Pusaka Negeri Tayli Jilid 02

Jilid 2

Kejut Cu Jiang bukan kepalang. "Amanat Maut !" teriaknya.

Amanat-maut merupakan pertandaan dari pihak Gedung Hitam untuk mencabut nyawa orang. Tak beda seperti amanat dari Giam lo-ong atau si Raja Akhirat. Barang siapa menerima amanat itu tentu mati.

Dulu Cu Jiang hanya pernah mendengar tentang itu. Tetapi kini dia benar2 melihat bahkan  menerimanya sendiri.

Balik kedalam ruangan, hilanglah selera Cu Jiang untuk minum arak.

Pengaruh Gedung Hitam benar2 luas dan mengerikan. Dalam waktu singkat saja dia sudah jatuh kedalam cengkeraman mereka.

Bagaimana dengan si jelita Ho Kiong Hwa ? Ah, nona itu tentu tak terhindar dan genggaman orang2 Gedung Hitam. Entah bagaimana, walaupun dirinya sedang menghadapi bencana maut, lebih dulu dia memikirkan diri dan keselamatan si jelita Ho Kiong Hwa.

Pemilik rumah makan bergegas mendatangi dan berseru: "Kongcu, orang tadi. "

"Menerimakan benda ini." kata Cu Jiang seraya menunjukkan papan besi itu.

"Amanat-maut." teriak wanita itu. "Benar, memang amanat kematian," kata Cu Jiang dengan nada sarat.

Pipi wanita pemilik rumah makan yang besar dengan daging itu segera mengerut. Sepasang alisnyapun hampir meregang tegak.

"Kongcu, kenapa engkau sampai bermusuhan dengan orang Gedung Hitam?" serunya.

"Karena menolong seorang nona." "Aih, lalu bagaimana ?"

"Toa nio, aku segera hendak melanjutkan perjalanan saja."

"Kemungkinan engkau tak dapat mencapai satu li saja !" "Habis, daripada menunggu kematian !"

"Kongcu, berikan waktu kepadaku untuk ikut memikirkan..."

"Tidak, toa nio, aku tak mau melibatkan dirimu." Wanita gemuk itu deliki mata. "Ngaco !" teriaknya.

Cu Jiang terkesiap. Selama ini belum pernah wanita gemuk pemilik rumah makan itu begitu keras sikapnya terhadap dia. Seorang perempuan yang konon kabarnya tak pernah belajar silat tetapi mengapa kenal Amanat-maut dan Gedung Hitam ?

Aneh. Apakah wanita gemuk itu selama ini memang tak mau unjukkan dirinya yang sesungguhnya ?

Tetapi betapapun juga, tak mungkin dia berani bertindak menentang Gedung Hitam yang begitu besar pengaruh kekuatannya dalam dunia persilatan.

"Toa-nio, apa yang engkau pikirkan?" "Mencarikan jalan hidup untukmu !" "Ah, tak perlu."

"Mengapa ?"

"Rumah tangga dan Jiwa toa nio, masakan harus ikut menderita karena urusanku."

"Tutup mulutmu!" bentak wanita gemuk itu, "apabila engkau mati ditangan orang Gedung Hitam, masih tak mengapa. Tetapi Jiwa papah mamahmu juga  terancam bahaya."

Cu Jiang terkejut. Selama ini wanita gemuk itu tak bertanya dan diapun tak pernah menceritakan tentang keadaan ayah bundanya. Tetapi mengapa wanita gemuk itu tahu ? Apakah wanita itu sesungguhnya orang Gedung Hitam yang sengaja memancing-mancing ?

"Apa kata toa-nio?" Cu Jiang menegas.

"Tutup mulutmu !" bentak wanita gemuk itu pula seraya deliki mata.

Cu Jiang terbeliak. Ia terlongong-longong memandang wanita gemuk itu.

"Siapakah dia ?"

Wanita gemuk itu tiba2 mengisar kemuka dinding lalu menekan dinding itu sampai tiga kali. Dinding yang terbuat daripada batu merah berkembang dan tiba2 merekah dan terbukalah sebuah pintu.

Dibalik pintu itu merupakan sebuah titian atau undak- undakan batu yang jauh menjurus ke-sebelah  bawah. Karena ujung titian yang dapat dilihat mata, tertutup dalam kegelapan, maka tak dapat diketahui sampai berapakah dalamnya lorong rahasia itu. "Kongcu, turunlah. Didalamnya terdapat cukup persedian makanan, tiga hari kemudian  engkau  boleh keluar !"

Cu Jiang terkejut.

Diam2 ia menimang. Jika ia menuruti permintaan wanita gemuk itu dan masuk kebawah lorong rahasia, bukankah dia akan seperti burung yang terjebak dalam sangkar ?

Atau mungkinkah wanita gemuk itu memang benar2 mengandung maksud baik hendak menyelamatkan dirinya?

"Lekas turun !" teriak wanita gemuk itu. "Toa-nio !"

"Kusuruh engkau turun mengapa masih banyak omong lagi!"

Sejenak meragu, akhirnya Cu Jiang mengambil sikap. Dalam menghadapi saat2 yang membahayakan jiwanya, ia harus lebih dulu mendapat keterangan yang jelas dan tak boleh begitu pasrah saja. Bukankah ia bisa mati konyol ?

"Toa nio, apakah engkau seorang persilatan?" segera ia bertanya.

"Eh, mengapa masih banyak mulut ? Apakah engkau benar2 ingin mati ?"

"Aku tak mengerti, mengapa toa-nio berani menempuh bahaya untuk menolong seorang yang telah menerima Amanat Maut dari Gedung Hitam? "masih Cu Jiang bertanya.

"Kelak engkau tentu tahu !"

"Tetapi sekarang juga aku ingin tahu." "Tolol . . . engkau " "Dan lagi rupanya toa-nio tahu akan keluargaku ?" "Anggap saja sudah tahu, lekas engkau masuk!" "Tidak ! Toa-nio harus memberi penjelasan dulu "

"Waktunya tak keburu lagi!"

Cu Jiang makin curiga. ia berkeras menolak.

"Jika begitu, maaf, aku tak dapat menuruti perintahmu !" Wanita gemuk itu deliki mata dan berseru bengis:

"Apakah engkau benar2 menghendaki toaniomu harus turun tangan?"

Cu Jiang tergetar hatinya.

"Betapapun disembunyikan dalam kulit domba, rubah (rase) tentu akan tampak juga ekornya," pikirnya.

"Toanio," ia tertawa dingin, "sungguh tak kira kalau engkau mengerti silat."

"Masih banyak hal2 yang tak dapat engkau duga !" "Kalau begitu toanio harus banyak2 memberi penjelasan

lagi."

“Turun !"

"Tidak !"

"Rupanya aku terpaksa turun tangan "

"Apa boleh buat. "

Tring, Cu Jiang terus mencabut pedang.

Wanita gemuk itupun segera singsingkan lengan bajunya lalu siap mengangkat tangannya ke-atas.

Keduanya segera akan bertempur. "Toa-nio," seru Cu Jiang dengan nada gemetar, "bertahun-tahun engkau telah memperlakukan aku dengan baik. Seharusnya tak boleh aku mencurigaimu. Tetapi hal ini menyangkut suatu mati hidup”

Wanita gemuk itu melangkah maju dan membentak dengan marah:

"Tak perlu engkau banyak berkentut, mau turun atau tidak !"

"Maaf..."

"Ho, budak kecil."

Serempak dengan kata2 itu wanita gemukpun terus ayunkan tangannya menghampiri.

Cu Jiang terpaksa menangkis dengan pedangnya.

"Ha, kepandaianmu masih jauh sekali terpautnya, budak!"

Gerakan tangan wanita gemuk itu lebih cepat dari kata- katanya. Sementara pukulan tangan kanannya tadi masih dilanjutkan, tangan kirinyapun menjulur maju menabas.

Hebat! Seketika itu gerak pedang Cu Jiang-pun tertutup tak dapat berkembang. Dalam sekejap, Cu Jiangpun terkena pukulan wanita gemuk itu. Dia sempoyongan ke belakang.

"Turun !"

Sebelum pemuda itu sempat berdiri tegak, kembali dia sudah dilanda oleh gelombang angin pukulan dari wanita gemuk itu. Cu Jiang kehilangan keseimbangan badan dan diluar kehendaknya, dia tergelincir kedalam liang terowongan. Tetapi pemuda itu juga tidak lemah. Selekas kakinya menyentuh tanah dibawah, cepat ia enjot tubuhnya hendak melambung keatas lagi.

Wanita gemuk tertawa gelak2 seraya menghantam lagi. Sudah tentu tubuh Cu Jiang tertekan kebawah dan jatuh ke dalam terowongan pula.

Ha, ha ha terdengar wanita gemuk itu tertawa mengekeh dan pada lain saat, pintu terowongan rahasia itupun tertutup.

Kejut Cu Jiang bukan alang kepalang. Tak disangkanya sama sekali bahwa wanita bertubuh gemuk seperti seekor babi itu ternyata memiliki ilmu silat yang begitu hebat. Cu Jiang merasa bahwa apa yang dipelajari selama ini sudah cukup tinggi. Tetapi ternyata berhadapan dengan wanita gemuk saja ia sudah kelabakan dan tak dapat berkutik lama sekali.

Memandang ke arah bawah, gelapnya bukan main sehingga ia tak dapat melihat jari2 tangannya sendiri. Ia siapkan pedangnya menjaga setiap kemungkinan yang tak terduga. Kemudian ia pejamkan mata dan tenangkan pikiran.

Beberapa saat kemudian ia membuka mata dan dapatlah dengan samar2 ia melihat keadaan terowongan rahasia itu. ia coba mengacungkan pedangnya keatas. Tring, ternyata ujung pedangnya telah menyentuh pintu rahasia tadi.

Pintu itu terbuat dari besi baja yang tebal sekali. Sekalipun pedangnya itu juga sebuah pedang pusaka tetapi sukar untuk membobolkan.

Betapapun geram dan bencinya terhadap wanita gemuk itu tetapi Cu Jiang dipaksa oleh kenyataan. Dia tak dapat keluar dari terowongan rahasia itu. Apa boleh buat, dia harus berjuang untuk menghadapi apa yang akan terjadi.

Diam2 diapun mengutuk dirinya sendiri yang karena kurang pengalaman maka sampai tertipu oleh  wanita gemuk itu.

Dengan membulatkan tekad, ia segera menuruni titian, Lebih kurang lima tombak menurun ke bawah, sampailah dia diujung titian yang terakhir. Kini dia berhadapan dengan sebuah jalan yang datar.

Setelah menunggu beberapa saat dan tak terjadi suatu apa, barulah ia melangkah maju. Sekalipun lorong terowongan itu gelap tetapi tak berhawa lembab.

Lebih kurang dua-puluhan tombak berjalan dia membiluk ke sebelah kiri dan tiba2 keadaannya terang benderang. Sinar penerangan itu berasal dari untaian mutiara yang terpancar dari dalam sebuah ruang.

Dalam ruang itu terdapat juga tempat tidur, meja kursi dan lain2 alat perabot.

Berdiri di muka pintu, Cu Jiang masih meragu. Dia tak tahu bagaimanakah sebenarnya maksud wanita gemuk itu terhadap dirinya. Adakah wanita gemuk itu bermaksud baik atau buruk kepadanya.

Sampai beberapa saat tertegun, ia tak melihat sesuatu yang mencurigakan. Karena tiada lain pilihan lagi dan karena ingin tahu, apapun yang akan terjadi ia harus menghadapinya.

Dengan menghunus pedang ia segera melangkah masuk ke dalam ruang. Ternyata kamar itu di hias dengan bersih sekali. Di meja telah disediakan bahan makan dan minuman. Tempat tidur pun lengkap dengan selimut dan bantal. Juga disediakan rak buku dengan beberapa puluh jilid buku bacaan.

Cu Jiang benar2 heran. Selama memasuki kamar rahasia itu, dia tak menjumpai rintangan apa2. Dan keadaan dalam kamar itu tepat seperti yang dikatakan si wanita gemuk. Persedian makanan dan minuman disitu cukup untuk tiga hari.

Apakah dia salah duga terhadap wanita gemuk itu?

Pikirnya.

"Tetapi mengapa dia menolong diriku?" tanya Cu Jiang dalam hati.

Ransum makanan kering dan minuman disitu  jelas bukan baru saja disiapkan. Karena waktu dia menerima Amanat Maut, sampai saat itu hanya berselang beberapa saat saja.

Ah, hanya satu kemungkinan saja. Tentulah wanita gemuk itu memang sudah siap menyediakan kamar rahasia yang dilengkapi dengan ransum makanan untuk menjaga kemungkinan apabila wanita gemuk itu menghadapi bahaya.

Sekalipun ia menduga begitu namun hatinya masih belum yakin. Saat itu dia ibarat burung yang sudah berada dalam sangkar, setiap saat musuh tentu mudah sekali untuk mengambil jiwanya.

Tiba2 ia teringat bahwa pintu di atas tadi terbuat  dari besi baja yang kokoh. Wanita gemuk mengatakan bahwa tiga hari kemudian dia boleh keluar lagi Ah, bagaimana mungkin!

Apabila persedian ransum makanan dan minuman di situ sudah habis, bukankah dia akan mati kelaparan? Apakah wanita gemuk itu memang sengaja hendak membunuhnya secara pelahan?

"Ah, benar, benar," pikirnya, "wanita gemuk tadi telah kelepasan omong, jelas dia tahu akan keadaan keluargaku."

Merenung hal itu diam2 Cu Jiang menggigil. Apa yang di reka dalam dugaannya tadi, hapus semua. Jelas wanita gemuk itu tentu seorang anggauta dari Gedung Hitam.

Diam2 pula Cu Jiang gelisah memikirkan keselamatan ayah bunda dan adik2nya.

Makin merenungkan hal itu makin mendidihlah darah Cu Jiang. Serentak ia menyambar pedang dan terus lari ke luar lagi. Saat itu ia tiba kembali di bawah pintu baja yang gelap tadi. Berulang kali ia berusaha untuk membacok, menabas dan menusuk, namun pintu baja itu tak bergeming sedikitpun juga.

Apa boleh buat, terpaksa dengan rasa kecewa ia kembali lagi ke dalam kamar. Ia duduk termenung-menung.

Tiba2 ia mendapatkan bahwa dalam kamar itu juga  diperlengkapi dengan alat waktu atau jam model kuno,  yang dari tabung kaca yang berisi pasir.

Memang mudah ia untuk mengetahui waktu tetapi tak tahu ia bagaimana nanti peristiwa yang akan menimpa pada dirinya. Entah baik, entah celaka.

Mengeliar pandang ke arah rak buku, timbullah rasa iseng untuk melihat2. Segera ia berbangkit dan menghampiri tempat buku itu, mengambil sejilid dan membacanya. Ia tertawa. Ternyata buku2 yang berada di rak itu terdiri dari kitab Kim-kong-keng, Mi-io-keng dan lain2 pelajaran agama Buddha. "Huh, si gemuk itu rupanya hendak mempelajari agama Buddha agar kelak dia dapat menitis lagi sebagai wanita cantik . ."

Demikian tak terasa persedian bahan makanan telah habis separuh dan menurut alat penghitung waktu, ternyata saat itu sudah tiga hari lamanya dia berada di situ.

Tiga hari rasanya seperti tiga tahun. Harapan Cu Jiang untuk keluar dari situ sudah pudar. Karena hal itu jelas tak mungkin. Tetapi selama hayat masih di kandung badan, manusia tentu selalu berdaya, harapan selalu tergenggam.

Saat itu dia keluar dari kamar dan menuju  ke pintu di atas tadi. Ketika mengamati dengan seksama, hampir saja dia bersorak kegirangan.

Tapi pintu tampak bergurat lubang sehingga sinar dapat memancar masuk. Seketika itu berobahlah pandangannya terhadap wanita gemuk. Ternyata wanita gemuk itu bermaksud baik kepadanya.

Diam2 ia malu sendiri mengapa menduga jelek pada orang yang bermaksud baik. Setelah menyelipkan pedang, dia segera mendaki ke atas. Dengan kedua tangan mulailah ia mengisar pintu itu, ternyata pintu itu dapat bergerak.

Sejenak berhenti ia kerahkan seluruh tenaganya untuk menarik. Pintupun berkisar lagi. Setelah untuk yang ketiga kalinya ia mendorong, terbukalah sebuah lubang yang cukup untuk dimasuki orang.

Girang Cu Jiang bukan kepalang. Selama tiga hari dalam kamar rahasia di bawah tanah, tak pernah ia menduga akan menghadapi peristiwa seaneh itu. Dia mengira pasti akan mati kelaparan dalam kamar di bawah tanah. Serentak ia menerobos ke luar. Tetapi ketika memandang ke sekeliling, kejutnya bukan kepalang. Hampir ia tak percaya apa yang disaksikan saat itu.

Bangunan rumah tiga hari yang lalu ia masuk dan dihantam jatuh ke dalam terowongan oleh si wanita gemuk, saat itu hanya tinggal reruntuhan puing. Dinding rubuh, tiang dan genteng berserakan dimana-mana, hangus terbakar.

Ah, itulah sebabnya pintu baja memancarkan guratan sinar. Ternyata dinding dan tiang kayunya telah terbakar.

Apakah yang telah terjadi?

Apakah wanita gemuk itu yang membakar rumahnya ataukah orang Gedung Hitam yang karena tak berhasil menemukan dirinya ( Cu Jiang ) lalu marah dan membakar rumah makan itu?

Jika wanita gemuk itu yang membakarnya sendiri, jelas tak mungkin. Masakan dia akan menghancurkan rumah makannya sendiri. Tak mungkin pula hanya karena hendak menolong dirinya, wanita gemuk itu lantas membakar rumah makan dan akibatnya tetangga2 yang berdekatan ikut menderita!

Kemungkinan yang paling besar, tentulah gerombolan Gedung Hitam yang melepas api.

Lalu ke manakah wanita gemuk dan para pegawainya?

Apakah mereka mati atau masih hidup?

Berbagai pikiran melalu lalang dalam benak Cu Jiang, Tetapi yang jelas. rumah makan itu telah terbakar habis dan pemiliknya, si wanita gemuk, tentu mengalami derita hebat.

Teringat akan kebaikan budi wanita gemuk kepadanya, Cu Jiang menitikkan beberapa butir air mata. Nadanya yang nyaring dan wajahnya yang cerah berseri dan wanita gemuk itu, terbayang pada pelupuk Cu Jiang.

Sedih dan duka segera berubah menjadi rasa geram dan dendam. Serentak Cu Jiang menengadah dan bersumpah:

"Selama aku masih hidup, aku tentu akan menghancurkan Gedung Hitam, demi menghimpaskan dendam kaum persilatan yang telah menjadi korban keganasannya."

Apabila wanita gemuk itu karena menolong dirinya sampai rumah-tangganya berantakan dan jiwanya melayang, Cu Jiang merasa berhutang budi seumur hidup. Bulat sudah keputusannya, Gedung Hitam tak perlu disingkiri, tetapi harus dihadapi dan dihancurkannya.

Bahkan karena gejolak kemarahannya yang merangsang, saat itu juga ia ingin bertemu dengan orang Gedung Hitam dan mengadu jiwa.

Tetapi sesaat teringat akan ilmu kepandaiannya dan kesaktian dari jago2 Gedung Hitam seperti Liok-poan-koan, mau tak mau menurunlah kemarahannya.

Akhirnya ia memutuskan untuk segera tinggalkan tempat itu karena dikuatirkan orang2 Gedung Hitam masih berkeliaran di sekitar tempat itu. Dengan mudah mereka pasti akan mengenali dirinya. Dan apabila mereka sampai memergoki dan menyerangnya, bukankah dia akan mati dengan sia2.

Dia mati sih tak apa, tetapi dendam darah dari wanita gemuk yang telah mengorbankan jiwanya itu, tentu tak dapat terhimpas selama-lamanya.

Setelah menutup pintu rahasia itu, ia segera mengayunkan langkah dengan perasaan yang sukar dilukiskan. Tak lama ia segera berada di tengah kerumunan orang2 yang di sekeliling jalan. Ia berusaha untuk mendengarkan berita tentang kebakaran rumah makan itu. Tetapi pembicaraan mereka hanya simpang siur tak keruan, sukar untuk menemukan jejak. Kebanyakan mereka tak tahu kejadian yang sebenarnya dan hanya menduga-duga saja.

Sekonyong-konyong muncul lima penunggang kuda bulu hitam yang dengan cepat tiba di jalan tempat orang2 berkerumun menyaksikan kebakaran itu. Yang empat berpakaian warna hitam, membekal pedang. Sedang yang seorang seorang baju hitam.

Orang2 itu segera menyingkir. Ketika tiba di tempat kebakaran, kelima penunggang kuda itu berhenti.

Cu Jiang sebenarnya hendak segera melanjutkan perjalanan. Ia telah memperhitungkan bahwa waktu yang telah dijanjikan kepada kedua orang tuanya sudah lewat. Ia harus buru2 pulang agar mereka jangan gelisah.

Tetapi ketika melihat kedatangan kelima penunggang kuda itu, ia batalkan maksudnya dan tetap berada di situ. Ia ingin tahu siapa mereka berlima dan apa yang hendak mereka lakukan.

Tampak lelaki tua berbaju hitam berbicara asyik sambil menuding kian kemari dengan keempat orang baju hitam. Karena jaraknya jauh, entah apa yang dibicarakan mereka Cu Jiang tak dapat menangkap.

Beberapa saat kemudian salah seorang penunggang kuda baju hitam. tiba2 turun dari kudanya, mencabut pedang lalu menabas lehernya sendiri.

Sekalian orang yang berkerumun disitu, menjerit kaget. Darah menyembur dan rubuhlah orang itu. Sudah tentu orang2 terkejut menyaksikan pertunjukan bunuh diri itu. Bahkan yang nyalinya kecil terus ngacir pergi.

Cu Jiang juga terkejut. Siapa kelima penunggang kuda baju hitam yang dandanan seperti kaum bu su (persilatan) itu? Dan mengapa salah seorang memenggal lehernya sendiri?

Seorang penunggang kuda yang lain lalu turun dari kudanya, mengangkat tubuh kawannya yang bunuh diri itu ke atas kudanya, mengusainya erat2. Setelah lelaki tua itu memberi isyarat, mereka lalu melanjutkan perjalanan lagi.

Peristiwa itu masih meninggalkan kesan dan menjadi pembicaraan yang ramai dari orang2 yang masih berkerumun disitu.

Tiba2 bahu Cu Jiang ditepuk orang dari belakang. Ia terkejut dan cepat berpaling. Seorang paderi jubah kelabu berada di belakangnya dan tengah memandangnya dengan mata berkilat-kilat.

Cu Jiang mengisar ke samping lalu cepat ber putar tubuh, "Cianpwe, apa yang cianpwe hendak katakan

kepadaku?"

Paderi tua jubah kelabu itu berkata dengan suara sarat: "Lekas ikut loni!" habis berkata paderi tua itu terus

ayunkan langkah tinggal tempat itu.

Cu Jiang meragu. Ia belum kenal dengan paderi tua itu dan belum tahu dari aliran mana. Mengapa paderi tua itu menyuruh dia mengikutinya ? Apakah dia juga seorang anggauta Gedung Hitam ?

Teringat akan Gedung Hitam, seketika meluaplah kemarahan Cu Jiang. Serentak ia menyusul. Paderi tua Itu tak mau berpaling untuk melihat apakah Cu Jiang mau menurut perintahnya atau tidak. Dia tetap berjalan cepat ke muka seolah percaya bahwa Cu Jiang tentu akan menyusulnya.

Cu Jiang mengikuti pada jarak lima tombak dibelakang paderi tua itu.

Paderi tua itu ternyata tak mau mengambil jalan besar melainkan menyusur jalan kecil dan gang. Tak lama tibalah mereka disebuah tempat sepi dekat tembok kota.

Tiba2 paderi tua itu berpaling kearah Co Jiang lalu loncat keatas tembok dan melayang turun diluar tembok.

Tempat itu merupakan bagian ujung kota Li-Jwan yang paling sepi. Paderi tua itu tetap lanjutkan berjalan menuju ke sebuah tempat yang lebih sepi. Cu Jiang terpaksa mengikutinya.

Tak berapa lama mereka tiba disebuah hutan  dan barulah paderi tua itu berhenti.

Dengan hati2 Cu Jiang berhenti juga. Ia tetap menjaga jarak lima tombak dari paderi tua itu dan bersiap-siap.

Memandang lekat kearah pemuda itu, paderi tua menganguk-angguk kepala dan berkata.

"Benar2 seorang bahan yang sukar dicari keduanya !"

Cu Jiang terkesiap. "Mohon tanya, siapa cianpwe ini?" serunya. "Loni adalah Go-leng-cu."

"Tokoh kedua dari Bu-lim Sam-cu?"

"Benar, pengetahuan sicu cukup luas !" sahut paderi tua itu.

"Apakah maksud cianpwe memanggil aku kemari ?" Wajah Go-leng-cu mengerut serius, serunya. "Siau-sicu, engkau bernyali besar sekali."

"Apa maksud cianpwe ?" Cu Jiang terkejut.

"Tahukah sicu, apa artinya peristiwa berdarah di tanah lapang bekas kebakaran tadi?"

Soal itulah yang menarik perhatian Cu Jiang. Dia memang hendak mengetahui peristiwa itu. Kecurigaannya terhadap paderi tua yang dikiranya anggauta Gedung Hitam tetapi ternyata salah seorang tokoh dari Bu-lim Sam cu atau Tiga-serangkai-paderi yang memakai nama gelar Cu, kini mulai lenyap.

Iapun teringat akan Thian-hian cu yang pada beberapa hari yang lalu telah menolong dirinya dari serangan Liok- poan-koan, tokoh Gedung Hitam yang menjabat sebagai Hu-hwat atau pelindung hukum dari gerombolan itu.

Thian-hian cu adalah tokoh ketiga dari Bu-lim Sam-cu, sedang Go-leng cu yang berada dihadapannya saat itu adalah tokoh kedua.

"Harap cianpwe suka memberi penjelasan."

"Lelaki tua berpakaian hitam tadi adalah Kho Kun bergelar Bu-ceng-thay-swe atau Pangeran tak berperikemanusian. Keempat penunggang kuda tadi adalah pengikutnya yang di sebut Pengawal hitam."

"Pengawal Hitam?"

"Engkau belum pernah mendengar?" "Belum."

"Pengawal Hitam merupakan pengawal berani mati dari Gedung Hitam. Kepandaian mereka rata2 hebat dan ganasnya bukan main..." "Ho, kiranya kaki tangan Gedung Hitam." seru Cu Jiang dengan mata melotot.

"Ko Kun si Pangeran-ganas itu adalah seorang toa- thaubak (kepala) barisan Pengawal Hitam dari Gedung Hitam . . ."

"Mengapa Pengawal Hitam tadi bunuh diri?" tanya Cu Jiang pula.

"Karena tak dapat melakukan tugas!" "Tugas apa?"

"Membunuhmu!"

Cu Jiang serentak loncat ke muka paderi tua itu dan menegas: "Karena gagal membunuh aku?"

"Benar," sahut Go-leng-cu, "peristiwa itu merupakan yang pertama kali di mana Amanat Maut dari Gedung Hitam telah menemui kegagalan!"

"Karena tak dapat membunuh korbannya, Pengawal Hitam itu harus bunuh diri?"

"Itu peraturan Gedung Hitam!"

"Tahukah cianpwe siapa pemimpin Gedung Hitam?" "Ini . . . mungkin tiada seorang persilatan yang tahu." "Mengapa rumah makan itu terbakar?"

"Api yang aneh."

"Api ajaib?" Cu Jiang mengulang.

"Benar, karena tak di ketahui siapa yang melepas  api itu."

Diam2 Cu Jiang menimang. Adakah karena hendak menolong dirinya maka wanita gemuk itu rela membakar rumah makannya sendiri? Jika benar begitu, ah betapa besar pengorbanan wanita gemuk itu terhadap dirinya.

Padahal perkenalan mereka hanya sebagai langganan saja, mengapa wanita gemuk itu sampai rela berkorban sedemikian besar?

"Cianpwe, mengapa cianpwe tahu hal itu?" akhirnya ia bertanya.

Dari pembicaraan kawanan Pengawal Hitam, kutahu bahwa api itu bukan mereka yang melepas," sahut Go-leng- cu.

"Tahukah pula cianpwe, siapa saja yang mati dalam kebakaran itu?"

"Entah, loni kurang jelas."

"Mengapa cianpwe tahu akan keadaanku?"

"Dari pembicaraan mereka yang menyebut tentang seorang pelajar baju putih, siapa lagi kalau bukan engkau?"

Cu Jiang mengangguk.

"Seluas seratus li di sekeliling daerah ini, penuh dengan anak buah Gedung Hitam yang sedang mencarimu. Engkau sungguh berani mati sekali karena berani mengunjuk diri . .

. . "

"Terima kasih atas petunjuk cianpwe." kata Cu Jiang. "Tak usah, itu jodoh namanya."

Mendengar kata "jodoh" serentak teringatlah Cu-Jiang akan Thian hian-cu yang juga mengatakan hal itu kepadanya.

Bu-lim Sam-cu merupakan tokoh sakti yang termasyhur pada masa itu. Banyak orang persilatan yang ingin bertemu muka dengan mereka tetapi gagal. Diam2 Cu Jiang merenung, apakah di balik kata jodoh" dari Go leng cu itu mengandung maksud tertentu kepadanya.

"Benar, memang berjodoh," katanya.

"Dari perguruan manakah sicu." tanya Go-leng-cu. "Didikan keluarga sendiri."

"O, siapakah ayah sicu?"

"Hal ini, maaf, aku tak dapat memberitahu kan."

"Kalau memang tak leluasa, tidak apalah, tak usah engkau katakan. Karena sicu sudah mengakui  tentang jodoh itu maka tentulah sicu akan menurutkan garis jodoh itu."

"Garis jodoh?" "Ya."

"Harap cianpwe suka menjelaskan."

Go-leng-cu berhenti sejenak lalu berkata dengan tandas: "Dengan memiliki seperangkat tulang yang begitu bagus,

sicu kelak dapat menjadi jago nomor satu dalam dunia!"

Mendengar itu tahulah Cu Jiang kemana arah ucapan paderi tua itu. Jelas paderi itu juga mempunyai maksud sama dengan Thian-hian-cu tempo hari. Maka tanpa ragu2 lagi, dia segera tersenyum:

"Apakah di dunia ini terdapat jago nomor satu?" Dengan wajah bersungguh Go-leng-cu menjawab:

"Sudah tentu ada. Dengan memiliki ilmu kepandaian yang tinggi setiap orang dapat menjadi jago nomor satu. Tetapi apa yang di sebut nomor satu itu, hanyalah berlaku untuk satu masa yang tertentu, menunjukkan suatu perbuatan yang cemerlang untuk menundukkan sekalian jago2 silat."

Mendengar penjelasan itu, diam-diam Cu Jiang tertawa. Walaupun penjelasan itu memang mempunyai landasan tetapi tampaknya seperti dipaksakan. Ayahnya sendiri bukankah juga jago nomor satu dalam dunia persilatan? Mengapa sekarang harus menyingkir dari musuh- musuhnya?

Dengan begitu bukankah musuh-musuhnya itu lebih unggul dari jago nomor satu? Jika begitu tidakkah lebih pantas kalau musuhnya itulah jago yang nomor satu?

Lalu masih pula pemimpin dari gedung Hitam itu.

Tergolong nomor berapakah dia itu?

Walaupun dalam hati berpikir begitu tetapi Cu Jing tetap berkata: "Ucapan cianpwe memang benar. "

"Jika begitu bukankah sicu ingin menjadi jago nomor satu dalam dunia?" seru Go leng-cu.

"Ah, aku tak berani mengharapkan hal semacam itu." "Bukan mengharapkan tetapi hanya tergantung sicu mau

atau tidak." seru Go-lang-cu. "Maksud cianpwe. . ."

"Sicu dapat berjumpa dengan loni, sudah suatu jodoh yang luar biasa," seru Go leng-cu pula.

Diam2 Cu Jiang membatin: "Dalam kalangan Bu-lim Sam-cu, tokoh yang pertama Gong-gongcu paling tinggi kepandaiannya. Baik dalam ilmu sastera maupun silat dan lain2 pengetahuan, dia memang mempunyai kelebihan dari orang lain.

Sedang kedua tokoh yang lainnya belum tentu lebih unggul dan ayah Cu Jiang sendiri. Mampukah tokoh kedua Go-leng cu itu menggembleng seorang murid yang kelak akan menjadi calon jago nomor satu dalam  dunia persilatan?

Tetapi Go-leng-cu mempunyai maksud baik terhadap dirinya. Cu Jiang tak mau membuat dia kecewa.

"Budi kebaikan cianpwe. kuterima dengan rasa terima kasih yang tak terhingga," akhirnya ia berkata.

"Engkau . . . engkau tidak mau ?" seru Go-leng-cu. "Bukan tak mau melainkan tak dapat."

"Mengapa ?"

"Kaum persilatan menarik garis tajam antara perguruan yang satu dengan yang lain." sahut Cu Jiang.

"Soal itu ?" kata Go-leng-cu, "loni tiada partai merk perguruan apa2 dan tak ada suatu ikatan sebagai guru dan murid."

Ci Jiang sudah mengambil ketetapan.

"Karena aku sudah mendapat pelajaran dari ayahku sendiri, aku tak berani melanggar peraturan maka dengan menyesal terpaksa tak dapat menerima budi kebaikan cianpwe."

Wajah Go-leng cu segera menampilkan kerut kecewa. Ia memandang lekat2 pada Cu Jiang untuk beberapa saat, kemudian berkata:

"Apakah sicu tak perlu mempertimbangkan lagi ?" "Maafkan kalau aku berlaku kurang hormat kepada

cianpwe karena tak dapat menuruti perintah cianpwe !"

"Tahukah sicu bahwa dunia persilatan bakal menghadapi kekacauan besar ?" tanya Go-leng cu. "Apakah cianpwe maksudkan... gerombolan-2 Gedung Hitam itu?"

"Yang kuat akan bersimaharajalela!" "Maaf, aku tak mengerti maksud cianpwe."

"Thian telah memberkahi diri sicu dengan seperangkat tulang yang bagus. Suatu bahan yang apabila ditempa tentu akan berguna sekali. Dunia persilatan di Tionggoan akan mengalami kehancuran. Maka harus ada suatu bibit baru yang tumbuh dan bersemi agar dapat membangun lagi sebuah dunia persilatan yang baru dan jaya lagi. Adakah sicu bersedia untuk berkorban demi kepentingan itu?"

"Jika ada kesempatan, sudah tentu aku akan mengerahkan tenagaku," jawab Cu Jiang.

"Mengapa sicu menolak maksudku?"

"Mohon cianpwe suka memberi maaf kepadaku."

Go leng-cu mengucap doa Omitohud, lalu berkata pula: "Umat Buddha memandang penting soal "jodoh" itu.

Loni tetap akan menunggu saat tibanya jodoh itu dan untuk sementara akan pergi. Sebelum pergi, loni perlu memberi peringatan kepada sicu, sebaiknya sicu harus menyembunyikan jejak sicu agar jangan diketahui orang."

Cu Jiang memberi hormat dan menghaturkan terima kasih kepada paderi tua itu.

Sejenak memandang pemuda itu lagi, Go-leng-cu segera ayunkan langkah. Setelah paderi tua itu lenyap dari pandang mata, barulah Cu Jiang melanjutkan langkah masuk ke hutan. Keluar dari hutan, dia berhadapan dengan deretan puncak gunung.

Seketika wajah pemuda itu ber seri2. Ditempat belantara yang berkabut rimba hijau itulah tempat kediaman dari kedua orang tuanya. Kegembiraannya me luap2 laksana burung yang terbang pulang ke sarangnya. Bahkan untuk mencurahkan kegembiraannya, ia bersenandung.

Sesaat kumandang senandung lenyap, sesosok bayangan melintas dan menghadang di hadapannya.

Cu Jiang terkejut dan hentikan langkah. Lebih terkejut lagi ketika melihat orang itu.

Dari atas kepala sampai kaki, terbungkus dengan kain hitam. Mengenakan ikat kepala kain hitam, pakaian hitam, mantel hitam dan bahkan sepatunyapun hitam.

"Pengawal Hitam !" teriak Cu Jiang seketika. Seketika meluaplah dendam kemarahan pemuda itu. Tangannyapun cepat meraba tangkai pedang.

"Ho, budak, tiada seorang manusia yang mampu lolos dari Amanat Maut !" dengus Pengawal Hitam dengan nada seram.

Tring, Cu Jiang mencabut pedang dan menjawab dengan geram.

"Akan kubasmi kalian kawanan anjing2 ini !" Pengawal Hitam juga mencabut pedang dan berseru:

"Budak, jangan ngoceh tak karuan. Sekarang beritahukan dulu asal usulmu agar dapat kuberi putusan !"

"Jangan harap ."

"Baik, engkau memilih bunuh diri atau perlu kubunuh ?" "Jangan menggongong seperti anjing gila!"

"Akan ku belah tubuhmu " secepat kilat menyambar,

sinar pedang segera mengancam ke tubuh Cu Jiang.

Cu Jiang benci sekali kepada kawanan Gedung Hitam. Dengan menyeringai dia segera menangkis dengan pedangnya, Tring, tring, tiing denting menghambur, letik

bunga api segera disusul dengan kedua sosok tubuh yang masing2 menyurut mundur.

Pengawal Hitam sejenak memeriksa pedangnya. Ternyata batang pedangnya telah berhias tiga buah lubang. Wajahnya makin seram.

"Bagus, budak, kiranya engkau hendak mengandalkan punya pedang pusaka !"

Tetapi Cu Jiang tak mau menyahut melainkan taburkan pedangnya menyerang lagi.

Keduanya segera terlibat dalam pertempuran yang dahsyat. Dalam beberapa kejap saja sudah sepuluh jurus lebih tetapi ternyata masih berimbang.

Diam2 Cu Jiang terkejut. Hanya seorang Pengawal Hitam saja ternyata sudah sedemikian tinggi kepandaiannya. Tak heran kalau Gedung Hitam dapat menguasai dunia.

Diam ia malu dalam hati karena teringat  akan ucapannya hendak membasmi gerombolan Gedung Hitam. Kata2 itu tak lebih seperti orang bermimpi disiang hari.

Tiba2 muncul pula dua orang Pengawal Hitam, Melihat itu diam2 Cu Jiang mengeluh. Serentak ia keluarkan ilmu permainan warisan keluarganya ...

"Aihhh" terdengar sebuah pekik ngeri dan Pengawal Hitam itupun terhuyung mundur tiga langkah lalu jatuh terduduk di tanah. Dadanya sebelah kiri berhias  sebuah luka sepanjang sejari. Darah merah mengucur deras.

Melihat itu, kedua Pengawal Hitam yang baru  muncul itu sempat menyerang dari kanan dan kiri. Cu Jiang kembali menyambut dengan sebuah jurus istimewa.

"Auhh .... " salah seorang Pengawal Hitam itu sempoyongan ke belakang sedang kawannya terlongong- longong.

Cu Jiang sudah terlanjur mengumbar kemarahannya. Cepat ia menusuk Pengawal Hitam yang tercengang- cengang itu.

Tiing . . . ., Pengawal Hitam itupun terhuyung kebelakang sampai tiga langkah.

"Serahkan jiwamu !" teriak Cu Jiang seraya menyerang dengan jurus istimewa lagi.

"Auhhhh..." terdengar jerit teriakan ngeri berkumandang memecah kesunyian dan Pengawal Hitam itupun rubuh mandi darah dan putus jiwanya.

Hawa pembunuh sudah berkobar dalam dada Cu Jiang. Segera ia membabat Pengawal Hitam yang masih duduk di tanah tadi. Dan seiring dengan jeritan ngeri, Pengawal Hitam itupun melayang jiwanya.

Melihat itu Pengawal Hitam yang menderita luka ringan tadi segera berputar tubuh terus melarikan diri.

Tetapi jurus yang dimainkan Cu Jiang itu telah menguras tenaganya. Dia masih muda dan belum memiliki dasar tenaga-dalam yang kokoh. Sehabis mengeluarkan jurus istimewa itu, tenaganyapun habis. Dengan menyanggahkan pedangnya ke tanah ia berdiri dengan napas terengah2. Dia tak mampu mengejar Pengawal Hitam yang melarikan diri itu.

"Kembali !" terdengar sebuah teriakan nyaring terdengar dari samping Cu Jiang. Cu Jiang terkejut dan berpaling. Kejutnya bukan kepalang. Seorang Pengawal Hitam tua dengan dikawal empat orang Pengawal Hitam, entah kapan datang, tiba2 muncul ditempat itu.

Pengawal Hitam tua itu bermulut runcing, mata menonjol dan wajah seram. Menilik pakaiannya dia tentulah golongan thau-bak dari Gedung Hitam.

Pengawal Hitam yang melarikan diri tadi segera berhenti dan kembali menghampiri.

Pengawal! Hitam tua itu sejenak memandang Cu Jiang, mulutnya segera menyeringai seram.

Diam2 Cu Jiang terkejut. Ia merasa tenaganya yang telah habis itu belum dapat kembali lagi dengan  cepat. Bagaimana mungkin menghadapi kelima Pengawal Hitam yang sakti itu. Jelas tak mungkin. Bahkan berhadapan dengan seorang saja, mungkin dia hanya dapat bertahan selama tiga jurus saja.

Pengawal Hitam yang lari dan di panggil kembali tadi, dengan wajah pucat lesi menghadap Pengawal Hitam tua dan memberi hormat.

"Hormat kepada Ong thaubak!" "Ya."

"Budak itu memiliki kepandaian yang diluar dugaan kami sekalian. . ."

"Tutup mulut !" bentak lelaki tua yang di panggil Ong thau bak itu," tahu engkau melanggar pasal berapa dari peraturan markas kita?"

"Hamba berdosa, mohon thaubak "

"Bilang, pasal ke berapa?" bentak kepala Pengawal  Hitam itu. Bluk, anggauta Pengawal Hitam itu segera  menekuk lutut di hadapan Ong thaubak dan berkata dengan tersendat-sendat:

"Pasal ke lima!"

"Apa bunyi pasal kelima itu?"

Dahi Pengawal Hitam itu mulai mengucurkan keringat sebesar kedelai, kemudian ia menunduk dan berkata dengan nada gemetar:

"Mohon thaubak "

"Engkau menghendaki aku supaya melindungi engkau?" tegas thaubak yang bermulut lancip itu.

"Ah, hamba tak berani." "Sebutkan bunyi pasal itu!"

"Takut kepada musuh . . . dan melarikan diri mati!"

"Bagus, engkau sudah menentukan pilihan?" "Thaubak "

Thaubak itu berpaling kepada Pengawal Hitam yang berada di sampingnya. Dan Pengawal Hitam itu  terus loncat ke muka, menusuk punggung Pengawal Hitam yang berlutut tadi.

"Auhhhh!" Pengawal Hitam itu menjerit rubuh tak bernyawa.

Pengawal Hitam yang melaksanakan hukuman itu, mengusapkan pedangnya yang berlumur darah ke tubuh korbannya lalu kembali ke tempat semula, seolah tak terjadi apa2.

Menyaksikan peristiwa itu kepala Cu Jiang berdenyut keras. Sudah dua kali ia melihat kekejaman gerombolan Gedung Hitam yang tak punya perikemanusian. Jika terhadap kawan sendiri begitu kejam, apalagi terhadap lain orang.

Thaubak bermulut lancip itu memberi isyarat: "Di sini sudah beres, bawa mayat itu pulang!"

Keempat Pengawal Hitam mengiakan. Mereka segera membawa mayat kawannya pergi.

Diam2 Cu Jiang heran. Mengapa si mulut lancip mengatakan disitu sudah beres? Apa maksudnya?

Setelah pengiringnya pergi barulah thaubak atau kepala kelompok Pengawal Hitam beralih pandang ke arah Cu Jiang.

"Cu sauhiap, sungguh beruntung kita dapat bertemu, " tiba2 thaubak itu memberi hormat dan berseru.

Sudah tentu Cu Jiang seperti dipagut ular kejutnya.

Bagaimana dia tahu kalau dirinya orang she Cu.

Sampai beberapa jenak ia tertegun dan tak dapat menjawab.

Thaubak itu tertawa gelak2, serunya:

"Aku Ong Tiong Ki, menjabat thaubak dari Gedung Hitam. Adakah ayah dan mamah sauhiap baik2 saja?"

Cu Jiang makin terbeliak.

"Aku bukan orang she Cu," akhirnya ia mendapat pikiran untuk menyangkal.

Sekali lagi Ong Tiong Ki itu tertawa gelak2. "Ah, mengapa siauhiap tak mau mengaku?"

"Berdasar apa anda mengatakan begitu?" balas Cu Jiang. "Secara beruntun sauhiap telah membunuh tiga anggauta Pengawal Hitam. Dan yang sauhiap gunakan itu adalah ilmu pedang It-kiam-tui-hun, bukan?"

It-kiam-tui-hun artinya Pedang-pemburu nyawa. Mendengar itu seketika berobahlah muka Cu Jiang.

Namun ia berusaha untuk menenangkan diri.

"Ilmu silat dalam dunia itu beraneka ragam tetapi tetap tak meninggalkan sumbernya. Hampir mirip dan terdapat banyak bagian2 yang sama.. ."

Kembali Ong Tiong Ki tertawa geli.

"Siauhiap, ilmu pedang It-kiam-tui-hun itu sudah diketahui oleh setiap orang persilatan bahwa penciptanya adalah Dewa-pedang Cu Beng Ko, jago nomor satu dalam dunia persilatan.. Dan di ketahui orang pula bahwa Dewa- pedang Cu Beng Ko itu tak pernah mempunyai murid. Itulah sebabnya dengan mudah aku segera dapat mengenali diri sauhiap!"

"Ah, mungkin anda salah duga," Cu Jiang.

"Dunia akan geli apabila si Mata-jeli Ong Tiong Ki ini sampai salah lihat!"

Saat itu Cu Jiang rasakan tenaganya sudah agak pulih. Apabila ia dapat mengulur waktu, tentulah ia akan lebih kembali lagi tenaganya. Untung lawan sudah menyuruh pergi pengiringnya. Maka ia segera tertawa datar.

"Dugaan anda seolah hampir mendekati tetapi kenyataannya masih jauh sekali," serunya.

"Sikap dan wajah sauhiap menyerupai Dewa pedang Cu Beng Ko, lalu apa kata sauhiap lagi?"

"Baru kali ini aku mendengar orang berkata begitu!" sahut Cu Jiang. "Cu sauhiap..."

"Apakah anda tetap memastikan aku ini orang she Cu?" tukas Cu Jiang.

"Rasanya takkan salah," seru Ong Tiong Ki, "dalam hidupku aku sangat mengagumi Dewa-pedang Cu Beng Ko, sayang karena tiada rejeki, aku tak berjodoh untuk bertemu muka. Tetapi rupanya keinginanku dikabulkan juga oleh Thian karena saat ini aku dapat berjumpa dengan Cu siauhiap. Maukah Cu siauhiap membawa aku menghadap ayah sauhiap?"

Cu Jiang menyadari bahwa karena menghindari musuh maka ayahnya sampai beberapa kati pindah tempat. Tak mungkin ia terpikat oleh Ong Tiong Ki yang belum dikenalnya.

Ia gelengkan kepala:

"Anda salah faham. Tak tahu aku bagaimana harus memberi penjelasan kepada anda."

Tampaknya Ong Tiong Ki masih bersikap sabar. Dengan lemah lembut ia berkata pula:

"Apakah karena aku menjadi anggauta Gedung Hitam maka sauhiap menolak membawa aku kepada ayah sauhiap?"

"Anda benar2 salah faham. Aku bukan putera dan Dewa-pedang!" cepat Cu Jiang menukas.

"Lalu dari mana asal usul sauhiap ini?"

"Soal itu maaf, aku tak dapat memberi tahu." Tiba2 wajah Ong Tiang Ki mengerut gelap.

"Orang she Cu, aku Ong Tiong Ki, bukan orang yang mudah dipermainkan!" serunya dengan bengis. Diam2 Cu Jiang geli karena akhirnya orang itu tak dapat menahan diri dan menampakkan dirinya yang asli. Diam2 Cu Jiang telah mengerahkan tenaga dan dapatkan bahwa tenaganya sudah sembilan bagian pulih. Kegagahannyapun timbul lagi.

"Anda bicara menurut seenak lidah anda sendiri saja." serunya.

Wajah suara dari Ong Tiong Ki makin seram. "Bagus. budak. engkau benar2 tak tahu diri:" Sambil cebirkan bibir, Cu Jiang menyahut: "Kenal diripun tak perlu memberitahu kepadamu!"

"Budak, engkau benar2 tak tahu diri. Berani melindungi dara cantik yang hendak ditangkap perhimpunan Gedung Hitam. Kemudian berani menentang Amanat-maut dan sekarang engkau berani membunuh tiga orang Pengawal Hitam. Tahukah engkau bagaimana engkau harus mati?"

Cu Jiang deliki mata. serunya: "Menurut anda, bagaimana aku harus mati?"

"Tulang belulang di cacah2 dan dagingmu dijadikan makanan anjing."

"Kentut!" "Lihat sajalah!"

Tring, si Mata-jeli Ong Tiong Ki terus mencabut pedang. seketika suasana penuh diliputi hawa pembunuhan.

Diam2 Cu Jiang telah menghimpun seluruh tenaganya  ke arah pedang. Dia mengharap dengan jurus istimewa akan dapat menundukkan lawan.

Sepasang mata Ong Tiong Ki yang menonjol, tampak memancarkan sinar yang tajam. Kemudian pedangnya pelahan lahan di angkat ke atas. Dengan pembukaan itu jelas dia telah memandang Cu Jiang seperti seorang lawan yang tangguh. Tak berani ia meremehkan anak muda itu.

Cu Jiang juga tampak serius sekali. Ia menyadari bahwa kalau tak mampu menundukkan lawan dengan ilmu pedang simpanannya, akibatnya tentu runyam sekali.

Terdengar kedua orang itu serempak memekik keras, dan sesaat kemudian di susul oleh dering senjata beradu.

Cepat sekali serangan itu berlangsung dan pada lain saat keduanyapun segera mundur dua langkah ke belakang. Terdengar napas mereka memburu keras.

Bahu sebelah kiri dari si Mata jeli  Ong Tiong Ki berlumuran darah merah. Tetapi lukanya hanya bagian luar saja.

Cu Jiang terkejut sekali. Jurus yang dilancarkan itu, merupakan jurus terhebat dari ilmu pedang It-kiam-tui- hong. Tetapi ternyata hanya mampu membuat musuh terluka ringan saja.

Ong Tiong Ki tertawa menyeringai.

"Hai, budak, engkau benar2 berisi. Sayang belum sempurna. Jika serangan tadi dimainkan oleh Dewa-pedang Cu Beng Ko, saat ini aku pasti sudah jadi mayat !"

Apa yang dikatakan orang itu memang benar. Cu Jiang memang belum dapat mencapai tataran yang tinggi dalam ilmu pedang ajaran ayahnya itu. Sudah tentu kesaktian dari ilmu pedang itu jauh berkurang sekali perbawanya.

Cu Jiang diam2 bingung. Ia merasa tenaga-dalamnya mulai berkurang lagi. Memang tampaknya ia masih tetap tenang2 saja agar lawan jangan mengetahui kelemahannya.

Saat itu Ong Tiong Ki mulai maju lagi. Setelah jaraknya cukup untuk menyerang, segera ia menggembor keras dan mulai menyerang lebih dulu.

Dengan mengertek gigi, Cu Jiang kerahkan sisa tenaganya. Ia tetap menggunakan ilmu pedang It kiam-tui- hun untuk bertahan dan menyerang.

"Huh . . ." terdengar desah tertahan dan tubuh Cu Jiang sempoyongan ke belakang, pedangnya hampir terlepas.

Ong Tiong Ki tertawa mengejek.

"Budak, kiranya kepandaianmu hanya begitu saja!" serunya. Lalu menyerang lagi.

Cu Jiang sudah tak mempunyai tenaga untuk menangkis lagi. Ia mengisar langkah kesamping untuk menghindar.

Tetapi setelah serangannya itu luput, Ong Tiong Ki tetap mengejarnya dan menghujani lagi serangan yang lebih gencar.

"Auh !" terdengar desuh mengerikan. Cu Jiang menderita tiga buah luka. Bahu kiri, dan dada kiri kanan. Pakaiannya yang putih segera berlumuran darah merah.

Ong Tiong Ki maju selangkah dan lekatkan ujung pedang pada dada Cu Jiang. Dengan gembira ia tertawa mengekeh.

"Ho, budak, sekarang bukankah engkau melihat buktinya?"

Cu Jiang meraung seperti singa terluka:

"Ksatria rela dibunuh daripada dihina. Hayo bunuhlah !" "Ah, tidak seenak itu."

"Apa maksudmu ?" "Sebelum tahu siapa dirimu, memang engkau tentu kubunuh. Tetapi setelah tahu engkau ini putera dari Dewa- pedang Cu Beng Ko, maka lain lagi urusannya."

"Maksudmu ?"

"Sudah tujuh delapan tahun Cu Beng Ko menyembunyikan diri. kali ini dia mau tak mau harus  keluar !"

Cu Jiang meraung lalu muntah darah. "Budak, ayo jalan!" bentak Ong Tiong Ki. "Tidak bisa," suruh Cu Jiang pelahan.

"Jangan engkau membawa kemauanmu sendiri !" "Kalau mau bunuh, bunuhlah "

"Sekarang belum dapat membunuhmu. Pohcu (pemimpin) kami tentu akan gembira sekali menyambut kedatanganmu !"

Cu Jiang terkejut. Adakah musuh yang  dihindari ayahnya itu ternyata pemimpin Gedung Hitam ?

"Siapa poh-cu kalian itu?" tanyanya. "Engkau tak pantas bertanya begitu !"

"Kalau aku masih dapat hidup, hinaanmu saat ini, kelak tentu akan kubalas!"

"Hahaha," Ong Tiong Ki mengekeh," budak, rupanya engkau bermimpi."

Tiba2 mengangkat tangan dan melentikkan jarinya. Dia gunakan ilmu menutuk dari jarak jauh dan tepat mengenai jalan darah Jien-ma-hiat (pelemas) pada tubuh Cu Jiang. Anak muda itu serentak rubuh. Ong Tiong Ki menyarungkan pedangnya lagi lalu berseru.

"Budak, mari kita jalan !" ia terus mencengkeram tubuh Cu Jiang.

Cu Jiang masih dapat mendengar dan melihat tetapi tak dapat berkutik. Ia hanya deliki mata memandang Ong Tiong Ki tetapi tak dapat berbuat apa2. Betapa kemarahan dan penderitaan hatinya saat itu, benar2 sukar dilukiskan.

Sekonyong-konyong dari jauh terdengar suara kuda meringkik. Ong Tiong Ki pasang telinga lalu menggeram marah:

"Hm, setan mana yang berani mengganggu kudaku itu !"

Ia terus lepaskan tubuh Cu Jiang dan lari menuju kearah suara itu. Baru saja orang itu pergi, Cu Jiang segera mencium bau yang harum dan tahu2 ia rasakan tubuhnya diangkat orang lalu dibawa lari masuk ke dalam hutan.

Saat itu tubuh Cu Jiang masih lemas. Dia tak dapat berkutik sama sekali. Ia tahu bahwa yang menolong dirinya itu tentu seorang gadis tetapi ia tak berdaya untuk melihat wajah penolongnya itu.

Beberapa kejap kemudian, mereka sudah terpisah beberapa li dari tempat tadi. Hutan itu sebuah hutan belantara yang lebat sekali sehingga tak tertembus sinar matahari.

Cu Jiang diletakkan diatas sebuah tumpukan daun kering yang lembut dan sesaat kemudian terdengar suara seorang wanita berseru:

"Siau Hui, bukalah jalan darahnya yang tertutuk itu !"

Terdengar seorang gadis yang berada dekat di sampingnya berseru: "Nona, mengapa engkau melakukan hal Ini ?"

"Entah, aku sendiri juga tak tahu." sahut suara yang merdu.

"Apabila hal ini sampai tersiar..."

"Hanya aku dan engkau yang tahu, siapa yang akan membocorkan lagi?"

"Tetapi . . ."

"Sudahlah, jangan membantah, lekas engkau bebaskan jalan darahnya."

"Baiklah."

Setiap angin membentur tubuh Cu Jiang dan seketika itu dia rasakan tubuhnya ringan sekali menggeliat ia terus melenting bangun.

Ternyata dihadapannya terdapat seorang dara baju hijau, usianya di antara enam  belas tahun. Dara  itu tengah tersenyum kepadanya.

Cu Jiang buru2 memberi hormat:

"Terima kasih atas pertolongan nona." Dara itu tertawa mengikik.

"Namaku Siau Hui, jangan berterima kasih kepadaku, tetapi berterima kasihlah kepada nonaku." katanya seraya menunjuk ke samping.

Menurutkan arah yang  ditunjuk dara itu, Cu Jiang berputar tubuh dan ah ia terlongong-longong seperti patung.

Tiga tombak jauhnya, tampak seorang gadis yang dandanannya seperti seorang puteri keraton dan cantiknya laksana  bidadari   turun  dari   kahyangan.  Tubuhnya yang langsing ramping bagaikan setangkai bunga melati yang dihempus angin membuai.

Puteri jelita itu tengah mengulum senyum yang mengikat jiwa. Kecantikan puteri jelita itu tak dibawah jelita Ho Kiong Hwa yang dijumpainya beberapa hari yang lalu itu.

Jika terdapat perbedaan maka letaknya hanyalah sikap dan cahaya muka kedua jelita itu. Ho Kiong Hwa memiliki sifat yang lemah lembut seperti sifat kewanitaan. Tetapi jelita yang berada di di hadapan itu, memiliki  sifat kekerasan macam sikap seorang pendekar wanita.

Si cantik itu juga gemetar hatinya ketika beradu pandang dengan Cu Jiang. Senyumnyapun pelahan2 lenyap, berganti dengan pipinya yang bertebar merah.

Sikap si jelita itu benar2 membuat hati Cu Jiang berdebar keras dan semangatnya melayang.

Keduanya seperti terpukau. Tak sepatahpun keluar dari mulut masing2.

Beberapa jenak kemudian Cu Jiang cepat tersadar. Ia menyadari bahwa sikapnya itu kurang sopan. Segera ia membungkuk tubuh dan berseru:

"Terima kasih atas pertolongan nona." Wajah si cantik itu tersipu merah.

"Ah, tak usah siangkong mengatakan begitu. Siapakah siangkong ini?"

"Namaku Cu Jiang."

"Dari perguruan manakah Cu siangkong ini?" "Ini . . . mohon nona suka maafkan..."

"Kalau siangkong tak leluasa mengatakan, tak perlulah siangkong memaksa diri." "Mohon tanya siapakah nama yang mulia dari nona?" "Aku Ki Ing."

"Ki Ing?" Cu Jiang mengulang. Ia tahu nona cantik itu hanya mengatakan nama dan tidak menyebut shenya.

"Hm."

"Lalu bagaimana aku harus memanggil nona?" "Panggil namaku saja."

"Apakah itu pantas , . ."

"Sudahlah, tak   perlu   memikirkan pantas   atau tak pantas."

"Bagaimana kalau kupanggil nona Ki?" "Baik."

Tentulah ada sebabnya mengapa si cantik itu tak mau mengatakan shenya. Dan Cu Jiang pun tak mau mendesak. Demikian pula tentang asal usul si cantik itu, dia tak mau bertanya dengan melilit. Karena dia merasa, dia sendiri juga sedang merahasiakan dirinya.

"Bagaimana nona dapat datang ke dalam hutan belantara sini dan menolong . . ."

"Anggap saja secara kebetulan."

Cu Jiang tahu bahwa tadi dirinya telah di bawa oleh dara baju hijau yang bernama Siau Hui itu.

Seorang dara tampaknya begitu lemah tetapi ternyata mampu mengangkut tubuh Cu Jiang berlari sampai beberapa li jauhnya, bukankah suatu peristiwa yang luar biasa? Jelas dara itu tentu bukan dara sembarangan.

Kemudian ia mengalihkan perhatiannya kepada puteri cantik yang menyebut dirinya bernama Ki Ing. Jika bujangnya memiliki kepandaian begitu hebat, tidakkah  nona majikannya akan lebih hebat lagi?

Merenungkan nona dan bujangnya begitu hebat kepandaiannya. diam2 Cu Jiang malu dalam hati. Kini baru ia menyadari betapa kecil dan rendah kepandaian yang dimilikinya. Dunia ini benar2 penuh dengan manusia2 yang berkepandaian tinggi, ia menganggap dirinya seperti "katak dalam tempurung", menganggap kalau kepandaiannya sudah hebat tetapi ternyata di luar, masih banyak orang2 yang jauh lebih sakti kepandaiannya.

"Nona, lebih baik kita lekas2 tinggalkan tempat ini." kata Siau Hui.

Puteri cantik itu mengangguk. Sepasang bola matanya yang bersinar terang bagai bintang kejora, sejenak mengeliar pandang ke wajah Cu Jiang.

"Betulkah karena melindungi seorang nona jelita, Cu siangkong terlibat permusuhan dengan orang2 Gedung Hitam? " tanya si cantik.

Cu Jiang terkejut sekali. Mengapa puteri cantik itu tahu peristiwa yang lalu.

"Benar." ia mengiakan.

"Karena hal itu selanjutnya dalam dunia persilatan Cu siangkong tentu bakal menghadapi bermacam-macam kesulitan!" kata puteri cantik itu pula.

"Benar. Tetapi aku bersumpah takkan mundur."

"Aku hendak memberikan sebuah benda kepada Cu siangkong."

Mendengar itu bujang Siau Hui hendak membuka mulut tetapi tak jadi bicara. "Nona Ki hendak memberi aku sebuah benda?" tiba2 Cu Jiang tergerak hatinya.

"Hm, hanya sebuah mainan anak2, sebagai tanda perkenalan kita saat ini!" puteri cantik itu terus mengeluarkan sebuah bungkusan dan dibukanya. Dengan dua buah jari tangannya yang runcing seperti  bulu landak, ia menjepit sebuah benda berwarna hijau tua. Ternyata sebuah pending kumala hijau.

Pending adalah hiasan pada dada atau ikat pinggang, terbuat dari permata.

Tergetar hati Cu Jiang saat itu. Wajahnyapun merah. "Aku sudah berterima kasih sekali mendapat pertolongan

nona,   mengapa   masih   akan   diberi   benda   yang  begitu

berharga lagi..."

Pipi si cantik itu Juga bertebar merah tetapi dengan suara lantang ia berkata:

"Ah, bukan benda berharga, melainkan sekedar untuk kenang2an saja !"

Seorang gadis suci yang mirip dengan puteri keraton, telah memberikan benda yang dipakaianya pada seorang pemuda yang baru saja dikenalnya. Apakah artinya itu?

Naluri Cu Jiang sebagai seorang anak muda cepat dapat menanggapi maksud si cantik. Diam2 timbul pertimbangan dalam hatinya. Menerima atau menolak pemberian itu?

"Nona..." teriak Siau Hui.

Tetapi si cantik cepat memberi isyarat supaya bujang itu jangan banyak bicara. Ia menyerahkan pending kumala itu kepada Cu Jiang, katanya: "Pending kumala ini adalah pusaka warisan keluarga. Jika menghadapi kesulitan, Cu siangkong boleh mengeluarkan pending ini, tentu ada manfaatnya !"

Kembali hati Cu Jiang tergetar. Siapakah sesungguhnya puteri cantik ini? Mengapa pending pemberiannya itu dapat mempunyai daya-guna sedemikian besar?

"Ah, nona Ki, bagaimana aku berani menerima !"

"Jika ada orang bertanya, katakan terus terang kalau aku yang memberi. Lain2 hal tak perlu siangkong katakan." kata puteri cantik itu pula terus maju mengangsurkan pending itu kepada Cu Jiang.

Apa boleh buat, Cu Jiang terpaksa menyambutinya.

Si cantik Ki Ing tertawa. "Cu siangkong, kini kita telah mengikat tali persahabatan."

Ada suatu perasaan dalam hati Cu Jiang yang sukar diutarakan. Menerima budi dari seorang jelita, adalah yang paling berat sendiri. Apa yang terjadi saat itu, benar2 tak terduga sama sekali.

Apabila kedua nona dan bujang itu tak datang tepat pada waktunya untuk memberi pertolongan, tentulah saat itu dia sudah menjadi seorang tawanan pihak Gedung Hitam. Entah bagaimana jadinya, ia tak dapat membayangkan.

Tetapi siapa dan bagaimana asal usul puteri cantik Ki Ing itu, Cu Jiang benar2 tak mengerti.

"Cu siangkong, sampai jumpai." Cu Jiang buru2 memberi hormat dan membalas:

"Terima kasih nona. Budi nona kelak tentu kubalas!" Dalam menghadapi saat2 yang mendebar hati itu,

tampak sikap dan wajah si cantik makin mempesonakan. Dada Cu Jiang seperti tak dapat bernapas. "Aku tak senang mendengar ucapan tentang balas budi dan terimakasih." bergetaranlah bibir yang mungil dari si cantik itu menghambur kata2 yang merdu.

"Bukan .... bukan hiasan bibir... tetapi apa yang kukatakan itu memang keluar dari kesungguhan hatiku," kata Cu Jiang agak terbata-bata.

Si cantik Ki Ing tertawa.

"Baiklah, kuterima, sampai Jumpa!"

Sambil melambaikan tangan, tubuh yang lemah gemulai dari puteri cantik itu segera diiring Siau Hui masuk kedalam hutan.

Entah bagaimana, saat itu Cu Jiang merasa seperti kehilangan sesuatu. Ia termenung-menung seperti kehilangan semangat. Beberapa waktu kemudian baru ia tersadar.

Luka pada bahu dan dadanya putih penuh dengan  lumuran darah merah. Untung dia berada di tengah gunung, sehingga tiada orang tahu.

"Ah, siapakah gerangan puteri cantik itu ? Mengapa dia muncul dalam hutan belantara ini ? Adakah secara kebetulan saja puteri itu menolong dirinya dari cengkeraman orang Gedung Hitam atau memang . ..." ia berpikir dan berpikir. Tetapi makin memikirkan makin ia tak mengerti jawabannya.

Ia teringat bagaimana Ong Tiong Ki buru2 melepaskan dirinya karena mendengar ringkik kudanya. Ah, tak mungkin tanpa sebab kuda itu akan meringkik-ringkik kalau tidak diganggu orang. Dan siapa lagi pengganggunya kalau bukan kedua nona dan bujangnya itu. Hm, betapa akan pecah dada si Mata-Jeli Ong Tiong Kie kalau mengetahui bahwa dia telah dikibuli oleh dua orang gadis saja.

Dia mengusap-usap pending kumala pemberian si cantik tadi. Teraba pending itu masih menebarkan bau harum. Diam2 pikirannya melayang.

Kali ini mengembara ke dunia persilatan banyak sudah ia bertemu dengan wanita2 cantik. Tetapi selama itu tak pernah hatinya terpikat. Tak terduga selama dalam perjalanan pulang, ia telah bertemu dengan dua orang gadis cantik yang sangat meninggalkan kesan dalam hatinya...

Saat itu cuaca dalam hutan makin gelap, pertanda matahari sudah mulai kelam. Kembali ia teringat akan rumahnya. Maka iapun segera ke luar dari hutan dan melanjutkan perjalanan.

Saat itu dia berada di tengah pegunungan. Jalan yang di tempuhnya bukan jalan umum. Ia berjalan pada tempat2 yang dapat di lalui dengan tujuan ke suatu arah tertentu.

Dia tak merasa lelah. Pikirannyapun hanya ingin lekas2 pulang, bahkan kenangannya pada wajah si jelita Ho Kiong Hwa dan puteri cantik Ki Ing juga terhapus.

Teringat akan keadaan dirinya, ia agak bingung bagaimana nanti memberi penjelasan kepada ayahnya. luka-lukanya melihat pun tentu akan menghujani pertanyaan.

Tiba2 ia melihat pada puncak gunung di sebelah depan tampak beberapa sosok bayangan manusia yang berlari-lari mendatangi kearahnya. Makin lama makin dekat. Karena cuaca gelap, ia tak dapat melihat jelas, apakah bayangan itu manusia atau binatang. Tetapi pada lain saat segera ia merasa ada sesuatu yang tak beres. Jika binatang, tentu bukan begitu caranya berlari. Tetapi jika bangsa manusia, bagaimana mungkin di daerah belantara yang begitu sepi terdapat manusia, apalagi saat itu tengah malam. Darimanakah mereka itu ?

Adakah kawanan anak buah Gedung Hitam yang  hendak mengejar jejaknya ?

Buru2 Cu Jiang percepat larinya dan menjelang terang tanah tibalah dia disebuah lembah buntu. Berhenti sejenak mengawasi, ia melihat lembah itu merupakan sebuah hutan yang lebat sekali.

Karena saat itu kabut masih belum lenyap maka sukarlah untuk masuk kedalam lembah hutan itu. Terpaksa ia berhenti beberapa waktu.

Tiba2 ia bernyanyi sebuah lagu yang sering dinyanyikan ayahnya. Lagu itu ciptaan raja terakhir dari ahala Tong yang telah kehilangan negerinya.

Cu Jiang sengaja menyanyikan lagu itu agar terdengar oleh ayahnya bahwa dia sudah pulang. Tetapi  ternyata tiada suatu reaksi apa2.

Lembah buntu itu terpisah dengan sebuah jurang. Untuk mencapai tepi karang yang di seberang harus menggunakan tali. Dan biasanya tali itu harus dilempar dari tepi seberang dan ditarik dari sana.

Cu Jiang menunggu munculnya tali itu. Dan jalan itu merupakan jalan pendek. Kalau tidak dia harus mengitari lagi sampai sepuluhan li jauhnya baru dapat mencapai rumahnya.

Kembali ia mengulang nyanyian lagi dengan nyaring, Tetapi tetap tiada penyahutan apa2. Sunyi senyap disekeliling lembah itu. Tiba2 ia seperti merasakan satu firasat yang tak enak. Serentak ia teringat akan beberapa sosok bayangan yang dilihatnya semalam. Ia bingung dan gelisah.

Terpaksa ia mengambil jalan melingkar yang agak jauh itu. Ketika matahari naik sepenggalan tingginya barulah dia tiba di sebuah rumah penduduk yang tinggal di gunung itu. Ditempat rumah penduduk itulah dia biasanya menitipkan kuda apabila dia turun dan naik gunung.

Tempat itu di huni oleh dua orang suami isteri yang menjadi keluarganya. Mereka mempunyai seorang anak perempuan yang sering bersama dengan orang tua  Cu Jiang.

Dari tempat itu hingga ke rumahnya, Cu Jiang harus menempuh perjalanan delapan li lagi. Jika tidak biasa dan tidak mempunyai kepandaian yang tinggi, sukar orang untuk melintasi daerah yang berbahaya keadaannya seperti tempat itu.

"Paman Liok!" segera Cu Jiang berteriak memanggil penghuni rumah. Biasanya apabila dia datang yang menyambutnya tentu dua ekor anjing pemburu yang dipelihara oleh penghuni rumah itu. Tetapi aneh, saat itu keadaan rumah itu sunyi senyap saja.

Cu Jiang terkesiap. Apakah yang terjadi? Apakah benar2 telah terjadi peristiwa yang tak diharapkan?

Serentak ia enjot tubuh dan lari menuju ke rumah pondok itu.

Krak.... pintu pondok yang terbuat dari papan kayu segera berderak terbuka. Ah kedua ekor anjing pemburu

yang besar dan galak, ternyata sudah terkapar dalam kubangan darah. Saat itu Cu Jiang makin yakin bahwa sesuatu telah  terjadi dalam rumah pondok itu. Selekas ia melangkah masuk, hidungnya segera terbaur hawa yang anyir baunya. Dan ketika matanya memandang, hai.... ia menjerit, pandang matanya terasa berbinar-binar, bumi dirasakan seolah berputar-putar terasa ....

Di lantai telah terkapar dua sosok mayat yang sudah tak utuh keadaannya. Kedua sosok mayat itu terendam dalam kubangan darah yang sudah mengental. Mereka tak lain adalah kedua suami isteri Liok So.

Seketika dinginlah tubuh Cu Jiang. Kedua suami  isteri itu telah ikut pada keluarganya sejak berpuluh tahun. Kini mereka telah dibunuh orang secara begitu keji.

Siapakah yang membunuh mereka? Dan di manakah Siau Hiang. anak perempuan kedua suami isteri itu? Ia mencari kian kemari di sekeliling pondok tetapi tak melihat anak itu.

Kemudian ia menuju ke kamar sebelah barat. Astaga ! Kembali ia menjerit keras dan serentak terhuyung sandarkan diri pada pintu. Hampir saja ia rubuh terduduk!.

Ganas, ngeri benar. Di atas pembaringan tampak tubuh seorang dara yang telanjang. Wajahnya menampilkan kerut ketakutan dan ketakutan yang hebat. Seumur hidup Cu Jiang takkan melupakan wajah itu.

Entah sampai berapa waktu, barulah Cu Jiang tenang hatinya. Dia mencucurkan air mata. Dengan mengerut geraham ia menghampiri kepembaringan dan berseru dengan sedih:

"Cici Siau Hiang." ia menyambar selimut dan ditutupkan pada tubuh mayat itu. Juga diketahuinya bahwa dara itu telah mati menjadi korban perkosaan manusia terkutuk. "Bunuh ! Bunuh !" ia menjerit kalap seraya mencabuti rambutnya sendiri. Airmatanya mulai bercampur darah.

Saat itu hanya ada satu tujuan dalam  hatinya.  Bunuh dan mencincang tubuh manusia yang telah mengganas kedua suami isteri dan Siau Hiang. Ia hendak meminum darah dan memakan daging pembunuh keji itu.

Perasaan dendam yang membara telah menghanguskan dada Cu Jiang dan terkulailah di lantai dibawah ranjang itu.

Dia mengharap kesemuanya itu hanya suatu Impian buruk. Tapi ah, ia menggigit bibir dan sakit. Jelas itu bukan impian melainkan kenyataan.

Beberapa saat kemudian ia mulai sadar. Bahwa kesemuanya itu suatu kenyataan yang harus dihadapi. Semangatnya serentak bangkit. Segera ia membuat sebuah liang untuk mengubur kedua suami isteri dan anaknya.

Kemudian dia berlutut di hadapan gundukan makam dan berdua, dengan sedih:

"Paman Liok, bibi Liok dan taci Hiang. Selama aku Cu Jiang masih bernyawa, aku bersumpah untuk membalaskan dendam ini.”

Selesai dengan penguburan itu, segera ia bergegas menuju ke rumah. Ingin sekali ia mengetahui bagaimana keadaan rumah tangganya.

Ia lari menerobos ke dalam hutan. Langkahnya sempoyongan dan pakaiannya compang camping terlanggar duri. Badannya letih sekali.

Tengah hari tampaklah sudah pondok kediamannya. "Pah. mah, aku sudah pulang !" teriaknya dengan penuh

ketegangan. Tetapi tiada penyahutan sama sekali. Cepat ia pesatkan larinya dan ketika tiba dimuka pintu, ia rasakan kedua kakinya amat berat sekali. Terpaksa ia berhenti untuk memulangkan napas yang tersengal-sengal.

Dia tak berani membayangkan apa yang akan ditemuinya dalam rumah itu. Hanya dia berdoa. Dia mengharap pondok yang kosong itu. tidak terjadi sesuatu, melainkan hanya seperti yang sudah2, setiap kali kediamannya diketahui orang, ayahnya tentu segera pindah ke lain tempat.

Kali ini mudah-mudahan juga begitu. Dia percaya, tokoh seperti ayahnya yang diagungkan sebagai Dewa-pedang tentu dapat mengatasi segala bencana. paling tidak, dapat menjaga diri.

Demikian dia berusaha untuk menghibur diri, tetapi tak urung hatinya masih berdebar-debar, keringat dinginpun mulai mengucur. Bahkan karena cemas, ia hampir tak berani masuk ke dalam pintu pondok itu. Karena hanya dua kemungkinan yang didapatnya. bila rumah itu kosong, tentu keluarganya telah pindah ke lain tempat atau tentu sudah..."

Ia tak berani melanjutkan dugaannya. Kematian dua suami isteri Liok dan anaknya, kembali terbayang di pelupuknya. Segera ia menyadari betapa lemah dan tak berguna dirinya itu. Sebenarnya ia tak percaya kepada segala malaekat dan lain2, tetapi entah bagaimana saat itu  ia berdoa agar malaikat benar2 membantu dan melindungi keluarganya.

Saat itu matahari bersinar tetapi baginya, sekeliling tempat itu tampak remang2 seperti terbungkus halimun. Ia ulurkan tangan hendak mendorong pintu tetapi tidak ditariknya kembali. Dia kembali tegak mematung di depan pintu.

Tiba2 di udara terdengar seekor burung gagak terbang melintas dan berbunyi seram sehingga menggigillah hati Cu Jiang. Bulu romanyapun meremang tegak.

Sebenarnya bunyi burung gagak itu sudah biasa ia dengar selama tinggal di hutan itu. Tapi entah bagaimana saat itu hatinya merasa seram sekali.

Nasib merupakan sesuatu garis hidup yang tak dapat di robah. Dan sesuatu yang sudah menjadi kenyataan tak dapat dia menghindarinya.

Akhirnya ia menyadari hal itu. Dengan mengertek gigi, ia segera mendorong pintu dan melangkah masuk. Hatinya berdebar keras, darahnya serasa berhenti...

Alat2 dalam ruang pondok itu masih tampak seperti biasa, tiada yang kacau dan porak poranda. Juga tak tampak bekas2 pertempuran. Dia menghela napas longgar lalu memegang ujung meja. Ia berusaha untuk menenangkan ketegangan hatinya dan mengusap peluh yang membasahi kepala.

Beberapa saat kemudian baru ia melangkah ke dalam untuk memeriksa. Semua alat dan perlengkapan dalam ruang itu masih seperti sediakala. Hanya suasananya sepi sekali. Ketegangannya pun ber angsur-2 menyurut.

Apakah artinya itu? Apakah yang telah terjadi dalam rumahnya itu?

Jika pindah tentulah paling tidak orang tuanya akan membawa kasur dari dalam rumah itu, seperti adat kebiasaannya yang lalu, tentu diberi sebatang obor untuk pertandaan. Dia kembali ke ruang muka dan mengadakan pemeriksaan yang teliti. Ia mengharap akan dapat menemukan suatu jejak. Ketika memandang ke dinding tembok di mana biasanya ayahnya menggantung pedangnya, ia terkejut. Ternyata pedang ayahnya itu sudah tak tampak lagi. Ia tahu pedang itu sebuah pedang pusaka, pedang yang telah mengangkat nama ayahnya  sebagai tokoh Dewa-pedang yang termasyhur dalam dunia persilatan.

Dia jatuhkan diri duduk terkulai di kursi. Sesaat ia tahu apa yang harus dilakukan.

Tiba2 ia teringat akan sebuah guha rahasia yang terletak di ujung lembah. Mungkin kedua orang tuanya ke pintu sana. Maka tanpa berayal lagi ia terus lari ke luar menuju ke tepi lembah. Tepi lembah merupakan sebidang  tanah karang yang luas. Disela-sela karang tumbuh rumput2 yang tinggi.

"Hai, darah . . . !" serentak ia menjerit kaget dan tertegun berhenti.

Penemuan itu telah membuat hatinya menggigil. Memandang ke muka ia melihat sepanjang tanah penuh dengan tetesan darah, ia menuju menurutkan arah bekas2 noda darah itu.

Jelas menunjukkan bahwa tempat itu habis menjadi ajang pertempuran. Hanya bagaimana kesudahan pertempuran itu, tak diketahui.

Di antara kubangan darah, tampak dua buah kutungan jari tangan. Seketika kepala Cu Jiang pusing sekali. Ia membungkuk, menjemput kedua kutungan jari itu. Dilihatnya jari itu terpapas dengan rata sekali sehingga dapat diketahui kalau terbabat oleh senjata yang amat tajam sekali. Dan jari itu menunjukkan jari tengah dan jari manis. Kulitnya kasar, jelas tentu milik orang lain, bukan jari ayahnya.

Memandang agak jauh ke muka ia melihat sebuah kutungan lengan tangan. Dengan mengerut geraham, ia melempar jari itu dan menghampiri ke tempat kutungan lengan. Menilik dari lengan bajunya, jelas kutungan lengan itu berasal dan lain orang.

Ia mendapat kesan bahwa pertempuran yang telah berlangsung di tempat itu tentu seru dan dahsyat sekali.

Siapakah musuh yang mengganggu ayahnya itu? Apakah orang Gedung Hitam? Menurut dugaannya, kecuali pihak Gedung Hitam, dalam dunia persilatan rasanya tiada lain tokoh yang berani me musuhi ayahnya. Tetapi mengapa ayahnya bermusuhan dengan pihak Gedung Hitam!

Selama ini belum pernah ayahnya menceritakan tentang peristiwa itu. Cu Jiang makin bingung dan tak dapat merangkai dugaan apa2.

Teringat akan sikap dan ucapan Ong Tiong Ki, jelas bahwa pihak Gedung Hitam memang sedang giat mencari jejak ayah Cu Jiang. Dengan begitu, yang  bertempur dengan ayahnya di tempat itu tentulah orang Gedung Hitam.

Ia lanjutkan maju ke muka. Di tepi lembah pada segerumbul batu2 karang runcing, samar2 seperti kelihatan sehelai kain ujung baju.

Serentak jantung Cu Jiang berdebar keras. Dengan memeriksa baju itu dapatlah ia mengetahui siapa yang menjadi korbannya, musuh atau keluarganya sendiri.

Dengan pesat ia segera melesat maju. "Hai..." Cu Jiang menjerit dan rubuh ke tanah . . ..

-ooo0dw0ooo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar