Pusaka Negeri Tayli Jilid 05

Jilid 5

Cu Jiang terlongong-longong memandang bayangan si jelita itu Hanya dengan kekerasan hatinya untuk menuntut balas dan mengingat wajahnya yang rusak, baru dia dapat menindas nyala api asmaranya.

Tetapi dia tak mungkin dapat melupakan cinta kasih asmara dari dara jelita. Walaupun pada kehidupannya yang sekarang tak mungkin dia dapat bersanding dengan jelita itu tetapi kelak dalam penitisannya yang akan datang ia bersumpah akan memenuhi janji terhadap jelita itu. Bayangan Ki Ing lenyap dan lenyap pula percik asmara yang membara dalam hatinya. Kini perasaan hatinya hampa, sehampa cakrawala yang luas.

"Bagus, budak! Engkau berani menolak rejeki besar? Ho, masakan engkau mampu terbang ke langit?"

Tiba2 terdengar suara orang berseru dan seketika terbanglah semangat Cu Jiang. Cepat ia berputar tubuh. Ah, siapa lagi kalau bukan si manusia aneh yang berwajah seperti mayat itu.

"Jika lo-toa tidak memilih engkau, saat ini tentu kuhancur leburkan tubuhmu!" seru manusia aneh itu. Nadanya yang seram, meregangkan bulu roma.

Cu Jiang tahu bahwa sia2 saja untuk meloloskan diri. Melawanpun juga percuma. Maka ia bersikap tenang dan menyahut:

"Hendak engkau apakan diriku ?" "Kubawa pulang!"

"Itu tergantung aku suka atau tidak."

"Ha, ha, ha." manusia aneh itu tertawa gelak2, "budak, engkau bermimpi disiang hari. Masakan engkau bebas berbuat sesuka hatimu."

"Kalau aku melawan sampai mati. . ."

"Matipun sukar bagimu. Kalau memang kami menghendaki jiwamu, tak mungkin engkau dapat lari, sekalipun engkau mau bersembunyi ke liang semut !"

"Apakah di dunia ini terdapat cara mengambil murid dengan paksaan?"

"Kami memang lain dari yang lain." "Paling tidak, kalian harus memberitahu kepadaku siapa sebenarnya kalian ini."

"Apabila sudah tiba waktunya, tentu. Sekarang Jangan banyak bicara yang tak berguna."

Cu Jiang tertawa hambar. Ia tertawa mengejek nasibnya yang buruk.

"Hayo, berangkat!" tiba2 manusia aneh itu membentak.

Tetapi pada saat itu juga terdengar suara kelinting menusuk telinga. Asalnya dari tengah hutan yang tak jauh dari tepi jalan.

Cu Jiang tergerak hatinya. Ia tahu bahwa yang datang itu tentulah Kim Leng hujin.

Manusia aneh keliarkan pandang ke sekeliling lalu menggeram marah:

"Hai, nenek itu memang sengaja membentur kita bersaudara."

Cepat ia berputar tubuh terus menyambar Cu Jiang tetapi pada saat itu juga terdengar suara orang melengking:

"Ong Sip Bo. engkau hendak lari?" menyusul sesosok bayangan berkelebat menghadang Jalan. Manusia aneh terpaksa berhenti.

Cu Jiang mengangkat muka dan melihat seorang wanita tua tegak dua tombak disebelah muka. Wajahnya dingin sekali. Cu Jiang segera menduga wanita tua itu tentulah Kim Leng hujin.

Kim Leng hujin menyebut itu dengan nama Ong Sip Bo.

Mungkin namanya memang begitu.

"Hujin hendak memberi petunjuk apa kepadaku?" seru Ong Sip Bo si manusia aneh. Kim Leng hujin berseru dingin:

"Ong Sip Bo, apakah engkau hendak melakukan perbuatan yang melanggar peraturan Thian? Dari mana engkau menangkap anak itu?"

"Dia bakal menjadi pewaris kami bersama." "Pewaris dari kalian bersama?"

"Benar."

"Setan yang mengatakan begitu!" karena marah Cu Jiang berteriak.

Manusia aneh marah. Ia keraskan kepitannya sehingga Cu Jiang meringis kesakitan karena tulangnya seperti patah.

"Lepaskan anak itu!" tiba2 Kim Leng hujin berseru. "Kenapa?"

"Tak boleh merusak tunas dunia persilatan!" "Kalau aku tak mau?"

"Engkau Ong Sip bo, belum layak untuk mengucap kata2 tidak di hadapanku."

"Apakah hujin benar-2 bermaksud hendak memusuhi kami bersaudara?"

"Urusan di antara kita masih belum selesai.

"Aku akan menyelidiki di mana putera dari Lan Tay Hu itu sampai ketemu. Apabila kalian yang  mencelakainya, kalian harus mengganti kerugian."

"Ya, tak usah membicarakan hal itu. Yang sekarang saja."

"Sekarang kusuruh engkau lepaskan dia!" "Tidak bisa." "Coba katakan sekali lagi!" "Mau turun tangan?"

"Jika perlu."

"Kim Leng hujin, ketahuilah. Kami bersaudara selama  ini tak pernah tunduk pada siapa saja. . ."

"Aku tak peduli."

"Jangan kira aku hanya seorang diri . . ."

"Lepaskan dia!" seru Kim Leng hujin dengan tegas dan keras seraya mengangkat tangan kanannya ke dada. Pada lengannya tampak sebuah kelinting emas sebesar cawan arak. Warnanya kuning emas.

Ong Sip Bo menyurut mundur selangkah.

"Hujin, setiap dendam, kami bersaudara pasti akan membalasnya!" serunya dengan suara getar-getar seram.

Kim Leng hujin tertawa dingin.

"Itu urusan besok. Sekarang engkau lepaskan anak itu." "Kalau aku tak meluluskan?"

"Tanganku ini akan memberi jawaban!"

"Baik, jangan kira aku Ong Sip Bo takut kepadamu."

Terdengar suara orang tertahan. Tubuh Cu Jiang terlempar sampai empat tombak jauhnya dan terbanting di tanah. Sebelum melemparkan, lebih dulu Ong Sip Bo sudah menutuk jalan darahnya.

Kim Leng hujin memandang ke arah Cu Jiang. Ia kerutkan alis. Mungkin saat itu baru dia mengetahui betapa buruk wajah Cu Jiang. Cu Jiang mempunyai kesan baik kepada wanita itu. Ia merasa berterima kasih. Memang kemarin tak sengaja wanita tua itu dalam mencari cucunya, tanpa sengaja telah menolong dirinya. Tetapi sekarang mungkin lain lagi artinya.

Tanpa berkata apa2, Ong Sip Bo terus menerkam Kim Leng hujin. Karena merasa kepandaiannya kalah dengan wanita tua itu maka dia hendak turun tangan lebih dulu selagi orang belum siap.

Terkaman yang di lakukan dengan kedua tangan itu cepatnya bukan kepalang, dahsyatnya bukan main dan ganasnya bukan olah2.

Diam2 Cu Jiang leletkan lidah. Ia merasa, sekalipun waktu dirinya belum cacat tak mungkin dia mampu menghindari terkaman manusia aneh Ong Sip Bo itu.

Diam2 tak habis herannya. Mengapa pada waktu akhir2 ini dia selalu bertemu dengan tokoh2 yang sakti.

Tepat pada saat tubuh Ong Sip Bo bergerak, tubuh Kim Leng hujinpun sudah berkisar ke samping. Reaksinya ternyata cepat sekali.

"Kelinting . . . ting ..."

Kelinting emas yang berada pada lengan wanita tua itu segera berbunyi tajam. Suaranya seperti menusuk telinga, Beda dengan bunyi kelinting yang didengar Cu Jiang semalam. Jika semalam nadanya amat menyegarkan semangat dan sedap di dengar, saat itu seperti menusuk telinga dan penuh dengan hawa pembunuhan.

Wajah yang pucat seperti mayat dari Ong Sip Bo tampak membeku, kedua kakinyapun melentuk setengah berlutut. Sepasang tangannya di taruh di dada dan telapaknya menghadap ke muka . . . Bagi ahli persilatan tentu segera tahu bahwa dia sedang melangsungkan pertempuran tenaga-dalam yang dahsyat.

Cu Jiang baru pertama kali itu mengetahui bahwa suara kelinting dapat menghamburkan tenaga-dalam untuk menyerang orang.

Diam2 Cu Jiangpun mengharap agar seperti semalam, Kim-Leng hujin mau membebaskan jalan darahnya yang tertotok. Tetapi dia harus menggigit jari.

Tak berapa lama tampak Ong Sip Bo gemetar. Keringat sebesar kedelai bercucuran dari dahi dan kepalanya. Jelas tenaga dalamnya masih kalah setingkat dengan Kim Leng hujin. Dan siapa yang akan kalah atau menang sudah dapat diduga.

Tiba2 terdengar suara mengerang pelahan dan Ong Sip Bo pun segera sempoyongan ke belakang sampai lima enam langkah. Mulutnya menyembur darah. Rupanya dia telah menderita luka dalam yang tak ringan.

Tiba2 suara kelinting berhenti

Semangat Cu Jiangpun tiba2 menyala. Ia mempunyai harapan lagi untuk tertolong.

"Perhitungan ini kelak kita selesaikan lagi. Apa sekarang engkau masih hendak mengatakan apa2 lagi?" seru Kim Leng hujin dengan nada dingin.

Ong Sip Bo tertawa menyeringai:

"Aku selalu dapat membedakan antara budi dan dendam."

Sambil mengangkat tangan memberi isyarat, Kim Leng hujin berseru:

"Sekarang silahkan engkau pergi. Tiap saat aku siap menyambut kedatangan kalian. " "Aku masih mempunyai sebuah permintaan bahwa budak itu adalah pewaris dari kami bersaudara."

"Benar? "

"Ya."

"Apakah dia suka?"

"Soal itu bukan urusanmu!"

"Haa. baik, " dengus Kim Leng hujin, "silahkan engkau pulang. "

"Baik, kelak jangan engkau menyesal, " seru Ong Sip Bo terus melesat pergi.

Kim Leng hujin menghampiri ke tempat Cu Jiang. Ia gerakkan tangan menampar ke udara dan tahu2 Cu Jiang dapat bergerak. Serentak pemuda itu melenting bangun lalu memberi hormat sedalam-dalamnya di hadapan Kim Leng hujin:

"Terima kasih atas budi pertolongan locianpwe" "Tak usah," kata Kim Leng hujin, "siapa namamu?" "Aku ... ah, wanpwe bernama Gok-jin-ji. "

"Gok-jin ji?"

"Benar. "

"Apakah engkau benar menjadi pewaris dari kawanan manusia iblis itu?"

"Tidak, lo cianpwe.. Aku telah ditawan mereka."

"Ya, kutahu. Itulah sebabnya kutolong engkau. Apakah engkau tahu keadaan pemuda2 yang senasib dengan engkau?" "Dengan mata kepala sendiri wanpwe menyaksikan mereka telah membunuh sepuluh pemuda ..."

"Di mana?"

"Gedung tua yang lo cianpwe pernah datang itu. "

"Apakah diantaranya terdapat putera Lau Tay Hu dari Seng-mui?"

"Soal itu wanpwe tak tahu. Apakah sebelum kesepuluh pemuda itu masih terdapat korban lainnya, juga wanpwe tak tahu. Apabila locianpwe dapat menemukan mayatnya, mungkin locianpwe dapat mengenali "

"Bagus !" seru Kim Leng hujin tetapi tiba2 ia mendengus dan kerutkan alisnya yang sudah putih, "Aah, salah."

Cu Jiang terkejut.

"Apa yang salah, locianpwe?"

"Apakah ilmu tenaga-dalammu sudah mencapai tataran dapat menyatukan darah dengan hawa dalam tubuh?"

"Ya, sudah dapat walaupun dipaksakan."

"Cobalah engkau salurkan tenaga-dalammu ke arah jalan darah Ing-joan dan bu it, bagaimana keadaannya?"

Cu Jiang terkejut. Segera ia kerahkan tenaga-dalam untuk melancarkan ke arah kedua jalan darah itu. Begitu mencoba seketika wajahnya berobah.

"Benar, locianpwe, dalam jalan darah itu seperti terdapat suatu benda yang bergerak-gerak menusuk dengan tajam. .

."

"Iblis yang ganas sekali!"

"Apakah Ong Sip Bo itu telah menyusupkan sesuatu ke dalam tubuh wanpwe?" "Benar," kata Kim Leng hujin, "tampaknya dia hanya menutuk jalan darahmu. Tetapi diam2 dia telah melancarkan tangan ganas Im-sat-tui-beng-ci."

"Im-sat tui-beng-ci?" ulang Cu Jiang.

Im-sat-tui-beng-ci artinya ilmu Jari-penghancur nyawa. "Ya, apa engkau pernah dengar?"

"Belum pernah."

"Ilmu jari itu telengas sekali. Kecuali mereka, tiada seorangpun tokoh persilatan lain yang mampu memberi pertolongan."

"O, tiada orang lain yang mampu menolong?" Kim Leng hujin mengangguk. Ia menghela napas.

"Gok-jin ji, saat ini engkau hanya mempunyai sebuah jalan . . ."

"Bagaimana?" seru Cu Jiang tegang sekali.

Kim Leng hujin mengerut dahi lalu berseru dengan nada tegas:

"Engkau harus kembali kepada mereka !" "Tidak bisa, locianpwe."

"Jika begini engkau tentu mati."

Semangat Cu Jiang serasa terbang mendengar kata2 wanita sakti itu. Namun dia tetap sekokoh batu karang pendiriannya.

"Locianpwe," serunya dengan nada gemetar: "Mati biarlah mati, tetapi wanpwe tak mau menggabung pada Mo-to (aliran Jahat)."

Kim Leng hujin berkata dengan rawan: "Ah, tak kira kalau engkau benar2 seorang anak yang berpambek tinggi. Setengah jam kemudian,  tenagamu sudah lenyap. Dan besok pagi pada saat ini... darahmu akan bergelimpangan. Suatu siksa penderitaan yang tak dapat dibayangkan ngerinya. Maka lebih baik engkau ikut mereka dulu, pelahan-lahan mencari daya lagi. Jangan kuatir, aku selalu membantumu."

Cu Jiang menghela napas. Dengan perasaan yang sedih dia berkata:

"Apabila locianpwe mempunyai keperluan lain, silahkan locianpwe melanjutkan perjalanan."

"Tetapi engkau . . ."

"Akan kuserahkan nasibku kepada Allah !"

"Nak, jangan berkeras kepala. Rasanya tiada jalan lain lagi kecuali itu."

"Nasibku sudah kenyang dengan penderitaan.  Mati hidup tiada artinya bagiku."

Kim Leng hujin merenung sejenak lalu berkata:

"Baiklah, engkau tunggu saja disini. Kalau lawan memang tak mau melepaskan engkau, mereka tentu akan datang kemari mencarimu. Aku perlu lekas mencari jejak cucuku yang hilang itu, terpaksa aku pergi dulu."

Sebelum pergi kembali Kim Leng hujin memandang Cu Jiang dan berseru:

"Kawanan Iblis itu senang sekali dengan bahan tulangmu yang bagus. "

"Mohon tanya, siapakah mereka itu ?" "Durjana iblis yang telah termasyhur dalam dunia yaitu Kiu-te-sat !" habis memberi keterangan Kim Leng hujin terus melesat pergi.

Seorang diri Cu Jiang masih termangu-mangu diam. Dia tak mengira bahwa kawanan iblis itu tak lain adalah Kiu-te- sat atau Sembilan iblis neraka.

Saat itu dia merasa tenaganya mulai hilang persis seperti yang dikatakan Kim Leng hujin tadi. Pada kedua jalan darah di punggungnya terasa sakit sekali.

Walaupun perangainya amat tinggi hati dan didepan Kim Leng hujin menyatakan tak menghiraukan soal mati atau hidup, tetapi setelah berada seorang diri,  dia menyadari bahwa mati hidup merupakan soal penting baginya.

Dia bukan takut mati tetapi bila ia mati, dia tentu tak dapat melaksanakan angan-angannya untuk membalaskan dendam berdarah dari keluarganya. Dengan begitu dia tentu akan jadi setan penasaran.

Cita-cita hidupnya hanya melakukan pembalasan. Jika hal itu sudah terlaksana, mati bukan soal lagi baginya. Dan untuk melaksanakan hal itu seharusnya dia tak menghiraukan lagi masuk menjadi murid dari perguruan apapun juga.

Hm, apabila dia dapat menghisap ilmu kesaktian dan tentulah dia dapat melaksanakan pembalasan itu.

Semasa hidupnya, mendiang ayahnya bergabung dalam aliran Cing-pay sehingga mendapat gelar agung Kiam-seng atau Nabi-pedang. Tetapi akhirnya bagaimana jadinya?

Tiba pada kesimpulan itu pandangannya pun mulai mengalami perubahan. Perasaannyapun agak longgar. Maka dia lalu beralih ketepi jalan hutan itu. Menurut perhitungannya, Ong Sip Po tentu akan mencarinya.

Setengah jam kemudian ternyata tiada orang yang datang, baik Ong Sip Po maupun kawan-kawannya. Dendamnya makin menebal.

Dengan menahan rasa sakit yang sukar ditahan, dia  segera rebahkan diri dibawah pohon dan mengerang-erang.

Tiba2 sesosok bayangan berkelebat tiba dihadapannya.

Ketika Cu Jiang memandangnya makin terperanjat.

Kiranya yang datang itu bukan Ong Sip Po melainkan manusia aneh yang berwajah mengerikan, kepala lancip, brewok, Hidung besar, bibir tebal, kumis kuning yang jarang, mata runcing seperti tikus.

Cu Jiang diam saja.

"Hai budak, mengapa nenek itu tak membawamu pergi

?" tegurnya.

Yang dimaksud nenek tua itu tentulah Kim Leng hujin.

Tiba2 Cu Jiang teringat akan cerita mendiang ayahnya dulu tentang diri kesembilan iblis Kiu-te-cat itu.

"Kiranya anda tentulah Song-bun sat Pik Thay Koan." serunya.

"Hai, budak, siapa yang memberitahu engkau!" teriak manusia buruk itu.

"Secara tiba2 saja aku teringat."

"Benar, memang aku ini Song-bu sat Pik Thay Koan," akhirnya manusia buruk wajah itu mengaku.

"Lalu anda akan bertindak bagaimana terhadap aku ?" "Engkau tentu sudah mengetahui riwayat kami bersaudara. Sekarang aku hanya ingin bertanya sebuah pertanyaan . . ."

"Silahkan!"

"Engkau sudah mempertimbangkan atau belum ?

Bagaimana, apakah engkau suka menjadi murid kami?"

Setelah diam beberapa jenak, akhirnya Cu Jiang menyahut dengan mengertak gigi.

"Baik. aku suka..." "Dengan sungguh hati?" "Tentu."

"Tetapi jangan coba2 melarikan diri," kata Pik Thay Koan lalu menotokkan delapan jari tangannya ke tubuh Cu Jiang, Setelah itu dia tertawa mengekeh dan berseru:

"Budak, bangunlah !"

Rasa sakit pada tubuh Cu Jiang lenyap seketika.

Tenaganyapun pulih. Cepat ia meloncat bangun.

Pik Thay Koan meliriknya dan mengangguk: "mata Lo- Jit nampaknya tajam sekali. Memang benar2 sebuah bahan yang bagus!"

Sekonyong-konyong mata Cu  Jiang tertumbuk pada pemandangan yang mengejutkan. Ia melihat tangan kiri Pit Thay Koan hilang jari tengahnya.. Seketika teringatlah dia akan pemandangan yang menyayat hati ditempat kedua orang tua dan adiknya dibunuh dahulu.

Dia telah menemukan dua jari tangan dan  sebuah lengan. Kedua jari itu, jari tengah dan jari telunjuk mungkin jari kelingking. Dia belum dapat memastikan adakah kedua jari dan sebuah lengan itu milik seorang atau beberapa orang.

Dia telah melihat kesembilan iblis Kiu te-sat itu semua. Diantara mereka tiada terdapat ketiga manusia aneh yang telah menganiaya dan melemparkan dirinya kedalam jurang itu.

Tetapi kalau menurut keadaan medan pertempuran itu, kemungkinan bukan hanya kesembilan iblis Kiu-te-sat itu, pun tentu terdapat juga ketiga manusia aneh dan mungkin masih ada beberapa orang lain lagi yang melakukan pengeroyokan kepada kedua ayah bundanya. 

Dia harus menyelidiki hal itu sampai jelas. Dan sungguh kesempatan yang menguntungkan sekali karena lawan telah menyukai dirinya.

Dan sengajalah dia pura-pura jual mahal, serunya:

"Ah, tetapi sayang, bahan itu sudah tiada gunanya lagi . .

."

"Budak, jangan memandang rendah dirimu sendiri.

Kami bersaudara pasti akan memberimu kepandaian sakti. Tak perlu kecewa karena cacad tubuh !"

"Apakah sekarang kita akan berhasil ke gedung tua itu lagi?"

"Tidak, kita sudah mendapat tempat lain yang lebih rahasia."

"Di mana?"

"Nanti engkau tentu tahu sendiri. Mari, akan kubantumu dalam perjalanan supaya dapat menghemat waktu, " kata manusia buruk itu terus mengangkat Cu Jiang dan mengepitnya lalu lari kencang. Dia tak mengambil jalan besar, melainkan melintasi hutan menuruni ke luar kota. Song bun-sat atau Iblis-pintu-neraka Pek Thay Koan memang hebat sekali kepandaiannya. Dua jam terus menerus lari secepat angin, tetapi dia tak lelah.

Di sebelah muka merupakan deretan gunung yang berlapis-lapis. Sukar untuk mencari jalan tetapi Song-bun- sat Pek Thay Koan dapat melintasinya seperti berjalan di tanah datar.

Tak berapa lama mereka masuk ke dalam sebuah lembah. Pohon2 tumbuh tinggi, daunnya yang rindang, menutupi sinar matahari. Menilik batu2 berobah hijau terbungkus pakis dan tanah. tertimbun tumpukan daun2 yang tebal, jelas sudah lama tiada orang yang datang ke lembah itu.

Meletakkan Cu Jiang, Pek Thay Koan berkata:

"Budak, sudah tiba, berjalanlah sendiri perlahan-lahan. "

Walaupun kaki kirinya cacad tetapi kepandaian Cu Jiang masih cukup baik. Dia dapat berloncatan memasuki hutan.

Setengah jam kemudian baru tampak sinar matahari memancar pada sebuah tanah lapang. Rupanya sebuah tempat yang baru saja dibuat orang.

Tanah lapang itu lebih kurang seluas setengah bahu. Padi ujung yang menempel batu karang, tampak beberapa rumah batu yang dikelilingi rumput dan pohon2 rotan. Suasananya menyeramkan.

Song-bun sat Pek Thay Koan mengajak Cu Jiang masuk. Di dalam ternyata sudah menunggu dua orang. Yang satu si orang tua jubah hitam Tian Heng.

Kini Cu Jiang sudah dapat mengetahui bahwa Tian  Heng ini adalah kepala dari Kiu-te-sat dan bergelar Te-leng- sat atau Iblis-penunggu-bumi. Dan yang satu adalah Ong Sip Po atau orang yang jatuh pada urutan ketujuh, bergelar Tui-beng sat atau Iblis-pemburu nyawa.

"Toako ini orangnya sudah datang!" seru manusia buruk Pek Thay Koan.

"Ah, bikin cape engkau saja, ji-te." sahut Te-leng-sat, tokoh kesatu dan Kiu-te-sat.

Cu Jiang masih bersikap angkuh. Dia berdiri seperti patung. Tak mau memberi hormat dan tak sudi bicara. Karena kaki kirinya agak pendek sedikit maka berdiri dia miring ke sebelah kiri.

Dalam rumah itu telah disiapkan sembilan buah kursi.

Di tengah satu dan kanan kiri masing2 empat kursi.

Song-bun-sat Pek Thay Koan duduk di sebelah dari kursi pertama. Sedang Tui-beng-sat Ong Sip Po duduk pada kursi kedua.

Rupanya kesembilan durjana itu mempunyai disiplin yang baik sekali. Mereka menghormati  kedudukan masing2.

Sejenak memandang Cu Jiang, berserulah jubah hitam Tian Heng:

"Budak, aku hendak bertanya kepadamu dengan sungguh2. Maukah engkau menjadi murid pewaris dari kami bersembilan saudara?"

Dalam hati Cu Jiang tak sudi tetapi karena keadaan dan demi tujuannya, maka terpaksa dia mengangguk dan menyatakan kesediannya.

"Apa yang menyebabkan engkau berobah pendirian?" "Nama besar dari anda bersembilan !" "Hm, dengarkanlah. Setelah persiapan2 selesai kami lakukan, barulah nanti diadakan upacara penerimaan murid."

"Ya."

"Dalam dunia persilatan tiada yang disebut benar atau salah. Yang lemah tentu dimakan yang kuat. Kekerasan merupakan keadilan. Engkau tak membunuh, tentu akan dibunuh. Mengertikah engkau? Apa yang disebut Ceng dan Shin ( putih dan Hitam ), sukar ditentukan. Mereka yang menepuk dada sebagai jagoan aliran Ceng-to,  diam2 mereka merupakan manusia yang buas melebihi binatang. Dan yang dianggap sebagai kawanan aliran Hitam, belum tentu semua hitam . . ."

Wejangan yang berdasar atas pandangan diri sendiri itu, membuat tubuh Cu Jiang gemetar. Tetapi diam2 diapun mengakui bahwa apa yang dikatakan kepala Kiu-te-sat itu tidak semua salah. Misalnya, mendiang ayahnya  sendiri, tak membunuh orang tetapi akhirnya dibunuh orang.

Tetapi Kiu-te-sat pun telah melakukan penjagalan terhadap belasan pemuda, hal itu takkan dapat dilupakan Cu Jiang, Adakalanya Baik dan Buruk itu sukar dibedakan tetapi ada kalanya memang menyolok sekali perbedaannya. Tokoh golongan Putih, betapapun jahatnya, tentu takkan melakukan perbuatan yang sedemikian ganas.

Demikian tak terasa waktu berjalan cepat sekali. Sudah sepuluh hari Cu Jiang berada di pondok dalam lembah belantara itu. Sehabis makan pagi, dia bersama ketiga iblis itu duduk bercakap-cakap di ruang tengah.

Tiba2 sesosok tubuh lari terhuyung-huyung. Mereka berempat serempak berbangkit.

"Lo-ngo! " seru Song-bun-sat Pek Thay Koan. Blum.... tubuh orang itu membentur pintu dan terus rubuh ke lantai.

Tubuh hitam Thian Heng cepat melesat ke muka: "Lo-ngo, kenapa engkau!" teriaknya.

Tempat duduk Cu Jiang kebetulan dekat sekali dengan orang yang rubuh itu. Dia dapat melihat dengan jelas keadaannya. Tubuh orang itu berlumuran darah, sehingga napas menjadi lemah, mulut mengucur darah.

Dia adalah lo-ngo atau urutan yang kelima dari sembilan durjana Kiu losat, Memakai gelar nama Toan-beng-sat atau iblis-pencabut nyawa.

Song-bun-sat dan Tui beng-sat serempak membungkuk dan memeriksa nadi Toan-beng-sat itu. Seketika wajahnya berobah. Mereka mengangkat kepala dan berkata dengan nada tergetar kepada Te-leng-sat.

"Toako, tiada.... tiada harapan lagi. Urat  jantungnya sudah putus."

Wajah Te-leng-sat Tian Heng, kepala dari kesembilan momok durjana membesi wajahnya. Sepasang matanya membara merah. Dan giginyapun terdengar bercaterukan.

"Kasih sedikit hawa murni, aku hendak bertanya kepadanya."

Tui-beng-sat atau Iblis-pemburu nyawa segera lekatkan jari tengahnya pada punggung Toan-beng-sat atau Iblis- pencabut nyawa. Tak berapa lama Toan-beng-sat dapat bernapas lagi dan pelahan-lahan membuka mata.

Bibirnya tampak bergerak-gerak seperti hendak berkata tetapi tak bersuara.

"Lo-ngo, kuatkan dirimu, bilanglah apa yang telah terjadi

?" teriak ketua kesembilan momok durjana itu. Setelah berusaha beberapa waktu, barulah orang kelima dari kawanan momok itu dapat berkata dengan lemah.

"Aku... dengan Pat te.... tiba di markas .. . Thay kek bun... pulangnya. "

"Apakah kitab   Thay-kek-sin-hwat-ciang sudah dapat engkau ambil?"

"Ya ... sudah .. . tetapi dirampas ..... pat-te. "

Pat-te artinya adik seperguruan yang kedelapan, atau tokoh nomor delapan dari kawanan mo sat.

"Lo-pat bagaimana ?" "Dia dicelakai ?"

"Lo-pat dicelakai ?" "Ya. "

"Siapa yang berani mencabut kumis harimau?" “Siapa dia ?"

"Sip... sip "

"Apa?"

"Sip-pat. . . hui-thian "

Habis berkata, kepala   momok kelima itu terkulai melentuk dan jiwanyapun putus.

Song-bun-sat dan Tui-beng-sat lepaskan tangannya.

Mereka jatuhkan diri di tanah, matanya memancar ganas.

Sambil mendeburkan kaki pada lantai, Te-leng-sat ketua dari kesembilan momok durjana itu berteriak.

"Sungguh tak kira kalau lawan berani turun tangan lebih dulu !" Siapakah lawan mereka? Tanpa disengaja, Cu Jiang memperoleh suatu berita yang penting. Lawan kesembilan momok durjana itu tak lain adalah Sip-pat ( delapan belas ), Hui thian (terbang ke langit). Tetapi karena kata itu terputus dan tidak dirangkai dengan urut, Cu Jiang tak dapat mengetahui jelas apa sebenarnya yang dimaksudkan.

Hanya satu yang dapat dijadikan kesimpulan bahwa tokoh yang mampu membunuh anggauta Kiu-te-sat itu tentulah orang tokoh yang hebat sekali kesaktiannya.

Memang durjana2 macam Kiu-te-sat, harus di basmi dari dunia. Mereka berlumuran darah korban2 yang entah sudah beratus-ratus jumlahnya. Dia membunuh manusia seperti membunuh nyamuk, sedikitpun tiada mempunyai rasa peri- kemanusian.

Toan-beng-sat serta apa yang disebut pat-to (adik seperguruan nomor delapan) yakni Tho ling-sat (Iblis- bunga-tho), adalah kedua anggauta Kiu-te-sat yang mendapat perintah dari ketuanya untuk menuju ke markas Thay-kek-bun, Bu-tong-pay dan Siau-lim.

Toan-beng-sat atau momok nomor lima ketika sudah tiba di markas Thay-kek-bun telah berhasil mendapatkan kitab pelajaran Thay-kek-sim-ciat-hwat dari perguruan itu. Tetapi entah bagaimana dia telah melakukan tindakan yang ganas...

"Toako, rencana kita..." baru Song-bun sat atau momok kedua dari Kiu-te-sat berkata begitu, toako atau ketuanya sudah menukas.

"Tetap dijalankan, kalau tidak kita tak dapat menghadapi lawan !"

"Tetapi bagaimana dengan pat-te mudah-mudahan dia

tidak berjumpa dengan . ." "Sudahlah, jangan berkata apa2 lagi !" kata Te-leng-sat ketua sembilan-momok.

Tiba2 Tui-beng-sat atau momok ketujuh yang bernama Ong Sip Po seperti tersentak kaget, serunya:

"Celaka !"

Te ling-sat ketua Sembilan-momok deliki mata kepadanya:

"Mengapa celaka ?"

Tui-beng-sat memandang keluar pondok dan berkata. "Ngo-ko  pulang  dengan  membawa  luka  parah.   Tentu

musuh   akan  mengikuti   jejaknya.  Mungkin   saja  saat ini

tempat kita sudah di ..."

Song-bun-sat atau momok nomor dua serentak melonjak berdiri:

"Lalu bagaimana kita harus menghadapi?"

Dengan geram Te-ling-sat atau ketua Sembilan-momok menggeram:

"Jika musuh hanya seorang, kita bertiga dapat menghadapinya!"

Wajah yang pucat dari Tui-beng-sat Ong Sip Po berkerenyitan, serunya.

"Kalau lawan tidak hanya seorang?"

Te-ling-sat ketua mereka, merenung sejenak lalu berkata: "Selama gunung masih menghijau, masakan takut tak

mendapat kayu bakar. Untuk sementara waktu kita menyingkir dulu. Apabila rencana kita sudah selesai, kita jalankan lagi." Mendengar mereka menyebut-nyebut tentang rencana, diam2 Cu jiang terkejut. Apakah rencana mereka? Oh, mungkin menyangkut dirinya. Benarkah itu? Namun dia tak mau ikut bicara melainkan mendengarkan pembicaraan mereka dengan penuh perhatian.

Tiba2 terdengar sebuah suitan nyaring. Nadanya mirip bunyi burung hantu, pun seperti lolong serigala. Tajam dan mengerikan telinga.

Song-bun-sat Pik Thay Koan, momok kedua terperanjat, serunya:

"Ah, dugaanku tak meleset, mereka benar2 datang!" "Kita masuk ke dalam hutan dan jalankan alat perkakas."

kata Te-ling-sat, ketua momok dengan geram.

Sambil menunjuk pada Cu Jiang, Tui-beng sat Ong Sip Po berseru.

"Bagaimana dengan dia ?"

"Masukkan kedalam ruang rahasia," seru Te-ling-sat kemudian berpaling dan mengajak momok kedua Song- bun-sat Pek Thay Koan, "jite. mari kita berangkat dulu."

Kedua momok itupun segera melesat keluar. Dan Tui- beng-sat Ong Sip Po segera menyambar tubuh Cu Jiang terus dibawa lari masuk ke belakang.

Dibagian belakang rumah itu, merupakan karang kaki gunung. Ada sebuah bagian dari karang itu yang menonjol, lebarnya seperti sebuah meja kecil.

Ong Sip Po menekan dengan tangannya dan batu nonjol itu segera berkisar, terbuka sebuah lubang guha. Sebelum sempat berbuat apa2, tahu2 Cu Jiang sudah dilempar kedalam lubang guha lalu ditutupnya lagi. Dilempar kedalam tempat yang begitu gelap, Cu Jiang  tak dapat berbuat apa2 lagi. Dia terlempar jatuh ke lantai gua, kemudian bergeliat bangun dan duduk bersandar pada dinding gua. Dia bersemedhi menenangkan pikiran.

Beberapa saat kemudian ia membuka mata dan mulai dapat melihat keadaan guha itu secara remang2.

Tak berapa dalam. Mungkin hanya lima  tombak. Sebelah luar sempit tetapi makin kedalam makin lebar. Gua itu kosong, tentu merupakan tempat persembunyian Kiu te- sat apabila menghadapi ancaman bahaya. Atau kalau tidak, mungkin digunakan untuk berlatih ilmu.

Sambil duduk bersandar pada dinding gua, dia merenung lebih lanjut. Siapa gerangan musuh yang mampu merontokkan nyali kawanan momok Kiu-te-sat itu ?

Memang menilik nada suitan yang begitu nyaring, dapatlah dia menduga bahwa orang itu tentu seorang tokoh yang hebat. Dia cenderung untuk menduga bahwa tokoh itu tentu bukan dari aliran Ceng to (putih) melainkan juga seorang durjana besar.

Adakah pendatang itu yang telah membunuh Toan-beng- sat dan Tho hoa-sat ?

Banyak hal yang melalu lalang dalam benaknya, tetapi dia hanya merangkai dugaan2 saja. Dia tak dapat berbuat apa2. Juga siapa yang menang diantara kedua pihak durjana itu baginya tiada keuntungan apa2.

Rasanya sudah lama sekali, entah tak tahu dia sudah berapa lama berada dalam gua itu. Saat itu dia mulai gelisah. Kemanakah gerangan ketiga durjana tadi? Kalau mereka juga mengalami nasib seperti kedua kawannya  Toan beng sat dan Tho hoa-sat, berarti dia harus berusaha sendiri untuk keluar dari gua situ. Serentak dia berbangkit dan mulai meraba-raba batu besar penutup gua itu. Ia mengharap mudah-mudahan akan menemukan alat pembuka pintu itu. Pintu batu itu memang berbentuk sedemikian rupa, hingga pas sekali, merapat seperti pintu.

Karena sampai sekian lama tidak juga berhasil menemukan pintu, akhirnya ia merenungkan ketika Tui- beng sat melemparkan dia kedalam gua dan menutup gua itu.

Setelah membayangkan gerak dan posisi Tui-beng sat Ong Sip Po, dan mulai lagi untuk mencari tombol itu. dan menekan-nekan dengan jarinya.

Cu Jiang memang cerdas. Dengan cara itu akhirnya berhasillah dia. Ketika menekan pada suatu bagian, batu itu melesak kedalam dan pintu batu itu pun pelahan-lahan mulai berkisar kemuka. Sinar matahari nampak memancar ke dalam dan seketika itu guapun tampak terang.

Karena sudah beberapa waktu berada dalam tempat gelap, maka dia menjadi silau melihat sinar matahari yang keras. Ia cepat2 menutupi kedua matanya. Beberapa saat kemudian barulah ia dapat membuka tangannya.

Tapi tiba2 dia berteriak kaget ketika melihat ketiga durjana Kiu te-sat duduk bersila tak jauh dari pintu guha. Menilik kerut wajahnya, jelas mereka menderita luka parah.

"Bagaimana kalian bertiga ini ?" tegur Cu Jiang.

Tian Heng atau kepala dari kawanan durjana Kiu-te-sat berseru dengan nada gemetar:

"Lekas bawa kami bertiga kedalam gua !" Sejenak Cu Jiang mengeliarkan pandang ke sekeliling. Setelah melihat tiada seorangpun yang tampak, baru dia bertindak. Lebih dulu dia mengangkat Te-ling sat Tian Heng kedalam gua. Ke dua Song bun sat Pek Thay Koan dan Tui-beng-sat Ong Sip Po.

"Tutup pintunya," kata Tui-beng-sat Ong Sip Po dengan lemas.

Cu Jiang terkesiap. "Bagaimana cara menutupnya?" "Mengapa tadi engkau dapat membuta ?"

"Hanya secara kebetulan saja aku menekan-nekan pintu batu."

"Hm. tekanlah sebelahnya !" Cu Jiang menurut. Begitu menekan, pintu batu itupun segera mengatup kembali.

"Musuh itu ?" "Sudah ngacir pergi."

"Apakah anda terluka?" tanya Cu Jiang.

"Jangan banyak tanya, tunggu perintah saja !" hardik Tui beng-Sat Ong Sip Po.

Cu Jiang memandang durjana itu tajam2, dia tak mau bicara lagi.

Tiba2 Song bun-sat Pek Thay Koan berkata dengan nada sinis.

"Budak, kalau saat ini engkau hendak turun tangan kepada kami bertiga, memang kami tidak berdaya lagi ..."

Cu Jiang terkesiap tetapi cepat ia menjawab:

"Aku tak punyai keinginan begitu. Dan lagi akupun tak mau menghantam orang yang sedang terluka."

"Kalau mau pergi, engkaupun dapat juga!" "Aku tak mempunyai rencana begitu." "Bagus, budak, sesungguhnya aku senang sekali kepadamu, tetapi sayang .... ah . . ."

"Sayang bagaimana ?" "Semua sudah hilang !"

Mendengar itu Te-leng-sat Tian Heng cepat menukas:

"Lo-ji, Jangan menghamburkan tenaga yang tidak perlu. Lekas kerahkan tenaga untuk mempersiapkan penyerahan yang perlu."

Ketiga durjana itu serempak pejamkan mata.

Kata2 terakhir dari ketua Kiu-te-sat untuk mempersiapkan penyerahan yang terakhir itu, benar-2 mengherankan perasaan Cu Jiang..

Apakah maksud durjana itu sesudah menderita luka yang membahayakan jiwanya ? Orang yang mampu mengalahkan ketiga durjana itu jelas tentu bukan kepalang hebatnya.

Alam pikiran dari kawanan durjana itu memang kadang berlainan dengan orang biasa. Seperti Song-bun-sat Pek- Thay Koan. Durjana itu mengajukan pertanyaan yang aneh tadi kepada Cu Jiang.

Memang jika Cu Jiang mau meninggalkan tempat itu, memang mudah. Ketiga durjana itu tak dapat berbuat apa2.

Pun jika dia mau turun tangan menghancurkan mereka bertiga, juga semudah orang mematahkan ranting pohon. Ketiga durjana itu tak sudah tak berdaya sama sekali.

Tetapi pemuda itu tak mau berlaku begitu, dia tak punya keinginan begitu. Dia bersandar pada dinding gua dan menunggu perkembangan selanjutnya.

Te ling-sat Tian Heng tertawa rawan. "Budak, sebenarnya kami bersaudara hendak menjadikan engkau seorang jago tiada tandingannya dalam dunia persilatan. Sayang... Thian tak mengabulkan . . ."

"Apakah maksudmu ?" Cu Jiang heran. "Kami bertiga sudah tiada gunanya lagi." "O, apakah menderita luka?"

"Benar."

"Sampai begitu parah ?" "Ya, memang."

"Dengan kesaktian anda bertiga, apakah tak mampu mengobati?"

"Tak ada seorangpun yang mampu." "Bagaimanakah luka itu?"

Sepasang mata dari Te-leng-sat Tian Heng mendelik. Ia marah tetapi pada lain kejap matanyapun redup lagi.

"Budak, tahukah engkau siapa yang datang itu ?"

Hal itulah yang akan ditanyakan Cu Jiang, maka cepat2 ia berseru "Siapakah mereka ?"

"Coba engkau renungkan. Siapakah tokoh dalam dunia persilatan yang mampu melukai Kiu-te-sat ?"

Cu Jiang gelengkan kepala dan menyatakan tak tahu. "Hanya tenaga seorang saja mampu melukai kami

bertiga, didunia ini kiranya hanya satu orang "

"Siapa ?"

"Engkau pernah dengar yang disebut Sip-pat-thian-mo ?" "Sip pat thian-mo ?" ulang Cu Jiang. "Ya."

Cu Jiang tergetar hatinya.

"Kabarnya Sip-pat- thian-mo itu sudah meninggal dunia. Belasan tahun yang lalu terkubur didaerah Tian-hong. Anak buahnya pun sudah bubar . . ."

"Sumber dari kabar burung, belum cukup meyakinkan. Tetapi bahwa mereka telah lenyap selama belasan tahun, memang benar."

"Mengapa mereka lenyap secara tiba2 ?"

"Hal itu memang belum diketahui pasti. Yang Jelas hari ini kawanan Sip-pat-thian-mo telah muncul. Pemimpin mereka yang disebut Hui-thian-sin-mo, paling sakti kepandaiannya."

"Hui-thian-sin-mo ?"

"Kecuali dia, rasanya dalam dunia persilatan ini tiada seorang tokohpun yang mampu dengan seorang diri dapat melukai kami bertiga."

"Oh..."

Mata Song-bun-sat Pek Thay Koan berkilat-kilat memancar ke empat penjuru, kemudian berseru tegang:

"Toako, waktu sangat berharga, lebih baik membicarakan hal yang penting saja."

Sambil mengertek gigi, Te-ling-sat Tian Heng menggeram:

"Memang aku bersalah karena tak kuasa menahan kemarahan. Seharusnya aku tak turun mengunjukkan diri. Ah, Sekarang menyesalpun sudah terlambat . . ."

"Toako, karena sudah begini, tak perlu harus bersedih.

Lawan tak mungkin akan kasihan kepada kita." "Walaupun lawan juga menderita luka tetapi dia takkan mati. Sedang kita, telah berturut-turut lima saudara. . ."

Tui-beng-sat Ong Sip Po yang berwajah pucat tampak berkerenyitan dan menggeram:

"Sungguh2 mati dengan meram..." Te-ling-sat Tian Heng berpaling, kemudian berkata kepada Cu Jiang.

"Budak, dengarkanlah. Sepuluh tahun yang lampau, kami ke sembilan saudara telah diagungkan oleh dunia persilatan dengan gelar Kiu-te-sat. Kiu-te-sat saling bermusuhan dengan Sip-pat-thian-mo. Mereka hendak melenyapkan Kiu te-sat tetapi tak berapa lama kemudian, mereka telah lenyap tanpa berita apa2 lagi. Tetapi akhir2 ini Sip-pat-thian-mo muncul lagi. Oleh karena itu kami  sekalian hendak mencari seorang yang bertulang bagus untuk kami didik dan gembleng agar dapat menghadapi kawanan Sip-pat-thian-mo. Tetapi sayang, rupanya Thian tak meluluskan, rencana kami itu berantakan "

Cu Jiang terkejut dan menyapukan pandang kearah ketiga durjana itu. Saat itu dia baru tahu akan rencana dari Kiu-to-sat.

"Kami bertiga saudara, telah terkena ilmu Jari Thian mo ci dari Kui-thian-sin-mo, luka yang kami derita sekalipun dewa juga tak mampu mengobati. Setelah berunding, kami bertiga telah memutuskan sebuah rencana..."

"Rencana bagaimana ?"

"Dengan sisa2 tenaga yang kami miliki, kami bertiga akan memindahkan tenaga  murni  kami  kedalam tubuhmu. "

"Memberikan tenaga-sakti kepadaku?" Cu Jiang berseru kaget. "Ya, dan tak perlu terikat suatu hubungan apa2." "Tanpa ikatan apa-apa?"

"Tanpa."

"Tetapi pakai syarat, bukan ?" tanya Cu Jiang.

"Budak, Jangan engkau memukul genderang terlalu keras. engkau memang cerdik maka tak berani kami menyodorkan syarat, cukup suatu permintaan saja."

"Bagaimana, harap lekas mengatakan."

"Gabungan tenaga sakti kami bertiga yang akan kami berikan kepadamu itu, ditambah pula dengan tenaga dalam yang sudah engkau miliki, rasanya dalam dunia persilatan jarang terdapat tokoh setingkat engkau kesaktiannya. Permintaan kami yang pertama ialah, kami harap engkau dapat membalaskan sakit hati kami."

Setelah merenung beberapa jenak, Cu Jiang-pun berkata dengan nada berat:

"Baik. soal itu aku berjanji akan melaksanakannya dengan sekuat tenaga."

"Yang kedua," kata Tian Heng, "masih ada empat orang saudaraku yang kusuruh ke vihara Siauw-lim dan Bu-tong- san hingga kini belum kembali. Kuminta engkau mencari mereka. Mereka tentu dapat membantu untuk menyempurnakan kepandaianmu ..."

"Ya, baiklah..."

"Hanya dua buah permintaan itu saja."

"Jika begitu, akupun hendak mengajukan permintaan . .

." kata Cu Jiang. "Permintaan apa ?" Sambil menatap Song bun sat Pek Thay Koan, Cu Jiang berkata:

"Aku hendak mohon tanya sebuah hal kepada anda !" Song-bun-sat Pek Thay Koan deliki mata dan berseru: "Katakan !"

"Jari anda yang kutung itu . . ." "Apa? Jari kutung ?"

"Benar."

"Perlu apa engkau menanyakan hal itu ?" "Itu persoalanku sendiri."

Dengan mengertek gigi. Song-bun-sat Pek Thay Koan berseru:

"Engkau minta aku menceritakan kembali peristiwa yang penuh dendam itu ?"

"Aku harus meminta keterangan yang jelas," sahut Cu Jiang dengan tegas.

"Hm. dengarkanlah. Peristiwa itu terjadi pada sepuluh tahun yang lalu. Jari itu telah terpapas kutung oleh tokoh nomor 16 dan kawanan Sip-pat-thian-mo yang bernama Cui-mo si Iblis pemabuk."

"Peristiwa dari sepuluh tahun yang lalu ?" "Ya."

"Benarkah itu ?"

"Budak, apa maksudmu?"

"Ah, tak apa2. Hanya setelah tahu jelas soal itu barulah aku mau menerima perjanjian anda sekalian." "Kenapa ?"

"Maaf, aku tak dapat mengatakan hal itu.”

Tiba2 Te leng-sat Tian Heng mengangkat tangan dan bertanya:

"Budak, apakah engkau masih hendak bertanya lagi ?" "Tidak."

"Baik, duduklah dihadapan kami sini."

Cu Jiang meragu sejenak tetapi ia terus melakukan perintah dan duduk bersila dihadapan ketiga durjana itu.

"Apa yang kuminta engkau supaya melakukan dua buah hal tadi, engkau masih ingat, bukan ?" kata Te-ling-sat Tian Hong pula.

"Ingat dan aku tentu akan melakukannya dengan sekuat tenaga," kata Cu Jiang.

"Bagus sekarang pejamkanlah matamu dan bersiaplah untuk menerima curahan tenaga-sakti kami."

Cu Jiang tegang sekali menghadap suasana yang berobah secara begitu besar dan mendadak. Dia tahu bahwa apabila ketiga durjana itu tak mau memberikan tenaga saktinya, tentulah tenaga-sakti mereka akan ikut lenyap dengan kematian mereka.

Ketiga durjana itu melekatkan telapak tangannya menjadi satu, kemudian tangan kanan Te-ling-sat Tian Heng melekat pada ubun2 kepala Cu Jiang.

Ah. ternyata tokoh2 durjana itu juga faham akan ilmu Gui-ting tay-hwat dari sumber perguruan agama.

"Awas, sambutlah !" seru Tian Heng dan segera memancar dari kepala Cu Jiang. Tubuh Ci Jiang menggigil. Buru2 dia kerahkan semangatnya untuk menggabungkan hawa murni dalam tubuhnya, menyambut pancaran aliran hawa panas itu dan menyalurkan kearah seluruh jalan darahnya. Setelah itu dihimpunnya pula ke atas lagi.

Aliran hawa panas itu makin lama makin keras dan deras. Sedikit saja Cu Jiang lengah untuk menaruh perhatian, dia pasti akan terjerumus kedalam keadaan apa yang disebut Co-hwe Jip-mo ("darah berjalan sesat"). Artinya, jika tidak mati urat nadinya putus, dia tentu akan cacat seumur hidup.

Saat itu Cu Jiang seperti dibakar api. Panasnya bukan kepalang. Sesaat kemudian seperti dibenam dalam kubangan salju, dinginnya sampai menggigit tulang.

Satu-satunya yang membikin kecewa hatinya, pancaran hawa panas dan dingin tak dapat menyalur ke bawah lutut di bagian betisnya yang pincang itu.

Terakhir, hawa panas itu menghimpun jadi suatu aliran panas yang menerobos ke jalan darah Seng-si-hian-koan.

Sekali.... dua kali . . . .Tiga kali ....

Seperti terkena stroom listrik, bagian aliran darah Jin dan Tok pada punggung, serentak terbuka dan seketika itu Cu Jiangpun terlelap dalam kenyenyakan yang hampa.

Pada saat dia tersadar, ia merasa dalam gua itu terang sekali. Ia menyadari bahwa hal itu berkat tenaga-dalamnya telah bertambah sakti.

Kemudian dia berpaling. Ah. kejutnya bukan kepalang. Dilihatnya ketiga durjana duduk mematung. Entah kapan, ternyata mereka sudah melayang jiwanya. Setelah tertegun sejenak, Cu Jiang berbangkit, memberi hormat kepada ketiga durjana itu sampai tiga kali.

Dalam anggapannya, sekalipun kejahatan ketiga durjana itu setinggi gunung dan sekalipun tidak ada ikatan sebagai guru dan murid tetapi Cu Jiang tetap menghargai budi bantuan mereka yang telah menyalurkan tenaga sakti kepadanya.

Habis memberi hormat dan hendak berbangkit tiba2 ia melihat didepan mayat Te-ling sat Tian Heng terdapat beberapa lukisan yang aneh diatas tanah.

Cu Jiang tak mengerti apa maksud tulisan yang diguratkan pada tanah itu. Adakah tulisan lama atau baru saja dibuat oleh Te ling sat Tian Heng waktu meninggal tadi.

Guratan2 huruf itu masuk cukup dalam ke tanah. Jelas bahwa tulisan itu dibuat oleh jari tangan orang yang bertenaga dalam tinggi.

Karena tak mengerti Cu Jiangpun tak mau mempelajari lebih lanjut. Dia segera berbangkit. Diam2 ia mendapat kesan bahwa gua itu memang sebuah tempat persembunyian yang baik sekali.

Ia membuka pintu lalu menuju ke pondok dan mengangkut mayat Toan-beng-sat kedalam gua rahasia itu. Setelah itu ia menekan alat rahasia untuk menutup pintu gua.

Saat itu sudah petang hari, Dia kembali lagi kedalam pondok. Besok pagi2 dia akan melanjutkan perjalanan.

Setelah makan sisa hidangan, dia segera duduk bersemedhi memulangkan tenaga. Kini dia sudah mendapat tenaga-sakti dari  ketiga durjana. Menurut keterangan Te ling-sat Tian Heng, setelah menerima saluran tenaga-sakti mereka, maka tenaga-dalam Cu Jiang tentu akan mendapat tambahan sama nilainya dengan berlatih selama tenaga-dalam yang dimilikinya semula, kemungkinan sekarang dia sudah memiliki tenaga- dalam seperti orang yang berlatih selama tiga puluh tahun.

Dengan begitu tentulah dia mampu memainkan ilmu pedang warisan dari mendiang ayahnya yaitu It-kiam-tui- hun atau Sebatang-pedang-mengejar nyawa.

Tempo hari ketika ia memainkan ilmu pedang warisan ayahnya itu, pedangnya telah terlepas. Tetapi kini setelah memiliki tenaga-dalam yang begitu kokoh, tentulah dia takkan mengalami lagi hal seperti itu.

Dan dengan ilmu pedang ciptaan mendiang ayahnya yang hebat itu, barulah dia mampu untuk menghadapi musuhnya.

Berpikir sampai disitu, serentak terbayang pula wajah ayah, ibu dan kedua adiknya serta paman Liok dan anak perempuannya yang telah menderita kematian begitu menyedihkan.

Dengan menahan dendam kesumat, dia mengangkat kepala, meraba kutungan pedang Seng-kiam yang selalu disimpan di dada bajunya. Gerahamnya bergemerutuk keras. Hutang darah harus bayar darah, hutang jiwa ganti jiwa. Sekaranglah saatnya ia akan muncul untuk mencari balas.

Keesokan harinya dia segera berangkat tinggalkan lembah itu. Walaupun kaki kirinya cacat tetapi berkat tenaga-dalamnya telah mencapai tataran yang sedemikian hebat maka waktu ia gunakan ilmu meringankan-tubuh untuk lari, ternyata ringan dan cepat sekali. Kakinya yang timpang sebelah itu, tak menjadi halangan.

Tiba diluar lembah ia berhenti sejenak.

Tengah dia merasakan kelonggaran hati dapat melihat sinar matahari lagi tiba2 matanya tertumbuk pada suatu pemandangan disebuah batu karang besar. Seketika matanya mendelik dan bulu romanya meregang tegak.

Diatas batu karang itu berjajar empat biji batang kepala manusia, gigi rompal bibir robek dan matanya melotot keluar sehingga tampak menyeramkan sekali.

Melihat wajahnya, Cu Jiang serasa kenal mereka dan ketika diseksamakan, menggigillah tubuhnya.

Keempat kepala manusia itu tak lain adalah keempat durjana Kiu-te-sat yang diperintah ketuanya untuk menuju vihara Siau-lim dan Bu-tong-san.

Ternyata keempat anggauta Kiu te-sat itupun mengalami nasib yang sama. Yang membunuh mereka tentulah tokoh2 dari Sip-pat thian-mo. Dengan kematian keempat orang itu, praktis segenap anggauta Kiu te-sat akan terhapus dari dunia persilatan untuk selama-lamanya.

Mengapa pembunuhnya menaruhkan kepala keempat durjana itu diatas batu karang? Apakah maksudnya ?

Yang jelas baginya, karena keempat durjana itu sudah terbunuh musuh, maka Cu Jiang pun telah bebas dan kesanggupannya untuk melakukan permintaan yang kedua dari Te ling-sat Tian Heng.

Demikian akhir riwayat dari seorang durjana besar macam To ling-sat. Dan kematian yang diterimanya memang sesuai dengan dosa yang telah dilakukannya. Demi kemanusian, Cu Jiangpun segera hendak menanam keempat batang kepala itu. Ia membuat sebuah lubang. Tetapi tiba2 terdengar suara tawa yang keras.

Cu Jiang terkejut. Ketika memandang ke muka,  dari balik batu besar itu telah muncul seorang manusia aneh yang berjubah kuning emas, Tingginya lebih dari dua meter. Mulutnya lebar dan matanya lebih banyak bagian  hitam dari yang putih, memancarkan sinar yang berkilat-kilat.

Cu Jiang menduga bahwa orang itu tentu salah seorang tokoh dari kawanan Sip-pat-thian-mo. Apakah dia tokoh Hui thian sin mo yang telah melukai Te-ling-sat Tian Heng dan kedua durjana lainnya itu?

Habis tertawa, orang aneh itu segera menghamburkan kata yang memekakkan telinga:

"Hai, budak kecil, engkau pernah apa dengan kawanan Kiu-te sat itu?"

Cu Jiang berdebar-debar. "Bukan apa-apa!" sahutnya.

Manusia aneh itu kerutkan dahi. Rupanya dia muak juga melihat wajah Cu Jiang yang buruk. Kemudian berkata pula:

"Apakah engkau murid Kiu te-sat ?" "Bukan!"

"Lalu siapakah engkau ini?"

"Setan keluyuran dalam dunia persilatan."

"Heh, heh, mengapa engkau hendak mengubur keempat kepala manusia itu?"

“Itu demi peri-kemanusian, setiap orang tentu memiliki." "Hm." "Apakah anda yang membunuh ke empat orang itu?" "Anggaplah begitu."

"Siapakah nama anda?"

"Engkau belum layak bertanya soal itu."

Cu Jiang mendengus. "Lalu apa maksud anda?"

Manusia aneh jubah emas itu memandang Cu Jiang beberapa jenak lalu tertawa aneh:

"Aku telah khilaf tak dapat melihatmu. Sekarang telah mencapai tingkat yang berisi. Mungkin memang benar, dengan ilmu kepandaian cakar kucing yang dimiliki kawanan Kiu-te-sat itu, tentu tak mampu menggembleng bahan seperti dirimu.”

"Tetapi bagaimana?"

"Engkau tentu mempunyai hubungan dengan Kiu te sat." "Kalau ya lalu bagaimana?"

"Kalau begitu engkau harus menyusul mereka. "

Meluaplah kemarahan Cu Jiang. Dia memang sudah berjanji sanggup membalaskan sakit hati Kiu te-sat.  Dan saat itu peluang yang baik. Tetapi diam2 ia cemas apakah dia mampu menandingi kesaktian manusia aneh ini.

Sekali bertempur, manusia aneh dari sip pat-thian-mo itu tentu takkan berhenti sebelum dapat membunuhnya.

"Maksud anda hendak membunuh habis-habisan?" serunya.

Manusia aneh itu tertawa menyeringai, serunya: "Itu sudah menjadi peraturanku."

Cu Jiang mengertek gigi. "Dalam kalangan Sip-pat-thian-mo, anda menempati kedudukan nomor berapa?"

Tampak manusia aneh itu agak terkesiap.

"Ho, budak kecil, kata-katamu itu makin menunjuk jelas bahwa engkau mempunyai hubungan dengan Kiu-te-sat. Kalau tidak bagaimana engkau tahu tentang diriku?"

"Apakah aku menyangkal?" "Ho, engkau mengaku?" "Aku juga tak mengaku!" "Jawab pertanyaanku !" "Pertanyaan apa?"

"Apalah Kiu te-sat itu masih ada yang hidup?"

"Aku takkan menjawab sebelum anda menyebut diri anda dulu.”

Sekali menggeliat, manusia aneh itupun sudah melayang di hadapan Cu Jiang.

"Engkau tak berhak untuk tawar menawar dengan aku." Dengan tak gentar, Cu Jiang menyahut.

"Ah, masakan begitu..."

"Dalam dunia persilatan belum pernah ada orang yang berani berkata begitu kepadaku ..."

"Anggaplah kali ini memang suatu pengecualian!"

"Ha, ha, ha . . . menggelikan! " dalam tertawa itu tiba2 terdengar suara ledakan keras. batu karang besar yang mempunyai garis tengah setombak, sekali manusia aneh itu gerakkan tangannya, segera meledak hancur lebur. Diam-2 hati Cu Jiang menggigil tetapi dia tetap mempertahankan keangkuhannya. Sedikit pun dia tak berkedip mata.

Manusia aneh itu mengangguk-angguk.

"Bagus budak, menilik nyalimu yang begitu besar, bolehlah aku memberi pengecualian. Dengarlah ! Apabila engkau sanggup menerima tiga buah pukulanku, akan kuberitahu namaku dan kulepaskan engkau pergi?"

Cu Jiangpun dengan angkuh menjawab: "Silahkan mencobanya!"

Walaupun mulut mengatakan begitu tetapi dalam hati sebenarnya Cu Jiang cemas juga. Ia tak tahu  apakah mampu menyambuti tiga buah pukulan momok itu.

Tetapi apa boleh buat. Dalam menghadapi saat seperti ini, terpaksa dia harus menghadapi. Apabila memang berbahaya, dia akan lari.

Sambil ayunkan tangannya, manusia aneh itu berseru: "Awas, inilah pukulan pertama!" Seiring dengan

kata2nya, tangannyapun segera mendorong ke muka.

Sudah tentu Cu Jiang tak berani lengah. Dia kerahkan tenaga-dalam dan menyambutnya.

Bum...

Terdengar letupan keras disusul dengan batu dan debu yang beterbangan keempat penjuru. Kumandangnya jauh menggema di seluruh lembah.

Cu Jiang terhuyung-huyung mundur sampai tiga langkah. Darahnya kontan bergolak keras.

Manusia aneh itu masih tetap tegak di tempatnya. Hanya kakinya makin melesak ke dalam tanah. "Ha ha,  ha sungguh menyenangkan sekali. Tak kira kalau budak semacam engkau ternyata mampu menyambut sebuah pukulanku!"

Setelah menenangkan semangatnya, Cu Jiang pun menyahut:

"Masih ada dua buah pukulan lagi!"

Saat itu pikirannya sudah tak dapat menilai adakah lawannya itu musuh dari Kiu-te-sat yang harus dia balas. Dia menyadari bahwa kepandaiannya masih belum mampu untuk menghadapi manusia aneh itu.

Sudah beruntung kalau dia tak mati dalam  menerima tiga buah pukulan manusia aneh itu. Jelas lawan memukul dengan sederhana dan terang-terangan. Apabila dia menggunakan jurus ilmu pukulan, bukankah dirinya sudah hancur?

"Pukulan kedua! " tiba2 manusia aneh itu berseru pula.

Sebuah gelombang macam gunung rubuh segera melanda. Cu Jiang segera menghimpun dua belas bagian tenaga-dalamnya untuk menyambut.

Kembali terdengar ledakan yang lebih keras dari pukulan pertama tadi. Cu Jiang terhuyung-huyung sampai tujuh langkah ke belakang dan hampir rubuh. Dengan sekuat tenaga, dia menelan darah yang hendak muntah dari mulutnya.

Tetapi manusia aneh itupun juga tersurut ke belakang sampai tiga langkah. Tubuhnya berguncang-guncang dua kali.

Cu Jiang tahu bahwa dirinya telah menderita  luka dalam. Tetapi dia berusaha keras untuk menahan diri dan tetap tak mengunjuk sikap lemah. Manusia aneh itu memandang lekat2 pada Cu Jiang sekian lama. Kemudian ia tertawa keras. Lama dan panjang sekali.

"Sungguh tak tersangka, bahwa dalam dunia persilatan jarang sekali orang yang mampu menerima dua buah pukulanku, tetapi budak kecil ini benar-benar hebat. Hai. budak, apakah kau masih sanggup menerima pukulanku yang ketiga." serunya.

Dengan nada sarat, Cu Jiang menjawab:

"Tiga pukulan itu adalah anda sendiri  yang mengatakan!"

"Benar, tetapi aku bersedia untuk memberi pengecualian kepadamu. "

"Mengapa?"

Daging muka yang menonjol dari manusia aneh itu tampak berkerenyutan. Dan setelah matanya yang hitam itu berkeliaran sejenak, dia berseru:

"Karena dengan pukulan yang ketiga itu engkau pasti mati!"

Diam2 tergetar hati Cu Jiang, namun ia tetap bersikap angkuh dan menjawab.

"Ah, belum tentu!"

"Budak, sepanjang hidupku baru engkaulah satu-satunya, orang yang berani bersikap congkak kepadaku."

"Hm..." dengus Cu Jiang.

"Baik, sambutlah pukulanku yang ketiga ini!"

Serentak momok itu gerakkan kedua tangannya  tetapi tak terdengar mengeluarkan suara apa2. Sekalipun begitu Cu Jiang tak berani memandang rendah. Dia tahu bahwa saat itu dia tengah menghadapi ujian mati atau hidup. Serentak diapun kerahkan seluruh tenaga- dalam untuk membalas.

Adu tenaga-sakti yang berlangsung saat itu telah menimbulkan ledakan yang amat dahsyat sekali.

Bagaikan dihantam dengan berpuluh-puluh godam, Cu Jiang tertatih-tatih ke belakang. Pandang matanya gelap, kepala berbinar-binar dan tulang belulangnya serasa lolos dari sendi persambungan, kaki dan tangannya seperti patah berantakan.

"Tidak, aku tak boleh rubuh. Tak boleh rubuh !" dengan kekuatan yang sekeras baja ia berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan diri supaya tidak rubuh.

Hanya dengan kemauan yang keras, akhirnya dapatlah ia pertahankan tubuhnya tak sampai jatuh.

Rupanya manusia aneh baju kuning emas itu terkejut sekali sehingga ia tercengang beberapa saat.

"Bagus! Bagus! Aku akan menetapi janjiku. Aku adalah yang bergelar Gong Mo (Iblis Gila) yang menduduki urutan ke 10 dan Sip pat thian-mo. Ingat baik2, budak. Ha, ha. ha, ha..."

Dengan membawa tawa yang keras, iblis itu pun segera melesat pergi.

"Benar, nama itu sesuai dengan tingkah lakunya. bahkan nada tawanyapun seperti tawa orang gila."

Pada saat iblis gila itu lenyap, tubuh Cu  Jiangpun berguncang-guncang dan bluk... akhirnya dia rubuh dan muntah darah. "Aku . . . apakah akan mati ?" pikirnya. Benda disekelilingnya tampak remang2, pikirannyapun mulai kabur.

Dia ingin melakukan pernapasan untuk mengetahui bagaimana keadaan jalan-darahnya tetapi tenaganya lemas sekali.

"Habis riwayatku ..." pikirnya. Ia merasa tentu akan mati.

Darah masih bercucuran dari mulut dan api semangatnyapun makin padam.

Mati. Dia tak merasa penasaran karena dia telah mampu menerima tiga pukulan dari salah seorang iblis Sip-pat- thian-mo yang menggetarkan seluruh dunia persilatan.

Bahkan kawanan durjana Kiu-te-sat, tak seorang pun yang hidup menerima pukulan iblis itu.

Tetapi kebanggaan itu tertumbuk dengan kenyataan yang pahit karena dia belum dapat melaksanakan tugas membalas sakit hati. Bahkan siapa musuhnya, pun dia tak sempat menyelidiki lagi. Ah, tidakkah kematian itu suatu kematian yang tak terelakannya ?

Samar2 dalam pandang matanya yang kabur itu dia seperti melihat sesosok bayangan hitam muncul dan makin lama makin bergerak mendekati ke tempatnya.

Dia berusaha untuk mengetahui siapakah pendatang itu tetapi gagal. Pandang matanya seperti tertutup kabut. Dia mencoba untuk berseru tetapi kerongkongannya serasa tersumbat oleh suatu benda sehingga tak dapat bersuara apa2.

Apakah pendatang itu si Iblis Gila yang datang lagi hendak mengambil jiwanya ? Hatinya tergetar dan kesadaran pikirannya-pun agak terang, tetapi pandang matanya tetap masih pudar.

Tiba2 bayangan hitam itu seperti lenyap dari pandang matanya.

Sebagai gantinya ia rasakan tubuhnya seperti diserang berpuluh aliran angin gerakan jari. Aneh.

Kesadaran pikirannyapun makin terang dan tenaganya juga makin pulih.

Cepat dia hendak menggeliatkan tubuh berpaling ke belakang tetapi tiba2 terdengar suara seorang wanita berseru melarangnya:

"Jangan bergerak dulu !"

Cu Jiang tersentak kaget. "Siapa engkau ?" Wanita itu berkata pula:

"Aku hendak bertanya beberapa patah kata kepadamu..." "Sukalah memberitahukan dulu nama anda."

"Kuharap engkau Jangan bertanya soal itu. Dengarkan, bukankah engkau pernah melakukan pertolongan kepada seorang pemuda baju putih untuk mengantarkan Piagam Hitam ?"

Cu Jiang terkejut seperti dipagut ular. Soal itu hanya puteri Jelita Ki Ing dan pelayannya yang tahu. Tetapi nada suara wanita yang bertanya kepadanya itu, jelas bukan suara si Jelita Ki Ing.

Juga bukan pelayannya yang bernama Siau Hui. Tetapi mengapa dia tahu peristiwa itu? Mengapa dia menanyakan soal itu? Ia sudah puluhan hari berada dalam lembah rahasia tempat persembunyian kawanan Ku-te-sat, mengapa orang itu dapat mencarinya kesitu ? 00odwo00
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar