Kisah Dua Saudara Seperguruan Jilid 12

 
Pada hari itu, Teng Hiauw keluar scorang diri, dengan membawa pcdangnya, dan menuntun scckor anjing pemburu. Ayahnya lalu pergi kc rumah perguruan luar, untuk menilik murid-muridnya. Hawa udara hari itu bagus sekali, ia ketarik untuk memburu. Ia pun pergi ke luar kota. Di saat ia sampai di luar rimba, ia dengar harimau mengaung, hingga burung- burung dan beburonan lainnya kaget dan terbang, lalu kabur. Malah anjingnyapun sungkan maju. Dengan menghunus pedangnya, ia maju seorang diri. Ia berkeinginan akan coba melayani sang raja hutan. Ia mencari, ia dengar gerungan berulang-ulang, lalu sirap, diganti dengan suaranya senjata- senjata beradu. Ia hcran. Sambil menyimpan pedangnya ia maju tcrus, ke arah dari mana suara berisik datang. Ketika kemudian ia tiba, ia lihat satu pertempuran. Ia scmbuny ikan diri di dalam gombolan

dari mana ia memasang mata, terutama ia awasi si nona yang ilmu pcdangnya sempurna. Si nona sendiri, yang kuncirnya dua ada mempunyai muka potongan telur yang cantik dan mans. Adalah ketika si nona nampaknya keteter, ia menjadi gusar. Memangnya ia sudah mendongkol menampak satu nona muda dikepung orang-orang Iclaki, yang berjumlah besar.

Tatkala hu satu guru silat Keluarga Hoa, yang bcrgegaman tombak Ngobie-tjie, lagi desaksi nona dengan tusukan “Tjheeliong pabwee” atau “Naga hijau menggoyang ekor”. Ia menusuk dari kanan, pada muka orang.

Si nona mundurkan kaki kiri, lalu kaki kanannya menggeser, seraya berkelit dan maju secara demikian, ia menikam hadi Iawan dengan tikaman “Tokwa kimlcng” atau “Menggantung kelenengan cmas”. Penyerang itu melihat tikaman liehay, ia loncat mundur, justru si nona hendak maju mengejar, dari kiri dan kanannya menyambar sepasang gaetan Hoetjhioe-kauw dan sebatang golok besar Kimpwee-too. Karena tidak sempat menggunakan lagi pedangnya, Liongboen-kiam, nona itu terpaksa elakkan diri dengan lompat melesat dengan gerakan “Lengyan tjoanin” atau “Walet tembusi mega”, melewati kepala musuh, hingga mereka ini, yang kena dilangkahi, jadi gusar dan sengit, pula. Golok Kimpwee-too menyambar selagi sinona baharu taruh kakinya.

Nona itu pun mcnjadi sangat gusar, ia putar tubuhnya dan mcnangkis, scsudah mana, ia balik mendesak. Ia masih sangsi akan meminta korban jiwa. Adalah di saat itu, datanglah bantuan yang ridak diminta, yang tak disangka-sangka.

Teng Hiauw tidak melulu gunai pedangnya, malali mendahului itu tiga batang piauw menyambar saling sosul, pada musuh yang bersenjatakan Ngobie-tjie, Kimpwee-too dan satu pula, yang mcncckal Tan-too, golok sebatang.

Dua yang pcrtama – adalah Hek Tjit yang mencekal Kimpwee-too -ada orang-orang Kangouw ulung, mereka dengar angin menyambar, mereka berkelit, tapi kawannya, yang memegang Tan-too, terserang tangannya bagian nadi, tidak ampun lagi, goloknya terlepas dan jatuh ke tanah.

“Kawanan jahanam, jangan hinai orang perempuan!” Teng Hiauw mencaci seraya ia melompat maju.

Dua-dua pihak, kawanan guru silat dan si nona, tercengang, tapi karena si anakmuda sudah maju, mereka tak sempat bengong saja. Pahlawan Keluarga Soh membentak: “Kau siapa? Kenapa kau usilan? Apa kau hendak mengantari jiwamu?” Tapi ia bukan dapat jawaban, hanya serangan.

Kedua guru silat Keluarga Hoa, yang bersenjata tombak dan sepasang gaetan, maju untuk menangkis, mereka tak takut, malah mereka penasaran. Yang pegang gactan hcndak gact pedangnya Teng Hiauw. Teng Hiauw gunai ilmu pedang Thaykek Kieboen Sipsam-kiam untuk mclayani musuh, ia berkelahi dcngan sungguh-sungguh, dengan lekas ia dapat mendesak musuh-musuhnya, hingga mereka menjadi repot.

Si nona saksikan ilmu silatnya pemuda itu, ia heran, hingga ia mengawasi dcngan penuh perhatian.

Selagi pcrtcmpuran berjalan, tiba-tiba pahlawannya Keluarga Soh berseru: “Eh, eh, apakah kau bukannya Teng Kongtjoe?”

Dengan keras -Teng Hiauw menyampok kedua senjata musuh, lantas ia awasi pahlawan itu.

“Ya! Habis kau mau apa?” Tapi, begitu lekas ia melihat mukanya, ia merasa bahwa ia pemah melihat or•ang itu.

Dengan tiba-tiba, pahlawan itu tertawa.

“Benar-benar Teng Kongtjoe!” ia kata. “Iniiah yang dibiiang, air banjir . menyerbu gerejanya si Raja Laut! -’ Hayo berhenti, berhenti, semua or•ang sendiri!”

Scruan yang belakangan ini ada untuk kedua guru silat Keluarga Hoa, hingga mereka itu tercengang. Mereka memang heran, kenapa pemuda itu, yang romannya seperti sioetjay, liehay ilmu silatnya. Tapi sekarang mereka heran, kenapa musuh itu dikatakan “orang sendiri”.

Teng Hiauw ingat dengan cepat. Pahlawan itu ada pahlawan utama dari Keluarga Soh, dia pemah datang ke rumahnya dan ayahnya pernah mcmperkenalkan dia dengannya. Dia itu ada Kimtoo Hek Tjit si Golok Emas. Karena ia tak gemar bergaul, ia lupai pahlawan itu. Ia hanya tidak mengetahui, kenapa Hek Tjit menghina si nona.

Si nona jadi bcrtambah heran. Tiba-tiba lawan, tiba-tiba kawan, itulah aneh. Ia lantas mundur, dengan menyiapkan pedangnya, ia mengawasi dengan bersenyum tawar. Teng Hiauw pun berdiam, ia bersangsi. Sudah lewat enam belas tahun sejak ayahnya bcrsahabat dengan Soh Sian Ie, persahabatan yang membuat ayah itu berpisah dari Lioe Kiam Gim.

“Maafkan kami, kami tidak tahu nona ini adalah sahabatmu,” kata Hek Tjit sambil memberi hormat. Kepada si nona, ia pun tcrus berkata: “Iniiah salah mengerti, Nona, harap kau tidak kecil hati. Sebenarhya sebab mengagumi kepandaian Nona, kami lancang maju untuk mencoba-coba….” “Siapa bilang dia ada sahabatku?” ia berkata kemudian. “Aku tak temahai harimau itu! Kau oranglah yang main gila, dari itu nonamu hendak mengajar adat!”

Sehabis berkata demikian, nona ini masuki pedangnya ke dalam sarung,

lalu sambil tertawa dingin, ia putar tubuhnya, untuk pergi sambil berlari-lari. Ia gunai ‘ilmu iari “Tcngpeng touwsoei” atau “Menyeberang sambil injak kapu-kapu”. Dia lenyap dengan ccpat antara gombolan. Teng Hiauw terperanjat. “Sampai nanti!” kata ia, yang lantas memasuki pedangnya ke dalam sarungnya, lalu ia lari, akan susul si nona. Ia rada mendongkol, karena or•ang berlalu tanpa menghaturkan terima kasih, dan agaknya si nona juga memandang rendah, rupanya si nona itu sangka ia ada kawannya rombongan pahlawan dan guru silat itu. Ia gunai “Thaykek Hengkang”. hingga sebentar kemudian, ia dapat mencandak.

Nona itu seperti juga tak tahu or•ang mengejar ia, meskipun jarak di antara mereka berdua tinggal satu tumbak lebih, hanya sekarang, dengan tiba-tiba, lari nya dikencangkan.

“Nona, tunggu!” Teng Hiauw meneriaki. Nona itu Iari tcrus, ia tak memperdulikannya. “Nona, tunggu1 Aku hendak bicara!” Masih saja nona itu lari, tanpa menyahuti, tanpa menoleh. “Nona, dengar aku!” Teng Hiauw berteriak pula, dcngan

mendongkol. “Aku hcndak bicaral Jangan kctcrlaluan!”

Tiba-tiba nona itu berpaling.

“Habis kau mau apa?” menjawab dia, dengan ketus. “Siapa surah kau bantui aku? Apakah kau kira aku tidak mampu hajar kawanan anjing babi itu? – Lekas kembali! Kita orang bukan sanak, bukan sahabat. jangan ganggu aku!”

Teng Hiauw bersangsi, akan tetapi ia mengejar terus, sebagaimana si nona tidak hcntikan tindakannya, dan sedangnya ia mengejar, sekonyong-konyong nona itu ayun sebelah . tangannya ke belakang, lalu tiga buah Thielian-tjie menyambar saling-susul. Ia sebenamya niat berkelit tetapi tiga buah senjata itu mengarah kiri-kanan dan atasan kepalanya, dari itu, ia antapkan saja. Ia mengerti, si nona mciainkan menggertak.

“Nona, jangan keterlaluan,” berkata ia, tetap dalam kcsangsian.

“Aku bukannya niat bcrsahabat sama kau, tapi kau membutuhkan penjelasan! Kenapa kau berlaku begini kepadaku? Aku bantu kau karena aku tidak senang melihat orang hinakan si lemah. Kau dikepung mereka, begaimana aku bisa menonton saja?

Itu toh bukan perbuatan orang Kangouw! Kenapa kau serang aku dengan ecnjata rahasia? Tapi aku tak hiraukan itu, aku bukan tukang hinakan si lemah! Aku lebih suka lawan si kuat!” Mendadakan ia tertawa, sccara dingin, lalu ia tambahkan: “Baik, baiklah, anggap saja aku keliru mata, aku tak kenali kau satu cnghiong pcrempuan! Aku tak berani berkenalan sama kau! Nah, persilakan, Nona, aku tak harap bertemu pula denganmu!” Teng Hiauw benar-benar putar tubuhnya, untuk iari balik, akan pulang.

Sejak itu, pemuda ini merasa tak enak hatinya. Ia ingin mengetahui, siapa si nona baju mcrah, ia tidak berdaya. Ia pikir untuk tanya ayahnya, ia tidak berani, ia kuatir ayahnya tegur padanya yang sudah berani lawan pahlawan Keluarga Soh, yang ada sahabat ayahnya itu.

Sclang beberapa hari, datanglah Kim Hoa, murid kepala  dari Teng Kiam Beng. Dia datang dari Hoolam Sejak tiga tahun yang lalu, dua sudah dapat perkenan buat pergi merantau, akan mencari pengalaman dan sahabat lni ada biasanya untuk mu-rid-murid tamatan supaya si murid. sekalian angkat dcrajat kaumnya. Siapa dalam tempo tiga tahun bisa dapat nama, dia ada hak untuk berdiri sendiri. Dan Kim Hoa, selama itu, peroleh juga nama. Baharu sekarang dia pulang.

Teng Kiam Beng girang, Teng Hiauw girangjuga.

Sebenamya, Kim Hoa berbakat kurang bagus, tetapi ia rajin luar biasa, dari umur empat bcl as, ia belajar sampai umur dua puluh lima, maka selama sebelas tahun, ia berhasil mendapati kepandaiannya itu. Ketika ia mulai masuk belajar, Kiam Beng belum membuka rumah perguruan secara umum, dan Teng Hiauw masih kecil. Cuma dengan Kim Hoa, Teng Hiauw suka bergaul rapat.

“Biasanya, gelombang Sungai Tiangkang yarig di bclakang mendorong gelombang yang di depart, dan orang dalam dunia,.yang muda menukar yang tua,” kata Kiam Beng sambil menghela napas. “Kau telah merantau, coba kau tuturkan pengalamanmu. Bagaimana orang anggap tentang kaum kita Thaykek-pay? Apa orang suka mengalah padamu?”

Kiam Beng beradat tinggi, walaupun soehengnya pernah memberi nasihat, ia sukar ubah itu. Dcmikian di depan muridnya ini, ia hunjuk kcangk uhannya. “Mcnycbut kau, Soehoe, orang Kangouw ada hargai kau,” sahut Kim Hoa. Tapi ia bicara bcrtcntangan sama liangsimnya. Ia kuatir dapat teguran kalau ia bicara secara jujur. Menyebut nama gurunya, ia agaknya dipandang acuh tak acuh, tapi kalau ia sebut Lioe Kiam Gim, siapa pun sambut ia dengan manis. ‘Teetjoe merantau tiga tahun, tidak banyak pcngalamanku. Di antara empat Golongan Siauwlim-pay, ialah Pouwthian, Siong-san, Lamhay dan Ngobie, nampaknya ilmu silat mereka Sinkoen dan Tjappehdi Hantjioc makin tambah mahir, di Sclatan dan Utara, mereka kesohor. Di dunia Kangouw, sekarang ada dua orang yang bagaikan kata-kata ‘naga sakti, kelihatan kcpalanya, tidak ckornya’, dan satu di antaranya, rupanya ada dari Thaykek-pay kita.”

“Begitu?” Kiam Beng tertawa. “Coba kau jelaskan, siapa dia itu’7‘”

Kim Hoa kenal baik sifat gurunya.

“Biar bagaimana, mana dapat mereka dibandingi dengan Soehoe,” ia jawab.

“Tapi Kim Hoa, jangan kau menyamakan saja, engkau juga hams menjelaskannya,” guru itu mendesak.

“Orang yang kesatu berumur mendekati empat puluh tahun,” Kim Hoa lalu menutur. “Dia biasadandan sebagai anak sckol ah, romannya mirip dengan sioetjay tolol, orang sebut dia Thicbian Sieseng si Mahasiswa Muka Besi, namanya Siangkoan Kin. Selama empat musim dari satu tahun, dia selalu bawa-bawa kipas, katanya kipas itu adalah gcgamannya, yang dipakainya sebagai totokan Tiamhiat-kwat, untuk menotok tiga puluh cnam jalan darah orang. Katanya dia telengas, banyak orang Kangouw busuk yang telah rubuh di tangannya.”

“Apakah kau pernah bertemu dengannya-‘” Kiam Beng potong.

“Belum, aku baharu dengar saja.” Kiam Beng tertawa.

“Demikian umumnya!” kata ia dengan pandangan enteng. “Di kalangan Kangouw banyak sekaii tukang gertak, sampaipun Tjeethian Tayseng katanya ada soeteenya! Siapa sudi main percaya saja? Sebenamya. ahli Tiamhiat bisa dihitung dengan jari tangan! Di Barat-selatan, yang paling kesohor adalah Kaum Keluarga Hek di Propinsi Soetjoan, dan di Utara Kouw Hoei In dari Titlce. Pemah aku coba Kouw Hoei In, dipadu dcngan aku, dia#ada sama liehaynya. Kita tak mampu sating mcnotok. Aku bukan ahli Tiamhoat, tctapi Hoei In tidak mampu jatuhkan aku!”

Inilah “pen yak i tnya” Kiam Bcng, kalau bicara. dia suka bawa-bawa dinnya. Tapi sckali ini, dia lekas menambahkannya. la kata: “Kouw Hoei In demikian rupa, apalagi Thiebian Sieseng Siangkoan Kin! Sekarang kau sebut itu seorang lagi yang kau bilang dari kaum Thaykek-pay — sebenarnya dia orang macam apa?”

“Dia itu terlebih aneh lagi,” sahut Kim Hoa. “Tak pemah sccara terang-terangan dia muncul di muka umum, tak suka dia berkunjung kepada sahabat-sahabat, selalu dia bckerja secara diam-diam. Dia liehay untuk ilmu pedangnya. Selama Soepeh mengasingi diri di Khockcc-po dan Soehoe menerima murid, selama belasan tahun, baharu ini pertamakali tectjoe dengar namanya. Katanya dia masih muda, baharu berumur dua puluh lebih, kecuali pedang, dia pandai gunai pisau belati, dia biasa menyeterui pembesar ncgcri. Jarang yang ketahui namanya tctapi gampang orang kcnali romannya,, karcna dia ‘berkepala seperti kepala macan tutu! dan bcrmata seperti mata harimau’, potongannya kasar. Pcmcrintah telah lukiskan gambamya, untuk bekuk dia.

Sebegitu jauh, be’lum pemah dia kena ditangkap.”

“Kalau begitu, dia tentu ada anggota Piesioe-hwee…” kata Kiam Beng sambi I kerutkan al is. “Kau benar, Soehoe!” kata Kim Hoa tiba-tiba. “Aku ingat sekarang. Ada yang mengetahui dia ada angkatan muda dari Piesioe-hwee, yang di matanya pemeri nt ah Boan ada bagaikan paku saja.”

Wajahnya Kiam Beng berubah.

“Ingat, jangan kau campur pihaknya Piesioe-hwee!” la pesan muridnya. “Itulah perkumpulan pal•ing bcrbahaya!”

“Bagaimana berbahayanya?” mendadakan Teng Hiauw balas menanya. la ada taruh pcrhatian besar untuk kctcrangannya Kim Hoa tapi dia diam saja. “Apa itu ada kumpulan tukang bunuh orang dan merampok?”

“Lebih bcrbahaya lagi!” terangkan sang ayah. “Piesioe- hwee menyeterui pembesar negeri dan cara bekerjanya senantiasa bergelap! Coba pikir, apa kita boleh campur mcrcka?” la menghela napas, lalu ia tambahkan: “Aku pun tidak terlalu sukai pembesar ncgcri, dari yang berpangkat besar, sampai yang tcrendah, dalam sepuluh, sembilan ada tukang ganggu rakyat jelata. Ini aku ketahui baik. Kita ada ahli silat sejati, penduduk baik-baik, buat apa kita campur mereka itu? Inilah sikapku, yang menyebabkan kawan-kawan dari Rimba Persilatan tak sukai aku.

Kita beberapa orang, mana kita sanggup urus negara?

Maka aku buka rumah perguruan silat, untuk siarkan pelajaran Thaykek-pay. Mclainkan untuk ini, kadang-kadang aku berurusan sama pihak pembesar, tctapi inilah karena terpaksa. Orang tidak hendak mempedulikan aku, apa aku bisa bilang?”

Kiam Beng jadi lesu, tanda ia berduka. Kim Hoa lantas menghiburi guru itu.

Teng Hiauw awasi ayahnya, ia tak mengcrti. Inilah kesukarannya. Sebab ayahnya “tak dimengerti” oleh sahabat dan umum, ia sendiri turut kekurangan sahabat. Sebenarnya ia girang melihat Iain-Iain pemuda berlatih silat sama-sama, dengan gembira sckali ia ingin bergaul dengan mereka itu, apa daya, orang seperti mengasingkan ia, ia diterima secara tawar, sehingga hatinya tak tentaram sendirinya. Ia heran, kalau ayahnya tahu pembesar ncgcri busuk, kenapa ayah itu bersahabat sama Keluarga Soh. la tahu, dan ia telah lihat sendiri, bagaimana galaknya pahlawan-pahlawan dari Keluarga Soh itu. Ia tak setujui ayahnya, tapi ia tutup mulut, ia tidak bcrani mencntangi. Dalam kesangsian ia sampai pikir untuk pisahkan diri dari ayahnya itu. “Soehoe, apa Soehoe bisa duga, murid siapa adanya pemuda yang disangka tergolong Kaum Thaykek-pay itu?” Kim Hoa kemudian menanyakan gurunya. “Soehoe toh tahu baik, siapa adanya ahli Thaykck sekarang ini.”

Kiam Beng kerutkan alis. “Tentang Kaum Thaykek-pay,” kata ia, “kecuali Lioc Socpchmu di Khokee-po, ada lagi di Hoolam Dia itu bcrnama Tan Peng. Soepehmu mempunyai beberapa murid saja, berapa jumlahnya, aku tidak tahu pasti, tctapi ia tcrima murid jauh lebih sesudah aku, maka aku percaya pemuda  itu bukan muridnya. Mustahil dalam tempo kira-kira sepuluh tahun, orang bisa mewariskan murid demikian liehay? Aku duga, dia ada murid alau turunan dari Thaykck Tan. Golongan Thaykck Tan itu ada hubungan sama maju-mundurnya Thaykek-pay selama beberapa puluh tahun ini….”

Bicara hal Thaykek-pay, segera Kiam Bcng nampaknya bersemangat. “Pada kira-kira liga puluh tahun yang lampau, selama zaman Kaisar Tong Tie, Thaykek-pay ada kesohor sckali,” demikian ia mclanjutkan. “Dacrah Kota Raja seperti j uga daerah Thaykek-pay. Nama besar itu diciptakan karcna jasanya Vo Louw Sian, murid luar biasa dari Hoolam Thaykek Tan itu.”

Kim Hoa ketarik, ia pasang kuping. Teng Hiauw pun diam mendengari. ” Yo Louw Sian ada murid pen utup dari Thaykek Tan Tan Tjeng Peng,” demikian Kiam Beng. “Murid pemitup berarti mund tcrmuda urutannya. Bukan main sukarnya Yo Louw Sian dapat mcmperoleh kepandaiannya itu, bukan gampang seperti kau orang. Dia asal Kongpeng-hoe di Titlcc Dia lakukan perjalanan ribuan lie untuk sampai di Hoolam, • untuk merantau. Satu kali, ia bertemu sama salah satu murid Tan Tjeng Peng, ia dapat dikalahkan. Yang bikin ia sangat malu, belakangan ia dengar, lawan itu justru ada murid paling buruk dari Tan Tjeng Peng. Karena ini, ia ingin berguru pada Tan Tjeng Peng.

Tempo ia majukan permintaan, ia ditolak mentah-mentah. Memang Tan Tjeng Peng tidak sembarangan menerima murid. Beberapa tahun telah lewat sejak Louw Sian ditolak. Selagi Tan Tjeng Peng sudah lupa hal itu, ada satu pcngcmis gagu yang sctiap hari datang menyapui salju di depan rumahnya.

Thaykek Tan berkasihan, dia terima si gagu membujang kepadanya. Pada suatu malam, selagi Thaykek Tan pimpin murid-muridnya, ada terdengar suara hclaan napas. Hampir orang itu discrang murid-muridnya Thaykek Tan, baiknya sang guru keburu menccgah. Dia itu ada si gagu, malah dia lalu di kenali sebagai Yo Louw Sian. Saking ingin bclajar pada Thaykek Tan, dia rela menjadi bujang dan berpura-pura gagu, dia ingin mencuri pelajaran Thaykek-koen. Tan Tjeng Peng jadi terharu untuk kesungguhan orang, ia lalu menerima Louw Sian sebagai murid Louw Sian sangat ccrdas dan rajin, dalam tempo tujuh tahun, ia dapat mewariskan  kepandaian gurunya, hingga ia dikirim ke Kota Raja, untuk merantau, guna mengangkat nama. Yo Louw Sian-tidak sia-siakan harapan gurunya. Di Kota Raja, orang-orang bangsawan ada piara guru-guru silat, antaranya Pangeran Siauw Ong paling banyak gurunya. Louw Sian sengaja datangi pangeran itu, secara tcrang-terangan, ia majukan tantangan. Ia tidak mau tanam bibit permusuhan, maka di sckitar tempat pieboc, ia pasangi jaring, supaya siapa rubuh, dia jatuh ke dalam jaring dan tidak terluka. Dia bcrmaksud baik, tetapi guru-guru silat pangeran itu tidak puas, diadikatakan jumawa, dia dipandang enteng. Dia memang bertubuh kate dan kecil. Akan tetapi, sctelah orang mulai bersilat, bcruntun bebcrapa orang guru kena dirubuhkan satu per satu, melainkan Tang Hay Kong dari Patkwa-pay dan satu tctamu tak dikenal dengan siapa Louw Sian bertanding sen, dengan begitu, ia jadi ditcrima di dalam istana pangeran itu sebagai guru silat.”

Kiam Beng berhenti sebentar, akan kcmudian mclanjuikan pula: “Dua-dua Thaykek Tan dan Thaykek Teng ada sama kesohornya, kepandaian engkongmu tak kalah dengan kepandaiannya Yo Louw Sian, tetapi ia ada pendiam, ia suka mengalah, maka ia membiarkan Thaykek Tan namanya membubung.”

Kelihatannya Kiam Beng kagumi Louw Sian, tetapi Teng Hiauw tidak.

“Ayah, aku tidak setuju!” nyatakan ia.

“Kau artikan apa?” ayah itu tanya, sctelah ia tercengang.

“Ayah, Yo Louw Sian bukannya satu enghiong!” kata sang anak. “Dia berkepandaian tinggi tapi dia jadi guru silatnya satu Pangeran Boan!”

“Kau bersemangat, anak!” memuj i sang ayah, yang mengurut-urut kumisnya, apabila ia sudah mengetahui pikiran puteranya itu. “Akan tetapi kau tidak tahu Hal tak ada sedemikian sederhana. Tanpa tantangan guru-guru silat Pangeran Siauw Ong, mana dia bisa angkat namanya? Itu justru jalan paling ringkas! Dia jadi guru silat, tetapi dia tidak jadi budak Boan. Dia ada punya maksud lain….”

Di dalam hatinya, Teng Hiauw berkata: “Itu bukan jalan yang ringkas! Dengan mempunyai kepandaian berarti, untuk apa nama saja?” Tapi ayahnya bicara ten tang “maksud Iain”, maka ia tanya “Apakah itu, Ayah?” “Yo Louw Sian tidak pernah memikirkan akan menurunkan kepandaiannya pada orang-orang Boan,” menerangkan ayahnya itu. “Dia berdiam di dalam istana belum lama, dia minta cuti dan pulang ke kampungnya, sebagai gantinya, dia tinggalkan anaknya, Pan Houw. Anak ini lebih cerdik dari ayahnya. Dia tidak pantangan, dia tcrima saban murid, tetapi di waktu Wietjiauw -murid berlatih dengan guru – dia bcrlaku telcngas. Dia menyerang sungguh-sungguh, dia bikin murid- muridnya, yaitu guru-guru silat lainnya dari Pangeran Siauw Ong, menjadi pecah kepala atau patah kaki tangan, menjadi bcrcacat! Dia kata, begitulah caranya belajar Thaykek-koen, siapa mau belajar, dia mesti bcrscdia untuk dihajar. Karens ini, orang pada mundur tcratur, dalam tempo sepuluh hari, sudah mundur separuhnya. Pangeran Siauw Ong ada punya tiga ribu pengikur. Selang lagi setengah bulan, sisa murid tinggal scratus lebih. Pan Houw juga tidak mengajarkan ilmunya yang sejati. Apa yang ia ajarkan bagus ditonton, dan bisa bikin tubuh sehat, tetapi kegunaannya sebagai ilmu silat, ia tidak turunkan, jadi pelajarannya itu tak dapat digunai. Dari tiga ribu mu•rid, cuma satu Goan Tjoan Yoe yang berhasil, tapi dia ini pun peroleh kepandaian sesudah dia tidak jadi guru silat lagi. Ada orang-orang Boan yang berpangkat, besar dan kecil, yang berguru pada Louw Sian, ayah dan anak, mereka ditcrima dengan baik, akan tetapi pclajaran yang dia orang ini dapatkan, semua tak dapat dipakai berkclahi. Maka akhirnya Tan Sioe Hong, ahli Thaykek dari Kongpeng, diam-diam menanyakan Yo Pan Houw, katanya: ‘Thaykek-koen ada yang lemah dan keras, kenapa diPakkhia semuanya lemah?” Mulanya Pan Houw tidak menjawab, ia ganda tertawa, bclakangan, ia bilangjuga: ‘Di Pakkhia kcbanyakan orang bangsawan, mereka bclajar silat untuk suka-suka saja. Sifat tubuh orang Han dan orang Boan pun bcrlainan. Orang Boan bukan orang Han, kau tahu tidak?’ Atas itu, orang tidak tanya melit iagi. Dcmikian, walaupun Thaykek-koen maju, muridnya yang berarti tidak ada, hingga kemajuan itu ada kemajuan berarti kemunduran. Tidak dcmikian dcngan Siauwlim-pay.” Baharu sekarang Teng Hiauw insyaf, tapi dia tetap tidak setuju Yo Louw Sian menjadi guru silat orang Boan. Ia pun dapat suatu perasaan. Mcngcnai Thaykek-pay, di samping Kaum Teng, ada juga Kaum Tan. Ia duga, pada tipu-tipunya, mesti ada perbedaannya. .

“Kenapa aku tidak mau gabung itu, untuk dapati kedua- duanya?” ia berpikir. Ia juga kagumi caranya—atau iebih benar, keuletannya Yo Louw Sian. Lclakonnya orang she Yo itu ada suatu anjuran untuk ia.

“Kim Hoa, aku hendak pergi ke rumah perguruan,” kata Teng Kiam Beng sehabis bercerita, “pergi kau temani si Hiauw, memang sudah lama kau orang tidak pemah bertemu.

Baharu saja si Hiauw pelajarkan ilmu tangan kosong melawan scnjata, dia sedang gatalnya karena tidak ada yang layani berlatih, sedang aku tidak punya kesempatan, baik kau yang main-main dengannya.”

Kim Hoa manggut pada gurunya itu, yang terus pergi.

Bcgitu lekas berada berduaan, dcngan tari k tangan sochcngny a, Teng Hiauw ajak socheng itu pergi ke lapangan piranti bcrlatih. Mereka jalan sambil bcrlari-lari dan Iclompatan. Dan bcgitu sampai, soetee ini sudah lantas buka bajunya dan pasang kuda-kuda dcngan sikap “Tjhioehoe piepee” atau “Mementil piepee”.

“Socheng, hayo kau masuki, tetapi kau mesti mengalah!” adik seperguruan ini menantang, sambil tertawa.

Kim Hoa loloskan pedangnya, untuk dihunus.

“Jangan sungkan, Soetee,” kata ia sambil tertawa juga. “Kau lebih liehay daripada aku. Kau waspada, jangan kau nanti hajar aku sampai aku tidak mainpu bangkit lagi….”

Setclah itu, soeheng itu maju menycrang, pedangnya dibalingkan ke kiri dan kanan. Teng Hiauw mengubah sikapnya, ia berkelit, lalu dengan tiba-tiba, ia lompat merangsang, ia menyerang dengan dua tangan berbareng.

Kim Hoa hendak tabas kedua tangannya si soetee, tetapi Tcng Hiauw sudah mcndahului tarik pulang tangannya itu, untuk selewatnya pedang, menyambar muka dengan tangan kanan, hingga soeheng ini mesti mundur, karena ia tidak sempat memutar pedangnya.

“Soetee sudah maju banyak,” pikir ia.

Karena ini, Kim Hoa mendesak, ia putarkan soetee itu, siapa sebaliknya hunjuk kegesi tan tubuhnya, akan keiit sesuatu tabasan atau tikaman, hingga mereka jadi bertanding dengan sera. Mereka baharu berhenti kctika Kim Hoa kirim tusukan yang liehay, untuk lolos dari mana, Tcng Hiauw berlompatjauh.

“Nah, apa aku bilang, Soeheng, aku bukannya tandingan kau!” kata soetee itu sambil tertawa.

Socheng itu bersenyum.

“Pclajaranmu sudah maju, Soetee!” kata ia. Tapi tiba-tiba iacekal tangan orang, matanya mengawasi dan alisnya mengkerut. “Man, Soetee, aku hendak tanya kau!” ia tambahkan.

Teng Hiauw bcrsangsi tapi iaikuti soeheng itu. Mereka duduk di bangku batu.

“Ada apa, Soeheng?”

“Kita telah berpisah tiga tahun, Soetee, tapi seperti dahulu, kita haras omong dengan terus-tcrang, bukankah?” sahut sang soeheng.

Teng Hiauw heran, ia manggut

“Tak usah kau tanyakan itu, Soeheng” Kim Hoa geser tubuhnya lebih dekat.

“Soetee, aku lihat kau sedang memikirkan sesuatu…” nyatakan ia.

Teng Hiauw bcrdiam, ia melengos dari sinar matanya soeheng itu. Tapi. selagi si soeheng masih awasi ia. ia tanya: “Bagaimana Soeheng ketahui itu?”

“Aku lihat itu dari caranya kau bertempur barusan. Di waktu mau menyerang, kau nampaknya bersemangat, tapi setelah serangan dikirim, kau lambat, kau seperti ragu-ragu. Itu ada tanda semangat tidak terpusat. Cara berkelahi itu membuat kau mundur…. Thaykek-koen inginkan sebaliknya, ialah ketabahan hati. Kelihatannya kau bisa menangkan aku, kesudahannya. kau yang terdesak “

Kim Hoa sudah berpengalaman. matanya jadi tajam.

Teng Hiauw berbangkit, matanya memandang ke lapangan latihan di luar mana ada bukit merah.

“Scbcnarnya tidak apa-apa. Soeheng,”sahut ia kemudian. sambil ia tertawa. “Pada beberapa han yang lalu, aku nampak suatu kejadian yang kurang menyenangkan hatiku.”

Selama mendengari, Kim Hoa nampaknya ada menaruh perhatian besar, ia heran, tapi setelah Teng Hiauw tutup ceritanya, lantas ia mengatakan: “Keterangan kau membikin aku ingat suatu orang, bisa jadi nona itu dia adanya. Biar aku sclidiki dalam tempo beberapa hart, aku nanti kasih kctcrangan pada kau.” Benar seperti janjinya, selang beberapa hari, Kim Hoa sudah dapat membenkan jawabannya. Dia kata: “Benar dianya! Nona uu mirip dcngan hantu perempuan!….”

“Siapa dia itu?” Teng Hiauw mcncgasi.

“Kcccwa kau mcnjadi bcsar di Pooteng!” sahut Kim Hoa, yang tidak segera hendak menyebutkan nama orang. “Nona begitu kesohor, umpama kata kau beium pernah mclihatnya, sedikitnya kau mesti pernah dengar!….” “Jangan mengganggu aku, Soeheng!” Teng Hiauw banting-banting kaki “Siapa dia itu?”

Kim Hoa kuatir orang gusar.

“Apakah kau kenat Kiang Ek Hian, Ahli Waris dari Bwechoa-koen?” ia mcnanyai. “Dia ada cucu perempuan dari Kiang Ek Hian itu. Dia ada Angie Oehiap Kiang Hong Kcng si Baju Merah.”

Tcng Hiauw tidak tahu jelas perihal si nona atau keluarganya itu.

“Coba Soeheng tuturkan ‘lebih jelas,” ia memohon. Kim Hoa meluluskan, ia membcrikan penjelasannya.

Untuk Shoatang dan Hoopak dua propinsi, pusat ilmu silat ada Kota Pooteng di Hoopak, dari itu banyak ahli waris, atau ketua kaum persilatan, berdiam di kota ini, di antaranya yang paling ternama adalah Tjiong Hay Peng dari Hengie-pay, Koan IeTjeng dari Banseng-boen dan Teng Kiam Beng dari

Thaykek-pay. Seorang iagi adalah Kiang Ek Hian dari Bweehoa-koen. Ek Hian berusia paling tinggi,

sudah enam puluh tahun lebih, dari itu, untuk Kiam Beng, dia terhitung tjianpwee, angkatan terlebih tua. Anaknya, Ek Hian telah menutup mata dcngan meninggalkan satu anak perempuan ialah Hong Keng, maka engkong dan cucu tinggal berduaan saja. Si nona mempelajari ilmu silat, iacerdik dan bakatnya baik, ia maju dengan pesat, hingga ia sangat disayang dan dibanggai engkongnya, yang bawa ia merantau, hingga kemudian lagi, nona itu dapat perkenan untuk keluar sendirian.

Tcng Hiauw pernah dengar namanya Kiang Ek Hian, tapi ia tidak bcrgaul, ia tidak tahu hal cucu perempuannya. Lalu ia menanyai alamat orang.

Ditanya begitu, Kim Hoa menarik napas. “Selayaknya Soehoe bergaul dengan orang-orang scbangsa Kiang Ek Hian itu,” kata ia, “sayang karena sikapnya Soehoe, perhubungan jadi sepcrti renggang, hingga kau tidak kctahui alamatnya! Apa ini namanya orang yang sama-sama tinggal di Pooteng?”

Teng Hiauw berdiam “Rumahnya Kiang Ek Hian gampang untuk dikenah,” Kim Hoa mencrangkan. “Selewatnya pasar di Seetoa-kay, kau menuju ke selatan, di ujung itu ada sebuah rumah besar yang di luar pintunya ada sepasang singa batu, itulah dia. Apa kau perlu diantar?”

“Soeheng pandang aku sebagai bocah cilik saja!” kata Teng Hiauw sambil tertawa “Aku toh besar di Pooteng!”

“Apa kau hendak mengunjungi orang tua itu?” Kim Hoa tanya pula. “Apa kau kegilaan si nona baju merah?”

Teng Hiauw tidak menjawab, ia melainkan tertawa. Kim Hoa menduga benar. Dia memang niat can Kiang Ek Hian, dia ingin lihat pula si nona, dia cuma tidak mendelu pula terhadap nona itu.

Di hari kedua, Teng Hiauw benar-benar mengunjungi Kiang Ek Hian. Ia lakukan itu secara diam-diam. Di karcis nama, ia bahasakan diri “boanseng”. Tapi dia ketemu batunya. Ketika dia sampai di depan rumah, dia ketemu dengan seorang dengan dandanan sebagai bujang, pada ia itu dia menyerahkan karcis namanya.

“Oh, Teng Kongtjoe!” kata bujang itu.

Dari lagu suaranya, bujang itu bukan mirip orang desa. “Lekas bawa masuk!” kata Teng Hiauw, yang tidak ingin

bicara banyak

“Ya, ya,” sahut si bujang berulang-ulang. “Baik, Kongtjoe, harap tunggu sebentar.” Bujang itu kata “sebentar”, tetapi Teng Hiauw mesti berdiri menantikan sampai kakinya kesemutan, baharu dia itu keluar pula, untuk terus menyerahkan karcis nama.

“Maaf, Kongtjoe,” kata ia semban tertawa. “Menyesal, Looyatjoe lagi cuci kaki, dia tidak sempat untuk menemui kau….”

Bukan kepalang mendongkolnya Teng Hiauw.

“Apakah ini bukan aturan si tukang jaga pintu?” tanya ia. “Orang datang dengan maksud sungguh-sungguh untuk menemui….”

Beium sempat Teng Hiauw turup mulutnya, atau daun pintu telah digabmki, d isusu I sama suara yang si anak muda dengar: “Koko Hok, Looyatjoe menyuruh kau masuk, jangan kau melayani segala orang pengangguran!”

Tcng Hiauw kenali, itulah suaranya si nona baju merah. Pemuda ini pulang dengan terus masih mendongkol,

sampai itu maiam dia tak dapat tidur pulas, hingga dia dapat pikiran: “Mereka tidak sudi kctcmui aku, mustahil aku tak bisa ketemui sendiri?”

Segera ia loncat bangun, ia mengenakan pakaian ringkasnya, setelah selesai, ia keluar dari rumahnya, akan menuju ke rumahnya Kiang Ek Hian.

Malam ada sunyi. Rumahnya Keluarga Kiang gelap-petang, pintunya tertutup rapat. Rumah itu menghadapi jalan besar, dan belakangnya bcrbatas dengan sebuah kali. Teng Hiauw menghampiri tembok belakang ke atas mana ia scgcra loncat naik, untuk memandang ke sebeiah dalam. Keadaan di situ tenang scperti di bagian dcpan. Di saat ia hendak meloncat turun, tiba-tiba ia bcrsangsi.

Hawa scjuk membuat otaknya anak muda ini jadi lebih tenang, hingga ia sadar. Ia datang melulu karena diliputi nafsu kemendongkolannya. Di waktu malam ia mcndatang rumah orang, apa itu bukan perbuatan lancang? Umpama ia bertemu sama tuan rumah, alasan apa ia punyai? Maka dari itu, ia celingukan.

Ketika itu sudah jam tiga lewat, sang rembulan sudah turun rendah. Di antara siuran angin, pelahan terdengar suara sang gagak.

Teng Hiauw keragu-raguan sekian lama, akhimya ia ambii putusan untuk turun juga. Ia terpengaruh oleh rasa penasarannya. Benar sekali ia hendak loncat turun, tiba-tiba datang sambaran angin dari arah belakang. Itulah sambaran golok, ia duga. Untuk egoskan diri, ia terus loncat turun.

Menyusul mana, ia tampak berkelebat satu bayangan, yang loncat turun juga, tetapi sesampai di bawah, bayangan itu mencelat pula ke atas, ke gunung-gunungan di sebeiah depan, jauhnya setumbak atau lebih. la lantas lihat seorang berdiri menghampiri ia, tangannya melambai-lambai.

“Ah!” ia keluarkan suara tertahan.

la sebenamya niat tegur bayangan itu. Ia belum sempat buka mulutnya, atau bayangan itu berteriak: “Ada penjahat” Ia kaget, ia berseru: “Aku bukannya penjahatl Aku…” ia berhenti dengan mendadakan. Sambaran angin datang pula dari belakang, rupanya dari sebuah peluru. la bcrkclit ke kiri, lalu ke kanan, karena serangan datang beruntun. Tatkala serangan berhenti dan ia bersiap, penyerangnya tetap tidak kelihatan, bayangan di atas gunung-gunungan pun turut amblas. Suasana kcmbali sangat sunyi.

“Aku Teng Hiauw!” pemuda ini berseru, dalam kesangsian tetapi pun hati panas. “Aku datang untuk bicara!”

Belum suara itu berhenti, atau dari samping, dari gombolan pohon seruni. ada sambutan suaranya seorang perempuan, yang disusul sama munculnya scparuh tubuh: “Siapakah Teng Hiauw itu? Kita tidak mempunyai sahabat dengan nama dcmikian!” Lalu, beberapa biji Thielian-tjic menyambar pula Teng Hiauw gunai pedang Tanhong-kiamnya, untuk menangkis, tubuhnya terputar, kemudian ia berlompat ke arah si nona sambil berseru: “Nona Kiang, tahan dulu: Aku hendak bicara!”

Nona itu terus muncul, hingga antara sinarnya si Puteri Malam, kelihatan nyata pakaiannya scrba merah. Dia ada Kiang Hong Keng si cantik. Tapi ia muncul untuk lari.

“Nona, tunggu!” berseru Teng Hiauw, yang terus mengejar.

Nona itu loncat naik ke atas gunung-gunungan, dari sana ia loncat lebih jauh ke para-para pohon anggur. Selagi Teng Hiauw menyusul, tiba-tiba ia dengar seruan keras dari seorang tua. “Kembalilah!” Menyusul itu, antara suara berisik, sebuah batu besar melayang datang. Ia segera lompat berkelit

Bolch dibilang di itu saat juga, pada jendela lauwteng di taman itu terlihat cahaya terang, dari api yang baharu dinyalakan, disusul sama nyalanya beberapa tenglolcng yang digantung di cabang-cabang pohon, hingga taman itu menjadi terang, apinya memain, mendatangkan bayangan daun-daun atau cabang-cabang pohon. Lalu, dari tempat lebat dengan pepohonan, muncul beberapa orang….

Teng Hiauw nampak si nona serba merah, si bujang yang tadi siang menyambuti karcis namanya dan seorang tua yang kumis-jenggotnya sudah ubanan tetapi sepasang matanya tajam mencorong.

“Bocah dari mana berani lancang memasuki rumahku?” orang itu memperdengarkan suaranya yang keren. “Nyalimu benar besar!”

Teng Hiauw mcndongkol, akan tetapi ia menahan sabar. “Kiang Lootjianpwee, aku bukannya orang jahat seperti

barusan aku sudah terangkan,” kata ia. “Harap kau tidak menuduh aku….” Orang tua itu maju setindak.

“Habis kau datang untuk apa?” ia mencgaskan.

Teng Hiauw bungkam. Ia memang belum punyakan alasan.

Tapi ia tidak bisa berdiam lama.

“Aku datang untuk can Nona Kiang, guna memberi penjelasan….” kata ia kemudian.

Wajah orang tua itu berubah seketika.

“Can” cucuku perempuan untuk memberi penjelasan?” kata ia. “Kau bilang apa ini? Cucuku tidak kenal kau!

Penjelasan apa itu? Jangan-jang’an kau kandung maksud jelek! Lekas omong terus terang, aku masih bisa memberi ampun padamu!” Ia baharu mengatakan, atau matanya bersinar pula. Tangannya pun scgcra menuding. “Lagu suaramu menyatakan kau datang dengan maksud baik, tetapi lihatlah macammu!” ia tambahkan. “Apa itu di tanganmu?

Untuk memberi penjelasan apa perlu dengan pedang? Kenapa kau uber-uber cucuku? Kepandaian apa kau andali? Kau sebenamya kandung maksud apa?”

Bukan main mendongkolnya Teng Hiauw, akan tetapi ia toh sadar. Ia memang membawa-bawa pedang. Dengan tiba-tiba, mukanya menjadi merah. Ia malu karena baharu ia sudah kejar anak gadis orang….

Buru-buru Teng Hiauw masuki pedangnya ke dalam sarung, lalu ia memberi hormat.

“Maaf, Lootjianpwee,” ia kaia. “Harap Lootjianpwee tidak curigai aku. Aku bukannya scorang penjahat. Yang tinggal di scbcrang sana, Ahli ‘ Waris Thaykek-pay Teng Kiam Beng adalah ayahku….”

Orang tua itu tidak menjawab, ia hanya tertawa dingin. “Harap Lootjianpwee sukadengar keteranganku,”

menjelaskan Teng Hiauw lcbih jauh. Ia Iihat orang masih sangsikan padanya. “Pada beberapa hari yang lalu, selagi aku pergi berburu, aku melihat cucumu tengah dikepung banyak orang, dengan suka sendiri, aku bantui ia pecahkan kurungan itu. Setahu kenapa, tiba-tiba si nona serang aku dengan Thielian-tjie. Barusan pun untuk menangkis scnjata rahasia maka aku telah hunus pcdangku.”

“Yaya, jangan dengari dial” Nona Kiang memotong, untuk cegah engkongnya sahuti si anak muda. “Ia ada orang busuk! Dia adalah kawan rombongan orang itu, mereka memanggil dia dengan panggilan Teng Kongtjoe!”

Baharu Teng Hiauw bilang “Bukan…” atau si orang tua sambil mengawasi dia dengan tajam, kata padanya: “Kiranya kau ada Teng Kongtjoe, maaf, maaf! Umpama kata kau benar sudah tolongi dia, tetapi orang Kangouw biasanya tidak mengharapkan pembalasan budi, maka itu, kenapa kau datang cari dia di waktu malam buta-rata? Apakah itu untuk minta dia haturkan terima kasih pula kcpadamu? Laginya, melihat kcpandaianmu barusan, kepandaian itu masih belum cukup untuk menolongi cucuku! Dan ada lagi! Ayahmu ada sahabat baik si or•ang besar she Soh, orang-orang yang kepung cucuku justru ada guru-guru silat keluarga itu, maka kau, apa kau bukannya bersekongkol dengan mereka itu? Apa kau bukannya ecngaja mcnolong untuk pedayakan cucuku?

Hayo bilang, bilang!”

Teng Hiauw malu berbareng likat sampai ia mengeluarkan keringat dingin. Ia pun mendongkol sekali. Memang ayahnya ada sahabatnya Soh Si an Ie, tapi ia tidak sudi akui bahwa ayahnya keliru. Ia mendongkol karena dituduh sekongkol sama rombongannya Hek Tjit

“Kau keliru, Lootjianpwee!” ia lantas membantah, tcrpaksa ia bicara kcras “Ayah adalah ayah, anak adalah anak, ayah ada punya sahabatnya, anak pun ada punya sahabatnya sendiri! Mustahil karena ayahku kenal Keluarga Soh, lantas orang-orangnya keluarga itu ada sahabat-sahabatku juga? Lootjianpwee pun bilang, aku tidak punya kesanggupan untuk tolongi cucumu. Memang”aku tidak punya kepandaian, aku tak dapat dibandingkan dengan cucumu yang pandai ilmu silat pedang Bweehoa-kiam, tetapi toh dengan kepandaianku yang rendah ini, aku pernah pecahkan kurungan kepada cucumu pcrcmpuan, hingga dia lolos dari bahaya Lootjianpwee, aku telah dengar namamu yang besar, yang dihormati, tetapi pendengaran tidak sama dengan bukti penglihatan.

Rengalamanku masih hijau, aku tak mengerti aturan kaum Kangouw, tetapi aku tahu, Lootjianpwee harus tunjang angkatan muda, bukannya karena mengandali ketuaan dan keagungannya, dia justru menghina si muda!”

Teng Hiauw seperti lupa dirinya, ia cabut pula pedangnya.

Si orang tua belum bilang apa-apa, atau cucunya sudah hunus pedang.

“Orang she Teng, kau menyindir, kau menghina nonamu!” ia mcmbcntak. “Aku mau Iihat ilmu silat pedang Thaykek- kiam!”

“Jangan, Keng-djie’!”mencegah si orang tua, yang tank cucunya itu. Dengan tiba-tiba, sikapnya jadi sabar. Torus ia awasi si anak muda, ia tertawa Ia kata: “Kau bemyali besar. Kau harus mengerti, meskipun ayahmu, apabila dia mencmui aku, dia mesti hormati aku sebagai scorang tjianpwcc! Karcna kau ada Ahli Waris Kaum Thaykek-pay, kau mesti mengerti aturan Kangouw, apabila lain kali kau berternu sama angkatan tenia, tak boleh kau berlaku kurang ajar begini. Kau tidak kenal aturan. Kenapa malam-malam kau lancang memasuki rumah orang? Untuk ini kau harus ditelikung, buat diserahkan kepada pembesar negeri, alas tuduhan jadi penjahat

Kau juga bawa senjata serta senjata rahasia! Apa begini caranya untuk mengunjungi kaum tua? Seharusnya aku mcmberi ajaran padamu, tapi mengingat kau masih muda dan kurang pengaiaman, aku suka mcmbcri ampun. Kalau lain kali kau mengacau pula, jangan kau pcrsalahkan aku!” Teng Hiauw pandang si nona, lalu ia menjura pada orang tua itu.

“Tjianpwee, terima kasih untuk nasihat kau ini, yang aku tak nanti lupai,” kata ia. “Aku mengerti sckarang, aku tidak berani menenma pula pengajaran kau…”

Habis kata begitu, ia putar tubuhnya dan menuju ke pintu dengan tindakan lebar, tapi sctclah dekati tembok, ia enjot tubuhnya, naik ke atas tembok pekarangan.

Di sebelah belakang, sambil tertawa, ia dengar suaranya si nona: “Bocah itu pernah bcrkata dia tidak mengharap untuk berternu pula dengan aku, tapi malam ini, tidak kcruan-kcruan dia datang pula!….” Setelah itu, ia dengar suaranya si or•ang tua: “Eh, anak bengal, janganlah berlaku kurang ajar! Kenapa sebut-sebut bocah? Kau tidak punya sedikit juga kehormatan orang perempuan….*

Teng Hiauw tidak ambil perduii. ia terus loncat keluar. Tapi ia tctap mendongkol Diam-diam ia tertawa dalam hatinya dan kata: “Aku bersikap keras, lantas tua bangka itu jadi lemas, aku percaya dia tidak punya kepandaian berarti, namanya nama kosong belaka….”

Lantas ia bcrjalan pergi, sesampainya di pinggir kali, mendadakan di situ ada mcnyambar sebatang panah disusul sama bcrkclcbatnya satu bayangan, yang keluar dan alingan tumpukan batu. Bayangan itu berhcnti di dcpannya si anak muda scraya tangannya dipakai mcnghaiangi-

“Bangsat, kcmana kau hcndak pergi? Lekas tinggal barang curianmu!” dcmikian dia membentak. Teng Hiauw mengawasi dengan heran. ia iihat seoring dengan usia tiga puluh lebih, romannya cakap, tubuhnya tidak tinggi besar dan tidak terlalu keren, mclainkan sorot matanya tajam. berpengaruh. Ia tidak takut, malah selagi mendongkol. Ia sekarang ingin melampiaskan itu. “Kau adalah si bangsat!” ia membalik. “Tengah malam buta rata, kau sembunyi di pinggir kali! Kau bik in orang kaget!”

Orang itu tertawa cekikikan. “Siapa membuat kaget?” dia jawab. “Siapa surah, tengah malam buta rata ini, kau kelayapan di sini? Kau menggendol pedang, kau mengenakan pakaian malam, pasti jalanmu tidak benar! Hayo kau akui terus tcrang, kau ada bangsat atau tukang perkosa orang perempuan? Apakah kau tidak bunuh orang? Kau

bicara, barangkali aku masih dapat mengampuni kau!” Teng Hiauw jadi sangat gusar.

“Kau mau minggir atau tidak?” ia membentak.

“Eh, bangsat cilik, jangan bertingkah!” orang itu menghina. “Nampaknya kau hcndak bikin pcrlawanan! Bocah, hunus pedangmu, jikalau kau bisa menangi aku, baharu aku suka mengasih jalan?”

“Kau hcndak mclayani aku?” tanya Teng Hiauw. “Baik, aku nanti temani kau! Cabutlah senjatamu!”

Orang itu tertawa sampai mendongak.

“Kau benar, aku memang hendak menjaja! ilmu pedangmu! Tapi aku bukan mau adu pedang dengan pedang, aku hendak mencoba pedangmu dengan kedua kepalanku saja!”

“Sungguh jumawa!” Teng Hiauw berseru saking murka. “Kau hendak layani pedangku dengan tangan kosong? Kau tidak can’ tahu dulu, siapa aku ini? Mustahil kau belum pernah dengar liehaynya Thaykek-ldam?”

Orang itu menguap, ia ngulet dengan kedua tangannya, lalu ia tertawa haha-hihi.

“Jangan ngobrol saja!” ia bilang. “Siapa kesudian cari tahu tentang asal-usulnya ilmu silatmu? Thaykek-kiam ada Thaykek-kiam, kau adalah kau! Kau sang bocah, apa kau ketahui tentang Thaykek-kiam? Jangan kau pandang hina sepasang kepalanku inil Nah, kau majulah, bangsat cilik!”

Teng Hiauw tak dapat bcrsabar lagi-

“Jikalau kau tidak diberi hajaran, kau tak tahu liehaynya!” ia berseru. Ia lompat maju, ia menikam orang punya iga kiri. Ia gunai tipu serangan “Kauwlie tjoantjiam” atau “Nona tangkas menusuk benang”.

Orang itu mengibaskan tangannya, ia menggeser ke samping kiri, menyerang pundak kiri.

Teng Hiauw berkelit, scmbari kelit, pedangnya menikam tcnggorokan. Ia bcrlaku scbat bukan main.

Lawan itu benar-benar gesit. Ia berkelit ke samping, lantas tahu-tahu Teng Hiauw merasakan sambaran angin dari arah belakangnya. Itulah tanda, musuh sudah bcrada di sebclah belakang.

SambiI gescr kaki ke samping, Teng Hiauw putar tubuhnya ke belakang, pedangnya sckalian diayun, dipakai membabat ke belakang, untuk tabas Iengan orang.

Orang itu tertawa, ia loncat mundur.

“Ke mana kau hendak lari?” berscru Teng Hiauw, yang lompat mcnyambar, kepada kedua kaki or•ang. Itulah gerakan “Benghouw hokkian” atau “Harimau galak mendekam”.

Gerakannya Teng Hiauw cepat sekali, akan tetapi itu orang masih lebih sebat. Dengan satu enjotan, ia angkat kedua kakinya, bcrbareng dengan itu, dengan tangan kiri di dada, ia menyabet dengan tangan kanan pada Iengan orang Itulah pukulan “Yoeliong tamdjiauw” atau “Naga mengulur kuku”.

Sambil menyamping, Teng Hiauw geser tangannya, setelah loios dari bahaya, ia bergerak dari luar kc dalam. menikam iga lawan. Orang itu berseru, ia egos tubuhnya, sesudah mana, ia merangsang pula, saking gesitnya. kembali ia ancam si anak muda, yang ia arah kcpalanya.

“Kau terlalu menghina!” berseru Teng Hiauw saking panas hatinya. Setelah kelit kcpalanya, ia menabas, dari bawah ke atas. Dari kelitan “Liongheng hoeipou” atau “Naga terbang”, ia gunai tikaman “Hoansin hiankiam” atau “Mempersembahkan pedang”.

Ini penyerangan ada berbahaya, tetapi cuma-cuma saja terhadap lawan yang gesit itu, yang sukar di tikam atau ditabas, malah dialah saban-saban mengancam.

Teng Hiauw jadi heran.

“Ayah bilang Thaykek Sipsam-kiam tidak ada bandingannya, kecuali Soepeh,” pikir ia. “Ayah pun bilang, aku telah dapati kepandaiannya tujuh atau delapan bagian, umpama aku merantau, aku tak usah kuatir kena orang permainkan. Pasti sekali aku percaya kata-kata Ayah itu. Tapi sckarang aku menjumpai lawan yang bertangan kosong ini….”

Teng Hiauw tidak tahu, ayahnya punyakan tabiat tak mau kalah, sedang lawannya ini adalah orang Kangouw dari kelas satu, tidak saja kepandaiannya liehay, pengaruhnya pun besar, hingga banyak sekali or•ang yang tu-nduk kepada titah- ntahnya. Menghadapi lawan scbagai ini, mana bisa ia tidak jatuh di bawah angin——…..

Di sebelah sana, sang lawan juga kagumi tandingan ini, yang muda tapi sangat gesit dan tangkas, beberapa kali serangannya yang bcrbahaya. dia itu dapat elakkan.

Teng Hiauw jadi penasaran, segcra ia gunai sccara sungguh-sungguh tipu-tipu dari Thaykek Kicbocn Sipsam- kiam, untuk desak lawan’itu, sampai sinar pedangnya berkelebatan bagaikan kilat. Sekarang sang lawan tidak berani lagi memandang enteng, untuk melayani ia gunai “Tjaytjhioe- hoat” – ilmu pukulan “Memotong langit”. Biar bagaimana, Teng Hiauw kalah latihan. ia kalah ulet, scsudah coba mendesak hebat, dengan sia-sia, ia lantas kena terdcsak. Tidak lagi ia sanggup kirim tikaman-tikaman atau bacokan-bacokan yang membahayakan, ia kewalahan menangkis atau berkeli t. Maka lama-lama, ia jadi sibuk sendirinya.

Datanglah satu saat baik, satu lowongan, seccpat bisa, Teng Hiauw mcnusuk dengan bengis ke ulu hati orang.

Lawan itu sedot perutnya, ia membungkuk sedikit, selagi tangan si anak muda melonjor, ia mendorong sambil mcngetok, atas mana, Teng Hiauw mundur sempoyongan, liampir ia rubuh, lengan kanannya berbareng dirasai sangat sakit. Pedangnya, tanpa ia merasa, telah kena dirampas. Dan sedang ia bingung, tahu-tahu api lentera Khongbeng-teng mcnyorot kcpadanya, disusul sama seruan: “Tjoe Soesiok, beri dia ampun….!”

Itulah suara nyaring tetapi halus, menyusul mana, satu tubuh langsing melesat, datang kepada mereka, sesudah datang dekat, dia tcrnyata berpakaian serba merah. Karcna dia ada Nona Kiang Hong Keng yang nakal….

“Ah, Siauw-soemoay!” kata orang yang dipanggil Tjoe Soesiok—Paman Guru Tjoe – itu. Tapi ia tertawa. “Kenapa kau masih belum tidur?”

“Belum, Soesiok, karcna kita telah digerecoki setengah malaman oleh bocah ini, sampai aku letih sekali!” sahut si nona.

Mereka bicara begitu asyik sampai Teng Hiauw tidak diperdulikan lagi. Dia malu, mukanya bcrscmu merah, tangannya sakit Ia gunai itu kctika baik, dengan tak gubris lagi pedangnya, ia putar tubuhnya, untuk lari di sepanjanggih-gili kali. Iabemiat pulang. Ia lari baharu beberapa t indak, sekonyong-konyong ada angin berkesiur di bclakangnya, jidatnya kena ditekan. Ia tidak berani menoleh, ia hanya loncat ke samping, baharu ia putar tubuhnya, akan tengok si pengejar. Tjoe Soesiok ada di depannya!

“Aku tak dapat lawan kau, habis kau mau apa?” ia mencgur dengan sengit. Ia ada sangat mendongkol.

“Orang tolol!” kata orang itu sambil tertawa berkakakan. “Kau kalah, kau lari! Apakah kau tidak inginkan lagi pedangmu? Apakah kau hendak korbankan itu?” Ia cekal pedang orang, ia pentil-pentil itu, hingga terdengar suara nyaring yang bcrsih. Ia kata pula: “Pedangmu ini tak dapat dicela! Apa benar kau ikhlas akan korbankan?”

“Tidak, aku tidak mau!” jawab Teng Hiauw dalam scngitnya. “Jangan kau terlalu jumawa karena kau menangi aku dan dapat ram pas pedangku itu! Lain waktu, pasti aku akan rampas pulang itu dan tangan kau1 Sekarang tidak, tetapi akan datang harinya! Mustahil untuk sclamanya aku tidak marapu rubuhkan kau?”

Orang itu tertawa tcrbahak-bahak. “Apakah kau sangkaaku temahai pedangmu ini?” kata dia. ‘Tidak, kau legakan hatimu! Pedang yang scpuluh kali lebih bagus daripada ini, aku tidak sudi, apapula pedangmu ini! Nah, simpanlah ini, lain kali, jangan kau memberi lain orang rebut pula dari tanganmu!-..”

Teng Hiauw mengawasi dengan hati bimbang, ia sangsi untuk menyambuti. Sebenarnya ia berat akan korbankan pedangnya Tanhong-kiam itu, tapi barusan – menuruti suara hati – ia sudah keluarkan kata-kata untuk merampas pulang Sekarang pedang itu dikembalikan… Orang itu mengawasi sambil bersenyum, rupanya ia bisa duga kcragu-raguannya Teng Hiauw.

“Ah, orang tolol, apa artinya kena dikalahkan?” kata ia. “Ini cuma sedikit pelajaran’ Orang gagah kaum Kangouw siapa yang tak pernah didampar gelombang dahsyat? Baharu pedangmu dirampas, mustahil orang itu kau anggap sebagai musuh besar? Habis bagaimana dengan negara kita, yang orang Boantjioe telah rampas9“

Selagi bicara, sikap orang itu jadi demikian keren, sehingga Teng Hiauw kena dipengaruhi, tanpa merasa. Ia ulur tangannya, akan sambuti pedangnya.

“Kau ada satu enghiong—apa kau suka beritahukan she dan namamu?” kata ia.

Orang itu tertawa sambil melenggak.

“Tak perlu kau tanya she dan namaku!” ia menyahut “Kau ada satu siauwya, mengetahui namaku, untuk kau tak ada faedahnya.”

la putar tubuhnya dan bcrtindak pergi.

Kalau tadi ia mau angkat kaki. sekarang Teng Hiauw berdiri tcrcengang.

Si nona pun bcrlalu, bersama-sama orang lelaki itu, sembari jalan mereka pasang omong sambil tertawa, sampai suara mereka, tindakan kaki mereka, tidak terdengar lagi, sampai tubuh mereka, bayangan mereka, pun tidak tertampak.

Teng Hiauw mengawasi dengan bengong. sampai tiba-tiba, ia sadar tapi dengan pikiran kusut. Ia benci mereka, ia pun sukai mereka: Si nona ada polos, si orang lelaki satu laki-laki. Dua-dua mereka ada sangat menarik perhatiannya, ia seperti terbetot pengaruh luar biasa.

Si nona panggil si Iclaki “Tjoc Socsiok”- Parnan Guru Tjoe.

Si lelaki bahasakan si nona “Siauw-soemoay” – adik seperguruan. Hubungan apa ada di antara mereka bcrdua? Lelaki itu ada mund atau cucu murid si or•ang tua she Kiang itu?

Tak dapat Teng Hiauw pecahkan keganjilan itu. Mustahil satu paman panggil kcponakannya satu adik seperguruan? Mustahil satu adik seperguruan panggil soehengnya -kanda seperguruan – paman? Dan kenapa, nampaknya perhubungan mereka bcrdua demikian rapat?

Tanpa merasa, Teng Hiauw mengiri…. Toh baharu saja dia didamprat si nona!

Lama anak muda ini berpikir, akhirnya, ia tertawa.

“Dasar aku yang tolol ia tegur dirinya sendiri. “Perduli apa mereka itu? Aku toh tak nanti kctemu pula mereka?”

la sampai di rumah di waktu ayam jago mulau berkeruyuk, ia mcrasa letih sekali. Ia gulak-gulik di atas pembaringannya. Sampai terang tanah, baharu ia bisa pulas. Ia bisa tidur dengan nyenyak. Entah jam berapa, ayahnya membangunkannya. Dan datang-datang, ayah itu menegun “Eh, kenapa kau tidur begitu nyenyak? Tadi malam kau bikin apa? Lihat, tetamu semua sudah pada pergi!”

Mcmang Kiam Beng telah beberapa kali tengok anaknya itu, ia sampai raba jidatnya, yang rada hangat, ia tidak tega untuk membanguni, ketika tetamu-tetamu, yang bcrkunjung, pada berangkat pergi – itu waktu sudah mendekati tengah hari — ia longok pula anaknya .itu, yang ia kuatir jatuh sakit. Hatinya ayah ini lega apabila ia dapat i anaknya tidak kurang suatu apa. Ia hanya heran, kenapa anak ini tidur demikian nyenyak. Itu tak mesti tcrjadi buat orang yang yakinkan Thaykek-kocn, yang sebal iknya, mesti bangun pagi-pagi.

Kalau sang ayah mengherani putcranya, si putera pun tercengang mendengar ada kedatangan tetamu, hingga tanpa merasa, ia memandang ke jendela. Ia masih dapat melihat tetamu-tetamunya – tiga orang -yang sedang bertindak keluar. Ia lantas kenali mereka itu, ialah Keluarga Son, pahlawan pertama dari satu guru silat Keluarga Hoa, dan yang kctiga, sahabat ayahnya, ialah Soh Tjie Tiauw, putera ketiga dari Soh Si an le, pemuda mana sering datang ke rumahnya. Ia segera menduga, pahlawan dan guru silat itu datang untuk membikin perhitungan, atau mereka bicara jelek tentang ia di depan ayahnya itu. Maka ia melengak. Tapi hatinya lega kapan ia berpaling pada itu ayah, wajah orang tua ini tidak saja tenang malah bersenyum berseri-seri.

Ayah itu masih mengawasi ketika dengan tiba-tiba ia menghela napas dan bcrkata: “Tahun dan bulan lewat bagaikan air mengalir, tanpa merasa aku telah datang ke Pooteng ini sudah dua puluh tahun lebih – kau telah berumur sembilan belas tahun, sembilan belas tahun!”

Teng Hiauw awasi ayah itu, ia merasa aneh. Entah kenapa, ayah itu sebut-sebut umurnya. Ketika kemudian ia hendak majukan pertanyaan, ayahnya itu, yang awasi ia itu, bersenyum dengan tiba-tiba.

“Kau sudah berusia sembilan belas tahun, kau sudah mesti dijodohkan, aku….”

Teng Hiauw tcrperanjat, hingga ia potong ayahnya itu: “Ayah, aku masih belum pikir untuk menikah!”

Dari gembira, Kiam Beng jadi kurang senang. Ia goyang- goyang tangan.

“Dengar dulu!” ayah ini. “Satu

anak tak boleh scmbarang potong perkataan orang tua.

Kau mengerti? Kau sudah berumur sembilan belas tahun, kau tidak kecil lagi, setelah bertunangan, kau lantas jadi orang dewasa! Apakah kau tidak mengerti ini? Kau lihat beberapa tetamu kita itu? Mereka datang untuk jodohmu. Pihak perempuan ada Keluarga Hoa. Aku sudah terima baik lamaran mereka;…”

“Kau sudah terima baik, Ayah?” Teng Hiauw tcrkejut. “Keluarga itu ada keluarga berpangkat, kita dari kaum ahli silat, adakah itu cocok?”

Urat-urat di jidatnya pemuda itu sampai terlihat nyata, tanda sibuk hatinya. Dengan dingin Kiam Beng pandang puteranya itu.

“Apa jeleknya nona dari keluarga berpangkat?” kata ayah ini. “Mereka sendiri tidak cela kita, habis kau hendak memilih yang bagaimana?”

‘Tetapi, Ayah,” kata anak itu yang menahan sabar. “Bukankah Ayah sendiri yang pernah bilang pesan Engkong adalah melarang kita menjadi orang berpangkatnya bangsa Boan? Kenapa kita justru berbesan dengan orang Boan sekali?”

Kiam Beng menjadi tidak senang.

“Eh, kenapa kau tidak dengar aku?” ia menegur. “Apa aku perintah kau pangku pangkat dan bekerja untuk bangsa Boan? Kenapa kau lancang bawa-bawa pesan Icluhur kita? Benar dulu Keluarga Hoa itu pangkupangkat tempi sudah sejak lama dia undurkan din’ Dia pun, seperti Keluarga Soh, ad a dermawan bukannya pcmbesar busuk! Kau tahu,

Keluarga Hoa hendak jodohkan keponakannya dan cabang dekat, dan orang perantara ada Soh Kongtjoe.

Nona itu cantik, mengerti surat dan adat-istiadat, dia pandai menjahit dan menyulam. menikah dengan nona itu, apa kau tidak merasa beruntung?”

Ayah itu mendelik, ia bersenyum tawar ketika ia menambahkan: “Kau suka kelayapan sama perempuan hutan? Kau mcnycbut diri keluarga ahli sifat, habis apa kau hendak cari nona tukang dangsu? Benar begitu?”

Teng Hiauw tunduk, mukanya merah.

“Aku tidak menyebut demikian,” ia menyahut.

“Kau tidak memikir demikian, itu bagus!” kata sang ayah, yang ketok mejadengan pelahan. “Mcskipun kita ada dan keluarga ahli silat, aku tidak menyetujui nona tukang dangsu. Kau tahu. satu isteri mesti bijaksana dan tahu aturan, tetapi nona-nona Kangouw melainkan pandai naik di atas tambang, mcnunggang kuda, mainkan golok dan pcdang, tetapi megang jarum, ia rasai itu terlebih sulit daripada mainkan golok besar.

Kau pikir, perempuan demikian dapat merawat suami?” Kembali ayahnya ketok meja, dengan sama pelahannya. “Umpama cucu perempuan dan si orang tua she Kiang…” ia kata pula.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar