Pedang Berbunga Dendam Jilid 19

JILID 19

Beberapa hari kemudian pada tengah hari, setelah Pui Tiok selesai bersemedhi, begitu berdiri dia segera mendengar suara tawa dingin.

Pui Tiok tertegun dan cepat berpaling. Dilihatnya orang itu tengah memandang ke arah lembah dan berkata, “Ada orang yang hendak mengantar kematian kemari !”

Pui Tiok tak mengerti. Dan Orang itu kembali berkata, “Kubilang, ada orang yang datang ke lembah ini. Tolol, apakah engkau tak mende­ngar langkah suara orang itu?”

Pui Tiok tak mendengar apa-apa. Apalagi lembah itu sepanjang satu li. Kalau dapat mendengar langkah orang dari jarak sejauh itu, orang itu be­nar2 luar biasa saktinya.

Baru orang itu berkata begitu, tiba-tiba terdengar seorang wanita berseru, “Siapakah yang tinggal dalam lembah ini yang begitu berani memasang piagam begini ?”

Menyusul terdengar dering senjata beradu. jelas piagam dari Lembah Maut itu telah dihancurkan orang.

Mendengar suara wanita itu tergetarlah tubuh Pui Tiok. Sebaliknya orang aneh itu bergemerutukan giginya menahan kemarahan lalu berpaling kepada Pui Tiok.

“Ih, apa engkau tak enak badan ?” tegurnya “Itu . . . Coh Hen Hong,” kata Pui Tiok.

“Siapa Coh Hen Hong itu ?” orang aneh deliki mata.

Pui Tiok tertawa pahit, “Dia memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi. Sejak kecil dia ikut pada Ceng-te. Dia adalah musuh besarku !”

Orang aneh itu terkesiap, “Ah, selama ini belum pernah dengar kalau Ceng-te punya murid perempuan,

“Soal itu panjang sekali ceritanya baru Pui Tiok berkata begitu, terdengar suitan pan­jang dari Coh Hen Hong berkumandang ke seluruh lembah.

Suara Coh Hen Hong itu seperti angin cepatnya. Baru Pui Tiok hendaj mengajak orang aneh itu lekas bersembunyi, sesosok tubuh melesat dan tahu-tahu gadis itu sudah muncul.

Pui Tiok tak dapat berkutik lagi. Dia berdiri tegak seperti patung. 

“”Ha, ha, ha,” Coh Hen Hong tertawa mengakak ketika melihat pemuda itu, “bagus, bagus ternyata engkau bersembunyi disini!”

Belum sempat Pui Tiok menjawab, orang aneh itu sudah mendahuluhi, “Di depan lembah te­lah dipasang piagam ‘Barangsiapa berani sembarangan masuk, tentu mati’. Apakah engkau melihatnya™

Saat itu baru Coh Hen Hong tahu kalau di samping Pui Tiok terdapat pula seseorang. Dia menatap orang itu lalu tertawa dingin, “Sudah tentu melihatnya.

Berani didaerah Ceng-te-kiong memasang plakat begitu macam, sungguh bernyali besar sekali “

Sambil berkata Coh Hen Hong maju menghampiri orang itu.

Orang itu berkata dengan nada dingin, “Apa kah itu Ceng-te-kiong segala? Kalau sudah melihat piagam itu dan engkau tetap berani masuk, menandakan kalau engkau sudah bosan hidup, bu­kan begitu ?”

Sejak mendapat seluruh kepandaian Ceng-te, Coh Hen Hong menganggap dirinya tak ada yang dapat menandingi lagi. Dia tak mau memandang mata pada setiap orang lagi. Mendengar kata-kata orang aneh itu, dia malah tertawa keras karena merasa gembira bakal mendapat lawan.

Tiba-tiba orang aneh itu berdiri. Beqitu dia berdiri tawa Coh Hen Hong pun sirap. Melihat itu Pui Tiok buru-buru berseru kepada orang aneh itu, “Cianpwe, harap suruh koh-cujin keluar saja. Eng­kau bukan tandingannya !” 

Orang aneh itu berpaling dan memandang Pui Tiok dengan tatapan yang dingin. Pui Tiok mengkeret nyalinya. Dia menyadari bahwa dalam saat seperti itu tak seharusnya dia mengeluarkan kata-kata seperti itu. Karena dengan berkata be­gitu artinya dia memberi tanda kepada Coh Hen Hong bahwa kepandaian orang aneh itu masih belum memadai.

Tetapi Pui Tiok tadi tak sadar. Terdorong oleh rasa sayangnya kepada orang aneh itu. Pula karena memikirkan keselamatan Beng Cu maka ia baru berkata begitu. Ya, apa boleh buat, toh kata-kata sudah terlanjur diucapkan.

Sebenarnya Pui Tiok juga belum tahu siapa dan bagaimana kesaktian koh-cujin atau pemilik Lembah Maut itu. Tetapi karena berani bermusuhan dengan fihak Ceng-te-kiong, dia duga koh-cu­jin itu tentu sakti sekali dan tak dibawah kepan­daian Coh Hen Hong.

Tetapi dia lupa bahwa saat itu koh-cujin sedang dalam keadaan genting karena sedang menyalurkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk menggodok Beng Cu menjadi seorang manusia ba­ru. Dalam keadaan seperti itu sudah tentu koh-cujin tak boleh diganggu.

Kalau Coh Hen Hong mengetahui hal itu, jelas koh- cujin dan Beng Cu akan terancam jiwanya.

Maka waktu orang aneh itu memandang kepadanya dengan mata mendelik, Pui Tiok benar-benar menyadari kesalahannya dan ingin dia memukul dirinya seudiri. Tetapi apa gunanya ? Nasi toh su­dah menjadi bubur.

“Heh, heh,” benar juga Coh Hen Hong lantas mengekeh gembira, “kiranya di gunung Tay-hong-san sini masih ada ko-jiu yang bermusuhan de­ngan Ceng- te-kiong. Sungguh menggembirakan se­kali, karena dengan begitu aku tak kesepian lagi. Lekas silakan dia keluar !”

Orang aneh Itu menyabut dingin, “Koh-cu­jin sedang keluar mengembara. Aku dapat mewakili beliau untuk mencabut nyawamu!”

Coh Hen Hong melirik Pui Tiok lalu tertawa mengakak, “Apakah benar mengembara? Atau takut berhadapan denganku? Soal itu tak mungkin dapat mengelabuhi aku, bukankah begitu Pui toako?”

Pucat seketika wajah Pui Tiok disebut de­ngan mesra oleh Coh Hen Hong.

“Sekalipun kalian tak bilang tetapi akupun tahu Juga. Aku akan menghajar telur busuk ini la­lu aku akan menggeledah seluruh lembah ini. Masa takkan menemukan koh-cujin. Hai, engkau bi­lang mau mencabut nyawaku, mengapa tidak lekas-lekas turun tangan?”

Orang aneh itu pelahan-lahan mengangkat tangannya keatas. Segulung angin keras yarg dingin segera menghambur keempat penjuru.

Pui Tiok yang berada di sampingnya tak luput dari hamburan angin dingin itu. Dia menggigil dan diluar kehendaknya terdorong mundur sampai beberapa langkah.

Tetapi Coh Hen Hong malah justru maju menghampiri. Sambil tertawa dia berseru, “Ha, ha, kiranya engkau punya ilmu setan dapat mengeluarkan

­kentut begini dingin, bagus !”

Tangan orang itu makin tinggi, gerakannya pelahan sekali. Pada lain saat tiba-tiba dia ayunkan tangannya, wut . . . menghantam kearah Coh Hen Hong.

Tahu bagaimana hebat pukulan orang itu maka Pui Tiok buru-buru mundur lagi beberapa langkah

“Bagus, hantaman yang bagus !” seru Coh Hen Hong gembira. Tetapi dia tak menghindar atau menangkis melainkan diam saja.

Ketika pukulan hampir mengenai tubuh Coh Hen Hong tiba-tiba orang aneh itu menghentikannya dan membentak, “Mengapa engkau tak membalas?”

“Bertempur dengan seorang kerucuk semacam engkau, kalau aku membalas, apakah aku masih ada muka bertemu orang ?” .

Orang itu mengekeh tawa dan pelahan-lahan telapak tangannya berobah hitam legam dan angin yang dihamburkan pun makin dingin. Dia memukul bahu Coh Hen Hong, plak . . .

Coh Hen Hong tergetar mundur selangkah. Bahwa pukulan orang aneh itu dapat mementalkan Coh Hen Hong selangkah ke belakang, benar-benar pukulan itu luar biasa hebatnya.

Tetapi ternyata dia sendiri juga menderita, malah lebih hebat dari Coh Hen Hong. Lebih dulu tubuhnya berguncang-guncang, wajahnya berobah kelabu. Lalu tangannya yang berwarna hitam tadi berobah putih. Dan terakhir, wut. . . tubuhnyapun mencelat sampai dua tiga meter dan jatuh ke tanah.

Tetapi dia tidak jatuh melainkan masih berdiri tegak. Tetapi pada saat itu juga, Coh Hen Hong membentaknya, “Hayo, mengapa tidak rebah saja!”

Aneh. Seperti menurut perintah Coh Hen Hong tubuh orang itu berguncang-guncang lalu bluk…. dia rubuh ke tanah.

“Cianpwe!” teriak Pui Tiok terkejut sekali. “Sudah, jangan dipanggil. Sekalipun

tenggorokanmu kering meimanggilnya, toh dia tak

dapat mendengar lagi,” Coh Hen Hong tertawa.

Pui Tiok tidak percaya, “Apakah dia. . . dia sudah mati?”

“Dia dapat memukul aku mundur selangkah, matipun dia tentu sudah puas!” kata Coh Hen Hong dingin.

Pui Tiok ternganga tak dapat omong apa-apa. Dia memandang orang aneh itu. Orang itu meregang napas. “Dia begitu tak berguna. Rupanya kepandaian koh- cujin juga terbatas.

Keringat dingin Pui Tiok mulai bercucuran sehingga tubuhnya basah kuyup. Setiup angin dari dalam lembah menghembus membuat dia merasa dingin sekali.

Coh Hen Hong dingin2 memandang pemuda itu. Tiba-tiba dia berteriak keras2, “Koh cujin, dimana engkau? Seorang anakbuahmu telah kubunuh.

Mengapa engkau tak keluar melihatnya?”

Melihat itu Pui Tiok makin bingung. Dia rastakan kedua kakinya lunglai dan akhirnya bluk dia

terus jatuh ngelumpruk di tanah.

Dia memang tak berhasil menemukan tempat persembunyian koh-cujin dan Beng Cu tetapi dia percaya kedua orang itu tentu masih berada dalam lembah. Dengan begitu tentu mereka dapat menangkap teriakan Coh Hen Hong. Pada hal mere­ka telah melakukan penyaluran tenaga-dalam dan tak boleh diganggu orang. Kalau mereka sampai mendengar teriakan Coh Hen Hong itu. . , . .

Memikir sampai disitu Pui Tiok tak berani melanjutkan renungannya lagi. Tetapi Coh Hen Hong masih tetap berteriak saja. Suaranya makin lama bahkan makin keras mengejutkan orang.

Pui Tiok yang menggeletak di tanah itu berusaha untuk bertahan diri. Dia hendak berseru te­tapi tak mampu. Entah berselang berapa lama dia berjuang Itu akhirnya dapat juga dia berteriak, “Hentikan teriakanmu !”

Tetapi suaranya lemah sekali bahkan ia sendiri tak dapat mendengarnya. Untung pendengaran Coh Hen Hong tajam sekali. Dia malah men­dengar seruan pemuda itu. Entah bagaimana dia menurut.

“Mengapa aku tak boleh berteriak ? Apakah koh- cujin itu tuli ?” serunya.

Dengan terengah-engah Pui Tiok menyahut, “Tidak

. . . bukan.”

“Baik,” kata Coh Hen Hong, “kalau begitu bawalah aku mencari koh-cujin.”

“Aku tak tahu dimana tempat mereka,” kata Pui Tiok tanpa sadar.

“Mereka ?” cepat sekali Coh Hen Hong yang tajam nalurinya menanggapi, “Mereka? Yang berada dengan koh-cujin siapa lagi ?”

Kembali Pui Tiok seperti disengat lebah. Saat itu dia baru menyadari kalau kelepasan omong. “Aku . . . aku tak tahu”.

Tetapi Coh Hen Hong menertawakannya. Tawanya melengking tajam sehingga seperti menu­suk-nusuk hati Pui Tiok.

Dia benar-benar mati kutu. Karena dari nada tawa Coh Hen Hong itu dia sudah dapat menduga apa yang sedang dipikirkan Coh Hen Hong. 

Puas tertawa Coh Hen Hong berkata pula. “lh, engkau benar tak tahu ? Aku tahu”.

Pui Tiok tak mau menjawab. Bahkan untuk beradu pandang dengan gadis itu dia tak berani. Dia hanya menunduk memandang tanah. Dia hendak bangun tetapi tanah dirasakan seperti terguling. Dia terpaksa merangkak dan memeluk segunduk batu besar.

“Dia adalah Kwan Beng Cumu, bukan ?” kembali suara Coh Hen Hong menghambur di-samping Pui Tiok.

Karena hendak menghindari ejekan itu, Pui Tiok nekad membenturkan kepalanya ke batu, duk… eh, saat itu dia malah lebih sadar pikirannya. Dia tak berani mengangkat kepala tetapi sekalipun menunduk dia tetap dapat merasa bahwa saat itu Coh Hen Hong tengah menghampirinya.

Pui Tiok tegang sekali. Kalau pada saat itu suara Ceng-te tidak berkumandang secara tiba-tiba, Pui Tiok benar-benar tak tahu berapa lamakah ia mampu mempertahankan diri dari kecamuk ketegangan saat itu.

Mendengar suara Ceng-te, hati Pui Tiok tergetar dan Coh Hen Hongpun hentikan langkahnya

Suara Ceng-te itu menghambur dari kejauhan tetapi dalam telinga Pui Tiok terdengar amat jelas sekali.

“Beng Cu, Beng Cu, jangan sekali-kali masuk ke lembah sempit itu !” Dia mengulangi teriakannya sampai tiga empat kali, Dan pada waktu teriakan yang terakhir Ceng-te pun sudah dekat. Nadanya bergetar kecemasan.

“Beng Cu, kalau engkau sudah terlanjur melintasi lembah sempit itu, jangan sekali-kali bertempur dengan orang, Jangan bertempur dengan orang yang engkau jumpai.”

Pui Tiok mengangkat muka memandang Coh Coh Heng. Tampak gadis itu mengangkat bahu seperti orang tak menggubris. Karena bukan saja telah melintasi lembah sempit dan datang kelembah, pun dia telah membunuh orang aneh tadi.

“Tunggu aku dulu Beng Cu, jangan berkelahi dengan orang,” kembali Ceng-te berseru pela­han- lahan.

Pada saat kumandang suaranya masih berge­muruh di lembah, sesosok tubuh melayang dari udara dan berdiri tegak dihadapannya. itulah Ceng-te, maharaja dunia persilatan.

“Engkau tab kena apa-apa ? Ah, lekas pergi, lekas, ai . , ” seru Ceng-te kepada Coh Hen Hong

“Aku tak kurang suatu apa,” sahut Coh Hen Hong, “adalah seorang anakbuah lembah ini yang tak tahu diri berani menantang aku. Waktu kupancarkan tenaga-tolak, ia terus putus nyawanya”

“Apa ?” Ceng-te berseru kaget.

Coh Hen Hong cibirkan bibir, “Engkong, tadi aku belum menerima perintahmu. Karena dia menyerang terpaksa aku mengerahkan tenaga-to­lak. Masa aku disuruh tinggal diam saja ? Aku terpaksa menyuruhnya merasakan kelihayanku “

“Ai, biarkan dia memukulmu dua tiga kali masa engkau takut ? Mana dia ?” dan tanpa menunggu jawaban Coh Hen Hong, Ceng-te memandang ke sekeliiing. Segera dia melihat sesosok tubuh menggeletak di tanah. Kemudian dia melihat juga Pui Tiok.

Ceng-te segera menghampiri ke mayat orang aneh itu! Baru melangkah dua tindak, dia berseru kaget. “Hah, Lo-jit !”

Coh Hen Hong heran tetapi dengan otaknya yang tajam segera dapat mengetahui perobahan sikap

Ceng-te yang begitu tegang, lain dari biasa-nya. Tentu serius sekali soal itu.

“Siapa Lo-jit itu ?” serunya cepat.

Ceng-te berpaling tubuh dan berseru, “Lekas engkau tinggalkan tempat ini.”

Tetapi Coh Hen Hong malah busungkan dada dan menolak, “Tidak, aku tak mau pergi, Ka­lau disekitar daerah Ceng-te-kiong aku tak bo!eh berkeliaran, apa guua aku belajar silat ?”

“Ai, engkau tak tahu.”

“Aku memang tak tahu, memang segala apa tak tahu,” bantah Coh Hen Hong, “tetapi mengapa engkau tak mau memberitahu kepadaku ?” Ceng-te gentak2kan kaki, “Akan kukasih ta­hu, tetapi sekarang maukah engkau pergi dan kembali ke Ceng-te-kiong dan jangan tinggalkan istana itu walau setengah langkah saja !”

Pui Tiok gembira. Sejak keluar dari Ceng-te-kiong dia memang mendongkol kepada Ceng-te maka waktu melihat Ceng-te begitu ketakutan se­tengah mati, dia gembira sekali.

“Tidak, aku tak mau pergi,” bantah Coh Hen Hong, “aku tak percaya kalau di jagad ini masih ada orang yang mampu melawan kita berdua. Kalau masih ada orang yang mampu melawan aku, apa guna aku berjerih payah belajar selama bertahun-tuhun ini?”

“Engkau bilang apa itu?” seru Ceng-te, “diatas gunung masih ada langit, orang yang sakti ma­sih ada yang lebih sakti. Siapa berani membanggakan diri kalau di dunia ini tak ada yang mampu menandinginya?”

“Aku!” teriak Coh Hen Hong dengan keras, “kubilang, akulah yang paling sakti di dunia ini!”

Ceng-te memandangnya beberapa jenak lalu berkata, “Bukan engkau yang paling nomor satu di dunia ini. Paling tidak kepandaianku masih le­bih tinggi dari engkau!”

Coh Hen Hong tergetar. Saat Itu dia menya­dari kalau salah bicara. Sesaat tak tahu dia akan bicara apa lagi.

Sementara Pui Tiok yang masih menggeletak di tanah segera menyelonong berseru, “itulah sebabnya maka engkau Ceng-te, merupakan duri dalam matanya. Cepat atau lambat, engkau pasti akan dibunuhnya karena dia sudah mempunyai rencana untuk melenyapkan engkau!”

Coh Hen Hong pucat. Cepat dia berseru, “Engkong, maksudku tadi adalah, kecuali engkau, akulah yang paling sakti. Bukankah kata-kata itu sama juga artinya?”

Ceng-te seperti tak menghiraukan peringatan Pui Tiok. Dia malah membelai-belai kepala Coh Hen Hong dengan penuh kasih sayang dan berkata lemah lembut, “Kalau begitu, engkau harus mendengar kata- kataku. Lekas kembali ke Ceng-te-kiong. Nanti setelah aku pulang akan kuberitahu kepadamu tentang persoalan ini.”

Coh Hen Hong tidak cepat menjawab melainkan diam menimang-nimang, apakah dia menurut perintah Ceng-te ataukah akan menolak.

Dia mempertimbangkan. Kalau dia pergi, tentulah Pui Tiok akan membeber semua rahasia tentang dirinya kepada Ceng-te. Dalam keadaan se­perti itu terang dia tak dapat membantah. Dan ke mungkinan besar Ceng-te tentu akan percaya pada keterangan Pui Tiok.

Tetapi kalau dia tetap tinggal disitu, tentu sukar bagi Pui Tiok untuk menyerang. Tetapi dia Juga merasa sukar untuk membantah apa yang dikatakan Ceng-te itu.

Akhirnya la memutuskan bahwa tak mungkin Ceng- te akan percaya begitu saja kepada omongan Pui Tiok. 

“Baiklah,” akhinya dia berkata, “aku akan pulang dulu tetapi engkau juga harus lekas pulang untuk memberitahu hal itu dengan jelas.”

“Ya, pergi lah lekas,” kata Ceng-te.

Setelah Coh Hen Hong pergi, Ceng-te mondar mandir sambil menggendong kedua tangan. Dia adalah tokoh nomor satu dalam dunia persilatan. Walaupun dia mondar mandir pelahan-lahan teta­pi hembusan tenaga dari gerakannya Itu cukup mengejutkan orang.

Tetapi yang jelas jago nomor satu itu rupanya tengah menghadapi kesulitan. Sementara Pui Tiok hanya memandangnya dingin2 dan tak mengganggunya. Dia hanya mengerahkan pernapasan untuk mengembalikan tenaganya. Beberapa waktu kemudian dia dapat merangkak, dengan menekan pada batu dia dapat berdiri.

Pada saat itu Ceng-te tiba dihadapannya dan memandangnya. Pui Tiok menyadari, jangan lagi saat itu dia sedang menderita luka, sekalipun tidak terluka tetap takkan dia mampu melawan Ceng-te. lbarat anai-anai hendak membentur api.

Tetapi pada saat itu dia malah tak takut apa-apa lagi. Dan bahkan memandang muka pada Ceng-te yang tampaknya seperti orang kehilangan faham.

Karena walaupun Ceng-te itu sakti tetapi pikirannya gelap tak dapat membedakan yang be­nar dengan yang salah, hitam dengan putih. Setetah saling berpandangan beberapa saat, Pui Tiok tak dapat menahan isi hatinya dan ter­tawa mengejek.

“Apakah engkau pernah bertemu koh-cujin?” tiba- tiba Ceng-te menegurnya.

Pui Tiok mengangkat kepala, menyahut, “Aku tak tahu.”

Ceng-te banting2 kaki, “Omongan apa itu? Aku bertanya kepadamu, apakah engkau sudah pernah bertemu dengan koh-cujin? Dan lagi me­ngapa hanya engkau seorang diri saja?”

“Itu kan tak menjadi soal,” sahut Pui Tiok dengan nada dingin, “bukankah engkau telah mengusir kami dari Ceng-te-kiong?”

Tiba-tiba Ceng-te menghela napas, “Budak kecil, engkau salah sekali. Apa engkau kira aku tak menganalisa yang engkau katakan di Ceng-te-ki­ong itu? Apa engkau kira bahwa nona yang eng­kau bawa kehadapanku Itu baru cucuku yang sebenarnya? Hm. engkau salah sangka!”

Pui Tiok mendengar jelas kata-kata Ceng-te itu. Tetapi dia seperti mendengar halilintar berbu­nyi di tengah hari, hampir dia tak percaya pada telinganya.

“Engkau . . engkau bilang apa ?” beberapa jenak kemudian baru Pui Tiok menegas,

“Segala yang terjadi aku tahu semua. Kutahu bahwa keteranganmu itu memang seratus persen benar semua”. kata Ccng-te. 

“Kalau begitu mengapa engkau …”

Sebelum Pui Tiok menyelesaikan kata-katanya Ceng-te sudah mengangkat tangan mencegahnya. Tetapi dia sendiri menghela napas dan tak berkata apa-apa.

Karena menunggu sampai beberapa jenak tak juga tokoh itu bicara maka Pui Tiok. lalu mendesaknya. “Kalau tahu bahwa omonganku itu benar semua, mengapa engkau masih membiarkan Coh Hen Hong tinggal di Ceng-te-kiong ? Mengapa engkau malah mengusir kami berdua?”

Ceng-te tak menjawab tetapi berbalik tanya lagi, “Pernahkah engkau bertemu koh-cujin ?”

Mengkal sekali Pui Tiok. Apa-apaan itu ! Dia bertanya, bukan dijawab malah dibalas dengan pertanyaan lagi. Jawablah pertanyaanku dulu,” serunya geram

Dengan tenang Ceng-te berkata, “Kalau koh cujin setiap saat muncul, keterangan yang akan kuberikan kepadamu tentu akan terputus setengah Jalan..!”

“Baik, aku akan memberitahu bahwa aku belum pernah bertemu dengan koh-cujin.” kata Pui Tiok, “dan lagi aku tak tahu dia berada dimana. Silakan engkau menerangkan saja, tak nanti dia akan muncul disini.”

Wajah Ceng-te berobah tiba-tiba, “Kalau begi­tu, dia. . . dia bersama dengan Kwan Beng Cu? kutahu, dia tentu sedang menyalurkan tenaga-saktj kepada Kwan Beng Cu!”

Mendengar Itu wajah Pui Tiok juga pucat. Dia hendak membantah tetapi kerongkongannya terasa terkunci sehingga tak dapat bicara apa 2.

Pelahan-lahan Ceng-te berputar tubuh. Rupa nya dia tahu di mana tempat koh-cujin karena selekas berputar tubuh dia terus lari ke muka sam­pai 10-an langkah dan berhenti di muka segunduk batu yang berbentuk persegi.

Kemudian dia menekan batu Itu dengan ke­dua tangannya. Sampai beberapa saat dia tak ber buat apa-apa lainnya melainkan hanya berulang kali menghela napas.

“Ceng te,” teriak Pui Tiok yang berada di be­lakang, “mengapa sudah tahu kalau nona yang ku-antarkan ke Ceng-te-kiong itu adalah cucu perempuanmu yang aseli, engkau malah mengusirnya?”

Ceng-te tetap diam dan tak mau berputar tubuh, melainkan menjawab. “Selama ini aku belum per­nah melihat cucu perempuanku. Begitu Coh Hen Hong datang kukira kalau dia adalah cucu perern­puanku. Bertahun-tahun lamanya dia tinggal bersamaku. tiba- tiba kutahu kalau dia bukan cucu perern­puanku yang sesungguhnya. Selama berkumpul be­berapa tahun itu, telah saling tumbuh rasa sayang.. “

“Sungguh tak kira kalau engkau sebagai tokoh yang begitu sakti, ternyata tak lebih dan tak kurang hanya seorang manusia tolol,” cepat Pui Tiok menukas. Ceng-te tertawa mengekeh, “Engkau salah memaki aku. Omonganku belum selesai!”

“Apakah engkau masih ada alasan lainnya?”

Tiba-tiba Ceng-te berbalik tubuh, “Memang ada sebuah alasan yang pokok. Alasan itu hanya aku seorang yang tahu. Bahkan Coh Hen Hong sendiri juga tak tahu. Akan kuberi tahu kepadamu!”

Pui Tiok memperhatikan bagaimana wajah Ceng-te tampak begitu gelap sekali, menandakan kalau soal yang hendak dibicarakan itu tentu amat pen­ting.

Maka diapun tak mau mengganggu dan mencurahkan perhatiannya.

Dengan tandas Ceng-te berkata, “Kepandai­an Coh Hen Hong sekarang sudah lebih unggul dari aku. Dia memang jago nomor satu di dunia Aku sudah tak mampu mengalahkannya !”

Kejut Pui Tiok bukan alang kepalang. Tiba-tiba dia merasa dukanya panas dan ubun-ubun kepalanya berdenyut-denyut keras sedang tubuhnya juga gemetar seperti orang kedinginan.

Entah berselang berapa lama, barulah dia dapat bicara. “Engkau bohong !”

Ceng-te tertawa getir, “Aku memang senang kalau kata-kataku itu tidak benar.”

Kembali Ceng te tertegun beberapa jenak baru berkata pula. “Selama bertahun-tahun aku ti­dak menyangsikan lagi kalau dia itu memang be­nar cucu- perempuanku. Aku sudah tua, isteriku telah meninggalkan aku. Anak perempuanku juga pergi. Pada saat hidupku menjelang senja, tiba-tiba datanglah cucu perempuanku. Coba engkau pikir, betapa girang dan bahagia hatiku saat itu. Dalam kegembiraan itu engkau tentu dapat membayangkan dengan cara bagaimana kugembleng dia de­ngan segala apa yang kumiliki.” Kerongkongan Pui Tiok mendahak.

“Walaupun engkau tak bilang tetapi kutahu kalau engkau tentu dapat memberi jawabannya. Bu­kan saja telah kuberinya mjnum bermacam-macam leng-yok dan pil dewa, pun pada waktu2 tertentu kuberikan penyaluran tenaga-dalam kepadanya. Be­berapa tahun yang lalu, tenaga-dalamnya sudah seimbang dengan aku.”

Sejenak berhenti, Ceng-te melanjutkan pula, “Dan lagi, akupun telah memberikan sepasang pedang Leng-liong-kiam kepadanya. Dengan memiliki sepasang pedang pusaka itu dia bagaikan harimau tumbuh sayap. Aku sendiri terus terang gentar terhadapnya. ilmu kepandaiannya sudah melebihi aku tetapi dia tak tahu hal itu.”

Ceng-te menghela napas panjang, “Untung dia tak tahu hal itu maka dia tak berani berbuat sembarangan. Tetapi kalau kupaksa dia dengan kekerasan, aku paling tahu sifatnya. Dia tentu akan menantang. Kalau hanya dengan mulut saja itu sih tak apa, tetapi kalau dia turun tangan, dia tentu segera tahu kalau ilmu kepandaiannya tak ada yang menandingi lagi. Pada waktu ”

“Jangan melanjutkan!” tiba-tiba Pui Tiok berte­riak tajam. 

Ceng-te hentikan keterangannya. Pui Tiok menganggap tak perlu Ceng-te meneruskan keterangannya. Dia sudah tahu. Kalau Coh Hen Hong sampai tahu hal itu dan dengan bekal sepasang pedang Leng-hong-kiam, bagaimana kalau akibatnya dia berontak terhadap Ceng-te, sudah dapat dibayangkannya.

Pui Tiok dan Ceng-te sama-sama diam. Beberapa saat kemudian baru Pui Tiok berkata, “Kalau be­gitu, tak ada jalan lagi untuk menghadapi dia ?”

Ceng-te menunduk tak menjawab.

“Atau seperti yang engkau katakan tadi bah­wa karena sudah berkumpul beberapa tahun maka diantara kalian berdua telah timbul ikatan kasih sayang, sehingga engkau tak sampai hati menidaknya

?” desak Pui Tiok lebih lanjut.

“Terserah engkau mau mengatakan bagaima­na tetapi jelas kita tak dapat mendesaknya dengan kekerasan dan tak boleh sekali-kali menempurnya”

Pui Tiok tertegun tak dapat berkata.

Dia benar-benar tak pernah menyangka bahwa setelah memiliki pedang pusaka Leng-long-kiam. Coh Hen Hong tak ada yang mampu melawannya lagi sekalipun Ceng-te sendiri.

Hal itu bukan Pui Tiok saja, bahkan Coh Hen Hong sendiri juga tak pernah menyangka. Beberapa saat kemudian tiba-tiba Pui Tiok teringat, katanya, “Ceng-te, kalau begitu ilmu kepan­daian pemilik Lembah Maut ini apakah tidak sakti sekali ?”

Wajah Ceng-te menampakkan kerut tak senang.

Rupanya ia tak menghendaki membicarakan soal itu. ia seperti tak mendengar dan hanya bicara pada diri sendiri lalu ayunkan langkah keluar.

“Hai, mengapa pergi ? Cucu perempuanmu yaag sebenarnya, apakah engkau tak menginginkan lagi ?” seru Pui Tiok.

Ceng-te berhenti Pui Tiok maju dua langkah dan berseru, “Beng Cu berada dalam lembah ini!”

Ceng-te mengangguk, “Kutahu. Tetapi dia sudah mendapatkan neneknya. Aku . . untuk sementara ini tak ingin bertemu dengannya !”

Bukan kepalang kejut Pui Tiok mendengar keterangan itu.

“Apa ? Apa katamu ? Apa itu pohpoh (nenek) diri Beng Cu,” teriaknya penuh ketegangan.

Tetapi pada saat Pui Tiok mengucapkan kata terakhir ternyata Ceng-te sudah melesat pergi. Se­kali melesat dia sudah tiba di mulut lembah dan pada lain saat melesat lenyap keluar.

Tinggal Pui Tiok seorang diri yang masih terlongong2 seperti patung. Beberapa saat kemudi­an agak tenang dan meraungkan kata-kata Cang-te tadi. Kembali jantungnya berdetak keras. Nenek dari Beng- Cu? Kalau begitu bukankah Ceng-te hendak mengatakan bahwa pemilik dari Lembah Maut Ini adalah nenek dari Beng Cu sendiri? Ka­lau begitu koh- cujin itu tak lain adalah isteri dari Ceng-te!

Dalam dunia persilatan, Ceng-te seperti dinobatkan sebagai maharaja. Tak ada seorang persilatan yang tak takut kepadanya. Bahwa selama ini Ceng te agak jeri terhadap pemilik Lembah Ma­ut tentulah ada sebabnya. Dan kalau ternyata pe­milik Lembah Maut itu adalah Isteri Ceng-te sendiri, memang bukan suatu hal yang mustahil!

Setelah merenung beberapa saat, Pui Tiok ayunkan langkah dan tak terasa telah tiba di hadapan batu pesegi tempat Ceng-te berhenti tadi.

Tadi Ceng-te terus kembali tak melanjutkan langkahnya. Tentulah karena jeri. Dan Pui Tiok duga batu pesegi itu tentu ada apa-apanya. Dia pun lantas menerkam batu itu.

Batu pesegi itu setinggi setengah badan orang, sudah tentu berat sekali. Pui Tiok coba mendorong, tentu tak berguna. Tetapi tidak. Begi­tu tangannya baru mulai mendorong, batu itu ber gerak sendiri. Sudah tentu Pui Tiok heran. Dia mengendapkan diri dan mendorong sekuatnya.

Saat itu lukanya belum sembuh benar. Walau pun dia menggunakan sepenuh tenaga tetapi tenaganya juga tak berapa kuat. Pui Tiok tahu akan hal itu.

Tetapi diluar dugaannya. Bukan saja bergerak, pun batu itu berputar ke kanan, bahkan Pui Tiok sendiri juga ikut terseret ke kanan sampai bebera­pa langkah. Pui Tiok terkesiap. Karena takut akan menghadapi hal-hal yang tak terduga maka diapun cepat-cepat menyurut mundur.

Krek, krek, krek . . . seketika terdengar su­ara berderak-derak dari bawah tanah. Kini Pui Tiok baru mengerti apa yang terjadi. Dia menyadari mengapa sampai beberapa hari tinggal di lembah itu dia tak dapat menemukan tempat tinggal koh-cujin dan Beng Cu. Ternyata koh-cujin dan Beng Cu tinggal di bawah tanah. Satu pesegi itu merupakan jalan rahasia yang menembus ke bawah tanah.

Beberapa saat kemudian, batu besar ter­siak oleh sebuah puncak tiang yang pelahan-lahan naik keatas, dari bawah tanah. Setelah menjulang lebih kurang setengah meter, baru berhenti.

Setelah batu menyungkit keatas, dibawahnya terdapat sebuah lubang seluas setengah meter. Ka­lau merangkak kedalam lubang itu tentu dapat menyusup kedalam

Untuk beberapa saat Pui Tiok masih ragu2. Kalau dia masuk tentu akan mengganggu upaya koh cujin yang tengah menyalurkan tenaga-saktj kepada Beng Cu. Namun dia menyadari bahwa setiap saat Coh Hen Hong akan kembali lagi. Pada saat itu dia tentu akan ketangkap apabila tidak masuk kedalam lubang dibawah tanah itu. Maka setelah mempertimbangkan beberapa jenak akhirnya dia melorot turun ke dalam lubang dan mulai merangkak ke muka.

Pada saat tubuhnya sudah masuk kedalam lubang semua, kakinya seperti menginjak sesuatu dan seketika terdengar bunyi berderak-derak. Batu besar yang terangkat oleh tiang tadi kini mulai tu­run ke bawah lagi. Sudah tentu Pui Tiok terkejut sekali dan terus lepaskan pegangannya pada mulut lubang. Bluk

. . . walaupun tidak terluka karena jatuh itu, tetapi dia tetap meringis juga karena kesakitan.

Karena batu besar menutup lubang maka ke adaan dalam lubang itu gelap sekali. Pui Tiok berusaha duduk. Celakanya dia tak membekal korek. Apa boleh buat dia hanya meraba-raba kian kemari. Beberapa waktu kemudian baru berhasil meraba dinding lubang.

Dinding lubang lembab dan dingin seperti es Dengan memegang dinding itu dia berdiri. Kare­na sudah beberapa waktu dalam kegelapan, kini dia sudah terbiasa dan dapat melihat keadaan di tempat itu.

Dilihatnya pada ujung lubang terdapat sebu­ah jalan terowongan. Bagian dalam dari terowongan itu pada ujungnya seperti terdapat dua petik sinar. Pui Tiok lalu menyusur maju.

Terowongan itu panjangnya sekitar dua tombak. Ketika Pui Tiok tiba di tempat sinar penerangan itu, begitu mengawasi dengan seksama, kejutnya bukan kepalang.

Ternyata penerangan itu berasal dari sepa­sang mata dari seekor ular besar berkulit lima warna. Dan saat itu ular tengah melingkar, mengang­kat kepalanya tinggi2, memandang Pui Tiok.

Dibelakang ular besar itu tampak sebuah pintu batu. Melihat lingkar tubuhnya, ular itu tak kurang dari 3- 4 tombak panjangnya. Jangan lagi sa­at itu dia belum sembuh sama sekali, sekalipun dalam keadaan sehat tetap dia tak mampu melawan ular itu. Diam-diam dia bersyukur karena ular itu ti­dak mengganasnya. 

Buru-buru Pui Tiok mundur beberapa langkah te­tapi kepala ular itu agak ditinggikan lagi.

Tiba-tiba dari belakang pintu batu terdengar su­ara seorang nenek, “Apakah itu si Jelek ? Lekas kemari, lekas “

Bukan saja gupup pun terdengar napas ne­nek itu terengah-engah. Pui Tiok tak tahu siapa yang dimaksud de­ngan si Jelek itu. Tetapi karena suara itu berasal dari belakang pintu batu, tentulah nenek itu pemilik Lembah Maut. Dia duga yang dipanggl si Je­lek itu tentu orang aneh yang telah binasa di ta­ngan Coh Hen Hong.

Dari nada nenek itu, tampaknya dia sedang dalam kesulitan. Sudah tentu Pui Tiok senang se­kali kalau dapat membantu. Tetapi bagaimana dia dapat ke sana kalau dihadang oleh seekor ular sebesar itu ?

Dia ingin menerangkan kepada koh-cujin, kalau dia bukan si jelek. Tetapi dia ragu. Kalau dia menerangkan begitu apakah tidak mengakibatkan pekerjaan koh-cujin akan kacau karena pikirannya terganggu.

“Si Jelek, apa engkau masih tak lekas masuk kemari?” tiba-tiba nenek koh-cujin itu berseru pula. Karena mengangap keadaannya gawat, Pui Tiok tak sempat berpikir lebih panjang lagi dan terus menyahut, “Cianpwe, aku bukan si Jelek.”

Diluar dugaan nenek itu berseru dengan ter-engah- engah, “Tak peduli engkau ini siapa, lekaslah masuk kemari.”

“Tetapi. . . tetapi. . . dimuka pintu ada se­ekor ular besar.”

“Jangan takut. Setelah mendengar suaraku, dia pasti takkan mencelakai engkau. Lekas masuk.” Pui Tiok kokohkan nyali terus maju. Ketika lewat di samping ular besar itu tak urung dia menggigil Tetapi dia berhasil tiba dimuka pintu lalu mendorong dan terbukalah pintu itu.

Didalam pintu itu merupakan sebuah ruangan ba­tu yang lebar. Tetapi tak ada apa-apanya kecuali hanya sebuah dipan batu. Sesosok tubuh berbaring diatas dipan batu itu. Dia tak lain adalah Kwan Beng Cu.

Tubuhnya dibungkus dengan kain hitam tetapi kepalanya tersembul keluar. Kare­na pakaiannya hitam, wajahnya tampak makin pucat seperti salju, Dan kedua matanya tertutup rapat. Sepintas seperti orang mati.

Kejut Pui Tiok bukan kepalang karena keadaan itu tidak seperti yang dibayangkannya.

Dia membayangkan dalam beberapa hari Ini Beng Cu tengab menerima saluran tenaga-sakti sehingga kepandaiannya kini sangat maju sekali. Tetapi ternyata tidak demikian. Beng Cu se­perti mayat. Cepat dia lari menghampiri dan hendak menjamahnya.

“Jangan menyentuhnya,” tiba-tiba nenek itu ber­seru melarangnya.

Pui Tiok terkejut dan sadar dan cepat hentikan tangannya. Saat itu dia baru tahu bahwa pada lain sudut terdapat sebuah tempat duduk batu diam seorang nenek kurus berambut putih tengah duduk. Tubuhnya menggigil keras.

Sebagai seorang murid dari guru ternama, dia tahu apa artinya itu. Serentak kedua kakinya melentuk lunglai dan terus ambruk.

Nenek itu memang berkepandaian sakti tetapi saat itu tengah menderita kesulitan besar. Meni­lik keadaannya nenek itu tengah mengalami bahaya karena saluran tenaga-murninya menjurus kearah jalan darah yang sesat. Adalah karena kepandaiannya tinggi maka dia masih dapat bertahan.

Kalau saja Pui Tiok tidak terluka-dalam, dia tentu segera membantunya. Tetapi keadaannya saat itu belum mampu. Sedang si Jelek yang dimaksud nenek itu dapat memberi bantuan, sudah binasa. Beng Cu pingsan belum sadarkan diri. Lalu ba­gaimana?

Saking gugup tetapi tak dapat berbuat apa-apa. Pui Tiok mengucurkan keringat dingin, “Engkau….engkau suruh aku membantu bagaimana?”

“Kemarilah… engkau… kemarilah,” kata nenek itu tersendat-sendat. 

Pui Tiok cepat menghampiri.

“Lekatkan dan tekan keras2 jalandarah Leng-tay- hiap pada punggungku,” kata nenek itu.

Pui Tiok berputar ke belakang lalu melekatkan tangannya Kepada punggung nenek itu. Tetapi saat itu tenaga-murni si nenek tengah bergolak ke­ras sehingga menimbulkan getaran angin. Sebelum tangan Pui Tiok dapat menjamah, sudah ditolak oleh getaran tenaga itu sehingga tak dapat maju.

Pui Tiok tertawa getir, “Aku. .. terluka be­lum sembuh betul sehingga tak mempunyai tenaga melekatkan tanganku.”

Nenek itu makin menggigil keras, serunya, “Kalau begitu berdirilah bersandar pada dinding…. lalu ulurkan tanganmu kearah punggungku, nanti aku yang akan merapatkan punggungku ketanganmu.”

Pui Tiok terkesiap. Bukankah dengan cara begitu berarti dia akan menderita tekanan tenaga kuat dari nenek itu?

Tetapi dia melihat bahwa keadaan nenek Itu memang gawat sekali dan harus lekas-lekas ditolong. Maka diapun segera maju dua langkah, bersandar pada dinding lalu ulurkan tangannya mengarah pa­da punggung si nenek.

Tiba-tiba tubuh nenek itu menggeliat ke atas dan punggungnya terus merapat ke tangan Pui Tiok. Sa­at itu Pui Tiok seperti tak dapat bernapas. Dan lengannyapun mengerut ke belakang sehinga siku lengannya membentur dinding. Walaupun sakit tetapi karena terhalang dinding maka lengannya tak dapat di surutkan ke belakang lagi. Padahal tekanan tenaga dari gerakan tubuh nenek itu makin keras sehingga dia rasakan tulang-tulang lengannya se­perti putus. 

Sakitnya bukan alang kepalang.

Tetapi saat itu tangannya tinggal terpisah ti­ga dim dari punggung si nenek. Tiba-tiba Pui Tiok rasakan terjadi suatu perobabahan aneh pada hamburan tenaga nenek itu. Kalau tadi tenaga itu melanda dan menekan tetapi sekarang berbalik ialah memancarkan tenaga-sedot yang kuat, plak tangan Pui Tiok pun

segera melekat pada pung­gung nenek itu.

Begitu melekat segera dia rasakan jalandarah lo- kiong-hiat pada telapak tangannya seperti ditusuki ribuan jarum. Sakitnya bukan kepalang Dia menjerit dan hendak menarik tangannya. Tetapi saat itu tangannya seperti lengket dan tak dapat ditarik lagi. Pui Tiok menjerit-njerit kesakitan. Dia tak merasakan sakit lagi karena dia pingsan.

Sayup-sayup antara sadar dan tak sadar, dia merasa tubuhnya seperti dirayapi oleh ribuan ular. Ih, gatal sekali sehingga dia hendak berjingkrak-jingkrak.

Ketika membuka mata Pui Tiok rasakan derita gatal yang tak terperikan itu, seperti benar-benar terjadi.

Badannya basah kuyup mandi keringat. Be­lum pernah sepanjang hidupnya Pui Tiok merasa menderita sakit yang sehebat itu. Dia benar-benar tak berdaya sama sekali.

“Salurkan tenaga-murni menurut pelajaranmu, tiba? nenek itu berseru. 

Pui Tiok seperti disadarkan. Dia terus duduk.

Memang semula untuk duduk tenang saja rasanya susah tetapi dia sadar bahwa kalau dia sampai tak mampu akibatnya tentu berbahaya sekali. Akan menyangkut urusan yang besar. Maka dia paksakan diri untuk menyalurkan tenaga-murni.

Setelah satu kali melakukan penyaluran dan tenaga-murni itu beredar ke seluruh tubuh, Pui Tiok rasakan sakitnya berkurang sehingga dia da­pat menarik napas panjang.

Pui Tiok makin gairah. Dia terus menyalurkan peredaran tenaga-murninya sampai berpuluh kali. Dan makin lama dia makin merasa kalau tenaga-murninya mencongklak keras seperti kuda liar. Tetapi dia dapat menguasainya dengan sempurna.

Diam-diam Pui Tiok gembira sekali. Hal itu menandakan kalau dalam waktu beberapa saat itu tenaga-saktinya Juga bertambah hebat.

Juga telapak tangan yang dirasakan sakit se­perti ditusuki jarum itu juga hilang dan berganti dengan daya sedot yang kuat. Bagaikan gelombang arus yang melanda, dia menyedot suatu arus tena­ga-sakti kedalam-tubuhnya.

Pui Tiok tak sempat memikirkan apa-apa lagi. Dia hanya tenangkan pikiran pusatkan Semangat untuk menyedot tenaga-murni itu kedalam tubuh­nya.

Beberapa saat kemudian dia telah mencapai tingkat kehampaan yang bulat. Dia tak teringat dan tak memikirkan segala apa lagi. 

Entah berlangsung berapa lama, plak. . . tahu-tahu dia seperti di tampar dan terjaga dari kehilangan diri.

Buru-buru dia memandang ke muka. Dia masih duduk ditanah dan tangannyapun masih menjulur tetapi nenek itu tudah tak tampak lagi.

“Oah…..” sekonyong-konyong dia berte­riak kaget ketika melihat nenek itu masih berada di hadapannya tetapi tidak duduk lagi, melainkan tidur melingkarkan tubuh.

Melihat itu dan teringat akan peristiwa yang dialaminya tadi ketika dia menyedot tenaga murni sakti kedalam tubuhnya, seketika tergetarlah hati-nya Buru-buru dia membungkuk untuk memeriksa keadaan nenek itu.

Mulut nenek Itu masih mengeluarkan napas tetapi lemah sekali. Hati Pui Tiok makin sendu.

“Cianpwe hendak pesan apa lagi?” cepat dia bertanya.

Setiap orang yang belajar silat tentu tahu bahwa kalau orang sudah dalam keadaan seperti koh-cujin yalah menghembuskan napas panjang, tentulah orang itu tengah meregang jiwa. Oleh karena itu maka Pui Tiok cepat meugajukan pertanyaan.

Mendengar itu bibir koh-cujin tampak bergerak- gerak seperti hendak bicara. Tetapi rupanya tenaga- murninya telah habis. Ibarat lampu, dia sudah kebabisan minyak. Pui Tiok cepat tempelkan telinganya ke mulut koh- cujin untuk mendengar apa yang hendak dikatakannya. Tetapi dia tak mendengar apa-apa lagi kecuali hanya merasakan segelombang hawa hangat menghambur dari mulutnya. Hawa terakhir yang terhembus dari jasadnya.

Pui Tiok termangu-mangu beberapa jenak lalu bangun.

Koh-cujin telah meninggal dunia. Dia tentu hendak meninggalkan pesan tetapi karena kehabisan tenaga maka tak dapat mengutarakannya.

Kemudian Pui Tiok berpaling kearah Beng Cu. Tampak wajah nona itu pucat lesi. Pui Tiok lalu menghampiri.

“Beng Cu, Beng Cu. . !” dia berulang memanggilnya tetapi Beng Cu tetap diam tak bergerak.

Pui Tiok hendak meraba jidat nona itu te­tapi pada lain saat dia teringat bahwa tadi waktu dia hendak menjamahnya telah dilarang oleh koh-cujin.

Tentu ada sebabnya maka koh-cujin melarang itu.

Lalu bagaimana, apakah dia membiarkan Beng Cu begitu saja atau akan dirabanya untuk mengetahui bagaimana keadaannya.

Dalam kebimbangan, pelahan-lahan tangan­nya menjulur kemuka. Tetapi pada waktu terpisah satu meter dari kepala nona itu, dia rasakan kepala Beng Cu menghambur hawa dingin sehingga dia menggigil kedinginan. Kejut Pui Tiok bukan kepalang. Setelah habis menyedot tenaga-murni dari koh-cujin tadi, walaupun belum pernah mencoba sampai dimana tingkat tenaga-saktinya sekarang tetapi dia tahu kalau tenaga-dalamnya telah meningkat sampai pada tataran yang tinggi sekali.

Bahwa dengan memiliki tenaga-dalam yang hebat toh masih dapat digetar kedinginan oleh hamburan hawa dari jidat Beng Cu, tentulah Beng Cu itu sudah beku seperti es.

Memikir sampai disitu, tangan yang menjulur ke muka tadipun melentuk lunglai. Keringat dingin bercucuran dan mulut serasa terkancing. Dia hen­dak memanggil tetapi tak dapat bersuara lagi. Ia tak menyangka kalau Beng Cu sudah meninggal.

Dia nekad masuk kedalam terowongan dibawah tanah untuk mencari Beng Cu dan dia membayangkan kalau koh-cujin tentu sedang menyalurkan tenaga- sakti ketubuh Beng Cu. Dengan begitu Beng Cu pasti memiliki tenaga-dalam yang sakti.

Tetapi apa yang didapatinya benar-benar tidak seperti yang dibayangkan. Koh-cujin telah meninggal karena kehabisan tenaga-murni. Pemilik Lembah Maut itu telah menyalurkan seluruh tenaga-murninya kepadanya. Tetapi Beng Cu juga menderita. Dalam keadaan tubuh membeku dingin seperti es itu, kebanyakan, Beng Cu tentu sudah meninggal juga.

Entah berselang berapa lama Pui Tiok menggigil gemetar itu, barulah ia tenangkan pikirannya. Setelah tenang diapun dapat berpikir. Kalau benar Beng Cu sudah meninggal, tentu setelah tangan­nya menyentuhnya baru dia terasa kedinginan Tetapi tadi jelas tidak demikian. Tangannya ma­sih kurang satu meter dan tubuh Beng Cu dan ia sudah dilanda hawa yang amat dingin. Jelas hawa dingin itu tentu hawa- murni dari tubuh Beng Cu, yang sedang beredar mengalir ke seluruh tubuh. Dengan begitu . . . jelas Beng Cu masih hidup. Ya, Beng Cu tentu balum mati.

Seketika Pui Tiok teringat akan sebuah alat tong-kia (kaca tembaga). Alat itu akan didekat-kan ke ujung hidung Beng Cu untuk memeriksa apakah Beng Cu masih bernapas atau tidak.

Dengan seksama dia memperbatikan hasil uji cobanya itu. Ternyata tong kia itu pelahan-lahan mengembang hawa air yang lama kelamaan beku menjadi butir air.

Pui Tiok menyimpan tong-kia itu lagi dan tertawa getir. Ternyata percobaannya itu gagal. Ia tak dapat mengetahui pasti apakah Beng Cu masih hidup atau sudah mati.

Memang hidung Beng Cu mengeluarkan ha­wa pertanda kalau masih hidup. Tetapi hawa itu dingin sekali dan ketika membentur kaca lalu me­nguap dan merekah menjadi air. Suatu hal yang tak mungkin dihembuskan oleh orang yang masih hidup

Pui Tiok benar-benar kehilangan paham, tak tahu bagaimana keadaan yang sebenarnya dan Beng Cu saat itu.

Satu-satunya hal yang dapat menghibur hati-nya yalah walaupun wajah Beng Cu pucat seperti mayat tetapi penampilannya begitu tenang sekali. Kalau memang menderita kesakitan, tentulah wajahnya akan menampakkan kerut2 menahan sakit,

Akhirnya Pui Tiok memutuskan untuk menjaga disitu. Tetapi tiga empat jam kemudian, didapatinya keadaan Beng Cu masih sama.

Pui Tiok menghela napas rawan. Dia tinggalkan ruang di bawah tanah itu dan keluar Dia membuat sebuah liang di tengah lembah. Lebih dulu dia mengubur jenasah orang aneh yang disebut si Jelek. Lalu kembali masuk ke bawah tanah dan mengangkut jenasah koh-cujin untuk dikubur dengan baik.

Ketika dia kembali ke dalam gua di bawah tanah lagi ternyata sudah tiga jam lamanya dia bekerja untuk mengubur kedua jenasah itu.

Saat itu Pui Tiok makin yakin kalau dia bertambah tinggi tenaga-dalamnya. Waktu dia menggali lubang tadi dan mengubur kedua jenasah, dia mengangkat batu seberat seribuan kati dengan mudah sekali.

Sekalipun begitu dia tak berani membayangkan bahwa tenaga-dalamnya sekarang dapat menandingi Coh Hen Hong.

Setelah kembali masuk ke dalam ruang dibawah tanah, dia menjaga lagi di muka dipan batu. Kwan Beng Cu pun tetap tak bergerak. Karena letih dan ngantuk, Pui Tiok lalu berbaring dan tidur

Entah berselang berapa lama, tahu-tahu dia merasa dikejutkan mendengar suara Beng Cu mengerang. Dia cepat mengangkat kepala. Tampak wajah Beng Cu semakin pucat dan putih seperti salju. Matanya tetap merapat tetapi bibirnya bergerak-gerak merintih- rintih.

Pui Tiok hendak membuka mulut tetapi kalah dulu dengan mulut Beng Cu yang merintih lemah, “Aku , . . panas, aku . . panas sekali . . “

Pui Tiok terkejut sekali. Jelas tubuh Beng Cu menghambur hawa sedingin es sehingga membuatnya (Pui Tiok) menggigil kedinginan. Tetapj mengapa Beng Cu bilang kalau kepanasan ?

“Beng Cu, bagaimana engkau ini ?” cepat ia berseru.

Rupanva Beng Cu seperti tak mendengar kata-kata Pui Tiok. Dia mulai terengah engah napasnya Pui Tiok ulurkan tangan kemuka hidung. Hidung Beng Cu mengeluarkaa hawa yang dingin sekali sehingga tangan Pui Tiok seperti membeku.

Pui Tiok makin gugup. Tubuhnya begitu dingin tetapi mengapa mengeluh kepanasan? Tentulah kare­na hawa luar dan dalam tubuh tak sesuai jalannya. Hal Itu berbahaya sekali. Dia harus lekas- lekas membantu untuk menormalkan hawa-murni nona itu.

Pui Tiok terus ulurkan tangan untuk memegang leher Beng Cu dan hendak didudukannya. Se­telah itu baru dia akan menyalurkan tenaga-dalam ke punggung nona Itu.

Tetapi ketika tangannya menjamah tengkuk Beng Cu, segulung hawa dingin menerkam tangannya terus menebar ke seluruh tubuh sehingga giginya bergemerutukan dan tenaganya lunglai.

Pui Tiok berjuang keras menghimpun tenaga-dalam untuk mengangkat tubuh Beng Cu. Ketika berhasil dia malah terkejut bukan kepalang. Ternyata Beng Cu tak dapat bergerak karena telah membeku seperti es. Dan ketika dibedirikan, Beng Cu tak ubah seperti sebuah mumi atau mayat yang dibalsem

Pui Tiok makin ketakutan. Kalau dia akan tetap mengangkat tubuh Beng Cu, jelas nona itu tentu akan menderita bahaya. Dan kalau mau memberdirikan tubuh nona ini berarti dia akan memegang tubuhnya. Bukankah tadi kohcujin telah melarangnya menjamah tubuh nona itu?

Teringat akan hal itu Pui Tiok pelahan-lahan meletakkan tubuh Beng Cu lagi. Dia duga tentulah koh-cujin telah memberi minum obat mujijad ke­pada Beng Cu. Atau mungkin menyalurkan tenaga aneh kedalam tubuh Beng Cu. Sudah tentu tujuan koh-cujin hendak menempa Beng Cu menjadi se-orang manusia baru yang sakti. Tetapi kalau rencana itu tidak menurut seperti yang diharapkan, tentulah Beng Cu akan. . . .

Berpikir sampai disitu Pui Tiok tak berani melanjutkan lagi. Setelah pikirannya melayang-layang kian kemari tiba-tiba dia teringat sesuatu. Ya, mengapa dia tidak meminta bantuan Ceng-te Tak mungkin Ceng-te tak tahu akan keadaan Beng Cu.

Serentak timbul niatnya mencari Ceng-te ka­rena hanya tokoh itulah yang akan dapat menolong keadaan Beng Cu. 

Memang kalau mencari Ceng-te, kemungkinan besar dia tentu akan bertemu dengan Coh Hen Hong. Tetapi dia sudah membulatkan tekad. Asal dapat bertemu Ceng-te dan memberitahukan tentang keadaan Beng Cu, biarlah dia akan menderita bahaya apa saja dia tak menghiraukan.

Begitulah dia lalu keluar dari ruang dibawah tanah itu dan menuju ke lembah. Dengan berlarian dia melintasi lembah sempit. Tetapi baru kelu­ar dari situ tiba-tiba di samping sebatang pohon tampak melihat sesosok bayangan. Orang itupun berhenti.

Rasanya Pui Tiok sudah kenal dengan orang itu.

Salah seorang anakbuah istana Ceng-te-kiong. Waktu dia hendak berseru menegurnya ternyata orang itu sudah tertawa gelak-gelak.

“Bagus budak kecil, engkau juga lolos kelu­ar ? Apa engkau masih tak mau ikut aku kembali ke Ceng-te- kiong untuk menerima keputusan siau-cujin ?” serunya.

Segera Pui Tiok tahu kalau orang itu adalah orang kepercayaan Coh Hen Hong yang diperintah untuk mencarinya.

Habis berkata orang itu terus loncat maju dan menerkarn Pui Tiok.

“Tak perlu dipaksa,” seru Pui Tiok seraya memberi isyarat tangan, “aku dapat berjalan sendiri. Memang kutahu kalau tak dapat lolos.”

“Ho, ternyata engkau kenal selatan,” seru orang itu. 

Pui Tiok tak mau menjawab melainkan ter­tawa dingin.

“Hayo, engkau jalan di muka,” seru orang itu pula.

Marah sebenarnya Pui Tiok atas perlakuan orang yang sekasar itu. Tetapi karena dia perlu harus dapat tiba di Ceng-te-kiong maka diapun diam saja.

Orang yang berjalan di belakangnya, tak henti- hentinya membentak-bentak, sebentar memberi perintah biluk ke kanan sebentar ke kiri. Beberapa jam setelah melintasi tikung dan ketuk dipegunungan baru melintasi sebuah lembah sempit yang panjang dan biluk ke sebuah air-terjun kemudian tiba di sebuah lembah.

Tiba disitu hati Pui Tiok berdebar keras ka­rena dia sudah melihat bangunan Ceng-te-kiong.

Pintu gerbang istana itu tertutup rapat, memancarkan warna yang berkilau-kilauan kuning emas.

Begitu tiba di muka pintu gerbang, orang itu terus memegang bahu Pui Tiok. Ibu jarinya ditekankan pada jalan darah bian-keng-hiat pemuda itu

Diam-diam Pui Tiok menimang. Sekalipun jalan darahnya dikuasai tetapi dia percaya tenaga-dalam nya saat itu mampu menolak jari orang. Dia biarkan saja dirinya didorong ke muka pintu gerbang dan pada lain saat pintu dibuka orang. “Hai, engkau dapat menemukannya?” seru penjaga pintu.

Orang tadi m nglakan.

“Bagus, sudah lama kongcu menunggu. Kali ini kita berdua tentu bakal mendapat ganjaran be­sar,” seru penjaga pintu pula.

“Ho, aku yang mendapatkan, apa hubungannya dengan engkau,” seru orang yang menggiring Pui Tiok.

Karena berebut Jasa, kedua anakbuah Ceng-te- kiong itu bertengkar. Diam-diam Pui Tiok menimang. Kedatangannya ke situ adalah hendak menemui Ceng- te tetapi rupanya anakbuah Ceng-te-kiong itu hendak mengantarkan dia kepada Coh Hen Hong. Kalau sudah bertemu Coh Hen Hong, mana dia mendapat kesempatan bertemu Ceng-te lagi?

“Tunggu dulu,” serunya, “aku perlu menghadap Ceng-te.”

“Hm, kalau berada di Ceng-te-kiong, mana engkau boleh menurut sesuka baumu,” penjaga menggeram.

“Aku perlu bertemu Ceng-te karena ada urusan penting sekali. Lekas bawa aku kepadanya.” seru Pui Tiok dengan nada sarat.

“Kentut!” teriak penjaga itu terus menampar muka Pui Tiok.

Bukan Pui Tiok tak mau bersabar tetapi dia menyadari kalau dia terus menerus menurut saja, malah akan mengabaikan urusanya yang penting dengan Ceng-te.

Maka begitu tangan orang mengayun diapun dia terus menerkam pergelangan tangan orang. Orang itu terkejut. Bukan saja melihat Pui Tiok berani melawan pun karena gerakan anakmuda itu luar biasa cepatnya. Baru dia tertegun atau pergelangan tangannya sudah kena dicengkeram Pui Tiok.

Orang itu sebenarnya termasuk salah seorang Jago sakti dari istana Ceng-te-kiong. Walaupun ta­ngan kanan kena dicengkeram, tetapi tangan kirinya masih dapat bergerak. Wut dia terus manghantam Pui

Tiok.

Pui Tiok miringkan tubuh. Selain dapat menghindar, pun dia dapat menyeret orang itu terhuyung dua langkah ke muka.

Karena diseret, pukulannya berbalik mengarah pada lain sasaran yaitu kepada orang yang berada di belakang Pui Tiok.

Krak orang di belakang Pui Tiok terkejut

karena tak menyangka akan mendapat serangan be­gitu. Cepat dia menangkis.

Tepat pada saat kedua anakbuah Ceng-te-kiong beradu pukulan sendiri, Pui Tiokpun cepat melontarkan penjaga pintu yang dicengkeram ta­ngannya itu ke pintu.

Karena dikuasai pergelangan tangannya, te­naga penjaga itu lenyap dan dia seperti bola yang dilempar ke pintu, bruk . . . 

“Bagus, budak, engkau punya modal juga,” seru orang yang menggiring Pui Tiok tadi. “tetapi kalau mau unjuk kepandaian di Ceng-te-kiong, ho jangan mimpi !”

Sambil berseru Itu diapun segera maju dan menyerang dengan kedua tangannya. Tetapi sete­lah melemparkan penjaga tadi ke pintu, Pui Tiok terus loncat dan menerobos lari ke pintu gerbang.

Wut . . . dalam sekejab saja dia sudah da­pat menaiki sepuluhan batu titian dan tiba dimuba pintu istana. Bum . . . dia menghantam pintu itu.

Orang tadi karena menghantam tempat kosong terus lari mengejar keatas. Tetapi tiba di ba­wah titian, dia berhenti. Dan penjaga yang dilempar Pui Tiok tadi juga merangkak turun kebawah titian lalu berdiri seperti patung.

Pui Tiok terkesiap ketika mendengar pintu tembaga mendengung dahsyat. Cepat dia berputar ke belakang. Ternyata pintu gerbang istana sudah terbuka dan tampak delapan busu atau pengawal istana yang bertubuh tinggi besar dengan senjata tombak, tegak berjajar-jajar di sebelah dalam. Pa­da lain saat tampak Ceng-te muncul dan berjalan pelahan-lahan.

Melihat Ceng-te, girang Pui Tiok bukan alang- kepalang. Dia cepat menyongsong. Tetapi baru melangkah setindak dia melihat suatu gelagat yang mengejutkan. Ternyata dibelakang Ceng-te Juga muncul Coh Hen Hong dalam pakaian yang indah dengan diiring oleh dua orang dayang yang membawa kipas. Sepintas Coh Hen Hong seperti seorang puteri keraton saja.

Tetapi Pui Tiok tetap lanjutkan langkah dan setelah berhadapan dengan Ceng-te. dia berseru, “Ceng-te, aku hendak menyampaikan berita penting pada acda,”

“Katakanlah,” sahut Ceng-te dengan datar.

Pui Tiok menuding Coh Hen Hong, “Apa yang kukatakan tak boleh didengarnya. Harap suruh dia menyingkir dulu.”

Wajah Ceng-te berobah dan memberi isyarat kepada Coh Hen Hong, “menyingkirlah agak jauh.”

Coh Hen Hong tak senang hati dan cibirkan bibir, “Tidak, aku tak mau menyingkir, aku malah ingin mendengar apa yang akan dikatakan.”

“Turutlah perintah,” kata Ceng-te dengan suara sarat.

Coh Hen Hong marah. Dia mendengus tawa dingin lalu membawa kedua bujangnya pergi. Se­telah dia pergi, cepat Pui Tiok berkata, “Cianpwe, Beng Cu celaka. Aku tak tahu bagaimana harus menolongnya, silakan engkau kesana.”

“Tetapi bagaimana aku dapat kesana?” Ceng-te kerutkan alis.

Mendengar itu Pui Tiok bingung dan marah.

Sungguh tak pernah disangkanya bahwa Ceng-te yang disohorkan begitu hebat ternyata begitu ketakutan. Dengan memiliki kepandaian sakti tetap tak berani bertindak tegas,

“Harap pergi saja karena koh-cujin sudah meninggal ,” kata Pui Tiok.

Mendengar itu gemetarlah Ceng-te. Dia menekan bahu Pui Tiok tetapi tak jadi, “Engkau, ilmu kepandaianmu maju pesat sekali. Dia. . . ba­gaimana meninggalnya?”

Pui Tiok gelengkan kepala “Aku juga tak tahu. Telah kutanam dengan baik jenasah beliau.

Tetapi sampai saat ini Beng Cu ”

“Jangan bersuara,” tukas Pui Tiok.

Tetapi Pui Tiok tak tahan lagi dan malah berseru keras, “Tetapi dia akan mati, mengapa aku tak boleh buka suara?”

“Tidak dapat menahan urusan kecil berarti akan mengacaukan rencana besar,” bentak Ceng te dengan marah, “orang semacam engkau tahu apa. Kalau mau berkaok-kaok sampai pecah mulutmu, keluar saja.

Kalau di istana sini engkau mau apa?”

saking marahnya Pui Tiok hampir pingsan. Dia berusaha untuk menekan kemarahannya.

Kedatangannya ke istana adalah untuk menemui dan minta Ceng-te menolong Beng-Cu, bukan hendak mengajak bertengkar.

Setelah menelan ludah, dia berkata pula, “Beng Cu segera akan mati. Tak peduli engkau mengakuinya atau tidak, tetapi dia itu tetap cucu perempuanmu. Anak dari puterimu. Apakah eng­kau sampai hati tak menolongnya?”

Kembali tubuh Ceng-te gemetar keras. Diam-diam Pui Tiok gembira karena mengira dapat menggugah perasaan Ceng te. Tetapi tiba-tiba Ceng-te berka­ta dengan dingin, “Kalau dia benar akan mati, aku pun tak dapat berbuat apa-apa untuk menolongnya.”

Mendengar Itu bukan kepalang marah Pui Tiok. ingin dia menampar mulut Ceng-te. Dan me­mang saat itu tangannya memang sudah diangkat. Tetapi pada lain saat tangannya diturunkan pula. Kalau tak memukul, pun dia hendak menyerang dengan kata- kata yang tajam kepada Ceng te.

Tetapi baru dia hendak membuka mulut, tiba-tiba dia berpikir Dia memang dapat melepaskan kemarahannya kepada Ceng-te tetapi apakah gunanya hal itu kepada Beng Cu? Apakah dengan begitu Beng Cu akan dapat terolong jiwanya?

Karena jeri terhadap Coh Hen Hong, Ceng-te tak berani mengakui Beng Cu sebagai cucunya yang aseli. Dan sekarang Beng Cu dalam bahaya, pun Ceng-te tak berani menolong. Kalau dia memaki-maki Ceng-te, bukankah Ceng-te tentu sege­ra akan mengusirnya dari situ?

Maka dengan menahan kesabaran dia berkata pula, “Ceng-te, andaikata engkau tak mau pergi menolongnya, pun sukalah memberitahu kepada ku, dalam keadaan seperti itu apakah Beng Cu terancam jiwanya atau tidak?” Ceng-te tertegun sejenak lalu balas bertanya, “Bagaimana keadaannya?”

“Dja rebah tertidur di dipan batu, badannya mandi keringat dingin. Begitu menyentuh tubuh­nya, hawa dingin itu terus menyerang aku. Napas yang dihembuskanpun menguap jadi air tetapi dia belum meninggal “

Mendengar keterangan itu wajah Ceng-te menjadi gelap sekali. Setelah Pui Tiok selesai memberi keterangan baru Ceng-te tertawa getir dan gelengkan kepala.

Melihat itu Pui Tiok seperti dicekik setan dan suaranyapun bergemetar, tanyanya. “Bagaima­na ? Bagaimana keadaannya ?”

Ceng-te tetap tertawa kering dan tak menjawab. “Dia bagaimana !” karena tak sabar lagi maka Pui

Tiok membentaknya. Dia benar-benar marah dan muak terhadap Ceng-te yang begitu tak bernyali untuk menolong Beng Cu.

Ceng-te memandang Pui Tiok dengan pandang tidak marah melainkan hanya tertawa hambar Lalu berkata, “Dipan batu itu terbuat dari han-giok batu zamrud dingin laut Pak-hay.”

Pui Tiok terkejut. Jamrud dingin dari laut Pak-hay ?

Dia memang pernah mendengar cerita orang bahwa han-giok itu dapat memancarkan hawa im-han (dingin negatip). Berasal dari hawa dingin yang setelah mengalami proses penguapan selama ribuan tahun lalu menjadi kristal membatu. Dan ternyata dipan tempat tidur itu terbuat dari mustika han-giok, dapat dibayangkan betapa nilai-nya !

Tapi pada lain saat dia merasa belum tentu keterangan Ceng-te itu benar maka dia gelengban kepala. “Tidak. Kabarnya han-giok dari laut Pak hay itu dingin sekali. Kalau disentuh seperti menyentuh es. Tetapi aku pernah berbaring di atas dipan itu, mengapa tak merasa kedinginan sama sekali ?”

“Tentu saja.” sahut Ceng-te, “karena inti dingin dari jamrud itu telah disalurkan kedalam tu­buh Beng Cu. Oleh karena itu . . . “

Baru Ceng-te berkata sampai disitu tiba-tiba da­ri balik sebatang tiang yang tak jauh dari situ terdengar bunyi berdesir-desir seperti pakaian dari orang yang tubuhnya gemetar keras.

Ceng-te cepat hentikan kata-katanya dan berpaling.

Pun Pui Tiok juga ikut memandang ke arah itu.

“Siapa, lekas keluar !” bentak Ceng-te. Setelah mengulang beberapa kali baru dari balik tiang itu muncul seseorang. Siapa lagi kalau bukan Coh Hen Hong.

Seketika wajah Ceng-te berubah, serunya “Engkau. engkau apa sembunyi disitu ? Apakah engkau terus sembunyi disitu untuk mencuri dengar pembicaraanku

?

Wajah Coh Hen Hong tampak pucat. Dia mengangguk, sikapnya kaku. Dia memang diam-diam menyelinap dan sembunyi di belakang tiang untuk mendengarkan pembicaraan Ceng te dengan Pui Tiok 

Dia memang cerdik sekali. Dari pembicaraan itu baru tahu kalau Beng Cu sedang dalam bahaya maka Pui Tiok hendak mengundang Ceng-te supaya menolong.

Semula Coh Hen Hong menertawakan Pui Tiok. Bukankah Ceng-te tak mau mengakui Beng Cu dan mengusir keduanya dari istana Ceng te-kiong ?

Mengapa Pui Tiok masih nekad hendak minta pertolongan Ceng-te ?

Tetapi waktu dia sedang kegirangan tiba-tiba la mendengar ucapan Ceng-te yang mengatakan bah­wa ‘itu suatu proses penyaluran tenaga-sakti’ ke dalam tubuh Beng Cu.

Mendengar itu Coh Hen Hong kaget seperti disambar petir sehingga dia gemetar. Itulah sebabnya pakaiannya sampai berkemeresekan. Dan Ketika Ceng-te mengucap panggilan ‘Beng Cu’, Coh Hen Hong yang cerdas segera dapat menduga bahwa sebenarnya Ceng-te sudah tahu kalau Beng Cu yang datang itu adalah Beng Cu yang aseli dan dia adalah Beng Cu palsu.

Sudah tentu Coh Hen Hong dilanda kejut yang tak terhingga. Walaupun dia teringat dan heran mengapa kalau sudah tahu begitu, Ceng-te tetap mengakuinya (Coh Hen Hong) sebagai cucunya dan lalu mengusir Beng Cu – Pui Tiok. Tetapi hal Itu menjadi kabur karena hatinya saat itu kacau balau. Dia hanya membayangkan tindakan selanjutnya. Seharusnya dia keluar dan mengakui semua kesalahannya kepada Ceng-te. Memang dia sampai saat itu belum tahu apa sebabnya kalau toh sudah tahu, Ceng-te tak mau menindaknya tetapi malah mengusir Beng Cu dan Pui Tiok.

Oleh karena Itu dia tetap takut kalau2 Ceng-te nanti akan marah dan akan menindaknya. Pada hal Ceng-te sendiri juga kebat kebit hatinya kare­na kuatir Coh Hen Hong akan ngamuk.

Dari sikap Coh Hen Hong, Ceng-te menduga tentulah Coh Hen Hong sudah tahu kalau rahasia nya terbuka. Padahal Ceng-te berusaha agar rahasia itu untuk sementara jangan sampai diketahui Coh Hen Hong. Kalau sampai tahu ia kuatir gadis itu akan memberontak dan tahu bahwa kepandaiannya sebenarnya sudah lebih tinggi dari Ceng-te. Maka Ceng-te dan Coh Hen Hong karena saling tak tahu, masing-masing mempunyai rasa jeri terhadap satu sama lain. Waktu Coh Hen Hong mengangguk, beberapa jenak kemudian tak bicara apa-apa.

Pui Tiok juga tegang sekali. Ia kuatir Ceng-te akan bersikap lemah dan kalau begitu tentu ber bahaya.

Kalau Ceng-te bersikap lemah, Coh Hen Hong yang cerdik tentu segera tahu.

Maka melihat Ceng-te diam saja, Pui Tiok cepat hendak menegur Coh Hen Hong. Tetapi sebelum ia sempat membuka mulut, Ceng te sudah me­ngangkat tangan mencegahnya, “Engkau tahu se­mua, bukan ?

Coh Hen Hong mengangguk dan menunduk. “Ya, aku sudah tahu” Ceng-te menarik napas. Situasi saat itu Ceng-te lah yang menang angin. Tetapi Pui Tiok tahu bahwa sebenarnya Ceng-te lebih gentar daripada Coh Hen Hong.

Tiba-tiba Coh Hen Hong bertekuk lutut di hadapan Ceng-te dan berseru, “Engkong !”

Melihat itu Ceng-te melonjak kaget.

Tetapi saat itu Coh Hen Hong hanya mencurahkan perhatian bagaimana dia akan mendapat pengampunan dari Ceng-te dan tak memperhatikan tingkah Ceng-te yang melonjak kaget itu.

Setelah berlutut CohtHen Hong menangis, “Sekalipun aku bukan cucumu yang aseli, tetapi

…. aku telah merawat engkau selama bertahun-tahun maka ijinkan…. aku tinggal di istana ini.”

Wajah Cang-te menampil kerut kejut2 gem-bira. Maka waktu dia bicara nadanyapun gemetar. Tetapi dalam pendengaran Coh Hen Hong, Ceng-te sedang diluap kemarahan.

Sambil meratap-ratap, Coh Hen Hong malah menangis tersedu-sedu, “Pui toako, engkau ten­tu mau memaafkan aku. Tetapi aku. . .aku sungguh.

. . . malu ”

Pui Tiok menyentuh tangan Ceng-te untuk memberi isyarat. Rupanya Ceng-te dapat menanggapi.

“Kalau engkau sudah tahu kesalahanmu, su­dah tentu aku tak sampai hati untuk memberi hukuman tetapi sepasang pedang Leng-liong-klam yang engkau pakai itu, adalah pusaka dari Ceng-te-kiong, Lekas berikan kepadaku.”

Memang begitulah maksud Pui Tjok memberi Isyarat tadi, Dia ingat kata-kata Ceng-te tadi, bahwa dengan memiliki sepasang pedang Leng-liong-kiam itu, Coh Hen Hong ibarat harimau yang tumbuh sayap, tak ada orang yang mampu menandingi la­gi. Kalau pedang itu sudah diminta kembali, tentu lain keadaannya.

Dengan airmata bercucuran, Coh Hen Hong berbangkit dan melepaskan sepasang pedang yang terikat dipinggangnya.

“Ini memang pusaka dari Ceng-te-kiong, su­dah tentu aku tak berani memilikinya,” katanya sambil mengangkat kepala.

Sebenarnya dia memang bermaksud hendak menyerahkan pedang itu tetapi ketika memandang kemuka tampak wajah Ceng-te dan Pui Tiok lain sekali dari biasanya.

Bukan karena secara tiba-tiba Coh Hen Hong merasa bahwa dengan memiliki sepasang pedang itu tak ada orang yang dapat menandinginya. Te­tapi adalah dalam sesaat itu tiba-tiba timbul pikirannya. Apabila dia menyerahkan pedang itu, tentu Ceng-te akan memberikan kepada Pui Tiok atau Beng Cu. Itu berarti bahwa segala jerih payahnya selama akan lenyap semua.

Teringat hal itu dia pedih sekali. Dia memang sayang tak rela kehilangan kedua pedang itu. Dengan keberanian yang luar biasa dia telah dapat mengelabuhi Ceng-te dan bertahun-tahun menikmati kehidupan sebagai cucu Ceng-te, apabila da­lam sehari saja kesemuanya itu akan hilang, betapalah pedihnya.

Pada saat pikirannya tercengkam oleh rasa sayang untuk kehilangan pedang pusaka, tiba-tiba timbullah nafsu jahatnya. Dan hal itu memang sudah lama direncanakannya. Bunuh Ceng-te!

Walaupun selama ini dia belum memperoleh kesempatan untuk melaksanakannya tetapi sekarang dia harus melakukannya atau gagal untuk selama- lamanya.

Ya, sekarang juga dia harus membunuh Ceng te yang dianggapnya sebagai duri dalam mata.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar