Pedang Berbunga Dendam Jilid 16

JILID 16

Katika memperhatikan betapa gembira hati Coh Hen Hong waktu mendengar Pui Tiok mau berada bersamanya, diam-diam pui Tiok terkejut sekali.

Kalau seorang gadis yang berkepandaian sakti seperti Coh Hen Hong sampai mencintainya, bagaimana mungkin kelak dia akan mampu meloloskan diri daru cengkeramanannya?

Sekarang dia menggunakan siasat mengiakan agar dapat mengulur waktu untuk mencari kesempatan untuk mengajak Beng Cu melarikan diri.

Tetapi kalau harapan meloloskan diri itu tak kan terlaksana selama-lamanya, bukankah tindakannya merendahkan diri dan menderita hinaan sekarang ini adalah sia-sia belaka.

Teringat akan hal itu Pui Tiok benar-benar, hendak menangis.

Beberapa saat kemudian dia baru menemukan jalan. Soal dia dapat meloloskan diri atau tidak lebih baik jangan dipikirkan dulu. Sekarang yang panting dia harus dapat menolong Beng Cu. Dan hal itu rasanya akan dapat dia laksanakan. Maka dia menekan perasaannya dan berkata, “Aku hendak bertanya sebuah hal kepadamu.” Coh Hen Hong kerutkan alis. “Engkau apakan Kwan Beng Cu” tanya Pui Tiok. Seketika wajah Coh Hen Hong berobah.

“Maksudku,” Pui Tiok cepat menyusuli,” kalau membiarkan dia diantara, tentu hanya merupakan halangan saja, bukankah begitu?”

Tiba-tiba Coh Hen Hong tertawa kembali. Dia ulurkan tangan mendulit ujung hidung Pui Tiok, katanya, “Tampaknya engkau sangat mencintainya, ternyata tak kira kalau engkau putuskan cintamu.

Kembali Pui Tiok harus menekan kemuakan hatinya dan berkata, “Itu bukan tubuhku. Siapa suruh engkau Jauh berlipat ganda lebih baik dari dia”

“Apakah kata-katamu itu keluar dari hatimu yang tulus?” teriak Coh Hen Hong diluap kegembiraan.

Pui Tiok mengangguk, “Usir saja dia pergi toh dia takkan dapat berbuat apa-apa.”

Biji mata Coh Hen Hong berputar-putar seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. Kemudian baru berkata, “Baiklah. Setelah aku dan engkau pulang, nanti akan kuusirnya,”

Pui Tiok seorang cerdik. Kalau mau menipu seorang gadis yang secerdas Coh Hen Hong, dia harus menggunakan cara dan sikap yang sungguh sungguh, baru dapat berhasil.

“Yang engkau usir dia seorang atau dengan Siau- long-kun juga?” tanyanya. Coh Hen Hong tertawa, “Jangan kuatir, tentu saja aku akan mengusir orang tua itu juga.”

Dia terus memimpin tangan Pui Tiok untuk diajak keluar dari hutan dan lari menuju ke selatan. Tak berapa lama, Ce-lam sudah tampak dari kejauhan. Di jalan sudah menanti 7 orang, Mere-ka gopoh menyambut. Ternyata Siau-long-kun Hong Jui juga berada diantara mereka.

Setelah menerima hormat mereka, berkatalah Coh Hen Hong. “Hong cong-pangcu’.”

Hong Jui terkejut, “Mengapa sian-cu menyebut begitu?”

Coh Hen Hong tertawa, “Engkau ini cong-pangcu.

Tetapi kedudukkanmu, tidak mudah.”

Hong Jui juga seorang cerdas. Melihat sikap dan nada suara Coh Hen Hong lain dari

biasanya, dia menduga tentu ada sesuatu. Maka iapun gopoh berkata. “Harap siancu suka memberi petunjuk,”

Coh Hen Hong kerutkan dahi, katanya, “Engkau sekarang mcnjadi cong-pangcu, wajib engkau menunaikan tugasmu sebagai seorang cong-pangcu. Sebagai cong-pangcu engkau harus berkunjung kepada setiap markas dari Cap-jit-pang itu, Sebagai perkenalan diri dan sekalian untuk mengadakan pemeriksaan. Paling cepat tiga bulan, paling lambat setengah tahun, engkau harus melakukan hal itu.

Bukankah begitu?” Mendengar itu marahlah Hong Jui, Seperti diketahui kedudukan dari anggauta Cap-jit-pang itu tersebar luas di sepanjang perairan sungai Hong-ho. Kalau pada setiap perkumpulan harus tinggal 3 bulan, ditambah dengan waktu perjalanan, kalau harus berkunjung pada 17 buah perkumpulan, kemungkinan 10 tahun baru selesai. Apa guna menjadi cong pangcu kalau hanya begitu saja?. Tetapi meskipun dalam hati marah. Hong Jui tak berani menyatakannya, Dia hanya menduga, kalau memangnva Coh Hen Hong sudah tak menyukainya dan hendak menyingkirkan, lebih baik dia menyingkir jauh-jauh saja.

“Ya, aku akan segera berangkat, katanya serentak. Coh Hen Hong tertawa. “Maaf, tak dapat mengantar

…. ” dia terus mengajak Pui Tiok masuk kedalam kota. Tak berapa lama mereka tiba kembali di markas besar Cap-jit-pang,

Selama dalam perjalanan. Pui Tiok hanya tundukkan kepala. Dia tidak sama seperti Hong Jui, Kalau Hong Jui mendapat kedudukan seperti dia saat itu yaitu boleh mengiring Coh Hen Hong barang kemana saja, tentulah Hong Jui akan girang setengah mati. Tetapi dia bukan Hong Jui,

Saat itu Pui Tiok merasa enggan untuk mengangkat muka, Dia ingin lekas masuk ke dalam kamarnya saja dan tak ada orang yang melihatnya.

Maka begitu tiba di markas besar, legalah hati Pui Tiok. Coh Hen Hong membawanya ke sebuah halaman yang sangat indah dan bersih. “Engkau tentu lelah, beristirahat dulu nanti kita bicara lagi,” kata Coh Hen Hong.

Pui Tiok hanya mengiakan. Setelah melepas senyum Coh Hen Hong berputar tubuh dan terus berlalu,

Setelah nona itu pergi, Pui Tiok merasa seperti terlepas dari himpitan batu besar. Dia menarik napas panjang dan hempaskan diri di tempat duduk. Dia merasa sesak hatinya. Karena sekarang Coh Hen Hong sudah menganggap kalau dia sudah menyerah dan mau tunduk kepadanya. Pada hal dia merasa tidak begitu, Dia hanya sengaja pura-pura tunduk untuk mencari kesempatan melarikan diri dan mencari kesempatan untuk menyelamatkan Kwan Beng Cu.

Adalah karena mempunyai tujuan begitu maka dia terpaksa harus rela menderita hinaan dan derita.

Berulang kali dia menghela napas sembari berbaring di tempat tidur. Biasanya dia merasa kalau dirinya paling pintar. Tetapi nyatanya sekarang dia tak dapat berbuat apa-apa. Beberapa waktu kemudian, dia berusaha pejamkan mata dan berhasil tidur.

Selama beberapa hari kemudian, Coh Hen Hong tampak cerah dan gembira, Dia bersikap baik terhadap orang-orang, terutama terhadap Pui Tiok. Pui Tiok terpaksa mengharuskan diri untuk mengimbangi agar jangan dicurigai.

Cepat sekali 10 hari telah lalu. Coh Hen Hong makin percaya kepada Pui Tiok sehingga pemuda itu boleh masuk keluar di markas besar. Hanya saja Coh Hen Hong belum mengijinkan kalau dia keluar dari markas besar. 

Memang Coh Hen Hong tak terus menerus berada di sampingnya. Oleh karena itu Pui Tiok mulai berusaha untuk menyelidiki Beng Cu. Dia pecaya Beng Cu tentu masih disekap dalam markas besar Cap Jit-pang.

Kulau saja dia dapat menemukan Beng Cu, bukankah keduanya akan dapat melarikan diri?

Sudah tentu Pui Tiok cukup berhati-hati untuk tidak sembarangan bertanya kepada orang. Dia hanya memperbatikan keadaan markas besar itu dengan teliti. Tetapi markas besar itu luas dan dalam sekali.

Entah terdapat beberapa ratus ruang. Dan Pui Tiok tak mungkin dapat menyelidiki satu demi satu ruang itu.

Dengan begitu memang sulit baginya.

Pada hari itu sudah menjelang petang. Sambil menggendong kedua tangan, Pui Tiok pelahan lahan melangkah keluar. Dan kali itu dia keluar agak jauh. Tak berapa lama tiba di muka sebuah pintu yang berbentuk bulat.

Melongok dalam pintu itu, ternyata didalamnya merupakan sebuah halarnan luas. Tetapi halaman itu seperti tidak terawat karena banyak ditumbuhi rumput yaog tinggi.

Tetapi ruang yang menghubung halaman itu, tampak sunyi sekali. Rasanya seperti sudah lama tak dihuni orang.

Tiba-tiba tergeraklah hati Pui Tiok. Tiba-tiba pula dia mendengar dari dalam ruang itu suara langkah orang menuju keluar. Pui Tiok cepat melesat bersembunyi di samping tembok. Tak berapa lama, dia mendengar ada orang yang tengah berjalan menyiak rumput tinggi itu. Dan pada lain saat muncul seseorang.

Ternyata hanya seorang pelayan perempuan yang masih muda. Dia membawa rantang. Pui Tiok makin gembira. Dia duga bujang perempuan Itu tentu sedang mengantar makanan.

Mengapa mengantar makanan? Untuk siapa? Ah, tentulah untuk orang tawanan. Apakah tawanan itu tidak mungkin Kwan Beng Cu? Kalau begitu apakah tidak mungkin Kwan Beng Cu di-tawan dalam ruang itu?

Serentak Pui Tiok hendak meneriaki bujang itu. Dia hendak bertanya. Tetapi pada lain saat dia menyadari. Kalau dia berbuat begitu, bararti seperti ‘mengeprak rumput mengejutkan ular’. Maka dia terpaksa menahan diri. Tunggu setelah bujang itu pergi baru dia akan bertindak.

Setelah bujang itu pergi barulah Pui Tiok loncat ke pagar tembok lalu melayang turun. Selekas turun ke tanah dia masih tegang. Tetapi disekeliling tak ada orang sama sekali. Setelah menenangkan diri barulah dia loncat melintas halaman dan tiba di ruang. Cepat sekali dia menyusur sepanjang lorong untuk membuka pintu setiap ruangan yang berjajar-jajar dalam gedung itu. Tetapi hampir habis ruang2 itu dijelajahinya, tetap tak berhasil. Ruang2 itu kosong.

Diam-diam Pui Tiok menyesal mengapa tadi dia tak menguasai bujang itu dan menanyakan keterangan.

Atau apakah dugaannya salah dan bujang Itu memang tidak membawa makanan untuk tawanan tetapi ada tujuan lain?

Apakah boleh buat terpaksa Pui Tiok kembali. Tiba di mulut gua, dia masih geregetan. Dia sangsi apakah harus masuk kembali untuk mencari sekali lagi. Tiba- tiba tampak sesosok bayangan melesat. Cepat sekali seperti segulung asap.

Pui Tiok kaget dan cepat menyurut masuk ke dalam pintu-bundar. Baru dia bersembunyi disitu diatas pagar tembok terdengar suara orang tadi.

Diam-diam Pui Tiok menimang. Siapakah orang itu? Bukan saja ilmu Meringankan tubuhnya begitu hebat, pun nyalinya besar sekali.

Saat itu dunia persilatan tahu bahwa Dewi Angin- puyuh sedang berada di markas besar Cap-jit-pang tetapi orang itu tetap berani mati menyelundup masuk.

Selagi dia tengah merenung tiba-tiba orang Itu sudah melayang turun sampai dua tiga tombak dan terus menyusup masuk kedalam gedung.

“Uh, untung. . .,” diam-diam Pui Tiok menghela napas longgar. Kalau orang itu loncat ke halaman tentulah akan melihat dirinya yang bersembunyi dibalik dinding itu.

Sebenarnya Pui Tiok ingin hendak ikut masuk tetapi dia belum tahu siapa orang itu. Terpaksa dia mendekam didalam gerumbul rumput saja. Selang tak lama orang itu malesat keluar dan tahu-tahu berhenti di tengah2 ruang. Pui Tiok memandang dengan seksama dan ternyata orang itu bertubuh pendek kurus dan mengenakan warna hitam. Sepasang kelopak matanya cekung tetapi biji matanya memancarkan sinar yang berkilat-kilat tajam. Jelas orang itu tentu memiliki tenaga-dalam yang luar biasa.

Begitu berhenti, mulut orang itu bercuit-cuit.

Melihat itu agak longgarlah ketegangan hati Pui Tiok. Karena dari tingkah laku orang itu menunjukkan bahwa dia bukan anak buah Coh Hen Hong. Sekalipun begitu Pui Tiok tetap tak berani unjuk diri dan masih bersembunyi mendekam dalam gerumbul rumput.

Menilik bahwa orang itu berani datang kesitu walaupun tahu kalau Coh Hen Hong berada disitu, tentulah dia memiliki kepandaian yang amat sakti. Dan melihat sikapnya yang begitu tegang, Pui Tiok kuatir begitu dia bernapas dan sampai terdengar, mungkin belum sempat memberi keterangan, orang itu tentu sudah membunuhnya.

Orang pendek itu tengah mengeluarkan bunyi burung seperti sedang memanggil kawannya. Dan ternyata memang benar. Cepat sekali terdengar suara bunyi burung menyahut Gedung yang luas dan amat dalam itu, rasanya takkan menimbulkan kecurigaan orang kalau mendengar suara burung berbunyi.

Setelah mengeluarkan bunyi burung beberapa jenak, tiba-tiba segulung angin keras bertiup dari atas pagar tembok. Dan pada lain saat seorang yang mengenakan pakaian aneh bukan paderi, juga bukan imam melayang turun. Bukan saja pakaiannya berwarna kuning, pun wajahnya juga berwama kuning. Bahkan tangan dan kakinya juga berwarna kuning. Secara keseluruhannya, orang itu seorang manusia kuning.

Orang itu cepat melesat ke samping orang pendek tadi dan berbisik, “Apakah sudah ada Jejaknya?”

Walaupun sudah berusaha untuk berbisik pelahan sekali tetapi ternyata kumandang suaranya masih mengiang tajam pada telinga. Jantung Pui Tiok terasa mendebur keras. Hal Itu bukan disebabkan karena bisik2 orang kuning itu melainkan saat itu Pui Tiok sudah mengenal siapa manusia berkuning kuning itu.

Orang kuning memang seorang ko-jiu kelas satu dalam dunia persilatan. Pernah menjabat wakil pimpinan dari perkumpulan agama Mo kau di daerah selatan. Sahabat baik dari ayah Pui Tiok.

Waktu kecil Pui Tiok masih ingat kalau orang itu sering naik ke puncak Peh-hoa-nia untuk bercakap- cakap dengan ayah Pui Tiok.

Dia bukan lain adalah Ui Put Lok yang digelari sebagai Un-kun atau setan wabah. Ayah Pui Tiok pernah mengatakan bahwa dalam dunia ini orang yang tahu kalau dia bernama Ui Put Lok atau Ui Tidak senang, hanya sedikit sekali. Orang-orang hanya tahu kalau dia bernama Ui Un-kun atau Ui si Setan-wabah.

Pui Tiok pernah mendengar dari ayahnya bahwa pada 15-16 tahun yang lalu, Setan-wabah itu menghilang tak diketahui jejaknya. Belakangan baru terdengar berita bahwa ada orang yang pernah melihat dia muncul di daerah Kwan-gwa. 

Kemunculan Ui Un-kun kali itu tak lain hanya akan meminta j i n s o m yang panjang-nya lebih dari setengah meter kepada sembilan partai persilatan di Kwan-gwa. Kabarnya dia mewakili Ceng-te untuk meminta jinsom itu. Dengan begitu kemungkinan besar dia telah masuk menjadi anak buah istana Ceng-te-kiong.

Teringat akan hal itu berdebarlah hati Pui Tiok. Selain tahu siapa orang itu, diapun tahu tentang kedudukannya. Sebenarnya dia hendak memanggilnya mengingat si Setan Wabah itu sahabat ayahnya.

Tetapi pada lain kilas dia teringat akan pengalamannya dengan Ting Tay Ging yang walaupun kenal baik dengan ayahnya toh akhirnya mau menjual dirinya (Pui Tiok) kepada Coh Hen Hong. Maka diapun tak jadi.

Tetapi karena dia sudah hendak buka suara kemudian dihentikan itu, dari kerongkongannya telah meletup bunyi suara tertahan. Walaupun a-mat pelahan dan hampir tak terdengar tetapi cukup membuat si Setan Wabah dan orang berbaju hitam memandang kearah tempat persembunyiannya.

Waktu mata kedua orang itu berkilat-kilat memandang kearahnya, jantung Pui Tiok berdetak keras. Tetapi pada lain kejab dia teringat. Ui Setan Wabah itu anak buah Ceng-te-kiong. Orang baju hitam itu tentu demikian juga. Mereka tentu lah diperintah Ceng-te untuk melindungi Coh Hen Hong. Bukankah Coh Hen Hong sudah mengijinkan dia bergerak dengan bebas? Sekalipun sudah tentu Coh Hen Hong tak mengijinkan dia menyelundup kedalam gerumbul rumput. Andaikata sampai ketahuan, rasanya Coh Hen Hong juga takkan marah.

“Siapa yang bersembunyi dalam gerumbul rumput itu? Kalau tak mau menjawab, jangan salahkan kalau aku bertindak ganas!” selagi Pui Tiok masih bingung, tiba-tiba orang berpakaian hitam itu sudah menegurnya. Nada suaranya menyeramkan sekali.

Pui Tiok tahu kalau si Setan Wabah dan kawannya si baju hitam itu tokoh-tokoh sakti. Sekali dirinya sudah kepergok kalau tak mau unjuk diri tentu malah celaka. Maka diapun segera berdiri.

Begitu dia berdiri Ui Un-kun dan orang baju hitam itupun sudah melesat tiba di hadapannya. Sedemikian cepat gerakan keduanya itu sehingga Pui Tiok tak sempat melihat mereka bergerak.

“Tong-cu, siapa orang ini?” seru Ui Un-kun Kepada sibaju hitam.

Baju hitam yang dipanggil tong-cu itu segera mendesuh, “Ha, siapa lagi kalau bukan gula2 si anak perempuan busuk itu.”

Mendengar mereka mengatakan dirinya seorang gula-gula, merahlah muka Pui Tiok. Dia marah dan malu. Tetapi disamping itu dia merasa bahwa kedua orang itu bukan datang untuk melindungi Coh Hen Hong, Hal itu dibuktikan dengan sebutan mereka terhadap Coh Hen Hong yang di-katakan ‘anakprempuan busuk’,

Tetapi Ui Setan-wabah itu jelas masuk menjadi anakbuah Cean-te-kiong. Lalu bagaimana ini?” 

Pui Tiok bingung dan tak mengerti apa yang dihadapi saat itu.

“Kalau begitu mana boleh dibiarkan hidup?” seru si Setan-wabah,

“Hm, benar,” desuh si Baju Hitam. Di mengangkat tangan kanan, kelima jarinya menerkam Pui Tiok.

Sebelum tiba, jari itu sudah menghamburkan angin kuat yang menelungkupi tubuh Pui Tiok.

Pui Tiok kaget bukan main, cepat dia berteriak, “Ui sam-siok, apa engkau tak kenal kepadaku? Aku adalah si Tiok kecil yang sering engkau gendong dulu!”

Kelima jari si Baju Hitam sudah hampir tiba di dada Pui Tiok tetapi waktu mendengar teriak Pui Tiok, kelima jari itu berhenti mendadak, Sekalipun tidak jadi diterkamkan tetapi Pui Tiok tetap rasakan dadanya sesak sukar bernapas.

Setan-wabah maju selangkah dan mengawasi Pui Tiok dengan tajam. Tampak wajah orang itu mengerut dan kemudian tertawa dingin, “O, kira nya engkau!”

” Ya, siapa lagi kalau bukan aku”, gopoh Pui Tiok berseru.

Setan-wabah tertawa dingin, “Dulu waktu kecil kulihat engkau bukan anak yang tak mempunyai pambek. tetapi mengapa setelah besar engkau jadi begini? Sekalipun engkau tak memikirkan dirimu tetapi engkau kan seharusnya memikirkan nama baik ayahmu? Apakah ayahmu sudah tidak ada di dunia lagi?” 

Kata-kata itu membuat Pui Tiok meringis. Cepat dia berkata, “Ui sam-siok, engkau salah faham. Soal ini panjang sekali liku-likunya. Sampai cianpwe ini juga tak tahu….” dia menunjuk pada si Baju Hitam.

Baju Hitam tertawa dingin, “Aku disini sudah lima hari lamanya. Segala apa aku tahu jelas Engkau berada dengan siluman perempuan kecil itu, main mata dan main cinta, apakah itu hanya pura-pura saja?

Sudah tentu sukar sekali Pui Tiok memberi keterangan, Sebenarnya dia akan menceritakan semua yang terjadi dan dilakukan selama ini. Tetapi dia masih meragukan akan kedudukan kedua tokoh itu.

Dan andaikata harus menceritakan, Pui Tiok pun merasa sulit karena ayahnya telah pesan agar dirunya dan Beng Cu itu jangan sampai tersiar pada lain orang.

Biasanya Pui Tiok pintar sekali mencari alasan tetapi kali ini dia benar-benar mati kutunya.

Dia menghela napas, “Ui sam-siok, engkau…. ; ayahku belum meninggal dunia tetapi menderita co- hwe-jip-mo. Dia sering terkenang kepada-mu.

Kabarnya engkau…. sudah masuk pada istana Ceng- te-kiong. Apakah benar?”‘

Mendengar pertanyaan Pui Tiok, seketika wajah si Setan-Wabah dan orang baju hitam berobah. Mereka serempak mendesuh. Pui Tiok terkejut heran mengapa mendengar kata Ceng-te-kiong, sikap dan wajah mereka berobah maka diapun segera menyusuli, “Sekarang aku sedang mencari seseorang. Setelah dapat menemukan akan kuajak lari jauh, makin jauh makin aman.”

“Siapakah yang engkau cari?” tegur Ui Un-kun.

Sejenak Pui Tiok berpikir, katanya, “Dapat kukatakan kalau calon isteriku. Perjodohan itu, ayah yang menetapkan. gadis itu…. telah ditawan disini oleh Suan Hong siancu. Sampai beberapa haru aku tak berhasil menemukannya.”

Ui Un-kun berpaling kepada si Baju Hitam dan Baju Hitam itu mengangguk, membenarkan keterangan Pui Tiok yang diketahuinya memang kelabakan mencari orang.

“Kulau begitu engkau bukan gula2 dari perempuan busuk itu?”

Pui Tiok agak sangsi lalu balas bertanya. “Yang kalian maksudkan perempuan busuk itu

Suan Hong siancu?”

Tetapi dengan wajah berkerut mereka membentak, “Perempuan busuk.”

Pui Tiok makin heran. Tetapi dia tak mau mendesak lebih lanjut dan melainkan berkata ‘ Sudah tentu aku tidak. Aku dan dia …. boleh dikata terikat dendam yang besar. Aku hanya terpaksa harus menghadapi dengan cara begitu.” Saat itu Pui Tiok sudah menpunyai gambaran jelas bahwa kedua orang itu bermusuhan dengan Coh Hen Hong. Mereka menyebut Coh Hen Hong sebagai perempuan busuk Tetapi Pui Tiok heran mengapa kedua orang itu tidak menyangkal kalau. menjadi anak buah Ceng te-kiong, Heran. Ah,. apakah mungkin Ceng-te sudah mengetahui asal usul Coh Hen Hong lalu mengirim kedua orang itu untuk mencarinya.

Tetapi ah, rasanya tidak begitu. Karena walaupun kepandaian kedua orang itu amat tinggi tetapi kalau dibandingkan dengan Coh Hen Hong, tetap masih bukan tandingannya, Kalau memang Ceng-te sudah tahu siapa sebenarnya Coh Hen Hong itu, seharusnya dia sendiri yang datang baru dapat selesai.

Adalah karena binggung maka Pui Tiok memberanikan diri untuk mengatakan keterangannya tadi. Ternyata sikap Ui Un-kun dan si Jubah Hitam berobah tenang dan ramah. Diam-diam Pui Tiok menarik napas longgar.

Berkata Ui Un-kun, “‘Tindakan yang sewenang- wenang dari perempuan busuk itu belum menggangu Peh-hoa-kau. mengapa engkau membenci-nya?”

Pui Tiok tertawa pahit. Sesaat dia tak tahu bagaimana harus menjawabnya.

“Ob, dia itu putera ketua Peh-hoa-kau?” tiba-tiba si Baju Hitam berseru. Ui Un-kun mengangguk dan memperkenalkan si Baju Hitam kepada Pui Tiok, “Siau-tit-ji, saudara ini adalah salah seorang Su-hiong (empat ganas) dari dunia persilatan, ialah ketua dari gua Yu-beng-tong di gunung Bon-san. Pui Tiok terkejut dan gopoh memberi hormat kepada si Baju Hitam.

Kepala gua Yu-beng-tong dan Liat-hwe kau-cu serta kepala pulau-Hek-sat-to yakni Im Thian

Su, oleh dunia persilatan disebut Bu-lim-su-hiong atau Empat-ganas-dunia persilatan. Hampir setiap orang persilatan tahu akan hal itu.

“Sudah, sudah, “Baju Hitam atau Yu-beng tong-cu mencegah Pui Tiok. Kemudian dia berpaling dan berkata, “Kalaui dia benar putera dari Peh-hoa-kau kaucu, keterangannya tadi memang nyata begitu.”

“Mengapa?” Ui Un-kun bertanya.

“Dalam perjalanan kemari budak perempuan busuk itu pernah mengeluarkan pertanyaan kalau akan mencari putera dari ketua Peh-hoa-kau. Ketua Cap-Jit- pang Ting Tay Ging karena dapat menangkapnya tetapi kemudian dia bisa lolos, Coh Hen Hong marah dan membunuh ketua Itu. Rupanya tidak sehari dua hari saja dendam antara budak perempuan busuk itu dengan dia.”

“Benarkah itu?” Ui Un-kun melirik Pui Tiok,

Pui Tiok tertawa getir karena tak tahu bagaimana harus menjawab. Sebab kalau hal itu diterangkan tentu akan memakan waktu panjang sekali.

Gerak gerlk Pui Tiok yang beberapa kali hendak berkata tetapi tak Jadi tadi, tak lepas dari pengamatan Ui Un-kun. Dia menepuk bahu pemuda itu. “Kalau begitu kita ini seperjalanan. Ka 

mi berdua juga hendak mencari orang.”

“Kalau mau cari orang mengapa tidak langsung saja menghadap Suang Hong…. , budak perempuan busuk?” tanya Pui Tiok.

Ui Un-kun dan Yu-beng-tong tongcu merentang mata. Rupanya keduanya tak mengerti mengapa Pui Tiok bertanya begitu.

Anda berdua, ini datang dari istana Ceng-te-kiong

,…. ” belum sempat Pui Tiok, menyelesaikan kata katanya, kedua tokoh itu sudah menggerung, “Jangan menyebut Ceng te-kiong lagi di hadapan kami!’”

Pui Tiok terkejut, “Ui sam-siok, bukankah kalian ini telah masuk…. . ” tiba-tiba dia hentikan kata katanya.

Ui Un-kun menghela napas, “Ya, adalah karena mengagumi ,ilmu kepandaian istana Ceng-te-kiong aku masuk dan menjabat sebagai wakil ketua di Ceng- te-kiong. Tetapi sejak budak perempuan busuk itu datang, Ceng-te terlalu memanjakannya dan menyerahkan kekuasaan Ceng-te-kiong kepada budak busuk itu. Segala perintah budak busuk itu yang berkuasa memberi. Kalau ada orang yang tak mau patuh, tentu celaka. Bagaimana mungkin tahan melihat keadaan begitu.

Mendengar itu girang Pui Tiok bukan alang kepalang, Memang selama berada di istana Ceng Te- kiong, entah sudah berapa banyak ko-jiu anak buah dan orang kepercayaan Ceng-te yang disikat bersih oleh Coh Hen Hong, Gadis itu memang besar sekali ambisinya untuk menonjolkan diri. 

Diantara jago-jago sakti utama Ceng-te-kiong yang dibersihkan itu, termasuk antara lain setan-wabah Ui Un-kun dan kepala gua Yu-beng tong. Itulah sebabnya maka leduanya mendendam sekali kepada Coh Hen Hong.

“‘O, kiranya begitu,” Pui Tiok cepat berseru ‘kalau begitu, kalian tentu tahu….”

Sebenarnya dia hendak menanyakan tentang letak istana Ceng-te-kiong. Tetapi saat itu juga dia mendengar suara Coh Hen Hong berteriak memanggilnya, “Pui toako engkau dimana?”

Begitu terdengar suara Coh Hen Hong, Setan- wabah dan kepala gua Yu-Beng-tong berubah wajahnya dan tiba-tiba mereka menerkam Pui Tiok,

Sebenarnya Pui Tiok juga bukan jago lemah Tetapi karena kedua orang itu bertindak dengan cepat dan tak terduga-duga maka Pui Tiok tak sempat menghindar sehingga tangan kanan

dan tangan kirinya kena dicengkeram. “Bagaimana?” kedua tokoh itu berbisik. Petanyaan

itu dilancarkan oleh keduanya dengan serempak. Dan bukan ditujukan kepada Pui Tiok melainkan kepada keduanya sendiri. Karena hampir mengeluarkan suara berbareng maka terjadi keganjilan. Setan-wabah bertanya kepada kepala gua Yu-beng-tong, kepala dipakai bertanya kepada Setan-wabah. Sekalipun begitu tetapi Pui Tiok sudah cukup jelas akan pertanyaan mereka. Mereka bermaksud hendak bertanya ‘bagaimana menyelesaikan anak ini’.

“Harap jangan salah faham.” Pui Tiok cepat memberi penjelasan, “aku bersumpah tak akan hidup di bawah langit dengan dia, Kalau aku bersikap baik kepadanya hanyalah suatu cara untuk mengelabuhinya saja. Harap paman berdua percaya kepadaku.”

“Hm…. . Setan-wabah mendengus seperti tak percaya. Tepat pada saat itu, Coh Hen Hong melintas tiba. Kali ini makin dekat.

“Pui toako,” katanya, “mengapa engkau diam saja?” “Aku disini,” cepat Pui Tiok menjawab.

Tepat pada saat ia menjawab itu, tangan yang mencengkeram tangannya mendadak mengencang keras. Seketika Pui Tiok rasakan pandang matanya gelap dan hampir pingsan. Tetapi dia menyadari bahwa situasi saat itu genting sekali, Kalau ia sampai pingsan, kemungkinan besar dia akan mati di tangan kedua tokoh itu. suatu hal yang membuatnya penasaran sekali karena dia tak bermusuhan dengan kedua orang itu.

Pui Tiok meronta sekuat-kuatnya dan ketika Itu, “Harap paman berdua…. , lepaskan. Dia segera datang. Aku takkan menceritakan tentang kedatangan paman kemari, Dan lagi aku masih perlu berunding dengan paman tentang cara2 untuk melenyapkan budak perempaan busuk itu”. Walaupun bicara singkat tetapi wajah Pui Tiok berobah-robah tak keruan, sebentar merah sebentar pucat. Bagi orang persilatan tentu tahu kalau gejala itu merupakan akibat dari tenaga murni yang bergolak-golak. Kalau berlangsung beberapa saat lagi akibatnya mengerikan. Kalau tidak menderita co-hwe- jip-mo, Pui Tiok tentu akan terluka berat,

setan-Wabah dan kepala gua Yu-beng-tong saling bertukar pandang. Pikir mereka masing-masing

kalau Pui Tiok tidak bersungguh-sungguh, perlu apa harus bilang begitu? Bukankah dia dapat berteriak keras2 sehingga Coh Hen Hong cepat datang,

“Baik, tengah malam nanti, kami tunggu engkau di tiang ketiga serambi timur,” bisik Setan-wabah Ui Un- kun dengan serius. Lalu keduanya bergerak mundur.

Memang tidak kecewa mereka sebagai tokoh kelas satu. Cara mereka bergerak mundur itu memang luar biasa cepatnya. Dalam beberapa kejab sudah lenyap.

Pada lain saat setiup angin berhembus dan sesosok tubuhpun muncul tegak dihadapan Pui Tiok, Dia bukan lain adalah Coh Hen Hong, Wajahnya tampak kurang senang.

“Mengapa engkau disini?” tegurnya. Jantung Pui Tiok berdebur keras, Karena tepat pada saat Setan wabah dan kepala gua Yu-beng-tong pergi. Coh Hen Hong sudah tiba, Kalau saja kedua orang itu sampai kepergok Coh Hen Hong tentu celaka. Setelah berusaha untuk menenangkan diri baru Pui Tiok berkata “Aku merasa sumpek dan keluar berjalan-jalan,”

“Mengapa sumpek? Ehm, siapa suruh engkau tak mau menemani aku dan suka seorang diri saja? Kalau seorang diri sudah tentu akan kesepian dan sumpek pikirannya.”

Mendengar nada kata-kata Coh Hen Hong makin lama makin pelahan seperti berbisik, diam-diam Pui Tiok mengeluh. Kalau dia meladeni bicara dalam soal itu tentu akan menjurus kelain arah. Arah yang memang diharapkan Coh Hen Hong tetapi paling tak disukai Pui Tiok. Apa artinya disuruh menemani kalau bukan diajak indehoy?

“Waktu aku tiba,” buru-buru Pui Tiok alihkan pembicaraan,” ada seorang bujang perempuan keluar membawa rantang. Apakah ditempat ini terdapat seorang tawanan?”

“Apa perlumu mengurus hal Itu?” Coh Hen Hong mengangkat kepala.

Pui Tiok terpaksa tertawa pahit, “Aku hanya sekedar bertanya saja. Lalu perlu apa engkau mencari aku?”

Coh Hen Hong deliki mata, “Tentu ada urusan baru mencarimu.”

Kecuali hanya dapat tertawa meringis, Pui Tiok tak dapat berbuat suatu apa lagi. Wajah Coh Hen Hong membeku dan berseru dingin, “Kutahu apa yang hendak engkau cari. Selama dua hari ini aku tentu mengetahui gerak gerikmu. Engkau terus menerus hendak mencari Kwan Beng Cu, bukan?”

Pui Tiok terkesiap, sahutnya, “Benar. Aku memang hendak mencarinya.”

Wajah Coh Hen Hong makin gelap dan berseru nyaring, “Perlu apa engkau hendak mencarinya?”

Wajah Pui Tiok juga tampak serius dan rupanya hendak meledakkan kemarahan. Tetapi pada lain kejab dia teringat bahwa tadi dia telah bertemu dengan Setan-wabah Ui Un-kun serta kepala gua Yu- beng-tong. Dengan begitu istana Ceng-te-kiong tentu dapat dicarinya. Setelah menemukan Beng Cu, dia akan mengajak nona Itu melarikan diri ke istana Ceng-te-kiong.

Tetapi kalau saat ini dia tak dapat mengendalikan diri dan marah, tentulah akibatnya Coh Hen Hong akan marah dan mencurigainya. Bukan mustahil bahkan akan membunuhnya. Rencana-nya dengan Kwan Beng Cu akan gagal total.

Sesudah merenungkan dalam2 akhirnya ia memutuskan. Biarlah dia menderita hinaan dan derita batin asal dia dapat membantu Kwan Beng Cu mencari istana Ceng-te-kiong.

“Perlu apa engkau mencarinya?” kembali Coh Hen Hong mengulang pertanyaanya.

Setelah merenung beberapa jenak, barulah pelahan-lahan Pui Tiok menjawab, “Aku sudah bertahun-tahun kenal dengan dia. Ayahbundanya sudah meninggal. Bagaimana aku tak memikirkan nasibnya? Aku tentu akan mencarinya.”

Coh hen Hong marah, “Ayahbundanya mati, apakah ibu bapaku juga masih hidup? Mengapa engkau begitu memperhatikan sekali kepadanya?”

Pui Tiok menghela napas, “Engkau tak mau berpikir sendiri. Engkau telah merampas semua miliknya. Dan sekarang engkau menikmati kedudukan yang tinggi dimana seluruh dunia persilatan menghormat dan tunduk kepadamu. Masih ada siapa lagi yang kurang memuaskan hatimu? Dan hitung2 kalian ini sebenarnya masih taci dan adik yang tunggal ayah lain mama. Masa engkau begitu tega kepadanya?”

Pui Tiok bermaksud baik untuk menyadarkan pikiran Coh Hen Hong. Dia mengharap agar Coh Hen Hong, dapat terketuk nalurinya dan jangan terus menerus hendak mencelakai Beng Cu.

Walaupun dia merasa kata-kata nya itu kecil harapannya akan diterima Coh Hen Hong namun dia tetap mencobanya juga.

Selama mendengarkan kotbah Pui Tiok yang panjang lebar itu, Coh Hen Hong hanya mendenguskan hidung dan tertawa hina, serunya, “Aku ini taci beradik dengan dia? O, mana aku berani. Aku harus tahu diri kalau aku manusia apa? Dan bukankah dia ini seorang puteri emas yang di matamu Indah segala-galanya?”

Pui Tiok menghela napas, “Kita sebagai manusia harus mempunyai hati nurani. Coba engkau pikir. Engkau kan sudah cukup ganas mencelakainya. Kalau sekarang engkau lepaskan dia dan memberi kesempatan kepadanya untuk bertemu dengan aku, bukankah suatu hal yang tak berlebih-lebihan?”

“Ngaco!” bentak Coh Hen Hong,” jangan engkau membicarakan persoalan Itu lagi!”

Tegas keras dan tajam sekali Coh Hen Hong mengucapkan kata-kata itu. Mendadak bahwa dia benar-benar benci mendengar hal itu. Pui Tiok kelakep tak dapat omong apa-apa. Setelah masing-masing diam beberapa saat, adalah Coh Hen Hong yang mulai berkata dulu,”

“Apakah engkau tahu maksudku? Kalau kubebaskan dan suruh dia bertemu dengan engkau. engkau tentu

…. tentu tak dapat bertemu dengan aku lagi.”

Walaupun sudah dapat menduga isi hati Coh Hen Hong tetapi bahwa secara terus terang Coh Hen Hong berani membuka isi hatinya terhadap dia, benar-benar membuat Pui Tiok membelalak kaget.

Coh Hen Hong tertawa, “Tetapi akupun tahu. Kalau kubunuhnya, engkau tentu akan membenci aku selama-lamanya. Dan hal itu berarti aku takkan mendapatkan engkau, Oleh karena itu jangan kuatir, aku tentu tak akan membunuhnya!”

Pui Tiok menghela napas kecil, “Tetapi untuk memberi kesempatan dia bertemu aku saja engkau sudah tak mau bagaimana aku dapat mempercayai ucapanmu?”

“Maksudmu?” “Bagaimana aku percaya kalau dia masih hidup atau sudah mati.”

Coh Hen Hong membalikkan biji matanya dan memandang Pui Tiok, “Kalau kuberimu kesempatan melihatnya. bagaimana?

Hati Pui Tiok melonjak keras. Dia tertawa kering dan berkata tergagap-gagap, “Aku…. aku bagaimana?”

Kembali Coh Hen Hong memandang sejenak, baru berkata, “Kalau setelah engkau melihat dia, engkau setuju untuk kawin dengan aku, nanti dalam malam pernikahan itu diapun dapat hadir sebagai tetamu,”

Pui Tiok menghela napas dalam hati. Hati-nya serasa tenggelam, Dalam beberapa hari ini. dia memang mencemaskan soal itu, Ternyata soal itu akhirnya diucapkan juga oleh Coh Hen Hong.

Saat itu kembali Coh Hen Hong, mendesak. “Bagaimana? Mengapa engkau tak rnenjawab?”

Pui Tiok tak berani terang-terangan menolak, Dia hanya menghindar. “Itu soal besar…. , mana dapat dilakukan begitu tergesa-gesa, Paling tidak…. paling tidak harus ke Peh-hoa-nia untuk mengundang…. . ayahku datang kemari sebagai wali!”

Pui Tiok memang hendak menggunakan siasat mengulur waktu, Dari kota Ce-lam ke Peh-hoa nia. sekalipun orang memiliki ilmu lari yang luar biasa cepatnya, juga harus sedikitnya menggunakan waktu empat bulan. Dalam empat bulan tentu sudah terjadi perobahan, Coh Hen Hong menghela nafas dalam2, katanya. “Soal itu tak jadi apa. Aku dapat segera mengutus orang ke Peh-hoa-nia, Sekarang aku akan minta ketegasanmu sepatah kata saja. Engkau mau mengambil aku sebagai isteri atau tidak, katakanlah!”

Walaupun Pui Tiok bukan seorang pendekar yang termasyhur tetapi dia tentu takkan menarik kembali ucapan yang telah dikatakan. Oleh karena itulah maka Coh Hen Hong mendesaknya. Ka lau sekarang Pui Tiok menyatakan setuju. kelak mana dia dapat ingkar lagi? Saat itu Pui Tiok benar-benar terjepit.

“Kutahu,” kata Coh Hen Hong pelaban lahan. “bahwa dalam hatimu engkau tak suka tetapi engkau harus mempertimbangkan. Kalau engkau tak mau, akibatnya bagaimana, kurasa sebagai seorang pintar engkau tentu mengerti sendiri.”

Sudah tentu Pui Tiok mengerti, Katanya, Tahukah engkau bahwa nasib anak yatim piatu itu tentu tidak enak? Engkau juga seorang pintar, tentu mengerti hal itu.”

“Tak perlu engkau mengatakan tentang diriku,” jawab Coh Ken Hong, “sekali lagi aku hendak

bertanya, engkau meluluskan atau tidak?”

Belum Pui Tiok sempat menjawab, Coh Hen Hong sudah menyusuli pula. “Sebenarnya, sama sekali aku tidak seburuk seperti yang engkau bayangkan itu.

Engkau harus tahu, ada kalanya aku sedang ngamuk itu lantaran aku marah. Kalau engkau melulus kan aku…. ” berkata sampai disini dia tak meneruskan lagi. Pui Tiok menghela napas, “Soal ini sebaiknya biarlah ayahku yang memutuskan saja,”

“Engkaukan bukan anak kecil. aku menghendaki sepatah jawabanmu,” desak Coh Hen Hong.

Pui Tiok bingung sehingga tak dapat berkata apa- apa

“Hanya sepatah kata saja begitu berat untuk mengatakan?” Coh Hen Hong tertawa dingin.

Tiba-tiba Pui Tiok mendapat pikiran, Karena didesak. kalau dia sekali ini saja membohongi. rasanya juga tidak terlalu jahat. Itu kan Coh Hen Hong sendiri yang memaksa.

Tetapi Pui Tiok tahu kalau dia menerima dengan sikap terpaksa, tentu Coh Hen Hong juga kurang senang, Maka karena sudah memutuskan untuk mengatur siasat, diapun harus melakukan kebohongan itu dengan rapi,

Maka sebelum berkata, lebih dulu dia menghela napas, “Engkau tidak tahu. Bukannya aku sukar berkata tetapi memang ada kesulitan yang sukar kukatakan,”

“Soal apa?” Coh Hen Hong tak percaya. “Ketahuilah,” kata Pui Tiok, “tak lama setelah

kubawa Kwan Beng Cu pulang ke Peh-hoa-nia, ayah mengatakan nanti setelah Beng Cu sudah dewasa, supaya aku mengambilnya sebagai isteri. Kali ini aku bersama dia turun gunung untuk mengembara, setelah pulang ke Peh-hoa-nia terus akan menikah, Sekarang engkau….”

Pui Tiok hentikan kata katanya. kemudian melanjutkan pula, ”Oleh karena itu. engkau suruh aku bagaimana untuk menjawab?”

Keterangan Pui Tiok itu memang sesungguh-nya sehingga mau tak mau Coh Hen Hong harus percaya. Wajahnya mulai tenang,

“Dalam soal itu tergantung padamu sendiri Engkau suka memperisteri siapa? Dia atau aku?

Tiba-tiba Pui Tiok ulurkan tangan menjamah pinggang Coh Hen Hong. Seketika hati Coh Hen Hong berdebar ketas, Seumur hidup, belum pernah dia dihinggapi perasaan seperti saat itu, Dia merasa seperti melayang-layang di alam lain.

Pipinya merah, suaranyapun makin lembut Ia berkata pula. “Bagaimana, sebetulnya engkau akan memperisteri siapa?”

Sebagai pemuda yang cerdik Pui Tiok tahu bagaimana harus berbuat. Diperhatikannya bahwa saat itu Coh Hen Hong sudah seperti orang mabuk Pikirannya sudah limbung. Kalau saja dia juga meniru seperti orang limbung dan menjawab sekena-nya saja akan memilih Coh Hen Hong, apakah Coh Hen Hong akan mau percaya? Kalau memang Coh Hen Hong percaya, biarlah sekarang dia mengatakan memilih Coh Hen Hong dan kelak dia akan menyangkal hal itu. Mudah saja. “Engkau memang tolol,” katanya dengan serius. “coba engkau terka, aku akan memilih siapa?” sambil berkata pelahan lahan dia memeluk gadis itu. lalu mencium jidatnya.

Pui Tiok tidak mengatakan kalau dia akan memperisteri Coh Hen Hong. Tetapi ucapan dan gerak geriknya menunjukkan kesan yang jelas bahwa dia memilih Coh Hen Hong dari pada Kwan Beng Cu,

Sebenarnya Coh Hen Hong cerdik dan cermat sekali. Berulang kali Pui Tiok gagal mengelabuhinya. Tetapi saat itu memang lain, Walaupun dia berhati kejam dan ganas, suka berbuat sewenang-wenang menurut kemauannya sendiri. memiliki kepandaian sakti yang sukar dicari tandingan-nya. Tetapi bagaimanapun dia tetap seorang anak gadis yang tak lepas dari naluri perasaan halus wanita.

Betapapun sakti kepandaiannya tetapi apa yang didambakan dan dicita-citakan dalam hatinya terhadap seorang pria lawan jenisnya, sama seperti gadis pada umumnya.

Pertama kali berjumpa dengan Pui Tiok, dia tak mempunyai rasa apa-apa terhadap pemuda itu,

Dia hanya iri karena Pui Tiok lebih memperhatikan Kwan Beng Cu daripada dirinya, Sama-sama anak

perempuan mengapa Pui Tiok lebih bersikap baik dan memperhatikan sekali kepada Beng Cu dari pada dirinya?

Itulah salah satu sebab yang menyebabkan dia penasaran dan gemas terhadap Beng Cu. Tetapi setelah Pui Tiok mengunjukkan peribadinya sebagai seorang jantan karena tak mau berlutut dihadapannya, tiba-tiba timbullah suatu penilaian lain dalam hati Coh Hen Hong.

Timbulnya penilaian itu, menciptakan suatu perasaan baru dalam hatinya terhadap Pui Tiok,

Perasaan seorang gadis terhadap seorang pemuda.

Karena walaupun Pui Tiok saat itu sudah hampir berumur 30 tahun, tetapi dia cakap dan ganteng. Penampilannya akan dapat meruntuhkan hati setiap gadis.

Maka waktu Pui Tiok gunakan siasat beraksi untuk merayunya, tanpa pemuda itu mengucapkan jawaban ‘aku akan mengambilmu sebagai isteri’ Coh Hen Hong sudah merasa bahagia sekali. Dengan kemanjaan sikap yang mesra diapun sandarkan kepalanya ke dada Pui Tiok. 

Memang saat itu hati Pui Tiok berdebar keras sekali. Saat itu Coh Hen Hong sedang mabuk kepayang diluap kegirangan. Kalau dengan tiba-tiba dia menyerang bagian yang berbahaya dari tubuh gadis itu, walaupun andaikata tidak dapat membunuh nya tetapi paling tidak Coh Hen Hong pasti akan terluka parah.

Benar-benar suatu kesempatan yang jarang terdapat, Dan hati Pui Tiokpun jadi tegang sekali, Pelahan-lahan dia sudah mengangkat tangannya.

Pada saat tangannya terangkat setengah jalan dan Pui Tiok diam-diam sedang mengerahkan hawa murni untuk menghimpun kekuatan kearah tangan nya, sekonyong-konyong Coh Hen Hong mengangkat kepala dan berseru, “Pui loako, mengapa hatimu…. berdetak keras sekali?”

Mendengar itu pucatlah wajah Pui Tiok. Untung dia dapat melihat wajah Coh Hen Hoag tersipu merah menandakan kalau gadis itu tak melihat tangannya yang sedang diangkat keatas itu. Maka Pui Tiokpun buru-buru tenangkan hati dan menjawab, “Apakah engkau juga tak merasakan begitu?

Kata-kata itu membuat pipi Coh Hen Hong makin merah. Dia sandarkan lagi kepalanya ke dada Pui Tiok dan berkata, “Benar. aku juga begitu. Pui toako, beberapa tahun yang lalu, apakah engkau pernah berpikir bahwa engkau…. akan mengambil isteri seorang anak perempuan pengemis?”

Pui Tiok tenangkan hati. Tadi karena kuatir kepergok dia jadi gugup. Tetapi bukan berarti dia akan membatalkan rencananya. Tangan yang diturunkan tadi, sekarang diangkat lagi keatas.

Coh Hen Hong lama sekali tidak merasa. Dia masih bicara dengan kepala menunduk. Dia sedang terbuai dalam mimpi yang indah. Tetapi jantung Pui Tiok melonjak keras seperti mau loncat keluar sehingga dia tak sempat mendengarkan apa yang dikatakan Coh Hen Hong saat itu.

Pelahan tetapi tentu, tangan Pui Tiok sudah berada diatas kepala Coh Hen Hong. Dan tenaga murninya juga sudah terhimpun. Sekali ayun, Pui Tiok akan melaksanakan suatu rencana yang dia buat.

Bagaimana akibatnya, Ia masih belum dapat memastikan. Tetapi apabila hantamannya itu dapat menghancurkan batok kepala Coh Hen Hong dia akan dapat menyelamatkan dunia persilatan dari malapetaka besar.

Tetapi tepat pada saat yang gawat itu, tiba-tiba telinga Pui Tiok terngiang suatu suara yang halus macam ngiang nyamuk tetapi yang cukup jelas. Pui Tiok terkejut. Itulah ilmu penyusup suara yang disebut Coan-im-jip-bit yang dilancarkan seorang kepadanya. Dan ketika didengarkan dengan cermat, barulah dia tahu kalau yang melancarkan ilmu penyusup suara itu adalah Ui Un-kun. “Jangan gegabah turun tangan! Apa engkau hendak cari mati?” kata Ui un-kun.

Pui Tiok tertegun. Sesaat dia masih bingung mengambil putusan menurut perintah Ui Un-kun atau tidak, kembali Coh Hen Hong mengangkat kepalanya. Tetapi Saat itu wajahnya berbeda sekali dengan tadi. Sepasang matanya berkilat tajam, memberingas.

“Engkau bilang apa?” tegurnya.

Serasa ada sebuah arus hawa dingin yang mengalir dari kepala Pui Tiok sampai turun ke kakinya. Dia berusaha untuk menguasai diri sehingga tak sampai gemetar.

“Aku…. tidak bilang apa-apa,” katanya.

Coh Hen Hong kerutkan alis, “Benar? Tetapi tadi aku seperti mendengar bisik suara orang mengatakan ‘apa mau cari mati’. Dan memang nadanya bukan suaramu.”

Cepat Coh Hen Hong berseru keras, “Siapa yang berani masuk disini itu?” 

Diam-diam Pui Tiok mengeluh dalam hati. Telapak tangannya mengucurkan keringat.

Setan wabah Ui Un kun mengunakan ilmu menyusup suara Coan-lm-jip bi yang dipancarkan dengan tenaga-dalam sakti. Pancaran suara dengan tenaga-dalam itu langsung ditujukan pada telinga orang yang dituju. Misalnya hanya orang tersangkut yang dapat mendengarnya.

Tetapi karena ilmu kepandaian Coh Hen Hong amat tinggi maka diapun dapat mendengar juga, walaupun tidak begitu jelas.

Begitu Coh Hen Hong berseru, wajah Pui Tiokpun berobah. Setelah tak ada jawaban, barulah

Pui Tiok tenang dan memandang Coh Hen Hong.

Dilihatnya gadis itu heran.

‘Tak ada orang yang bicara, mungkin engkau salah dengar,” kata Pui Tiok.

Tetapi Coh Hen Hong gelengkan kepala, “Tidak. Aku memang mendengar bicara orang.”

Tiba-tiba dia mendorong ke muka, bum…. segulung angin tenaga yang kuat melanda. Dua batang pohon sebesar mangkuk tumbang. Dan gerumbul rumput liar yang tumbuh ditanah, seperti dipapas dengan pisau tajam, berhamburan ke tanah.

Tetapi tenaga gempuran Coh Hen Hong tidak berhenti melainkan masih bergelombang melanda terus, bruk…. lan-kan atau pasir besi di serambi yang terpisah Jauh, pun ikut rubuh. Terakhir tenaga- gempuran itu menghantam dan menjebolkan dinding tembok, bummm…. sebuah lubang besar muncul pada dinding tembok. Hancuran puing berhamburan kemana-mana.

Tetapi tetap tak tampak barang seorangpun juga.

Coh Hen Hong terus melesat kemuka. Pui Tiok terpaksa mengikuti di belekang. Cepat sekali Coh Hen Hong menyusur serambi dan tiba di ruang belakang. Pui Tiok yang tetap mengikuti, tak tahu mengapa Coh Hen Hong menuju ke belakang ruangan. Disitu Pui Tiok tertegun.

Ternyata bagian belakang situ jauh lebih sunyi dari bagian halaman muka tadi. Pertama, Pui Tiok melihat sebuah sumur yang terbuat dari batu besar, Bulatnya kecil dan diatas sumur itu ditindih dengan batu besar,

Coh Hen Hong melayang keatas batu besar itu. Pui Tiok makin curiga. Batu besar itu tingginya hampir satu meter terpisah dari tanah, Tanpa banyak pikir.

Pui Tiok juga melayang ke atas batu itu.

Disitu dia baru melihat sebuah lubang sebesar kepalan tangan. Dan ketika memandang dari lubang itu, tampak dalam sumur itu gelap sekali. Melihat itu Pui Tiok teringat sesuatu dan terkejut sekali,

“Apakah engkau jebluskan Beng Cu dalam sumur ini? teriaknya tertahan.

Coh Hen Hong deliki mata, “Kalau engkau tetap mengucap nama Kwan Beng Cu saja, aku tak kan mempedulikanmu. Memang dalam sumur terdapat seorang yang kujebluskan. tetapi bukan dia, 

“Siapa?” Pui Tiok makin curiga, Coh Hen Hong tak menjawab melainkan berseru

kearah lubang kecil, “Hai tua bangka, apakah tadi engkau yang bicara? Apakah engkau sudah bosan hidup?”

Belum selesai Coh Hen Hong berkata. dari dalam sumur itu terdengar suara orang mengaum ngeri.

Sumur itu tentu dalam sekali, Terbukti suara raung orang itu seperti berasal dari kedalaman yang jauh sehingga hanya seperti kumandang saja.

Bum …. menyusul terdengar letupan tertekan yang membuat batu penindih mulut sumur sedikit bergetar,

Pui Tiok segera dapat menduga apa yang terjadi.

Tentulah orang yang berada dalam sumur itu merayap naik dinding sumur dan menghantam batu penutup.

Jelas orang itu memiliki kepandaian yang sakti. Tetapi sayang batu penutup itu terlalu besar dan berat. Tak mungkin hancur dipukulnya.

Coh Hen Hong tertawa sinis. Dia menarik Pui Tiok diajak turun dan terus lari keluar. Sekeluarnya dari tempat itu baru Pui Tiok bertanya, “Dalam sumur itu

…. siapakah orang yang engkau jebluskan?”

“Perlu apa engkau bertanya?” balas Coh Hen Hong, “Ho, apa-apaan ini,” gumam Pui Tiok, “dalam

hubungan kita sekarang ini, apa yang engkau lakukan sudah tentu aku layak mengetahui,” 

Kata-kata Pui Tiok itu membuat Coh Hen Hong terkesiap. Tetapi cepat dia dapat menangkap maksud pemuda itu. Bukan marah kebalikannya dia malah girang sekali.

“Ai, benar.” dia tertawa, “seharusnya kita tak boleh main rahasia-rahasiaan.”

“Kalau begitu, katakanlah siapa yang engkau jebluskan dalam sumur itu,” kembali Pui Tiok mendesak.

“Dia sebenarnya seorang ko-jiu istana Ceng-te- kiong Waktu aku di Ceng-te-kiong, waktu secara berangsur-angsur Ceng-te menyerahkan tugas kepadaku, sebagian besar anak buahnya tidak patuh, berani terang-terangan menentang aku. Sebenarnya menurut kemauanku akan kubunuh saja mereka tetapi Ceng-te bilang kalau mereka itu sudah lama ikut padanya dan lebih baik lepaskan mereka pergi saja.

Oleh karena itu mereka pun dapat lolos dari Ceng-te- kiong!”

Mendengar itu hati Pui Tiok makin melonjak keras. Kini dia baru tahu mengapa Setan Wabah Ui Un-kun dan kepala gua Yu-beng-tong yang semula menjadi anak buah Ceng-te-kiong, sekarang datang dengan sikap mendendam kebencian terhadap Coh Hen Hong,

Agar tidak dicurigai Coh Hen Hong, Pui Tiok secara tak acuh berkata, “Apakah mereka semua berada di dalam sumur itu?”

Coh Hen Hong tertawa, “Ai, mudah saja engkau berkata, Mereka itu kojiu kelas satu semua Setelah masuk istana Ceng-te-kiong mereka makin mendapat kemajuan ilmunya, Waktu meninggalkan Ceng-te- kiong, kutahu kalau kawanan orang-orang itu tentu tak puas dan akan mencelakai aku. Benar juga. jahanam tua bangka Itu beberapa hari yang lalu datang kemari, heh, heh, mana dia dapat menandingi aku!”

“Hm, ceritamu panjang sekali tetapi sampai saat ini engkau belum mengatakan siapa yang berada dalam sumur itu,” kata Pui Tiok.

“Namanya tentu engkau sudah tahu, Dia adalah salah seorang Su-hiong (empat ganas) atau empat durjana besar dari aliran Shia-pay (jahat) yalah Ah Tang lokoay.”

Pui Tiok tak dapat bercuit lagi. Tak ada seorang persilatan yang tak kenal akan nama tokoh Ah Tang lokoay, Tetapi nyatanya saat itu dapat dijebluskan Coh Hen Hong kedalam sumur mati. Siapakah yang tak bergidik akan kesaktian gadis itu.

Tetapi ada suatu hal yang aneh bagi Pui Tiok.

Mengapa Coh Hen Hong tidak mau membunuhnya saja dan hanya dijebluskan kedalam sumur?

Tetapi sebelum dia sempat bertanya, Coh Hen Hong sudah mendahului, “Engkau tentu heran mengapa aku tak membunuhnya, bukankah begitu? Kubiarkan dia hidup tak lain hanya untuk umpan ikan2 yang lainnya. Dulu yang tidak senang kepadaku dan meninggalkan Ceng te-kiong tak kurang dari 7-8 orang. Diantaranya ada seorang yang telah kupapas kutung lengannya.

Sudah tentu mereka sangat benci sekali kepadaku.” “Ah Tang lokoay,” Coh Hen Hong melanjut, “karena Ah Tang lokoay sudah muncul, kawan kawannya tentu akan datang juga karena ku jebluskan Ah Tang lokoay, mereka tentu akan lebihi cepat lagi datang kemari.

Tetapi kalau Ah Tang lokoay kubunuh, mereka tentu tak berani datang, Hal itu akan meadatangkan bahaya di kelak kemudian hari.”

Pui Tiok mendeluh dalam hati. Bukankah mereka sudah datang? Setan Wabah Ui Un-kun dan kepala gua Yu-beng-tong sudah berada disitu Kini Pui Tiokpun tahu apa tujuan kedua tokoh itu. Mereka hendak membebaskan Ah Tang lokoay

“Bagus, kalau mereka berani datang, itu kebetulan sekali. Kita jaring mereka semua!” kata Pui Tiok dengan sengaja bersikap gembira.

Coh Hen Hong tertawa. Berjalan 10-an tombak jauhnya, kembali Coh Hen Hong tertawa, “Tadi aku sudah meluluskan, akan memberi kesempatan kepadamu untuk melihat Kwan Beng Cu Sekarang ikutlah aku,”

Perasaan Pui Tiok seperti melonjak-lonjak. Tetapi dia tak berani mengunjukkan perasaannya.

“Ah tak usah. Kalau aku bertemu dengan dia engkau nanti tentu tak senang,” katanya tak acuh.

Coh Hen Hong mengerling mata, “Benarkah itu? Apa engkau diam-diam takkan memaki aku sebagai tak pegang janji?”

“Ah, mana engkau begitu?” Pui Tiok tertawa Coh Hen Hong tertawa mengikik. Diam-diam Pui Tiok menyesal dalam hati. Kalau dia tak mau menggunakan kesempatan itu, lalu kapankah dia akan dapat bertemu dengan Bengcu?

Coh Hen Hong tertawa tetapi Pui Tiok seperti semut diatas kuali panas. Sesaat kemudian baru Coh Hen Hong berkata lagi, “Sudah tentu kuharap engkau tak memikirkan lagi kepadanya Tetapi karena aku sudah berjanji, dalam hubungan kita sudah seperti sekarang ini, masa aku akan membohongimu, mari .’”

Saat itu hati Pui Tiok seperti terlepas dari tindihan batu besar, Dia segera mengikuti di belakang Coh Hen Hong.

Tak berapa lama mereka tiba disebuah ruang lain. Ternyata tempat itu beberapa hari yang lalu Pui Tiok pernah datang tetapi dia tak menemukan apa-apa.

Begitu Coh Hen Hong tiba, dua orang segera muncul menyambutnya dan memberi hormat. Coh Hen Hong memberi isyarat tangan. Kedua orang itu cepat memberi laporan, “Dia baik-baik saja hanya tak mau bicara sepanjang hari.”

Pui Tiok yang dimaksudkan dengan ‘dia’ itu tentulah Beng Cu. Diam-diam dia mengeluh.

Coh Hen Hong mengangguk lalu melangkah masuk kedalam ruangan itu dan tiba disebuah ruang tamu yang kecil. Kedua orang itu mendahului dan memutarkan sebuah meja yang berada disitu.

Serentak dinding ruang itu terbuka sebuah lubang kecil. “Coba engkau mengintai dari lubang ini. Tetapi jangan bersuara. Kalau engkau bersuara aku marah,” kata Coh Hen Hong kepada Pui Tiok.

Pui Tiok itu tegang hatinya. Dia maju menghampiri.

Pada waktu tiba dihadapan lubang yang besarnya hanya satu jari itu, Pui Tiok dapat melihat Kwan Beng Cu.

Ternyata di dalamnya merupakan sebuah kamar yang indah sekali. Kwan Bang Cu tengah duduk di samping meja. Di sebelahnya menunggu seorang pelayan gadis.

Melihat itu Pui Tiok mendapat kesan bahwa rupanya Coh Hen Hong tidak memperlakukan kejam kepada Beng Cu. Tetapi melihat wajah Beng Cu yang begitu pucat lesi, diam-diam hati Pui Tiok seperti disayat sembilu. Jelas gadis itu tentu menderita batinnya.

Melihat itu lupalah Pui Tiok akan pesan Coh Hen Hong tadi. Dia tak dapat menahan diri untuk tidak memanggil Beng Cu.

Tetapi pada saat dia membuka mulut dan belum sempat bersuara tiba-tiba bahunya ditepuk oleh sebuah tangan.

Pui Tiok terkejut sehingga kata-kata yang sudah siap dilontarkan, ditelannya kembali. Cepat dia berpaling. Ternyata yang pegang bahunya adalah Coh Hen Hong.

Nona itu memandangnya dengan tertawa. Pui Tiok tak dapat berkata apa-apa kecuali hanya menghela napas. Walaupun pelahan tetapi karena suasana disitu sunyi sekali maka helaan napas Pui Tiok itu terdengar oleh Beng Cu. Nona itu mengangkat kepala memandang ke pintu.

Walaupun jaraknya dekat sekali tetapi karena terpisah oleh tembok maka Beng Cu tak dapat melihat apa-apa. Pui Tiok makin menderita hatinya.

Tetapi Pui Tiok menyadari bahwa segala sesuatu yang dialaminya, betapapun pahitnya, harus dia tahan. Nanti tengah malam baru dia berunding dengan Ui Un-kun dan kepala gua Yu-beng-tong.

Pui Tiok mundur selangkah dan dengan sikap tak acuh dia berkata, “Dia mendapat pelayanan yang baik. Malah engkau perintahkan seorang bujang untuk melayaninya.”

“Tentu saja,” sahut Coh Hen Hong,” mana aku berani sia-sia kepadanya.”

Pui Tiok tertawa, “Jangan sangka karena aku bicara begitu aku masih punya ikatan dengan dia.”

Coh Hen Hoag tampak senang, katanya, “Ah, Jangan sok. Kalau aku sudah membunuhnya, ku tak percaya kalau engkau masih bersikap baik kepadaku.”

Pikir Pui Tiok, lebih baik dia tak melanjutkan persoalan itu maka diapun hanya ganda tertawa saja dan terus ayunkan langkah. Coh Hen Hong mengikuti dibelakangnya. Sampai petang hari, Pui Tiok masih bersama dengan Coh Hen Hong.

Pada malam hari ada beberapa kojiu yang datang dari jauh hendak menghadap Coh Hen Hong, sebenarnya Coh Hen Hong enggan karena dia merasa lebih senang bersama dengan Pui Tiok. Tetapi Pui Tiok menganjurkan supaya dia menemui mereka.

Pui Tiok tahu bahwa Coh Hen Hong itu sangat ambisius dan gila hormat. Begitu beberapa kojiu itu menghadap, memberi hormat dan menyanjungnya, tentulah dia akan gembira sekali. Dengan begitu malam nanti Pui Tiok dapat bebas dari gangguan Coh Hen Hong.

Dan lewat malam nanti tentu akan terjadi perobahan. Perobahan itu pasti ada, entah baik entah buruk. Dia sudah tahu dimana Kwan Beng Cu dan Ah Tang lokoay ditawan. Nanti apabila

bertemu dengan Ui Un-kun dan kepala gua Yu- Beng-Tong dia akan mengajak mereka untuk membebaskan Beng Cu dan Ah Tang lokoay.

“Ya, kalau berhasil, kalau sampai gagal lalu bagaimana?” pikir Pui Tiok sembari menuju ke kamarnya. Karena kalau sampai gagal, Coh Hen Hong tentu akan tahu dan selanjutnya dia dan Kwan Beng Cu pasti akan menderita keadaan yang celaka.

Tiba-tiba di muka pintu dia menghela napas dan terus melangkah masuk. Dia lebih dulu hendak menyulut lampu karena kamar itu gelap. Tetapi tiba- tiba terdengar suara orang berseru, “Hm, apa guna menghela napas?”

Pui Tiok tersengat kaget. Cepat dia dapat mengenali suara itu sebagai suara Sisetan-wabah UI Un-kun. “Apakah Yu beng tongcu juga ada?” Put Tiok melesat kepintu untuk menutupnya kemudian berkata dengan bisik2, “Aku kuatir kalau nanti malam baru bertemu, tentu sukar untuk bertindak. Kurasa sekarang waktu yang tepat untuk kita bertindak.”

Ternyata Yu-beng tongcu juga berada dalam kamar situ. “Bagaimana engkau tahu kalau kami berdua akan melakukan sesuatu?” tegur Yu-beng tongcu.

Karena keadaan gelap maka tak tampak bagaimana sikap dan wajah Yu-beng tongcu. Tetapi dari nadanya yang dingin, cukuplah membuat bulu roma berdiri.

“Jiwi cianpwe, aku sudah tahu dimana Ah Tang lokoay ditawan,” bisik Pui Tiok.

Tiba-tiba sebuah tangan mencengkeram baju Pui Tiok, “Apa engkau berkata dengan sungguh?”

“Tentu saja sungguh,” jawab Pui Tiok,” masih ada sebuah berita yang lebih mengejutkan lagi yang akan kuberitahukan kepada cianpwe berdua. Rahasia ini sudah tak ternilai pentingnya. Kuharap nanti cianpwe berdua suka menyimpan rahasia ini.”

“Soal besar apa saja yang membuat engkau begitu tegang?” kata Ui Un-kun.

“Suan Hong siancu itu ternyata bukan cucu Ceng-te yang sesungguhnya melainkan gadis lain yang memalsu jadi cucu Ceng-te,” kata Pui Tiok.

Setelah dipertimbangkan dengan seksama, akhirnya Pui Tiok akan memberitahu tentang rahasia itu.

Karena kalau tidak begitu tentu sukar untuk mempengaruhi kedua tokoh itu supaya menolong Kwan Beng Cu dan membawanya ke Ceng-te-Kiong.”

“Kentut!” serempak Setan-wabah dan ketua gua Yu-beng-tong membentak.

Pui Tiok tertawa getir, “Cianpwe. memang panjang sekali ceritanya. Tetapi hal itu memang sungguh begitu. Dan lagi cucu perempuan Cengte yang aseli juga berada disini dan ditawan oleh budak perempuan busuk itu. kita tolong dia dan kita antarkan ke Ceng- te-kiong, baru nanti terang semuanya”.

Kedua tokoh itu tak bersuara. Jelas mereka tentu tercengang karena hal itu merupakan suatu Rahasia besar yang luar biasa artinya.

Beberapa saat kemudian baru Ui Un-kun berkata, “Taruh kata keteranganmu itu benar, tetapi juga sukar untuk melaksanakan’

“Mengapa?”

“Coba pikir,” kata Setan-wabah Ui Un-kun “karena selama ini Ceng-te belum pernah melihat cucunya maka mudah sekali ditipu orang lalu bagaimana dia dapat percaya apa yang engkau kata kan itu benar- benar cucunya yang aseli?”

“Hal itu”, Pui Tiok menanggapi, “akupun sudah mempertimbangkan. Sebenarnya pedang Ceng-leng- kiam itu sudah ditangan nona Kwan tetapi telah direbut oleh budak perempuan busuk itu

sekarang hanya ada satu cara!” “Cara bagaimana?” serempak kedua tokoh itu bertanya.

“Sudah tentu Ceng-te terkenang sekali kepada puterinya,” kata Pui Tiok, “karena budak hina itu memalsu jadi cucunya, sudah tentu dia tak mungkin tahu tentang puteri dari Ceng-te itu. Tetapi Kwan Beng Cu sebagai cucu yang aseli sudah tentu dapat menceritakan tentang keadaan mama-nya (puteri Ceng-te) kepada Ceng-te. Sebagai seorang yang cerdik, tak mungkin Ceng-te tak dapat membedakan mana yang aseli dan mana yang palsu?”

Memang Pui Tiok sudah lama mempersiapkan cara itu. Karena diapun sudah memperhitungkan, walaupun berhasil tahu letak Ceng-te-kiong dan dapat menghadap Ceng te, karena Kwan Beng Cu tidak membawa bukti apa-apa, belum tentu Ceng-te mau percaya begitu saja. Maka satu-satu nya cara adalah seperti yang di kata kan itu.

Ui Un-kun dan kepala gua Yu-beng-tong diam beberapa saat baru kemudian berkata, “Cara itu memang baik tetapi untuk membebaskan cucu Ceng- te dari tempat ini, bukan hal yang mudah.

“Ya memang.” sahut Pui Tiok, “tetapi kurasa dalam dunia yang begini luas, masa kita tak dapat melarikan diri.”

“Kalau mau melarikan diri bukannya tak dapat” kata kepala gua Yu-beng-tong, “tetapi untuk membawa kalian ke Ceng-te-kiong, lebih mudah mendaki tangga naik kelangit. Dan budak perempuan busuk itu sekarang besar sekali pengaruh nya di dunia persilatan. Begitu dia melihat gelagat nya tak baik, dia tentu tahu kalau kita akan ke Ceng-te-kiong. Asal dia buka mulut memberi perintah, siapa orang persilatan yang tak tunduk kepadanya? Dia dapat saja memerintahkan agar semua jalan yang menuju ke Ceng-te-kiong diblokir, Nah, lalu bagaimana kita mampu menerobos?”

Pui Tiok tertegun. Apa yang dikemukakan kepala gua Yu-beng-tong itu memang belum pernah terjangkau dalam pemikirannya.

Beberapa jenak kemudian dia tertawa, “Kalau begitu kita harus pelahan-lahan cari akal. Sekarang yang penting kita harus menyelamatkan dia lebih dulu baru nanti kita berunding lagi. Sekalipun harus bersembunyi ditempat yang terasing dari dunia sampai tiga lima tahun….”

Tiba-tiba dia hentikan kata-katanya karena dia tahu bahwa hal itu tak mungkin. Begitu tahu kalau dia dan Beng Cu akan menuju Ke Ceng-te-kiong maka Coh Hen Hong tentu akan lekas bertindak. Pertama, dia akan memerintahkan untuk menutup jalan yang menuju ke Ceng-te-kiong. kedua, Coh Hen Hong sendiri tentu akan pulang ke Ceng-te-kiong.

Pui tiok tahu kalau Coh Hen Hong sudah merencanakan untuk membunuh Ceng-te. begitu gadis itu pulang. mana dia mau tunggu sampai tiga atau lima tahun lagi baru turun tangan? Dan Ceng-te mati, segala harapan akan lenyap sama sekali.

itulah sebabnya Pui Tiok tak melanjutkan kata- katanya. Dia hanya tertawa rawan. ya, benar. Kita harus menolong Ah Tang lokoay dulu,” kata Setan-wabah Ui Un-kun.

Sebenarnya maksud Pui Tiok, supaya menolong Beng Cu dulu tetapi karena Ui Un-kun berkata begitu, diapun terpaksa mengalah. Sehabis Ah Tang lokoay baru nanti menolong Kwan Beng Cu Apalagi Ah Tang lokoay sudah bebas, berarti akan tambah seorang tenaga lagi. 

Pui Tiok lalu mengajak kedua tokoh itu berangkat.

Cepat sekali mereka sudah tiba di muka halaman. Sejenak berhenti, Pui Tiok memberi isyarat tangan dan merekapun lalu menyusup masuk.

Pui Tiok menuju ke sumur mati. Menunjuk pada batu besar yang menutup mulut sumur. dia berkata, Ah Tang lokoay berada dalam sumur itu”

Kedua tokoh itu cepat menghampiri sumur. mereka coba menggerak-gerakkan batu besar Itu. Batu itu tak Kurang dari 500 kati beratnya tapi karena kedua tokoh itu jago-jago kelas satu, begitu menggerakkan tenaga, batu itu mulai bergoyang-goyang.

Guncangan dan suara batu itu sebenarnya tak seberapa keras tetapi hal itu cukup mengejutkan Ah Tang lokoay. Dia menggerung seperti singa kelaparan,

“Diatas permukaan batu itu terdapat sebuah lobang kecil yang dapat dibuat alat kalau kita mau bicara. dengan orang yang dibawah. Lekas suruh dia jangan menggerung-gerung. Kalau sampai membikin kaget Coh Hen Hong tentu repot!” Kepala gua Yu-beng-tong melesat keatas batu.

Setelah melihat lubang kecil itu dia segera menghembuskan suara ke bawah, “Ah Tang, jangan bersuara, bantuan yang datang!”

Begitu dia berseru. Ah Tang diam. Kemudian mereka bertiga lalu bersama-sama mendorong batu besar itu. Dan tampaknya batu itu mulai berkisar.

Setelah berkutetan beberapa saat dengan mengerahkan seluruh tenaga akhirnya batu besar itu dapat menggelinding jatuh, bum…. terdengar letusan dahsyat. Batu menggelinding dan melanda sebatang pohon, Pohon juga ambruk menimpa sebuah rumah Dan rumah itupun roboh.

Dalam keadaan yang sunyi senyap seperti malam itu sudah tentu ledakan itu menimbulkan getaran yaug dahsyat sekali. Suatu hal yang sebelumnya tak pernah diduga oleh ketiga orang itu. Mereka tak berdaya untuk mencegah suara dahsyat itu.

Tepat pada saat itu sesosok bayangan meluncur keluar dari dalam sumur. Seorang manusia pendek yang rambutnya kalang kabut tak karuan.

“Bagus, akhirnya aku masih dapat melihat sinar matahari lagi,” serunya.

“Celaka, lekas lari,” Tiba-tiba Ui Un-kun menyadari keadaan yang berbahaya itu.

Tepat pada saat itu dari jauh terdengar suara berisik. Sinar api memancar-mancar, entah berapa banyak orang yang berhamburan datang menuju ke tempat itu. 

Ah Tang lokoay enjot tubuh dan kedua tokohpun cepat mengikuti. Melihat itu Pui Tiok berseru, “Tunggu dulu, kita masih harus menolong seorang lagi.”

“Dalam keadaan seperti sekarang, mana bisa Kita menolong orang lagi. Biarlah nanti saja kita rundingkan lagi”, seru Ui Un-kun seraya terus lari.

Perobahan yang tak diduga-duga itu membuat Pui Tiok geram sekali sehingga dia banting2 kaki. Dia hendak memaki ketiga tokoh yang dia anggap ingkar janji itu tetapi mereka sudah tak tampak lagi bayangannya.

Suara berisik itu makin dekat. Pui Tiok gugup. Kalau tak lekas-lekas lari. dia tentu akan celaka. Maka diapun segera mundur dan masuk kedalam ruangan.

Saat itu tampak beberapa orang muncul dengan membawa obor.

“Apa yang terjadi?” seru Pui Tiok mendahului bertanya.

“Entah, karena mendengar letupan dahsyat baru kami datang kemari, sahut mereka.

“Hm, apakah sudah melapor pada sian-cu?” tegur Pui Tiok,

Begitu dia selesai berkata, terdengarlah suara tawa aneh yang cepat sekali datang. Menyusul itu sesosok tubuh si dara muncul. Dia tak lain adalah Coh Hen Hong.

“Ada apa?” tegur Coh Hen Hong dengan marah. 

Pui Tiok berdebar tetapi dia tetap menahan diri agar jangan sampai diketahui. Lalu dengan nada yang tegas dan serius dia berkata, “Entah Kita hanya mendengar suara dahsyat lalu bersama sama lari kemari.”

Kemudian dengan nada berbisik, dia menyusuli lagi, “Ledakan keras itu sepertinya berasal dari tempat tahanan si Ah Tang lokoay…..”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar