas2 ke sana. Jangan sampai didahului lain orang."

"Mari."

Setelah membayar kedua anak muda itu terus keluar. Cu Jiang segan mengurus mereka. Setelah minuman, diapun terus melanjutkan perjalanan. Di jalan dia melihat kedua busu (orang persilatan) tengah berjalan cepat. Tentulah kedua pemuda yang berbicara dalam warung tadi.

Cu Jiang bahkan tak mau cepat2 berjalan. Dia masih mempunyai waktu dua hari. Mungkin Tio Hong Hui masih sedang dalam perjalanan.

Tiba di persimpangan jalan, yang satu menjurus ke sebelah kiri dan masuk ke hutan, dia melihat sebuah pertandaan rahasia. Dia terkejut. Apakah sandi itu dibuat oleh salah seorang dari ke empat jago ko-jiu Tayli itu? Apakah di daerah ini terdapat jejak kawanan Sip-pat-thian- mo?

Ia terus balik ke tikungan jalan. Ia melihat jelas tanda rahasia itu. Agar tidak membikin kaget lawan, dia segera masuk ke dalam hutan, mematahkan ranting pohon lalu dengan menutup diri pakai daun2, dia melanjutkan berjalan ke muka.

Kira-kira setengah li jauhnya, tampak sebuah rumah yang berdinding batu merah. Rupanya sebuah kuil. Segera dia gunakan tata-langkah Gong-gong-poh hwat untuk menghampiri.

Ketika dekat, Ia terkejut. Ternyata gedung itu adalah kuil Lian hoa-yan seperti yang dikatakan kedua anak muda di warung tadi. Cu Jiang menyembunyikan diri dan merenungkan apa maksud dari pertandaan rahasia yang ditinggalkan keempat jago Tayli itu ? Tetapi sampai lama ia tak  dapat menemukan jawabannya.

Tiba2 dari dalam kuil itu terdengar suara tawa dari orang perempuan. Nadanya amat cabul. Cu Jiang menduga, yang tertawa itu tentu anak-murid dari partai Hoa-guat-bun yang bernama Soh-hun li. Kuil merupakan sebuah tempat pemujaan yang suci. Mana bisa akan dijadikan tempat maksiat semacam itu.

Lalu apakah maksud tanda rahasia itu mengundang dia supaya datang ke tempat itu ? Karena tetap tak dapat menemukan jawaban akhirnya Cu Jiang  memutuskan untuk bersembunyi menunggu perkembangan.

Ia segera menuju ke samping dan terus menyelundup masuk kedalam kuil.

Lian-hoa-yan partainya Kuil Teratai. Yang dipuja disitu adalah Koan Im pousat. Keadaan bersih dan indah sekali. Tak kalah mewah dengan gedung orang kaya.

Dari ruang sebelah barat yang berhias bunga2 indah. terdengar suara tawa cabul tadi. Kedua busu tadi berdiri diluar pintu ruangan. Wajahnya tampak dirangsang nafsu yang berkobar-kobar.

Saat itu Cu Jiang bersembunyi digerumbul bambu yang berhadapan dengan ruang bunga tadi. Melalui sela2 daun, dia dapat melihat apa yang terjadi di ruang itu. Begitu melihat, darahnyapun bergolak, mata merah membara.

Yang duduk didalam, ruang itu tak lain adalah Tio Hong Hui dan puterinya. Tingkah mereka yang genit dan cabul jauh berbeda sekali dengan sikap mereka yang sedih ketika berada di kota Gong-an tempo hari. “Mengapa Tio Hong Hui hendak berjumpa dengan ketua Hoa-goat-bun ?" demikian Cu Jiang menimang dan merenung peristiwa aneh itu.

Ah, mungkin Tio Hong Hui itu memang seorang wanita cabul seperti yang dikatakan oleh bekas suaminya Cukat Giok atau Koh-tiong-jin, orang dan dalam lembah itu.

Dengan kata2 yang merangsang dan genit berserulah Tio Hong Hui kearah pintu.

"Karena kalian dengan bersungguh hati datang kemari hendak mencari keharuman, maka ketua kamipun terpaksa meluluskan. Begini sajalah, kalian berdua dengan sepasang burung hong mencari burung hong."

Dada Cu Jiang hampir meledak. Ternyata di dunia terdapat wanita yang serendah itu martabatnya. Tetapi pada lain saat dia terpaksa harus sabar. Dalam hal itu tentulah terdapat sesuatu rahasia. Sebun Ong tentu mengatur rencana dalam peristiwa itu.

Busu orang she Ho dengan hormat membungkukkan tubuh lalu berkata.

"Bun-cu, aku yang rendah merasa sangat dahaga dan mohon bun-cu sudi mencurahkan air hujan..."

Bun-cu artinya ketua perguruan.

"Ah, tak mungkin, barang upetinya tidak memenuhi syarat." kata Tio Hong Hui dengan tertawa cabul.

"Akan kutambahi dengan pedang Keng-lui-kiam tinggalan leluhurku!"

"Akan kuberi kelonggaran kepada kalian berdua untuk bermain-main dengan burung hong !"

"Ini.... ini " "Terserah mau atau tidak. Jika tak mau,  silahkan kembali dan bawalah barang upeti itu !"

Kedua busu itu saling bertukar pandang. Lalu sama2 mengangguk.

Tio Hong Hui berpaling ke arah dara yang  duduk disampingnya:

"Anak manis, layanilah kedua tuan itu dengan baik2, Jangan sampai mengecewakan.”

Gadis itu tertawa dan berbangkit. Setelah menyatakan kesanggupannya, ia terus melontarkan lirikan mata kepada kedua busu yang berdiri di depan pintu, seraya mengundang:

"Mari. kalian silahkan masuk !" Lirikan mata gadis itu benar2 maut sekali. Seakan-akan mempunyai daya pesona yang kuat.

Tiba2 Cu Jiang teringat akan ocehan Thian-put-toa ketika dipuncak wuwungan rumah berhala.

"Selembar jiwa cepat atau lambat pasti akan diantar ke bawah kun (rok) si Ciok Liu ..."

Orang tua aneh itu memperingatkan bahwa pantangan besar bagi seorang pendekar ialah paras cantik.

Dengan begitu jelas bahwa Thian put thou ternyata sudah tahu bahwa Ratu-kembang Tio Hong Hui dan puterinya itu wanita yang cabul. Sayang Thian put-thou tak mau bilang dengan terus terang dan Cu Jiang pun tak mau bertanya lebih lanjut.

Sudah tentu pula Cukat Giok, kakek bernasib malang yang terlempar didasar jurang itu, tak tahu bahwa isteri dan puterinya sudah menjadi wanita penjual senyum. Kedua busu itupun segera melangkah masuk. Cu Jiang hampir tak dapat menguasai diri dan hendak keluar membunuh mereka. Tetapi tiba2 terdengar suara tawa keras dan dari balik gunungan batu yang tak jauh dari kuil itu, meluncur keluar sesosok bayangan, seorang tua berjubah kuning, berwajah merah segar seperti bayi, tubuh gagah perkasa, memasuki ruangan.

Menilik perawakannya, teringatlah Cu Jiang akan kawanan Sip-pat-thian-mo. Terpaksa dia menahan kesabarannya.

Dengan hormat kearah ruangan, orang tua jubah kuning itu berseru.

"Buncu, sudah lama kita tak berjumpa."

Pada saat itu Tio Hong Hui agak keheranan tetapi cepat ia tenangkan diri dan tertawa.

"Oh, siapakah anda ?" "Cobalah terka !"

"Seumur hidup belum pernah kenal, sukar untuk menerka."

"Di seluruh kolong jagad ini, yang mampu melayani bertanding ilmu kepandaian dengan bun-cu, siapa lagi orangnya kecuali aku."

"O, biarlah kuingat-ingatnya dulu . . ."

"Apakah ketua yang dulu tak pernah menceritakan tentang peristiwa pertempuran seratus babak yang berlangsung sehari semalam itu?"

Ratu-kembang Tio Hong Hui serentak berbangkit dan berseru tegang: "Apakah anda itu dalam persekutuan Sip-pat-thian-mo, bukan Hong-gwat-mo yang menempati urutan keempat?"

Orang tua jubah kuning itu tertawa gelak2.

"Benar, benar, itulah aku. Bagaimana kekuatan buncu sekarang?"

"Dalam seratus babak, masih dapat melayani!"

"Bagus, aku sih orangnya tua tetapi tombak ku tak pernah tua. Akan menjadi menteri utama untuk mengawal pintu gedung bun-cu!"

Cu Jiang ingin mendekap telinganya agar tak mendengar kata2 cabul yang bagi mereka diucapkan dengan enak saja.

Saat itu gadis Beng Cu dan kedua bu-su muda tadi sudah masuk ke dalam kamar samping. Mungkin mereka sudah mulai melangsungkan adegan yang disebut “Sepasang burung hong bermain dengan burung hong". Dua lelaki melakukan adegan ranjang melawan seorang perempuan.

"Apakah aku boleh masuk?" seru orang tua jubah kuning itu.

"Tunggu dulu!"

"Apakah bun cu masih hendak mengatakan pesan lagi?" "Anda tahu peraturan perguruan kami?"

"Untuk aku si tua ini juga harus terkena peraturan?" "Siapapun tiada yang dikecualikan!"

"Baiklah, sebuah ilmu silat, bagaimana?" "Ilmu silat yang bagaimana?"

"Kui ai-lay-hwat?" "Oh, ilmu pernapasan kura-kura, itu harus di berikan lebih dulu. . ."

"Aku sudah tak dapat menunggu lagi ..."

"Tidak bisa, itu sudah menjadi peraturan perguruan kami!"

"Baiklah." "Silahkan masuk!"

Melihat itu Cu Jiang tak dapat menahan hatinya lagi. Sambil berseru supaya mereka jangan bergerak dia terus melesat ke luar.

Melihat Cu Jiang wajah Ratu-kembang Tio Hong Hui berobah seketika. Kemunculan Cu Jiang benar2 tak pernah diduganya.

Tanpa berpaling iblis Hong-gwat-mo berseru seram. "Hai, manusia mana yang tak punya malu berani cari

mampus?"

Berulang kali Tio Hong Hui mengedipkan mata memberi isyarat kepada iblis itu. Hong-gwat-mo pelahan-lahan membalik tubuh dan . . .

"Hm engkau tentu Toan-kiam-jan jin yang memusuhi golonganku?" serunya gemetar.

"Benar!"

"Baik, aku memang hendak mencarimu!" "Sama-sama."

"Hari ini engkau harus mati!"

"Kata2 itu seharusnya aku yang mengatakan kepadamu!" Mata Cu Jiang berkilat-kilat menyapu ke dalam ruang.

Ratu kembang Tio Hong Hui menggigil.

Iblis Hong-gwat mo melangkah maju dua tindak. Tiada angin, jubahnya menggelembung sendiri.

Cu Jiang beralih memandang iblis itu. Diam2 ia menimang. Walaupun raja Tayli tidak menyukai suatu pembunuhan dan waktu berangkatpun suhunya, Gong gong-cu, memberi pesan agar menghindari pembunuhan dan cukup menghancurkan tenaga kepandaian musuh saja, tetapi Cu Jiang berpendapat bahwa terhadap iblis cabul macam Hong-gwat-mo, jika dibiarkan hidup tentu akan merusak gadis2 dan kaum wanita di dunia. Harus dibasmi.

Setelah mengambil keputusan, mata Cu Jiang pun memancar sinar pembunuhan. Kata2 Thian-put thou kembali terngiang di telinganya . . . "jangan kasih kesempatan pada lawan " . . . .

Dan Cu Jiangpun teringat akan peristiwa yang dialaminya sendiri. Karena bertempur terlalu lama, hampir saja dia mati di tangan kawanan Bu Mo dan kawan- kawannya.

Hong-gwat-mo memang tak kecewa sebagai seorang pentolan iblis. Melihat sinar mata Cu Jiang ia dapat menilai isi hati pemuda itu. Maka cepat dia mendahului menghantam lawan dengan kedua tangannya.

Tetapi dengan memiliki kepandaian yang tinggi, Cu Jiangpun memiliki gerak yang cepat sekali. Begitu lawan menghantam diapun terus menyabet dengan pedang kutungnya. Gerakan itu hampir berbareng waktunya.

Terdengar erang tertahan dan Hong-gwat-mo terhuyung mundur tiga langkah. Lengan kanannya berdarah. Tetapi Cu Jiang pun termakan pukulan lawan sehingga tubuhnya berguncang keras.

Begitu tercerai Hong gwat-mo terus melesat pergi. Sudah tentu Cu Jiang sangat terkejut sekali. Bagaimana seorang iblis berasal dari Sip pat thian-mo, dalam satu gebrak saja sudah ngacir.

"Hai, mau lari kemana engkau !" Cu Jiang terus mengejar. Tetapi dalam sekejab mata iblis itu sudah lenyap dalam kegelapan malam. Sekeliling penjuru hutan lebat, sukar untuk mengejarnya.

Cu Jiang termangu, Ia mengakui bahwa nasehat orang tua Thian-put-thou itu memang tepat. Jika tadi dia terus melancarkan serangan dahsyat, Hong-gwat-mo tentu tak sempat melarikan diri lagi.

Ia terus alihkan perhatiannya pada Tio Hong Hui dan anak gadisnya. Cepat dia kembali masuk kedalam ruang. Tetapi alangkah kecewanya ketika melihat ruang itu sudah kosong melompong.

Ketika menuju ke ruang kecil, ia mendengar suara orang merintih aneh. Setelah menentukan rintihan dari dalam sebuah kamar, dia terus menghantam pintunya dan menerobos masuk. Apa yang di saksikan  membuatnya muak dan panas.

Diatas ranjang kayu yang besar, kedua busu tadi rebah dengan telanjang. Mereka terus menerus merintih-rintih karena dibungkus dengan kasur dan dibuntal dengan kain kelambu. Sedang gadis tadi bersama ibunya sudah lolos.

Kedua bu-su itu lemas tak bertenaga. Mereka tentu terkena ilmu pesona. "Menjadi kaum persilatan tetapi melanggar peraturan persilatan, pantas dibunuh!" Cu Jiang mendamprat seraya mengangkat tinjunya.

Kedua bu-su itu membuka mulut tetapi tak dapat bersuara apa2. Keduanya hanya membelalakkan mata menunggu kematian.

Adegan itu menimbulkan ingatan Cu Jiang akan kematian yang mengenaskan dari mamah dan anak perempuan paman Liok Keduanya itu telah menjadi korban pembunuhan dan perkosaan yang keji dari kawanan manusia iblis.

Seketika hilanglah rasa kasihan Cu Jiang. Sekali tangan berayun, ke dua bu su itupun menjadi setan2 cabul di neraka.

Cu Jiang tak mau menyaksikan lebih lanjut. Dia menuju kembali ke dalam ruang, ia marah sekali. Dia telah kena dikelabuhi oleh Sebun Ong dan Tio Hong Hui. Ia menyesal karena meragukan kepercayaan Cukat Giok.

Kini kemarahannya ditumpahkan pada para rahib dalam kuil itu. Kuil Lian-hoa-yan merupakan tempat suci, mengapa sampai dijadikan tempat maksiat. Jelas para rahib di situ tentu tersangkut. Mereka tentu bukan rahib baik2.

Tetapi ketika dia menuju ke ruang tempat tinggal para rahib dan lain2 ruang, dia tak melihat barang seorang rahibpun juga. Rupanya mereka sudah sama melarikan diri semua.

Karena tak mendapat hasil, dia kembali lagi ke ruang depan. Tiba2 sesosok bayangan muncul. Cu Jiang terkejut dan mengawasi tajam. Ah, kiranya pendatang itu seorang sahabat baik dari suhunya, yaitu Lam-ki-soh. "Locianpwe, selamat berjumpa," dia memberi hormat. Tiba2 ia teringat bahwa saat itu ia memakai kain kerudung penutup muka. Tetapi mengapa Lam-ki-soh dapat mengenalinya?

"Ho, budak kecil, engkau masih ingat kepadaku?" tenang2 saja Lam-ki soh menjawab.

"Sudah tentu tak lupa."

"Karena mendapat berita dari suhumu, maka akupun akan menjaga dirimu . . ."

"Oh, terima kasih, lo cianpwe. " "Tak perlu."

"Tetapi bagaimana locianpwe dapat datang ke mari?  " Cu Jiang bertanya pula.

"Aku si orang tua justeru hendak bertanya kepadamu. Mengapa engkau hendak mengejar Hoa-gwat bun bun-cu, si gagak tua yang tidak tahu malu itu?"

"Aku menerima permintaan tolong dari seorang sahabat untuk menyelesaikan sebuah persoalan."

"Menerima permintaan orang ?"

"Dari Tionggoan-thayhiap Cukat Giok."

"Hm, bukan orang tak bernama. Mengapa dia dapat meminta bantuanmu untuk mengejar ketua Hoa-goat bun ?"

"Karena wanita itu adalah isterinya !" "Apa?"

"Ketua Hoa goat-bun itu adalah isteri Cukat Giok." "Ngaco!" bentak Lam-ki-soh dengan mata membelalak. Walaupun menaruh rasa hormat, tetapi Cu Jiang tak suka diperlakukan semacam itu, Ia menyabut dengan nada dingin:

"Aku tidak ngaco!"

"Budak, siapa yang bilang kalau isteri dari Cukat  Giok itu ketua Hoa-goat-bun ?" bentak Lam-ki-soh.

"Cukat Giok sendiri."

"Apa itu bukan ngaco belo namanya?" "Aku bukan manusia yang gemar ngaco !" "Apa Cukat Giok sudah gila?"

Cu Jiang tertegun lalu menjawab tegas:

"Dia tidak gila !"

"Mengapa dia minta tolong kepadamu supaya mencari jejak isterinya?"

"Dia telah dikhianati orang dan kini menjadi manusia cacad, ilmu kepandaiannya sudah punah. Dia mengatakan bahwa istrinya itu tidak setia dan menyeleweng."

Lam-ki-soh regangkan kepala, merenung sejenak lalu berkata:

"Apakah dia mengatakan kalau isterinya itu ketua dari Hoa gwat bun?"

"Tidak ! Dia mengatakan isterinya adalah Hoa  Hou (Ratu kembang) To Hong Hui."

"Ya benar. Dan mengapa engkau tidak mencari Hoa hou Tio Hong Hui tetapi memburu ketua Hoa-goat-bun?"

Rupanya Cu Jiang cepat menyadari. . "Apakah ketua Hoa-goat-bun itu bukan Tio Hong Hui?" serunya dengan nada gemetar.

"Engkau kurang pengalaman. Ketua Hoa-goat bun itu Can Su Nio. Setiap hidung belang tahu. Mengapa hendak engkau jadikan sebagai Tio Hong Hui? Apakah engkau hendak mempersamakan kuda dengan keledai ?"

"Aku kena ditipu !" Cu Jiang menggeram. "Siapa yang menipu ?"

"Bu lim-seng hud Sebun Ong !" Lam-Ki soh kerutkan dahi.

"Nama Sebun Ong itu harum sekali, bagaimana menipumu?"

Dengan mengertak gigi, Cu Jiang lalu memberitahu semua peristiwa yang telah diceritakan Cukat Giok kepadanya, tetapi dia tak mau mengatakan tentang dirinya disiksa Bu Mo dan dilempar kedalam jurang.

"O, kiranya begitu. Kalau demikian, aku telah salah duga. Ternyata Sebun Ong seorang ksatrya palsu yang mengelabuhi mata seluruh kaum persilatan!" kata Lam-ki- soh.

"Takkan kubiarkan dia dapat bebas berkeliaran lagi." seru Cu Jiang.

"Tetapi tak mudah engkau hendak mencarinya. Dan hati-hatilah terhadap rencana2 jahat yang akan dilakukannya terhadap dirimu. "

"Lalu bagaimana langkahmu sekarang ?"

"Membikin perhitungan dengan ketua Gedung Hitam."

Pada saat itu terdengar suara dengusan dingin yang menusuk telinga. "Siapa!" teriak Cu Jiang.

Tetapi tiada penyahutan. Pada saat Cu Jiang hendak mengejar, Lam-ki-sohpun mencegahnya:

"Jangan! Mereka dapat bersembunyi tanpa kita ketahui. Jelas mereka tentu bukan kawanan yang lemah. Percuma mengejarnya. Yang penting, bagaimana rencanamu hendak mencari ketua Gedung Hitam itu?"

"Aku sudah punya rencana !"

Lam ki-soh tak mau mendesak. Dia beralih pembicaraan. Dia mengatakan bahwa kuil Lian-hoa-yan itu merupakan cabang perkumpulan Hoa-goat-bun, lebih baik dibakar.

Cu Jiang mengiakan! Dia masuk, merobek kain kelambu dan menyalakannya. Keduanya keluar dan menyaksikan kuil itu di makan api. Tiba2 beberapa sosok bayangan melesat keluar dari dalam kuil itu. Seorang rahib tua dan lima rahib muda.

"Karena sarangnya terbakar, kawanan rase bermunculan keluar." Lam ki-soh bertepuk tangan.

"Apakah rahib2 itu anak murid Hoa-goat-bun ?" "Ya, kau..."

Cu Jiang cepat loncat ke muka.  Dengan  beberapa ayunan tangan, keenam rahib cabul itu menjerit ngeri dan terlempar lagi ke dalam api.

"Budak, agaknya ganas sekali engkau ini." seru Lam.ki- soh.

"Membasmi kejahatan harus sampai bersih. Membiarkan orang2 seperti itu hidup di dunia, takkan membawa berkah pada manusia."

"Hayo, kita pergi." seru Lam ki soh. Tiba2 pula Lam ki soh berkata bahwa sebaiknya mereka pergi secara berpencar. Sudah tentu Cu Jiang setuju. Dalam melakukan pembalasan terhadap Gedung Hitam itu, dia memang ingin melakukan dengan tenaganya sendiri, tak perlu dibantu orang.

Demikian keduanya lalu menyetujui rencana itu dan Cu Jiang terus berangkat dulu. Dalam perjalanan dia masih marah terhadap Sebun Ong yang telah mengelabuhi  dirinya, menyodorkan ketua Hoa-goat-bun sebagai Tio Hong Hui.

Diam2 ia bersyukur karena tak lekas menyerahkan kedua bungkusan dari Cukat Giok itu kepada ketua Hoa-goat-bun. Andaikata dia terlanjur memberikan, bukankah dia akan menelantarkan pesan Cukat Giok? Ketua Hoa-goat-bun mati selagi Tio Hong Hui masih hidup.

Cu Jiang merasa tak perlu masuk ke kota Li Jwan lagi. Dia memutar dari samping tembok kota lalu  menyusur jalan di sepanjang tepi sungai.

Tengah dia berjalan tiba2 dari belakang terdengar orang berseru:

"Hai, bung. berhenti dulu!"

Cu Jiang berhenti tetapi tak mau berpaling melainkan balas menegur:

"Sahabat dari mana ini?"

"Bukankah anda ini Toan-kiam jan jin?" seru orang itu pula.

"Benar."

"Aku Ban Ki Hong." "Ada keperluan?" "Hendak minta beberapa jurus ilmu pedang dari anda."

Cu Jiang berputar tubuh, Ban Ki Hong adalah orang yang membawa kemauannya sendiri, berkeras hendak menempurnya sehingga isterinya sampai nekad melempar diri ke dalam jurang.

Hanya beberapa hari setelah kematian isterinya, Ban Ki Hong sudah turun gunung dan mengejarnya. Orang itu benar2 gila.

"Mari kita ke atas pesisir sana." seru Ban Ki Hong seraya menunjuk ke sebuah pesisir.

"Apa engkau yakin kalau aku tentu mau meladeni permintaanmu?" seru Cu Jiang.

"Bukankah anda takkan pelit untuk memberi pelajaran kepadaku?" agak kurang senang Ban Ki Hong balas bertanya.

"Mungkin."

Wajah Ban Ki Hong berobah seketika.

"Terus terang aku menantang anda!" serunya dengan nada tergetar.

"Engkau belum pantas menjadi lawanku." sahut Cu  Jiang.

Ban Ki Hong melotot mata, teriaknya: "Anda tak memandang mata kepadaku!"

"Memang."

"Toan kiam-jan-jin, engkau terlalu menghina orang . . ." "Lalu?"

"Kita bertempur sampai mati!"

"Telah kukatakan, engkau belum pantas!" Ban Ki Hong mencabut pedang dan menggetarkannya.

Segulung sinar berhamburan menyilaukan mata.

"Baik, mari kita ke sana," tiba2 Cu Jiang merobah keputusan.

Dua puluhan tombak jauhnya terdapat sebuah padang rumput! rumput yang tebal sehingga teraling dari pandangan orang. Sedang di depannya terdapat pasir yang menjurus ke tepi sungai.

"Ban Ki Hong, engkau benar2 manusia yang tak punya perikemanusian !" seru Cu Jiang.

Didamprat begitu, Ban Ki Hong gemetar  marah, serunya:

"Kita belum kenal mengenal. Menantang adu ilmu pedang sudah lazim dikalangan persilatan.  Mengapa engkau menghambur makian kepadaku ?"

"Hm. sekali lagi kutegaskan. Engkau memang belum pantas menjadi lawanku."

"Apa artinya ?"

"Dengan memburu nama kosong, engkau mengesampingkan kecintaan isteri sehingga istrimu sampai bunuh diri. Apakah engkau ini seorang insan manusia ?"

Pucat seketika wajah Ban Ki Hong. Dia menyurut mundur sampai empat lima langkah. Dipandangnya Cu Jiang sampai lama sekali, baru dia berseru:

"Bagaimana engkau tahu ?"

"Tak perlu bertanya. Engkau mengakui atau tidak!" "Aku... aku .... tak membunuhnya," suaranya penuh

mengandung kesedihan. "Memang bukan engkau yang membunuh. Tetapi karena ulah tindakanmu yang menyebabkan doa putus asa dan nekad. Apakah itu tidak sama artinya engkau yang membunuh ?"

Butir2 keringat sebesar kedelai bercucuran turun dan dari dahi Ban Ki Hong. Wajahnya mengerut tegang.

"Apakah anda.... melihat peristiwa sedih itu?" serunya dengan gemetar.

"Ya "

"Aku tak mengira kalau dia berlaku senekad itu."

"Tetapi kematiannya tetap tak dapat menolong. Engkau tetap akan turun gunung."

Mendengar itu menjeritlah Ban Ki Hong seperti orang kalap:

"Aku harus mengadu ilmu-pedang dengan engkau, ini merupakan jalan hidupku. Ayahku juga keras kepala . .. tetapi akhirnya mati dibawah pedang."

Air matanya berderai-derai membasahi kedua pipinya. "Bukankah engkau sudah berjanji kepada istrimu takkan

mengeluarkan pedang itu lagi ?" "Ya."

"Kalau sudah merasa tak dapat memegang janji, mengapa engkau menikah dengan dia ?"

"Ini.... ini. karena aku mencintainya!"

"Bohong, engkau tak punya malu ! Tak layak engkau menjadi seorang bu-su !"

Wajah Ban Ki Hong makin berkerenyutan dan berteriak sekerasnya: "Tetap harus mengadu pedang!" "Mudah sekali untuk membunuhmu !"

"Biar, biar ! Mati atau hidup bagiku sekarang sudah tidak penting lagi."

"Pandangan isterimu memang tepat. Engkau memang tak dapat dinasihati lagi."

"Cabut pedangmu."

"Engkau mengatakan bahwa waktu berumur tujuh belas tahun engkau pernah menerima ajaran Ilmu pedang dari seorang sakti yang tak dikenal. Apakah hingga sekarang engkau dapat mengerti pelajaran itu?"

"Benar!"

"Engkau hendak mengangkat nama dengan sejurus ilmu pedang itu?"

"Bukan, aku hanya melanjutkan cita2 mendiang ayahku."

"Apakah ayahmu juga segila engkau ?" "Jangan menghina orang yang sudah mati !" "Ah !"

"Baik, akan kululuskan keinginanmu !" Cu Jiang terus mencabut pedang kutung, diacungkan condong ke arah kanan.

Ban Ki Hongpun mengangkat pedang ke muka dada. Sikapnya tenang kembali. Suatu sikap yang diperlukan sebelum melakukan gerakan. Walaupun memiliki ilmu pedang yang sakti, tanpa ketenangan, juga akan berkurang kesaktiannya. Melihat sikap perobahan orang, Cu Jiang makin curiga dan berseru:

"Tunggu dulu!"

"Anda mau bicara apa lagi ?" seru Ban Ki Hong. "Apa nama jurus ilmu pedangmu itu?"

"Entah !"

"Lalu apa orang yang memberi pelajaran kepadamu itu tak meninggalkan namanya ?"

"Tidak."

Merenung sejenak Cu Jiang lalu mempersilahkan Ban Ki Hong menyerang.

Ban Ki Hong tenangkan perhatian. Sepasang mata tak berkelip memandang Cu Jiang. Melihat sikap dan gayanya, memang rapat dan tak memberi kesempatan lawan untuk mencari bagian yang lemah.

Keduanya seperti dua buah patung batu. Saling pandang memandang tanpa berkedip.

"Haaiit !" dua buah pekikan terdengar. Hampir serempak sehingga sukar dibedakan mana yang lebih dulu menghambur teriak dan serangan.

Yang tampak hanya lingkar sinar yang mencurah bagai bunga, mirip pula dengan ratusan ular perak menari-nari. Hanya sekejap dan terdengarlah suara mengerang...

00^od^^wo^00 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar