Pendekar Latah Bagian 28

 
Bagian 28

Sebagai bangsa dewek, sudah tentu raja Kim percaya penuh kepadanya, Tak nyana, empat belas gambar lukisan Hiat-to-tong-jin dan bagian kedua dari Ci-goan-bian yang masih ditangan mereka akhirnya berhasil dia rebut pada suatu malam yang gelap mendadak dia melarikan diri dengan membawa semua gambar-2 dan inti pelajaran Lwekang itu. Ternyata dia sendiri mempunyai tujuan lain, supaya kedua ilmu mujijat ini tidak terjatuh ketangan orang jahat maka dia bertekad masuk keistana untuk merebutnya.

"Dia sudah tahu akan kejadian yang menimpa diriku, maka dia ingin sekali bertemu dengan aku, supaya gambar lukisan Hiat-to-tong-jin dan ajaran Lwe-kang dari Ci-goanhian itu menjadi lengkap seluruhnya. Sayang sekali takdir sudah menentukan belum lagi cita-citanya terlaksana, sebelum dia bertemu dengan aku. dia sudah mangkat lebih dulu."

"Mendapat pesan dan warisan gurunya Bu-lim-thian-kiau selalu mencari jejak saudara seperguruannya dari anak didik bangsa Song dan Liau yang setingkat gurunya itu, suatu hari akhirnya tiba diatas gunung dimana aku tetirah disana dia menemukan dua orang Sumoaynya putri dari murid bangsa Liau. Waktu itu Kok-ham sudah lama pergi, maka mereka tidak pernah bertemu."

"Mendapat tahu bahwa didalam kuil bobrok diatas gunung ada seorang Hwesio tua yang aneh tingkah lakunya, segera dia datang mohon bertemu, pertama kali dia datang kutolak, kedua kali datang tengah malam, karena gerak gerikku yang tidak leluasa, aku sedang samadi didalam kamar, kukira dia sebagai alap2 pemburu dari negeri Kim, maka kulancarkan ilmu tutuk dari tingkat tinggi, kekuatan jariku menembus jendela mengincar Hiat-to-nya.

"Dia tidak sampai roboh karena tutukkanku, tapi setengah badannya kesemutan sekian lamanya baru pulih seperti sedia kala Tapi karena tutukanku itu, asal usulku secara tidak langsung sudah terbongkar ilmu tutuk yang kulancarkan adalah hasil ajaran dari Hiat-to-tong-jin, maka dia lantas tahu akan asal usul diriku.

"Maka dia utarakan cita2 gurunya semasa hidupnya yang- ingin bertemu dengan aku, dikatakan kedatangannya hanya untuk menunaikan cita2 gurunya saja, secara suka rela dia hendak menyerahkan empat belas gambar Hiat-to-tong-jin dan bagian kedua dari Ci-goan-bian itu kepadaku."

"SemuIa aku tidak mau percaya, tapi dia sudah lempar masuk barang itu kedalam segera kubuka dan kuperiksa, memang benar dan asli, baru aku mau percaya kepadanya. Sejak itu dia lantas menjadi sahabatku yang baik."

"Memangnya aku memerlukan ajaran Lwekang Ci-goan- bian bagian kedua, untuk menyembuhkan cacad badanku, maka kuterima baik pemberiannya itu. Betul juga dalam jangka tiga bulan, penyakitku sudah sembuh seluruhnya, kecuali kaki kananku yang belum sembuh betul, aku sudah bisa bergerak seperti manusia umumnya." sampai disini tiba2 dia menghela napas panjang.

"Kenapa ayah menghela napas?" tanya Hong-lay-mo-li. "Tam Ih-tiong merupakan tunas muda yang paling

menonjol juga dari kalangan pendekar, bicara soal ilmu silat dan sastra, dia tidak kalah dengan Hoa Kok-ham, cuma sayang dia adalah bangsa Kim." setelah menghela napas, dia menengadah dengan pandangan mendelong, mu!utpun menggumam: "Tapi untung juga dia orang Kim!"

Sudah tentu Hong-lay-mo-li cukup mengerti apa yang dimaksud dengan igauan ayahnya, Tak terasa hatinya menjadi masgul dan hambar.

Liu-Goancong juga seperti memikirkan apa2, tiba2 dia berkata mengawasi putrinya: "Dari cerita Khing Ciau, katanya Hoa Kok-ham dan Bu-lim-thian-kiau pernah berkelahi, waktu itu kaupun saksikan kejadian itu, apa sih yang telah terjadi?"

"ltu hanya salah paham belaka." "Salah paham bagaimana?"

Terpaksa Hong-lay-moli tuturkan kejadian hari itu, Kata Liu Goan-cong kemudian: "Kalau begitu Hoa Kok-ham- lah yang harus disalahkan. Dia salah mengenali orang, jelas orang itu sengaja menyamar sebagai Bu-lim-thian-kiau."

"Siapakah orang itu?"

"Dialah orang berkedok yang kau temui didalam taman istana raja itu."

Hong-lay-mo-li girang, kata-nya: "Ternyata sesuai dengan rekaanku, untung ayah tahu seluk beluk persoalan mi. Kalau tidak Tam Ih-tiong akan selalu penasaran. Tokoh macam apa sih sebenarnya orang berkedok itu?"

"Orang itu bernama Wanyen Tiang-ci, semula menjabat komandan Gi-lim-kun negeri Kim, belakangan dia meletakan jabatan, terus mengasingkan diri selama dua puluhan tahun."

"Uh, kenapa?"

"Dia menyembunyikan diri didalam istana untuk mempelajari gambar tulisan Hiat-to-tongjin dan Lwe-kang ciptaan Tan Pok yang termuat didalam Ci-goan-bian itu, sebagai pimpinan tertinggi dari lembaga penyelidikan itu, kalau orang lain hanya memperoleh petilan2 dari gambar2 dari ajaran2 itu, sebaliknya dia bisa mengangkangi secara lengkap.

Kini dia muncul lagi dikalangan Kangouw, malah unjuk diri di Kanglam, tentunya dia sudah berhasil mempelajari ilmunya, maka dia mau keluar bekerja demi negerinya."

"Tak heran diapun mahir menggunakan ilmu menutup napas memutus urat nadi, malah permainan silatnya mirip2 dengan Tam Ih-tiong, ternyata kepandaiannya hasil ajaran dari kedua ilmu mujijat itu."

"Sayang sekali latihannya belum matang betul, Dia sangka aku sudah meninggal, diluar tahunya bahwa aku masih hidup, tiga gebrakan setelah adu pukulan, baru aku tahu bahwa ilmunya belum sempurna."

"Tak heran waktu itu dia kelihatan begitu gugup dan ketakutan, dikatakan sudah tiada tempat berpijak bagi dirinya di Kanglam!"

"Ilmu silat orang ini amat tinggi dan banyak ragamnya, cerdik dan pandai menggunakan otak lagi, setelah lari ke negerinya, membantu raja Kim yang lalim, betapapun merupakan bibit bencana bagi rakyat kedua negeri.

Meski ilmunya belum sempurna tapi dalam jaman ini kecuali aku dan gurumu Kongsun Ih, masih ada seorang lagi

yang kelak pasti akan bisa mengalahkan dia yaitu Kongsun Ki."

"Sayang sekali suhengku itu nyeleweng kejalan sesat. Ai, mungkin suhengku inilah yang kelak merupakan bibit bencana yang terbesar, sebagai putra tunggal guru, aku jadi kehabisan akal cara bagaimana untuk menghadapinya"

"Setelah peperangan ini, aku akan bertandang ke-rumah gurumu, disamping berterima kasih akan asuhannya terhadap kau, kukira perbuatan dan kebejatan putranya ini harus diberitahu kepadanya."

"Guruku berwatak keras dan polos, jikalau tahu akan semua hal itu, mungkin bisa memukulnya sampai mampus. Tapi beliau hanya punya seorang putra, setelah membunuhnya, pasti beliaupun akan menyesal dan memeras hidupnya, aku, aku merasa tidak tega."

"Lantaran itulah maka aku harus menemui gurumu. Aku akan bujuk dia untuk memunahkan ilmu silat anaknya, supaya kelak bisa meninggalkan keturunan."

"Ya, hanya jalan inilah yang harus ditempuh."

Pembicaraan ayah beranak ini amat panjang dan mencakup banyak persoalan, tanpa terasa dari siang hari mereka mengobrol sampai hari menjadi gelap. Li Po melarang siapapun mengganggu mereka, maka santapan malampun diantara kedalam kamar.

Setelah pembicaraan panjang lebar ini, banyak persoalan yang mengganjel dalam sanubari Hong-1ay-mo-li boleh dikata sudah terjawab seluruhnya, setelah makan malam dia, suruh ayahnya istirahat, seorang diri dia keluar mencari hawa diatas geladak, biarlah hembusan angin laut yang dingin itu, membuyarkan kerisauan hatinya, supaya kepalanya dingin dan perasaan tenang, supaya dia bisa berpikir lebih cermat.

Disaat Hong-lay-mo-li beranjak dengan perasaan hambar, tiba2 dilihatnya gadis baju putih berdiri di-pinggir dek sana, itulah San San adanya, orang menghadap kearahnya.

Lekas Hong-lay-mo-li menghampiri sapanya: "Adikku, kenapa kau mencukur rambut menjadi Nikoh?"

"Siocia, maaf aku tak bisa melayanimu lagi. Aku, kerisauanku terlalu banyak, tak mungkin dibereskan, setelah kupikir terpaksa aku menempuh jalanku hari ini."

Mendelu dan getir hati Hong-lay-mo-li, pelan2 dia tarik tangan orang, katanya: "Dik, untuk menghilangkan kerisauan hati, sementara boleh juga kau mencukur rambut, bukankah ayahku juga menjadi Hwesio dan puluhan tahun lamanya, baru sekarang dia kembali preman."

"Dalam dunia ini aku sudah tidak punya sanak tiada kandang, terang aku tidak akan kembali jadi..."

"Jadi kau bersumpah tak mau menikah seumur hidup. Em, begitu baik, supaya kau bisa hidup dengan aman dan tentram. Eh, aku belum tanya kau, siapakah gurumu itu, sejak kapan kau angkat guru kepadanya?"

"Memang aku hendak memberitahu, Guruku bergelar Hwi- siok, tapi asal usulnya diwaktu preman adalah kakak dari Bu- lim-thian-kiau." Hong-lay-mo-li merasa diluar dugaan, tanyanya: "Cara bagaimana kau bisa bertemu dengan dia?"

"Setelah aku lolos dari cengkraman Kongsun Ki bersama Khing Ciau, ditengah jalan kami berpisah, setelah Kongsun Ki digebah pergi, tak nyana dia malah menguntit jejakku, Waktu itu dia memaksa Siang Ceng-hong menjadi istrinya yang kedua, sengaja dia biarkan aku pergi bersama Khing Ciau untuk membuat Siang Ceng-hong cemburu, setelah aku menempuh perjalanan seorang diri, dia mengejarku lagi.

"Dia gunakan Hoa-hiat-to hendak melukai aku, untung dengan ilmu kebut yang kau ajarkan itu, sementara aku kuat bertahan, namun keadaanku sudah amat gawat. Disaat jiwaku terancam itulah, se-konyong2 irama seruling mengalun dari atas gunung."

"Bu-lim-thian-kiau telah tiba?" tanya Hong-lay-mo-li.

"Ya, Bu-lim-thian-kiau telah datang! Tapi sebelum Bu-lim- thian-kiau memburu datang, keparat itu beruntun melontarkan tiga kali Bik-khong-ciang, sehingga aku terhantam jungkir  balik dan semaput. Belakangan baru aku tahu bila Bu-lim- thian-kiau tidak datang tepat pada waktunya, tentu aku sudah ajal oleh pukulan beracunnya."

"Sungguh harus disesalkan, aku mempunyai suheng yang begitu bejat. Akhirnya?"

"Entah berapa lamanya, waktu aku siuman. ternyata aku berada didalam sebuah kuil, Bu lim-thian-kiau dengan seorang Nikoh pertengahan duduk disampingku, Nikoh itu adalah kakak Bu-lim-thian-kiau, yaitu guruku yang sekarang Hwi-siok Sinni. Berkat rawatan dan pengobatannya luka2ku sembuh dengan cepat, setelah segar bugar aku lantas angkat guru kepadanya, mencukur rambut menjadi Nikoh."

"Apa dia sudah tahu asal usulmu?" "Sudah kututurkan kepadanya, setelah tahu riwayat hidup dan sebagai pelayanmu, Suhu semakin sayang kepadaku.

Ternyata dia memang punya suatu maksud."

"Aku tahu apa maksud hatinya." tukas Hong-lay-mo-li dengan muka merah.

San San tertawa, katanya: "Siocia, aku tahu isi hatimu secara tidak langsung sudah kujelaskan kepada Suhu bahwa kau sudah punya pujaan hati. Akhirnya dia minta kepadaku supaya memberitahu keadaan adiknya kepadamu"

Merah muka Hong-lay-mo-li, tapi tak tertahan dia bertanya: "Bu-lim-thian-kiau kenapa?"

"Tidak apa2, sejak pulang dari Ling-an dia jatuh sakit. akulah yang merawatnya di dalam kuil itu. Dua hari lamanya badannya panas membara, sering pingsan dan mengigau, selalu menyebut namamu."

"Sekarang sakitnya sudah sembuh?"

"Kesehatan badannya sudah pulih. Luka2 hatinya, aku tidak bisa mengatakan. Kakaknya sering berkhotbah kepadanya, tapi badannya kelihatan kurus, belakangan sikapnya selalu dingin tidak suka bicara. Aku tidak berani menyinggung namamu dihadapannya."

"Waktu dia masih sakit Yalu Hoan-ih dua kali mengunjunginya, memberitahu akan pertemuan kaum perampok di Hwi-liong-to. Setelah sakitnya sembuh, dia lantas meninggalkan Ci-hun-am, katanya mau ke Hwi-liong-to untuk menemui para kawan dari Kang-ouw."

"Kenapa beberapa hari ini tidak kelihatan bayangannya?

Bukankah dia kemari bersama kalian?"

"Tidak. Dia berangkat lebih dulu, Belakangan kuingat bahwa Lam-san-hou pasti juga berada di Hwi-liong-to, kuduga Siocoa pasti akan meluruk kesinr juga. Maka kuutarakan isi hatiku kepada Suhu, dan mohon diri kepadanya, Tak nyana Suhu malah mau pergi juga.Katanya mau menemui kau, ingin melihat orang macam apa sebenarnya kau ini, sehingga adiknya jatuh hati ke-pati2."

Sampai disini pembicaraan mereka, se-konyong2 terdengar suara siulan panjang yang melengking terbawa hembusan angin laut, Hong-lay-mo-li melengak. Katanya dengan suara rendah: "ltulah siulan Siau-go-kan-kun."

Tampak sesosok bayangan orang tengah mendatangi, itulah ayah Hong-lay-mo-li Liu Goan-cong adanya. Katanya tertawa: "Yau-ji, sudah kentongan ketiga, kau belum lagi tidur?"

"Yah, coba dengar, bukankah itu siulan Hoa Kok-ham?" "Ya, memang siulannya, Malam sudah selarut ini, dia belum

tidur juga, agaknya sedang berkobar rasa senang hatinya." habis berkata lalu dia bersenandung, habis senandung diapun ikut bersiul dengan suaranya yang nyaring panjang dan bening. Lapat2 berpadu dengan siulan Hoa Kok-ham.

Hong-lay-mo-li tertawa, katanya: "Yah, jangan kau bikin orang lain kaget dan terjaga dari tidurnya."

"Hari ini hatiku terlalu gembira, Ya, malam sudah berlarut tidak pantas mengganggu tidur orang, marilah istirahat."

Dari siulan Koa Kok-ham Hog-lay-mo-li dapat merabakan perasaan hatinya, sudah tentu malam ini dia gulak gulik tak bisa pulas. Disebuah kapal yang laih, Hoa Kok-ham sendiripun tidak bisa tidur.

Hoa Kok-ham satu kapal bersama teman baiknya Th:-pit- su-seng Bun Yat-hoan, Dasar suka mencampuri urusan orang lain, Bun Yat-hoan memuji Hong-lay-mo-li setinggi langit, serta menganjurkan Siau-go-kan-kun untuk meminangnya, malah dia ajukan dirinya suka menjadi jombIang, sudah tentu Hoa Kok-ham hanya menyengir saja akan banyolannya, terpaksa dia layani ala kadarnya saja, setelah Bun Yat-hoan jatuh pulas, dia sendiri belum juga bisa tidur.

Akhirnya dia kenakan baju luarnya, secara diam2 ngeloyor keluar, Hatinya sedang gejoIak, maka ingin dia melihat pemandangan malam dilautan teduh.

Gelombang lautan mengalun timbul tenggelam, demikian pula perasaan Hoa Kok-ham ikut timbul tenggelam pula, terbayang akan kenangan lama selama ini, hatinya serasa hambar dan seperti kehilangan apa2.

Disaat dia terlongong menatap kearah kejauhan di ufuk timur sana, tiba2 didengarnya suara seorang perempuan berkata dengan suara hening dingin: "Apakah ini Hoa Tayhiap? Beruntung dapat bersua disini, Pinni mohon maaf akan kelancanganku ini!"

Waktu Hoa Kok-ham berpaling dilihatnya seorang Nikoh pertengahan umur berdiri dihadapannya, Hoa Kok-ham tahu orang adalah Nikoh yang bersama dengan dayang Hong-lay- mo-li itu, meski hati ter-heran2 dan tak mengerti, segera dia membalas hormat, katanya: "Aku yang rendah memang Hoa Kok-ham, sebutan Tayhiap sungguh tidak berani kuterima."

Sungguh tak kira basa basi yang sudah umum ini justru mendapat sindiran pedas dari si Nikoh, Katanya dingin: "Orang sama memanggilmu Siau-go-kan-kun, ternyata kaupun punya kepandaian tahu apa yang bakal terjadi."

Tegak alis Hoa Kok-ham, katanya setelah melenggong: "Aku tidak setimpal menjadi Tayhiap, tapi jalan kebenaran dan jiwa pendekar, sedikitpun tidak pernah kuabaikan, Entah perbuatan apa yang salah ku-lakukan, sampai Taysu mengolokku begini rupa?"

"Demi seorang perempuan, kau menuntut balas dendam pribadi tanpa pikirkan kepentingan umum, sebagai orang yang tidak setia terhadap teman. Dengan jiwa yang sempit seperti ini, apakah itu kelakuan seorang pendekar?"

Bergetar hati Hoa Kok-ham, berubah mukanya, katanya: "Maksudmu karena peristiwa di Siau-hou-san waktu aku menempur Bu-lim-thian-kiau itu?"

"Tidak salah Bukankah Bu-lim-thian-kiau adalah teman karibmu?"

"Semula memang. Tapi dia adalah pangeran negeri Kim, hari itu, aku... aku..." seluk beluk persoalan ini amat rumit, Siau-go-kah-kun kehilangan kontrol dan tidak tahu cara bagaimana harus memberi penjelasan.

"Kau kenapa?" Nikoh itu mendesak lebih lanjut. "Kau mau berkata salah paham bukan?"

"Benar, Karena dia seorang pangeran Kim maka jika jahat bisa dia melakukan tindakan yang tidak menguntungkan bagi negeri Song kita, kebetulan malam itu terjadi peristiwa pembunuhan itu, aku salah paham bahwa dia adalah seseorang lain itu."

"Kau katakan salah paham, sebaliknya aku mau berkata kau memang sengaja berbuat demikian karena rasa sirik dan jelus, kau sedang cari alasan untuk menyingkirkan duri didepan matamu, kukatakan kau membalas budi pekerti dengan kebencian."

Berubah hebat air muka Hoa Kok-ham mendengar cercahan ini, katanya naik pitam: "Taysu, terlalu cupat pandanganmu menilai pribadi aku orang she Hoa! Aku yakin bukan manusia serendah seperti yang kau katakan! Harap tanya cara bagaimana aku membalas budi dengan kebencian?"

"Tentang pasukan besar negeri Kim akan menyerbu ke selatan. bukankah Bu-lim-thian-kiau yang pertama kali memberi kabar kepadamu?" Siau-go-kan-kun mengiakan. "Kau agulkan diri sebagai pendekar pembela nusa dan bangsa, dengan kabar yang dia bocorkan kepadamu, sehingga negeri Song kalian bisa bersiap dan siaga, merupakan suatu keberuntungan besar bagi rakyat negerimu, bagimu sendiri bukankah merupakan suatu budi besar pula?"

Tertusuk perasaan Hoa Kok-ham, katanya: "Memang benar ucapanmu, memang tidak pantas aku menaruh curiga terhadapnya, Memang waktu itu aku rada gegabah, jadi bukan sengaja, sengaja..."

Nikoh itu tertawa dingin, tukasnya: "Sengaja atau tidak, hanya kau sendiri yang tahu, Kau memukulnya sampai luka parah. ini merupakan kenyataan. Baik, sekarang kutanya kau pula, kau salah sangka bahwa dia adalah seorang yang lain, jadi kau sudah tahu bahwa orang berkedok yang muncul malam itu bukan dia?"

"Ya, sudah tahu, Tapi baru kemaren kuketahui dari penjelasan seorang Lo-cianpwe. Aku menyesalpun sudah kasep."

Mendapat angin si nikoh mendesak lebih lanjut, kataiiya: "Baik sekali, ingin kutanya pula, bagamana kepandaian silat Bu-lim-thian-kiau dibanding dirimu?"

"Setanding alias sama kuat"

"Orang berkedok itu?"

"Belum pernah bergebrak jadi belum bisa mengukur kepandaiannya. Tapi dinilai dari gerak geriknya, kalau harus melawannya, mungkin belum tentu aku bisa mengalahkan dia."

"Nah, itulah, bila malam itu Bu-lim-thian-kiau bergabung dengan orang berkedok itu mengeroyokmu, Hoa Tayhiap jiwamu mungkin sudah amblas sejak malam itu. Dia rela melawanmu seorang diri, menaruh belas kasihan lagi, sehingga kau sempat memukulnya luka parah, tentunya sejak lama kau sudah tahu bahwa dia amat penasaran akan tuduhanmu. Kau menyesal tidak?"

Rona muka Hoa Kok-ham berubah ganti berganti, tanyanya: "Siapa kau? Darimana kau bisa tahu urusan sejelas dan sebanyak ini?"

"Masih ada yang tidak kau ketahui setelah berhasil mencuri pusaka dari istana raja negeri Kim, ayah Liu Jing-yau akhirnya tanpa daksa selama dua puluh tahun tidak bisa disembuhkan, kenapa didalam waktu singkat belakangan ini mendadak bisa sembuh? Kau tahu jasa2 siapa?"

"Memangnya Tam Ih-tiong yang tolong mengobatinya?" tanya Hoa Kok-ham hambar. Dia tahu keadaan Liu Goancong, untuk menyembuhkan cacat kakinya orang perlu tiga tahun lagi baru berhasil menjebol urat nadinya yang sudah beku dan buntu, maka diapun merasa heran bahwa Liu Goan-cong sembuh begini cepat.

Tapi diapun tahu jelas bahwa Bu-lim-thian-kiau sedikitpun tidak pandai ilmu pertabiban.

"Cacat Liu Goan-cong memang bukan disembuhkan oleh pengobatan ilmu pertabiban, tapi terpautnya tidak jauh. Yang benar empat belas gambar lukisan Hia-to-tong-jin dan bagian kedua dari Ci-goan-bian peninggalan guru Bu-lim-thian-kiau diberikan kepada Liu Goan-cong, maka didalam jangka tiga bulan Liu Goan-cong berhasil menembus Im-wi dan Yang-wi dua urat nadi penting dibadannya yang buntu, sehingga dia bisa berjalan lagi."

Siau-go-kan-kun amat terperanjat maklumlah Hiat-to-tong- jin dan Ci-goan-bian merupakan pusaka kaum persilatan yang diincar oleh kaum Bulim. Kalau apa yang dikatakan si Nikoh benar adanya, maka budi pertolongan ini tentu jauh lebih berharga daripada Tam Ih-tiong menolongnya langsung dengan ilmu pengobatan..." Nikoh pertengahan umur itu tertawa dingin, katanya: "Kau tidak percaya? untung ayahnya berada diatas kapal yang lain, besok pagi boleh kau langsung tanya kepadanya! Hehe, ayahmu adalah sahabat karibnya, ternyata diapun tidak jelaskan soal ini kepadamu."

Betapa pedih dan luluh hati Hoa Kok-ham, katanya : "Tak usah tanya lagi, aku percaya akan keteranganmu, Tapi Kau bisa tahu semua persoalan ini demikian jelas, siapa kau sebenarnya?"

"Aku adalah kakak Tam Ih-tiong, aku tahu bahwa adikku mencintai Liu Jing-yau setulus hatinya sebetulnya mereka sudah tahu sama tahu! Kenapa? Kau cemburu? Atau Sirik dan benci? Atau sediih hati? Hari itu kau bertekad membunuh adikku, sekarang aku melukai hatimu lagi, kaupun boleh bunuh aku untuk lampiaskan kedongkolan hatimu! Tapi aku membeber kenyataan, kau tidak akan bisa menghapus kenyataan ini."

Bagai kemasukan setan sikap Hoa Kok-ham, tiba2 dia bersiul panjang melengking dengan hebatnya, begitu keras dan dahsyat siulannya laksana pekikan naga sehingga burung2 camar kaget, gelombang ombakpun mendampar semakin dahsyat

Sudah tentu Nikoh pertengahan umur ini tahu bahwa Hoa Kok-ham tidak akan membunuh dirinya, tapi karena siulan menggila dari Hoa Kok-ham yang mendadak ini, diapun terperanjat sampai menyurut mundur selangkah.

Setelah tenang hatinya, sikap Hoa Kok-ham seperti orang loyo, katanya pelan2: "PuIanglah beritahu kepada adikmu, katakan bahwa aku rela mengalah kepadanya." suaranya mendelu dan serak, kedengarannya sumbang dan pilu.

Karena tujuan sudah tercapai si Nikoh yaitu Hwi-siok Sinni segera merangkap kedua telapak tangan, katanya setelah bersabda Budha: "Lebih cepat kau keluar dari gelanggang, lebih cepat kau lulus dari kerisauan hati, Hoa Tayhiap ternyata memang seorang yang tahu diri, seorang yang cerdik, Kalau begitu sekarang pinni mohon diri."

Hwi-siok Taysu pergi dengan hati riang karena keinginan sudah tercapai, sebaliknya Hoa Kok-ham tetap berdiri mematung, hatinya kosong melompong.

Mendengar siulannya, Bun Yat-hoan tersentak bangun dan memburu keluar, tak lama kemudian Ong Ih-ting juga ikut keluar, mereka kira terjadi apa2.

"Kok-ham," ujar Bun Yat-hoan tertawa "Seorang diri apa yang sedang kau lakukan disitu? kukira kau kebentur sesuatu diluar dugaan?"

Hoa Kok-liam tersentak sadar, sahutnya: "Tidak apa2, karena terlalu iseng aku bersiul sampai membuat kaget kalian."

Melihat sikap dan roman muka orang yang kurang wajar, Bun Yat-hoan bertanya: "Apakah hatimu rada kurang enak."

"Tidak, tidak apa2."

Pada saat itulah siulan panjang Liu Goan-cong kumandang dari kejauhan sana.

Ong Ih-ting tertawa: "Liu Lo-cianpwe agaknya juga terlalu iseng, besok boleh kau ajak dia membicarakan soal Lwekang, sekarang, tiba saatnya untuk tidur." sementara dalam hati dia membanting tingkah laku Hoa Kok-ham memang aneh, julukan "Pendekar Latah" kiranya memang tidak bernama kosong.

Hari kedua tepat tengah hari barisan kapal ini mulai memasuki muara Tiangkang, para Cecu yang berpangkalan di gunung dan orang2 gagah semua mendarat disini, semua menuju kearahnya sendiri2, sementara para Cecu yang berkuasa diperairan tetap tinggal diatas kapal, direncanakan terbagi dua rombongan rombongan pertama dibawah pimpinan Ong Ih-ting kembali ke Thayouw mengerahkan segala kekuatan dari tiga belas pangkalan disana serempak melawan serbuan pasukan Kim, rombongan kedua dipimpin Li Po, berpangkalan di Tiangkang, berjajar dan kerja sama dengan pasukan air Loh Bun-ing.

Hong-lay-moli bersama ayahnya, Cin Long-giok. Khing Ciau, San San dan lain2 mendarat disini, Cin Long-giok ingin mengajak San San pulang ke Kiang-im, tapi San San menjawab: "Tidak, kini aku sudah menjadi murid Budha, aku harus ikut guruku." Khing dan Cin tahu isi hatinya, terpaksa mereka melepasnya pergi.

Sementara itu Liu Goan-cong melihat Siau-go-kan-kun sedang berjalan dalam rombongan orang banyak dengan kepala tertunduk, segera dia memapak kesana, katanya tertawa:" Hian-tit, banyak terima kasih akan bantuanmu menemukan puteriku, katanya kalian sering bertemu. tapi sebelum ini Yau-ji belum tahu akan hubungan keluarga kita, kini dia sudah tahu. Hayolah Yau-ji, beri hormat kepada Hoa- siheng."

Hong-lay-mo-li memberi hormat, katanya: "Terima kasih akan budi pertolongan Siheng, Terima kasih, terima kasih akan kadomu." teringat akan pemberian "kacang merah" tak terasa merah malu selebar mukanya.

Mehhat orang menyinggung kadonya dengan mimik muka yang malu2 lagi, tergerak hati Hoa Kok-ham, tapi lekas dia berpikir: "Dia sudah menjadi milik Bu-lim-thian-kiau, Hoa Kok- ham, kenapa kau mencari kerisauan melulu!" segera dia belas menghormat, katanya tawar: "Sebetulnya aku tidak membantu apa2, untunglah kalian ayah beranak sudah kumpul, terhitung sudah selesai tugasku, Liu-lopek tiada pesan apa lagi bukan?

Maaf siautit hendak mohon diri lebih dulu." Liu Goan-cong melenggong, katanya: "Hoa-hiantit, kau tiada urusan penting lagi bukan? Loh-ciangkun sedang perlu bantuan, mari kau ikut aku kesana, bagaimana?"

"Hal ini..."

"Dengan ayahmu aku sudah angkat saudara umpama saudara kandung sendiri, terhitung kita keluarga sendiri, kalian umpama saudara kandung pula, kenapa harus sungkan sepanjang jalan ini boleh kita membicarakan ilmu2 silat."

"Terima kasih akan maksud baik Lopek." sahut Siau-go kan-kun, "Soalnya siautit ada janji dengan seorang teman, tidak enak bila aku tidak menepatinya, Terpaksa biarlah lain kesempatan saja, biar siautit mohon petunjuk kepada Lopek."

Liu Goan-cong kurang senang, tapi Hoa Kok-ham sudah menampik secara halus, terpaksa dia bilang: "Kalau demikian, setelah urusanmu selesai kuharap kau selekasnya menyusul kami di Jay-ciok-ki. Yau-ji, antarlah Toakomu."

"Tidak usahlah," segera Hoa Kok-ham menampik, "Nona Liu, peristiwa di Siau-hou-san tempo hari sungguh membuat hatiku tidak tentram, kini aku sudah tahu kesalahan memang berada dipihakku. maka aku mohon maaf kepadamu."

Hong-lay-mo-li kikuk dan serba susah pula, katanya dengan tertawa dipaksakan: "Kejadian yang sudah lalu buat apa disinggung lagi?"

"Benar, kalau nona Liu tidak ambil dihati, maka legalah hatiku." setelah memberi hormat segera dia putar badan mengejar kearah Thi-pit-su-seng Buh Yat-hoan.

Bun Yat-hoan keheranan, katanya: "Lho, kenapa kau ikut aku, seharusnya kau bersama keluarga Liu ayah beranak."

"Jangan banyak omong, mari bertanding Ginkang dengan aku. aku berani pastikan, kau tidak akan mampu mengejarku!" Terpaksa Bun Yat-hoan mengejarnya dengan kencang. Lapat2 Liu Goan-cong mendengar percakapan mereka, tapi betapa hebat ilmu Ginkang mereka, dalam sekejap saja, sudah hilang tak kelihatan lagi.

Hong-lay-mo-li merasa hambar. Liu Goan-congpun geleng2 kepala, ujarnya: "Entah kalian anak2 muda sedang main purikan apa? Kok-ham memang terlalu membawa adatnya sendiri."

"Ayah biarlah dia pergi." kata Hong-lay-mo-li dengan hambar dan sedih. "selama hidupku biar aku meladeni ayah saja, soal nikah segala tak usah disinggung lagi."

Tergerak hati Liu Goan-cong, katanya: "Kok-han menyinggung kejadian di Siau-hou-san, se-olah2 dia sudah tahu duduk perkaranya, kalau tidak masakah dia mau mengaku salah. Tapi kenapa dia minta maaf kepadamu?"

"Ti... tidak apa2." sahut Hong-lay-mo-li dengan muka merah, "Dia, dia kira aku berat sebelah dan membela Bu-lim- thian-kiau."

Dari pembicaraan semalam dan jawaban Liu Jing-yau sekarang Liu Goan-cong sudah bisa berkesimpulan, katanya menghela napas: "Urusan kalian bikin aku risau saja, baiklah, ini urusan masa depanmu, biar kau sendiri yang memberi keputusan. Tapi kau katakan tak mau nikah seumur hidup segala, ini ucapan anak2 belaka."

Hong-lay-mo-li tertawa, katanya: "Kita ayah beranak berpisah dua puluhan tahun, hari ini bersua kembali, tibalah saatnya aku menebus baktiku kepada ayah, biarlah aku menemani ayah untuk beberapa tahun lamanya?"

Disamping berduka dan haru, Liu Goan-cong tertawa pula dengan berlinang air mata, katanya: "Benar, putriku sudah kembali di haribaanku, apa pula yang harus kucari? Yang terang aku masih harap kau lekas berkeputusan. Kalau sekarang kau sedang risau, boleh sementara tak usah kau pikirkan soal perjodohan, setelah peperangan ini berakhir baru kita perbincangkan lagi."

Maksud Hong-lay-mo-li hanya untuk menghibur ayahnya, tapi kerisauan hatinya belum terlampias juga. Tiba2 teringat olehnya akan kabar yang diberitahu oleh San San, bahwa Bu- lim-thian-kiau juga datang ke Hwi-liong-to, tapi kenapa tidak kelihatan bayangannya? Sudah tentu Hong-lay-moli tidak tahu. Bulim-thian-kiau saat maha sedang berada dpuncak gunung yang tidak jauh dari mana dia berada, orang sedang meng- harap2 cemas akan kedatangannya.

Tapi dia hanja ingin melihatnya saja dari kejauhan, itu sudah lebih dari cukup untuk memuaskan hatinya, yang terang dia tidak ingin bertemu muka.

Memang semula Bu-lim-thian-kiau ingin meluruk ke Hwi liong-to lantaran dia, tapi belakangan dia merubah niatnya, juga lantaran dia pula.

Ternyata ditengah perjalanan tiba2 dia teringat, kalau dia hadir di pertemuan besar di Hwi-liong-to itu, bukan saja bisa bertemu dengan Hong-lay-mo-li, sekaligus juga akan bertemu dengan Siau-go-kan-kun. Maka terbayanglah adegan yang terjadi di Siau-hou-san tempo hari.

Beberapa hari lamanya Bu-lim-thian-kiau mondar mandir dipesisir laut, akhirnya dia berkeputusan "Kejadiaa seperti hari itu jangan sampai terulang lagi. Yang perempuan adalah gadis pujaanku, yang laki2 adalah ksatria perkasa yang kukagumi, dari pada ketiganya sama2 terluka lahir batin, biarlah derita ini kupikul seorang diri!" demikian akhirnya Bu-lim-thian-kiau rela berkorban sendiri

Setelah membatalkan niatnya pergi ke Hwi-liong-to, sebetulnya langsung hendak pulang kekampung halaman selanjutnya tidak usah bertemu lagi dengan Hong-lay-mo-li dan Siau-go-kan-kun, namun berat dan sukar dia pergi begitu saja, Pikirnya: "Aku tak bisa pergi ke Hwi-liong-to. Tapi aku melhat mereka pulang dengan selamat, baru dengan lega hati aku tinggalkan tempat ini." karena pikirannya Ini, siang malam dia menunggu mereka pulang.

Hari itu seperti biasa dia berada dipuncak gunung memandang jauh ketengah lautan, duduk berdiri hatinya jadi tidak tentram, dilihatnya iringan kapal2 itu sudah mendarat, paling lama satu jam lagi Hong-lay moli bakal lewat dari bawah gunung ini. "Apakah dia sudah rujuk kembali dengan Siau-go-kan-kun? Hari ini pulang bersama? Ai Hong-lay-mo-li pasti tidak mengalami bahaya diatas Hwi-liong-to?"

Hatinya semakin gundah maka dia masuk kedalam hutan lalu meniup serulingnya, agaknya berusaha menekan gejolak hatinya, setengah jam kemudian baru naik kepuncak lagi memandang kebawah Kalau Hong-lay-mo-li dan Siau-go-kan- kun berada dalam kapal2 itu, saat mana tentu mereka juga sudah mendarat dan berada ditengah perjalanan

Belum lagi tiupan lagu serulingnya berakhir, tiba2 didengarnya sebuah suara dingin berkata: "Tam kongcu, asyik benar kau berada disini!"

Bu-lim-thian-kiau kaget, segera dia hentikan tiupan serulingnya sambil berpaling, tampak seorang laki2 berpakaian baju hijau berusia empat puluhan, kedua biji matanya berkilat terang, tangannya memegang sebatang tongkat bambu hijau, seluruh badannya dibungkus serba hijau, sehingga kelihatannya amat menyolok dan seram.

Dengan kepandaian Bu-lim-thian-kiau sekarang, meski hatinya tidak tenang, tapi orang ini sudah dekat didepannya baru dia mengetahui terang kepandaiannya tidak berada dibawah dirinya. Setelah kaget dan melihat jelas, kembali Bu-lim thian-kiau melenggong, teriaknya tertahan: "Apakah, kau Wanyen- ciangkun?"

"Tam-kongcu," laki2 baju hijau tertawa dingin, "kau masih ingat kepadaku?" ternyata orang ini dulu adalah komandan Gi- lim-kun diistana negeri Kim yaitu Wanyen Tiang-ci adanya.

Dulu waktu mengundang para tokoh2 kosen persilatan masuk kedalam lembaga penyelidikan dua ilmu pusaka persilatan, dialah yang menjadi pemimpinnya"

"Wanyen Ciangkun." ujar Bu-lim-thian-kiau, "untuk apa kau datang ke Kanglam?"

Wanyen Tiang-ci tertawa dingin, katanya: "pertanyaan ini seharusnya kutujukan kepadamu, kau ini pangeran negeri Kim, menyelundup ke Kanglam secara diam2, apa kerjamu disini?"

"Aku tidak punya jabatan tidak punya pangkat, aku suka kemana, memangnya perduli apa dengan kau?"

"Karena kau pangeran negeri Kim, maka aku berhak mengawasimu! Negeri Kim dan dynasti Song bermusuhan, kedudukan tinggi sebagai pangeran dinegeri Kim tidak mau kau jabat, toh kau juga tidak mendapat perintah dan tugas dari raja. secara pribadi kau melarikan diri kenegeri musuh, itu berarti pengkhianat, apa tidak boleh aku mengurus kau?"

"Bahwasanya aku memang tidak setuju kalian main kekuatan dan membuang2 harta untuk menjajah negeri lain, akupun tidak pandang negeri Song sebagai musuh negeri."

"Tam Ih-tiong!" bentak Wanyen Tiang-ci, "berani kau berontak ya!"

"Wanyen Tiang-ci, kau punya ambisi buruk dan mengejar kedudukan tinggi, membantu kelaliman sehingga raja semakin sewenang2. Kalau peperangan ini benar2 terjadi, jelas merupakan bencana besar bagi rakyat negeri Song, memangnya apa pula manfaat yang diperoleh rakyat negeri Kim kita?"

"Ternyata kau memang menentang dan berontak kepada Baginda, membela musuh malah! Hm, apakah kau yang berikan gambar Hiat-to-tong-jin dan sisa Ci-goan-bian itu kepada Liu Goan-cong?"

"Memangnya itu hasil karya Tan Pok dari negeri Song mereka. umpama benar kuberikan kepada Liu Goan-cong, itu berarti kukembalikan kepada bangsa Song. Karena kejahatan dan kekejaman kalian sehingga keluarga Liu Goan-cong berantakan dan badan cacat, aku kembalikan buku mengobati luka2nya, bicara terus terang, itu berarti menebus dosa2 kalian!"

Wanyen Tiang-ci gusar, damratnya: "Kau sekongkol dan berkomplot dengan musuh, bukti sudah nyata, berani juga kau berdebat segala? Baik, kalau kau berani bicaralah langsung kepada Baginda raja!"

Maklumlah yang membuat Wanyen Tiang-ci murka adalah karena soal ini, dengan tekun menggembleng diri Wanyen Tiang-ci mempelajari kedua ilmu mujijat itu, semula dia kira kelak dirinya bakal malang melintang didunia tanpa tandingan, siapa tahu Liu Goan-Congpun memperoleh seluruh pelajaran kedua ilmu mujipat itu secara lengkap juga, sehingga kepandaiannya setingkat lebih tinggi.

Gebrak pertama kali diistana raja Song tempo hari membuat dirinya ngacir mencawat ekor, kejadian itu merupakan penghinaan besar bagi pamor dan gengsinya.

Kalau diusut sebab musabahnya lantaran gara2 Bu-lim- thian-kiau yang memberikan buku2 itu kepada Liu Goan-cong, Maka penasaran hatinya selama ini harus dia lampiaskan kepada Bu-lim-thian-kiau.

Tegak alis Bu-lim-thian-kiau, ejeknya: "Kalau aku tidak sudi kau mau apa?" "Jikalau kau masih mengaku diri sebagai pangeran negeri Kim, kuhormati kau. Kini kau sudah menjadi pehgkhianat bangsa dan memberontak kepada raja, berkomplot dengan musuh lagi, aku tidak perlu pandang kau sebagai pangeran segala, kau kira aku masih sungkan terhadapmu?"

"Bagus, Wanyen Ciangkun, mari silakan kau turun tangan!" "Tidak kau terima dlringkus. masih ingin aku turun tangan?

Baik, orang lain takut kepada Bu-lim-thian-kiau, ingin aku melihat sampai dimana kau berani terberang begini rupa. Awas, sambut serangan ini."

Berbareng tongkat hijaunya terangkat, dimana tongkat itu berkelebat menjadi bayangan hijau, dalam sekejap bayangan Wanyen Tiang-ci se-olah2 menjadi tujuh delapan banyaknya, serempak merangsak dari berbagai penjuru mengincar Ki- king-pat-meh ditubuh Bu-lim-thian-kiau.

Lekas Bu-lim-thian-kiau juga ayunkan serulingnya, diapun menaburkan bayangan seruling yang memutih, maka terdengarlah suara trang tring dari benturan kedua senjata, dalam sekejap mata tongkat Wanyen Tiang-ci dan seruling Bu- lim-thian-kiau saling bentur sebanyak tiga puluh enam kali, tongkat bambu itu tak mampu menghancurkan seruling, seruling juga tidak mampu membuat tongkat itu putus.

"Suuuiitt!" dimana seruling Bu-lim-thian-kiau ditiup, menyamberlah segulung hawa murni disertai suara melengking yang tajam, terasa panas dan membakar kulit.

Lekas Wanyen Tiang-ci kebut lengan bajunya menimbulkan segulung angin dingin mematahkan samberan hawa panas, sebat sekali kakinya berkisar, gerak tubuhnya teramat cepat, tahu2 orangnya sudah berputar ke belakang Bu-lim-thian-kiau, dimana tongkatnya terayuh menutuk Toa-cui-hiat.

Tanpa berpaling kepala, Bu-lim-thian-kian lintangkan telapak tangan laksana golok, dengan sejurus Hian-niau-hoat- sa (burung sakti menggaris pasir), tahu2 tangannya mengiris kebelakang, Wanyen Tiang-ci mendengus, tongkatnya menutul tanah, sebat sekali badannya berputar dan menyingkir kesamping.

Wanyen Tiang-ci mengejek dingin: "Kepandaian menutup hawa memutus urat nadi yang bagus, kau bisa memangnya aku tidak bisa? Diberi tidak membalas kurang hormat, nah kaupun sambutlah serangan-ku!"

Kelima jarinya menjadi rapat lalu terayun ditengah udara, maka terdengarlah suara mendesis yang ramai, pergelangan tangan Bu-lim-thian-kiau seketika terasa sedikit kesemutan, lekas dia kerahkan hawa murninya, dimana mulutnya meniup segulung hawa murni untuk memapak jentikan tenaga dingin lawan, tapi tak urung napasnya sedikit memburu dan tersurut mundur tiga langkah.

Wanyen Tiang-ci gelak2, serunya: "Kau sudah tahu kelihayanku?" kedua pihak sama2 menggunakan ilmu menutup hawa memutus urat nadi, tapi roman muka Wanyen Tiang-ci tenang dan wajar, kelihatannya tidak cidara apa2, terang dalam bidang ilmu ini dia lebih unggul setingkat dari Bu-lim-thian-kiau.

Lekas Bu-lim-thian-kiau sampuk serulingnya menangkis tongkat bambu lawan, bentaknya: "Kau, jadi kaulah pembunuh Ko-gwat Sian-su!"

"Baru sekarang kau tahu?" ejek Wanyen Tiang-ci dengan tertawa besar.

"Kurangajar, kalau secara terang2an kau bunuh Ko-gwat Siansu itu perbuatan laki2 jantan, kenapa kau menyaru diriku, membunuh orang secara sembunyi2?"

"Malah aku menyaru dirimu menemiu Gui Liang-seng itu menteri kerajaan Song pula, sengaja supaya Siau-go-kan-kun mengetahui jejakku, kau belum tahu?" Serasa, hampir meledak dada Bu-lim-thian-kiau mendengar pengakuan orang. makinya: "Kau sebagai seorang jenderal dari negeri Kim, namun tidak tahu malu melakukan perbuatan keji dan rendah seperti ini!"

Wanyen Tiang-ci gelak2, katanya: "Goblokmu sendiri! Yang terang aku ingin supaya kau tidak dapat bercokol diantara para pendekar dari negeri Song, tujuanku hanya untuk menolongmu juga, supaya kau tidak sekongkol dengan musuh, kau tidak berterima kasih akan usahaku. berbalik memakiku, memangnya kau tidak tahu kebaikkan."

Saking gusar Bu-lim-thian-kiau serasa tenggorokannya tersumbat, seruling diayun, dengan gencar dia menyerang.

"Tam-pwecu," jengek Wanyen Tiang-ci, "Kau hendak adu jiwa? Baik, jangan kau salahkan kalau aku tidak kasihan lagi kepadamu."

Ilmu yang dipelajari Bu-lim-thian-kiau dari Hiat-to-tong-jin dan Ci-goan-bian sudah tentu tidak selengkap dan sempurna seperti yang diyakinkan Wanyen Tiang-ci, tapi ilmu silat perguruannyapun amat luas dan digdaya, merupakan ilmu silat tingkat tinggi yang lihay sekali, maka kalau diukur dan dinilai kepandaian kedua orang, masing2 memiliki kelebihannya sendiri2, menurut teori Bu-lim-thian-kiau masih mampu menandingi Wanyen Tiangci.

Sayang sekali belum lama ini dia jatuh sakit, meski sudah sembuh tapi kesehatanya belum sembuh seratus persen, semangat tempurnya tidak segairah sebelumnya. Dibawah rangsakan Wanyen Tiang-ci laksana hujan badai, lima puluh jurus kemudian, dia sudah rasakan tenaganya semakin lemah, jelas dirinya takkan kuat melawan lebih lama.

Untunglah disaat2 Bu-lim-thian-kiau menghadapi situasi yang krisis ini, mendadak terdengarlah suara gelak tawa yang panjang kumandang ditengah angkasa, begitu keras dan kuat gelak tawa ini sampai daon2 pohon rontok berhambur, burung2 terkejut beterbangan. Ternyata Siau-go-kan-kun mendadak datang, di-belakangnya mengejar datang pula Thi- pit-su-seng Bun Yat-hoan.

Ternyata kebetulan mereka lewat dari bawah gunung, mendengar suara pertempuran sengit diatas sini, lekas mereka belok kearah sini untuk melihat apa yang terjadi, Meski jarak masih cukup jauh, tapi perdebatan Bu-lim-thian-kiau dan Wanyen Tiang-ci barusan sudah didengarnya dengan jelas.

Siau-go-kan-kun membentak: "Jadi kau keparat inilah pembunuh Ko-gwat Sian-su!"

"Kalau benar mau apa?" jengek Wanyen Tiang-ci sambil menggentak tongkat bambu.

Dimana kipas lempit Siau-go-kan-kun menuding dia incar Hiat-to penting lawan sambil membentak pula: "Kubunuh kau!"

Wanyen Tiang-ci putar bambunya satu lingkaran, terpaksa dia lontarkan permainan Keng-sin-ci-hoat, ilmu tutuk tingkat tinggi, kini dengan bambu dia menggantikan jari, sudah tentu perbawanya jauh lebih hebat dari pada serangan dengan jari, ilmu tutuk Siau-go-kan-kun setingkat lebih rendah, Terdengar "cret" baju Siau-go-kah-kun tahu2 tertutuk berlobang.

Wanyen Tiang-ci gelak2, ujarnya: "Kau hendak bunuh aku, paling sedikit kau harus belajar sepuluh tahun lagi!" belum lenyap kata2nya, Siau-go-kan-kun sudah gunakan Ih-sing- hoan-wi, kipas lempitnya laksana golok, tahu2 meluncur maju mengiris pergelangan tangannya. terus menabas miring pula secepat kilat

Ternyata dalam bidang ilmu tutuk memang kepandaian Siau-kan-kun setingkat lebih rendah, tapi latihan Lwekangnya justru lebih kuat dari Wanyen Tiang-ci, tutukan bambu Wanyen Tiang-ci paling hanya membuat bajunya lobang, namun tidak berhasil menu-tuknya roboh, setelah menutup Hiat-to dan mengerahkan hawa murni, secara kekerasan dia sambut bambu Wanyen Tiang-ci, meski ujung tongkat mengenai badannya, hanya terasa kesemutan saja, sedikitpun tidak mempengaruhi gerak geriknya.

Kipas Siau-go-kan-kun bisa digunakan sebagai potlot tapi juga digunakan sebagai Ngo-hing-kiam, jurus yang dilancarkan ini Hing-huh-toan-hong menabas ke urat nadi di pergelangan tangan orang, yang digunakan adalah jurus2 dari Ngo-hing-kiam.

Dengan kekuatan Lwekang Siau-go-kan-kun, dimana kipasnya menyamber tangannya tidak kalah dari golok pusaka, jikalau kena tertabas, urat2 nadi dan pergelangan tangannya mungkin bisa tertabas kutung.

Wanyen Tiang-ci tahu akan kelihayan serangan ini, sudah tentu dia tidak mandah tangannya jadi bulanan lawan. Sebat sekali dia merubah gerakan, tahu2 kakinya meluncur mundur beberapa langkah, lengan bajunya dikebut segulung angin tajam segera menerpa ke mukanya, hampir saja menggulung lepas kipasnya. Didalam kesibukannya ini, serempak dia ayun tongkatnya menangkis seruling Bu-lim-thian-kiau.

Kipas Siau-go-kan-kun terkembang balas dikebaskan kemuka, kebetulan serangan angin yang menyampuk mukanya kena dia punahkan dua gulung kekuatan angin bentrok ditengah udara dan berputar seperti angin lesus, beberapa tombak sekitar gelanggang tersapu bersih sehingga daon pasir dan debu beterbangan.

Hanya beberapa gebrak saja kedua pihak saling serang, masing2 sudah tahu akan tingkat dan keahlian sendiri2, paling hanya sama kuat alias seri dan setanding, siapapun takkan mampu membunuh lawannya.

Tapi situasi sekarang sudah menjadikan Wanyen Tiang-ci harus melawan dua musuh, meski kekuatan Bu-lim-thian-kiau sudah banyak terkuras, tapi dia membekal jurus2 tipu silat yang tinggi, apalagi tiupan hawa panas dan murni dari Loan- giok-siau itu merupakan suatu tekanan dan ancaman pula.

Apalagi diluar gelanggang masih ada Thi-pit-su-seng Bun Yat-hoan yang sembarang waktu siap menyergap dan menyerang Wanyen Tiang-ci cukup tahu diri bahwa hari ini dirinya takkan bisa banyak mengambil keuntungan, akhirnya dia berkeputusan untuk lari saja.

Kepandaian silat Wanyen Tiang-ci berkat tetirah dua puluhan tahun memang bukan olah2 lihaynya, meski digencet oleh dua tokoh silat kosen, dia masih mampu membebaskan diri dari libatan musuh.

Tampak tongkat bambunya disurung kesamping menggunakan kekuatan lengket, sehingga seruling Bu-lim- thian-kiau tertarik minggir, memang tenaga Bu-lim-thian-kiau sudah terkuras, hampir saja dia tidak kuasa kendalikan diri.

Lekas Siau-go kan-kun tabaskan kipas-nya, lekas Wanyen Tiang-ci tegakkan tongkatnya, bersama seruling Bu-lim-thian- kiau yang dibetotnya itu membentur kipas Hoa Kok-ham, meminjam tenaga menggempur tenaga, Siau-go-kan-kun dipaksa menyingkir kesamping setapak besar, Bu-lim-thian- kiau gusar, setelah serulingnya berhasil menggentak lepas dari betotan lawan.

"Suuuiiiit." kembali dia titip hawa murni, seketika Wanyen Tiang-ci mendehem keras seperti babi disembelih, meski sedikit dilukai tapi dia masih mampu menggunakan tipu burung dara jumpalitan, badannya melambung ketengah udara terus meluncur beberapa tombak jauhnya.

Bun Yat-hoan menghardik keras, kedua potlotnya meluncur terbang, Badan Wanyen Tiang-ci masih terapung ditengah udara. lekas dia kerahkan tenaga, terpaksa dia hanya bisa menggunakan tenaga pantulan saja dengan tongkatnya mengetuk dan menyendal, "Ting" sebuah potlot yang terbang didepan kena diketuknya menceng terbang kesamping.

Tapi potlot kedua hanya sedikit bergeming saja, ujung potlot yang tajam itu masih menyerempet lengannya, sehingga kulit dagingnya seperti terkupas, untuk tidak sampai melukai tulangnya. Wanyen Tiang-ci menjerit keras, ditengah udara kembali dia gunakan jumpalitan ditengah mega, badannya meluncur kelereng dibawah sana, dalam sekejap saja sudah lari tak kelihatan lagi bayangannya

Melihat orang sudah terluka tapi masih mampu mengembangkan Pat-pou-kan-siam ilmu Ginkang tingkat tinggi, diam2 Bun Yat-hoan mencelos juga hatinya.

Bu-lim-thian-kiau segera menyimpan serulingnya, katanya: "Terima kasih akan bantuan Hoa-heng."

Siau-go-kan-kun tertawa gelak2, katanya: "Waktu di Siau- hou-san aku salah menuduhmu se-mena2, kini pertikaian itu boleh kita anggap tidak pernah terjadi, kau tidak usah berterima kasih kepadaku, akupun tidak usah menyesal lagi."

Bu-lim-thian-kiau melengak, katanya: "Untunglah Hoa-heng sudah mengerti duduknya perkara, kejadian lalu tak usah disinggung lagi Apakah Hoa-heng dari Hwi Iiong-to?" Apakan semua orang selamat?"

"Kau menguatirkan Liu Jing-you bukan?" kata Siau-go-kan- kun tawar, "Tunggulah dlsini untuk menemuinya, maaf aku tidak menemanimu lagi."

"Hoa-heng, tunggu sebentar, aku ada omongan." tapi dalam waktu dekat sukar juga dia mengutarakan isi hatinya.

"Tam-kongsu." ujar Siaugo-kan-kun setelah gelak tawa, "Kau tak usah jelaskan lagi, aku rela mengundurkan diri dari persaingan ini, mengaku kalah saja, memangnya kau belum puas juga?" Dapatkah Bu-Iim-thian-kiau membujuk Wanyen Liang siraja lalim membatalkan serbuannya ke selatan? Apa pula akibat yang menimpa dirinya?!

Apakah Hong-lay-mo-Ii dan Liu Goan-cong mampu meloloskan diri dari kepungan pasukan besar negeri Kim?

(Bersambung ke bagian 29)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar