Pahlawan Gurun Jilid 14

 
Jilid 14

Yang Thian-lui sendiri menyadari bila pertandingan berlangsung terus dirinyapun pasti akan kecundang. Ia coba melirik kesamping, dilihatnya keadaan Pek Ban-hiong tiada ubahnya seperti dirinya, keadaannya juga payah dan terdesak.

Keruan Yang Thian-lui mulai keder, sebaliknya Beng Siau-kang putar pedangnya semakin kencang, makin lama makin bersemangat.

Kalau Pek Ban-hiong dan Yang Thian-lui masih dapat bertahan, sedangkan keadaan Pek Jian-seng lebih2 konyol, ia harus menghadapi serangan Nyo Wan yang ber-tubi2, setiap jurus serangannya adalah maut. Keruan Pek Jian-seng mandi keringat dan terdesak hingga mendekati pintu kamar tempat Sia It-tiong, jika terpaksa tampaknya dia hanya dapat bersembunyi ke dalam kamar itu dan tiada jalan lolos lain.

Sia It-tiong yang berada didalam kamar menjadi ketakutan, untuk menerjang keluar ia tidak berani. Mestinya ia sedang menanyai Subutai berdua, tapi kini dia terpaksa berdiam untuk mengikut keadaan diluar. Terdengar suara “trang-tring” beradunya pedang Nyo Wan melawan Pek Jian-seng semakin mendekati pintu, setiap kali mendengar suara nyaring beradunya senjata, setiap kali pula jantung Sia It-tiong ikut berdetak se-akan2 meloncat keluar dari rongga dadanya.

Sementara itu daun pintu sudah ikut bergetar oleh benturn angin senjata, tiba2 terdengar suara gedebukan keras disertai jeritan Pek Jian-seng, ternyata pemuda itu telah ditendang terguling kebawah undak2an rumah. Karena berhasrat membalas sakit hati lebih dulu, Nyo Wan tidak memburu untuk membinasakan Pek Jian-seng, tapi ia terus mendobrak pintu kamar untuk membunuh Sia it-tiong.

Selagi Sia It-tiong ketakutan setengah mati, se-konyong2 terdengar suara seorang yang seperti sudah dikenalnya sedang berseru: “Pek-cengcu, apakah Sia-tayjin berada disini?”

Menyusul itu terdengar pula suara Li Su-lam berseru: “He, bukanlah itu Putri Minghui? ~ Hai To Liong, berani kau berbuat begitu, lekas lepaskan Putri Minghui!”

Daun pintu sudah mulai menjeplak, tampaknya Nyo Wan setiap saat dapat menerjang ke dalam, tapi mendadak suasana menjadi sepi. Kiranya perhatian semua orang sekarang terpusat kepada Putri Minghui yang dibawa ke Pek-keh-ceng ini oleh To Liong.

Rupanya begundal2 Pek Ban-hiong sebagian besar telah melarikan diri ketika melihat majikan mereka pasti akan mati konyol melawan Beng Siau-kang yang terkenal itu, maka To Liong dengan leluasa dapat memasuki perkampungan keluarga Pek itu tanpa rintangan, ia menjadi ragu2 karena tiada seorangpun yang dijumpainya, maka ia terus me-manggil2 “Pek-cengcu”, setiba ditaman belakang barulah dilihatnya Pek Ban-hiong dan Yang Thian-lui sedang bertempur dengan Beng Siau-kang dan Li Su-lam, keruan kejutnya tak kepalang tanggung.

Li Su-lam juga terkejut, memangnya ia pernah berkuatir kalau2 Minghui yang menuju ke Long-sia- san itu akan masuk perangkap To Liong, kini kekuatirannya itu ternyata terbukti benar.

Setelah seruan Li Su-lam tadi, rasa kejut To Liong menjadi berkurang malah, timbul pikirannya bahwa padanya masih ada sandera Putri Mongol itu, kenapa tidak digunakan sebagai pemerasan terhadap lawan.

Sia It-iong yang licin dan ulung itu juga cepat sekali cara bekerja otaknya, segera iapun mendapat akal, ia melongok melalui jendela dan berseru: “Li Su-lam, bagaimana kalau sekarang kita mengadakan suatu perundingan dagang? Aku menjamin kedua pihak pasti takkan rugi, kita mengadakan tukar menukar syarat, setuju?”

“Jangan gubris ocehannya, Li-kongcu1” seru Minghui.

“Kau jangan salah paham, Tuan Putri, maksudku justru demi Kebaikanmu,” ujar Sia It-tiong dengan tertawa. “Aku tahu kau tidak sudi menjadi istri pangeran Tin-kok, betul tidak? Bicara sejujurnya, mukanya yang mirip congor babi itu memang tidak sesuai untukmu!”

“Sia It-tiong,” bentak Li Su-lam. “Kau tidak perlu banyak omong, apa syaratmu, lekas katakan?” “Li Su-lam, Tuan Putri cantik lagi berbudi, kukira, kaupun merasa berat kalau dia pulang ke Holin bukan? Nah, syaratnya menjadi mudah sekarang,Tuan Putri akan kami tinggalkan disini untukmu, tapi kaupun harus melepaskan kami pergi dari sini, sudah terntu kamo termasuk Yang-koksu dan Pek-cengcu!”

“To Liong,” jengek Beng Siau-kang, “Yang Thian-lui adalah musuh yang membunuh ayahmu, apakah sekarang kau terima diperalat Sia It-tiong dan berbalik membantu musuhmu sendiri?” “To-kongcu, asalkan kita dapat pulang ke Holin dengan selamat, aku tanggung selama hidupmu akan bahagia dan mendapat kedudukan tinggi,” seru Sia It-tiong.

“To Liong,” Li Su-lam juga berseru, “Camkanlah, sekali sudah bersalah jangan mengulangi lagi kesalahanmu. Kau harus insaf dan kembali kejalan yang benar, akupun menjamin akan keselamatanmu dan takkan mengganggu guga perbuatanmu yang telah lalu.”

Mendengarkan seruan dari kedua belah pihak itu, To Liong menjadi serba salah, timbul pertentangan batin yang hebat, pertentangan batin antara yang baik dan yang buruk.

Dasar moral To Liong memang sudah bejat, nyatanya janji muluk2 Sia It-liong tadi lebih “sreg” mengenai hatinya. Pikirnya: “Li Su-lam sudah pernah ingin membunuh diriku karena aku bermaksud mengampuni kesalahanku? Andaikan dia dapat, apakah Nyo Wan dapat juga mengampuni dosaku? Aku telah banyak berbuat kesalahan, apakah aku ada muka sana akupun tetap dibawah perintah orang, apa artinya hidupku disana?”

“To Liong, inilah kesempatan terakhir bagimu, bagaimana keputusanmu?” bentak Beng Siau-kang. Karena sudah bertekad mengekor Sia It-tiong, To-liong lantas menjawab: “Berdamai dengan pihak Mongol adalah tujuan pemerintah, sebagai rakyat kecil aku hanya tunduk kepada pihak pemerintah saja, maka aku siap menerima pimpinan Sia-tayjin.” “Jadi kau tidak ingat kepada kematian ayahmu lagi? Kau binatang atau manusia?” bentak Beng Siao-kang pula. “Sungguh sial Pek-seng yang termashur kepahlawannanya itu mempunyai anak durhaka sebagai kau. Mengingat kepada mendiang ayahmu hari ini kuampuni kau, tapi kalau kau masih tetap tidak insaf, pada satu ketika bila kebentur padaku, maka janganlah kau menyesal.” “Sudahlah, tak perlu banyak omong lagi,” sela Sia It-tiong. “Pendek kata, kalian seuju tidak dengan syarat tukar menukar yang kukatakan tadi?”

“Lu-kongcu, jangan urus diriku, bunuh saja bangsat ini!” seru Minghui.

Pikiran Li Su-lam menjadi ragu2 dan kacau. Kematian ayahnya di negeri asing atas perbuatan Sia It-tiong itu, sakit hati ini mana boleh tak dibalas? Tapi iapun tahu watak Minghui, jika nona itu sampai dibawa pulang ke Holin dan dipaksa kawin dengan pangeran Tin-kok, maka Minghui pasti lebih suka membunuh diri. Bahwa Minghui pasti akan dipaksa kawin dengan orang yang tak disukainya sudahlah jelas, sebab pangeran Tin-kok memegang kekuasaan militer, untuk ini Ogotai dan Dulai masih memerlukan bantuan tenaganya.

Yang meragukan Li Su-lam adalah dirinya pernah menerima budi pertolongan Minghui, masakah tidak balas pula budi kebaikan ini.

Rupanya Nyo Wan juga mempunyai pikiran yang sama, dengan suara pelahan ia berkata kepada Su-lam: “Engkoh Lam, bukan maksudku menjuruh kau menerima syarat bangsat she Sia itu, sebab kakak sendiri juga mati akibat perbuatan Sia It-tiong itu. Cuma akupun pernah menerima budi pertolongan Puteri Minghui, sekarang dia dalam kesukaran, masakah kita harus membiarkan dia dibawa pulang dan menderita untuk selama hidupnya?”

Li Su-lam mengertak gigi, pikirnya pula: “Bila sekarang kulepaskan Sia It-tiong, kelak aku masih dapat mencari kesempatan untuk menuntut balas. Sebaliknya kalau Minghui dibawa pulang ke Mongol, maka tiada kesempatan lagi baginya untuk lolos dari kurungan.”

Terpikir demikian, tekadnya segera bulat, teriaknya lantang: “Baik, aku terima syaratmu. Tapi ingat, bila lain kali kau kebentur lagi padaku, awas jiwa anjingmu!”

“Haha!” Sia It-tiong tertawa. “Urusan sekarang kita selesaikan sekarang, urusan lain hari kita bicarakan lagi lain hari. Sama saja halnya dengan kau bila kau yang jatuh ditanganku pada kesempatan lain, rasanya akupun tak dapat mengampuni kau.”

“To-liong, lepaskan Tuan Puteri!” bentak Su-lam.  “Kau bebaskan dulu Sia-tayjin kesini!” jawab To Liong

“Bangsat, memangnya kau anggap aku serendah kau dan suka main licik?” bentak Li Su-lam dengan murka.

“Tidak perlu ribut,” sela Sia It-tiong. “Aku ada suatu cara yang adil, kita pertukar tawanan di pekarangan luar sana, kalian boleh tahan diriku dipihakmu, pada saat yang sama kita membebaskan tawanan masing2 bebarengan.”

“Baik,” jawab Su-lam dengan mendongkol.

“Pek-cengcu, marilah kita berangkat bersama, harap kau siapkan kuda,” kata Yang Thian-lui kepada Pek Ban-hiong.

“Hm, hari ini terlalu untung bagi kalian berdua bangsat ua ini,” jengek Beng Siau-kang.

“Kukira pihakmu lebih untung, bukankah aku terpaksa menghadiahkan perkampunganku ini kepada kalian secara cuma2,” jawab Pek Ban-hiong dengan menyeringai. Lalu iapun menyuruh Pek Jian- seng menyiapkan empat ekor kuda.

Melihat persiapan itu, Sia It-tiong merasa lega dan berbesar hari, segera ia keluar dari kamar. Li Su- lam lantas pegang pergelangan tangannya dan diseret keluar.

Setiba di pekarangan luar, kedua pihak berdiri berhadapan dalam jarak tertentu dengan tawanan masing2. Tapi To-liong lantas mengusulkan lagi agar kedua pihak mundur lagi sejauh ratusan kaki, menurut perhitungannya, betapapun kuat tenaga lawan, ratusan kaki tentunya sukar mencapai sasarannya. Dasar manusia rendah, ia mengukur badan orang dengan diri sendiri yang suka berbuat curang.

Namun untuk menunjuk ketulusan pihaknya, Li Su-lam terima usul itu. Kedua pihak berdiri dalam jarak ratusan kaki jauhnya. To-liong lantas melepaskan Minghui dan disebelah sana Li Su-lam juga membebaskan Sia It-tiong. Ketika To Liong menyerukan hitungan tiga kali, tawanan kedua pihak sama2 berlari kedepan. Lebih2 Sia It-tiong, ia lari ter-birit2 karena jiwany tidak jadi melayang. Akan tetapi di tengah berlari itu, hatinya yang jahat itu toh masih bekerja memikirkan sesuatu yang dapat menguntungkan pihaknya.

Ia pikir sedapat mungkin harus berdaya untuk menangkap kembali putri Minghui dan dibawa pulang ke Mongol, sebab betapapun dia harus bertanggung jawab akan tugasnya ini, terutama karena berontaknya Subutai berdua, untuk mengurangi kesalahannya dia harus mencari jasa lain dan jalan paling baik adalah menangkap Minghui.

Sementara itu kedua orang yang sama2 berlari menuju pihak kawan sendiri itu sudah beradu muka ditengah lapangan. Waktu di Mongol, sudah menjadi kebiasaan bagi Sia It-tiong untuk memberi hormat bila bertemu dengan Putri Minghui. Kini, demi kedua orang beradu muka, tanpa terasa Sia It-tiong juga merandek dan menyampaikan salam hormat.

Tiba2 pikiran Minghui tergerak, dengan suara pelahan ia mengucapkan beberapa kata Mongol. Karena jarak mereka cukup jauh dari orang2 lain, maka selain Sia It-tiong tiada seorangpun yang mendengar ucapan sang putri, Sia It-tiong menjadi kegirangan seperti mendapat hadiah besar.

Kiranya Minghui pura2 berkata bahwa sesungguhnya dia ingin pulang ke Mongol karena merasa menyesal minggat dari rumah, Cuma dia tidak sudi menjadi sandera bagi To Liong dan lebih suka memberikan jasanya kepada Sia It-tiong saja dan boleh menangkapnya.

Dasar Sia It-tiong sudah kacau pikiran, apalagi dia juga ada maksud menangkap kembali Minghui. Kini mendengar sang Putri sendiri suka pulang ke Holin dan memberikan jasa besar itu kepadanya, keruan tak kepalang rasa girang Sia It-tiong, ketika kedua orang hampir menyerempet lewat, tanpa pikir lagi Sia It-tiong terus mencengkeram bahu sang Putri.

Orang licik sebagai Sia It-tiong, kalau saja dia mau berpikir lebih masak tentu takkan gampang percaya kepada ucapan Minghui tadi, akibatnya sekarang dia ternyata masuk perangkap.

Kiranya Minghui sengaja memancing agar Sia It-tiong turun tangan lebih dahulu kepadanya, dengan demikian dia akan balas membekuk Sia It-tiong dengan lebih mudah, dengan demikian pula ia dapat membantu Li Su-lam mengembalikan kedudukannya yang terdesak oleh pihak lawan.

Maklumlah, seorang ksatria sejati harus bisa pegang janji. Li Su-lam sudah menyanggupi membebaskan Sia It-tiong, maka Minghui harus memancing orang turun tangan lebih dulu sebagai alasan untuk membekuknya, dengan demikian bukanlah pihak Li Su-lam yang salah, tapi Sia It- tiong sendiri yang mencari penyakit.

Sia It-tiong ternyata tidak tahu akan tipu muslihat Minghui itu, segera dia bermaksud menangkap, Minghui yang sudah siap itu segera menangkis dan balas mencengkeram pergelangan tangan Sia It- tiong, “bluk” kontan dibantingnya pula hingga terguling.

Keruan Sia It-tiong menjerit kaget, akan tetapi Minghui tidak memberi kesempatan padanya untuk bicara, sebelah kakinya lantas menginjak kedada Sia It-tiong sambil membentak: “Rasakan bangsat!”

Kepandaian bergulat bagi orang Mongol adalah olah raga yang umum, meski Minghui bukan ahli gulat, tapi pernah juga ia berlatih dengan baik, dengan sendirinya Sia It-tiong tidak mampu melawannya, apalagi dibanting secara tak ter-duga2.

Cuma Minghui juga rada meremehkan Sia It-tiong, ketika kakinya menginjak diatas dada Sia It- tiong yang menggeletak itu, mendadak Sia It-tiong berguling kesamping sembari menarik kaki Minghui. Namun Minghui sempat mendepak sehingga Sia It-tiong ter-guling2 pula, tapi kesempatan itupun digunakan oleh Sia It-tiong untuk melompat bangun. Habis itu Sia It-tiong lantas balas menyerang.

Bahwasanya Sia It-tiong dan Minghui mendadak berkelahi ditengah jalan, hal ini sama sekali diluar dugaan kedua belah pihak. Baru saja Yang Thian-lui dan To Liong bermaksud memburu maju dengan kuda mereka yang sudah disiapkan, dipihak sini Beng Siau-kang dan Li Su-lam juga sudah melompat kedepan.

Sebelum sampai ditempat tujuan lebih dulu Beng Siau-kang menyambitkan batu kecil yang dijemput sekenanya, begitu keras samberan batu kecil itu sehingga Yang Thian-lui lekas menggunakan Thian-lui-kang untuk memukulnya, batu kecil itu tertolak kesamping sehingga mengenai kuda tunggangan To Liong, “plok” tanpa ampun lagi kuda itu roboh terguling. “Bagus, Yang Thian-lui sekarang kita boleh menentukan matii kau atau hidup saja!” bentak Beng Siau-kang.

Mana Yang Thian-lui berani menghadapi Beng Siau-kang lagi, segera ia membelokkan kudanya dan kabur secepat terbang.

To Liong benar2 ketakutan sehingga sukma hampir meninggalkan raganya, untung pihaknya sudah menyiapkan kuda, segera ia cemplak keatas kuda yang lain terus kabur mengikuti jejak Yang Thian-lui.

“Sia It-tiong, ini namanya kau mencari mampus sendiri,” bentak Li Su-lam sambil melolos pedang dan mendekati Sia It-tiong.

Maksud Sia It-tiong hendak menangkap Minghui apa daya napsu besar tenaga kurang, Minghui juga bukan perempuan lemah, ketika dia baru saja hendak mencengkeram, mendadak Minghui balas menarik terus disengkelit kesamping hingga Sia It-tiong kembali mencium tanah.

“Li Su-lam, kau boleh bunuh saja diriku!” teriak Sia It-tiong putus asa.

“Memangnya kau masih mengharapkan hidup?” jawab Li Su-lam yang sementara itu sudah berada disamping musuh besar itu. Sekali pedangnya menabas terpenggal seketika kepala Sia It-tiong.

Dengan mendongak ke langit Li Su-lam berdoa: “Ayah, hari ini anak telah membalaskan sakit hatimu!”

Sementara itu Nyo Wan sedang menanyai Minghui apakah terluka sesuatu serta mengucapkan terima kasih atas tindakannya yang tegas tadi.

Dengan tersenyum Minghui berkata: “Enci Wan, bukankah aku pernah berjanji untuk bantu membalaskan sakit hatimu? Ayahku tidak mau membunuh bangsat ini, sekarang cita2ku ternyata terkabul juga.”

Karena dendam kesumatnya dapat terbalas, dengan sendirinya Li Su-lam juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Minghui, hanya saja sikapnya rada2 kikuk karena Nyo Wan juga hadir disitu, sebaliknya Nyo Wan dan Minghui tampaknya berbicara dengan lebih mesra.

Terasa pedih dan hampa pula hati Minghui menghadapi Nyo Wan dan Li su-lam, pikirnya sendiri: “Aku telah membantu mereka membunuh Sia It-tiong, betapapun cita2ku sudah terkabul. Tapi sekarang aku sendiri menjadi ter-lunta2 dirantau orang, selanjutnya kemana aku harus pergi?

Apakah aku akan ikut mereka untuk selamanya? Meski Nyo Wan tidak jemu padaku, sedikitnya aku harus tahu diri, ap artinya aku menyelip di tengah2 mereka?”

Walaupun begitu pikirnya, tapi karena dia memang tiada tempat meneduh, pula Akai dan Kalusi juga masih berada di Long-sia-san, terpaksa Minghui harus ikut Su-lam kembali kesana.

Beberapa hari kemudian mereka telah sampai dipegunungan itu, ketika naik keatas, dari jauh Minghui melihat ada sebuah bangunan yang mirip biara terletak di tengah semak2 pohon yang rimbun disebelah sana. Tiba2 tergerak hati Minghui, ia coba tanya Nyo Wan: “Bangunan apakah itu? Apakah biara tempat nikoh?”

“Biara apa? Kalau kau tidak tanya aku sendiri tidak tahu akan bangunan itu,” sahut Nyo Wan. “Aku tahu biara itu,” sela Beng Siau-kang. “Tadinya ada Hwesio yang tinggal disitu, tapi sekarang

telah berubah menjadi biara kaum Nikoh. Yang tinggal disitu sekarang adalah nikoh tua yang bukan orang sembarangan. Hwesio tua yang tinggal di ditu telah meninggal sehingga biara yang bernama Yok-ong-hio itu terlantar. Kemudian datang seorang Nikoh yang bergelar Liau-yan, diwaktu mudanya juga seorang pendekar yang terkenal, entah mengapa mencukur rambut dan menjadi Nikoh. Dia adalah kawan baik To-hujin dan berkunjung ke Long-sia-san, maka To-hujin lantas minta Liau-yan menetap di situ, biara Hwesio itu akhirnya berubah menjadi biara Nikoh.”

Cerita ini bagi orang lain hanya dianggap biasa saja, hanya Minghui sendiri yang diam2 menaruh perhatian terhadap biara Yok-ong-bio itu.

Setiba diatas gunung, Akai dan kalusi kegirangan melihat Tuan Putri mereka telah kembali dengan selamat. Begitu pula melihat Li Su-lam pulang bersama Nyo Wan, maka suasana gembira di atas Long-sia-san sukarlah dilukiskan. Hanya Minghui saja seperti ada sesuatu ganjelan hati, ditengah suasana gembira itu Cuma dia saja yang murung.

Pada esok harinya mendadak Minghui sudah memotong rambutnya dan menemui To-hujin, dia mohon To-hujin suka perkenalkan Liau-yan Suthay dan menerimanya sebagai murid. Tentu saja To0hujin terkejut dan heran, Nyo Wan, To Hng dan lain2 juga tidak sangka2 akan perbuatan Minghui itu. Mereka coba membujuknya, namun tekad Minghui sudah bulat untuk menjadi biarawati saja, terpaksa To-hujin memenuhi keinginannya itu dan minta Liau-yan suka menerimanya sebagai murid.

Hubungan Kalusi dengan Minghui mirip saudara sekandung, meski dia tidak ikut cukur rambut, tapi iapun ikut pindah ke Yok-ong-bio untuk menemani Minghui disana. Akai tetap tinggal di Long-sia- san untuk menunggu kesempatan pulang ketanah airnya.

Setelah kembali ke Long-sia-san, dengan sendirinya Beng Siau-kang menceritakan pertarungannya melawan Yang Thian-lui di Pek-keh-ceng itu. Karena menyangkut tugas perguruan mereka, Kok Ham-hi dan Ci in-hong sangat menaruh perhatian terhadap cerita Beng Siau-kang itu.

“In-hong, bukankah kau bermaksud mengajak Kok-suhengmu pergi menemui gurumu?” tanya Beng Siau-kang kemudian.

“Ya, untuk itu kami ingin minta naseha Bengcu, apakah kiranya kami boleh meninggalkan pangkalan kita ini untuk sementara?” kata Ci In-hong.

“Sekarang kita sudah mengetahui berita yang jelas dan dapat dipercaya bahwa pihak Mongol sedang sibuk menenteramkan keadaan dalam negeri sendiri, dalam tahun ini rasanya mereka takkan mengganggu negeri kita, maka bolehlah kalian berangkat saja,” kata Li Su-lam.

“Jika demikian biarlah besok juga kami lantas berangkat,” ujar In-hong.

“Mengapa kalian tidak tinggal lagi sehari saja,” kata Beng Siau-kang dengan tertawa.

Tiba2 hati Kok Ham-hi tergerak, katanya: “Apakah barangkali Beng-tayhiap melihat sesuatu kelemahan pada ilmu silat Yang Yhian-lui itu? Mohon engkau sudi memberi petunjuk2 yang berharga.

“Memberi petunjuk sih aku tidak berani,” jawab Beng Siau-kang. “Terus terang,Yang Thian-lui punya Thian-lui-kang itu sesungguhnya lihai luar biasa, aku sendiripun tidak sanggup mematahkan ilmu pukulannya itu. Cuma kabarnya dalam Thian-lui-kang ada suatu jurus pukulan yang disebut “Lui-tian-kau-hong” pukulan yang harus dilakukan dua orang sekaligus dengan kekuatan yang dahsyat, apakah kalian berdua mahir jurus ini?”

“Setelah aku bertemu dengan Kok-suheng, kami pernah mencobanya satu kali dan dapat mengalahkan Pek Ban-hiong,” sahut Ci In-hong. “Tapi entah bagaimana kalau berhadapan dengan Yang Thian-lui.”

“Kalian boleh coba2 menyerang padaku, jangan kuatir, seranglah sepenuh tenaga,” kata Beng Siau- kang.

Berbareng Ci In-hong dan Kok ham-hi lantas memukul, terdengarlah suara gemuruh yang terbawa oleh dahsyatnya pukulan mereka. Tapi Beng Siau-kang Cuma tergeliat saja, sebaliknya Ci In-hong berdua sama2 tergetar mundur dua-tiga tindak.

Li Su-lam pernah menyaksikan pertarungan Beng Siau-kang melawan Yang Thian-lui, maka diam2 dia berkuatir bagi Ci In-hong berdua, sebab dalam beberapa puluh jurus Yang Thian-lui sanggup melawan Beng Siau-kang dengan sama kuatnya, maka dapat dibayangkan betapa lihai kepandaian Beng Siau-kang.

Tiba2 Beng Siau-kang bergelak tertawa katanya: “Bagus! Aku tidak dapat mematahkan Thian-lui- kang, tapi kalian berdua bergabung pasti dapat mengalahkan dia.”

Ci In-hong merasa sangsi, katanya: “Meski jurus Lui-tian-kau-hong ini dimainkan dua orang sekaligus dengan daya tekanan yang lebih dahsyat, tapi keuletan Yang Thian-lui yang berlatih berpuluh tahun itu mungkin jauh lebih kuat daripada kami berdua.”

“Benar,” sahut siau-kang. “Bicara tentang keuletan kalian memang tak dapat menandingi dia, tapi kalau kalian mahir menggunakan tenaga dalam rasanya masih ada cara baik untuk mengatasi dia. Tenaga pukulan Yang Thian-lui memang hebat, tapi juga ada kelemahannya, yaitu tidak tahan lama, tenaga susulannya takdapat menyambung tenaga pukulan yang terdahulu. Jika lawannya paham akan kelemahannya ini, asalkan sanggup bertahan, belasan gebrakan kemudian pasti ada harapan akan mengalahkan dia.”

“Cuma kekuatan kami mungkin selisih terlalu jauh dibandingkan dia,” ujar Kok Ham-hi. “Sedikit banyak sekarang aku sudah dapat memahami inti kekuatan pukulan Lui-tian-kau-hong kalian ini,” kata Beng siau-kang. “Jurus yang kalian gunakan bersama ini akan jauh menghemat tenaga, jika kalian berlatih lagi sementara waktu tentu akan sanggup melawannya. Makanya tadi aku suruh kalian tinggal lagi satu hari disini agar kalian dapat memperlajari cara mengerahkan tenaga.”

Ci In-hong dan Kok Ham-hi menjadi girang, segera mereka belajar pengerahan tenaga sebagaimana dimaksud Beng Siau-kang itu. Dasarnya mereka sudah punya akar yang kuat, maka dengan cepat mereka dapat menangkap intisari yang diajarkan Beng Siau-kang itu, pada hari kedua merekapun paham seluruhnya.

Begitulah mereka lantas mohon diri buat berangkat,karena mereka harus pulang untuk menemui guru masing2 untuk berunding tentang cara mengadakan pembersihan perguruan, maka tidak leluasa untuk membawa serta Bing-sia dan Giam Wan.

Sudah tentu yang paling berat adalah Giam Wan, sekian tahun dia merindukan Kok Ham-hi, setelah berkumpul dalam waktu singkat sekarang harus berpisah pula.

Perjalanan kedua saudara perguruan itu tidak terasakan hampa, sepanjang jalan mereka saling menceritakan pengalaman masing, yang satu berasal dari daerah Kanglam dan yang lain dari daerah utara, maka bahan cerita mereka cukup banyak.

Suatu hari sampailah mereka di Hu-li-cip, suatu kota yang sedang besarnya, tapi setiba didalam kota segera mereka melihat banyak laki2 kekar bersenjata, sedang membeli barang di toko, sekali pandang saja segera dapat diketahui laki2 itu pasti orang2 kangouw.

Ditengah jalan sebenarnya Ci In-hong berdua sudah memergoki beberapa orang kangouw yang sejenis itu, Cuma tidak banyak sebagaimana mereka lihat di Hu-li-cip ini. Bahwasanya sedemikian banyak orang2 kangouw berkumpul disuatu kota kecil, segera Ci In-hong berdua merasa dibaliknya pasti ada sesuatu persoalan.

Sementara itu hari sudah hampir gelap, Kok ham-hi berkata: “Kita tiada punya sangkut paut dengan mereka, tidak perlu pusingkan urusan orang.”

Mereka lantas mencari hotel untuk bermalam. Diwaktu mencari hotel, Ci In-hong diam2 memperhatikan gerak-gerik orang2 yang keluar dari toko iu, setiap orang tentu membawa sebuah kotak sumbangan.

Pada hotel yang mereka pondoki juga tinggal beberapa tamu orang kangouw yang sejenis itu. Ketika melihat Ci In-hong berdua tidak membawa bungkusan sumbangan dan sebagainya, orang2 kangouw itu tampak rada heran, tapi juga tidak menegur sapa.

Habis makan malam, Ci In-hong jalan2 diruangan depan, dilihatnya ada dua tamu sedang minta tolong kasir hotel agar menuliskan kartu nama mereka.

“Ciok-toako, sumbangan apa yang kau siapkan?” demikian terdengar seorang bertanya kepada kawannya.

“Ah, barang yang tiada artinya, hanya dua biji Ya-beng-cu (mutiara) saja,” jawab yang ditanya. “Dan kau sendiri menyumbang apa?”

“O, hanya seekor Giok-say-cu (singa2an dari jade), sudah tentu tidak sebagus barang sumbanganmu, “ kata yang pertama tadi.

“Su-loenghiong tentu tidak memandang besar kecilnya sumbangan kita, yang prlu sebagai tanda hormat kita kepada beliau saja dan tentu beliau akan merasa senang,” kata kawannya. “Eh, saudara kasir, tolong tuliskan kata2 yang indah.”

“Sudah tentu,” jawab kasir hotel. “Tempat kami ini hanya terdapat tokoh Su-loenghiong seorang yang menjadi kebanggaan warga kota kami seluruhnya.”

Hati Ci In-hong tergerak mendengar kata2 “Su-loenghiong” itu, setelah kedua orang tadi kembali kekamarnya, lalu Ci In-hong mendekati kasir hotel dan bertanya: “Apakah Su-loenghiong yang kau maksudkan itu bernama Su Yong-wi ?”

Si kasir memandang sekejap kepada In-hong dengan rasa heran, jawabnya kemudian: “Ya, bukankah tuan tamu juga datang untuk memberi selamat ulang tahun kepadanya ?”

“O, kiranya Su-loenghiong sedang berulang tahun, kami Cuma kebetulan saja mengetahui hal ini,” jawab in-hong. “Terus terang, nama Su-loenghiong sudah lama kami kagumi, Cuma sayang tak pernah bertemu.” “Kiranya demikian,” kata si kasir, “Su-loenghiong mendapat julukan sebagai “Say Beng Siang” (si Beng Siang, seorang hartawan dan dermawan dijaman Ciankok), setiap tahun orang yang berkunjung dan mohon berkenalan dengan beliau tak terhitung banyaknya. Besok adalah hari ulang tahun beliau yang ke 60, sungguh suatu kesempatan bagus bagi kalian untuk melihat wajah Su- loenghiong.”

“Memang benar kesempatan bagus bagi kami, Cuma sayang kami tidak ada persiapan sumbangan apa2,” kata Ci In-hong.

‘Jangan kuatir, disini kami ada persediaan,” kata si kair.

“Sungguh kebetulan,” kata Ci In-hong dengan girang. “Harap kau sediakan dua bagian sumbangan. Ini sekadar balas jasa kami.”

Begitulah Ci In-hong lantas serahkan serenceng uang perak sebagai balas jasa. Keruan si kasir kegirangan dan berjanji akan menyiapkan kado yang dipesan dengan kartu sumbangan yang tertulis nama mereka.

Sesudah itu Ci In-hong lantas kembali kekamarnya dan menceritakan apa yang dialaminya itu kepada Kok Ham-hi.

“Kita ada urusan penting, buat apa ikut2,” ujar Kok Ham-hi.

“Tapi inipun urusan penting,” kata Ci In-hong. “Lahirnya saja Su-loenghiong ini adalah jago silat yang kaya dan budiman, suka menjadi juru damai dan ada hubungan baik dengan pihak pemerintah, tapi secara diam2 dia hubungan rahasia pula dengan pihak patriot yang melawan Kim, banyak pula bantuan2 yang telah dia berikan kepada pasukan pergerakan. Dahulu waktu aku masih berada ditempat Yang Thian-lui, suatu kali aku pernah memergoki seorang yang tak dikenal asal-usulnya sedang bicara secara rahasia dengan Yang Thian-lui, secara tidak sengaja aku mendengar sebagian pembicaraan mereka yang menyangkut namanya Su Yong-wi. Orang itu mengusulkan kepada Yang Thian-lui agar mengutus seorang kepercayaan dan menyusup ketempat Su Yong-wi sebagai mata2, sedapat mungkin diusahaka agar diterima Su Yong-wi sebagai murid. Cuma sayang hanya sebagian kecil pembicaraan mereka yang kudengar, nama orang itupun tak kukenal, malahan dimana tempat tinggal Su Yong-wi yang mereka sebut waktu itupun aku tidak tahu.”

“Tipu mereka itu sungguh sangat keji, kalau berhasil tidak Cuma Su Yong-wi saja yang akan jatuh nama baiknya, bahkan banyak patriot yang melawan Kim akan menjadi korban,” kata Kok Ham-hi. “Selama beberapa bulan sesudah aku melarikan diri dari Taytoh, aku belum sempat mencari Su Yong-wi sehingga akupun tidak tahu apakah dia menerima murid baru dan masuk perangkap Yang Thian-lui atau tidak. Baru akhir2 ini aku mendapat kabar bahwa tahun yang lalu Su Yong-wi telah menambah enam murid baru, dengan sendirinya sukar dketahui siapa agen rahasia musuh yang sengaja diselundupkan diantara murid2nya yang baru itu. Karena itu kebetulan kita memergoki hari ulang tahunnya, kebetulan kita dapat membereskan persoalan yang sudah tertunda sekian lamanya ini.”

“Ya, persoaln agen rahasia musuh memang perlu lekas dibereskan untuk menghindarkan segala kemungkinan dikemudian ahri,” sahut Ham-hi.

Tempat kediaman Su Yong-wi terletak 50 li disebelah barat Hu-li-cip, esok harinya Ci In-hong berdua lantas berangkat kesana dengan membawa kado yang disediakan itu, malahan ia sengaja berangkat bersama kedua orang yang dijumpainya semalam dihotel itu. Stelah saling memperkenalkan diri, diketahui yang agak tinggi besar bernama Ciang Wi dan yang lebih pendek bernama Cian Po.

Setelah mengobrol ketimur dan kebarat ditengah perjalanan, hubungan mereka menjadi tambah akrab, maka Ci In-hong lantas mulai cari lubang, tanyanya: “Kabarnya murid Su-loenghiong sangat banyak, entah seluruhnya ada berapa orang?”

“Setahuku, kalau tiak keliru seluruhnya ada 12 orang,” kata Ciang Wi. “Murid yang tertua bernama Thio Tik, usianya hampir setengah abad. Murid yang terkecil kabarnya baru berumur 20an tahun.” “Ciang-toako,agaknya beritamu tidak cukup cepat,” ujar Cian Po dengan tertawa. “Murid Su- loenghiong sekarang seluruhnya ada 18 orang. Dalam tahun yang lalu beliau sekaligus menerima enam murid baru.”

“Aneh, mengapa Su-loenghiong begitu suka menerima murid baru?” tanya Ham-hi. “Pergaulan Su-loenghiong sangat luas,” tutur Cian Po. “Beliau memang berhati lemah, sukar menolak permohonan sanak pamili maka bila terima satu murid lantas menyusul murid yang lain pula, supaya tidak dianggap pilih kasih, terpaksa beliau terima semuanya.”

“keenam murid baru yang diterima beliau tahun yang lalu itu apakah Cian-heng mengetahui siapa2 mereka itu?” tanya In-hong.

“Aku Cuma kenal asal usul tiga diantaranya,” sahut Cian Po. Lalu ia menyebutkan tiga nama, seluruhnya berasal dari keluarga kangouw yang cukup terkenal. Ci In-hong juga tahu dan yakin pasti bukan orang yang hendak diselundupkan oleh Yang Thian-lui atas usul orang yang tajk dikenalnya itu.

“Sedangkan tiga muridnya yang lain kabarnya sudah mahir silat sebelum berguru kepada Su- loenghiong,” sambung Cian Po pula.

Diam2 Ci In-hong yakin agen rahasia musuh itu pasti satu diantara ketiga murid Su Yong-wi yang disebut belakangan itu.

Begitulah sambil bicara tanpa terasa mereka sudah sampai di Su-keh-ceng, perkampungan keluarga Su yang megah. Su Yong-wi memang benar2 budiman dan suka bersahabat, begitu kartu nama disodorkan, segera petugas penyambut tamu mengundang mereka masuk kedalam tanpa banyak bertanya.

Tamu yang datang sungguh banyak sekali hingga ber-jubel2, sukar bagi Ci In-hong untuk mendekati Su Yong-wi, sebab tuan rumah saat itu sedang dikerumuni sobat handainya yang terdekat. Untunglah Su Yong-wi mempunyai 18 orang murid sehingga dapat mewakilkan sang guru melayani tetamu yang banyak itu.

Ciang Wi dan Cian Po ternyata sangat aktip, dia berseliweran diantara tetamu yang berjubel itu sambil menegur sana dan menyapa sini. Hanya saja merekapun tahu diri bahwa mereka bukan tingkatannya buat bicara dengan Su Yong-wi sendiri mereka hanya dapat bergaul saja dengan anak murid tuan rumah. Ci In-hong berdua terus ikut dibelakangnya tanpa bersuara, diam2 ia memperhatikan setiap murid Su Yong-wi.

Setelah menyusup kesana kemari, rupanya Cian Po sengaja hendak pamer kepada sobat barunya untuk membuktikan dia mempunyai kenalan yang banyak, ia berkata kepada Ci In-hong: “Seperti kukatakan tadi, diantara ke-18 murid Su Yong-wi hanya tiga orang yang tak kukenal,sekarang akupun sudah tahu siapa2 mereka itu, apakah kaupun ingin ikut aku untuk belajar kenal dengan mereka?”

Sudah tentu ajakan Cian Po sangat kebetulan bagi Ci In-hong, segera ia ikut Cian Po ber-desak2an kesana. Tapi sebelum dikenalkan kepada seorang, tiba2 Ci In-hong sudah dipegang oleh orang itu sambil berkata: “ He, Ci-heng, engkau juga hadir kesini?” ~ Orang itu adalah salah satu diantara ketiga murid yang dikatakan Cian Po.

Cian Po menjadi kikuk sendiri, katanya: “O, kiranya kalian sebelumnya sudah sealin kenal.” Sambil mengedipi orang itu, cepat Ci In-hong berkata: “Lau-heng, aku tidak bekerja lagi di Piau- hang (perusahaan pengawalan) dan sengaja datang kesini mencari kau.”

Orang itu cukup cerdik, seketika ia paham maksud Ci In-hong, segera ia mengajak In-hong ketaman untuk bicara.

Kiranya orang itu bernama Lau tay-wi, seorang perwira pasukan pergerakan yang melawan kerajaan Kim. Dahulu waktu Ci In-hong masih berada ditempat Yang Thian-lui, secara rahasia dia harus mengirimkan berita2 penting kepada pihak pemberontak,sudah tentu pekerjaan yang banyak resikonya itu harus dilakukan secara hati2, orang yang tahu tugas Ci In-hong itu boleh dikata sangat sedikit. Dan Lau Tay-wi ini termasuk satu diantara orang2 terbatas yang mengetahui tugasnya itu, Lau Tay-wi juga pernah mengadakan hubungan dengan In-hong.

Begitulah sesudah berhadapan berduaan, In-hong lantas menceritakan apa yang diketahuinya tentang agen rahasia musuh yang diselundupkan kedalam perguruan Lau Tay-wi.

Akan tetapi Lau Tay-wi menyatakan keheranannya, sebab setahunya diantara saudara2 seperguruannya yang baru itupun dikenal semuanya berasal dari keluarga kaum pendekar yang punya nama baik.

“aku sendiri mendengar percakapan Yang Thian-lui dengan orang itu, pasti tidak palsu,” kata In- hong dengan tegas. “Demi kepentingan perjuangan kita, lebih baik kita percaya ada daripada tidak percaya.”

“Tidak salah ucapanmu, sedia payung sebelum hujan adalah cara yang lebih baik,” kata Lau Tay- wi. “Harap kau bermalam saja disini, akan kucarikan kesempatan bagimu untuk bertemu dengan guruku.”

Selagi Ci In-hong belum dapat ambil keputusan, tiba2 dilihatnya seorang di-tengah2 berjubelnya tetamu seperti sudah pernah dikenalnya. Se-konyong2 teringat olehnya bahwa orang ini tak lain tak bukan adalah orang asing yang berunding secara rahasia dengan Yang Thian-lui yang dipergokinya dahulu itu. Akan tetapi baru saja dia ingat hal ini, ternyata orang itu sudah menghilang ditengah tetamu yang banyak itu.

“Ada apa, Ci-heng?” tanya Lau Tay-wi ketika melihat sikap In-hong yang tidak tenteram itu. “Lau-heng, aku ingin segera bertemu sendirian dengan gurumu,apakah kau dapat mengusahakannya. Aku baru saja melihat orang itu!” kata In-hong.

“Orang itu ? Siapa yang kau maksud ?” tanya Lau Tay-wi dengan bingung.

“Jika aku tahu siapa dia tentu urusan menjadi gampang,” sahut In-hong. “Aku kuatir bila terlambat mungkin orang itu keburu kabur.”

“Tapi saat ini guruku sedang sibuk melayani sanak pamilinya, sebagai murid baru tidak enak bagiku untuk merecoki beliau, apalagi rahasia ini mana dapat kukatakan dihadapan orang banyak ? Ah, aku ada usul, entah dapat kau terima atau tidak?”

“Usul apa ?” tanya In-hong.

“Bagaimana kalau kau ikut aku mengelilingi ruangan untuk mencari orang itu, coba aku kenal dia atau tidak. Bila perlu, tanpa melaporkan dulu kepada Suhu boleh kita membekuknya saja,” kata Tay-wi.

Walaupun bukan usul yang baik, tapi tiada jalan lain, terpaksa In-hong mengangguk setuju. Segera mereka masuk ruangan tamu untuk mencari.

Tapi baru saja mereka kembali kedalam ruangan tamu, kebetulan bertemu dengan Toasuheng Lau Tay-wi, yaitu Thio Tik. Tampak sang Toasuheng sangat senang dan secara ter-gesa2 mendekati gurunya untuk menyerahkan sehelai kartu nama.

Setelah membaca kartu nama itu, seketika Su Yong-wi kelihatan sangat gembira terus berbangkit. Para sanak pamili yang berada disekitarnya serentak juga ikut gempar.

“Para sute hendaklah ikut Suhu menyambut tamu agung !” seru Thio Tik.

Para tamu sama ter-heran2 oleh sikap tuan rumah itu, tokoh macam apakah yang datang itu hingga memerlukan Su-loenghiong menyambutnya sendiri, bahkan mengerahkan segenap anak muridnya pula.

Ketika Ci In-hong berbeicara dengan Lau Tay-wi diluar, Kok Ham-hi sendiri tetap tinggal diruangan pesta. Kini iapun ikut orang banyak memandang keluar untuk mengetahui siapakah tamu agung yang dimaksud itu.

Tapi ia menjadi terperanjat luar biasa ketika melihat siapa tamu2 agung yang datang itu. Tamu2 agung itu seluruhnya terdiri dari empat orang, ber-turut2 adalah Kiau Goan-cong, Ki Goan-lun, Thio Goan-kiat dan Nio Hoan-hian, yaitu empat murid utama dari Bu-tong-pay yang termashur itu. Sebagai diketahui,Thio Goan-kiat adalah tunangan Giam Wan.

Kisah lampau yang menyedihkan sebenarnya sudah hanyut terbawa sang waktu yang lalu, tapi kini mendadak terbayang kembali dalam benak Kok Ham-hi bersama datangnya keempat murid Bu- tong-pay itu. Adegan yang mendebarkan pada malam itu se-akan2 muncul kembali didepannya.

Waktuitu dia sedang mengadakan pertemuan gelap dengan Giam Wan, sedang tenggelam dilautan asmara dan melupakan segalanya dan ketika mendadak muncul empat murid Bu-tong-pay termasuk tunangan Giam Wan sendiri, tanpa memberi kesempatan bicara padanya terus menuduh mereka sedang mengadakan perjinahan.

Gelombang cemburu itu telah berubah menjadi banjir darah, Kok Ham-hi dan Giam Wan terpaksa harus bertempur melawan keempat murid utama Bu-tong-pay . Kok Ham-hi berhasil melukai Thio Goan-kiat dan Kiau Goan-cong, tapi Goan-kiat secara keji juga telah menggores mukanya hingga meninggalkan beberapa bekas luka yang bersilang, pemuda tampan Kok Ham-hi sejak itu telah berubah menjadi manusia yang bermuka buruk.

Kemudian datang pula ayah-ibu Giam Wan, sinona ditangkap pulang. Keempat murid Bu-tong-pay juga pergi dengan rasa dendam, Kok Ham-hi juga terpaksa harus berpisah dengan kekasihnya dan mengasingkan diri ketempat yang jauh. Tapi Giam Wan ternyata seorang gadis yang berani, dia minggat dari rumah untuk mencarinya dan setelah berpisah empat tahun akhirnya kedua sejoli berjumpa kembali. Gemblengan selama empat tahun itu tidak membikin goyah perasaan mereka, bahkan cinta mereka bertambah kukuh dan melekat.

Kok Ham-hi mengira dengan demikian segala persoalan tentu menjadi beres, habis hujan terbitlah terang, setelah merasakan pahit tinggallah merasakan manis. Siapa tahu dirumah Su Yong-wi ini kembali kebentrok lagi dengan tunangan Giam Wan itu.

Waktu Thio Goan-kiat tinggalkan pergi dahulu pernah menyatakan tidak sudi beristrikan Giam Wan lagi, Cuma pertunangan mereka belum diputuskan secara resmi, jadi secara adat dia masih bakal suami Giam Wan.

“Aku harus menghindari dia atau tidak?” demikian timbul pertentangan batin Kok Ham-hi. Ia kenal anak murid Bu-tong-pay itu berjiwa sempit, bila dirinya bersama Ci-suheng sedang mengemban tugas penting, mana boleh meninggalkan urusan yang lebih penting hanya karena urusan pribadi?” Selesai ragu2, sementara itu Su Yong-wi sudah membawa Kiau Goan-cong berempat ketengah pesta dan disilahkan duduk.

Tuan rumah merasa sangat bangga mendapatkan kunjungan tokoh dunia persilatan yang termshur, tak henti2nya ia mengucapkan terima kasih kepada Kiau Goan-cong berempat.

“Kami sengaja datang mengucapkan selamat ulang tahun kepada Su-loenghiong.” Kata Goan-cong. “Tapi sebenarnya kamipun ada sedikit urusan pribadi yang ingin minta bantuan Su-loenghiong.

Kami mencari seorang kenalan Thio-sute, mengingat pergaulan Su-loenghiong yang luas, bukan mustahil orang inipun sekarang hadir disini.”

Su Yong-wi tanya siapakah nama orang yang dimaksud itu dan bagaimana ciri2nya.

“Orang ini bernama Kok Ham-hi, wajahnya sangat istimewa, terdapat beberapa goresan bekas luka,” tutur Goan-kiat.

Cian Po yang ikut berjubel diantara tetamu dan berdiri dibelakang anak murid Su Yong-wi itu jadi terkejut mendengar uraian Thio Goan-kiat, ia pikir orang bermuka codet yang dimaksudkan bukankah laki2 she Kok yang datang bersamaku itu?

Dalam pada itu Thio Tik mendadak juga ingat, serunya, “Kok Ham-hi, Aha, kalau tidak keliru tadi ada sebuah kartu nama yang pakai nama demikian, entah dia datang bersama siapa?”

Karena ingin cari muka, Cian Po lantas berteriak: “Kiau-tayhiap, Thio-tayhiap, segera aku mengundangnya untuk bertemu dengan kalian.”

Sudah tentu Cian Po tidak tahu bahwa Kok Ham-hi adalah musuh Goan-kiat, sebaliknya ia sangat senang, sebab dengan demikian iapun dapat menanjak menjadi sehabat dari tokoh2 cabang atas. Dalam pada itu sesudah Ci In-hong melihat orang yang dahulu dipergoki dirumah Yang Thian-lui itu serta dari pendengarannya sekarang diketahui orang itu she Loh, maka cepat2 ia menarik Kok Ham-hi kepinggir ruangan, katanya dengansuara pelahan: “Melihat gelagatnya, orang she Loh yang kucari itu agaknya mempunyai hubungan karib dengan Su Yong-wi. Agar tidak menimbulkan salah paham, sebaliknya kita turun tangan secara mendadak, bekuk dia lebih dulu baru kemudian memberi penjelasan kepada Su-loenghiong.”

Belum sempat Kok Ham-hi menceritakan permusuhannya dengan anak murid Bu-tong-pay itu, tiba2 Cian Po sudah mendekati mereka sambil berseru, “Aha, Kok-heng, sobatmu Thio-samhiap dari Bu-tong-pay sedang mencari engkau. Marilah lekas kesana !”

Mendengar itu, serentak tamu2 yang lain menyiak kesamping untuk memberi jalan kepada mereka, sedangkan Thio Goan-kiat dan orang she Loh yang sementara itu sedang diperkenalkan kepada jago2 Bu-tong-pay itu oleh tuan rumah serentak juga berbangkit dari tempat duduknya masing2 demi melihat Kok Ham-hi dan Ci In-hong.

Kedua mata Thio Goan-kiat melotot berapi, jengeknya kepada Kok ham-hi yang sementara itu sudah mendekat: “Hm, Kok ham-hi, tentu kau tidak menyangka akan kepergok lagi disini bukan? Cara bagaimana harus menjelaskan perhitungan kita, coba katakan saja!”

Hampir pada saat yang sama Ci In-hong juga sedang menjengek kepada orang she Loh yang dicarinya tadi: “Hm, kau tentu tidak menyangka akan ketemu aku disini bukan?” ~ Habis itu mendadak ia membentak. “Turun Tangan!”

Kedua pihak sama2 sedang bicara, maksud Ci in-hong menyuruh Kok ham-hi turun tangan bersama untuk membekuk orang she Loh, tapi Thio Goan-kiat menyangka yang dimaksud adalah dia. Maka ketika Kok ham-hi menghantam kearah orang she Loh, dengan cepat luar biasa pedang Thio Goan- kiat juga menusuknya. Dan sekali Goan-kiat sudah bergerak, dengan sendirinya ketiga saudara seperguruannya ikut turun tangan.

Dengan “Thian-lui-kang” gabungan Ci In-hong dan Kok ham-hi berdua sebenarnya jauh lebih dari cukup untuk membekuk orang she Loh itu. Tapi pada saat yang hampir sama keempat jago muda Bu-tong-pay, empat pedang mereka serentak menusuk kearah Kok Ham-hi dan Ci in-hong dengan dahsyat.

Cepat Kok Ham-hi mendak kebawah terus menyikut, kontan Goan-kiat dipaksa melangkah mundur, namun lengannya tergores luka juga oleh ujung pedang lawan, syukurlah tidak parah. Sedangkan orang she Loh tergetar mundur tiga-empat langkah oleh pukulan Thian-lui-kang tadi.

Daya pukulan Thian-lui-kang sungguh amat dahsyat, terdengar suara ‘brak” yang keras. Kiau Goan- lun dan Nio Goan-hian juga tergetar mundur sebelum ujung pedang mereka mencapai sasarannya, malah orang she Loh yang tergetar mundur tadi ternyata tetap tidak mampu menguasai diri, “bluk”, ia jatuh terjengkang.

Sebagi tuan rumah, Su Yong-wi menjadi gusar dan segera mengadang didepan orang she Loh itu sambil membentak: “Kalian berdua ini siapa? Apa kalian sengaja mengacau kesini? Apapun urusannya lebih dulu hadapi aku yang sudah tua bangka ini !”

Melihat Su Yong-wi menampilkan diri bagi tetamunya, terpaksa Ci In-hong menahan Thian-lui- kang mereka yang sudah siap dilontarkan lagi. Jawab In-hong dengan lantang: “Su-loengsiong hendaknya jangan slah paham, dengarkan dudlu penjelasan kami!”

“Baik, aku memang ingin tahu duduknya perkara,” kata Su Yong-wi. “Thio-samhiap, orang macam apakah sobat she kok yang kau cari itu?”

“Terus terang,orang she Kok ini adalah musuh yang merebut bakal istriku, dia adalah musuhku dan musuh Bu-tong-pay kami,” jawaab Goan-kiat dengan penuh dendam.

“Thio Goan-kiat, persoalan kita boleh kita tundak sebentar,” seru Kok Ham-hi. “Nah, Su- loenghiong sesungguhnya kedatangan kami kesini bukanlah hendak mencari mereka berempat, tapi yang kami tuju adalah ‘Loh-samya’ ini.”

Diam2 Su Yong-wi terkejut dan ragu2, bahwasanya Kok Ham-hi adalah musuh Bu-tong-pay, hal ini harus diselesaikan oleh orang2 Bu-tong-pay sendiri. Tapi urusan Loh-samko betapapun aku tak dapat tinggal diam. Demikian pikirnya didalam hati.

Dalam pada itu orang she Loh tadi juga lantas berseru: “SU-toako, engkau jangan percaya kepada ocehan mereka yang ngawur!”

Hm, urusan kami belum lagi habis, bagaimana kau tahu kata2 kami hanya ocehan yang ngawur?” jengek In-hong.

“Baik, apa yang hendak kau katakan,silahkan !” ujar Su Yong-wi. “Numpang tanya dulu, siapakah ‘Loh-samya’ ini?” kata In-hong. “Dia adalah saudara angkatku, mau apa?” jawab Su Yong-wi.

“Kalau tidak keliru, bukankah tahun yang lampau dia pernah memasukkan seorang murid baru bagi Su-loenghiong? Jika tidak keberatan kami ingin berkenalan dengan ksatria muda tersebut.” “Haha!” orang she Loh itu tertawa. “Kiranya kalian ingin berkenalan dengan Tay-wi. Coba maju, Tay-wi, tanya mereka ada urusan apa mencari kau?”

Ucapan ini sungguh membikin Ci In-hong sangat terkejut,tidak mungkin bahwa Lau tay-wi adalah agen rahasia musuh, sebab Lau tay-wi dikenalnya sebagai seorang perwira pasukan pergerakan, kalau dia agen rahasia musuh, mengapa dia tidak tetap berada didalam pasukannya saja dan buat apa menyusup ketengah keluarga Su?

Rupanya Lau tay-wi juga tidak kurang terkejutnya, tanpa terasa iapun berseru; “Ci-heng, tidak betul!” ~ Iapun dapat menduga orang yang hendak dicari itu pastilah orang she Loh yang dikenalnya ini. Ia pikir Loh-samya mana mungkin menjadi agen rahasia musuh.

“Hahaha! Kiranya kalian sudah saling kenal, urusan menjadi lebih mudah!” kembali orang she Loh itu bergelak tertawa.

Dengan hati bimbang Ci In-hong berkata: “Adalah teman lain yang masuk perguruan bersama Lau- heng atas perantara Loh-samya ini?”

Lau Tay-wi mengerut kening sambil menggeleng: “Setahuku tiada orang lain,” jawabnya.

Tapi hati Su Yong-wi mendadak tergerak. Kiranya diantara enam murid baru yang diterimanya tahun yang lalu itu, kecuali Lau Tay-wi memang masih ada seorang lagi yang diterimanya mengingat ada hubungan dengan Loh-samya ini, Cuma resminya ‘loh-samya’ itu memang bukan orang perantaranya.

“loh-samya” ini lengkapnya bernama Loh Hiang-ting, adalah saudara angkat Su yong-wi, namanya cukup terkenal didaerah utara. Loh Hiang-ting sendiri mempunyai seorang sute, namanya Ting Siau, sute dari murid paman guru,jadi bukan sute dari satu guru yang sama dengan Loh Hiang-ting. Karena paman guru Loh Hiang-ting cukup banyak sehingga Su Yong-wi tidak jelas murid paman gurunya yang mana Ting Siau itu.

Ting Siau tidak begitu terkenal didunia persilatan, dia punya keponakan bernama Ting Cin, atas perantara Loh Hiang-ting itulah Ting Cin diterima Su Yong-wi sebagai murid. Dan Ting Cin inilah agen rahasia yang diselundupkan kedalam keluarga Su sebagaimana dirundingkan oleh Loh Hiang- ting dan Yang Thian-lui ketika dipergoki Ci In-hong itu.

Loh Hiang-ting memang licin, dia aktip dikalangan pendekar dan ada hubungan pula dengan pimpinan pasukan pergerakan. Ia tahu pihak pergerakan ada maksud mengirim Lau tay-wi sebagai murid Su Yong-wi, maka dengan suka hati ia mau menjadi perantaranya. Sedangkan masuknya Ting Cin meski melalui Loh Hiang-ting juga, tapi resminya orang perantaranya adalah Ting Siau, sebab itulah seluk beluk masuknya Ting Cin kedalam keluarga Su hanya diketahui Su Yong-wi sendiri.

Tapi lantaran Su Yong-wi mempunyai hubungan persaudaraan selama berpuluh tahun dengan Loh Hiang-ting, hakekatnya ia tidak pernah membayangkan bahwa saudara angkatnya itu adalah agen rahasia pihak kim, lebih2 tidak mencurigai masuknya Ting Cin itu sebenarnya ada rencana keji terhadapnya. Sedangkan Ci In-hong belum dikenalnya, dengan sendirinya dia takkan menerangkan apa yang diketahuinya itu tentang Ting Cin.

Begitulah dengan angkuh Loh Hiang-ting lantas menjengek kepada Ci In-hong. “Nah, sekarang segala sesuatu sudah jelas bagimu. Menjadi giliranku untuk menanyai kau. Coba jawab ada urusan apa kau menyelidiki urusan diriku, terutama pada saat Su-toako sedang mengadakan pesta ulang tahun ini?”

Ci In-hong pandang lagi orang she Loh itu, ia yakin benar2 memang inilah orang yang pernah dikenalnya dirumah Yang thian-lui itu. Ia pikir urusan sudah begini, terpaksa aku harus membongkar kepalsuannya secara terang2an. Maka iapun balas menjengek: “Hm, Loh-samya, sebenarnya kitapun kenalan lama, masakah kau sudah lupa?”

Lantaran pihaknya sudah menang angin, dengan tenang Loh Hiang-ting lantas menjawab: “Kenalanku entah betapa banyaknya aku memang tidak ingat lagi padamu. Numpang tanya dimanakah kita pernah berkenalan?”

“Dikamar rahasia Yang Thian-lui, itu koksu dari kerajaan Kim!” sahut Ci In-hong dengan suara keras.

Ucapan Ci In-hong ini serentak menimbulkan kegemparan para tetamu, menyusul lantas terdengar suara caci maki disana sini. Tapi yang dimaki bukanlah Loh Hiang-ting melainkan Ci In-hong malah.

Sebab tiada seorangpun yang mau percaya atas tuduhannya, bahkan tetamu itu membela Loh Hiang-ting dan memaki Ci In-hong sebagai pengacau. In-hong tidak perduli caci maki orang2 itu , dengan suara lantang kembali ia berkata: “Malahan aku sendiri mendengar dia berunding secara rahasia dengan Yang Thian-lui, mereka merencanakan mengirim seorang mata2 ketempat Su-loenghiong ini. Agen rahasia ini adalah satu diantara enam murid baru yang diterima Su-loenghiong tahun yang lalu!”

Karena In-hong bicara dengan tenaga lwekang yang kuat, maka setiap hadirin disitu dapat mendengar dengan cukup jelas.

Akan tetapi mendadak terdengar suara gemerincik senjata, serentak ke-18 murid Su Yong-wi, kecuali Lau-tay-wi saja, semuanya melolos senjata dan mengepung Ci in-hong berdua ditengah. “Nanti dulu, biar kutanya lebih jelas!” bentak Su yong-wi. Lalu ia tuding In-hong dan berkata pula: “Kau bilang pernah lihat mereka berunding ditempat Yang Thian-lui, lalu kau sendiri ini siapa?” Belum lagi Ci In-hong menjawab, Loh Hiang-ting sudah lantas mendahului: “Masakah perlu ditanya lagi, kalau dia dapat berada di tempat Yang Thian-lui dengan leluasa, dengan sendirinya dia adalah orang sana. Hm, dari pukulannya yang dia unjuk tadi akupu nsudah tahu asal-usulnya!” Tiba2 hati Su Yong-wi tergerak, katanya segera: “Yang kau maksudkan Thian-lui-kang bukan?” “Tepat!” kata Loh Hiang-ting. “Kabarnya Yang thian-lui mempunyai seorng murid keponakan yang bernama Ci In-hong, tentunya dia inilah orangnya.”

“Seorang laki2 sejati tidak perlu takut dikenal orang, memang betul, aku inilah Ci In-hong adanya,” seru In-hong dengan gagah berani. “Tapi aku adalah sahabat pihak pasukan pergerakan dan bukananjing pihak Kim. Anjing alap2 Kim tak lai tak bukan adalah ‘Loh-samya’ yang bagus ini!” Ting Cin yang berada ditengah orang banyak mendadak berteriak: “Kita jangan percaya kepada ocehannya dan jangan mau difitnah, marilah kita binasakan orang gila ini!”

“Nanti dulu!” cepat Lau Tay-wi mencegah. “Suhu, apa yang dikatakan Ci-heng ini memang benar. Diam2 ia bekerja bagi pihak pergerakan walaupun resminya dia murid keponakan Yang Thian-lui dan membantunya. Tentang Loh-samya, mungkin Ci-heng ini salah paham dan keliru menuduhnya.”

“Sudah tentu fitnahnya kepada Loh-samya adalah palsu, kalau tidak, bukankah Lau-suheng menjadi termasuk agen rahasia musuh pula? Seru Ting Cin.

“Apa yang dikatakan Tay-wi juga tidak keliru, Ci In-hong ini memang betul ada hubungan dengan pihak pasukan pergerakan,” kata Loh Hiang-ting dengan nada mengejek. “Tapi sebenarnya dia bukan kawan pihak pergerakan. Tay-wi, kalian semuanya telah tertipu olehnya.”

“Habis siapa dia?” tanya Tay-wi dengan terperanjat. Sebab meski di cukup kenal seluk beluk diri Ci In-hong, tapi terhadap Loh Hiang-ting iapun tidak berani menaruh curiga, sebab itulah ia menjadi serba bingung.

“Biasanya Loh-samko memang punya sumber berita yang dapat dipercaya, tentunya kau sudah tahu jelas asal-usulnya?” kata Su Yong-wi.

“Benar,”jawab Loh Hiang-ting. “Tahun yang lalu aku berada di Taytoh aku memang sudah meraba hingga jelas asal usulnya. Dia menggunakan tipu “Koh-bak-keh (tipu menyiksa diri), ia pura2 mengkhianati YangThian-lui agar dipercaya oleh pihak pergerakan. Padahal dia sampai sekarang tetap menjadi kaki tangan pihak Kim.”

Dasar Loh Hiang-ting memang licin dan licik, dia berbalik menusuh Ci In-hong sebagi double agen rahasia, tuduhan ini benar2 membikin sukar bagi Lau tay-wi untuk membelanya.

Sudah tentu apa yang dikatakan Loh Hiang-ting juga punya titik kelemahannya, tapi didalam suasana panas itu jarang yang menaruh perhatian, bahkan kepungan terhadap Ci In-hong dan Kok ham-hi semakin rapat dan tinggal menunggu perintah Su Yong-wi saja.

“Siapa yang memberitahukan padamu tentang diriku?” jawab In-hong. “Jika kau sudah tahu akan tipu muslihatku, mengapa kau tidak lekas2 melaporkan kepada pihak Gi-kun (pasukan pergerakan)?”

Pertanyaan In-hong itu sebenarnya tepat mengenai sasarannya, Cuma sayang, semua orang sudah lebih dulu terpengaruh dibawah kata2 Loh Hiang-ting tadi, maka cuara caci maki orang banyak berbalik menenggelamkan ucapan Ci In-hong itu, hakekatnya tiada yang mau mendengarkan ucapannya.

Segera Ting Cin berteriak: “Tempat Suhu ini mana boleh diselundupi mata2 musuh sebagai kedua bangsat ini ? Hayolah mampuskan mereka!”

“Baiklah, bekuk saja mereka!” kata Su Yong-wi. Betapapun dia adalah orang yang dapat berpikir, meski dia tidak mencurigai Loh Hiang-ting, tapi samar2 iapun merasakan persoalannya tidak sederhana, sebab itulah ia ingin tangkap dulu Ci In-hong berdua untuk diusut lebih lajut perkaranya. Sekali Su Yong-wi memberikan aba2, serentak ke 17 muridnya lantas bergerak maju. Keempat jago muda Bu-tong-pay juga lantas melolos pedang untuk mencegat jalan mundur Ci In-hong berdua agar mereka tidak dapat membobol kepungan dan meloloskan diri.

Sudah tentu Ci In-hong dan Kok ham-hi pantang menyerah, daripada mati konyol, mereka lantas melawan mati2an. Sementara itu golok Ting Cin yang per-tama2 menyamber kerah Ci In-hong. Mendadak hati In-hong tergerak, ia heran mengapa orang ini jauh lebih ganas daripada kawan2nya. Tiba2 ia mendapat akal, sambil berkelit ia terus menyusup maju, secepat kilat ia pegang pergelangan tangan Ting Cin yang bernapsu menyerangnya itu, berbareng In-hong terus angkat tubuh Ting Cin yang takdapat berkutik itu.

Menyusul terdengarlah suara menderingnya senjata yang saling beradu, kiranya belasan murid Su Yong-wi itu tidak sempat menarik kembali serangan mereka, senjata mereka tetap menghujani sasarannya, karena kuatir mengenai Ting Cin,lekas2 Su Yong-wi dan keempat jago muda Bu-tong- pay terpaksa menangkiskan serangan teman2 sendiri itu sehingga Ci In-hong dan Kok Ham-hi tidak perlu turun tangan malah.

“Lepaskan muridku!” bentak Su Yong-wi.

“Permintaan Su-loenghiong sudah tentu akan kuturuti,” sahut In-hong. “Tetapi tentang asal-usul muridmu ini harus diterangkan dulu apakah ada hubungannya dengan Loh-samya ini?”

Tergerak pula hati Su Yong-wi, ia merasa heran dan sangsi pula, sebab masuknya Ting Cin kedalam perguruannya memang benar adalah melalui perantaraan Loh Hiang-ting. Tapi harga diri Su Yong-wi tidak dapat menyerah karena digertak, dengan gusar ia menjawab: “Soal muridku peduli apa dengan kau! Lekas lepaskan dia!”

“Tindakan kami ini hanya terpaksa,” kata In-hong dengan tertawa. “Jika Su-loenghiong tidak mau menerangkan asal usul muridmu ini terpaksa kami membawanya pergi.”

“Menangkap sute kami yang baru, kalian terhitung orang gagah macam apa pula?” ejek Thio Tik. “Kalian sendiri main kerubut, terhitung orang gagah macam apa?” jawab Kok Ham Hi dengan tajam.

Wajah Su Yong-wi menjadi merah padam, bentaknya: “Baik, kalian mundur semua, biar aku sendiri menghadapi dua ksatria ini. Asalkan salah seorang kalian sanggup mengalahkan golokku ini, segera aku akan membuka pintu lebar2, kami guru dan murid pasti takkan merintangi kepergian kalian.” Nyata, dibalik ucapannya yang “Pasti takkan merintangi” itu telah ditambahkan pula “kami guru dan murid”, jadi tidak termasuk tetamunya andaikan ada diantaranya hendak merintangi kepergian Ci In-hong berdua.

Maka Kiau Goan-cong lantas berkata: “Sembelih ayam tidak perlu pakai golok jagal, kami berempat orang Bu-tong-pay ada permusuhan dengan orang she Kok ini, maka kami siap menggantikan Su-loenghiong untuk menyelesaikan urusan ini.”

“Baik, boleh kau katakan caranya!” seru Kok ham-hi.

“Kami berempat ada saudara seperguruan, begitu pula kalian berdua, maka kebetulan kita boleh coba2 menentukan pihak siapa yang lebih unggul,” kata Goan-cong.

“O,jadi maksudmu kalian berempat hendak menandingi kami berdua,” jengek Ham-hi. “Bagus, inipun sangat adil sekali.”

Muka Kiau Goan-cong menjadi merah, katanya pula: “Kau adalah musuh umum Bu-tong-pay kami, tak dapat kami bicara tentang peraturan kangouw dengan kau.”

“Bagus, orang Bu-tong-pay memang paling mengutamakan keadilan,” jengek Kok Ham-hi. “Tapi ada sesuatu kami ingin tahu dengan pasti. Umpamanya, jika pertandingan nanti kami yang kalah, maka kami akan pasrahkan nasib kepada kalian. Tapi sebaliknya kalau beruntung kami yang menang, lalu bagaimana? Apakah kami harus bertempur lagi melawan Su-loenghiong dan murid2nya?”

“Hm, janganlah kau terlalu menghina diriku,” kata Su Yong-wi dengan gusar. “Dengan kepandaian apa kalian mampu mengalahkan Bu-tong-si-hiap?” Tapi bila kalian benar2 sanggup lolos dibawah pedang keempat jago muda Bu-tong-pay, maka aku pasti akan membuka pintu lebar2 dan mengantar keberangkatan kalian dengan hormat.”

Kiranya Su Yong-wi tadi sudah merasakan betapa lihainya Thian-lui-kang, ia merasa tidak yakin akan dapat mengalahkan Ci In-hong berdua, sebab itulah Ia lebih suka membiarkan Bu-tong-si-hiap menanggung urusan ini. Menurut perkiraannya, dengan gabungan kekuatan empat pendekar muda Bu-tong-pay itu tentu akan dapat menang.”

“Bagus, beginilah persetujuan kita,” kata In-hong. “Tapi disini bukan tempat pertandingan yang baik.”

“Ya, kitaboleh keluar sana agar tidak merusak ruangan pesta Su-loenghiong,”kata Thio Goan-kiat. Diam2 Kok Ham-hi heran mengapa lawannya itu begitu garang, padahal Goan-kiat pernah kecundang ditangannya. Apa barangkali akhir2 ini lawannya itu berhasil meyakinkan sesuatu ilmu baru?”

Begitulah Su Yong-wi lantas membawa kedua pihak menuju kelapangan berlatih didalam taman bagian belakang.

Ilmu pedang Bu-tong-pay termashur diseluruh jagat, tapi sekarang keempat jago muda Bu-tong-pay justru akan bergabung untuk menghadapi dua lawan yang tak terkenal asal usulnya, tentu saja para tetamu sama heran. Dengan sendirinya mereka pun tidak melewatkan kesempatan bagus ini untuk menyaksikan pertandingan seru ini, maka ber-bondong2 para tamu lantas ikut ketaman.

Bu-tong-si-hioa ambil posisi mengepung, lalu Kiau Goan-cong berkata: “Hayolah kalian mulai dulu, memangnya mau tunggu apa lagi?” ~ Dia yakin pihaknya pasti akan menang, maka sengaja berlagak bermurah hati membiarkan pihak lawan menyerang lebih dulu.

Dalam pada itu CiIn-hong telah mengedipi Kok Ham-hi, lalu Kok Ham-hi mengerut kening, tapi segera mengangguk tanda setuju.

“Hm, kalian jangan main sandiwara, mulailah lekas!” ejek Goan-cong.

“Sebenarnya maksud Suhengku hendak mengampuni jiwamu, lantaran kau sembarangan mengoceh, maka kukatakan terus terang padamu,” jawab Kok Ham-hi. “Nah, sekarang terimalah serangan kami!”

Berbareng Kok Ham-hi berdua lantas melolos pedang, ditengah samberan pedang disertai pula pukulan, sepasang pedang dan dua tangan serentak menyerang sekaligus. Sinar pedang berkelebat, angin pukulan menderu, dalam jarak seputar beberapa meter berjangkitlah samberan angin yang kuat hingga para penonton terpaksa melangkah mundur.

“Hm, Thian-lui-kang kalian bisa berbuat apa terhadapku?” jengek Goan-cong, walaupun demikian tidak urung pedangnya yang menusuk kearah Kok Ham-hi terguncang menceng juga oleh tenaga pukulan Ci In-hong berdua.

Kok Ham-hi cukup kenal kelicikan dan kesempitan jiwa Kiau Goan-cong yang sukar diinsyafkan akan kesalahannya, ia pikir tangkap penjahat harus tangkap kepalanya, asal orang she Kiau ini tertawan, tentu barisan pedangmereka akan kacau balau sendiri. Tapi tak terpikir olehnya bahwa sebabnya Kiau Goan-cong berani pimpin ketia sutenya untuk mencari balas padanya, dengan sendirinya merekapun yakin akan kemenangan dipihaknya.

Begitulah ketika serangan Kiau Goan-cong tadi tidak mengenai sasarannya, segera ia menggeser kesamping dan menyusul Ki Goan-lun lantas menyerang. Waktu Kok Ham-hi memapak dengan tangan pukulannya, tiba2 dari belakang terasa ada angin menyamber tiba, kiranya pedang Thio Goan-kiat dan Nio Goan-hian telah menusuk berbareng kearahnya.

Serangan kedua orang out cukup ganas dan memaksa Kok Ham-hi harus menyelamatkan diri lebih dulu. Terpaksa memutar tangannya dan balas memotong kebelakang, ia serang lengan Nio Goan- hian sebagai imbangan tusukan pedang lawan, berbareng itu pedang Kok Ham-hi juga lantas menangkis “trang”, serangan Thio Goan-kiat telah dipatahkan pula. Pada saat yang sama Ki Goan- lun dan Kiau Goan-cong juga mulai melancarkan serangan kepada Ci in-hong.

Maka terdengarlah suara menderingnya senjata yang nyaring memekak telinga, keempat jago Bu- tong-pay tampak ber-putar2 kian kemari dengan pedang mereka yang bergerak cepat hingga terjalin sebuah “jaringan pedang”, dalam sekejap saja keempat orang telah sama melancarkan 6 X 6 = 36 jurus.

Kiranya sesudah mengalami kekalahan dahulu, Kiau Goan-cong berempat menyadari benar2 bila mereka harus melawan Kok ham-hi satu persatu betapapun tidak sanggup menandinginya, sebab itulah sepulangnya mereka ke Bu-tong-san mereka lantas minta belajar lebih mendalam kepada Suhu dan Susiok mereka, setelah giat berlatih selama empat tahun, mereka berhasil menjalin sebuah “Kiam-tin” (barisan pedang) yang dimainkan empat orang sekaligus. Permainan barisan pedang mereka ini teratur dengan sangat rapi, yang satu maju dan yang lain harus mundur, setiap gerakan didasarkan atas perhitungan Pat-kwa.

Bagi pandangan orang lain, mereka terlihat menggeser kian kemari tak teratur, tapi bagi orang yang terkepung ditengah barisan pedang mereka boleh dikata sukar meloloskan diri karena laksana terkepung oleh dinding baja.

Begitulah dalam sekejap itu seluruh lapangan seakan penuh oleh sinar pedang yang bergemerlapan menyilaukan mata. Pertarungan enam orang itu berlangsung dengan dahsyat sehingga laksana pertempuran sengit dimedan perang yang dilakukan oleh be-ribu2 prajurit. Para penonton sampai ternganga menyaksikan pertempuran seru itu dan masing2 sama menahan napas.

“Kok-sute, bertahan dulu baru kemudian menyerang!” seru In-hong dengan suara tertahan kepada Kok Ham-hi.

Segera kedua orang punggung beradu punggung, pedang mereka berputar secepat angin, terdengar suara mendering beradunya senjata yang mengilukan. Selang sebentar lagi, se-konyong2 Ci in-hong berdua membentak keras2, berbareng mereka menghantam ditengah samberan sinar pedang mereka. “Thian-lui-kang” yang dahsyat telah mereka keluarkan.

Samberan angin pukulan dan sinar pedang yang dahsyat itu memaksa keempat jago muda Bu-tong- pay itu terpaksa melangkah mundur, tapi dengan cepat mereka lantas mendesak maju lagi. “Serang mereka dengan gerak cepat, jangan memberikan kelonggaran kepada mereka!” seru Kiau Goan- cong kepada ketiga sutenya.

Kalau tadi begitu maju Ci In-hong berdua lantas mengeluarkan jurus “Lui-tian-kau-hong” yang dahsyat dari Thian-lui-kang mereka itu, yaitu sebelum barisan pedang lawan sempat teratur dengan rapat, maka bagi Nio Goan-hian dan Ki Goan-lun yang lebih lemah itu tentu sukar menghadapi pukulan Lui-tian-kau-hong yang dahsyat dan mungkin akan terluka, dengan begitu kemenangan pasti juga akan berada dipuhak Ci In-hong. Tapi lantaran pukulan Lui-tian-kau-hong itu terlalu dahsyat, In-hong berdua harus memikirkan akibatnya bila anak murid Bu-tong-pay itu terpukul mati atau terluka parah sehingga permusuhan mereka dengan Bu-tong-pay akan berarti sukar diredakan. Dan sekarang barisan pedang pihak lawan sudah bekerja, terpaksa Ci In-hong berdua mengeluarkan Thian-lui-kang untuk melunakkan daya tekanan lawan, tapi sukar untuk membobol barisan pedang yang rapat itu. Apalagi mereka juga belum berani menggunakan jurus “Lui-tian-kau-hong” yang dahsyat.

Sebaliknya Kiau Goan-cong sama sekali tidak kenal ampun, begitu mereka berada diatas angin, segera ia menyerukan sutenya menyerang lebih gencar. Barisan pedang mereka semakin beputar makin cepat dan lingkaran kepungan merekapun makin menciut. Empat batang pedang mereka menyamber kian kemari laksana seorang saja yang memainkan ilmu pedan gyang ruwet dan lihai, segenap penjuru se-akan2 penuh dengan bayangan keempat orang jago Bu-tong itu.

Kok Ham-hi dan Ci in-hong ternyat diserang hingga sukar bernapas, tapi untuk sama sekali melumpuhkan Kok Ham-hi berdua rasanya juga sulit bagi Kiau Goan-cong berempat.

Melihat pertarungan seru itu, para penonton sampai kesima, banyak diantaranya lantas memberi komentar dan pujian kepada ilmu pedang Bu-tong-pay yang dikatakan luar biasa itu, bahkan ada diantaranya menyindir pula kepada Kok Ham-hi berdua yang tampak terdesak itu.

Hanya Su Yong-wi saja yang merasa kuatir malah, dia percaya Ci In-hong dan Kok ham-hi masih belum mengerahkan seluruh kekuatan Thian-lui-kangnya, meski barisan paedang Bu-tong-pay itu sangat lihai,tapi kalau kedua lawannya mengeluarkan segenap kekuatan Thian-lui-kang, biarpun takdapat mematahkan barisan pedang itu sedikitnya kedua pihak akan hancur bersama. Namun Su Yong-wi merasa tidak sanggup memisah pertarungan sengit itu, maka ia hanya gelisah sendiri tanpa berdaya. Sejenak kemudian, tiba2 terdengar suara “bret” sepotong lengan baju Kok Ham-hi terpapas robek oelh pedang Thio Goan-kiat. Mestinya Goan-kiat mengira sebelah lengan lawan pasti akan terkutung, tapi ternyata meleset dan Cuma lengan bajunya saja yang tertabas , diam2 ia merasa sayang, dengan gemas kembali ia menyerang dengan lebih gencar.

Kok Ham-hi menjadi murka juga, mendadak ia berteriak: “Suheng, Lui-tian-kau-hong!”

Ditengah teriakannya itu pukulan Kok Ham-hi berdua lantas dilontarkan dengan kuat dan membawa suara menderu. Kebetulan waktu itu Kiau Goan-cong dan Ki Goan-lun sedang menyerang dari depan, seketika mereka disamber oelh angin pukulan yang dahsyat, dada serasa kena digodam.

Keruan Goan-cong berdua terkejut, lekas2 mereka memutar pedang dan menyerang dengan mati2an. Sementara itu Goan-kiat dan Goan-hian juga sudah menubrukmaju dari kiri dan kanan, pedang Goan-kiat mengarah punggung Kok Ham-hi dan pedang Goan-hian mengincar tulang pundak kanan Ci in-hong.

Dalam keadaan begitu, tampaknya kedua pihak pasti akan sama2 terluka atau bahkan gugur bersama, keruan Su Yong-wi kelabakan saking kuatirnya, tapi apa daya ia sendiri merasa tidak sanggup memisah kalau maju begitu saja mungkin jiwa sendiri akan melayang percuma malah. Pada detik yang berbahaya itulah se-konyong2 ditengah orang banyak melayang maju dua sosok bayangan secepat terbang, yang seorang hinggap disamping Kiau Goan-cong dan yang lain berdiri di pihak Kok Ham-hi sana. Yang duluan membantu Goan-cong menahan pukulan Thian-lui-kang, sedang yang kedua memutar pedangnya untuk membantu Kok Ham-hi mematahkan serangan Goan-kiat tadi.

Munculnya kedua orang itu terlalu cepat hingga sebelum orang melihat jelas tahu2 Kok Ham-hi berdua tergetar mundur, begitu pula Kiau Goan-cong dan ki Goan-lun terdesak mundur beberapa tindak.

Disebelah lain pedang Goan-kiat yang menusuk punggung musuh tadi juga tertangkis dan terpental balik, untung dia keburu menahan pedangnya sehingga senjata tidak sampai makan tuannya. Begitu cepat permainan pedang itu, sekali serangan Goan-kiat dipatahkan, segera pedangnya berputar dan pedang Goan-hian juga tersampauk kesamping.

“Terima kasih atas pertolongan saudara!” kata Goan-cong sesudah berdiri tenang.

Sebaliknya Goan-koiat lantas membentak: “Siapa kau, berani kau memusuhi anak murid Bu-tong- pay kami?”

Sementara itu rasa kejut Su Yong-wi baru lenyap dan dapat melihat jelas siapa kedua orang pemisah itu, ia berseru heran: “Eh, bukankah kalian ini Liu-tocu dan Cui-tocu? Bilakah kalian tiba?”

Kedua orang itu lantas menarik kembali pukulannya dan yang lain memasukkan pedang ke sarungnya. Lalu oran yang berpedang menjawab dengan tertawa: “Harap Tio-samhiap jangan marah, maksud kami hanya menjadi juru damai saja dan tiada maksud memusuhi anak murid Bu- tong-pay. Cayhe Liu Tong-thian adanya dan ini adalah suteku, Cui Tin-san.

Agaknya ketika Liu Tong-thian berdua datang keadaan ditengah kalangan pertandingan sedang berlangsung dengan sengitnya sehingga orang lain tidak memperhatikan mereka. Liu Tong-thian berdua sudah pernah bergebrak dengan Ci in-hong ketika mereka menghadiri Lok-lim-tay-hwe (pertemuan besar kaum Lok-lim) di Long-sia-san tempo hari. Waktu itu Cui Tin-san bertanding ilmu pukulan dengan Ci In-hong dan kalah satu jurus. Sedangkan Liu Tong-thian bertanding pedang dengan Ci In-hong dan menang satu jurus.

Cui Tin-san dan Liu Tong-thian berdua terhitung ksatria sejati, sekali salah membantu Tun-ih ciu dan mengetahui persekongkolan Tun-ih Ciu dengan musuh, segera kedua orang merasa menyesal dan mengundurkan diri. Karena itu sekarang demi melihat Ci In-hong berdua dikerubut oleh anak murid Bu-tong-pay, mereka berdua lantas tampil kemuka untuk memisahkan pertarungan sengit itu. Dengan kekuatan mereka berdua, yang satu membantu menahan Thian-lui-kang yang dilancarkan Ci In-hong dan Kok Ham-hi, sedang seorang lagi membantu Kok Ham-hi mematahkan serangan Thio goan-kiat. Jadi mereka memisah secara adil tanpa membela salah satu pihak, ini membuktikn kejujuran mereka sebagai juru damai. Sebab itulah walaupun Thio Goan-kiat merasa gemas, tapi juga tak dapat berbuat apa2. “Entah sebab apa Bu-tong-si-hiap terjadi salah paham dengan Ci In-hong berdua?” demikian Liu Tong-thian lantas bertanya.

Sebagai kepala Bu-tong-si-hiap, segera Kiau Goan-cong menjawab: “Tingkah laku orang she Kok ini tidak pantas, dia telah merebut tunangan Suteku, bahkan pernah menganiaya dua orang Suteku yang lain. Untuk penghinaan ini masakah anak murid Bu-tong dapat tinggal diam? Maksud baik kalian berdua sebagai juru damai harus dipuji, tapi persoalan kami ini sebaiknya kalian jangan ikut campur.”

“Tunangan Thio-samhiap bukankah putri Giam-say-hiap?” tanya Liu Tong-thian. “Benar,” kata Goan-cong pula sebelum Goan-kiat mengiakan. “Setelah kalian mengetahui

persoalannya, tentu pula kalian mengetahui juga bahwa kesalahan bukan terletak pada pihak kami.” “Kabarnya Thio-samhiap sudah mengnyatakan membatalkan pertunangan kepada Giam-tayhiap, entah betul tidak hal ini?” tanya pula Liu Tong-thian.

Sebabnya Goan-kiat tadi tidak mendahului menjawab justru karena alasan yang disebut Liu Tong- thian ini. Maka dengan gusar berkatalah dia: “Memang betul. Setelah kedua binatang itu melakukan perbuatan yang tidak tahu malu itu, masakah aku masih sudi menikahi perempuan hina dina itu?” “Thio Goan-kiat,hendaklah mulutmu dicuci bersih dahulu,: damprat Kok Ham-hi dengan gusar. “Hendaklah saudara2 jangan bertengkar dulu,” sela Liu Tong-thian. “Jadi jelasnya Giam-socia itu dengan sukarela telah memilih Kok-heng ini. Seorang laki2 sejati kenapa mesti takut tidak mendapatkan istri? Kalau hati Giam-socia sudah diserahkan kepada orang lain, buat apa Thio-heng mesti memikirkannya pula?”

“Perempuan hina itu sudah tentu aku tidak sudi tadi, tapi dendamku ini harus kulampiaskan,” kata Goan-kiat dengan gemas.

“Tapi sekarang kita harus menghadapi musuh bersama, persengketaan pribadi tentunya dapat dikesampingkan untuk sementara. Harap Bu-tong-si-hiap suka berpikir lebih mendalam dan pertimbangkan masak2,” ujar Liu Tong-thian.

Cui Tin-san adalah laki2 yang berwatak keras, dengan tak sabar ia lantas menyela: “Jika saudara2 tidak dapat didamaikan, maka boleh kalian bertarung lagi. Cuma menurut penilaianku kedua pihak kalian sukar untuk mengalahkan pihak yang lain, paling2 akan berakhir dengan hancur bersama.” Sebagai orang yang telah menahan pukulan Thian-lui-kang bagi Coan-cong tadi, Cui Tin-san tahu bila dia tidak membantunya mungkin tadi Goan-cong sudah terluka parah andaikan tidak mati.

Kenyataan ini betapapu tak dapat dibantah oleh Kiau Goan-cong, apalagi dia adalah bakal ahli waris Bu-tong-pay, sudah tentu ia mesti berpikir dua kali sebelum mati konyol secara sia2.

Karena itu terpaksa Kiau Goan-cong mundur teratur, katanya kemudian: “Baiklah, mengingat maksud baik Liu-tocu berdua, persoalan kami ini untuk sementara dapat kami kesampingkan. Bagaimana jadinya dikemudian hari biarlah kita tunggu saja.”

“Terima kasih atas penghargaan Kiau-tayhiap kepada kami,” kata Liu Tong-thian.

Karena pertarungan itu takdapat berlangsung lagi, Kiau Goan-cong merasa kehilangan muka, segera ia mohon diri kepada Su Yong-wi dan pergi bersama ketiga sutenya.

“Habis gelap trbitlah terang, kini urusan sedah beres, sudah waktunya untuk memberikan selamat kepada ulang tahun Su-loenghiong,” demikian Liu Tong-thian lantas berseru kepada orang banyak. “Ci-heng dan Kok-heng, marilah berkenalan dengan tuan rumah.”

Liu Tong-thian mengira persoalan dapat diselesaikan begitu saja, tak terduga Su Yong-wi tetap bersikap dingin saja, tiba2 ia berkata: “Nanti dulu!”

Keruan Liu Tong-thian melengak, tanyanya: “Adakah sesuatu petunjuk Su-loenghiong?”

“Sengketa pribadi, boleh diakhiri, tapi urusan lebih penting bagaimana menyelesaikannya?” kata Su Yong-wi.

“Urusan penting apa maksud Su-loenghiong?” tanya Liu Tong-thian.

“Ci In-hong adalah murid keponakan Yang Thian-lui, apakah Liu-tocu mengetahui hal ini?” kata tuan rumah pula.

“Agaknya kalian telah salah paham,” ujar Liu Tong-thian dengan tertawa. “Hendaklah Su- loenghiong mengetahui bahwa sekarang Ci-heng adalah pembantu utama Bengcu baru Li Su-lam, dia pernah bekerja bagi Yang Thian-lui adalah karena sengaja ditugaskan oleh gurunya, tapi diam2 dia mengadakan hubungan rahasia dengan pihak pasukan pergerakan. Bahkan saat ini dia sedang melaksanakan sesuatu tugas penting bagi kita. Cuma belum tiba waktunya sehingga aku takdapat menerangkan urusan penting yang dimaksud itu.”

Bahwa keterangan Liu Tong-thian ternyata cocok dengan keterangan Lau Tay-wi tadi tentang diri Ci In-hong, mau tak mau Su Yong-wi menjadi terkejut, ia pikir apakah Loh-samko yang berdusta padaku dengan maksud memfitnah orang she Ci ini. Bahkan yang lebih mengejutkan para tetamu adalah keterangan Liu Tong-thian tentang diri Ci In-hong sebagai pembantu utama Li Su-lam.

Segera Su Yong-wi berkata pula : “Maafkan bila aku terlalu rewel, tapi soalnya menyangkut keselamatan kita bersama. Tentang keterangan Liu-tocu tadi darimana Liu-tocu mendengarnya?” “Bukan mendengar, tapi aku menyaksikan sendiri,” kata Liu Tong-thian. “Bahkan belum lama ini aku baru datang dari Long-sia-san, maka aku berani menjamin akan kebenaran keteranganku tadi atas diri Ci-heng, bilama perlu aku dapat mengemukakan pula seorang tokoh lain sebagai penjamin.”

“Siapa?” tanya Su Yong-wi.

“Kanglam-tayhiap Beng Siau-kang!” sehut Liu Tong-thian. “Beng Siau-kang sendiri yang menceritakan padaku tentang asal usul Ci-heng serta tugas penting yang diembannya.”

Baru sekarang Kok Ham-hi tahu bahwa Liu Tong-thian berdua kiranya baru saja datang dari Long- sia-san, pantas mereka mengetahui urusanku dengan Giam Wan.

Liu Tong-thian sendiri terkenal ilmu pedangnya sudah lama namanya berkumandang didunia kangouw, sekarang ditambah lagi nama Beng Siau-kang, mau tak mau para tetamu percaya kepada keterangannya tadi.

Maka berkatalah Su Yong-wi akhirnya: “Jika demikian, mungkin benar aku telah salah paham. Eh, dimanakah Loh-samya?” ~ Ia bermaksud suruh Loh Hiang-ting memberi kesaksian lebih jauh, tapi Loh Hiang-ting ternyata sudah mengeluyur pergi, bahkan Ting Cin juga ikut menghilang. Rupanya begitu munculnya Liu Tong-thian berdua, Loh Hiang-ting merasa gelagat jelek, maka cepat2 ia kabur bersama Ting Cin.

Lau Tay-wi menjadi kaget juga, katanya dengan ragu2: “Suhu, tampaknya ……. “

Sebagai seorang yang sudah berpengalaman dan dapat berpikir, diam2 Su Yong-wi merasa malu diri katanya kemudian: “Kini urusan sudah menjadi jelas, tidak perlu disangsikan lagi bahwa mereka berdua pasti agen rahasia musuh. Sungguh menyesal aku telah kena dikelabui mereka dan hampir2 membikin susah orang baik.” ~ Habis itu iapun minta maaf kepada Ci In-hong dan Kok Ham-hi.

Dengan rendah hati Ci In-hong menjawab: “Ah, memang sukar membedakan orang jahat atau orang baik, adalah biasa jika terjadi salah paham.”

“Sungguh aku harus berterima kasih padamu, bila kalian tidak keburu tiba dan membongkar kedok mereka, mungkin akibatnya aku akan hancur lebur terjerumus kedalam perangkap musuh,” kata Su Yong-wi.

Setelah persoalan Loh Hiang-ting dan Ting Cin menjadi jelas, maka semua orang lantas kembali keruangan pesta untuk memberikan selamat ulang tahun kepada Su Yong-wi, suasana perjamuan berlangsung dengan meriah.

Sehabis perjamuan Liu Tong-thian berkata kepada Ci In-hong: “Sungguh tidak terduga akan bertemu kau disini, ada suatu urusan aku justru ingin berunding dengan kau.”

“Urusan apa?” tanya In-hong.

“Urusan yang menyangkut Yang Thian-lui,” jawab Liu Tong-thian. “Kalian berdua beremaksud mengadakan pembersihan pintu perguruan sendiri, Beng-tayhiap telah memberitahukan hal ini kepadaku.”

Ci In-hong merasa girang, segera ia pinjam sebuah kamar rahasia kepada tuanrumah, lalu bersama KokHam-hi serta Liu Tong-thian dan Cui Tin-san berempat lantas mengadakan perundingan rahasia dalam kamar itu.

“Sebenarnya urusan ini semula kamipun tidak pernah memikirkannya,” tutur Liu Tong-thian. “Lalu apa sebabnya coba kau terka? Ternyata keparat Yang Thian-lui itu benar2 telah pepet pikiran dan menyangka kami berdua juga kemaruk harta dan pangkat seperti dia, maka dia telah “penujui kami”.

“Haha, mungkin dia mendapat laporan bahwa kalian pernah membantu Tun-ih Ciu, makanya mengira kalianpun dapat diperalat olehnya,” kata In-hong dengan tertawa.

“Sebabnya kami membantu Tun-ih Ciu waktu itu sebenarnya karena timbul dari rasa setia kawan saja, tatkala itu kami sama sekali tidak mengetahui akan persekongkolannya dengan pihak musuh,” kata Liu Tong-thian.

“Kami paham,Liu-heng tidak perlu memberi penjelasan lagi,” kata In-hong. “Sekarang mohon engkau menerangkan saja mengapa Yang Thian-lui mencari kalian dan apa maksud tujuannya?” “Dia mengutus seorang wakil untuk menghubungi kami dengan macam2 janji muluk2 asalkan kami mau membantunya secara diam2,” tutur Liu Tong-thian.

“Tegasnya dia menghendaki kami menjadi agen rahasianya dan kami tetap bertahan dalam kedudukan kami didunia kangouw seperti biasa,” Cui Tin-san menambahkan dengan tertawa. “Lalu cara bagaimana kalian menghadapi bujukannya?” tanya In-hong.

“Waktu itu sebenarnya aku bermaksud membinasakan utusan itu, tapi Liu-suheng tidak setuju,” tutur Cui Tin-san.

“Ya, sebab kupikir kenapa tidak berbalik mengakali dia dengan cara yang sama,” kata Liu Tong- thian. “Sebab itulah aku tidak memberi reaksi apa2, malahan aku melayani utusan itu dengan sangat hormat. Aku menyatakan urusannya teramat penting, maka aku perlu brpikir lebih mendalam, aku mengatakan paling baik kalau Yang-koksu sudi datang ketempat kami untuk bicara secara langsung.”

“Akal inipun pernah dipakai oleh Toh An-peng dari Hui-liong-san,” kata In-hong.

“Toh An-peng telah bersekongkol dengan Yang Thian-lui dan memancing Li-bengcu ketempatnya. Peristiwa ini mungkin kalianpun sudah mengetahui.”

“Sesudah kami datang ke Long-sia-san barulah kami mendapat tahu dari Li-bengcu,” sahut Tin-san. “Dan akal yang mereka sendiri pernah gunakan apakah bangsat tua Yang Thian-lui itu mau masuk perangkap begitu saja?” ujar In-hong.

“Li-bengcu juga berkata demikian, tapi tiada halangannya dicoba dan lihat saja bagaimana jawabnya,” kata Liu Tong-thian. “Waktu itu kami telah berjanji kepada utusan itu agar memberi kabar jawaban dalam waktu tiga bulan. Dan begitu utusan itu berangkat pulang segera kami menuju Long-sia-san untuk melaporkan kejadian itu kepada Li-bengcu. Dari Li-bengcu kami sudah mendapat kesanggupan akan mengirim bala bantuan bila tiba waktunya. Soalnya tinggal Yang Thian-lui mau masuk perangkap atau tidak. Li-bengcu juga menyatakan sayang kalian tidak berada ditempat sehingga kehilangan kesempatan yang bagus. Tak terduga disini pula kami dapat bertemu dengan kalian.”

“Ya, kalau Yang Thian-lui mau masuk perangkap, kami dapat bersembunyi di tempat kalian untuk membereskan dia sehingga akan banyak hemat tenaga dan waktu bagi kami.” Kata In-hong. “Umpama dia tidak mau masuk perangkap tentu juga akan memberi jawaban,” ujar Kok ham-hi. “Kita tunggu saja bagaimana jawabannya, lalu mengatur siasat lebih jauh.”

“Benar, biarpun bangsat tua itu banyak tipu muslihatnya, sedikitnya iapun belum tahu pasti akan haluan kami,” kata Liu Tong-thian.

“Sampai sekarang jarak janji tiga bulan itu masih ada berapa hari lagi?” tanya In-hong.

“Belum ada sebulan lamanya, jadi kami masih ada waktu dua bulan lebih,” sahut Liu Tong-thian. “bagus, jika demikian cukup bagi kami untuk pulang memberi lapor kepada guruku, habis itu baru kami datang ketempat Liu-tocu,” kata In-hong.

Tiba2 Liu Tong-thian teringat sesuatu, serunya: “Wah, celaka !” “Ada apa?” tanya Cui Tin-san.

“Kita menjadi lupa akan kaburnya Loh Hiang-ting dan Ting Cin berdua tadi,” kata Liu Tong-thian. “Kita telah tampil kemuka untuk membela Ci-heng tadi, hal ini oleh mereka tentu akan dilaporkan kepada Yang Thian-lui.”

“Rasanya Su-loenghiong pasti takkan melepaskan kedua orang itu,” ujar Cui Tin-san. “Dengan bantuan para tamu serta ke-17 anak muridnya, kukira kedua bangsat itu takkan lolos begitu saja.” “Andaikan mereka berhasil lolos dan pulang ke Taytoh, lalu bagaimana kan urusan kita bisa runyam,” ujar Liu Tong-thian.

“aku ada suatu usul,” kata Cui Tin-san. “Sebaiknya Liu-suheng pulang dulu, aku akan memburu ke Taytoh, pimpinan Kay-pang disana adalah kenalan baikku, aku akan minta bantuannya untuk mengawasi jejak kedua keparat itu. Bilamana mereka kabur kesana, dengan jaringan Kay-pang yang luas, itu tentu akan diperoleh kabar yang pasti. Dan bila demikian halnya barulah kita mengatur siasat lebih lanjut.”

“Ya, memang tiada jalan lain lagi, terpaksa kita coba2 cara ini,” kata Liu Tong-thian.

Setelah mengambil keputusan pasti, mereka berempat lantas keluar dan mohon diri kepada tuan rumah. Su Yong-wi memberitahukan mereka bahwa telah dikirim 12 muridnya untuk mengejar Loh Hiang-ting berdua, diantara tetamunya juga banyak yang sukarela ikut pergi memburu agen rahasia musuh itu.

“Ci-heng, biarlah aku mengantar keberangkatan kalian,” kata Lau tay-wi, ternyata dia tidak ikut mengejar Loh Hiang-ting, mungkin untuk mengghindarkan salah paham orang.

Setiba dipersimpangan jalan, Lau Tay-wi bertanya pula: “Ci-heng, bukankah gurumu mengasingkan diri di Pok-bong-san?”

“Benar, darimana engkau mendapat tahu?” sahut In-hong.

“Dari ayahku,” jawab Lau Tay-wi dengan tertawa. “Kiranya ayahku adalah kenalan gurumu, Cuma sudah lama tidak berjumpa. Tahun lalu ayah pernah menyambangi gurumu di Pok-bong-san, tapi tidak bertemu. Rumah Siaute berada di Koh-siong-cun dikabupaten Peng-kok-koan, hanya ratusan li diutara Pak-bong-san, bila Ci-heng ada tempo boleh silahkan mampir ketempatku itu. Dirumahku hanya tinggal ayah dan adik perempuanku, bila Ci-heng sudi menyampaikan berita selamat tentang diriku, tentu mereka akan sangat berterima kasih padamu.”

“Tapi tugas kami mendesak, entah ada tempo luang atau tidak untuk mampir,” ujar In-hong. “Namun bial perlu tentu aku akan minta guruku agar menyampaikan kabar kepada paman.” Lau tay-wi merasa rada kecewa, katanya: “Baiklah jika begitu, terima kasih.”

Begitulah Ci In-hong dan Kok Ham-hi lantas melanjutkan perjalanan, beberapa hari kemudian sampailah mereka di Pak-bong-san. In-hong membawa Ham-hi kepondok tempat tinggal gurunya, dibelakang rumah adalah hutan Tho yang sedang berbunga dengan indah sekali laksana lautan bunga.

“Tampaknya Suhu sedang berlatih pedang ditengah hutan Tho, janganlah kita mengejutkan beliau,” kata In-hong.

Dengan pelahan2 mereka lantas menyusuri hutan Tho itu, tidak jauh terlihatlah sinar pedang yang kemilauan me-nari2 diangkasa laksana ular naga disertai bertaburannya kelopak bunga Tho yang berserakan memenuhi tanah.

“Kok-sute, apakah kau dapat melihat dimana letak kehebatan ilmu pedang Suhu?” tanya In-hong kepada Kok Ham-hi.

Kok Ham-hi tidak lantas menjawabnya, ia perhatikan lebih cermat permainan pedang Hoa Thian- hong yang hebat itu, gesit laksana ular, lincah laksana kera. Tiba2 melayang keatas seperti elang, mendadak menubruk kebawah serupa harimau, sinar pedangnya menyambar cepat diantara daun lebat pohon Tho kelopak bunga Tho sama rontok beterbaran, namun tangkai bunga sedikitpun tidak ikut bergetar.

Bahwasanya ilmu pedangnya indah sekali, yang paling hebat adalah merontokkan kelopak bunga tanpa bikin goyang tangkai bunganya. Betap tinggi dan mujizat ilmu pedang Hoa Thian-hong sunguh sukar diukur.

Diam2 Kok Ham-hi berpikir: “Meski beng-tayhiap disebut orang sebagai memiliki ilmu pedang yang tiada tandingannya, tapi kalau bicara soal kelincahan mungkin takdapat menandingi Hoa- supek, apalagi ilmu pedang Lian-goan-toat-beng-kiam-hoat yang dimainkan keempat murid utma Bu-tong-pay itu lebih2 bukan tandingannya.”

Begitulah saking asyiknya dan kagumnya terhadap ilmu pedang yang bagus itu, tanpa terasa Kok Ham-hi sampai berseru: “Sungguh hebat!”

Cepat Hoa Thian-hong lantas menarik pedangnya dan berpaling, lalu berkata: “Kau sudah pulang, In-hong. Dan siapakah dia ini?” Lebih dulu In-hong dan Kok Ham-hi memberi hormat, lalu In-hong menjawab: “Dia adalah murid Kheng-susiok, namanya Kok Ham-hi.”

Girang sekali Hoa Thian-hong, serunya: “Ha, jadi kau telah menemukan Kheng-susiokmu?” “Kheng-susiok masih berada di Kanglam,” sahut In-hong. “Kok-sute yang diperintahkan oleh Kheng-susiok agar mencari kita ,belum lama berselang Tecu baru saja bertemu dengan Kok-sute.” Segera Hoa Thian-hong menanyakan keadaan guru Kok Ham-hi, lalu menghela napas dan berkata: “Sudah 20 tahun aku berpisah dengan gurumu. Aku sangat mengharapkan dia dapat datang kesini untuk memikul kewajiban membersihkan pintu perguruan kita. Sungguh tidak nyana bahwa dia terluka parah, sukar lagi meyakinkan Thian-lui-kang dengan sempurna.”

“Tapi ilmu pedang Supek yang hebat ini rasanya jauh lebih cukup untuk menghadapi Yang Thian- lui,” ujar Kok Ham-hi.

“Ya, lantaran aku menyadari terbatasnya kemampuanku, biarpun aku berlatih selama hidup juga Thian-lui-kangku tak dapat menandingi orang she Yang itu, makanya timbul hasratku untuk meyakinkan ilmu pedang ini,” kata Hoa Thian-hong. “Mendiang kakek guru kalian dulu terkenal dengan ilmu pedang dan ilmu pukulannya, Thian-lui-kang adalah ilmu andalannya, ilmu pedangnya juga menjagoi dunia persilatan. Cuma sayang diantara anak muridnya tiada seorangpun yang menwariskan segenap kepandaiannya itu. Syukur paling akhir ini sisuatu kamar batu dibelakang gunung kebetulan kutemukan ilmu pedang ini yang dia ukir pada dinding batu, aku sudah berlatih dua tahun, kuharap dengan ilmu pedang ini dapat mengatasi kekuatan Thian-lui-kang, tapi sampai sekarang latihanku masih belum sempurna.”

“Ilmu pedang Supek sudah sedemikian hebatnya dan Supek masih merasa belum sempurna?” Kok Ham-hi menegas dengan melengak.

“Coba kalian periksa lebih teliti,” kata Hoa Thian-hong. “Diantara kelopak bunga yang rontok ini tercampurkan pula beberapa lembar daun, ini tandanya kurang sempurna. Sebab kalau sudah mencapai tingkat sempurna, yang rontok hanya melulu kelopak bunga saja. Kekuatan Yang Thian- lui masih jauh diatasku, bila ingin membinasakan dia dengan ilmu pedang, maka diperlukan cara cepat yang tak ter-duga2, untuk ini sedikitnya aku perlu berlatih tiga tahun lagi. Tapi lantaran diwaktu muda akupun pernah terluka parah, kini usiaku sudah lanjut, badan sudah loyo, mungkin setelah tiga tahun tenagaku sudah yakin ketinggalan jauh dibanding Yang Thian-lui.”

“Meski Kheng-susiok tak dapat datang sendiri, tapi beliau sudah menugaskan Kok-sute untuk mewakilkan beliau mengadakan pembersihan dikalangan perguruan kita,” kata In-hong.

“O, jadi gurumu suruh kau mewakilkan dia?” tanya Hoa Thian-hong kepada Kok Ham-hi. “Jika demikian Thian-lui-kang yang kau yakinkan tentu sudah sempurna?”

“Bakat Siautit terlalu rendah, untuk mencapai tingkatan sempurna sungguh tidak berani mengharapkan,” sahut Kok Ham-hi. “Cuma ada suatu jurus serangan “Lui-tian-kau-hong” yang kugunakan bersama Ci-suheng, sudah kami coba beberapa kali, hasilnya cukup memuaskan. Hanya entah dapat menandingi Yang Thian-lui atau tidak?”

“Coba kalian perlihatkan padaku,” kata Hoa Thian-hong.

“Mohon Supek memberi petunjuk,” sahut Kok Ham-hi, lalu berdiri sejajar dengan Ci In-hong, sebelah tangan masing2 sama memutar suatu lingkaran, habis itu lantas dipukulkan berbareng kedepan. Terdengarlah suara riuh, sebatang pohon kontan roboh berikut akarnya, dalam lingkar seluas beberapa meter debu pasir berhamburan.

Girang sekali Hoa Thian-hong, katanya: “Jurus Lui-tian-kau-hong kalian ini sudah jauh lebih kuat daripadaku. In-hong, lwekangmu juga sudah banyak maju, jauh diluar dugaanku.”

“Hal ini adalah berkat petunjuk Beng-tayhiap, beliau telah mengajarkan suatu inti lwekang kepada kami berdua,” ujar Ci In-hong.

“O, jadi kalian sudah bertemu dengan Beng Siau-kang,” ujar Hoa Thian-hong.

“Beng-tayhiap sekarang berada di Long-sia-san, beliau juga terkenang kepda Suhu, maka tecu disuruh menyampaikan salam pada Suhu,” tutur In-hong, lalu iapun menceritakan pengalamannya tempo hari.

“Pantas jurus Lui-tian-kau-hong kalian ini sedemikian hebatnya, kiranya atas petunjuk Beng- tayhiap yang berharga.” Kata Hoa Thian-hong. “Cuma Thian-lui-kang bangsat she Yang itupun lain daripada yang lain, apakah kalian sanggup mengalahkan dia juga sukar dipastikan. Biarlah kalian tinggal beberapa hari lebih lama disini, akan kuajarkan ilmu pedangku ini kepada kalian, dengan gabungan ilmu pukulan dan ilmu pedang kalian untuk melawan Yang Thian-lui rasanya akan lebih memberi harapan untuk menang.”

Ilmu pedang yang diyakinkan Hoa Thian-hong agak luas dan ruwet, untung Ci In-hong dan Kok Ham-hi sudah mempunyai dasar yang kuat, maka untuk melatihnya tidak menjadi sukar. Setelah berlatih tujuh hari, dalam hal perubahan2 ilmu pedang itu sudah apal bagi mereka, untuk selanjutnya mereka boleh berlatih sendiri tanpa petunjuk sang guru.

Karena In-hong dan Ham-hi harus menuju ketempat Liu Tong-thian untuk menunggu kabar, maka mereka lantas mohon diri kepada Hoa Thian-hong.

Sebelum berpisah tiba2 Hoa Thian-hong ingat sesuatu, katanya kepada In-hong: “Karena sibuk mengajarkan ilmu pedang padamu, ada sesuatu urusan sampai lupa kukatakan padamu!” “Mohon Suhu memberi petunjuk,” sahut In-hong.

“Urusan ini menyangkut kehidupanmu, sebab sekarang usiamu sudah waktunya untuk berumah tangga,” kata Hoa Thian-hong. “Kau tidak punya ayah-ibu lagi, sebagai guru aku mesti memikirkan dirimu.”

Jantung Ci In-hong berdetak, baru saja ia hendak melaporkan kepada sang guru tentang hubungannya dengan Beng Bing-sia, ternyata sang guru sudah melanjutkan lagi. “Didunia persilatan ada seorang tokoh bernama Lau Han-ciang, dahulu terkenal dengan golok emasnya, sudah lama sekali dia mengasingkan diri, apakah kau pernah mendengar Locianpwe ini ?” Kembali In-hong terkejut, sahutnya: “Lau Han-ciang Locianpwe? Bukankah beliau mempunyai seorang putra bernama Lau tay-wi?”

“Benar, tentang perkenalanmu dengan Tay-wi dalam pasukan pergerakan juga sudah kudengar dari Lau Han-ciang,” sahut Hoa Thian-hong. “Haha, menarik juga kalau kuceritakan, memangnya aku dan Lau Han-ciang adalah sobat lama, kalau saja dia tidak datang kesini mencari diriku mungkin sampai saat ini aku tidak tahu bahwa dia tinggal berdekatan dengan tempat kita ini.”

“Ya, dari Lau-toako muridpun mendapat tahu bahwa tiga tahun yang lalu paman Lau pernah datang kesini untuk mencari suhu,” kata In-hong.

“Jika demikian, jadi antara guru dan murid kita sama2 ada hubungan baik dengan ayah beranak keluarga Lau, ini menjadi lebih2 bagus pula,” ujar Hoa Thian-hong sambil tertawa.

“Lebih2 bagus bagaimana?” tanya In-hong, dalam hati ia terkesiap, tapi pura2 tidak paham. Sembari mengelus jenggotnya yang panjang, pelahan2 Hoa Thian-hong menjawab: “Biar kau mengetahui saja bahwa Lau Han-ciang mempunyai seorang anak perempuan dan hendak dijodohkan kepadamu.”

Baru sekarang In-hong paham apa sebabnya Lau Tay-wi pernah minta padanya agar suka mampir kerumahnya untuk menemui ayahnya, bahkan sengaja menyebut adik perempuannya. Maka cepat2 ia berkata: “Suhu, soal ini “ akan tetapi saking gugupnya ia menjadi gelagapan malah.

Dengan tertawa Hoa Thian-hong berkata pula: “ Kebetulan sekali bahwa kaupun berkawan baik dengan Lau Tay-wi, segala urusan menjadi lebih bagus lagi. Tentang perjodohan ini aku telah bertindak sebagai wali bagimu dan menyanggupinya. Eh, memangnya kau merasa tidak suka?” ~ Baru sekarang melihat air muka muridnya itu berubah gugup dan gelisah.

Setelah tenangkan diri barulah In-hong berkata: “Tecu sudah yatim piatu, kalau Suhu menjadi waliku, mana murid berani membantah. Cuma “

“Ada apa?” tanya Hoa Thian-hong.

“Cuma murid juga sudah ada suatu persoalan yang perlu dilaporkan kepada suhu.” “Baik, persoalan apa, katakan saja!”

“Tecu dan putri Beng-tayhiap, nona Beng Bing-sia, sudah ….. sudah “

“apa, kau sudah menikah dengan putrinya Beng-tayhiap?” kata Hoa Thian-hong menegas dengan terkejut.

“Menikah sih belum, tapi sudah saling mengikat janji,” sehut In-hong, terpaksa ia menjawab terus terang dengan menahan malu. “Tecu tidak dapat mengingkari nona Beng, maka mohon Suhu suka memaafkan.” Hoa Thian-hong menghela napas, katanya kemudian: “ Sebenarnya akupun bersahabat baik dengan Beng-tayhiap, malahan aku pernah utang budi padanya, hubungan dengan dia boleh dikata lebih rapat daripada Lau Han-ciang. Cuma sayang, lau Han-ciang datang lebih dulu kesini dan aku sudah berjanji padanya. Orang persilatan seperti kita ini harus dapat pegang janji, apa yang telah kita katakan tidak boleh ditarik lagi, coba, bagaimana aku harus berbuat?”

Namun Ci In-hong sudah mencintai Bing-sia sepenuh hati, sebaliknya iapun tak dapat melupakan budi sang guru dan tak dapat membikin susah beliau. Setelah berpikir kemudian ia berkata: “Tecu dan Kok-sute segera akan menempur Yang Thian-lui dengan mati2an, menang kalah sukar diduga, maka soal perjodohan dengan pihak keluarga Lau ini mohon Suhu suka bicara dengan paman Lau agar ditunda untuk sementara.”

“Memang tiada jalan lain kecuali usulmu ini, tapi cara inipun cuma untuk mengulur waktu saja.” Kata Hoa Thian-hong. “Sudah tentu, kuharapkan tugas kalian akan terlaksana dengan lancar dan sesudah membereskan perguruan kita, rasanya akupun harus tetap pegang janjiku kepada pihak lain.”

In-hong merasa nada ucapan sang guru sudah rada kendur, paling tidak takkan paksa dia menikah dengan nona Lau yang belum dikenal itu. Maka katanya kemudian: “Baiklah bila kelak tecu berhasil melaksanakan tugas dengan selamat barulah kita bicarakan pula soal ini.”

Begitulah Ci In-hong dan Kok Ham-hi lantas mohon diri untuk berangkat dan persoalan itupun untuk sementara dikesampingkan dulu.

Disebelah selatan Pak-bong-san adalah padang belukar yang tiada penduduknya, mereka harus berjalan berpuluh li jauhnya baru melihat sebuah desa, tapi apa yang disebut “desa” tidak lebih hanya beberapa rumah keluarga pemburu saja. Sebaliknya disebelah utara pegunungan itu ada beberapa buah desa yang berpenduduk lebih padat. Koh-siong-cun tempat tinggal Lau Tay-wi itu adalah satu diantara desa2 itu. Antara selatan dan utara pegunungan itu dihubungkan dengan sebuah jalan kecil, untuk melintasi jalan ini tidak perlu mengitari gunung. Cuma jalan kecil ini jarang dilalui orang sehingga tumbuh lebat semak rumput, kalau belum kenal jalan ini sukar untuk menemukannya.

Mengenai perjodohannya dengan keluarga Lau meski untuk sementara dapat dikesampingkan, tapi didalam hati In-hong mau tak mau merasa tertekan, maka sepanjang jalan ia rada kesal.

Tanpa terasa mereka telah sampai dibatas jalan antara utara dan selatan gunung itu. Ci In-hong kenal jalanan itu, tiba2 terpikir olehnya: “Coba kalau tiada timbul persoalan yang merikuhkan ini, mestinya tiada halangan bagiku untuk mengunjungi ayah Lau-toako.”

Belum lenyap pikirannya, tiba2 tertampak dua penunggang kuda muncul dari balik tanjakan sana. Kedua penunggang kuda itu sedang celingukan kesana kemari dipadang belukar itu, ketika melihat Ci In-hong berdua, segera mereka percepat kuda mereka menuju kesini.

Kedua penunggang kuda itu berdandan sebagai Busu kerajaan Kim, tapi Ci in-hong sudah beberapa tahun bekerja di tempat Yang Thian-lui, maka ketika kedua orang itu sudah dekat, segera ia dapat melihat bahwa kedua orang itu adalah orang Mongol yang menyamar sebagai Busu negeri Kim.

Hati In-hong tergerak, diam2 ia berpikir untuk apa kedua Tartar ini berkeliaran dipadang belukar sini? Jangan2 orang yang mereka cari adalah guruku?”

Sesudah berhadapan dengan mereka, kedua Busu itu lantas menghentikan kudanya, seorang diantaranya lantas bertanya: “Kami hendak menuju Koh-siong-cun, numpang tanya arah mana yan gharus kami tempuh?” Bahasa Han yang digunakan terasa kaku, bahkan jelas terdengar logat Mongolnya.

Keruan In-hong terkejut, katanya didalam hati: “Kiranya mereka bukan mencari guruku. Mereka hendak menuju Koh-siong-cun, tak perlu ditanya lagi yang dicari pasti paman Lau adanya.”

Dalam pada itu Koh Ham-hi lantas menjawab dengan sikap dingin: “Ada urusan apa kalian pergi ke Koh-siong-cun?”

Busu tadi mengerut kening, agaknya mendongkol sekali, tapi rupanya ia dapat menahan perasaannya, lalu berkata pula: “Kalian cukup memberitahukan arah Koh-siong-cun saja, buat apa kau tanya urusan orang lain?” Untuk tujuan apa kedua Busu Mongol yang menyamar sebagai busu Kim itu datang ke Koh-siong- cun ?

Dapatkah Ci In-hong berdua mengenyahkan lawan2nya dan bagaimana kelanjutan tugas mereka dalam usaha mengalahkan Yang thian-lui di ibukota Kim ?
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar