Pendekar 100 Hari Jilid 13

13.61. Misteri Pembunuhan di Hay-hong-cung

Habis berkata, Jin Kian Pah-cu melayang ke atas tandu. Gerakannya indah gemulai seperti tak terjadi suatu apa.

Keempat dayang baju birupun segera mengangkat tandu dan lari ke arah tenggara. “Tunggu……!” tiba-tiba Siau Lo-seng berseru.

Tetapi habis berseru, mulutnya mengucur darah dan tubuhnya rubuh berguling-guling sampai tiga kali baru ia paksakan diri untuk berdiri lagi. Tetapi rupanya tak mampu dan jatuh terduduk.

“Engkoh Seng, engkau……” teriak Cu-ing seraya lari menghampiri tetapi dicegah oleh Tay Hui Sin-ni. “Jangan menganggunya, biar dia beristirahat,” seru rahib itu. Saat itu hati Siau Lo-seng terasa hampa. Pikirannya gelisah seperti kehilangan sesuatu……

Peristiwa mengerikan muncul dalam bayang-bayang pikirannya. Seratus jiwa besar kecil, telah dibasmi di desa Hay-hong-cung. Dan peristiwa itu terjadi pada suatu malam sunyi delapanbelas tahun berselang.

Ia terbangun mendengar jerit teriakan. Lalu berseru memanggil ayah bundanya dan saudara-saudaranya. Tetapi betapa keras ia memanggil, mereka tiada yang muncul. Bahkan beberapa bujang perempuan yang tiap hari mengasuhnya, pun tak kelihatan.

Ketika ia keluar ke pintu, kejutnya bukan kepalang. Seluruh desanya telah menjadi lautan api. Di sana sini terdengar jerit pekikan yang menyayat hati. Mayat-mayat tumpah tindih memenuhi halaman. Ada yang hilang kepalanya, hilang kaki tangan, tubuhnya terkutung dua, ususnya berhamburan keluar.

Melihat pemandangan sengeri itu, ia tak mau menangis lagi. Perasaan takut pun lenyap seketika. Ia mencatat peristiwa itu dalam lubuk hatinya. Suatu peristiwa yang takkan dilupakannya seumur hidup.

Dilihatnya anak buah Hay-hong-chung melawan dengan mati-matian. Tetapi susul menyusul mereka bergelimpangan dalam kubangan darah.

Di sebelah ujung kebakaran itu, tampak empat orang berkerudung muka tengah mengepung seorang  wanita yang rambutnya terurai lepas dan tubuhnya mandi darah. Hai, wanita itu bukan lain mamahnya sendiri.

Ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa mamahnya telah dirubuhkan oleh ke empat orang berkerudung itu. Mamahnya rubuh bergelimpangan dalam kubangan darah……

Dalam peristiwa pembunuhan besar-besaran itu ia telah dibawa lari oleh seorang wanita yang tubuhnya penuh luka-luka berdarah, menuju ke sebuah hutan di belakang gunung.

Setelah melintasi hutan lebat dan pegunungan yang berliku-liku, akhirnya ia dibawa ke dalam sebuah guha.

Saat itu ia baru tahu bahwa wanita yang menyelamatkan dirinya itu bukan lain yalah guru wanita Kui Lan yang biasanya tampak lemah dan tak kuat mengangkat pedang.

Tetapi sebelum guru wanita Kui Lan sempat menceritakan peristiwa yang terjadi, tiba-tiba muncullah seorang lelaki tua. Lelaki yang dikenalnya baik sehingga saat ia lari menghampiri dengan gembira. Ia anggap, orang itu tentu akan girang karena ia selamat.

Tetapi alangkah kejutnya ketika melihat betapa mengerikan wajah lelaki itu sehingga ia tertegun.

Pada hal jelas lelaki yang datang itu adalah pamannya sendiri yang bernama Siau Mo. Tetapi saat itu pamannya tak lagi menampakkan wajahnya yang ramah senyum melainkan berobah menjadi seorang yang berwajah bengis menakutkan.

Guru wanita Kui Lan terkejut sekali, sehingga gemetar. Segera guru wanita berlutut dan meratap minta supaya suka membari ampun kepada Siau Lo-seng.

Ngiang suara rintih dan ratapan dari guru wanita itu masih sering mengiang di telinga Siau Lo-seng.

Dilihatnya mulut pamannya itu tertawa menyeringai laIu mengangkat pedang dan pelahan-lahan menusuk dada guru wanita yang berlutut di hadapannya.

Pada saat guru wanita itu rubuh mandi darah, dalam detik-detik terakhir masih sempat berteriak menyuruh Siau Lo-seng untuk menuntut balas atas pembunuhan biadab yang terjadi di desa Hay-hong-cung

Tetapi pada lain saat ia telah diangkat oleh pamannya lalu dilemparkan ke bawah jurang yang terjal.......

…………………………………..

Teringat akan peristiwa itu, berkobarlah api dendam kesumat dalam dada Siau Lo-seng. “Aku harus menuntut balas……!” sekonyong-konyong ia menggembor sekuat-kuatnya. Sudah tentu Cu-ing terkejut, serunya: “Engkoh Seng, engkau kenapa……?”

Dara itu lepaskan diri dari tangan suhunya lalu memburu ke tempat Siau Lo-seng, lalu memeluk tubuh pemuda itu.

Tetapi cepat Siau Lo-seng menyiak dara itu. Cu-ing terkejut dan sedih. Airmatanya berlinang-linang. “Siau toako, engkau……,” seru dara itu tersendat-sendat.

Siau Lo-seng menghela napas rawan lalu membuka mata dan memandang ke arah awan yang berarak- arak di langit malam itu.

Ada suatu perasaan yang mencengkam hatinya. Ia merasa kepandaiannya masih dangkal. Tak mungkin dengan kepandaian yang dimiliki itu ia dapat menegakkan keadilan dalam dunia persilatan. Tak mungkin pula ia akan menuntut balas atas kematian ayah bundanya.

Demi untuk menuntut balas, berpuluh tahun ia menyiksa diri untuk belajar silat. Tetapi hasilnya ternyata jauh dari yang diharapkan. Hanya dalam tiga jurus serangan Jin Kian Pah-cu, dia sudah rubuh. Ah……

Seluruh semangat dan harapannya, dalam sekejap itu sudah hancur berantakan.

Tengah ia tenggelam dalam lamunan duka, tiba-tiba dari belakang terdengar suara seseorang yang dikenalnya, “Siau Lo-seng, berdirilah!”

Siau Lo-seng terkejut. Cepat ia melenting bangun. Sambil lintangkan pedang untuk menjaga diri, ia berputar tubuh.

Setombak jauhnya tampak seorang berpakaian dan mengenakan kain kerudung muka warna hitam. Persis seperti dandanan dari barisan Algojo Ban-jin-kiong.

Empat penjuru sunyi senyap. Yang ada hanya Tay Hui Sin-ni, Cu-ing entah kemana. “Apakah engkau yang memanggil aku?” seru Siau Lo-seng.

“Benar,” sahut orang berkerudung hitam seraya tabaskan goloknya.

Siau Lo-seng terkejut sekali. Tahu-tahu ujung golok sudah hampir mendarat di dadanya. Cepat ia gunakan jurus Ikan le-hi melenting untuk loncat ke belakang sampai setombak.

Tetapi orang berkerudung hitam itu tetap membayangi. Begitu kaki Lo-seng menginjak tanah, golokpun sudah menyambarnya lagi.

Untung Siau Lo-seng masih dapat menginjakkan ujung kakinya ke tanah melambung ke udara sampai beberapa meter lalu berjumpalitan menukik ke bawah seraya menabas dengan pedang Ular Emas.

“Tring……”

Terdengar lengking yang nyaring disertai dengan percikan bunga api. Orang berkerudung hitam itu terhuyung-huyung sampai tujuh-delapan langkah baru dapat berdiri tegak.

Sedang Siau Lo-seng pun terpental sampai dua tombak, jungkir balik meluncur turun ke bumi.

Siau Lo-seng makin rawan hatinya. Berturut-turut ia telah menderita kekalahan dari Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang, Jin Kian Pah-cu dan sekarang dengan seorang anggauta barisan algojo dari Ban-jin- kiong.

“Mengapa engkau tak lari? Apakah tunggu sampai kubunuh?” serunya.

Mendengar itu orang berkerudung hitam itupun melenting bangun dan acungkan golok lurus ke muka dada lalu lancarkan lima buah serangan. Ia menggunakan ilmu permainan pedang dan menjadikan golok sebagai pedang.

Kelima jurus serangan pedang itu cepat dan luar biasa dahsyatnya.

Siau Lo-seng menjerit kaget dan mundur beberapa langkah. Ia tegak terlongong-longong memandang orang itu.

Bukan karena kedahsyatan kelima jurus serangan lawan melainkan ia merasa bahwa ke lima jurus itu sama dengan pelajaran ilmu pedang yang pernah dipelajarinya dalam sebuah kitab ilmu pedang. Ia heran mengapa orang itu dapat memainkan sedemikian indah dan sempurna?

Tiba-tiba telinganya terngiang suara yang lembut sekali: “Markas besar Ceng-liong-pang di Lok-yang terjadi peristiwa, lekas ke sana ” Siau Lo-seng terkesiap. Jelas lawanlah yang menggunakan ilmu Menyusup suara kepadanya. “Engkau…… siapa ?” serunya.

Sebagai penyahutan, orang berkerudung itu lancarkan serangan yang dahsyat. Siau Lo-seng terpaksa harus menghadapi dengan loncat mundur beberapa langkah.

Tiba-tiba telinganya terngiang suara halus tadi: “Pada saat kuserang dengan jurus Ban-li-hui-hong, engkau harus mundur sampai tiga tombak lagi dari sini.”

Habis berkata orang berkerudung hitam itupun menyerang lagi.

Jarak keduanya hanya terpisah beberapa meter. Apabila sebelumnya tidak memberi peringatan atau tak kenal jurus yang dimainkan, tak mungkin Siau Lo-seng mampu menghindar.

Dengan gunakan jurus Thian-ma-heng-gong atau Kuda sembrani terbang dilangit, Siau Lo-seng melambung ke udara dan melayang sampai tiga tombak jauhnya.

Tampaknya orang berkerudung itu marah sekali karena serangannya gagal. Dengan menggembor keras ia mengejar.

Baru kaki Siau Lo-seng menginjak tanah, ia sudah merasakan sambaran golok yang melanda hebat. Terpaksa ia loncat ke belakang lagi.

Setelah berulang kali mundur, diam-diam Siau Lo-seng berpikir: “Saat ini tiada lain orang kecuali Tay Hui Sin-ni. Jika dia bukan musuh, mengapa dia berlaku sedemikian aneh?”

Pada saat ini hendak menegur, kembali orang itu menggunakan ilmu menyusup suara,

“Saat ini, aku tak dapat menjelaskan kepadamu. Pada saat aku menyerang lagi, gunakanlah tangan kirimu untuk menyambuti senjata rahasia dan gunakan tangan kananmu untuk menangkis……”

Habis berkata orang bekerudung hitam itu kembali menerjang maju dengan jurus Gelombang laut mendampar dan tangan kirinya mengayunkan senjata rahasia ke arah dada Siau Lo-seng.

Tetapi karena Siau Lo-seng sudah bersedia maka dia segera berkisar ke samping, tangan kiri menutuk senjata rahasia lawan lalu pedang Ular Emas di tangan kanannya segera ditaburkan untuk menyongsong lawan.

Terdengar jeritan ngeri dan bahu orang orang berkerudung itu berlumuran darah. Dia membuang tubuh sampai dua tombak ke belakang dan terhuyung-huyung beberapa langkah.

Sekonyong-konyong orang itu loncat dan lari ke arah tenggara. Seiring dengan itu, empat sosok tubuh atau kawan dari orang berkerudung itupun segera mengikuti jejaknya. Dalam beberapa kejap, kelima orang itupun lenyap dalam kegelapan.

Siau Lo-seng tegak terlongong-longong memandang ke arah larinya ke lima orang itu. Dia benar-benar heran dan tak mengerti. Jelas tubuh orang itu masih terpisah beberapa inci tetapi mengapa tiba-tiba malah membenturkan diri ke arah pedang Ular Emas sehingga bahunya terluka.

Siapakah gerangan orang itu?

Setitik pun ia tak menduga bahwa di kalangan algojo dari Ban-jin-kiong ternyata masih terdapat tokoh dari aliran Ceng-pay! Liku-liku dunia persilatan benar-benar aneh sekali dan sukar diduga-duga.

“Dewasa ini kaum durjana malang melintang uujuk gigi. Kemungkinan besar dunia persilatan akan menderita pertumpahan darah besar,” tiba-tiba kedengaran Tay Hui Sin-ni menghela napas rawan.

Siau Lo-seng cepat berpaling.

“Locianpwe hendak memberi petunjuk apa aku bersedia mendengarkan,” katanya dengan hormat.

“Siau sauhiap memang hebat sekali,” kata Tay Hui Sin-ni, “dapat mematahkan serangan lawan yang lihay. Ya, memang aku hendak bertanya sebuah hal……”

“Ah, Sin-ni keliwat memuji,” Siau Lo-seng tersipu-sipu malu, “kepandaianku masih jauh dari memuaskan. Apabila cianpwe hendak memberi petunjuk, mohon memberi tahu.” “Ah, seorang muda yang tak membanggakan diri seperti sauhiap, memang sukar dicari keduanya,” kata Tay Hui Sin-ni pula, “Kepandaian yang sauhiap miliki saat ini walaupun belum dapat menjagoi dunia, tapi sudah sukar dicari tandingannya. Berapa tahun kemudian, sauhiap tentu akan mencapai kemajuan yang menakjubkan sehingga tiada yang dapat melawan. Walaupun dunia persilatan akan dilanda oleh banjir darah tetapi seperti telah digariskan oleh Yang Kuasa, kaum yang jujur tentu akan menang. Dalam hal itu, tugas berat untuk mengatasi kekacauan itu memang terletak pada bahu tunas-tunas muda seperti sauhiap.”

“Walaupun kepandaianku masih dangkal, tapi untuk tugas memberantas kaum durjana itu, tentulah aku akan membaktikan diri sekuat tenaga. Hanya saja, mohon cianpwe sudi memberi petunjuk kepada kami anak-anak muda yang masih kurang pengalaman.

“Apabila terdapat pula beberapa pemuda seperti sauhiap ini, dapat dipastikan bahwa kaum durjana dalam dunia persilatan itu tentu akan dapat terbasmi. Tetapi selama dunia masih berputar, manusia masih terikat dengan karma Sebab dan Akibat, maka kekacauan dan kekeruhan tentu masih silih berganti muncul. Setiap orang yang tak kuat imannya dan tak sadar pikirannya, mungkin dapat menjadi seorang momok durjana yang ganas……”

Tay Hui Sin-ni berhenti sejenak lalu melanjutkan pula.

“Misalnya seperti Dewi Mega Ui Siu-bwe, Ban Jin-hoan dan lain-lain…… empatpuluh tahun yang lalu mereka merupakan pendekar-pendekar muda yang harum namanya. Tetapi karena tergelincir dalam soal Asmara, mereka telah menghapuskan keharuman nama mereka dan berobah menjadi momok-momok yang mengerikan. Hendaknya Siau sauhiap dapat menarik pelajaran dari peristiwa itu. Pasti akan menjadi kebahagiaan kaum persilatan apabila Siau sauhiap tetap berpijak pada pendirian kesatria yang luhur budi.”

“Terima kasih atas nasehat cianpwe,” kata Siau Lo-seng. “Akan kuingat dalam hati. Setelah nanti selesai menuntut balas atas kematian ayah-bunda dan membasmi kaum durjana, aku tentu takkan sembarangan membunuh jiwa manusia.”

Tay Hui Sin-ni mengangguk.

“Sungguh menggirangkan sekali bahwa sauhiap mudah menyadari hal itu. Tetapi telah kukatakan, kehidupan manusia itu memang aneh, sering tak dapat melakukan apa yang telah dikatakan. Berpijaklah pada Keadilan, Kebenaran dan Kesucian. Dengan bekal itu, apapun yang akan engkau derita, tentu akhirnya akan dapat teratasi.”

Siau Lo-seng menyatakan rasa terima kasih yang tak terhingga atas penerangan dan petunjuk yang telah diberikan oleh rahib itu.

“Tadi sauhiap mengatakan hendak menuntut balas dendam keluarga,” kata Tay Hui Sin-ni pula. “apakah hal itu bukan menyangkut peristiwa yang terjadi pada delapanbelas tahun di desa Hay-hong-cung itu?”

“Benar, Sin-ni,” kata Siau Lo-seng dengan nada gemetar, “memang Naga sakti tanpa bayangan Siau Han- kwan itu adalah ayahku. Berpuluh tahun aku menyiksa diri untuk menuntut ilmu kepandaian, tak lain adalah karena hendak membalas sakit hati berdarah dari keluargaku itu.”

“Peristiwa berdarah di Hay-hong-chung, walaupun tak tahu jelas bagaimana duduk perkaranya tetapi menurut dugaan adalah dikarenakan ayah sauhiap Naga sakti tanpa bayangan Siau Han-kwan. Peristiwa itu telah melibatkan kalangan yang amat luas. Walaupun pin-ni tak berani mengatakan siapa yang benar dan siapa yang salah, tetapi menilik keganasan yang dilakukan pembunuh itu, jelas dia tentu mempunyai dendam kesumat besar dengan ayah sauhiap,” kata rahib itu pula.

13.62. Memancing Harimau

“Sudah bertahun-tahun aku mencari jejak peristiwa itu, tetapi belum juga kuketemukan sumber yang sesungguhnya. Tetapi memang pamankulah yang melemparkan diriku ke dalam jurang pada waktu itu. Sampai detik ini aku masih ingat akan wajahnya yang menyeramkan,” kata Siau Lo-seng.

“Apa? Kim-coa-mo-kiam Siau Mo yang melakukan perbuatan terkutuk itu? Ah, sungguh di luar dugaan  sama sekali. Tidak, tidak mungkin. Apakah engkau benar-benar melihat jelas dia yang  melemparkan engkau ”

Siau Lo-seng tertegun. Baru pertama kali itu ia mendengar bahwa pamannya Siau Mo ternyata bergelar Kim-coa-mo-kiam atau Iblis pedang ular emas. “Bukan saja melempar diriku ke bawah jurang, pun kulihat sendiri dia telah membunuh guruku wanita Kui Lan. Masakan aku tak dapat mengenali seorang paman yang tiap hari berada bersama keluargaku?” seru Siau Lo-seng kurang puas.

Tampak rahib menegang wajahnya.

“Omitohud!” serunya, “Dosa, dosa sungguh di luar persangkaan orang bahwa Siau Mo akan melakukan perbuatan sehina itu.”

Diam-diam Siau Lo-seng heran mengapa ketika membicarakan diri Siau Mo, mendadak wajah Tay Hui Sin- ni berobah sedemikian tegang.

Ia hendak menanyakan hal itu tetapi tiba-tiba wajah rahib itu tampak tenang kembali. “Siau sauhiap, kenalkah engkau pada seorang peniup seruling?” tanyanya.

Bukan main kejut Siau Lo-seng mendapat pertanyaan itu. Seketika iapun teringat bahwa ke empat orang baju hitam tadi seperti lari ke luar dari loteng tempat Gi-hunya si orang tua peniup seruling. Ya. mengapa sampai saat itu belum juga ia melihat suatu tanda-tanda dari Gi-hunya itu?”

Seketika menyahutlah Siau Lo-seng: “Dia adalah Gi-hu ku……”

Habis berkata ia terus berputar tubuh lalu bergegas lari ke arah loteng, Sudah tentu Tay Hui Sin-ni terkesiap lalu menyusul anak muda itu.

Selekas masuk ke dalam ruang loteng, tergetarlah hati Siau Lo-seng ia mendapat firasat tak baik tentang diri Gi-hu nya.

Ruangan tampak kacau balau. Lantai penuh berserakan belasan mayat orang-orang baju hitam. Rupanya di ruang itu telah terjadi suatu pertempuran dahsyat.

Tetapi kemanakah gerangan perginya orang tua peniup seruling itu?

Bergegas-gegas Siau Lo-seng lari ke dalam lagi. Keadaan di situpun mengejutkan hati. Berpuluh-puluh kawanan Baju Hitam terkapar malang melintang memenuhi ruang.

Tay Hui Sin-ni berjongkok dan meraba pernapasan seorang mayat lalu memeriksa pergelangan tangannya. Beberapa saat kemudian ia berpaling dan geleng-geleng kepala: “Mereka sudah mati semua ”

Siau Lo-seng pun memeriksa sebuah mayat, serunya: “Ah, mereka telah terkena ilmu tutukan istimewa. Karena tak dapat membuka jalan darahnya yang tertutuk itu akhirnya darah mereka membeku dan orangnyapun mati.”

“Bagaimanakah ini?” tanya Tay Hui Sin-ni. Siau Lo-seng merenung.

“Saat ini aku tak dapat memberi penjelasan apa-apa kepada Sin-ni,” katanya sesaat kemudian, “Gi-hu ku yalah orang tua peniup seruling itu memang tinggal di loteng ini. Dia seorang tua yang cacad, tak punya kaki dan tangan. Tetapi mengapa tiba-tiba ia lenyap?”

“Bagaimanakah perwujutan Gi-hu mu itu?” tanya Tay Hui Sin-ni.

“Rambutnya terurai sampai ke bahu, kedua kakinya sebatas lutut telah kutung dan kedua tangannya pun telah dihancurkan urat nadinya oleh orang. Tak mungkin ia dapat berjalan keluar sendiri. Kumungkinan  tentu ditangkap orang.”

Tay Hui Sin-ni menghela napas.

“Ah, sudah tahu dia seorang diri di sini, mengapa engkau tak berusaha untuk melindunginya?”

“Gi-hu sudah lama tinggal di sini mengasingkan diri dari keramaian dunia. Siapakah yang telah mengganggunya? Sekali pun kawanan baju hitam itu ditambah lagi jumlahnya, tetap tak dapat melawan Gi- hu,” kata Siau Lo-seng.

“Kawanan baju hitam itu telah dirubuhkan oleh Gi-hu mu. Tahukah engkau dari golongan manakah kawanan baju hitam itu?”

Siau Lo-seng gelengkan kepala, “Walaupun sudah berpuluh tahun berkelana di dalam dunia persilatan tetapi aku tak pernah melihat kawanan manusia semacam itu. Dandanan mereka menyerupai dengan kawanan algojo dari Ban-jin-kiong.”

“Menilik tubuh-tubuh mayat yang sudah kaku itu kemungkinan mereka sudah mati lima-enam jam yang lalu. Mereka terkena tutukan kira-kira pada siang tadi,” kata Tay Hui Sin-ni pula.

Diam-diam Siau Lo-seng menimang. Apabila dugaan Tay Hui Sin-ni itu benar, saat itu ia sedang menantang Ang Piau keluar. Saat itu dia melihat yang keluar dari loteng yalah Jin Kian Pah-cu dan keempat dayang baju biru. Jika demikian apakah kawanan mayat-mayat baju hitam itu anak buah dari Lembah Kumandang?

Berbagai dugaan dan rangkaian telah melalu lalang pada benak Siau Lo-seng. Tetapi di antara sekian banyak hanyalah pihak Lembah Kumandang yang besar kemungkinannya.

Tetapi apakah maksud Jin Kian Pah-cu menawan Gi-hu nya? “Locianpwe. kemanakah adik Cu-ing?” tiba-tiba Siau Lo-seng teringat. “Dia mengatakan hendak ke markas besar Naga Hijau di Lok-yang.”

“Celaka!” Siau Lo-seng mengeluh. Kalau begitu kita harus cepat-cepat ke Lok-yang. Kalau tidak kemungkinan adik Ing tentu terancam bahaya.”

Habis berkata Siau Lo-seng terus loncat dan lari menuju ke Lok-yang. Tay Hui Sin-ni terpaksa mengikuti.

Dengan menggunakan ilmu lari cepat, menjelang fajar mereka sudah tiba di kota itu. Mereka langsung menuju ke tempat kediaman keluarga Nyo yang sudah menjadi runtuhan puing.

Tiba-tiba Siau Lo-seng terkejut. Saat itu dia sudah berada di daerah markas besar Naga Hijau. Tetapi mengapa sampai sekian lama belum melihat barang seorang penjaga pos rahasia? Apakah markas besar Naga Hijau sudah pindah ke lain tempat?

Tiba-tiba telinga Siau Lo-seng yang tajam segera menangkap suatu suara erang dari seorang yang tengah meregang jiwa.

Cuaca masih remang belum terlepas dari selimut malam. Ketika mendengar erang rintihan lagi segera Siau Lo-seng dapat menentukan bahwa suara erang itu berasal dari arah kanan. Lebih kurang sepuluh tombak jauhnya.

Cepat Siau Lo-seng menuju ke arah tempat itu. Tetapi makin dekat suara itu makin tak kedengaran.

Menyapukan pandang mata ke sekeliling empat penjuru tampak sunyi senyap. Tetapi pada saat itu iapun dapat melihat sederet rumah yang telah hancur. Serambi depan penuh dengan galagasi dan daun jendelanya pun sudah rusak tak keruan keadaannya.

Tetapi ia cukup paham akan tempat itu. Keadaan tempat yang menyeramkan itu memang sengaja dibuat oleh perkumpulan Naga Hijau untuk menyelimuti markasnya.

Tetapi yang aneh, mengapa sampai saat itu tak tampak barang seorang pun yang muncul. Kemanakah orang-orang itu?

Siau Lo-seng menghampiri deretan rumah rusak itu lalu memandang ke sebelah dalam. Ia terkejut ketika melihat bagian dapur diterangi lampu. Sayur mayur dan bahan-bahan masakan penuh lengkap dan nasi yang masih hangatpun mengepulkan asap yang harum. Tetapi mengapa sepi sekali keadaannya?

Sekonyong-konyong dari arah satu lie jauhnya, terdengar suara orang tertawa yang nadanya mirip dengan iblis meringkik. Menyusul terdengar bentak makian dan dering senjata beradu.

Suara itu memang samar-samar kedengarannya. Apabila tak memiliki telinga setajam Siau Lo-seng tentu sukar untuk menangkapnya.

Tiba-tiba pula erang rintihan yang menyeramkan terdengar lagi. Bahkan kali ini terdengar jelas. Nadanya tak ubah seperti orang yang akan menghembuskan napas terakhir.

Siau Lo-seng pun cepat dapat menentukan bahwa suara itu berasal dari taman bunga di belakang dapur. Cepat ia menghampiri tempat itu.

Tetapi apa yang disaksikan di situ benar-benar membuat bulu roma berdiri. Berpuluh-puluh mayat yang tak utuh tubuhnya malang melintang memenuhi kebun bunga itu.

Di antaranya terdapat seorang ko-jiu atau jago sakti dari perkumpulan Naga Hijau yang biji matanya telah dikorek keluar, batang lehernya dipenggal putus. Demikian keadaan setiap mayat, mengerikan semua.

Ada seorang korban yang masih belum mati dan mengerang-erang. Suara erang tadi tentu berasal dari orang itu. Pakaiannya berlumuran cairan racun berwarna hitam. Dia mengerang dan menggigil karena menahan kesakitan yang hebat.

Siau Lo-seng sampai menitikkan airmata melihat keadaan tempat itu. Pada saat ia hendak menghabisi jiwa orang itu agar jangan terlalu lama menderita kesakitan, tiba-tiba dari belakang terdengar suara helaan napas sarat.

“Omitohud! Dosa, dosa, sungguh suatu pembunuhan yang mengerikan sekali. Ah, hanya terlambat selangkah saja, telah mengakibatkan dendam pembunuhan yang ngeri sekali. Ah, takdir, takdir……”

Ternyata entah kapan, Tay Hui Sin-ni sudah berada di belakang Siau Lo-seng. “Locianpwe, harap segera membantu aku untuk menyadarkan orang ini.”

Siau Lo-seng pun segera membuka jalan darah orang itu. Juga Tay Hui Sin-ni menutuk beberapa jalan darah orang itu.

“Racun telah menyusup ke dalam urat-urat nadinya. Kalau jalan darahnya engkau buka, dia tentu segera mati,” kata rahib itu.

“Apakah cianpwe dapat menyadarkannya?” Siau Lo-seng terkejut. “Pembunuhnya memang ganas sekali. Dia tak memberi ampun lagi.” “Kalau begitu apakah kita mengawasi saja dia mati tersiksa?”

“Masih ada sebuah daya,” kata rahib itu. “Harap cianpwe suka memberi petunjuk.”

“Lebih dulu lindungi jantungnya lalu mendesak racun itu ke dalam aliran darah. Dia tentu dapat sadarkan diri dalam beberapa saat. Tetapi akibatnya tentu lebih hebat lagi.”

“Saat ini yang penting dia sadar agar dapat memberi keterangan,” kata Siau Lo-seng lalu lekatkan tangannya di bawah perut orang itu, menyalurkan tenaga dalam untuk melindungi jantungnya.

Tay Hui Sin-ni pun segera menutuki beberapa jalan darah orang itu. Bermula orang itu mengerang kesakitan tetapi beberapa saat kemudian mulai tenang kembali. Dia pejamkan mata mengembalikan semangat.

Beberapa saat kemudian ia membuka mata lalu menggeliat duduk memandang Tay Hui Sin-ni dan Siau Lo- seng dengan terlongong-longong.

Atas pertanyaan Siau Lo-seng, orang itu terkejut dan balas bertanya, “Siapakah kalian ini?”

Siau Lo Seng memperkenalkan diri sebagai sahabat dari perkumpulan Naga Hijau lalu memperkenalkan  Tay Hui Sin-ni.

“Oh, maaf,” orang itu berseru lalu menghaturkan terima kasih karena telah ditolong. Dia mengatakan bernama Go Cui-coan, murid dari Liat Hwe Thancu, kepala bagian dari perkumpulan Naga Hijau.

Diam-diam Tay Hui Sin-ni menghela napas sedih. Ia membayangkan betapa dalam beberapa saat lagi orang itu tentu akan menderita siksaan hebat akibat darahnya yang binal dan menyerang uluhati. Akibatnya, pembuluh darah akan pecah dan matilah dia seketika.

“Harap lekas saja menceritakan apa yang telah terjadi,” kata rahib itu.

“Kemanakah perginya beratus-ratus anak buah Naga Hijau?” buru-buru Siau Lo-seng mendesak.

“Kemarin petang, tiba-tiba datang seorang anak buah Naga Hijau yang memberi laporan bahwa pangcu (ketua) dan Cong-thancu (ketua kepala bagian) sedang mendapat kesulitan di tempat tak jauh dari markas. Dia minta supaya markas segera mengirim bala bantuan. Hian-kim Thancu segera membawa empatratus anak buah menuju ke tempat itu tetapi siapa tahu……” Orang itu berhenti sejenak memandang Siau Lo-seng dan Tay Hui Sin-ni dengan rawan, lalu berkata pula, “Kemarin malam, tiba-tiba Nyo Cong-thancu bergegas datang……”

“Ah, tak mungkin tengah malam, coba engkau ingat yang jelas,” tukas Siau Lo-seng.

“Memang benar tengah malam,” kata Go Cui-coan dengan yakin, “begitu Nyo Cong-thancu datang terus memerintahkan aku supaya menjaga bagian selatan. Dan akulah yang mengantar Nyo Cong-thancu masuk ke dalam ruang.”

“Aneh, dia menyuruh engkau menjaga di selatan lalu engkau mengantar dia masuk ke dalam ruang. Apakah ada dua orang Nyo Cong-thancu yang datang ke markas?” tanya Siau Lo-seng.

“Benar, memang mengherankan sekali seperti dalam impian,” kata Go Cui-coan. “Yang kesatu, bagaimana caranya datang?”

“Dia datang dengan pakaian berlumuran darah seperti orang yang habis bertempur. Ketika aku hendak menghampiri, dia membentak dan suruh memanggil kedua Thancu. Ang Cui dan Liat Hwe Thancu datang. Habis berkata dia terus masuk ke dalam ruangan dan akupun karena gugup. terus memanggil Ang Cui Thancu dan Liat Hwe Thancu.”

Berkata sampai di situ Go Cui-coan tampak terengah-engah napasnya dan berhenti berkata-kata.

Sisu Lo-seng cepat salurkan tenaga dalam untuk mengendapkan darahnya yang bergolak lalu bertanya: “Bukankah Nyo Cong-thancu itu menghendaki supaya Ang Cui dan Liat Hwe berdua Thancu mengerahkan anak buah Naga Hijau dan pergi bersama dengan Nyo Cong-thancu?”

“Ya, tetapi mungkin karena kedua Thancu itu tak saling akur, maka Liat Hwe Thancu menolak.” “Hai, dia berani menolak perintah Cong-thancu?” Siau Lo-seng terkejut.

Go Cui-coan menjawab dengan tersendat-sendat: “Saat itu Nyo Cong-thancu tampak bergegas-gegas sekali. Dia hanya memanggil secara lisan tak memberi surat kepadaku. Maka Liat Hwe Thancu berani menolak dengan alasan bahwa menurut peraturan lima Thancu dari Naga Hijau tak boleh serempak keluar dari markas. Harus ada seorang yang menjaga markas. Maka Nyo Cong-thancu pun hanya bersama Ang Cui Thancu dan anak buahnya yang pergi untuk menolong ketua.”

“Huh, siasat mereka memang lihay. Anak buah Naga Hijau yang pergi itu tentu celaka semua,” Siau Lo- seng menggeram.

“Ya, mengapa Cu-ing sampai begitu limbung. Tetapi jelas dia baru pergi lewat tengah malam, mengapa menjelang tengah malam dia sudah tiba di sini?” kata Tay Hui Sin-ni.

“Dia tentu termakan siasat musuh,” kata Siau Lo-seng, lalu bertanya kepada Go Cui-coan lagi: “Lalu bagaimana dengan Nyo Cong-thancu yang kedua itu

“Lewat tengah malam dia baru datang. Sekalian anak buah Naga Hijau heran. Setelah meminta bukti bahwa yang datang itu benar Nyo Cong-thancu yang sesungguhnya, barulah kami mengetahui kalau tadi telah termakan siasat lawan. Saat itu Nyo Cong-thancu segera akan mengejar dan karena kuatir Nyo Cong- thancu hanya seorang diri maka Liat Hwe Thancu menyatakan ikut. Ia hanya meninggalkan duapuluhan anak buah untuk menjaga markas. Belum lama mereka pergi aku segera mendapat laporan bahwa markas telah dimasuki oleh orang yang mencurigakan……”

“Mereka orang Ban-jin-kiong atau Lembah Kumandang?” tanya Siau Lo-seng gopoh.

“Bukan orang Ban-jin-kiong juga bukan orang Lembah Kumandang tetapi duabelas jago pedang dari perguruan Bu-tong-pay dan Ceng-sia-pay. Di bawah pimpinan ketua Bu-tong-pay Ceng-hi-cu yang membawa enam-tujuhpuluh anak murid kedua perguruan, datang menyerang kemari……”

13.63. Siapa Pembunuh Murid-murid Naga Hijau!!??

Siau Lo-seng dan Tay Hui Sin-ni serempak berseru kaget. Mereka tak percaya akan keterangan orang itu.

“Sudah berpuluh-puluh tahun aku berkecimpung dalam dunia persilatan dan sudah beberapa kali bertemu muka dengan Ceng-hi-cu ketua Bu-tong-pay. Tak mungkin salah lihat……,” Go Cui-coan berkata dengan yakin. “Mendapat laporan aku segera keluar untuk menyambut,” kata pula Go Cui-coan dengan mengertak gigi, “ah, tak kira kalau manusia-manusia yang menamakan diri sebagai pemuka aliran Ceng-pay itu ternyata juga sama seperti kaum durjana. Mereka mengganas dan menyerbu markas. Segera kuperintahkan seorang anak buah untuk memberi portolongan kepada para korban dan disamping itu kuminta lima orang jago-jago kami yang sakit menyelamatkan keluarga-keluarga para anak murid ”

Berkata sampai di sini tampak Go Cui-coan tegang sekali wajahnya, penuh dengan dendam kemarahan sehingga matanya merah seperti bara.

Kemudian dengan geram ia melanjutkan:

“Kawanan manusia yang melebihi binatang buas itu telah menyerbu dan melakukan pembunuhan biadab. Tua muda, laki perempuan, besar kecil telah disembelih…… secara mengerikan…… hek, hek, hek.”

Ia batuk-batuk lalu muntah darah dan menangis tersedu pilu.

Siau Lo-seng seperti terbayang akan pembunuhan ngeri di desa Hay-hong-cung lagi. Ia teringat pula akan pemandangan yang mengerikan ketika seluruh keluarga dan penghuni Huy-hong-cung dijagal habis- habisan.

“Darah…… jiwa…… hutang darah harus bayar darah…… hutang jiwa harus kembalikan jiwa…… aku hendak menuntut balas,” tiba-tiba ia mengingau kalap.

Melihat itu bergidiklah hati Tay Hui Sin-ni. Ia meresa bahwa sesuatu yang mengerikan akan terjadi. Serentak ia pejamkan mata dan melantangkan doa mantra.

Tiba-tiba Go Cui-coan mendekap dada dan jatuh terduduk lalu merintih seperti menahan kesakitan yang hebat.

“Siau sauhiap, engkau harus menuntut balas atas kematian saudara-saudara dari Naga Hijau…… dendam…… huak. ”

Kembali orang itu muntah darah. Siau Lo-seng tersayat hatinya menyaksikan keadaan anak buah Naga Hijau itu.

Apabila sadah dikuasai oleh sifat kejam, manusia itu lebih kejam dari binatang buas. Terutama dalam dunia persilatan. Segala budi perilaku hanya kosong belaka. Yang ada dan dikenal dalam dunia persilatan itu hanya Hukum Rimba, yang kuat menang, yang lemah binasa. Siasat dilawan siasat, kekejaman dibalas kekejaman. Itulah bahasa yang dikenal oleh kaum persilatan.

Tay Hui terkejut melihat sikap dan perobahan wajah Siau Lo-seng. Ia kuatir apabila Siau Lo-seng dihinggapi oleh kesan buruk terhadap dunia persilatan, maka dunia persilatan pasti akan mengalami kehancuran dan masa-masa yang gelap.

Buru-buru rahib itu gunakan ilmu tenaga dalam sakti untuk menyadarkan pikiran Siau Lo-seng.

“Dendam kesumat, bunuh membunuh, bagaikan api yang membakar jiwa manusia. Apabila kita tak berusaha untuk memadamkan, hanguslah jiwa raga kita terbakar oleh kejahatan berdarah itu. Apabila dapat menyadari bahwa alam itu mempunyai hukum Sebab dan Akibat, bahwa segala kehidupan itu akan pulang ke asal masing-masing, maka kitapun harus menyadari agar jangan sampai terlibat dalam jerat Karma yang tiada berkeputusan.”

Siau Lo-seng mengangkat muka dan memandang rahib itu dengan terlongong-longong.

“…… segala kehidupan itu dari satu sumber dan akan pulang ke asalnya…… ha, ha, ha…...” tiba-tiba pemuda itu tertawa. Nadanya penuh kerawanan dan kehampaan.

Dia seperti seorang panglima yang habis memenangkan pertempuran. Suatu pertempuran batin yang dahsyat dimana hampir saja dia bertekuk lutut menambahkan pembunuhan dan kekejaman.

“Ah,” tiba-tiba ia menghela napas longgar, “terima kasih cianpwe telah menyadarkan kekeruhan batinku. Jika tidak, aku pasti akan hilap dan terjerumus dalam kesesatan yang kejam dan ganas ”

Tay Hui Sin-ni longgar perasaannya karena pemuda itu telah menemukan kesadarannya pula. Ia memberi nasehat apabila pada suatu saat menghadapi persoalan yang menekan batin, ia harus dapat menggunakan pikiran yang jernih dan batin yang terang untuk memecahkan persoalan itu. Sekali-kali jangan sampai kalah dan jatuh ke dalam cengkeraman nafsu yang jahat. Tiba-tiba Go Cui-coan yang terkapar di tanah itu mengerang-erang menahan derita kesakitan yang bebat. Darahnya yang keracunan itu mulai membinal menerjang ke arah uluhati.

Siau Lo-seng menyadari bahwa keadaan anak buah Naga Hijau itu sudah tak dapat ditolong lagi. Lebih lekas dibebaskan, lebih berkurang penderitaannya. Segera Siau Lo-seng bertindak.

Tetapi pada saat ia hendak menutuk dada Go Cui-coan. tiba-tiba terdengar lengking bentakan yang dahsyat: “Anjing buduk, jangan main bunuh!”

Seketika itu Siau Lo-seng merasa setiup angin menyambar punggungnya. Cepat ia tamparkan kedua tangannya ke belakang. “Plak, plak……”

Dua buah senjata rahasia yang akan melanda punggung pemuda itu tertampar ke udara. Tetapi penyerang dari belakang itu menyusuli pula dengan pukulan dari jauh. Pemuda itupun cepat-cepat berputar-putar sampai tiga kali seraya silangkan kedua tangan untuk melindungi diri. Lalu dengan gerak kecepatan yang luar biasa, ia ulurkan tangan kanan untuk menyambar pergelangan tangan orang dan tangan kiri menghantam.

Tetapi penyerang itu hebat juga. Setelah lepaskan dua kali pukulan, dengan meminjam tenaga pukulan itu, ia melambung dan berjumpalitan di udara, melayang di atas kepala Siau Lo-seng lalu menghantam kepala pemuda itu……

“Sik Thancu tahan……!” tiba-tiba terdengar seseorang menggembor dan menyusul belasan sosok tubuh manusia pun melayang tiba.

Serangannya gagal, orang tua jenggot merah itu marah sekali sampai jenggotnya meregang tegak.

“Bangsat, kalau berani membunuh orang mengapa takut adu jiwa dengan aku?” teriaknya. Ia memutar senjatanya dan hendak menyerang lagi.

Tiba-tiba seorang baju hitam menghadangnya.

“Sik Thancu, jangan salah paham,” katanya. “cobalah engkau lihat, dia kan Siau sauhiap teman baik dari pangcu kita.”

Siau Lo-seng memandang ke sekeliling. Ternyata orang-orang yang datang itu adalah para ko-jiu atau jago sakti dari Naga Hijau.

“Adakah anda ini Liat Hwe Thancu?” tegurnya kepada orang tua yang menyerangnya itu.

Tetapi orang tua jenggot merah itu berteriak marah: “Aku adalah Sik Hwe-san. Sekalipun engkau teman  baik dari pangcu tetapi engkau hendak membunuh anak buah kami. Mengapa?”

Habis berkata Sik Hwe-san atau Gunung berapi itu segera lontarkan dua buah pukulan lagi.

Tetapi Siau Lo-seng tak mau menangkis melainkan menyurut mundur lagi: “Sik Thancu, dengarkan kata- kataku!”

“Sik Thancu, harap sabar dulu, ini hanya salah paham,” orang baju hitam tadipun ikut berseru.

Saat itu Siau Lo-seng pun sudah songsongkan kedua tangannya ke atas tetapi Tay Hui Sin-ni cepat meneriakinya: “Sauhiap, jangan menangkis pukulannya!”

Habis berkata rahib itu kebutkan lengan jubahnya ke arah kedua orang itu.

Terdengar letupan yang menusuk telinga. Angin pukulan penyerang itu memancarkan sinar api. Siau Lo- seng terkejut. Cepat ia menyelinap dua tombak ke samping untuk menghindari hujan percikan api itu.

Ternyata penyerang itu menggunakan suatu senjata rahasia untuk menyerang kepala Siau Lo-seng. Untung Tay Hui Sin-ni amat waspada. Dan kebutan lengan jubahnya dapat pula melemparkan penyerang  itu sampai tiga-empat tombak jauhnya.

Ternyata dia seorang tua bertubuh pendek gemuk, memelihara jenggot merah yang menjulai sampai ke dada.

“Pembunuh kejam, serahkan jiwamu “ teriak orang tua pendek itu. Dan sekali bergerak, ia sudah mencekal sebatang senjata aneh dan tiba di hadapan Siau Lo-seng lalu menyerang lagi. Siau Lo-seng tahu bahwa senjata aneh dari orang itu tentu berbahaya maka cepat-cepat ia lepaskan delapan buah pukulan untuk menahan, lalu cepat loncat mundur sampai tiga tombak.

“Menyingkirlah,” bentak orang tua jenggot merah itu. “salah paham, huh, kentut! Kalau hari ini aku tak menuntut balas atas kematian saudara-saudara kita, aku Sik  Hwe-san  bersumpah  tak mau  jadi  orang lagi ”

Ia mendorong orang baju hitam itu ke samping lalu melangkah maju.

Melihat keliaran orang, marahlah Siau Lo-seng: “Bagaimana engkau membuktikan aku seorang pembunuh?”

Liat Hwe Thancu tertawa hina.

“Kalau tak ingin dilihat orang janganlah melakukan sesuatu. Apakah engkau kira tipu muslihatmu ‘memancing harimau tinggalkan sarang’ itu sudah hebat? Nyo Cong-thancu telah menduga engkau akan datang, tetapi sudah terlambat, darah telah menumpah. Namun Thian tetap bermurah hati sehingga engkau mengantarkan jiwa lagi ke sini!”

Habis berkata ia terus loncat ke muka Siau Lo-seng. Tangan kanan menghantam kepala, tangan kiri menaburkan berpuluh butir pelor bik-lik-tan.

Siau Lo-seng tak mau melayani. Ia loncat mundur lalu dorongkan kedua tangannya untuk menampar pelor itu.

“Jangan ditangkis, lekas tiarap!” cepat-cepat Tay Hui Sin-ni berteriak.

Tetapi terlambat. Tenaga tamparan Siau Lo-seng telah membentur pelor itu. Terdengar letupan keras dan bunga apipun berhamburan di udara.

Siau Lo-seng menjerit kaget dan cepat-cepat tutupkan tangannya ke dada. Pakaiannya penuh lubang bekas terbakar bercampur bintik-bintik darah yang mengucur dari tubuhnya. Dia terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang.

Tetapi Liat Hwe Thancu pun terkejut sekali. Dia bergelar Hwe-mo-sin atau Setan Api. Memiliki senjata rahasia dari bahan peledak yang ganas. Terutama pelor Bik-lik-tan, sudah termasyhur di dunia persilatan. Jarang dia menggunakan senjata pelor itu kalau tak perlu. Kali ini dia taburkan berpuluh-puluh butir pelor tetapi ternyata pemuda itu tak mati melainkan pakaiannya saja yang terbakar.

“Dimana saat ini Nyo Cong-thancu?” serunya dengan nada dingin.

“Nyo Cong-thancu mengejar anak buah kawanan anjing itu. Tetapi jangan  kira engkau mampu lolos dari sini, beberapa kawan kita di sini akan mencingcang tubuhmu!”

Habis berkata orang tua jenggot merah itu terus hendak turun tangan. Rupanya sebelum dapat membunuh Siau Lo-seng, ia tak puas.

Saat itu beberapa ko-jiu Naga Hijau pun segera mencabut senjata dan mengepung Siau Lo-seng. Serempak mereka memaki dengan marah. “Penghianat, engkau mempunyai dendam permusuhan apa dengan Naga Hijau sehingga engkau sampai bertindak sedemikian ganasnya kepada kawan-kawan kami?”

Melihat suasana makin panas, Siau Lo-seng tak mau bertindak gegabah melainkan mencurah pandang ke arah Tay Hui Sin-ni.

Tetapi ternyata rahib itu tengah pejamkan mata seenaknya saja. Seolah-olah urusan di situ tak ada sangkut pautnya dengan dia. Sudah tentu Siau Lo-seng tak habis ngerti.

Liat Hwe Thancu Sik Hwe-san maju dua langkah lagi dan membentak, “Bagaimana? Bukankah engkau tak dapat menjawab?”

“Jangan kalian mendesak aku keliwat batas,” sahut Siau Lo-seng, “siapa yang membunuh kawan-kawanmu itu. Hm, sungguh manusia yang tak tahu kebaikan orang! Mereka telah dibunuh oleh anak buah perguruan Bu-tong pay dan Ceng-sia-pay yang dipimpin oleh Ceng-hi-cu dan duabelas jago pedang Ceng-sia-pay. Kami baru saja tiba di sini. Terserah kalian mau percaya atau tidak!”

“Tutup mulutmu!” bentak orang tua jenggot merah pula, “bukti sudah jelas, masih engkau berani  menyangkal dan hendak timpahkan kesalahan pada lain orang. Apakah engkau kira Sik Hwe-san ini seorang anak kecil? Ha, ha, ha……, dengan mata kepala sendiri kusaksikan engkau membunuh muridku Go Cui-coan dan badanmu berlumuran darah....... masakan engkau masih berani menyangkal. Serahkan jiwamu ”

Kilat menyambar puncak. Ribuan kenangan lenyap dan Menelan Sembilan laut, adalah tiga jurus yang segera dilancarkan oleh orang tua jenggot merah itu untak menyerang Siau Lo-seng. Sedang tangan kirinya pun menaburkan pasir beracun yang disebut Sip-hun-yan-tok-sat.

Ketika bertempur dengan puluhan anak buah Ban-jin-kiong, pakaian dan tubuh Siau Lo-seng berlumuran noda darah sehingga saat itu dia memang menyerupai seorang pembunuh yarg habis menjagal korbannya.

Karena menduga orang tua jenggot merah itu tentu akan menyerangnya lagi maka diam-diam Siau Lo-seng pun sudah bersiap. Cepat ia loncat menyingkir ke samping.

“Sik Thancu, engkau salah paham. Harap dengarkan penjelasanku ” serunya tetapi cepat dibentak orang

tua jenggot merah itu:

“Apa yang perlu dijelaskan? Apakah engkau membunuh muridku itu, bukan terjadi sesungguhnya?”

Siau Lo-seng memang berotak cerdas. Dalam sekejap saja ia sudah mempunyai penilaian. Jika dia bukan seorang yang berwatak berangasan, tentulah ada sesuatu yang mencurigakan pada dirinya.

Karena sejak dia muncul membawa anak buahnya, dia tetap tak mau menerima penjelasannya dan beberapa kali melancarkan serangan maut kepadanya. Bukankah hal itu dapat menimbulkan kesan, seolah- olah Liat Hwe Thancu itu berkeras hendak melenyapkan dirinya (Siau Lo-seng) karena ia tahu akan latar belakang pembunuhan ngeri di markas Naga Hijau?

Setelah mempunyai bayangan penilaian semacam itu, Siau Lo-seng pun segera mendapat akal. Dengan nyaring ia berseru kepada Tay Hui Sin-ni.

“Locianpwe tolong locianpwe membereskan urasan di sini. Aku bendak mengurus suatu hal yang penting dan terpaksa aku pergi!”

Siau Lo-seng menutup kata-katanya dengan enjot tubuhnya ke udara, melayang melampaui kepala jago- jago Naga Hijau itu dan dengan beberapa loncatan segera menghilang dalam kegelapan.

Sekalian jago-jago itu gempar tetapi tiada seorangpun yang berusaha untuk mengejar. Dan andai mengejar, merekapun tak mungkin mampu menyusul Siau Lo-seng. Kecepatan gerak pemuda itu memang mengagumkan sekali.

Ketika tiba di luar kota Lok-yang, haripun menjelang terang tanah. Siau Lo-seng menghela napas longgar.

Peristiwa berdarah di markas Naga Hijau memang masih merupakan teka teki baginya. Menurut keterangan dari Go Cui-coan, benar hampir tak dapat dipercaya bahwa perguruan Bu-tong-pay yang tergolong perguruan yang harum namanya, akan melakukan tindakan yang sedemikian di luar peri kemanusiaan.

Memang jelas bahwa ada seseorang yang telah menyaru sebagai Nyo Cu-ing yang mengajak beratus-ratus anak buah Naga Hijau menolong ketua Naga Hijau yang katanya mendapat bahaya di lain tempat. Jelas hal itu, suatu siasat untuk ‘memancing harimau tinggalkan gunung’. Markas Naga Hijau kosong karenanya.

Tetapi sungguh aneh sekali bahwa yang datang ke markas Naga Hijau itu adalah ketua Bu-tong-pay sendiri bersama ke duabelas jago pedang partai Ceng-sia-pay yang termasyhur.

Sekalipun kedua partai persilatan itu mempunyai dendam permusuhan dengan Naga Hijau tetapi sebagai partai aliran Ceng-pay, masakan mereka akan melakukan pembunuhan yang sedemikian kelewat batas ganasnya.

Lalu siapakah sebenarnya pembunuh ganas itu? Adakah mereka itu orang Lembah Kumandang atau Ban- jin- kiong?

Ah, memang kedua gerombolan itu, licin, licik dan luar biasa kejamnya. Mudah sekali bagi mereka untuk menyaru jadi tokoh-tokoh pimpinan Naga Hijau.

Ya, benar. Li Giok-hou pernah mengatakan bahwa Ban-jin-kiong itu terdiri dari tokoh-tokoh ternama dari segala aliran partai persilatan. Sekalipun seorang ketua dari sebuah partai persilatan yang termasyhur, pun juga menjadi budak dari Ban-jin-kiong! Teringat akan hal itu, terbaliklah pikiran Siau Lo-seng. Segera ia mempunyai kesan bahwa bukan mustahil yang melakukan pembunuhan besar-besaran di markas besar Naga Hijau itu memang benar orang Bu- tong-pay.

13.64. Bu-tong-pay

Tetapi Siau Lo-seng tak habis herannya. Dengan cara bagaimanakah Ban-jin-kiong dapat menguasai sekian banyak tokoh-tokoh persilatan yang ternama itu. Mengapa sebagai ketua Bu-tong-pay yang termasyhur, Ceng-hi-cu mudah diperintah oleh Ban-jin-kiong?

Akhirnya Siau Lo-seng menarik kesimpulan bahwa sumber dari teka teki itu terletak pada partai Bu-tong- pay. Bukankah Pek Wan Taysu dan barisan Tat-mo-coat-ci-tin dari Siau-lim-si juga menuju ke gunung Bu- tong-san untuk memberi bantuan pada partai itu?

Dengan kesimpulan itu akhirnya Siau Lo-seng memutuskan untuk menuju ke Bu-tong-san. Dia segera berangkat menempuh perjalanan ke markas Bu-tong-pay yang jauh jaraknya itu…..

********************

Ketika menyusur lereng gunung Bu-tong-san, ia tak tertarik akan alam pemandangan yang permai dari  pegunungan itu. Dia hanya mempercepat langkah untuk mencapai jalan yang menuju ke Ceng-cin-kiong, markas besar partai Bu-tong-pay.

Ceng-cin-kiong, sebuah biara yang megah bangunannya. Puncaknya menjulang tinggi di antara rindangnya pohon-pohon yang mengelilingi tempat itu. Pagar temboknya amat tebal dan kokoh. Pintu biara itu tertutup rapat dan tak tampak barang seorang penjaga sama sekali.

Siau Lo-seng mondar mandir di luar pintu. Ia heran sekali mengapa sebuah markas besar dari perguruan yang termasyhur dalam dunia persilatan tampak begitu sunyi senyap. Ribuan lie telah ia tempuh siang dan malam. Adakah ia akan menemui suatu markas yang sudah kosong?

Tiba-tiba dari jalan kecil sebuah hutan, muncul seorang imam yang memikul dua buah tahang air. Tetapi begitu melihat Siau Lo-seng imam itu cepat-cepat masuk ke dalam hutan lagi.

Sudah tentu Siau Lo-seng heran. Cepat-cepat ia loncat mengejar. Tetapi ketika masuk ke dalam hutan, ia terlongong-longong. Hutan itu lebat dengan pohon dan imam itu lenyap entah kemana. Diam-diam ia terkejut mengapa imam itu dapat bergerak lebih cepat dari dirinya.

Tiba-tiba ia merasa setiup angin melanda punggungnya. Cepat ia gunakan gerak Naga sakti keluar laut, loncat ke udara dan melayang beberapa tombak jauhnya.

“Bum… ” tiga batang pohon rubuh, menimbulkan suara yang dahsyat.

Belum sempat Siau Lo-seng mengetahui siapa penyerang gelap itu, tiba-tiba sebatang senjata yang panjang telah menyapu dirinya. Cepat dia loncat mundur sampai setombak.

“Bum. ” kembali tiga batang pohon terhantam rubuh.

Tetapi pada saat itu ia dapat melihat jelas siapakah penyerang itu. Ternyata imam muda yang memikul tahang air tadi. Dia menggunakan pikulan besi untuk menyerang.

Serangannya gagal, imam muda itu menggembor keras dan menghantamkan pikulan besinya ke dada Siau Lo-seng dengan jurus Menyiak awan melihat matahari.

“Tunggu dulu sebentar……” teriak Siau Lo-seng. Ia mengisar dua langkah ke samping seraya menabaskan tangan kiri ke arah pikulan besi.

“Plak……” pikulan besi terlepas tetapi di luar dugaan, imam muda itu dengan cepat segera menampar dada Siau Lo-seng.

Serangan imam muda itu memang tak terduga-duga dan amat ganas sekali. Siau Lo-seng terkejut. Cepat ia loncat menghindar sampai setombak jauhnya. Entah bagaimana tampaknya imam muda itu mendendam sekali kepada Siau Lo-seng. Ia loncat dan menyerang gencar.

Tak kurang dari sebelas jurus serangan telah dilancarkan imam muda itu. Selain cepat pun setiap gerak pukulannya mengandung tenaga dalam yang dahsyat sehingga Siau Lo-seng terpaksa harus sibuk menghindar kian kemari dan loncat mundur sampai empat-lima langkah.

Karena melihat kekalapan imam muda itu, marahlah Siau Lo-seng. Segera ia balas menghantam. “Bum. ”

Imam muda itu mengerang tertahan. Tubuhnya mencelat sampai tiga tombak dan membentur sebatang pohon besar.

Siau Lo-seng cepat menghampiri dan hendak mencekal pergelangan tangan imam itu.

Siau Lo-seng mendengus. Tangan kanan menebas paha dan tangan kiri menyambar siku lengan imam itu. Secepat kilat, imam itu sudah dapat dikuasainya. Tulang pahanya patah.

Sebenarnya Siau Lo-seng memang tak mau melukainya tetapi kerena imam itu keliwat tak dapat diajak bicara, terpaksa dia lakukan hal itu.

Sambil melepaskan cengkeramannya pada siku lengan si imam, Siau Lo-seng bertanya,

“Mengapa engkau begitu bernafsu sekali menyerang aku secara ganas. Nah, engkau sampai menderita luka begitu.”

“Aku sudah jatuh ke tanganmu, kalau mau bunuh, bunuhlah. Tak usah pura-pura bermurah hati,” teriak imam itu dengan geram.

Karena perlu mencari keterangan terpaksa Siau Lo-seng menahan kesabaran, “Bukankah engkau ini murid Bu-tong-pay?” tanyanya.

“Bangsat, perlu ada bertanya begitu?” damprat imam itu.

“Plak, plak……” karena marah, Siau Lo-seng menampar muka imam itu.

“Apakah engkau benar-benar menghendaki aku membunuhmu? Jawab pertanyaanku, kalau tak mau memberi keterangan sejujurnya, terpaksa akan kucabut nyawamu!” bentak Siau Lo-seng.

Tiba-tiba imam muda itu muntah darah lalu tertawa garang, “Sekalipun mau, jangan harap engkau mampu mendapat keterangan dari mulutku!”

Karena tak menduga, darah dari mulut imam itu hampir menyembur muka Siau Lo-seng. Cepat ia surutkan kepala ke belakang. Tetapi bajunya yang berwarna hijau kena tertumpah darah imam itu.

“Plak, plak, plak……” karena marah, Siau Lo-seng menampar muka imam itu dan membentaknya, “Apakah engkau minta mati?”

Muka imam itu bengap dan giginya rompal. Mulutnyapun berlumuran darah tetapi dia tetap memaki-maki, “Hai, kawanan bangsat jahanam! Ketahuilah, perbuatanmu yang kejam itu kelak tentu akan mendapat balas yang setimpal sehingga tubuhnya hancur lebur……”

Siau Lo-seng terkejut. Ia duga tentu ada sesuatu dalam peristiwa itu. Cepat ia menyambar tangan si imam dan berseru: “Apa katamu? Tahukah engkau siapa aku ini?”

Rupanya imam itu menderita kesakitan karena tangannya dicengkeram. Tetapi dia tak mau mengerang. Sapasang matanya tampak merah membara lalu membentak, “Bangsat, kukatakan bahwa hari kematianmu sudah dekat!”

Tiba-tiba biji matanya terbeliak membalik dan tubuhnya segera terkapar lunglai. Siau Lo-seng terkejut dan buru-buru lepaskan cekalannya. Ah, ternyata imam itu sudah mati. Dia bunuh diri dengan menggigit putus lidahnya.

Diam-diam Siau Lo-seng menyesal karena tak dapat menahan kesabaran. Walaupun bukan dia yang membunuh tetapi imam itu mati karena marah kepadanya. Dan celakanya, ia tak dapat mencari keterangan apa-apa. Adakah markas Bu-tong-pay sudah diobrak-abrik musuh sehingga imam itu menyangka dia tentu salah seorang dari kawanan pembunuh itu?

Akhirnya ia kembali menuju ke biara Ceng-kiong. Loncat ke pagar tembok ia melayang turun ke halaman biara itu.

“Aneh, mengapa tak tampak barang seorang manusia dalam biara ini? Apakah telah terjadi peristiwa ngeri?” pikirnya.

Setelah menunggu sampai beberapa saat tetap tak tampak suatu perobahan akhirnya ia nekad masuk. Dengan pedang Ular Emas ia mengungkit pintu yang tertutup rapat lalu masuk ke dalam ruangan. Ah, kosong melompong.

Keheranannya makin meningkat. Kalau partai Bu-tong-pay benar telah mengalami peristiwa, juga tak mungkin biara itu penuh dengan debu seperti tempat yang sudah lama tak dihuni orang. Namun kalau biara itu memang tak dihuni orang lalu dari manakah imam muda yang mengambil air dari hutan tadi?

Setelah melintasi sebuah pendapa, Siau Lo-seng tiba di sebuah ruangan yang besar. Di atas ruangan itu tergantung sebuah papan berbunyi,

“Ceng-cin-ceng-tian”

atau ruang besar biara Ceng-cin-kiong

Pintunya terbuka. Di muka bangunan itu terdapat halaman yang ditumbuhi beberapa pohon besar.

Siau Lo-seng masuk ke dalam gedung itu dan tiba di paseban Siu-cin-tong. Di situ tampak imam tua berjubah kelabu tangah memasang dupa di muka sebuah meja sembahyang. Asap dupa berkepul-kepul membubung ke atas dan tampaknya imam tua itu tenang sekali menyelesaikan pekerjaannya.

Tiba-tiba timbul pikiran Siau Lo-seng untuk menguasai imam tua itu. Kemungkinan dia akan dapat mencari keterangan dari imam tua itu. Cepat ia menghampiri dan menutuk punggung imam tua itu. Tetapi imam tua tetap diam saja dan tenang-tenang hendak menancapkan dupa ke meja.

“Celaka,” Siau Lo-seng mengeluh kaget ketika jarinya serasa menyentuh kulit yang keras. Buru-buru ia menyurut mundur.

Memandang ke muka, ternyata imam tua itu masih tenang-tenang menancapkan dupa ke meja.

Sejenak termangu, Siau Lo-seng mencabut Pedang Ular Emas lalu maju menusuk punggung imam tua itu. Tetapi kali ini imam itu mengisar selangkah ke samping dan sekonyong konyong berputar tubuh songsongkan dupa menahan pedang.

Seketika itu Siau Lo-seng rasakan batang pedangnya tergetar karena dilanda suatu tenaga yang aneh. Cepat ia menyurut mundur tiga langkah dan memberi hormat:

“Totiang amat sakti, maafkan kelancanganku.”

“Bu-liang-siu-hud! Sudah lama menunggumu,” tiba-tiba dari belakang terdengar suara orang berseru.

Siau Lo-seng terkejut sekali dan cepat berputar tubuh, lintangkan pedang dan memandang ke muka. Entah kapan, tampak dua imam tua berambut putih yang dandanannya sama dengan imam tua yang melakukan sembahyangan tadi.

Saat itu imam tua yang bersembahyang tadi pun berputar ke muka Siau Lo-seng. Setelah beberapa saat memandang ke muka itu, dia berkata:

“Kepandaian sicu ternyata hebat sekali. Ditilik dari jurus Kiam-hay-biau-hoa yang engkau mainkan tadi, entah berapa banyak orang persilatan yang telah kehilangan jiwanya di tangan sicu.”

Siau Lo-seng mendapat firasat bahwa saat itu ia bakal menghadapi peristiwa lagi. Ia memperhatikan bahwa sinar mata ketiga imam yang sudah berusia tinggi itu memancar suatu sikap yang tak bersahabat.

“Totiang sekalian, tolong tanya siapakah gelaran totiang yang mulia ini,” seru Siau Lo-seng, “aku belum pernah bertemu muka dengan totiang bertiga. Mengapa mengatakan kalau sudah lama menunggu kedatanganku.”

“Bu-liang-siu-hud,” seru imam yang bersembahyang tadi. “pinto bergelar It Ceng dan kedua suteku ini  It Bing dan It Tim. Dahulu disebut sebagai Bu-tong Sam-siu (Tiga serangkai dari Bu-tong-pay). Sudah sejak empatpuluh tahun mengasingkan diri dan tak mengurus soal-soal perguruan lagi maka tak heran kalau sicu tak kenal pada kami.”

Mendengar keterangan itu diam-diam terkejutlah hati Siau Lo-seng. Ia tak sangka bahwa ketiga imam tua itu adalah Bu-tong Sam-siu yang termasyhur pada empatpuluh tahun berselang. Konon menurut ceritera orang persilatan, Bu-tong Sam-siu itu telah mencapai penerangan dalam ilmu agama dan mengasingkan diri. Tetapi mengapa mereka muncul di paseban Ceng-cin-ceng-tian? Adakah sesuatu yang telah menimpah pada Bu-tong-pay?

Siau Lo-seng membungkukkan tubuh memberi hormat: “Sudah lama aku mendengar keharuman nama totiang bertiga. Hari ini sungguh merasa beruntung sekali karena dapat berjumpa.”

Salah seorang Bu-tong Sam-siu yang umurnya paling muda tertawa dingin.

“Sayang hari ini pinto terpaksa barus membuka pantangan yang sudah pinto lakukan selama empatpuluh tahun. Pinto hendak menghukummu, budak yang tak kenal adat berani sembarangan mengaduk tempat ini!” serunya.

“Tetapi aku tak bersalah kepada totiang. Mengapa totiang hendak menghukum aku?” seru Siau Lo-seng. It Tim Totiang maju tiga langkah dan membentak dengan bengis:

“Seorang lelaki berani berbuat harus berani bertanggung jawab. Tetapi mengapa sekarang engkau hendak menyangkal? Apakah cukup dengan beberapa patah kata saja engkau hendak menghapus tindakanmu?”

Siau Lo-seng benar-benar tak mengerti.

“Totiang,” serunya lantang, “bagaimana kesalahanku, mohon totiang memberi keterangan. Kalau memang bersalah, aku pasti mau mengakui.”

Tampak rambut It Tim meregang karena marah sekali.

“Siau sicu, kami memang hendak menunggu engkau bicara. Karena sekarang engkau menyatakan bertanggung jawab atas perbuatanmu, maka harap ikut kami menuju ke Ceng-gi-tong menerima keputusan,” serunya.

“Bagaimana engkau tahu kalau aku orang she Siau?” Siau Lo-seng berseru kaget, “paseban Ceng-gi-tong itu untuk mengadili anak murid Bu-tong-pay yang bersalah. Tetapi aku bukan murid Bu-tong-pay, mengapa aku harus ikut kalian ke Ceng-gi-tong?”

Tiba-tiba It Bing Totiang berseru: “Sam-sute perlu apa banyak bicara dengan budak yang seliar itu?”

Tahu-tahu imam tua itu sudah meluncur maju terus hendak menyambar pergelangan tangan Siau Lo-seng.

Pemuda itu terkejut. Ia endapkan tangannya ke bawah lalu dibalikkan untuk menusuk. Tangan kirinya pun juga menampar seraya menyurut mundur.

Karena Siau Lo-seng dapat meronta lepas dari cengkeramannya. It Bing Totiang mengisar ke samping untuk menghindari tamparan lalu maju menyerang.

Siau Lo-seng menghindar dan loncat mundur lagi seraya berseru marah: “Jika kalian tetap mendesak, jangan salahkan kalau aku bertindak keras. Aku mau mengalah bukan karena takut kepada kalian!”

“Sudah empatpuluh tahun aku tak bertempur dengan orang. Hari ini akan kulihat sampai berapa jurus engkau mampu melayani seranganku,” seru It Bing Totiang.

Imam tua itu maju pula, dan lancarkan serangan dahsyat bertubi-tubi. Siau Lo-seng terkejut. Serangan imam tua itu menghamburkan tenaga dalam yang dahsyat sekali.

“Jika demikian akupun terpaksa melayani totiang,” seru Siau Lo-seng.

Siau Lo-seng pun segera mainkan jurus-jurus ilmu pukulan yang indah dan sukar diduga. Keduanya bertempur dengan seru dan dahsyat.

Diam-diam It Bing Totiang terkejut sekali. Setitikpun ia tak menyangka bahwa pemuda itu ternyata mampu melayaninya sampai belasan jurus.

It Bing penasaran. Ia mendesak maju. Kedua tangannya bergerak cepat sekali sehingga dalam beberapa kejap saja sudah enam jurus serangan yang dilancarkan. 

13.65. Tuduhan Pembunuh Ketua Bu-tong-pay

Siau Lo-seng terdesak mundur sampai setombak jauhnya. Tiba-tiba ia hentikan pukulannya.

“Ah, hawa iblis makin merajalela. Kemungkinan makin berat beban untuk memberantas mereka,” ia menghela napas.

Tiba-tiba berpuluh-puluh imam tua dan muda berhamburan masuk memenuhi ruangan itu. Siau Lo-seng terkejut. Bukankah tadi biara itu kosong melompong? Mengapa sekarang mendadak muncul sekian banyak imam?

“Ceng Hi, apa maksud kalian datang kemari?” tiba-tiba It Tim Totiang menegur.

Seorang imam pertengahan umur, tampil ke hadapan It Tim Totiang, berlutut dan berseru dengan nada getar:

“Hatur beri tahu kepada susiok. Sekalipun dijatuhi hukuman perguruan yang berat tetapi para murid tetap hendak menyaksikan matinya pembunuh yang telah membinasakan ciang-bun-jin suheng dan ketigapuluh dua anak murid paseban Ik-seng-tong. Murid Ceng Hi, akan bunuh diri sebagai hukuman karena tak mampu melindungi mereka tetapi murid mohon agar supeh dan susiok dapat menangkap pembunuh itu dan membalaskan sakit hati ciang-bun-jin suheng dan para murid-murid paseban Ik-seng-tong.”

Habis berkata Ceng Hi mencabut pedang hendak ditabaskan ke lehernya. Tetapi tiba-tiba empat orang imam loncat menghampiri. Yang dua menyekap tangan Ceng Hi dan yang dua berlutut di hadapannya.

“Suhu, jika suhu hendak bunuh diri, harap bunuh semua murid-murid dulu,” seru kedua imam itu.

Sekalian imam yang memenuhi ruangan itu serempak menundukkan kepala dan mengucurkan air mata. Bahkan ada yang terisak-isak.

Siau Lo-seng terkejut. Diam-diam ia menyadari apa yang telah terjadi. Ternyata anak murid Bu-tong-pay itu telah menuduh bahwa dialah pembunuh dari ciang-bun-jin (ketua) Bu-tong-pay dan ketigapuluh dua murid- murid paseban Ik-seng-tong.

Apakah yang telah terjadi di markas Bu-tong-pay? Ah, sebelum jelas akan persoalannya ia akan membatasi diri untuk tidak bertindak gegabah agar jangan sampai terulang lagi peristiwa seperti dengan Liat Hwe Thancu dari perkumpulan Naga Hijau itu.

Jelas sudah bahwa Bu-tong-pay sudah menduga bahwa dia tentu akan datang ke markas mereka. Maka sebelumnya mereka sudah mengadakan persiapan untuk menyambut.

Karena tak kuat menahan ketegangan hatinya, Siau Lo-seng segera berseru lantang,

“Hai, harap jangan percaya pada orang yang memfitnah diriku sebagai pembunuh. Aku baru pertama kali ini datang ke sini. Aku tak tahu peristiwa apa yang terjadi di markas Bu-tong-san ini.”

Tiba-tiba imam muda yang mendekap lengan Ceng Hi membentak: “Bangsat, terimalah pedangku ini!”

Seiring dengan bentakannya, ia terus loncat ke udara dan taburkan pedang dalam jurus Ribuan tawon keluar sarang. Berpuluh-puluh percikan sinar pedang segera mencurah ke arah kepala Siau Lo-seng.

Tahu bahwa imam muda itu memainkan jurus ilmu pedang Bu-tong-pay yang hebat, Siau Lo-seng pun tak berani memandang rendah. Ia menyurut mundur beberapa langkah lalu mencabut Pedang Ular Emas dan digerak-gerakkan untuk menangkis.

“Tring, tring ”

Ketika kedua pedang itu saling beradu, Siau Lo-seng tetap tegak di tempatnya tetapi imam muda itu terhuyung-huyung sampai tujuh-delapan langkah baru berdiri tegak lagi.

Dari hasil adu senjata itu dapatlah diketahui bagaimana ukuran kepandaian kedua orang itu.

Ilmu kepandaian Siau Lo-seng berasal dari Cian-li-tui-cong Ban Li-hong. Dan Ban Li-hong menguasai segala ilmu silat maupun ilmu pedang segenap aliran perguruan dalam dunia persilatan. Sudah tentu ilmu pedang Bu-tong-pay yang dimainkan imam muda itu takkan terlepas dari penguasaan Siau Lo-seng. Sudah tentu imam muda itu tak tahu. Dia hanya merasa kalah tingkat kepandaiannya tetapi dia telah bertekad bulat dan berteriak keras: “Bangsat, aku akan mengadu jiwa dengan engkau!”

Tok-coa-jut-tong atau Ular berbisa keluar guha, Gin-u-hui-say atau Hujan perak mencurah berhamburan  dan Thian-ho-to-lo atau Bintang langit berjungkir arah, adalah tiga buah serangan pedang yang dilancarkan imam muda itu kepada Siau Lo-seng.

Siau Lo-seng terpaksa mengangkat Pedang Ular Emas untuk melayani. “Tring, tring,” dalam dering  benturan pedang, pedang imam muda itupun terlepas dan orangnya pun terlempar sampai setumbak lebih jauhnya.

Ceng Hi dan beberapa anak muridnya terkejut. Mereka berhamburan loncat hendak menolong. Tetapi sebelum mereka bergerak ternyata imam muda itu sudah meluncur di tanah tak kurang suatu apa.

Melihat muridnya tak kurang suatu apa, legahlah hati Ceng Hi. Saat itu, tujuh imam jubah kuning sudah mengepung Siau Lo-seng.

“Hat Ceng, mundurlah!” teriak It Tim Totiang.

Mendengar itu, ketujuh imam jubah kuning serempak berseru: “Memberi tahu kepada susiok-cou……” “Mundur, serahkan urusan di sini pada kami!” seru It Bing Totiang.

“Susiok,” seru Ceng Hi Totiang. “aku malu menjabat ketua perguruan kita. Ijinkan aku adu jiwa dengan dia.”

Saat itu berpuluh murid Bu-tong-pay sudah maju menghampiri Siau Lo-seng. Tiba-tiba It Ceng Totiang berseru: “Berhenti! Suruh dia mengatakan alasannya!”

Mendengar perintah suhunya, Ceng Hi pun segera memerintahkan sekalian anak murid Bu-tong-pay itu mundur. Dan karena ketuanya yang memberi perintah, murid-murid Bu-tong-pay itupun segera mundur.

Melihat itu, Siau Lo-seng meminta kepada Ceng Hi supaya murid-murid Bu-tong-pay itu disuruh tinggalkan ruangan situ.

“Ah, engkau memang banyak tingkah,” gerutu Ceng Hi, “mengapa murid Bu-tong-pay tak boleh mendengarkan urusan perguruannya? Tanyakan sendiri apakah mereka mau meninggalkan ruangan ini atau tidak?”

Siau Lo-seng mendengus.

“Hm, engkau sebagai seorang ketua masakan tak dapat memberi perintah kepada mereka. Kalau engkau tak mau, maaf, akupun tak dapat memberi keterangan apa-apa,” serunya.

“Ceng Hi, perintahkan mereka,” seru It Ceng. “Suhu ” Ceng Hi pucat wajahnya.

Ternyata baru-baru saja Ceng Hi menerima jabatan ketua Bu-tong-pay itu. Adalah karena usianya masih muda maka banyaklah anak murid Bu-tong-pay yang tak puas.

“Ceng Hi, suruh engkau melakukan hal itu mengapa tak lekas mengerjakannya,” seru It Bing Totiang, “adakah setelah menjabat ketua partai engkau merasa dapat menolak perintah suhumu?”

“Ah, murid tak berani, tetapi, tetapi……” “Tetapi bagaimana?”

Ceng Hi terpaksa mengangkat Giok-leng atau lambang kekuasaan Bu-tong-pay ke atas kepala dan berseru kepada sekalian anak murid.

“Sekalian murid Bu-tong-pay, dengarkanlah! Aku menerima titah Tiang-lo, menyuruh kalian tinggalkan ruangan ini, harap diindahkan!”

Dari kalangan murid-murid Bu-tong-pay segera timbul kehirukan. Setiap murid yang tinggalkan tempat itu tentu memandang Siau Lo-seng dengan penuh kemarahan. Tetapi Siau Lo-seng tak menghiraukan mereka.

Setelah ruangan itu tiada orangnya, barulah Ceng Hi berkata: “Harap Siau sicu segera mengutarakan persoalan itu.” “Bila, dimana dan dalam keadaan bagaimanakah ketua dan ke tigapuluh dua anak murid Ik-seng-tong dari perkumpulan Bu-tong-pay itu menderita kecelakaan?” Siau Lo-seng membuka pembicaraan dengan sebuah pertanyaan.

“Ah, sudah tahu mengapa masih bertanya pula?” dengus Ceng Hi.

“Aku hanya minta engkau supaya menjawab pertanyaanku itu,” seru Siau Lo-seng dengan tegas.

“Saat ini engkau sudah terkepung rapat. Lebih baik engkau tahu diri dan dapat berpikir yang tepat,” Ceng Hi Tojin marah.

“Ceng Hi, jawablah pertanyaannya,” tiba-tiba It Ceng Totiang, guru dari Ceng Hi, ikut campur.

“Perlu apa engkau menanyakan tentang kematian ciang-bun-jin suheng dan ke tigapuluh dua murid paseban Ik-seng-tong itu? Kalau tiada sangkut pautnya, janganlah terlalu mencampuri urusan perguruan kami,” Ceng Hi melengking marah.

“Bukan saja mempunyai hubungan dengan peristiwa berdarah dalam perguruan Bu-tong-pay tetapi pun menyangkut keselamatan dari segenap kaum persilatan,” sahut Siau Lo-seng, “jika engkau tak mau menerangkan sejujurnya, seluruh kaum persilatan tentu akan mengalami malapetaka hebat dan engkaupun tentu akan memikul tanggung jawab yang besar.”

Sejenak berhenti memandang keempat tokoh tua dari Bu-tong-pay, Siau Lo-seng melanjutkan pula.

“Dewasa ini seluruh kaum persilatan sudah terancam bahaya, bahkan ada yang sudah tertimpah malapetaka itu. Dua-tigapuluh anak murid Bu-tong-pay yang binasa dan berpuluh jiwa anak buah perkumpulan Naga Hijau yang mati hanyalah merupakan permulaan dari tibanya malapetaka itu. Kalau kalian tak lekas menyadari hal itu dan tetap gelap pikiran, dikuatirkan, beratus-ratus tahun keharuman nama Bu-tong-pay akan hancur lebur dalam sehari saja.”

“Sebelum engkau membuktikan dirimu bukan pembunuh, janganlah engkau mengumbar suara besar menilai keadaan perguruan kami,” seru Ceng Hi Totiang.

“Hm, coba jawablah,” balas Siau Lo-seng. “perlu apa aku minta engkau memerintahkan anak murid Bu- tong-pay keluar dari ruangan ini. Apakah hal itu hanya karena aku hendak bicara yang tak penting artinya?”

“Lalu untuk apa?” teriak Ceng Hi Tojin makin marah.

“Untuk manusia ini......” teriak Siau Lo-seng lalu melambung dan lepaskan beberapa kali ilmu Han-sim-ci- kang atau tutukan jarak jauh dengan jari, ke arah empat imam jubah kuning tadi.

Dari baju keempat orang itu berhamburan jatuh beberapa senjata rahasia beracun. Dan karena tutukan jari Han-sim-ci dari Siau Lo-seng tadi, keempat imam jubah kuningpun jatuh dan tepat menimpah pada senjatanya sendiri yang beracun itu.

Mereka berguling-guling menahan kesakitan yang hebat sekali.

Tiba-tiba Ceng Hi Tojin menggembor keras terus menyerang Siau Lo-seng: “Binatang, engkau berani membunuh……”

Siau Lo-seng tak mengira sama sekali bahwa Ceng Hi Tojin akan menyerangnya dengan pedang. Karena jaraknya amat dekat, pedang ketua Bu-tong-pay itu tentu akan menusuk tubuh Siau Lo-seng.

“Tring ”

Tiba-tiba terdengar dering pedang jatuh ke lantai dan tubuh Ceng Hi pun terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang. Wajahnya terkejut sekali ketika mengetahui apa yang terjadi.

“Suhu, engkau bagaimana ?”

Ternyata It Ceng Totianglah yang kebutkan lengan jubahnya untuk menampar jatuh pedang Ceng Hi, kemudian imam tua itu loncat menghampiri ke empat imam jubah kuning. Tetapi terlambat. Mulut ke empat imam jubah kuning itu berlumuran darah. Ternyata mereka telah menggigit putus lidahnya sendiri sehingga mati.

It Ceng menghela napas dan tegak termangu-mangu.

Siau Lo-seng segera menghampiri dan memberi hormat: “Terima kasih atas bantuan cianpwe. Kalau tidak, aku tentu menderita celaka tadi.” Mata It Ceng Totiang berkilat-kilat menatap Siau Lo-seng, serunya dingin: “Tak perlu engkau berterima kasih kepadaku. Aku memberi pertolongan agar engkau melanjutkan keteranganmu.”

Kemudian imam tua itu berpaling dan menegur Ceng Hi: “Keempat imam jubah kuning termasuk anak murid paseban mana?”

“Paseban Ik-seng-tong dan imam golongan Hoa,” sahut Ceng Hi. “Lekas panggil ketua Ik-seng-tong kemari,” perintah It Tim.

“Ah, hatur beritahu kepada susiok bahwa kepala paseban Ik-seng-tong, Thian It Totiang karena tujuh hari yang lalu telah menghilangkan sebuah benda pusaka dari perguruan Bu-tong-pay, dia bunuh diri sebagai penebus dosa.”

“Jelas itu suatu pembunuhan yang direncanakan,” seru Siau Lo-seng.

“Tutup mulutmu!” bentak Ceng Hi, “jangan lupa, engkau masih tersangka sebagai pembunuh!” Siau Lo-seng tertawa nyaring,

“Ketua, engkau sendiri juga tak terluput dari tuduhan sebagai pembunuh!” serunya.

Gemetar tubuh Ceng Hi mendengar kata-kata anak muda itu. Dengan mengertek gigi, ia berseru geram: “Bagaimana engkau hendak mempertanggung jawabkan atas kematian keempat imam perguruan kami ini?”

Tiba-tiba Siau Lo-seng bahkan malah tertawa makin keras. Setelah itu ia menjawab dengan nada dingin.

“Ternyata perguruan anda terdapat anak murid yang berani sembarangan melanggar perintan ketuanya, berani masuk ke ruang terlarang. He, kurasa kewibawaanmu memang hebat benar!”

Kata-kata itu benar-benar menampar muka Ceng Hi. Wajahnya merah padam dan ubun-ubun kepalanya seperti mengeluarkan asap.

“Itu urusan perguruan kami sendiri,” serunya, “tak perlu engkau ikut campur. Betapapun engkau hendak putar lidah tetapi jangan harap engkau dapat lolos dari dosamu membunuh orang!”

“Kalau ada murid yang secara menggelap hendak membunuh orang-orang yang berada di ruang haruskah dia dibunuh?” Siau Lo-seng balas bertanya,

“Murid kami yang melakukan kesalahan sudah diatur dalam hukum peraturan perguruan kami sendiri. Engkau berani lancang membunuh mereka berarti engkau tak mengindahkan kepada perguruan Bu-tong- pay. Kesalahanmu itu tak mungkin diampuni lagi,” jawab Ceng Hi. 

“Kalau mereka hendak membunuh engkau? Lalu bagaimana keputusanmu?”

“Tak mungkin mereka berani melakukan hal semacam itu!” bentak Ceng Hi marah sekali. Jawab Siau Lo-seng tenang-tenang,

“Tak peduli siapa yang hendak dibunuh, tetapi mereka telah mempersiapkan rencana yang keji dan harus dibasmi. Apakah engkau yakin dapat terhindar dari taburan senjata beracun yang serempak dilakukan oleh keempat imam itu? Kalau, engkau tak percaya mereka akan membunuh engkau maka hanya dua kemungkinan. Kalau engkau bukan komplotan mereka, tentulah engkau ini seorang musuh dalam selimut.”

“Engkau maksudkan bahwa kematian dari anak murid Bu-tong-pay itu disebabkan karena di dalam partai terdapat musuh dalam selimut yang telah bersekongkol dengan musuh luar?”

“Bermula aku memang menduga-duga saja,” kata Siau Lo-seng, “tetapi sekarang aku berani memastikan bahwa dalam perguruan Bu-tong-pay memang terdapat komplotan penghianat.”

Tiba-tiba It Tim Totiang mengerat kata-kata Siau Lo-seng: “Siau sicu, harap jangan omong yang tak penting. Apakah maksudmu datang kemari?”

“Atas terjadinya peristiwa menyedihkan dalam perguruan Bu-tong-pay, aku ikut perihatin,” kata Siau Lo- seng, “kedatanganku kemari karena hendak menyelidiki suatu peristiwa berdarah. Tetapi tak kira kalau Bu- tong-pay juga sudah dilanda oleh peristiwa berdarah itu. Karena dalam peristiwa ini tentu ada sebab dan penggeraknya maka kupercaya atas kebijaksanaan locianpwe untuk menyimpulkan keputusan.” “Kami bertiga sejak empatpuluh tahun yang lalu sudah tak mengurusi lagi persoalan perguruan,” kata It Tim Totiang, “sungguh tak kira pada hari ini, perguruan kami akan tertimpah bencana macam begini. Kalau kami orang-orang tua ini tak bertindak untuk membersihkan perguruan, kemungkinan Bu-tong-pay tentu akan hancur berantakan ”

Ia mengakhiri kata-katanya dengan sebuah helaan napas yang dalam dan panjang. “Locianpwe sungguh bijak dan cerdas, aku menaruh kekaguman yang tak terhingga ”

Tiba-tiba It Tim Totiang deliki sepasang matanya dan berseru dingin,

“Siau sicu, jangan mengira kami sudah terpengaruh oleh sikap dan kata-katamu itu. Aku memang kagum atas tingkah laku yang engkau mainkan di hadapanku ini. Tetapi akupun heran mengapa tingkah laku dan ucapanmu itu tidak sesuai dengan berita-berita dalam dunia persilatan yang menyohorkan engkau sebagai seorang pembunuh ganas yang berdarah dingin.

“Apa?” Siau Lo-seng terbelalak. “apakah engkau juga menuduh aku sebagai pembunuh? Adakah engkau tahu nama yang diberikan kaum persilatan kepada diriku?”

Tiba-tiba Ceng Hi tertawa mengejek.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar