Musuh Dalam Selimut Bab 09 : Teman Tidur Sudah Mengetahui

 
9. Teman Tidur Sudah Mengetahui

„Sudah tentu hamba tidak mampu menguasai seluruh kepandaian Toasuhu, paling-paling hanya tujuh atau delapan bagian saja," sahut Si-hiong.

„Bagus," seru Pan Kian-hau girang. „Dengan kepandaianmu itu saja sudah cukup untuk mengatur seperlunya pesawat- pesawat rahasia yang kita inginkan."

„Baiklah, aku setuju merombak semua pesawat-pesawat rahasia disini," kata Tiang-ci. „Si-hiong, aku memberi tempo satu hari padamu untuk menyiapkan rencananya, apa kau sanggup?"

Dengan rendah hati Si-hiong menerima tugas itu. Segera ia mulai mengadakan pemeriksaan setempat, lalu mengatur enam susun pesawat rahasia, di tengah pekarangan banyak diatur pula tali-tali yang digandengkan pada genta-genta, bila musuh datang dan salah langkah, seketika genta-genta akan berbunyi.

Wanyen Tiang-ci merasa puas akan rencana Loh Si-hiong itu, segera tukang-tukang dipanggil, malam itu juga pesawat- pesawat rahasia itu lantas dibangun dengan diawasi sendiri oleh Wanyen Tiang-ci.

Diam-diam Si-hiong sangat girang, setelah ganti pakaian semula ia lantas mohon diri untuk pulang.

Karena kerja keras, pulangnya rada terlambat. Sementara hari sudah remang-remang hampir gelap. Dilihatnya kereta kuda itu sedang menunggu di depan pekarangan, Beng Tiong- hoan tampak sedang mengantuk.

Tiba-tiba pikiran Si-hiong tergerak, pelahan-lahan ia mendekati Tiong-hoan, baru saja kusir itu membuka mata segera Si-hiong menepuk pundaknya dan menegur: „Maaf, kau menunggu terlalu lama".

Dengan menepuk pundak Beng Tiong-hoan diam-diam Si- hiong yakin bilamana pundak Tiong-hoan pernah terluka, maka dia pasti akan menjerit kesakitan. Sebaliknya kalau dugaannya keliru, paling-paling tepukannya itu akan dianggap sebagai tanda keakraban saja dan kusir muda itupun rasanya takkan marah.

Ternyata Beng Tiong-hoan tidak memberikan reaksi apa- apa, sikapnya tetap dingin saja, sahutnya acuh-tak-acuh: „Ah, tidak menjadi soal. Silakan naik. Hawa hari ini sangat gerah, maafkan hamba berlaku kasar."

Belum lagi Si-hiong paham apa maksud ucapan Beng Tiong-hoan itu, tiba-tiba Tiong-hoan sudah menanggalkan bajunya, pundaknya kelihatan dengan jelas, bekas luka sedikitpun tidak nampak.

Setelah melempit bajunya dan ditaruh di bawah tempat duduknya, kemudian Beng Tiong-hoan baru mengerudungi kepala Loh Si-hiong. Agaknya Beng Tiong-hoan sengaja memperlihatkan pundaknya kepada Loh Si-hiong.

Keruan Si-hiong merasa kikuk, sambil duduk di dalam kereta ia berpikir: „Rupanya aku sendiri yang terlampau curiga, mana bisa dia adalah 'si naga sembunyi' yang menggegerkan itu. Tentu iapun tahu aku sengaja menjajal dia, kini dia bertambah sirik lagi kepadaku."

Ditengah menggelindingnya roda kereta pikiran Loh Si- hiong juga sedang berputar. Pikirnya: „Bisa jadi orang yang terkena pisau Pan Kian-hau itu adalah yang wanita. Tapi siapakah yang wanita itu? Ai, apakah mungkin Ci-ma? — Tapi rasanya tidak bisa jadi. Jika Ci-ma, mengapa dia berada bersama dengan si 'naga' itu?"

Belum sempat Si-hiong menarik sesuatu kesimpulan sementara itu kereta sudah sampai di depan rumahnya.

Si-hiong tidak tahu apakah Hui-hong sudah mengetahui atau belum tentang munculnya, 'naga sembunyi' itu, bila tahu mungkin isterinya juga akan cemas. Dengan pelahan-lahan Si- hiong masuk ke kamarnya, waktu pintu dibuka pelahan, dilihatnya Hui-hong berduduk di depan meja rias seperti sedang termangu-mangu, tangannya memegang sebuah botol porselen kecil. Ketika mendengar suara buru-buru botol itu lantas disimpan seperti orang yang terkejut. Lalu ia berbangkit dan menyapa pulangnya Si-hiong.

„Aku pulang agak terlambat karena disana telah terjadi keonaran," tutur Si-hiong. Dengan sedikit pembukaannya itu Si-hiong menyangka isterinya pasti akan ketarik dan akan menanyakan lebih lanjut apa yang terjadi. Diluar dugaan Hui-hong ternyata acuh tak acuh, katanya: „Ada terjadi apa-apa bolehlah kau ceritakan besok saja. Siau-hiong keluar cacar air, aku rada kuatir, maka aku ingin mendampingi dia buat beberapa malam ini."

Siau-hong adalah puteri mereka yang baru umur setahun itu. Biasanya putera-puteri mereka itu ada mak inang yang menjaganya.

Si-hiong terkejut juga mendengar anaknya sakit, katanya:

„Hah, Siau-hong sakit cacar air? Marilah kita pergi melihatnya."

„Kau tentu sudah lelah, biarlah kau mengaso siangan saja," ujar Hui-hong. „Aku sudah mengambilkan obat menurut resep tabib keraton, tentu Siau-hong akan lekas sembuh, maka kau jangan kuatir."

Habis berkata ia terus mengunci sebuah laci yang baru saja dibuka, lalu keluarlah ke kamarnya Siau-hong.

Mendengar sakit puterinya Si-hiong menjadi tambah cemas, pikirnya: „Batas waktu sebulan hanya tinggal sepuluh hari saja. Jika usahaku berhasil segera aku akan pulang bersama Ci-ma dan untuk selanjutnya takkan dapat bertemu dengan putera-puteriku lagi."

Si-hiong bukan seorang yang lebih mementingkan rumah tangga daripada tugas, tapi cinta orang tua kepada anak adalah pembawaan manusia. Bila teringat dalam waktu singkat sudah akan berpisah dengan putera-puterinya yang disayang itu, mau tak mau timbul juga rasa beratnya. Namun ada hal lain yang membikin senang Si-hiong. Dia telah bekerja satu hari bagi Ong-ya untuk mengatur pesawat- pesawat rahasia di dalam Gian-keng-ih. Pikirnya: „Tadinya aku sedang sedih karena tak berdaya mencuri benda pusaka yang ditentukan itu, sekarang aku sendiri yang mengatur pesawat- pesawat itu, untuk memasuki kamar rahasia itu bagiku menjadi terlalu gampang seperti merogoh sakunya sendiri.”

Akan tetapi lantas terpikir pula: „Diluar dalam kamar rahasia itu walaupun terpasang pesawat-pesawat rahasia yang sudah kuketahui, tapi disamping itu pasti ada penjaga- penjaga, apalagi peraturan-peraturan disitu sangat keras, secarik kertas saja tak bisa dibawa keluar, lalu cara bagaimana aku dapat mengelabui mata telinga orang-orang yang berada disana? Jika menerobos dengan kekerasan rasanya juga melawan jago-jago yang begitu banyak, sedangkan 'naga' itu saja terluka, apa lagi diriku?"

Selagi memeras otak dan tak berdaya, tiba-tiba pikiran Si- hiong tergerak, pandangannya jatuh kearah laci yang tadi baru saja dikunci oleh Tokko Hui-hong itu. Biasanya laci itu selalu terkunci, anak kunci disimpan sendiri oleh Hui-hong, belum pernah Si-hiong membuka laci isterinya itu.

Untuk membuka laci yang terkunci itu adalah tidak sukar bagi Si-hiong. Dia mahir mengatur macam-macam pesawat rahasia, untuk membuka sebuah gembok atau kunci saja lebih pintar dia daripada tukang kunci biasa. Seadanya ia mengambil sepotong kawat dan dimasukkannya ke dalam lubang kunci, hanya sebentar saja ia berkutak-kutik laci itu lantas terbuka.

Waktu ia periksa isi laci itu, kiranya adalah macam-macam botol dan kotak (dos). Pikirnya: „O, kiranya ini adalah laci obatnya yang dirahasiakan padaku." Ia coba periksa botol-botol obat itu satu per satu.

Berdasarkan pengetahuannya terhadap ilmu pengobatan dengan mudah saja ia sudah dapat menemukan obat tidur yang digunakan isterinya untuk membius dirinya pada malam itu. Ia coba mencari obat pemunahnya dengan cara membaui sedikit obat tidur itu, lalu mengendus pula obat yang dia yakin pasti obat pemunahnya, dan betul juga, percobaannya itu telah berhasil dengan baik.

Si-hiong sangat girang, ia pikir obat tidur itu kebetulan akan dapat digunakan olehnya. Segera ia menuang sebagian obat tidur itu dan diisi ke dalam sebuah botol kosong, lalu dari beberapa botol obat lain yang warnanya sama dituangnya sedikit-sedikit dan dimasukkan ke dalam obat tidur itu sehingga tidak tampak banyak berkurang isinya, habis itu ia menaruh kembali botol-botol itu ke tempat semula dan laci itu dikunci kembali.

Alangkah senangnya Si-hiong sesudah berbuat demikian, ia berbaring ditempat tidurnya untuk merenungkan tipu daya yang baik guna mencuri pusaka.

<>

Saat itu Tokko Hui-hong sedang berada dikamar puterinya yang kecil itu dan secara rahasia tengah mengobati lukanya sendiri.

Dengan menghadapi sebuah cermin Hui-hong telah membuka baju sehingga kelihatan suatu jalur luka di atas pundaknya, darah sudah membeku. Setelah membersihkan noda darah Hui-hong telah membubuhi obat luka yang berasal dari keraton, obat luka mujarab pemberian raja Kim kepada Wanyen Tiang-ci, dan Hui-hong mendapat satu botol dari sang ayah. Saat itu Hui-hong sedang berpikir asalkan luka itu dibubuhi obat selama tiga hari tentu lukanya sudah sembuh, dengan demikian takkan kuatir diketahui oleh Loh Si-hiong.

Ditengah cermin seakan-akan terbayang wajahnya Beng Tiong-hoan. Hui-hong menjadi teringat kepada kejadian semalam yang sangat berbahaya, bila dibayangkan sungguh ia masih merasa ngeri. Kiranya orang yang terkena sambitan pisaunya Pan Kian-hau bukan lain daripada Tokko Hui-hong.

Semalam Beng Tiong-hoan telah masuk ke Gian-keng-ih untuk mencuri pusaka, tapi diketahui oleh Hui-hong dan diam- diam menyusulnya, dengan demikian barulah Beng Tiong- hoan dapat melarikan diri dengan selamat. Diam-diam Hui- hong merasa bersyukur pernah melihat petanya pada waktu Wanyen Tiang-ci membangun Gian-keng-ih. Kalau tidak biarpun kepandaian Beng Tiong-hoan setinggi langit juga sukar lolos dari tempat yang menyesatkan itu.

„Tapi untuk apakah Tiong-hoan masuk kesana dengan menghadapi risiko sedemikian besarnya?" demikian Hui-hong tidak habis mengerti. Jika karena ingin menjadi jago nomor satu di dunia ini rasanya bukanlah alasan yang mutlak. Tiba- tiba terkilas suatu pikirannya: „Jangan-jangan dia adalah 'si naga sembunyi' itu? Wah, jika benar, lantas apa yang akan kulakukan?"

Sudah tentu Tokko Hui-hong berharap Beng Tiong-hoan bukanlah 'si naga sembunyi' itu, tapi makin dipikir tanda-tanda mengenai hal itu makin mencurigakan.

Begitulah diantara suami-isteri dan kekasih lama itu masing-masing mempunyai rahasia sendiri-sendiri. Sementara itu batas waktu pencurian pusaka sudah makin mendekat. Pada malam hari terakhir, baru saja lewat tengah malam, kentongan berbunyi tiga kali, sesosok bayangan secepat terbang telah melintas keluar pagar tembok Gian-keng-ih yang tinggi. Orang ini bukan lain adalah Loh Si-hiong.

Malam ini tiada bulan dan bintang, keadaan gelap gulita. Keluar dari Gian-keng-ih dalam sekejap saja Si-hiong sudah menghilang di tengah rimba yang gelap.

Saat itu jago-jago Gian-keng-ih sudah tidur semua, mimpipun mereka tidak nyana bahwa menantu kesayangan pangeran yang paling berkuasa itu kini sudah melarikan diri dari Gian-keng-ih. Ya, bahkan Loh Si-hiong sendiripun tidak percaya bahwa dirinya akan dapat meloloskan diri dengan begitu gampang.

Setiba di dalam hutan yang lebat dan gelap itu, keadaan sunyi senyap tiada seorangpun. Ia menghela napas lega.

Saking gembiranya hampir-hampir Si-hiong bergelak tertawa puas. Ia merasa bersyukur karena usahanya telah berhasil dengan baik dan segera dia dapat pulang ke negeri asalnya.

Tanpa merasa tangannya meraba ke bagian dadanya sendiri, terasa jantung masih berdebar-debar, dimana tangannya menyentuh ada sesuatu yang menonyol. Kiranya di dalam bajunya itu terdapat 27 helai gambar Hiat-to-tong-jin serta sejilid kitab Lwekang tinggalan Tan Hu, kedua benda pusaka itu telah berhasil dicurinya semua.

Semalam ia pura-pura asyik mempelajari soal sulit yang dihadapkan padanya dari kitab Lwekang itu sehingga terpaksa mesti bermalam di Gian-keng-ih. Kejadian begini sebelumnya sudah pernah dilakukannya beberapa kali sehingga tiada seorangpun yang menduga bahwa pada malam inilah dia akan mencuri pusaka. Cara Si-hiong mengatur tipu muslihatnya cukup rapi, siangnya ia sudah suruh orang memberitahukan rumahnya, bahwa malamnya terpaksa menginap di Gian-keng-ih, kusir kereta itupun disuruh jangan memapak.

Walaupun cara mengatur rencananya itu sangat rapi, tapi secara begitu gampang dia berhasil melaksanakan rencananya sesungguhnya juga sangat diluar dugaan. Terbayang olehnya adegan kejadian tadi. Dengan dupa wangi ia telah membius para penjaga sehingga tertidur semua sebelum mereka tahu apa yang terjadi.

Pesawat-pesawat rahasia di kamar penyimpan pusaka itu adalah Si-hiong sendiri yang pasang, dimana digandeng dengan genta-genta tanda bahaya juga diketahui semua, maka dengan gampang saja ia dapat turun tangan, boleh dikata setanpun tidak tahu, maka dengan bebas ia dapat meloloskan diri keluar.

Pikir Si-hiong: „Sesudah mengisap asap dupa itu, para penjaga itu paling cepat baru akan sadar kembali besok pagi setelah matahari terbit. Hui-hong telah diberitahu bahwa aku bermalam di Gian-keng-ih, mungkin dia baru akan mencari diriku bilamana sampai lewat lohor masih belum nampak aku pulang. Tatkala mana, he..he, tentu aku sudah kabur jauh- jauh meninggalkan kotaraja Kim ini."

Gian-keng-ih itu dibangun di bukit Bwe-san di belakang keraton, sebelumnya Si-hiong sudah mengapalkan jalannya, biarpun mata tertutup juga dia dapat pulang pergi tanpa kesasar. Setelah keluar hutan, pada suatu kaki bukit pertama ia menemukan sebatang pohon cemara tua, di atas batang pohon itu ada sebuah gerowokan, segera Si-hiong menyembunyikan barang-barang curiannya itu di dalam lubang pohon. Apa yang dilakukannya ini sesuai perjanjiannya dengan Ci- ma. Pada kentongan keempat tepat Ci-ma akan datang ketempat ini untuk menerima pusaka curian itu. Dia berjanji pada kentongan keempat dengan Ci-ma sebab ia tidak menduga bahwa usahanya takkan berhasil dengan begitu gampang.

Menurut perhitungan mereka, dia tentu tak bisa kabur bersama-sama dengan Ci-ma, maka kedua macam pusaka itu harus dibawa lari lebih dulu oleh Ci-ma. Hal ini bukannya Ci- ma tidak percaya padanya, tapi adalah untuk menjaga kemungkinan kalau dikejar musuh.

Menurut jalan pikiran mereka, Ci-ma yang belum dikenal musuh tentu akan lebih gampang bergerak. Sesudah pencurian pusaka itu ketahuan, tentu Wanyen Tiang-ci akan mengerahkan segenap jago-jagonya untuk mengejar dan membekuk Loh Si-hiong sehingga risiko akan tertangkapnya Si-hiong sangat besar sebelum dia melarikan diri ke luar wilayah kerajaan Kim. Sebab itulah mereka berdua harus memisahkan diri dan pusaka yang telah berhasil dicurinya itu harus dibawa oleh Ci-ma.

Akan tetapi lantaran usahanya terlalu lancar melampaui perhitungan mereka sehingga Si-hiong lebih siangan sampai di tempat pertemuan yang telah dijanjikan dan Ci-ma masih belum muncul.

Si-hiong pikir daripada menunggu lagi satu jam sampai datangnya Ci-ma ada lebih baik dirinya menggunakan waktu yang lowong ini untuk berbuat sesuatu. Ia yakin gerowokan pohon tempat penyimpanan benda pusaka hasil curiannya itu tiada lain orang yang tahu kecuali dirinya dan Ci-ma. Setelah Ci-ma menerima benda-benda pusaka itu dirinya juga akan memisahkan diri untuk membelokkan perhatian musuh. Tapi kini hari belum terang, pintu gerbang kota belum dibuka, terang dirinya belum dapat lari keluar kota. Lalu kemanakah dirinya harus sembunyi malam ini?

Mestinya tempat yang paling baik untuk sembunyi adalah di sekitar pintu gerbang benteng kota, begitu terang tanah dan pintu gerbang dibuka segera dirinya dapat kabur dengan leluasa. Namun sekarang timbul suatu pikiran lain dalam benak Loh Si-hiong: „Sekali aku sudah meninggalkan kotaraja ini, seterusnya aku takkan kembali lagi kesini."

Sekali-kali Loh Si-hiong tidak merasa berat meninggalkan kotaraja Kim yang memberikan kedudukan tinggi dan kehidupan mewah itu, tapi disini terdapat rumah tangganya, ada isterinya, ada putera puterinya yang tercinta. Walaupun

„rumah tangga" ini dibangun diluar rencananya pada waktu ia ditugaskan mencuri pusaka ke kotaraja Kim ini, namun sudah selama lima tahun ia memupuk mahligai rumah tangga itu, betapapun sudah mempunyai perasaan erat. Sekalipun suami isteri mereka hidupnya cuma rukun dilahir dan berpisah dalam batin, tapi terasa rada berat juga terhadap Tokko Hui-hong yang hidup berdampingan selama lima tahun, pada saat harus berpisah untuk selamanya betapapun dirasakan agak sedih.

Lebih-lebih kedua putera puterinya yang kecil mungil itu benar-benar sukar untuk dilupakan.

„Selama beberapa tahun ini seluruh perhatianku terpusat pada rencana pencurian pusaka, pagi-pagi aku sudah berangkat ke Gian-keng-ih dan sampai malam baru pulang sehingga pada hakikatnya jarang sekali aku merasakan bahagianya orang berumah tangga, terhadap putera puteriku itupun aku tidak memberikan perhatian selayaknya. Sekarang Siau-hong sakit cacar air dan akupun belum sempat menjenguknya. Apakah aku mesti tinggal pergi dengan begini saja? — Tidak, sebelum berangkat betapapun aku harus melihat mereka dulu. Mungkin aku tidak sempat berbicara dengan mereka, tapi sekalipun mereka sudah tidur, asalkan aku dapat memandang muka mereka, maka perasaanku tentu tidak terlalu berat lagi meninggalkan mereka."

Begitulah setelah dipikir berulang kali, akhirnya Si-hiong mengambil keputusan akan pulang kerumah dulu. Mumpung hari belum terang, waktu untuk kabur masih cukup luang.

Andaikan nanti dirinya dipergoki Hui-hong juga dia sudah merencanakan kata-kata yang akan diucapkan kepada isterinya itu.

Sambil pikir tanpa terasa dia telah sampai di depan rumahnya. Ia tidak mengetok pintu, tapi melompat lewat pagar tembok dan diam-diam menuju ke kamar tidur puterinya. Dilihatnya Siau-hong sedang tidur dengan nyenyak, mak inang tidak kelihatan, juga Hui-hong tidak nampak.

Diam-diam Si-hiong merasa heran mengapa isterinya tidak menjaga disamping puterinya yang sakit itu. Tapi karena waktunya mendesak sehingga dia tidak sempat banyak berpikir. Pelahan-lahan ia mencium pipi puteri kecil itu.

Pada saat itulah sekonyong-konyong telinganya mendengar suara bisikan orang: „Kalunker-kuhinhap!"

Si-hiong terkejut dan cepat berpaling. Ternyata Tokko Hui- hong sudah berdiri di belakangnya dengan air muka tersenyum-senyum dan menatapnya dengan tajam.

Terpaksa Si-hiong menyapa dengan tersenyum ewa:

„Kiranya kau, Hui-hong. Nyata, betapapun aku tak bisa membohongi kau."

Kalimat "kalunker-kuhinhap" itu adalah bahasa Mongol yang berarti „kau mata-mata musuh". Kalimat ini pernah diucapkan Tokko Hui-hong ketika untuk pertama kalinya Hui- hong menyamar sebagai jago pengawal dan ditugaskan oleh Wanyen Tiang-ci untuk menguji Loh Si-hiong di kamar batu itu. Tatkala mana Si-hiong pura-pura tidak paham kata-kata Mongol itu sehingga dapat mengelabui Hui-hong dan Wanyen Tiang-ci. Sekarang sesudah mereka menikah selama lima tahun dan mendadak Tokko Hui-hong membisiki kata-kata itu pula, dengan sendirinya Si-hiong lantas tahu bahwa rahasianya sendiri terang sudah diketahui oleh isterinya itu.

Mestinya Si-hiong sudah menyiapkan serentetan kata-kata bohong yang akan diucapkan bilamana kepergok oleh sang isteri. Tapi kini ia sadar tiada dapat mengelabui Hui-hong lagi, terpaksa ia berkata pula dengan tersenyum kikuk: „Hui-hong, pulangku malam ini memangnya aku bermaksud memberi tahukan semua duduknya perkara padamu."

Tiba-tiba Hui-hong menggoyang tangan dan mendesis:

„Ssst, jangan keras-keras dan mengejutkan Siau-hong. Marilah ikut padaku, jangan takut. Asal kau bicara terus terang aku pasti takkan membikin susah padamu."

Si-hiong merasa lega. Ia ikut isterinya ke suatu kamar yang tersembunyi dibalik gunung-gunungan dan pepohonan yang lebat, kamar ini selamanya belum pernah didatangi oleh Si- hiong. Pikirnya: „Jika aku tidak dibawa kesini aku benar-benar tidak tahu bahwa di rumahnya sendiri masih terdapat sebuah kamar yang dirahasiakan seperti ini.”

Setelah menutup pintu kamar dari dalam, Hui-hong lantas berkata: „Kau tidak perlu menceritakan apa yang terjadi malam ini, semuanya aku sudah tahu. Apakah kau pulang untuk mengambil perpisahan untuk selamanya padaku?"

„Darimana kau tahu?" tanya Si-hiong.

„Sudah lama aku mengetahui siapa dirimu yang sebenarnya," sahut Hui-hong. „Diwaktu siang hari kau dapat menutupi dirimu dengan rapi. Cuma sayang, di waktu malam kau tak dapat mengelabui aku lagi. Bukankah kau pernah mengatakan belum pernah pergi ke Mongol. Tapi bila kau mengingau, yang kau ucapkan adalah bahasa Mongol yang tulen."

Diam-diam Si-hiong menyesalkan dirinya sendiri. Sebagai seorang agen rahasia yang telah digembleng, sungguh tidak nyana akhirnya toh bocor juga rahasianya melalui igauannya di waktu tidur.

Hui-hong lantas berkata pula: „Semula kami mencurigai kau adalah mata-mata musuh dari kerajaan Song selatan. Setahun kemudian aku baru mengetahui dirimu yang sebenarnya, kiranya kau adalah mata-mata dari Mongol."

„Mengapa setahun kemudian baru diketahui olehmu?" tanya Si-hiong.

„Setahun sesudah kita menikah terlahirlah Siau-hong, pada malam pertama kau menjadi ayah itulah, rupanya kau terlampau senang sehingga tanpa sadar kau telah mengingau. Cuma kaupun tidak sering-sering mengingau, selama beberapa tahun ini aku sudah kenal kebiasaanmu. Hanya diwaktu pikiranmu terlalu tegang atau perasaanmu terlampau girang barulah kau mengingau. Beberapa hari terakhir ini hampir-hampir setiap malam kau selalu mengingau."

Keruan Si-hiong terkejut. „Apa yang kuucapkan?” tanyanya.

Hui-hong tersenyum dan tidak lantas menjawab. Sejenak kemudian baru dia tanya: „Siapakah Ci-ma?"

Wajah Si-hiong menjadi merah, ia tahu tak bisa membohongi sang isteri lagi, terpaksa menjawab: „Dia adalah sobatku diwaktu masih kanak-anak, paling akhir dia ditugaskan kesini untuk membantu aku. Cuma, Hui-hong, harap kau percaya padaku, aku tidak pernah berbuat sesuatu yang kurang pantas terhadapmu."

Hui-hong menghela napas, katanya: „Perkawinan kita memangnya bukan keinginan kita sendiri, kita hanya seperti boneka yang didalangi. Seumpama dia adalah kekasihmu juga aku tidak menyalahkan kau.” Selang sejenak ia menyambung pula: „Cuma dari ingauanmu yang bertambah sering itu aku sudah menduga dalam waktu singkat kau tentu akan melakukan sesuatu. Malam ini kau tidak pulang, apa yang hendak kau lakukan juga sudah dalam perhitunganku. Sebab itulah tidak usah kau ceritakan padaku."

„Apakah telah kau laporkan kepada Ong-ya bahwa kau telah mengetahui rahasiaku?” tanya Si-hiong ragu-ragu.

„Jika kulaporkan, apakah malam ini kau dapat datang kesini dengan selamat?” sahut Hui-hong. „Ai, aku telah mengingkari budi kebaikan Ong-ya yang telah membesarkan diriku. Aku telah mengalami pertentangan batin yang hebat. Dengan sejujurnya biar kukatakan padamu bahwa sebabnya aku tidak berbuat sesuatu sekali-kali bukan demi kau, tapi adalah demi anak-anak kita ini.”

Baru sekarang perasaan Si-hiong benar-benar merasa lapang. katanya dengan terharu: „Hui-hong, kau telah merahasiakan diriku, betapapun juga selama hidupku ini aku akan senantiasa berterima kasih padamu."

Mendengar ucapan ini, hati Hui-hong rada-rada pedih juga. pikirnya: „Tapi, tapi aku toh sudah memberitahukan tentang dirimu kepada seseorang." Cuma ia tidak sampai menceritakan hal itu kepada Si-hiong. Katanya kemudian: „Si-hiong, ada suatu hal aku masih tidak paham. Cara bagaimanakah kau berhasil mengelabui Ong-ya sehingga dia mau percaya padamu. Padahal kau kan bukan putera pengawal pribadinya yang sudah gugur itu?"

„Ya, bukan, aku adalah palsu", sahut Si-hiong.

„Aku tahu kau adalah palsu, tapi justeru inilah yang membikin aku tidak paham. Dahulu waktu Ong-ya mengutus orang mencari kalian ibu dan anak, utusan itu jelas adalah kenalan baik Loh-taysiok (paman Loh, maksudnya ayahnya Loh Si-hiong yang dipalsukan itu), mengapa dia tidak mengetahui rahasia pemalsuanmu?"

„Meski utusan itu pernah melihat putera keluarga Loh, tapi tatkala mana anak itu baru berumur tiga tahun, dan waktu dia diutus mencarinya anak itu sudah berusia sepuluh tahun.

Dengan sendirinya anak yang berumur sepuluh itu adalah diriku. Asalkan Loh-taynio (nyonya Loh) mengaku diriku sebagai pureranya masakah utusan itu berani menaruh sesuatu curiga?''
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar