Kisah Dua Saudara Seperguruan Jilid 13

 
Mendengar itu, Teng Hiauw kaget sekali. Ia menduga ayahnya sudah tahu rahasianya. Tetapi ayah itu melanjuti: “Kiang Hong Keng yang dipanggil Angie Liehiap setiap kali dia muncul di udara tcrbuka! Satu nona iimur tujuh atau dclapan belas tahun, kerjanya naik-turun kuda saja, dia berkeliaran, dia main gagah-gagahan adu kepandaian dan bercidera dengan orang, maka nona scmacam itu man a tahu kewajiban satu isteri?”

Teng Hiauw diam saja, sang ayah pun tidak mcmperdulikannya, ayah ini telah tetapkan perjodohannya hanya sejak itu, di samping meyakinkani ilmu silat, ia ingin putera ini belajar juga ilmu surat, kelakuannya harus sedikit diubah hingga jadi sedikit lemah-lembut, agar besannya tidak katakan dia kasar dan nanti menertawainya.

Teng Hiauw ada sangat tidak setuju, ia tidak puas sekali. la jadi mcrasa seperti terbelenggu. Memang, pendiriannya dengan pendirian ayahnya itu sudah terpisah jauh jaraknya, urusan perjodohan itu menambah kerenggangan. Ia pun tak puas ayahnya mencela Hong Keng. Tapi berbareng dengan itu, ia ingat si nona dan Tjoe Soesioknya, hingga kembali bangkit rasa iri hatinya.

“Apakah si paman itu bukan tunangannya?” ia menduga- duga.

Pemuda ini terus tak dapat melupai Nona Kiang, walaupun ia telah merasakan pahit-getir. Ia belum pikir akan punya si nona, toh ia tak puas nona itu mempunyai “orang di dampingnya”. Ia pun tak perlu pikir si nona, karena ia sendiri sudah ikat tali perjodohan.

Oalam keragu-raguannya, Teng Hiauw bicara sama Kim Hoa, ia utarakan tak setujunya, tetapi soeheng itu tidak bisa memberi pikiran baik untuknya.

Selang bebcrapa hari, Teng Kiam Beng sudah antar panjar.

Ia “main terbuka”, hingga kaum ahli silat di Kota Pooteng ketahui hal perangkapan jodoh itu atau ikatan besan, hingga urusan itu jadi bahan pembicaraan, sedang Teng Hiauw turut jadi buah kata-kata hingga dia jadi jengah sendirinya.

Dua hari kemudian, di waktu malam, sclagi Teng Hiauw sukar pulas, oleh karena ruwetnya pikiran, tiba-tiba ia dengar suara berkeresek di atas genteng, lalu itu disusul sama terpentangnya daun jendela, sedang waktu itu tidak ada angin. Tidak tempo lagi, ia loncat turun dari pembaringannya, dengan sebelah tangan di depan dada, ia loncat kdluar dari kamarnya.

Rembulan malam itu ada jdrnih, maka itu Teng Hiauw lihat dua bayangan sedang bcrlari-lari, malahja kenali, yang di sebelah belakang adalah seorang perempuan. Dua or•ang itu lari pesat, sebentar saja, mereka menghilang. Dengan pikiran tak keruan, Teng Hiauw kembali kd kamarnya, tapi sekarang, di atas mcjanya, ia nampak selembar kertas yang ditusukjarum. Ia membaca:

“Langit ada luas, di manakan di dunia ini tidak ada rumah

? Apa satu laki-laki mesti tunduk dan mengandalkan kepada lain orang?”

Ternganga Teng Hiauw apabila ia telah membaca, terus ia menjublek dengan pikirkan surat itu. Dalam ragu-ragunya itu, ia ingat suatu apa, ia sepcrii orang tersadar dari tidurnya.

Segera ia ambil pedang Tanhong-kiamnya, ia kantongi uang belasan tail perak. Ia pun mcnulis surat untuk ayahnya. Akhimya, sambi I bawa satu buntaIan, ia keluar dari rumahnya.

Dunia ada luas, pemuda ini hendak merantau!

Selagi udara ada terang, di jalanan dari Hoopak menuju ke Hoolam, ada berjatan satu anak muda cakap umur delapan- atau sembilan belas tahun, pakaiannya indah tetapi binatang tunggangannya ada seekor keledai yang kurus dan jelek macamnya, hingga binatang tunggangan itu dan penunggangnya sangat tidak tepat.

Pemuda itu adalah Teng Hiauw yang tengah melarikan din.

Yang belum punya pengalaman. Ia anggap merantau mcski dandan pantas, tak boleh sederhana seperti di rumah, dari itu, ia bekal dua perangkat pakaian.

Kctika ia memilih, ia justru kena jumput pakaian yang ayahnya siapkan untuk pernikahannya nanti!

Baharu hari pertama, Teng Hiauw telah tcrbitkan buah tcrtawaan. Ia jalan di siang hari, ia mesti jalan dengan pelahan. Di tempat umum, dimana lalu-lintas ramai, ia tak dapat jalan scparuh lari seperti di waktu malam, ia tak dapat gunai ilmunya jalan keras “Patpou kansian” dan “Lioktee hoeiteng”. Ia pun telah tidak ambil jalanan kecil. Ia memang tidak tahu jalanan, ia melainkan tahu hendak menuju ke Propinsi Hoolam untuk mengunjungi Thaykek Tan di Tankee- kauw, Hoaykeng. Ia mau cari ahli Thaykek-koen si she Tan itu, untuk belajar silat, supaya ia bisa gabung kedua macam ilmu silat asal satu golongan itu. Maka di sepanjang jalan, saban- saban ia tanya orang, di mana letak Kota Hoaykeng.

Sebal Teng Hiauw akan jalan ayal-ayalan, ia cepatkan tindakannya. Tidak merasa, ia telah jalan cepat sekali. Ia membuat orang heran dan curigai padanya. Ketika ia kebetulan lewati seorang polisi, ia segeradisusul. Ia disangka ada satu penjahat pemburon, ia hendak ditangkap. Syukur ia masih di luar Kota Pooteng, ketika ia menerangkan, ia ada puteranya Teng Kiam Beng, ia tidak jadi ditangkap. Si orang polisi sangka ia lagi yakinkan ilmu lari keras. Ia cuma diperingari untuk jangan berlatih di jalan besar!

Itulah pengalamannya yang pertama. Yang kedua ia telah ditolak oleh tuan rumah penginapan ketika ia singgah untuk bemialam. Itu kejadian di malam pertama, tempo ia sampai di satu kota kecil. Ia dandan perlente, tapi ia jalan kaki, mukanya pun penuh debu, tuan rumah bercuriga ia ditampik dengan alasan semua kamar sudah penuh. Ia jadi sibuk. Akhirnya dengan ngodol dua tail, ia dapat sebuah pondokan kecil dan jorok, makanannya tak keruan!

Di hari kedua, sesudah insyaf, Teng Hiauw memikir akan cari binatang tunggangan. Ia pergi ke pasar, ia tanya harga kuda. Ia dapat keterangan, kuda yang bagus ber harga tiga puluh tail lebih, dan yang jelek, sedikitnya belasan tail. Ia cuma bekal belasan tail, sudah dipakai beberapa tail, maka sisa uangnya tinggal sepuluh tail lebih sedikit. Akhirnya, ia beli seekor keledai, yang kecil dan kurus, yang macamnya tak keruan.

Menunggang kcledai, Teng Hiauw merasa jemu. Baharu ia jalan sepintasan, keledai itu sudah ngorong kelelahan.

Binatang itu bertindaknya Iambat sekali, hingga ia haus. Kelcdainya pun ingin minum. Maka ia mampir di tempat ramai yang pertama. Ia pilih rumah makan yang paling besar. Ia baharu muncul didepan pintu, atau jongos, dengan al is dikerutkan kata padanya: “Menycsal, Tuan, di sini tidak ada minuman. Di depan, Pengen-tin, ada sebuah kota besar. Lagi tiga puluh lie, kau akan sampai di sana, dengan runggang keledai, dalam tempo setengah jam, kau akan sudah sampai….”

“Kau buka rumah makan, kau tolak tetamu?” berseru Teng Hiauw dengan mendongkol. “Aturan apa ini? Apa kau kira aku tidak punya uang?” Ia mcrogoh sakunya, ia segera menyodorkan dua tail perak.

Baharu sekarang jongos itu bersikap manis, karena ia lihat uangnya dan jerih juga. Ia mempcrsilakan tctamunya ke dekat jendela.

“Tuan ingin minum apa?” bertanya ia dengan hormatnya.

Sebenarnya Teng Hiauw masih mendongkol, ia ingin umbar hawa amarahnya, akan tetapi ia lihat banyak mata mengawasi ia, terpaksa ia tenangkan diri.

“Arak apa pun boleh asal jangan yang keras,” ia jawab. Jongos itu tertawa, ia menyuguhkan arak “Tiokyap-tjeng”. “Arak ini pasti cocok untuk Tuan,” kata ia.

Tiokyap-tjeng ada arak keluaran Henghoa-tjoen, Shoasay, baunya harum dan rasanya menyenangkan, siapa minum itu, tidak lantas pusing, hanya nanti, pelahan-Iahan. Dan Teng. Hiauw merasa senang dengan minuman ini. Ia minum sambil memandang lain-lain tetamu, hingga ia pun menarik perhatian empat tetamu yang duduk di meja timur.

Satu tetamu yang berumur lima puluh lebih, yang dua berusia tiga sampai empat puluh tahun, yang keempat pemuda umur dua puluh lebih. Mereka bicara dengan lidah Selatan dan Utara, hingga menjadi nyata, mereka bukan berasal satu tempat. Pembicaraan mereka dicampur sama kata-kata rahasia sebekal pedang.

Biar bagaimana, Teng Hiauw ada puteranya satu ahli silat, tidak banyak, sedikit ia mcngcrti j uga kata-kata rahasia kaum Kangouw, maka itu, ia tahu empat orang itu bicara tentang suatu perkumpulan rahasia, perihal Kaum Pcmbcron lak Rambut Panjang. Rupanya mereka itu hendak mencari orang. Ia duga-duga, mereka ada or-ang-orang baik atau jahat, jikalau mereka ada orang baik-baik, ingin ia bersahabat dengan mereka itu. Ia baharu memikir, atau orang sudah mendahului undang dia. Si orang tua bangkit bcrdiri dan sambil melambaikan tangan, ia mengundang. “Sahabat, mari duduk bersama-sama kita.

Tanpa sangsi, Teng Hiauw menghampiri. Ia segera dipersilakan duduk.

“Saudara, kau sebenarnya ada dari jalan mana?” tanya orang tua itu. Ia maksudkan, pemuda ini ada orang gagah dan mana

“Aku sedang bikin perjalanan,” sahu! Tcng Hiauw dengan tercengang. la bingung dengan pertanyaan orang itu.

Dijawab secara bertentangan, or•ang tua itu mengawasi. “Saudara. jangan curiga,” kata ia

“Kita orang ada asal jalanan yang sama sumbernya. Aku tanya kau, kau menjaga membuka merayap atau diatas jalanan mcnggantung mereka? Kau membuka usaha secara resmi atau membuka gunung mendirikan almari?”

Teng Hiauw mendatangkan kecurigaan orang, maka juga dia ditanya apa dia telah merampok di suatu tempai tertentu, apa dia tidak pilih tempat, apa dia masuk anggota suatu rombongan, atau dia Cuma bekerja, atau dia jadi kepala sendiri.

Semua pertanyaan itu tidak dimengerti oleh orang she Teng ini, ia tidak tahu bagaimana harus menjawab, maka itu, ia menjadi bingung.

Si anak muda mengawasi, lalu ia tertawa. Ia pun tarik tangan orang.

“Saudara Muda, kau rupanya baharu menginjak dunia Kangouw!” kata ia. “Looyatjoe, kita salah mata, dia menyangka kau ada orang Kangouw yang ada asal-usulnya.”

Si orang usia pertengahan juga tertawa. “Kau pun keliru!” ia kata pada sahabatnya yang muda itu. “Saudara Muda ini, walaupun dia bukannya satu kaum Kangouw ulung, mesti ada satu ahli silat kenamaan. Lihat pedangnya. Itu, itu….”

Dan dia merandek sendirinya. Ia hendak puji pedang itu, tctapi pedang masih di dalam sarung, dia belum pemah lihat, bagaimana dia dapat memujinya? Syukur, Teng Hiauw telah sambungi ia: “Bicara tentang ilmu silat pedang, aku mengcrti Thaykek-kiam secara kasar-kasar, dari itu, aku bukannya satu ahli silat kenamaan. Tjoewie Tjianpwee sendiri tentu ada ahli- ahli.”

Teng Hiauw jadi suka bicara, karena ia lihat orang ada manis budi, tidak galak sepcrti si orang she Kiang - KiangEkHian.

“Eh, Saudara Muda,” tanya si or•ang tua, “kau sebenarnya ada dari golongan mana?”

Kembali pemuda ini melengak.

“Aku tidak masuk perkumpulan,” sahut ia.

Orang tua itu isikan cawannya, atas mana, Teng Hiauw buru-buru menyambuti, ia hendak membilang terima kasih tetapi si orang tua mendahului, katanya: “Saudara, kendati kita orang baharu bertemu, kita sudah sepcrti sahabat-sahabat lama. Aku paling suka anak-anak muda yang gagah. Kita  kaum Kangouw mesti omong terus terang. Saudara, kau mengcrti ilmu silat, biar kau bukan anggota perkumpulan, kau mesti punvakan kaum. Orang toh tak bisakeluardari meledak, bukan?”

“Aku tidak tahu halnya perkumpulan,” kata Teng Hiauw, yang berpura-pura pilon. Ia tidak curiga tetapi ia tak ingin perkenalkan asal-usulnya. Dengan sebut nama ayahnya, ia kuatir nanti tcrhina. Ia pun scdang buron, tak dapat ia buka rahasia sendiri. Orang tua itu keringkan cawannya sendiri. Ia lihat orang sepcrti tak gembira bicara.

“Kendati kita baharu pertama bertemu, kita ada sepcrti sahabat-sahabat lama,” orang tua ini kata pula kemudian. ‘Tentu saja, kau curiga, Saudara, kau tidak berani lantas omong terus terang. Umpama kau tidak memasuki sesuatu perkumpulan, kau tentu ketahui halnya badan-badan perkumpulan kaum Kangouw. Umpama Gichoo-toan, kau tahu atau tidak?”

“Aku tidak tahu,” sahut Teng Hiauw sambil goyang kepala. “Toatoo-hwee?” , ‘Tidak tahu juga.”

Orang tua itu meletaki cangkirnya dengan digabruki.

“Bcnar-benar kau pandang kita sebagai orang luar!” melanjutkan ia “Di mana ada seorang Kangouw yang tidak jujur sepcrti kau? Giehoo-toan kau tidak tahu, Toatoo-hwee kau tidak kenal, nah, kau scbutkanlah Sendiri, sebenarnya perkumpulan Kangouw apa saja yang kau ketahui! Mustahil kau tak mengetahui satu jua?”

Teng Hiauw jadi berpikir.

“Aku mclainkan ketahui satu…” akhirnya ia jawab. “Perkumpulan apa itu?” tanya si orang tua.

“Aku cuma ketahui Piesioe-hwee…” sahut si anak muda, yang suaranya tak tegas.

Air mukanya si orang tua berubah.

“Oh, Piesioe-hwee?” kata ia. “Siapa yang kau kenal dalam kumpulan itu?”

Pertanyaan ini membikin Teng Hiauw bungkam. Ia menyebut Piesioe-hwee karena ia ingat itu setelah si orang tua sebut Toatoo-hwee. Wajah si orang tua pun ada lain. Tentang Piesioe-hwee ia tak tahu suatu apa, cuma dari Kim Hoa ia dengar, itu ada satu perkumpulan rahasia

“Aku tidak kenal orang-orang perkumpulan itu,” ia berkata kemudian. “Aku pun dengar itu dari satu sahabatku. Katanya dalam Piesioe-hwee ada satu pemuda dengan kepala sepcrti kepala macan tutul, mukanya berewokan, dia pandai ilmu pedang Thaykek-kiam.”

Orang tua itu lantas tertawa berkakakan.

“Benar-benar mataku yang tua tidak lamur!” berkata ia dengan gembira. “Kau memang bukan orang sembarangan, Saudara!” Dan ia tunjuki jempolnya, ia suguhkan arak pula.,

Teng Hiauw bingung. Selagi ia tak tahu mesti berbuat apa, ia lihat si orang tua tertawa dingin, lalu secepat kilat, tangannya itu menyambar ke pundaknya hingga ia merasa seperti digaet besi, sampai tangannya sesemutan dan lemas. Dan belum ia tahu apa-apa. dua orang lain sudah keluarkan borgolan dengan apa kedua tangannya terus dirantai!

Walaupun ia Jiehay, dalam keadaan seperti itu, selagi ia bingung, Teng Hiauw lidak sempat berdaya. Sama sckali ia tidak menyangkajelek. Ia ada scorang hijau untuk dun ia Kangouw, scdang gcrakannya si orang tua ada luar biasa tangkas. Tapi ia jadi tidak puas. ia mendongkol. Selagi Iain- lain retamu kaget dan heran, ia berseru: “Eh, kawanan manusia busuk, siauwya kau tidak bcrmusuh dengan kamu scmua, ken apa kau orang tangkap aku? Lihat, hari ada terang-bendcrang! Apakah kau orang tidak takuti undang- undang negara?” Si orang tua awasi pemuda itu 8t»l ketawa dingin, kcmudian ia berpaJing pada Iain-Iain tetamu, yang scmuanya terperanjat dan tcrcengang, i dcngan sabar ia mcnyahuti si anak muda: “Undang-undang negara? Looyamu ini adalah undang-undang negara.’” Lantas ia lambaikan tuan

rumah di depan siapa ia beber surat kuasa atati surat titahnya, sambil tambahkan: “Kita semua telah ditugaskan Sri Baginda Raja untuk bekuk kaum pemberontak, dan ini bocah adalah si pemberontak! Dia minum arak di waning kau ini, kau juga tak dapat lolos dari tanggung jawab, tetapi menampak romanmu, kau 11ada sangkut paut dengan dia ini, kita suka memberi ampun, kita tidak hendak bawa kau untuk diperiksa terlebih jauh, akan tetapi lain kali kau mesti nyalakan api sedikit lebih bcsar, supaya jika ada orang yang dicurigai, kau mcsti segera laporkan itu kepada pembesar negeri!”

Dengan “nyalakan api sedikit lebih besar”, diartikan awas mata.

Menurut undang-undang Kerajaan Tjeng, siapa bcrontak, dia akan terembet sampai pada tiga tingkat sanak-berayanya, maka juga si tuan rumah, jongosnya, dan sckalian tetamu lainnya, jadi jerih sekali. Begitulah tuan rumah, dia tidak berani minta pembayaran uang arak dan makanan. Jongos, yang tadi sambut Teng Hiauw, ingin bermuka-muka.

“Memang!” kata ia. “Begitu melihat roman dia ini, aku sudah curiga, tadi aku larang dia masuk tetapi dia memaksa!”

Teng Hiauw jadi lebih-lebih gusar. “Setan alas!” ia mem ben tak. “Kau orang adalah si orang-orang jahat! Cara bagaimana kau orang boleh tuduh aku? Terang kau orang hendak memeras!”

“Memeras?” ulangi si orang tua. “Apakah kau perlu penjelasan? Piesioe-hwee ada perkumpulan rahasia pemberontak paling jahat dan berbahaya, sesuatu anggotanya yang kena ditawan, mesti dihukum mati, Sri Baginda Raja tak akan bcrikan ampun lagi! Oh, bocah, kau masih mengharap untuk hidup pula?….”

Si tua ini dengan getas tuduh pemuda itu ada anggota Piesioe-hwee.

Mereka ini benar-benar ada orang-orang yang ditugaskan menawan kaum pemberontak, tetapi mereka bukan diwajibkan utama menumpas Piesioe-hwee, hanya Gichoo- toan. Piesioe-hwee cuma main lakukan penyerangan gelap, tidak demikian dengan Giehoo-toan, yang angkat senjata. Giehoo-toan bercita-cita “Hoetj’eng Hokbeng’ - merubuhkan Kerajaan Tjeng untuk membangunkan pula Kerajaan Bcng, dan juga mcmbela rakyat jelata, korban sewenang-wenang pembesar-pembesar negeri. Adalah tadinya, terang-ferangan, Giehoo-toan masih diperlakukan mirip Piesioe-hwee.

Itu sampai empat orang adalah orang-orang kepercayaan Kioeboen Teetok dari Pakkhia yang dipcrbantukan pada Socnboc Lie Peng Heng dari Shoatang, kepada Tjongtok Djoe Lok dari Titlee, dan kepada Soenboe Thio Lie Bwee dari Hoolam, untuk cari orang-orang Giehoo-toan. Teetok itu memang lepas banyak orangnya, maka mereka ini, yang bekerja sama dengan orang-orang setiap propinsi sendiri, merupakan seteru hebat bagi pergerakan kebangsaan itu.

Tempat tugas dari empat orang itu adalah daerah Kota Anpeng.

Si orang tua ada Tjiauw Tiong Yauw, keutamaan ilmu silatnya ada “Thongpie-koen” atau “Menembusi Lengan” serta sedikit Tiamhiat-hoat Tiga yang Iain ada kawan sekerjanya, yang pandai loncat tinggi. Mereka pun mengerti kata-kata rahasia kaum Kangouw. Setiap mencari tahu tempat musuh, atau lantas membekuk anggota-anggota Giehoo-toan yang berkeliaran.

Tjiauw Tiong Yauw mengerti, Teng Hiauw ada scorang hijau, tetapi karena pemuda ini menyebut-nyebut Piesioe- hwee, perkumpulan yang sangat dirahasiakan, serta menghunjuk juga anggota Piesioe-hwee yang pandai Thaykek- kiam, ia jadi curiga juga. Anggota Piesioe-hwee yang dimaksud, yang berkepala sebagai kepala macan tutu I, adalah Law Boe Wie, yang sedang dicari keras. Teng Hiauw ketahui lukisan roman orang tetapi tidak tahu namanya, sebab Kim Hoa, dari siapa ia perolch keterangan. tidak menyebutnya. Iadisangka ada punya hubungan sama Boe Wie, dari itu, ia lantas ditawan. Itulah sikap umum dari orang-orang polisi ini. yang berpokok: “Lebih baik kcliru bunuh seratus rakyat jelata daripada melepas lolos satu penjahat”.

Demikian Teng Hiauw yang apes, sia-sia ia memprotes, orang tidak gubris padanya. Tiong Yauw berempat terus minum araknya. sampai kemudian, di jalan besar, debu tertampak mengebul, kuda menerbitkan suara berisik dengan suara dan tindakannya. Itulah scpasukan tentara penumpas pemberontak, yang datang ke arah tujuannya, dengan di sepanjang jalan melakukan penangkapan kepada rakyat jelata yang disangka.

Opsir yang mengepalai pasukan itu girang bukan main apabila Tiong Yauw melaporkan dapat dibekuknya satu anggota Piesioe-hwee.

Seiagi hamba negeri itu mclanj uti perjamuannya, ke dalam rumah makan itu ada benindak masuk satu tetamu. Entah bagaimana, dia masuk tanpa menarik perhatian siapa juga, kecuali sesudah dia berada di depannya Tiong Yauw dan si opsir beramai. Ketika itu, rumah makan seperti terkurung tentara, meski benar sekalian serdadu sedang beristirahat dan bcrpencaran.

Orang ini berumur hampir empat puiuh tahun, alisnya kereng, matanya bersinar. Teng Hiauw pun tidak perhatikan orang ini, karena ia sedang repot dengan dampratannya, sebab ia sangat mendongkol atas periakuan orang-orang polisi rahasia itu. ia baharu berpaling, untuk melihat, kapan ia dengar ada serdadu yang menegur dengan keras: “Kau siapa? Kenapa kau lancang masuk kemari?

Kau tak tahu aturan?”

“Aturan apa sin?” balik menanya tetamu itu, sikapnya sabar luar biasa. ” dirumah makan, sesuatu orang dapat memasukinya! Looya bisa datang kemari, mustahil aku tidak?”

Itulah suara, yang Teng Hiauw kenali, hingga ia terkejut, apabila ia (liat romannya, ia heran bukan main! Dia segera kenali orang yang Angje Lichiap si Nona Baju Merah, panggil “Tjoe Soesiok”, yang pernah tempur ia sendiri!

Ketika putera Teng Kiam Beng pandang orang baharu itu, dia pun justru menoleh, hingga empat mata jadi bentrok sinamya. Dia itu agaknya tcrpcranjat. Dia maju dua tindak, mendekati, scraya berseru: “Ah, Piauwtee! Kau kenapa?

Kenapa or•ang telah pakaikan kau ini macam barang pwrmainan?”

Orang itu menyebutkannya borgolan scbagai barang pcrmainan.

Teng Hiauw pun tercengang, karena tahu-tahu ia dipanggil piauwtee, adik misan. Tapi, sebelum ia sempat menyahut, kawan-kawannya Tjiauw Tiong Yauw sudah hunus golok dan Thie-tjio mercka. Mercka maju menghalangi orang itu dekati lebih jauh si anak muda, hingga orang itu mundur sendirinya agaknya dia kaget dan tercengang.

“Dia tentu bukan orang benar, tangkap padanya!” berseru si orang tua.

Dan dua kawannya sambuti seruan itu: “Jangan kau melawan!”

Teng Hiauw tahu orang itu liehay, ia percaya, pertempuran hebat bakal mengambil tempat. Akan tetapi, dugaannya meleset. Orang itu tidak melawan, dia malah angsurkan kedua tangannya. Dia cuma bilang: “Aku tidak tahu suatu apa, harap Looya semua berlaku baik, untuk tidak bikin aku bersengsara….”

Dcmikian, dengan jinak, orang itu kena diborgol.

Teng Hiauw mendongkol bukan main, sekarang terhadap si tetamu.

“Manusia ini cuma pandai berjumawa terhadap angkatan muda,” pikir dia. “Di muka hamba negeri, dia begini bernyali kecil! Cis, aku tadinya sangka dia ada satu enghiong!” Sesudah ditawan, si orang baharu lantas dipcriksa. Ia akui bahwa Teng Hiauw itu ada adik misannya, bah wa mereka berdua baharu saja masuk menjadi anggota Gichoo-toan.

Anggota Giehoo-toan disebut “koenbin” artinya “rakyat Pahkoentauw”.

Orang tua itu dan si opsir tentara tertawa berkakakan. “Kau lihat, bocah!” kata mereka pada anak muda kita.

“Scjak tadi kau berkepala batu, kiranya kau benar-benar orang Giehoo-toan! Dan kau pun ada orang Piesioe-hwee yang buron!” Kemudian, ia terusi pada si Tjoe Soesiok: “Kau ada seorang jujur, di depan Tiekoan nanti, kau pasti akan dapat keringanan….”

Bcrtambah-tambah gusamya Teng Hiauw, hingga dia mendamprat si “Pamah Tjoe” itu, yang dia katakan pengkhianat kawan. Toh dia tidak tahu, siapa namanya orang ini, dia cuma umbar hawa amarahnya, karena mana, dia tak dapat piljh kata-kata.

Orang tua itu tak ambil perduli ia dicaci kalang-kabutan, ia tunggu sampai si anak muda sedikit redah amarahnya, lain dengan tawar ia kata: “Piauwtee, kau sabar sedikit. Siapa suruh kita kena ditawan? Baik kita orang pasrah saja kepada nasib-..”

Ia bersikap lesu, nampaknya ia harus dikasihani, iapun mcnghela napas berulang-ulang.

Si opsir dan orang-orang polisi tertawa geli melihat kelakuannya itu, “engko dan adik misan” satu kepada lain, mereka anggap sikap mereka lucu.

Lalu, tak lama kemudian, opsir ini dan empat orang polisi rahasia itu berangkat meninggalkan rumah makan, mereka giring dua orang tawanan itu, yang dicampur dalam rombongan tawanan lain. Meraka ada bawa beberapa ratus serdadu. Jumlah orang tawanan ada belasan. Tujuannya rombongan ini ada Anpeng-hoe, Kota Anpeng. Teng Hiauw tak dapat kendalikan diri, di sepanjang jalan, sampai suaranya jadi serak, sampai ia tak mampu mendamprat lebih jauh. Or•ang telah ringkus ia di atas kuda. Melainkan dengan sepasang mata tajam, ia awasi Tjoe Soesiok, si Paman Guru she Tjoe itu. 

Si opsir gembira sekali, ia puas telah dapat tawan orang- orang Giehoo-toan dan Piesioe-hwee dengan berbareng.

Sementara ltu, penduduk di sepanjang jalan pada ketakutan, mcreka singkirkan diri bagaikan ayam kabur dan anjing ngiprit….

Barisan tentara ini jalan terus, ketika sang maghrib mendatangi, mereka terpisah dari Kota Anpeng tinggal lagi lima puluh lie. Waktu itu mereka berada ditanjakan Tjiasek- kong. Supaya bisa sampai scbclum malam, mereka jalan dengan cepat, kuda mereka dicambuki berulang-ulang.

Tanjakan Tjiasek-kong ada seperti bukit tersusun. tanahnya ada tanah merah. Di kedua tepi jalanan ada tumbuh pohon kaoliang yang tinggi sependirian manusia. Tatkala itu, angin meniup-niup, hingga pohon-pohon kaoliang jadi rebah bangun bagaikan gelombang. Selewatnya tanjakan ini, jalanan rata, dari situ, Kota Anpeng sudah bisa terlihat.

Selagi barisan serdadu ini Icwati tikungan di kaki puncak, dari scbclah atas, antara pepohonan lebat, ada terdengar suara orang tertawa, yang disusul sama suara tindakan kaki yang nyata, kemudian kelihatan munculnya satu orang mcndckati umur empat puluh tahun. yang dandan sebagai satu anak sckolah. Mahasiswa ini bcrsikap anch. Bcberapa tumbak lagi akan sampai di depan serdadu-serdadu berkuda, yang jalan paling depan, mendadakan ia angkat kedua tangannya, ia rangkap itu, untuk

memberi hormat, sedang dari mulutnya segera terdengar kata-kata| yang berirama nyanyian, katanya: “Jalanan ini adalah aku yang buka, gunung ini adalah aku yang rawatj maka itu siapa berlalu-lintas di sini, dia harus membayar uang sewa jalan!” Habis itu, dengan kipasnya dia tunjuk pasukan tentara sambil berseru: “Hayo, berhenti!”

Opsir pemimpin tentara itu menjadi heran, mau atau tidak, ia berhenti. Ia tahu, melainkan tentara yang menawan berandal, tidak ada begal yang sebaliknya minta uang sewa jalan dari tentara. Dan herannya pula, orang ini cuma bersendirian. Orang ini bertingkah-laku mirip or•ang edan daripada satu penjahat.

“Hci, orang otak miring, lekas minggir!” kemudian ia berseru. “Atau nanti aku bekuk padamu untuk dibawa ke kantor negeri!”

Dia anggap orang itu edan, dari itu, dia cuma menggertak. Anak sekolah itu tak perdulikan bentakan, ia berdiri diam.

Opsir itu menjadi heran, dari menggertak saja, ia jadi ingin buktikan gertakannya itu, akan tetapi selagi ia hendak membuka mulut, untuk berikan titahnya, Tjiauw Tiong Yauw sudah dului ia.

“Tongtay, awas, jagalah orang-or-ang taw an an kita!” berseru orang tua ini, si orang polisi. Dia bermata tajam, segera ia duga, si anak sekolah bukannya orang edan…. Dia pun sudah lantas keprak kudanya maju ke depan.

Baharu orang polisi ini berseru atau si Tjoe Soesiok, orang yang masuk ke restoran untuk scrahkan diri dibelenggu, telah berseru juga, suaranya bagaikan harimau menggcram, menyusul mana, dia telah gcraki kaki dan tangannya, hingga dalam sekcjab saja, rantai-rantai borgolan pada putus terkutung beberapa potong, hingga berbareng dengan kemerdekaan dirinya, dia mcncelat dari atas kudanya, bagaikan kilat saja, segera ia sampai di atas kudanya Teng Hiauw, tatkala ia gunai kedua tangannya, juga tambang yang mengikat si anak muda pada terputus semua, sesudah mana, lebih jauh ia bikin putus semua rantai belengguan. Serdadu-serdadu pengiring sementara itu, walaupun mereka terkejut, sudah lantas bergerak, untuk menyerang, guna melakukan penangkapan.

Tjoe Soesiok itu tak jcrih akan ancaman barisan serdadu itu, malah dia mendahului menerjang, hingga dengan gampang, dia dapat rampas dua batang golok. Dia bermaksud lemparkan sebatang golok kepada Teng Hiauw, untuk ini anak muda, turut tindakannya, akan tetapi kapan ia menoleh, dia tampak anak muda ini, yang sudah mcrdeka, baharu saja berhasil toyor rubuh si opsir, tombak siapa ia sambar dan rampas, hingga dengan senjata di tangan, ia bisa layani serangan.

Pada waktu itu, si anak sekolah pun sudah turut beraksi, akan cegat sejumlah serdadu, yang hendak mclarikan diri, karcna hati mereka gentar sendirinya.

Komandan barisan itu, yang bcrpangkat tongtay, menjadi sibuk sekali atas kejadian itu yang tidak disangka-sangka. Dia duduk di atas seekor kuda besar, senjatanya sebatang golok, dia lantas saja berseru, untuk kendalikan barisannya.

Tjoe Soesiok lihat aksinya pemimpin tentara itu, ia hendak merintangi, untuk ini, ia berlompat tinggi dan jauh, guna menghampirkan. Ia telah gunai loncatan “Ithoo tjiongthian” atau “Seekor burung hoo serbu langit”.

Selagi Tjoe Soesiok beraksi berbareng dengan si anak sekolah dan Teng Hiauw juga, kin dan kanan jalanan, di sawah kaoliang, mendadakan timbul pekik riuh-rendah, pohon-pohon kaoliang segera bergerak bagaikan gelombang. Di situ muncul dengan tiba-tiba serombongan besar orang,

yang kepalanya semua dilibas pelangi kuning, yang tangannya pada bergegaman, mereka ini maju sambil berseru-seru.

Mereka adalah koenbin atau pemberontak Giehoo-toan!

Tjoe Soesiok telah sampai di depannya si tongtay, selagi dia ini terkejut, karena melihat barisan tcrsembuny! dari musuh, tidak tempo lagi, dentgan “Pektjoa touwsin”atau “Ular putih muntahkan bisa”, ia menikam, gerakannya sangat cepat Tongtay itu terperanjat, dia kidut kudanya, untuk berlompat, dengan goloknya, dia menangkis Akan tetapi si Tjoe Soesiok ada sangat gesit, ia lompal ke samping, untuk berkelit, lain dcngan enjot tubuhnya, ia loncat tinggi ke belakang kuda sambil goloknya dipakai membabat dengan gerakan “Ganlok pengsee” atau “Burung belibis turun di pasir datar”. Tongtay itu belum sempat memutar tubuh atau  berkelit, senjatanya juga tak sempat diputar, tahu-tahu batang lehernya sudah terbabat kutung. sambil muncratkan darah hidup, kepalanya terpental jatuh, menyusul mana, tubuhnya rubuh dari kudanya!

Sekalian serdadu Boan yang melihai itu menjadi kaget, hati mereka menjadi ciut, tanpa ayal lagi, mereka berebut lari serabutan.

Berbareng waktu itu, Tjiauw Tiong Yauw sudah tempur simahasiswa yang memegat jalan mereka. Dia ada bersama dua kawan, yang berusia pertengahan. Mereka ini ada boesoe, guru silat dari kantor tjongtok di Titlee. Mereka gusar sekali melihat serdadu mereka, yang terdiri dari beberapa ratus jiwa, sudah angkat kakj, maka itu, mereka segera maju, akan terjang Tjoe Soesiok. Senjata mereka masing-masing ada golok sebatang, Tan-too dan Thie-tjio.

Tjoe Soesiok tertawa besar apabila ia lihat ia diterjang dari kedua pinggiran. Ia tampak datangnya Thie-tjio terlebih dahulu, sambil lompat ke samping, ia menyambuti, akan babat lengan.

Penyerang itu lekas-lekas tank pulang tangannya, untuk luputkan bahaya.

Setelah membabat dengan tidak bcrhasil, Tjoe Soesiok lanjuti ayun goloknya, untuk tangkis serangan golok dari lain musuhnya, yang sudah terus serang ia, maka segeralah ia layani dua musuh itu. la bcrlaku gesit. Meski demikian, ia masih gunai tempo, akan diam-diam link kawan-kawannya.

Teng Hiauw sedang me layani si anak muda yang menjadi kawannya Tjiauw Tiong Yauw.

Kacau adalah pertempuran di antara barisan kocnbin dengan tcntara negeri, yang belakangan ini banyak yang kabur, tapi yang scbagian besar berkelahi dengan sengit, hingga Tjiasek-kong menjadi satu medan pertempuran.

Teng Hiauw mengerti ilmu berkelahi tangan kosong lawan senjata tajam, akan tetapi dia tidak sepandai si Tjioe Soesiok. Dia pun malu, karena sebagai keluaran dan putcra ahli Thaykek-kocn, dia mcsti ditolongi orang tak dikenal itu. Tapi dia penasaran, dia tidak mau kalah, maka itu, dia sudah terjang si opsir dan rampas tombaknya ia itu seraya orangnya pun dibikin rubuh. Dengan tombak itu, ia lantas terjang tentara negeri. Ia lagi panas hati, ia ngamuk dengan hebat.

Bcbcrapa serdadu lantas saja rubuh terpel anting. Sedangnyaia sengit, tiba-tiba sambaran angin datang dari belakangnya. Ia tahu, ada serangan datang, berbareng menoleh, ia menangkis ke bclakang.

Kedua senjata bentrok dengan kcras, si penyerang Ioncat mundur, apabila ia sudah lihat nyata, iakenali si pembokong sebagai si anak muda kasar di rumah makan. Ia lantas balas menycrang, walaupun tak biasa ia menggunai tombak.

Scsudah beberapa jurus dikasih lewat, hatinya Teng Hiauw menjadi tetap. Di dalam hatinya, ia kata: “Kiranya begini saja pertempuran di kalangan Kangouw…. Aku tadinya sangka semua orang mesti liehay seperti Tjoe Soesiok ini….” Ia pun lantas lihat kckurangannya sendiri dan bagian-bagian yang liehay dari musuh itu, yang menggunai pedang, senjata pendek yang memerlukan kegesitan. Lekas sekali ia mengerti bagaimana harus melayani musuh ini. Dcmikianlah ia gunai ilmu tombak Thaykek-tjhio Djicsiesie, yang terdiri dari dua puluh empat jurus. Ia bersikap tenang, hingga cepat sekali, ia berada di atas angin.

Di pihak lain, Tjiauw Tiong Yauw yang garang telah kena dibikin bemapas senin-kamis oleh si anak sekolah. Senjatanya yang belakangan

»ni adalah kipas Siauwkim-sie itu, yang terbuat dari baja, yang kedua tepinya tajam sekali, hingga kipas itu dapat digunai sebagai piehiat-kwat, penotok jalan darah, dan pedang Ngoheng-kiam, terutama sebagai aiat mencari tiga puluh enam jalan darah.

Tjiauw Tiong Yauw telah berfatih beberapa jntfuh tahun akan tetapi dia masih belum tahu ilmu silat kipas ini. toyanya Tjiebie-koen kesohor untuk dua Propinsi Titlee dan Shoatang, sedang ia pun pandai pukulan “Tongpie-koen”, kekuatan kcpalan. akan tetapi, sesudah berfempur tig apuluh jurus, ia kewatahan menghadapi si sioetjay itu. Ia jadi penasaran dan gusar berbareng kuatir, ia jadi sibuk sendirinya, maka itu di akhirnya, ia mendak, ia berseru, ia mengumpulkan tenaga kepalannya pada toyanya, untuk menyambar pinggang lawan dengan diterusi menyapu kaki!

Anak sekolah itu tertawa panjang.

“Ha, segala kepandaian tikus dan rase diperlihatkan bagaikan sang kunyuk!” kata ia secara mengejek. “Sayang sakuku kosong-melompong, hingga aku tak punya uang untuk dipersenkan! Jikalau kau bcrlompat pula, aku nanti hajar padamu, jikalau tidak, aku akan menonton saja! Hayo, kau berlompat atau tidak?”

Lucu mahasiswa ini selagi bertempur, dia masih bergurau.

Memang juga, ilmu “Tongpie-koen” dari Tjiauw Tiong Yauw bergerak-gerak scperti gcrakgeriknya monyet, terutama selagi ia loncat, ia mirip kunyuk. Tentu saja ia sangat mendongkol dipermainkan secara demikian, tetapi ia cuma jadi makin mendelu, karena semua serangannya tidak memberikan hasil. Si sioetjay adajauh terlcbih gesit daripada dia, tubuhnya melesat-lesat luput dan toyoran atau paparan toya. Jangan kata orang purrya tubuh, bajunya saja tak pernah kelanggar.

Kalau Tiong Yauw makin lama jadi makin kecil hatinya, sebaliknya, si sioetjay jadi makin mantap, kipasnya semakinjadi bcrbahaya. Karena jaga diri, supaya jalan darahnya tidak sampai kena ditotok, Tiong Yauw sampai keluarkan keringat dingin.

Kekuatirannya memuncak apabila ia dapati kenyataan, barisannya kena dikurung pasukan liar dan” musuh.

Diakhirnya, sambil putar tubuh, ia gunai gerakan “Lauwsie poankin” atau “Pohon tua terbongkar akarnya”, untuk membabat ke bawah, lalu di saat musuh loncat, untuk luputkan diri, ia pun loncat mundur, guna angkat langkah kaki panjang.

Si sioetjay liebay sekali, ia rupanya bisa duga maksud musuh, selagi musuh loncat, ia pun loncat lebih jauh, ke sebelah depan, hingga di lain saat, ia sudah mendahuiui berada di depan musuh itu, untuk memegat, kipasnya terus menotok kepada jalan darah “Hoakay-hiat”. Tjiauw Tiong Yauw terponggok.

sampai ia tak sempat menangkis atau mengelakkan diri, tidak ampun lagi, ia mcnjcrit, jeritannya disusul sama rubuhnya tubuhnya, yang rubuh terlentang.

Sesudah rubuhkan musuh, si sioetjay tidak hampirkan musuh itu, untuk melanjuti serangannya, sembari tertawa mengejek, ia hanya loncat ke belakang, akan serbu tentara musuh. Celaka adalah Tjiauw Tiong Yauw, dia rubuh dalam kekalutan, tidak ada satu serdadu jua, yang maju untuk menolongi dia, rnaka, di antara injakan banyak kaki serdadu dan serdadu koenbin, ia mesti kehilanganjiwanya. Si sioetjay sudah lantas dekati or•ang yang dipanggil Tjoe Soesiok itu, selagi dia ini menyerang hebat dengan goloknya, hingga goloknya merupakan bundaran perak. Dengan ini cara, Tjoe Soesiok bikin repot kedua orang yang kepung dia, yang dua- duanya ada orang-orang polisi kesohor, hingga dalam tempo yang lekas, ia bikin dua musuh itu jadi jerih. Dengan satu tanda, mereka itu mcncoba tinggal kabur musuh yang Iichay ini. Tjoe Soesiok itu sebaliknya mendesak semakin keras.

Musuh yang bersenjatakan Thie-tjio mau pakai senjata yang berat itu akan tekan goloknya Tjoe Soesiok, sesudah itu ia hendak loncat kabur, akan tetapi Tjoe Soesiok yang cerdik tidak mau kasih goloknya kena dibikin tak berdaya, selagi goloknya diketok keras, ia justru ke bawahkan itu, lalu ia putar, akan dipakai balas serang lengan orang dengan tipu pukulannya “Poattjo simtjoa” atau “Keprak rumput untuk cari ular”.

Musuh yang bersenjatakan golok melihat kawannya terancam bahaya, dalam sibuknya, dia loncat, dia serang orang punya batok kepala. Hebat serangan ini, karena ia gunai pukulan “Lekpie Hoa-san” atau “Dengan sekuat tenaga menggempur Gunung Hoa-san”. Ia pun harap, dengan serangan separuh mcmbokong itu, ia bisa rubuhkan musuh.

I tulah serangan sangat bcrbahaya. Akan tetapi, melayani dua musuh, Tjoe Soesiok telah berlaku waspada, terutama untuk scrangan-scrangan gelap. Melihat datangnya golok, dia loncat berkelit, dengan tipu “Yantjoe tjoanin” atau “Burung walet tembusi awan”. Bcgitu rupa ia berloncat, sebat sekali, tetapi tak kalah gesitnya ketika ia turun, sebelum orang sempat perbaiki diri, sembari turun, goloknya dipakai menyambar. Kesudahan dari ini ada sangat hebat, karena sebuah leher putus dan sebuah kepala terlempar jatuh dan darah menyemprot!

Kagetnya musuh yang bersenjatakan Thie-tjio itu bukan main, hatinya scperti hancur, tidak berayal lagi, ia loncat, untuk angkat kaki. Tapi ia baharu menyingkir beberapa tindak, tatkala di depannya, ia lihat seorang mendatangi sambil berseru: “Ke mana kau hendak kabur? Di sini aku!”

Dan orang itu belum sampai atau serupa benda mendahuiui ia, benda hitam, yang menerjang orang dengan gegaman

Thie-tjio itu. Dia ini kaget, belum sempat dia menangkis, atau berkelit, benda itu sudah mengenai tubuhnya, yang telah kena tertotok, maka segera ia rubuh seperti Tjiauw Tiong Yauw yang buruk nasibnya.

Sesudah rubuhkan musuh yang mau kabur ini, orang itu hampirkan si Tjoe Soesiok seraya bcrkata sambil tertawa: “Untuk rubuhkan dua musuh tak punya guna ini, kenapa kau sia-siakan begitu banyak tempo?” Tjoe Soesiok itu tertawa. “Manusia jail, jangan adu mulut di sini!” ia mcmbentak. “Kau gunai senjatamu yang tepat dan aku senjata sambaran!”

Sehabis menjawab demikian, ia tank tangan orang.

“Mari aku ajak kau tengok satu pemuda Kangouw!” kata ia.

Pada waktu itu, pertempuran di antara Teng Hiauw dan si anak muda, yang mukanya hitam, sudah mulai perlihatkan tanda-tanda keputusan. Pedangnya si muka hitam liehay, tetapi dia kewalahan melayani tombak Teng Hiauw yang ujungnya menyambar-nyambar seperti tak hentinya, cepatnya luar biasa, sampai orang repot bukan kepalang, hingga dia seakan-akan kena dikurung.

Pertempuran itu berjalan cepat. Sang Batara Surya sudah mulai doyong ke barat, terus selam di ujung gunung, hingga cuaca sore menjadi gelap. Tapi pertempuran mesti dilanjutkan, karcna tentara negen, daiam kekalahannya. masih terus melakukan perlawanan. Maka itu, lentera Khongbeng- teng lantas dinyalakan.

Barisan kuda pemerintah tidak bisa berbuat banyak dalam pertempuran malam iru, karena di bokit, di tanjakan. pihak koenbin mengadakan dua pasukan lain, dalam dua rombongan tersembunyi, yang mcnggunai anak panah, hingga setiap kali pasukan negeri hendak mcnerobos, saban-saban mereka dipukul mundur hujan busur.

Biasanya tentara negeri melakukan penangkapan dengan mengandali jumlah yang besar, akan tetapi sekarang mereka ketemu tandmgannya, dengan ccpat semangat mereka tergedor, apapula dari sana-sini Iantas terdengar teriakan anjuran: “Menakluk! Lekas menakluk!” 

Tjoe Soesiok teiah dapat rampas seekor kuda, ia naik ke atasnya, ia keprak kudanya itu Ian mondar-mandir seraya ia serukan berulang-ulang: “Saudara-saudara tentara negeri,lekas letaki senjata! Buat apa adu jiwa untuk pemerintah asing? Bukankah kau orang semua ada rakyat jelata? Jangan jual jiwamu untuk pemerintah, jangan tolol! Lekas letaki senjata! Man bekeria sama-sama kita, untuk hidup bersama, sama rata sama rasa!”

Seruan itu teiah memberikan hasil baik, tidak antara lama, pertempuran benar-benar berhenti, waiaupun| dengan pelahan-lahan, hingga di lain saat, beberapa ratus serdadu Boan itu tidak beraksi lagi.

Si anak muda muka hitam kaget ketika ia dengari teriakan- teriakan menganjuri pihaknya meletaki senjata dan menyerah, ia berkuatir, dalam sibuknya, ia coba menyerang dengan hebat, dengan ilmu pedangnya “Patsian-kiam” atau “Pedang dclapan dewa”. Dengan ilmu itu, beberapa kali dia bcrlompatan, bergulingan, pedangnya saban-saban menikam dan mcmbabat.

Teng Hiauw repot juga mclihat perubahan scrangan orang itu, dengan tcrpaksa, ia mclayani tak kurang gesitnya, sambil bcrkelit ke kiri dan ke kanan, tombaknya pun saban-saban melakukan serangan pembalasan, malah satu kali, ujung tombaknya menikam iga kanan orang. Si muka hitam kaget, ia berkelit dengan melejit ke kiri, di sini dengan gerakan ‘Thaypeng tjiantjie” atau “Garuda pentang sayap” dia balas membacok ke bebokong lawan nya.

Teng Hiauw bisa duga serangan orang itu, ia Iantas gunai akal. Ia maju dengan lompatan “Koaybong hoansuTatau “Ular nagajumpalitan”, ia sengaja bikin musuhnya menyerang ia dengan hdti besar, tapi lalu dengan mendadakan, ia mcncelat ke samping, tombaknya turun selagi pedang musuh lewati ia, tidak tempo lagi, ia kena hajar pedang itu dengan keras sekali, tak ampun lagi, cekalannya si hitam terlepas, pedangnya terlempar beberapa tumbak jauhnya!

Kejadian itu membuat si muka hitam kaget, akan tetapi dia tidak lompat, untuk lari, sebaliknya, dia berdiri diam, sambil merangkap kedua tangannya, dia berseru: “Aku menyerah!

Terserah, kau boleh bikin apa kau suka!”

Teng Hiauw telah bekerja terus meskipun ia sudah pukul jatuh pedang musuh, ia geraki pula tombaknya, untuk menikam. Gerakan nya ini ada berbarengan dengan seruannya si pemuda muka hitam itu, tidak heran kalau ada sulit untuk ia menahan tikamannya. Di saat yang sangat genting itu, mendadakan ada orang berlompat dari belakang, seperti burung melayang, tangannya menyambar, tiga jarinya menotok nadi kanannya, atas mana sekejab saja, tombak di tangannya terlepas dari cekalan dan jatuh ke tanah.

Kaget dan heran adalah perasaannya Teng Hiauw itu waktu, lengannya pun sesemutan, seperti mati, tetapi ia masih dapat loncat, untuk memutar tubuh, hingga ia dapat melihat, siapa orang yang membokong ia.

Penyerang dari belakang itu, sambil tertawa, kata padanya: “Adalah aturan kita, musuh yang sudah menyerah, tak

dapat dibinasakan jiwanya!”

Dan ia kenali, orang itu adalah or•ang yang dipanggil si Nona Baju Merah panggil ‘Tjoe Soesiok”! lalah orang yang akui dia sebagai piauwtee, adik misan! Ia tercengang, ia malu sendirinya, mukanya menjadi bersemu merah.

“Tjoe Soesiok, aku tak tahu aturan itu….” kata ia, kemekmek, dan tanpa merasa, ia ikut-ikutan si nona memanggil Tjoe Soesiok, Paman Guru Tjoe….

Tjoe Soesiok tertawa pula. “Seharusnya kau panggil aku piauwhia!” kata ia, sambil tertawa pula. “Dan sekarang kau nistjaya tak dapat katakan aku menjual sahabat….” Teng Hiauw tertawa meringis. “Sebenamya aku tak tahu Soesiok ada orang macam apa….” iaakui. Dan ini ada hal yang sebenar-benamya.

Tjiasek-kong teiah menjadi sunyi dan tenang karena berhentinya pertempuran, kecuali bergeraknya orang dan kuda, dari tentara Giehoo-toan, sebab dari garis kedua dan ketiga, di mana orang teiah menyalahkan lentera Khongbeng- teng, semua serdadu koenboen mendatangi dan merubungi Tjoe Soesiok itu.

“Tjong-tauwbak, banswee!” tiba-tiba semua serdadu itu berseru. ltulah bcrarti: Hiduplah Tjong-tauwbak! Seruan itu bergemuruh keras sekali.

memecahkan kesunyian. Tiba-tiba dari dalam rombongan tentara itu loncatkcluarsatu orang siapa sambil berlari-lari menghampirkan Tjoe Socsiok itu. Apabila ia sodah datang dekat, ia lantas member, hormat dcngan tekuk lutut sebelah kakmya. Itu ada cara pemberian hormat paling hormat di dalam kalangan kaum Kangouw. Ia pun lantas berkata: “Semua saudara berkeinginan sangat akan menemui Tjong- tauwbak, maka itu begitu mendengar kabar Tjong-tauwbak bakal lewat di sini, tak dapat dicegah pula, mereka semua dating kemari!” Tjoe Socsiok itu beri tanda dengan tangannya, akan orang itu berbangkit “Apakah kau ada Tjongto dari Anpeng?” ia tanya. “Bagus tindakan kau ini.’ Sebetulnya, aku pun teringat saja kepada kewajiban kau orang di sini, sayang belum ada temponya untuk aku datang melongok. Kau or•ang ada sangat mencintai aku, aku sangat bersyukur. Tapi sekarang sudah membawa tawanan tentara Boan ini perlu lekas dibawa pulang, untuk diurus, maka baiklah kau orang pulang dahulu ke pusat. Di daiam perjalanan di waktu malam, mintalah semua saudara berlaku hati-hati istimewa, supaya kita tak rnembikin kaget pada rakyatdi sepanjang jalan.M

Tjongto dari Anpeng itu terima pesan itu, ia undurkan diri, akan berikan titahnya, maka lantas saja semua serdadu Giehoo-toan itu mundur untuk berdiri dengan rapi dan tenang.

Teng Hiauw ternganga menyaksikan kejadian itu.

Tjoe Soesiok itu adalah pendiri dari Giehoo-toan, karena dia adalah Tjoc Hong Teng, seorang dari Torjioe, Shoatang.

Orang bilang dia ada turunan Kerajaan Beng, tetapi dia tidak menyebutkan itu, karena tanpa keturunannya itu, rakyat toh telah tunjang dia. Rakyat membutuhkan pemimpin, yang dapat membebaskan mereka, sesudah mereka merasakan sangat tertindih sebagai akibat dari Perang Candu. Dengan gempuran meriam, negara-negara Barat telah paksa Tiongkok pentang pintunya. Rakyat merasa sebagai ketindihan gunung besar, sampai mereka sukar bernapas. Maka munculnya Tjoe Hong Teng disambut dengan tangan terbuka.

Tjoe Hong Teng ini” ada murid tcrsayang dari Kiang Ek Hian, Ketua dari Bweehoa-koen. Inilah sebabnya kenapa Angie Liehiap Kiang Hong J Keng, si Nona Serba Merah, panggil dia “soesiok”. Hong Teng telah mewariskan semua kepandaian gurunya, sesudah itu, ia yakin terlebih jauh, sehingga dia memperoleh hasil luar biasa. Bcda dari kebanyakan or•ang, Tjoe Hong Teng tidak mau angkat nama di kalangan Rimba Persilatan, dia hendak bangunkan bangsa Han, untuk rubuhkan bangsa Boan, buat usirpengaruh bangsa asing.

Ketika Tjoe Hong Teng bertemu dengan Teng Hiauw, ia dirikan Giehoo-toan baharu satu tahun. Ia datang ke Pooteng untuk menengoki gurunya, buat sckalian tanya gurunya itu suka atau tidak menunjang dia. Iapun ingin tarik Angie Liehiap, karena di dalam Giehoo-toan ada pasukan perempuan, yang kemudian diberi nama Hongteng-tjiauw, Sinarnya Lentera Merah, pasukan mana membutuhkan pelatih yang pandai silat.

Kiang Ek Hian ada gagah, tetapi setelah usianya lanjut, ia kekurangan semangat pendirian. Sebenamya ia menyayangi Tjoe Hong Teng, tetapi ia tak berani percaya murid ini sanggup bekerja besar. Di sebelah itu, ia pusatkan perhatiannya kepada cucu perempuannya, yang ia ingin sekali carikan satu pasangan yang setimpal. Karena ini, ia tak jadi punya keinginan akan hadapi badai dan gelombang dari dunia Kangouw. Begitu maka ia sudah tolak undangannya sang murid, hingga Tjoe Hong Teng jadi masygul. Ini pun berarti, Kiang Hong Keng mesti sclalu dampingi cngkongnya, hingga tak dapat dia ikut memasuki Giehoo-toan. Saking masygul, Tjoe Hong Teng jadi bcrkesan: Sungguh sulit akan rubuhkan pemerintah Boan, banyak orang jerih mendengar perkataan “berontak”, sampaipun gurunya sendiri tidak mau pusingkan diri….

Karena ia tak dapat bantuan gurunya, Tjoe Hong Teng mau lantas pamitan pulang, tetapi Kiang Ek Hian minta murid itu suka berdiam untuk dua hari. Ia melul uskannya, karena ia pun dapat pikiran untuk melihat apa di Kota Pooteng itu, ada orang “berarti” dalam Rimba Persilatan, yang ia boleh harapkan bantuannya. Adalah kebetulan, di saat Tjoe Hong Teng berdiam di Pooteng, hari itu Kiang Hong Keng karena pukul harimau sudah kena dikurung serombongan pemburu, sampai dia dapat ditolong oleh Teng Hiauw. Nona ini tidak berterima kasih kepada anak muda itu oleh karena dia menyangka, gum-guru silat Keluarga Soh itu adalah kawan si anak muda, dia tidak tahu, Teng Hiauw melainkan ketahui guru-guru silat itu, hubungan lainnya tidak ada. Ketika Hong Keng puiang dan berccrita kepada cngkongnya, Hong Teng dengar itu, dia lantas merasa pasti, Teng Hiauw bukannya tergolong guru-guru silat itu, kalau tidak, si anak muda tidak nanti berikan bantuannya. Maka itu, ketika Teng Hiauw satroni Keluarga Kiang, Hong Teng sengaja sembunyikan diri dan memegat di tengah jalan, untuk mempermainkan, buat patahkan kepala besar orang, untuk tarik perhatiannya dia itu. Kesudahan dari itu membuat Hong Teng girang. Ia dapat kenyataan, Teng Hiauw masih muda sekali tetapi berani dan gagah, ilmu silat pedangnya sudah bisa layani ilmunya yang dilatih dua atau tiga puluh tahun, Iapun lihat, anak muda ini, ada lain daripada ayahnya. Maka itu, justru Teng Hiauw masygul karena ayahnya hendak paksa ia menikah. Hong Teng ajak Hong Keng pergi satroni dia di rumahnya dan meninggalkan surat itu, guna “tarik” ini anak muda ke pibaknya. Setelah si anak muda buron, Tjoe Hong Teng lantas menguntit, akan lihat sepak-terjangnya. untuk sekaJian melindungi padanya. Hong Teng sebaliknya tak mau segera perkenalkan diri, karena ia sengaja hendak latih lebih jauh pemuda ini. Demikian, karenanya, telah terjadilah hal-hal lucu, disebabkan Teng Hiauw masih hijau daiam pengalaman.

Tjoe Hong Teng mengeluh ketika . ia lihat si anak muda ditawan polisi. la tidak mat mem ben pertolongan dengan kekcrasan, ia lantas dapat akal, sesudah kirim pesan untuk tjongto di Anpeng kemana ia percaya barisan Boan ini bakal lewat Kebetulan, itu waktu pun ada satu sahabat karibnya, yang berada di pusat di Anpeng, ia sekaJian minta sahabat itu bantu ia. Sesudah itu, ia hampirkan Teng Hiauw, yang ia akui sebagai adik misan, hingga ia pun mandah dicekuk. Maka kemudian, terjadi pemegatan tadi atau pertempuran di Tjiasek-kong, hingga tentara negeri harus menyerah.

Baharu setelah itu, Teng Hiauw ketahui, Tjoe Soesiok adalah pendiri dan Ketua Pusat dari Giehoo-toan. Ia lantas hendak menghaturkan terima kasih, untuk sekalian tanyakan hal-hal, yang masih gelap baginya, tetapi scbclum ia buka mulut,*Hong Teng goyangi tangan dan dului ia berkata: “Tunggu, aku akan perkenalkan kau pada satu orang….” Ia belum tutup mulutnya,- atau ia dengar orang telah tertawa dan dului ia: “Tak usah kau perkenalkan lagi! Mustahil aku tidak kenal padanya?”

Teng Hiauw segera menoleh, hingga ia tampak seorang dengan thungsha sutera putih dan tangan mencekal kipas, satu mahasiswa, ialah orang yang memegat tentara negeri, yang meminta beelouw-tjhie atau uang sewa jalan…. Ia tercengang, ia heran kenapa orang itu kenal ia. Ia toh baharu pernah merantau, baharu sekali ini ia lihat orang itu. Ia berniat menanyakan, akan tetapi orang itu sudah tertawa pula dan menanyakannya: “Bukankah ayahmu ada Sianpwee Teng Kiarm Beng Ketua dari Thaykek-boen? Bukankah namamu sendiri, Sieheng, ada Hiauw sepatah kata, yang berarti ‘terang tanah’? Begitu Iekas lihat kau mainkan ilmu tombak Thaykek-tjhio, aku lantas ketahui siapa kau ada! Aku cuma dengar nama besar dari ayahmu, tetapi tentang ilmu silat kaummu, tentang murid-muridnya, aku tahu juga….”

Tjoe Hong Teng tertawa mendengar kata-kata orang itu, ia segera memotong: “Oh, orang bermata pancalongok, kata- kata kau benar adanya! Tapi kau sendiri, dengan dandananmu yang tidak pernah ditukar, kau juga gampang sekali dikenali orang!”

Sembari mengucap demikian, Hong Teng awasi Teng Hiauw, akan lihat, pcmuda ini ketahui atau tidak si mahasiswa itu. Tapi Teng Hiauw tidak kenal orang ini, yang ia cuma duga ada seorang Kangouw yang ulung. Di saat ia hendak tanya Tjoe Hong Teng tcntang nama orang itu, tiba-tiba ia ingat Kim Hoa, yang pernah tuturkan dia tcntang orang-orang Kangouw. Separuh bcrseru, segera ia bertanya: “Tjianpwee, apakah Tjianpwee bukannya Looenghiong Thiebian Sieseng Siangkoan Kin?”

Mendengar demikian, dari atas kudanya, Tjoe Hong Teng tertawa bcrkakakan.

“Nah, apa aku kata! Sekalipun ini anak, yang baharu pertama kali injak dunia Kangouw, begitu dia lihat dandananmu, ia segera kenal kau! Aku lihat, baiklah kau salin pakaian, supaya kau tidak terlalu mencolok mata!”

Siangkoan Kin tidak gubris godaan kawan itu, ia tarik tangan si anak muda.

“Kau ketahui namaku, siapakah yang beritahukan itu kepadamu?” ia tanya. “Baik kau ketahui, tidak suka aku disebut-sebut tjianpwee atau looenghiong, karena untuk itu, belum sampai waktunya aku bertingkah-polah!” Baharu setelah itu, ia menoleh

pada Tjoe Hong Teng, akan kata: “Dandananku ini adalah merek hidupku, aku tidak takut segala kawanan anjing kenali aku! Jikalau mereka mempunyai kepandaian, mereka boleh bekuk aku, aku tak takut!”

Kata-kata ini ditutup sama tertawa bergelak-gelak yang nyaring.

Tjoe Hong Teng kerutkan alisnya. Ia tak setujui anggapan sahabamya itu. Tapi sang sahabat sedang bergirang, ia tidak mau ganggu kegembiraan orang itu.

Thiebian Sieseng Siangkoan Kin ada seorang luar biasa dalam kalangan Kangouw, sampaipun asal-usulnya, sedikit sekali orang yang ketahui, lebih-lcbih mengenai sumber ilmu silatnya. Orang melainkan duga, dia ada sioetjay yang gagal dalam ujian, yang lantas tukar ilmu surat dengan ilmu silat

Dengan sebenarnya, Siangkoan Kin ada putera dari satu keluarga anak sekolah di Boesek, Kangsouw. Propinsi ini, seperti Tjiatkang, memang ada tempatnya kaum sasterawan. Maka juga, sejak masih .kecil, dia sudah dimestikan mempelajarinya.

Dalam umur baharu sepuluh tahun lebih, karena amat cerdasnya, Siangkoan Kin sudah pandai membaca kitab-kitab Soesie Ngokeng di luar kepala, hingga gurunya, dan orang tuanya, percaya dia bakal peroleh kemajuan, akan tetapi dugaan itu meleset, sebab beberapa kali dia turat ujian, saban-saban dia gagal -tak pcmah dia berhasil. Ketika ayah- bundanya menutup mata, dia baharu berumur dua puluh tahun, dia tetap tak peroleh gclaran atau pangkat.

Keluarga Siangkoan Kin bukannya keluarga berharta, dia tidak punya uang atau pengaruh, maka itu, waiaupun ilmu suratnya Sempuma, dia seperti tidak ada di matanya kepaia badan ujian, siapa cuma lihat uang, – bukannya kcpandaian.

Di waktu hendak menutup mata, masih Siangkoan Kindipesan, dianjuri ayahnya, untuk bclajar tcrus dengan rajin dan ulet. untuk turut pula dalam ujian. Ayah ini tak put us harapan puteranya nanti menjulet pangkat, untuk angkat naik derajat keluarganya.

Tapi, sehabisnya bcrkabung, ketika untuk satu kali lagi Siangkoan Kin lurut juga dalam ujian, sendirinya, semangatnya untuk peroleh gelaran atau pangkat sudah padam terlebih dahulu. Inilah sebabnya kembali dia rubuh,

.dan yang keluar sebagai pemenang ada seorang bemama Hee Kie Tong.

Beberapa kali Siangkoan Kin dikecewakan, dia bersusah hati, tetapi dia tidak penasaran sebagai mi kali. Dia heran dan penasaran, karena kaygoan baru ada si orang she Hee itu, yang ada calon sioetjay, yang biasanya kesohor paling tak punya guna. Di waktu biasa, karangannya, saking buruk, Siangkoan Kin sendiri tak sanggup mengubah atau memperbaikinya, sampai perriah dia mengejek: “Karangan lain orang, apabila dilempar ke tanah, bisa bersuara nyaring bagaikan emas, tetapi karangan kau, suaranya mirip dengan tambur yang jatuh bergeiindingan dari atas gunung….” Toh aneh, sekarang si pemenang adalah orang yang karangannya seperti tambur yang bergeluntungan itu!

Yang lebih mengherankan, Hee Kie Tong ini ada keluarga lebih mi skin daripada Keluarga Siangkoan, hingga pasti dia tidak bisa sogok si kepaia ujian itu. Orangnya bodoh, uangnya tidak ada, tetapi dia lulus. Saking heran, Siangkoan Kin pergi pada sahabatnya itu, untuk minta keterangan.

Hee Kie Tong tertawa ketika ia menjawab: “Saudara Siangkoan Kin, kita sama-sama tidak punya uang, untuk menghormati kepaia ujian. Aku sendiri lulus, kau tidak, maka itulah ada bukti yang karanganku ada terlebih baik daripada karanganmu! Maka sekarang kata-kata kau ten tang ‘tambur yang bergeiindingan dari atas gunung tinggi’ haruslah dihaturkan kcmbali kepadamu!”

Siangkoan Kin mendongkol bukan kepalang, ia tak dapat berbuat apa sclain ngeloyor pulang dengan perut panas. Ia tetap gelap dengan duduknya hal, sampai…. Kepala examen itu diutus dan ditugaskan di Boesek atas putusan boetay. Ia girang sekali. Ketika ia mau berangkat ke Boesek, dia kunjungi berbagai pembesar, untuk pamitan, akan ambil selamat jalan. Ia pun kunjungi boetay, sebagai pembesar tertinggi. Ia berlaku sangat hormat pada pembesar ini, yang pesan ia harus , baik-baik lakukan kewajibannya di Kangsouw, tempat kaum terpelajar. Selagi beri pesannya itu, tiba-tiba boetay kerutkan alisnya, ia menyingkir ke samping. Kepaia examen ini kira boetay hendak tinggalkan pesan perseorangan, ia mendekati, ia pasang kupingnya, atas mana, boetay kata: ‘Tidak lainnya lagi, heekhi-tong.”

Tadi malamnya boetay makan besar, pencernaannya kurang baik, mendadakan ia ingin buang angin busuk, maka ia minggir dari orang banyak, tetapi si kepaia examen kelira sangka, dia mendekati, dari itu, ia jawab tidak apa-apa. Kata- kata “heekhie-tong” itu ada kata-kata halus untuk angin busuk. Si kepaia examen keliru dengar, dia sangka boetay pesan untuk perhatikan orang nama “Hee Kie Tong,” ia ingat itu baik-baik. Demikian sudah terjadi, ketika ada calon sioetjay nama Hee Kie Tong, tanpa banyak rewel, ia kasih lulus si tolok ini sebagai kay goan, hingga kesudahannya, Siangkoan Kin jadi mendelu! Sebagai keharusan, Hee Kie Tong kunjungi kepala examen, untuk hunjuk hormatnya, buat menghaturkan terima kasih.

Setelah pemberian hormat, kepala examen itu tarik tangannya si kaygoan baru dan tanya dengan pelahan: “Sieheng, kau ada punya hubungan apa dengan Boetay Taydjin?”

Ditanya begitu, Hee Kie Tong melengak, tak mampu ia menjawab. Masih si kepaia examen tak engah, ia puas karena ia sudah angkat “orangnya” boetay. Ketika kemudian ia pula ke ibukota propinsi, selagi menghadap boetay, untuk berikan laporan kesudahan ujian, ia tambahkan bahwa ia sudah lakukan pesan boetay itu mengenai Hee Kie Tong, yang ia kasih lulus jadi kaygoan. Boetay tercengang. “Apa kau bilang? Siapa itu yang kau tolong?” dia tanya.

Kepaia examen ini kira boetay lupa, dia terangkan: “Ketika dulu akan pamitan, Taydjin toh bilang padaku: “Tidak lainnya lagi, heekhie-tong”

Mendengar demikian, dari melengak, boetay, tertawa besar.

“Ah, kau benar tolol!” ia kata tanpa perdulikan di situ ada hadir lain-lain orang lagi. “Itu waktu aku sebut ‘ heekkie-tong’ tetapi itu bukan namanya orang, itu ada kata halus untuk gantikan angin busuk dan dalam perut….”

Kepaia examen itu mukanya merah, ia temganga. Ia benar- benar tidak ingat kata-kata sopan itu untuk gantikan angin busuk. la pun menyesal, karena dengan begitu. Ia bikin lenyap uang sogokan, yang mestinya akan masuk ke dalam sakunya, sedikitnya di atas seribu tail perak…. Ia ada begitu menyesal dan penasaran, tanpa pikir panjang, ia utarakan kemenyesalannya kepada beberapa rekannya. Tapi justru ini, rahasia bocor, dari sepuluh mulut kepada seratus mulut, dcmikian selanjutnya, sampai kabar pun tersiar sampai di Boesek, karena itu berarti kejadian sangat lucu. Kapan akhimya cerita itu sampai di kupingnya Siangkoan Kin, dia ini tercengang, mulutnya ternganga, matanya terpentang iebar, ia diam sckian lama, akan kemudian, ia tcrtawa terbahak-bahak, lantas ia berseru: “Hei! sioetjay angin busuk, kaygoan angin busuk, tjonggoan pun angin busuk! Jadi semua. ponggan, tamhoa, itokkoen, boetay, haksoe, semuanya angin busuk juga! Ya, semua-semua angin busuk, maka tak usahlah aku repoti angin busuk!” Sadarlah sekarang Siangkoan Kin akan keburukan ujian ilmu surat, padam semangatnya, tak lagi ia sudi bikin examen, untuk kehidupannya, ia buka rumah perguruan, karena ia tak punya lain kepandaian. Tapi ia ada sioetjay yang gagal, tak ada orang hartawan yang suka masuki anak-anaknya belajar kepadanya, maka ia cuma dapati beberapa murid anaknya orang miskin….

Pada suatu sore, sehabis lepas sekolah, ia minum arak seorang diri.

Ia berada sendirian, ia menjadi kesepian. Arak itu pun ada antaranya dari satu muridnya. Saking iscng, tiba-tiba ia perdengarkan cabutan dari syairnya Ek-ong Tjio Tat Kay, itu pemimpin Thaypeng Thiankok yang bergelar pangeran:

“Penjahat besar juga ada lurunannya, yang Kitab Soesie tak menghargainya. Emas kuning bagaikan tanah tak berharga, nyali keras bagaikan besi.…”

Dia belum habis ucapkan itu, atau tiba-tiba ada scruan: “Sungguh bersemangat!” Menyusul mana satu orang, bertindak masuk ke dalam rumahnya!

Siangkoan Kin terkejut, ia menoleh dengan segera, hingga ia lihat, orang itu ada orang sesama kampungnya, si tukang besi yang usianya sudah lanjut. Dengan sendirinya, hatinya menjadi lega, pikirannya menjadi tetap pula.

Ketika itu belum cukup dua puluh tahun sejak runtuhnya Kerajaan Thaypeng Thiankok, dengan diiam-diam syairnya Tjio Tat Kay itu masih tetap tersiar di antara rakyat, tidak perduli itu ada termaksud dalam larangan pemerintah Boan. Siangkoan Kin nyanyikan itu tanpa merasa, tidak heran, suaranya si empeh membikin ia terkejut. Di lain pihak, sekarang ia heran i si empeh tukang besi itu.

Empeh ini ada orang satu kampung dengan ia, akan tetapi, asalnya, dia ada orang perantauan dari lain tempat, yang datang ke kampungnya selang sepuluh tahun yang lampau.

Dia ada ramah-tamah, dia pun pandai membuat segala rupa barang dari besi, juga gendewa dan peluru untuk anak-anak menjepret burung dan untuk petani petani kepung kelinci, semacam tempuling terbuat dari kayu Tjoh. Lama-kelamaan, orang kampung pandang dia sebagai orang kampung sendiri. Di mata Siangkoan Kin, dia ada satu tukang besi, maka adalah heran, sekarang tiba-tiba dia pun kagumi syairnya Tjio Tat Kay.

“Rupanya Empeh mengerti syair,” kata ia, dengan sikap menghormat.

Orang tua itu bersenyum.

“Aku ada seorang kasar, mana aku mengerti syair?” ia baliki. “Aku dengar suaramu menarik hati, begitulah aku datang!”

Ia lihat pelbagai kitab di atas meja, ia agaknya heran. “Siangkoan Sinshe, apakah kau ajarkan anak-anak dengan

kitab-kitab ini?” tanya ia. Pertanyaannya pun tiba-tiba. “Kenapa kau tidak ajarkan mereka syair yang barusan kau nyanyikan?”

Juga pertanyaan ini aneh, hingga bertambahlah keheranan sinshe ini.

“Pelajaran pelbagai kitab ini bisa dipakai sebagai alat mendapatkan pangkat,” ia menyahut dengan sengaja. “Syair yang aku nyanyikan barusan, walaupun bagus, tidak ada kegunaannya.”

“Pangkat?” dan orang tua itu tertawa. “Bukankah Sinshe telah baca ini pelbagai kitab? Kenapa Sinshe sendiri tak peroleh pangkat?”

Kembali Siangkoan Kin menjadi heran. Ia terdesak oleh pertanyaan si empeh ini, satu tukang besi. Sesaat ini, dia tak lagi mirip dengan satu or•ang pertukangan!

“Empeh, sebenarnya kau ada dari golongan apa?” akhimya ia tanya. Empeh itu dongak, ia tertawa pula “Aku orang apa? Buat apa kau mempcrdulikannya? Tapi aku tahu itu orang syair siapa barusan kau nyanyikan. Dia pemah lulus sebagai sioetjay, hingga ia berkedudukan lebih tinggi satu t ingkat daripadamu. Akan tetapi dia tak perdulikan gelarannya ilmu surat itu!”

Guru sekolah desa ini terperanjat. Teranglah sudah, si empeh maksudkan Ek-ong Tjio Tat Kay, pendekar kebangsaan yang gagah-pcrkasa dan pandai ilmu sastera. Semasa umurdua puluh. namanya Ek-ong sebagai sastcrawan telah kesohor di Selatan dan Utara Sungai Besar. Tidak tempo lagi, ia menjura dalam tcrhadap tetamunya yang tidak diundangitu.

“Lootjianpwee, maafkan aku karena mataku lamur” ia memohon.

“Sudah belasan tahun, aku tak dapat kenali padamu.

Rupanya Lootjianpwee mengerti baik sekaii syair Ek-ong ini.”

“Mengerti baik?” kata si orang tua, sambil tertawatiba-tiba. “Sang waktu telah lewat lama, aku sudah tak ingat puia. Tapi aku pemah. lihat sendiri ketika dia menulis syairnya itu.’….” Alangkah heran Siangkoan Kin, hingga ia lari ke pintu, untuk tutup pinitu. Ia kembali dengan ccpat, ia angkat tangan bajunya, lantas ia tekuk lutut di depan orang tua ini. “Teetjoe adalah korban ujian ilmu surat,” berkata ia, yang mengaku terus terang, “karena itu tak lagi teetjoe punya keinginan untuk mengharap pangkat. Tapi teetjoe adalah orang yang paling kagumi Ek-ong. Lootjianpwee, maukah Lootjianpwee beritahukan aku, Lootjianpwee sebenarnya ada Ek-ong empunya apa? Jikalau Lootjianpwee tidak memandang kebodohanku, teerjoe ingin sekaii Lootjianpwee memberikan sesuatu pengunjukan kepadaku….”

Orang tua itu tidak singkirkan diri, dia terima pemberian hormat itu, kemudian dengan ulur kedua tangannya, ia angkat bangun guru sekolah itu. Siangkoan Kin masih hendak menjura puia, tetapi tanpa ia merasa, tubuhnya kena diangkat secara enteng sekaii.

“He, Lauwtee, apa artinya ini?” ia dengar si orang tua tegur ia. “Lekas bangun, tak berani aku terima hormatmu, tak berani aku!”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar