Pendekar 100 Hari Jilid 16

16.76. Imam Tua Misterius

Tiba-tiba terlintas sesuatu dalam pikiran pemuda baju putih itu. Sesuatu yang lebih mengerikan dari penderitaan yang dideritanya saat itu. Tubuhnya pun menggigil keras dan seketika rubuhlah ia tak sadarkan diri lagi.

Siau Lo-seng geleng kepala. Ia merasa pemuda baju itu mempunyai watak yang kuat. Sayang dia tersesat ke dalam perguruan.

Ia menghela napas, ulurkan tangan untuk membuka kedok muka pemuda itu.

Tepat pada saat tangannya hendak menjamah muka pemuda baju putih itu, tiba-tiba ia rasakan setiup angin tenaga sakti melandanya. Belum sempat ia bergerak, tahu-tahu perut punggungnya telah dicengkeram orang.

Kejut Siau Lo-seng bukan alang kepalang. Menilik orang itu datang tanpa diketahuinya sama sekali, ia menyadari bahwa kepandaian orang itu tentu lebih tinggi dari dirinya.

Siapakah gerangan dia?

Serentak pikirannya membayangkan beberapa tokoh sakti: Ban Jin-hoan, Jin Kian Pah-cu, Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang, Buddha emas Ang Siong-pik atau mungkin Bu-tong Sam-siu.

“Siapakah saudara ini? Apakah maksud saudara kepadaku?” akhirnya ia bertanya dengan nada sarat. Orang yang berada di belakang itu tak mau menyahut melainkan masih tetap menguasai jalan darah Beng- bun pada punggung Siau Lo-seng.

Sampai diulang tiga kali bertanya, tetap Siau Lo-seng tak mendapat jawaban, ia makin heran. “Engkau ini manusia atau setan? Mengapa tak menjawab pertanyaanku?” serunya mangkal.

Namun orang itu tetap diam saja. Bulu kuduk Siau Lo-seng serempak meregang. Memang kalau manusia, sukar untuk memiliki kepandaian yang sedemikian saktinya.

Jalan darah Beng-bun-hiat merupakan salah satu dari tiga jalan darah maut. Apabila orang menyalurkan tenaga dalamnya. Siau Lo-seng pasti celaka. Kalau tidak muntah darah tentu akan putus jiwanya. Maka sebelum mendapat kesempatan untuk lolos, Siau Lo-seng tak berani, bergerak gegabah.

Maka keduanya terbenam dalam keheningan. Sama-sama diam membisu. Entah selang berapa lama tiba- tiba dari jauh terdengar suara suitan aneh yang gencar dan alunan suara seruling yang hampir tak kedengaran.

Seketika Siau Lo-seng rasakan tangan orang di belakangnya itu agak gemetar. Sudah tentu pemuda itu tak mau mensia-siakan kesempatan. Secepat ia rubuhkan tubuh ke muka lalu dengan jurus Lan-hou-sin-yau atau Harimau malas menjulur pinggang ia ayunkan kaki menendang orang yang di belakangnya.

Jurus itu memang indah dan cepat sekali. “Bum, bum……,” terdengar suara keras sekali. Seketika Siau Lo- seng rasakan kakinya menendang tembok besi. Sakitnya bukan kepalang. Disamping itu bahu kanannya pun telah dihantam sebuah tangan keras sehingga ia jungkir balik sampai tiga kali dan terlempar sampai  tiga tombak jauhnya. Dadanya seperti terhimpit gunung, hampir ia tak kuat bertahan lagi.

Cepat ia tenangkan semangat lalu berpaling memandang ke arah orang tadi.

Tampak seorang manusia yang aneh. Tubuhnya tinggi kurus, kedua tangannya menjuntai sampai ke lutut. Mengenakan pakaian hitam dan mukanya pun berkerudung kain hitam. Dia tegak terlongong-longong di samping pemuda baju putih tadi.

Kejut Siau Lo-seng pada saat itu bukan dilukiskan. Tendangannya membalik ke belakang tadi tak kurang dari seribu kati kekuatannya. Tetapi walaupun kena pada dadanya, orang aneh itu ternyata tak rubuh atau terluka. Manusia atau setankah dia?

Sudah tentu Siau Lo-seng tak tahu bahwa manusia aneh itu adalah Te-gak-kui-ong atau si Raja Akberat, seorang mumi yang terkenal dari istana Ban-jin-kiong.

Siau Lo-seng cepat mencabut pedang Ular Emas dari tanah lalu membentak: “Siapa engkau? Apa maksud kedatanganmu kemari?”

Tetapi Raja Akherat itu tetap tegak mematung di sisi pemuda baju putih. Dia seperti seorang manusia yang tak bernyawa. Hal itu cepat dapat disadari Siau Lo-seng. Dia berhadapan dengan seorang mumi, atau manusia yang hilang kesadaran pikirannya. Mirip dengan si cantik Im-kian-li dari Lembah Kumandang.

Siau Lo-seng menimang. Dari pada menempur seorang mumi, lebih baik ia melakukan lain tugas yang lebih penting. Dari keterangan pemuda baju putih tadi, ia tahu bahwa Lembah Kumandang telah dipasangi dengan alat-alat peledak oleh pihak Ban-jing-kiong. Apabila benda-benda itu tak lekas dihancurkan, ribuan jiwa manusia tentu akan hancur lebur.

Segera Siau Lo-seng menyimpan pedangnya lalu dengan hati-hati ia menghampiri ke tempat pemuda baju putih.

Raja Akherat tetap tegak tak mengunjuk suatu reaksi apa-apa. Tetapi ketika Siau Lo-seng tiba pada jarak dua-tiga meter dari tempat pemuda baju putih, barulah Raja Akherat itu mengangkat tangan kanannya pelahan-lahan.

Tetapi Siau Lo-seng tak memberi kesempatan kepada manusia tak sadar itu. Dengan menggembor keras dia lepaskan hantaman sampai delapan kali kepada Raja Akherat.

“Bum, bum, bum…….”

Tetapi bukan Raja Akherat itu yang celaka, melainkan Siau Lo-seng sendiri. Pemuda itu telah dilanda oleh tenaga membal yang dipancarkan dari tangan Raja Akherat. Siau Lo-seng terlempar sampai lebih dari dua tombak jauhnya. Kedua tangannya seperti patah. Dadanya sesak, pandang matanya gelap seperti hendak rubuh pingsan. Siau Lo-seng menggertek gigi. Setelah menyalurkan tenaga murni, ia mengangkat muka memandang ke depan.

Tampak kedua kelopak mata Raja Akherat itu berkedip dua kali. Mulutnya mengeluarkan rintihan pelahan.

Siau Lo-seng benar-benar heran sekali. Delapan buah pukulannya telah gagal. Dia hampir tak percaya bahwa tubuh Raja Akherat yang terbuat dari darah dan daging itu mampu menerima ke delapan pukulannya.

Siau Lo-seng menduga bahwa Raja Akherat itu tentu sudah memiliki ilmu kebal Kim-kong-put-hoay-sin- kang. Pada hal Siau Lo-seng sendiri hampir lupa bahwa ia juga mulai mempelajari ilmu kebal itu.

Saat itu suara suitan aneh tadi makin lama makin dekat. Sedangkan suara seruling yang makin melengking tinggi, tiba-tiba berhenti.

Serentak Siau Lo-seng mempunyai suatu firasat yang tak baik. Tanpa banyak berpikir lagi ia terus maju menerjang. Dengan ilmu jari sakti Han-sim-ci-keng, menutuk tiga buah jalan darah di dada Raja Akherat.

Dan masih sempat pula ia ayunkan kaki menendang tubuh pemuda baju putih menggetetak di tanah itu.

Tiba-tiba Raja Akherat meraung aneh dan menyurut mundur sampai tujuh-delapan langkah. Matanya berapi-api memandang Siau Lo-seng.

Tutukan jari Han-sim-ci-keng luput, tendangan ke arah pemuda baju putih itu pun tak kena. Ternyata pemuda itu dapat berguling ke samping dan terus melenting berdiri. Sebenarnya pada saat Raja Akherat datang, dia sudah sadar dari pingsannya. Dia ingin menyaksikan Siau Lo-seng dihancurkan Raja Akherat. Tetapi ia kecewa karena walaupun menderita dua kali serangan dari Siau Lo-seng, Raja Akherat itu tak mau balas menyerang.

Ia tahu bahwa Raja Akherat itu adalah seorang tokoh sakti yang telah ditempa menjadi seorang mumi oleh Ban Jin-hoan. Raja Akhirat itu termasuk mumi Ong.pay (pengawal raja) khusus untuk menghadapi tokoh- tokoh silat yang lihay. Dia amat ganas sekali tetapi mengapa saat itu sedemikian lunak sikapnya!

Karena hal-hal itulah maka setelah menghindari tendangan Siau Lo-seng, pemuda baju putih terus lari ngiprit.

“Berhenti! Apakah engkau mampu melarikan diri!” bentak Siau Lo-seng.

Tetapi ketika ia hendak mengejar, Raja Akherat pun segera memekik keras dan menyerangnya. Belum tangan manusia mumi itu tiba, Siau Lo-seng sudah rasakan angin pukulan yang panas melandanya. Ia terkejut dan cepat melentikkan ke lima jari tangan kiri, sedang tangan kanan menyongsong ke muka.

“Jangan beradu pukulan, lekas mundur!” tiba-tiba terdengar teriakan keras dan sesosok tubuh meluncur turun dari udara. Kedua tangannya direntang. Yang satu disongsongkan ke arah Siau Lo-seng dan satu kepada Raja Akherat. Yang didorongkan kepada Siau Lo-seng menimbulkan angin pukulan lunak tetapi yang dilontarkan kepada Raja Akherat itu memancarkan tenaga yang dahsyat sekali, sehingga menimbulkan deru angin dahsyat, menebarkan debu dan pasir berhamburan dan merontokkan ranting- ranting daun pohon.

Sesaat kemudian di gelanggang itu muncul seorang imam tua. Rambut dan jenggotnya putih, mukanya bersih.

Raja Akherat ternyata sudah lenyap pada saat tempat itu diselubungi hamburan pasir.

Melihat imam tua itu, serentak Siau Lo-seng berseru kaget: “Bukankah totiang ini It Ceng Totiang dari Bu- tong-pay?”

Imam tua itu tersenyum, “Benar, aku memang It Ceng.”

Timbul pertanyaan dalam hati Siau Lo-seng. Ketika kesasar masuk ke markas Bu-tong-pay, dia telah dituduh sebagai pembunuh murid-murid partai itu dan dimusuhi mereka. Tetapi mengapa imam tua yang menjadi kepala dari Bu-tong Sam-siu itu menolong dirinya? Aneh.

“It Ceng locianpwe,” segera ia berseru dengan nada dingin, “apakah locianpwe hendak mencari aku?”

It Ceng Totiang mengelus-elus jenggotnya yang putih dan menjawab dengan nada ramah: “Benar, aku memang hendak mencarimu.” Makin tak mengerti Siau Lo-seng mclihat sikap imam tua itu. “Apakah kalian benar-benar tak mau melepaskan diriku……?”

“Siau sauhiap,” cepat It Ceng Totiang menukas, “jangan salah paham. Salah duga, telah selesai. Dengan ini aku mewakili partai Bu-tong-pay untuk menghaturkan terima kasih kepadamu.”

Legalah hati Siau Lo-seng. Ia menghela napas: “Ah, apabila locianpwe datang lebih pagi sedikit, tentulah akan melihat orang yang menyaru jadi diriku itu.”

It Ceng Totiang tertawa.

“Pemuda baju putih yang menyaru jadi dirimu itu sudah kutangkap dan kutaruh dalam hutan.”

“Siau sauhiap,” tiba-tiba imam tua itu beralih pembicaraan, “tahukah engkau lawanmu bertempur tadi?”

“Baru pertama kali aku bertemu dengan dia,” kata Siau Lo-seng, “tetapi dia agak menyerupai Te-gak Kui- ong dari Ban-jin-kiong. Menilik kepandaiannya, sebelum menjadi manusia mumi, dia tentu seorang tokoh yang sakti!”

“Apakah engkau sudah beradu pukulan dengan dia?” tanya It Ceng pula.

“Delapan buah pukulan telah kuhantamkan kepadanya tetapi selalu dia dapat memancarkan tenaga  membal yang luar biasa sehingga aku sendiri yang berkunang-kunang,” kata Siau Lo-seng, “locianpwe, apakah ada sesuatu dalam hal itu?”

Beberapa saat It Ceng Totiang memandang dengan setengah bersangsi kepada pemuda itu, lalu berkata, “Benarkah engkau telah menghantamnya sampai delapan kali.”

“Dan menendang kakinya satu kali,” Siau Lo-seng menambahkan. Melihat kerut wajah imam tua itu, ia menduga tentulah tubuh Raja Akherat itu mengandung racun ganas.

Tiba-tiba It Ceng meluncur maju dan sebelum Siau Lo-seng tahu apa-apa, tangannya sudah dicekal imam tua itu.

Beberapa saat kemudian ia lepaskan cekalannya dan berseru: “Siancay, siancay! Kuucapkan selamat kepadamu karena ternyata engkau telah mempelajari ilmu kebal Kim-kong-put-hoay-sin-kang.”

“Apa? Aku sudah berhasil memiliki ilmu kebal itu?” teriak Siau Lo-seng heran. “Tenaga dalammu makin bertambah sempurna,” kata It Ceng Totiang.

Memang ilmu kebal itu sesungguhnya merupakan ilmu tenaga dalam tingkat tinggi. Hanya beberapa tokoh silat yang berhasi1 mencapai tataran setinggi itu.

“Locianpwe, bagaimana engkau tahu kalau aku sudah memiliki ilmu itu? Apakah locianpwe tidak salah?” serunya menegas.

“Apabila engkau belum memiliki ilmu kebal itu, engkau tentu binasa menerima tenaga membal dari ilmu Tay-lo-sin-kang orang itu.”

“Hai, apakah tenaga membal dari orang itu berasal dari ilmu Tay-lo-sin-kang partai siau-lim-si yang sudah ratusan tahun lenyap? Lalu siapakah dia itu?”

Merenung sejenak, It Ceng Totiang berkata: “Menilik keterangan dari orang Siau-lim-si. Yang mampu memperoleh kembali ilmu sakti Siau-lim-si yang telah lenyap ratusan tahun itu hanya seorang, yalah Ko Bok Taysu. Tetapi beliau sudah meninggal dunia pada empatpuluh tahun yang lalu. Tak mungkin kalau Ko Bok Taysu.”

Makin tergetar hati Siau Lo-seng. Ko Bok Taysu adalah paman guru dari Pek Wan Taysu. Apabila benar masih hidup, tentu sudah berusia seratus tahun lebih. Tetapi mengapa yang sedemikian sakti, mengapa dapat ditawan dan dijadikan, seorang manusia mumi?

Tetapi keheranannya itu segera terjawab. Bukankah wanita sakti Siang-hoa-hong-li juga dapat dijadikan wanita mumi dan dirobah namanya menjadi Im-kian-li?

Kemungkinan Ko Bok Taysu juga begitu nasibnya.

Makin merenung makin menggigillah Siau Lo-seng. Tetapi serentak iapun teringat akan bahaya yang mengancam Lembah Kumandang. “Locianpwe, saat ini Lembah Kumandang sedang terancam bahaya kehancuran. Apabila terlambat selangkah, tentu akan menimbulkan banjir darah,” serunya.

“Ya, aku sudah tahu,” It Ceng Totiang tersenyum, “makin tergesa makin tak sampai. Yang benar kita harus tenang untuk menilai keadaan, setelah itu baru mengambil langkah.”

Merah wajah Siau Lo-seng mendengar nasehat itu, serunya: “Locianpwe, ya memang benar begitu. Lalu petunjuk apakah yang locianpwe akan berikan kepadaku?”

“Urusan di Lembah Kumandang, tak usah engkau gelisah,” kata It Ceng Totiang, “walaupun Ban-jin-kiong telah mengerahkan anak-buahnya secara besar-besaran, tetapi Jin Kian Pah-cu pun bukan tokoh biasa.  Tak nanti dia begitu mudah akan menderita kekalahan. Dan menilik keadaan saat ini, kurasa Jin Kian Pah- cu tentu sudah menguasai keadaan pihak Ban-jin-kiong. Jika tidak, tak mungkin Ban Jin-hoan begitu mudah membawa anak buahnya datang ke lembah ini.”

Sejenak berhenti, imam tua itu melanjutkan kata-katanya:

“Siau sauhiap, tahukah engkau tujuanku datang kemari?” Siau Lo-seng terbeliak,

“Bu-tong Sam-siu, jarang mau keluar. Bahwa It Ceng locianpwe datang kemari tentulah karena hendak melakukan suatu pekerjaan yang penting sekali,” sahutnya.

Entah bagaimana It Ceng Totiang menengadahkan kepala dan menghela napas panjang.

“Dunia memang penuh dengan soal-soal yang aneh. Antara benar dan salah terdapat liku-liku yang sulit. Budi dan Dendam, Sebab dan Akibat, selalu berputar tiada putusnya. Sudah empatpuluh tahun lamanya aku mengasingkan diri tak mencampuri urusan dunia, tetapi tetap tak dapat terhindar dari lingkaran budi dan dendam itu. Ah memang segala sesuatu telah digaris oleh kodrat. Sungguh tak pernah kusangka bahwa

pada saat akhir-akhir ini setelah berselang empatpuluh tahun. Aku sih harus di ombang- ambingkan oleh lingkaran budi dan dendam.”

Mendengar itu segera merta Siau Lo-seng menghaturkau maaf karena telah mengganggu pertapaan It Ceng Totiang yang memerlukan datang untuk menolong dirinya.

“Apabila Siau sauhiap tak berkunjung ke Bu-tong-san, aku tentu masih hidup dalam kabut gelap dan dalam kehidupan yang sekarang ini tentu takkan dapat memperbaiki dosaku.”

“Apakah maksud ucapan locianpwe?” seru Siau Lo-seng terkejut heran.

“Keluarku dari pertapaan kali ini, tak lain hanya bertujuan untuk membersihkan kalangan dalam perguruan Bu-tong. Menghukum murid hianat dan membasmi bahaya yang mengancam dunia persilatan.”

“Akupun merasa bahwa dalam kalangan perguruan Bu-tong terdapat pengkhianat. Tetapi adakah locianpwe sudah menyelidiki dengan teliti?”

16.77. Cinta Segi Tiga, Guru dan Murid

“Sungguh memalukan,” seru It Ceng Totiang dengan nada kecewa, “yang menjadi biang keladi dari penghianatan itu tak lain adalah suteku sendiri, It Bing.”

“Ah, bagaimana mungkin, locianpwe?” teriak Siau Lo-seng, “bukankah It Bing cianpwe bersama Bu-tong Sam-siu bertapa di ruang Ceng-siu-tian? Bagaimana dia dapat mengadakan hubungan dengan pihak luar?”

“Di situlah letak kuncinya,” kata It Ceng Totiang, “It Bing Totiang yang aseli sudah meninggalkan Bu-tong- san sejak limapuluh tahun yang lalu. Dia meninggalkan seorang It Bing Totiang palsu untuk menyelundup dan ikut kami bertapa selama empatpuluh tahun. Sedang It Beng yang sungguh, telah melakukan kejahatan di luar, menimbulkan huru hara dan membahayakan dunia persilatan ”

“Benarkah itu?” masih Siau Lo-seng agak kurang percaya, “masakan locianpwe tak dapat mengenali sute sendiri.”

It Ceng totiang menggeram.

“Panjang sekali ceritanya. Limapuluh tahun yang lalu,” imam tua itu mulai bercerita, “pada saat suhuku Thian Le Cinjin menyerahkan kedudukan Ciang-bun (ketua) kepadaku, diapun telah menerima seorang murid baru. Seorang pemuda orang biasa yang terkenal namanya sebagai Cian-bin-poa-an. Kala itu aku sudah seorang pertengahan umur sedang dia baru seorang pemuda yang berumur duapuluh tahun. Karena dia memang berbakat bagus dan amat cerdas, dia telah disayang suhu dan suhu sendirilah yang menurunkan pelajaran kepadanya.”

It Ceng Totiang berhenti sejenak untuk mengambil napas.

“Cian-bin-poa-an itu apakah bukan Cian-bin-poa-an Kho Ing-ti yang pada limapuluh tahun berselang menjadi pasangan dari Siang-hoa-liong-li Pui Siu-li dan digelari sebagai sepasang pendekar nomor satu di dunia?” Siau Lo-seng menyeletuk.

“Limapuluh tahun yang lalu dalam dunia persilatan telah muncul tiga pasang pendekar muda Cian-bin-poa- an Kho Ing-ti, Kim-coa-mo-kiam Siau Mo, Bu-eng-sin-liong Siau Han-kwan. Ketiga jago muda itu disebut Sam-cay. Sedang ketiga pendekar wanita yalah Siang-hoa-liong-li Pui Siu-li, Giok-li-sin-hong Tan Bi-hoa dan Hun-siang-sian-cu Ui Siu-bwe. Mereka digelari Sam-ing (Tiga Jelita). Berturut-turut mereka muncul dalam dunia persilatan dan serentak mereka saling berkenalan lalu membentuk persekutuan Heng-te-ci- moy (engkoh adik, taci adik). Merupakan peristiwa, yang indah dan dipuji dunia persilatan.

It Ceng Totiang berhenti, menatap wajah Siau Lo-seng lalu melanjutkan pula:

“Tetapi kemudian hari, Sam-cay dan Sam-ing itu akhirnya berantakan……, suteku Kho Ing-ti pulang ke Bu- tong dan bersumpah akan mensucikan diri ”

“Bagaimanakah peristiwa bubarnya Sam-cay dan Sam-ing itu? Lalu akhirnya bagaimana?” Siau Lo-seng gegas bertanya.

“Peristiwa itn memang terjadi di luar dugaan orang,” kata It Ceng Totiang, “tiada seorangpun yang pernah menyangka bahwa Sam-cay Sam-ing yang begitu rukun seperti kakak beradik, tiba-tiba terpecah belah, masing-masing mengambil haluan sendiri…… Menurut kesimpulanku, sebab dari perpecahan itu tentu berkisar pada soal Asmara. Ah, asmara memang berkuasa. Dari dulu sampai kelak akhir jaman. Entah berapa banyak muda mudi yang telah hancur binasa dihempas asmara itu.”

Saat itu makin dalam kesadaran Siau Lo-seng akan soal Asmara. Ya, asmara itu kuasa membahagiakan orang tetapipun kuasa menghancurkan.

“Locianpwe, engkau tak begitu jelas tentang peristiwa itu tetapi mengapa dapat menarik kesimpulan bahwa peristiwa itu disebabkan karena soal Asmara?” tanyanya.

“Memang benar, mereka telah bentrok karena urusan Asmara,” kata It Ceng Totiang. Tampak imam tua itu gemetar di kala mengucapkan kata-kata itu. Matanya pun berlinang-linang. memancarkan sinar duka dan geram. Rupanya dia sedang dilanda oleh gejolak ketegangan hati.

Diam-diam Siau Lo-seng heran. It Ceng Totiang ketua dari Bu-tong Sam-siu. Tiga tokoh tua yang paling dihormati dalam partai persilatan Bu-tong-pay. Kepandaiannya sakti, imannya kuat. Tetapi mengapa masih dapat terangsang oleh perasaan hatinya.

Tiba-tiba pula Siau Lo-seng mendapatkan bahwa imam tua yang berdiri di hadapannya itu lain sikapnya dengan Bu-tong Sam-siu yang dilihatnya ketika berada dalam markas Bu-tong. Waktu itu jelas Bu-tong Sam-siu bersikap bengis dan keras. Walaupun wajahnya sama, tetapi beda sekali dengan It Ceng Totiang yang berdiri di hadapannya saat itu.

Serentak timbul kecurigaan dalam hati Siau Lo-seng. Ia teringat akan ilmu Merobah raut muka dari orang Ban-jin-kiong sehingga Nyo Cu-ing sampai tak kenal akan ayahnya sendiri yakni Nyo Jong-ho…… begitu pula nona baju merah tadi. Benar-benar seperti pinang dibelah dua dengan Nyo Cu-ing.

“Ah……,” tiba-tiba Siau Lo-seng mendesah. Rupanya ia telah menemukan sesuatu rahasia. Dipandangnya It Ceng Totiang dengan tajam.

Kerut wajah It Ceng pun berubah-rubah. Namun cepat ia segera mengajukan pertanyaan, “Siau sauhiap, adakah sesuatu yang engkau rasakan?”

“Tidak, tidak,” sahut Siau Lo-seng gelagapan. “Dapatkah locianpwe menceritakan semua peristiwa yang menimpa Sam-cay Sam-ing itu?”

“Kemunculan mereka di dunia persilatan bagaikan halilintar di terang hari. Setiap orang tahu dan menaruh perhatian. Tetapi keakhiran kisah mereka sebagai kabut awan yang gelap. Tiada bersuara tiada berita. Hanya sedikit orang saja yang mengetahui. Sudah berpuluh tahun aku tak pernah berjumpa dengan salah seorang dari mereka,” kata It Ceng Totiang.

“Jika demikian, locianpwe sungguh tak tahu akan keadaan mereka yang sesungguhnya?”

Tampaknya ada sesuatu yang masih menghuni dalam benak imam tua itu. Setelah merenung beberapa saat barulah ia berkata.

“Sebenarnya aku telah berjanji kepada It Bing sute, untuk tidak membocorkan peristiwa mereka. Tetapi karena sekarang dia ternyata telah berkhianat maka diapun tak percaya kepadaku lagi. Akupun tak perlu memegang janji itu. Peristiwa tiga Pasang pendekar dunia persilatan itu, kecuali mereka sendiri yang tahu jelas hanya aku.”

“Locianpwe,” seru Siau Lo-seng mulai tegang lagi, “alangkah bagusnya bila locianpwe tahu akan peristiwa mereka itu. Bertahun-tahun aku berkelana di dunia persilatan, tetapi tak berhasil menyelidiki.”

Dua dari Sam-cay itu adalah Siau Han-kwan, ayah Siau Lo-seng. Dan Siau Mo, paman pemuda itu. Itulah sebabnya maka ia ingin sekali mengetahui peristiwa mereka. Dan peristiwa itu tentu mempunyai sangkut paut dengan pembunuhan berdarah di Hay-hong-cung.

Tampaknya It Ceng Totiang bersangsi. Sesaat kemudian baru ia berkata dengan suara sarat: “Lambat laun peristiwa itu tentu akan terungkap. Hanya sayang, orang yang tahu peristiwa itu malu diri untuk berbicara.”

“Apakah mereka juga melakukan kesalahan dan mengungkap peristiwa itu merupakan suatu hal yang hina dan memalukan?” Siau Lo-seng heran.

“Benar,” sahut It Ceng agak geram, “yang tahu peristiwa itu hanya sedikit sekali tetapi mereka sendiripun juga melakukan kesalahan besar. Apabila diungkap, bukan saja akan merosotkan gengsi mereka, pun juga akan membawa akibat yang luas. Mungkin mereka tiada muka untuk menegakkan kaki di dunia persilatan lagi……”

“Apakah peristiwa Sam-cay Sam-ing itu mempunyai hubungan dengan locianpwe sendiri?” tiba-tiba Siau Lo- seng bertanya.

“Siau sauhiap, apa maksudmu? Bagaimana diriku mempunyai hubungan dengan peristiwa Sam-cay Sam- ing itu,” sahut It Ceng.

“Kulihat pada saat locianpwe menceritakan mereka, locianpwe agak terangsang. Jika tak mempunyai hubungan dengan peristiwa itu masakan locianpwe sampai mempunyai perasaan seperti itu,” kata Siau Lo- seng.

It Ceng tertegun lalu berseru tergagap,

“Au, perasaanmu tajam sekali. Walaupun secara langsung aku tak mempunyai sangkut paut dengan Sam- cay tetapi nasib yang diderita oleh It Bing sute itu, menyebabkan aku agak penasaran.”

Sudah tentu Siau Lo-seng tak mengerti apa maksud kata-kata imam tua itu. Tadi jelas It Ceng membenci It Bing karena perbuatannya menghianat itu. Tetapi sekarang imam tua itu penasaran atas nasib sutenya. Bukankah kedua ucapan itu saling bertentangan?

“Locianpwe, apakah sute locianpwe itu bukan ketua dari Ban-jin-kiong yang sekarang yakni Ban Jin-hoan itu?” tiba-tiba Siau Lo-seng bertanya.

“Kupastikan bahwa Ban-jin-kiong itu memang It Bing sute yang mendirikan. Tetapi adakah Ban Jin-hoan itu benar It Bing sute, aku belum berani memastikan. Karena sepak terjang Ban Jin-hoan itu memang sukar diduga, muncul lenyap tanpa diketahui orang ”

Siau Lo-seng kerutkan alis.

“Ucapan locianpwe itu terdapat sedikit kelemahannya. Kalau Ban-jin-kiong itu sute cianpwe yang mendirikan, mengapa Ban Jin-hoan belum pasti kalau It Bing Totiang.

“Segala apa di dunia kalau belum melihat dengan mata kepala sendiri sukar untuk memastikannya,” sahut It Ceng, “tetapi kupercaya, dalam kolong langit ini kecuali suteku Cian-bin-poa-an Ko Ing-ti, tak mungkin terdapat lain orang yang menguasai ilmu merobah wajah sedemikian sempurnanya.”

“Benar,” Siau Lo-seng mengangguk, “orang Ban-jin-kiong tentu ada yang memiliki ilmu merobah muka yang hebat.” It Ceng Totiang tersenyum: “Walaupun pada masa itu bukan hanya suteku seorang yang mahir dalam ilmu merobah wajah itu.”

Tiba-tiba imam tua itu berhenti seolah-olah seperti telah kelepasan bicara. Sudah tentu hal itu tak terlepas dari perhatian Siau Lo-seng.

“Siapa orang itu? Apakah bukan Jin Kian Pah-cu Ui Siu-bwe ketua dari Lembah Kumandang itu?' cepat Siau Lo-seng bertanya.

Seketika wajah It Ceng Totiang berobah, serunya: “Bagaimana engkau tahu hal itu?”

Ketika Siau Lo-seng mengangkat muka, pandangan matanya beradu dengan sinar mata It Ceng yang memancar sinar pembunuhan. Menggigillah hati pemuda itu.

“Ada orang dari pihak Ban-jin-kiong yang menyaru jadi diriku,” kata Siau Lo-seng, “tetapi dari pihak Lembah Kumandang pun ada orang yang menyaru jadi nona Nyo Cu-ing. Keduanya dapat menyaru dengan sempurna sekali. Itulah sebabnya maka aku memberanikan diri untuk menduga, bahwa orang kedua yang memiliki kepandaian merobah wajah itu adalah Jin Kian Pah-cu.”

Mendengar keterangan itu siraplah pancaran sinar mata buas dari It Ceng Totiang. Katanya: “Dewi Mega Ui Siu-bwe wanita busuk itu…….”

“Apa katamu?” Siau Lo-seng cepat mendesak.

Gemetarlah tubuh It Ceng Totiang. Cepat ia hendak menelan lagi kata-kata terakhir “wanita busuk” yang diucapkan itu dan terus dialihkan:

“Ya, memang dugaanmu tepat. Yang dapat mengimbangi ilmu merobah wajah dari suteku Kho Ing-ti itu memang sumoaynya Giok-li-sin-hong Tan Bi-hoa.”

Siau Lo-seng terbeliak kaget, serunya: “Apa? Kho Ing-ti dan Giok-li-sin-hong Tan Bi-hoa itu saudara seperguruan?”

It Ceng Totiang menghela napas.

“Sebelum masuk menjadi murid Bu-tong-pay suteku It Bing itu memang telah menjadi murid lain perguruan. Dia berguru pada Ou-hay-it-ki Lim Ing-hoa. Ou-hay-it-ki Lim Ing-hoa itu dahulu menjadi sahabat karib dari suhuku Thian Le Cinjin. Dia memang ahli sekali dalam ilmu merobah wajah. Sering dia menyamar sebagai seorang penjual obat untuk berkelana di dunia persilatan. Umurnya belum berapa tua. Pada waktu menerima Kho Ing-ti sebagai murid, umurnya hanya terpaut lima tahun dari muridnya. Dan dari muridnya perempuan yalah Giok-li-sin-hong Tan Bi-hoa hanya terpaut tujuh tahun saja.”

“Eh, masakan guru dan murid umurnya terpaut begitu sedikit?” seru Siau Lo-seng.

“Adalah karena perbedaan umur yang tak berapa banyak itu akhirnya timbullah hubungan istimewa antara Ou-hay-it-ki dengan Giok-li-sin-hong Tan Bi-hoa. Tetapi Ou-hay-it-ki tak mengetahui kalau muridnya yang satu, Kho Ing-ti, juga menaruh hati kepada Tan Bi hoa. Walaupun belum pernah saling mengutarakan, tetapi hati mereka sudah saling setuju.”

“Cinta segi tiga?” seru Siau Lo-seng. It Ceng Totiang tertawa memanjang.

“Pada suatu hari, Kho Ing-ti mengetahui bahwa suhunya Ou-hay-it-ki mencintai sumoaynya Tan Bin-hoa. Dan saat itu juga, iapun mengetahui bahwa Ou-hay-it-ki ternyata seorang pemuda yang cakap dan gagah.

Demikian mereka telah melewatkan penghidupan yang pahit dan manis selama setahun. Selama itu sikap Tan Bi-hoa terhadap suhunya hanya sebagai seorang murid yang menghormat suhu tetapi tak mau bergaul rapat. Terhadap Kho Ing-ti bersikap jinak-jinak merpati. Didekati menjauh sedikit. Kalau Kho Ing-ti diam, gadis itupun tak mau terbang.”

Termangu-mangu Siau Lo-seng mendengar kisah aneh dari guru dan kedua muridnya itu.

“Apakah Tan Bin-hoa sudah tahu kalau suhu dan suhengnya itu mempunyai hati kepadanya sehingga ia bersikap demikian terhadap keduanya?”

“Ya!” sahut It Ceng Totiang, “sikap seorang murid terhadap guru. Sedang terhadap suhengnya, sekalipun belum menyatakan dengan mulut, tetapi dia memang mencintainya dengan segenap hati.” Diam-diam Siau Lo-seng mendesuh dalam hati. Banyak sekali kelemahan-kelemahan dalam keterangan yang diberikan It Ceng Totiang itu. Tetapi karena ia ingin mengetahui kisah itu dengan jelas maka ia kendalikan hatinya untuk tidak membongkar kelemahan orang.

“Lalu bagaimana akhir kisah dari ketiga orang itu?” tanyanya.

“Rupanya Kho Ing-ti tak kuat bersabar dalam kehidupan yang menyesakkan dada itu. Ia mengelabuhi suhunya dan mendesak Tan Bi-hoa diajak lari.”

“Apakah keduanya berhasil lari?” tanya Siau Lo-seng.

“Tidak!” sahut It Ceng Totiang, “sauhiap, aku hendak bertanya kepadamu. Menurut anggapanmu, salahkah tindakan Kho Ing-ti yang hendak mengajak lari Tan Bi hoa itu?”

Siau Lo-seng tak mengerti mengapa It Ceng Totiang mengajukan pertanyaan semacam itu kepadanya. Tetapi demi memperhatikan sorot mata imam tua itu menuntut jawaban, akhirnya iapun menjawab dengan suara lantang:

“Locianpwe, walaupun tindakan Kho Ing-ti mengajak sumoaynya lari itu didorong oleh nafsu serakah, tetapi itulah sifat manusia. Maka tak dapat dianggap salah. Dan tentang tindakan Tan Bi-hoa yang mau diajak lari oleh suhengnya itu termasuk kebebasan azasi. Tiada seorangpun yang dapat campur tangan atau melarangnya.”

Jawaban Siau Lo-seng itu dilantangkan dengan tegas atas dasar pendirian keadilan. Tampaknya It Ceng Totiang berkesan mendengar jawaban itu. Ia menghela napas panjang.

“Dimanakah keadilan? Adakah budi kebaikan itu masih hidup di dunia? Sudah lama aku tak mendengar uraian tentang Keadilan dan Kebaikan. Hari ini berjumpa dengan Siau sauhiap boleh dikata aku telah membuka pantangan selama setengah abad dalam keputusanku untuk bertapa. Keputusanku mengasingkan diri itu tak lain karena muak melihat Keadilan dan Budi telah luntur dalam dunia persilatan.”

“Engkau salah locianpwe,” seru Siau Lo-seng, “memang dunia persilatan itu penuh dengan beraneka ragam manusia. Yang palsu, yang culas, yang kejam dan yang baik, yang jujur dan yang berpendirian lurus.”

Baru Siau Lo-seng berkata sampai di situ, tiba-tiba di angkasa terdengar pula kumandang suara seruling yang bening dan nyaring.

Tergetar hati Siau Lo-seng mendengar kumandang seruling itu. Cepat ia berpaling memandang It Ceng Totiang. Tetapi alangkah kejutnya ketika ia memperhatikan bahwa kerut wajah imam tua itu memantulkan hawa pembunuhan.

“Siau sauhiap,” seru It Ceng, “apa engkau kira aku ini It Ceng tojin dari Bu-tong Sam¬siu?”

Siau Lo-seng tetap tenang, sahutnya: “Walaupun menilik raut wajah, locianpwe ini menyerupai It Ceng totiang, tetapi sejak tadi aku sudah mengetahui bahwa locianpwe ini bukan It Ceng Totiang?”

Terkesiap It Ceng mendengar ucapan dan menghadapi sikap Siau Lo-seng yang begitu tenang. Seketika cahaya mukanya pun berobah.

“Bukankah engkau sudah mengetahui bahwa aku ini seorang momok yang ganas dan licin?” serunya. Siau Lo-seng kerutkan alis.

“Tak peduli engkau ini orang macam apa, tetapi ucapanmu saat ini memang keluar dari hati nurani yang tulus. Kalau aku tak menduga salah, locianpwe ini tentulah yang dikatakan sebagai Cian-bin-poa-an Kho Ing-ti.”

16.78. Otak Pembunuhan di Hay-hong-cung

It Ceng Totiang menghela napas panjang.

“Kho Ing-ti mendesak Tan Bi-hoa diajak lari telah diketahui oleh suhu mereka. Demi menyelamat nama baiknya agar jangan dibuat buah tutur dunia persilatan maka Ou-hay-it-ki mengajak muridnya mengadakan penyelesaian di belakang gunung. Coba engkau terka, siapakah yang menang dalam pertempuran antara guru dan murid itu?”

“Kho locianpwe, apakah engkau kalah dengan suhumu?” Siau Lo-seng berbalik tanya. It Ceng tak terang-terangan mengakui kalau dia itu sebenarnya Kho Ing-ti. Ia melanjutkan kata-katanya.

“Dugaanmu salah! walaupun menjadi murid dari Ou-hay-it-ki, tetapi berkat kecerdasannya yang luar biasa, dapatlah Kho Ing-ti memenangkan sejurus pukulan dan menusuk satu kali dengan pedang kepada suhunya. Karena malu dan marah, akhirnya Ou-hay-it-ki telah membunuh diri……”

“Locianpwe, yang ingin kuketahui yalah kisah dari ketiga pasang pendekar yang lainnya itu serta Kho Ing-ti. Adakah Kho Ing-ti itu bukan Ban Jin-hoan yang sekarang? Harap jangan bercerita panjang lebar yang tak mempunyai hubungan mereka. Mengapa locianpwe tak mau berterus terang mengakui diri locianpwe ini Kho Ing-ti atau It Beng Totiang ataukah Ban Jin-hoan?”

Serentak berobahlah cahaya muka imam tua itu. Akhirnya dengan rawan ia berkata: “Ya, benar, aku ini sebenarnya Cian-bin-poa-an Kho Ing-ti, ah ”

Diam-diam Siau Lo-seng merasa bahwa Kho Ing-ti itu seorang yang telah menderita kepahitan hidup, penderitaan dan nasib yang malang. Tetapi ia merasa bahwa imam tua yang berdiri di hadapannya itu kemungkinan adalah Ban Jin-hoan sendiri. Hal itu didasarkan rasa keheranannya, kalau dia benar Kho Ing- ti, apa maksudnya menceritakan sekian banyak peristiwa kepadanya?

Keduanya berdiam diri dan mendengarkan alunan suara seruling yang makin merdu. Tanpas disadari perhatian mereka telah terpikat.

Berselang berapa saat kemudian barulah Siau Lo-seng membuka mulut.

“Kho locianpwe, adakah engkau ini Ban Jin-hoan atau bukan, kelak pada suatu hari tentu akan dapat diketahui. Saat ini pihak Ban-jin-kiong telah bergerak besar-besaran menyerang Lembah Kumandang. Mereka hendak menghancur binasakan seluruh orang Lembah Kumandang. Aku tak sampai hati melihat pembunuhan besar-besaran itu, nah, sampai jumpa lagi.”

Habis berkata ia terus hendak pergi.

“Tunggu dulu!” seru It Ceng Totiang yang ternyata adalah Kho Ing-ti. “Apakah masih ada petunjuk lagi?” Siau Lo-seng berputar tubuh.

Cian-bin-poa-an Kho Ing-ti menghela napas rawan, serunya: “Sejak berkelana dalam dunia persilatan, tak pernah seperti kali ini aku harus mengendapkan perasaanku. Tetapi tak boleh tidak aku harus mengatakan. Hal itu mungkin berkaitan dengan rahasia asal usul dirimu. Kalau saat ini engkau tak mau mendengarkan, kelak engkau tentu akan menyesal.”

Siau Lo-seng tertawa dingin.

“Kukira masih ada lain hal yang sangat penting. Bilakah aku mempunyai rahasia tentang asal usul diriku? Kecuali dendam darah keluargaku, apakah masih ada hal-hal yang perlu harus kusesalkan lagi?”

Wajah Ko Ing-ti mengerut beberapa kali, serunya, “Engkau memang hanya tahu bahwa engkau mempunyai kewajiban untuk membalas dendam. Sekarang cobalah engkau jawab pertanyaanku ini. Siapakah mamahmu itu? Bagaimanakah sesungguhnya peristiwa berdarah itu telah terjadi?”

Siau Lo-seng terbeliak. Beberapa saat kemudian baru dapat berkata,

“Peristiwa yang sesungguhnya, tentu saja telah jelas. Lebih dari seratus jiwa orang Hay-hong-cung telah binasa. Dendam berdarah itu harus dihimpaskan. Ibuku pun telah menjadi korban dari keganasan itu. Apa maksudmu menanyakan peristiwa itu?”

Cian-bin-poa-an Kho Ing-ti merenung. Beberapa saat kemudian baru ia berkata sarat:

“Mamahmu adalah sumoayku Liok-li-siu-hong Tan Bi-hoa. Peristiwa berdarah di Hay-hong-cung boleh dikata sebagian adalah dikarenakan mamahmu.”

Siau Lo-seng seperti disambar petir kejutnya. Setitikpun ia tak pernah bermimpi bahwa mamahnya yang begitu lemah ternyata adalah seorang Tiga jelita yang dahulu pernah menggemparkan dunia persilatan. Mamahnya ternyata Giok-li-siu-hong atau Bidadari burung hong sakti Tan Bi-hoa!

Peristiwa itu sungguh mengherankan. Sungguh langka sekali dan sukar dipercaya! Sebenarnya dahulu ia memang pernah mendengar orang mengatakan bahwa mamahnya itu adalah Giok-li- siu-hong Tan Bi-hoa. Tetapi ia tak percaya. Kini setelah mendengar sendiri dari mulut Cian-bin-poa-an Kho Ing-ti, barulah ia mau percaya sungguh.

Tetapi iapun masih sangsi. Bukankah mamahnya telah terlibat cinta segitiga dengan Ou-hay-it-ki dan Kho Ing-ti? Mengapa akhirnya menikah dengan ayahnya yakni Naga sakti tanpa bayangan Siau Han-kwan?

Adakah mamahnya itu seorang wanita yang gemar bercinta? Dan mengapa pula Kho Ing-ti mengatakan kalau peristiwa berdarah di Hay-hong-cung itu timbul akibat soal mamahnya?

Jika begitu, jelas Kho Ing-ti inilah yang menjadi biang keladi pembunuhan itu. Dialah pembunuhnya!

Bukankah orang aneh yang menggunakan ilmu Menyusup suara telah membisiki kepadanya bahwa pembunuh itu selalu membayangi kemana saja ia pergi?

Tidak! Tidak! Ia tak boleh percaya omongan Kho Ing-ti. Ia malu sendiri mengapa begitu mudah pendiriannya hampir goyah karena mendengar cerita Kho Ing-ti. Bagamanapun halnya, ia harus melaksanakan tujuannya untuk membalas dendam berdarah itu agar arwah mamahnya dapat beristirahat tenang di alam baka.

Bermacam-macam pikiran melintasi benak Siau Lo-seng.

“Ngaco belo!” akhirnya ia membentak Kho Ing-ti, “tak pernah kudengar selama ini bahwa peristiwa berdarah di Hay-hong-cung itu mempunyai hubungan dengan mamahku. Jika engkau masih mengoceh tak keruan, jangan salahkan kalau aku bertindak keras kepadamu!”

Dengan wajah serius berkatalah Kho Ing-ti, “Kesemuanya itu memang peristiwa kenyataan. Liku-liku dendam pada masa yang lampau, berpangkal pada Giok-li-siu-hong Tan Bi-hoa. Liku-liku cinta yang selama itu masih belum padam dan himpas.”

Sambil mendekap kepala dengan kedua tangannya, Siau Lo-seng membentak marah: “Tutup mulutmu. Aku tak sudi mendengarkan ocehan seorang gila semacam engkau!”

Berobahlah cahaya muka Kho Ing-ti mendengar makian itu. Tetapi cepat ia dapat menekan perasaannya.

“Boleh saja engkau menganggap aku seorang gila,” katanya, “tetapi bagaimanapun aku hendak menceritakan hal yang sebenarnya. Dan engkaupun harus mendengarkan dengan jelas. Engkau......

engkau mungkin bukan putera dari Siau Han-kwan. Sebelum menikah dengan Siau Han-kwan, mamahmu telah melahirkan seorang anak dengan lain pria.”

Sepasang mata Siau Lo-seng merah membara seperti hangus.

“Buktikan kata-katamu itu!” teriaknya tegang. “jika engkau tak mampu memberi alasannya, takkan kubiarkan engkau bicara seenakmu sendiri begitu!”

Sambil berkata dengan mata merah, Siau Lo-seng maju menghampiri ke tempat Kho Ing-ti. Tetapi Kho Ing-ti tenang saja.

“Mau bukti? Asal engkau bertanya kepada mamahmu, segala sesuatu tentu jelas. Soal itu menyangkut rahasia peribadi, bahkan Siau Han-kwan sendiri mungkin tak tahu.”

Siau Lo-seng tertawa dingin.

“Omonganmu itu benar-benar ngaco belo! Mamahku telah ikut kalian bunuh dalam peristiwa berdarah di Hay-hong-cung itu. Dan masakan ayahku tak tahu asal usulku. Hm, mengapa engkau tak malu mengatakan hal semacam itu?”

“Tidak!” bantah Kho Ing-ti, “sungguh Tan Bi-hoa tidak binasa. Tak mungkin beberapa jago Bu-tong-pay itu mampu membunuh mamahmu!”

Gemetarlah tubuh Siau Lo-seng mendengar kata-kata itu. Sinar matanya memancar hawa pembunuhan yang buas. Pelahan-lahan ia mencabut pedang Ular Emas dari punggungnya lalu berseru nyaring:

“Engkau seorang pembohong yang berani mati sekali. Jelas dengan mata kepala sendiri kusaksikan mamahku dibunuh oleh beberapa orang berkerudung muka kain hitam. Dengan begitu, makin jelaslah bagiku bahwa engkaulah pembunuh utama dari Hay-hong-cung itu. Sekarang aku hendak melakukan pembalasan untuk menghimpaskan sakit hati dari mereka yang engkau bunuh di Hay-hong-cung itu!” Siau Lo-seng menutup kata-katanya dengan tabaskan dua kali pedang Ular Emas. Tabasan ita cepat sekali tetapi dengan geliatkan tubuh, Kho Ing-ti telah menghindarinya dengan indah sekali.

“Engkau benar, memang akulah biang keladi yang menggerakkan pembunuhan di Hay-hong-cung itu. Tetapi akupun berbuat begitu karena hendak menuntut balas. Siau Lo-seng, sebelum engkau tahu jelas bagaimana asal usul dirimu, hak apakah engkau hendak menuntut balas atas peristiwa di Hay-hong-cung itu? Dan lebih celaka lagi, engkau telah mengakui seorang penjahat sebagai ayah kandungmu!”

Hati Siau Lo-seng bingung tak keruan, serentak ia berteriak marah.

“Tutup mulutmu! Engkau pembunuh keji, sudah lama aku mencarimu. Hayo, sekarang serahkanlah jiwamu. Pedang Ular Emas berhamburan, tangan kiri Siau Lo-seng pun ikut melentikkan tujuh buah jari dan lontarkan lima kali pukulan.

Kho Ing-ti menghela napas. Ia kebutkan sepasang lengan bajunya dan menghamburkan arus tenaga lunak.

Siau Lo-seng rasakan, pukulan dan pedangnya itu seperti menyusup ke dalam lumpur. Ia terkejut dan cepat-cepat menyurut mundur.

Kho Ing-ti yang bergelar Cian-bin-poa-an atau Arjuna seribu wajah itu memiliki ilmu kepandaian yang sakti. Dia hendak menundukkan kekerasan hati pemuda itu. Diam-diam ia melancarkan ilmu tenaga dalam Hui-lo- kang untuk menghapus tenaga pukulan Siau Lo-seng yang mampu menghancurkan batu karang.

Siau Lo-seng cepat menyadari bahwa kepandainnya terpaut jauh sekali dengan Kho Ing-ti. Pada saat ia hendak membuka mulut, tiba-tiba di udara berkumandang suara seruling yang aneh, seolah bersatu dengan lolong kawanan anjing di kejauhan.

Wajah Kho Ing-ti berobah hebat. “Apa yang kukatakan kepadamu memang hal yang sesungguhnya,” katanya. “kalau tak percaya, bolehlah engkau bertanya kepada Siau Han-kwan dan mamahmu Tan Bi-hoa sendiri. Jika ada keperluan, marilah ikut aku ke Ban-jin-kiong.”

“Hai, engkau benar-benar Ban Jin-hoan!” teriak Siau Lo-seng. Dengan mengertek gigi segera lepaskan sebuah hantaman yang disertai dengan tenaga penuh.

“Bum……”

Siau Lo-seng melihat bahwa pukulannya itu tepat mengenai punggung Kho Ing-ti yang saat itu sudah  angkat kaki. Tetapi entah bagaimana hasilnya karena Kho Ing-ti pun sudah meluncur lenyap dalam hutan lebat…..

********************

Pada lain saat suara anjing menyalak itu pun sudah tiba di belakangnya dan sesosok bayangan putih segera meluncur.

Siau Lo-seng terkejut. Cepat ia menabas dengan pedang. Tetapi ketika memperhatikan, ternyata sosok bayangan putih. Itu adalah anjing putih bermata merah, peliharaan dari ayahnya.

Karena bergerak cepat, Siau Lo-seng tak sempat menghentikan pedangnya. Dan Salju si anjing putih itu tentu tertabas.

Tetapi di luar dugaan, anjing putih Salju itu dapat berjumpalitan dan lolos dari mata pedang ular emas, lalu meluncur ke tanah.

Siau Lo-seng menghela napas lega. Ia tahu binatang itu seekor anjing sakti. Setelah menyimpan pedang ia bertanya: “Salju, bagaimana keadaan ayahku?”

Salju menyalak beberapa kali. Setelah menggigit ujung celana Siau Lo-seng, binatang itu terus lari pergi.

Siau Lo-seng menyadari bahwa apabila tak ada urusan penting tentulah anjing putih itu tak sedemikian tegangnya. Segera ia lari menyusul.

Anjing itu luar biasa cepatnya. Sambil menggonggong, ia menuju ka arah Lembah Kumandang. Walaupun telah mengerahkan ilmu berlari cepat, namun tetap Siau Lo-seng tak dapat mengejar. Dalam beberapa waktu, keduanya sudah masuk ke dalam hutan lebat dan tiba di sebuah lembah yang  terdiri dari batu-batu aneh dan karang-karang berbahaya. Lembah Kumandang!

Sebuah jalan kecil merentang ke dalam lembah. Pohon-pohon bertumbangan, daun-daun berhamburan dan dua sosok mayat manusia terkapar di tepi jalan. Mayat itu masih mengalirkan darah.

Makin manyusup ke dalam, suasana makin kacau. Mayat-mayat berserakan, senjata, anggauta  badan orang dan bau yang anyir bertebaran menyengat hidung.

Mau tak mau menggigillah hati Siau Lo-seng. Walaupun diketahuinya bahwa mayat-mayat itu terdiri dari orang-orang Ban-jin-kiong dan Lembah Kumandang, tetapi ia tetap ngeri menyaksikan pemandangan yang begitu seram.

Tiba-tiba ia melihat juga, di antara mayat-mayat itu terdapat anak murid perkumpulan Naga Hijau. Begitu pula beberapa tokoh persilatan.

Tiba-tiba ia tiba di sebuah lapangan. Pada lapangan yang bersandar karang curam, tampak didirikan  sebuah bangunan besar.

Halaman di muka gedung bangunan itu, penuh orang berhilir mudik masuk ke dalam ruang besar. Mereka terdiri dari laki-laki dan wanita. Masing-masing membawa senjata. Pakaiannya kusut tubuh penuh dengan noda darah. Jelas mereka tentu habis bertempur. Wajah mereka tampak serius dan diam tak berkata-kata.

Sedang di lapangan itu, sunyi dan merawankan penuh warna merah. Seolah digenangi darah.

Belum pernah sepanjang hidupnya, Siau Lo-seng menyaksikan pembunuhan massal secara begitu besar. Keadaannya lebih mengerikan dari peristiwa di Hay-hong-cung dahulu. Berlinang-linang airmata pemuda  itu.

Mengapa harus terjadi pembunuhan besar-besaran semacam itu? Mengapa manusia saling bunuh sedemikian buasnya?

Serentak timbullah rasa dendam kebenciannya terhadap manusia yang menjadi biang keladi peristiwa itu. Dia benci sekali manusia yang lebih buas dari binatang itu.

Mengalihkan pandang ke arah gedung, tampak rombongan orang tadi sudah masuk ke dalam ruangan besar. Yang tinggal hanya dua buah daun pintu besar yang tinggi kokoh, kanan kiri dijaga oleh dua regu orang berpakaian hitam. Mereka tegak seperti patung.

Saat itu anjing Salju tak menggonggong lagi. Dan ruang gedung itupun sunyi. Diam-diam Siau Lo-seng heran mengapa anjing putih masih tetap lari. Hendak kemanakah binatang itu?

Teringat pula ia akan peristiwa yang dialaminya tadi. Apakah tujuan It Ceng Totiang atau Kho Ing-ti atau yang kemudian mengaku sebagai Ban Jin-hoan, mengikat dia dalam pembicaraan yang panjang. Apakah Ban Jin-hoan menggunakan siasat agar dia tak ikut serta dalam pertempuran berdarah itu?

Jelas perkumpulan Naga Hijau juga ikut dalam pertempuran itu. Tetapi yang mati hanya belasan orang. Lalu yang lain-lain kemanakah perginya?

Berdiri di balik beberapa batang pohon yang rindang, benak Siau Lo-seng diliputi oleh berbagai pikiran. Sebelum ia dapat mengambil keputusan, tiba-tiba serangkum angin telah melandanya dari belakang.

Cepat Siau Lo-seng, gunakan gerak Menjungkir balikkan lonceng emas. SambiI ayunkan pedang ke belakang, iapun meluncur ke samping.

Terdengar jeritan ngeri dan seorang Baju hitam terkapar mandi darah. Jeritan itu terdengar makin mengerikan sekali. Empat penjuru Lembah Kumandang memantulkan gema kumandangnya.

“Celaka!” diam-diam Siau Lo-seng mengeluh. Baru ia hendak angkat kaki tiba-tiba limapuluhan orang berhamburan lari keluar dari ruang gedung.

Siau Lo-seng makin terkejut. Cepat ia berputar tubuh dan lari. Tetapi baru tiga tombak jauhnya, lima-enam orang baju hitam berhamburan loncat keluar dari balik gerumbul pohon. Begitu menghadang di jalan, mereka terus menyerang dengan golok.

16.79. Masuk Lembah Kumandang Tetapi Siau Lo-seng hanya mendengus dingin. Ia menerjang mereka dengan taburan pedang. Lima buah tabasan cepat ditujukan ke lima penghadang itu. Dan terdengarlah pekik jeritan ngeri.

Sebelum melihat orangnya, ke lima baju hitam itu pun sudah terkena oleh tusukan pedang. Yang empat orang rubuh, yang seorang terhuyung-huyung dengan bahu mengalir darah. Dia bersandar pada sebatang pohon.

Memang jurus yang diserangkan Siau Lo-seng itu, luar biasa cepat dan indah. Dalam sekejap lima orang serempak terluka.

Sebenarnya Siau Lo-seng tak mau mengejutkan orang-orang Lembah Kumandang. Tetapi karana sudah terlanjur ke sarang harimau, terpaksa ia harus bertindak. Cepat ia loncat dan lekatkan ujung pedang ke tenggorokan orang itu.

“Bukankah engkau orang Lembah Kumandang?” bentaknya.

Mata orang baju hitam itu mendelik marah sahutnya: “Hm, kawanan pembunuh, engkau kira orang Lembah Kumandang itu mudah dihina? Bunuhlah aku tetapi jangan harap engkau mampu lolos dari tempat ini.”

Siau Lo-seng cepat menyadari bahwa orang itu telah menyangka dia sebagai pembunuh orang Lembah Kumandang.

“Aku hendak bertanya beberapa hal kepadamu. Kalau tak mau bilang, engkau akan merasakan penderitaan yang lebih hebat dari pada apa yang Jin Kian Pah-cu pernah lakukan kepada orang.”

“Pemimpin kami, berbudi luhur berhati welas asih tak pernah menjatuhkan hukuman. Anak muridnya yang bersalah hanya ditundukkan dengan kata-kata penyadaran. Adalah karena sikapnya yang welas asih itu maka timbullah murid hianat. Dia menjadi musuh dalam selimut yang secara diam-diam telah memasukkan musuh ke sini sehingga Lembah Kumandang mengalami bencana berdarah seperti saat ini.”

Siau Lo-seng terbeliak.

“Engkau maksudkan dalam Lembah Kumandang terdapat penghianat yang bersekongkol dengan musuh untuk menghancurkan Lembah Kumandang?” serunya.

Orang berpakaian hitam berteriak geram:

“Kalau tiada penghianat dari dalam bagaimana mungkin kalian mampu memecahkan enambelas pos berbahaya dalam Lembah Kumandang ini? Sekarang kau mau bunuh, bunuhlah sepuas hatimu. Tetapi jangan harap engkau dapat keluar dari lembah ini dengan selamat.”

Siau Lo-seng guratkan ujung pedangnya ke kulit tubuh orang itu dan membentaknya:

“Aku tak peduli Lembah Kumandang akan jadi bagaimana. Aku hanya menghendaki engkau menjawab pertanyaanku, apakah pihak Naga Hijau juga ikut dalam pembunuhan malam ini? Dan berapa banyakkah jumlah mereka yang datang?”

Tiba-tiba ia hentikan kata-katanya karena saat itu ia telah merasa bahwa di belakangnya telah muncul beberapa orang, segera terdengar suara seorang perempuan berseru.

“Akulah yang akan menjawab pertanyaanmu itu!”

Siau Lo-seng tak mengira di antara pendatang itu terdapat wanita juga. Ia agak condongkan tubuh ke samping dan melirik ke belakang.

Lebih kurang dua tombak jauhnya, muncul sejumlah tiga-empatpuluh orang yang dipimpin oleh dua orang nona cantik. Mereka bukan lain yalah Hiat Sat Mo-li yang bertempur dengan Li Giok-hou dan si nona baju merah, sumoay ketiga dari Hiat Sat Mo-li.

Sebelah kanan, tampak pukulan seribu Buddha Leng Bu-sia, salah seorang dari Tiga Jago partai Go-bi-pay dan Bandringan terbang Bwe Hui-ji. Sedang di samping kiri berjajar selusin gadis baju merah dengan bersenjata pedang, di belakang mereka, tegak duapuluh lelaki berpakaian tempur.

Melihat Siau Lo-seng, wajah Leng Bu-sia dan Bwe Hui-ji agak berobah. Mereka hendak bicara tapi tak jadi.

Siau Lo-seng pun terkejut, pikirnya: “Adakah Leng Bu-sia dan Bwe Hui-ji sudah pulih kesadaran  pikirannya?” Walaupun terkejut tetapi Siau Lo-seng tetap bersikap tenang dan menegur mereka, “Aku memang justeru hendak mencari kalian. Sungguh kebetulan sekali kalian sudah datang sendiri.”

“Saat ini Lembah Kumandang kami sedang menghadapi bahaya besar. Apa maksudmu datang kemari?” tegur Hiat Sat Mo-li dengan nada serius.

“Aku hendak mencari orang. Masakan aku hendak memancing di air keruh?” sahut Siau Lo-seng.

“Walaupun tak ikut nimbrung tetapi jelas engkaupun telah membunuh anak buah Lembah Kumandang. Aku tak mau menarik panjang urusan itu, tetapi saudara-saudara yang lain tak mau melepaskan engkau. Sekarang, buang senjatamu dan ikutlah kami pergi. Setelah urusan di lembah ini selesai, nanti diputuskan lagi.”

Siau Lo-seng tertawa gelak-gelak.

“Aku tak membunuh mereka tetapi mereka hendak membunuh aku. Apakah aku tak boleh mempertahankan diri?”

Mendengar ucapan itu, barisan anak buah Lembah Kumandang serentak hendak mencabut senjatanya. Tetapi Hiat Sat Mo-li mengangkat tangannya ke atas, mencegah mereka.

“Siau Lo-seng,” serunya kemudian, “engkau harus menyadari betapa pedih hati kita setelah mengalami peristiwa di lembah ini. Anak buah kami seolah dibakar hangus oleh dendam kesumat. Jika engkau menolak permintaanku, walaupun kepandaian mereka kalah dengan engkau tetapi mereka hendak menuntut balas atas kematian saudara-saudara separtai. Mereka lebih suka ikut mati dari pada melepaskan pembunuhnya.”

Siau Lo-seng tertawa dingin.

“Mereka sudah limbung pikirannya sehingga dirinya sendiripun tak tahu. Masakan manusia semacam itu masih mempunyai perasaan belasungkawa dan menuntut balas? Hm, selama belum tahu jelas urusan ini, sekalipun engkau suruh aku pergi, aku tetap tak mau pergi. Aku hendak bertanya kepadamu. Adakah orang Naga Hijau juga ikut dalam peristiwa berdarah malam ini? Berapakah jumlah mereka yang datang?”

“Siau Lo-seng, jangan salah lihat,” seru Hiat Sat Mo-li, “mereka bukan manusia-manusia yang sudah kehilangan kesadarannya. Tiga ribu anak buah Naga Hijau bukan saja telah datang ke sini tetapi  merekapun telah membantu Lembah Kumandang untuk menghadapi musuh.”

“Apa? Naga Hijau membantu Lembah Kumandang?” Siau Lo-seng berteriak kaget. Secepat kilat ia memandang Bwe Hui-ji dan Leng Bu-sia.

Kedua tokoh dari Go-bi Sam-hiat itu segera berseru,

“Memang benar. Hian Kim dan Ang Cui dua Thancu dari Naga Hijau telah menyatakan masuk menjadi anggauta Lembah Kumandang. Mereka membantu Lembah Kumandang untuk menghadapi serangan bersama dari Ban Jin-hoan serta partai-partai Go-bi, Tiang-pek, Kong-tong, Bu-tong, Ceng-sia dan Siau-lim- pay.

“Tutup mulutmu!” bentak Siau Lo-seng marah, “engkau sebagai Go-bi tianglo mengapa masih mempunyai muka untuk mengatakan hal itu. Apakah orang-orang Naga Hijau telah kalian racuni semua?”

Habis berkata Siau Lo-seng lintangkan pedang Ular Emas.

Bwe Hui-ji dan Leng Bu-sia mundur tiga langkah dan berkata dengan suara bengis:

“Siau Lo-seng, lihatlah diriku. Adakah aku ini mirip dengan orang  yang kehilangan pikiran? Ke tujuh partai itu telah dihasut Ban-jin-kiong sehingga secara membabi buta mereka ikut menyerang Lembah Kumandang. Andaikata ketua Go-bi-pay yang sekarang ini telah menjadi kaki tangan pihak Ban-jin-kiong, tentu sukarlah untuk mencegah tindakannya. Maka kuambil jalan lain, membantu Lembah Kumandang untuk merintangi tindakan mereka yang salah itu. Salahkah langkah yang kuambil itu?”

Siau Lo-seng tertegun. Diamatinya sinar mata kedua tokoh Go-bi-pay itu. Sinar matanya memancar kesungguhan hati, bukan sinar mata orang yang limbung. Siau Lo-seng makin terkesiap.

“Apakah kalian suka rela masuk ke dalam gerombolan Lembang Kumandang ini?” serunya sesaat kemudian.

Bwe Hui-ji tahu bahwa pemuda itu memang mempunyai prasangka buruk terhadap Lembah Kumandang. Maka tokoh wanita Bwe Hui-ji itupun menghela napas. “Engkau salah, Siau Lo-seng. “Lembah Kumandang merupakan tempat penempaan untuk mengembalikan manusia-manusia mumi. Sebuah perkumpulan yang berpijak pada Ceng-gi (Kebenaran). Adalah karena hendak menyelamatkan dunia persilatan dari rencana ganas Ban Jin-hoan yang hendak menguasai kaum persilatan maka Dewi Mega Ui Siu-bwe cianpwe telah rela mengorbankan masa remajanya untuk terjun dalam gerakan penyelamatan itu.”

“Bwe Hui-ji, mengapa engkau limbung?” bentak Siau Lo-seng, “mungkin memang pikiranmu belum terang betul. Adakah engkau telah melupakan peristiwa dirimu yang ditempa menjadi manusia mumi dahulu? Lembah Kumandang dan Ban-jin-kiong setali tiga uang, buruk semua. Keduanya merupakan gerombolan untuk menempa manusia mumi!”

“Aku tidak limbung. Memang kami sendiri yang menghendaki supaya dijadikan manusia mumi itu,” seru Bwee Hui-ji, “bukan melainkan aku dan Leng-heng, pun semua manusia mumi di Lembah Kumandang itu memang dengan suka rela menghendaki sendiri……”

“Kutahu pihak Ban-jin-kiong mempunyai banyak manusia-manusia mumi,” kata Bwe Hui-ji lebih lanjut, “dan kesaktian mereka memang sukar dilawan oleh kaum persilatan. Demi menghadapi kekuatan Ban-jin-kiong itu maka banyaklah tokoh-tokoh silat dan anak buah Lembah Kumandang yang menyatakan bersedia dijadikan manusia mumi.”

Siau Lo-seng makin melongo.

“Bwe Hui-ji, engkau telah keracunan hebat sekali. Sukar diobati lagi,” sesaat kemudian Siau Lo-seng berseru.

“Hm, Siau Lo-seng,” tiba-tiba Hiat Sat Mo-li ikut menyeletuk, “mengingat engkau pernah membantu aku dari serangan musuh dan hubunganmu dengan ji-sumoayku, maka kuberi kesempatan kepadamu untuk lekas- lekas tinggalkan lembah ini. Karena apabila Pah-cu kami datang, jangan harap engkau mampu pergi dari sini.”

Siau Lo-seng, tertawa dingin.

“Terima kasih atas kebaikanmu. Tetapi sayang aku tak ingin pergi.”

Hiat Sat Mo-li mendengus, serunya: “Kalau begitu pendirianmu, terpaksa kami akan bertindak!”

Seiring dengan kata-kata Hiat Sat Mo-li, ke duabelas dara baju merah serempak berseru nyaring, mencabut pedang lalu berhamburan membentuk sebuah barisan, mengepung Siau Lo-seng di tengah.

Melihat barisan itu tergetarlah hati Siau Lo-seng, pikirnya: “Hebat sekali barisan mereka. Benar-benar tak mudah dibobolkan.”

Pedang Ular Emas diacungkan menghadap ke muka. Tenaga dalam disalurkan ke ujung pedang dan dengan wajah sarat, berserulah pemuda itu.

“Apabila kalian berani bergerak, jangan sesalkan aku tak kenal kasihan.”

“Karena engkau memang tak ada hubungan dengan Lembah Kumandang, segeralah engkau turun tangan! Dengarkan, apabila engkau mampu memenangkan barisan pedang yang dilatih sendiri oleh Pah-cu kami, engkau boleh tinggalkan tempat ini dengan bebas!”

Siau Lo-seng menyadari bahwa apabila bertempur tentu akan menimbulkan korban. Dan sebenarnya ia tak ingin lagi melihat peristiwa berdarah.

Sejenak merenung, akhirnya ia berkata:

“Baiklah, aku akan pergi. Tetapi jangan kalian menganggap aku takut dengan barisan pedang itu. Melainkan aku tak ingin melihat pertumpahan darah lagi. Sebelumnya aku ingin hendak bertanya beberapa hal kepadamu.”

“Silahkan!”

“Kesatu, apakah nona Ui Hun-ing dan Nyo Cu-ing berada dalam lcmbah ini?” “Kedua, mengapa ketujuh partai persilatan dan Ban Jin-hoan datang kemari?”

“Ketiga, dalam pertempuran malam ini apakah terdapat seorang lelaki tua cacad dengan membawa seekor anjing putih?” Hiat Sat Mo-li menjawab:

“Ji sumoayku (Ui Hun-ing) selalu berada di samping Pah-cu untuk melayaninya. Nona Nyo Cu-ing belum pernah muncul di Lembah Kumandang. Mengapa ketujuh partai persilatan dan Ban Jin-hoan menyerang Lembah Kumandang, hanya Pah-cu kami yang tahu sebabnya. Maaf, aku tak tahu. Memang benar malam ini muncul seorang tua membawa seekor anjing putih.”

“Dimana orang tua itu sekarang?” cepat Siau Lo-seng menukas.

“Tubuh orang tua itu penuh ditumbuhi rambut yang panjang dan lebat tetapi dia tak cacad. Apakah hubunganmu dengan dia?”

“Dia tidak cacad? Lalu dimana dia sekarang?” teriak Siau Lo-seng.

Melihat ketegangan pemuda itu, dengan ragu-ragu ia menjawab, “Orang tua aneh itu membantu kami untuk mengundurkan serangan ketujuh partai. Saat ini dia tengah mengadu kepandaian dengan Pah-cu kami dan kemungkinan sudah akan kalah.”

“Aku harus menemuinya!” teriak Siau Lo-seng seraya enjot tubuh melayang ke udara, melampaui kepala orang-orang Lembah Kumandang dan terus masuk ke dalam ruang istana.

Hiat Sat Mo-li berteriak terus mengejar. Cepat sekali Siau Lo-seng sudah tiba di halaman. Tetapi alangkah kejut dan geramnya ketika dilihatnya Hiat Sat Mo-li dan ke duabelas dara baju merah sudah lebih dulu berada di lapangan itu.

Siau Lo-seng menerjang. Ia mendapat seorang dara baju merah tetapi dara itu cepat menggelincir ke samping dan menghindarinya.

Sebelas orang dara yang lain serempak berhamburan menyerang Siau Lo-seng. Pemuda itu terkejut sekali.

Untung ilmu pedang telah dikuasai dengan mahir. Ia melambung lagi ke udara lalu meluncur kembali ke arah ruangan. Tetapi sesaat ia tiba di lantai, ke duabelas dara baju merah itupun sudah menyambut dengan tusukan pedang.

“Tring, tring, tring......” Pedang Ular Emas segera menghalau selusin pedang itu. Tetapi ilmu pedang ke duabelas dara baju merah itu memang bukan olah-olah hebatnya. Ketika salah seorang dara memutarkan pedangnya ke udara maka sebelas kawannya segera mengikuti. Berlapis-lapis gulung sinar pedang mencurah ke arah kepala Siau Lo-seng.

Siau Lo-seng tak mau unjuk kelemahan. Ia gerakkan pedangnya sehingga menyerupai pagutan beribu ular.

Sesaat gumpalan sinar pedang ke duabelas dara baju merah itu lenyap dan orangnya pun loncat mundur.

Ternyata permainan pedang Ular Emas mampu menerobos lingkaran sinar pedang selosin dara baju merah. Terpaksa mereka loncat mundur.

Hiat Sat Mo-li yang menyaksikan pertempuran itu, mencemaskan keselamatan Siau Lo-seng. Hampir saja ia menjerit kaget karena serangan yang dilancarkan ke duabelas dara baju merah itu, belum pernah ada lawan yang mampu lolos. Di luar dugaan ternyata pemuda itu mampu mendesak mereka mundur.

Ke duabelas dara itu menjungkatkan pedang ke atas udara lalu pelahan-lahan dijuntaikan ke bawah jelas mereka hendak melacarkan serangan

16.80. Pemegang Lencana Matahari Terbit

Tiba-tiba anak buah Lembah Kumandang berbondong-bondong lari mengepung Siau Lo-seng. Jumlahnya lebih dari seratus orang.

Siau Lo-seng mengerut dahi. Dengan kedua tangan ia mencekal Pedang Ular Emas, ditegakkan menghadap ke atas. Kakinya pun telah bersiap dalam kuda-kuda yang kokoh. Sinar matanya menumpah ke ujung pedang. Suatu sikap pembukaan yang mengejutkan sekalian anak buah Lembah Kumandang,

“Siau Lo-seng, engkau telah kami kepung rapat. Kalau tak mau membuang senjatamu, engkau tentu menyesal,” seru Hiat Sat Mo-li. Tetapi Siau Lo-seng seperti orang yang kemasukan setan. Ia tak menghiraukan seruan nona itu dan tetap bersiap. Wajahnya makin sarat, pucat. Sekilas tampak ujung Pedang Ular Emas itu seperti memancar sinar emas.

“Siau Lo-seng,” seru Hiat Sat Mo-li pula, “seorang gagah tentu tahu gelagat. Engkau hanya seorang diri, mengapa engkau nekad hendak mengadu jiwa? Kalau engkau berkeras kepala, kamipun terpaksa akan bertindak!”

Namun pemuda itu tetap membisu.

Tiba-tiba duabelas dara baju merah itu memekik nyaring dan serempak dengan tebaran warna merah dari pakaian mereka maka berhamburanlah duabelas sinar perak mencurah ke arah Siau Lo-seng.

Dari samping, Hiat Sat Mo-li dan Sam sumoay serempak berseru kaget, “Kim-jak menembus awan.”

Itulah nama jurus yang dilancarkan oleh ke duabelas dara baju merah. Entah apa maksudnya, belum jelas. Adakah dia hendak memberi peringatan supaya Siau Lo-seng berhati-hati atau suatu perintah kepada anak buah barisan.

Serempak dengan seruan itu. Siau Lo-seng pun segera taburkan pedangnya, melindungi tubuh dengan sinar pedang.

Pada saat pedang kedua belah pihak akan saling beradu, sekonyong-konyong terdengar teriakan keras: “Berhenti !”

Sesosok tubuh kecil muncul dan secepat kilat menerjang masuk ke dalam gelanggang pertempuran. “Tring, tring, tring……”

Terdengar serentetan dering senjata beradu disusul dengan jeritan ngeri dan erang tertahan.

Pertempuran bubar dan di tengah gelanggang muncul seorang pendatang baru. Pedang dari ke duabelas gadis baju merah itu putus semua dan berhamburan jatuh di tanah. Bahkan ada tiga orang dara yang lengannya berlumuran darah.

Siau Lo-seng mendengus dan mundur sampai tujuh langkah. Tiba-tiba ia berteriak kaget: “Hun-moay, engkau……”

Wajah Hun-ing membeku. Ia tak menyahut pertanyaan Siau Lo-seng tetapi memandang anak buah Lembah Kumandang, kemudian menatap kepada Hiat Sat Mo-li, serunya,

“Toa suci. Lembah Kumandang sedang terancam bahaya kehancuran. Mayat sekalian saudara masih hangat. Kemungkinan sisa-sisa musuh ada yang belum masuk ke dalam lembah. Engkau bertugas untuk mengawasi penjagaan, mengapa engkau memanggil anak buah kita ke dalam ruang dalam dan mengapa pula engkau suruh barisan Selusin Pedang pimpinan Pah-cu untuk menyerang orang dengan jurus Kim-jak- boh-hun-kiong Adakah kalian hendak meniru jejak keempat Su-tay-thian-ong yang menghianati Pah-cu?”

Wajah Hiat Sat Mo-li agak berubah, sahutnya dingin:

“Ji-sumoay, kapankah kuundang engkau untuk memberi ceramah kepadaku? Keadaan Lembah Kumandang, kita sudah tahu bahkan sudah berjuang mati-matian. Sebaliknya engkau berada di ruang dalam enak-enak saja. Karena terpaksa aku menggunakan barisan itu dan akupun tak memberi perintah mereka supaya melancarkan jurus itu!”

Siau Lo-seng mendengus,

“'Hm, hebat sekalipun jurus itu tetapi tetap tak mampu melukai aku. Apabila nona Ui tak muncul, mereka tentu sudah menjadi mayat semua.”

“Ji sumoay,” seru Hiat Sat Mo-li dengan wajah sarat, “aku berterima kasih karena engkau muncul tepat pada saatnya sehingga tak sampai timbul pertumpahan darah. Tetapi tindakanmu ke luar dari ruang Jan-hui-si itu apakah tidak melanggar juga?”

Nona baju merah pun ikut menyelutuk:

“Ji suci, engkau sendiripun harus sadar. Mengapa begitu keluar engkau terus menegur Toa suci? Apakah engkau tak menyadari bahwa hampir saja engkau membuat Naga Hijau berantakan.”

Percakapan antara ketiga saudara seperguruan itu membuat Siau Lo-seng bingung. “Hun-moay, bagaimana keadaanmu selama ditawan?” cepat ia bertanya kepada Hun-ing.

“Siau koko, harap jangan kuatir,” sahut Hun-ing. “Apa yang mereka katakan tadi memang benar. Tiga Thancu dari Naga Hijau memang sudah ikut pada Lembah Kumandang. Kusuruh Sam sumoay menyaru jadi adik Ing untuk membawa tigaribu anak buah Naga Hijau kemari ” 

“Adik Hun, engkau gila ” teriak Siau Lo-seng.

Tiba-tiba terdengar suara tawa yang bening serempak dengan seruan doa. Dari ruang besar muncul empat orang. Yang paling muka adalah rahib termasyhur Tay Hui Sin-ni, diiring oleh Hian Kim, Sin Bok dan Ang Cui ketiga Thancu perkumpulan Naga Hijau.

Siau Lo-seng tercengang.

“Tay Hui locianpwe, mengapa cianpwe juga berada di sini? Bagaimanakah ini?” serunya gopoh.

Dengan wajah bersungguh, rabib itu menyahut, “Lo-seng, engkau datang terlambat selangkah. Apabila Hun-ing tak mempersiapkan rencana lebih dulu, mungkin akan terjadi pertumpahan darah yang hebat.”

Siau Lo-seng makin bingung tak keruan.

“Karena di luar lembah bertemu dengan Ban Jin-hoan maka aku tak dapat lebih pagi masuk kemari. Tetapi apakah yang sesungguhnya telah terjadi d sini?” serunya.

“Ah, Ban Jin-hoan memang seorang durjana nomor satu di dunia. Aku sungguh merasa kagum kepadanya. Tanpa menggunakan tenaga, dia dapat membasmi orang dengan ganas. Aku datang bersama ke tujuh partai persilatan, untuk menyelamatkan ketiga ribu anak buah Naga Hijau serta anggauta barisan Tat-mo- coat-ci-tin ”

“Ternyata tipu muslihat jahat itu Ban Jin-hoan yang merencanakan,” kata Tay Hui Sin-ni lebih lanjut, “dia telah menipu supaya semua tokoh-tokoh persilatan datang ke Lembah Kumandang. Tujuannya hendak menghancurkan mereka dengan meminjam tempat lembah ini. Untung dalam pertempuran itu, aku berhasil memberi penjelasan kepada Hun-ing sehingga dia baru menyadari tipu keji dari Ban Jin-hoan dan dapat menghancurkan obat pasang yang diatur Ban Jin-hoan untuk menghancurkan lembah dan ribuan anak  buah Lembah Kumandang dan Naga Hijau serta tokoh-tokoh persilatan.”

Walaupun hanya mendapat penjelasan secara singkat tetapi Siau Lo-seng cepat dapat mengetahui bahwa hadirnya Tay Hui Sin-ni dan tindakan Hun-ing yang mengherankan itu, memberi kesimpulan bahwa Lembah Kumandang itu ternyata bukan sebuah gerombolan jahat seperti yang diduganya semula. Memang hal itu memerlukan penjelasan yang panjang apabila waktunya mengijinkan nanti.

“Locianpwe, bagaimana keadaan Pah-cu dan orang tua aneh itu?” tiba-tiba Hun-ing berseru kepada Tay Hui Sin-ni.

Rahib itu menghela napas sarat.

“Mungkin dengan cara pertempuran yang mereka lakukan itu, sehari semalam lagi tentu belum ada kesudahannya. Siapa yang tenaganya kurang, tentu akan mengalami kehancuran. Bahkan yang menang pun juga akan kehilangan tenaga dalam yang besar.”

“Apakah tak dapat dilerai?”

Tay Hui Sin-ni gelengkan kepala.

“Sampai saat ini aku belum punya daya. Karena barang siapa yang mendekati mereka, tentu akan mati terdampar tenaga sakti dari pada kedua orang itu. Maka lebih baik tunggu saja beberapa jam lagi sampai tenaga dalam mereka sudah banyak berkurang, baru nanti kucoba untuk memisahkan mereka.”

“Adik Hun, dimanakah mereka sekarang?” Siau Lo-seng berteriak kaget.

“Pah-cu dengan seorang tua yang mirip ayah-angkatmu, orang tua peniup seruling itu, sejak pagi tadi telah mengadu tenaga dalam. Entah siapakah orang itu. Dia memang sakti sekali,” kata Hun-ing.

Siau Lo-seng segera menyadari bahwa yang bertempur dengan Jin Kian Pah-cu itu tentu bukan ayah angkatnya. Karena Hun-ing sudah pernah bertemu muka dengan orang tua peniup seruling itu dan tentu mengenalinya. “Adik Hun, peniup seruling itu sebenarnya ayah kandungku sendiri, Siau Han-kwan,” kata Siau Lo-seng, “yang bertempur dengan Pah-cu itu, mungkin salah seorang anak buah ayahku ketika dahulu ayah menjabat sebagai ketua Naga Hijau. Dia menjadi murid perguruan Thian-sian-bun dan menjadi sute dari ayahku.”

“O,” tiba-tiba Tay Hui Sin-ni mendesuh, “seharusnya cepat aku sudah menduga dia……” “Lekas antarkanlah aku kepada mereka,” seru Siau Lo-seng.

“Baik,” kata Hun-ing lalu loncat ke atas sebuah batu besar dan mengeluarkan sebuah lencana  berukir lukisan matahari terbit. Kemudian ia berseru nyaring kepada sekalian anak buah Lembah Kumandang.

“Atas nama Lencana Matahari Terbit dari Pah-cu kita, aku hendak menyampaikan perintah kepada kamu sekalian.”

Mendengar itu seluruh anak buah Lembah Kumandang, termasuk Hiat Sat Mo-li dan sumoaynya, segera berlutut dan serempak berseru menyambut amanat lencana Matahari.

Melihat itu Hun-ing buru-buru mempersilahkan mereka berdiri. Tetapi Hiat Sat Mo-li masih tetap berlutut, katanya, “Lencana Matahari adalah lambang peribadi Pah-cu. Begitu lencana itu muncul, semua murid Lembah Kumandang harus berlutut untuk menerima perintahnya. Harap sumoay segera mengumumkan perintah Pah-cu.”

Berkata Hun-ing dengan lantang:

“Pah-cu menitahkan aku supaya menyampaikan amanat kepada saudara-saudara sekalian. Dalam menghadapi bahaya dan keadaan yang bagaimana pun juga lembah kita ini, beliau minta supaya saudara- saudara sekalian tetap bersatu padu dan berjuang sampai titik darah yang terakhir. Demi keamanan dunia dan keselamatan dunia persilatan. Kita harus tetap bertahan sampai hari yang damai itu tiba. Walaupun bertempur sampai orang yang terakhir dan titik darah yang penghabisan, pun kita tetap harus tegak di atas pendirian luhur.”

Sekalian anak buah Lembah Kumandang serempak menyambut dengan pernyataan akan membela Pah-cu dan cita-cita mereka.

“Baik, sekarang silahkan saudara-saudara kembali pada pos saudara masing-masing untuk menghadapi segala kemungkinan,” seru Hun-ing pula.

Sekalian anak murid Lembah Kumandang pun segera berbondong-bondong tinggalkan tempat itu. Yang masih berada di situ hanya tinggal Tay Hui Sin-ni, ketiga Thancu Naga Hijau, Ui Hun-ing, Hiat Sat Mo-li, nona baju merah dan Siau Lo-seng.

Hiat Sat Mo-li maju dua langkah dan berkata kepada Hun-ing,

“Ji sumoay, maaf, tadi aku mempersalahkan engkau. Aku tak tahu kalau Pah-cu telah menyerahkan lencana Matahari kepadamu. Sudah tentu akupun akan taat pada perintahmu.”

Hun-ing mengatakan bahwa penyerahan itu hanya sementara karena Pah-cu sibuk bertempur.

Sementara karena cemas akan pertempuran antara Jin Kian Pah-cu lawan sute dari ayahnya maka Siau Lo-seng pun berseru gopoh: “Adik Hun, karena urusan di sini sudah selesai, harap suka antarkan aku ke tempat mereka.”

Hun-ing mengiakan lalu melangkah ke dalam ruang istana. Yang lain-lain segera mengikuti di belakangnya.

Selama melalui tiga buah lorong, selalu terdapat penjaga dengan golok dan perisai. Penjagaan amat ketat. Setelah itu baru mereka tiba di ruang utama.

Walaupun tidak menyerupai istana raja tetapi ruang utama itu juga indah sekali Dindingnya berkilau-kilau memancar sinar keemasan. Tiang pilar terbuat dari batu kumala, besarnya sepemeluk tangan orang. Lantainya tertutup permadani

Di tengah ruang itu, dua deret barisan terdiri dari tigapuluhan muda mudi, berjajar di ke dua samping. Wajah meraka tampak serius. Di antaranya sebagian besar adalah anak buah Naga Hijau.

Mereka menghadap tirai terdiri dari berlapis-lapis kelambu sutera emas. Ketika layar-layar itu dibuka maka tampaklah titian batu yang terdiri dari sepuluh tingkat. Ujung titian bagian atas, sebuah panggung yang luas datar. Empat penjuru berhias pintu angin yang bercahaya. Di tengah-tengah diberi sebuah meja batu kumala dan dua buah kursi beralas kulit harimau diduduki oleh seorang pria dan seorang wanita.

Yang lelaki mengenakan jubah panjang warna kuning emas. Tubuhnya penuh dengan bulu panjang. Rambutnya pun terurai panjang sampai ke pinggang.

Yang wanita seorang berwajah cantik dan berwibawa. Itulah Jin Kian Pah-cu dari Lembah Kumandang atau Dewi Mega Ui Siu-bwe.

Kedua orang duduk berhadapan, kedua tangan merela saling menjulur ke muka. Sikapnya amat tenang. Sepintas pandang orang tentu menyangka keduanya sedang bercakap-cakap.

Di belakang Dewi Mega Ui Siu-bwe tegak empat nona cantik mengenakan pakaian panjang warna biru, masing-masing memegang sebuah alat dari batu kumala.

Sedang di belakang lelaki aneh itu, mendekam si Salju, anjing sakti yang berbulu putih mulus.

Tay Hui Sin-ni yang berada di bawah batu titian, memandang ke arah kedua orang itu lalu berkata dengan rawan,

“Mereka memang sama-sama saktinya. Setelah mengadu tenaga dalam beberapa jam, mereka hanya kehilangan sepersepuluh dari tenaga dalamnya.”

“Locianpwe, apakah tak ada daya untuk melerai mereka?” tanya Hiat Sat Mo-li.

“Kecuali mereka menghentikan sendiri dan serempak menarik tenaga dalamnya, lalu ada seorang yang bertenaga dalam sakti menyiaknya, baru1ah mereka dapat diceraikan. Kalau tidak……”

“Mengapa locianpwe tak mau turun tangan?” Siau Lo-seng berseru cemas. Tay Hui Sin-ni gelengkan kepala.

“Kalau hanya begitu sederhana, tentu mudah dilakukan. Saat ini mereka saling tumpuhkan seluruh semangatnya ke tubuh lawan. Sekalipun halilintar meletus di dekat mereka, mereka tetap tak mendengar.”

“Apakah mereka juga tak mendengar pembicaraan kira di sini?” tanya Hiat Sat Mo-li. “Sudah tentu.”

Tiba-tiba Siau Lo-seng bertanya kepada Hun-ing apakah Buddha Emas Ang Siong-pik juga datang ke Lembah Kumandang.

Saat itu Hun-ing juga gelisah sekali. Perhatiannya tertumpah seluruhnya pada kedua orang yang sedang beradu tenaga dalam. Mendengar Siau Lo-seng bertanya soal yang tak ada hubungannya, sembarangan saja nona itu menyahut:

“Ya, datang.”

Tiba-tiba sepercik harapan memancar pada wajah Siau Lo-seng, serunya:

“Dimana dia sekarang?”

Dengan nada heran, Hun-ing menjawab: “Dia datang sebelum pecah pertempuran. Tetapi ketika  mendengar kumandang suara seruling, dia bergegas pergi. Siau koko, mengapa engkau bertanya soal itu?”

Siau Lo-seng berpaling memandang ke arah anjing putih di belakang orang aneh. Setelah merenung beberapa jenak, ia berkata,

“Karena anjing putih itu datang, ayahku Siau Han-kwan tentu berada di lembah ini. Apabila  dia masih berada di sini, tentu akan tertolong.”

“Bagaimana engkau tahu kalau beliau mampu menolong keadaan ini?” Tanya Hun-ing.

“Mereka kaum Thian-sian-bun memiliki ilmu istimewa dalam soal menyusupkan suara dari seribu lie jauhnya. Kurasa, ayah tentu dapat menyampaikan maksud kita kepada kedua orang bertempur itu. Atau mungkin dapat meminta mereka berhenti bertempur,” kata Siau. Lo-seng.

Sekonyong-konyong, anjing putih itu melonjak ke udara dan menyalak keras-keras…… 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar