Musuh Dalam Selimut Bab 08 : Si Naga Sembunyi Muncul Di Dalam Istana.

 
8. Si Naga Sembunyi Muncul Di Dalam Istana.

Di waktu menjawab pertanyaan Si-hiong, tanpa merasa Hui-hong telah mengelakkan sinar mata Si-hiong yang tajam, terang apa yang dikatakan tidak benar seluruhnya dan mungkin hati kecilnya rada malu. Sebagai seorang yang cermat dan cerdik, sudah tentu Si-hiong dapat mengetahuinya.

Namun sedikitpun Si-hiong tidak memperlihatkan perasaannya, katanya dengan tersenyum: „0, kiranya begitu. Pantas selama ini kau tidak pernah bercerita padaku tentang dia.”

„Petugas-petugas di dalam istana berjumlah terlalu banyak, cara bagaimana aku bisa membicarakannya padamu satu per satu," kata Hui-hong dangan kurang senang.

„Ya, aku hanya tanya secara iseng saja, kau jangan marah," kata Si-hiong.

Tapi didalam hati ia dapat menduga ketidak wajaran air muka Hui-hong itu tentu disebabkan munculnya kembali Beng Tiong-hoan, tentu di antara mereka tidak cuma kenalan biasa saja. Tapi kalau dikatakan mereka mempunyai hubungan gelap rasanya sukar dipercaya pula. Sebab seorang pangeran muda seperti Wanyen Ting-kok saja tidak terpandang di mata Hui-hong, apalagi hanya seorang Beng Tiong-hoan? Jangan- jangan Beng Tiong-hoan adalah petugas yang dikirim Wanyen Tiang-ci untuk memata-matai dirinya, tapi Hui-hong tidak enak untuk memberitahukan terus terang padanya?

Begitulah Si-hiong merasa ragu-ragu dan penuh tanda tanya yang tak terjawab. Teringat kepada tugasnya sendiri, ia anggap penting untuk mengambil hati isterinya, tak peduli Beng Tiong-hoan itu siapa sebenarnya, sekalipun ada hubungan gelap dengan Hui-hong juga terpaksa dirinya akan berlagak pilon, pura-pura tidak tahu.

Malamnya pelayanan Hui-hong terhadap sang suami ternyata lebih mesra dari pada biasanya. Setelah bersantap malam lantas suruh Si-hiong lekas mengaso. Akan tetapi tanda-tanda tanya yang timbul dalam hati Si-hiong membuatnya membolak-balik tak bisa pulas.

Melihat suaminya tak bisa tidur, perasaan Tokko Hui-hong sendiri juga sedang bergolak. Mendadak ia bangun dan berkata: „Si-hiong, mungkin hari ini kau terlalu lelah dalam pekerjaanmu sehingga tak bisa pulas. Biar kutambahkan sedikit dupa wangi untukmu.”

Biasanya Hui-hong memang suka kepada bau wangi- wangian, diwaktu tidur sering ia membakar satu anglo kayu cendana yang wangi. Bau cendana mempunyai khasiat penenteram pikiran, maka dia mengatakan hendak membakar dupa itu bagi Si-hiong.

Si-hiong juga anggap biasa hal demikian itu, maka ia hanya mengiakan secara samar-samar saja.

Ketika asap dupa yang wangi terisap oleh Si-hiong, terasalah nyaman sekali dan benar juga pikirannya lantas mulai meriyap-riyap ingin tidur. Selagi ingatan Si-hiong melayang-layang akan lelap, samar- samar pikirannya tergerak, dirasakannya bau harum ini ada sesuatu yang tidak beres.

Sebagai seorang agen rahasia yang pernah mendapat gemblengan secara teliti dia pernah mempelajari berbagai macam obat bius. Maka sekarang iapun dapat memastikan bahwa bau wangi yang tercium sekarang pasti bukan bau kayu cendana wangi seperti kata Hui-hong tadi, tapi adalah sejenis dupa pembius yang bisa membikin orang tak sadarkan diri seketika.

Berdasarkan pengetahuan Loh Si-hiong-tentang obat pembius, walaupun ia tidak tahu jenis obat mana yang digunakan oleh Tokko Hui-hong, akan tetapi bau wangi itu adalah obat bius sudahlah pasti. Cuma sayang agak terlambat diketahuinya, baru saja pikirannya bergerak sudah tidak keburu lagi, hanya sekejap saja ia sudah tertidur nyenyak.

Dalam pada itu kusir muda yang, baru alias Beng Tiong- hoan, saat itu sedang mondar-mandir di tengah hutan di belakang istana Loh Si-hiong. Disitulah tempat yang pernah beberapa kali digunakan pertemuan gelap antara dia dengan Tokko Hui-hong.

Saat itu Beng Tiong-hoan sedang berpikir: „Sungguh bodoh aku ini. Sekarang mereka berdua tentu sedang berpelukan di tempat tidur mereka, mana Hui-hong mau ingat kepada hubungannya dengan aku di masa lampau? Mimpipun mungkin dia takkan teringat lagi padaku".

Tak terduga, belum lagi lenyap pikirannya tiba-tiba sesosok bayangan tampak berlari mendatangi dengan cepat. Di bawah sinar bulan dapat terlihat dengan jelas, siapa lagi yang datang itu kalau bukan orang yang senantiasa dirindukannya siang dan malam, Tokko Hui-hong. Kejut tercampur girang Beng Tiong-hoan. Tanpa merasa ia berseru: „Hui-hong, benar-benar kau adanya? Ai, mengapa kau berani keluar dengan menempuh bahaya begini?”

Hui-hong menghela napas, katanya: „Aku tahu engkau pasti sedang menunggu aku disini. Jika aku tidak datang menemui kau tentu hatiku takkan tenteram."

„Ai, Hui-hong, betapa terima kasihku kepadamu," kata Tiong-hoan dengan penuh haru. „Tapi aku tak boleh menodai nama baikmu, bila kedatanganmu ini diketahui suamimu tentu urusan bisa runyam. Lebih baik kau lekas kembali saja."

„Aku sudah menggunakan Hek-kam-hiang (obat tidur wangi) sekali pulas paling sedikit besok pagi sesudah matahari terbit barulah dia dapat mendusin, maka kedatanganku ini tidak mungkin diketahui olehnya,” sahut Hui-hong dengan suara pelahan.

„Bagaimana keadaanmu selama beberapa tahun ini?

Suamimu apakah cukup baik terhadap kau?" tanya Tiong- hoan.

Dengan rasa sedih Hui-hong memandang Tiong-hoan sekejap, lalu berkata dengan tunduk kepala: „Baik, cukup baik. Tapi kau tentu tahu bahwa di dalam hatiku telah terisi olehmu dan tidak mungkin digantikan oleh orang kedua. Aku, aku terpaksa menikah padanya. Tatkala itupun kau berada di Mongol dan tiada seorangpun yang dapat membantu aku."

Beng Tiong-hoan menghela napas, katanya: „Seumpama waktu itu aku berada disini juga tidak dapat membantu apa- apa padamu. Kau tentu tidak dapat mengecewakan jerih payah Ong-ya yang telah membesarkan kau selama ini, rasanya Ong-ya juga takkan sudi mengambil menantu seorang kusir kereta. Sudahlah, urusan yang sudah lalu tak perlu kita bicarakan lagi."

„Kenapa kau mau menjadi kusir keretanya, Tiong-hoan? Bukankah ini terlalu merendahkan derajatmu," tanya Hui- hong.

„Ini adalah permintaanku sendiri." sahut Tiong-hoan dengan tertawa. Sudah tiga hari aku pulang dan belum mendapat akal untuk bertemu dengan kau. Kebetulan saja Moa Sam telah mati."

„Aku tahu tindakanmu ini adalah karena diriku. Tapi hendaklah kau berlaku hati-hati. Dia juga seorang yang cerdik dan cermat."

„Apakah kau pernah membicarakan asal-usulku kepadanya?"

„Mana mau kukatakan padanya? Bahkan Ong-ya juga tidak tahu kau adalah orang Han."

„Tapi semuanya ini aku harus berterima kasih padamu, tanpa bantuanmu tidak mungkin Ong-ya mau percaya dan memberi tugas penting padaku selama ini.”

„Sungguh aku merasa menyesal telah mengusulkan kau diterima sebagai petugas di dalam istana. Semula, kukira kita dapat menunggu kesempatan baik untuk mohon Ong-ya mengizinkan perjodohan kita, siapa duga urusan menjadi runyam malah seperti apa yang terjadi sekarang."

Kiranya Beng Tiong-hoan itu adalah Tokko Hui-hong yang menariknya ke dalam istana, ia pura-pura bilang Beng Tiong- hoan adalah temannya sejak kecil dan atas pesan mendiang ayahnya agar Tiong-hoan dapat mengabdikan diri kepada negara, Tapi Hui-hong juga cuma tahu Beng Tiong-hoan adalah orang Han, sesungguhnya ia tidak tahu Tiong-hoan masih mempunyai tugas rahasia lain. Soalnya di dalam istana Kim tidak mungkin menggunakan petugas bangsa Han, maka Tokko Hui-hong memalsukan Beng Tiong-hoan sebagai bangsa Kim.

Begitulah maka Tiong-hoan telah menyawab: „Ya, sekarang akupun menyesal, sebaiknya aku tidak pulang kesini."

„Bagaimana keadaanmu di Mongol selama ini, kabarnya Ong-ya merasa sangat puas atas jasamu disana," tanya Hui- hong.

„Baik-baik saja aku di sana. Walaupun sedikit menderita, tapi tidak apa, aku memang suka bekerja bagi Ong-ya," kata Tiong-hoan. Tampaknya ucapannya itu belum habis dan ingin menambahkan sesuatu. Tapi setelah memandang sekejap Kepada Hui-hong tiba-tiba ia tidak meneruskan lagi.

Angin malam meniup. tiba-tiba terdengar suara keresakan.

Tanpa bicara lagi Beng Tiong-hoan melompat ke atas sebatang pohon. Tapi suasana tampak tenang-tenang saja, sang dewi malam menghias di tengah cakrawala dikelilingi bintang-bintang yang berkelap-kelip, tapi tiada terdapat bayangan seorangpun.

Sesudah Beng Tiong-hoan meloncat turun kembali, dengan tertawa Hui-hong berkata: .,Mungkin kau terlalu bercuriga.

Padahal dia sudah tidur nyenyak, di tempat ini rasanya tiada orang yang berkepandaian tinggi lagi. Apalagi dalam saat demikian masakah ada orang datang kemari?"

Namun Tiong-hoan masih bersangsi, katanya: „Malam ini mungkin benar-benar ada kedatangan orang pandai. Cara hubungan kita ini pada akhirnya tentu akan diketahui olehnya."

„Aku paham," sahut Hui-hong dengan menghela napas

„Akupun ingin menyatakan padamu bahwa di dalam hatiku sebenarnya cuma terisi olehmu. Akan tetapi sekarang aku sudah punya putera-puteri. Aku cinta padamu, tapi akupun cinta mereka. O, Tiong-hoan, harap kau memaafkan aku. Jika aku tidak punya anak tentu aku akan lari minggat bersama kau.”

„Sudahlah Hui-hong, boleh kau pulang saja. Untuk selanjutnya aku takkan mencari kau lagi.”

„Kau tidak marah padaku bukan?"

„Aku malah berterima kasih padamu, terima kasih padamu karena tanpa menghiraukan apapun malam ini kau sudi keluar menemui aku. Dengan pertemuan ini sudah cukup menghilangkan segala deritaku. Aku memujikan bahagia rumah tanggamu dan jangan memikirkan diriku lagi.”

Dengan berlinang-linangkan air mata Tokko Hui-hong melangkah pergi, tapi baru dua tiga tindak mendadak ia menoleh dan bertanya pula: „Apakah kau mempunyai sesuatu keinginan yang memerlukan bantuanku?"

„Aku sudah sangat banyak menerima bantuanmu, sungguh aku sangat berterima kasih, pulangku kali ini hanya karena ingin bertemu satu kali pula dengan kau dan tiada harapan lain,” demikian sahut Tiong-hoan. Tapi diam-diam membatin di dalam hati: „Maafkan Hui-hong bahwa aku tak dapat memberitahukan cita-citaku sesungguhnya. Hal inipun kau tak bisa membantu. Ada lebih baik kau tidak tahu daripada mengetahui." Kembali Hui-hong menghela napas pelahan, katanya:

„Baiklah, aku akan kembali, harap kau menjaga diri baik-baik.”

Sekali ini dia benar-benar melangkah pergi. Angin meniup dingin dan ranting pohon berderak, rembulan guram tertutup oleh mega seakan-akan sedang menyatakan simpatik mereka kepada sepasang kekasih yang tidak beruntung ini.

Dalam keadaan pulas Loh Si-hiong sendiri tidak tahu sudah lewat berapa lamanya, ketika tiba-tiba terasa sesuatu yang menyejukkan, dengan cepat ia lantas mendusin. Dilihatnya disebelahnya telah berduduk seorang wanita. Wanita itu sedang menunduk dan memandang padanya.

Baru saja Si-hiong bermaksud menyapa sebab dikira isterinya, tapi ia menjadi terkejut ketika diketahui bahwa wanita itu bukanlah Tokko Hui-hong, segera ia berseru: „He, Ci-ma, kau?"

Gadis Ci-ma ini tak lain tak bukan adalah kekasihnya sejak masa remaja, selama lima tahun ini ia tetap menyembunyikan rahasianya itu walaupun perasaannya sangat merindukan nona itu.

„Kau tidak mengira aku akan datang mencari kau bukan?" tanya Ci-ma dengan tertawa.

Untuk sejenak Si-hiong celingukan kian kemari, lalu bertanya dengan ragu-ragu: „Dimanakah Hui-hong?"

„Baru bertemu dengan aku yang kau tanyakan adalah isterimu, apakah kau tidak merasa rikuh kepadaku?" sahut Ci- ma dengan tertawa. Sifat Ci-ma ternyata lebih periang, sama-sama mengalami kegagalan asmara - kekasih lama telah menikah dengan orang lain, tapi dia ternyata tidak sesedih seperti Tokko Hui-hong.

Si-hiong kenal watak Ci-ma, dengan tersenyum pahit ia berkata: „Ci-ma, kau tentu tahu bahwa perkawinanku ini adalah terpaksa masakah kau masih tega bergurau padaku?"

„Aku tahu, aku tidak menyalahkan kau. Bahkan aku ingin memberi selamat kepadamu. Jika kau tidak menjadi menantu pangeran yang paling berkuasa disini mana bisa kau masuk ke Gian-keng-ih untuk melakukan tugasmu? Pula isterimu itupun serba bagus, apalagi yang akan kau cari?

Ini bukan kelakar, sesungguhnya Hui-hong berada di mana?" kata Si-hiong. Ia rada kuatir kalau-kalau Ci-ma membunuh Tokko Hui-hong. Sebagai suami-isteri selama lima tahun, betapapun juga sudah timbul kasih sayangnya. Pula jika dia kehilangan Tokko Hui-hong berarti dia kehilangan sandaran dan usahanya tentu bisa runyam setengah jalan.

„Kau jangan kuatir, masakah aku sampai hati menciderai isterimu sehingga kau menjadi duda?" ujar Ci-ma dengan tertawa.

„Tapi kemanakah dia dan cara bagaimana kau masuk kemari?" tanya Si-hiong. Betapapun ia kuatir juga bilamana kedatangan Ci-ma sampai dipergoki Hui-hong.

Diam-diam Ci-ma membatin isterimu sedang menemui kekasihnya yang lama dan sekarang akupun datang menemui suaminya. Cuma ia tidak ingin Si-hiong mengetahui pertemuan Hui-hong dengan Beng Tiong-hoan agar tidak menambah kusut pikirannya. Maka dengan mengerut kening ia berkata:

„Sudahlah, kau tak perlu menguatirkan dia. Dalam waktu singkat rasanya iapun takkan kembali kesini. Aku ingin tanya padamu bagaimana hasil usahamu selama beberapa tahun ini menyelidiki Hiat-to-tong-jin serta Lwekang tinggalan Tan Hu yang telah kau yakinkan itu?"

„He, dari mana kau bisa tahu?" tanya Si-hiong heran.

„Jika Lwekangmu tidak jauh lebih maju daripada dulu rasanya kau takkan begini cepat siuman kembali biarpun aku memberi obat pemunah padamu."

„Tapi, Ci-ma, kau belum memberitahukan padaku apa tujuan kedatanganmu ini?"

„Bagaimana dengan kedua macam benda itu? Sudah kau dapatkan belum?"

Si-hiong menggeleng: „Masih jauh. Walaupun ada sedikit hasil penyelidikanku, tapi gambar-gambar patung tembaga yang kulihat baru ada tujuh lembar. Malahan pelajaran Lwekang itu baru hari ini aku mulai membacanya."

„Itu tidak boleh jadi. Dalam satu bulan kau harus mendapatkan kedua macam benda itu. Ini adalah perintah."

„0, kiranya kau dikirim kemari sebagai pembantuku?"

„Tidak dapat dikatakan sebagai pembantu. Tapi aku datang untuk menerima barang yang harus kau peroleh itu."

Begitulah secara tergesa-gesa Ci-ma memberitahukan seperlunya cara-cara berhubungan bilamana mendadak diperlukan, lalu katanya: „Aku tak bisa, tinggal lama-lama disini, aku akan segera pergi. Lekas kau berbaring lagi dan jangan sampai dicurigai oleh isterimu."

Benar juga, tidak lama Ci-ma berangkat Tokko Hui-hong sudah kembali ke kamar. Ketika melihat suaminya masih tidur nyenyak, tanpa merasa ia menghela napas, wajahnya yang pucat menampilkan senyuman getir.

<>

Sang tempo berlalu dengan cepat, tanpa merasa kusir baru itu sudah melakukan tugasnya selama 20 hari atau dengan lain perkataan, batas waktu yang diberikan oleh Ci-ma kepada Loh Si-hiong sudah berlalu dua pertiga bagian.

Siang dan malam Loh Si-hiong selalu cemas dan gelisah karena belum memperoleh sesuatu jalan untuk memperoleh kedua macam benda pusaka, sebab gambar-gambar lengkap Hiat-to-tong-jin dan kitab Lwekang ciptaan Tan Hu itu semuanya tersimpan di dalam kamar rahasianya Wanyen Tiang-ci, bahkan di mana letak kamar rahasianya saja selama ini masih belum diketahui oleh Loh Si-hiong, dan betapa kerasnya penjagaan disana tentulah dapat dibayangkan.

Seperti biasa pagi itu Si-hiong berangkat ke Gian-keng-ih.

Tak terduga, baru saja ia turun kereta dan membuka kerudung kepalanya segera ia dihadapkan kepada suatu kejadian yang menggetarkan perasaan.

Kiranya di dinding gedung itu ada lukisan seekor naga, saat itu ada tukang batu sedang sibuk mengapur dan bagian ekor naga itu sudah terkapur lenyap sebagian. Penjaga-penjaga juga telah bertambah dari empat orang menjadi delapan orang.

Dengan kejut-kejut heran segera Si-hiong menarik seorang penjaga untuk ditanya: „Apakah si naga sembunyi itu telah muncul disini?"

„Ya, hebat benar kejadian semalam disini," sahut penjaga itu. Cuma waktu kami berdinas kemari keadaan sudah aman kembali sehingga seluk-beluk yang jelas hamba tidak mengetahui."

Tapi seorang penjaga lain segera menyambung: „Wah, agaknya Loh-ciangkun belum mengetahui bahwa dua jago tertinggi kita disini kabarnya telah tewas di tangan naga tak kelihatan itu."

Sampai disini tiba-tiba terdengar suara Wanyen Tiang-ci sedang marah-marah di ruangan dalam. Segera penjaga tadi berkata pula: „Ong-ya sedang gusar. Harap Loh-ciangkun lekas masuk ke dalam dan coba membujuk Ong-ya, kalau tidak mungkin kami kaum hamba ini bisa celaka."

Cepat Si-hiong mengganti pakaian seperti biasanya, lalu masuk ke ruangan dalam. Dilihatnya Wanyen Tiang-ci sedang marah dan mendamperat: „Kalian sebanyak ini apakah cuma tukang gegares saja? Masakah seorang musuh saja tidak mampu menangkapnya?"

Pan Kian-hau tampak berdiri disamping dengan serba salah, dengan suara lemah ia menjawab: „Ya, memang hamba sekalian tak becus semua sehingga membikin Ong-ya marah. Tapi 'naga sembunyi' itu sesungguhnya teramat lihay, sampai- sampai Hong-lothau dan Ki-loji juga terbunuh olehnya."

Hong-lothau atau sikakek she Hong adalah orang tua yang melempar-lemparkan biji catur pada hari pertama datangnya Loh Si-hiong dahulu itu. Adapun Ki-loji atau si kakek kedua she Ki adalah orang yang menyambit tawon dengan jarum halus itu.

Saat itu kedua kakek lihay itu sudah mati semua, jenazah mereka telah dimasukkan ke dalam peti dan tunggu perintah dikubur saja. Keruan Si-hiong terkejut dan jeri pula. Pikirnya: „Kedua kakek lihay ini sekaligus kena dibunuh oleh 'naga sembunyi’ itu, jika aku yang kepergok bukan mustahil jiwaku pun akan melayang.”

Pan Kian-hau adalah wakilnya Wanyen Tiang-ci, kedudukannya sangat tinggi, hubungan mereka berdua juga mirip sahabat, maka sesudah marah-marah akhirnya Tiang-ci sendiri merasa tidak enak. Segera ia berkata pula: „Kian-hau, akupun tahu kau telah berusaha dengan sepenuh tenaga.

Sesungguhnya akupun harus bertanggung jawab karena lalai mengadakan penjagaan lebih kuat. Jika semalam aku berada disini rasanya takkan membiarkan musuh lolos begitu saja."

„Ya, Ong-ya adalah jago nomor satu dari kerajaan Kim kita, jika Ong-ya berada disini biarpun musuh punya sayap juga takkan bisa kabur," demikian umpak Pan Kian-hau dengan tersenyum. „Cuma setiap hari Ong-ya terlalu sibuk dengan urusan-urusan negara, betapapun pentingnya Gian-keng-ih ini juga tidak dapat meminta pengawasan Ong-ya sendiri."

Pan Kian-hau cukup kenal watak Wanyen Tiang-ci yang suka unggul, tapi sudah tentu dalam kedudukannya yang maha penting itu tidak mungkin Wanyen Tiang-ci dibiarkan turun tangan untuk menghadapi 'si naga sembunyi', makanya Kian-hau sengaja mengucapkan kata-kata umpakan tadi.

Kata-kata Pan Kian-hau yang luwes itu ternyata sangat mencocoki selera Wanyen Tiang-ci, ia manggut-manggut dan berkata: „Benar. Lantaran aku sendiri tak dapat berjaga disini, tapi kuatir dikacaukan lagi oleh musuh itu, maka aku merasa serba salah. Kian-hau, bagaimana kalau kita mencari beberapa orang kuat dan dapat dipercaya untuk ikut berunding mengenai persoalan ini." Saat itulah Si-hiong telah maju memberi hormat kepada Wanyen Tiang-ci dan Pan Kian-hau lantas mengusulkan kepada Wanyen Tiang-ci agar tenaga Si-hiong diikut sertakan.

Diam-diam Si-hiong sangat girang, tapi lahirnya ia merendah diri dan pura-pura menolak.

Namun Wanyen Tiang-ci lantas berkata: „Si-hiong, kita adalah orang sendiri, selama ini akupun mempercayai kau, maka bolehlah kau terima saran Pan-tayjin."

Menyusul Pan Kian-hau mengajukan beberapa orang calon pula, dua orang diantaranya adalah jago yang semalam ikut mempergoki jejak ‘si naga sembunyi’ itu.

Setelah disetujui Wanyen Tiang-ci, segera Pan Kian-hau mengumpulkan jago-jago kepercayaan itu untuk ikut berunding ke kamar rahasianya Wanyen Tiang-ci. Dikamar rahasia inilah Wanyen Tiang-ci menyimpan gambar-gambar Hiat-to-tong-jin serta kitab Lwekang pusaka.

Ternyata kamar rahasia itu dibangun di tengah dua buah gunung-gunungan buatan, kedua gunung itu berhadapan sehingga berbentuk suatu selat buatan. Pada bagian jalan masuk selat itu ada tiga susun alat rahasia. Dibagian dalam terpasang pula tiga susun alat rahasia yang lain. Namun tiga susun perkakas rahasia bagian luar serta kedua susun pertama bagian dalam itu ternyata, sudah dirusak oleh ‘si naga sembunyi’ semalam.

Dari bekas-bekas pesawat rahasia itu, antara lain ada jaring tembaga yang telah ditabas putus talinya, ada pula bandul raksasa yang terhenti di atas dan belum anjlok ke bawah, semuanya itu masih berada dalam keadaan semula, untuk menunggu pemeriksaan Wanyen Tiang-ci sendiri. Diam-diam Si-hiong terkesiap menyaksikan pesawat- pesawat rahasia yang lihay itu, pikirnya: „Jangankan kamar rahasia ini sukar diketemukan, sekalipun dapat diketemukan juga aku merasa tidak mampu memasukinya."

Sesudah mengambil tempat duduk masing-masing di dalam kamar rahasia itu, segera Wanyen Tiang-ci mulai bicara:

„Coba silakan Kian-hau menuturkan dulu peristiwa semalam secara jelas. Apakah jejak 'naga' itu telah kalian ketemukan? Sesungguhnya bagaimana orangnya?''

Salah seorang dari kedua jago pengawal yang menyaksikan semalam itu lantas berkata: „Waktu kami memburu tiba, kami mendengar jerit ngeri Hong-lothau dan Ki-loji berdua. Cepat- cepat kami memburu masuk untuk menolong Hong dan Ki berdua yang sudah menggeletak di lantai sehingga kami tidak sempat mengejar musuh."

Diam-diam Wanyen Tiang-ci dapat menduga kedua orang itu tentu jeri kepada ‘naga sembunyi’ yang lihay itu, sedangkan Hong dan Ki yang berkepandaian paling tinggi juga terbunuh, maka ketakutan mereka, itupun tak bisa disalahkan.

Namun ia, tidak mau mencela perbuatan kedua jago pengawal itu, segera ia tanya pula: „Dan sebelum menghembuskan napas penghabisan apakah Hong-lothau dan Ki-loji ada meninggalkan ucapan apa-apa?"

„Ketika kami hendak mengangkat mereka, ternyata napas mereka sudah putus," sahut orang tadi.

„Larinya musuh sungguh amat cepat, cuma kami masih sempat melihat dua sosok bayangan yang lenyap dalam kegelapan dibalik gunung-gunungan sana,'' sambung kawannya. „Hah, jadi ada dua orang?'' Wanyen Tiang-ci menegas.

„Benar, selain si ‘naga' yang jelas adalah seorang laki-laki, seorang lagi adalah wanita," kata Pan Kian-hau. „Tadi hamba belum sempat melapor kepada Ong-ya “

„He, jadi kau telah melihat mereka,'' seru Wanyen Tiang-ci terkejut tercampur girang.

„Tapi sayang aku hanya dapat membedakan mereka dari bayangan belakang saja, bahwa satu di antara mereka memang jelas adalah kaum wanita," sahut Kian-hau,

„Untunglah hamba masih sempat memburu maju dan menyambitkan sebilah pisau dan rasanya satu diantara mereka ada yang terkena seranganku itu."

„Yang laki-laki atau yang perempuan?" tanya Tiang-ci.

„Waktu itu mereka baru hendak menghilang dibalik semak- semak sana dan pisau itu keburu kulemparkan. Terdengar suara mengaduh seorang, tapi entah yang mana. Cuma dari suaranya boleh jadi adalah yang laki-laki, jadi 'naga' itulah yang terkena pisauku. Kalau tidak kena kepalanya tentulah kena bahunya."

„Karena mereka masih dapat melarikan diri, tentu yang terluka adalah bahunya," ujar Wanyen Tiang-ci. „Tapi bagus juga, seranganmu yang mengenai sasarannya itu telah memberi suatu lubang pencarian yang baik."

„Agaknya ‘naga' itu sangat paham dengan jalanan-jalanan Gian-keng-ih, kalau tidak tentu takkan begitu mudah lolos dari sini," kata Pan Kian-hau.

Harus diketahui bahwa di dalam Gian-keng-ih itu dibuat sedemikian rupa sehingga di mana-mana dan benda apapun seperti pepohonan, gunung-gunungan, semuanya dapat menyesatkan orang. Bahkan penghuni-penghuni Gian-keng-ih sendiri seringkali juga kesasar.

„Benar, makanya kita harus lebih waspada," kata Wanyen Tiang-ci. „Apakah antara kalian ada usul yang baik?"

„Tempat tujuan 'naga' itu adalah kamar rahasia ini, maka menurut pendapatku kita pertama-tama harus mengganti alat- alat rahasia disini dahulu," usul Si-hiong.

„Benar. Toasuhumu tidak melulu mahir ilmu silat, beliau juga pintar mengatur macam-macam pesawat rahasia. Apakah kau telah menguasai kepandaiannya itu?" tanya Wanyen Tiang-ci.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar