Pedang Berbunga Dendam Jilid 04

JILID 4

Waktu berdiri menghadang di depan, sebenarnya Pui Tiok sudah tahu kalau anak perempuan itu mengerti ilmu silat. Tetapi ilmu silatnya hanya biasa- biasa saja. Oleh karena itu, Pui Tiok pun tak memandang mata.

Bahwa ternyata anak perempuan Itu tanpa memberi peringatan lebih dulu terus menyerang dengan anak panah kecil, Pui Tiok benar-benar tak pernah menduga sehingga sesaat dia terlongong- longong.

Layang anak panah itu cepat sekali dan setali Pui Tiok masih terlongong, sudah tiba di depan dadanya.

Tetapi kepandaian Pui Tiok memang hebat Walaupun terlongong dia tak sampai terkena anak panah itu. Sekali gerakkan tangan, anak panah itu dapat dijepit dengan jarinya.

Melihat serangan pertama gagal, anak perempuan itu melepaskan anak panah lagi. Pui Tiok memukul anak panah Itu seraya berseru dengan nada bengis, “Hai sahabat yang berada di gang Kalau engkau tak mau mengurus keponakanmu akupun juga tak sungkan lagi!“

Sebenarnya si bungkuk sudah melangkah ke luar. Waktu mendengar suara Pui Tiok dia makin terbata- bata melangkah keluar. Tetapi aneh sekali tingkahnya. Waktu berjalan keluar dia menghadap ke belakang, membelakangi Pui Tiok. Dan begitu tiba di dekat Si anak perempuan dia terus menangkap tangan anak itu, “Siau Bwe hayo lekas jalan!“

“Tidak mau seru anak perempuan.

Dengan nada seperti setengah menangis, Si bungkuk meminta, “Siau Bwe, kuminta dengan sangat, mari kita lekas lanjutkan perjalanan, Jangan cari perkara….

Mendengar pembicaraan itu diam-diam Pui Tiok geli juga. Si bungkuk menarik tangan anak perempuan masuk ke dalam gang…. Pui Tiokpun berputar tubuh lagi.

Tiba-tiba dia tersadar.

Dia memang heran mengapa bungkuk itu tak mau memperlihatkan wajahnya. Kini dia tahu apa yang terjadi, Ya, benar, tentulah si bungkuk itu kenal kepadanya dan diapun tentu kenal kepada si bungkuk Itu.

Dan serentak dengan itu diapun teringat akan sebuah peristiwa penting. Perkumpulan Peh hoa kau telah kehilangan sebuah kitab pusaka Ih su-keng dan pencurinya Itu adalah seorang buruh harian. Dan buruh Itu jelas seorang bungkuk.

Waktu si bungkuk bekerja di Peh-hoa-kau kedudukannya rendah sekali oleh karena itu orang- orang menyebutnya bungkuk. Siapa namanya yang aseli, tiada seorangpun yang tahu, Juga wajahnya, tidak ada yang pernah melihat jelas.

Oleh karena itu ketika tiba-tiba si bungkuk meghilang, juga orang tidak menaruh perhatian. Waktu kitab pusaka Ih su-keng hilang, barulah orang teringat akan diri orang bungkuk Itu.

Sekarang Si bungkuk berada di gang. Dan si bungkuk tentu tahu dimana kitab pusaka itu berada.

Perkumpulan Peh-hoa-kau yang begitu termasyhur dan mempunyai jago-jago sakti, ternyata sampai kebobolan kitab pusakanya. Hal itu sungguh memalukan sekali. Itulah sebabnya maka ketuanya, Peh Hoa lokoay sampai mencak-mencak seperti orang kebakaran jenggot. 

Begitu mencapai pemikiran itu, Pui Tiok serentak balik tubuh lagi, menarik Kwan Beng Cu terus ia menuju ke gang.

“Ih, ada apa ini?“ tanya Kwan Beng Cu.

“ini penting sekali, jangan banyak bertanya,” tukas Pui Tiok.

Cepat sekali Pui Tiok bergerak menuju ke dalam gang kecil itu tetapi kecuali tukang jual makanan tadi dan beberapa pembeli, si bungkuk dan anak perempuan tadi sudah tak kelihatan batang hidungnya lagi.

Pui Tiok cepat keluar dari gang itu dan memandang ke sekeliling tetapi juga tak melihat apa-apa. Buru- buru dia kembali ke dalam gang lagi dan bertanya kepada penjual makanan, ‘Pak, tadi lelaki bungkuk itu kemana saja perginya?’

“Mereka tidak jadi makan terus pergi, kearah sana,” kata pak penjual.

Pui Tiok gentakkan kakinya ke tanah, muring- muring. Si bungkuk muncul di depan mata, masa dia lupa sama sekali. Tetapi dia tak dapat disalahkan.

Walaupun dia cerdik tetapi tak mungkin dia harus mencurigai setiap orang bungkuk yang bertemu dengannya.

Apa boleh buat, terpaksa dia menarik tangan Kwan Beng Cu diajak keluar dari gang Ternyata di sebelah luar gang itu sebuah perempatan. Sukar baginya untuk menentukan ke arah mana dia harus mengejar bungkuk dengan anak perempuan tadi.

Rupanya Kwan Beng Cu tak tahan kalau dibawa kian kemari seperti barang. Dia serentak melengking, “Hai, mengapa engkau menarik aku kian kemari?

Apakah engkau sedang main kucing-kucingan?”

“Jangan ribut,” kata Pui Tiok, “aku sedang mencari orang bungkuk tadi”

“Mengapa aku tak boleh ribut?” teriak gadis cilik itu, “kalau engkau tidak menarik aku ke sana sini, masa aku ribut?“

“Kalau engkau masih ribut saja tentu akan kututuk jalan darahmu,” kata Pui Tiok.

Kwan Beng Cu marah tetapi dia tak berani membuka mulut lagi. Pui Tiok berjongkok lalu melekatkan telinganya pada lantai jalan dan mendengarkan dengan cermat.

Dengan telinganya yang tajam dia sayup-sayup mendengar di sebelah timur jalan seperti tergetar suara langkah kaki yang ringan yang sedang berjalan cepat. Cepat dia berdiri lagi, menarik tangan Kwan Beng Cu terus diajak lari menuju ke timur.

Tak berapa lama berlari, didapatinya rumah- rumah penduduk sudah mulai jarang. Ternyata kota itu tidak berapa besar dan saat itu dia sudah berada di luar kota.

Tetapi keadaan itu justeru menguntungkan baginya karena saat itu juga dia dapat melihat si bungkuk tadi tengah menarik tangan anak perempuan, sedang mendorong pagar bambu dan masuk ke dalam sebuah rumah pondok.

Girang Pui Tiok bukan kepalang.

“Engkau lihat atau tidak?’ bisiknya’ kepada Kwan Beng Cu, “si bungkuk tadi berada di sebelah muka. Kalau bisa bertemu dengan si bungkuk, banyak sekali hal-hal yang akan terjadi. Soal besar jadi kecil, soal kecil jadi hilang.”

“Hm” dengus Kwan Beng Cu, “ternyata engkau bukan orang baik. Aku tak suka menghiraukan engkau lagi!“

Karena sudah menemukan jejak si bungkuk Pui Tiok tak mau adu lidah dengan Kwan Beng Cu lagi. Dia menarik Kwan Beng Cu terus diajak lari. Tiba di samping pagar bambu, terdengar suara anak perempuan tadi berseru dari dalam rumah, “Ma, ma, ciuciu tidak mengijinkan aku berkelahi dengan orang!“

“Moaycu, sungguh aku hampir mati terkejut,” serempak terdengar suara si bungkuk. “engkau tahu, siapa yang hendak dihajar Siau Bwe tadi?‘

“Siapa?“ seru seorang wanita yang bukan saja bernada dingin tetapi juga terdengar tajam sekali sehingga berdebarlah hati Pui Tiok.

“Pui kongcu, putera dari ketua Peh-hoa-kau!“ seru di bungkuk.

Wanita itu tertawa dingin, “O, kiranya dia, lalu bagaimana?“ 

Si bungkuk terdengar menghela napas, katanya, “Moaycu, engkau ini bagaimana to? Ai, waktu bertemu aku, engkau kelihatan sudah sadar. Tetapi apakah sekarang sudah linglung lagi? Kita tengah menghadapi bencana!“

Mendengar sampai di situ, Pui Tiok sudah menarik Kwan Beng Cu diajak melompati pagar bambu lalu dengan berindap indap mendekati pintu pondok dan sekali tendang, pintupun terbuka lebar-lebar .

“Coh thoucu, engkau memang benar, memang sedang menghadapi bencana besar!“ seru Pui Tiok.

Ketiga orang yang berada dalam pondok ketika pintu ditendang Pui Tiok, serempak memandang kepada pemuda itu.

Coh thoucu atau si bungkuk orang she Coh ternganga kaget. Coh Hen Hong atau anak perempuan yang dipanggil dengan nama Siau Bwe merentang mata lebar?. Walaupun terkejut tetapi malah gembira. Sementara mamanya, Coh Bwe Nio tetap bersikap bengis.

Setelah memandang ke sekeliling sudut tidak ada orang kecuali mereka bertiga, legalah hati Pui Tiok.

“Coh thoucu, sekarang ini engkau minta hidup atau mati?” serunya.

Geraham si bungkuk bergemerutukan, serunya tersendat-sendat, “Pui…. kongcu…. sudah tentu hamba ingin hidup…. harap engkau suka bermurah hati….

“Ciuciu, mengapa engkau begitu tak berguna!“ teriak gadis cilik Coh Hen Hong dengan marah, “belum berkelahi kok sudah minta ampun, Ma, hajarlah mereka!“

Baru gadis cilik itu mengakhiri kata-katanya bahu wanita itupun sudah bergetar, siss….

dari belakang bahunya meluncur ke luar seekor ular berbisa yang kecil dan panjang.

Setelah melihat si bungkuk ketakutan minta ampun, Pui Tiok mengira kalau urusannya beres dan lancar.

Siapa tahu begitu anak perempuan itu menyuruh mamanya menghajar, tahu-tahu seekor ular sudah menyerang dalam kecepatan tinggi.

Dalam kejutnya, Pui Tiok cepat rebahkan kepala ke belakang. Dia girang sekali karena ular Itu melayang ke belakang, hanya beberapa senti meter di atas mukanya. tetapi pada lain saat dia terkejut sekali ketika mendengar Kwan Beng Cu menjerit amat keras dan berbareng itu tangannya kiri tiba-tiba kencang, tangan Kwan Beng Cu pun terlepas dari pegangan tangan kanannya.

Pui Tiok cepat berpaling dan kejutnya bukan kepalang. Pinggang Kwan Beng Cu telah terlilit seekor ular kecil. Tentulah waktu Pui Tiok menghindar tadi, ular itu telah menyambar dan melilit pinggang Kwan Beng Cu. Saat itu tubuh Kwan Beng Cu sedang ditarik ke depan. Melihat itu Pui Tiok cepat menerjang. Tetapi pada saat itu juga Si gadis cilik Coh Hen Hung meniup padam lampu sehingga gelap lah seluruh ruangan pondok itu.

Sudah tentu Pui Tiok makin kaget setengah mati.

Dua tiga kali dia gagal melakukan tugas di rumah Kwan Pek Hong itu sih masih dapat dimaklumi karena Kwan Pek Hong itu seorang pendekar besar yang termasyhur Tetapi kalau sekarang dalam pondok situ, dia sampai gagal dan tak dapat melindungi Kwan Bing Cu, benar-benar dia merasa terhina sekali.

Walaupun ruangan gelap tetapi Pui Tiiok nekad menerjang pintu dan menerkam Dia mengharap agar dapat menerkam bahu Kwan Beng Cu

lalu dia hendak menyambar agar dapat membebaskan Kwan Beng Cu.

Tetapi ketika dia menerkam, tiba-tiba dia merasa memegang sebuah benda yang dingin dan licin. Hai ternyata badan ular Itu sendiri.

Siapapun orangnya kalau dalam tempat gelap tiba- tiba memegang ekor ular, tentulah akan menjerit dan menarik tangannya.

Demikian pula dengan Pui Tiok. Tetap pada saat dia menarik tangannya, ,pergelangan tangannya tiba-tiba mengencang. Astaga, ternyata pergelangan tangannya juga melilit seekor ular itu. Kejut Pui Tiok benar-benar bukan alang kepalang Sambil menarik dengan sekuat tenaga. dia berteriak keras “Nona Kwan! Nona Kwan!‘

Tetapi dua kali teriakannya itu tak mendapat jawaban. Pui Tiok nekat, setelah menarik lalu memotes.

Dalam tarik menarik tubuh ular dengan wanita tadi, andaikata dia kalah dalam tenaga dalam tetapi dengan mengerahkan tenaga untuk memotes itu, tentulah tubuh ular akan putus menjadi dua.

Tetapi diluar dugaan ular itu mendesis-desis namun tidak putus. Malah pada saat itu, Pui Tiok rasakan setiup angin tanpa suara, melanda dadanya.

Pui Tiok cepat mengisar ke samping, menghimpun tenaga murni lalu menghantam dengan tangan kiri. Pukulan itu menggunakan tenaga kuat sekali tetapi karena di tempat gelap, sasarannya pun tidak keruan. Dan sebenarnya dia juga tidak ingin melukai siapa-apa dan hanya ingin menghantam bobol dinding agar sinar rembulan dapat masuk, ruangan terang. Di tempat yang segelap itu, walaupun mempunyai kepandalan sakti juga tidak berguna.

Bum…. dinding pondok yang terbuat dari pada tanah-liat, ambrol dan seketika itu Pui Tiok dapat melihat keadaan dalam ruang situ.

Uhhhh belum sempat berbuat apa-apa Pui Tiok juga menjerit dalam hati karena saat itu wanita bersenjata ular sudah bergerak mendekatinya, dengan Jari telunjuk dan jari tengah, sedang bergerak menusuk kedua matanya. 

Pui Tiok cepat menunduk, syit…. syit terdengar dua buah desis angin tajam ketika kedua jari tangan wanita itu melayang di atas kepala Pui Tiok.

Pui Tiok balas menyerang. Dengan jurus Tokau-jay- hong atau Menjungkir-kail – memancing- burung, dia menampar rusuk wanita itu, plak….

Oleh karena pergelangan tangan kanan pemuda itu terlilit ular maka dia hanya dapat bergerak dengan tangan kiri Dia girang sekali karena serangannya kena. Tetapi ternyata wanita itu hanya mendesuh dan menyurut mundur.

Karena pergelangan tangan Pui Tiok masih terlilit ular, diapun ikut terhuyung selangkah.

Pada saat itu baru dia dapat melihat jelas keadaan dalam ruangan. Ternyata kecuali wanita ular itu, tak ada lain orang lagi. Dengan begitu jelas Coh thoucu dan Coh Hen Hong telah membawa pergi Kwan Beng Cu.

Sudah tentu Pui Tou mengeluh dalam hati. Taruh kata dia dapat mengejar, juga belum dapat dipastikan apakah dia mampu menemukan jejak orang bungkuk itu. Apalagi saat itu dia berhadapan dengan seorang wanita yang berkepandaian tinggi. Adakah dia mampu mengalahkan wanita ular itu, juga belum dapat dipastikan.

Pada saat Pui Tiok bingung. wanita ular itu tertawa melengking. Pui Tiok gelagapan. Cepat dia mencabut pedang dan menabas ular yang melilit tangannya itu. Tetapi ternyata ular milik Coh Bwe Nio itu bukan sembarang ular. Waktu bertempur melawan musuh, ular dan pemiliknya mempunyai gerak irama yang terpadu. Begitu Pui Tiok memapas, Coh Bwe Nio gentakkan tangan dan ular yang melilit tangan Pui Tiok itupun cepat melepaskan lilitannya.

Merasa tangan kanannya bebas, Pui Tiok girang sekali. Tetapi sebelum sempat berbuat apa-apa, tahu- tahu tangan kirinya. sekarang terasa mengencang keras sekali. Jelas kalau ular itu pindah melilit tangan kirinya.

Tring pedang jatuh ke tanah karena tangan kirinya lunglai. Pui Tiok kaget dan gugup. Dia sadar kalau tak menumpahkan segenap kekuatannya, jelas dia akan menderita.

Dengan berteriak histeris, dia maju kemuka dan menampar alis Coh Bwe Nio. Coh Bwe Nio terkejut dan rebahkan kepala ke belakang, Tetapi ternyata serangan Pui Tiok itu hanya gertakan kosong, Begitu lawan merebah ke belakang, Pui Tiok cepat menarik tangan lalu menjelentik, plok…. jarinya tepat mengenai Sirip ular itu.

Sirip merupakan bagian yang berbahaya dari binatang ular. Dan ilmu selentikan jari itu, merupakan salah satu dari kelima ilmu simpanan ayah Pui Tiok yaitu Peh Hoa lokay. Sekalipun tenaga dalam Pui Tiok tidak sehebat ayahnya tetapi juga cukup lihay.

Ular meregang dan lepaskan lilitannya lalu jatuh ke tanah. Pui Tiok cepat menginjak kepala binatang itu dengan kaki kiri lalu kedua tangan berhamburan menghantamnya. 

Waktu memainkan ular itu sebagai jwan- pian atau ruyung lemas, memang Coh Bwe Nio menang angin. Tetapi sekarang setelah dengan siasat yang bagus, Pui Tiok dapat menginjak ular itu, kedudukan merekapun berobah. Sekarang Cob Bwe Nio yang menderita,

Hampir duapuluh tahun lamanya Cob Bwe Nio menggunakan ular itu sebagai senjata. Sudah tentu dia tak sampai hati untuk melepas begitu saja, Ekor ular masih dipegangnya tetapi karena kepala ular itu diinjak Pui Tiok, sudah tentu ular itu tak dapat bergerak lagi.

Empat buah serangan yang dilancarkan Pui Tiok itu cepat dan dahsyat. Karena tak mau melepaskan ular, Coh Bye Nio tak sempat menghindar lagi, plak bahunya kembali terkena hantaman lawan. Dia terhuyung ke samping. Tetapi dengan begitu, pertahanannyapun makin lemah, plak….. kembali dadanya terhantam pukulan Pui Tiok,

Pukulan yang kedua ini membuat Coh Bwe Nio menjerit keras dan tubuhnya rubuh ke belakang. Tetapi pada waktu dia rubuh itu, dia masih sempat menarik ularnya dengan sekuat tenaga. Dan tindakan Itu berhasil. Dengan memekik aneh dia sabatkan ular itu lagi.

Pui Tiok terpaksa harus mundur. dia memang tak nafsu lagi untuk terlibat dalam pertempuran dengan wanita itu. Setelah mundur beberapa langkah, dia terus menyelinap masuk kedalam sebuah pondok yang terLetak di samping. Tetapi dalam pondok itu tak ada orangnya sama sekali. Pui Tiok makin kalang kabut. Dia keluar dari pondok itu dan terus lari. Tetapi di sekeliling penjuru dan tegal dan hutan yang dilaluinya itu tak tampak barang seorang manusia.

Pui Tiok bingung dan marah. Dia berputar tubuh. Dibawah sinar rembulan lemah, tampak Coh Bwe Nio berteriak-teriak aneh dan sambil mengontang- antingkan ular, wanita itu mengejarnya.

Tiba-tiba Pui Tiok mendapat pikiran. Sekarang dia tak tahu kemanakah larinya si bungkuk itu. Tetapi jelas bahwa si bungkuk itu mempunyai hubungan erat dengan wanita-ular. Kalau dia dapat meringkus wanita-ular itu, tentulah dia dapat mengorek keterangan dimana si bungkuk berada.

Setelah mengambil keputusan dia terus lari, pura- pura seperti orang yang ketakutan tetapi langkah nya pelahan saja. Tak berapa lama, Coh Bwe Nio sudah menyusulnya. Begitu wanita itu dekat, suara ular melayang-layang segera terdengar. Tiba-tiba Pui Tiok berhenti dan begitu berputar tubuh dia terus ayunkan tangan. Beberapa benda warna kuning gelap segera berhamburan.

Coh Bwe Nio berhenti dan memainkan ularnya Ular itu keras sekali kulitnya. Senjata rahasia yang dilontarkan Pui Tiok dapat dipukul jatuh dengan ular itu.

Pada saat melontarkan senjata rahasia, Pui Tiok pun loncat maju dan cepat berputar tubuh.

Dia sudah berada di sisi kiri si wanita lalu menyambar pinggangnya. 

Karena masih sibuk menghantam senjata rahasia. Apalagi serangan Pui Tiok itu secara mendadak dan cepat sekali, wanita itu tak sempat menarik pulang ularnya. Terpaksa dia gunakan tangan kiri untuk menampar tangan lawan.

Pui Tiok memang sudah memperhitungkan bahwa Coh Bwe Nio akan menampar dengan tangan kiri.

Maka Pui Tiok pun cepat menarik pulang tangannya, melangkah ke samping tepat berada di belakang Coh Bwe Nio lalu secepat kilat menghantam punggung wanita itu.

Melontar senjata rahasia, mendekati dan menerkam itu dilakukan Pui Tiok demi untuk menyelinap ke belakang lawan. Dan pukulan yang dilancarkan itu benar benar dahsyat sekali, hampir menggunakan delapan bagian dari tenaganya.

Jaraknya begitu rapat dan pukulan yang dahsyat itu dilancarkan dalam kecepatan tinggi dia yakin kali ini tentu akan dapat meremukkan punggung lawan.

Tetapi sungguh tak pernah diduganya bahwa pukulannya itu akan gagal lagi. Sekonyong-konyong ular itu melingkar ke belakang dan ngangakan mulut siap menggigit tangan Pui Tiok.

Sudah tentu Pui Tiok kaget sekali. Dia tak menyangka bahwa ular itu dapat mengadakan gerak perobahan yang begitu luar biasa. Dan dia juga tak yakin akan tenaga pukulannya, apakah mampu menghancurkan? tentulah akibatnya akan digigit. Akan tetap gerak pukulan itu melancar cepat sekali.

Tidak mungkin dia dapat menariknya kembali. Beruntung dia masih belum kehilangan pikiran sama sekali Karena untuk menarik pukulannya tak mungkin, dia hanya dapat menekuk jari telunjuknya. Tepat pada saat gigi ular itu mengatup, telunjuk jari Pui Tiok pun menyelentiknya, prekkk .

Ternyata hebat sekali tenaga selentikan Pui Tiok itu…. Ular mencelat dan tepat membentur jalan darah Ci-han-hiat di punggung Coh Bwe Nio.

Walaupun ular yang mencelat itu sudah ber kurang tenaganya tetapi karena tepat mengenai jalan darah mau tak mau Coh Bwe Nio rasakan separuh tubuh bagian kiri seperti kesemutan dan dia menjorok mau rubuh ke muka.

melihat itu Pui Tiok girang sekali. Dia terus cepat hendak menerjang tetapi sret…. , tiba-tiba ular tadi melayang dan menyambar tenggorokan Pui Tiok, Pui Tiok miringkan kepala menghindar tetapi ular itu juga berputar hendak menyambar lagi. sudah tentu Pui Tiok kucurkan keringat dingin. untung matanya tajam sekali. Cepat dia mengangkat tangan kanan dan menyambar sirip ular itu dan kakinyapun bergerak menendang pinggang Coh Bwe Nio.

Plok ….. telak sekali tendangan itu mengenai sasarannya. Coh Bwe Nio mendesuh tertahan dan bergelundungan ke muka.

Karena dia masih memegang ekor ular maka dia tak dapat bergelundungan jauh. Baru beberapa langkah dia terus melencing berdiri lagi dan berseru, “Lepaskan ular!” 

Pui Tok terawa dingin, “Engkau rneminta ularmu?

Kasih tahu dulu ke mana mereka pergil”

Sepasang mata Coh Bwe nio memancarkan sinar yang aneh menyeramkan, serunya, “Eugkau mau melepaskan tidak?”

Pui Tiok mengira kalau saat itu dia sudah menang angin. Coh Bwe Nio sudah terkena tendangannya dan ular itupun sudah ditangkapnya. Sudah tentu dia tak mau menggubris wanita Itu. Malah sambil tertawa dingin, dia terus menyerang lagi.

Tetapi tentu hal yang tak pernah diduganya telah terjadi. Dia memperhitungkan bahwa wanita itu tentu tak mau melepaskan ularnya, tetapi perhitungannya itu salah.

Begitu Pui Tok hendak bergerak menyerang maju, Bwe Nio serempak melepaskan ularnya. Walaupun sirip ular Itu sudah dikuasai tangan Pui Tiok tetapi karena ular itu amat panjang, begitu dilepas Coh Bwe Nio, ekornya terus bergeliatan dan tahu-tahu dengan kecepatan yang luar biasa, sudah melilit leher Pui Tiok, sampai tujuh lingkaran.

Kejut Pui Tiok bukan alang kepalang. Dia segera memencet sirip ular sekuat-kuatnya tetapi lilitan pada lehernya juga makin mengencang Pui Tiok makin memencet keras, ular makin melilit lebernya kencang- kencang.

Jika hal itu dilangsungkan terus, keduanya pasti akan mati. Tetapi ternyata Pui Tiok kalah tahan. Lebih kurang sepeminum teh Pui Tiok rasakan pandang matanya mulai gelap, kepala berbinar-binar dan kedua kakinya lemas lunglai. Tenaga lilitan ular itu tidak pernah mengendor.

Sayup-sayup telinga Pui Tiok masih mendengar suara tawa aneh dari Coh Bwe Nio. Tetapi tawa Itu makin lama terasa makin jauh dan mata Pui Tiok pun makin gelap, gelap dan akhirnya dia pingsan tak ingat apa-apa lagi.

Entah berapa lama dia pingsan hanya ketika siuman dia segera mendengar suara tangis seorang anak perempuan.

Pui Tiok terkejut. Dia cepat mengenal suara tangis itu adalah suara Kwan Beng Cu. Dia keraskan hati membangkitkan semangat. Ternyata lilitan pada lehernya itu sudah kendor tetapi hidungnya disengat bau anyir.

Pelan-pelan Pui Tiok membuka mata. Di lihatnya ular itu masih terlilit pada lehernya tetapi agak longgar.

Dilihatnya pula Kwan Beng Cu terikat dan diletakkan di atas tumpukan rumput dami. Rupanya tempat itu sebuah dapur. Dari luar pintu terdengar suara si bungkuk.

“Ah, moaycu,” kedengaran si bungkuk menghela napas, “engkau telah menerjang bahaya besar, lalu bagaimana kita sekarang?”

“Apanya yang bagaimana?” kata Coh Bwe Nio dengan nada dingin, “bunuh mati semua sampai bersih!” 

“Bunuh…. semua…. engkau anggap begitu…. gampang,” kata si bungkuk tersendat-sendat gemetar.

“Bagus, bagus, mama benar, bunuh satu demi satu” sahut Coh Hen Hong sambil bertepuk tangan, “Ciuciu, kalau engkau takut turun tangan biarlah aku yang melakukan!“

Sambil berkata gadis cilik itu terus memungut golok.

“Jangan, jangan, jangan membunuh mereka Walaupun dunia ini luas tetapi kita takan dapat bersembunyi lagi. Yang satu putera dari Peh Hoa lokay dan yang satu…. puteri dari . Kwan tayhiap!“

Mendengar itu Coh Bwe Nio terkesiap, “Siapa itu puteri Kwan tayhiap?”

“Gadis kecil itu,” kata Coh Thoacu, “waktu kubawa ke mari telah kutanya kepadanya. Dia adalah puteri dari Kwan Pek Hong yang termasyhur di daerah Kanglam….

Baru Coh Bungkuk berkata sampai disitu, Coh Bwe Nio sudah menjerit nyaring. Sebenarnya nada suara wanita itu terang. menandakan kalau kesadaran pikirannya juga jernih. Tetapi waktu menjerit itu ternyata nadanya aneh dan tajam seperti orang yang kaget ketakutan dan mimpi yang seram.

“Kwan Pek Hong? Ha, ha, Kwan Pek Hong, kiranya itu adalah Kanglam tayhiap yang termasyhur itu, mengapa aku tak tahu!” serunya. Coh Thocu menghela napas “Moaycu, selama ini pikiranmu memang kalut. Baru setelah bertemu aku engkau menjadi sadar. Sudah tentu engkau tak tahu hal itu.”

“Bukan begitu,” kata Coh Bwe Nio, “tetapi Kwan Pek Hong-ku, mengapa aku tak tahu?” “Ah, tidak, tidak.

Kwan Peg Hong sudah mati kugigit, bagaimana mungkin dia masih hidup lagi?”

Beberapa saat lamanya suasana menjadi hening.

Tak ada yang bicara lagi. Tiba-tiba gadis cilik Coh Siau Bwe berseru, “Ciuciu, mama…. kumat lagi…. “ hansgranting

Siau Bwe, mengapa begitu membicarakan Kwan Pek Hong, mamamu terus angot lagi penyakitnya?” kata Coh Thocu.

Coh Hen Hong gelengkan kepala, “Entah, aku juga tak mengerti. Dulu dia memang sering mengingau hendak menggigit Kwan Pek Hong sampai mati. Maka tadi ketika dia mengatakan begitu lagi aku segera menduga kalau mama kumat lagi penyakitnya.”

Coh Thocu termangu beberapa jenak lalu berkata, Siau Bwe, mengapa mamamu memberi mu nama Hen Hong kepadamu? Dia….. dia apakah mempunyai hubungan dengan Kwan tayhiap?”

“Entah, aku tak tahu,” sahut Coh Heng Hong, “aku sendiri juga belum pernah melihat Kwan Pek Hong itu.”

Coh Thaocu menarik tangan Coh Siau Bwe, masuk kedalam dapur. 

“Ciuciu, engkau mau apa?“ tanya Coh Siau Bwe alias Coh Hen Hong.

“Jangan bertanya, jangan bergerak dulu,” perintah Coh Thocu. Dia terus menarik anak keponakannya itu ke hadapan Kwan Beng Cu, baru dilepaskan, Dia mengangkat Kwan Beng Cu, dipandang dengan teliti lalu menandang Coh Hen Hong

Beberapa saat kemudian tampak Coh Thocu mengangguk-angguk, katanya, “Nona Kwan, kami mengikatmu karena terpaksa. Apakah engkau Ingin pulang? Kami akan mengantarmu.”

Wajah Kwan Beng Cu seperti mau menangis tetapi dia menjawab, “Tidak, aku hendak ikut orang itu ke Peh-hoa-nia.”

Walaupun dia kuatkan hati tidak rnenangis tetapi airmatanya mengucur deras.

Melihat itu Coh Hen Hong bertepuk tangan tertawa, “ha, ha, kuda kencing….“

Coh Thocu berpaling dan deliki mata kepada keponakannya, “Siau Bwe, jangan usil. Nona Kwan,” kemudian dia berpaling dan berkata pula kepada Kwan Beng Cu, “engkau bilang mau ikut orang itu ke Peh- hoa-nia. Tetapi dia bukan orang baik, tak dapat dipercaya. Mengapa engkau mau ikut dia?”

“Engkau bilang dia bukan orang baik tetapi dia bersikap baik kepadaku. Tidak seperti engkau yang mengikat aku begini.” Coh Thocu mengira kalau Kwan Beng Cu yang masih kecil itu mudah dibujuk. Siapa tahu kata-kata gadis cilik ini membuatnya tak dapat membantah.

Sampai beberapa saat Coh Thocu tak dapat berkata apa-apa.

Tiba-tiba di luar terdengar Coh Bwe Nio ber teriak histeris, “Kwan Pek Hong, kiranya engkau termasyhur sekali, ha…. ha…. aku seperti berselimut dalam kabut. Kali ini, masa aku tidak mampu mencarimu?”

Suaranya makin lama makin jauh, menandakan kalau dia lari ke luar, Sudah tentu Coh Thocu bingung dan lari ke pintu, “Moaycu, kembalilah, kembali dulu nanti kita bicara!”

Dua tombak jauhnya dia mengejar tetapi balik kembali dan berseru. “Siau Bwe, jaga dulu kedua orang itu, aku hendak menyusul mamamu”

“Kutahu,” Coh Hen Hong mengangguk, ‘jangan kuatir, silahkan mengejar mama saja!“

Coh Thocu lalu berputar tubuh dan lari mengejar.

Meihat itu diam-diam Pui Tiok gembira. Coh Hen Hong hanya seorang anak perempuan, mudah baginya untuk meloloskan diri. Tetapi yang menjengkelkan adalah ular yang masih melilit di lehernya itu. kalau dia tidak bergerak, ular itupun longgar. Tetapi sedikit saja dia bergerak, ya hanya menggerakkan jari tangannya saja, ular itu segera melilit kencang.

Beberapa kali dia sudah mencoba, tetapi begitu saja Akhirnya dia menyadari, kalau mau lolos dengan kekerasan, percuma saja. Dia harus mencari akal lain. Saat itu ketika derap langkah Coh bungkuk sudah semakin jauh Pui Tiok tertawa, “Adik kecil, kepandaianmu hebat juga.”

Coh Hen Hong deliki mata, “Memangnya hebat!“ “Tetapi kalau dibanding dengan kepandaianku, Jauh

sekali terpautnya,” kata Pui Tiok pula.

“Uh, tidak tahu malu,” Coh Hen Hong tertawa mengejek, “engkau menggeletak di tanah seperti babi yang tunggu disembelih, masih jual mulut besar, uh!“

Pui Tiok tertawa, “Engkau kira aku benar tak dapat bangun? Begitu aku berdiri, walaupun kedua tanganku masih terikat, aku dapat mengalahkan engkau!“

‘Kentut!“ teriak Coh Hen Hong.

“Dengan kedua tangan terikat, dalam tiga jurus saja aku tentu mengalahkan engkau’ Jika tak percaya, silahkan mencoba!“

‘Aku tidak punya tali!“ kata Coh Hen Hong. “Engkau boleh mengunakan ular ini sebagai tali,

hmm kurasa engkau juga tidak berani menyentuh ular ini!”

“Fui!“ dengus Coh Hen Hong, “ngaco! Sejak kecil aku sudah bermain-main dengan ular itu!”

Pui Tiok sengaja membikin panas hati gadis kecil itu. Dia tengadahkan muka dengan sikap angkuh dan berseru menghina, “Huh, berani mati! Tidak ada seorangpun yang berani, aku sendiri juga tidak berani!“

Walaupun berotak cerdas tetapi dasar masih kecil, marahlah Coh Hen Hong mendengar ejekan Pui Tiok itu. Serentak dia melengking, “Siapa yang ngibul?

Lihat!“

Sambil berkata Coh Hen Hong terus melangkah maju dan menangkap ekor ular. Ular itu sudah belasan tahun di pelihara sehingga seperti mengerti bahasa manusia. Walaupun Coh Bwe Nio yang memelihara tetapi ular itu lebih intim dengan puterinya, Coh Hen Hong. Sejak Coh Hen Hong lahir, setiap musim dingin, ular itu tentu melingkari badan anak itu supaya hangat. Tiap hari ular dan Coh Hen Hong itu hampir tak berpisah. Jadi di antara mereka telah timbul kontak yang erat sekali.

Setelah memegang ekornya, Coh Hen Hong mengangkatnya sedikit dan ular itupun terus nelongsorkan lilitannya.

Ketika lehernya bebas dari lilitan ular, girang Pui Tiok bukan alang kepalang. Dia terus condongkan tubuh ke muka seperti orang yang hendak rubuh. Tetapi sebenarnya dia sedang menggunakan jurus yang_paling lihay yakni Sun-sip cay-yang atau Menurut kondisi menyembelih kambing, Waktu tubuh condong ke muka, jarinya menusuk bahu Hen Hong.

Coh Hen Hong meskipun juga belajar silat tapi saat itu dia benar-benar tak menduga kalau dirinya bakal diserang begitu cepat. Seketika pandang matanya tertutup kelebat tubuh orang dan terus rubuh . Melihat nonanya rubuh, ular itu terus menyambar.

Pui Tiok terpaksa menyurut mundur. Serangannya luput, ular tidak mau melanjutkan tetapi dia melingkari tubuh coh Hen Hong lalu mengangkat kepalanya, lidahnya tidak henti-hentinya menjulur. Jelas ular itu hendak melindungi nonanya….

Pui Tiok memang tidak bermaksud hendak mencelakai Coh Hen Hong. Pelahan-lahan dia melingkar ke tempat Kwan Beng Cu, Setelah melepas ikatan tubuh Kwan Beng Cu, dia berkata, “Lekas lari, hati-hati.”

Pui Tiok menarik tangan gadis cilik itu untuk menerobos keluar. Setiba di luar dapur baru mereka menghela napas longgar. Setelah lari sampai lima enam li, barulah mereka berhenti.

Napas Kwan Beng Cu terengah-engah, dia mengomel, “Perlu apa engkau lari begitu kencang! Mereka toh tak mengejar.”

Pui Tiok berpaling ke belakang dan ternyata memang tak ada orang lagi Tiba-tiba dia berkata, “Nona Kwan. aku hendak berunding dengan engkau mengenai suatu hal, entah engkau Setuju tidak?“

“Soal apa?” Kwan Beng Cu agak heran. “Dengan si Bungkuk itu, aku masih perlu

mencarinya lagi untuk membereskan suatu hal yang penting. Tetapi kalau bersama engkau, itu kurang leluasa…. “

“Siapa ingin bersama? Engkau tak mau bersama aku, masa aku sudi bersama engkau!“ cepat gidis cilik itu menukas marah. Habis berkata dia berputar tubuh dan terus hendak lari.

Pada saat Kwan Beng Cu berputar tubuh Pui Tiok pun sudah melesat ke mukanya dan tertawa, “Nona Kwan, tadi aku kan sudah bilang mau berunding dengan engkau. Mengapa belum selesai aku bicara engkau terus marah?“

Entah bagaimana, kemarahan Kwan Beng Cu reda dan diapun tertawa, “Baik, Lanjutkanlah!

“Wanita dan si Bungkuk, tidak berapa hebat kepandaiannya. tetapi ular itu memang lihay sekali. Aku hendak pinjam pedangmu yang kecil itu, apakah engkau meluluskan?“

“Kwan Beng Cu gelengkan kepala! “Tidak bisa!

Mama bilang, pedang itu sebuah pusaka yang tiada keduanya. Bagaimana begitu mudah kupinjamkan kepadamu?”

“Oho, lihatlah, apakah orang macamku ini engkau anggap manusia yang suka pinjam tetapi tak mau mengembalikan? Kalau aku memang mempunyai hati begitu, bukankah dengan mudah ku dapat menutuk jalan darahmu lalu merebut pedang itu?“

Kwan Beng Cu kicupkan mata, “ya taka pa “ akhirnya dia meluluskan,

Pui Tiok gembira sekali membalikkan tangan, tangannya sudah memegang sebilah pedang kecil.

Saat itu Cuaca menjelang dinihari, langit gelap dan keadaan sekeliling penjuru pun pekat. Kelebat sinar pedang makin menyilaukan mata. Tangan Kwan Beng Cu seperti tidak memegang pedang melainkan segulung sinar kebiru-biruan

Pui Tiok segera menyambuti pedang pusaka itu.

Seketika dia terkejut dan heran. Ternyata pedang kecil itu, batang sampai dengan tangkainya hampir setengah meter panjangnya tetapi Pui Tiok rasakan ringan seperti tak berbobot sama Sekali,.

“Sungguh ringan sekali pedang ini.” Pui Tiok tertawa.

“Kurang pengalaman tentu banyak bicara,” Kwan Beng Cu menyengir “bukankah tadi sudah kukatakan bahwa pedang pusaka ini memang lain dari yang lain?“

“Ya, ya,” kata Pui Tiok seraya menyimpan pedang dan berkata tunggu aku disini, Paling Lama satu dua jam sudah kembali lagi.”

Kwan Beng Cu tertegun, wajahnya pucat. Dia memandang ke sekeliling penjuru. Saat itu mereka berada di tengah sebuah lembah kecil, empat penjuru dikelilingi hutan pohon yang gelap. Kwan Beng Cu takut. Tetapi karena dia seorang anak perempuan yang keras kepala maka diapun berputar tubuh, serunya, “Kalau mau pergi, pergilah. Perlu apa banyak omong!“

“Kalau engkau takut,” kata Pui Tiok. “akan kubantumu membuat api unggun dulu. Toh tak lama lagi hari sudah terang tanah,” Mendengar Pui Tiok hendak bantu membuat api unggun, dalam hati Kwan Beng Cu senang sekali tetapi mulutnya menjawab tawar, “Ah, tak usah.”

Pui Tiok tetap masih sedikit kuatir, dia mengulang pesannya lagi, “Jangan pergi kemana mana kurasa disini takkan terjadi suatu apa.”

Sudah tentu Kwan Beng Cu takut karna sebesar itu belum pernah dia seorang diri berada di tempat yang gelap. Apalagi di tengah lembah gunung yang sunyi senyap.

Kwan Beng Cu maju selangkah dan mencengkeram sebatang pohon kecil. Dia merasa agak tenang. Pui Tiok segera melesat pergi. Sudah tentu Kwan Beng Cu lebih takut sehingga dia gemetar. Dia termangu seberapa saat, memandang langit sambil mengharap agar cuaca lekas terang. Tetapi dia merasa selimut gelap yang menyelubungi cakrawala seperti tak mau menggungkap.

Sebenarnya keadaan lembah itu sunyi sekali. Tetapi entah bagaimana, dari empat penjuru seperti terdengar berbagai suara aneh yang meregangkan bulu roma.

Kwan Beng Cu makin kencang mencengkeram pohon kecil itu. Tangannya basah dengan keringat dingin. Diam-diam dia bersyukur ada pohon kecil itu. Kalau tidak, tak tahu dia bagaimnana akan terjadi pada dirinya.

Sebenarnya saat itu sudah menjelang terang tanah. Tetapi karena perasaan diliputi rasa takut maka Kwan Beng Cu merasa lama sekali. 

Tak berapa lama haripun mulai terang. Kwan Beng Cu menghela napas longgar. Apalagi setelah disekelilingnya tampak jelas, dia makin tenang

Dan karena sudah tenang, cengkeramannya pada pohon kecil pun dilepaskan. Tetapi pada saat itu dia baru mengetahui bahwa yang dicengkeram tadi, bukan sebatang pohon melainkan sebatang bambu berwarna kuning kecoklat-coklatan.

Ketika Kwan Beng Cu berpaling lagi, dia terkejut. Bambu itu ternyata bukan pohon tetapi tongkat dan tangkai itu batangnya dipegang seorang manusia.

Dengan begitu sejak tadi orang itu tetap berada di samping Kwan Beng Cu. Begitu dekat tetapi Kwan Beng Cu sama sekali tidak mengetahui. Saking kaget nya, gadis itu lunglai dan terus jatuh terduduk di tanah.

Waktu duduk di tanah itu matanya tetap memandang ke tubuh orang yang memiliki tongkat. Ternyata orang itu seorang nenek tua berambut putih, wajahnya memancar sinar kasih.

Ketegangan hati Kwan Beng Cu agak menurun.

Tiba-tiba nenek tua itu juga berjongkok dan berkata, “Jangan takut, jangan takut. karera takut membuat engkau kaget maka tadi aku tidak mau mengeluarkan suara.”

nada kata-kata nenek tua itu ramah sekali, Kwan Beng Cu makin tenang, katanya, “Engkau…. engkau ini siapa?” Nenek tua tertawa, “Engkau tidak kenal kepadaku.

Tetapi aku kenal dengan mamamu. Sebut saja Ih pohpoh kepadaku, mau?”

Melihat nenek itu begitu ramah, rasa takut Kwan Beng Cu pun hilang.

“O, kiranya engkau ini sahabat mamaku” Serunya. “Ya,” sahut si nenek, “siapa namamu?”

“Aku bernama Beng Cu.”

“Engkau ini orang she….“ si nenek ber tanya pula.

Kwan Beng Cu memang masih anak tetapi bukan anak kecil. Dia sudah dapat berpikir. Waktu mendengar nenek bertanya she, diam-diam dia heran. Katanya kenal dengan mama, mengapa tidak tahu aku ini orang she apa? Pikirnya.

Dan timbul pula kecurigaan yang lain, pikirnya, “Jelas dia tentu tak kenal aku. Kalau begitu mengapa dia tahu siapa mamaku itu?”

Waktu berpikir menganalisa kecurigaannya itu, Kwan Beng Cu tak bicara apa-apa. Kedua biji matanya berkeliaran kesana kemari.

Nenek tua itu segera dapat mengetahui isi hati gadis cilik itu, katanya. “Engkau curiga kepadaku, bukan? Dengan mama mu, sudah duapuluh tahun aku tak bertemu, juga tak mendengar beritanya Oleh karena itu dia menikah dengan siapa akupun tak tahu.” Kwan Beng Cu merentang mata, “Kalau begitu bagaimana engkau tahu kalau aku ini anak nya mama?“

Nenek tua tertawa, “Pertanyaanmu sungguh pintar sekali! Itu engkau sendiri yang memberitahu kepadaku.”

Sudah tentu Kwan Beng Cu melongo, serunya, “Aku sendiri? Kapan aku memberitahu kepadamu?‘

“Tadi waktu engkau mengeluarkan pedang kecil, engkau bilang kalau benda itu milik mamamu, Karena tahu pedang kecil itu maka aku pun segera tahu engkau ini anaknya siapa, ya atau tidak?“

Mendengar penjelasan itu mau tak mau Kwan Beng Cu tertawa meringis Pikirnja, “Ya. dia memang betul, aku sendiri yang membuka rahasia itu.”

“Aku orang she Kwan akhirnya dia memberitahu, “ayahku adalah Kwan Pek Hong tayhiap.

“O” desuh lh pohpoh itu berkata seorang diri, “sungguh tak kira, benar-benar sungguh tak kira.”

Mendengar itu Kwan Beng Cu tak tahu dan bertanya, “Apanya yang tidak kira? Kalau engkau kenal dengan mamaku, tentu engkau baik sekali dengan dia, bukan”

“Aku hanya mengatakan,” kata nenek Ih, “pada duapuluh tahun yang lalu, mamamu tiba-tiba meninggalkan rumah, sampai sekarang belum pernah pulang. Sungguh tak kira kalau dia sudah menikah dan mempunyai anak. Engkau bicaranya apa kah aku baik sekali dengan mamamu? itu sungguh terlalu baik sekali. Aku hendak mengundangmu ke sebuah tempat,.”

“Ke mana? Aku hendak menuju ke gunung Peh-hoa- nia, kalau seperjalanan aku mau,” kata Kwan Beng Cu.

Nenek lh tertawa, “Seperjalanan, sudah tentu satu jalan. Tempat yang hendak kuajakmu pergi adalah disini!”

Tiba-tiba nenek itu gerakkan tangan dan seketika dia menebarkan segumpal awan merah.

ternyata awan merah itu tak lain hanya sebuah karung berwarna merah darah. Semula karung merah itu memang sudah terpanggul di bahu nenek lh tetapi karena Kwan Beng Cu dicengkam rasa kejut dan kemudian terlibat dalam pembicaraan maka dia tak sempat memerhatikan karung itu lagi.

Saat itu nenek Ih memegang karung dengan kedua tangan. Bagian dalam dari karung itu ternyata juga berwarna merah. Sudah tentu Kwan Beng Cu heran mengapa tiba-tiba saja nenek itu mengeluarkan karung.

Nenek Ih menggapaikan tangan kepadanya, “Mari kemari, engkau bermain-main dalam karung ku ini!.”

Sudah tentu Kwan Beng Cu tercengang, “Ih pohpoh, engkau mengatakan apa?”

“Tadi aku bilang akan mengajakmu kesebuah tempat. Tempat itu tak lain adalah dalam karung ini” 

Kwan Beng Cu terlonggong. Diam-diam dia menyadari kalau nenek itu bermaksud tidak baik kepadanya. Serentak dia berteriak memanggil Pui Tiok sembari berputar tubuh terus lari.

Tetapi baru setengah langkah, tiba-tiba dia rasakan bahunya mengencang karena kelima jari nenek itu sudah menerkamnya dan seperti anak kecil, dia diangkat nenek itu.

“Anak, jangankan hanya Pui toako, sekali Goan toako, bibi Pian ataupun paman Tang, juga tak mampu menolongmu,” kata nenek Itu dengan tertawa.

Tangan kanan si nenek mengangkat tubuh Kwan Pek Hong dan tangan kiri membuka karung lalu dimasukkan kedalam, terus ditutup. Karung itu bergerak gerak keras karena Kwan Beng Cu keroncalan tetapi tak terdengar suara apa lagi. Dan tak berapa lama karung Itupun diam….

Sekarang mari kita berganti menuju kediaman gedung keluarga Kwan. Saat itu hari baru saja terang tanah. Tetapi gedung kediaman Kwan Pek Hong sudah sibuk tampaknya. Tak henti-henti nya kelompok demi kelompok bujang yang masuk keluar. Juga Si Ciau kelabakan setengah mati. Ia harus mencari kian kemari ditambah pula masih harus menerima bentakan dan kemarahan subo itu ibu gurunya.

Sejak semalam Kwan Pek Hong sudah keluar dan sampai saat itu belum pulang. Keadaan dalam rumahnya kacau tak keruan. Baru setelah matahari menjulang tinggi Kwan Pek Hong datang dengan naik kuda.

Sesaat dia loncat dari kudanya, hansgranting seorang bujang terus lari ke dalam. Tak berapa lama Si Ciau keluar menyambut, “Suhu, bagaimana?”

Dengan wajah pucat lesi Kwan Pek Hong gelengkan kepala.

Si Ciau menghela napas, “Subo di dalam sedang marah-marah. Dia pesan begitu suhu datang, supaya lekas menemuinya.”

Kwan Pek Hong tak bicara apa-apa terus melangkah masuk, Begitu masuk kedalam ruang dalam, sudah terdengar suara Kwan hujin menegurnya “Pek Hong, engkau sudah pulang? Apakah ada hasilnya?”

Kwan Pek Hong melesat masuk dan tiba disebuah ruang indah…. Disitu Kwan hujin tengah duduk dengan wajah membesi, menandakan sedang marah sekali.

Melihat itu mengkeretlah nyali Kwan Pek Hong sehingga untuk beberapa saat dia tak dapat berkata kata.

Kwan hujin tertawa dingin, Bagus, anak lenyap, pulang tanpa membawa hasil apa-apa bahkan sepatahpun tak mau bicara!“ Hati Kwan Pek Hong berdebar keras Setelah isterinya setesai bicara, baruLah Kwan Pek Hong tertawa kecut, “Hujin, aku telah mengirim orang ke seluruh penjuru untuk mencari jejak sahabat-sahabat di darat maupun di sungai juga sudah kuhubungi. Kurasa mereka tentu belum jauh larinya paling lambat tengah hari ini tentu sudah ada beritanya.”

“Jika sampai tidak ada?“ Kwan hujin tertawa dingin.

Kalau tidak ada beritanya, apa dayaku. Toh anak itu hilang waktu tidur disampingmu? Mengapa aku yang salah, kata Kwan Pek Hong dalam hati.

Namun dia tak berani mengatakan hal itu untuk membantah isterinya. Dia hanya diam saja.

“Kalau begitu harus cari daya lain lagi,” akhirnya dia menjawab.

“Kentut!“ Kwan hujin marah, “sekarang, juga engkau harus pergi lagi untuk mencari anak itu. hansgranting Kalau tidak mampu menemukan, jangan pulang, lebih baik engkau mati di luaran saja.“

Kwan Pek Hong mengerut gelap dan menyahut. “Ya, baiklah.”

“Hm” dengus Kwan hujin. “engkau memang sudah lama hendak pergi dari rumah dan tak mau pulang lagi, bukan?”

Kwan Pek Hong menyengir. Bukankah tadi yang suruh pergi dan jangan pulang itu Kwan hujin, sendiri dan Kwan Pek Hong hanya terpaksa mengiakan saja? Mengapa sekarang nyonya itu memaki suaminya mempunyai hati akan meninggalkan rumah?

Kwan Pek Hong ternganga tak dapat menjawab.

Tetapi isterinya tetap tak puas karena Kwan Pek Hong tak menjawab. 

“Mengapa engkau tak menjawab?“ seru Kwan hujin marah, “apakah engkau sudah jemu kepadaku dan tak sudi bicara lagi dengan aku?“

Kwan Pek Hong memang sudah biasa dimaki-maki isterinya. Saat itu dia tahu mungkin isterinya marah- marah karena kehilangan anaknya oleh karena itu diapun tak berani cari perkara dan buru-buru dia tertawa. tetapi sebelum dia sempat membuka mulut Kwan hujin sudah mendampratnya lagi, “Tertawa?

Huh, engkau masih bisa tertawa Anak hilang engkau masih gembira? Apanya yang lucu? Engkau masih berani tertawa?“

Kwan Pek Hong benar mati kutu. Dia tak tahu bagaimana harus bertindak. Bicara salah diam salah, tertawa juga salah.

Untung pada saat itu dari belakang Si Ciau berseru memanggilnya, “Suhu….

Seruan itu benar-benar dapat membebaskan Kwan Pek Hong dari kesulitan. Cepat dia berputar tubuh dan berseru, “Ada urusan apa?“

“Diluar telah datang seorang nenek berambut putih yang mengaku she Ih. Dia mengatakan membawa berita tentang sumoay,” kata Si Ciau.

“Baik,” cepat Kwan Pek Hong menyahut, “kutahu. Hujin, aku hendak melihatnya dan segera kembali”

Kwan hujin tertawa dingin. Kwan Pek Hong tak mau menunggu dia menjawab terus berputar tubuh dan angkat kaki. Setelah beberapa tombak jauhnya barulah dia merasa longgar perasaannya. Dia mengikuti Si Ciau menuju ke ruang besar.

Begitu memasuki ruang besar dia segera melihat seorang nenek berambut putih sedang duduk dikursi. Nenek itu berwajah asih bahunya memanggul sebuah karung berwarna merah darah.

Serta melihat nenek itu mulut Kwan Pek Hong mendesuh kaget. Sepasang mata nenek itu memancarkan sinar yang berikilat-kilat tajam. Suatu pertanda bahwa dia memiliki tenaga-dalam yang tinggi sekali.

Kwan Pek Hong melangkah maju dan berkata “Anda ini….“

Nenek itu serentak berdiri dan berkata. “Aku orang she Ih, tuan ini tentulah Kwan tayhiap“

“Ah, jangan memuji,” kata Kwan Pek Hong, “anda mengatakan jika membawa berita tentang anak perempuanku, betulkah itu? Kalau benar dan kelak dapat menemukan anak perempuanku, budi pertolongan anda itu takkan kulupakan selamanya.’

“Memang aku membawa berita tentang puterimu tetapi tetap aku ingin berjumpa dengan Kwan hujin,” kata nenek itu.

mendengar itu Kwan Pek Hong terkesiap. Seru nya, “tetapi isteriku sedang kurang enak badan. Sejak lenyapnya anak kami, dia jatuh sakit. Kurasa anda tak perlu menemuinya..” Wajah asih dari nenek Ih makin ramah, kata nya, “Kwan tayhiap, kata-kata orang kuno memang benar. Didepan orang yang tahu, lebih baik jangan berkata bohong. Selekas bertemu dengan Kwan hujin, segera akan kuberitahu kepadanya dimana putri nya berada. Mengapa Kwan tayhiap perlu mengatakan hal yang berlawanan dengan batin anda?“

Ucapan nenek lh itu walaupun sangat ramah kedengarannya tetapi amat tajam sekali. Dan Sehabis berkata nenek itu memandang Kwan Pek Hong seraya tertawa sehingga Kwan Pek Hong terkejut.

Kwan Pek Hong memang tahu bahwa isteri nya itu mempunyai latar sejarah yang hebat. Tetapi soal itu jarang sekali orag persilatan yang tahu. Paling-paling kesan mereka yang pernah bertemu dengan Kwan hujin, tentu mengatakan bahwa nyonya itu berwajah jelek dan bengis. Tetapi merekapun tak berani mengatakan hal itu kepada orang lain.

Hanya ada satu hal yang Kwan Pek Hong heran dan tahu, yalah bahwa isterinya itu seperti mempunyai suatu perasaan takut. Bahkan tiap hari, masuk keluar dalam rumah saja, isterinya itu sangat hati-hati.

Sikapnya seperti orang yang takut kalau sampai bertemu dengan seseorang tertentu.

Sekarang nenek itu berkeras hendak menemui isterinya, apakah dia (Kwan Pek Hong) harus masuk memberitahu kepada isterinya atau tidak?

Pada saat Kwan Pek Hong masih bersangsi tiba-tiba nenek Ih sudah berseru nyaring, “Kwan hujin, ada kawan yang sudah 20 tahun tak bertemu ingin berkunjung, mengapa engkau tak lekas menyambut?“ Walaupun nyaring tetapi nadanya tetap ramah. Kumandang suaranya bergema memenuhi seluruh gedung.

Mendengar itu diam-diam Kwan Pek Hong longgar perasaannya. Nenek itu yang berseru sendiri mau menerima atau tidak terserah pada Kwan hujin sehingga Kwan Pek Hong tak kesalahan terhadap isterinya.

Beberapa saat kemudian terdengar suara Kwan hujin berseru dingin dari arah dalam. hansgranting “Kawan lama siapa?“

“Coh- si-cu (pengurus) istana Ceng- te-kiong, sekarang sudah seorang nenek berambut putih,” sahut nenek lh.

Mendengar itu bagaimana reaksi Kwan hujin memang tak diketahui tetapi Kwan Pek Hong serentak berobah wajahnya.

“Engkau…. engkau dari istana Ceng te-kiong?“ serunya.

“Ya, mengapa Kwan tayhiap terkejut?“ sahut nenek

lh.

“Aku….. aku….. tidak kaget…. tidak kaget.” Kwan

Pek Hong dengan tersendat-sendat karena gerahamnya bergemerutukan, menandakan betesar rasa kejut yang menggoncang hatinya

Sampai beberapa saat belum juga terdengar suara Kwan hujin. Dan nenek Ih pun segera ber seru pula, “Hujin mengapa tidak bicara?“ 

Dia mengulangi lagi pertanyaannya baru terdengar suara Kwan hujin yang datangnya dari jauh lalu makin dekat, “O, kiranya Ih si-su, sungguh sudah lama tak bertemu!“

Begitu suara lenyap, orangnyapun sudah melangkah masuk kedalam ruang besar dan berdiri tegak.

Nenek Ih juga berdiri dan memandang nyonya rumah dari ujung kaki sampai keatas kepala. Tiba-tiba dia memberi hormat seraya berseru, “hamba menghaturkan hormat kepada siocia.”

Kwan hujin tertawa pahit seraya menggerak gerakkan tangan, “Tak perlu banyak peradatan. Karena engkau sudah menemukan aku, tentu akan membawa aku pulang, bukan?”

“Sebagai seorang si-su, sudah tentu aku tak berani melanggar titah yang dipertuan.”

Sambil melengkan kepala Kwan hujin bertanya, “Apakah engkau mampu membawa pulang aku?”

“Hamba tahu kalau hamba tak mampu membawa siocia pulang,” kata nenek Ih seraya menepuk karung merah yang terpanggul pada bahunya.

Seketika berobahlah cahaya muka Kwan hujin serunya, ‘Siapa yang berada dalam karung?” Nenek Ih tidak menyahut melainkan tertawa.

Kwan hujin berjingkrak, “Beng Cu. Beng Cu mutiaraku!” 

Nenek lh tertawa cerah, “Siocia sungguh cerdik sekali. Sekarang siocia tentu mau ikut aku pulang, bukan?”

Kwan hujin menggerung marah, kelima jar nya yang bertebar laksana cakar burung elang, tiba-tiba menerkam kepala nenek lh. Rupanya Kwan hujin telah menyalurkan tenaga-dalam penuh pada cakarannya itu sehingga menimbulkan getaran angin kuat yang mendesir-desir.

Secercah wajah cerah nenek lh lenyap seketika, berganti dengan wajah yang tenang. Nenek itu tidak mau mundur juga tidak beringsut dari tempatnya. Dia hanya menggerakkan tangan kiri nya ke belakang, menekan pada mulut karung yang berada pada bahunya.

Gerakan nenek itu menimbulkan reaksi berupa suara Kwan hujin meraung aneh. Terkaman kelima jarinya yang sedahsyat elang menyambar itu, tiba-tiba berhenti seketika.

Pada saat menghentikan cengkeramannya itu kelima cakar Kwan hujin tepat menyusup kedalam rambut nenek lh yang putlh seperti perak Itu.

Nenek lh menghela napas, “Ah, siocia, sungguh berbahaya sekali”

Yang dimaksudkan dengan berbahaya itu sudah tentu bagi keselamatan dirinya tetapi pun juga bagi Kwan hujin. Mengapa bagi diri Kwan hujin? Waktu Kwan hujin menerkamnya, nenek itu tidak mau menghindar juga tidak mau menangkis melainkan terus menekankan tangannya ke mulut karung. itu berarti apabila Kwan hujin nekad hendak membunuhnya, nenek Itu juga bertekad hendak membunuh Kwan Beng Cu yang berada dalam karung.

Dengan wajah membesi gelap, pelahan-lahan Kwan hujin menarik tangannya.

“Ih si-su, sungguh besar sekali nyalimu berani melawan aku!” serunya.

“Hamba hanya melaksanakan tugas, harap siocia jangan menyalahkan,” sahut nenek itu.

Kwan hujin tertawa dingin, taruh kata aku menerima permintaanu tetapi perjalanan ke Ceng te- kiong itu beribu li jauhnya. Apikah engkau yakin engkau tentu aman?”

Nenek lh tertawa getir, “Dia menyadari apa yang dikatakan Kwan hujin itu memang benar.

“Memang sukar,” katanya, “hambapun hanya dapat berusaha sekuat mungkin. Mohon siocia sudi meluluskan.”

Wajah Kwan hujin makin gelap sehingga makin menyeramkan. Dengan suara tegas, dia sengaja berkata dengan sepatah demi sepatah, “Ih si-su, seharusnya engkau tahu watakku, yang tak sudi menerima tekanan orang. Di istana Ceng-te-kiong. walaupun atasanku hanya satu orang tapi bawahanku berpuluh ribu orang, tetapi toh aku tidak suka. aku tetap melanggar peraturan istana dan melarikan diri. hal itu disebabkan karena aku tidak sudi dibawah kekuasan orang, walaupun hanya seorang saja’

“Hamba tahu,” sahut nenek lh dengan wajah mengerut.

“Kalau engkau sudah tahu,” kata Kwan hujin pula, “seharusnya engkau tahu bahwa kalau aku mau menuruti permintaanmu untuk pulang, itu berarti bahwa hari terakhir bagimu sudah akan tiba!”

Nenek Ih mengela napas, “Hamba mengerti. Tetapi sudah tiga turunan hamba menerima budi bagaimana hamba tidak mau melakukan tugas yang di berikan kepada hamba?”

“Aku dapat memberimu sebuah jalan hidup, “Kata Kwan hujin,” letakkan Beng Cu dan angkatlah sumpah bahwa engkau takkan memberi tahu kepada siapapun juga. Kupercaya dengan mengangkat sumpah itu, engkau pasti takkan mengalami nasib dihilangkan jejakmu.”

Nenek Ih diam tak berkata. Kwan hujin mundur selangkah dan duduk di kursi, katanya, “Engkau boleh merenungkan dulu, kuberimu waktu setengah Jam untuk memberi jawaban”

Nenek Ih tetap diam. Wajahnya yang penuh keriput menampilkan cahaya lesi.

Saat itu suasana dalam ruang besar tegang sekali. Beberapa bujang, setelah melihat Kwan hujin keluar, mereka sudah cepat-cepat menyingkir. Bahkan Si Ciau juga beringsut jauh dan berdiri di sudut ruangan. Sebenarnya Kwan Pek Hong tegak berdiri di samping isterinya seperti seorang penjaga.

Sepatahpun tidak berani buka suara.

Sedemikian sunyi keadaan ruang itu sampaipun suara napas orang juga kedengaran.

Apa yang sedang dipertimbangkan nenek Ih dan bagamana keputusan yang akan diambilnya, tak seorangpun yang tahu. Kwan hujin tenang-tenang menunggu.

Setelah meminjam pedang kecll milik Kwan Beng Cu, Pui Tiok terus lari mencari Coh bungkuk. Dia berhenti beberapa kali karena mencemaskan keadaan Kwan Beng Cu yang ditinggal Seorang diri itu. Hampir saja dia hendak kembali menengok keadaan gadis kecil itu. 

Andaikata Pui Tiok terus kembali, mungkin jalannya cerita akan berlainan. Tetapi Pui Tiok hanya mempunyai kenginan saja dan dia tidak balik melainkan melanjutkan perjalanannya.

Dia memperhitungkan bahwa si bungkuk tentu akan kembali lagi ke dalam rumah pondok. Dia ingin mencari keterangan pada orang bungkuk itu di mana kitab pusaka Ih-su-keng. Sudah tentu dia tak mau melewatkan kesempatan sebagus itu.

Tak berapa lama dia sudah tiba di rumah pondok.

Lebih dulu dia pasang telinga tetapi karena tidak mendengar apa-apa, dia terus berindap-indap menghampiri ke muka pintu dan mengintip ke dalam. Ternyata gadis cilik Coh Hen Hong masih menggeletak di atas tumpukan dami dan ular itupun masih melilit tubuhnya. Selain Coh Hen Hong, tak ada lain orang lagi. Jelas bahwa Coh Thocu belum kembali ke situ.

Pui Tiok mendorong pintu lalu melangkah masuk.

Sambil memegang pedang kecil dia tertawa mengikik, “Ho, engkau masih sendirian saja? Engkau takut tidak? Apakah ciuciumu belum balik kemari?”

Sambil berkata dia menghampiri. Tetapi baru dia mendekat, ular yang melilit tubuh anak Perempuan itu serentak mengangkat kepalanya dan hendak menyambar Pui Tiok.

Pui Tiok yang sudah siap dengan pedang pusaka serentak menyabat tetapi ular itu juga takut dan cepat menyurutkan tubuh. Tetapi karena Pui Tiok tidak melanjutkan serangannya dan menarik kembali, ular itupun tidak menyerang lagi.

Pui Tiok juga menyabat lagi tetapi setelah ular menyurut mundur, diapun menarik pedang nya kembali. Dengan mengulang cara itu sampai empat lima kali, ular yang sudah terlatih itu mempunyai kesan bahwa Pui tiok tak berani menyerangnya.

Waktu Pui Tiok melancarkan serangan yang keenam kalinya, sekonyong-konyong ular itu terus meluncur maju menyerangnya.

Tujuan Pui Tiok meminjam pedang kecil dari Kwan Beng Cu tak lain hanyalah hendak membunuh ular itu. Dari lima kali serangan yang ditarik kembali itu hanyalah untuk siasat memikat si ular. Maka waktu ular itu akhirnya berani meloloskan diri maju menyerang, Pui Tiok tidak mau melepaskan kesempatan yang bagus itu lagi.

Sekali tangan bergerak melingkar, pedang itupun memancarkan sinar kebiru-biruan yang berhamburan menjadi berpuluh lingkaran kecil. ltulah jurus istimewa ciptaan ayahnya (Peh Hoa lokoay) yang disebut Peh- hoa-ceng-jun atau Seratus-bunga-berebut musim- semi.

Peh-hoa-ceng-jun-memang bukan olah-olah hebatnya. Sekalipun seorang jago sakti dari dunia persilatan juga tak mudah untuk menghadapi jurus itu. Apalagi hanya seekor ular. Dalam beberapa kejab saja terdengarlah suara desis yang tajam dan ular itupun terbelah menjadi dua. hansgranting

Kebetulan babatan pedang itu tepat mengenai leher ular. Begitu putus, kepala ular jatuh ke tanah tetapi pada saat itu juga kepala ular loncat ke atas dan menyambar betis Pui Tiok.

Sudah tentu Pui Tiok terkejut bukan main Cepat dia menarik mundur kaki sehingga hanya celananya bagian kaki bawah yang tergigit. Dia kucurkan keringat dingin. Ketika memandang kemuka, kembali dia menganga kaget.

Ular itu tadi melilit tubuh Coh Hen Hong untuk melindunginya. Tetapi setelah kepalanya putus, terjadilah peristiwa yang mengerikan. Tubuh ular itu sudah tak mengenal lagi nonanya. Ketika kepalanya putus, tubuhnya juga membuat reaksi yang hebat. Dengan cepat bagian tubuh ular itu terus melilit makin kencang. Pada saat Pui Tiok terhindar dari bahaya gigitan maut dari kepala ular ternyata Hen Hong juga sudah pingsan karena dililit kencang oleh sisa tubuh ular.

Krek, krek, krek, terdengar bunyi berderak- derak dari tulang belulang Coh Hen Hong yang sedang dililit tubuh ular. Apabila di biarkan saja dalam beberapa kejab tentu akan remuk rendamlah tulang-tulang gadis kecil itu.

Pui Tiok terkejut. Tanpa banyak pikir dia terus loncat kemuka, sret, sret. sret, dia menyabatkan pedang ke tubuh ular sampai beberapa kali dan tubuh ular itupun bagai daun kering tertiup angin, berguguran sekeping demi sekeping, menjadi tujuh sampai delapan keping. Tiap keping ada yang hanya sejari panjang.

Pada waktu berjatuhan di tanah, potongan- potongan tubuh ular itu masih melenting-lenting tak henti hentinya, sehingga pakaian Pui Tiok kecipratan percikan darah semua. Darah ular itu menyiarkan bau yang bukan kepalang anyirnya, menguak isi perut mau muntah.

Pui Tiok tak menghiraukan ke semuanya itu, Dia cepat menarik Coh Hen Hong bangun, lalu menepuk pelahan jalan darah peh-hwe-hiat di-ubun-ubun kepala gadis ltu.

Jalan darah peh-hwe-hiat merupakan pusat aliran gaib pada tubuh manusia, merupakan pula sebuah jalan darah vital. Apabila ditepuk dengan tenaga kuat orang tentu mati. Tetapi kalau menepuknya pelahan, akan dapat membuka seluruh jalan darah yang terhenti. orang yang pingsanpun segera akan siuman. 

Setelah ditepuk Pui Tiok, Coh Hen Hong terdengar mengerang. Karena tiada waktu untuk berdiam lebih lama dalam ruang dapur yang penuh berselimutkan hawa anyir, dia menarik Coh Hen Hong terus diajak menerobos ke luar. Setelah tiba di dekat seonggok rumput kering yang jaraknya dua tiga tombak dari pondok tadi, baru dia berhenti.

Saat itu Coh Hen Hong sudah sadar kembali. Dia meronta seraya berteriak-teriak, “Lepaskan aku. lepaskan aku!”

“Jangan ribut.” bentak Pui Tiok seraya masih memegang lengan gadis cilik itu.

Sudah tentu Coh Hen Hong tak mau menurut. Tiba- tiba dia menggigit tangan Pui Tiok.

Pui Tiok tidak menyangka kalau Coh Hen Hong akan bertindak sekalap itu. tangannya kena digigit, sakitnya bukan kepalang hingga dia terpaksa lepaskan cekalannya. Ternyata gigitan itu meninggalkan bekas yang cukup parah, di atas pergelangan tangannya tampak bekas dua buah gigi.

Pada saat Pui Tiok melepaskan cekalannya, Coh Hen Hongpun sudah memberosot lari. Sudah tentu Pui Tiok tak mau melepaskan. Sekali loncat dia dapat menangkap tengkuk gadis kecil itu lalu ditariknya mundur, “Engkau ini manusia atau bukan? Mengapa engkau gemar menggigit orang?”

Sepasang bola mata Coh Hen Hong merentang lebar-lebar. Sepintas wajahnya yang bulat telur Itu menyerupai kucing hutan yang sedang marah. 

“Aku mau menggigitmu sampai mati! Aku mau menggigitmu sampai mati “ dia berteriak-teriak keras.

Pui Tiok tahu bahwa Coh Hen Hong itu bukan tandingannya. Namun ketika mendengar teriaknya yang histeris penuh kemarahan itu, mau tidak mau tergetarlah hati Pui Tiok. Dia terus hendak bergerak untuk menutuk jalan darah gadis itu lagi supaya diam.

Tetapi pada saat dia menunduk dan memandang Coh Hen Hong, sepasang mata kucing marah dari gadis cilik itu masih memandang lekat kepadanya sehingga membuat jantung Pui Tiok berdebar keras. Buru-buru dia memandang ke muka lagi untuk menghindari tatap mata Coh Hen Hong. Tepat pada saat dia memandang ke muka.

dia melihat dua sosok bayangan manusia. yang satu di muka dan yang satu di belakang, lari menuju ke ruang dapur tadi.

Yang dimuka, rambutnya terurai panjang Walaupun terpisah jauh, Pui Tiok segera mengenali kalau dia itu Coh Bwe Nio. Dan yang mengikuti dibelakangnya adalah si bungkuk
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar