Pusaka Negeri Tayli Jilid 11

Jilid 11

Terdengar letupan keras ketika dua buah pukulan sakti saling beradu. Cu Jiang tergetar. Dia tidak  menghindar, juga tidak balas menyerang.

Sedangkan wajah Auyang Jong-san tampak ngeri dan ketakutan. Dia mundur selangkah demi selangkah. Mungkin, baru pertama kali itu dia berjumpa dengan seorang manusia yang mampu menerima pukulan yang disertai dengan seluruh tenaganya.

Auyang Jong-san mundur, mundur dan mundur lagi sehingga dia sudah mundur sampai delapan langkah.

Cu Jiang cepat melesat kehadapannya dan  berseru dingin:

"Dengan sejujurnya kuberitahu kepadamu,  bahwa engkau pasti mati hari ini !"

Wajah Auyang Jong-san mengerut dalam, keringat bercucuran membasahi kepala. Dia tak mundur lagi.

Segenap jago2 pengiring putera raja Biau serempak berdiri dengan mulut terlongong-longong.

Dendam dan kebencian Cu Jiang yang terpendam selama ini, tercurah dalam pandang matanya yang berapi api menyeramkan. Seolah-olah dia hendak menelan orang itu.

Gong-gong-cu cepat berteriak nyaring: "Tin tian ciangkun, kalau lawan sudah mengaku kalah, terimalah saja." Cu Jiang teringat bahwa raja Tayli itu tak menyukai pembunuhan. Dia pun teringat bahwa kepandaiannya berasal dari budi yang dilimpahkan baginda dengan mengijinkan dia mempelajari kitab pusaka Giok kah kim- keng.

Dia menyadari bahwa baik-baik kalau dia mengumbar nafsu kemauannya sendiri. Setelah menekan perasaannya, berserulah dia dengan nada sarat:

"Apakah engkau sudah menyerah ?"

"Tidak!" teriak Auyang Jong san lalu tiba-tiba menyerang. Memukul dengan tangan kiri, menutuk dengan jari tangan kanan lalu menendang ke jalan darah Gi-hay pada perut orang.

Tiga buah gerakan itu dilancarkan secara tak terduga duga, cepat dan serempak.

Tetapi diluar dugaan Cu Jiangpun bergerak luar biasa cepatnya Secepat tubuh berkisar, tangan menghantam dan huak . . . terdengar jeritan ngeri.

Auyang Jongsan muntah darah, terhuyung-huyung sampai tiga langkah dan terus jatuh terduduk.

Para pembesar sipil dan militer kerajaan Tayli yang duduk pada panggung sebelah itu, tak ingat lagi kalau baginda berada disitu. Mereka serempak bersorak sorai menyambut kemenangan Cu Jiang itu dengan kegembiraan yang meluap luap.

Anak rombongan Biau terkejut sekali.

Untuk membunuh lawan, Cu Jiang hanya seperti menampar nyamuk saja. Tetapi dia tak mau  membunuhnya, melainkan hanya berseru: "Demi menjunjung titah Hong ya yang penuh welas asih, kuampuni jiwamu!" habis berkata dia terus mundur ke tengah gelanggang.

"Tunggu!" tiba2 terdengar sebuah suara yang seram, disusul dengan sesosok tubuh yang muncul di tengah gelanggang.

Sekalian orang terkesiap. Gerakan orang itu masuk ke tengah gelanggang sungguh hebat sekali. Hampir mereka tak dapat melihatnya. Bahkan mereka mengira kalau orang itu memang sebelumnya sudah berada di  tengah gelanggang.

Cu Jiang hentikan langkah, berputar tubuh. Dilihatnya pendatang itu adalah salah seorang pengiring Kopuhoa, orang Han yang berpakaian seperti suku Biau.

"Anda bermaksud bagaimana?" tegur Cu Jiang. "Menantang!"

"Kali ini merupakan pertandingan yang terakhir." "Tahu!"

"Ada  syaratnya?" "Bertempur dengan pedang." "Baik. Siapakah nama anda?"

"Kepala huhwat istana Biau, Ih bun Ih Hiong."

"Rupanya anda mempunyai keistimewaan dalam ilmu pedang."

"Tak perlu engkau tanyakan."

Tiba2 Cu Jiang teringat. Apabila kali ini dia menggunakan kutungan pedang, kelak tentu akan menimbulkan kesulitan apabila dia muncul di Tionggoan. Hal itu tentu akan menyangkut kerajaan Tay-li. Iapun memutuskan untuk memakai pedang lain maka dia berseru kepada rombongan perwira yang berjaga di depan meja supaya membawakan pedang.

Seorang perwira segara mengambil sebatang pedang ceng-kong-kiam dari rak senjata dan di serahkan ke Cu Jiang

Rupanya Gong-gong-cu tahu kandungan hati Cu Jiang.

Diam2 ia mengangguk.

Kepala huhwat dari istana Biau, Ih bun Ih Hiong pelahan-lahan mulai melolos pedangnya. Di tingkah sinar obor, batang pedang itu berkilat-kilat memancarkan sinar yang menyilaukan mata. Jelas bahwa pedangnya itu tentu sebuah pusaka. Dan ketika ia getarkan ujung pedang maka ujung pedang itupun menjulur panjang beberapa jari.

Setelah saling mengucap sepatah kata untuk mempersilahkan maka kedua jago itupun segera saling berhadapan. Keduanya melakukan kuda2 pembukaan yang aneh. Beda dengan kuda2 ilmu pedang biasa.

Namun mereka belum segera mulai  bertempur melainkan saling beradu tatap pandang. Tajam dan penuh dengan sinar pembunuhan.

Sedetik, semenit... berjalan merayapi ketetapan suasana.

Tiada seorang pun yang mengedipkan mata.

Pelahan lahan ujung hidung Ih hun Ih Hiong mengucurkan keringat. Beberapa tokoh ahli pedang, berturut-turut berdiri. Mereka tak kuat menahan ketegangan hatinya. Mereka tahu bahwa sekali bergerak, keduanya tentu akan menghadapi kekalahan atau kemenangan.

Memang sikap dari kedua jago itu, berbeda dengan pertempuran jago pedang yang kebanyakan. Tetapi mereka tak tahu apa sebenarnya yang sedang dilakukan Cu Jiang. Sikap yang diambil Cu Jiang untuk menghadapi lawan itu sebenarnya hanya untuk mengetahui bagaimana serangan yang akan dibuka lawan. Ia baru akan menunggu lawan menyerang lebih dulu baru akan mendahului untuk mematikannya.

Tampak para jago2 pengawal Kopuhoa pun berturut- turut berdiri. Merekapun tegang sekali.

Dari acara pertandingan yang akan dilangsungkan lima kali, kedua belah pihak sama2 membagi angka. Dalam empat kali pertandingan, mereka kalah dua kali  dan menang dua kali. Jadi seri.

Pertandingan saat itu merupakan pertandingan kelima atau yang terakhir. Itulah sebabnya kedua belah pihak amat tegang sekali.

Beberapa saat kemudian tampak tubuh Ih-bun It Hiong gemetar. Hal itu menandakan bahwa dia tak kuat bertahan lagi.

Dalam keadaan seperti itu sebenarnya Cu Jiang dapat turun tangan. Lawan sudah goyang konsentrasi semangatnya. Tetapi Cu Jiang tak mau. Dia tetap diam tak bergerak. Orang dan pedang seperti bersatu.

Dalam pandangan ahli pedang, keadaan itu merupakan ilmu pedang yang telah mencapai tataran tertinggi. Dapat membunuh lawan tanpa terasa.

Kopuhoa mulai mengucurkan keringat. Wajahnya yang hitam makin menyeramkan.

Sementara Toan Hong-ya berbisik kepada Gonggong cu: "Kok-su, tak kira anak itu memperoleh hasil yang

sedemikian hebat!" "Hong-ya, mungkin tidak hanya sampai di situ saja, " sahut Gong-gong cu.

"Nyo kongkong, sesungguhnya berapa tinggikah kepandaian dari sausu itu ?" tanya Puteri Toan Swi Ci.

Gong- gong cu tertawa:

"Sukar dikata. Cukup dikatakan bahwa dia sukar dicari tandingannya !"

"Jika begitu bukankah dia merupakan jago nomor satu dalam dunia?"

"Ilmu silat itu tiada batasnya. Tak ada yang disebut nomor satu. Hanya ada tinggi dan rendah saja."

"Bagaimana kalau dibanding dengan Nyo kongkong ?" "Aku terpaut jauh sekali dengan dia !"

"Aneh, besar2 aneh. Murid lebih sakti dari guru." Murid dan guru hanya soal nama saja."

"Nyo   kongkong, lihatlah....   dia  tetap belum turun tangan!"

Memang Cu Jiang bahkan menyimpan pedangnya dan berkata:

"Hong-ya tak memperkenankan darah menumpah!"

Habis berkata dia terus melangkah, berhenti serentak memberi hormat kearah tempat duduk baginda kemudian baru kembali ketempat duduknya semula.

Wajah Kopuhoa dan sekalian jago2 pengiringnya berobah, tak sedap dipandang. Dan saat itu Gong gong cupun berbangkit.

"Pertandingan adu kepandaian ini, telah berakhir. Pihak Tayli beruntung dapat menangkan sebuah pertandingan. Urusan peminangan, menurut peraturan sudah bebas. Sekarang kami persilahkan para tetamu yang terhormat supaya beristirahat ke Wisma Tamu Agung lagi..."

Dengan napas memburu keras, Kopuhoa berseru:

"Tak lama kami akan datang kembali untuk mohon pelajaran. sekarang kami hendak mohon diri."

Beng Kiu yang mengepalai rombongan pengiringpun menyatakan mohon diri kepada tuan rumah.

Diam2 Cu Jiang geli dalam hati. Dia tak mengerti adat istiadat suku yang tinggal di daerah selatan itu.

"Walaupun kami mengecewakan harapan, tetapi kami takkan mengecewakan peraturan. Atas nama Hong-ya, kami mengucapkan selamat jalan kepada rombongan tamu agung!" seru Gong-gong cu dengan nyaring sebagai pengantar dan kepergian rombongan Kopuhoa.

Setelah itu dia mohon petunjuk baginda dan raja pun memberi isyarat agar upacara pertandingan itu dibubarkan.

Sesaat Gong-gong cu mengumumkan bahwa acara telah selesai dan dibubarkan maka seluruh pegawai sipil dan militer kerajaan Tayli serempak berdiri memberi hormat. Dengan diiring puteri, bagindapun tinggalkan tempat itu.

Sorak sorai bergemuruh gegap gempita dari sekalian menteri dan rakyat Tayli menyambut kemenangan Cu Jiang. Cu Jiang membalas hormat kepada mereka.  Dua butir airmata haru dan gembira menitik keluar dari pelupuk Cu Jiang. Dia merasakan saat  itu suatu saat yang mempunyai kebahagian tersendiri.

Gong-gong cu mengajak Cu Jiang pulang ke wisma Tiau- tim-tian, Ing San dan Bok Cui menyiapkan hidangan. "Nak, kuhaturkan secawan arak kehormatan atas kemenanganmu!" seru Gong gong cu.

"Ah bagaimana murid berani menerimanya ? Selayaknya muridlah yang harus menghaturkan arak kehormatan sebagai tanda terima kasih atas budi suhu." seru Cu Jiang.

Gong gong-cu tertawa.

"Ha, ha, ha, sudahlah, jangan peduli siapa yang harus menghaturkan arak kehormatan, yang penting mari kita meneguknya."

Cu Jiang terpaksa menyambuti dan setelah meneguk habis diapun menghaturkan secawan arak kepada Gong- gong-cu.

"Nak, Hong-ya sangat menaruh kepercayaan kepadamu, Engkau diharapkan dapat menyelesaikan tugas besar, melenyapkan gerombolan Sip-pat-thian-mo yang ganas itu

!"

"Murid berjanji akan melaksanakan titah Hong ya dengan sekuat tenaga."

"Kuharap dalam waktu tak lama lagi, aku dapat menyiapkan perjamuan untuk memberi arak kehormatan kepadamu lagi."

"Terima kasih suhu."

"Apakah engkau ingin bertamasya melihat-lihat tempat2 indah dalam negeri Tayli sini ?"

Sejenak merenung Cu Jiang mengatakan bahwa dia ingin selekasnya kembali ke Tionggoan. Kelak kalau tugasnya sudah selesai, ia tentu akan melihat2 tempat2 indah di negeri Tayli itu.

Gong-gong cu tak mau memaksa. "Suhu, kapankah murid dapat berangkat ?" "Bagaimana kalau lusa saja ?"

Cu Jiang mengiakan. Demikian setelah  beristirahat sehari pada hari kedua Cu Jiangpun segera tinggalkan kota Tayli.

Dengan mengenakan pakaian seperti seorang pelajar dan muka tertutup, dia berjalan pelahan-lahan.

Hampir setahun lamanya Cu Jiang pergi dari daerah Tionggoan selama itu banyak sekali terjadi perobahan. Dan beberapa kaum persilatan yang dijumpai dalam perjalanan, Cu Jiang banyak mendengar cerita2 tentang dunia persilatan yang mengejutkan.

Perkumpulan agama Thong-thian-kau berdiri di kota Khay-hong. Siapa ketuanya tiada diketahui orang.

Perkumpulan itu mempunyai delapan buah cabang yang tersebar di beberapa tempat. Pengaruhnya amat besar.

Kecuali Siau-lim-pay, Bu-tong, Kay-pang dan Hek-poh atau Gedung Hitam, semua partai2 dan perhimpunan silat kecil2 telah ditelan dan dilebur ke dalam Thian tong kau  itu.

Tetapi Cu Jiang tak tertarik akan partai baru itu. Dia tetap mencurahkan perhatian pada musuh utamanya yakni gerombolan kedelapan belas durjana yang disebut Sip-pat- thian mo itu.

Setiap detik, menit dan jam, hatinya selalu tersikut oleh dendam kesumat terhadap kawanan durjana itu. Darahnya bergolak keras ketika teringat akan peristiwa yang lalu yang menyebabkan kedua orang tuanya mati dan yang membuat dirinya sekarang menjadi pemuda cacad dan bermuka buruk. Kini hutang itu harus di impas. Setelah memasuki daerah Kwitang dia terus menuju ke Sujwan. Rencananya dari Su- jwan terus akan menuju ke gunung Keng san  tempat markas Gedung Hitam.

Ia belum tahu apakah ketua dari Gedung Hitam itu terlibat juga dalam peristiwa berdarah, masih harus diselidiki. Tetapi tentang dendam dengan Go-leng cu dan Thian-hiancu memang sudah jelas.

Terhadap gerombolan durjana Sip pat-thian-mo, harus mencari kesempatan untuk menemui mereka. Untuk itu harus menggunakan siasat memikat perhatian mereka.

Hari itu dia tiba di kota Keng-ciu wilayah Sujwan. Saat itu hari sudah menjelang petang. Seperti beberapa hari yang lalu, dia membeli saja makanan dan minuman botolan, lalu mencari tempat yang sunyi untuk beristirahat.

Dia tak mau masuk kota melainkan melingkar memutari kota itu untuk mencari tempat yang sepi. Tak berapa lama, dia melihat sebuah biara. Dengan langkah yang terpincang- pincang dia menghampiri biara itu. Ketika tiba di muka biara itu, pada papan nama di atau pintu terpampang tiga buah huruf besar: Bu Hou Si atau tempat pemujaan panglima perang.

Biara itu sunyi senyap tiada bekas dupa sembahyangan. Rupanya sebuah tempat pemujaan yang tak pernah dikunjungi orang lagi. Hal itu mencocoki selera Cu Jiang. Dia memang hendak mencari tempat yang sepi dan tenang.

Setelah masuk dia terus duduk bersila dan membuka bungkusan makanan. Selesai makan hari pun sudah malam, suasana amat sunyi.

Dalam biara yang sebesar itu ternyata tiada berpenghuni sama sekali. Cu Jiang mulai mencurahkan pikirannya untuk merenungkan ilmu pelajaran Kim-kong-sin kang  yang belum difahaminya itu.

Entah berapa lama, ketika rembulan berada di tengah, tiba2 terdengar derap langkah kaki orang mendatangi dan masuk. Masakan tengah malam buta seperti saat  itu, muncul seorang pendatang. Siapa mereka?

Dua sosok bayangan melesat ke dalam ruang. Yang di depan seorang baju hitam setengah tua. Yang di belakangnya seorang bun-su ( orang terpelajar ), juga setengah tua. Cu Jiang tak asing lagi dengan bun su itu. Siapa lagi kalau bukan Ho Bun Cai, congkoan atau pengurus Gedung Hitam.

Seketika teringatlah Cu Jiang akan peristiwa yang lampau. Ho Bun Cai giat menyelidiki jejak pemuda pelajar baju putih ( Cu Jiang sendiri kala masih belum rusak mukanya )

Sebagai seorang congkoan Gedung Hitam tetapi ternyata Ho Bun Cai itu itu malah membunuh beberapa jago Gedung Hitam sendiri. Pernah membantunya lolos dan penjara neraka Gedung Hitam. Diam2 Cu Jiang mengakui bahwa ia masih berhutang setitik budi kepadanya.

Mengapa congkoan itu tiba2 muncul di biara situ? Siapakah sebenarnya orang itu? Agar tak dipergoki mereka, Cu Jiang kerahkan tenaga sakti. Tanpa berkisar dari posisi duduknya, tubuhnya melayang ke belakang sebuah tiang yang besarnya sepemeluk lengan orang.

Tepat pada saat itu kedua orang itupun muncul di tengah ruang.

"Di sini saja kita selesaikan," tiba2 orang baju hitam itu berseru dingin.

Ho Bun Cai tertawa hambar: "Tio Pit Bu, mengapa engkau tetap ngotot demikian rupa?"

Pengawal Hitam yang bernama Tio Pit Bu itu tertawa dingin:

"Ho Bun Cai, urusan ini harus diselesaikan. Kalau tidak bagaimana dapat mengubur agar arwah suhu mengasuh dengan tenang di alam baka ..."

"Kalau menurut umur, aku lebih tua dua tahun dari engkau, " seru Ho Bun Cai dengan nada serius, "layaknya kusebut engkau sebagai hian-te. Pada masa itu guruku dan gurumu merupakan sepasang sahabat yang karib . . ."

"Tutup mulutmu! Kalau memang karib hubungannya mengapa tak mau memberi kelonggaran pada orang?"

"Hiante, ucapanmu itu mengandung prasangka "

"Prasangka ? Adalah karena hal itu maka mendiang suhuku sampai binasa. Pada saat menutup mata masih tetap tak melupakan jurus ilmu pedang yang menyebabkan dia mendendam kebencian !"

"Hiante, sebenarnya kedua orang tua itu tidak bermusuhan, hanya .... hanya "

"Hanya bagaimana ?"

"Gurumu itu berwatak agak mau menang sendiri." "Ngaco!  Gurumulah  yang  hendak  membuktikan bahwa

dirinya adalah jago pedang nomor satu didunia ini sehingga

dia tak mau mempedulikan sahabat lagi."

"Hiante, Jurus ilmu pedang itu adalah ciptaan mendiang guruku sendiri. Pada waktu mereka mengadu kepandaian tujuannya tak lain hanya saling menguji dan mempelajari kelemahan masing2 " "Ah, tak perlu menguraikan peristiwa yang telah lalu. Perhitungan yang oleh angkatan terdahulu belum selesai, kita sebagai angkatan sekarang harus menyelesaikannya. Marilah kita buktikan, apakah Jurus ilmu pedang ciptaan gurumu itu benar2 merupakan ilmu pedang yang tiada tandingannya dalam dunia ini!"

"Ah, siapapun yang menang atau kalah, engkau  atau aku, lantas bagaimana ?"

"Jika aku sampai kalah," seru Tio Pit Bo dengan nada tergetar, "aku akan bunuh diri."

Seketika wajah Ho Bun Cai berobah: "Ah, janganlah hiante begitu serius. Kedua beliau sudah menutup  mata, kita sebagai angkatan sekarang masakan hendak mengikuti jejak mereka?"

"Lebih dari sepuluh tahun aku membenam diri  dari dunia ramai, perlunya hanya untuk menunggu saat seperti sekarang ini !"

"Hiante menganggap hal itu sebagai suatu dendam permusuhan ?"

"Permusuhan sih bukan tetapi hanya dendam saja." "Tetapi aku sudah bersumpah takkan menggunakan

jurus ilmu pedang itu lagi."

"Apakah dengan alasan itu engkau hendak menjaga gengsi ?"

"Tidak hiante, apa yang kukatakan itu memang sesungguhnya."

"Keputusanku sudah mantap, tak mungkin di robah lagi."

Sudah tentu Cu Jiang tak mengerti apa yang mereka percakapkan itu. Tetapi ia hanya menduga bahwa urusan itu menyangkut pertengkaran yang terjadi pada guru mereka. Memang rata2 kaum persilatan mempunyai watak begitu, menganggap "nama baik" itu lebih berharga dari Jiwa.

"Hiante, apakah sudah engkau pikirkan akibatnya ?" seru Ho Bun Cai pula.

"Akibat yang bagaimana?"

"Demi menjaga agar nama baik mendiang guruku tak sampai terhina, terpaksa aku harus mainkan jurus itu dengan sepenuh tenaga."

"Justeru itulah yang kukehendaki !"

"Tetapi begitu dimainkan. Jurus ilmu pedang itu tentu melukai orang..."

"Juga ilmu pedangku nanti."

"Untuk apakah kita akan bertempur ini ?" "Demi menumpahkan ganjalan hati"

"Tetapi aku tak mau menggunakan jurus itu." "Engkau harus!"

"Kalau tidak ?"

"Akan segera kusiarkan kepada dunia persilatan bahwa ilmu pedang gurumu itu ternyata bukan Ilmu pedang yang menjagoi kolong langit!"

"Kalau begitu, silahkan hiante menyiarkan!"

"Ilmu pedang ajaran suhu dikala beliau hendak menutup mata, tak dapat disiarkan ke dunia persilatan bersama dengan jurus ilmu pedang gurumu itu."

"Apa maksudmu ?" "Malam ini marilah kita sama2 menguji mana yang lebih sakti."

"Adu Jiwa?"

"Mati hidup tergantung dari kepandaian yang didapat masing2. Jangan mengaitkan dengan kata adu Jiwa."

Sebagai putera dari Kiam-seng (Nabi pedang) sudah tentu Cu Jiang tertarik sekali. Rupanya yang dipertengkarkan kedua orang itu mengenai sebuah jurus ilmu pedang yang tiada tandingannya.

Apakah didunia ini benar2 terdapat ilmu pedang yang tiada lawannya?

Jika begitu ilmu pedang Thian te-kiamhoat atau Langit bumi-saling-terangkap yang dipelajarinya dari kitab Giok- kan-kim- keng itu termasuk ilmu pedang  tingkat bagaimana?

Ah, lebih baik ia melihat saja ilmu pedang apa yang akan dipertunjukkan kedua orang itu.

"Aku tetap tak mau mengeluarkan ilmu pedang Itu," seru Ho Bun Cai.

"Takut ?" "Bukan begitu."

"Suatu pengakuan tak berani?" "Juga bukan."

"Hm, kalau begitu harus dibuktikan."

Dalam berkata itu, Tio Pit Bupun sudah  mencabut pedang dan mengambil sikap dalam gaya yang aneh sekali. Sekali dipandang tampaknya rapat sekali dan  sukar diserang tetapi dalam pandangan Cu Jiang, masih ada beberapa bagian kelemahannya. Ho Bun Cai tiba2 mundur selangkah dan berseru dingin: "Maaf, tak dapat melayani!"

"Tidak ! Loloslah pedangmu !" "Tidak !"

"Sungguh tak mau ?" "Tidak !"

"Penakut, engkau mencemarkan nama baik gurumu."

Wajah Ho Bun Cai menampil kerut kedukaan tetapi sepasang matanya berapi-api. Tetapi hanya sekejap terus padam lagi. Dengan mengerenyit geraham dia berkata.

"Hiante. aku tetap tak mau mencabut pedang." "Engkau tak mau menjaga diri ?"

"Apakah hiante hendak membunuh orang yang tak melawan ?"

"Mungkin ! Aku mungkin .... melakukan hal itu," seru Tio Pit Bu dengan nada tinggi dan geram.

Diam2 Cu Jiang heran mengapa Ho Bun Cai menolak untuk adu kepandaian dengan orang itu. Memang tindakan itu dapat digolongkan pengecut, suatu perbuatan menghina perguruan sendiri.

Jelas dia tahu bahwa Ho Bun Cai itu bukan penakut tetapi mengapa dia bersikap seaneh itu ? Apakah karena dia tahu tak dapat menang ? Ataukah karena mempunyai alasan lain ?

"Cabut pedangmu !" kembali Tio Pit Bu berteriak. "Tidak!" Ho Bun Cai tetap menolak. Ujung pedang Tio Pit Bu bergetar perlahan, sekali menyambar tentulah dada Ho Bun Cai akan tembus.

"Kubilang cabutlah pedangmu dan jaga dirimu dari seranganku. Ho Bun Cai, engkau adalah murid pewaris dari jago pedang nomor satu di dunia !"

"Siapa bilang ? Dalam dunia persilatan siapa yang tahu?" "Aku yang tahu, itu sudah cukup !"

"Ah, hiaute, kita berdua bertempur adu jiwa,  engkau yang menang atau aku menang, tiada orang yang menjadi saksi "

"Bagaimana kalau aku yang menjadi saksi ?" tiba2 sebuah suara parau berkumandang dari ujung sudut ruangan dan menyusul sesosok bayangan melesat ke tengah ruang dalam gerak yang seringan daun kering gugur. Kini di tengah ruangan bertambah dengan seorang tua berambut putih bertubuh kurus kering.

Cu Jiang terkejut. Dia tak menyangka bahwa diruang itu masih terdapat seorang lain lagi. Menilik gerakannya, jelas orang tua berambut putih itu bukan seorang tokoh yang lemah.

Ho Bun Cai dan Tio Pit Bu serempak berpaling. "Apakah anda ini bukan Thian put-thou Ciok Siau Ji?"

seru Ho Bun Cai seraya kerutkan dahi.

Melangkah dan berhenti lebih kurang setombak jauhnya, orang tua berambut putih itu tertawa gelak-gelak.

"Benar, memang aku inilah orangnya!"

Cu Jiang terkejut lagi. Dia tak kira kalau orang tua berambut putih dan bertubuh kurus kering, ternyata raja pencuri yang termasyhur dalam dunia persilatan. Kepandaiannya mencuri memang hebat sekali sehingga orang persilatan menggelarinya dengan julukan Thian-put- thoo atau Hanya-langit-yang-dia tak-mampu-mencuri. Semua benda apapun dalam dunia dia sanggup mengambil kecuali langit.

Sejak pertama-tama keluar mengembara kedunia persilatan, waktu tiba didaerah Kanglam, Cu Jiang pernah mendengar nama orang itu. Sungguh tak kira bahwa malam itu dia bakal bertemu dengan manusianya.

Menurut cerita orang persilatan Thian-put-thou itu berwatak aneh, ilmu kepandaiannya tinggi, suka usil mencampuri urusan orang. Sekali dia menggoda, orang tentu akan kewalahan, Tak peduli benda apa saja, asal dia melihat dan senang, tentu takkan berhenti berusaha mengambilnya sebelum dapat. Pendek kata, kecuali langit, dia akan mencuri segala apa dalam dunia ini.

Tetapi ada suatu keganjilan pada diri pencuri itu. Walaupun dia digelari sebagai pencuri sakti tetapi dalam soal kebaikan dan kepahlawanan, namanya tak kalah dengan Bu-lim-seng-hud Sebun Ong.

Tio Pit Bu segara memberi hormat kepada Thian-put- thou, serunya:

"Sungguh kebetulan sekali Ciok cianpwe hadir, mohon suka menjadi saksi dalam pertandingan kami ini."

Thian-put-thou tertawa gelak2: "Kalian berebut soal kebesaran nama?"

"Ya."

"Tujuannya hanya hendak membuktikan siapa sebenarnya yang paling unggul ilmu pedangnya ?"

"Ya." "Jika demikian sebutkanlah nama perguruan kalian !"

"Maaf, aku tak dapat memberitahukan nama suhuku," seru Ho Bun Cai.

Tetapi Tio Pit Bu cepat merebut pembicaraan dengan berseru:

"Mendiang guruku adalah Hui-kong kiam Go  Siok Ping!"

Mendengar itu Cu Jiang terkejut sekali, Hui-kong-kiam Go Siok Ping termasuk salah seorang jago pedang  kelas satu dalam dunia persilatan. Semasa hidupnya, ayah Cu Jiang sering membicarakan tokoh itu sebagai seorang manusia yang berdada sempit dan pikiran cupet.

Hal itu merupakan pantangan dalam pelajaran ilmu pedang. Kalau tidak. Go Siok Ping pasti memperoleh kemajuan ilmu pedang yang tiada taranya.

Thian- put thou mengangguk lalu memandang Ho Bun Cai. serunya:

"Kutahu siapa gurumu, tak usah engkau katakan!" "Terima kasih atas kepercayaan locianpwe," seru Ho Bun

Cai dengan wajah cerah.

Tetapi diam2 Cu Jiang kecewa. Sebagai putera seorang tokoh yang digelari sebagai Nabi-pedang ternyata dia tak banyak mengetahui nama tokoh ilmu pedang dalam dunia persilatan.

"Ho heng. apakah kita dapat mulai?" seru Tio Pit Bu yang menyala-nyala nafsunya.

Ho Bun Cai gelengkan kepala:

"Telah kukatakan, aku tak mau menggunakannya." "Tidak beralasan sama sekali!" “Mengapa hiante tak dapat memaafkan orang."

"Aku hanya ingin adu ilmu pedang, aku hanya ingin membuktikan, lain2 hal aku tak peduli!" seru Tio Pit Bu dengan nada keras.

"Maaf, aku tak dapat melayani," Ho Bun Cai tetap pada pendiriannya.

Tio Pit Bu hilang kesabarannya. Gentar pedang dia berteriak dengan marah:

"Engkau harus turun tangan!" "Tidak!"

"Takut kubunuh?" "Silahkan turun tangan!"

"Ho Bun Cai, engkau kira aku tak berani?" "Kalau berani, langsungkanlah!"

Thian-put-thou kerutkan alisnya yang putih, serunya: "Menurut pendapatku orang tua ini, sudahlah."

"Tidak bisa sudah begini saja," teriak Tio Pit Bu dengan nada gemetar, "aku Tio Pit Bu kalau pulang tak membawa kemenangan, lebih baik kuserahkan jiwaku di tempat ini. Jika Ciok locianpwe tak suka menjadi saksi, silahkan menonton di pinggir saja. Dia, jika tak mau menangkis seranganku, bukan salahku!"

Thian put-thou tertawa gelak2:

"Tunggu dulu! Yang berada di tempat ini, bukan hanya aku seorang."

"Hai ...." Ho Bun Cai dan Tio Pit Bu serempak berseru kaget. Mereka tak mengira bahwa dalam ruang itu masih terdapat seorang lagi. Juga tak terperikan kejut Cu Jiang. Karena menyadari jejaknya telah diketahui si pencuri sakti, akhirnya ia memutuskan untuk unjuk diri.

"Sahabat, silahkan ke luar!" belum ia melaksanakan keputusannya, si raja pencuri sudah berseru ke arahnya.

Cu Jiang segera berdiri lalu melangkah keluar, menghampiri ke tempat mereka. Dia berhenti tiga empat langkah dari mereka.

"Aku baru pertama kali ini mengembara ke luar, tak kenal dengan siapa saja! " serunya.

"Kalau begitu, silahkan sahabat tinggalkan tempat ini," seru Tio Pit Bu.

"Kenapa?"

"Menurut tata peraturan dunia persilatan, suatu pantangan apabila orang mencuri dengar percakapan orang. Apalagi saat ini kami sedang membicarakan urusan pribadi Tidak mengharap orang luar ikut campur dan mendengarkan."

Tiba2 terlintas sesuatu dalam benak Cu Jiang. Jika ia bertindak, sekaligus ia akan memperoleh tiga keuntungan. Pertama, rupanya Ho Bun Cai menyimpan sesuatu rahasia, karenanya tak mau bertempur. Dia merasa berhutang setitik budi dari Ho Bun Cai, biarlah dia yang mewakili Ho Bun Cai untuk menyelesaikan urusan itu.

Kedua, diapun mendapat kesempatan untuk menguji sampai dimana tingkat ilmu pedang yang dipelajari selama ini. Dan ketiga, apabila dapat menundukkan lawan, tentu akan cepat tersiar ke dunia persilatan. Dengan begitu tentulah akan menarik perhatian dari orang2 yang justeru hendak dicarinya itu. Setelah mantap dengan rencananya, Cu Jiang menjawab tegas:

"Aku yang lebih dulu datang ke sini. Dan kalian datang belakangan. Menurut peraturan, kalianlah, yang seharusnya pindah ke lain tempat."

"Apakah sahabat tahu tata peraturan?" "Tentu."

"Kalau begitu silahkan pergi."

"Telah kukatakan, kalau pergi seharusnya kalian yang pergi. "

"O, apakah sahabat memang hendak ikut campur dalam urusan ini?"

"Kalau memang perlu begitu."

Tiba2 mata Ho Bun Cai tertumbuk pada pedang yang tergantung pada pinggang Cu Jiang. Seketika wajahnya berobah dan berseru dengan nada tergetar:

"Sahabat engkau . . . pedangmu "

“Kenapa?" Cu Jiang juga terkejut.

"Kumaksudkan .... pedang dalam kerangka itu "

"Sudah tentu pedang tersimpan dalam kerangkanya!"

Beberapa jenak Ho Bun Cai memandang Cu Jiang kemudian berkata pula dengan nada gemetar:

"Kerangka pedang sahabat ini tentu bukan kerangka  yang aseli."

Kali ini Cu Jiang terbeliak kaget. Rupanya orang2 persilatan paham akan pedang pusaka yang digunakan mendiang ayahnya. Namun ia beralih tanya tak acuh: "Apa maksud kata2 anda itu?"

"Aku faham sekali akan pedang itu, tetapi belum pernah melihat kerangkanya semacam itu."

"Aneh benar anda ini." "Siapakah nama sahabat?"

Cepat Cu Jiang mendapat pikiran, dengan tegas dia menyahut:

"Toan- kiam Jan-jin"

"Apa? Sahabat bernama Toan-kiam Jan-jin?"

Ho Bun Cai menegas. Toan kiam artinya pedang kutung. Jan-jin artinya orang cacad. Orang cacad bersenjata pedang kutung.

"Pedang itu . . ."

“Bu-te-toan kiam, minumannya hanya darah bangsa iblis durjana!" kata Cu jiang. Bu te-toan-kiam artinya pedang kutung-tanpa-lawan.

Cu Jiang hanya mengangguk tak menjawab. Tio Pit Bu memandang Ho Bun Cai dan berseru:

"Engkau dengar, bukan ? Pedang tanpa tanding ?" "Ya, dengar. Bagaimana ?"

"Tak ada komentar."

Tio Pit Bu mendengus dingin lalu berpaling lagi kepada Cu Jiang :

"Aku merasa gembira jika sahabat suka memberi pelajaran ilmu Pedang-tanpa-tanding itu."

"Suatu tantangan ?" "Boleh dianggap begitu!" "Bukan aku hendak menyombongkan diri tetapi anda pasti tak mampu menahan sejurus saja."

Seketika berubahlah wajah Tio Pit Bu. "Engkau sungguh besar mulut!" serunya marah.

"Memang begitu kenyataannya," Cu Jiang tetap menyahut dengan nada dingin.

"Kalau begitu mari kita buktikan !"

"Boleh," Cu Jiang terus memandang Thian-put thou dan berseru: "Harap cianpwe menjadi saksi !"

Raja pencuri itu hanya mengangguk.

Saat itu sikap Tio Pit Bu berobah sembilan puluh derajat.

Jika tadi dia tenang2, kini dia tampak serius sekali.

Diam2 Cu Jiang memuji dalam hati. Memang begitulah layaknya sikap seorang jago pedang yang berkepandaian tinggi.

"Silahkan!" ia berseru.

"Mengapa anda tak mencabut pedang?" Tio Pit Bu menegur.

"Silahkan anda menyerang dulu, begitu kucabut pedang tentu anda kalah !"

Ucapan itu benar2 menggelitik hati orang. Tetapi ternyata Tio Pit Bu tak kena diprovokasi. Ia segera mengambil sikap dan pusatkan perhatian. Cu Jiangpun terpaksa tak berani mengabaikan. Dia juga pasang kuda- kuda.

Keduanya mengambil sikap yang hebat. Pertempuran itu pasti akan dahsyat. Suasana makin tegang. Ho Bun Cai dan Thian-put-thou juga ikut tegang pula sebagai seorang tokoh silat, keduanya terasa bahwa pelajar yang mengenakan kerudung muka ini memang tidak bermulut besar. Kenyataannya memang seorang ahli ilmu pedang yang sukar diketahui tingkat kepandaiannya.

Dahi Tio Pit Bu mulai mengucur keringat. Berhadapan mengadu sikap itu jauh lebih menekan perasaan dan lebih berbahaya daripada bertempur dengan pedang.

Tiba2 sebuah gemboran teras memecahkan ketegangan dan menyusul terdengar dering nyaring dari dua buah senjata yang beradu keras. Tetapi cepat sekali sinar pedang yang berhamburan itu lenyap lagi.

"Ah," beberapa saat kemudian terdengar Ho Bun Cai mendesah kejut.

Sementara Thian-put-thoupun menyeloteh seorang diri: "Malang melintang delapan belas tahun, baru malam ini mataku terbuka. "

Cu Jiang menyarungkan pula pedangnya ke dalam kerangka.

Tiba2 terdengar Tio Pit Bu melengking geram dan putus asa:

"Ah, sudahlah." dia terus menusuk tenggorokannya sendiri.

"Jangan!" secepat kilat Thian put-thou melesat dan mencengkeram tangan Tio Pit Bu.

"Ah, mengapa anda hendak berbuat begitu? Apakah  anda tak memiliki sedikit kesabaran saja? Dalam dunia ini tiada yang disebut ilmu pedang tanpa tanding. Tidak ada yang dikata pedang nomor satu. Yang kuat masih ada yang lebih kuat. Apa perlunya anda berebut soal nama kosong? " kata Cu Jiang. Tio Pit Bu menghela napas panjang, kemudian mulut mengigau:

"Toan-kiam Jan-jin! Toan-kiam Jan-jin !"

Sesaat Thian-put-thou lepaskan cengkeramannya, Tio Pit Bo terus lari keluar dan tetap berteriak . "Toan-kiam Jan jin.

. ."

"Ah, dia sesungguhnya seorang jago pedang ternama, sayang .. . ," baru Ho Bun Cai berkata begitu, Thian-put thou sudah menyanggupi.

"Sayang bertemu dengan sahabat ini !" Kemudian dengan tersendat-sendat, Ho Bun Cai berkata kepada Cu Jiang:

"Sahabat, dapatkah .... aku mohon keterangan tentang asal usul pedang kutung anda itu ?"

"Aku akan menjawab segala pertanyaan apapun kecuali soal itu," sahut Cu Jiang.

Ho Bun Cai terkesiap tak berani berkata apa-apa lagi.

Tiba2 Cu Jiang melihat bahwa jari kiri si Raja pencuri hanya tinggal tiga buah. Jari telunjuk dan jari tengahnya hilang Serentak dia teringat akan penemuannya dua buah jari tangan ditempat kedua ayah bundanya terbunuh dahulu. Seketika meluaplah darah Cu Jiang. Dipandangnya Thian-put-thou dengan pandang mencekam.

Rupanya tahu juga orang tua  berambut putih yang bergelar Thian-put-thou itu.

"Sahabat, mengapa engkau memandang diriku begitu rupa ?"

"Tangan kirimu  !" "Tangan kiriku mengapa ?" "Mengapa jarinya kurang dua buah ?" Seketika wajah Thian put-thou berobah geram. Urat2 dahinyapun meregang-regang dan berat, barulah dia berkata dengan nada getar:

"Apakah maksudmu ?" "Aku ingin tahu !"

"Apakah engkau hendak cari-cari?"

"Terserah, pasti aku minta supaya engkau memberi keterangan !"

Thian-put-thou tak dapat menahan kemarahannya lagi: "Hak apa engkau hendak menanyakan soal itu ?"

"Kurasa aku memang mempunyai kepentingan untuk mengetahui." sahut Cu Jiang dengan dingin.

"Sudah berpuluh tahun aku malang melintang di dunia persilatan, belum pernah ada orang yang berani memperlakukan aku begitu liar . . ."

"Anggaplah malam ini sebagai suatu pengecualian !" "Menyelidiki urusan peribadi orang, merupakan

pantangan dalam dunia persilatan . ."

"Kalau melakukan tindakan yang terang dan benar, kenapa tetap takut diketahui orang?"

"Dalam hal apa aku bertindak tak terang?"

"Aku hanya minta agar anda suka menuturkan tentang hilangnya kedua jari anda itu."

"Kalau aku tak mau ?"

"Mungkin anda tak dapat menolak !"

"Apa engkau hendak menumpahkan darah !" "Mungkin."

Karena marahnya tubuh Thian put-thou sampai menggigil. Tetapi berhadapan dengan seorang jago pedang yang misterius seperti yang dihadapinya saat itu, dia tak dapat berbuat apa2.

Mungkin, saat itu merupakan saat yang paling menyiksa hatinnya selama hidup ini. Dan merupakan adegan yang paling menekan jiwanya.

"Ah, tentulah ada sebabnya mengapa sahabat begitu mendesak hendak mengetahui hal itu !" tiba2 Ho Bun Cai ikut bicara lagi.

Sejenak melirik kepadanya. Cu Jiang menyahut:

"Tentu, kalau tidak masakan aku hendak mencari perkara!"

"Menurut pengetahuan, empat puluh tahun  yang lampau, di dunia persilatan telah muncul seorang tokoh sakti yang jarang mendapat lawan. Dia bernama Nabi pedang-berjari-tujuh !"

"Nabi-pedang-Jari-tujuh ?"

"Benar. Dan Nabi pedang - jari - tujuh pada empat puluh tahun yang lalu itu adalah Thian-put-thou Ciok cianpwe saat ini!"

"Apakah peristiwa itu terjadi pada empat puluh tahun yang lalu?"

"Benar." "Sungguh ?"

"Sungguh ! Yang kenal akan nama Nabi-pedang-jari tujuh bukan hanya aku seorang !"

Cu Jiang memandang Thian-put-thou, ujarnya : "Benarkah begitu ?"

"Benar," sahut Thian-put-thou.

Tiba2 Cu Jiang mengangkat kedua tangan memberi hormat.

"Ah. aku salah faham, harap dimaafkan."

"Tak apa," Thian-put-thou tertawa menyeringai.

Cu Jiang kembali berpaling memandang Ho Bun Cai hendak berkata tetapi tiba2 tak jadi. Dia berputar tubuh terus melangkah keluar.

Dingin, misterius dan nyentrik sekali sikapnya saat itu. "Tunggu dulu !" tiba2 Thian put-thou berseru.

Cu Jiang berputar tubuh tetapi tak berkata apa2. Thian- put-thou maju menghampiri.

"Engkau benar2 memiliki perbawa seorang bu-su (ksatrya). Kalau tak kukatakan isi hatiku, rasanya masih mengganjal. Lima puluh tahun yang lalu, aku mengandalkan sebatang pedang malang melintang  di daerah Kanglam Kang-pak. Itu waktu aku masih muda dan menganggap diriku yang paling sakti. Tetapi dalam sebuah pertempuran hebat, aku telah kehilangan dua buah jari. Sejak itu aku digelari orang sebagai Jit-ci seng-kiam atau Nabi-pedang jari-tujuh.

Kecewa dengan kekalahan itu, aku mengasingkan diri dan beralih selama lima tahun, kemudian keluar lagi untuk mencari musuh itu. Secara kebetulan, akupun dapat bertemu dan melangsungkan pertempuran. Aku beruntung menang dan menjadikan dia cacad

Waktu kutanya asal usul dirinya, kejutku bukan alang kepalang. Ternyata dia adalah kakak kandungku sendiri yang sejak kecil sudah berpisah dengan aku. Serentak kupatahkan pedang dan bersumpah. Sejak saat itu aku tak mau menggunakan pedang lagi. Demikianlah sekelumit kisah hidupku!"

"Oh, kiranya begitu. Maafkan kalau tanpa sengaja aku telah mengungkit lagi peristiwa yang menusuk perasaan locianpwe." Cu Jiang dengan lapang dada meminta maaf.

"Tetapi engkohku sudah meninggal, dan tak  lama akupun tentu akan mati. Tak ada sesuatu yang harus dipedihkan lagi, "kata Thiau-put-thou.

"Aku mohon diri!" Cu Jiang memberi hormat lalu lanjutkan langkah.

"Ahli pedang seperti dia, dalam seratus tahun sukar ditemui," Thian-put-thou mengigau seorang diri.

Sambil memandang bayangan Cu Jiang, Ho Bun Caipun berkata:

"Seorang yang cacad tubuhnya ternyata mampu  memiliki kepandaian sesakti itu "

"Itu yang dikatakan, jangan pandang orangnya tetapi kepandaian." sambut Thian-put thou.

"Cianpwe kaya akan pengalaman dan luas pandangan. Dapatkah cianpwe memberitahu, apakah sumber ilmu pedang orang itu?" tanya Ho Bun Cai.

"Sedikitpun aku tak mengetahui?"

"Mungkinkah dia seorang jago pedang dari seberang lautan?"

"Sukar diduga."

Dalam pada itu Cu Jiangpun sudah jauh dari biara. Rembulan sudah pudar dan angin segar mulai berhembus. Saat itu menjelang pagi. Dari pertandingan tadi, dia mulai menaruh kepercayaan pada ilmu pedang yang dimilikinya. Apabila ajaran ilmu pedang It-kiam-tui-hun dari mendiang ayahnya, ia mainkan dengan tenaga sakti yang dimilikinya sekarang, tentu perbawanya hebat sekali.

Tak mungkin lemah lagi. Rasanya dalam  dunia persilatan dewasa itu, jarang sekali jago silat yang mampu menerima serangan dengan ilmu pedang itu.

Mendiang ayahnya telah digelari sebagai Kiam-seng ibu Nabi pedang. Tentulah gelar itu bukan didapat dengan sia- sia. Tetapi ilmu pedang ayahnya apabila dibanding dengan ilmu pedang Thian-te-kiau-thay, ah, masih kalah tinggi.

Hal itu menandakan bahwa ilmu silat itu benar2 tiada batasnya.

Tak lama hari pun pagi, Kota Kengciu sudah tertinggal jauh di belakang. Tiba2 ia tersentak oleh sebuah pemandangan yang mengerikan di sebelah muka.

Di tengah jalan terdapat sebelas tubuh manusia yang terkapar malang melintang. Mereka berpakaian warna hitam. Empat orang diantaranya memakai mantel hitam. Cu Jiang tak ragu lagi. Kesebelas mayat itu tentulah anak buah Gedung Hitam.

Mayat2 itu keadaannya mengerikan sekali. Jelas bahwa pembunuhnya telah melampiaskan dendam kebencian yang meluap-luap. Terutama keempat Pengawal Hitam itu, tubuhnya penuh berhias tusukan pedang. Rupanya sebelum mati mereka telah melakukan pertempuran dahsyat.

Tetapi siapakah gerangan yang berani bermusuhan dengan Gedung Hitam? Yang dapat membunuh Pengawal Hitam tentulah tokoh yang sakti. Tetapi apakah pembunuh itu hanya seorang atau beberapa orang? Karena tiada hubungan dengan kepentingannya, Cu Jiangpun tak mau menyelidiki lebih lanjut Ia terus berjalan. Tetapi baru setengah li jauhnya, kembali dia berhadapan dengan pemandangan yang ngeri lagi.

Kali ini lima sosok mayat malang melintang di tengah jalan jalan. Empat di antaranya berpakaian ringkas warna kuning dan seorang mengenakan jubah kuning. Kepala mereka hancur, benaknya berhamburan ke luar.

Apakah artinya itu? Apakah dalam dunia persilatan muncul pula seorang momok yang ganas?

Dan siapakah mayat-mayat berpakaian kuning itu ?

Di kala Cu Jiang sedang menimang-nimang peristiwa aneh itu, tiba2 tiga sosok bayangan berlarian mendatangi. Ketika dekat, ternyata mereka berpakaian baju kuning semua. Seorang mengenakan jubah panjang dan yang dua berpakaian ringkas seperti umumnya kaum persilatan.

Mereka itu jelas sekaum dengan korban2 baju kuning yang terkapar di tengah jalan.

"Hai!"

Terdengar teriakan kaget dan ketiga orang baju kuning itupun serempak berhenti.

Orang berjubah kuning itu seorang lelaki tua, matanya tajam, hidung seperti paruh burung elang. Dengan wajah sarat dan mata berapi memandang Cu Jiang.

"Sahabat, engkau terlalu ganas.!" serunya.

"Aku hanya kebetulan jalan di tempat ini," sahut Cu Jiang.

"Sudah membunuh orang masih tak berani mengaku?" "Gila!" "Sebutkan namamu!"

Tetapi Cu Jiang tak peduli. Setelah mendengus dia terus ayunkan langkah.

"Berhenti!" teriak orang tua jubah kuning itu seraya menghadang jalan. Sementara kedua lelaki muda yang lain terus mencabut pedang dan mencegat di kanan kiri Cu Jiang.

"Apakah artinya ini? " seru Cu Jiang.

"Hutang jiwa bayar jiwa!" lelaki tua itu tertawa seram.

Cu Jiang tertawa mengkal tetapi dia masih dapat menguasai diri, serunya:

"Sudah kukatakan dengan sejujurnya, aku hanya kebetulan lalu di tempat ini."

"Beritahukan namamu!" "Tak perlu."

"Minta mati, ya? "

"Engkau tak layak mengatakan begitu."

"Jangan menutup muka pura2 jadi orang baik. Tahukah engkau aku ini siapa?"

"Siapa? "

"Kepala barisan keamanan dari perkumpulan Thong thian-kau cabang Siok-ciu."

Cu Jiang terkesiap. Sepanjang berita yang didengarnya sepanjang perjalanan, partai yang baru muncul ialah Thong thian-kau, makin berkembang dan makin mendesak pengaruh Gedung Hitam. Tak kira kalau kawanan orang baju kuning itu ternyata anak buah mereka. "Aku tiada mempunyai kepentingan suatu apa dengan partai kalian," seru Cu Jiang dengan nada dingin.

"O. kalau begitu jelas engkau memang cari mati." "Kentut !"

"Bunuh!"

Serta mulut berteriak, serempak kedua lelaki muda baju kuning itu pun membacok Cu Jiang.

Cu Jiang mengisar tubuh dan menggunakan gerak langkah Gong-gong-poh-hwat ajaran Gong-gong-cu. Dengan lincah, dia menghindari serangan pedang.

Tetapi diam2 ia terkejut Juga. Ternyata jurus ilmu pedang kedua orang itu, cukup unggul. Lebih unggul dari kepandaian Pengawal Hitam. Dapat digolongkan sebagai jago kelas satu dalam dunia persilatan.

Ketiga orang baju kuning itu tertegun.

"Jangan memaksa aku membunuh orang!" teriak Cu Jiang memberi peringatan.

Tetapi kedua lelaki muda baju kuning itu rupanya penasaran. Dengan mendengus geram, mereka menyerang lagi, makin ganas.

Setelah lolos dari serangan maut, mata Cu liang berapi- api memancarkan hawa pembunuhan.

"Apa kalian benar-2 ingin mati?" serunya.

"Ha, dengan mengandalkan ilmu meloloskan diri seperti setan itu, engkau hendak menggertak kami?" orang tua baju kuning menyeringai.

Kedua lelaki muda baju kuning mulai menyerang lagi. "Haahh, bum " terdengar jeritan ngeri dan kedua lelaki

baju kuning itupun rubuh ke tanah. Sementara tahu2 tangan Cu Jiang sudah mencekal pedang kutung yang memancar sinar darah.

Orang tua baju kuning mundur beberapa langkah. Wajahnya berubah pucat dan ketakutan. Rupanya dia tak tahu cara bagaimana tadi Cu Jiang mencabut pedang dan membunuh kedua kawannya.

Pelahan-lahan Cu Jiang masukkan pedang kutungnya kedalam kerangka dan dengan tegas menyebut dirinya:

"Toan-kiam-jan-jin !"

Tetapi lelaki tua baju kuning itu sudah pecah nyalinya.

Tanpa berkata apa2, dia terus lari.

Dengan menyebut nama itu, Cu Jiang bermaksud hendak memperdengarkan diri agar kawanan durjana yang menjadi musuh2 keluarganya itu muncul mencarinya.

"Ho, sahabat, ilmu pedangmu sungguh membuat hatiku pecah !" sekonyong-konyong terdengar gema nyaring dan dari dalam hutan ditepi jalan muncul seorang lelaki tua mengenakan jubah berwarna kuning emas.

Dia bukan lain adalah Sebun Ong, yang bergelar Bu lim- seng hud atau Budha-hidup dunia-persilatan.

"Bagus," diam2 Cu Jiang bersorak girang dalam hati. "Bukankah anda ini yang bernama Buddha hidup Sebun

Ong ?" serunya.

Orang itu tertawa gelak2.

"Ho, kiranya engkau juga tahu namaku ?"

"Ya, sungguh beruntung sekali hari ini aku dapat bertemu muka " "Ah, Jangan merendah diri !"

"Tetapi memang benar aku hendak mencari anda." Serentak Sebun Ong hentikan tawa dan berseru kaget: "Engkau hendak mencari aku?"

"Benar." "Keperluan ?"

"Menolongi seorang sahabat untuk membereskan suatu hutang lama dengan engkau !"

"Menagih hutang ?" "Hm,"

"Sepanjang hidup, Jarang sekali aku meminjam kepada orang. Siapakah kiranya sahabatmu itu?"

"Anda tentu tak asing lagi dengan orang itu. Dia adalah Pendekar-besar dari Tionggoan yang bernama Cukat Giok!"

Seketika cahaya muka Sebun Ong berobah dan menyurut mundur selangkah.

"Apakah Cukat Giok masih hidup ?" serunya.

"Ya." sahut Cu Jiang dengan dingin, "tetapi hidup- hidupan, jauh lebih celaka dari orang mati."

Muka Sebun Ong berkerenyutan. Sampai beberapa saat tak dapat berkata apa2. Wajahnya berobah-robah dan akhirnya terluncurlah kata-kata dari mulutnya:

"Dia ... dia masih hidup ?" "Anda tak menyangka bukan ?"

"Benar, memang tak kusangka sama sekali. Dia seorang sahabatku yang paling erat. Sejak dia lenyap, aku membuang waktu sepuluhan tahun untuk mencarinya tetapi sia2. Kukira dia sudah meninggal.. ."

Mendidih darah Cu Jiang. Sebun Ong  benar-benar seorang manusia yang pandai bermain sandiwara. Mulutnya bersedih tetapi hatinya membenci. Dia telah mencelakai sahabat itu dan merebut isterinya. Manusia yang berhati serigala, masih digelari orang sebagai Buddha- hidup. Dengan begitu jelas dunia persilatan itu kabur akan pandangannya terhadap manusia baik dan jahat.

"Apakah engkau berkata dengan sesungguh hati?" tegur Cu Jiang.

"Sudah tentu," sahut Sebun Ong, "di manakah dia sekarang?"

"Soal itu anda tentu sudah tahu sendiri." "Ah, mengapa engkau berkata begitu?"

"Sudahlah, jangan berpura-pura. Aku cukup tahu siapa anda ini. "

Sebun Ong kerutkan alis.

"Sahabat, walaupun aku tak berani bertepuk dada membanggakan bahwa setiap tindakanku selama ini selalu berjalan lurus sesuai dengan Jalan Persilatan, tetapi sedikit banyak aku mempunyai nama."

"Singkat saja kukatakan, bahwa lebih dulu aku hendak bertemu dengan Ratu-kembang Tio Hong Hui dan puterimu

. . . . "

"Hai, engkau salah. Tio Hong Hui itu isteri Cukat Giok dan anak perempuan itu juga puterinya . . ."

"Apakah aku boleh bertemu?" "Tentu saja boleh. Kalau ibu dan anak itu tahu Cukat Giok masih hidup, ah betapa girang mereka!"

Ucapan itu benar2 diluar dugaan Cu Jiang. Apakah ada sesuatu rahasia dibalik peristiwa itu? Mengapa Sebun Ong mengakui bahwa Tio Hong Hui dan puterinya itu adalah anak isteri Cukat Giok? Dan betapa cepat Sebun Ong menyanggupi untuk mempertemukannya dengan kedua ibu anak itu. Hal itu beda sekali dengan keterangan Cukat Giok tempo hari.

Tetapi ketika dia terjatuh di dasar jurang, dia melihat dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa penderitaan Cukat Giok saat itu. Apakah dia sampai hati akan merangkai cerita bohong? Mungkinkah itu?

Menilik keadaannya, keterangan Cukat Giok itu berlawanan dengan Sebun Ong. Apakah memangnya Cukat Giok hendak memperalat dirinya untuk melakukan balas dendam terhadap Sebun Ong. Tetapi ah, pada saat itu bukankah dia masih seorang pemuda yang cacad dan tak berkepandaian tinggi? Mungkinkah Cukat Giok hendak mengelabuhinya supaya menuntutkan balas?

Tetapi di kalangan persilatan nama Sebun Ong itu sangat harum. Mungkinkah dia akan melakukan perbuatan yang sedemikian hina, membunuh sahabat dan merampas isterinya?

Cu Jiang agak bingung. Dan akhirnya ia memutuskan, sebelum mengetahui jelas duduk perkaranya, ia tak mau turun tangan lebih dulu.

Tiba2 ia teringat akan bungkusan Ho poh (teratai ) dan Poh-po (kain). Bungkusan ho poh itu berisi racun, diperuntukkan Tio Hong Hui. Sedang bungkusan kain supaya diserahkan kepada puterinya. Kedua bungkusan itu masih disimpannya dengan baik. Nanti apabila berhadapan dengan Tio Hong Hui, segala sesuatu tentu akan terang.

Sebun Ong menghela napas, ujarnya: "Sejak Cukat Giok menghilang, isteri dan anaknya tiada yang menjadi tiang sandaran. Aku sebagai seorang sahabat, wajib untuk memelihara mereka selama belasan tahun ini."

"Tetapi keterangan Cukat Giok lain dengan keterangan anda!" tukas Cu Jiang.

"Apa katanya?"

"Mencelakai sahabat merampas isterinya."

"Ah, atas dasar apakah tuduhan itu?” sesaat berhenti, dia melanjutkan pula, "soal itu tentu terselip suatu kesalahan paham. Kuyakin Cukat Giok bukan seorang yang suka menghambur fitnah. "

"Di manakah nyonya Cukat sekarang?"

"Telah kuatur tempat yang aman untuknya, di jalan Lam-tay kota Gong-an."

"Ah."

"Silahkan saudara mengunjunginya. Dengan begitu selesailah sudah tugasku sebagai seorang sahabat."

Menilik ucapannya itu, jelas bahwa Sebun Ong itu seorang yang budiman suka menolong orang.

"Apakah aku tentu dapat menemukan alamat itu?" kata Cu Jiang masih meragu.

"Tentu."

"Bagaimana cara mencarinya?"

"Akan kusuruh orang untuk menanti kedatangan anda." "Baik, dalam sepuluh hari lagi aku pasti akan mengunjungi rumah itu."

"Apakah aku boleh pergi dulu?" "Silahkan."

Sebun Ong memberi hormat. Sambil memandang bayangan orang itu, timbullah keraguan dalam hati Cu Jiang. Tetapi betapapun setiap perbuatan jahat pasti akan terbuka kedoknya.

Kalau Sebun Ong itu hanya seorang kuncu ( gentlemen ) palsu, akhirnya tentu terbuka juga belangnya. Menurut keterangan Cukat Giok, Sebun Ong itu seorang manusia yang tak pantas diberi hidup. Tetapi buktinya dunia persilatan sangat menjunjung dan menghormatinya.

Cu Jiang menarik kesimpulan manusia semacam Sebun Ong itu hanya dapat tergolong satu diantara dua. Kalau bukan seorang ksatrya yang budiman tentulah seorang bajingan besar.

Tiba2 muncul seorang lelaki yang menggendong peti obat. Orang itu memberi hormat ke hadapannya: "Menghaturkan hormat kepada ciangkun."

Ciangkun adalah jenderal. Demikian pangkat Cu Jiang.

Kini Cu Jiang baru mengetahui bahwa orang yang menyaru sebagai tukang obat itu tak lain adalah salah seorang dari Su-tay ko-jiu atau Empat jago sakti dari istana Tayli, yang ditugaskan untuk diam2 mengikuti  dan memberi bantuan Cu Jiang apabila dalam perjalanan ke Tionggoan itu mendapat kesulitan.

Keempat jago sakti dari Tayli itu sebenarnya memang telah dilatih oleh Gong-gong-cu sebagai mata-mata. Tugas pokoknya untuk menyelidiki jejak gerombolan Sip-pat thian-mo.

Mereka pandai sekali dalam ilmu menyamar dan berpengalaman luas dalam dunia persilatan.

"Oh apakah bukan saudara Song Pik Liang?" tegur Cu Jiang setelah mengetahui siapa yang berada didepannya itu.

"Ah, harap ciangkun jangan merendah diri. Panggil saja namaku secara langsung."

"Ah, masakan begitu. Ada kabar ?"

"Ya. Menurut keterangan Ko Cun, kepala dari partai Thian- liong - kau cabang Siok Liu itu adalah Kian mo. Iblis terakhir dari gerombolan Sip-pat-thian-mo. Saat ini Ko Cun masih akan menyelidiki lagi secara cermat. Demikianlah aku mengaturkan laporan lebih dulu kepada sausu agar sausu dapat berita !."

"Jika begitu Thian tong-kau itu didirikan oleh Sip-pat- thian-mo?" Cu Jiang menegas.

"Kemungkinan besar."

"Baik, aku akan kembali kedalam kota."

Sejenak memandang kearah mayat2 baju kuning itu berkatalah Song Pek Leng pula:

"Apakah ciangkun tahu akan asal usul korban2 itu?" "Anak buah partai Thian-tong-kau cabang Siok-ciu !" "Benar. Dan tahukah ciangkun siapa pembunuhnya ?" "Siapa ?"

"Lelaki tua jubah kuning emas yang barusan pergi tadi."

"O, Bu-lim-seng hud Sebun Ong yang  membunuh mereka ?" teriak Cu Jiang terkejut. Song Pak Liang mengangguk.

"Ya, memang dia. Lebih dulu kawanan baju kuning ini yang membunuh belasan jago pedang Gedung Hitam tadi, kemudian baru lelaki Jubah kuning emas yang membunuh mereka."

"Oh," Cu Jiang mendengus. Bahwa enam murid Thian- tong-kau membunuh jago2 Gedung Hitam, itu memang merupakan permusuhan antara kedua partay yang sedang berebut pengaruh, Tetapi mengapa Sebun Ong membunuh murid2 Thian-tong-kau?"

Gedung Hitam merupakan sebuah persekutuan jahat yang mengganggu keselamatan dunia persilatan. Sungguh kebetulan sekali kalau diberantas oleh Thian-tong-kau. tapi Thian-tong-kau sendiri tentu juga bukan suatu perkumpulan yang baik.

Mungkinlah Sebun Ong hendak menggunakan siasat mengadu domba kedua perkumpulan jahat itu?

"Cara lelaki jubah kuning emas turun tangan sungguh ganas sekali. Tak memberi kesempatan kepada korban itu untuk membalas." kata Song Pek Liang pula.

"Bagaimana kalau Pek Liang heng melakukan suatu urusan untukku ?" tanya Cu Jiang.

"Silahkan ciangkun memberi perintah."

"Lelaki Jubah kuning emas itu adalah tokoh Bu lim-seng- hud Sebun Ong yang terkenal. Dia telah merawat seorang wanita dan putrinya, ditempatkan di jalan Lam-tay, kota Gong-an "

"Suruh hamba melakukan penyelidikan ?" "Ya, tetapi jangan sampai mengejutkan mereka sehingga mereka dapat bersiap. Dalam sepuluh hari aku tentu datang kesana."

"Baik."

Cu Jiang meminta agar jangan menggunakan sebutan ciangkun dan berbahasa saja sebagai orang persilatan, demi menjaga agar diri mereka jangan sampai ketahuan orang.

"Baik. aku akan ke Siok-ciu dulu untuk berunding dengan ketiga kawanku, baru menuju ke Gong-an."

Cu Jiang mengiakan.

"Tetapi menurut ciangkun, kita menggunakan sebutan apa?" tanya Song Pek Liang pula.

"Kupanggil kakak dan kamu berempat menyebut aku lote saja."

"Ada beberapa kata sandi untuk mengadakan hubungan, harap dicatat agar hubungan kita jangan sampai putus . .."

"Sebutkan." "Ciangkun . . ."

"Ai, jangan menyebut begitu!"

"O, benar. Semua telah kutulis di kertas. Setelah membaca harap lote merobeknya." Song Pek Liangpun menyerahkan sehelai kertas. Kemudian dia pamit pergi.

Cu Jiangpun segera melanjutkan perjalanan sambil membuka kertas dan menghafalkan sandi2. Tiba di  kota Sok ciu sudah menjelang petang. Setelah semua sandi dihapalkan diapun lalu menghancurkan kertas itu.

Dia memilih sebuah rumah makan kecil yang terletak ditempat yang sepi. Setelah memberi sandi pada pintu dia lalu masuk. Dia pesan hidangan dan arak, menyuruh jongos pergi dan mulai makan. Dia sengaja duduk  membelakangi jendela dan menghadap ke sebelah dalam agar orang jangan melihat wajahnya.

Rumah makan itu sudah sering menerima tetamu-tetamu yang bertingkah aneh. Mereka tak menghiraukan mereka. Pokok mereka makan dan bayar.

Brak ,. . tiba2 terdengar meja ditepuk keras oleh orang. "Hai, Jongos, lekas sediakan daging porsi besar. Ho,

lapar setengah mati. Juga sepoci besar arak !"

Jongos gopoh2 melakukan pesanan itu. Diam2 Cu Jiang membatin tetamu kasar itu kalau bukan Jahat tentu seorang limbung.

Rupanya tetamu itu tak menghiraukan apa2. Dia bersenandung dengan nada suaranya yang parau:

"Tio Bik Tik dengan tiga kali menggerung dapat meruntuhkan tiang. Bu Siong membunuh harimau besar di Kang-yang-hong. "

Mendengar senandung yang tak keruan juntrungannya itu, tiba2 Cu liang teringat akan kata2 sandi. Ah, tetamu itu tak lain dari Ong Kian, salah seorang dari Su-tay-ko-ju Tayli. Rupanya dia memang sengaja melantangkan kata sandi. Tetapi entah dia membawa berita apa saja. "

Tetapi setelah bersenandung beberapa kata tadi, Ong Kianpun berhenti.

Tiba2 sebuah kertas yang telah dipulung kecil melayang keatas meja Cu Jiang. Ketika Cu Jiang membukanya ternyata berisi beberapa tulisan, berbunyi:

"Disebuah gedung besar kira2 tiga li dari sini ke timur, ketua cabang memang Kiam-mo." Cu Jiang cepat meremas hancur kertas itu lalu mengenakan kain kerudung muka lagi. Setelah membayar rekening dia terus melangkah keluar. Ia sempat melihat pada Ong Kian yang menyamar sebagai seorang lelaki kasar tengah menggerogoti paha ayam dan minum arak. Setelah saling memberi isyarat mata. Cu Jiangpun terus lanjutkan perjalanan.

Dia menuju ke pintu kota timur, Berjalan tiga li jauhnya dia melihat sebuah bangunan gedung besar, terletak ditengah hutan dan dikelilingi sawah yang tak terurus keadaannya. Bukan padi melainkan rumput dan Ilalang yang tumbuh.

Diluar dari hutan itu didirikan sebuah lingkaran pagar tembok, pintunya setengah terbuka tetapi tak tampak barang seorangpun juga.

Cu Jiang segera menghampiri ke pintu yang terbuat daripada papan kayu itu.

Seorang lelaki tua berpakaian kuning segera muncul menyambut. Dalam sikap dan nada yang dingin dia berkata:

"O, ternyata sahabat datang juga !"

Cu Jiang terkejut. Diam2 ia membatin bahwa ternyata orang sudah mengadakan persiapan.

"Aku hendak bertemu dengan thau-cu kalian!" sahut Cu Jiang.

"Sahabat engkau mau bertemu thancu kami ?"

"Ya."

"Perlu ?"

"Adu pedang!" "Apa ? Adu pedang ?" "Ya!"

"Ah, sahabat datang ke alamat yang tepat, Silahkan ikut aku."

O0odwo0O
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar