Pukulan Hitam Jilid 06

Jilid ke 6

CIAN HONG menginsafi bahwa pedang Sambar-nyawa yang masih disimpannya akan merupakan bukti yang memberatkan dirinya. Apabila digeledah, terang dia tentu akan dituduh sebagai pembunuh.

“Sekalipun aku menyimpan pedang itu tetapi belum menjadi bukti aku pembunuhnya!” masih ia berusaha membantah.

“Hm, omonganmu seperti anak kecil!” dengus Si Kiok-ciang, “bukti ada padamu, bagaimana kau masih menyangkal? Cobalah katakan, siapa tokoh persilatan yang menggunakan pedang semacam itu kecuali kau? Sekalian orang gagah yang hadir disini akan menjadi saksi!”

Diam-diam Cian Hong mendamprat kelicinan tuan rumah. Dengan marah ia berseru : “Jangan memfitnah semaumu sendiri! Kau hendak membunuh aku dengan fitnah yang keji!”

“Aku bersumpah tak mau hidup bersama kau!” bentak Si Kiok- ciang seraya memukul.

Melihat orang menyerang dengan pukulan maut, tergetarlah Cian Hong. Buru-buru ia menyurut mundur.

“Kalau kau mendesak, jangan persalahkan aku berlaku kejam juga!” serunya.

Tetapi Si Kiok-ciang tak ambil mumet. Segera ia lancarkan pukulan lagi. Gelar Pukulan-nomor satu-didunia bukanlah suatu gelaran kosong. Pukulannya memang dahsyat dan cepat. Tak ubah seperti halilintar menyambar-nyambar...

Masih Cian Hong tak mau membalas. Ia terus menghindar dan mundur. Diam-diam ia mempertimbangkan untuk menggunakan ilmu Gui-thian-kwa-te (membelah langit menutup bumi) menghadapi serangan lawan.

Si Kiok-ciang makin kalap. Ia menyerang dengan hebat.

Berturut-turut ia lancarkan 7-8 jurus serangan.

Akhirnya betapapun Cian Hong berusaha menghindari, lengannya kiri terkena juga. Sakitnya bukan kepalang. Serentak menyalalah kemarahannya....

Ia tahu bahwa Si Kiok-ciang melancarkan ilmu sakti Gui-thian- kwan-te, tetapi hanya mampu sampai setengah jurus saja. Tetapi sudah sedemikian dahsyatnya. Dan Cian Hong dapat menjalankan sampai satu jurus.

Akhirnya iapun melawan dengan jurus Gui thian-kwa te juga.

Seketika terdengarlah angin menderu-deru.

Pukulannya pecah berpuluh-puluh!

Kini giiiran Si Kiok-ciang yang terkejut. Dilihat jurus yang dijalankan pemuda itu serupa dengan jurusnya. Tetapi ketika ia sudah kehabisan jurus, pemuda itu masih dapat melanjutkan dengan gerakan yang hebat. Tangan anakmuda itu tiba-tiba pecah berhamburan mencengkeram ke 9 jalan darah vital (penting) ditubuhnya.

Kejut Si Kiok-ciang bukan alang kepalang. Semangatnya serasa terbang.....

Tiba-tiba sebelum tangan Cian Hong tiba pada sasarannya, tukang ramal tua memperingatkan dengan ilmu Menyusup-suara : “Kalau kau membunuhnya, tentu akan menimbulkan kemarahan orang banyak. Selanjutnya kau tentu takkan mendapat simpati dunia persilatan lagi!”

Cian Hong tersadar. Buru-buru ia kurangkan tenaga cengkeramannya dan tanganpun agak disisihkan kesamping. Namun sekalipun demikian, tetap Si Kiok-ciang menjerit kesakitan. Tubuhnya terhuyung-huyung beberapa langkah, muka pucat seperti kertas.

“Kalau bisa memaafkan, maafkanlah! Kita tinggalkan tempat ini!” kembali orangtua tukang ramal itu membisiki dengan ilmu Menyusup suara.

Cian Hong membenarkan. Serunya kepada Si Kiok-ciang: “Setelah kubekuk pembunuhnya, tentu kuambil jiwamu!”

Pada saat ia melangkah pergi, tiada seorang-pun yang berani menghalangi. Mereka gentar menyaksikan kesaktian pemuda itu.

Setelah keluar dari gedung Si Kiok-ciang, Cian Hong dan situkang ramal segera gunakan ilmu lari cepat menuju kesebuah hutan. Saat itu sudah malam. Langit hanya disinari bulan sabit dan bintang-bintang.

“Ah, aku salah menaksirmu!” tiba-tiba tukang ramal itu menggerutu.

Cian Hong terkesiap. Tak tahu ia apa maksud pak tua itu. “Kiranya kau gemar membunuh orang secara menggelap!”

dengus tukang ramal.

“Apa? Kau juga menuduh aku?” Cian Hong berseru kaget. “Bukti sudah nyata, masakan kau masih menyangkal?”

“Aku tetap berada ditempat dudukku, tak pernah meninggalkan tempat itu. Bagaimana aku dapat membunuh orang?” “Tetapi mereka mengatakan bahwa sinyonyah Si meninggal tiga jam yang lalu.”

“Aku tak pandai menggunakan pedang!” bantah Cian Hong. “Kata-katamu itu makin menambah kebohonganmu. Siapakah

yang tahu kau menggunakan pedang Sambar-nyawa...”

“Tidak!”

“Dua batang pedang yang berada dalam baju-bajumu itu, bagaimana penjelasannya....” dengus situkang ramal, “Semula kuanggap kau seorang berhati keras. Siapa tahu kau ternyata sehina itu...” dengan geram tukang ramal itu segera melangkah pergi.

Karena mendongkol didamprat setajam itu, Cian Hongpun tak mau menahannya. Pada lain kejap, tukang ramal itupun sudah lenyap kedalam hutan.

Sesak sekali dada Cian Hong mengalami peristiwa yang sedemikian penasaran. Ia mondar-mandir ditengah hutan. Tak habis dipikirkannya mengapa Si Kiok-ciang menuduh dia yang membunuhnya nyonyah Si. Dan yang paling menggemaskan, tukang ramal tua yang tahu jelas tentang keadaannya, toh ikut juga menuduhnya.

Rembulan makin naik tinggi. Sunyi senyap menyelubungi seluruh penjuru hutan. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara seorang perempuan: “Ah, kau benar-benar menepati janji!”

Cian Hong kerutkan dahi, serunya muak: “Siau-hun li, aku bukan menunggumu!”

Siau-hun-li atau gadis perayu sukma tertawa kecil: “Siapa yang mau percaya keteranganmu? Mengapa kau berkeliaran ditengah hutan pada malam hari begini kalau tidak karena hendak menunggu aku? Ah, tak usah pura-pura. Aku dapat memberi kepuasan padamu!” Mendengar ucapan cabul itu, merahlah wayah Cian Hong. Untung hal itu tak terlihat Siau-hun-li.

“Kalau sudah berani membunuh orang, mengapa tak berani mengakui kedatanganmu kemari. Apalagi soal kebahagiaan laki perempuan?”

“Ah, bicaralah yang sopan sedikit!”

“Dalam hal apa aku bicara tak genah?” Siau-hun-li menjawab. “Sama sekali aku bukan pembunuh nyonya Si.” Siau-hun li

tertawa hambar: “Siapa mempercayai keteranganmu?”

“Langlt dan bumi menjadi saksi!” seru Cian Hong dengan tegas. “Sayang kaum persilatan tak mau percaya!” “Tetapi tentu datang

saatnya hal itu menjadi terang!”

Siau-hun li mendengus: “Mungkin tiada kesempatan semacam itu!”

“Aku tak sudi berbantah dengan kau!” Cian Hong menggeram terus melesat kedalam gerumbul pohon, “Hai, jika malam ini kau tak mau melayani kehendakku, jangan harap kau mampu keluar dari hutan Hek-lim ini!” teriak Siau-hun-li seraya mengejar.

Karena hendak menghindari, maka Cian Hong sengaja pesatkan larinya. Tetapi ternyata Siau-hun li pun tak lemah. Ia dapat mengejar Cian Hong dengan jarak tertentu.

Setengah jam lamanya, setelah melintasi berpuluh pohon, akhirnya Cian Hong dapat meninggalkan Siau-hun-li makin jauh.

Tiba-tiba Cian Hong dikejutkan oleh teriakan ngeri dari Siau- hun-li. Terpaksa ia hentikan larinya dan balik menghampiri. Dibawah rembulan remang, ia menyaksikan sebuah adegan yang mengejutkan. Siau-hun li menggeletak ditanah dengan dada tertancap sebatang pedang Sambar-nyawa. Buru-buru Cian Hong menghampiri. Ah, nona itu ternyata sudah meninggal. Dicabutnya pedang Sambar-nyawa dan berkatalah ia seorang diri: “Ah, lagi-lagi pedang Sambar-nyawa, pedang Sambar nyawa. ”

Geramnya terhadap pedang itu makin hebat. Pedang itulah yang telah merampas jiwa kedua orang yang paling dicintai didunia yakni ibu dan gurunya.

Dipandangnya kesekeliling penjuru. Tetapi tiada tampak barang sesosok bayangan manusiapun jua Pikirnya: “Pembunuh itu benar- benar lincah sekali.

Dalam sekejap mata saja sudah lenyap!”

“Kali ini kau tentu tak dapat menyangkal lagi!” sekonyong- konyong Cian Hong dikejutkan oleh suara orang bernada dingin.

Cian Hong berpaling dan ah... situkang ramal tua lagi: “Kau ?”

“Apakah kau masih menyangkal?” seru tukang ramal itu dengan marah.

“Tidak, bukan aku yang membunuhnya!” seru Cian Hong. “Siapakah  yang  percaya  omonganmu?  Pedang Sambar-nyawa

yang  kau  pegang  itu  masih  berlumuran  darah!  Tidak kusangka

sama sekali bahwa kau ternyata seorang pemuda yang keji!”

Dada Cian Hong diamuk badai penasaran yang dahsyat.

Siapakah pemilik pedang celaka itu?

“Apakah kau juga percaya bahwa akulah pembunuh nyonya Si?” serunya.

Sahut situkang ramal tua dengan dingin: “Aku tak peduli bagaimana nyonyah Si menemui ajalnya. Tetapi kematian Siau- hun-li yang mengerikan itu, kusaksikan dengan mata kepala sendiri. Sudah tentu aku lebih mempercayai mataku daripada segala keterangan mu!”

“Apakah kau melihat sendiri aku melakukan pembunuhan ini?” seru Cian Hong.

“Ah, kau masih bisa menyangkal? Pedang ditanganmu itu masih belum kering darahnya. Selain kau siapa lagi yang harus kusangka?”

“Ah, benar-benar penasaran sekali...!” “Penasaran?”

“Aku bersumpah tak mau hidup bersama dengan pemilik pedang ini!” Cian Hong menggeram.

Tukang ramal tua terkesiap: “Kau mempunyai dendam besar?

Mengapa?”

“Pedang Sambar-nyawa telah merampas jiwa kedua orang yang kucintai!”

“Siapa?”

“Ibuku dan guruku!” “Tidak mungkin!”

Dengan penuh kerawanan dan geram, berserulah Cian Hong: “Aku sendiri yang mencabut pedang itu dari dada ibu dan guruku. Sampai saat ini aku masih berusaha menyelidiki pemilik pedang itu!”

Tukang ramal tua terkejut. “Hai, kau tak kenal pemiliknya?” “Kau kira aku kenal?”

“Tidak mungkin!”

Tiba-tiba Cian Hong menebas sebatang pohon dengan telapak tangannya. Bum, pohon itu tumbang. “Jika kau mau memberitahukan siapa pemilik pedang Sambar- nyawa itu, dia akan menerima kematian seperti ini!” serunya.

“Kau benar-benar tak tahu?” tukang ramal sekali lagi menegas. Cian Hong mengangguk.

“Baiklah, karena kau pura-pura tak tahu, akupun tak keberatan memberitahukan padamu lagi. Tetapi kukuatir kau tak mau turun tangan kepadanya!”

Sahut Cian Hong dengan lantang: “Seorang lelaki harus mentaati ucapannya. Apalagi dia mempunyai dendam tujuh lautan kepadaku, tentu akan kucincang lebur dagingnya!”

“Sungguh?” tukang ramal menegas. “Tentu!”

“Baik, dengarkanlah...” “Silahkan bilang!”

ooOOoo

“Pemilik pedang Sambar nyawa adalah Pelajar-seribu-muka Ko Ko-hong. Senjata itulah yang mengangkat namanya!” seru situkang ramal tua.

Mendengar itu Cian Hong serasa tersambar petir. Dia terhuyung- huyung beberapa langkah. Hampir saja ia rubuh karena tak tahan menahan kegoncangan yang sedemikian hebatnya.

“Jangan menipu aku!” akhirnya ia berseru tak percaya. “Kau tak percaya?” “Tentu saja tidak!”

“Mengapa?” tanya tukang ramal tua. Cian Hong deliki mata: “Aku tak percaya ayahku membunuh Ibu dan guruku. Jangan kini ngoceh tak keruan!”

“Jika seluruh dunia mengatakan begitu apakah kau tetap tak percaya?”

“Tentu saja lain!”

“Baiklah,”  kata  tukang  ramal  tua,  “tanyalah  pada  sembarang orang tokoh persilatan yang ternama. Tak ada yang tak tahu siapa Ko  Ko-hong  yang  pada  20  tahun  berselang  telah  menggegerkan dunia  persilatan.  Tetapi  bedanya  kalau  pada  masa  itu  pedang Sambar-nyawa dipuja dan dikagumi orang, tetapi siapa tahu setelah ayahmu mewariskan padamu, kau telah menyalah-gunakan untuk membunuh-bunuhi orang secara ganas!”

“Kau tak percaya kalau aku tak mampu menggunakan pedang Sambar-nyawa?” tanya Cian Hong.

“Apa? Ko Ko-hong tak mengajarmu ilmu pedang Sambar-nyawa yang sakti?”

“Tidak! Sejak aku mengenal benda, aku tak pernah melihat ayah!”

Orang tua peramal itu bingung dibuatnya, serunya: “Aneh, habis siapakah yang membunuh mereka itu?”. Dia merenung lalu garuk- garuk kepala dan berkata : “Omonganmu itu sukar dipercaya orang!”

“Kalau aku berkata apa adanya kau tetap tak mau mempercayai, akupun tak dapat berbuat apa-apa lagi!”

“Tetapi tindakanmu yang ganas itu benar-benar membuat orang kecewa!”

“Apabila air sudah mengendap, tentu akan tampaklah apa yang kita cari itu. Kelak kau tentu mengetahuinya!” “Hm, kali ini dapat kulepaskan. Tetapi apabila telah kuketahui pembunuh nyonyah Si dan Siau hun-ii benar kau, kelak kalau ketemu lagi kau tentu akan kuhancurkan!”

Habis berkata tukang ramal itu melesat beberapa tombak jauhnya. Cian Hong cepat-cepat loncat menghadang: “Cian-pwe, harap berhenti dulu!”

“Hm, kau hendak memaksa aku?” dengus tukang ramal tua itu. “Sama sekali tidak, hanya hendak mohon keterangan lagi.” “Lekas katakan, aku tak punya banyak waktu menemanimu!” “Tindakan locianpwe itu bersikap kawan atau musuh?” tanya

Cian Hong.

Tukang ramal itu batuk-batuk sejenak, serunya: “Kawan atau lawan, tergantung pada anggapanmu sendiri. Asal sepak terjangmu serba bersih tiada cacatnya, lain kali bertemu aku pasti bersikap sebagai kawan. Tetapi kalau tidak, tentu akan memusuhimu!”.

Tukang ramal itu melangkah hendak lanjutkan perjalanannya. Tetapi Cian Hong masih bertanya lagi: “Mohon tanya siapakah nama locianpwe yang mulia?”

“Tio Sam si  Mulut-besi!” “Mungkin bukan nama yang aseli.”

Orang tua tukang ramal itu tertawa dingin: “Aseli dan palsu, palsu dan aseli. Mungkin hal itu tak dapat kau urus, tetapi sekali lagi kuperingatkan padamu, apabila pembunuhan-pembunuhan itu kau yang melakukan, hm, percayalah aku siorang tua tentu mempunyai kemampuan untuk membasmimu!”

Sekali lagi orang tua itu ayunkan tubuhnya melesat pergi. Cian Hong terlongong-longong. Tak tahu ia siapakah orangtua luar biasa itu. Yang terang tentu bukan tukang ramal biasa melainkan seorang sakti.

Kawankah ia atau lawan? Hal ini yang memenuhi benak Cian Hong saat itu.

Tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara derap kaki dari arah belakang. Buru-buru ia berpaling dan ah.... Pukulan-nomor satu-didunia Si Kiok-ciang muncul bersama rombongan anak buahnya.

“Bangsat, aku orang she Si tak sudi hidup sekolong langit dengan kau!” teriak Si Kiok-Ciang dengan marah.

Cian Hong kerutkan dahi: “Bagus, kau datang!”

“Kau membunuh isteriku dan kemudian Siau-hun-li. Dosamu bertumpuk. Sekalipun aku tak mampu membunuhmu tetapi Hoa-ki takkan melepaskanmu,” seru Si Kiok-ciang.

“Hoa-ki?” Cian Hong berseru heran. Baru pertama kali itu ia mendengar nama seorang tokoh Hoa-ki.

Si Kiok-ciang tertawa dingin : “Mungkin kau tak kenal kelihayaan wanita Hoa-ki. Duapuluh tahun yang lalu, berpuluh- puluh jago silat ternama telah mati ditangannya wanita itu!”

Cian Hong kaget mendengar ilmu kesaktian seaneh itu, serunya: “Siapakah Hoa-ki?”

“Guru dari Siau-hun li!”

“Tetapi aku tak membunuh Siau hun-li!” teriak Cian Hong. “Bukti mengatakan bahwa kau telah membunuh isteriku dan

Siau-hun-li dengan sepasang pedang Sambar-nyawa, masih berani

kau menyangkal! Siapakah yang tak tahu ayahmu itu Pelajar-seribu muka yang menjadi pemilik pedang Sambar-nyawa!”

“Jangan memfitnah...” Si Kok-ciang menukas dengan tertawa hina: “Malam ini jangan harap kau ”

“Aku tidak membunuh mereka!” seru Cian Hong. “Jangan menyangkal!”

“Tetapi sekalipun tidak membunuh, memang aku takkan melepaskan kau!” tak kalah sengitnya Cian Hong berseru.

“Hm, lebih baiklah...” Si Kiok-ciang mendengus dan segera berpaling kearah rombongan murid-muridnya yang berjumlah belasan orang, serunya: “Maju dan cincanglah tubuhnya. ”

Belasan orang segera melesat kemuka Cian Hong.

“Si Kiok ciang!” seru Tian hong, kau hendak suruh kawanan domba masuk kemulut harimau? Kau sendiri tak berani, mengapa suruh murid-muridmu mengantar jiwa? Apakah kau sengaja hendak mencelakai mereka?”

Si Kiok-ciang tertawa sinis: “Mungkin kau kecele!” “Baiklah kalau begitu!” Cian Hong segera bersiap.

“Serang!” segera Si Kiok-ciang memberi aba-aba. Suara pekik mengguntur. Belasan orang ayunkan tinju dan menderu-derulah angin dahsyat menerjang Cian Hong. Cian Hong hanya mendengus hina dan balas memukul. Seketika terjadilah letupan keras. Belasan anak murid Si Kiok-ciang mencelat sampai beberapa langkah kebelakang. Tetapi secepat itu mereka loncat menerjang pula. Mereka tidak memukul tetapi menamparkan dengan baju masing- masing. Serentak berpuluh-puluh batang jarum berhamburan menabur Cian Hong.

Cian Hong terkejut. Buru-buru ia menampar dan kerahkan tenaga dalam untuk membentengi tubuhnya. Puluhan jarum itu bagaikan membentur dinding baja dan berhamburan jatuh..... Kejut sekalian anak murid Si Kiok-ciang bukan alang kepalang. Tetapi sebelum mereka sadar, Cian Hong sudah balas menghantam dengan pukulan sakti Membelah-langit-menutup-bumi.Serentak dengan deru angin dan hamburan debu, terdengarlah pekik jeritan memekak telinga.

Puluhan anakmurid yang bertubuh gagah-gagah itu bergelimpangan jatuh ditanah. Ada yang kehilangan kaki dan tangan ada pula yang pecah kepalanya, berserakan tulang belulangnya.....

Serasa hilanglah semangat Si Kiok-ciang menyaksikan adegan sengeri itu. Diam-diam ia menimang: “Anak ini benar-benar sakti, aku barus lekas-lekas meloloskan diri ”

Wut, cepat ia lompat hendak melarikan diri tetapi secepat itu juga sesosok bayangan pun sudah melesat dan mencegat ditengah jalan.

“Kau... kau... kau...” Si Kiok-Ciang terkesiap demi mengetahui yang menghadang itu Cian Hong.

“Kau mau lari?” Cian Hong menghina.

Pucatlah wayah Si Kiok-ciang, serunya: “Kau terlalu menghina orang!”

“Hm, Si Kiok-ciang, kau bersimaharaja mengganas didunia persilatan. Kau sudah menghianati gurumu Iblis-mayat yang telah mengajarkan kau setengah jurus ilmu Membelah-langit-menyusup- bumi. ”

“Apa? Kau murid Iblis-mayat?”

“Tak perlu banyak tanya, sekarang kau harus serahkan jiwamu!” “Ah, belum tentu!” Cian Hong kertukan geraham: “Cobalah!” Serentak pemuda itu mulai bergerak. Sembilan jalan darah ditubuh Si Kiok-ciang segera diancamnya.

Si Kiok-ciang berkunang-kunang matanya menghadapi taburan lawan. Buru-buru ia menghantam. Tetapi pada lain saat ia menjerit ngeri. Jalan darah didada Si Kiok-ciang terkena pukulan. Tubuhnya terlempar sampai 7-8 tombak dan huak... mulutnya muntah darah...

“Hari ini kau tentu mati dibawah ilmu Membelah-langit- menutup-bumi!” teriak Cian Hong seraya menerjang lagi.

Si Kiok ciang, jago Pukulan-nomer-satu yang berpuluh tahun menjagoi dunia persilatan hari itu telah dikalahkan oleh seorang pemuda tak terkenal.

Sebuah pekikan melengking nyaring, tubuh jago nomor satu itu terlempar dan jatuh terkapar ditanah.

Dia menemui ajal secara mengenaskan.

Cian Hong mendengus dingin. Kemudian ia melangkah pergi. Sekonyong-konyong terdengar suitan panjang disusul oleh desus angin menyambar keras. Terpaksa Cian Hong menyingkir kesamping. Ketika mengawasi ternyata yang menyerang adalah Si Ciau-hun, putera Si Kiok-ciang. Dengan kalap Si Ciau-hun menyerangnya sampai tiga jurus.

“Kau hendak mengantar jiwa juga?” seru Cian Hong seraya menghindar kesamping.

“Kembalikan jiwa ayahku,” teriak Si Ciau-hun sambil menyerang nekad.

Cian Hong menangkis, serunya: “Dia banyak melakukan kejahatan, matipun sudah layak!”

Ciau-hun tarik serangannya. Dipandangnya Cian Hong dengan mata penuh kegusaran: “Kau seorang bajul buntung yang telah merusakkan perjodohanku dengan Siu-lan. Sekarang masih membunuh lagi ayahku. Keluarga Si mempunyai permusuhan yang tak mungkin habis dengan kau. Kau atau aku yang mati!”

“Ah, kau bukan tandingku,” seru Cian Hong. “Bukan tandingannya pun aku tetap hendak meminta pelajaranmu!” sahut si Ciau-hun. “Silahkan menyerang!” seru Cian Hong.

Cian Hong berdiri pada jarak 5 langkah. Ia menantikan serangan dengan bersiap melempangkan kedatangan kedada.

“Sambutlah seranganku!” Si Ciau hun loncat menyerang. Sepasang tangannya melambai bagaikan sebuah bianglala, jari- jarinya terpentang mencengkeram muka Cian Hong.

Melihat lawan menyerang begitu ganas marahlah Cian Hong. Serentak ia balas menampar dan terlemparlah Ciau-hun sampai beberapa tombak jauhnya. Ia jatuh ketanah.

Karena malu, Ciau-hun murka sekali. Serta bangkit, ia menerjang lagi. Tetapi makin ia nekad makin hebat akibatnya. Pukulan yang dilontarkan Cian Hong, membuat putera Si Kiok- ciang itu menjerit ngeri. Tubuhnya melayang lalu terbanting ketanah. Kali ini tubuhnya telentang, mulut mengalir darah....

Cian Hong dingin-dingin saja melihati.

Tiba-tiba terdengar suara orang mendamprat: “Hm, masih muda tetapi ganasnya bukan main!”

Nadanya yang dingin membuat hati Cian Hong tercekat. Buru- buru ia memandang kemuka. Ah, disebelah muka muncul seorang wanita tua yang menyala dandanannya. Walaupun sudah tua tetapi masih mengenakan baju berkembang, rambutnya disanggul keatas, ujungnya dikepang menjadi dua. Suatu dandanan yang layak dikenakan oleh wanita yang masih muda. Tetapi yang mengejutkan Cian Hong bukanlah dandanan nenek itu, melainkan kedatangannya yang luar biasa. Sama sekali Cian Hong tak mengetahui jejaknya. Seolah-olah sebuah bayangan yang tidak bersuara. Diam-diam tergetarlah hati Cian Hong.

“Siapa kau?” tegurnya sesaat setelah kejutnya hilang.

Nenek itu menyahut dingin: “Mulutmu garang benar! Bahwa kau tak kenal padaku jelas mengunjukkan kau baru saja keluar dari perguruan. Seorang bocah yang masih hijau!”

“Hm, perlu apa aku harus mengenal kau!” dengus Cian Hong. “Memang lebih baik tak kenal!” nenek itu melengking marah,

“tetapi   aku   harus   perlu   tanya   padamu.   Mengapa  kaubunuh

muridku?”

“Muridmu?” “Hm.”

“Pukulan-nomor-satu-didunia?” “Bukan!”

Menunjuk pada Si Ciau-hun yang pingsan berserulah Cian Hong: “Apa dia?”

“Bukan!”

“Habis siapa?” Cian Hong heran. “Siau-hun li!” sahut nenek itu.

Saking kagetnya Cian Hong menyurut mundur dua langkah: “Kau guru dari Siau hun-li?”

“Ya! Kau harus serahkan jiwamu!” kata sinenek itu ditutup dengan suatu gerakan mencengkeram muka Cian Hong.  

Cian Hong bergeliatan menghindari cengkeraman sinenek, serunya: “Nanti dulu!”

Hoa-ki atau si Nenek-kembang terkesiap. Ia hentikan serangannya: “Apa kau hendak meninggalkan pesanan?”

Dengan garang Cian Hong menjawab: “Hm, aku bukan manusia yang takut mati!”

“Lalu mengapa kau minta berhenti?” “Aku hendak bicara sedikit.”

“Lekas bilang!”

“Muridmu Siau-hun-li bukan aku yang membunuhnya!” seru Cian Hong.

“Apakah aku sudi mempercayai omonganmu itu!” bentak Nenek kembang dengan gusar.

Sahut Cian Hong dengan hambar: “Percaya atau tidak terserah padamu. Akupun hendak pergi!”. Habis berkata terus saja ia melesat pergi.

Tetapi cepat sekali Nenek-kembang sudah membayanginya : “Hm, apakah kau mampu pergi!”

Sebenarnya Cian Hong terkejut sekali melihat gerakan sinenek. Namun ia penasaran masakan tak mampu lolos. Dengan kerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh ia lari sekencang-kencangnya.

Setelah 10-an li jauhnya, Cian Hong kendorkan larinya. Belum sempat  ia  berpaling  tiba-tiba  ia  dikejutkan  oleh  suara  dengusan sinenek   dari   arah   belakang:   “Hm,   apakah   kau   kira   mampu meloloskan diri?”

Benar-benar terbanglah semangat Cian Hong dibuatnya. “Gantilah jiwa muridku!” terdengar Nenek kembang berseru bengis.

Cian Hong menggigil tapi cepat-cepat ia menindas kegelisahannya. Serunya: “Sebagai seorang berilmu tentulah cianpwe mengetahui bahwa bukan akulah yang membunuh murid cianpwe!”

Nenek-kambang meraung-raung, “Kalau bukan kau habis siapa yang membunuhnya?”

Cian Hong mengerut gelisah: “Hal ini belum kuketahui. Memang malam ini murid cianpwe telah berjanji padaku untuk bertemu disini. Siapa tahu ia telah binasa dibawah tikaman pedang Sambar- nyawa!”

“Pedang Sambar-nyawa?” Nenek-kembang mengulang. Tiba- tiba wayah nenek itu mengerut hawa pembunuhan, gerahamnya berkerotakan.

“Siapa namamu?” serunya geram. “Ko Cian Hong.” “Itulah!”

“Apa?” Cian Hong berseru kaget.

Tertawalah Nenek-kembang dalam nada yang seram, serunya: “Kau masih berlagak pilon?”

Ditatapnya Cian Hong dengan mata berapi-api, serunya pula: “Ayahmu bukankah Pelajar-seribu-muka Ko Ko-hong...”

“Cianpwe,”  tukas  Cian  Hong,  “belasan  tahun  lamanya  ayahku telah dipenjara dalam Neraka-19-lapis. Sejak dilahirkan aku belum pernah  lihat  wayah  ayahku.  Oleh  karena  itu  aku  tak  faham  ilmu pedang Sambar-nyawa!”

“Apakah aku mau percaya keteranganmu itu?” “Tetapi memang begitulah kenyataannya!” bantah Cian Hong dengan tegas.

Dengan masih diselubungi oleh kerut pembunuhan, Nenek- kembang berseru: “Pada puluhan tahun yang lalu, siapakah yang tak kenal akan senjata istimewa dari Pelajar-seribu muka Ko Ko- hong. Senjatanya yang istimewa ditambah wayahnya yang cakap seperti arjuna, membuat dia dipuja dan dikagumi dunia persilatan. Kecuali kau siapakah yang akan diberinya pelajaran ilmu pedang saktinya?”

Cian Hong merentangkan mata lebar tanpa dapat membuka suara.

“Terimalah seranganku!” tiba-tiba Nenek-kembang ayunkan tangannya kanan.

Cian Hong terpaksa berkelit kesamping. Tetapi sekonyong- konyong Nenek-kembang merobahkan gerak serangannya. Sepasang tangannya tiba-tiba berobah menjadi ribuan tangan yang menyerang Cian Hong. Kecepatan tangannya benar-benar sukar dipercaya.

Cian Hong menggigil.

Sejak keluar kedunia persilatan, belum pernah ia menyaksikan seorang tokoh persilatan yang mempunyai ilmu sedemikian hebatnya. Namun ia tak sempat melamunkan kekagumaanya. Karena terdesak ia mencuri kesempatan untuk lepaskan jurus Pukulan-hitam. Seketika memancarlah serangkum sinar hitam kearah Nenek-kembang.

“Hm, kiranya kau anakmurid Wi Co-jiu. Lebih-lebih aku tak dapat memberimu ampun lagi!” dengus Nenek-kembang. Dengan tangan kiri ia menangkis serangan Cian Hong, kemudian meneruskan dengan serangan sekaligus 7-8 jurus yang diarahkan pada jalan darah sianak-muda.

Cian Hong kalang kabut. Ia terus menerus menyurut mundur. Kepanikan telah membuat gerakannya tangan menjadi kacau balau. Sebaliknya Nenek-kembang terus mencecarnya dengan serangan- serangan maut.

Setelah mundur lagi 3 langkah, timbullah pikiran Cian Hong: “Ah, mengapa tak kugunakan ilmu Membelah langit-menutup-bumi yang sakti itu!” Tetapi sebelum sempat ia bergerak, Nenek-kembang sudah menyerangnya lagi. Jarinya menusuk kearah jalan darah diperut. Cian Hong terpaksa tak dapat memukul. Crek, perutnya kena tertutuk, Cian Hong menyurut mundur tetapi ia tak kuasa bertahan diri lagi, bluk, rubuhlah ia ke tanah...

Wayah Nenek-kembang memberingas bengis. Ia melangkah maju menghampiri: “Kau memang tak boleh dibiarkan hidup!”

Tangan diangkat dan menderulah serangkum angin kearah Cian Hong yang sudah tak berdaya.

Sekonyong-konyong dari samping melancar suatu gelombang aliran tenaga-dalam yang membuyarkan tenaga pukulan Nenek- kembang. Nenek-kembang terkejut sampai menyurut beberapa langkah kebelakang. Ketika mencari siapa yang melepaskan pukulan sakti itu, kejutnya makin menghebat.

Ternyata yang datang adalah Yap Ceng, ayah Yap Siu-lan.

Tampak ia berjalan menghampiri dengan tenang.

“Hoa-ki, rupanya perangaimu masih belum berobah,” serunya. Gemetar tubuh Hoa-ki atau Nenek kembang seketika itu.

Sahutnya dengan tergugu: “Ya, ya,..” “Apakah masih gemar membunuh seperti dulu kala?” seru Yap Teng pula.

Wayah Nenek-kembang terkejut: “Tidak! Tidak!” “Habis mengapa...”

“Dia membunuh muridku!”

“Ah, belum tentu...” sahut Yap Ceng dengan tenang, “dengan memandang mukaku apakah kau dapat mengampuninya?”

Berhadapan dengan Yap Ceng, Nenek kembang yang bengis menjadi jinak seperti seekor anjing bercawat ekor takut digebuk.

“Pesan Yap Lo, masakan aku berani melanggar,” seru Nenek- kembang terbata-bata.

“Kini aku berganti nama Yap Ceng,” kata Yap Ceng dengan bengis, “nama itu mengandung arti tumbuh bersemi lagi. Aku menyembunyikan diri disebuah pondok terpencil. Hari-hari yang lampau sudah kukubur, tak usah diungkit lagi!”

“Ya, ya!” Nenek kembaag tersipu-sipu mengiakan.

Sikapnya amat menghormat dan takut, seperti seorang budak terhadap majikannya.

Tawar pula Yap Ceng berkata: “Urusanku ini, jangan kau siarkan didunia persilatan. Kalau sampai tersiar awas jiwa anjingmu....

mengapa tak lekas pergi!”

Seperti seorang pesakitan dibebaskan dari tahanan, dengan hormat Nenek-kembang segera menghaturkan terima kasih dan segera berlalu.

Dingin-dingin saja Yap Ceng melihati kepergian nenek itu. Namun dibalik cahaya matanya yang tenang itu tersembul pancaran sisa-sisa kebahagiaan dan kemewahan hidup yang lampau. Tetapi hari-hari itu, ah..... Yap Ceng menghela napas lalu menghampiri ketempat Cian Hong. Setelah diamat-amati sejenak, tiba-tiba ia menepuki beberapa jalan darah ditubuh anak muda itu. Beberapa saat- kemudian Cian Hong membuka mata dan celingukan memandang kesekeliling.

Ketika mendapatkan Yap Ceng disebelahnya, buru-buru pemuda itu bangun dan memberi hormat: “Terima kasih atas pertolongan paman. Tak nanti budi paman kulupakan.”

“Bukan aku yang menolongmu,” sahut Yap Ceng. Cian Hong terkesiap keheranan.

“Aku hanya seorang biasa saja yang kebetulan lewat disini. Kulihat kau tertidur maka kubangunkan. Siapa bilang aku menolongmu. Bukanlah kau tadi tertidur?”

Cian Hong mendesah setengah kurang percaya, ujarnya: “Sebenarnya aku tadi dipukul rubuh oleh seorang nenek aneh. Aku pingsan!”

Diam-diam Yap Ceng memuji kejujuran Cian Hong yang tak malu mengakui kekalahannya.

“Oh, kalau begitu kebetulan sekali,” serunya. “Jika paman tak lewat disini, mungkin aku celaka,” kata Cian Hong pula seraya menghaturkan terima kasih.

“Ah, pertolongan sekecil itu tak berarti. Harap Siauhiap jangan memikirkan. Sebaliknya akulah yang wajib menghaturkan terima kasih kepadamu atas pertolongan yang kau berikan kepada anakku dari gangguan si Lak-khiu-sik-kui!”

Dengan rendah hati Cian Hong mengatakan bahwa hal itu sudah selayaknya bagi seorang persilatan menolong orang lemah.

“Aku...” baru Yap Ceng hendak berkata tiba-tiba terdengar jeritan ngeri memecah kesunyian. Cepat sekali Cian Hong segera lari menghampiri. Jauh disebelah muka tampak terkapar dua sosok tubuh. Ketika tiba, ngerilah hati Cian Hong: “Pembunuhan yang ganas sekali!”

Kiranya dada kedua orang itu terbelah, ucusnya keluar dan tubuh mandi darah. Cian Hong kenal mereka sebagai anakmurid Su-hay-mo-ong tetapi ia tak mengetahui dengan ilmu pukulan apa mereka dibinasakan.

“Turut pendapatku, mereka mati dengan pukulan Long-Cian Hong (Cakar-serigala),” tiba-tiba Yap Ceng berseru.

Cian Hong terkejut. Sama sekali ia tak mendengar derap kaki orang she Yap itu mendatangi, tahu-tahu dia sudah berdiri dibelakangnya. Dan yang lebih mengejutkan pula, sekali lihat Yap Ceng sudah tahu sebab kematian kedua orang itu.

Rupanya Yap Ceng tahu akan keheranan sianak-muda, serunya menjelaskan: “Meskipun aku seorang desa tetapi aku banyak bergaul dengan orang persilatan. Dan akupun tertarik akan kejadian-kejadian didunia persilatan. Maka mudahlah kuketahui kematian kedua orang itu!”

Namun Cian Hong masih setengah curiga dan heran. “Siapakah yang memiliki ilmu Long-Cian Hong itu?”

Yap Ceng kerutkan dahi: “Membicarakan orang itu, panjang sekali riwayatnya!”

“Siapa?” Cian Hong menegas.

“Sik-long guru dari Lak-khiu-sik-kui!” “Sik-long?” Cian Hong terkejut.

Yap Ceng mengiakan. “Tidak mungkin!”

“Mengapa tidak? Aku percaya benar.” Cian Hong tertawa nyaring: “Paman Yap, silahkan periksa yang teliti.”

Yap Ceng menghampiri kedua korban. Dibukanya baju mereka. Dada mereka terdapat bekas cengkeraman cakar. Menunjuk pada bekas luka itu, Yap Ceng berseru: “Memang benar Long-Cian Hong!”

Mendengar itu Cian Hong terlongong-longong. “Mengapa?” tanya Yap Ceng.

“Selain Sik-long, siapa lagi yang memiliki ilmu Long ciau-ciang?” tanya Cian Hong.

“Ada seorang lagi.” “Siapa?”

“Muridnya yang bersama Lak-khiu-sik kui. Tetapi dia belum sempurna kepandaiannya. Tak nanti bisa menghasilkan begini. Maka kuberani memastikan, kedua orang ini tentu menjadi korban Sik-long!”

“Tetapi mungkin tidak!” masih Cian Hong bersangsi. “Mengapa?”

“Karena beberapa hari yang lalu Sik-long sudah binasa dibawah Pukulan hitamku.”

“Benarkah?” Yap Ceng menegas.

“Dengan sebuah hantaman Pukulan-hitam, telah kuhantamnya rubuh. Kulihat sudah mati baru kutinggal pergi. Harap paman percaya!”

Yap Ceng mendesah. Ia tundukkan kepala merenung. Sesaat kemudian tiba-tiba ia mengangkat kepala: “Maukah sauhiap mencobakan ilmu Pukulan-hitam kepada pohon besar disana itu?” Cian Hong tak mengerti apa maksud orangtua itu. Dipandangnya pohon besar yang terpisah tiga tombak disebelah muka. Setelah mengerahkan tenaga-dalam, segera ia mendorong. Serangkum sinar hitam meluncur kepohon. Pohon tumbang seketika...

Yap Ceng memeriksa bekas kutungan batang pohon. Ia gelengkan kepala, serunya: “Waktu bertempur dengan dia, sampai berapa jauhnya kepandaian yang sauhiap capai dalam ilmu Pukulan-hitam itu?”

Cian Hong menimang sejenak, ujarnya: “Kira-kira baru setengah sempurna.”

Yap Ceng menghela napas : “Ah, kau ditipu Sik long.” “Ditipu?” Cian Hong terkejut.

“Ya.”

“Bagaimana buktinya?”

Yap Ceng memberi penjelasan: “Sik-long seorang manusia yang licik dan licin seperti belut. Dia pandai sekali mengatur tipu muslihat yang sukar dirabah orang. Dia mahir menekan gejolak perasaannya sehingga orang tak tahu apakah ia marah atau gembira. Seorang tokoh semacam dia mana begitu mudah kaupukul mati?”

“Tetapi jelas dia mati kupukul dengan Pukulan-hitam!” bantah Cian Hong.

“Sepuluh tahun yang lalu, jangan lagi hanya seorang Sik-long, bahkan sepuluh Sik-longpun pasti remuk binasa oleh Pukulan- hitam. Tetapi sepuluh tahun kemudian, tak nanti Pukulan hitam mampu membinasakannya!”

Cian Hong menyurut mundur, serunya: “Benarkah begitu?” Yap Ceng menunjuk pada batang pohon, serunya: “Dengan kepandaian yang kaumiliki sekarang, kau masih kalah setingkat dengan Sik-long!”

Seketika membaurlah kerut wayah kekecewaan diwayah Cian Hong.

“Tetapi hal itu bukan salahmu. Salah Malaekat-elmaut yang telah keliru memperhitungkan!” kata Yap Ceng lebih lanjut.

Cian Hong makin heran, mengapa Yap Ceng tahu juga tentang riwayat Malaekat-elmaut. Namun Cian Hong lebih tertarik akan diri Sik-long, tanyanya: “Apakah selama 10 tahun ini Sik-long mendapat rejeki yang luar biasa?”

“Benar.”

“Rejeki apa?” desak Cian Hong yang makin besar keinginan tahunya.

Yap Ceng tersenyum: “Aku sendiri juga tak tahu. Kelak kau dapat menyelidikinya sendiri ia mengangkat muka memandang langit.

Fajar mulai menyingsing. “Ah, sudah hampir pagi, aku hendak pulang!” serunya sembari melangkah pergi. Tiba-tiba ia berpaling: “Sauhiap, lain kali kita bertemu.”

“Selamat jalan!” sahut Cian Hong.

Cian Hong mengiring kepergian orangtua itu dengan penuh keheranan. Benarkah Sik-long belum mati? Kalau benar kepandaian Sik-long lebih tinggi setingkat, mengapa dia harus berpura-pura mati? Mengapa tidak melawan dan menghancurkan ia (Cian Hong) saja? Mau tak mau Cian Hong menyangsikan juga keterangan Yap Ceng tadi. Begitu pula orangnya. Walaupun dandanan dan mengaku sebagai orang desa, tetapi mengapa orang she Yap itu muncul secara tiba-tiba. Dan pengetahuannya tentang ilmu silat serta tokoh-tokoh persilatan benar-benar tak memadai keadaan dirinya sebagai seorang desa....

Kabut keheranan yang meliputi benaknya, sukar diungkap. Tanpa tersadar ia mencabut pedang Sambar-nyawa yang masih tersimpan dibajunya. Sebatang pedang pandak yang teramat tajam. Pikirannya melayang-layang. Dicobanya untuk menerobos kegelapan kabut yang menyelubungi pikirannya. Namun tetap ia bingung.

Ia tak dapat menemukan alasan, mengapa ayahnya harus membunuh ibunya. Setitikpun ia tak percaya.....

Ah, ia harus mencari pembunuhnya. Apabila pembunuh itu terbekuk, akan terang semua persoalannya. Ya, benar. Ia harus membekuk pembunuhnya. Serentak terbangunlah semangatnya dan segera ia hendak ajunkan langkah Tetapi ah. kemanakah ia

harus mencarinya. ?

Semangat yang menggelora serentak redup, kemauannya yang menyala-nyalapun padam. Sekonyong-konyong sesosok bayangan berkelebat jauh disebelah muka. Ketika dipandang, ternyata wanita patah bati Ceng-thian-it-ki. Bagaikan bintang meluncur dari langit, pesat sekali wanita itu sudah tiba dihadapannya.

“Ho, sekarang jangan harap kau dapat molor lagi!” seru wanita tua itu.

Cian Hong terkesiap.

“Jika masih tak mau memberitahukan tempat Malaekat-elmaut, jangan kau salahkan aku!” seru nenek itu pula. Mengingat nenek itu mempunyai hubungan mesra dengan Malaekat-elmaut, Cian Hongpun tak mau bersikap memusuhi. Bahkan ia kasihan melihat betapa besar kasih yang diderita Ceng- thian-it-ki selama ini.

Sebenarnya ingin ia membantu nenek itu, namun gurunya (Malaekat-elmaut) telah memesan agar jangan memberitahukan tempat tinggalnya kepada siapa-apa pun juga. Terpaksa ia taat.

“Kau benar-benar tak mau mengatakan?” desak nenek Ceng- thian-it-ki pula.

“Perintah guru harus kutaati!” sahut Cian Hong. “Baik, kau boleh mentaati perintah siapapun tetapi aku juga mentaati kehendakku! Tidak dapat memberitahukan tempat Malaekat-elmaut berarti mati bagimu!” teriak Ceng-thian-it-ki.

Cian Hong bingung. Sebenarnya ia wajib menolong nenek itu. Apalagi Malaekat-elmaut toh sudah meninggal. Tetapi selama pesan itu belum ditarik oleh gurunya, ia tak berani melanggar. “Terserah,” serunya pasrah.

“Jadi kau benar-benar menolak?” Ceng-thian-it-ki mulai mengangkat  tinjunya  keatas,  siap  dihantamkan.  “Cianpwe,  maaf    ” belum sempat Cian Hong menyelesaikan ucapannya, tinju

Ceng thian-it-kipun melayang. Wut, angin puyuh menderu dahsyat.

Cian Hong terkejut melihat pukulan sedahsyat itu. Ia tak berani menangkis melainkan menghindar kesamping.

“Hm, kau kira aku tak mampu menundukkanmu?” teriak Ceng- thian-it-ki. Ia menyerang kalap. Sekaligus 7-8 serangan ditaburkan kepada Cian Hong. Cian Hong diperlakukan sebagai seorang musuh besar. Rindu dendam selama berpuluh-puluh tahun meletus seperti gunung berapi muntahkan lahar..... Bulan lewat bulan, tahun berganti tahun. wanita itu mencari sang kekasih keseluruh penjuru dunia. Bahwa sekarang ia mencium bau jejak orang yang dicarinya itu, sudah tentu ia tak mau melepaskan begitu saja.

Cian Hong tetap tak berani menangkis. Ia mematuhi pesan gurunya supaya jangan berlaku kurang ajar terhadap wanita tua itu. Maksudnya ia hanya akan menghindari saja, tetapi gerakan Ceng- thian-it-ki luar biasa aneh dan cepatnya. Apalagi wanita tua itu sedang marah. Tiap gerak serangannya dilancarkan serba keras dan ganas.

Cepat  sekali  12  jurus  telah  berlangsung.  Pada  jurus  terakhir, bahu kiri Cian Hong terlambat menghindar dan kena terpukul. Ia terhuyung-huyung beberapa langkah kebelakang. Darah bergolak- golak dan huak     mulutnya muntah darah dan jatuhlah ia terduduk

di tanah. Mukanya pucat seperti kertas...

Melihat itu Ceng-thian-it-kipun hentikan pukulannya. Ia terkejut melihat keadaan Cian Hong. Tak terasa air matanya bercucuran.

“Nak, aku tak sengaja...” serunya dengan rawan. Sebenarnya Cian Hong marah sekali. Tetapi ketika mendengar nada ucapan siwanita yang pilu, iapun luruh hatinya.

Ceng-thian-it-ki lari menghampiri dan mengangkat tubuh Cian Hong.

“Bagaimana, lukamu berat atau tidak? Dibagian mana yang terluka? Akan kuobatinya!” ujarnya dengan berlinang-linang. Ia segera memijat-mijat semua jalan darah anak muda itu. Keringatnya bercucuran membasahi dahi. Jelas bahwa nenek itu telah menghamburkan tenaga-dalam untuk menyembuhkan luka Cian Hong.

“Bagaimana sekarang?” tanyanya beberapa saat kemudian. Cian Hong merasa sudah separoh bagian sembuh. Ia menghaturkan terima kasih.

“Aku yang salah. Silahkan kau memberi hukuman,” kata Ceng- thian it-ki.

“Tidak locianpwe, janganlah mengatakan begitu,” Cian Hong tersipu-sipu, “kutahu betapa perasaan cianpwe  selama  ini.  Hanya. ” ia tak melanjutkan kata-katanya.

Ceng-thian-it-ki berbangkit. Ia memandang jauh ke cakrawala. Ujarnya penuh kedukaan: “Ah, tak kira asmara murni yang kucurahkan selama berpuluh tahun akhirnya hanya hari-hari penuh kekecewaan yang kuderita. Apakah dia sungguh tak cinta padaku?”

“Cianpwe, guruku amat cinta padamu,” sahut Cian Hong.

Ceng thian-it-ki tetap memandang kelangit, serunya hambar, “Jangan membohongi aku!”

“Tetapi memang benarlah,” kata Cian Hong, “tak sedikitpun guru melupakan cianpwe. Walaupun guruku tak mau menemui cianpwe tetapi bukanlah karena tak mencintai cianpwe melainkan karena sikapnya hendak berkorban demi cintanya kepada cianpwe.”

“Berkorban?” Ceng-thian-it-ki tertawa sinis, “apakah cinta antara pria dan wanita harus dibatasi? Apakah kita tak bebas?”

“Tetapi guru adalah musuh yang membunuh ayah cianpwe!” “Ah,  itu  dendam  darah  orang-orang  tua,  apakah  kita  harus

mengikat  diri  dengan  dendam  orang-orang  tua  yang  tak  kita

ketahui? Kalau orang-orang tua bersalah, apakah kita sebagai keturunan muda harus melanjutkan kesalahan itu?”

Tergerak hati Cian Hong mendengar uraian Ceng-thian-it-ki. “Berpuluh-puluh  tahun  kuteguk  air  empedu  kepahitan rindu

kasih. Kujelajahi seluruh penjuru  langit  untuk  mencari  jejaknya. Tetapi kini yang kujumpai hanyalah kekecewaan putus asa, putus asa...”. Nada suara Ceng-thian-it-ki makin lemah dan lemah. Hatinya tenggelam dalam dasar lautan derita yang tak berujung. Wanita tua itu tegak seperti patung tak bernyawa...

Terharu Cian Hong menyaksikan keadakan Ceng-thian-it-ki. Diam-diam ia menyesali dirinya sendiri. Seharusnya ia tak boleh menolak permintaan wanita tua itu. Sekalipun ia harus menerima hukuman dari arwah gurunya, tetapi ia harus memberitahu pada wanita tua itu. Ia percaya arwah gurunya tentu dapat mengasoh dengan tenteram dialam baka demi mengetahui kemurnian cinta Ceng-thian-it-ki.

Rasa kasihan dan simpati Cian Hong tercurah seluruh kepada Ceng-thian-it-ki. Dijamahnya tangan wanita tua itu, serunya dengan terharu: “Cian-pwe ”

Ceng-thian-it-ki tersadar dari lamunannya.

“Biarlah kulanggar pesan guruku. Akan kuberitahukan cianpwe……” kata Cian Hong.

Diluar dugaan Ceng-thian-it-ki menyahut tawar: “Tak usah, karena dia tak suka bertemu dengan aku, biarlah!”

“Bukan begitu, guruku rindu sekali berjumpa dengan cianpwe. Ingin benar dipeluk dalam rindu kasihmu yang hangat ” kata Cian

Hong pula, “harap Cianpwe jangan terlalu bersedih!”

Ceng-thian-it-ki memandang anakmuda itu dengan lekat-lekat, ia mengangguk.

“Goha Bu-yu-tong gunung Bu-yu-san ” “Benarkah dia tinggal

disitu?” ulang Ceng-thian-it ki.

Pertanyaan itu membuat Cian Hong beringsut-ingsut sukar menjawab. Benar Malaekat-elmaut tinggal digoha Bu-yu-tong tetapi hanya tinggal rerangka tulang mayatnya. “Masakan aku berani bohong,” katanya.

“Terima kasih,” kata Ceng-thian-it-ki dengan tergetar, ”aku harus menemuinya. Berpuluh-puluh tahun kunantikan hari penemuan itu. Aku gembira sekali, aku ingin sekali bertemu muka dengannya. ?”

Sejenak ia memandang cakrawala, katanya: “Aku hendak pergi!”. sekali melesat ia sudah berada berpuluh tombak jauhnya.

“Cianpwe!” Cian Hong berteriak kaget. Ceng-thian-it-ki berhenti: “Mengapa?”

“Cianpwe, jika terjadi sesuatu dengan guru ”

“Eh, apakah kau masih tak mengerti padaku? Cintaku kepadanya sejernih air ditelaga. Telah kusimpan perasaan itu berpuluh tahun. Walaupun dia telah menjadi manusia cacad yang bagaimana buruknya, aku tetap mencintainya!”

Ah, betapa suci cinta itu!

Tetapi rupanya takdir telah menghempaikan asmara murni wanita itu. Mengoyak nasibnya....

Beberapa kali Cian Hong hendak memberitahukan keadaan Malaekat-elmaut yang sebenarnya, tetapi setiap kali ia meragu. Apakah ia harus menceritakan terus terang tentang gurunya? Ataukah membohongi wanita itu saja? Tetapi kebohongan itupun hanya tahan sementara waktu, karena akhirnya toh akan terbuka rahasianya.

Terjadi pertentangan hebat dalam batin Cian Hong. Akhirnya ia memutuskan. Bohong demi kebaikan adalah tidak berdosa. Sekurang-kurangnya Ceng-thian-it-ki untuk beberapa waktu tetap akan memiliki impian yang bahagia. “Meskipun kelak ia mengetahui, kupercaya ia tentu dapat memaafkan aku!” pikirnya lebih lanjut.

“Cinta cianpwe yang sedemikian besarnya pasti akan diberkahi Allah,” akhirnya ia mengantar kepergian wanita itu dengan doa pujian.

Ceng-thian-it-ki segera melesat pergi. Cian Hong terlongong- longong mengawasi kepergian wanita itu. Entah bagaimana hatinya terasa tenggelam dalam kerawanan yang dalam....

Tiba-tiba ia dikejutkan oleh kedatangan 4 orang anakbuah Su- hay-mo ong. Mereka menghadang ditengah jalan. Serta melihat kedua mayat kawannya terkapar ditanah, salah seorang segera berseru: “Besar nian nyalimu berani membunuh kedua orang itu!”

Cian Hong mendengus: “Bukalah matamu lebar-lebar.” Keempat orang itu terkesiap. Salah seorang berseru pula: “Kami tak takut kepadamu!”

“Tetapi kau bakal mati sia-sia!” kata Cian Hong. “Belum tentu. ”

“Tetapi mereka bukan aku yang membunuh!” “Jika bukan kau siapa lagi!” serempak keempat anakbuah Su-hay-mo-ong itu berseru.

“Aku tak perlu berbantah dengan kalian!” bentak Cian Hong. “Kalau begitu kau memang bosan hidup!”

“Hm, entah siapa yang bosan hidup, aku atau kalian?” kata Cian Hong.

Keempat anakbuah Su-hay mo-ong itu segera ayunkan pedangnya: “Sambutlah!”. empat sinar pedang berhamburan menabur Cian Hong. Tetapi dengan sebuah hantaman, keempat orang itu terdorong mundur beberapa langkah. Mereka maju lagi. Serentak pecahlah pertempuran hebat antara pedang lawan tinju. Walaupun berempat dan menggunakan pedang, namun mereka tak berhasil mengalahkan sianakmuda. Pukulan Cian Hong merupakan angin kencang yang selalu memaksa lawan-lawannya terpental mundur.

Tiba-tiba terdengar suara melengking: “Berhenti!”

Keempat orang itu berhamburan loncat kebelakang. Ternyata yang muncul adalah sinona Hay gwa-it kiau. Keempat anak buah Su-hay-mo-ong segera menghampiri kehadapan nona itu dan memberi hormat: “Nona...”

“Lekas enyah!” bentak Hay-gwa-it-kiau dengan gusar.

Keempat orang itu terkesiap, serunya: “Nona, dia memburuh.  ”

“Jangan banyak mulut, lekas enyah!” bentak Hay-gwa-it-kiau. Keempat orang itu gemetar ketakutan dan segera ngeloyor pergi.

Hay-gwa-it-kiau menghampiri kemuka Cian Hong: “Atas kekurang-ajaran anak buahku tadi harap maafkan!”

“Ah, tak apalah!”

Melirik sejenak kepada kedua mayat, Hay-gwa-it-kiau berkata pula: “Tetapi entah kesalahan apa yang mereka lakukan hingga sampai binasa?”

“Aku tak membunuh mereka!”

“Bukan kau yang membunuh?” Hay gwa-it-kiau menegas heran. “Tentu!”

“Ah, maafkan,” Hay-gwa it-kiau segera menghampiri kepada kedua mayat itu dan memeriksanya.

“Ya, memang benar bukan kau...” serunya kaget. Sejenak ia merenung lalu berkata seorang diri : “Long-ciau-ciang, Sik-long...

dia berani menghina aku!” Diam-diam Cian Hong terkejut dan memuji kelihayan nona itu.

Sekali lihat sudah dapat mangetahui siapa pembunuhnya.

Hay-gwa-it-hiau berbangkit, katanya: “Tadi aku salah sangka, maafkanlah!”. ia menjurah memberi hormat selaku meminta maaf.

Cian Hong tersipu-sipu membalas hormat orang.

“Sejak saat ini kita berdua harus kerja sama agar dunia persilatan tenteram. Jika dua ekor harimau saling bertempur, keduanya tentu terluka dan tak ada gunanya!” kata Hay-gwa-it kiau pula.

“Ah, belum tentu,” sahut Cian Hong dingin. Wayah Hay-gwa-it- kiau yang buruk agak berobah.

Kecewa dan marah menyelubungi kerut mukanya. Matanya berlinang-linang.

Cian Hong pura-pura tak melihatnya. Ia memikiri Sik long yang licin banyak muslihat itu. Termasuk kematian Sin-ciu-it-kiampun menjadi pemikirannya saat itu.

Tiba-tiba terlintas sesuatu dalam benaknya: “ Aku hendak mohon tanya pada nona.”

“Silahkan!”

“Apakah ayah angkatmu Sin-ciu-it-kiam sungguh sudah meninggal?” tanya Cian Hong.

Hay-gwa-it-kiau tertegun, sahutnya: “Bukankah kau juga hadir dalam penguburannya? Mengapa ada orang yang mati pura-pura?”

“Belum tentu!”

“Itu sebuah lelucon besar didunia!”

“Bukan begitu,” sahut Cian Hong, “Sin-ciu it-kiam seorang tokoh yang termasyur. Masakan mendengar tentang kematian Bu-ceng- mo-ong Leng hou Ciu saja dia sudah lantas meninggal juga. Bukankah ini menimbulkan kesangsian orang?” Hay-gwa-it-kiau tertawa dingin: “Akupun mengharap ayahku tidak mati!”. ia mendengus dan berkata pula: “Tetapi apakah hubungan benar tidaknya kematian ayahku itu dengan kau?”

“Sudah tentu ada...” Cian Hong kertek gigi, “mungkin dia hendak melakukan siasat mati untuk menghindari pembalasan sakit hati!”

“Dan kau yang hendak membalas sakit hati itu, bukan?” tukas Hay gwa-it kiau.

“Benar!”

“Tetapi orangnya sudah mati, mengapa kau masih mati-matian membencinya?”

“Mungkin belum tentu dia sudah mati sungguh-sungguh.

Bagaimana dendamku bisa reda?”

“Bagaimana maksudmu?” tanya sinona.

Cian Hong kerutkan dahi: “Hendak kubongkar kuburannya dan kubuka petinya agar kuketahui apakah Sin-ciu-it-kiam benar-benar sudah mati atau belum?”

“Betapa kejammu! Takkan kuperbolehkan kau melakukan hal itu. Jika kau berani membongkar peti matinya, aku bersumpah tak mau hidup satu langit dengan kau!” seru Hay-gwa it kiau.

“Jika kau tak menghendaki aku berbuat begitu, beritahukanlah saja dimana Sin-ciu-it-kiam sekarang?”

Marah sekali Hay-gwa-it kiau menyelutuk: “Ia sudah mati. ”

“Syukur kalau begitu, akupun terpaksa menyalahi kau,” Cian Hong melesat sampai 7-8 tombak jauhnya.

Hay-gwa-it-kiau loncat mengejar. Ia mencegat ditengah jalan : “Apakah kau sungguh-sungguh tak mau membebaskan orang yang sudah meninggal?” Jawab Cian Hong dengan angkuh: “Demi untuk membuktikan keteranganmu, terpaksa aku harus berbuat begitu.”

“Akupun terpaksa akan membencimu seumur hidup!” sahut Hay-gwa-it-kiau.

“Tak apa kau membenciku, aku tak mau mengecewakan mendiang guruku.”

Dengan putus asa Hay-gwa-it-kiau menyerang secara tiba-tiba. Cian Hong balas memukul. Hay-gwa-it-kiau terpukul mundur dan Cian Hong cepat-cepat loncat lari.....

ooOOoo

Tiga hari kemudian, Cian Hong tegak berdiri di hadapan sebuah makam. Batu nisan makam itu bertuliskan nama Sin-ciu-it-kiam.

Cian Hong termangu-mangu mempertimbangkan tindakan yang akan diambilnya. Ia merasa bahwa tindakan yang akan diambilnya memang kelewat batas. Membongkar kuburan orang mati, perbuatan yang tercela.

“Ah, demi membuktikan Sin-ciu-it kiam sudah mati atau tidak, terpaksa aku harus berbuat begitu. Apabila dia sudah mati sungguh- sungguh asal kubuatkan lagi sebuah makam baru, tentu orang takkan mencela tindakanku”, akhirnya ia mengambil putusan.

Iapun segera bertindak. Dengan kedua tangan ia mulai membongkar. Sekonyong-konyong terdengar suara orang membentak bengis: “Berhenti!”

Cian Hong buru-buru berhenti dan berpaling. Dari belakang makam muncul seorang nenek tua kulitnya berwarna kuning rambut putih. Sepasang matanya memancar sinar berkilat-kilat. “Seorang pemuda berani melakukan perbuatan yang dikutuk orang!” seru wanita tua itu.

Sejenak termangu kaget, Cian Hongpun menyahut: “Bagaimana buktinya?”

“Menurut hukum kemanusiaan, orangnya mati segala dendam habis. Betapapun besar dendam itu tetapi harus sudah hapus. Tetapi tindakanmu sungguh keterlaluan!”

“Tetapi kalau kuburan ini hanya kuburan kosong...” “Kau...” wanita tua berambut putih itu terkesiap kaget.

“Aku hendak membuktikannya,” sahut Cian Hong tak acuh. “Siapa?” seru wanita tua itu.

Cian Hong menunjuk kearah makam, serunya: “Tentu saja Sin ciu-it-kiam!”

“Kau menyaksikan dia belum mati?” tanya wanita tua berambut putih.

“Hm ”

“Bagaimana kehendakmu?” “Ingin sekali kubuktikan petinya.”

“Jika tak kuijinkan?” tanya wanita tua. “Terpaksa akan kulanggar.”

“Kau percaya mampu?”

“Akan kucoba!” sahut Cian Hong yang segera ayunkan tangannya memukul.

Wanita tua berambut putih marah sekali. Ia balas memukul, menggempur angin pukulan Cian Hong. Tenaga pukulan Cian Hong lenyap..... Kejut Cian Hong bukan kepalang. Dia gunakan lima bagian tenaganya untuk memukul, tetapi dengan gaya yang enak sekali wanita berambut pulih dapat melenyapkannya.

Tetapi kejut wanita tua berambut putih lebih besar lagi, pikirnya: “Kugunakan 9 bagian tenaga untuk menghapus, paling-paling hanya dapat melenyapkan tenaga pukulannya tetapi tak sampai merubuhkannya. Hebat benar kepandaian anak ini!”

“Apakah kau benar-benar hendak merintangi aku?” seru Cian Hong.

“Tetap kularang kau melakukan perbuatan yang dikutuk orang!” sahut wanita tua berambut putih.

Cian Hong mendengus: “Tetapi aku mempunyai dendam sebesar lautan dengan dia!”

“Dia sudah mati dendammu pun harus habis. Tak seharusnya kau masih memusuhi orang yang sudah mati. Apalagi kau seorang pemuda yang berilmu!”

“Hati manusia sukar diduga. Bagaimana aku dapat meyakinkan diriku bahwa dia sudah mati sungguh?”

“Apakah kau sungguh-sungguh tetap hendak membongkar kuburannya?” seru wanita tua berambut putih.

“Ini. ” Cian Hong merenung sejenak, “asal kudapat bukti bahwa

dia benar-benar sudah mati atau belum, tentu kuhentikan rencanaku ini!”

Wanita tua berambut putih itu berpikir sesaat, ujarnya: “Kalau begitu baiklah kukasih tahu padamu. ”

“Apakah Siu-ciu it kiam benar sudah mati?” “Entah, aku tak tahu!”

“Ini. “ “Yang hendak kuberitahukan padamu ialah,” tukas wanita tua itu, “bahwa yang berada dalam kuburan ini bukanlah Sin-ciu-it- kiam!”

“Bukan Ting Kay-ih?” Cian Hong terkejut. “Bukan!”

Cian Hong benar-benar kaget sekali. Siapakah yang ditanam dalam kuburan itu kalau bukan Sin-ciu-it-kiam Ting Kay-ih? Dan bagaimanakah dengan Sin-ciu-it-kiam sendiri? Sudah mati atau masih hidupkah orang itu?”

“Kalau begitu Sin ciu-it-kiam belum meninggal?” Cian Hong ajukan pertanyaan.

“Aku tak jelas” sahut wanita tua berambut putih, “yang jelas Sin- ciu-it kiam tidak dikubur disini, entah dikubur dimana. Yang dapat kuterangkan, kuburan ini tidak berisi Sin-ciu-it-kiam. Entah dia benar mati atau masih hidup aku tak tahu!”

“Lalu siapakah yang dikubur ini?”

“Soal itu tak perlu kujawab,” sahut wanita tua berambut putih. “Kalau begitu terpaksa kubuka juga,” kata Cian Hong.

Wanita itu berambut putih marah sekali, geram: “Omonganmu mencla mencle!”

“Tetapi kau belum dapat menerangkan mati tidaknya Sin-ciu-it- kiam. Dan kaupun tak mau menerangkan siapa yang dikubur dalam makam ini, maka terpaksa kulanjutkan rencanaku!”

“Hm, kau kira mampu?” wanita tua berambut putih melesat kehadapan Cian Hong.

“Sambutlah seranganku ini!” Cian Hong memukul dengan sekuat tenaga. Wanita  tua  merasa  digempur  oleh  gelombang  tenaga   yang dahsyat. terpaksa ia mundur dua langkah. “Enyahlah!” Cian Hong susuli lagi dengan mendorongkan kedua tangannya. Kedua lengan wanita  tua  serasa  kesemutan,  walaupun  ia  sakti  tetapi  tetap  tak mampu menandingi Cian Hong. Ia mundur lagi 10-an langkah.

Kesempatan itu digunakan Cian Hong untuk loncat kemuka makam.

“Celaka, jika tak dapat kucegahnya pemuda itu membongkar makam, nyawamu tentu hilang,” pikir wanita tua itu. Ia ayun tubuhnya kemuka Cian Hong lagi.

Cian Hong marah: “Kau memang bosan hidup!” ia ayunkan tinjunya kanan. Serangkum gelombang tenaga dalam yang hebat, mendampar wanita tua sampai setombak jauhnya. Wanita itu menderita luka parah, badan berlumuran darah dan rubuhlah ia ketanah....

“Siapakah yang berada dalam kuburan ini?” tanya Cian Hong. “Bukan Sin ciu-it kiam!” “Jawabmu tak memuaskan!”

“Tetapi kupastikan, bukan Sia-ciu-it-kiam yang ditanam dalam kuburan ini.”

Jawaban wanita tua berambut putih dan tindakannya mati- matian hendak mencegah Cian Hong membongkar makam, benar- benar menimbulkan kecurigaan Cian Hong. Jika bukan Sin-ciu-it- kiam, habis siapakah yang berada dalam makam itu?

“Jika kau tetap tak mau mengatakan siapa yang ditanam dalam makam ini, akupun tetap hendak membongkarnya,” kata Cian Hong.

Wanita tua itu berusaha bangun, serunya: “Selama aku masih bernapas, tentu kuhalangi tindakanmu!” Cian Hong tertawa geram: “Kau mampu?”. ia segera ayunkan tangan menghantam makam. Wayah wanita tua pucat seketika. Dengan menahan kesakitan ia paksakan diri lari menghampiri dan menyerang Cian Hong.

Melihat kekalapan siwanita tua, Cian Hong terpaksa gunakan jurus Membelah-langit-membuka-bumi.Wanita itu menjerit ngeri dan terlempar beberapa langkah jauhnya. Lukanya makin parah, namun ia tetap keraskan hati untuk bangun kembali.

Cian Hong tak menghiraukan. Ia lanjutkan menggempur makam lagi. Tanah berhamburan dan beberapa kejap kemudian tampaklah sudah tutup peti mati.

Cian Hong mengambil putusan hendak melihat isi peti mati itu.

Ia teruskan gempurannya.

“Berhenti!” tiba-tiba wanita tua berseru.

“Siapa didalam peti itu?” Cian Hong hentikan pukulannya dan berseru.

“Entah!” sahut wanita tua berambut putih. “Hm, kutahu!” “Siapa?” wanita tua tergetar.

“Sin-ciu-it-kiam,” sahut Cian Hong, “tetapi dia belum mati!” “Tidak!”

“Hm, kau kira aku tak tahu? Sin-ciu it-kiam pura-pura mati untuk melenyapkan jejaknya. Tetapi akan kusuruhnya dia mati benar-benar dalam tanganku!”

Tiba-tiba si wanita tua berambut putih tertawa panjang.

Nadanya seram-seram rawan.

“Mengapa kau tertawa?” tegur Cian Hong.

Wanita tua itu bergeliat bangun, serunya sinis: “Kutertawa karena melihat sikapmu yang sok pintar sendiri itu!” Cian Hong mendengus dingin: “Bagaimanapun halnya, sebuah pukulanku tentu akan dapat membuka isi peti itu dan coba lihat saja aku memang sok pintar atau tidak!”

Wanita tua itu gemetar, ia paksakan tertawa: “Kalau kau berbuat begitu, kau pasti menyesal!”

“Tidak, tentu tidak. Jangan kuatir!”

Wanita tua melangkah kehadapan Cian Hong, serunya tegas: “Sebelum kau hancurkan peti itu, lebih dulu bunuhlah aku!”

“Kita tak bermusuhan, mengapa aku harus membunuhmu?” “Tetapi aku tetap hendak melindungi peti mati sampai mati!” “Aku tak percaya kau mampu melindunginya,” Cian Hong

menutup kata-katanya dengan hantaman ke peti.

Wanita tua berambut putih loncat menghadang.

Huak ia muntah darah dan rubuh lagi ketanah. “Apakah kau

tetap hendak menghancurkan peti?”

serunya dengan tersendat. “Ya!”

Wanita tua berambut putih menghela napas. Memandang kearah peti mati, ia berkata: “Hamba sudah berusaha melindungi, “tetapi apa daya. Biarlah hamba menebus kedosaan dengan bunuh diri!” secepat kilat wanita tua itu menghantam ubun-ubun kepalanya sendiri. Mati tanpa menjerit, ia terkapar tak bernyawa ditanah...

Cian Hong tak keburu mencegah. Dia kasihan juga kepada wanita tua itu. Sampai beberapa saat ia memandang peti mati itu.

Angin pegunungan menghembus dingin. Hawa pembunuhanpun reda.

“Sin-ciu-it-kiam, keluarlah!” tiba-tiba Cian Hong berseru.

Namun peti mati itu tetap membisu tak bergerak. Cian Hong ulangi teriakannya : “Sin-ciu-it-kiam keluarlah mengadu jiwa, agar namamu jangan jatuh.”

Hanya kesiur angin yang mendesis.

“Jika tak mau keluar, jangan sesalkan tindakanku menghancurkan petimu!” teriak Cian Hong pula.

Sekonyong-konyong terdengar suara rintihan kecil dari dalam peti mati. Cian Hong terkesiap. Didengarnya pula dengan seksama. Suara itu mirip suara hantu. Sebentar terdengar, sebentar lenyap...

Bukannya takut kebalikannya Cian Hong malah mengancam: “Jangan pura-pura menjadi setan. Ayo keluar atau kuhancurkan...”

Belum  sempat  Cian  Hong  melanjutkan  kata-katanya,  tiba-tiba tutup peti mencelat keudara dan dari dalam peti menghambur asap berwarna    kebirU2-biruan.    Lenyapnya    asap    berganti    dengan pemandangan yang membuat Cian Hong hampir copot nyalinya.

Seorang makhluk bangun berdiri dari dalam peti mati. Seorang makhluk yang menyerupai setan perempuan. Tulang belulangnya tampak jelas dan rambutnya terurai kusut masai. Wayahnya menyeramkan sekali. Saking kejutnya Cian Hong sampai menyurut mundur dua tiga langkah...

ooOOoo

“Kau siapa?” tegur hantu perempuan itu dengan nada dingin sekali.

Kembali Cian Hong mundur dua langkah. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Ia benar-benar bergidik mendengar nada suara hantu itu. Napas hantu perempuan itu terdengar mendesis-desis menghamburkan semacam hawa dingin. Serunya pula: “Kau berani menghancurkan peti mati, apa sudah bosan hidup?”

Cian Hong mengangkat kepala memandang kelangit. Tampak matahari bercahaya terang. Seketika timbullah pula semangatnya. Ketakutannya terhadap hantu perempuan itupun agak berkurang.

“Dibawah langit biru yang bersinar matahari gemilang, kau berani menggertak orang dengan menyaru seperti setan? Huh, hanya sebangsa kerucuk yang sudi melakukan tindakan semacam kau!” serunya dengan nyaring.

Hantu perempuan itu tertawa mengekeh. Nadanya gemerincing menusuk anak telinga terus mengoyak semangat. Cian Hong terkejut. Buru-buru ia kerahkan tenaga dalam untuk menghalau.

Puas tertawa, hantu perempuan itupun berseru: “Tahukah kau tempat apa ini?”

“Bukankah sebuah makam?” Cian Hong balas bertanya. “Salah!”

“Ha, Sin-ciu-it-kiam hanya pura-pura mati untuk menghapus jejak dan dikubur disini. Siapa tahu ternyata kuburan ini hanya kosong dan kau gunakan sebagai sarang untuk main-main menjadi setan jejadian!”

“Besar sekali mulutmu. !”

“Cara main sembunyi bukanlah laku seorang ksatria,” seru Cian Hong.

“Kau tak percaya tentang hantu iblis?” tanya hantu perempuan. Cian Hong tertawa nyaring: “Omong kosong!”

“Kau tahu tempat apa ini?” hantu perempuan mengulang lagi pertanyaannya. “Tempat apa?” dengus Cian Hong, “masakan sebuah Neraka?” “Benar!” seru hantu perempuan.

“Apa? Sebuah neraka?” teriak Cian Hong.

“Benar, memang disinilah Neraka yang tiada ujung pangkalnya!” “Neraka?”

“Hm, Neraka dua lapis!”

Cian Hong tersirap kaget. Ia pernah masuk ke Neraka satu-lapis. Kini   ia   berada   didaerah   Neraka-dua-lapis   Bukankah   ayahnya dipenjara dalam Neraka-19-lapis?”

Teganglah wayah Cian Hong seketika. Hawa pembunuhan merajapi dadanya. “Neraka-dua-lapis? Akan kuhancurkan!”

“Kau hendak menghancurkan neraka ini? Ho, ho, mungkin kau takkan melihat sinar matahari lagi.” “Mana pemimpinmu, aku hendak bertemu!” seru Cian Hong.

“Kalau kau berjodoh tentu bisa, tetapi kalau tidak, jangan harap bisa menghadap Giam-ong (raja Akhirat). Kecuali kaupun jadi setan dalam neraka ini, barulah kau mampu. Untuk itu hanya ada sebuah jalan.”

“Bagaimana?” “Mati!” “Belum tentu!”

“Karena kau keras kepala, majulah!” tiba-tiba segulung asap menghambur. Cian Hong terpaksa loncat mundur, ia takut kalau- kalau asap itu beracun. Tetapi ketika asap sudah lenyap, hantu perempuan itupun lenyap juga.

Peti mati tetap masih menggeletak ditanah. Cian Hong menghampiri dan ketika memeriksa ia terkesiap kaget. Kiranya peti itu hanya bertutup di atasnya tetapi tiada bertutup dibawahnya. Bagian bawah ternyata sebuah lubang terowongan yang gelap. Terang kalau terowongan itu jauh masuk kedalam tanah.

Setelah memeriksa Cian Hong mengambil kesimpulan bahwa terowongan itu tentu jalan menuju ke Neraka-dua-lapis.

“Jika tak masuk kedalam sarang harimau mana aku dapat memperoleh anak harimau. Jika tak berani memasuki terowongan ini, mungkin aku tak dapat menolong ayah!” akhirnya Cian Hong mengambil keputusan.

Dengan hati bulat, ia menyusup masuk. Ternyata didalam terowongan, merupakan sebuah ruangan yang cukup luas. Tetapi seketika itu juga terasa angin dingin menyambarnya. Angin bukan sembarang angin melainkan angin berdesis-desis yang seram.

Sejenak menenangkan perasaan, Cian Hong segera teruskan langkahnya. Ia menyusuri sebuah lorong terowongan yang tak kurang dari 30 tombak panjangnya.

Tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara rintihan orang yang menyayat hati. Didengarnya dengan teliti. Ah... nyata suara rintihan itu tentu berasal dari orang yang sedang disiksa.

Meluaplah darah Cian Hong. Ia mengambil ketetapan hendak mengobrak abrik sarang penjagalan (pembantaian) manusia itu. Kini ia memasuki sebuah ruangan yang lebar. Ruang yang dijadikan sebagai ruang hukuman. Ruangan itu memberi gambaran yang seram memuakkan. Dibawah penerangan obor, tampak bergantungan bermacam-macam senjata tajam alat penyiksa. Beberapa orang yang tengah disiksa terdengar merintih-rintih. Penyiksa-penyiksa yang berbentuk seperti setan, sedang melaksanakan hukuman dengan hati dingin.

“Hai, apakah orang itu bukan paderi Goan Thong,” Cian Hong terkesiap kaget ketika memperhatikan orang yang tengah disiksa. Dan cepat sekali ia loncat menyambar lengan seorang setan kecil: “Enyah!”

Setan kecil itu terlempar beberapa tombak, rantai besi alat penyiksapun terlepas jatuh.

Ah, benarlah. Orang yang disiksa itu memang paderi Goan- Thong. Cepat-cepat Cian Hong membuka borgolannya dan menepuk bahu paderi itu. Untunglah paderi itu tak berapa parah lukanya. Secepat ia bangkit, dipandangnya Cian Hong dengan tajam: “Hai, siapakah kau? Setan Hitam atau Raja Akhirat?”

Cian Hong tertawa: “Bukan, cobalah lihat lagi siapa aku?”

“Hai, kiranya kau, Cian Hong, Ko sauhiap!” teriak paderi Goan Thong sesaat penglihatan terang.

Cian Hong mengiakan kemudian ia menanyakan mengapa paderi itu berada disitu. Goan Thong menghela napas panjang. Belum sempat ia menjawab, beberapa setan kecil loncat menerjang Cian Hong dengan rantai besi.

“Awas, Ko sauhiap!” Goan Thong memperingatkan. Cian Hong menyambar tangan mereka dan sekali menutuk jalan darah perut, mereka berhamburan jatuh ke tanah.

Anehnya walaupun kawan-kawannya ada yang dilempar orang, tetapi setan-setan kecil lainnya yang tengah menjalankan siksaan pada orang-orang tangkapannya, tak menghiraukan sama sekali. Mereka tetap melanjutkan tugasnya masing-masing.

Pada saat itu muncullah dua rombongan setan kecil. Mereka tak mengenakan baju dan senjata.

“Disini bukan tempat bicara, paling perlu kau harus tinggalkan tempat celaka ini,” kata Cian Hong.

Tetapi paderi Goan Thong menolak: “Tidak, tak sampai hati aku melihat kau terancam bahaya!” Kata Cian Hong dengan-tegas: “Tetapi jika kau masih berada disini berarti menyiksa hatiku. Lekas, tinggalkan tempat ini, keluar dari terowongan dan tunggu aku diluar makam!”

Paderi itu hendak bicara lagi tetapi cepat-cepat Cian Hong mendorongnya: “Cepat!”

Tubuh paderi itu mencelat menyusuri terowongan.

Pada saat itu ke 3 setan kecilpun tiba dihadapan Cian Hong. “Siapa  kau?  Kau berani masuk  kedalam ruang  hukuman  dan

berani  melepaskan  orang  hukuman  disini.  Kau  pasti menerima

hukuman cacah!”

“Hai. manusia-manusia yang menyaru menjadi setan bawalah kau kepada majikanmu!” bentak Cian Hong.

“Memang Giam-ong hendak berjumpa padamu!” sahut setan kecil.

“Itu lebih baik!”

“Ikut aku,” kata setan kecil. Diikuti oleh rombongan ke 8 setan kecil, mereka berputar diri dan ayunkan langkah. Cian Hong mengikuti dibelakang. Keluar dari ruang hukuman, mereka tiba diruang besar. Diatas ruangan tergantung sebuah papan bertulis Giam-ong-tian (ruang raja Akhirat). Ruang dihias seram. Dua deret penjaga yang terdiri berpuluh-puluh setan kecil, menjaga ketat ruang itu.

Tiba dimuka ruang, salah seorang setan kecil berseru nyaring: “Hamba melapor telah menangkap seorang pengacau!”

Terdengar tambur berderap riuh. Sesaat kemudian muncullah seorang tua yang mengenakan pakaian seperti raja Akhirat (menurut versi orang Tiongkok). Umurnya disekitar 60 tahun. Ia duduk dikursi kebesaran. “Menghadaplah!” seru salah seorang pengawal.

Delapan setan kecil yang membawa Cian Hong tadi segera pecah diri kesamping. Kini tinggal Cian Hong tegak berdiri ditengah ruang.

“Pengacau, apakah kau tak mau memberi hormat dihadapan Giam-ong!” bentak salah seorang pengawal.

Cian Hong mendengus dingin: “Giam-ong ditengah manusia?

Jangan harap aku sudi memberi hormat!”

Tiba-tiba Giam-ong atau raja Akhirat membentak bengis : “Kurang ajar, kau berani bermulut besar disini? Apakah kau sudah bosan hidup?” ' Cian Hong menatap raja itu dengan tajam, bentaknya pula: “Siapa kau? Menyaru jadi raja setan, tentu bukan manusia baik!”

Tiba-tiba Giam-ong tertawa nyaring. Nadanya mengiang tajam ditelinga. Menunjukkan bahwa ia memiliki tenaga-dalam yang hebat sekali.

“Budak she Ko, kau tak kenal padaku, tetapi aku kenal padamu!” serunya Cian Hong terkejut: “Siapa kau?” serunya. “Raja dari Neraka-dua-lapis, bergelar Sin-ciu-giam-ong!”

“Sin-ciu-giam-ong?” Cian Hong mengulang. Sin-ciu-giam-ong tertawa memanjang lagi.

“Kau, kau tentulah Sin-ciu-it-kiam Ting Kay-ih,”

serentak teringat sesuatu, berserulah Cian Hong menyebut nama orang.

Sin-ciu-giam-ong hentikan tertawanya: “Bagus budak, matamu memang tajam sekali. Memang di dunia aku memakai nama Sin- ciu-it-kiam Ting Kay-Ih, tetapi dineraka aku adalah Sin-ciu-giam- ong!” Serta mengetahui siapa sebenarnya Sin-ciu-giam-ong, meluaplah dendam kebencian Cian Hong. Tampil tiga langkah kemuka, ia membentak: “Sin-ciu-it-kiam, aku hendak membunuhmu!”

“Heh, heh, Sin-ciu-it-kiam sudah mati. Aku akulah Sin-ciu-giam- ong!”

“Tak peduli It-kiam atau Giam ong, pendek kata akan kubunuh!”

“Kuperingatkan padamu, budak. Disini adalah ruang Giam-ong- tian di Neraka-dua-lapis. Tak boleh kau membawa tingkah sekehendakmu sendiri!”

“Biar kau mati satu kali lagi!”

Sin ciu-giam-ong tertawa mengekeh: “Apa kau mampu?” “Aku bersumpah hendak menuntut balas sakit hati guruku!”

“O, Malaekat-elmaut itu? Tak layak dia digelari sebagai malaekat, lebih tepat disebut Setan-maut saja, ha, ha, apakah kau hendak mengikuti jejaknya?”

“Cian Hong terkesiap. Ia heran mengapa Sin-ciu-giam-ong tahu akan kematian Malaekat-elmaut. Berkata Sin-ciu-giam-ong dengan wayah beringas: “Jalan kesorga kau tak mau, sebaliknya malah menuju keneraka. Hari ini kau pasti mampus!”

“Tidak semudah itu!” geram Cian Hong. Tiba-tiba ia lepaskan sebuah pukulan.

Sin-ciu-giam-ong tertawa dingin: “Kau benar-benar cari mati...”

Sekonyong-konyong Cian Hong dapatkan pukulannya tiada mengandung tenaga-dalam. Dia kaget dan buru-buru salurkan tenaga-dalam. Ah, masih menyalur lancar tiada perobahan apa-apa. Sekali lagi ia lepaskan pukulan. “Ringkus budak itu!” teriak Sin-ciu-giam-ong. Perintah itu segera cepat disambut dengan terjangan oleh dua orang setan kecil. Cian Hong benar-benar kaget tak terhingga, Pukulannya yang keduapun kosong tiada tenaga-dalam. Bahkan tiba-tiba ia rasakan tubuhnya lemas lunglai. Ia paksakan diri memukul kedua setan yang hendak menangkapnya itu. Tetapi ah.   kedua setan kecil itu

seolah-olah tak menghiraukan. Keduanya segera mencekal lengan kanan dan kiri Cian Hong. Cian Hong meronta sekuat-kuatnya. Tetapi amboi. tenaganya serasa lenyap, sama sekali ia tak berdaya.

Kini barulah Cian Hong sadar apa yang telah menimpali pada dirinya. Ia tentu terkena ilmu setan Sin-ciu-giam-ong. Tetapi sesal kemudian tak berguna, sudah terlambat.....

“Sekalipun mempunyai ilmu menembus langit menyusup bumi, jangan harap kau mampu bertingkah disini!” Sin-ciu-giam-ong tertawa hina.

Ingin  sekali  Cian  Hong  mengunyah  daging  Sin-ciu-giam-ong. kebenciannya    meluap-luap,    serunya:    “Bukan    cara    ksatrya tindakanmu ini. Kalau berani ayo kita bertempur sampai 100 jurus. Lihat saja, siapa yang jantan    !”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar