Menuntut Balas Jilid 04 : Pembunuh ibunda berhasil dibasmi

Jilid 4 Pembunuh ibunda berhasil dibasmi

Habis bersantap. hari sudah lewat tengah- hari. Kiang Yauw Cong dan Tonghong Giok Koen mengajak Kang Yauw Hong berangkat, maka berpisahanlah mereka dari Ay-hong-sok dan In Gak. Nona Kang menepas air-matanya.

In Gak lantas mengatakan pada Kheng Hong bahwa ia ingin pulang kehotelnya buat beristirahat, lantaran ia letih dan ngantuk.

“Pergilah kau beristirahat” kata Ay-hong-sok tanpa curiga. “Aku belum minum cukup” Ia kembali keruangan makan. In Gak mengawasi sambil bersenyum. Seorang diri Ay-hong-sok minum sampai matahari doyong kebarat.

“Ah, heran itu bocah” pikirnya. “Dia tidur njenyak sekali” Lantas ia berbangkit, akan pergi kekamar orang. Ketika ia menolak daun pintu, ia mendapatkan kamar kosong. Diatas meja ada sehelai kertas. Ia ambil itu untuk dibaca. sekarang baru ia ketahui bahwa ia telah ditinggal pergi In Gak menjelaskan kenapa ia memisahkan diri, ialah lantaran Kheng Hong saudara angkat dari ayahnya dan tak merdeka untuk mereka berjalan bersama-sama . Kheng Hong menepuk meja.

“Setan cilik, kau berani menipu aku” bentaknya. Ia lantas berangkat kearah Shoasay, untuk mencari.

In Gak meninggalkan hotel bukan buat terus berangkat, ia hanya pindah kelain rumah penginapan yang terlebih kecil. Ia pun menjual kudanya. Ia tahu sudah baik, kalau ia pergi dengan menunggang kuda, ia gampang menarik perhatian umum. Ia mau berjalan kaki serta juga memotong jalan pegunungan.

Dihotelnya yang baru, ia lantas tidur, baru ia bangun sesudah sore. Terus ia dandan, untuk pergi keluar. setelah mencari keterangan, ia menuju ke Thian Cee Bio yang letaknya di utara, diluar kota, dekat Cio-kee-chung. Pula kuil itu berdiri mencil sendirian- Itulah sebuah kuil besar. Disitu sangat jarang ada orang. Ia berjalan cepat. Ia memakai topengnya. setibanya, langsung ia lompat naik kepayon, yang tingginya tujuh atau delapan tombak. Terus ia pergi ke pendopo.

Diatas kuil itu ada beberapa pos An Ceng Pay. Kecuali suara angin, kuil itu sunyi. Ia sengaja melintas didepan pos. Dengan menggunai tindakan Hian-thian Cit-seng-pou, ia bergerak sangat gesit, tubuhnya berkelebat seperti bayangan sampai mata penjaga pos kabur, seorang ngoceh sendirian: “Benar-benar aku melihat hantu, Rupanya kelelawar keluar membentur setan”

In Gak tertawa dalam hati. Ia maju terus, sampai dipendopo besar. Disini ia mendapatkan empat orang berdiri dimuka pendopo. Mereka membawa lentera yang mengeluarkan sinar kuning muda, yang saban-saban disorotkan keempat penjuru. Maka ia menjembunjikan dirinya. Ia mendengar suara orang didalam pendopo itu. Untuk mendapat dengar dan melihat dengan terang, ia mencari tempat dimana ia bisa berdiam tanpa terpergok.

Didalampendopo itu berkumpul kira2 tigapuluh orang, semua berduduk dibangku-bangku panjang. Dibangku kiri, kebetulan berbicara orang yang nomor tiga, seorang tua dengan jenggot- kumis panjang dan mukanya merah, yang matanya tajam.

Kata dia: “Sebenarnya kita pihak An Ceng Pay tidak bermusuhan dengan sipelajar luar biasa itu, maka itu tak perlunya kita mencari gara-gara, tetapi kita dengan pihak Ceng Hong Pay telah membuat janji, kalau ada musuhnya didalam daerah kita, mesti kita membantu padanya.

Demikianlah kita mendapat permintaan dari Ceng Hong Pay itu, hanya kali ini dari cabangnya. sebenarnya kita dapat menolak, sebab permintaan bukan langsung dari Paycoe Pok Hong. Sekarang kebetulan hadir seorang cianpwee dari pihak kita, harus kita mendengar suaranya. Ialah Loocianpwee Kioe- sin Soh Cian Lie.”

Dari bangku kanan, seorang tua, yang rambut dan kumisnya sudah putih lantas berkata:”Ooh, loocianpwee itu muncul pula? sepuluh tahun sudah ia tak pernah terlihat dalam dunia Kang-ouw, aku kira ia telah berdiam digunung dan tidak bakal keluar pula. Aku dengar ia liehay ilmu silatnya terutama ilmu silat Lo- auw sat- kang. Kalau pukulan itu mengenai tubuh, lantas ketinggalan tapak tangannya yang hitam dan anggauta-anggauta tubuh bagian dalam lantas rusak-hancur, sekarang ia muncul pula, mesti ia menjadi terlebih liehay lagi”

Mendengar itu, In Gak bercekat hati. Ia berpikir: Bukankah dia orang yang mencelakai ibuku? Kalau benar, hmm.. Tak dapat dia lolos dari tanganku, ia mendengari terus. “Benarlah Cio Loosoe banyak pendengarannya” kata orang tua yang pertama. “Tidak kecewa Loosoe menjadi salah satu dari Yan-san soe-lo” Ia berdiam sebentar, untuk melanjuti: “Dalam urusan ini paycoe berniat menampik, tetapi Soh Loocianpwee menganjurinya menerima seraya dia bersedia melayani sipelajar aneh itu. Hanya heran, sampai disaat ini, dia masih belum muncul”

“Mungkin dia bakal segera tiba,” berkata orang tua she Cio itu “Hanya sipelajar aneh, dia pun masih belum datang sampai waktu begini. Apakah boleh jadi warta yang dikirim telah tidak sampai kepada alamatnya?”

“Hm” bersuara si orang tua muka merah dan jenggot panjang. “Jikalau pihak Kay Pang berani main gila, aku si orang tua nanti mengubrak-abrik sarangnya yang butut”

“Besar sekali mulutnya orang tua ini” pikir In Gak. “Kenapa dalam Rimba Persilatan, semua orang begini jumawa?”

Belum berhenti si anak muda berpikir maka disana terlihat seorang lari masuk kependopo besar, kepada si orang tua muka merah itu ia memberi laporan: “Tongcoe, Soh Loocianpwee telah tiba”

Orang tua muka merah itu mengasi dengar suara tanda tahu, lantas dia berbangkit, untuk terus bertindak keluar. Semua orang lainnya mengikuti. Maka dilain saat, mereka sudah mengiringi masuk seorang tua muka keriputan.

In Gak mengawasi orang tua itu, dalam hatinya ia kata: “Kiranya dia dijuluki Kioe-sin sebab benar-benar mukanya mirip sekali”

Kioe-sin si Merpati sakti mengenakan baju warna biru, kepalanya hampir lanang, tinggal hanya dua tumpuk dipinggiran telinganya. Karena giginya dikedua pinggiran sudah copot, dia menjadi kempot hingga mulutnya mirip patuk burung dara. Sepasang matanya kecil tetapi bersinar tajam. Nampaknya dia licin- Ditangannya dia memegang sebatang hoencwee atau pipa panjang.

Selagi mengawasi hoencwee itu, hati In Gak bercekat, lantas darahnya mendidih. Ia melihat tangan orang ada dua jerijinya yang lebih.

Kioe-sin Soh Cian Lie sudah lantas duduk gembira menghisap hoencwee, dia nampak jumawa sekali.

“Lauw Tongcoe,” dia kata pada si orang tua muka merah, “Apakah itu bocah belum tiba?”

Belum habis perkataannya orang yang sikapnya sangat jumawa ini, mendadak dia merasai tangannya bergetar, lantas hoencwee ditangannya itu lenyap tanpa sayap. Begitu dia mengangkat kepalanya, didepannya terlihat seorang muda dengan pakaian hitam, yang mukanya beroman luar biasa.

Apa yang aneh, orang tahu-tahu sudah berada didepannya itu serta tangannya mencekal pipa panjang kepunyaannya itu, si orang muda yang mengawasi ia dengan tajam, dua kali tertawa dingin, semua orang menjadi heran.

Soh Cian Lie menjadi pucat mukanya, lantas itu berubah menjadi guram. Cuma sejenak dia memandang si anak muda, tiba-tiba tubuhnya mencelat bangun dari bangku panjang, sambil berlompat itu kedua tangannya menyambar kepada si anak muda, guna merampas pulang pipa panjangnya. Dalam heran dan murkanya, ingin ia merampas hoencweenya itu.

Belum lagi Kioe-sin sampai kepada si anak muda, tubuh si anak muda sendiri sudah mencelat kedepannya si orang tua dengan muka merah, dari mana ia mengawasi si Merpati sakti. Dia menjadi kecele, tetapi sekarang dia tidak berlompat pulang, untuk mengulangi percobaannya, hanya dia berdiri diam, dia tertawa dingin dengan matanya menatap tajam kepada perampas pipa panjang itu. “Lauw Tongcoe,” berkata si orang muda kepada si orang tua muka merah itu, yang dipanggil tongcoe, atau ketua bahagian, ia bicara dengan dibikin ayal-ayalan “Ada urusan apakah kau mengundang tuan mudamu?”

Orang tua dengan muka merah dan jenggot panjang itu adalah ketua bahagian cabang di Cio-kee-chung dari An Ceng Pay, dia she Lauw bernama Hay, gelarannya jalah Lauw-hay- kauw si Ular naga Pengacau Laut. Ditanya si anak muda, dia terguguh hingga dia berdiam saja.

“Apakah tuanyalah orang yang tadi malam sudah..” tanyanya sukar.

“Tidak salah” menyahut si anak muda getas. “Tuan muda kamu ini ialah yang tadi malam sudah menjadi musuhnya Ceng Hong Pay. Ada sangkutan apakah urusan kita itu dengan kamu dari An Ceng Pay?”

Lauw Hay menjadi likat sekali. Memang benar kata-kata si anak muda, tidak ada perlunya untuk An Ceng Pay membantu Ceng Hong Pay dalam urusan seperti itu. Hanyalah, sebagai tongcoe, dia besar hatinya, dia dapat segera mengendalikan diri. Maka dia tertawa lebar.

“Kau telah menerbitkan onar dalam daerah pengaruh An Ceng Pay” bentaknya. “Kami berhak untuk mencampuri-tahu urusan itu”

“Prak,” demikian suatu suara nyaring, dari ditepuknya meja suci disamping si anak muda ditepuk oleh anak muda itu, yang tertawa berkakak. nadanya mengejek. ”Angin busuk! Negara ini negara raya, hak apa An Ceng Pay mempunyai maka kamu berani melarang? An Ceng Pay bukannya pembesar negeri, bahkan dialah suatu perkumpulan bangsat- bangsat yang jahat orang she Lauw, jikalau kau masih ngaco dengan kejumawaanmu maka heranlah andaikata tuan muda kau tidak menghajar padamu”

Meja pujaan malaikat itu, lantaran ditepuk, telah mendapatkan tanda telapakan tangan bagaikan diukir. Itulah tanda dari tenaga dalam yang liehay. Maka itu, melihat demikian, semua orang menjadi tercengang, hingga ada yang menyedot hawa dingin atau menggigil sendirinya. Soh Cian Lie sendiri berdiam sambil mengerutkan alis, tak dapat dia mengucapkan sesuatu.

Anak muda itu menepuk dengan tenaga biasa saja, apabila ia mengerahkan tenaganya, pastilah meja itu ringsak atau pecah bolong dibagian yang terhajar itu.

Orang tua she Ciotadi lantas bertindak menghampirkan, ia memberi hormat dengan merangkap kedua tangannya, sembari tertawa ia berkata:

“Siauwhiap, mari duduk. Untuk kita berbicara dengan perlahan-lahan. “

“Sebenarnya semua hadirin disini mengagumi padamu, maka juga mereka datang berkumpul untuk dapat memandang dan aku Cio Cin Thian yang tua, yang disini membuka rumah perguruan, lantaran sangat kagum, dengan tergesa-gesa aku datang kemari, untuk belajar kenal, untuk bersahabat. Dalam hal ini, Lauw Tongcoe tidak dapat dipersalahkan oleh karena dia lagi menjalankan tugas, dari itu aku mohon siauwhiap suka memaafkannya.”

“Cio Loosoe, berat kata-katamu ini” berkata si anak muda tertawa. “Sekarang aku cuma hendak bertanya, Lauw Tongcoe hendak mengambil keputusan apa?”

Lauw Ha y hendak menjawab, atau Soh Cian Lie telah mendahului dia sembari tertawa aneh, Kioe-sin berkata: “Bocah, keputusan apa hendak diambil, kau baik menanyakan saja aku si orang tua” Si anak muda berpaling. Dengan dingin ia berkata: “Soh Cian Lie, jangan kau terlalu mengandalkan ilmu silatmu yang dinamakan Lo-auw sat-kang dan menganggapnya kepandaian itu tanpa tanding. Dimata tuan muda kamu, kepandaianmu itu tidak ada artinya, tetapi jikalau tanganmu sudah gatal, kau tunggu dulu sampai urusanku dengan An Ceng Pay sudah selesai, sebentar kita menc ari satu tempat sepi dimana tidak ada lain orang, untuk kita main-main”

Cian Lie kaget, hingga hatinya terkesiap. Ilmusilatnya itu pernah digunai hanya tiga kali, dan selama lima belas tahun yang paling belakang belum pernah dipakai lagi. Kenapa si anak muda mengetahuinya?

Si anak muda lantas menatap Lauw Hay, ia berdiam tetapi la agaknya menanti jawaban, Lauw-hay-kauw juga mengawasi, akhirnya terpaksa ia memberikan penyahutannya.

“Menurut aturan Rimba Persilatan, yang menang ialah yang benar,” katanya, “Maka itu sekarang, tidak ada perlunya untuk banyak omong lagi silakan pergi keluar pendopo ini, untuk aku minta pengajaran dari kau. Umpama kata aku si orang she Lauw tidak dapat kemenangan, maka selanjutnya, buat selama-lamanya, partaiku tak akan mencampuri pula urusan ini”

“Baiklah, begitu janji kita” kata si anak muda tertawa.

Lantas ia memutar tubuhnya untuk mendahului pergi keluar pendopo.

Diluar pendopo, itu ada sebuah tempat pemujaan terbuat dari batu lebar duapuluh tombak lebih, disitu telah dipasang empat batang lilin besar, yang memberi penerangan luas kepelbagai penjuru.

Lauw Hay muncul bersama delapan kawannya.Yang lain- lain berada ditempatnya masing-masing. Ia merasa sulit karena pertanyaannya si anak muda kenapa dia dari An Ceng Pay mencampuri urusan Ceng Hong Pay. Dilain pihak. dia ingin sekali melihat kepandaiannya Kioe-sin Soh Cian Lie.

“Siauwhiap. Silakan” ia berkata, terpaksa, sambil tertawa dan merangkap kedua tangannya.

Si anak muda tidak lantas menyerang, ia telah mengambil keputusannya. Tidak ingin ia menanam bibit permusuhan.

“Lauw Tongcoe,” katanya tertawa, “Karena kita tidak bermusuhan, siapa pun terluka dalam pertempuran ini, buat kedua pihak sama tidak baiknya, dari itu aku pikir baik kita mengatur begini saja: kita sama-sama menggunai kegesitan kita. Tongcoe boleh menyerang aku, selama tigapuluh jurus, asal tongcoe dapat menowel bajuku, kaulah yang menang, nanti aku turut kau pergi menemui pangcoe kamu yang terhormat. Jikalau tongcoe tidak dapat menowel bajuku, anggaplah kita seri. Bagaimana?”

“Kau terlalu jumawa” pikir Lauw Hay. “Dengan mengandalkan latihanku limapuluh tahun, jikalau aku dalam tempo tigapuluh jurus tidak dapat melanggar bajumu, itulah terlalu lucu.”

Meski demikian, ia bersenyum. Ia kata: “Kaulah yang menghendaki ini, siauwhiap. baik, aku menerimanya Kau jaga, aku mau lantas mulai”

Si anak muda bersenyum, ia seperti tidak menghiraukan sesuatu.

Lauw Hay segera membuktikan perkataannya. Ia menyerang dengan dua-dua tangannya, dalam sikap Jit-goat- jip-hoay atau Matahari dan bulan terangkul. Dengan begitu ia mengancam dari kiri dan kanan, untuk mencegah orang berkelit kekedua samping. Ia girang sekali, sebab ia merasa pasti akan berhasil. Tepat kira2 dua dim lagi, tangannya bakal mengenai ujung baju luar, mendadak tubuh si anak muda melesat, bagaikan bayangan- tubuh itu menghilang, hingga kedua tangannya beradu satu dengan lain. ia masih melihat tubuh si anak muda, atau mendadak dia lenyap pula dari depan matanya, Itulah ilmu ringan tubuh yang sangat mahir.

Tanpa merasa, ketua cabang An Ceng Pay ini mengeluarkan peluh dingin. Tapi, dalam herannya, ia menjadi penasaran, maka itu, ia lantas mengulangi serangannya.

Ketika ini pun gagal, ia mengulangi terus-terusan, sampai belasan jurus.

Aneh anak muda itu. Tubuhnya saban-saban berkelebat, setiap kalinya dia bebas dari serangannya. Dia gesit luar biasa. Maka setelah belasan jurus yang dahsyat itu, ketua cabang An Ceng Pay itu sendiri yang matanya menjadi kabur dan kepalanya pusing

“Celaka” pikirnya Lauw-hay-kauw achirnya. Lawan bagaikan hantu, kalau ia mencoba terus-terusan, ia bisa roboh sendirinya saking letih. Ia lantas memikir buat menggunai siasat berlompat. inilah tipu silat Leng-khong-pak-kie yaitu menerkam dari udara, inilah cara yang berbahaya,yang dipandang sebagai pantangan. Cuma dalam keadaan terpaksa, orang suka menggunai itu. Dengan berlompat, tubuh menjadi seperti kosong. Yang diandalkan cuma kesebatan, untuk menang tempo. Ia berani mencoba ini sebab sianak muda sudah berjanji tidak akan membalas. Maka mendadak ia berhenti menyerang, dengan tajam ia mengawasi.

Si anak muda pun berdiam seraya memasang mata, agaknya ia menduga-duga apa yang bakal dilakukan lawannya. Justeru ia berdiam, justeru ia diserang. Sambil berseru nyaring Lauw Hay berlompat tinggi, untuk menubruk, kedua tangannya diulur panjang-panjang, sepuluh jarinya mengancam bagaikan kuku-kuku tajam. Arahnya jalah kedua pundak lawan.

Si anak muda tidak menjadi kaget dengan terjangan dari udara itu, sebaliknya dia tertawa berkakak, sangat gesit seperti tadi, dia telah berkelit, maka juga ketua cabang An Ceng Pay itu menjadi menubruk tempat kosong. Tepat ketika kedua kakinya menginjak tanah, ia melihat si anak muda berdiri sambil tertawa didepannya.

Dengan gerakan yang serupa anak muda itu meloloskan diri. Ia hanya berlompat tinggi untuk berkelit, lalu ia menyusul turun didepan Lauw-hay-kauw, si Ular naga Pengacau Laut, orang menjadi kagum, sorak-sorai adalah pujian mereka.

Soh Cian Lie berada diantara para hadirin, air mukanya nampak guram.

Baru sekarang Lauw Hay merasa si anak muda bukan sembarang orang. Ia berhenti menyerang lebih jauh, ia memberi hormat, sembari tertawa ia kata dengan jujur: “Tuan, kau sangat liehay, aku si orang she Lauw menyerah kalah. sekarang juga aku meminta diri. Jikalau kau sudi, begitu ada ketikanya harap kau sudi berkunjung ketempat kami.”

Si anak muda tertawa.

“Lauw Tongcoe,” katanya, “Tanpa bertempur tidaklah kita berkenalan Baiklah, lain hari aku akan berkunjung kepada tuan.”

Lantas ia menoleh kepada Soh Cian Lie, untuk berkata dengan nyaring. Beda daripada menghadapi Lauw Hay, kali ini ia berlaku bengis.

“Soh Cian Lie, sekaranglah giliran kita mengambil keputusan” demikian katanya. Dengan hoencwee ditangannya, tak hentinya tangannya itu diputar-putar.

Muka Soh Cian Lie menjadi merah-padam. Terang ia tengah diperhina. Maka ia tertawa bergelak. untuk mengejek. Selagi tertawa itu, tubuhnya berlompat maju, untuk menj erang dengan dahsyat.

Si anak muda tidak menyambuti serangan- Dengan menggeser kaki, ia berkelit. Adalah setelah berkelit ini, terus sembari berputar ia menyerang, menotok kejalan darah siauw- kok.

Jalan darah itu berada dibelakang telapakan tangan- Dengan lantas Soh Cian Lie merasai belakang tangannya itu kaku, saking kaget, ia lompat mundur, matanya menatap anak muda itu, dalam hatinya ia kata: “Benar-benar aneh gerakannya, bocah ini”

Si anak muda tidak maju menyerang, ia tertawa dan kata: “Soh Cian Lie, mari kita mencari tempat yang sepi dimana kita boleh melanjuti pertempuran kita, untuk mengadu jiwa, siapa mati siapa hidup”

Belum lagi orang she Soh itu menyahuti, Lauw Hay menyelak dengan berkata: “Jikalau tuan-tuan tidak sudi kami melihat pertandingan kamu, baiklah, kami akan mengundurkan diri”

“Bagus” si anak muda menyahut tertawa.

Lauw Hay benar-benar menyingkir bersama rombongannya, hingga disitu tinggal empat batang lilinnya yang besar.

“Siluman burung merpati” si anak muda berseru dengan nada suara berat, “Sekarang dapatlah kau menggunai ilmu silatmu yang liehay, Lo-auw sat-kang, Tuanmu yang muda ingin belajar kenal dengan kepandaianmu itu”

Kemurkaannya Soh Cian Lie meluap dari takarannya, dengan sebat luar biasa, dia berlompat maju, untuk menyerang. Dia benar hebat, tubuhnya berputar sangat pesat.

Si anak muda menduga kepada ilmu silat Bie- lie Hian- heng-ciang, dengan itu orang dapat membuat tubuhnya tampak samar2. ia tidak kenal ilmu silat itu, ia cuma pernah mendengar. ia mendapat kenyataan, benarlah ilmu itu liehay sekali. Untuk melayani ia bersiul panjang, tubuhnya mencelat tinggi. Inilah jurus sin- liong soan- khong atau Naga sakti berputaran diudara.

Perlawanan semacam itu membikin Soh Cian Lie terperanjat, selagi berkelit, ia lantas ingat satu orang, Maka itu begitu berkelit, ia menanya dengan bengis: “Kau pernah apa dengan Twie-hoen-poan Cia Boen?”

Anak muda itu tertawa terbahak. Ia tengah mencoba, nyata ia berhasil.

“Merpati siluman, matamu benar tajam” katanya. Lalu menambahkan, dia menjadi bersikap bengis: “Tuan mudamu ini turunan dari Twie-hoen-poan. Kau lihatlah, malam ini kau bisa lolos atau tidak dari ilmu silatku Kauw-cap-cit-sie Hoei- liong-ciang”

Benar-benar Soh Cian Lie kaget, hingga gentarlah hatinya. Tapi ia tidak takut, ia lantas tertawa dingin dan berkata: “Dulu hari itu, Twie-hoen-poan menjadi arwah berkeliaran dari aku, maka kau, berapa tinggikah kepandaianmu hingga kau berani bertingkah jumawa sebagai ini?”

Sekarang si anak muda telah memperoleh kepastian ia benar lagi menghadapi musuh ayahnya, tidak mau ia bicara pula, dengan lantas ia menyerang, tubuhnya berlompat tinggi. Ia menggunai jurus Naga dimega menggunai kukunya.

Ilmu silat Hoei-liong-tiang dari Cia Boen itu, yang terdiri dari sembilanpuluh-tujuh jurus (kauw-cap-cit-sie) terdiri dari jurus-jurus yang dilakukannya sambil berlompat tinggi, jadi tepat dengan namanya pukulan Naga Terbang (Hoei-liong- ciang). setiap kali habis berlompat, begitu menginjak tanah, kedua kaki menjejak pula, untuk berlompat lagi, sedang kedua tangan bergerak-gerak bagaikan kuku.

Soh Cian Lie tetap melayani dengan Bie-lie Yauw Hian Ciang, tapi saban-saban ia mesti berdongak akan melihat musuhnya. satu- dua kali masih tidak apa, setelah diserang terus-menerus, ia menjadi berkuatir juga. Itulah berbahaya untuknya. Pikirnya: “Celaka aku bisa-bisa aku terpedayakan anak muda ini”

Begitu berpikir, ia berlompat melesat, sebab justeru ia diserang dengan jurus Naga emas mengeluarkan kuku. Ia bebas tetapi segumpal rambutnya kena tertarik. Ketika ia berlompat, ia disusul si anak muda, hanya kali ini anak muda itu tidak mengulangi serangannya, dia melainkan menatap tajam, sikapnya memandang tak mata.

Soh Cian Lie juga mengawasi tajam, bahkan ia memusatkan perhatiannya. sinar matanya bengis, kedua tangannya dipentang, semua jerijinya ditekuk. Dari embun- embunannya mengepul uap putih. Mukanya yang pucat membikin ia mirip dengan mayat yang baru dibongkar dari liang kubur

Si anak muda lantas menduga: Dia tentu mau menggunai Lo-auw sat-kang. Baiklah, aku pancing padanya. Ia lantas mundur, setindak demi setindak. Kedua tangan orang she Soh itu mengeluarkan hawa yang panas.

Terus si anak muda mundur, sampai diloneng dari tempat pemujaan- Baru disini,

lantaran tidak ada tempat mundur lagi, ia tidak mundur lebih jauh. Ia berdiri tegak. matanya mengawasi musuh.

Soh Cian Lie maju terus. Ia menyangka si anak muda jeri. Ia menjeringai, hingga ia nampak bengis dan tak sedap untuk dipandang. ia maju sampai ia terpisah dua tindak darisianak muda, sekonjong-konjong kerongkongannya mengasi dengar suara nyaring dan bengis, terus tubuhnya bergerak. untuk dengan kedua telapakan tangannya menyerang kedada.

Si anak muda mendak dengan sebat.

Serangan Cian Lie tidak dapat ditarik pulang lagi, maka dengan satu suara keras, loneng batu kena terhajar, sampai muncratlah lelatu apinya. Akibatnya itu ialah berbekasnya dua tapak tangan, diantaranya ada tapak tujuh buah jeriji. Kedua tapak itu tampak lebih besar, suatu bukti pukulan Lo-auw sat- kang itu dengan sendirinya menyebabkan kedua tangan menjadi melar.

Si anak muda mendak bukan untuk mendak belaka.

Dengan sebat ia menggeser tubuhnya kebelakang lawan. Dari sinilah ia melihat tapak tangan itu, hingga darahnya bagaikan bergolak. Itulah tapak yang sama benar dengan yang terdapat pada tubuh ibunya, maka terbuktilah, ini orang liehay ialah musuh besarnya. sejenak itu, sinar matanya bagaikan menyala.

Soh Cian Lie merasa bahwa bahaya mengancam ia karena gagalnya serangan itu Dengan sendirinya ia menjejak tanah, untuk berlompat menjauhkan diri setombak lebih, setelah mana segera ia memutar tubuhnya, untuk bersiap andaikata lawannya menyerang padanya. Ia melihat si anak muda tidak berlompat hanya maju satu tindak demi satu tindak.

lantas ia mendengar pertanyaan yang berat dan seram terdengarnya:

“Apakah kau si anjing tua yang dulu hari telah membinasakan seorang wanita yang lemah yang tak kuat sekalipun mengikat ayam didusun nelayan ditepi sungai Kee Leng?” Benar-benar Soh Cian Lie besar nyalinya.

“Tidak salah” dia mengaku terus-terang. Ketika itu beruntung sekali Cia Boen si bocah telah dapat menyembunyikan dirinya. Dia tidak melainkan memberikan jawabannya, sambil berkata-kata itu dia terus mengerahkan tenaganya, untuk menyerang pula dengan Lo-auw sat-kang, pukulan dari kematiannya itu, bahkan kali ini ia menggunai tenaga yang berlebihan- Maka itu hawa yang panas segera menyerang si anak muda.

Si anak muda tertawa perlahan, dingin nadanya. Ia tidak berkelit atau menangkis, ia malah menyambuti serangan yang berbahaya itu.

Untuk terkejutnya orang she Soh itu, ia mendapatkan serangannya itu tertolak mundur dengan keras, dan selagi ia kaget itu, hingga ia belum sempat memikir apa-apa, ia merasakan matanya menjadi gelap. berbareng dengan mana, tubuhnya tergempur hebat sekali. Tidak tempo lagi, ia terpental mundur, jatuh menimpa undakan tangga batu. Ia mempunyai tenaga dalam yang mahir, begitu roboh, meskipun ia mengeluarkan suara tertahan, ia dapat segera mencelat bangun dengan gerakan ikan gabus meletik, Hanya ia mencelat bukan untuk menghadapi pula lawannya,yang ia tadi pandang enteng, hanya ia berniat menyingkirkan diri.

Si anak muda berlaku awas gesit luar biasa. Ia mencelat maju, untuk menguber. Nyata ia dapat bergerak lebih pesat lagi. Waktu ia mengulur kedua tangannya, bagaikan kilat cepatnya, ia dapat menyamber kedua pundak Cian Lie. Maka itu, disitu terdengarlah suara meretek yang mengakibatkan kedua tangan Kioe-sin si Merpati sakti menjadi mereyot turun bagaikan daun pintu terlepas engselnya.

Si anak muda tidak berhenti sampai disitu. Dengan kesebatan luar biasa, ia menyerang pula dengan pelbagai totokan, mengenakan sembilan jalan darah, hingga dalam sekejap itu juga, Soh Cian Lie tidak dapat bergeming lagi, jidatnya mengeteskan peluh sebesar-sebesar kacang kedele, dan mukanya mengkerut, tandanya dia merasa nyeri tak terhingga, sama sekali tak dapat dia mengeluarkan suaranya.

Walaupun keadaan dan roman orang demikian rupa itu, si anak muda. sedikitpun tidak mengasi lihat roman berkasihan, sebaliknya dengan tertawa dingin la berkata:

“Soh Cian Lie, hendak aku membuat kau mati dengan terang dan jelas. Aku beritahu kepadamu, tuan mudamu ini ialah turunan dari Cia Boen serangan ini ialah serangan ilmu silat Cit-jit souw-im Toan-hoen, artinya, dalam tempo tujuh hari jiwamu bakal dibikin putus. Walaupun malaikat turun kedunia, kau tak nanti terbebas dari totokanku ini. Baik kau ketahui, tuan mudamu berniat agar kau mati perlahan- perlahan, sebab tidak demikian, maka sakit hatiku ini sukar untuk dibikin lampias”

Kata-kata ini diachirkan dengan kesebatan- Dengan hanya satu gerakan berkelebat, lenyaplah tubuh si anak muda. suasana pun menjadi sunji sekali, kecuali suara menjereces perlahan dari keempat batang lilin besar yang hampir habis. suara itu juga hanya sebentar, lantas lenyap, lantas padam sang api, hingga tinggal nyala benang sumbuhnya. Atau dilain saat, gelap- gulitalah seluruh kuil itu.

Matahari baru muncul ketika dijalan kecil diantara Hoo-kan dan Jim-kioe terlihat seorang anak muda lagi berjalan dengan tindakan perlahan. Dialah seorang pelajar yang tampan, yang tangannya mencekal sebuah kipas, Nampaknya dia bertindak perlahan, tetapi buktinya, sebentar saja dia sudah melintasi tiga sampai limapuluh tombak. Pemuda itu bukan lain daripada si pelajar yang luar biasa, jalah Cia In Gak alias Gan Gak. Memang ia sengaja mengambil jalan kecil itu untuk menuju kekota raja, lantaran ia tidak ingin menarik perhatian umum. Ia mengambil tepian sungai Houw To Hoo, yang menuju ke ibukota kewedanan Hoo-kan.

Jalan kecil itu menuju ke Jim-kioe, terus ke Pa-koan dan dan Kouw-an, lalu ke Hong-tay, untuk memasuki kota raja.

Ketika tadi malam habis membunuh Soh Cian Lie, ia kembali kehotelnya untuk mengambil buntalannya, diwaktu fajar ia berangkat, maka beradalah ia dalam perjalanan itu Ketika ia sudah melintasi kota Hoo-kan, ditempat duapuluh lie lebih dimana ada pepohonan tua yang lebat, ia mendapatkan sebuah dusun kecil. Itulah dusun Jie cap lie-pou yang menuju ke Jim-kioe, maka itu, walaupun tempatnya kecil, lalu- lintasnya ramai, tak sedikit kuda dan kereta kaum saudagar yang mundar- mandir.

Setibanya disitu, In Gak memasuki sebuah rumah makan yang merangkap penginapan- ia mendapatkan sudah ada banyak juga orang duduk bersantap. Ia mencari meja yang masih kosong. Ia lantas dilayani seorang tua yang rambut dan kumisnya ubanan, yang mukanya kuning dan tak hentinya batuk-batuk. sedang suaranya pun serak. Disamping itu, dia mempunyai sepasang mata yang tajam.

“Tuan ingin dahar apa?” tanya orang tua itu ramah-tamah. “Aku habis jalan satu malaman, aku lapar, aku dapat dahar

apa saja barang makanan yang tersedia,” sahut In Gak tertawa. “Tak usah loojinkee susah-susah menyiapkannya.”

“Begitu? Baiklah” kata empee itu yang terus berpaling kedalam, untuk berkata-kata dengan suaranya yang serak:

“Anak Wan, mari bawa bahpauw, poci arak dan daging untuk seorang tetamu kita ini” “Ya, yaya” menyahut satu suara halus dari dalam, suaranya seorang nona.

“Tuan, duduklah sebentar” kata si empee tertawa kepada tetamunya.

“Cucuku akan segera datang dengan barang makanannya, Dia dapat menyalakan api dengan cepat”

Ia memandang tetamunya, ia bersenyum, lantas ia pergi kekursi bambu dipinggiran tembok. untuk duduk sambil meramkan mata, rupanya untuk beristirahat. Barusan ia masih batuk-batuk dua kali.

Sambil berduduk. In Gak memandang kearah semua tetamu. Rupanya mereka itu semua saudagar-saudagar hasil bumi. Ia melihat dua tetamu usia lebih- kurang empat puluh tahun, yang alisnya tebal, matania besar, dan pakaiannya singsat, sedang dipunggungnya tergendol golok. Anehnya sembari minum mereka saban-saban mengawasi si orang tua, mereka pun memperlihatkan senyuman dingin. ia heran hingga ia jadi bercuriga.

Mungkinkah orang tua ini orang Rimba Persilatan dan mereka ini datang kemari

mengandung suatu maksud? ia menduga-duga. Tengah ia berpikir itu, mendadak telinganya mendengar: “Yaya, ini barang hidangan, yang harus dimakan panas-panas, kalau sudah dingin, nanti tak lezat didaharnya”

Dan suara itu pun halus.

Begitu ia menoleh, In Gak melihat seorang nona umur empat- atau lima belas tahun. Benar dia mengenakan pakaian kain kasar, tetapi kecantikannya tak jadi lenyap karenanya.

Dipandang si anak muda, dia agaknya likat, tapi matanya yang jeli mengawasi anak muda itu. Ditangannya ada penampan terisi barang makanan yang masih mengepulkan asap. Hanya sekejab, lekas dia meletaki penampannya itu, lalu dengan air muka bersemu dadu, cepat-cepat dia masuk kedalam, sambil tunduk dan bersenyum.

“Dia cantik sekali,” pikir In Gak. Tapi ia tidak dapat berpikir lama. Telinganya lantas mendengar satu diantara dua tetamu usia pertengahan itu berkata kepada kawannya.

“Lao Toa, aku tidak sangka sekali ini tua bangka berpenyakitan mempunyai seorang cucu wanita demikian elok dan manis”

“Hm Kembali penyakitmu kumat” kata sang kawan. “Tunggulah sebentar, sampai tibanya Tong-san Jie-niauw Kenapa mesti terburu napsu?”

In Gak heran, lantas ia bersenyum ewah. Bukankah dua orang itu bicara dari hal si nona? Kata ia dalam hatinya: Aku ada disini Kau lihat saja Ia menduga dua orang itu bangsa kurcaci.

Si orang tua pun dapat mendengar kata-kata orang itu.

Mulanya ia terkejut, ia mengawasi mereka. Cuma sebentar, ia meram pula. Tapi barusan In Gak melihat mata yang bersinar, sedikitpun tidak ada tandanya sinar mata orang lagi sakit

sekian lama si orang tua rebah, mulanya masih terdengar batuknya, lalu ia berdiam saja, rupanya ia sudah kepulasan. Para tetamu bergantian melanjuti perjalanan mereka, masing- masing setelah meletaki saja uang diatas meja.

Paling akhir, karena tidak ada tetamu yang baru, disitu tinggal In Gak berdua dua tetamu yang mencurigai itu.

Mereka berdua minum dengan hati tak tenang, mata mereka terus celingukan, mulut mereka mengoceh dan mengutuk.

Tidak antara lama, dari dalam terlihat lari keluarnya seorang bocah umur kira2 tujuh tahun. Dia beroman tampan dan manis. Kedua matanya besar dan jeli, biji matanya hitam dan terang. Dia mendatangi sambil tak hentinya berteriakan “Yaya.. Yaya” memanggil kakeknya. Menyusul dia terlihat si nona tadi. Ketika nona itu mendapatkan si anak muda belum pergi, dia likat, dia mengendorkan larinya.

Si orang tua dibikin mendusin oleh suara berisik cucunya, dia membuka matanya dan memeluk cucu itu, sembari tertawa dia berkata: “Anak Ceng, bukankah kau berbuat nakal pula hingga kau membuatnya kakakmu gusar?”

“Tidak, yaya, anak Ceng tidak nakal” menyahut anak itu sambil mengawasi kakeknya, mulutnya dibikin monyong. “Ceng cuma makan sepotong bahpauw, enci gusar, dia mau merangket tanganku Lihat yaya, bukankah encie galak? “

Orang tua itu girang, dia tertawa lebar, suaranya nyaring. si nona lantas menghampirkan.

“Yaya, batukmu belum sembuh, mengapa kau tertawa?” katanya, setelah mana, ia tarik si bocah.

Si empee menghela napas, lantas ia meram pula.

Dua tetamu itu agak terkejut mendengar suara tertawa si empee. Justeru itu

dari kejauhan terdengar siulan panjang, yang mendatangi, lalu tertampak munculnya empat orang. Mereka datang demikian lekas, suatu tanda mereka mahir ilmu ringan tubuh. Pula barusan, tindakan kaki mereka tidak menjebabkan mengepulnya debu.

Melihat empat orang itu, si nona terperanjat, mukanya menjadi pucat. Tanpa merasa, dia mundur kedekat meja In Gak.

“Nona, mari kasikan adikmu padaku” kata si anak muda tertawa.

Nona itu menoleh, nampaknya dia berduka, tetapi dia menyerahkan adiknya itu seraya berkata: “Paman, paling baik kau ajak adikku ini sembunyi didalam. Mereka itu orang-orang jahat, mereka datang untuk kakekku, mungkin mereka hendak melakukan kejahatan”

In Gak menggoyang kepala, ia tertawa.

“Jangan kuatir,” ia menghibur.” Asal nona sendiri menjaga dirimu baik-baik”

Nona itu tertawa. Dengan sekali menggeraki tubuhnya, segera ia berada dibelakang kursinya si orang tua. orang tua itu sendiri terus merapatkan matanya, ia seperti tidak ketahui adanya ancaman badai dan hujan lebat.

Empat orang itu sudah lantas berdiri berbaris didepan kursi si orang tua terpisah hanya lima kaki, semua dengan tertawa menyeringai mengawasi orang tua itu, tatkala si nona pergi kebelakang kursi, air muka mereka pada berubah menjadi guram dan bengis. Dua diantaranya mencekal keras golok mereka, agaknya mereka takut si orang tua nanti menyerang mereka secara tiba-tiba.

“He, Hoe Liok Koan” kemudian menegur orang yang satu, yang tubuhnya jangkung-kurus, “Jangan kau berpura-pura mampus. Kau ketahui aku Ho Tek Pioe, sudah lima tahun lamanya mencari kau. Baiklah kau tahu diri sedikit, lekas kau keluarkan kitab ilmu silat itu, dengan begitu aku masih dapat memberi ampun kepada selembar jiwamu”

Sekonyong-konyong saja si orang tua berseru nyaring bagaikan guntur, sembari berseru itu kedua matanya dipentang dan tubuhnya mencelat, dengan kedua tangannya yang diajukan kedepan, ia menyerang keempat orang itu.

Inilah tidak disangka sekali, maka mereka itu terkejut, meskipun mereka dapat berkelit mundur, tubuh mereka toh terhuyung. Setelah itu si orang tua memisahkan diri dua tombak. dengaa sorot mata gusar ia mengawasi Ho Tek Pioe berempat itu.

Si nona terkejut, tetapi dia lantas bekerja, dengan berlompat kebelakang si orang she Ho, dia menyerang.

Ho Tek Pioe mendengar suara angin dibelakangnya, ia memutar tubuh, ia menangkis dengan kedua tangannya. si nona cerdik dan gesit, selagi ditangkis itu, hingga tangan mereka berdua bentrok. la meneruskan untuk berlompat jumpalitan, dengan begitu ia turun pula dibelakang si orang tua, kakeknya itu.

Menampak sepak-terjang si nona, si orang tua kelihatan gusar.

“Wan-jie, mengapa kau lancang turun tangan?” dia menegur. “Lebih baik kau melindungi Ceng-jie”

“Ya y a” menyahut si nona, air matanya mengembeng. “Kenapa kau tidak dengar kata?” membentak pula si orang

tua, matanya menatap tajam. “Lekas”

Menyusul itu, kerongkongan orang tua ini mengasi dengar suara serak. lalu itu disusul dengan batuk-batuk.

Nona itu terpaksa, dengan berduka ia menggeser tubuhnya kedepan In Gak.

Si bocah,yang dipanggil Ceng-jie, tak hentinya memanggil paman kepada In Gak dan berulang kali dia menanya ini dan itu. In Gak sendiri, sambil mengusap-usap kepala orang dan menyahuti secara sembarangan, setiap saat memasang mata kepada suasana dihadapannya itu.

“Tua-bangka she Hu” terdengar pula suara kasar dari si orang she Ho, yang tertawa terbahak-bahak. “Dulu hari itu beruntung kau lolos dari tanganku si orang she Ho, walaupun demikian, kau tidak lolos seluruhnya, kau telah merasai juga liehaynya Tangan Pasir Merah dari aku sebenarnya sulit untuk orang luput dari kematian, setelah dia terhajar tanganku, tak ada obat untuk itu, tetapi kau, mahir sekali tenaga dalammu, kau masih bisa mencari hidup sampai lima tahun. Kau hebat sekarang kau dapat dicari olehku, sekarang apa kau hendak bilang? Makin kau bergusar, makin lekas kau mampus Maka janganlah kau bandel dan tak mau sadar, baik lekas kau serahkan kitab ilmu silatmu itu. Didepan aku Tong-san Jie- niauw, cuma dengan bicara baik barulah kau mendapat kebaikan”

Napas memburu dari si orang g tua sudah berhenti, tetapi suara seraknya tetap tak mau hilang. Dia kata, sabar tetapi tetap: “Ho Tek Pioe, jangan kau mengandalkan jumlahmu yang banyak. Aku si orang tua, belum tentu aku jeri kepada kamu”

In Gak mendengar suara parau luar biasa dari orang tua itu, yang dipanggil Hoe Liok Koan, ia tahu itulah sebab si orang tua telah menggunai berlebihan tenaga dalamnya.

Teranglah orang tua ini sudah bertahan terhadap pukulan Ang-see-ciang, atau Tangan Pasir Merah, dari orang she Ho itu, bahwa kalau tetap dia bertahan, akan ludaslah sisa tenaganya, akan melayanglah jiwanya. Tentu sekali tidak dapat ia menonton terus. Maka dengan perlahan ia kata pada si nona: “Nona, kau empo si Ceng ini” sembari berkata, ia serahkan bocah itu, menyusul mana, tangannya diarahkan kepada dua orang yang memegang golok. Ia seperti menotok dengan jari tangannnya.

Mendadak dua orang itu roboh terguling saling susul, hingga robohnya itu membikin debu mengepul naik, Maka kagetlah empat orang yang datang belakangan itu, mereka memutar tubuh dan melihatnya dengan tercengang. semua mata mereka lantas ditujukan tajam kepada si pemuda.

In Gak bersenyum, dengan tenang ia bertindak kedepan Tek Pioe, dengan tenang juga, ia berkata: “Aku belum mendengar tentang sebab-musabab dari permusuhan kamu hingga kamu datang kemari untuk memperhebat permusuhan itu, akan tetapi melihat sikap garang dari kau musang sangat menghina seorang tua yang lagi sakit, aku dapat merasakan pastilah kamu bukan manusia baik-baik Maka itu tuan mudamu mempunyai satu perkataan: Baiklah kamu tahu diri, lekas-lekas kamu menggoyang ekormu, untuk ngeleyor pergi dari sini Ini hari, cuma inilah kata- kata ku yang manis”

Ho Tek Pioe tercengang. Inilah ia tidak sangka dari si anak muda tidak dikenal itu, yang ia anggap usilan dan sangat terkebur. selagi ia berpikir, maka seorang disampingnya maju setindak seraya mengasi dengar suaranya yang parau-nyaring:

“Binatang, kau berani mencampuri urusannya Tong-san Jie- niau? Apakah kau tidak pernah mencari tahu?”

Belum berhenti suara itu atau itu disusul dengan gaplokanyang nyaring, maka panas dan merahlah muka orang itu, yang menjadi bengkak-bengap. sedang dari mulutnya keluar darah lantaran giginya tergempur.

In Gakpanas sekali, sebelum orang bicara habis, ia sudah melayangkan sebelah tangannya, yang cepat dan mengenai tepat, sembari menghajar itu, ia menanya: “Mencari tahu apa? Lekas bilang?” Ia tidak memperdulikan orang menyebut dirinya Tong-san Jie-niauw Dua Burung dari Tong san.

Hoe Liok Koan dan kedua cucunya menjadi heran dan girang dengan berbareng. Si orang tua menjadi mendapat harapan pula. Ia tidak sangka sekali, pemuda yang mulanya nampak demikian halus gerak-geriknya ternyata mempunyai kepandaian yang luar biasa. Lihat saja gerakan tangannya yang cepat bagaikan angin itu.

Si Ceng menjadi demikian gembira, hingga dia bertepuk- tepuk tangan dan berkata dengan nyaring: “Paman, hajarlah mereka lebih banyak. Mereka sangat menghina kepada yaya kami”

Orang yang digaplok itu Kioe-tauw-siauw Tam Liong, si Kokok-beluk Kepala sembilan. Dialah salah satu dari Tong-san Jie-niauw yang paling telengas dan licin. Dia kaget dan kesakitan, dengan tangannya dia lantas mengusap-usap pipinya yang bengap itu, sedang dengan matanya dia mengawasi ketiga kawannya, maksudnya mengajaki untuk meluruk. guna mengerojok si anak muda. Tapi Ho Tek Pioe mengedipi mata, mencegah pihaknya lancang turun tangan.

Tek Pioe serta dua kawannya itu ragu-ragu. Mereka telah mendengar kabar angin halnya selama yang belakangan ini, dunia Kang-ouw sudah dibikin guncang oleh beberapa pemuda tidak dikenal, yang dikabarkan liehay luar biasa, bahwa Rimba Persilatan gempar karenanya. sekarang mereka menghadapi pemuda ini, mereka mau menduga mungkinlah dia salah satu diantaranya. Jadi Tek Pioe ingin ketahui dulu siapa guru si anak muda.

Tapi Tam Liong panas hati, melihat kawan- kawannya berdiam, ia lantas mengeluarkan senjatanya, sepasang poan- koan-pit, gegaman mirip alat tulis, lantas dia berseru:

“Mencari tahu apa? Mencari tahu apakah aku Kioe-tauw- siauw Tam Liong dari Tong-san Jie-niauw dapat dipermainkan atau tidak?”

In Gak tertawa lebar.

“Dapat dipermainkan atau tidak, tuan mudamu ini tetap hendak mempermainkannya” ia menjawab, halus dan jenaka.” Aku bilang padamu, jikalau hari ini kamu memikir untuk pulang dengan tubuh utuh, itulah pikiran ngaco-belo, khayal..”

Tam Liong tidak bicara pula, dengan tiba-tiba dia maju untuk menyerang dengan sepasang senjatanya yang liehay itu. Itulah salah satu dari tigapuluh-enam jurus si Raja-setan Ciong Hiok Menakluki iblis. Dan ketika serangannya yang pertama gagal, ia mengulangi dengan yang kedua, terus sampai yang keenam, selama mana ia mengarah enam jalan darah khie-hay, pek shwee, kin-ceng, sim-jie, cie-tong dan beng-boen. Itulah ilmu silat yang dulu hari membuat sin-pie- hiap Ciong Kie dari Boe Tong Pay mengemparkan Rimba Persilatan, hanya tidak diketahui, dari mana Tam Liong, dapat mempelajariny a. Biasanya siapa diserang dengan tipu silat itu dia mesti terbinasa atau sedikitnya terluka parah, sebab diujung poan-koan-pit ada alat rahasianya, disitu tersimpan duapuluh-empat batang jarum beracun Boen-sim-ciam. Begitu kena racun dapat merembes keulu-hati.

Tam Liong menanti ketika akan memencet alat-rahasianya itu. Didalam hatinya ia kata: “Kau tunggu, Kau lihat liehaynya Tam Liong, Hm!”

In Gak tidak mau mengasi hati kapan ia mendapatkan orang demikian kejam, selagi orang memikir untuk menggunai senjata rahasianya, ia sudah melakukan penyerangan membalasnya. Mendadak kedua tangannya bergerak.

“Bocah, kau cari mampusmu” kata Tam Liong dalam hati. Ia girang bukan main. Akan tetapi ia terlambat. Berbareng dengan niatnya memencet alatnya itu, ia merasai jantungnya terguncang keras, lantas matanya menjadi gelap. tahu-tahu tubuhnya terpental mundur tiga tombak dimana ia roboh bagaikan bukit ambruk. bahkan ia lantas putus jiwa dengan dari mulutnya keluar darah hidup.

Dengan kesebatan bagaikan kilat, in Gak maju untuk mencekal kedua nadi musuh, membarengi mana kaki kanannya terangkat, mendupak tubuh orang telengas itu, selagi tubuh itu mulai mental, ia merampas kedua poan-koan- pit selagi musuh roboh terkulai, In Gak berlompat mundur.

“Ini sepasang senjata aku hadiahkan kepada kau” ia kata pada Ceng-jie, kepada siapa ia menjerahkan poan-koan-pit. “Inilah hadiah dari pamanmu kepadamu” Ceng-jie berontak dari rangkulan kakaknya, ia menyambuti senjata itu. “Paman, terima kasih” katanya, tertawa girang.

Dilainpihak, Tek Pioe bertiga kaget sekali. Nyata benar kecurigaannya bahwa pemuda didepannya ini salah satu pemuda yang digemparkan. Bukankah Tam Liong terbinasa secara kecewa? Maka menyesallah mereka sudah turun tangan tanpa menanti orang pergi dulu, habis mana baru mereka menghajar si tua.

Mereka pun menjesal tidak mencurigai si anak muda semenjak tadi mereka baru sampai. sekarang sudah terlanjur terpaksa Tek Pioe membesarkan nyali.

“Kami Tong-san Jie-niauw, kami tidak bermusuh dengan kau, kenapa kau

menurunkan tangan jahat?” dia menegur si anak muda.

In Gak tidak menjadi gusar, bahkan sebaliknya, ia bersenyum.

“Apakah kau tidak dengar tadi apa katanya Tam Liong?” ia bertanya.

“Bukankah dia menyuruh aku mencari tahu siapa dia?

Bukankah kau yang membilang bahwa dibawah tangannya Tong-san Jie-niauw tidak bakal orang dapat lolos? Karena itu tuan muda kamu menjadi jeri, dia terpaksa menggunai semua tenaganya Apa celaka, dia kesalahan tangan. Maka aku mohon sukalah kamu memaafkannya”

Baru habis berkata, si anak muda menambahkan bengis: “Apakah kamu tidak pernah mencari tahu, dibawa h tanganku, berapa orang jahat yang pernah dapat hidup?”

Tubuh Tek Pioe menggigil, peluhnya membasahkan pakaiannya.

“Aku si orang she Ho ketahui aku tidak dapat melawan, maka urusan ini baiklah ditunda,” katanya terpaksa. “Gunung hijau tidak berubah, dari itu dibelakang hari kita akan bertemu pula”

Habis berkata, tanpa menanti jawaban, Tong-san Jie-niauw memberi tanda kepada dua kawannya, untuk mengangkat kaki, ia sendiri segera memutar tubuhnya, akan tetapi belum lagi ia bertindak. atau ia merasakan berkesiurnya angin, lantas si anak muda telah berada didepannya dengan wajahnya berseri-seri. Mereka menjadi sangat kaget, ketiganya menyedot hawa dingin. Hebat kegesitan si anak muda.

“Tuan, mengapa kau terlalu menghina orang?” kata Tek Pioe, yang hatinya menjadi ciut. “Kau memegat kami, apa lagi yang kau hendak bicarakan?”

Sebelah tangannya In Gak melayang, atau pipinya orang she Ho itu berbunyi nyaring, hingga dia lantas membekapnya.

“Kau masih berani menyebut terlalu menghina orang?: tanya si anak muda.

“Hoe Tayhiap sudah menyembunyikan diri lima tahun lamanya, kau masih tidak mau mengasi ampun, Kenapakah? Dan sekarang kau bermuka begini tebal berani menegur aku? Aku ulangi pada kau, semenjak aku muncul maka tidak ada orang yang dapat lolos dari tangan tuan mudamu ini. Itulah aturanku dan tidak dapat aku merusaknya sendiri. Tapi aku masih hendak memberi muka kepada kamu sekarang lekas kamu membunuh dirimu, supaja tak usah aku sampai turun

Tangan”

Itulah desakan hebat, maka dua kawannya Tek Pioe menjadi kalap, dengan berbareng mereka menghunus senjata mereka, dengan berbareng juga mereka menyerang si anak muda.

Nona Wan menjadi sangat kaget hingga ia menjerit, tetapi jeritannya itu disusul dengan berkontrangnya dua senjata yang terlepas jatuh, disusul pula dengan robohnya kedua penyerang itu, yang terus rebah melingkar bagaikan ular. Selama terjadi penyerangan itu, Tek Pioe berlompat menyingkir, dengan dua loncatan saja dia telah bisa memisahkan diri lima tombak lebih. Akan tetapi In Gak tak membiarkannya. Habis ia menotok roboh kedua penjerang, ia memutar tubuh menghadapi Tong-san Jie-niauw, kedua tangannya diluncurkan dan ditarik pulang dengan sebat.

Dengan itu ia menggunai ilmu silat Bie-lek sin-kang bahagian menyedot. Maka tubuh Tek Pioe bagaikan tertarik. percuma dia meronta, dia terbawa balik ketempat dimana barusan dia berdiri, dia roboh terbanting hingga matanya kabur dan ingatannya terbang, belum lagi ia mendusin, si anak muda sudah menotok pinggangnya. Habis itu pemuda itu, sembari bersenyum, bertindak menghampirkan si orang tua she Hoe.

Liok Koan tercengang, lalu ia menghela napas panjang.

Bukan main ia kagum untuk liehaynya si anak muda, sembari menggeleng kepala ia kata seorang diri: “Benar2, gelombang sungai Tiang Kang yang dibelakang mendampar yang didepan, orang lama menggantikan orang baru, dan orang sudah tua tidak ada gunanya”

Menampak si anak muda mendatangi, lekas2 ia maju memapak. baru dua tindak. ia sudah menjura dalam seraya berkata: “Siauwhiap. kau telah menolong i aku si orang tua, aku sangat berterima kasih”

In Gak mengulur kedua tangannya, untuk mengasi bangun pada orang tua itu.

“Inilah urusan sangat kecil, tak usah bicara dari hal terima kasih,” katanya.

“Hoe Tayhiap. kau terlalu merendah”

Tapi segera ia memandang kepada enam mayat, alisnya dikeruti, katanya: “Enam benda itu, berabeh juga untuk mengurusnya”

“Tidak berabeh, siauwhiap” berkata Liok Kean, yang terus merogo sakunya untuk mengeluarkan sebuah peles kecil, setelah membuka tutupnya, ia menggunai kukunya mengambil isinya, bubuk warna kuning, bubuk mana ia peluruki masuk kedalam hidungnya enam orang jahat itu. Maka berselang sekian lama, keenam majat itu lantas berubah menjadi cair kuning.

Ceng-jie telah menghampirkan In Gak. dengan kedua tangannya ia merangkul leher si anak muda.

“Jangan tidak tahu aturan” Liok Koan menegur cucunya itu, setelah mana, ia batuk2 hingga pinggangnya melengkung, mukanya merah, air matanya mengalir keluar. sampai beberapa saat, baru ia dapat berdiri pula dengan lempang, sedang Wan-jie lantas menumbuki punggungnya. Ia nampak berduka sekali.

In Gak mengawasi orang tua itu, lalu ia berkata: “Hoe Tayhiap, jangan bersusah hati, penyakitmu ini bukan penyakit yang bakal dibawa mati. Aku yang muda, dapat aku mengobatinya.”

Orang tua itu mengangkat kepalanya, ia mengawasi, lantas ia menghela napas.

“Ketika pertama kali aku terhajar Ang-see-ciang dari Ho Tek Pioe, lantas aku pergi minta pertolongannya Goei Peng Lok, tabib yang dijuluki say-hoa-to dikota Ciang-peng. Aku diberi ohat tetapi katanya cuma untuk bertahan selama enam tahun, maka itu, siauwhiap, walaupun mempunyai obat dewa, tak nanti kau dapat menolong aku”

In Gak tahu orang tidak percaya, ia tertawa.

“Hoe Tayhiap, janganputus asa,” ia berkata. “Nasib itu ada ditangan kita. Umpamakata penyakit tayhiap benar penyakit yang bakal dibawa mati, kau toh dapat membebaskan dirimu dari siksaan”

Mendengar demikian, Liok Koan tidak menolak lebih jauh. “Dengan begitu kembali aku membikin kau berabeh, siauwhiap” katanya.

Lantas ia mengajak anak muda itu kekamarnya dimana ia membuka bajunya.

Apabila In Gak sudah memeriksa luka, ia mengerutkan alisnya. Luka itu dipunggung, disitu kedapatan tapak tangan warna merah tua, kapan ia menekan itu, ia membentur kulit- daging yang lembek sekali. Habis itu ia memeriksa kedua nadi, yang denyutannya sangat lemah.

“Hoe Tayhiap, jangan kuatir” katanya kemudian, bersenyum. “Masih ada harapan”

Ia ingat pada Hian-wan sip-pat-kay dalam mana ada pelajaran tentang nadi. Kemudian ia berpaling pada Nona Wan, sembari tertawa ia kata: “Hari ini jangan berusaha, pergi kau menutup pintu”

Nona itu menyingkap rambutnya yang turun, dia tertawa. “Baiklah” sahutnya sambil ia terus berlari keluar bersama

Ceng-jie.

In Gak lantas bekerja. Ia meloloskan baju dan celananya Hoe Liok Kean, untuk terus mengurut dipelbagai bagian tubuh, kalau perlu, ia memencet. sebat sekali ia bekerja. Hingga darahnya si orang tua berjalan dengan lurus. selama itu, orang tua ini menderita. Kalau panas, ia merasakan panas sekali, dan kalau dingin, ia merasakan dingin bagaikan es.

Beberapa kali ia sampai merintih. Tapi ia bertahan.

Tidak lama Wan-jie dai Ceng-jie kembali, ketika si nona melihat tubuh telanjang lagi tengkurap dari kakeknya, ia batal masuk kedalam kamar. Ketika itu In Gak pun lantas menanya, ia mempunyai alat tulis atau tidak.

Wan-jie menyahuti, terus ia pergi, akan mengambil barang yang diminta. Ia masuk kedalam kamar sesudah In Gak menutupi tubuh si orang tua. Nona dan bocah itu masih nampak berduka. Ceng-jie mendekat kakeknya dan menanya apa si kakek merasa baikan.

Liok Koan tidak menyahuti, ia bahkah merintih lebih keras.

“Sudah, adik, jangan ganggu kakek” si nona bilang seraya menarik tangan adiknya.

“Ah, encie banyak omong” kata bocah itu. “Pantas kakek pernah bilang, entah bagaimana kalau nanti kau sudah menikah”

I Gak tertawa. Bocah itu jenaka.

Mata Wan-jie mendelik. “Adik, jangan ngoco” tegurnya. “Apa kau mau dihajar? “

Ia membetot tangan orang.

“Lihat, paman” kata bocah jail itu. “Encie galak sekali, Apa paman tidak mau menghajar dia?”

In Gak tertawa. Ia tidak meladeni bicara, ia hanya menulis surat obatnya. Kemudian sambil menyerahkan itu pada si nona, ia kata: “Kau belikan obat ini, lantas masak menurut aturannya.”

Nona Wan menurut, ia berlalu dengan diikuti Ceng-jie.

In Gak memeriksa pula tubuh si orang tua. Tapak merahnya sudah berkurang. Kembali ia menguruti. Kali ini Liok Koan tumpah-tumpah, yang keluar ialah gumpalan-gumpalan darah mati yang sangat bau. Bersama itu berubah pula tapak tangan, dari merah gelap menjadi merah dadu.

Tidak lama Nona Wan datang dengan obat. In Gak lantas pakai itu untuk memborehkan ditempat yang luka. Liok Koan menahan sakit tetapi ia masih teraduh-aduh hingga Wan-jie meleleh air matanya dan Ceng-jie menangis saking berkasihan. Akhirnya selesai sudah In Gak mengurut. Tapak merah dipunggung hanya tinggal berbayang. Tapi Liok Koan pingsan karenanya. Ia lantas ditusuk dengan jarum emas didua belas tempat, ketika ia mendusin, ia merintih pula. Ia dikasi makan obat godokan setelah semua jarum dicabut, terus ia diselimuti.

“Sekarang, tayhiap, tidurlah untuk kira2 dua jam” In Gak mengasi tahu. “Sebentar boleh makan obat lagi. Aku percaja kau akan segera sembuh.”

Liok Koan mengucap terima kasih. Ia menurut, ia terus tidur. In Gak mengajak Wan-jie dan Ceng-jie keluar, pintu kamar ditutup.

“Ceng-jie” tanya si anak muda setelah mereka diluar, “Apakah kau suka pamanmu mengajari kau menggunai poan- koan-pit?”

“Suka.. Suka..” menyahut bocah itu kegirangan. Ia lantas lari kedalam, untuk mengambil senjatanya Tam Liong, yang tadi diberikan padanya.

“Ini, paman, ini’”

Juga Wan-jie mengharap diajari silat, seperti Ceng-jie, ia sangat memuja pemuda itu.

Baru sekarang I n Gak sempat memperhatikan poa n- koan-pit itu, yang indah buatannya dan tepat dicekalnya. Ia

lantas menuturkan ilmu yang ia mau mengajarinya yaitu Ciong Hiok Hok mo sha cap lak-to, setelah itu ia menjalankan itu untuk dilihat dan diperhatikan si Ceng. Tentu sekali, ia dapat menjalankan lain daripada Tam Liong.

Ceng-jie belajar sungguh2, berani ia menanya ini dan itu, cepat ia ingat, hingga In Gak girang. Pemuda ini memuji orang berotak terang. Wan-jie menyaksikan dengan perhatian.

“Nona Wan, apa kau pun suka pelajaran ini?” In Gak tanya. “Baik kau coba” Wan-jie mengangguk. Ia nyata lebih cerdas daripada adiknya, ia bisa belajar dengan lebih cepat dan rapi. Hingga in Gak bertambah girang.

“Kamu gemar silat, baiklah, akan aku mengajari lagi” kata In Gak kemudian, sesudah keduanya ingat baik2 ilmu poa n- koan-pit itu. Ia mengajari ilmu pedang Pek wan-kiam atau Kera Putih yang sederhana, dan gerak-gerik tindakan kaki Kioe-kiong Im- yang Ceng-hoan Pou-hoat. Ia kata, dengan pandai ketiga ilmu silat itu, si nona dan si bocah belum dapat menjagoi, tapi cukup untuk membela diri andaikata mereka menghadapi jago kelas satu atau kelas dua.”

Wan-jie girang. ia mengambil pedangnya. Dengan sabar In Gak memberikan pelajarannya.

“Sekarang berlatihlah sendiri” katanya kemudian, selang dua jam. Ia terus masuk kekamar Liok Kean, yang sudah mendusin-

“Siauwhiap” berkata orang tua itu tertawa, “Sekarang aku merasakan napasku lega, aku telah menjadi seperti dua orang yang berlainan. Budimu sangat besar, entah bagaimana aku membalasnya”

Dengan tajam ia mengawasi anak muda itu, kemudian ia menghela napas dan kata: “Kau masih begini muda tetapi ilmu silatmu liehay sekali, kaulah seorang luar biasa. Coba aku tidak melihatnya sendiri, sukar aku percaya”

In Gak tertawa.

“Nah ini, tayhiap, minum pulalah obatmu” ia kata.

Liok Koan menurut, kemudian ia merapikan pakaiannya, untuk bertindak kepintu, hingga ia melihat kedua cucunya lagi berlatih. Ia heran dan kagum, kemudian sembari tertawa, ia kata: “Bagaimana beruntung kedua cucuku ini yang telah mendapatkan pendidikan kau, siauwhiap”

Ia girang dan bersjukur. “Mereka itu berbakat baik, sayang mereka tidak menemui guru yang pandai” In Gak bilang.

“Ah,ya” kata si orang tua tiba-tiba.” Aku gila sekali. Aku tidak tahu aturan sudah sekian lama kita bertemu, aku masih belum menanyakan she dan namamu, siauwhiap. Maaf”

In Gak bersangsi sebentar, lantas ia perkenalkan diri sebagai Gan Gak.

Selagi mereka berbicara, Ceng-jie berhenti bersilat, ia lari pada kakeknya, untuk merangkul.

“Sudah baik, engkong?” tanyanya gembira. “Paman ini baik sekali, sudah dia menolongi engkong, dia pun mengajari aku dan encie ilmu silat, Engkong, coba tolong tanya paman, dia suka menerima aku sebagai murid atau tidak?”

In Gak menarik bocah itu, ia buat main pipinya yang merah-dadu.

“Dengar, anak Ceng” katanya riang. “Pamanmu suka mengajari kau silat, tetapi sekarang aku mempunyai urusan penting, tidak dapat aku menemani kau lama2. Aku mau berangkat sebentar malam. Asal kau rajin berlatih, tentu pamanmu girang.”

Mukanya Ceng- jie menjadi guram. Wan-jiepun masgul, ingin ia bicara, selalu ia gagal. Maka keduanya terus berdiam saja.

Liok Koanpun masgul, ia menggeleng kepala dan menghela napas. Ia pun ingat nasib cucunya yang perempuan itu, yang sudah berumur empatbelas tahun, sedang dihadapannya ada seorang muda yang tampan dan gagah. Tentu sekali, tidak berani ia sembarang membuka mulut. Maka ia masuk kedalam, akan keluar pula dengan sejilid buku yang berkulit kambing. Ia menyerahkan itu pada si anak muda seraya dengan roman berduka ia berkata:

“Inilah kitab ilmu pedang karena mana bukan saja anak dan mantu perempuanku telah terbinasa, aku si orang tua sendiri hampir hilang jiwaku. Kitab ini didapatkan anakku didalam guha dipuncak gunung Heng san. Ketika itu pun ada datang belasan orang lain, yang mencarinya. Mereka bentrok. Disana anak dan menantuku menemui ajalnya dan aku terkena pukulan Ang see Ciang dari Ho Tek Pioe, syukur aku sempat meloloskan diri. sayang sebuah pedang, yang bernama Thay-ko-kiam, sudah kena dirampas seorang jahat yang tidak diketahui. Tetapi dia gampang dikenali. Dia tinggi delapan kaki, macamnya mirip labu, dan mukanya bertitik bule.”

Ia menunjuk kedua cucunya dan menambahkan: “Kami asal kota Lokyang, mereka ini ketolongan oleh

seorang bujang wanita, setelah aku sampai dirumah, aku bawa mereka pergi kepada tabib di Peng-ciang untuk aku berobat, kemudian kita tinggal bersembunji disini. Aku tidak sangka, Tong-san Jie-niauw tidak mau melepaskan aku, mereka menyusul kemari. Kitab ini bertuliskan huruf-huruf Kah-koet-boen, aku tidak paham surat, percuma aku memilikinya, dari itu baiklah aku menghadiahkan kepada siauwhiap saja.”

In Gak menampik,

“Tak berharga untukku menerimanya” katanya.

“Jikalau kau menampik, siauwhiap, kau memandang asing kepadaku” kata si orang tua, membujuk. “Apakah kau tidak mengerti bahwa pedang itu harus dimiliki oleh orang yang bijaksana?”

Mendengar demikian, anak muda itu tidak dapat menampik terlebih jauh.

“Terima kasih” katanya. Lantas ia membalik-balik lembaran kitab itu, atau mendadak dia berseru seorang diri. Kitab itu ialah kitab Bie-lek sin-kang bahkan disitu ada dua jurus lainnya, ialah Im-kek yang-seng dan Liok-hap-hoa-it jurus2 yang istimewa. Ia lantas berkata: “Ini dia rupanya yang disebut peruntungan. Kitab ini kitab yang ilmu silatnya aku pelajarkan, maka kalau kitab ini didapatkan golongan sesat, tentu Rimba Persilatan bakal merupakan darah yang berbau amis. Tayhiap, aku mendapat hadiah ini, tidak dapat aku membalasnya, maka itu aku ingin mengajari ilmu tenaga dalam, untuk menyalurkan dan menguasai pernapasan, yang mana pasti besar faedahnya untuk tayhiap serta kedua cucumu.”

Habis berkata begitu, tanpa menanti lagi, In Gak mengajari kouw-koat, atau teori ilmu tenaga dalam itu. Ia pun membagi masing-masing sebutir obatnya kepada mereka bertiga, untuk mereka lantas menelannya, hingga mereka merasa lega dan harum mulut mereka.

Hoe Liok Koan girang sekali, berulang kali ia menghaturkan terima kasih.

Setelah itu, Wan Jie, yang pergi kedalam, kembali dengan bahpauw yang masih mengepul-ngepul, melihat mana, In Gak tertawa dan kata pada si orang tua: “Lihat, tayhiap. cucumu pintar sekali, dia tahu yang pamannya sudah lapar”

Lalu, tanpa malu2, ia makan kuwe itu.

Si nona. tertawa, dia kata pada kakeknya: “Lihat, engkong, Gan siauwhiap tidak lebih tua banyak daripada cucumu tetapi dia banyak tingkahnya, orang sungkan padanya, orang memanggil dia paman, lantas dia menjebut dirinya paman, paman”

Habis berkata begitu, si nona bersenyum.

Liok Koan pun bersenyum, tetapi ia membungkam. Ia pikir cucunya itu benar juga. satu kali si cucu memanggil paman, itu berarti orang menjadi bertingkat lebih tua dan panggilan itu sukar diubahnya. Dilain pihak ia tidak mengerti si cucu, selagi ia sendiri memanggil siauwhiap. kenapa itu membahasakan paman.

In Gak tertawa bergelak. Ia memandang mereka, ia makan terus bahpauwnya. Ialah seorang cerdik, dapat ia membade apa apa yang dipikir Liok Koan dan Wan-jie. Karena ini ia masgul. Ia lantas ingat Tio Lian Coe si nakal dan Cioe Goat Goyang lemah gemulai. Ia tertawa melulu untuk menyembunyikan rasa hatinya itu.

Wan-jie merasa mukanya panas mendengar tertawa kakeknya. Ia percaya kakek itu telah dapat membade hatinya. Dalam usia empatbelas tahun, ia sudah dapat berpikir. Ia tahu ada nona-nona umur lima- dan enambelas tahun, yang sudah merantau. Ia sendiri, ia mesti berdiam saja didalam rumah.

Lantas ia membentur lengan Ceng-jie, justeru adik itu lagi menyuap. hingga si adik heran.

Ia mengedipi mata dan kata: “Adik Ceng, coba pikir, kita mengubah panggilan apa yang tepat?”

Borjah itu juga cerdik sekali. Ia lantas melirik kepada In Gak. Mendadak dengan kedua tangannya ia sambar tangan kanan si anak muda. Ia kata: “Coba bilang, jikalau aku memanggil kau engko Gan- bagus tidak?”

In Gak tercengang. Ia berduka. Ia pikir: Usia mereka tak beda jauh dengan usiaku, pantas kalau mereka memanggil kakak. tetapi ini budak- dia mengandung maksud apakah? Jangan-jangan. Ia takut memikirnya, maka ia berpura-pura tertawa. Cepat ia menyahuti: “Kamu boleh memanggil apa saja, sesukamu. Kenapa kau main putar2 dan menyuruhnya adik Ceng?” ia tambahkan pada si nona. Wan-jie tidak menyahuti, ia tunduk dan bersenyum. Liok Koan sebaliknya tertawa lebar. Katanya: “Ah, kamu berdua setan cilik Bagaimana kamu berani manjat cabang yang tinggi? Siauwhiap, tak usah kau layani mereka”

Ia berhenti sebentar, cepat ia menambahkan, “Siauwhiap. benarkah sebentar malam kau hendak berangkat pergi?

Bagaimana kalau kau nginap satu malam, besok baru kau pergi?”

In Gak tertawa.

“Itu artinya aku mengganggu” sahutnya.

Itu artinya menerima baik permintaan, maka Ceng-jie girang tidak kepalang, ia tertawa tak hentinya.

“Kunyuk cilik, jangan terlalu bergirang” kata In Gak tertawa. “Habis dahar ini, aku mau pergi keluar, sebentar aku ingin lihat, kau bersamedhi sempurna atau tidak. jikalau tidak, awas, aku nanti hukum padamu”

Ceng- jie mengulur lidahnya, ia mementang matanya. Ia demikian lucu hingga Wan-jie tertawa, hanya si nona mesti lantas pergi kedalam, untuk menyiapkan barang hidangan buat sebentar malam.

In Gak pergi keluar. Ia berjalan cepat. Ia pergi kesebuah bukit kecil dimana ada banyak pepohonan serta selokan yang airnya mengalir. Ia mencari tempat yang sukar terlihat lain orang dimana segera ia mengeluarkan kitab hadiahnya Hoe Liok Koan- untuk membuka lembarannya. Ia memeriksa bagian sin-kang, yang terdiri dari empat belas jurus, duabelas antaranya sama dengan ajarannya Beng Liang Taysoe, bedanya ialah kepandaian Beng Liang itu didapat dari Boe Beng siangjin, dan Boe Beng siangjin mendapatkannya dari peryakinan sendiri selama beberapa puluh tahun digunung Thian san Utara, hingga seluruhnya ada juga beberapa gerak- geriknya yang kurang jelas untuknya. Baiklah nanti aku pulang kegunung untuk menanya jelas pada soehoe, pikirnya. Kemudian ia lantas membaca dua jurus lagi, yang masih asing untuknya, ialah jurus- jurus Im-kek yang-seng dan Liok- hap-hoa-it. setelah dapat memahami, ia mencoba bersilat dengan itu. Nyata ia berhasil, bahkan hasilnya sangat menggirangkan padanya. Keras sambaran2 anginnya, sedang beberapa buah pohon didepannya roboh karena tinjunya.

Syukur kitab ini terjatuh dalam tanganku, pikirnya kemudian- Coba ini didapatkan oleh orang jahat, entah bagaimana bencana yang dia bakal terbitkan

Tentu sekali, bukan main berterima kasihnya ia terhadap Hoe Liok Koan- Ia tidak menyangka, baru ia menanam kebaikan, segera ia memperoleh buahnya.

Habis mempelajari dua jurus itu, In Gak duduk numprah untuk bersemadhi, guna menyedot dan mengeluarkan napasnya. Cuma sebentaran, lantas ia merasakan pernapasannya lega dan lenyap segera keletihannya. Maka itu, tak bosannya ia mengulangi berlatih semua empat belas jurus Bie-lek sin-kang itu. Berselang dua jam lantaslah ia apal sekali. Baru setelah itu, ia simpan kitab berharga itu dan berjalanpulang kerumahnya Liok Koan.

Begitu anak muda ini menolak daun pintu, ia mendapatkan sang kakek dan kedua cucunya lagi duduk bersamedhi.

Dengan mengawasi sebentar saja, ia mendapat kenyataan mereka itu sudah apal dengan pelajarannya, maka senanglah hatinya. Ia tidak mau mengganggu mereka, ia pergi keluar pula, untuk duduk bercokol dikursi rotan dibawah para-para pohon beroyot, matanya jauh memandang kearah Utara.

Belum lama ia berduduk diam itu, telinganya mendengar siulan tajam dua kali. Ia heran- Itulah siulan orang Kang-ouw. Herannya ialah ia mendengar itu disiang hari bolong. Kenapa ditempat demikian, didekat jalan umum, orang berani memperdengarkan suara itu? Tapi ia tidak usah menduga- duga lama, atau lantas tertampak berkelebatnya dua bayangan didepan para-para.

Orang yang satu ialah seorang pendeta bertubuh kekar, jubahnya abu-abu, dipinggangnya tergendol senjatanya, sekop Hong-pian-san, yang berwarna hitam. Dia memiliki sepasang mata tajam dan bengis, hidungnya merah, mulutnya persegi lebar. Dia berumur lebih- kurang limapuluh tahun. Dan orang yang kedua, orang bukan pendeta, bermuka merah, jenggotnya pendek. alisnya tebal, matanya besar, hidungnya bengkang. Dia berumur hampir limapuluh.

In Gak duduk tak berkutik dikursinya, ia tidak menggubris orang mengawasi ia dengan tajam.

“Taysoe” berkata si muka merah, “Sampai saat ini Jie- niauw masih belum kembali, mungkinkah mereka telah berhasil dan timbul keserakahannya maka mereka lantas pergi menjingkirkan diri?”

“Hm” menjawab sipendeta, tertawa dingin “Biarnya Jie- niauw bernyali sangat besar, tidak nanti mereka berani main gila terhadap Hoed-ya. Pula kitab itu bertuliskan huruf-huruf Kah-koe-boen, selainnya Hoed-ya yang mengerti, lain orang percuma memilikinya. Disini mungkin terjadi sesuatu. Turut katanya Jie-niauw anjing tua itu tingggal disini, maka baiklah kita coba menanyakan keterangannya itu pelajar rudin”

“Hm” In Gak bersuara perlahan dihidungnya. Ia tetap berdiam saja.

Muka merah setujui si pendeta yang jumawa itu, yang berani menyebut dirinya Hoed-ya, sang Budhha. Dia lantas menghadapi pemuda kita, untuk menanya dengan keras dan kasar: “Eh, pelajar rudin, rumah ini rumahnya si orang she Hoe, benarkah?”

Baru sekarang in Gak mengawasi orang dengan matanya yang bersinar tajam, sebelah tangannya pun diangkat, dikibaskan kepada orang itu, atas mana si muka merah mundur terhuyung dua tindak. Ia berbangkit dengan ayal- ayalan, ia berkata dengan tertawa dingin:

“Jikalau kau menanya orang, menanyalah dengan cara tahu aturan. Kamu bangsa kurang ajar, tak sudi tuan muda kamu bicara denganmu. Lekas kamu menggelinding pergi!”

Si muka merah mencoba berdiri tegak. wajahnya bermuram-durja.

“Hm Hm” bersuara si pendeta beroman bengis itu. “Mata Hoed-ya tak ada pasirnya, cara bagaimana kau dengan kepandaianmu tidak berarti ini berani main gila dihadapanku? Benar-benar kau cari mampusmu sendiri, pelajar rudin”

Belum habis suaranya pendeta itu, atau “Plok” maka mukanya kena digaplok hingga dia menjadi kalap saking gusar, tanpa ngoceh lagi, dia mengibas dengan bajunya yang gerombongan, hingga si anak muda nampak seperti digulung angin puyuh.

Pemuda kita tidak takut, dengan berani ia menyambuti kibasan itu, untuk mencoba. Ia menggunai tenaga lima bagian- Tangan mereka lantas bentrok. sebagai akibatnya itu, pundak In Gak terangkat naik dan tubuh si pendeta terhuyung. Hal ini membuat keduanya terperanjat. Itu tandanya tenaga dalam mereka sama-sama mahir.

Menggunai ketika orang bentrok itu, si muka merah mengangkat kakinya. Dia ingin pergi kerumahnya Liok Koan, untuk nerobos masuk. Tindakan itu justeru yang dikuatirkan  In Gak, sebab Liok Koan bertiga lagi bersamedhi, nanti mereka terganggu. Maka itu justera ia dikibas pula, ia tidak melawan lagi, hanya ia berkelit, untuk terus berlompat kearah si muka. merah, kepala siapa ia terus jambak. untuk ditarik keras, hingga si muka merah kembali roboh dengan terbanting keras, matanya sampai berkunang-kunang. Karena tubuhnya itu melanggar para2 pohon, para2 itu roboh ambruk. Tangguh si muka merah ini, begitu ia memegang tanah, begitu ia lompat bangun, tetapi hatinya ciut, maka ia tidak berani menyerang si anak muda.

Si pendeta terkeujut menyaksikan gerakan tubuh dan tangan demikian sebat dari si pelajar rudin, didalam hatinya ia kata: Kepandaianku ini yang disebut Tiat-sioe Keng-kang, tenagaku kuat seribu kati, kenapa ini pelajar rudin tidak terluka atau roboh karenanya? Aneh.. maka sembari tertawa dingin, ia kata: “Aku tidak sangka bahwa aku, Ta y- liang Tiat- hoed, dapat bertemu orang berilmu tinggi, Mari, mari, Hoed- ya ingin ketahui berapa liehaynya kau”

Mendengar disebutnya gelaran orang, In Gak lantas mendapat tahu pendeta ini ialah satu diantara sip-sam-mo Tiga belas iblis. Pantas dia pandai ilmu silat Tiat-sioe Keng- kang, tenaga angin Tangan-baju Besi. Ia tidak takut. sambil berlenggak ia tertawa dan kata: “Tuan kecil kau menyangka siapa, tidak tahu kaulah si setan cilik yang jelek diantara tiga belas iblis, si siluman tua Chong-sie masih tidak sanggup melawan tuan kecilmu ini, cara bagaimana kau masih mencoba mementang bacot lebar bagaikan lautan?”

Kaget Tay- liang Tiat-hoed mendengar perkataan orang ini. ia lantas berpikir: Kabarnya Chong-sie Koay-sioe roboh ditangan seorang muda aneh, aku mengira itulah kabar angin belaka, yang tak ada kenyataannya, tetapi sekarang pemuda ini mengatakan begini, mungkin dia benar. Baik aku mencoba pula padanya, aku menggunai Tiat-sioe. Keng-kang dicampur dengan Hian-im Tok-cie. sjukurlah apabila aku berhasil, supaya aku tidak sampai kena digertak kabar angin itu

oleh karena memikir demikian, Tiat-hoed tidak mau banyak omong lagi, dia cuma mengasi dengar tertawanya yang seram, lantas dengan mendadak dia berseru nyaring dan lompat menyerang, menyerang dengan tangan bajunya yang lebar, berbareng dengan mana, ia pun menotok dengan jeriji tengahnya, mengarah buah-susu. Ia ingin mewujudkan apa yang ia pikir, menyerang lawan dengan jerijinya, dengan tipu silat jeriji beracun Hian-im Tok-cie.

Serangannya pendeta ini sangat sebat dan hebat. Akan tetapi In Gak sudah waspada. Ia tidak mau bertindak seperti waktu ia merobohkan Chong-sie Keay-sioe dirumahnya Cioe Wie seng. Ketika itu ia menyerang secara tiba2, hasilnya pun cepat dan diluar dugaan-semenjak itu, ia tidak ingin sembarang menggunai Hian-wan sip-pat-kay dan Bie-lek sin- kang. sekarang menghadapi si pendeta, ia berlaku sabar. ia bersenyum, dengan tindakan Hian-thian Cit-seng-pou, ia berkelit, untuk menggeser tubuh kebelakang lawan, baru setelah itu ia menyerang kepung gung dengan jurus Hok houw Kim-kong-ciang, tangan Arhat Menakluki Harimau, dan tenaganya pun dikerahkan sepenuhnya.

Tay-liang Tiat-hoed sudah memikir matang, dengan menggunai kedua kepandaiannya itu dengan berbareng, tidak nanti sipelajar rudin dapat meloloskan diri, maka terkejutlah ia, begitu ia menyerang, begitu lawannya lenyap dari hadapannya. Celakanya untuknya, karena ia menyerang hebat, tak dapat ia membatalkannya. Tengah ia kaget itu, ia merasai gempuran pada punggungnya, seperti ia dihajar dengan martil, hingga ia terjerunuk tiga tindak. matanya pun berkunang-kunang. Lekas2 ia menahan dirinya, jikalau tidak, tentulah ia roboh menubruk tanah. serangannya toh meminta kurban, ialah tembok didepannya, hingga tembok rumahnya Liok Koan gempur, ambruk dengan menerbitkan suara keras. Hingga karenanya, Liok Koan bersama dua cucunya lantas berlompat keluar.

Begitu ia melihat kakek dan cucu itu bertiga, ingatan jahat muncul dalam hatinya si pendeta, justeru ia lagi sangat mendongkol. Katanya dalam hatinya: Jikalau bukan karena kau, tua bangka, tidak nanti aku kena terhajar ini pelajar rudin, sekarang baik aku turun tangan terhadap si bocah, untuk memaksa dia menyerah. Cuma dengan begini maka Hoed-ya dan Cie-sat-sin dapat berlalu dari sini”

Cuma segebrakan itu, pendeta yang jumawa ini menjadi kecil hatinya, hingga dia takut menempur pula si pelaujar rudin, hingga dia merasa bahwa sulit untuknya mengangkat kaki dari situ. Maka tanpa malu lagi, dia berniat melakukan perbuatan yang hina itu mencekuk bocah cilik

Ceng-jie muncul dengan poan-koan-pit ditangannya. Biar bagaimana, ia kaget dan heran atas kejadian itu ia pun jeri ketika ia melihat roman bengis dari Tay- liang Tiat-hoed, yang mengawasi ia secara mengancam. Maka ingin ia menjauhkan dirinya. Ia mau mundur.

Tiat-hoed memikir cepat dan bekerja sebat. Begitu ia memikir, begitu ia meluncurkan tangan kanannya, ia menggeraki ujung jerijinya, guna mencekuk bocah yang diarah itu. Tapi baru ia mengerahkan tenaganya, mendadak ia merasakan lengannya itu sakit, lalu menjadi kaku tak bertenaga, disusul dengan rasa nyeri sekali didadanya, sampai ia bergemetaran. itu artinya ia telah tak dapat menggunai lagi tenaganya. Ia kaget berbareng takut. Tahulah ia hebatnya serangan si pelajar rudin itu Bahkan ia mau menduga, kalau ia tidak bakal lekas mati, ia pasti akan bercacad seumur hidupnya, hingga ludaslah kepandaian silatnya yang liehay itu. Ia lantas menjadi berduka, sambil menghela napas, tangannya dikasi turun, kedua matanya yang tajam dan bengis lantas menjadi guram. Dengan menyender disisa gempuran tembok. la berdiam dengan menjublak

Kapan si muka merah melihat munculnya Hoe Liok Koan, dia kaget hingga mukanya menjadi pucat. Tanpa pikir panjang lagi, ia memutar tubuh untuk berlompat pergi, buat lari menjingkirkan diri. Si muka merah ini sebenarnya Kie Keng gelar Cie-sat-sin si Bintang Jahat. Dialah seorang piauwsoe, yang pernah bekerja sama Liok Koan dalam sebuah piauwkiok dikota Lokyang. Dia berhati buruk. Maka dia bentrok dengan Liok Koan- Keduanya lantas berhenti bekerja. Kemudian pernah mereka bertemu satu dengan lain tetapi mereka bawa seperti orang-orang tak kenal satu dengan lain- Kemudian lagi dia mendengar dari Tong-san Jie-niauw halnya Liok Koan terlukakan pukulan pasirMerah, dia menjadi tidak takut, dia turut si pendeta datang menyateroni, siapa tahu, sekarang dia melihat orang she Hoe itu, segar-bugar, dia menjadi jeri, maka dia mau kabur. Dia maupergi, In Gak tidak mengijinkannya. si anak muda lompat menyamber dan membawanya kembali, kedepan Ceng-jie.

Bocah cilik itu kaget, ia menyangka ia mau dihajar, ia lantas berkelit seraya memutar tubuh, sembari berbuat begitu, ia menyerang dengan poan-koan-pitnya.

Cit-sat-sin ketakutan dan tidak berdaya, dadanya lantas tertikam gegaman mirip alat tulis itu, darahnya mengalir keluar, tubuhnya roboh, jiwanya lantas melayang pergi.

Inilah diluar sangkaannya Liok Koan. Ia menghela napas. “Hm” ia mengasi dengar suaranya.

“Engkong” kata si cucu, menyangkal, “Dia sendiri yang membentur poa n- koan-pitku” Kakek itu tertawa.

“Kakekmu tidak ngaco-belo” katanya. “Aku bukannya tidak dapat melihat.” “Baiklah,” lain kali jangan kau lancang turun tangan.”

In Gak tertawa, ia kata: “Ceng- ujie gesit dan lincah, sekarang dia masih begitu muda, dibelakang hari dia mesti liehay sekali, maka tak usahlah tayhiap menegur dia.”

Habis berkata, In Gak lantas bekerja, menggusur mayatnya Cie-sat-sin dan Tiat-hoed kedalam rumah. sebab juga si pendeta, setelah nyender sebentar ditembok. arwahnya sudah melayang ke Dunia Barat

“Tayhiap” kata In Gak kemudian, “Aku melihat tempat ini tak dapat ditinggali lebih lama pula. Baiklah tayhiap beramai pindah dari sini. Apakah tayhiap mempunyai sanak atau sahabat disuatu tempat lain dimana kamu dapat menumpang bernaung?”

Liok Koan berpikir. ”Aku lihat aku cuma dapat pergi kerumah say-hoa-to dikota Peng-ciang” katanya. “Wan- jie, mari kita bersiap-sedia, kita harus segera berangkat.”

Nona itu menurut, bersama kakeknya ia lantas pergi kedalam, guna menyiapkan buntalan mereka.

Syukur rumah orang she Hoe ini berada diujung gang yang sunyi dan banyak juga pepohonannya, maka selama terjadi peristiwa berdarah yang hebat itu, tidak ada orang lain yang mengetahuinya, jikalau tidak. mungkin mereka menemui kesulitan lain.

Liok Koan mempunyai dua ekor keledai, maka kedua binatang itu dipakai untuk mereka mengangkat kaki.

In Gak tertawa ketika ia berkata: “Kamu bertiga naik atas dua ekor keledai, inilah bagus. Nah, lekaslah kamu berangkat”

Ceng-jie mengawasi dengan matanya. Ia heran-“Gan Toako, bagaimana dengan kau?” ia tanya si anak muda.

In Gak bersenyum.

“Toakomu dapat berjalan cepat tak kalah dengan kakinya keledai kamu” ia menjawab. “Kamu harus ketahui, tidak dapat kita jalan bersama.”

Ceng-jie gelisah.

“Toako, secara begini saja kau mau meninggalkan aku?” dia tanya.

In Gak mengusap-usap kepala anak itu.

“Ceng-jie, baik-baiklah kau mendengar kakek dan kakakmu,” ia kata, “Sabar dan kau pelajarilah dengan sungguh2 ilmu silat yang toakomu ajari kau, Kau tahu, aku mempunyai urusan sangat penting. Tapi jangan kuatir, dalam tempo dua tahun, aku nanti datang kepada kamu di Peng- ciang.” Ia merogo kesakunya, mengeluarkan sepotong emas, yang ia serahkan kepada bocah itu, sembari ia kata: Inilah untuk kau membeli bebuahan. Anak itu tahu diri, ia menampik,

“Terima, Ceng-jie” kata In Gak, sungguh2. “Jikalau kau tolak. toakomu marah”

Ceng-jie menerima dengan terpaksa, ia mengucapkan terima kasih. Tapi ia bersedih, air matanya lantas melele keluar.

Matanya Wan-jie pun merah, sedang Liok Koan menjadi sangat terharu.

“Nah, berangkatlah” In Gak mendesak. sebab ia pun berat untuk berpisah.

Mau atau tidak mau, kakek dan cucu2nya itu lantas mengeprak keledai mereka.

In Gak menanti sampai orang sudah pergi ujauh, ia lantas menggunai kedua tangannya menggempur ambruk sisa rumahnya Liok Koan, habis mana ia pergi meninggalkan Jie cap lie-pou, untuk diam2 menguntit tiga orang itu ia mengantar sampai dikota raja, baru ia memisahkan diri.

***

Pemandangan malam dijembatan Louw Kauw Kio dikota raja adalah pemandangan alam yang indah, akan tetapi In Gak menuju kesana diwaktu fajar, setibanya disana, sudah terang tanah, ia lantas mendengar dan melihat berlalu- lintasnya kereta2 diatas jembatan itu. Tepat ia menginjak ujung jembatan, ia mendengar suaranya dua orang yang tertawa dan berkata: “Sungguh sha-tee seorang yang dapat dipercaya. Begini pagi kau telah sampai disini”

Bukan main girangnya pemuda ini kapan ia telah mengangkat kepalanya. Kalau tadi ia baru mendengar suaranya, sekarang ia menampak wajahnya orang yang menegurnya itu ialah Kian-koen-cioe Loei Siauw Thian bersama Kioe-cie sin-kay Chong Sie.

Segera mereka membuat pertemuan, tetapi untuk berbicara, guna mencegah tertariknya perhatian orang lain, mereka lantas pergi kesebuah rumah penginapan kecil di Wan-peng. Disini barulah mereka dapat memasang omong, paling dulu tentang perpisahan mereka.

Tiba2 In Gak tertawa dan menanya Siauw Thian: “Jieko, kebinasaannya Sam-cioe

Gia- kang ditepi pengempang, bukankah itu hasil kerjamu yang gilang-gemilang?”

Siauw Thian bersenyum.

“Kau terkalah” sahutnya. “Jikalau bukan aku, siapa lagi?

Setelah melakukan itu, aku berpikir. Aku berkuatir orang nanti menggunai nama palsu dan itu dapat merugikan kau dalam usahamu menuntut balas. Kau tahu, hiantee, setibanya dikota raja, lantas aku membikin penyelidikan. Dulu hari itu, yang mengeroyok Cia Peehoe berjumlah kira2 sembilan puluh orang, diantaranya ada tiga orang Cian san Pay dari Kwan- gwa. Pemimpin dari partai itu ialah Pek san it-ho Kiong Thian Tan. Dia bukanlah seorang jahat. Baiklah, hiantee pergi ke Khouw-kee-chung di Liauw-leng, untuk menyelidikinya. Bila orang-orang itu dapat menyingkir jauh, kau bakal menjadi berabeh. Menurut aku, paling baik kau menuntut balas satu demi satu. Aku telah pikir, biarlah aku bersama toako menjadi si tukang mencari rahasia, lalu kaulah yang turun tangan terhadap setiap musuhmu itu. Kau akur, bukan?”

In Gak setujui pikiran itu, ia girang sekali. “Bagaimana dengan urusan jieko sendiri?” tanyanya

kemudian.

Siauw Thian mengangguk. dia tertawa.

“Itulah bukan urusan terlalu besar” sahutnya.” Aku mempunyai seorang sahabat karib yang bekerja menjadi

Cong-pouw-tauw dikantor Kioe-boen Teetok. dia bernama Poei Kiat. Dalam menjalankan tugasnya itu, dia bersikap bengis, maka dia dianggap sudah bersalah terhadap banyak sahabat kaum Kang-ouw. Begitulah selama pesta ulang-tahun kelimapuluh dari ia, ia telah kecurian seperangkat baju lapisnya hadiah dari sepnya. Kejadian sebenarnya biasa, pencurian itu dapat diselidiki dengan perlahan. Tapi si pencuri berguyon hebat, dia justeru mengumumkan itu. Peristiwa itu sudah berjalan hampir setengah tahun, Tahulah Peei Kiat bahwa sengaja orang hendak mencemarkan dan

bukan mencuri untuk mencuri. Dia lantas menyelidikinya sambil berbareng memohon bantuanku. siapa tahu, aku pun pusing dengan penyelidikan itu. Baru lima bulan yang lalu, diwilayah sam-siang, aku endusan. Poei Kiat sendiri habis daya, hingga dia cuma dapat menarik napas panjang pendek. tubuhnya jadi rongsok. hampir dia kehilangan pangkatnya. setelah aku tiba disini..”

“Lantas jieko berhasil bukankah?” In Gak memotong, tertawa.

Siauw Thian pun tertawa.

“Urusan tak ada sedemikian mudah” sahutnya. “Hanya setibanya aku, kebetulan aku bertemu toako, jikalau tidak. pasti aku tidak dapat bekerja licin”

In Gak melirik kepada Chong sie. “Bagaimana, toako?” tanyanya.

Chong sie menoleh pada Siauw Thian, dia tertawa dan berkata: “Kau bicara tidak jelas, kau dapat membuat shatee nanti menyangka aku, lantaran mengemis saja aku masih tidak cukup makan, bahwa aku pun mencuri barang orang”

“Ah, toako” kata In Gak. tidak puas. “Mengapa kau menduga demikian? Apakah kau mengira aku tidak kenal baik pada toako dan jieko?”

Chong sie tertawa, begitupun siauw Thian. “Shatee, aku tidak permainkan kau” katanya. “Mari aku menjelaskan. Tujuh hari lamanya sia-sia belaka aku membuat penyelidikan dikota raja ini, lalu dihari kedelapan aku bertemu toako dikuil Tang Gak Bio kemana aku pergi berjalan-jalan.

Belum sempat aku melihat toako, dia sudah lantas menghampirkanku. Lantas toako memuji kau, shatee. Tidak kusangka, kau pandai ilmu pengobatan. Maka aku pikir, kalau nanti urusan shatee sudah selesai, baiklah shatee tinggal disini selaku tabib, pasti orang-orang besar nanti berduyun-duyun datang padamu sambil mengangkut uang yang putih seperti salju”

“Jieko” In Gak memotong pula, hanya dia berkata sambil tertawa, “Kenapa kau masih berguyon saja? Apakah jieko mau aku hajar kau dengan ilmu Hoen-kin Co-koet-cioe untuk membuatnya kau salah laku?”

Kata-kata ini disusul dengan gerakan sebelah tangan. siauw Thian lompat mencelat.

“Aku tidak berguyon, shatee” katanya. “Baiklah nanti aku menutur pula. Aku lantas bicara dengan toako Toako kata ia mempunyai jalan. ia mengajak aku kemarkas Kay Pang,  disana ia minta keterangan kalau-kalau ada salah seorang anggautanya ketahui urusan pencurian itu, sudah umumnya dimana ada pesta disana mesti kedapatan pengemis. Demikian malam peristiwa itu, ada tiga anggauta Kay Pangyang mendapat lihat lima orang bagaikan bayangan melompati tembok dan rumah, bahkan mereka itu diduga mestinya

Touw-shia Ngo-cie, ialah Lima Tikus Kotaraja. Bersama-sama toako, aku lantas menyelidiki Ngo-cie. Mulanya mereka itu menyangkal, saking gusar, toako meng hajar dengan pukulan Kim-kong san-ciang, sedang aku, aku menasihatinya sambil mengancam, apabila mereka tidak menyerahkan pakaian itu, Tong-nie Poo-kah, tak ada tempatnya mereka dikota raja ini. sebaliknya, aku berjanji akan tidak menarik panjang dan tidak akan mengganggu sepak-terjang mereka. Demikian baju itu dibayar pulang dan aku mengembalikannya kepada Poei Kiat. Besoknya toako menjamu Touw-shia Ngo-cie didalam markasnya, disana secara kebetulan kita membicarakan hal ayahmu, shatee. Menurut Ngo-cie, jumlah pengeroyok ayahmu itu berjumlah lebih dari sembilanpuluh orang, diantaranya ada tiga anggauta Cian san Pay, hanya mereka tidak tahu siapa orang itu.”

In Gak menjura kepada kakak- angkat nomor dua itu, berulang kali ia menghaturkan terima kasih.

“Diantara saudara sendiri, mana dapat ada ucapan terima kasih?” Siauw Thian tertawa. “Ooh, hiantee, aku lupa menghaturkan selamat kepada kau.”

Muka In Gak menjadi merah.

“Sebelum sakit hatiku terbalas, tak dapat aku membangun rumah-tangga” ia berkata. “Jieko, toako, sekarang juga aku hendak berangkat, setelah menemui mentuaku, baru aku mau pergi ke Khouw-kee-toen.”

“Apakah hiantee tidak hendak menikmati dulu keindahan kota Pak-khia?”

Chong sie tertawa ia mendahului si anak muda berkata: “Orang lagi kegirangan, mana dia mempunyai minat untuk

pesiar? sudahlah, mari kita berangkat”

Kembali mukanya In Gak menjadi merah. Tak berdaya ia untuk godaan dua kakak-angkat itu. Dengan lantas katiganya berangkat ke Chong-cioe, kerumah Keluarga Tio, dimana mereka berkumpul dengan gembira sebab dua hari sebelum mereka, To Ciok sam bersama Gouw Hong Pioe, The Kim Go, Hauw Lie Peng, Tio Lian Coe dan Cioe Goat Go telah tiba terlebih dulu.

Tio Kong Kioe belum pernah bertemu dengan bakal menantunya, kapan ia sudah melihat roman, dan potongannya Cia In Gak. la girang bukan main. ia lantas saja penuju dan menyukai menantu itu dan ia bersyukur untuk peruntungan bagus dari puterinya. Tapi ia tengah sakit mengi, tidak dapat ia turun dari pembaringan untuk menyambut sekalian tetamunya itu.

“Tua-bangka she Tio, kau belum ketahui bahwa menantumu ini ahli ilmu pengobatan” kata Chong sie sambil tertawa. “Aku tanggung tidak sampai lewat tiga hari, kau akan sudah segar-bugar seperti naga dan harimau dahulu hari”

Kong Kioe heran, ia mengawasi menantunya itu.

Muka In Gak merah, ia likat, tetapi ia menghampirkan mentuanya itu, untuk ia periksa nadinya, sembari memeriksa ia menanyakan tentang keadaan penyakit sukar menyalurkan napas itu, setelah mana ia membuat dua macam resep. satu untuk dimakan, satu lagi obat luar. Dilain pihak segera ia mengobati dengan tusukan jarum hingga sembilan kali, yang mana dilakukan saling-susul dikedua jam ngo-sie dan jie-sie, tengah-hari dan lohor.

Benarlah seperti katanya Chong sie si Naga sakti Sembilan Jeriji, lewat tiga hari, Tio Kong Kioe telah sembuh dari sakitnya yang bandel itu, hingga ia menjadi girang sekali, sedang Lian Coe dan Goat Go girang dan bangga untuk tunangannya itu.

Akan tetapi In Gak sendiri tidak berdiam lama dirumah mentuanya, selang dua hari, ia meminta diri, berpisahan dari rombongan, untuk berangkat ke Tiang Pek san, gunung yang disebut juga Cian san.

XI

Pada suatu hari maka didusun Khouw-kee-toen di Liauw- leng, Kwan-gwa, telah datang seorang pelajar usia pertengahan, yang lantas meminta kamar dalam sebuah hotel kecil. Dia bicara dengan lagu-suaranya orang Kang lam.

Besoknya dia memasang merek dipintu hotel, memberitahukan bahwa dia mengerti ilmu ketabiban serta bersedia juga menolongi orang menulis surat dan lainnya. Untuk itu dia katanya bersedia menerima uang sekedarnya. Dia memakai nama Jie In.

Ketika orang melihat mereknya itu, rata-rata orang memuji tak perduli mereka yang terpelajar, sebab huruf-hurufnya bagus sekali.

Khouw-kee-toen mempunyai cuma dua jalan besar tetapi karena letaknya dipesisir dan juga mulut gunung Cian san, ramai keadaannya. Kaum saudagar, yang mengusahakan kulit dan bulu ternak. juga obat-obatan jinsom dan yosom, berpusat disitu. Karena ini, setiap rumah memakai layar yang tebal didepan rumahnya, guna menjaga sampokan angin yang keras serta serangan debu disebabkan ramainya lalu-lintas kendaraan dan kuda. Angin pun menerbangkan pasir kuning yang halus, yang tak hentinya selama empat musim.

Justeru itu waktu bulan ketujuh, musim panas akan tetapi untuk wilajah Kwan-gwa orang tak terganggu teriknya sang surya, maka juga seperti biasanya setiap magrib semenjak kedatangannya, Jie In si tabib merangkap pelajar, telah pergi kesamping kiri hotelnya dimana ada rimba pohon cemara, dimana pun ada kali kecil beserta jembatannya, jembatan batu. Dibawah jembatan itu, dimana air berwarna hijau, dia berdiri menikmati keindahan alam. Disitu segala apa tenang dan tenteram. Angin bertiup halus. Matahari sore mengasi lihat cahajanya yang permai. Jie In menggendong kedua tangannya, dia memandang kelangit, mulutnya bersenandung. Atau dilain saat dia bercokol dijembatan, mengawasi air jernih yang mengalir tak hentinya.

Dihotelnya, Jie In dikenal sebagai seorang yang manis- budi. Ada yang memanggilnya sie-seng atau tayhoe (tabib), Ada yang membahasakan sinshe (bapak guru). semua itu ia terima dengan senang. saban ketemu orang tak ketinggalan anggukannya yang halus senyumannya yang manis. Pada dua hari pertama, orang-orang yang datang berobat tidak banyak jumlahnya, setelah itu mulailah datang perubahan. Inilah disebabkan dia tidak memandang uang.

Terhadap orang miskin, ia tidak minta bayaran, ia menolongnya sama seperti mereka yang dapat membayar. Terutama ialah resepnya, atau lebih benar obatnya, manjur setiap bungkus, karena sangat tepat pemeriksaannya. Maka itu ditempat sekitarnya sepuluh lie lantaslah terkenal Jie le- seng atau Jie sinshe.

Dengan lekas, dua bulan telah lewat.

Pada suatu hari selagi senggang, Jie In duduk bersantap bersama tuan rumah yang usianya sudah lanjut. Tiba-tiba diluar hotel terdengar berisiknya ringkikan kuda disusul dengan disingkapnya gorden serta munculnya tiga orang dengan tubuh mereka besar dan keren dan kepalanya ditutup tudung rumput yang lebar. Seorang diantaranya, yang usianya paling tua, lantas berkata dengan suara nyaring: “Loociangkoei, apa benar disini ada berdiam Jie Tayhoe?”

Loo ciangkoei ialah panggilan untuk pemilik hotel dan tayhoe, tabib. Tuan rumah itu segera berbangkit.

“Oh, kiranya Soen Tongkee” dia berkata, tertawa. “Inilah Jie Tayhoe”

la lantas menunjuki teman bersantapnya itu. Jie In segera berbangkit.

“Ada urusan apa tuan mencari aku?” ia menanya dengan hormat. Dengan aku ia menjebut hak-seng murid, suatu kata- kata yang merendah.

Orang she soen itu mengawasi, lantas dia tertawa berkakak.

“Jie sinshe, kau beruntung sekali” katanya, tertawa pula. “Cucu perempuan dari majjkan kami mendapat sakit, kau diundang untuk tolong mengobati dia, asal kau benar pandai dan berhasil menjembuhkannya, pastilah majikan kami bakal jadi sangat girang, kau tentulah akan peroleh hadiah perak yang putih- gemilang, hingga akan cukuplah hidupmu seumurmu”

Habis berkata, lagi dia tertawa.

Tapi Jie In menerimanya sebaliknya. Ia kata sungguh- sungguh:

“Tabib itu ada kewajibannya sendiri-sendiri. Tabib menolong si sakit, dia miskin, dia kaya, sama saja. Jikalau aku mesti menolong untuk uang, terima kasih, tidak sanggup aku. Dimanakah tinggal majikan tuan itu? Nanti aku pergi sendiri kesana”

Orang she Soen itu tidak jadi gusar. Kembali dia tertawa. “Jie sinshe, aku tidak sangka kau bertabiat begini macam”

katanya. “Majikanku itu Kiong Thian Tan, dan julukannya Pek san it-ho si Burung Jenjang dari gunung Pek san, dia tinggal dipuncak Pit-kee-hong diatas gunung Tiang Pek san. Manusia itu diketahui , pohon itu dikenal dari bayangannya, maka kau niscayalah pernah mendengarnya. Dan aku si tongkee Soen Kay Teng bertiga, kami sengaja datang kemari untuk memapak kau mendaki gunung, maka juga, jikalau sinshe mau menyusul belakangan, bagaimana dapat kau mendaki puncak itu?”

Jie In agaknya baru tersadar.

“Oh, kiranya Kiong sancoe” katanya separuh berseru. “Benar-benar aku beruntung sekali, Soen Tongkee, sudikah

menanti sebentar, aku hendak berkemas dulu”

Lantas ia masuk kedalam kamarnya. Tempo ia keluar pula, ia mengenakan baju luar dari kulit dantangannya mencekal beberapa jilid buku ketabiban yang sudah tua dan robek disana-sini

“Benar-benar aku tidak menyangka Jie sinshe seorang Kang-ouw sejati” kata Soen Kay Teng tertawa. “Diatas gunung, angin besar dan hawa dingin, untuk kami penggemar ilmu silat, itulah tidak berarti, tidak demikian dengan sinshe yang tubuhnya lemah, maka jikalau sinshe tidak memakai baju lapis, ada kemungkinan sebelum sinshe memeriksa orang sakit, sinshe sendiri yang nanti roboh karenanya. Jikalau itu sampai terjadi, bukankah menggelikan?”

Tuan rumah dan dua kawannya Kay Teng ini tertawa.

Jie In pun turut tertawa. Ia kata: “Untuk kami tabib pengumbara dan sebangsanya, seperti tukang tenung, empat penjuru lautan ialah rumah kami, jikalau hal ini aku tidak ketahui, tak dapat aku dipanggil tabib yang biasa merantau.Benar bukan, soe Tongkee?”

Tanpa menanti jawaban, ia melanjuti kepada tuan rumah: “Loociangkoei, tolonglah kunci kamarku, sebentar setelah kembali kita nanti berkumpul pula“

“Baik sinshe” sahut tuan rumah.

Soen Kay Teng lantas mengajak si tabib keluar dimana sudah menantikan sebuah tandu yang dipikul empat orang. Itulah tandu istimewa untuk Kwan-gwa, tandu mana mirip joli tapi tanpa penutup, disitu orang dapat rebah menyender, tatakannya ialah rumput yang lunak dan hangat. Melihat tandu itu, Jie sinshe agaknya jeri.

“Aku mendaki gunung naik ini?” katanya. Kay Teng tertawa.

“Jikalau sinshe takut, meramlah, tidak apa” katanya.

Jie In menggeleng kepala, tetapi ia toh naik ditandu dengan roman terpaksa. Begitu ia menaruh tubuhnya, begitu empat tukang gotongnya berseru dan bergerak. mengangkatnya dan berjalan, cepat seperti lari.

Diatas tandu, Jie In merasai tubuhnya terumbang- ambing, didalam hatinya ia kata: Liehay empat tukang gotong ini, disebelahnya biasa, kuat kaki mereka Ia diam saja. Inilah yang pertama kali ia naik kendaraan istimewa itu.

Soen Kay Teng bertiga menunggang kuda, mereka jalan didepan. Belum lima lie, tiba sudah mereka dimulut gunung Cian san dimana segera muncul seorang dengan sapanya: “Soen Tongkee, apakah Jie sinshe sudah sampai?”

Sudah” sahut Kay Teng cepat. “Lekas wartakan ke Cong- tong”

“Ya” menyahut orang itu, yang segera berlalu dengan cepat.

Kay Teng bertiga lompat turun dari kuda mereka, mereka lompat maju kedepan. Ketika tandu Jie sinshe tiba didekatnya, dari mulut pos jagaan terdengar mengaungnya tiga batang anak panah nyaring,yang lantas disambut di empat penjuru hingga suaranya menjadi ramai sekali.

Jalanan mendaki sulit, Kay Teng bertiga sering berlompatan. Tinggal si tukang-

tukang gotong. Dengan lekas pakaian mereka kujup dengan peluh. susah atau tidak, mereka maju terus. Diatas tandu, Jie sinshe tak hentinya mengasi dengar suara kagetnya. Sampai ditengah jalan, disana kedapatan pepohonan yang lebat, dimana pun terlihat adanya ular dan lain-lain binatang alas. Disini angin meniup keras, membuat rimba berisik sekali. saban-saban terdengar mengaungnya panah-nyaring tetapi pelepasnya, atau lain orang tak nampak satu jua.

Sekira perjalanan tiga jam barulah Jie In tiba diatas gunung. Melihat jauh kedepannya, ia menampak puncak gunung terselimutkan salju putih. Angin dingin menyampok muka tak sudahnya.

“Soen Tongkee” si tabib memanggil, tangannya memegang keras kedua pinggiran tandu, “Apakah masih belum sampai? Aku bisa mati bekuh ni” Kay Teng, yang berjalan didepan, menoleh sambil tertawa. “Jie sinshe, bukankah kita telah tiba?” dia menyahut.

“Kau lihatlah kebawah sana”

Jie In memang menanya sambil dongak, mendengar demikian, ia tunduk. maka ia melihatlah diba wah, didalam lembah, berderet- deretnya rumah-rumah, cuma sebab kealingan pepohonan, tidak dapat ia melihat tegas. Lembah itu mirip paso yang lebar. Rumah itu hitung ratus atau mungkin ribuan. Maka hebatlah Cong-tong, pusat atau markas besar dari Cian san Pay, berada didalam situ. Memang sukar mencarinya.

Sekarang orang mulai jalan mudun.. Kalau mendaki lambat, turun cepat. Maka Jie In merasa ia seperti terbang terbawa angin. Mukanya menjadi pucat. syukur lekaslah mereka sampai dibawah, ditanah rata. Maka dia mengeluarkan napas lega, mukanya nampak tenang. Kay Teng tertawa mengawasi tabib itu.

Sekarang orang berjalan berliku-liku dijalanan didalam pohon-pohon lebat. Jie In melihat jalanan, anehnya orang tidak ambil itu, orang bertindak disampingnya. Maka teranglah, orang lagi melewati tempat menurut garis-garis pat-kwa, segi delapan.

Sekeluarnya dari dalam rimba barulah orang melihat tempat yang kosong dan luas. Dis itulah nampak rumah- rumah yang tadi terlihat samar-samar. segera terdengar anjing menggonggong dan ayam berkokok. Dari setiap rumah terlihat asap mengepul naik, Agaknya orang berhadapan dengan rumah-rumah kampungan, maka siapa sangka itulah pusat dari sebuah partai kaum Kang-ouw. Kay Teng bertiga tepat jalan dimuka. Tujuh atau delapan kali mereka main mengkol-mengkol, baru mereka itu tiba didepan sebuah rumah besar dan keren, yang terkurung tembok. Pintu pekarangan, yang besar dan lebar, berdaun dua, disitu tercantel gelang pegangannya yang merupakan kepala harimau. Pintu itu ditutup rapat, untuk masuk. orang mengambil pintu kecil dipinggirannya. Didepan rumah terlihat empat orang dengan golok ditangan. satu diantaranya segera lari kedalam begitu lekas mereka itu melihat Soen Kay Teng. Tiga kali terdengar suara gembreng, yang menyusuli dipentangnya pintu tengah.

Jie In menduga tuan rumah menyambut ia dengan cara hormat. Lantas ia melihat munculnya seorang tua usia tujuhpuluh kira-kira, diikut beberapa pengiring. Mereka itu bertindak dengan cepat.

Mengawasi si orang tua, Jie In melihat sebuah muka yang merah, sepasang alis putih yang panjang, yang ujungnya nempel kerambut didekat telinga, dan sepasang mata yang tajam. Dilihat sekelebatan, dia mirip dewa panjang umur. ia menduga kepada Pek san It-ho Kiong Thian Tan, maka ia lantas memberi hormat sambil menjura seraya berkata: “Aku Jie I n memohon maaf telah terlambat mengunjungi sancoe, hingga sancoe sendiri yang keluar menyambut. Aku berdosa harus mati”

Kiong Thian Tan tertawa lebar, matanya bersinar bagaikan kilat menatap si tabib.

“Jie sinshe, bagus kata-katamu” ujarnya. “Cucuku sakit berat, terpaksa aku mengundangmu. Tentulah sinshe menderita disepanjang jalan.”

“Tidak. tidak.” kata Jie In menjura pula. “Orang sakit perlu diobati, maka itu, tolong sancoe lekas mengajak aku melihat cucumu yang terhormat itu.”

Thian Tan tertawa sambil mengurut kumisnya. “Silakan,” ia mengundang, terus ia bertindak. Jie In mengikuti tuan rumahnya. Ia melihat sebuah rumah yang besar dengan pekarangan dalam yang luas. Didalam pekarangan itu ada ditanam pohon-pohon cemara dan pek, juga pohon koei-hoa yang bunganya berbau harum, sedang jalannya ditaburi batu putih terbariskan pohonan tanhong.

Dibulan sembilan, daun pohon itu merah indah seperti api marong.

Jie In langsung dipimpin kedalam sebuah kamar tulis. Ia kagum. Tak surup kamar semacam itu dipunyai oleh orang Kang-ouw kepala suatu perkumpulan besar. Mestinya itulah rumahnya seorang sasterawan- Ditembok tergantung banyak pigura gambar dan tulisan. sesudah kacung menjuguhkan teh, tuan rumah mengundangnya masuk keperdalaman, melintasi lorong berliku-liku, ranggon berkaca dan lainnya. Disitu kedapatan banyak pegawai, pria dan wanita.

Akhirnya tibalah mereka dalam sebuah kamar dimana ada seorang anak perempuan umur enam atau tujuh tahun lagi tidur nyenyak. tubuhnya dikerebongi selimut, hingga terlihat mukanya saja yang pucat-pias tak cahayanya.

Didalam kamar itu masih ada tiga orang lain lagi.Yang seorang ialah satu nyonya tua dengan sepasang mata celi dan tajam tetapi tangannya mencekal sebatang tongkat hitam- mengkilap yang gagangnya berkepala burung-burungan. Yang kedua jalah seorang njonya usia tigapuluh kira-kira, yang romannya cantik, dan yang ketiga seorang budak umur tiga belas tahun, yang duduk numprah diatas pembaringan. Atas datangnya tuan rumah dan si tabib, mereka berbangkit menyambut.

“Inilah isteriku” Thian Tan mengasi kenal. Ia menunjuk si njonya tua. Jie In memberi hormat sambil menjura seraya memperkenalkan diri. “Inilah menantuku” kata pula Thian Tan menunjuk si njonya muda. Lagi sekali Jie In memberi hormat sambil menjebut.

“Sudah, sinshe, jangan pakai banyak adat-peradatan” kata si nyonya tua tertawa. “Tolong lihatlah cucuku ini.”

Jie In menyahuti sambil ia duduk ditepi pembaringan, selagi memeriksa nadi, beberapa kali ia menggeleng kepala. sekian lama barulah ia berbangkit, untuk terus berkata: “Inilah bukan penyakit berbahaya, cuma panas-dingin terkena angin jahat.

Mungkin thaythay semua menyayangi cucu, dia dikasi makan obat kuat sebab disangka tubuhnya lemah, karena mana angin terdesak kedalam dan menyebabkan keadaannya parah. Coba dia dikasi obat mengusir panas, dengan lantas dia akan sembuh cukup dengan sebungkus obat. Mungkin dia diperbahayakan oleh tabib tolol”

Thian Tan masgul karena sakitnya sang cucu, mendengar suaranya Jie sinshe,

hatinya lega, tetapi mendengar pula kata-kata hal si tabib tolol, alisnya mengkerut. “Sinshe, apakah dia dapat ditolong?” ia tanya.

“Bisa, bisa” menyahut si tabib. “Dalam tempo tiga hari, anak ini akan sembuh.” Mendengar itu, senang hatinya tuan rumah.

Setelah memeriksa, Jie In meminta diri untuk pergi keluar. ia diantar kembali kekamar tulis. Ia cuma berpikir sebentar untuk menulis surat obatnya.

“Aha, sinshe” berseru tuan rumah ketika ia menyambuti resep dan melihat tulisannya. “Tulisanmu indah sekali, jarang aku melihat tulisan semacam ini”

“Tulisanku justeru buruk sancoe” Jie In merendah.

Ketika itu bersama tuan rumah dan tetamunya itu ada dua orang lain lagi, yang menemani, satu diantaranya, seorang tua, yang turut melihat resep itu, berkata: “Benar, tulisan ini sangat bagus. Tidak sembarang ahli dapat menulis seindah ini”

Thian Tan menatap tabib didepannya, matanya bersinar. ia sudah lantas dapat sebuah pikiran. Dengan tertawa manis, ia kata: “Kalau anakku dapat disembuhkan, aku pasti akan menghadiahkan kau, sinshe?”

Lantas ia menjuruh bujangnya pergi membeli obat.

Perkataannya Jie In benar. Lewat tiga hari, sembuh sudah si nona cilik, Ia dibawa engkongnya kekamar tulis, untuk menghaturkan terima kasih pada penolongnya.

“Terima kasih kembali?” berkata Jie In, seraya ia pondong anak itu untuk dicium, kemudian ia menurunkannya dan kata sambil tertawa: “Selesai sudah tugasku disini, aku memohon diri.”

Tuan rumah tertawa.

“Masih ada sesuatu untuk mana aku mau minta tolong pula” ia kata. “Aku harap sinshe jangan lekas pulang dulu. sinshe pandai surat, aku ingin sinshe suka tolong mengajari surat pada cucuku ini. suka aku membayar gaji dua ribu tail setahunnya. sinshe tidak menampik, bukan?”

Jie In lantas melengak sebentar, lantas ia menggeyang kepala.

“Aku beruntung dan girang atas penghargaan sancoe ini” katanya, “Hanya sayang aku sudah terlalu biasa merantau hingga tak dapat aku menetap lama disuatu tempat. Justeru semasa hidupku ini, ingin aku pesiar keseluruh negara, untuk menikmati keindahannya. Dalam hal ini maaf, aku jadi berlaku kurang hormat”

Thian Tan mengerutkan alis.

“Jie sinshe, aku sangat menyukai orang pintar, maka itu harap kau jangan menampik” ia membujuk. “Sinshe masih muda, masih banyak tempomu untuk pesiar. Biarlah aku memberi tempo tiga tahun. Kau bukan kaum persilatan, kau juga bukan orang partaiku, selama tiga tahun itu suka aku memberi kebebasan terhadapmu untuk keluar- masuk disini. Disinipun banyak orang yang sakit, sinshe dapat sekalian menunjuki kepandaianmu menolongi mereka, hingga kau jadi dapat sekalian melakukan perbuatan baik dan mulia.”

Selagi berkata begitu, tuan rumah mcngasi lihat sorot mata meminta sangat.

Jie In berpikir.

“Sancoe begini baik hati, jikalau aku menolak terus, aku jadi tak berbudi”katanya. “Melainkan ada satu permintaanku, yaitu aku biasa tidur tengah hari, selama itu tidak dapat orang mengganggunya. Dapatkah sancoe menerima baik permintaanku ini?”

Mendengar begitu, Thian Tan girang bukan main. “Itulah perkara sangat kecil” katanya girang. “Baiklah,

kamar tulis ini dan sekitarnya sampai kebelakang aku jadikan daerah terlarang, tanpa urusan penting siapapun tidak dapat mengganggu sinshe”

Jie In girang. ia lantas minta ijin buat pulang dulu ke Khouw-kee-toen, untuk mengambil semua barangnya serta mengurus lainnya, sebab disana masih ada beberapa pasien yang membutuhkan pertolongannya lebih jauh.

Thian Tan terima baik permintaan itu, bahkan ia memberikan uang lima- ratus tail perak guna si tabib membeli pakaian dan lainnya. keperluan.

Jie In pulang kehotel dimana sampai lima hari lamanya ia bergaul erat dengan pemilik hotel, baru ia kembali kegunung, kemarkasnya Cian san Pay yang diberi nama dusun Hoan-pek san chung. Maka semenjak itu, kecuali diwaktu mengajar surat kepada si nona cilik, la luang sekali temponya, yang mana ia gunai untuk menulis dan menggambar, atau minum arak atau jalan-jalan diluar sanchung. Pek san It-ho menghargai tabib itu, ia memberikan sehelai leng-kie atau bendera-titah yang memakai buku merah dengan apa ia dapat keluar- masuk dengan merdeka. sebagai orang pelajar yang lemah, ia dianggap tidak nanti pergi menghilang dari gunung itu. Ia pun dapat seorang kacung umur dua belas tahun, untuk mengurus segala kebutuhannya.

Pada suatu hari Nona sioe, cucunya Thian Tan itu, lari berlompatan masuk kekamar gurunya. Ia berkuncir dua buah yang ngacir tinggi. Begitu melihat gurunya, ia berseru:

“Sinshe, ayahku sudah pulang Dia membawa banyak kembang gula untukku. Ayah mendengar sinshe telah menyembuhkan aku, ia ingin sangat menemui, maka itu marilah sinshe turut aku”

Habis berkata, ia samber baju gurunya, terus ia menariknya. Ia gembira sekali. sambil tertawa, Jie In mengikuti masuk keperdalaman.

Jauh-jauh telah terdengar suaranya tuan rumah, yang berbicara sambil tertawa-tertawa, ketika ia melihat guru cucunya, ia berbangkit menyambut dengan manis, katanya: “Anakku, Leng Hoei, baru pulang dari Tionggoan, ketika ia mendengar kepandaian sinshe, yang pun telah menolongi anaknya, ingin ia menghaturkan terima kasih sendiri pada kau, sinshe. Ini dia anakku, itu”

Memang Jie In telah melihatnya disamping Thian Tan seorang prja usia pertengahan, yang mukanya lebar dan telinganya besar, yang romannya gagah, dan tadi dia bicara riang dengan si nyonya tua dan nona menantunya, maka itu ia lantas memberi hormat pada orang yang ditunjuk itu.

Kiong Leng Hoei tertawa, ia membalas hormat dan kata: “Jie sinshe, kami kaum Rimba Persilatan, kami tidak kenal banyak adat-peradatan- sinshe, banyak-banyak terima kasih” Jie sinshe merendah. Ia pun menanyakan kesehatannya si nyonya tua dan si nyonya muda, setelah mana ia meminta ijin mengundurkan diri

“Tunggu dulu, sinshe” kata tuan rumah tertawa. “Mari kita dahar disini”

Lantas ia menjuruh budak. menyajikan barang makanan. Jie In tidak dapat menampik, ia mengucap terima kasih.

Demikian mereka bersantap sambil memasang omong.

“Dalam perjalanan pulang dari Kanglam” berkata Leng Hoei, “Aku mendengar kabar bahwa musuh kita dulu hari, Hok-san Jin-sioe, telah mengundang kawan-kawan yang katanya liehay niat datang kemari untuk mencari balas”

Tertawa Thian Tan mendengar kabar itu:

“Tidak apalah jikalau Hok-san Jie-sioe tidak datang kemari” katanya, “Tetapi apabila benar mereka datang, tidak nanti aku beri hati kepada mereka. Kami dari pihak Cian san Pay, meskipun kami tergolong penjahat, kami tidak menghiraukan harta tak keruan asal-usulnya dan kami tak melakukan sesuatu yang tak lurus. Lain adalah Hok-san Jie-sioe, merekalah penjahat biasa, yang tak ada kejahatan yang tak dilakukannya. Dulu hari itupun mereka sendiri yang mengganggu kami maka aku telah menghajar dengan Tay-lek Koen-goan-ciang pada si tertua Wie Lin soei. Aku masih menyayangi dia mendapat nama tak gampang, aku menghajar dia dengan tenaga lima bagian, jikalau tidak. tidak nanti dia dapat pulang hidup-hidup”

“Kabarnya Hok-san Jie-sioe telah meyakinkan ilmu silat yang baru, dari itu tak dapat kita lengah” kata Leng Hoei tertawa.

“Biarlah mereka dating” Leng Hoei berkata. Si nyonya tua tertawa. “Kau nanti lihat berapa jauh sudah aku telah mendapat kemajuan dengan tongkatku sian-tian Thung-hoat yang terdiri dari duapuluh-delapan jurus” Selagi berkata begitu, bangun rambut ubanan dari si njonya tua, suatu tanda dia sangat kegirangan dan bernapsu.

“Aku tidak sangka, ibu, kau demikian bersemangat” kata Leng Hoei girang.

Selama itu, Jie In dahar dan minum dengan anteng, ia tidak mengambil mumat pembicaraan diantara itu anak dan ayah-ibunya.

“Sekarang ini di Tionggoan telah terjadi dua peristiwa menggemparkan,” kemudian Leng Hoei berkata pula “Yang pertama halnya seorang pelajar muda yang aneh, yang tak ketahuan she dan namanya. Katanya dia telah merobohkan Chong-sie Koay-sioe, ketua dari sip-sam-sia, si Tigabelas sesat, si jago tua patah dua tangannya dan tertotok musna ilmu kepandaiannya. Berbareng dengan itu runtuh juga Hoa- san im- yang siang-kiam, karena mana Oe-boen Loei, ketua dari Oey Kie Pay, telah mendapat malu besar, yaitu dia kena dibekuk si pelajar aneh, hingga dia mesti membubarkan pengaruhnya di Kangsouw Utara. Pula sipelajar aneh, dengan bersendirian saja, sudah mengalahkan sembilanbelas ketua cabang dari Ceng Hong Pay di Cio-kee-chung, sedang besokannya Kioe-sin Soh Cian Lie terbinasakan ditangannya. semua peristiwa itu sangat menggemparkan wilayah selatan dan Utara sungai besar. Kabarnya lagi pelajar aneh itu berusia masih sangat muda, romannya tampan dan gagah. sayang aku tidak berkesempatan bertemu dengannya, jikalau tidak. suka sekali aku belajar kenal dan bersahabat padanya.”

“Kalau begitu bukan kau, aku pun ingin sekali berkenalan dengannya” kata Thian Tan tertawa. “Nah, apakah itu peristiwa yang kedua?”

“Itulah hal yang telah menggemparkan sangat kaum Rimba Persilatan” sahut Leng Hoei, yang kembali tertawa. “Itulah halnya Twie-hoen-poan Cia Boen jago Hoo-lok yang katanya sudah terbinasa digunung Boe Kong san tetapi dia sekarang muncul pula dalam dunia Kang-ouw” Thian Tan heran-

“Dia?” tanyanya. “Ah, inilah sukar dipercaya”

“Memang, aku pun sukar mempercayainya” kata si anak. “Lim-chong siang-sat, NgoTok Cinjin dari Tong Pek san, serta sam-cioe Gia- kang Hok Leng Tok katanya telah terbinasakan ditangannya, tetapi tidak satu orang pernah melihat dia, cuma tersiar beritanya bahwa Cia Boen lagi mencari tahu orang- orang yang dulu hari mengeroyok dia, untuk satu demi satu dibalasnya”

Jago tua itu mengerutkan dahlnya, tetapi dia kata tertawa: “Kalau hal ini dapat didengar Hoan-thian-cioe Ang Ban Thong beramai, mungkin terjadi mereka tidak dapat tidur nyenyak tiga hari tiga malam”

Tanpa merasa Leng Hoei melirik keluar jendela. “Apakah Ang Toasiok masih ada di Kioe- kiong- kok?” ia tanya.

Kiong Thian Tan mengangguk.

“Ia masih ada disana” sahutnya. “Setengah tindak juga dia tidak berani meninggalkan gunung ini. semenjak beberapa musuhnya hendak membinasakannya, dia lari kemari untuk bersembunyi, sampai sekarang sudah sepuluh tahun, dia terus mengeram diri sekarang terdengar halnya Cia Boen itu, apabila ia mendapat tahu, pasti untuk selamanya dia tidak bakal mau berlalu dari sini. Benar dulu orang mengepung Cia Boen secara menyamarkan diri tetapi Cia Boen itu cerdik, pasti tak sukar untuknya membikin penyelidikan- sebenarnya kelirulah Ang Ban Thong. Urusan bukan urus annya sendiri, kenapa dia mencampur tangan?”

“Tentang adik seperguruannya itu, Kiang Hiong yang jahat, yang berdosa tak berampun, bukan saja Cia Boen, apabila ia bertemu dengan orang-orang sebangsaku, tak nanti ia dapat lolos Kenapa dia mau menuntut balas untuk adik seperguruannya itu? Dasar dia usilan, suka mencampuri urusan tidak keruan, sekarang dia mencari susahnya sendiri” “Tetapi, ayah, tentang Ang Toasiok, tidak dapat kau mengatakan demikian. Adik seperguruannya terbinasakan orang, mana dapat dia tidak menuntut balas? Kalau orang dengar halnya, dimana dia mau menaruh mukanya?”

“Kau ngaco” kata ayah itu. “Kalau dia benar mau mencari balas untuk adik seperguruannya, dia boleh bertindak terus- terang, secara laki-laki Kenapa dia main kerojok? Kenapa dia main bokong? Itulah perbuatan paling hina”

Mukanya si anak muda merah. Ayahnya itu memang benar. “Sudah, sudah” Njonya Kiong datang sama tengah. “Kamu

ayah dan anak baiklah jangan duduk berkumpul, begitu berkumpul lantas bentrok. Kamu membikin Jie sinshe jadi kesepian, tahu?”

Jie In lagi bicara getol dengan Sioe In, tapi ia lekas berkata: “Tidak apa, tidak apa Tentang Rimba Persilatan, aku tak tahu suatu apa. Chungcoe muda baru pulang, sudah selayaklah ia anak dan ayah memasang omong. Tidak demikian dengan aku si orang perantauan, aku hidup sebatang kara, aku tidak berdaya”

Jie In mengatakan tepat rasa hatinya. Ia memang bersendirian saja.

Thian Tan kuatir membuat si guru sekolah kesepian, ia lantas menukar haluan bicara, saban-saban ia mencari jalan untuk beromong-omong dengan tetamunya ini, syukur ia luas pengetahuannya, sebagai orang Rimba Persilatan, dapat ia menemani si guru, bahkan ia berbicara dengan riang hingga beberapa kali mereka tertawa dan bertepuk tangan, sampai akhirnya tibalah saatnya Jie In minta mengundurkan diri.

Malam itu Jie In tak tenteram hatinya, hingga tak dapat ia tidur. Ia turun dari pembaringan, mengenakan bajunya, lalu duduk dikursi diluar kamarnya. Hawa udara dingin sekali.

Ketika itu pun bulan kesepuluh. Apapula orang berada diatas gunung. Bintang-bintang jarang tetapi sang Puteri Malam jernih dan permai sekali, hingga didalam lembah itu, rumah- rumah dan pepohonan memain dengan bayangannya masing- masing. semua pohon, kecuali cemara dan pek. sudah mulai gundul, ada yang tinggal cabang-cabangnya saja. Dalam suasana itu, Jie In terus duduk terpekur, dia bagaikan lagi berpikir keras. Rupanya ada sesuatu yang memegang pikirannya. sampai lewat jam empat baru ia masuk kekamarnya, naik kepembaringannya dan tidur dengan perlahan-lahan.

Besoknya pagi, kesulitan pikirannya Jie In seperti telah lenyap semuanya. seperti

biasa, ia mengajari surat kepada Sioe In, habis mana ia minum teh wangi yang disuguhkan kacungnya. seperti biasa, ia pun bersendirian saja. Hanya hari ini mendadak ia melihat datangnya sancoe Kiong Thian Tan dengan romannya yang rada muram. Dengan tergesa-gesa ia berbangkit menyambut.

“Duduklah sinshe” kata Thian Tan seraya mengulapkan tangan dan bersenyum. “Dalam dua hari ini mungkin Hok-san Jie-sioe datang untuk mencari balas, maka itu apabila tak ada perlunya, aku minta sukalah sinshe jangan meninggalkan kamar tulis ini, supaja bila ada sesuatu taklah sampai kami tak dapat melindunginya. Umpamakata ada orang yang tidak dikenal, atau ada terdengar sesuatu, diangan sekali sinshe memperlihatkan diri, jangan melakukan sesuatu”

Ia menunjuk pada si kacung: “Ini si Pin- jie mengerti juga sedikit ilmu silat untuk menjaga diri, dia bolehlah diminta melindungi sinshe.”

Muka Jie In menjadipucat.

“Nanti, nanti aku berlaku hati-hati” katanya gugup. “Tentang diriku, harap loosancoe jangan menguatirkan apa- apa” “Kalau begitu, baiklah,” kata tuan rumah, yang lantas berlalu.

Jie In melepaskan napas lega. Ia menoleh kepada Pin- jie, yang berada dipinggir pintu, yang mengawasi ia dengan roman jenaka. Lantas ia mengasi lihat roman sungguh- sungguh.

“Kunyuk cilik, kau berani kurang ajar terhadap bapak guru ya,” katanya, membentak tetapi perlahan- “Awas, satu hari kau bakal tahu rasa”

Tapi kacung itu tertawa.

“Sinhe, mana berani Pin- jie kurang ajar,” katanya.”Aku cuma tertawa sebab barusan waktu loosancoe mengatakan bakal ada orang datang, muka sinshe menjadi sangat pucat.”

“Kunyuk cilik” Jie In membentak pula, romannya gusar. “Barusan loosancoe bilang kau mengerti ilmu silat, coba kau pertunjuki beberapa jurus. Aku tidak mengerti silat tetapi dapat aku melihat kepandaianmu dapat dipakai atau tidak seandaikata kau tak sanggup melindung aku, nanti aku bersembunyi dikolong ranjang. Mau atau tidak?”

Kacung itu tertawa terkikik, hingga dia tampak jenaka. “Sinshe,” katanya, perlahan, “Baru saja aku peroleh

semacam permainan, tetapi tentang ini aku minta janganlah sinshe memberitahukan loosancoe, apabila dia mendapat tahu, aku bisa didamprat hebat”

Habis berkata, dia mengeluarkan dari tangan bajunya tiga panah-tangan panjang masing-masing lima dim, sembari tertawa dia menambahkan- “Sinshe telah melihatnya, bukan?”

Sembari berkata, kacung itu lantas memasang kuda- kudanya, tangan kanannya diluncurkan rata, terus mendadak ia memutarnya. Dan “ser..” maka ketiga batang panah tangan itu melesat menyamber boneka malaikat yang terbuat dari kayu cendana diatas meja. Jie In terlihat kaget, tetapi ia terus mengambil patung itu, hingga ia melihat ketiga panah nancap masing-masing didada dan kedua mata, nancapnya tiga coen kira-kira. Maka heranlah la yang bocah itu, yang telah mempunyai tenaga cukup besar itu.

“Bagus” si sinshe memuji. “Siapakah mengajarkan kau ini?” Pin-jie mencabut ketiga panahnya.

“Inilah pengajarannya loohoejin diluar tahunya loosancoe,” sahutnya tertawa.

“Kau maksudkan loothaythay?” tanya si sinshe heran- “Loothaythay demikian liehay?”

Pin-jie tertawa terkikik pula.

Pasti sinshe tidak ketahui katanya, lucu. “Keluarga loosancoe semuanya liehay. Umpama loohoejin, dialah Pek hoat Kioe-tiang-po Yap Han song yang kesohor di

Kwan-gwa. sinshe bukan orang Rimba Persilatan, tapi sinshe tentu telah mendengarnya”

Setelah berkata begitu, seperti dia mendengar suara apa- apa, si kacung lantas memasang telinganya, terus dia lari keluar.

Sendirinya, Jie In tersenyum.

Sang siang lewat dengan cepat, sang malam sebera menggantikan tugasnya. Dan malam itu, dibawah sinar rembulan, segera terlihat berkelebatnya bayangan dua orang, bagaikan burung garuda menyambar, lewat didepan kamarnya Jie sinshe. Menyusul itu terdengarlah bentakan beberapa kali, disusul lebih jauh dengan berisiknya bentrokan pelbagai senjata tajam. Kembali terdengar suara orang. Lalu sang malam sunyi seperti semula, kecuali suaranya angin

Sebaliknya, Pin Jie terlihat lari bergegas-gegas masuk kedalam kamar tulis, terus kekamar tidurnya Jie sinshe, dimana ia dapatkan keadaan sangat sepi. Untuk kagetnya, ia tidak melihat si guru sekolah, hingga ia berdiri melengak. Tidak lama ia tercengang itu, lantas ia lari keluar. Tapi tidak lama, ia telah kembali bersama-sama tuan rumah yang tua danyang muda.

“Jie sinshe” ia memanggil setelah mereka memasuki kamar tulis.

“Ya” terdengar jawaban perlahan dan menggetar, suara mana datangnya dari kolong pembaringan, menjusul mana lalu tertampak munculnya kepala si guru sekolah, yang merayap keluar dengan tubuh bergemetar.

Hampir ThianTan dan Leng Hoei tertawa, syukur mereka dapat mencegahnya. Mereka melihat Jie sinshe bermuka hitam dan bajunya penuh debu.

“Barusan datang dua sahabat yang membawa berita,” berkata tuan rumah yang tua. “Diantara kita telah terbit salah paham, kita telah bentrok sebentar karena kami merintanginya. Mereka itu mengabarkan bahwa Hok-san Jie- sioe beramai bakal tiba malam ini. Aku tidak sangka sinshe kena dibikin kaget karenanya.”

Jie sinshe tersenyum terpaksa.

“Aku mendengar bentrokan senjata, aku kaget, lantas aku menyembunyikan diri,” katanya. Mendengar itu, Pin-jie tertawa.

“Hus” Leng Hoei membentak kacung itu “Lekas ambil air untuk sinshe mencuci muka”

Pin-jie menurut, ia lantas pergi dan kembali dengan cepat dengan air yang diminta, tetapi dia lucu, dia masih tertawa sendirinya.

“ Anak nakal” Leng Hoei membentak.

Jie In sudah lantas membersihkan muka dan pakaiannya, setelah mana, kedua tuan rumah mengajaknya bicara. Tapi tak lama, ayah dan anaknya itu mengundurkan diri pula. “Sinshe,” kata Pin-jie kemudian, “Besok bakal ada keramaian dipuncak Pit-kee-hong dibelakang sanchung ini. Apakah sinshe mau melihatnya? Kalau mau, aku dapat mengajak kau kesebuah tempat dari mana dapat kita mengintai.”

“Kunyuk” guru sekolah itu membentak. Kenapa kau ajak sancoe datang kemari? Apa sengaja kau hendak membuat aku malu? Kau mau pergi, pergilah. Aku sendiri tidak. Apakah yang bagus dilihat?”

Pin-jie tertawa pula, ia lantas ngelojor keluar.

“Dasar bocah” kata si guru, yang mengawasi orang berlalu.

Selanjutnya, malam itu dilewatkan dengan sunyi. Tapi besoknya, malam jam tiga, ramailah dipuncak Pit-kee-hong. Disana golok dan pedang berkelebatan, beradu satu dengan lain, ditambah berisiknya teguran dan dampratan, hingga umpama kata lembah menggetar. Lalu mendekati fajar, loosancoe pulang dengan mandi darah, lengan kirinya dipegangi. Dia memasuki kamar tulis. Terang dia telah terluka.

Ketika itu Jie In duduk dikursi, rupanya satu malam suntuk ia tidak tidur. Pin-jie menggeros dengan kepalanya terletakkan diatas meja. Melihat tuan rumah, guru sekolah ini sebera berbangkit.

“Oh, loosancoe terluka” katanya kaget. Ia lantas menepuk bangun pada Pin-jie.

“Inilah luka tak berarti” menyahut tuan rumah tertawa. “Coba sinshe tolong periksa, apa terluka juga otot-otot dan tulangnya. Mungkin aku telah mengeluarkan terlalu banyak darah. Akupercaya, setelah makan obat, dalam waktu tiga hari aku akan sudah sembuh. Hanya tadi, apabila tidak ada orang membantu aku, mungkin aku roboh diujung pedangnya Hok- san Jie-sioe, orang itu membantu secara diam-diam, tadi tak diketahui siapa dianya” Jie In segera memeriksa luka. Dia tertawa.

“Loosancoe berejeki besar dan berumur panjang, pastilah dibantu Thian” katanya. “Luka ini tidak parah, nanti aku memberikan obat untuk menambah tenaga dan obat luar, tidak sampai dua hari, sancoe akan sudah sembuh”

Dan ia lantas membuat resepnya dan menitahkan Pin- jie mengurus obatnya. setelah itu Thian Tan menuturkan jalannya pertempuran.

Kira2 jam tiga malam, rembulan terang dan permai.

Bintang-bintang sedikit dan bergemerlapan. Diwaktu begitu, ThianTan sudah siap. menantikan dipuncak. Ia ada bersama Leng Hoei serta orang-orangnya, berjumlah duapuluh lebih. Tak lama terdengarlah siulan nyaring, yang berkumandang didalam lembah, disusul sama datangnya beberapa puluh bayangan orang. sangat cepat datangnya mereka, dengan lantas mereka telah tiba dipuncak.

Melihat datangnya musuh dalam jumlah besar itu, Thian Tan terperanjat. la kata dalam hatinya: “Terang sudah Hok- san Jie-sioe ingin membumi- ratakan Hoan-pek sanchung, Heran orang ku yang dipasang disebelas tempat jaga kenapa tidak satu diantaranya yang memberi pertanda? Mungkinkah mereka telah bercelaka semua?”

Baru ia berpikir begitu atau Hok-san Jie-sioe sudah berdiri didepannya. Dibelakang kedua musuh itu Dua orang tua dari Gunung Hok san berbaris kawan-kawan mereka. Kumis mereka yang putih dan panjang memain antara sampokan angin, tangan baju mereka juga berkibaran-

Lao-toa, yang tua, Wie Lin soei, lantas tertawa dingin- “Kiong Thian Tan, kembali kita bertemu” katanya, suaranya

jumawa. “Ketika dulu hari kita berpisah, aku telah meninggalkan kata-kata. Kau masih ingat itu, bukan? Kata kata itu ialah, kapan nanti persaudaraan gunung Hok san munculpula dalam dunia Kang-ouw, itu artinya runtuhnya Hoan-pek san chung”

Thian Tan tertawa berlenggak.

“Wie Lin soei, kata-katamu itu masih terdengar ditelingaku” sahutnya, berani. “Mana dapat aku melupakan itu? Aku hanya mengira kata-kata itu untuk menutupi malu saja, tak tahunya benar-benar kamu telah mewujudkan sumpah mengunjungi rumahku ini .Tapi mungkin kau lupa bahwa kau menghendaki jiwaku seorang”

“Tutup mulut” Lin Soei membentak. “Dalam sarang yang jatuh mana ada telur yang utuh? Jikalau malam ini kau mengharap jiwamu lolos, itu cuma dapat terjadi seperti mencari jarum didalam laut”

Disamping tertua Hok san Jie-sioe berdiri yang kedua, Souw Lin siang. Dia turut bicara dengan berkata nyaring: “Lao-toa, mana ada begitu banyak waktu untuk mengadu mulut dengannya? Bereskan dulu mereka, baru kita bicara”

Lalu tanpa menanti jawaban lagi, dia mengulapkan tangannya, atas mana sekalian kambratnya lantas bergerak menyerang orang2nya Thian Tan- Diantaranya ada belasan yang menerjang kearah sanchung.

Melihat demikian, Thian Tan terkejut. Itulah cara membokong. Tapi, belum ia sempat mengambil tindakan, ia pun segera diserang Hok san Jie-sloe, yang telah menghunus pedangnya masing-masing dan maju dikiri dan kanan, pedang mereka menikam iga kiri dan lengan kanan.

Thian Tan tertawa berkakak. sambil tertawa ia berlompat mundur, untuk berkelit. Begitu lekas ia menggeraki sepasang tongkat peraknya, ia pun maju guna membalas menyerang.

Hok san Jie-sioe memisah diri, lalu merapat pula. Itulah permulaan mereka mengepung. Tak mau mereka bertempur satu lawan satu. Bahkan beramai bersama semua kawan mereka.

Thian Tan heran dan berkuatir.

“Entah dari mana, Hokssan Jie-sioe mempelajari ilmu pedangnya ini,” pikirnya. “Mereka rjerdik, mereka merasa pasti dengan tangan kosong sulit mereka menempur aku, sekarang mereka menggunai senjata. Kelihatannya mereka telah mencapai puncak kemahirannya.”

Dengan sebenarnya, pedang dua musuh itu digunai rapat dan dahsyat sekali.

Selagi pertempuran ramai itu berjalan, di Hoan-pek sanchung nampak berkelebatnya satu bayangan, yang mencelat naik keatas puncak dimana bayangan itu lantas bersembunyi diatas sebuah pohon cemara yang tua.

Kiong Thian Tan dapat melayani kedua musuhnya dengan seimbang, hanya ruginya untuknya ia harus memikiri juga rumahnya karena ada musuh yang menyerbu kesana. Ia tahu isterinya liehay tetapi si isteri pun pasti repot melayani banyak musuh. Nona mantunya mengerti silat tetapi nona mantu itu tidak dapat diandalkan, lantaran dia lagi hamil tiga bulan- Kalau menantu itu turun tangan- bagaimana nanti dengan kandungannya itu? Karena ini ia menjadi bingung, hingga tanpa merasa pedangnya Lin soei mampir dipundak kirinya, hingga darahnya lantas mengucur keluar. ia mengertak gigi, untuk menahan sakit. Ia lantas berkelit sambil tangan kanannya menyerang, niatnya berlompat keluar dari kalangan- Tapi ia kena dibarengi Lin siang, maka sikut kirinya kena tertikam hingga ia terhuyung dua tindak.

Girang Hok-san Jie-sioe, keduanya maju berbareng membacok musuhnya.

Dalam saat terancam itu, Kiong Thian Tan menggunai pukulannya yang istimewa, yaitu Tay-lek Koen-goan-ciang, untuk menyapu kedua lawannya. Celakalah siapa kena terhajar pukulan itu.

Hok-san Jie-sioe celi matanya dan sebat gerakannya.

Kedua-duanya berkelit dengan cepat dengan berkelit mendak. Maka juga terus saja mereka dapat menyerang pula kekaki musuh.

Thian Tan terancam hebat. Tak dapat ia menangkis, tak keburu ia berkelit. Untuk menarik pulang tangannya saja sudah sukar. Maka ia menutup kedua matanya, untuk menantikan kebinasaannya. Akan tetapi ia tidak merasakan tertusuk atau tertabas, sebaliknya telinganya mendengar kedua lawannya menjerit kaget. Dengan lekas ia membuka matanya. Ia melihat Hok san Jie-sioe menutupi matanya sendiri, masing-masing yang kiri dan kanan, kedua mata itu mengeluarkan darah, seperti bekas kena senjata rahasia, terus mereka berlompat mundur, untuk lari kabur.

Ketua Cian san Pay itu menjadi heran, ia menenangkan diri.

Ketika ia melihat musuh sudah lenyap. ia mengeluarkan napas. Benar ia telah bebas dari bahaya tetapi dengan musuh- musuhnya masih hidup, sampai kapan permusuhan itu dapat dihabiskan?

Segera Thian Tan menyaksikan satu kejadian lain. satu bayangan orang berkelebat didekatnya, diantara cahaja rembulan ia melihat bayangan itu memegang sesuatuyang hitam dengan apa dia menyerang kalang-kabutan kepada kawan-kawannya Hok san Jie-sioe, hingga mereka itu pada menjerit kesakitan, lantas semua lari serabutan untuk menghilang.

Heran Thian Tan untuk menyaksikan, antara orang- orangnya sendiri, tidak ada satu yang kena terserang senjatanya bayangan itu sebaliknya musuh, kebanyakan dari mereka terhajar matanya Hebat orang itu, pikirnya mengenai bayangan. Dapatkah senjata rahasia membedakan musuh dan kawan? siapakah dia? Dia mestinya sahabat, Ah, bagaimanakah dengan isteriku?

Segera Thian Tan menjuruh Leng Hoei memeriksa pos penjagaan, ia sendiri mengajak beberapa orang lari pulang. Ia merasakan sangat sakit pada kedua lukanya,yang masih mengeluarkan darah, sedang angin keras menyampok giris.

Dengan tangan kanannya ia memegangi tangan kirinya. Ditengah jalan pulang, ia melihat beberapa musuh roboh diselokan, dipinggiran pohon, diatas genteng juga. semuanya kurban-kurban totokan, ia heran dan kagum, ia bingung. siapa itu penolong yang liehay?

“Bawalah mereka pulang” ia memerintahkan orang- orangnya, untuk mengangkut semua musuh yang tak berdaya itu. Ia sendiri terus lari kedalam rumah. Tiba didalam, ia heran hingga ia tercengang. Isteri dan nona mantunya lagi duduk memasang omong sambil tertawa-tertawa, seperti juga dirumahnya itu tidak terjadi sesuatu.

Tapi Yap Han song kaget melihat suaminya pulang dengan mandi darah, ia lantas berbangkit menyambut.

“ Ah, kau terluka?” tanyanya.

“Ya, tetapi tidak apa” jawab suami itu tertawa. ia lega hati. “Semua musuh sudah dipukul mundur sekarang aku mau menemui dulu Jie sinshe” Dan ia lantas bertindak kekamar tulis.

Kapan Jie In telah mendengar habis ceritanya tuan rumah, ia mengatakan berulang-ulang: “Benar-benar, naga sakti itu terlihat kepalanya tidak ekornya Inilah mesti dipercaya”

Habis diobati, Thian Tan mengucap terima kasih, lantas ia kembali kedalam. Di kanan dari rumahnya Kiong Thian Tan ada sebuah tangga batu yang berliku-liku, undakannya mungkin beberapa ribu tindak. naik hingga dipinggang gunung. Di situ tumbuh banyak pohon tua dan besar. Di situ pun ada bangunan lauwteng atau ranggonyang berwarna merah tua, yang diberi nama Kioe-kiong-kok. Dan malam itu, pintnnya yang timur terlihat terbuka, dari situ keluar seorang tua dengan rambut dan alisnnya putih semua, dengan mukanya kisutan dan kucal.

Rupanya dia telah lama sangat menderita. Dengan tangan dipunggung, dia berdiri didepan loneng, kepalanya diangkat, matanya mengawasi langit. sinar matanya itu guram. Di terangnya rembulan, makin nyata nampak kucalnya itu

“Sudah sepuluh tahun” katanya seorang diri, menghela napas panjang. “Inilah bulan dan tahun yang tidak pendek. Kapankah aku akan melihat pula kampung halamanku? Aku telah berbuat salah, aku terpaksa menyingkir ke Kwan-gwa ini dimana aku mesti menumpang pada orang lain sekarang aku menyesal, apa gunanya? sudah kasip”

Orang tua ini ialah Hoan-thian-cioe Ang Ban Thong si Tangan Membalik Langit. Dia tinggal menyendiri dilauwteng Kioe-kiong-kok ini sudah sebuluh tahun. Dia tinggal tanpa berdaya, bisanya cuma tidur dan bangun dan dahar dan ngelamun. Tidak berani dia berlalu dari tempat sembunyinya ini. Telah lenyap tulang-tulang kejumawaannya dulu hari. Dia telah menjadi putus asa meskipun benar kadang-kadang dia memikir untuk hidup pula. setiap malam dia berpikir tak keruan junterungannya. Demikian malam ini dia menggadangi si Puteri Malam, sampai dia ingat kampung halamannya, hingga dia mengenangkan segala lelakon hidupnya yang sudah-sudah.

Tengah jago tua ini menjublak itu, tiba-tiba ada suara halus berkerosek dibelakangnya. Biar bagaimana, dia ialah seorang yang mengerti ilmu silat, telinganya masih terang, matanya masih tajam. Dia tahu bahwa ada orang telah menyerangnya. Tak kecewa dia menjadi si Tangan Membalik Langit.

Tangannya liehay sekali. Begitu memutar tubuh, begitu dia menyerang. “Brak” demikian suara nyaring terdengar. Celaka kedua daun pintu lauwteng, yang terhajar roboh pukulannya itu, hingga seluruh lauwteng turut menggetar. Tapi, dia tidak melihat setengah manusia juga. Maka dia berdiri melengak.

“Tangan yang liehay” mendadak telinganya mendengar suara pujian yang disusuli tertawa dingin- suara itu mirip suara nyamuk tetapi dia dapat mendengarnya tegas sekali. Maka kagetlah dia. Dengan sebat dia lompat kedepan, setelah mana dengan sebat dia memutar tubuh. Maka kagetlah dia, tubuhnya menggigil.

Di depannya berdiri satu tubuh mirip bayangan hitam, sebab orang itu tertutup kepala dan seluruh tubuhnya, sampai dikakinya. Cuma sepasang mata yang tajam molos mencilak, membikin siapa yang melihatnya ciut hatinya.

”Siapa kau?” dia menanya, suaranya menyatakan kagetnya. Orang itu tertawa dingin pula.

“Ang Ban Thong” sahutnya. “Mimpi pun, kau tak akan menyangka aku siapa” Kata-kata itu belum diucapkan habis, atau tangannya orang itu bergerak.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar