Menuntut Balas Jilid 18 : Pengampunan sang guru

Jilid 18 : Pengampunan sang guru

MENDENGAR disebutnya Lo sam, ialah In Gak. matanya kedua nona bersinar pula, Mereka lantas mengawasi tajam dan mendengari dengan seksama.

"Sebenarnya aku datang kemari dari Celam bersama sama Lo Sam," Siauw Thian memberi keterangan, "Di tengah jalan kita berpisah, Lo Sam kata dia hendak mengurus sesuatu dulu dan aku diminta lekas berangkat ke mari." Aku percaya Lo Sam tidak bakal ayal-ayalan dan dia akan tiba di sini besok atau lusa. Asal dia tiba, pasti urusan akan dapat diselesaikan-"

Lian cu dan Goat Go girang bukan main- jadi besok atau lusa, mereka tak usah berduka atau berkuatir lagi, setibanya In Gak. urusan akan beres...

Hong Piu masih tetap berkuatir dan berduka, dia menjadi bingung, hingga dia tak dapat berpikir tenang seperti biasa, Dia minta Siauw Thian lekas menulis surat ke Yan-khia supaya surat itu dapat segera dikirim.

Kim Kiauw ciu mengerti keadaan, maka ia lantas menulis suratnya itu. Yap Seng suka bekerja, ia mengajukan dirinya sebagai pembawa surat, maka berangkatlah ia segera.

XXX

Hawa dingin di Utara biasa saja untuk penduduk Utara, tidak demikian bagi orang asing asal Selatan yang baru tiba di Utara, apa pula hawa udra di waktu malam. Sukar orang lantas dapat tidur pulas, selalu telinga mereka diganggu deru angin yang menyerang rumah sampai seperti bergoyang- goyang, yang menyerbu jendela hingga kerasnya yang tercelup minyak menjadi berbunyi- bunyi perlahan tapi berisik... Demikian dengan Lian cu dan Goat Go, yang tidur dalam sebuah kamar. Mereka tidak segera dapat tidur pulas. Mata mereka meram, hati mereka bekerja. Hati mereka tidak tenteram, entah karena girang atau lantaran berkuatir, In Gak bakal datang, tetapi masih belum tiba, hingga tak ketahuan dia masih berada di mana....

Dalam saat berisik yang wajar ini, mendadak ada satu suara pada daun jendela. Berisiknya sang angin tak dapat menyarukan suaranya, kedua nona menjadi terperanjat, hampir berbareng keduanya lompat turun dari atas pembaringan guna memasang mata dan telinga. 

Mereka tidak mendengar suara lainnya lagi akan tetapi mereka lompat pula ke belakang pintu, Lian cu mengulur sebelah tangannya untuk membuka pintu itu. Maka keduanya dapat lantas pergi ke luar.

Di samping angin meniup keras, sang malam gelap sekali, Sukar untuk melihat jauh ke depan, kedua nona itu pun terganggu sampokan salju, hingga mereka sukar membuka mata mereka.

"Mari kita mencari dengan bantuannya cahaya pedang" Goat Go berbisik di kupiug Lian Cu.

Nona Tio lagi memikir daya ketika ia mendengar kisikan itu. "Bagus" serunya perlahan

Hampir berbareng, kedua nona menghunus pedangnya masing-masing. Suara kedua pedang terdengar nyata dan sinarnya pun lantas berkelebat. Di dalam jarak tiga kaki di sekitarnya mereka lantas dapat melihat terang. Mereka terus berendeng, mereka maju bersama,

"Siapa? "mendadak terdengar bentakan nona Tio. ia pun segera berlompat ke kanannya. Goat Go turut berlompat, hingga pedang mereka berkelebat bersama.

Mendadak tampak berkelebatnya sesosok tubuh yang besar dan gesit, sembari menghilang di tempat gelap. orang itu mengasih dengar suara-nya: "Budak- budak perempuan yang lihay"

Kedua nona tidak menyangka orang demikian lihai, tapi mereka tak kuatir, mereka

lompat menyusul. Tengah mereka berlompat itu, mereka mendengar tertawanya Lui Siauw Thian, yang berkata nyaring: "Kunyuk. dapatkah kau terbang ke langit?" Bentakan itu disusul dengan satu jeritan kesakitan-

Tatkala Lian cu berdua Goat Go menyusul sampai di dekat Siauw Thian, mereka melihat Kian Kun ciu tengah mengempit tubuhnya satu orang.

Dia tertawa dingin, Tatkala dia melihat kedua nona, dia kata: " Nona- nona, malam ini bangsat yang datang berjumlah tak sedikit, maka itu pedang kamu ceng Hong dan Ki hwat dapat diberi ketika untuk membuktikan kelihayannya."

"Di mana adanya kawanan bangsat itu?" Goat Go tanya. "Mari nona-nona turut Lui Lo Ji" Siauw Thian berkata.

Suasana tegang tapi dia dapat bergurau Dengan masih memegangi tubuh tawanannya dia berlompat ke depan, untuk terus berlari.

Kedua nona lari mengikuti.

Sang angin tetap menderu tak mau berhenti mendatangkan lempengan-lempengan es, Di dalam keadaan seperti itu, di siang hari juga sukar orang melihat apa-apa, apa pula di waktu malam gelap. Siauw Thian maju terus, begitu pun kedua nona, yang mengandaikan sinar pedangnya. Mereka maju tanpa mengenali arah timur atau barat, selatan atau utara, Hawa dingin sekali me-resap ke tulang-tulang.

Siauw Thian kesusul kedua nona dan kena dilewati, dia menjadi ketinggalan-"Lui Losu, di mana si penjahat?" mereka itu tanya. "Tak dapat kita maju tanpa arah"

siauw Thian berdiam, Baru sekarang dia menduga, Tentu sekali tak gunanya maju terus kalau musuh tak nampak. "Mari kita kembali, kita menunggu di rumah" katanya kemudian. Sekarang ia mengerti, mereka bisa mati beku kalau mereka maju tidak karuan juntrungannya. Kedua nona menyahuti, mereka lantas kembali.

Tiba-tiba terlihat bergeraknya sebuah tubuh di depan mereka, bagaikan elang menyambar.

"Siapa?" membentuk siauw Thian, dia menolak dengan kedua tangannya. Orang itu mencelat tinggi "Lui Losu?" dia menanya.

Kian Kun ciu melengak. Segera ia menarik pulang kedua tangannya. orang itu turun, dia tertawa lebar.

"Sudah lama kita berpisah Apakah Lui Losu baik?" dia tanya.

Siauw Thian mengawasi dengan meminjam sinar pedang kedua nona.

"Oh, Saudara Ce." serunya girang, " kenapa kau pun datang ke mari?"

Orang itu tak lain tak bukan ialah Kauw-ciu Kun Lun Ce Hong, imam dari kuil chin su di Thaygoan, Dialah yang dulu hari terkenal sebagai maling-maling yang mulia hatinya, sekarang dia dandan sebagai seorang biasa.

"Aku tidak sangka luka Losu dapat sembuh begini cepat" katanya tertawa pula. Kian Kun ciu heran-

"Kenapa saudara ce ketahui lukaku?" ia tanya. Ce Hong menatap.

"Mari kita bicara di dalam" dia mengajak.

Siauw Thian akur, Berempat mereka masuk ke dalam rumah, Di ruang besar, api dipasang terang-terang, Di sana tampak Hong Piu dan Kim Go duduk dengan roman berduka, pakaian mereka bertitikan darah. Melihat Siauw Thian semua, mereka lantas menyambut.

"Kalau terus terusan begini, sungguh hebat." kata Hong Piu masgul, alisnya berkerut ia heran ketika ia melihat Ce Hong.

Lekas ia menanyai "Siapakah tuan ini?" Siauw Thian bersenyum ia menyebut namanya Ce Hong.

Hong Piu dan Kim Go memberi hormat. Ke-duanva menyatakan girang dengan penemuan ini. Ce Hong mengawasi tajam.

"Sudah lama aku mendengar nama jiwi yang aku buat kagum," ia berkata.

"Kebetulan aku kenal baik pada Cia siauwhiap. maka itu aku sengaja datang kemari." ia menoleh kepada Siauw Thian dan meneruskan: "Setelah berpisah di chin Su, aku pergi ke Pok Ke Po. Aku kenal baik Pok Eng, sudah lama aku tidak bertemu padanya. Tiba di sana aku terkejut mendengar halnya dia bentrok dengan saudara Gouw di sini.

Dia telah kena diogok Liong Kang Sam Kwe. Apa yang dilakukan barusan baru satu diantara pelbagai siasatnya, karena itu aku kuatir Gouw Tiangcu beramai nanti letih tidak keruan dan tak dapat tidur tenang.”

Gouw Hong Piu terkejut.

"Apakah saudara maksudkan kehilangan mestikanya Ho Siansing dan penyerbuan kepadaku itu semua siasatnya Pok Eng?" ia tanya.

Ce Hong mengangguk.

"Aku tidak sangka sahabatku Pok Eng semenjak kecil telah berubah menjadi begini rupa." kita dia sungguh-sungguh, "Dia menjadi si manusia hina yang di dalam perutnya tersembunyikan pedang yang tajam, sebenarnya sudah lama dia bercita-cita merampas peternakan di sini, sebegitu jauh dia belum turun tangan karena dia merasa jeri terhadap jiwi, sampai sekarang ini muncullah penghianat di dalam yang membuka jalan-.." ia memandang Hong Piu, untuk berkata pula:

"Ci Tiauw Som yang menjadi anak angkat tiangcu telah kena dilagui Li Louw, puteri kedua dari Pok Eng, dia mendapat ingatan busuk dan telah mewujudkannya, sekarang ini kira delapan ribu ekor kuda tiangcu berada di dalam kandangnya Pok Eng..." Hong Piu gusar hingga kumis dan rambutnya bangun berdiri, matanya membelalak. "Sekarang ini di mana adanya Tiauw Som?" dia tanya. Ce Hong tersenyum.

"Selama yang belakangan ini Pok Eng sudah bebesanan dengan jendral dari Tolun," ia berkata sebelum ia menjawab langsung, "ialah anak gadisnya yang sulung, Li Eng, sudah dijodohkan dengan putera Gok 0. Dengan begitu hati Pok Eng menjadi tambah besar, ia percaya, ia dapat andlan tulang punggung. Gok o sendiri bersangsi, sebab dia menduga tiangcu berdua mempunyai hubungan erat dengan Ke cin-ong, ia sendiri orang kepercayaannya pangeran itu, apabila Ke cin- ong mendengar sepak terjangnya ini, itu dapat berakibat tak bagus untuknya.

Begitulah ia telah mengirim orang ke kota raja, untuk memperoleh keterangan, Di lain pihak tidak dapat ia menampik perintahnya Ho Kun, maka dengan terpaksa ia mengirim barisan serdadunya ke mari.

Walaupun demikian, segala perbuatannya Pok Eng itu ada di luar tahu jendral yang menjadi besannya itu. Mengenai Ci Tiauw Som, dia sekarang berada di rumahnya Pok Eng."

Hong Piu begitu gusar hingga ia menumbuk meja, mejanya itu menjadi bolong.

"Binatang celaka itu, jikalau aku tidak bekuk dan mencincangnya, tak puas aku" ia ber-seru.

Ce Hong berduka dan menyesal. Ketika ia bicara pula, ia tertawa.

"Saudara Lui, di dalam pasukan tentara itu ada orang- orangnya Pok Eng," ia memberi tahu. "Kau datang diwaktu siang, aku si orang she Ce sudah melihat kau. Sayang tidak dapat aku membantu padamu, Aku lihat tenaga di sini kurang, inilah harus dipikirkan-.."

Siauw Thian mengangguk ia memberi tahu bahwa Yap Seng sudah dikirim ke Yan-khia guna meminta bantuan, dan bahwa In Gak bakal lekas tiba. Matanya Ce Hong bersinar. "Oh, Cia Laotepun bakal datang" katanya tertawa, "Ini menggirangkan Bagaimana dengan si Nona Kouw..."

Belum lagi orang bicara habis, Siauw Thian sudah mengedipi mata, maka itu, suara Hong berhenti secara tiba tiba, ketika ia lirik kepada kedua nona di sampingnya, ia lantas mendusin, ia menduga: "Kedua nona ini tentulah semua tunangannya Cia Laote, pantas Lui Loji mengedipi aku..." ia bersenyum. Lian cu lantas bercuriga.

"Bagaimana?" ia tanya Siauw Thian.

The Kim Go dapat menduga duduknya hal, ia segera campur bicara untuk mengalihkannya ke lain jurusan, ia bisa mengarti In Gak disukai nona-nona lantaran tampan dan kegagahannya.

Lian cu mendongkol, ia mengawasi bengis kepada Kian Kun ciu.

Goat Go lagi. ia pun curiga, tetapi ia lemah lembut, maka sambil tertawa ia berbisik di telinga Nona Tio: "Enci, engko In di luaran gampang sekali menarik perhatian orang, Biarlah ia pasti bukannya orang dengan tabiat menyukai yang baru melepaskan yang lama, ia mungkin telah ditakdirkan mempunyai tiga istri dan empat gundik, Apa kita bisa bikin? Buat apa kau layani kunyuk she Lui ini? Kalau besok engko In datang, bukankah kita dapat tanya dia langsung?"

Lian cu dapat dikasih mengarti.

"Aku sebal pada si kunyuk" katanya, "siapa suruh dia bawa lagak kunyuknya"

Di dalam orang tetap berduka, di luar angin keras terus bekerja, Tiba tiba ada sesuatu yang menyamber dari luar jendela terus ke ruang dalam, itulah suatu benda bersinar yang nancap di atas meja, terus bs rgoyang- goyang tak hentinya. Sebab itu ialah sebuah pisau be-lali, yang ujungnya nancap sekira tiga dim. Menyusul itu dari luar terdengar tertawa nyaring diikuti suara mengancam ini: "Liong Kang Sam Kwe datang pula menagih sebatang tongkat dari sepuluh tahun yang lampau"

Semua orang kaget, Musuh telah tiba. Maka maulah orang berlompat ke luar. Tapi...

Mendadak terdengar suara keras pada daun pintu- daun yang telah terdupak menjebiak, hingga angin keras berikut saljunya lantas menyerbu ke dalam ruangan- Menyusul itu dari luar berlompat masuk tujuh orang, diantara siapa yang tiga telah putih semua rambut dan kumisnya, yang matanya sangat tajam, Hingga bisa lantas diterka merekalah Liong Kang Sam Kwe, tiga jago dari Liong Kang. Empat yang lainnya memakai ikat kepala hitam putih, tubuh mereka jangkung, mata mereka celong dan tajam.

Siauw Thian lantas berkata perlahan kepada kedua nona: "Yang empat itu Biauw Kiang Su Yauw. Mereka biasa menggunai jarum rahasia diberi nama Bu Eng San-hoa ciam, sebab di dalamnya ada racunnya yang sangat berbisa. Mereka juga bangsa pemogor, Maka itu baiklah kamu berdua menyingkirkan mereka"

Kedua nona mengarti, mereka mengangguk, Diam-diam mereka memasang mata dan bersiap sedia.

Liong Kang Sam Kwe heran ketika mereka melihat Ce Hong di pihak peternakan,

"Eh, Ce Los u" kata satu diantaranya keras. "Siapa sangka kau menjadi penghianat Sungguh hati manusia tak dapat diduga-duga.,."

Ce Hong mengasih lihat roman keren, Dia tertawa dingin. "Siapa menjadi penghianat?" dia tanya. "Aku tidak kenal

kamu dapatkah kamu menyembur orang dengan darah?"

Gouw Hong Piu lantas maju ke depan, tangannya mencekal tongkatnya, ia tertawa. "Ketiga sahabat dari Liong Kang, sudah lama kita tidak bertemu, apakah kamu baik-baik saja?" ia menanya. "Pada malam tanggal dua belas itu aku si orang she Gouw terhambat suatu urusan, menyesal kita menjadi tidak bertemu muka, kalau aku ingat itu, aku menyesal sekali..."

Mendengar itu, Liong Kang Sam Kwe tertawa dingin. Merekalah tiga saudara she Kong, masing-masing bernama

Sin, Li dan Ti. Di Liong Kang mereka menjadi tukang tadah barang gelap. Kepandaian mereka ialah ilmu golok berantai "Tiap-cit Si Lian hoa To" yang pun disebut Kong Si Sam To, tiga buah goloknya keluarga Kong.

Pada sepuluh tahun yang lalu mereka memegat Hong Piu, mereka minta bi louw chi yaitu cukai jalanan, permintaan mereka di-tolak. lantaran itu, mereka jadi bertempur. Kong Li dihajar hingga tulang iganya patah, dari itu mereka mendendam sakit hati dan sekarang mereka datang untuk sekalian mencari balas, perkataannya Hong Piu membikin mereka jadi tambah sakit hati.

Malam itu mereka gagal. Ciu Goat Go sudah memapas kutung ujung bajunya Kong Li, luka itu, setelah melirik bengis pada Nona Ciu, dia tertawa dingin dan kata: "Gouw Hong Piu, jangan kau ngoceh tidak keruan sebenarnya bukan baru ini hari si orang she Kong mencari kau. Baiklah, malam ini mestinya kau mampus dan aku hidup"

Hong Piu tertawa.

"Maaf Maaf” katanya berulang-ulang.

Mendadak saja maka terlihatlah sinar-sinar hijau berkelebatan disusul dengan jeritan yang menyayatkan hati, disusul pula dengan kepala-kepala yang terpisah sebatas batang leher hingga darah menyembur berhamburan karena mana Liong Kang Sam Kwe kena tersemprot sampai mereka mandi darah seluruh tubuh. Atas kejadian itu, terlihat dua Su Yauw minggir ke tembok, muka mereka pucat dan guram, sedang dua Su Yauw lagi roboh terbanting, kepalanya bergelindingan di lantai.

Tengah Liong Kang Sam Kwe menghadapi Gouw Hong Piu, Biauw Kiang Su Yauw, Empat Siluman atau Empat Racun dari Biauw Kiang, mengawasi tajam kepada kedua nona, sinar mata mereka mengandung keceriwisan, muka mereka saban- saban tersungging senyuman-

Memangnya Lian cu dan Goat Go sudah memasang mata, maka itu, melihat demikian, habis sabar mereka berdua, Lian cu yang paling dulu darahnya meniidih, ia menarik tangannya Goat Go, sebagai isyarat, setelah mana berbareng mereka menghunus pedang mereka- ceng Hong kiam dan Ki Kwat Kiam untuk lompat menerjang Su Yauw.

Hebat lompatan mereka, karena mereka bertindak dengan Kiu-kiong ceng-hoan Im yang Pou ajarannya In Gak. Biauw Kiang Su Yauw boleh lihay, tapi diserbu secara mendadak itu, tak berdaya mereka berempat sebenarnya mereka itu mencoba berkelit dengan lompat mundur, akan tetapi yang dua terlambat, mereka roboh sebagai kurban, dan dua yang lain mepet ke tembok.

Lian cu dan Goat Go hendak melanjuti serangan mereka tempo kedua Su Yauw merogoh ke sakunya dan sambil menatap bengis, keduanya mengancam: "Kamu maju lagi satu tindak kamu rasai jarum Bu Eng San-hoa elam kami Tak nanti kamu dapat hidup lebih lama"

Kedua nona itu melengak.

Lui siauw Thian tapinya berseru: " Nona- nona, jangan terkena tipu mereka memperlambat waktu"

Kedua nona tersadar, lantas mereka bergerak. Sekarang mereka berlompat dengan Iom-patan "ciu-hong-sauw lok-yap" atau "Angin musim rontok meniup daun runtuh", pedang mereka bekerja tak kalah sebatnya. Kedua Su Yauw belum keburu menarik ke luar tangan mereka tempo tangan mereka itu sudah kena terbabat kutung, lalu menyusul itu lain tabasan membikin kepala pun terpisah dari tubuh mereka, hingga kepala dan tubuh roboh seperti dua Su Yauw yang lainnya tadi, darah mereka menyemorot berhamburan.

Ce Hong heran dan kagum menyaksikan hebatnya kedua nona itu, ia kata dalam hatinya: "Kenapa kedua nona ini sama hebatnya seperti Cia In Gak?"

Liong Kang Sam Kwe - Tiga Hantu dari Liong Kang - menjadi kaget hingga mereka tercengang, muka mereka pucat. Bukankah Biauw Kiang Su Yauw sangat lihay? Toh mereka itu tidak berdaya sama sekali.

Kong Sin mengangkat kedua tangannya memberi hormat.

Ia kata: "Kami tahu, sepasang kepalan tak dapat melawan empat tangan, kami tak dapat melawan- Baiklah, jikalau lain tahun gunung hijau tidak berubah, itu waktu kita nanti bertemu pula."

Begitu dia berkata, begitu ketiga saudara itu memutar tubuh untuk menyingkir.

Pat kwa kim To The Kim Go lantas membentak: "Peternakan kami ini tak dapat mengijinkan kamu datang dan pergi sesuka kamu" dan tubuhnya mencelat untuk menghadang.

Liong Kang Sam Kwe kena didului, dengan apa boleh buat, mereka berdiri diam. Mereka menyesal sekali. Setelah menyeringai, mereka menutup mata mereka, untuk manda ditawan-

"Kamu tahu diri" berkata Kim Go tertawa. "Kami tidak mau menghina kamu, kami cuma minta sukalah kamu bersabar sebentar." lantas Patkwa Kim To menotok ketiga orang tua itu dijalan darah cengtok. terus orang diperintah mengurung mereka, sedang mayatnya Biauw Kiang Su Yauw dibuang ke luar. Lekas sekali datanglah sang fajar, Di luar segala apa tampak putih, masih sukar orang melihatjauh, Angin besar masih tak mau berhenti menderu- deru, salju terus beterbangan dan bertumpuk. hawanya dingin luar bias a. Karena itu, orang berkumpul sambil minum arak. untuk melawan hawa dingin itu.

"Suasana begini rupa, ini artinya ancaman bencana masih belum lenyap" berkata Ce Hong, "Nona-nona, kamu harus dipuji karena dalam sekejap saja kamu berhasil  membinasakan Biauw Kiang Su Yauw, kalau tidak. asal mereka menggunai jarum mereka, itu artinya di sekitar sepuluh tombak. orang tak akan dapat lolos dari bahaya kematian-

Disebelah Su Yauw di Pok Ke Po, masih ada lagi satu hantu tua yang lihay sekali, Pok Ke Po telah mengumpulkan banyak sekali hantu, kita yang berjumlah begini sedikit, sukar kita melayani mereka itu..."

Hong Piu mau percaya keterangan itu, ia menjadi berduka. "Untukku sendiri, aku tidak mempedulikan jiwaku," kata ia.

"Aku hanya memikirkan orang-orang tua, anak-anak dan semua wanita dalam peternakanku ini..."

Siauw Thian terharu.

"Saudara Gouw, kau berkuatir keterlaluan," ia berkata, mencoba menghibur "Di kolong langit ini tidak ada kesulitan yang tak dapat dipecahkan- Memang jumlah kita sedikit akan tetapi kau lihat kedua nona, bukankah mereka telah mewariskan kepandaiannya Lo Sam? Kita dapat mengandalkan pedang mustika mereka, sebagaimana tadi telah dibuktikan tajamnya. Lagi pula aku percaya benar, kalau sebentar tengah hari dia belum tiba, tentulah sorenya."

Lian cu dan Goat Go melirik mendelik kepada Kian Kun ciu, yang memuji mereka, waktu mereka mendengar suara demikian pasti bahwa In Gak pasti bakal datang, mereka lantas bersenyum.

"Benarkah kata-kata kau ini?" Nona Tio tanya. Siauw Thian tidak mau melayani nona itu.

"Saudara Ce," dia tanya Ce Hong, "kau menyebut satu hantu yang lihay sekali siapakah hantu itu? Mungkinkah Lo Sam tak dapat melayani dia?"

Ce Hong bersenyum.

"Pada sepuluh tahun dulu, aku telah merantau ke seluruh negeri," ia berkata, "Aku telah menemui banyak sekali orang dari pelbagai kalangan, maka itu melihat hantu itu, aku lantas mengenalinya. Dialah si bintang jahat Kang ouw, yaitu Bu Liang Siangjin dari Pak Thian San."

Mendengar itu, benar benar Siauw Thian terkejut hingga ia merasa tubuhnya seperti beku separuhnya.

“Jikalau benar Bu Liang Siangjin yang datang, bukankah kita semua bagian mati?" ia tanya. Nyata sekali takutnya itu, Tadi ia yang menghiburi Hong Piu, sekarang ia sendiri yang takut setengah mati.

Ce Hong melihat kegelisahan orang.

"Aku datang ke mari justru untuk urusan Bu Liang Siangjin itu," ia berkata sungguh-sungguh, ia pun bergelisah, "Aku mau mengasih kisikan, supaya saudara-saudara bersiap-sedia, Kalau tidak tentulah pada tanggal dua belas itu aku sudah datang ke mari, sebenarnya aku ingin berdiam kira dua hari di Pok Ke Po."

Hong Piu terkejut.

"Kalau begitu, itu hari yang aku ketemui di bukit salju kiranya saudara Ce?" ia tanya.

Ce Hong mengangguk.

"Aku minta saudara-saudara jangan berduka karena wartaku ini," ia berkata pula menghibur "Kalau Cia Siauwhiap sudah datang, aku percaya urusan akan dapat dibereskan-.."

Mendengar namanya In Gak disebut, benar-benar orang seperti mendapat semangat. Hanya sekejap. nampak muka orang bergembira. Ce Hong bersenyum, ia berkata pula: "Aku si orang she Cce dapat gelaran Kiuw ciu Kun Lun, itulah disebabkan aku pandai meniru tulisan orang, karena aku pandai melihat dan mengenali sesuatu. Demikian ilmu silat orang asal aku lihat, aku rasanya dapat ketahui asal-usulnya, delapan atau sembilan bagian, tak akan salah.

Begitulah Bu liang siangjin dari Pak Thian San, yang ilmu silatnya istimewa sekali, Selama di kuil chin Su aku melihat ilmu silat Cia Siauwhiap. aku menduga diapun berasal Pak Thian San- cuma ada semacam ilmu silatnya yang aku tidak dapat terka, jikalau benar dugaanku ini, asal Bu Liang Siangjin bertemu dengan Cia Siauwhiap. mungkin mereka tidak bakal bentrok. Bu Liang Siangjin menjadi tertua kaumnya, dia tentunya malu hati untuk turun tangan-..."

Mendengar itu, lega hatinya Siauw Thian, hingga dia dapat tertawa pula.

"Saudara Ce, matamu sangat tajam" dia memuji, " Dengan satu kali lihat saja kau dapat menerka asal-usulnya Lo Sam, sedang aku yang mengangkat saudara dengannya, sampai sekarang aku masih dalam kegelapan- ia tertawa pula dan menambahkan

"Tidak peduli kedua nona sangat saling menyintai dengan LoSam, aku percaya, kamu pun belum tahu asal-usul ilmu silatnya itu, Kamu lihat, apakah Lo Sam tidak buruk sekali, sudah menyembunyikan dirinya?"

Kedua nona ketahui mereka lagi digoda, mereka tidak marah, tapi muka mereka merah, Mereka mengawasi dengan mata melotot. Hong Piu, Kim Go dan Ce Hong tertawa ramai.

Salju turun bertambah banyak susunannya di tanah makin tebal, Tubuhnya Biauw Kiang Su Yauw sudah lantas keurukan, hingga tak nampak bekas-bekasnya. Angin menderu, sampokannya tajam, Apa yang nampak- itu waktu ialah putih di mana-mana, di segala penjuru, Dalam waktu begitu, di dalam rumah, orang bergembira. Tengah sang angin menderu deru itu, sekonyong-konyong orang mendengar siulan nyaring sekali, yang melawan suara berisik sang angin itu, itulah siulan orang yang tenaga dalamnya mesti lihay sekali, Semua orang terkejut hati Hong Piu bercekat.

"Celaka kalau yang datang ini Bu Liang siangjin," kata pemilik peternakan ini.

"Dipadu dengannya, aku bagaikan telur melawan batu." Karena memikir demikian, Hui In ciu menjadi berkuatir sekali, Karena itu, ia pun lantas mengharap harap munculnya

In Gak . . . .

Yang lain-lain juga berpikir dan mengharap- harap serupa orang she Gouw ini, Di mata mereka, In Gak menjadi seperti obat yang mujarab. cuma Ce Hong yang lebih tenang hati.

"Nona-nona," ia kata pada Lian cu dan Goat Go, "kalau benar Bu Liang Siangjin datang dan dia tak dapat diajak bicara secara baik, Aku harap kamu menggunai ketika untuk menyerang padanya secara tiba-tiba, Aku lihat pedang kamu berdua hebat sekali. Kamu mesti menggunai benar-benar ilmu silat ajaran Cia Siauwhiap supaya kamu tidak gagal."

Kedua nona itu mengangguk.

Siulan tadi terdengar pula, lalu sebentar berhenti, sebentar berhenti Suaranya itu menyakiti telinga. Suara itu pula, makin lama datang makin dekat, Sebagaimana terdengarnya makin nyaring, Mendadak terlihat berkelebatnya sesosok tubuh di depan orang banyak. Sejarak lima kaki, lalu tertampak tegas dialah seorang yang tubuhnya terbungkus jubah suci abu-abu yang gerombongan, yang tak kecipratan salju,jubah mana memain diantara sampokan angin-

Dialah seorang pendeta berkepala gundul, alis dan kumisnya putih semua, air mukanya terang sekali, meski mukanya sudah keriputan- Dia mempunyai sepasang mata yang kecil yang sangat tajam dan berpengaruh. Maka itu diduga pasti dialah Bu Liang Siangjin, Semua orang berdiam, mereka sangat bergelisah.

Pendeta itu mengawasi orang sekelebatan lantas ia mengawasi kepada pedang-pedangnya Lian cu dan Goat Go. Dari mukanya yang tersungging senyuman, tampak nyata ia sangat bergirang.

Kian Kun ciu Lui Siauw Thian maju setindak ia merangkap kedua tangannya memberi hormat sambil terus menjura.

"Bu Liang Loecianpwe yang terhormat," ia kata, "di waktu angin besar dan salju begini dingin, locianpwe datang ke peternakan kami ini, entah ada pengajaran apakah dari loCianpwe?"

Pendeta itu, yang benar bukan lain daripada Bu Liang Siangjin, si pendeta tua dan kenamaan dari Pak Thian San, gunung Thian San Utara, nampak heran-

Dengan lantas dia mengawasi Kian Kun ciu seraya hatinya berkata: " Kenapa orang ini mendapat tahu namaku? Aku telah berniat membangun pula ilmu silat Thian San Pay, supaya ilmu silat itu tak sampai terpendam, kebetulan sekali aku menemui empat saudara dari Biauw Kiang, aku ambil mereka menjadi murid-muridku. Tetapi aku masih belum memberitahukan mereka namaku. Pok Eng juga tidak tahu..."

Oleh karena herannya, ia menanyai "Tuan-tuan, mata kamu sangat tajam, dengan lantas kamu mengenali lolap. sebenarnya sudah lama sekali lolap mengundurkan diri. cara bagaimana tuan-tuan mengenalinya?"

Siauw Thian menjawab dengan hormat: "Boanpwe bernama Lui siauw Thian, guru boanpwe ialah cin Nia It Siu, semasa boanpwe berada bersama dengan guruku itu, pernah boanpwe mendengar nama locianpwe dipuji-puji, dari itu sudah lama boanpwe mendapat tahu dan mengaguminya, sayang selama itu belum ada ketikanya untuk boanpwe pergi menjenguk. Syukurlah wajah locianpwe tetap tidak berubah, maka itu sekarang lantas boanpwe mengenali."

Siauw Thian membawa sikapnya ini karena ia bersangsi untuk menyerang dengan membokong, ia anggap lebih baik jikalau ia memperlambat tempo.

"Ooh, kiranya kaulah muridnya Kouw Hiantit" kata pendeta berusia lanjut itu. ia mengawasi tajam, ia menyapu semua orang, baru ia kata pula: "Maksud lolap datang ke mari bukan urusan lain, melainkan untuk menanya apakah ke mari ada datang empat saudara dari Biauw kiang?"

"Tidak" Siauw Thian menjawab, cepat dan romannya pun wajar. "Mulai tadi pagi, tidak ada orang lain yang datang kemari, Hawa udara begini buruk- siapakah yang kesudian datang? Mungkinkah Biauw Kiang Su Yauw sudah berlaku kurang ajar maka locianpwe menyusulnya ke mari?"

Cerdik orang she Lui ini. Dengan berkata demikian, ia hendak mencegah Bu Liang siang-jin menyebut keempat siluman dari Biauw Kiang itu sebagai muridnya.

Pendeta itu agak bersangsi, ia menatap semua orang, rupanya ia ingin mencari sesuatu dari wajah mereka itu. ia melihat semua orang bersikap tenang. Karena ini, ia juga sulit menanyakan kalau-kalau Liong Kang Sam Kwepun datang ke peternakan orang ini...

"Lolap adalah orang di luar kalangan, untuk lolap pantangan untuk bicara dusta," katanya kemudian, setelah berdiam sekian lama. "Empat saudara dari Biauw Kiang itu sudah mencuci tangan, mereka telah mengangkat lolap menjadi guru. Tentang urusan kamu, lolap pernah mendengarnya, tetapi lolap sudah berusia seratus tahun lebih, mana dapat lolap mencampurinya? Empat saudara itu sudah kena dibujuki Liong Kang Sam Kwe, mereka diajak datang ke mari diluar tahu lolap. maka itu lolap menyusul ke mari, untuk mengajak mereka pulang ke Pak Thian San-" Mendadak matanya bersinar bengis, ia tanya: "Apakah benar-benar mereka tidak datang ke mari?"

"Walaupun boanpwe bernyali sangat besar, tidak nanti boanpwe berani mendustai locianpwe." sahut Siauw Thian dengan tetap tenang, sikapnya sangat menghormat. Demikian pandai ia membawa diri, sampai pendeta itu tak dapat tak mempercayainya.

"Mungkinkah mereka nyasar diantara salju dan angin besar?" Bu Liang siangjin menduga duga, Lau sinar matanya tertuju kepada pedang mustika dari Lian cu dan Goat Go.

Sinar mata itu berkelebat bercahaya luar biasa, lalu sirna, Ce Hong melihatnya, dia bercekan.

Dia kuatir sekali, Kalau Bu Liang Siangjin menghendaki pedang itu, asal ia meluncurkan tangannya, pasti pedang akan hilang dari tangannya si nona-nona. Karena itu, mendadak ia mendapat pikiran-

"Locianpwe," ia kata hormat dan manis, sambil tertawa, " maafkan kami orang-orang muda, yang telah membiarkan locianpwe berdiri lama-lama. Mari, silahkan duduk. Kami girang sekali jikalau locianpwe suka memberi petunjuk sesuatu kepada kami yang muda..." ia terus berpaling kepada kedua nona, untuk berkata: "Nona-nona, tolong masuk ke dalam untuk menyuruh orang di dapur lekas menyiapkan semeja santapan barang sayuran-"

Kedua nona itu mengerti, lantas mereka bergerak.

"Tak usah" Bu Liang Siangjin mendadak berkata nyaring, " Lolap tidak mau diam lama disini, segera lolap mau pergi.

Nona-nona, dapatkah lolap pinjam lihat pedang kamu?"

Permintaan itu membikin kaget semua orang. Bagaimana itu harus dijawab? Satu kali pedang sudah berada di tangan si pendeta, tak bisa itu d i- dapat pulang, itulah seumpama kambing di dalam mulut harimau. Tapi Lian cu cerdik, dia tertawa. "Turut pantas memang tidak ada halangannya untuk memberi lihat kepada locianpwe," katanya manis, "hanya sayang sekali sepasang pedang ini pedang pusaka keluarga kami dan ada pesan untuk tidak memisahkannya dari tubuh kami. oleh karena itu terpaksa kami tidak dapat menuruti perintahnya locianpwe."

Matanya Bu Liang mendelik.

"Budak yang mulutnya tajam." katanya nyaring, "Kamu toh bukannya tak tahu tabiat lolap Kata-kataku seperti angin, sekali keluar tak dapat ditarik pulang Tidak dapat tidak lolap memerintahkan pedang kamu lepas dari tangan kamu"

Mendadak dia mengulur kedua tangannya dan menarik- nya, dengan jurusnya huruf "Menarik" atau "Menghisap" dari Bi Lek sin Kang.

Kedua nona waspada, tangan mereka mencekal keras padang mereka, mereka kaget ketika mereka merasa pedang mereka tertarik, bukan saja tubuh mereka terbetot hampir ngusruk, telapakan tangan mereka jaga terasa nyeri. Dalam kagetnya itu mereka paksa bertahan, sebab hampir-hampir pedang mereka terlepas.

Bu Liang Siangjin menggunai tenaga lima bagian, ia memandang enteng kepada kedua nona itu. ia baru terkejut ketika ia mendapat kenyataan ia tidak dapat menarik lolos pedang mereka itu, sedang tubuh orang cuma tertarik tanpa kaki mereka tergeser, suatu tanda kuda kuda mereka itu kokoh sekali, ia menjadi penasaran-"Hm. budak-budak yang baik" ia berseru, tenaganya ditambahi

Tak kecewa kedua nona itu memperoleh petunjuk dari In Gak. Kaki mereka menginjak berat menurut tipu "Berat seribu kati". Benar telapakan tangan mereka terasa sakit tetapi mereka terus bertahan, celakanya, dan ini yang menguatirkan mereka, mereka merasa lengan mereka kesemutan dan mulai kaku. Untuk bertahan terus, muka mereka mengucurkan keringat, mata mereka terbuka lebar, gigi mereka berCatrukan, Tak dapat lagi mereka baginya untuk melakukan penyerangan-

Ce Hong semua berdiam. Mereka memikir untuk membantu kedua nona, tetapi mereka tidak berani melakukannya, Asal mereka turun tangan, pasti Bu Liang Siangjin gusar, itulah berbahaya, itu berarti mereka mengantarkan jiwa mereka sendiri, maka mereka ingin melihat cara bagaimana pedang kedua nona kena dirampas.

Pada muka Bu Liang tertampak sorot kemurkaan- Rupanya ia mendongkol dan jengah sendirinya. Mendadak ia berseru dan tangannya diputar.

Kedua nona kaget, sampai mereka menjerit. Tubuh mereka pun tertarik satu tindak. Yang paling hebat ialah pedang mereka terlepas, menyamber ke arah pendeta itu.

Tepat itu waktu, di luar rumah terdengar siulan yang nyaring dan lama, ketika kedua pedang terpisah dari tangannya Bu Liang tinggal lima dim, mendadak keduanya mengubah jurusannya dan melesat ke luar rumah. Dilain pihak- berbareng dengan itu, satu bayangan orang berkelebat masuk ke dalam, kedua tangannya dipakai menyambut sepasang pedang itu.

Dia ini, dengan roman gusar lantas mengawasi Bu Liang, beberapa kali terdengar suaranya yang dingin: "Hm Hm"

Meiihat orang itu, orang di dalam menjadi girang dengan tiba-tiba.

“Lo Sam…” Siauw Thian berseru. ooo

BAB 11

CIA IN GAK muncul bagaikan kilat.

Dan Bu Liang Siangjin terperanjat. Mungkin inilah kagetnya yang pertama semenjak beberapa puluh tahun- Dia berani datang sendiri ke peternakan karena dia merasa tak akan ada orang yang berani melawannya, atau sanggup melawan dia.

Dia merasa dialah jago nomor satu di kolong langit ini setelah pada waktu Tiong ciu, bulan delapan, tahun yang lalu, kakak seperguruannya, Bu Wi Siangjin meninggalkan dunia yang fana di jurang cap In Gay.

Bu Wi Siangjin beribadat, tak ingin ia mengangkat nama dengan membangun partai persilatan Pak Thian San, maka itu, ia selalu menyekap diri, kalau toh ia pergi pesiar, cuma untuk mengamaL

Pada suatu hari dalam usianya seratus tahun, gurunya pulang habis pesiar dengan membawa seorang bocah umur delapan tahun, sambil menunjuki bocah itu padanya, guru itu kata: "Anak ini keponakanku kau lihatlah wajahnya, jikalau dia dibiarkan saja dan kemudian dia mendapat guru kaum sesat, dia bisa tersesat juga, maka itu aku membawanya ke mari untuk diambil sebagai murid, supaya dengan kebijaksanaan Sang Buddha, dia dapat ditolong darijalan kesesatan. oleh karena aku bakal lekas meninggalkan dunia ini, aku serahkan dia pada kau."

Bu Wi siangjin terima bocah itu, artinya ia menerima baik tugas yang diberikan gurunya, ia ambil bocah itu, ialah Bu Liang Siangjin, dibiarkan tinggal bersama di cap In Gay.

Namanya Bu Liang menjadi adik seperguruan kenyataannya dialah murid, Bu Liang Siangjin mempunyai tulang sesat, biarnya dia dididik sempurna, sering sering dia melakukan sesuatu diluar ajaran kakak seperguruannya itu.

Paling akhir Bu Wi jadi habis sabar, maka dia dihukum dilarang turun gunung selama ia masih hidup, Bu Wipun kata: Jangan kau menyangka kecuali aku sebagai suheng tidak bakal ada orang yang dapat menguasai dirimu. Jikalau tetap kau berlaku sesat, nanti datang harinya yang kau bakal celaka tubuhmu dan rusak namamu" Bu Liang tidak percaya perkataannya itu suheng merangkap guru, semeninggalnya sang suheng bulat sudah tekadnya untuk menjagoi, maka kemudian ia turun gunung, lalu mendapatkan Biauw Kiang Su Yauw sebagai murid-muridnya.

Bi Lek Sin Kang menjadi ilmu yang luar biasa, dengan tenaga lima bagian ia tidak bisa merampas pedang dari tangannya kedua nona, ia tambah itu menjadi sembilan bagian, baru ia berhasil, akan tetapi siapa tahu, selagi ia hendak menyambuti kedua pedang, pedang-pedang itu melesat ke luar rumah hingga kena terambil orang yang baru datang itu.

Dalam heran dan mendongkol, ia mengawasi orang itu seorang pelajar usia belum empat puluh tahun, romannya sabar, air mukanya sedikit guram, ia mengawasi sambil berpikir: "Mungkinkah ada lain ilmu yang dapat melewati Bi Lek Sin Kang?"

Orang itu mengasih dengar tertawanya yang dingin, kedua tangannya diayun, melemparkan kedua pedang kepada kedua nona, Dengan mata tajam ia mengawasi si pendeta.

Tak dapat Bu Liang berdiam lama, Segera terdengar tertawanya yang dingin.

"Apakah kau yang dalam dunia kang ouw terkenal sebagai Koay ciu Siseng Jie In yang ternama kosong belaka?" dia tanya jumawa.

"Tidak salah, itulah aku yang rendah" sahut orang baru itu, sikapnya tawar, suaranya dalam.

Dia memang bukan lain daripada In Gak "Pendeta tua mengapa timbul hatimu yang tamak. hingga kau merampas pedang dari tangannya anak-anak perempuan yang lemah? Apakah kau kira perbuatanmu ini tidak menyebabkan orang memandang enteng padamu, sebab kau tua dan ternama tetapi kau melakukan sesuatu yang memalukan dirimu sendiri?"

Mukanya Bu Liang menjadi merah. "Ngaco belo" bentaknya, "Tak lebih tak kurang lolap cuma mau meminjam lihat. Tahukah kau, siapa lolap ini? Mana mungkin aku melakukan perbuatan mengandalkan kekuatan menghina yang lemah."

In Gak tertawa.

"Hatinya Suma ciauw, setiap orang dijalan besar mengetahuinya," kata dia keras, "Di kolong langit ini mana ada cara meminjam lihat barang seperti caramu ini? Aku tidak perduli kau siapa. silahkan kau pergi.”

Bu Liang gusar bukan main- Mukanya merah, kumis dan alisnya bangun, Tapi ia tahu ia bersalah, ia masih mengendalikan diri. ia masih mau memegang martabatnya, maka ia melainkan mengawasi dengan sorot mata bengis.

Hong Piu semua, dari heran dan kaget, lantas menjadi girang, Mereka lantas mendapat tahu pula siapa ini orang yang baru datang, Maka semua lantas berdiri menonton dengan tenang.

Tio Lian cu dan Ciu Goat Go mengawasi orang dengan mata mereka bersinar terang sekali, Di sana berdiri orang yang mereka pikir dan mimpikan selama satu tahun- Mereka girang dan puas. Tapi mereka sebal terhadap Bu Liang Siangjin, maka mereka ingin sekali pendeta tua itu lekas angkat kaki. Disebelah itu mereka sedikit ragu-ragu kalau engko In mereka dapat mengalahkan pendeta ini...

In Gak berdiri tenang, kedua tangannya digendong di punggungnya. ia mengawasi si pendeta, acuh tak acuh.

Dadanya Bu Liang berombak. ia beradat tinggi, sekarang dia lagi mencoba menguasai diri.

"Kau tahu siapa lolap ini?" katanya mendongkol. Dia tertawa tawar, "Lolap ialah Bu Liang Siangjin dari Pak Thian San-“

Mendengar orang memperkenalkan diri, In Gak mengawasi sambil mementang lebar matanya, dia menatap. agaknya dia heran- "Sudah lama aku berdiam diri di cap In Gay" berkata pula si pendeta, "Di luar dugaanku, setelah lewat beberapa puluh tahun, hari ini aku turun pula ke dunia yang ramai, bahkan sekarang aku bertemu dengan kau, seorang yang ada matanya tanpa bijinya, manusia terkebur yang duduk di dalam tempurung mengawasi langit melulu, jikalau aku tidak perlihatkan padamu ilmu silat yang lihay dari Pak Thian San bukankah kemudian kau bakal jadi semakin besar kepala?"

Habis berkata, ia mengibas dengan tangan bajunya yang besar, tubuhnya pun lantas

mencelat ke belakang In Gak. Teranglah dia bertindak dengan ilmu Hian Thian cit Seng Pou.

Bu Liang sudah bergerak dengan sangat cepat. ia mau mempertontonkan kepandaiannya seperti katanya, Kesudahannya ia melongo mulutnya terbuka lebar, ia mendapatkan orang berkelebat, lantas orang menyingkir dari hadapannya berpindah ke belakangnya.

Waktu ia memutar tubuh, ia melihat orang lagi berdiri tenang seperti tadinya... cuma tangan orang itu dikasih turun, agaknya sikapnya menghormat.

"He,Jie In" dia membentak. "Dari siapakah kau mendapatkan ilmu ringan tubuhmu ini? Mengapa ilmu rada mirip dengan-..."

Ia tidak melanjuti pertanyaannya itu. Sukar ia membuka terus mulutnya. In Gak tertawa berkakak, Mendadak dia berhenti

"Ada mirip dengan pelajaran dari Pak Thian San, bukan?" ia menanya, "Baiklah diketahui ilmu kepandaian silat di kolong langit ini asalnya ialah satu, sama sekali tidak ada perbedaannya janganlah kau menganggap. dengan mengandal kepada ilmu silat Pak Thian San, lantas kau hendak menjagoi dunia Kang ouw,"

Bu Liang panas bukan main- ia menganggap Jie In terlalu angkuh dan jumawa, Dia mendelik. "Anak muda kurang ajar" bentak dia. "kau coba tanganku." Dia menyedot napas di dadanya, dia terus menolak dengan kedua tangannya, gerakannya itu sangat cepat dan juga keras bagaikan badai atau gelombang dahsyat.

In Gak melihat orang menolak dengan menggunai tipu huruf " menggempur". ia tertawa tawar. ia juga menolak. Kalau pihak sana menggunai dua tangan, ia hanya sebelah.

Kedua pihak sama-sama menggunai Bi Lek Sin Kang. Hebat kesudahannya itu. Diantara suara bentrokan hebat, keduanya mundur masing-masing dua tindak. Ruang itu bergetar, bergoyang seperti rumah mau ambruk...

Sekarang Bu Liang mendapat kepastian lawannya ini murid keturunan Pak Thian San, ia hanya tidak tahu bahwa suhengnya telah dapat pula murid bukan pendeta, Tiba-tiba muncul jelusnya.

"Anak muda kurang ajar" ia membentak pula, "Di matamu tak ada orang yang terlebih tua ya" ia lantas menyerang pula. In Gak bergerak juga menyambuti. Lagi sekali keduanya bentrok keras sekali.

Lagi sekali rumah bergerak. Kedua nona dan yang lainnya pada berkuatir, hingga mereka lompat menyingkir ke ruang samping.

In Gak menggunai jurus "Liok hap hoa it" dari Bi Lek Sin Kang cap-si Si. itu artinya tenaga "enam bergabung menjadi satu", ia menggerak kedua tangannya, yang dikerahkan dengan tenaga dua belas bagian, itulah jurus yang ia dapatkan dari kitab rahasia kulit kambing yang ia peroleh dari Hu Liok Koan-

Bi Lek Sin Kang itu melebihkan yang asal - Bi Lek Sin Kang cap-ji Si - yang cuma terdiri dari dua belas (capji) dan bukannya empat belas (cap-si) jurus.

Hebat kesudahannya bentrokan itu, Bu Liang Siangjin merasakan tubuhnya tergempur keras sekali sampai dadanya bergolak. darahnya naik napasnya mandek. Tidak dapat ia mempertahankan diri lagi, ia terlempar ke luar rumah. Tapi menyusul dia, Jie in lompat mengiringi.

Bu Liang kaget dan penasaran, Kuat dugaannya bahwa Jie In muridnya Bu Wi, sang suheng atau guru tanpa nama. ia menjadi penasaran terhadap suheng itu yang ia duga sudah menyembunyikan satu jurus ini, hingga sekarang ia kena dikalahkan.

Gusar dan jelus, ia menjadi lupa derajadnya, Diam-diam ia mengeluarkan jarum rahasia beracun "Bu Eng San-hoa-ciam" dari Biauw Kiang Su Yauw, yang ia dapatkan dari murid- muridnya itu. Alisnya pun bergerak.

“Jie In” dia kata dingin, "di matamu sudah tidak ada lolap. yang menjadi pamanmu, maka itu lolap tidak dapat menaruh belas kasihan lagi."

In Gak bermata tajam. ia melihat gerakan tangannya Bu Liang yang terus menggenggam, ia menduga orang memegang senjata rahasia apa tahu. ia tidak takut, ia percaya tubuhnya sudah dilindungi kuat oleh Bi Lek Sin Kang.

"Bu Liang" dia kata, tertawa dingin, " kau sudah tua, matamu menjadi lamur, buta seperti orang mati Dapatkah kau menyebut apa namanya jurusku ini? Apakah kau tidak percaya ketangguhanku? Kalau benar, marilah kau coba lagi satu kali, supaya kau belajar kenal dengan kelihayanku"

Habis berkata, cepat sekali Jie In bertindak maju, selagi tubuhnya berkelebat, tangannya meluncurkan lima buah jerijinya. Ia bergerak sehat bagaikan kilat berkeredep.

Bu Liang Siang in melihat orang maju, ia bergerak mundur, Sama-sama mereka bertindak dengan Hun Thian cit-seng-pou. Tapi pendeta ini salah menaksir, dia kalah sehat Dia kaget ketika tahu-tahu lima jeriji tangan orang telah mengenai lengannya. Segera ia merasakan cekalan yang keras hingga lengannya itu kesemutan, Dalam kagetnya dia berontak. guna meloloskan tangannya itu. Dila in pihak. tangannya yang sebelah lagi mengayunkan jarumnya yang sinarnya berkilauan Tangannya yang dicekal itu, dia tarik kaget.

In Gak melengak sebab orang dapat terlepas dari cekalannya itu, cekalan dengan jurus, "Ngo-gak-tin-liong" atau "Lima gunung menindih naga" suatu jurus dari Hian Wan Sip- pat Kay. justru itu jarum-jarum sudah menyamber berhamburan, bergeraknya sangat cepat, hingga tanpa sinarnya memang benar sukar terlihat tegas.

Pantas namanya disebut "tanpa bayangan- atau "bu-eng" Tidak ampun iigi, ia kena tertusuk beberapa puluh batang jarum, hingga ia merasakan napasnya seperti mandek dan dengan pecahnya pembelaan tubuhnya, darahnya lantas berjalan memburu.

"Celaka" ia berseru dalam hati, saking kaget. Dengan lantas ia menutupi diri, guna mencegah jarum nancap lebih dalam, Kedua matanya lantas bersinar luar biasa.

Bu Liang Siangjin melihat roman orang itu tahulah ia yang serangannya sudah berhasil, maka ia tertawa nyaring.

"Bocah, kau telah terluka jarum Bu Eng San-hoa-ciam dari lolap" ia kata jumawa, "Paling lama kau akan hidup lagi dua jam sekarang jika mau lihat apakah kau masih memandang tak mati kepada orang yang tingkat derajatnya terlebih tinggi..."

Pendeta ini belum menutup mulutnya ketika ia melihat Jie In berseru seperti guntur berbareng dengan tubuhnya berlompat menyamber, tangan kanannya dengan lima jeriji menggeraki serangan "cay-meh co-kin ciu" yang paling lihay dari Hian Wan Sip-pat Kay, dan tangan kirinya menghajar dengan Pou te Sian-ciang yang tidak kalah lihaynya. Itulah serangan mati hidup, karena dikeluarkannya sekali pukul. Bu Liang terperanjat, inilah ia tidak sangka Tidak dapat ia berkelit, cuma ada satu jalan ialah menangkis, guna menolong diri, Maka ia mengeluarkan kedua tangannya, ia mengerahkan tenaga dua belas bagian. ia bukan hanya menyambut, ia sekalian menolak untuk menghajar.

Buat ketiga kalinya kedua pihak bentrok secara dahsyat, Bu Liang merasa kedua lengannya sangat nyeri, ia tergempur sangat hebat, hingga mukanya menjadi pucat.

Berbareng dengan itu, tangan kanan In Gak dengan lima jarinya, telah mencekal sikut kanan si pendeta di jalan darah keng-ki. Tidak ampun lagi tubuh pendeta itu terasa sakit seperti ditusuki jarum atau terpagut ular berbisa atau kala, hingga dia mesti mengasih dengar rintihannya. Ketika Jie In menarik dan melemparkan, tubuhnya itu mental ke salju yang lagi bertumpuk dan berterbangan-

Dengan terkena hajaran "cay-meh co kut Hoat" darah Bu Liang tak jalan wajar lagi, hanya saling menentang, dengan begitu perlahan lahan lenyaplah tenaga dalamnya. Maka selewatnya tujuh hari, dia bakal tersesat, kakinya akan menjadi kaku, hingga sukar dipakai jalan-

Bu Liang tidak menghargai martabatnya, dia memperoleh bagiannya itu, In Gak juga tidak menghormati orang yang terlebih tua, dia merasai siksaan jarum rahasia yang berbisa itu.

Bu Liang roboh terbanting di salju, dia tidak terbanting hebat, dia cuma merasa

tersiksa karena di dalam tubuhnya seperti ada kawanan semut menggigitnya. Lekas-lekas ia mengeluarkan beberapa butir pilnya, untuk terus dimakan, habis mana ia bersila, guna bersemedhi, buat meluruskan pernapasan dan jalan darahnya, Sia sia percobaannya ini.

Obatnya dan semedhinya itu tidak menolong. Dia jadi begitu jeri hingga dia mengucurkan air mata. Dengan paksakan diri dia berbangkit untuk berjalan pergi, dengan tubuh terhuyung-huyung, dia lenyap diantara badai salju... In Gak mencoba bertahan, akhirnya ia pun jatuh duduk di salju, napasnya memburu.

Dari dalam rumah, beberapa orang berlompat keluar, Yang paling dulu ialah kedua nona. Mereka itu lantas menubruk In Gak. untuk memegangi pundaknya Tanpa dapat dicegah lagi, mereka menangis sedih.

Siauw Thian semua berkumpul di sekitar si anak muda.

Beberapa kali mereka menanya. In Gak berdiam saja, matanya dirapatkan, mulutnya bungkam Mereka menjadi bingung sekali, mereka putus asa. Tidak ada yang berani menyentuh tubuh pemuda itu.

Angin keras masih tak mau berhenti, bahkan makin keras, suaranya sangat berisik, salju pun semakin tebal. Pundak In Gak sampai ketutupan-

Tengah orang tidak berdaya itu, telinga mereka mendengar suara kuda, Derapnya dan ringkikannya. Dua sosok bayangan lantas terlihat kabur mendatangi. Semua orang terkejut, mereka mengawasi, bersiap-sedia.

Sukur segera ternyata yang dataug itu Yap Busu bersama seorang kacung cilik. Keduanya langsung menghampirkan In Gak.

Kacung itu diam mengawasi sekian lama, lalu mendadak dia berseru: "Suhu" Dia pun

lompat maju, guna menarik ke muka orang, hingga dia dapat meloloskan topengnya In Gak. hingga tertampak wajah orang yang tampan, cuma sekarang mukanya sangat pucat. Masih si anak muda bersila bagaikan patung. Bocah itu ialah Gak Yang, sudah lantas menangis.

"Su-nio, bagaimana dengan suhu?" kemudian ia tanya Lian cu dan Goat Go yang ia panggil "su-nlo" atau ibu guru. Kedua rona itu merah pipinya. Lian cu menyukai bocah itu, ia merangkul. "Gurumu terkena tangan orang jahat," katanya. "Ia keracunan bisa binatang yang paling jahat..."

Mendengar itu, matanya si bocah bersinar. Agaknya dia terkejut karena ingat sesuatu,

"Suhu" katanya nyaring, "Bukankah itu hari di tepi sumber air Pok Tut coan si wanita serba hitam telah memberikan suhu satu peles obat yang katanya untuk mengobati segala macam keracunan binatang berbisa?"

In Gak lagi berdiam, ia mendengar suara muridnya itu. sebenarnya ia lagi menderita sekali. Meski ia sudah menutup diri dan mengalirkan jalan darahnya serta menyalurkan pernapasannya, pengaruh racunjarum rahasia masih bekerja.

Pou-te Siankang masih belum sanggup menolak racun jahat itu, Mendengar perkataan muridnya, segera ia menggeraki kedua tangannya untuk merogoh ke sakunya, guna mengeluarkan sebuah peles obat - ialah obat pemberiannya Ie Hian Li In Hian Bi. ia menuang dua butir, ia terus telan itu.

Benar-benar obat mujarab, Baru obat lumer lenyap sudah segala rasa sakit Bahkan si anak muda lantas merasa nyaman-

Siauw Thian beramai melihat dari tubuh si anak muda menghembuskan hawa hitam seperti uap yang bergulung- gulung, buyar tertiup angin, Sesaat kemudian setelah itu, muka pucat si anak muda berubah menjadi seperti biasa.

Bahkan In Gak mendadak tertawa dan lantas berlompat bangun, sambil mencekal Lian cu dan Go, dengan tangannya kiri dan kanan, terus ia lari masuk kedalam, ke toa thia, ruang besar.

Hong Piu semua lari menyusul, girang meraka tak kepalang. Disamping mereka heran sekali atas kembalinya Yap Seng demikian cepat- hingga mereka mau menyangka busu ini bertemu In Gak di tengah jalan dan karenanya dia pulang kembali Kalau benar, dengan datangnya si anak muda, belum tentu urusan dapat mudah diselesaikan-

Urusan Siang Lin itu besar dan berbahaya, begitu juga urusan mereka di sini, sebab meraka mesti berurusan dengan pembesar negeri. Tadi di luar, dalam keadaan In Gak terancam bahaya, mereka tidak sempat menanya, bahkan tidak berani, sekarang lain, Maka sekarang mereka lantas menanyakan. Yap Seng tertawa.

"Tiangcu," berkata busu itu, gembira, "jikalau aku bukan ditolongi Cia Siauwhiap. mungkin aku telah terbinasa dengan mengandung penasaran besar, sebab mayatku pasti akan terkubur di tengah tegalan-.."

Matanya busu ini terbaka lebar dan sinarnya bercahaya, Dia mengangkat sebelah tangannya, terus dia menunjuki jempolnya. Dia berkata pula: "Cia siauwhiap benar-benar hebat seorang diri dia pergi ke gedungnya jendral To-lon-Gok o sendiri menyambutnya.

Dia melayani siauwhiap seperti juga siauwhiap ialah junjungannya dan dialah si menteri. Apa yang siauwhiap kata, dia menyahutinya dengan "ya, ya" berulang-ulang, sekarang ini pasukan tentera yang mengurung kita sudah ditarik mundur semuanya. Cia Siauwhiap pun membilangi aku, urusan tiangcu muda boleh diserahkan padanya, tak akan jadi soal lagi, bilangnya."

Hong Piu mendengar keterangan itu, senang hatinya, walaupun demikian kesangsiannya tak mudah lenyap. ia lantas menghaturkan terima kasih pada In Gak. Di dalam hati dia bertanya kenapa Gok o sangat menghormati si anak muda- Ya, kenapa?

Ce Hong berpikir lainnya pula, ia sangat mengagumi anak muda tampan itu, yang demikian lihay, ia menduga-duga orang belajar silat darimana. Jurusnya yang dipakai melayani Bu Liang Siangjin sungguh istimewa, sungguh luar biasa. Belum pernah ia melihat itu, Dalam berpikir terus, ia lantas menghela napas sendirinya.

Tiba-tiba di depan matanya berpeta bayangan diri Twi Hun Poan Cia Bun, jago yang dapat meremukkan jantungnya semua orang kosen jalan Putih dan jalan Hitam. Ia tak ingin In Gak menelad mendiang ayahnya itu, tetapi bagaimana ia harus bicaranya...

Sekarang Gak Yang berada di dalam rangkulannya Ciu Goat Go. Kedua matanya yang hitam dan jeli celingukan ia seperti sangat heran untuk apa yang ia saksikan di sekitarnya ini.

Kian Kun ciu menggunai ketika untuk bicara berbisik dengan In Gak^ sedang Kim Go menanya tegas kepada Yap Busu apa yang terjadi dengan busu itu.

Lian cu mengerutkan alis. Ia agak mau menyesalkan In Gak yang seperti tak menghiraukan orang banyak itu.

Tiba-tiba mereka semua mendengar suara yang sangat menarik perhatian- suara yang seperti terbawa badai, itulah suara berlari-larinya serombongan besar kuda yang lari mendatangi.

Suara itu tercampur dengan berisiknya sang angin. Toh orang mengenalinya hingga orang menjadi heran dan tercengang. Tak kecewa Gouw Hong Piu menjadipemilik ternak.

"Itulah suara kuda yang jumlahnya sedikitnya beberapa ribu ekor..." kata dia, sepasang alisnya terbangun "The Hiante, mari kita lihat. Mungkinkah itu kuda lari dari kandangnya kurang teguh, hingga kena didobrak disebabkan semuanya tak tahan dingin dan jadi meronta karenanya..."

Mereka berlari-lari ke luar, Yap Seng menyusul, hingga sebentar saja mereka sudah lenyap ditelan angin dan salju...

In Gak melihat kelakuan orang itu, ia bersenyum. Dengan mata tajam, ia mengawasi keluar rumah. "Engko In, dalam satu tahun saja kau telah berobah banyak sekali" berkata Lian cu, ia merasa aneh untuk kelakuan orang, "Kau menjadi lebih aneh sebenarnya ada urusan apakah?"

Si nona mendongkol menyaksikan engkonya nampak demikian puas hati..

In Gak tertawa.

"Kebiasaan dapat berubah menjadi tabiat, demikian sudah terjadi denganku" ia menyahut, masih ia tertawa, "Tapi sebenarnya aku tidak berubah sama sekali sebentar kau bakal mengarti akan duduknya hal. Adik Lian kau terlalu napsu?" Ia mencibirkan mulut, menggoda si nona. Lian cu berdiam, tertawa tak bisa, gusar tak bisa juga. Goat Go tertawa.

Tidak lama, Hong Piu dan Kim Go sudah kembali, Mereka balik cepat seperti tadi mereka pergi dengan lekas, Muka mereka basah dengan salju.

"Pok Eng telah menbayar pulang semua kuda yang dia telah rampas" berkata pemilik peternakan itu, tertawa, " Dia juga bilang, urusan pencurian barang-barangnya Ho Sansiang dialah yang nanti memegang tanggungjawabnya Dia berjanji bahwa Siang Lin semua bakal dimerdekakan, Hanya ketika dia mengangkat kaki, aku lihat romannya sangat kusut, dari itu aku kuatir bahwa di hari-hari nanti timbul pula urusan yang tak diingini."

In Gak hendak menjawab tetapi ia batal. Tiba-tiba terlihat tibanya seorang pendeta tua yang mukanya putih bersih, yang kumis dan jenggotnya putih semua. Dia mengenakan jubah abu-abu. Yang sepasang matanya mengawasi si naak muda tajam sekali. Sekonyong-konyong In Gak berlompat maju, untuk menekuk lututnya di depan pendeta itu. "Suhu" ia memanggil. Mendengar panggilan itu, semua orang heran hingga mereka tercengang. Tetapi hanya sebentaran semua lantas maju untuk memberi hormat.

"Terima kasih " kata pendeta itu sabar. “Jangan sicu semua menggunai terlalu banyak ada peradatan”

Kemudian ia lantas memandang In Gak yang masih berlutut di depannya, untuk berkata dengan suara dalam:

"Sekarang ini kau telah menjadi manusia luar Biasa Rimba Persilatan, di matamu mana ada lagi gurumu ini "

In Gak kaget dan heran- Ia melihat roman gurunya menjadi bengis, beda dengan semasa di atas gunung. Dulu hari itu, guru ini sangat sabar dan ramah tamah. Ia lantas menduga: "Adakah itu disebabkan perlawananku kepada suslok-couw tadi ?" Ia mendekam terus, keringatnya keluar meskipun itu waktu hawa sangat dingin.

"Di kolong langit ini mana ada orang lancang seperti kau " berkata pula sang guru, suaranya tetap keras. "Terang-terang kau ketahui Bu Liang Siangjin menjadi susiok-couwmu, ialah orang yang terlebih tua, kenapa kau berani lawan dia dan melukainya dengan pukulan cay-meh co-kut Hoat?Jikalau aku tidak lekas menolongi dia, bukankah aku bakal mensia-siakan pesan couwsu? orang kurang ajar sebagai kau, aku menyesal dulu aku telah berikan pelajaran padamu. Kau tahu sekarang tidak ada jalan lain daripada kau mesti dihukum dengan dimusnahkan ilmu silatmu Supaya di belakang hari janganlah kau menjadi biang celaka untuk kakum Rimba Persialtan”

Hebat kata-kata itu. In Gak kaget dan takut sekali. Yang lain-lainnya pun tak kurang kaget dan takutnya.

"Murid tahu dosanya..." kata In Gak. suaranya susah dan menggetar.

Semua orang berdiam, tak ada yang berani bicara. Lian cu dan Goat Go juga tak berkutik.

Tapi Ce Hong, si imam dengan pakaian bukan imam, mengajukan diri. "Locianpwe," kata ia dengan berani, sikapnya tenang. "aku minta supaya locianpwe jangan menghukum murid locianpwe ini. Dia telah melakukannya segala apa saking terpaksa, lantaran tak ada jalan lainnya... Aku harap locianpwe sudi dengar keteranganku. Beginilah duduknya peristiwa..."

Imam ini lantas menuturkan kenapa In Gak sampai bentrok dan bertempur sama Bu Liang Siangjin, ia pun membeber kenapa Bu Liang datang menyateroni mereka, yaitu guna mencari dan membelai keempat muridnya, Biauw Kiang Su Yauw, si empat siluman yang berbisa dari wilayah Biauw Kiang, ia pun mencela sikap Bu Liang merampas pedang kedua nona.

Kemudian, sambil tertawa, Ce Hong menambahkan “Jikalau murid locianpwe memperkenalkan dirinya dan ia mengakui Bu Liang Siangjin sebagai susiok-couwnva, mana kami semua masih dapat hidup selamat seperti sekarang ini? Apa kata andainya Bu Liang menitahkan murid locianpwe melakukan seperti apa yang dia kehendaki. Pasti sekali murid locianpwe menjadi serba salah. Bagus murid locianpwe tidak memperkenalkan diri dan tidak lantas mengakui Bu Liang Sianjin, maka urusan menjadi beres.

Yang harus disayangi ialah Bu Liang sudah bertindak menentang keadilan dan ia bersikap sangat keras terhadap murid locianpwe. Maka itu kami minta dengan sangat supaya locianpwe memberi ampun pada murid locianpwe ini yang terang tidak bersalah barang sedikit jua."

Beng Liang Taysu bukannya seorang yang tak mengerti aturan, Keterangan itu membikin roman-nya yang bengis menjadi reda Bahkan ia lantas mengerutkan alis.

"Meski begitu, In Gak tidak boleh menurunkan tangan jahat," ia kata sesaat kemudian "Bukankah itu menandakan dia tidak memandang yang terlebih tua?"

"Sebenarnya hal yang benar bisa jadi tidak benar, kalau itu tidak dilihat dengan mata sendiri, sulit untuk membedakannya." berkata Ce Hong pula, "Apa kata Bu Liang Siangjin yang menyerang murid locianpwe dengan jarum beracun kepunyaannya Biauw Kiang Yauw yang kesohor busuk itu, yang jarumnya sangat berbisa? Itulah. jarum Bu Eng San- hoa-ciam yang kesohor jahat. Tidak demikian, tidak nanti murid locianpwe menjadi melupai segala apa dan sudah menyerang Bu Liang Siangjin itu secara demikian- Dengan perbuatannya itu, murid locianpwe sudah menolongi kami semua. Maka itu, perbuatannya yang mulia itu justru harus dihargakan dan dipuji tinggi. Di jaman ini, tidak ada orang segagah murid locianpwe ini, itupula bukti bagaimana pandainya locianpwe sudah mendidik murid. Sebenarnya murid locianpwe telah mengumpul banyak jasa dan kebaikan. Sampaipun ia telah memperoleh hadiah obat mujarab dari Hek Ie Hian Li In Hian Bi, wanita yang kesohor itu.

Justru itulah obat yang merampas pulang jiwanya murid locianpwe dari keganasan jarum beracun yang dilepaskan Bu Liang Siangjin itu. Tanpa obat pemunah racun itu, sekarang ini mestilah murid locianpwe telah menjadi mayat dengan raga tak keruan macam. Kami tahu locianpwe amat bijaksana, maka itu kami minta sukalah locianpwe tidak mendengar keterangan sepihak saja."

Orang kagum untuk pandainya Ce Hong berbicara.

Beng Liang Taysu berdiam sejenak. ia memang tahu sifatnya Bu liang Siangjin, ia hanya tidak menduga bahwa duduknya demikian macam, jadi terang. Jadi terang adik seperguruan gurunya itu sudah tersesat dan tindakannya sangat bertentangan serta kejam juga. Di lain pihak, ia tahu juga sifat muridnya ini, selagi si murid mau menagih hutang jiwa, ada kemungkinan dia telengas, maka itu, ingin ia mencegahnya. "Kau bangun," katanya kemudian- "Aku hendak memesan kau."

In Gak menurut, ia berbangkit, mukanya pucat. Beng Liang Taysu menatap muridnya itu, “Sudah satu tahun lebih kau turun gunung, pernahkah kaupergi ke tepi sungai Ke Leng Kang menyambangi kuburan ibumu?" ia tanya sabar, tetapi alisnya berkerut. "Itulah kewajiban dari satu anak yang berbakti."

In Gak nampak bingung.

"Seteah pergi ke Tiang Pek, murid akan lantas pergi ke Ke leng," sahutnya. Guru itu mengangguk.

"Suslok couw kau itu, Bu Liang, memang tabiatnya keras dan gampang murka," ia berkata pula. "itu pula sebabnya kenapa kakek gurumu telah mengurung dia di Thian San, dia dilarang pergi ke luar. Kakek gurumu menghendaki keselamatan semua dari kita, kau tentu belum menginsafi maksudnya.

Pada tanggal satu bulan delapan yang akan datang, kau boleh pulang ke cap In Gay di Pak Thian San, di sana aku nanti menantikan kau. itu waktu lihat saja bagaimana dengan peruntungan kau"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar