Pedang Berbunga Dendam Jilid 10

JILID 10

Di hadapan segenap jago-jago sakti dari istana Ceng tek kiong, dengan berani coh Hen Hong menanyakan siapakah sasterawan yang di sebut Cukat sianseng oleh Cengte itu.

“Dia bernama Cukat Lik, jago andalan dari Ceng te- kiong, merupakan orang kepercayaanku Sebenarnya dia adalah salah seorang dari Tiang pek sam lo (tiga sesepuh gunung Tiang pek san). Kepandaiannya bukan alang kepalang. Engkau berbahasa dengan sebutan siok kong saja kepadanya”

Mendengar itu hati Coh Hen Hong makin tidak enak, Dia menengadahkan kepala ke atas dan tak mau menyapa Cukat sianseng.

“Ih, mengapa engkau diam saja?” tegur Ceng te.

Coh Hen Hong memang cerdas sekali. Dia pintar menilai perobahan wajah orang. Dalam kata-kata Cengte itu dia segera melihat bahwa walaupun lahirnya Cengte seperti menegur keras kepadanya tetapi sebenarnya Cengte memuji akan sikapnya.

Diapun teringat akan kata-kata Cengte bahwa setelah latihan ilmu pedang Leng liong kiam hwat selesai, segala urusan Ceng te kiong akan diserah kan kepadanya.

Diam-diam dia mendapat kesan bahwa Cukat Lik itu merupakan seorang jago yang paling menonjol dari Ceng te kiong. Jika saja dia dapat menindas kegarangan tokoh itu tentulah kedudukannya dalam istana Ceng-te-kiong akan menjadi kokoh.

Sebenarnya soal mencari pengaruh dan merebut kekuasaan, bukan soal mudah yang dapat dirangkai oleh pikiran seorang anak perempuan berumur 14-15 tahun seperti Coh Hen Hong. Bahwa pada umumnya, sekalipun orang yang sudah berumur 45 puluh tahun belum tentu dapat mengotak-atik pemikiran seperti itu.

Tetapi Coh Hen Hong sudah tahu dan sudah lebih dini tahunya. kalau dia sebelumnya jauh2 tidak tahu akan terjadi peristiwa seperti saat itu mana dia mempunyai pikiran untuk merebut pedang Ceng Leng kiam dan berani mati menyaru sebagai Kwan Beng Cu? Bagaimana dia berani mencuri pil Hu kut tan lalu ditukar dengan pil kiu thian siau hoan tan untuk meracuni Dewi Tongkat sakti? Bagaimana dia begitu tabah mengelabuhi melek2 pada Cengte, pemilik istana Ceng te kiong yang paling ditakuti seluruh dunia persilatan?

Coh Hen Hong memang diberkati dengan otak yang cerdas dengan nyali yang luar biasa besarnya. Mendengar teguran Cengte dia segera menyahut, “Engkong semua ini adalah kesalahanmu!”

Mendengar omongan Coh Hen Hong, itu seluruh hadirin pucat wajahnya. Cengte dipuja dunia persilatan sebagai malaikat yang turun kedunia.

Dalam istana Ceng te kiong dia berkuasa mutlak. Selama berpuluh tahun tak pernah ada manusia yang berani membantah apalagi berani mengatakan dia bersalah seperti Coh hen Hong.

Bukan melainkan seluruh hadirin, pun Cengte sendiri karena tak pernah menerima teguran seperti ini, wajahnya agak berobah.

Tetapi sejenak kemudian, dia teringat bahwa tujuannya memperkenalkan Coh Hen Hong kepada seluruh jago-jago sakti Ceng te kiong adalah supaya Coh Hen Hong mendapat kepercayaan dan ke wibawaan dari mereka. Mungkin karena mengetahui hal itulah maka Coh Hen Hong lalu mengatakan bahwa tindakannya itu kurang tepat.

Diam-diam dia memuji akan kecerdasan cucu perempuannya itu dan bukannya marah tetapi dia malah gembira dan berseru, “Apanya yang kurang tepat dariku, coba engkau katakan.”

“Engkong, engkau adalah yang dipertuan dari Istana Ceng te kiong ini” kata Coh hen Hong dengan tegas “dan aku adalah siau-cujin (majikan kecil).

Seluruh warga penghuni Ceng te kiong membahasakan engkau dengan sebutan cu-jin, dengan begitu kepadaku harus berbahasa siau-cujin.” Coh Hen Hong berhenti sejenak. Dan Cengte mengangguk, “Lalu bagaimana?”

“Cukat Lik ini,” kata Coh Hen Hong pula, seharusnya memanggil aku dengan sebutan siau-

cujin baru tepat. Bukan harus aku yang memakai sebutan menghormatinya sebagai seorang cianpwe.”

Begitu suara Coh Hen Hong bergema, tak seorangpun yang mengeluarkan kata-kata. Mata seluruh hadirin mencurah kearah Ceng-te.

Perlu diketahui bahwa sekalipun tampaknya Cukat Lik itu masih muda, seorang lelaki berumur pertengahan tahun, tetapi sebenarnya umurnya sudah lanjut. Ada lah karena dia memiliki tenaga dalam yang hebat maka dapatlah dia mempertahankan ketuaannya.

Dia adalah salah seorang sesepuh dari Tiga serangkai sesepuh perguruan Tiang pek pay. Seorang tokoh besar dalam dunia persilatan di Kwangwa. ilmu kepandaiannya sukar dijajagi. dalam dunia persilatan namanya amat terkenal sekali. Kalau tidak begitu masa diantara sekian banyak jago-jago sakti dalam Ceng-te-kiong, dia bisa mendapat kedudukan yang begitu tinggi.

Selama bertahun-tahun ini, semua urusan Ceng-te- kiong dengan fihak luar, hampir ditangani olehnya. ltulah sebabnya maka Ceng-tepun menaruh rasa kesungkanan terhadapnya dan memangilnya dengan sebutan Cukat sianseng. Kini seorang dara telah mengeluarkan kata-kata yang begitu menghina kepadanya. Semua orang. menduga tentu bakal terjadi peristiwa besar. Mata merekapun serempak mencurah pandang kearah Ceng-te.

Perbuatan Coh Hen Hong yang begitu kasar itu dapat ditinjau dari dua hal. Pertama, dia tahu kalau dalam hati kecil engkongnya, engkongnya Itu mendukung dia. Kedua waktu kecil mengembara di dunia persilatan, yang dikenal dan bergaul hanyalah golongan kaum rendah, tukang jual obat pengemis dan bangsa copet serta maling kecil. Sedikit sekali pengetahuannya tentang tokoh-tokoh terkenal dalam dunia persilatan. Maka kalau orang persilatan begitu mendengar nama Cukat Lik dalam hati sudah ngeri, Coh Hen Hong karena tak tahu siapa Cukat Lik itu, maka mentang2 tidak takut.

Saat itu suasana dalam paseban besar seperti beku dan tegang. Lewat beberapa saat kemudian, kembali Coh Hen Hong yang memecah kesunyian. Dia menegakkan kepala dan dengan suara yang jumawa sekali memandang lekat2 pada Cukat Lik seraya berseru, ‘Bagaimana.?”

Desakan Coh Hen Hong Itu membuat suasana makin tegang sekali,

Cukat Lik berbatuk-batuk dua kali. Sejak Coh Hen Hong berbicara tadi, wajahnya tetap tenang, sedikitpun tak ada perobahan. Mungkin dia sudah mempunyai rencana. Maka setelah batuk-batuk dengan tenang sekali dia berkata, “Apa yang siau- cujin katakan memang benar.” Jawaban Cukat Lik itu bukan saja membuat semua hadirin tercengang bahkan Coh Hen Hong sudah tertegun.

Sebenarnya Coh Hen Hong memang hendak cari perkara. Sengaja dia memancing kemarahan Cukat Lik agar segera timbul peristiwa. Tetapi karena Cukat Lik sudah mau menyebutnya dengan nama ‘siau-cujin”, sudah tentu dia tak dapat berbuat apa-apa lagi.

Tetapi dasar Coh Hen Hong itu seorang gadis yang liar, ternyata hal itu masih berekor panjang. Memang kalau setelah mendengar Cukat Lik menyebutnya ‘siau-cujin”, urusan lantas selesai, itu bukan Coh Hen Hong namanya.

Hanya sejenak tertegun atau Coh Hen Hong sudah tertawa dingin. serunya, ‘Rasanya dalam menyebut ‘siau-cujin” itu hatimu masih belum tunduk sungguh- sungguh, bukan?”

Pada saat itu baru tampak wajah Cukat Lik agak berubah. Tetapi. pada lain saat cepat sudah tenang kembali.

“Sesuai dengan apa yang engkau katakan tadi karena engkau ini cucu luar dari cujin maka akupun harus menyebut ‘siau-cujin , bagimana masih mengatakan aku tak patuh?” katanya dengan tenang.

Diam-diam Coh Hen Hong memuji kelihayan Cukat Lik. Tetapi bukan Coh Hen Hong kalau begitu saja dia sudah keok. Kalau hanya memaksa orang berganti panggilan kepada dirinya saja, masih belum cukup.

Dia hendak menggunakan kesempatan dimana seluruh jago istana Ceng-te kiong berkumpul dalam ruang besar, akan membuat kejutan untuk menanam tonggak kepercayaan dan pengaruh kepada mereka.

Maka dia maju selangkah lagi untuk menekan, “Kalau sudah mau memanggil siau-cujin mengapa tak menjalankan peradatan memberi hormat sebagai layaknya orang bawah?”

Mendengar kata-kata itu seketika wajah Cukat Lik berobah dan serentak diapun bangkit berdiri.

Tenaga dalam Cukat Lik hebat sekali. Saat itu dia hanya berdiri dan tidak menggunakan suatu gerakan apa-apa. Tetapi gerak tubuhnya. yang berdiri itu sudah menimbulkan setiup angin yang bertenaga kuat.

Memperhatikan hal itu diam-diam Coh Hen Hong mengeluh dalam hati dan nyalinyapun mengkeret Hampir saja dia batalkan niatnya Tetapi pada saat kilat dia teringat. Selama Ceng-te masih berada disitu, betapa besar nyali Cukat Lik, tentu tak berani akan mencelakai dirinya. Seketika timbul lagi nyalinya. Ya, kalau tidak menggunakan kesempatan bagus seperti saat itu lalu mau tunggu kapan lagi?

Maka tanpa banyak perhitungan lagi dia terus maju dua langkah dan berkata dengan angkuh, “Engkau hendak memberi hormat kepadaku?”

Cukat Lik tak menghiraukan Coh Hen Hong, lalu berpaling kearah Ceng-te, “Cujin, aku benar-benar mencemaskan nasib Ceng te kiong!” Tiap kata diucapkan dengan nyaring dan tandas sehingga menggetarkan jantung setiap hadirin Cengte tetap duduk tak bicara apa-apa.

“Di dunia persilatan Ceng te kiong mempunyai nama besar bagaikan matahari dilangit. Mengapa engkau mencemaskan nasib Ceng-te-kiong. Apakah engkau bermaksud hendak memberontak?” Cukat Lik serentak berputar tubuh menghadap Cengte. Tampak Coh Hen Hong sudah meraba pada sepasang pedangnya.

“Cujin,” kata Cukat Lik, “sudah bertahun-tahun aku mengabdi kepada cujin. Selama itu aku merasa tak punya jasa apa-apa tetapi juga tak punya kesalahan. Sekarang aku hendak mohon mengundurkan diri!”

Sudah tentu Cukat Lik tak takut kepada anak perempuan itu. Tetapi sebagai orang tua yang banyak pengalaman sudah tentu dia tahu kalau Cengte berat pada cucu perempuannya. Dalam keadaan seperti itu sudah tentu dia tak dapat berbuat apa-apa terhadap Coh Hen Hong. Oleh karena itu, satu satunya jalan yang terbaik adalah mengundurkan diri dari Ceng te kiong.

Walaupun selama bertahun tahun dia telah banyak membantu dan berjasa kepada Ceng te kiong tetapi dalam keadaan seperti saat itu, dia benar-benar tersinggung sekali perasaannya. Maka waktu mengucapkan kata-kata pengunduran diri itu suaranyapun gemetar.

Setelah mendengar pernyataan Cukat Lik, baru Ceng-te membuka mulut. Dia tertawa hambar. “Cukat sianseng, katanya, “Beng Cu tak pandai bicara, harap jangan menyesalinya. Tetapi kurasa kalian berdua boleh juga adu kepandaian. Setelah tahu siapa diantara kalian berdua yang lebih tinggi kepandaiannya, baru nanti aku dapat mengatur lagi.”

Ucapan Ceng-te itu telah menimbukan kegemparan besar dalam ruang besar. Karena sebagai salah satu dari ketiga sesepuh perguruan Tiang pek pay, bagaimana mungkin Cukat Lik tak mampu mengalahkan seorang dara berumur 14-15 tahun saja.

Tetapi karena Cengte sudah mengatakan begitu, menandakan bahwa dia sudah mengetahui betul kepandaian dari cucu perempuannya. Peristiwa itu benar-benar bagai halilintar berbunyi di siang hari yang mengejutkan seluruh jago-jago istana Ceng te kiong.

Beberapa anak buah Ceng te kiong yang memiliki pandangan tajam dan tahu akan perobahan dalam Ceng-te-kiong, cepat-cepat berpaling haluan mengambil muka pada Coh Hen Hong, serunya, “Harap siau-cujin suka mempertunjukkan beberapa jurus kepandaian yang sakti agar dapat menambah pengalaman kami.”

Bahkan ada beberapa orang yang terus maju ke muka Coh Hen Hong dan memberi hormat, “Hamba menghaturkan hormat kepada siau-cujin.”

Begitu ada orang yang melakukan penghormatan itu maka berbondong-bondonglah jago-jago istana Ceng-te-kiong itu maju untuk memberi hormat kepada Coh Hen Hong. Sudah tentu Coh Hen Hong makin melonjak kebanggaannya. Diam-diam dia sudah mempunyai rencana bahwa apabila nanti dia sudah menerima pengangkatan sebagai penguasa istana Ceng-te kiong orang-orang yang saat itu tak mau memberi hormat kepadanya, akan dibersihkan.

ia melirik kepada Cukat Lik lalu menantangnya. “Apakah engkau berani adu kepandaian dengan aku?”

Cukat Lik berjalan pelahan lahan ke hadapan Cengte dan setelah tiba di mukanya lalu berlutut memberi hormat, “Aku yang rendah telah mengabdi selama bertahun tahun. Cujin seharusnya tahu bahwa aku tidak berani berbuat sesuatu yang tak layak.”

Cengte hanya ganda tertawa menjawab. “Ah” tapi adu kepandaian juga bukan hal yang tidak layak”

“Tetapi aku tak berani turun tangan. Sebab nya sudah jelas,” kata Cukat Lik dengan nada sarat.

Wajah Cengte menampilkan rasa kurang senang, serunya, “Engkau hendak mengatakan bahwa kalau engkau dapat mengalahkan Beng Cu lalu aku marah dan akan turun tangan kepadamu? Apakah aku ini seorang manusia yang picik dan tak tahu tata peraturan?”

Kata-kata Cengte itu diucapkan dengan nada yang tajam. Mendengar itu perasaan Cukat Lik menjadi tenang. Dia berbangkit dan berkata, “Ah aku yang rendah ini memang patut mampus. Seharusnya aku tak boleh mengukur perasaan cujin seperti itu. Harap cujin sudi memberi maaf.” Setelah mendapat pernyataan dari Cengte, hati Cukat Lik lega sekali. Sebab bukannya dia takut kepada Coh Hen Hong melainkan takut kepada Ceng- te. Kini setelah Ceng-te berkata. begitu, entah nanti kesudahan dari adu kepandaian itu bagaimana. Cengte takkan campur tangan dan takkan menindaknya.

Memang setelah adu kepandaian itu nanti selesai, dia sudah membayangkan bahwa dia tak dapat tinggal lebih lama di istana Ceng-te kiong

Tetapi diapun akan berusaha agar pengunduran dirinya nanti tidak sampai membawakan akibat yang tak diinginkan, Dia hendak mengundurkan diri dengan baik-baik.

Maka setelah berkata kepada Ceng-te, dia lantas mundur dan memberi hormat kepada Coh hen hong, mempersilakan. “Silahkan!‘

Coh Hen Hong ibarat anak kambing yang tak takut harimau. Dia memang sudah kepingin lekas-lekas bertempur. begitu mendengar tantangan Cukat Lik, dia terus ayunkan tubuh loncat ke hadapan orang itu.

‘Silahkan siaucujin memulai,” Cukat Lik kembali mempersilahkan. Tubuh agak mengendap ke bawah, telapak tangan dilindungkan ke dada dan tangan kanan menjulai ke bawah. Walaupun berdiri tegak tetapi sepintas perbawanya memang menggetarkan hati orang.

Saat itu kepandaian Coh Hen Hong sudah maju pesat sekali. Pengalamannya juga bertambah. Tinggi rendahnya kepandaian orang dia sudah dapat menilai. Melihat cara Cukat Lik pasang kuda2, diam-diam Coh Hen Hong terkejut. Dia menyadari bahwa tentu tak mudah untuk mengalahkan lawan.

Dalam kehilangan faham itu dia berpaling kearah Ceng-te. Melihat itu Cengte tahu apa yang dimaksud Coh Hen Hong. Tetapi dihadapan beratus-ratus mata dari jago-jago Ceng te kiong, sudah tentu dia tak mau terang terangan memberi petunjuk dan membantu Coh Hen Hong.

Atas permintaan bantuan dari Coh Hen Hong, Cengte seperti tak menggubris tetapi matanya memandang lekat kearah sepasang pedang pusaka yang terselip dipinggang anak perempuan itu.

Coh Hen Hong yang cerdik segera tahu yang dimaksud Cengte. Dia terkejut sejenak tetapi pada lain saat dia sudah mengerti maksud engkongnya.

Sekali tangan meraba ke pinggang, dia sudah meraba tangkai kedua pedang pusaka dan sambil tertawa dia menegas, “Kalau begitu, apakah aku yang lebih dulu memulai?”

Sudah tentu Cukat Lik tak memandang mata kepada dara itu maka serempak diapun tertawa , “Menurut kepantasan memang siaucujin yang harus lebih dulu turun tangan”

“Baik, sambutlah!” seru Coh Hen Hong. Secepat itu tangannya sudah mencabut pedang Ceng leng-kiam dan Kim hong-kiam. Sinar biru dan sinar emas yang menyilaukan mata, serentak memancar bagai sepasang naga yang menyerang maju.

Sekali bergebrak, Coh Hen Hong sudah gunakan jurus Sia-hong peng-koan atau Bianglala serempak muncul. Salah sebuah Ilmu pedang Leng liong kiam hwat yang paling sukar dan banyak perobahannya. Dan senjata yang digunakan itu, sepasang pusaka yang tak pernah disangka-sangka oleh Cukat Lik.

Bukan melainkan Cukat Lik saja, pun seluruh jago- jago istana Ceng-te-kiong yang hadir tersentak kaget dan berteriak tertahan.

Ilmu kepandaian Cukat Lik memang tinggi dan luas.

Boleh dikata hampir seluruh ilmu silat dari berbagai aliran dalam perguruan dalam dunia persilatan dia sudah faham semua.

Pada waktu dia baru mulai bergerak mengangkat nama, jangan lagi berani bertempur dengan dia, sedangkan pada waktu bertempur dengan lawan, asal dia mengangkat tangan atau menggerakkan kakinya saja, lawan tentu sudah lari terbirit birit.

Tetapi terhadap ilmu pedang Leng-liong-kiam dari Coh Hen Hong itu, benar-benar dia belum pernah tahu sama sekali. Kaum persilatan juga tak ada orang yang pernah mendengar dan melihat ilmu pedang Leng liong kiam hwat.

Maka waktu Coh Hen Hong mulai menyerang karena melihat gerak pedang itu bagai bianglala yang mencurah seperti hujan deras dan karena mengenali bahwa senjata yang digunakan dara itu adalah sepasang pusaka yang termasyhur dari Ceng te kiong sedang dia hanya dengan tangan kosong maka satu satunya jalan yang paling baik adalah loncat mundur menghindar.

Tetapi setitikpun dia tak menyangka bahwa karena tindakannya loncat mundur itu, dia malah menderita malapetaka yang besar.

ilmu pedang Leng liong kiam hwat itu merupakan hasil ciptaan Cengte yang memakan waktu lama dan merupakan gabungan dari seluruh ilmu kepandaian Cengte. Dia menuang dan merangkai berbagai keindahan dan kelebihan dari ilmu pedang menjadi satu dan disempurnakan lagi menjadi ilmu Leng-hong- kiam-hwat Itu.

Setiap gerak perobahan dan setiap jurus saja, hebatnya bukan alang kepalang. sekali serangan sembilan gerak perobahan segera memancar.

selesai maka jurus yang kedua segera menyusul sehingga tak memberi kesempatan pada lawan untuk bernapas. Dan begitu pedarg bergerak maka empat penjuru segera menghambur bayangan pedang yang mengepung tubuh lawan. Satu satunya cara yang terbaik untuk menghindar ialah malah maju menerjang. Tetapi kalau menyurut mundur pasti celaka.

Sudah tentu Cukat Lit tak tahu rahasia ilmu pedang itu. Pada umumnya untuk menghindar dari serangan pedang, loncat atau menyurut mundur adalah yang terbaik. Oleh karena itu untuk melepaskan diri dari hamburan pedang, dia menyurut mundur dulu baru kemudian mengatur siasat balas menyerang. 

Melihat lawan mundur, Coh Hen Hong gembira sekali. Dengan bersuit nyaring dia mainkan pedang makin gencar. Sinar biru bercampur emas, berkelap- kelip laksana kunang2 di gelap malam.

ilmu ginkang Cukat Lik Sudah tentu tidak kalah dengan Coh Hen Hong. Gerakannya mundur lebih cepat dari serbuan Coh hen Hong Tetapi sayang dia mundur waktu Coh Hen Hong sudah mengembangkan permainan pedang. Sinar pedang itu sudah membungkus dirinya (Cukat Lik) sehingga gerakannya sudah dikuasai pedang Coh hen Hong. Melihat Coh Hen Hong mendesak, Cukat Lik

hendak mundur Lagi. Tetapi dia terkejut ketika mendapatkan di sebelah kanan dan kirinya sudah dipagari dengan kelebat sinar pedang. Dan yang Lebih mengejutkan, dia tak tahu di mana saat itu Coh hen Hong berada.

Sejak berpuluh tahun yang lalu mulai belajar silat hingga sekarang, belum pernah dia mengalami peristiwa yang sedemikian mengejutkan.

Adalah karena tertegun kaget tubuhnyapun berhenti bergerak. Ya. hanya setengah mata mengejab saja, tahu-tahu dia rasakan lengan kanan dan kirinya terasa silir.

Dan tepat pada saat itu tiba-tiba sinar pedang lenyap. Ternyata Coh Hen Hong sudah menarik pedang dan menyurut mundur.

Cukat Lik masih tak tahu apa yang terjadi pada dirinya atau tiba-tiba dia dikejutkan dengan rasa basah pada tubuhnya. Saat itu baru dia tahu bahwa kedua lengannya telah terbabat kutung.

Dia menjerit ngeri dan terhuyung-huyung mundur tiga langkah. Setiap langkah, darah menyembur deras dan suara jeritannyapun makin nyaring.

Pada saat itu segenap hadirin serempak berdiri.

Mereka tak menduga bahwa adu kepandaian itu akan berakhir begitu cepat. Lebih tak menyangka bahwa kesudahannya sedemikian mengerikan.

Wajah setiap jago-jago Ceng te kiong dilanda ketegangan kejut yang hebat bahkan Cengte sendiri juga kaget.

Tetapi Coh Hen Hong sendiri setelah berhasil memapas kutung kedua lengan Cukat Lik, girangnya bukan kepalang. Hanya dia seorang yang kegirangan.

Tampak tiga empat orang loncat ke luar untuk memberi pertolongan. Mereka segera menutuk kedua lengan Cukat Lik beberapa kali untuk menghentikan pendarahan. Keempat orang itu tergolong jago utama dari istana Ceng te kiong.

Setelah ditutuk lengannya, tubuh Cukat Lik lalu rubuh. Tetapi saat itu salah seorang dari keempat jago itu sudah menyanggupinya. Kemudian ada pula yang terus membawa obat leng-yok yang manjur untuk luka.

Darah sudah berhenti tetapi kedua lengan Cukat Lik tetap hilang dan lukanya besar menganga. Walaupun hadirin itu semua terdiri dari jago-jago silat yang bisa melihat darah tetapi waktu menyaksikan pemandangan pada luka Cukat Lik, tak urung mereka merasa ngeri juga.

Apalagi hal itu terjadi pada diri seorang tokoh seperti Cukat Lik. Sudah tentu mereka terkejut bukan main.

Pada lain saat tampak 10 an orang, yalah Orang- orang yang tadi tak mau ikut ikutan memberi hormat kepada Coh hen Hong, serempak berbangkit dan meninggalkan tempat duduk. Dua diantaranya memapah tubuh Cukat Lik dan yang lain serempak memberi hormat kepada Ceng-te lalu berbareng menghaturkan permohonan, “Cujin, ijinkanlah kami pergi.”

Saat itu Cengte sudah duduk kembali. Dia mengurut-urut jenggotnya. Tampaknya dia masih belum dapat memberi pernyataan apa-apa. Dan rombongan jago-jago itu tampaknya berduka sekali.

Tiba-tiba Coh Hen Hong tertawa dingin, “Kalian hendak tingalkan Ceng-te-kiong? Hmm, jangan ber….”

Sebelum dia sempat menyelesaikan kata ‘bermimpi’, Cengte sudah mendahului, “Apakah kalian sudah tak berhasrat tinggal di Ceng te kiong lagi?”

“Ya,” sahut rombongan orang itu serentak.

Ceng-te memandang Coh Hen Hong lalu menghela napas, kalian ikut aku di Ceng te kiong sudah bertahun tahun dan sekarang tiba-tiba hendak pergi dari sini, apakah bukan karena kalian sudah mulai bosan kepadaku?” belasan jago-jago silat itu saling berpandang satu sama lain. Rupanya mereka sukar untuk menjawab.

Bahwa setelah menyaksikan bagaimana Cukat Lik telah menderita luka parah dibawah ilmu pedang Leng liong-kiam hwat tadi, menyebabkan mereka tanpa ajak-ajakan sebelumnya, lalu menyatakan hendak meninggalkan Ceng-te-kiong. Hal itu disebabkan karena mereka menderita kegoncangan batin dan merasa tak puas dengan tindakan Cengte.

tetapi waktu Ceng-te bertanya, mereka tak berani menjawab.

Tiba-tiba terdengar Cukat Lik menghambur tawa panjang bernada pilu lalu berkata, “Cujin, mengapa engkau masih mengajukan pertanyaan begitu”

Ceng-te tertawa mengekeh, “Baik, karena kalian mengajukan permohonan begitu akupun tak mau memaksa. Tetapi ingat Setelah keluar dari Ceng-te kiong, kalian sudah bukan orang Ceng-te kiong lagi dan kelak takkan mendapat perlakuan istimewa!”

Belasan jago-jago itu terdiri dari jago-jago kelas satu. Mereka menyadari bahwa setelah pergi dari Ceng-te-kiong, kelak tentu mereka akan menderita kesukaran. Tetapi apa yang mereka harap dari Ceng- te-kiong? Bukankah Cukat Lik orang yang paling mendapat kepercayaan dari Ceng-te, toh takdirnya harus menerima nasib begitu mengerikan.

Maka rombongan jago-jago itupun keraskan hati dan menyahut serempak, “Ya, kami mengerti.” Tampaknya Cengte mengangkat tangan kanannya pelan pelan dia berseru, “Pergilah.”

“Engkong” seru Coh Hen Hong.

Tetapi pada saat itu belasan jago-jago itu dengan memapah Cukat Lik, sudah melesat pergi. Cepat sekali mereka bergerak sehingga pada saat Coh Hen Hong berseru kepada Ceng-te, kawanan jago-jago itu sudah keluar dari ruang besar.

‘Engkong, mengapa engkau lepaskan mereka pergi?” teriak Coh Hen Hong.

Cengte tertawa hambar “Kalau….. “

Coh Hen Hong gentakkan kakinya ke tanah dan berteriak, “Lekas, hayo ikut aku mengejar mereka!”

Dara itu terus melesat keluar. Melihat itu dua tiga puluh orang segera lari mengikuti. Suasana menjadi tegang.

Sebenarnya Coh Hen Hong masih kuatir kalau perintahnya tadi tidak mendapat sambutan. Maka setiba di luar pintu dia berpaling ke belakang Ternyata tak kurang dari enam tujuh belas orang telah mengikutinya.

Coh Hen Hong girang sekali. Dia tahu bahwa sekarang, kedudukannya sebagai siaucujin sudah dianggap resmi oleh jago-jago Ceng-te kiong. Nafsu nya untuk mengejar kawanan jago yang hendak pergi dari Ceng-te-kiong tadi makin berkobar Dengan tindakan itu, pamornya akan menjulang naik. Sambil lari mengejar, ia memberi perintah, “Yang ginkangnya hebat. boleh mendahului mengejar. Kalau tak dapat melawan mereka, tahan dulu sampai bala bantuan datang!”

Wut wut, wut….!

Terdengar berulang kali angin semrebet. Tujuh delapan jago, bagaikan angin bertiup, sudah melesat ke muka.

Saat itu jago-jago yang membawa Cukat Lik sudah tak berapa jauh di sebelah muka. Apabila jago-jago Ceng te kiong itu dapat menyusul, tentulah akan terjadi bentrokan hebat diantara kedua belah fihak.

Tetapi pada saat yang genting itu, tiba-tiba di udara terdengar beberapa kali suara suitan panjang, menyusul delapan gunduk mega hitam mengembang di udara. Tahu-tahu delapan ekor burung rajawali raksasa melayang turun dari udara dan berhenti di tengah kedua rombongan jago-jago itu.

Menyusul terdengar suitan yang luar biasa nyaringnya. Sesosok tubuh melayang diatas kepala rombongan jago-jago itu, tahu-tahu sudah berdiri di muka mereka.

Rombongan jago yang mengejar terpaksa berhenti.

Tetapi Coh Hen Hong tak menggubris dan tetap menyelinap maju. Sosok tubuh yang muncul tadi segera melesat dan menghadang di muka Coh Hen Hong.

“Engkong!” teriak Coh Hen Hong seraya berhenti. Yang melayang turun dengan kawanan delapan burung rajawali raksasa itu bukan lain adalah Cengte sendiri.

“Beng Cu” teriak Cengte.

Coh Hen Hong tampak tegang sekali, serunya ‘Engkong, mereka yang meninggalkan Ceng te kiong itu, kelak tentu akan merugikan kita!”

Ceng-te mendengus dan pelahan-lahan berputar tubuh. Rombongan jago-jago yang membawa Cuhat Lik hanya terpisah 10 an tombak. Begitu melihat Ceng-te berputar tubuh, menggigillah hati mereka.

salah seorang di antara mereka, memberanikan diri berkata, “Cujin telah mengabulkan permohonan kami, kami sudah merasa berterima kasih tak terhingga.

Bagaimana kami masih berani berbuat hal-hal yang merugikan Ceng-te-kiong?”

Cengte tertawa hambar, “Jangan kuatir. Karena sudah kululuskan kalian pergi, masa aku hendak menjilat ludahku lagi. Pergilah!”

Kawanan jago-jago itu seperti orang mati yang hidup kembali. Mereka segera cepat ayunkan langkah dan dalam beberapa kejab sudah tak kelihatan lagi bayangannya.

Ceng-te teringat bahwa mereka semua adalah Jago- jago kelas satu yang sudah banyak berjasa dan sudah lama ikut pada dia. Bahwa mereka pergi dengan begitu saja, mau tak mau perasaannya tiba-tiba tergetarlah hatinya. Seumur hidup belum pernah dia dihinggapi oleh rasa begitu. 

Memang perjalanan hidup Cengte itu luar biasa. Waktu kecil dia telah mendapat peruntungan yang ajaib. Belum berumur 20 tahun, dia sudah mengangkat nama besar. Diseluruh dunia persilatan jarang terdapat jago yang mampu menandinginya. Perjalanan hidupnya berliku dengan lancar. Selama berpuluh tahun tak pernah dia merasakan getaran kejut. Apalagi getar kejut seperti saat itu.

Rasa kejut yang dirasakan ketika dia berputar tubuh tak lain ialah ketika melihat wajah Coh Hen Hong.

Wajah dara itu tampak membetina penuh dendam kesumat!

“Beng Cu,” sejenak tertegun, Ceng-te meneriakinya.

Tetapi Beng Cu tak mau menjawab. Dia berputar tubuh.

“Beng Cu, kemarilah,” kembali Ceng-te berteriak.

Tetapi Coh Hen Hong tetap tak mau menyahut dia bahkan terus lari keluar. Ceng-te melesat mengejar, mencekal tangan dara itu, “Beng Cu, beberapa orang itu telah mengabdi lama dan banyak berjasa pada Ceng-te-kiong. Sudah layak kalau mereka dibebaskan.”

Memang mendongkol sekali hati Coh Hen Hong karena dihalangi engkongnya itu. Saking tak kuasa menahan kemengkalannya, wataknya yang liar segera timbul, “Engkaulah yang berkuasa di Ceng te kiong. Engkau suka bagaimana, terserah Mau melepaskan mereka, akupun tak berhak apa-apa.

Tetapi setelah berkata begitu, dia terkejut sendiri.

Dia merasa kelewatan juga. Kalau Ceng te sampai marah, bukankah dia akan celaka nanti.

Tetapi karena habis lari mengejar maka pada waktu berkata begitu, napasnya masih terengah engah. Dan sukar baginya untuk berbisik-bisik minta maaf. Oleh karena itu dia membiarkan saja bagaimana nanti reaksi Ceng-te, sekalipun dengan hati yang berdebar- debar.

Memang kalau lain orang berani berkata begitu kepada Cengte, jelas dia sudah bosan hidup. Tetapi bagi Coh Hen Hong memang ada pengecualiannya.

Luka dalam hati Ceng-te karena puteri satu satunya telah melarikan diri, sukar sembuh sampai bertahun tahun. kini setelah mendapatkan cucu perempuannya pulang dan sudah makin tumbuh sebesar mamanya. rasa sayang Cengte makin tumbuh subur. Dia tak mau kehilangan cucu perempuannya lagi.

ltulah sebabnya walaupun Coh Hen Hong berkata begitu kasar, Ceng-te tidak marah, malah merasa sedih dia menghela napas.

“Beng Cu, lalu engkong harus bertindak bagaimana?

Apakah engkau hendak berlainan pikiran dengan engkong?”

Mendengar ucapan Cengte sedemikian rupa, legalah perasaan Coh Hen Hong, “Hm,” dia mendesuh, “aku mempunyai pendirian lain apa dengan enkong? Aku hendak melakukan sesuatu tetapi engkau tak memperbolehkan. Coba engkong pikir, apakah aku yang harus disalahkan?”

Cengte ulurkan tangan mengelus elus kepala Coh Hen Hong, katanya, “Tuh, lihat, mau marah-marah lagi. Aku sudah meluluskan permintaan mereka, masakan engkau menghendaki engkong menjadi orang yang tak pegang kata-kata?‘

Coh Hen Hong makin girang, Dia tak kuasa lagi menahan tawanya lalu berkata, “Dan Untuk kelak?”

Melihat Coh Hen Hong tertawa, hati Cengte pun longgar. Sambil tertawa dia menjawab, “Setan cilik, urusan kelak, engkaulah yang akan memutuskan.”

Demikian kedua engkong dan cucu itu lalu berjalan sambil bercakap-cakap. Rombongan jago-jago mengikuti di belakang Mereka mendengar apa yang dibicarakan engkong dan cucunya. Mereka terkejut dan saling pandang memandang. Kini mereka baru tahu jelas bahwa sejak saat itu dalam istana Ceng te- kiong telah timbul perobahan baru. Mereka mendapat tambahan seorang cujin baru.

Mendengar ucapan Ceng-te, barulah hati Coh hen Hong tenang. Walaupun Cukat Lik dan rombongannya dapat meninggalkan Ceng-te-kiong tetapi dia tetap puas.

Tiba-tiba dia berpaling ke belakang. Rombongan jago-jago yang mengikuti di belakang terkejut dan serentak berhenti. “Kalian tunggu aku di ruang besar. Sebelum aku datang, jangan pergi,” cepat dia memberi perintah.

Belasan jago itu serempak mengiakan dan terus melesat keluar.

“Engkong, waktu aku memberi perintah, apakah cukup berwibawa?” tanya Coh Hen Hong.

Ceng-te tersenyum, “Cukup berwibawa!”

Tetapi setelah mengatakan begitu, Ceng-te menekan suaranya, “Tetapi Beng Cu, orangku adalah jago-jago kelas satu dalam dunia persilatan. Kalau engkau menghendaki mereka betul-betul tunduk kepadamu, engkau harus menyiksa diri untuk belajar silat yang lebih sakti itu agar lebih unggul dari mereka”

Mendengar itu diam-diam terkejut juga Coh Hen Hong, katanya gopoh, “ya, ya, engkau benar, engkong”

Sebenarnya dia sudah hendak mulai unjuk gigi dalam istana Ceng te-kiong. Tetapi setelah mendengar nasehat Ceng-te, tiba-tiba dia merubah niatnya. Dia memutuskan setelah nanti dalam kepandaian silat dia sudah benar-benar mempunyai andalan, baru dia nanti akan bergerak.

Sebenarnya dia menyuruh kawanan jago-jago itu berkumpul di ruang besar tak lain karena dia hendak menyuruh mereka keluar ke dunia persilatan untuk menimbulkan peristiwa yang dapat mengangkat nama. Tetapi sekarang rencananya itu sudah dihapus dan diganti dengan rencana yang mantap untuk belajar lagi dengan sekuat tenaga.

Dengan perobahan pikiran Coh Hen Hong itu maka dunia persilatan dapat mengenyam ketenangan selama tiga tahun.

Dengan tekad yang bulat dan kemauan yang keras Coh Hen Hong telah belajar dengan mati matian. Tak terasa tiga tahun yang telah lalu. Selama itu kemajuan Coh Hen Hong memang mengejutkan sekali. Bahkan Ceng-te sendiri diam-diam juga kagum dan terkejut.

Tiga tahun berlatih keras telah menjadikan Coh Hen Hong seorang tokoh yang dalam soal ilmu kepandaian melebihi setiap jago dari Ceng-te kiong.

Saat itu Coh Hen Hong sudah seperti yang dipertuan dari Ceng-te kiong. Karena menumpah perhatiannya untuk memberi pelajaran pada Coh hen Hong maka Ceng-te sampai tak sempat memperhatikan keadaan di luar. Ceng-te-kiong juga jarang terdengar bergerak lagi dalam dunia persilatan.

Tetapi tetap ada beberapa anak buah Cengte-kiong yang mengembara ke luar sehingga berita tentang cucu perempuan Ceng-te memiliki kepandaian yang mengejutkan, orang persilatan mulai mendengar.

Semua berita tentang Ceng te mempunyai cucu perempuan itu terjadi pada orang yang kebetulan bertemu dengan Cukat Lik. Merekalah yang menyiarkan hal itu.

Tetapi Cukat Lik sendiri setelah meninggalkan Ceng-te-kiong, lenyap tiada kabar beritanya lagi. Dan rombongan jago yang menyertai Cukat Lik waktu itu, juga tak pernah muncul dalam dunia persilatan lagi. oleh karena itu maka berita2 tentang keadaan di Ceng te-kiong masih kabur dan tak ada orang yang tahu jelas.

Kabar kabur sering menjadi gosip dan gosip bisa berobah sifatnya menjadi dongeng yang selalu dibumbuhi dengan aneka rasa cerita yang bersifat khayal dan berlebih-lebihan.

Tetapi memang menjadi sifat manusia, terutama kaum persilatan. Mereka ingin dikata yang paling tahu. Demikian juga dalam kabar2 mengenai Ceng-te- kiong. Mereka seperti berlomba untuk menyiarkan kabar itu dengan ditambah cerita yang dirangkainya sendiri. Makin panjang cerita itu makin mereka merasa bangga.

Hanya saja diantara cerita2 tentang Ceng-te kiong itu, ada suatu hal yang dapat dianggap benar yalah mengenai cucu perempuan Ceng-te.

Kabar itu menyebutkan bahwa seluruh harta pusaka istana Ceng-te-kiong seperti pedang Kim long-kiam, Ceng-leng-kiam, telah jatuh semua pada cucu perempuannya itu. Dan ilmu Leng-liong kiam hwat dari cucu perempuan Ceng-te itu benar luar biasa saktinya. Sekali gebrak saja, seorang tokoh sakti termasyhur seperti Cukat Lik telah tertabas kedua lengannya…..

Cerita itu kian lama kian tersiar luas. Dan selama tiga tahun itu dalam dunia persilatan telah terjadi peristiwa yang lucu. Seorang wanita muda yang menamakan diri sebagai pendekar wanita ya beng cu dengan menggunakan senjata sepasang pedang, mengaku sebagai cucu perempuan dari Cengte.

Pendekar wanita itu berhasil menggegerkan dunia persilatan. Dari ujung wilayah utara sampai ke ujung selatan, tak ada orang yang berani mengganggunya. Tetapi kemudian dia dapat dikalahkan oleh seorang jago dari perguruan Tong to bun di gunung Ngo-tay- san.

Ada lagi seorang nona yang menyebut diri sebagai Dewi Beng Cu, juga menggunakan nama Ceng te- kiong, juga sempat membuat kelabakan dunia persilatan. Tetapi karena kepandaiannya juga belum berapa tinggi maka tak lama kemudian Segera kelihatan belangnya. Dan sejak itu lalu melenyapkan diri tak pernah muncul lagi.

Demikian kabar sas-sus yang melanda dunia persilatan. Seolah dunia persilatan diserang demam Beng Cu. Mereka mengira cucu perempuan dari Cengte itu muncul lenyap secara misterius. Tidak pernah orang menyangka bahwa sebenarnya selama dalam tiga tahun itu Coh Hen Hong tak pernah meninggalkan Ceng-te kiong.

Dia sedang membenam diri untuk berlatih ilmu silat yang tinggi. Dan karena ilmu silat itu tiada batas ukurannya maka makin mempelajari makin merasa kurang dan tetap ngotot hendak memperolehnya. karena haus akan ilmu silat yang tinggi. bagi Coh Hen Hong, waktu tiga tahun itu dirasakan hanya sekejap saja.

Pada magrib itu, selesai berlatih ilmu tenaga-dalam di ruang latihan, pelahan lahan Coh Hen Hong berbangkit.

Pada waktu itu ilmu kepandaiannya sudah mencapai tataran tinggi, pada saat dia pelahan lahan berbangkit itu, tenaga murni dalam tubuhnya yang berbangkit itu memancar hingga benda2 disekelilingnya ikut bergerak.

Saat itu dia tengah berada di bawah sebatang pohon siong. Tenaga yang memancar dari tubuhnya berhamburan ke empat penjuru sehingga daun2 siong (cemara) yang runcing seperti jarum berguguran ke mana2. Menimbulkan suara yang aneh.

Sudah tentu Coh Hen Hong gembira sekali Baru dia hendak bersuit, tiba-tiba terdengar angin menderu dan sesosok bayangan melesat datang.

Melihat bayangan itu serentak Coh Hen Hone berteriak, “Engkong!”

Pendatang itu memang Ceng-te sendini. Pada saat dia tiba di hadapan Coh Hen Hong, beribu ribu daun jarum pohon siong sedang melayang-layang turun cari udara.

Ceng-te girang, serunya memuji, “Bagus, bagus, engkau telah mencapai kemajuan yang luar biasa cepatnya!” Hati Coh Hen Hong makin mangkak, cepat-cepat dia bertanya, “Engkong, kalau aku mengembara di dunia persilatan, apakah aku dapat mengangkat nama?”

Ceng-te tertawa gelak-gelak, “Aku berani mengatakan, tokoh-tokoh persilatan yang mampu melawan engkau dapat dihitung dengan jari jumlahnya!”

Memang selama tiga tahun itu, seluruh perhatian dan semangat Coh Hen Hong hanya ditumpahkan pada ilmusiat. Dia tak mau memikir dan mengurus apa-apa lainnya lagi. Tetapi kini setelah mendengar penilaian dari Ceng-te tentang tingkat ilmu kepandaiannya, tergeraklah hati Coh Hen Hong.

Sejenak dia tertegun lalu berseru dengan suara tak lampias, “Kalau begitu aku hendak berkelana menambah pengalaman ke dunia persilatan.”

Cengte mengangguk, “Berpuluh tahun lamanya dunia persilatan berada dibawah pimpinan Ceng te kiong. Siapapun yang mendengar nama Ceng te-kiong tentu akan pucat. Kalau engkau keluar dengan menyandang nama Ceng te-kiong, tak peduli engkau kemana saja dan berjumpa dengan siapapun juga, mereka tentu akan menghormati engkau, apakah engkau senang?”

Sesaat Coh Hen Hong belum tahu apa yang terkandung dalam kata-kata Ceng te. Oleh karena itu, Ia hanya merentang mata memandang Ceng-te.

Ceng-te tersenyum, katanya, “Kalau engkau memang benar hendak mencari pengalaman dalam dunia persilatan dengan bertempur lawan jago-jago sakti, lebih baik jangan membawa nama Ceng te kiong. itu akan lebih menyenangkan hati, bukan?‘

Coh Hen Hong tertawa, “Baik, saran engkong sungguh bagus sekali.”

Cengte tertawa, “Pada waktu engkau terjun ke dunia persilatan, orang tentu akan berlomba lomba hendak mengalahkan engkau. Sudah tentu mereka bakal menghadapi kesulitan demi kesulitan. Jelas. Tetapi yang paling ditakuti adalah keadaan dunia persilatan itu. Dunia itu penuh dengan tipu muslihat licik dan kejahatan yang kejam. Wajah bukan menjadi ukuran dari sifat hati setiap orang persilatan. Dalam hal ini, penting sekali engkau harus berhati-hati, jangan sampai menderita siasat gelap.”

“Engkong, harap jangan kuatir,” kata Coh Hen Hong, kalau aku tak mencelakai orang secara gelap, itu kan sudah baik.”

Ceng-te mengangguk. Tiba-tiba tertawa, “Masih ada lagi, umurnya sudah cukup. kalau engkau mempunyai maksud….“

Mendengar sampai disitu, pipi Coh Hen Hong merah dan banting2 kaki, “Engkong, kalau engkau lanjutkan, akan kucabut jenggotmu!”

Sambil memegang jenggotnya, Cengte tertawa.

“Ah tidak, tidak, engkau kan sudah tahu Sendiri, tak perlu kukatakan lagi.” Dengan wajah tersipu merah, Cohb Hen Hong berbalik tubuh terus pergi. Entah bagimana tiba-tiba dia teringat pada Pui Tiok.

Karena mencurahkan perhatian selama tiga tahun pada ilmu silat, dia hampir melupakan Pui Tiok dan Kwan Beng Cu. Tetapi sekarang tiba-tiba dia teringat lagi.

Teringat pada Pui Tiok, perasaannya serasa berkabut bayang2 gelap. Di dunia ini hanya mereka berdua yang tahu akan rahasia dirinya. Maka diam- diam dia serentak memutuskan. Kalau keluar dari Ceng-te kiong, pertama-tama dia hendak menyelidiki berita kedua orang itu dulu. Mereka harus dilenyapkan!

Ceng-te menghampiri dan menceritakan tentang banyak seka1i peristiwa2 dalam dunia persilatan. malam itu keduanya bercerita-cerita sampai hari hampir terang tanah.

Setelah fajar tiba, Coh Hen Hong segera mengenakan pakaian hitam mengkilap, naik kuda hitam mulus, meninggalkan Ceng te Kiong.

Dulu waktu datang, dia hanya seorang anak perempuan kecil. Tetapi sekarang dia sudah menjadi seorang gadis yang cantik dan sakti.

Kuda hitam yang dinaikinya itu juga kuda tegar pilihan. Setengah hari saja sudah keluar dari hutan lebat dan tiba di jalan besar. Saat itu ramai sekali keadaannya. Pedagang dan orang hilir mudik tak putus2nya. Selama beberapa tahun ini Coh Hen Hong seperti hidup dalam dunia terpencil Setelah muncul di masyarakat ramai, dia sudah jadi seorang yang menonjol. Sudah tentu girangnya bukan main. Ingin sekali dia berteriak kepada setiap, orang bahwa kini dia bukan Coh Hen Hong yang dulu Coh Hen Hong yang dulu. seorang anak perempuan liar yang ikut pada mamanya yang tak Waras pikirannya, mengembara kemana-mana.

Tetapi sekarang, bukan saja memiliki ilmu kepandaian saktii, pun juga mempunyai tiang andalan yang maha kuat. Dia adalah cucu perempuan dari tokoh legenda dalam dunia persilatan Cengte, yang dipertuan dari Ceng te-kiong.

Namun dia tak dapat sembarangan saja suruh orang menghormat kepadanya. Dia harus menjaga pribadinya sebagai seorang gadis.

Dengan kuda hitam mulus yang tegar, dia mengenakan pakaian hitam, memakai mantel dari kulit macan di daerah pegunungan salju yang mempunyai 9 garis loreng putih melingkar. Lain bajunya berhias beberapa butir mutiara sebesar buah kelengkeng, menyusur jalan yang pada musim gugur tertutup salju, tampaknya sangat menyiksa sekali.

Juga pada pinggangnya terselip sepasang pedang panjang dan pendek. Disepanjang jalan, mau tak mau orangpun tertarik memandangnya.

Coh hen Hong tak memperdulikan orang-orang itu. Dan pada saat itu perangainya sedang baik sehingga dia tak mau cari perkara. Dia menuju ke tempat2 yang ramai. Sepuluh hari kemudian tibalah dia di dekat Heng- yang-shia, sebuah kota yang ramai dan strategis.

dengan mencongklangkan kudanya si Hitam, Coh Hen Hong terus melaju dan tak lama dari jauh sudah melihat gunduk2 bangunan kota itu.

Sekonyong-konyong dia mendengar dari arah belakang ada derap kaki kuda lari riuh. ia berpaling ke belakang dan melihat belasan kuda tengah lari mendatangi dengan pesat.

Penunggangnya semua berpakaian warna biru menyanggul senjata golok kui-thau-to. Coh Hen Hong hentikan kuda hendak bertanya tetapi rombongan kuda itu sudah lewat disampingnya.

Coh Hen Hong hanya sempat melihat pemimpinnya itu seorang lelaki tua yang janggutnya sudah putih tetapi sikapnya masih gagah. Golok kui thau-to yang tersanggul pada bahunya juga lebih panjang sedikit dari kawan-kawannya. hal Itu menunjukkan kalau dia tentu pemimpinnya.

Coh Hen Hong menduga tentu ada urusan penting mengapa rombongan orang berkuda itu bergesa menuju ke kota Hen-yang-shia.

Coh Hen Hong tertarik. Tetapi waktu dia hendak melarikan kudanya, tiba-tiba terdengar seorang petugas perintis jalan dari sebuah perusahaan pengantar barang atau piau kiok, berteriak teriak meminta jalan.

Ketika berpaling, Coh Hen Hong melihat sederet kereta pengantar barang tengah berjalan mendatangi Pengawal kereta Itu seorang lelaki pertengahan umur yang gagah perkasa, bersenjata sepasang tong-kian.

Kepala piaukiok memandang rombongan orang berkuda tadi dengan kerutkan dahi seperti tengah berpikir.

Tergerak hati Coh Hen Hong untuk bertanya kepada kepala piau-kiok. Orang itu tentu tahu apa yang terjadi.

Dia segera turun dan kuda dan menuntun ke arah orang piaukiok itu dan memberi hormat,

Rupanya karena sedang memperhatikan rombongan berkuda tadi, orang piaukiok itu tak tahu kalau ada seorang lain yang berada di dekatnya. Dia baru terkejut ketika mendengar kata-kata Coh Hen Hong.

Orang itu ternyata bukan tokoh yang tidak ternama.

Dia adalah cong piauthau atau kepala piauthau yang bernama Auyang Tiong He. Karena menggunakan sepasang kian tongkat macam gada maka dia digelari Song-kian kay ngo-gak atau Sepasang gada menguasai lima gunung, Merupakan tokoh terkemuka dari tiga bengawan dan jalan daratan.

Mendengar nada suara Coh Hen Hong tajam dan berkumandang, tahulah dia kalau yang tertanya itu seorang yang memiliki tenaga dalam tinggi Saat itu Auyang Tiong He sedang mengawal barang yang berharga besar. Kalau tidak berharga mahal, dia tak keluar mengawal. Cukup hanya memasang panji2 piaukioknya pada kereta, sudah dapat tiba di perjalanan dengan selamat. Dia terkejut mendengar teguran Coh Hen Hong. Dia cepat berpaling dan tanpa disadari Sepasang gadanya juga ikut bergerak. Gada yang berhias dengan duri tajam, berkilat-kilat memancarkan sinar yang menyiaukan. Mau tak mau Coh Hen Hong memuji dalam hati.

Waktu hendak meninggalkan Ceng te kiong Cengte telah menceritakan banyak sekali peristiswa dalam dunia persilatan ini, terutama tentang bentrokan dan pertempuran yang sering terjadi. Selain itu Ceng-te juga menyebutkan semua tokoh-tokoh termasyhur baik dari kalangan Hitam mau pun Putih.

Maka setelah dekat dan melihat sepasang gada berduri, tahulah Coh Hen Hong siapa orang ini, Auyang Tiong He terkejut ketika melihat orang yang menyapanya itu seorang gadis yang amat cantik, sehingga dia kesima terlongong.

Auyang Tiong He kaya dengan pengalaman. Selama berkecimpung dalam dunia persilatan, malang melintang mengangkat nama dengan sepasang gada berduri, banyak sudah dia bertemu dengan berbagai macam tokoh. Tetapi seperti yang dihadapinya saat itu, benar-benar baru sekali itu. Namun dia menyadari bahwa nona cantik berkuda hitam itu tentu bukan gadis sembarangan.

Dia segera menyelipkan sepasang gada ke pelana kuda lalu balas memberi hormat, “Harap siau-lihiap maafkan.”

Dipanggil dengan sebutan siau-lihiap (pendekar wanita muda) hati Coh Hen Hong girang bukan kepalang. 

“Ah, harap Auyang piausu jangan merendah diri,” katanya gopoh.

Bahwa gadis cantik itu tahu akan namanya tidak membuat Auyang Tiong He terkejut karena dia anggap sudah lumrah kalau setiap orang persilatan kenal akan namanya yang termasyhur. Namun dia tetap merendah diri terhadap Coh Hen Hong.

Setelah membuka perkenalan dengan beberapa percakapan, keduanya sama mendapat kesan baik. Waktu itu baru Coh Hen Hong bertanya, “Auyang piausu, siapakah rombongan berkuda yang lewat tadi?”

“Mereka adalah anak buah dari perguruan Tiang to- bun (perguruan golok panjang) di daerah Kwan-gwa,” Auyang Tiong He menerangkan, “pemimpinnya adalah Thian-hun-to-khek Tan SengTin.

Mendengar keterangan itu, Coh Hen Hong segera tahu dan mengangguk, “Kabarnya orang tua itu menpunyai ilmu golok Thian-hun kui thau-to terdiri dari 8 kali 8, enampuluh jurus yang merajai di daerah Kwan-gwa. Benarkah itu? Thian hun-kui thau-to-hwat dan Toan to-hwat dari Ngotay san serta Bi lik-to hwat dari Shoatang, merupakan tiga serangkai ilmu golok yang menjagoi dunia persilatan, benarkah itu?”

“Benar,” sahut Auyang Tiong He, “siau lihiap begitu faham tentang ilmu kepandaian dalam dunia persilatan, tentulah pengetahuan siau lihiap luas sekali. Sengaja dia tak mau bertanya siapakah guru Coh Hen Hong melainkan secara melingkar dia menanyakan sumber dari kepandaian dara itu.

Coh Hen Hong hanya ganda tertawa tak menjawab melainkan bertanya lagi, Mereka begitu tergesa gesa ke Beng-yang-shia Itu mengapa?”

Tiba-tiba Auyang Tiong He menghela napas, “Hal itu mungkin akan menimbulkan kesulitan besar.”

“Kesulitan apa?” cepat Coh Hen Hong mendesak. “Pendekar besar dari Oulam,, Jit-jiu Ho Tik, kiranya

siau-lihiap tentu sudah mendengar namanya, bukan?”

“Ya,” jawab Coh Hen Hong, “dia ahli dalam ilmu melepas senjata rahasia. Tenaga dalamnya juga mempunyai keistimewaan sendiri. Ih, kutahu, kutahu, tentulah antara fihak perguruan Thiang-to-bun dengan Ho Tik mempunyai dendam, bukan?”

Auyang Tiong He hendak bicara lagi tetapi tiba-tiba terdengar suara tawa yang aneh sekali, Nada tawa itu terasa sakit pada telinga sehingga Auyang Tiong He dan Coh Hen Hong serempak berpaling.

Memandarg menurut arah suara tawa itu seketika wajah Auyang Tiong He pucat. Kebalikannya Coh Hen Hong malah tertawa geli.

Ternyata yang tertawa aneh itu tak lain hanya dua orang kate. Memang kate sekali mereka tingginya hanya lebih kurang satu meter, tetapi tubuhnya gemuk dan pakaiannva mewah sekali, bergemerlapan dengan intan permata. 

Kerena Coh Hen Hong tertawa, Auyang Tiong He makin kelabakan.

Kedua orang kate itu tertawa aneh pula dan berseru, “Auyang piau-thau, jangan suka ngomong jelek di belakang orang”

Auyang Tiong He berusaha untuk tenangkan diri.

Dia juga tertawa, “Apakah kalian berdua juga hendak ke Heng yang?”

“Ya, ingin melihat ramai2.”

Auyang Tiong He mengangkat tangan memberi hormat, “Silahkan.”

Kedua orang kate itu juga balas memberi hormat, “Sampai jumpa lagi kelak.”

Sambil berkata kedua orang kate itu sudah ‘mengelinding” ke muka dengan cepat sekali. Sudah tentu mereka itu berjalan tetapi karena orang kate dan gemuk maka sepintas seperti bola menggelinding. Lucu sekali.

Melihat itu Coh Hen Hong hendak tertawa lagi tetapi belum sempat membuka mulut, Auyang Tiong He sudah memberi peringatan, “Siau lihiap, bukan karena mengandalkan ketuaanku. Tetapi tadi andaikata tidak ada aku, tentulah kedua orang itu akan berbuat sesuatu yang tak baik kepadamu.”

Coh Hen Hong kerutkan alis, “o, benarkah? “Mereka sih masih belum apa-apa,” kata Auyang Tiong He, “tetapi mereka mempunyai seorang saudara yang luar biasa saktinya. Dia adalah salah seorang Suhiong (empat ganas) perkumpulan Ik kau yang termasuk aliran Shia pay (jahat).”

“ Namanya?”

“Namanya He-sat-sing Im Thian Su, ketua pulau Hek sat-to di laut Pak hay.”

Mendengar itu bukannya takut, kebalikannya Coh Hen Hong malah gembira. Dia merasa memiliki ilmu kepandaian sakti. Pertama muncul di dunia persilatan Itu, dia kuatir kalau tidak dapat memperoleh lawan yang seimbang, sehingga sukar untuk mempraktekkan kepandaiannya.

Maka mendengar bahwa kedua orang kate itu saudara dari Hek sat sing (Algojo hitam) Im Thian Su, dia menduga bahwa Im Thian Su tentu juga berada di sekitar situ. ltulah yang mem buat Coh hen Hong girang sekali.

Dunia persilatan telah mengakui Im Thian Su itu sebagai salah seorang Empat-ganas dari aliran Hitam yang sakti kepandaiannya. Jika dapat mengalahkan, tentulah namanya segera akan terkenal. Maka Coh Hen Hong cepat berseru, “itulah bagus sekali!”

Auyang Tiong He tertegun. Selama berpuluh tahun mengarungi dunia persilatan, belum pernah dia bertemu dengan orang yang berseru kegirangan karena bakal berhadapan dengan Im Thian Su.

Sebenarnya waktu mengatakan nama Im Thian Su tadi, hati Auyang Tiong He sudah getar sendiri. Maka mendengar pernyataan dari Coh Hen Hong, dia terlongong tak dapat berkata apa apa.

“Kedua orang kate tadi mengatakan kalau mau lihat ramai2 di Heng-yang, apakah itu?” tanyanya dengan penuh gairah.

‘besok pagi Jit jiu sian (Dewa Tujuh-tangan) Ho Tik, akan merayakan hari ulang tahunnya yang ke 60. Para sahabat baik maupun musuh musuhnya, semua berkumpul di rumah keluarga Ho. Sudah tentu bakal ramai sekali!”

Coh Hen Hong makin gembira, serunya, “Kalau begitu dalam beberapa hari ini kota Heng yang tentu penuh dengan orang-orang sakti.”

“Ya, memang,” kata Auyang Tiong He, “Ho Tik mempunyai pergaulan yang luas. Sahabatnya banyak, musuhnyapun tidak sedikit. Dari kalangan Hitam dan Putih banyak tokoh-tokoh yang datang memberi selamat. Mungkin sejak dulu, baru kali ini Heng yang kebanjiran dengan jago-jago sakti”

“Kalau begitu engkau juga akan menyempatkan diri mengunjungi pesta itu, bukan?”

Auyang Tiong He gelengkan kepala, “tidak, aku tidak ikut ke sana Aku hendak melanjutkan perjalanan mengantar barang ke selatan. Aku kuatir kehabisan waktu kalau singgah. Siau-lihiap. Ijinkan kuberi nasehat kepadamu. Kalau engkau mau pergi Itu sih boleh saja. Tetapi jangan cari perkara dengan orang!”

Sudah tentu kata-kata Auyang Tiong He itu tak digubris Coh Hen Hong. Tetapi melihat kesunguhan orang memberi nasehat Coh Hen Hongpun berterima kasih.

“Ya, terus terang, karena baru pertama kali keluar ke dunia persilatan, banyak sekali hal-hal yang tak kuketahui. Aku ingin menyaksikan keramaian di Heng- yang Itu, engkau antarkan aku ke sana maukah?”

Wajah Auyang Tiong He mengeruh sedih, “Hal ini….. siau-lihiap. aku masih mempunyai urusan penting, barang antaran ini ”

Belum selesai Auyang Tiong He berkata Coh Hen Hong sudah menukas tertawa “Barang antaranmu ini, nanti kuberimu sehelai benda. Tanpa engkau antar, tentu akan selamat di perjalanan,”

Habis berkata Coh Hen Hong terus kebutkan lengan baju. Dari lengan baju itu keluar sehelai panji kecil berbentuk segi tiga. Tangkainya dari besi dan Sret…..

sekali ayun, panji itu melayang dan menancap pada kereta, ltu berkibar-kibar dihempas angin. Dasar panji berwarna biru, bersulam lukisan delapan ekor rajawali raksasa dengan posisi berbeda-beda. Ada yang tengah merentang sayap, ada yang sedang berdiri tegak dan ada yang melayang.

Lukisannya begitu indah seperti benar-benar hidup.

Tampak wajah Auyang Tiong He berobah-robah, sebentar pucat, sebentar lesi.. beberapa piausu yang ikut mengawal kereta, juga terlongong longong tak dapat bicara.

Beberapa saat kemudian baru terdengar Auyang Tiong He dapat berkata dengan tersendat sendat, “ini…. ini…. panji Pat eng ki dari…. Ceng te kiong!” 

Coh Hen Hong tertawa, “Benar, dengan panji Pat eng ki (delapan rajawali) itu, tentu kereta mu dapat tiba di tempat tujuan dengan selamat, bukan?”

“Ya, ya, tentu, tentu. Siau-lihiap…. apa dari…. . Coh Hen Hong cepat memberi isyarat, “Sudahlah,

Jangan tanya asal usulku dan jangan se kali-kali mengatakan tentang Ceng te-kiong. Juga jangan membicarakan soal panji Pat-eng-ki itu kepada orang, mengerti?”

Walaupun Auyang Tiong He mempunyai nama dalam dunia persilatan, tetapi setelah melihat panji Pat eng-ki itu, dia tak berani membantah lagi.

Tidak kecewa dia sebagai jago yang sudah makan asam garam dunia persilatan. Seketika wajahnya berseri-seri dan berkata, “Baik, apa yang siau-lihiap pesan, tentu akan kupatuhi. Tetapi ijinkan aku memberi pesan kepada anakbuahku. Setelah itu baru mengikuti siau-lihiap.”

Dengan mempunyai seorang pembantu seperti Auyang Tiong He, Coh Hen Hong merasa lebih leluasa dalam perjalanan nanti.

“Baik, aku akan berjalan dulu nanti engkau menyusul masuk ke dalam kota,” katanya.

Coh Hen Hong lalu melarikan kuda mendahului. Setelah nona itu tak kelihatan, barulah beberapa piausu itu mengelilingi pemimpinnya dam bertanya, “Cong-piauthau, bagaimana tindakan kita ini?” “Jangan gugup,” kata Auyang Tiong He dengan nada sarat, “ku tak dapat ikut mengantar kereta. Kali ini aku merasa akan menghadapi bahaya. Tetapi kalian tak perlu cemas. Dengan membawa panji Pat eng ki itu, kalian tentu selamat tiba di tempat tujuan.”

Beberapa piausu itu saling pandang memandang tetapi tak dapat bicara apa apa. Akhirnya mereka hanya dapat mendoakan, “Kami harap agar cong- piathau baik-baik menjaga diri.”

Auyang Tiong He hanya tertawa hambar, Loncat ke punggung kuda dan terus melarikannya menuju ke kota Heng-yang.

Ceng Hen Hong sudah tiba di muka pintu kota.

Kendaraan yang masuk keluar banyak sekali Sekitar pintu kota penuh orang berdesak-desak.

Coh Hen Hong pelahan-lahan masuk kedalam kota. Tiba-tiba dia teringat bahwa kepergiannya ke rumah keluarga Ho itu untuk memberi selamat hari ulang tahunnya, Sudah tentu tak enak kalau datang dengan tangan kosong. Ya, menurut kepantasan tentu harus membawa barang sebagai kado.

Setelah memandang kian kemari, ia melihat sebuah toko emas. Tanpa turun dari kuda, dia terus berteriak tanya, “Hai, apakah ada barang kado ulang tahun

Kim-siu-sing yang besar?”

Yang empunya toko bergegas keluar, “Ada, ada, mari silahkan masuk.”

“Pilihkan yang paling besar saja!” seru Coh hen Hong. 

Pemilik toko mengiakan lalu keluar membawa kim- siu-seng (bintang emas) yang besarnya setengah meter.

“Ya, boleh. Pinjam salah seorang karyawanmu untuk mengantarkan ke rumah Ho tayhiap!“ seru Coh Hen Hong.

Sudah tentu pemilik toko perhiasan itu kenal akan nama Ho Tik. Dia buru-buru mengatakan harga dan ongkosnya, “Semua berjumlah 37 tail.

Coh Hen Hong merogoh kantong kulit di pelana kudanya dan mengambil sepotong emas sebesar biji brambang yang bernilai 50 tail lalu di lemparkan kepada pemilik itu “Siapa sudi mendengar hitunganmu, ambillah Itu!”

Melihat emas itu girang pemilik toko bukan kepalang. Dia segera memanggil dua orang pegawainya untuk membungkus barang itu dengan pita merah. Setelah itu yang satu menuntun kuda Coh Hen Hong untuk diantar ke rumah Ho Tik.

Dengan adanya pengantar Itu, Coh Hen Hong tak usah repot2 lagi bertanya pada orang Dalam kota sebesar Hen yang, tentu sukar untuk mencari rumah Ho Tik.

Melihat seorang nona naik kuda dengan dituntun oleh seorang pegawai, orang-orang yang bertemu di jalan sama mengalah untuk menyisih.

Tidak berapa lama tampak sebuah lapangan yang besar. Luasnya tak kurang dari satu bahu dan di lantai dengan batu. Melintas lapangan kosong itu terdapat sebuah gedung besar. Saat itu di muka pintunya penuh bergantungan dengan lampu2 merah.

Suasananya amat berisik, kereta datang pergi tak henti-hentinya.

Tiba di pintu besar, pegawai toko perhiasan tadi berputar tubuh dan berkata, “Siapakah nama nona yang mulia agar dapat kami laporkan.”

Coh Hen Hong turun dan kuda, menyambuti bungkusan kado dan memberi perintah, “Cukup, kalian boleh pulang.”

Coh Hen Hong menuntun kudanya tiba di muka pintu. Seorang pegawai segera menyongsong.

“Cong-piauthau dari Siang eng piau-kiok Auyang Tiong He, suruh aku ke mari lebih dulu. Dia nanti segera datang. Barang yang tak berharga sebagai tanda menghaturkan selamat berulang tahun ini harap jangan ditertawakan.”

Saat itu ternyata di gedung keluarga Ho sudah penuh dengan kaum persilatan, baik dari golongan Hitam maupun Putih, baik yang bekerja di perairan maupun di darat, Mereka datang dengan tujuan masing-masing. Ada yang bermaksud baik-baik memberi selamat. Ada pula yang bertujuan tidak baik terhadap Ho Tik.

Ho Tik memberi pesan kepada anakbuahnya bahwa dengan tujuan apapun juga, yang datang itu adalah tetamu, asal tidak membikin onar, harus dilayani dengan baik. Kalau saja Coh Hen Hong mengatakan nama seorang lain maka kepala rumah tangga keluarga Ho itu segera menyambutnya sebagai tetamu dan lantas suruh orang membawanya beristirahat, Takkan ada persoalan apa-apa.

Tetapi Coh hen Hong memakai nama Auyang Tiong He. Ho Tik dengan Auyang Tiong He itu bersahabat baik dan sama-sama menikmati nama sebagai jago terkemuka didaerah Oulam.

Pengurus rumah tangga keluarga Ho sudah tentu faham benar dengan keadaan Auyang Tiong He Mereka belum pernah mendengar bahwa Auyang Tiong He mempunyai anak perempuan atau murid perempuan. Juga mereka tak pernah tahu kalau dikantor pengantar barang Siang Eng piaukiok terdapat seorang nona. Maka heranlah hati kepala rumah tangga keluarga Ho mendengar pernyataan Coh Hen Hong.

“Apakah nona ini utusan dari Auyang piauthau? tanyanya.

“Ya,” sahut Coh Hen Hong singkat

Kepala rumah tangga keluarga Ho itu mengawasi Coh Hen Hong sampai beberapa jenak lalu berkata, “Kalau nona datang kemari sengaja hendak cari perkara, majikan kamipun tak gentar. harap suka membawa panji nama sendiri dan perlu apa harus memalsu nama orang lain?”

Mendengar itu Coh Hen Hong tertegun. Diam-diam dia marah. Saat itu banyak sekali orang yang berkerumun di pintu. Begitu mendengar ribut-ribut, mereka segera mengerumun. Dan ada orang yang terus melengking, “Kalau hendak cari perkara di rumah Ho tayhiap itu sungguh tak tau berkaca diri!‘

Coh hen Hong berpaling. Dilihatnya orang yang membuka mulut mengejek itu seorang lelaki berumur 30-an tahun, mengenakan pakaian indah

“Mengapa harus berkaca?” sahut Coh Hen Hong mendongkol.

Dengan sikap angkuh orang itu menjawab. “Tentu saja. Orang bagaimanakah Ho tayhiap itu. Bangsa kerucuk yang hendak cari perkara disini. tak perlu Ho tayhiap turun tangan sendiri, sahabat-sahabatnya sudah akan menindaknya dulu.”

“Sahabat-sahabatnya? Tentunya termasuk engkau, ya?”

“Tentu,” orang itu mengangkat tegak kepalanya. “Engkau ini manusia apa?” Coh Hen Hong tertawa

mengejek.

Dengan congkak orang itu menjawab, “Kwik Hun Seng dari perguruan Ceng-shia-pay.”

Sudah tentu Coh Hen Hong tak tahu kalau Kwik Hun Seng itu murid angkatan kedua dari partai persilatan Ceng shia pay. Waktu hendak berangkat, Ceng-te hanya menceritakan tentang jago-jago kelas satu di dunia persilatan. Jago kelas dua tidak diceritakan.

Mendapat perlakuan begitu, Coh Hen Hong tak mau kepalang tanggung. Dia benar-benar hendak cari onar. 

‘O, perguruan Ceng-shia-pay,” serunya dingin, “ketua kalian, Peh hoa-kiam-khek Tan Siang itu mempunyai sangkut paut apa dengan engkau?”

Kwik Hun Seng marah terus maju. Tetapi karena orang bertanya nama suhunya, diapun terpaksa menyahut, “Dia guruku”

Coh Hen Hong tertawa. “Pada hal terhadap aku, Tan Siang itu memanggil nyonya besar!”

Mendengar itu sekalian orang terkejut sekali Tan Siang tergolong cianpwe persilatan, seorang jago pedang yang termasyhur. Bagaimana mungkin dihina begitu?

Lebih2 Kwik Hun Seng. Dengan mengaum keras dia menerkam bahu Coh Hen Hong dengan kelima jarinya yang ditebarkan.

Coh Hen Hong tetap berdiri tegak sehingga kena dicengkeram Kwik Hun Seng. Tetapi seketika itu Kwik Hun Seng rasakan, bahu si nona menghambur tenaga tolak yang kuat sekali sehingga Kwik Hun Seng terlempar ke belakang.

Kwik Hun Seng juga sudah banyak pengalamannya dalam dunia persilatan, bahwa tangannya dapat dipentalkan oleh tenaga-tolak yang kuat dia segera menyadari bahwa nona itu seorang tokoh sakti.

Dia terkejut dan siap2 hendak mundur dan hendak memberi pernyataan. Tetapi sudah terlambat. Memang orang tak mudah percaya bahwa dibalik wajah seorang nona yang begitu cantik, bersemayam hati yang ganas dan kejam. Memang tampaknya Coh Hen Hong masih tertawa-tawa, tetapi sebenarnya dalam hati dia marah dan benci sekali kepada Kwik Hun Seng. Apalagi dia mengandalkan kepandaiannya sakti, tak takut segala apa. Sudah tentu dia tak mau peduli perguruan Ceng-shia pay atau bukan Ceng- shia-pay.

Pada Saat tangan kanan Kwik Hun Seng terpental keatas, Coh Hen Hong juga terus ulurkan tangan dan menjamah ubun-ubun kepala orang.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar