Kisah Dua Saudara Seperguruan Jilid 04

 
Giam Tjin Hay maju akan bantui engkonya. Thie-tjio dari Tjin San ada liehay, tidak kurang 1 iehaynya tan-too dari Tjin Hay, sebab dia ini mainkan itu dengan tangannya yang kiri. Sang adik ini adalah seorang “kidal”. Dan mclayani seorang kidal memang rada sulit….

Boe Wie sedang sakit, tetapi kepandaiannya ilmu Thay Kek Pay mcnolong dia. Ilmu silat ini berpokok tenang, maka itu dengan ketenangan, kesabaran, ia bisa layani musuh. Coba ia tidak sedang sakit, dengan gampang ia bisa kalahkan dua orang polisi itu. Syukur tadi ia telah keluarkan keringat, dengan begitu, ia jadi dapat tenaga- Tapi, dasar lemah, ia kurang keuletan, tubuh kosong membuat asabatnya lemah juga, ia lantas merasakan pusing.

Sesudah kira-kira lima puluh gebrak, Boe Wie merasai ia semakin lemah, karena ini, ia memikir untuk gunai tipu, kalau tidak, ia bisa celaka di tangan dua hamba negeri itu. Di waktu ia menangkis ke kanan, ia sengaja berlaku ayal, dengan begitu dadanya jadi terbuka.

Giam Tjin San lihat lowongan itu, ia tidak bersangsi, akan dengan “Koay bong hoan sin” atau “Ular naga jumpalitan”, dengan Thie-tjionya menyerang dada musuh itu.

Boe Wie tidak menangkis, ia mclainkan tarik tubuhnya ke belakang sedikit, tapi di sebelah itu, gesit luar biasa, ia putar balik tangan kanannya, pedangnya, dari luar ke dalam. Ini adalah “Hoei ma kiam”, atau “Loh-bee” pedang. Lalu dengan “Giok lie touw tjiam”, atau “Bidadari melempar jarum”, ia teruskan menikam ulu hatinya.

Tjin San kaget, ia pun tidak sempat gunai pula senjatanya, terpaksa ia egos kaki kanannya, akan buang diri ke kanan dengan mundur sedikit, hingga tubuhnya jadi sempoyongan, sekalipun demikian, ia masih kurang sebat, ujung pedang telah mengenai lengannya, hingga darahnya lantas bercucuran; dengan kesakitan, ia jatuhkan diri, akan menyingkir sambil bergulingan ke arah pintu.

Boe Wie niat susul musuh itu, akan tetapi, seumpama “cengcorang hendak menawan tonggeret, burung gereja ada di belakangnya”, demikian Tjin Hay si kidal,dia ini menyambar 4engan goloknya, untuk tolongi saudaranya. Dia membacok bebokong dengan tipu “Lian-hoan Tjin-pou-samtoo” atau “Tiga bacokan saling susul”.

Murid Thay Kek Pay itu dengar sambaran angin di belakang, ia tidak sempat putar tubuhnya lagi, maka untuk singkirkan bahaya, kembali ia gunai “Hoei-ma-kiam” dengan apa ia tangkis golok lawan. Karena ini, sekarang ia mesti layani satu sama satu pada si orang she Giam yang kedua. Tapi iatetap lelah, kepalanya pusing, kakinya limbung….

Tjin San lolos dari ancaman kepungan, dengan hati lega, ia lompat bangun. Ia Iupai lukanyadi lengan, ia balik maju, akan bantu adiknya mengepung musuh. Bukan main sibuknya Law Boe Wie. Untuk satu Giam Tjin Hay, ia sudah kewalahan, bagaimana kalau Giam Tjin San kerubuti ia? Selagi Tjin San mendatangi dekat, dengan tiba-tiba ia menjerit dan rubuh terguling, hampir berbareng dengan mana, Tjin Hay juga menjerit, dia ini segera loncat keluarkalangan.

The Sam dan isterinya sudah tidur ketika pertcmpuran dimulai, suara berisik menyebabkan mereka tersadar, maka mereka kaget sekali dan berkuatir, kapan mereka mengintip dan lihat kawan mereka, si penumpang, lagi dikepung musuh- musuh. Mereka tidak punya kepandaian berarti, nyali mereka suami-isteri ada kecil, dari itu mereka tidak lantas maju, untuk membaniui. Di matanya dua saudara Giam, mereka jugadisangka ada pcnduduk biasa saja, mereka tidak dicurigai. Siapa tahu, mereka ini cerdik, mereka tunggu waktu, di saat Boe Wie tcrancam, selagi musuh-musuhnya membelakangi mereka, keduanya muncul dengan berbareng, dengan pisau belati mereka menimpuk.

Tjin San kena tertikam bebokongnya, itulah sebabnya kenapa ia rubuh sendirinya. la jadi korbannya nyonya The Sam. Pisaunya The Sam scndiri mengenai lengannya Tjin Hay, lcngan kanan, yang tens mcngucurkan darah. Kanda itu tidak binasa karenanya, malah ia jadi sangat gusar, maka dengan kuati hati, ia lompat bangun, ia terjang suami-isteri pembokong itu. Percuma saja tuan dan nyonya rumah mencoba bikin perl a wan an. sambil keluarkan jeritan mengerikan, mereka rubuh saiing ganti di bawah hajaran sepasang Thie-tjio dari si orang polisi dari Pakkhia.

Boe Wie kuatir tuan rumahnya turut bercelaka karena ia, siapa tahu, sekarang mereka itu berkorban sekali. Ia menyesal, karena lelahnya, sebab kepala pusing, ia tidak dapat menolong suami-isteri itu. Tapi ia pun sengit, hingga seperti kalap, ia terjang Tjin Hay siapa sedang kesakitan, sampai goloknya tak dapat digunai sebagai bermula, hingga dalam repotnya, dia kena dibabat pedang beberapa kali, hingga dia rubuh dengan mandi darah.

Cepat Boe Wie lompat pada The Sam dan isteri; untuk perihnya hati, iadapati mereka sudah mandi darah, tubuh mereka rebah di samping tubuhnya Tjin San. Rupanya dia ini, sehabis lampiaskan sakit hatinya pada suami-isteri itu, rubuh pula saking lelah dan sakit.

“Sahabat baik, kau menang….” kata Tjin San dengan lemah, matanya separuh tertutup. Ia lihat musuhnya dan mengenalinya. “Tapi kau jangan berpuas hati, karena sarangmu di Kang-lam sudah digulung! Percaya, kau juga tidak terus bakal lolos….”

Habis kata begitu, Tjin San tarik napasnya yang penghabisan, mukanya kasih lihat senyuman iblis.

Boe Wie hampirkan The Sam akan raba tubuhnya.

“Aku sudah tidak berdaya lagi,” kata tuan rumah dengan suara pelahan sekali. “Pergilah kau, lekasan! Aku belum kasih tahu kau tentang kabar yang aku dapat kemarin…. Memang sarang kita di Shoatang sudah kena diubrak-abrik! Pergilah kau, lebih baik ke Liauw-tong!….’

Ia berkelejat kaki tangannya, ia pun susul Tjin San kelain dunia. Rohnya Nyonya The Sam sendiri sudah pergi terlebih dahulu….

Melihat mayat-mayat itu, air mata Boe Wie meleleh keluar. Ia sudah bebas, tapi ia telah celakai tuan rumah suami-isteri. Dengan begini menjadi lebih nyata, ia benar tak dapat berdiam lebih lama pula di Kwan-lwee! Maka ia jadi ingat In Tiong Kie serta kata-katanya orang tua itu. “Biar aku pergi ke Shoatang akan lihat apa aku bisa bikin di sana…” begitu ia ambil putusan. Maka setelah siap, malam- malam juga ia angkat kaki….

IV

Sesampainya di Liauw-tong, Boe Wie telah lewati tempo beberapa bulan untuk pergi sana dan pergi smi, baharu ia sampai di Oey-see-wie, di mana ia berhasil-menemui Tok-koh It Hang, jago tua yang bergelar Pek-djiauw Sin Eng, si Garuda Malaikat Seratus Cakar. Di sini tak usahlah dituturkan perihal perantauannya beberapa bulan itu. Hanya, selama berada di Liauw-tong, berubahlah pandangannya terhadap bangsa Boan seumumnya. Nyata bangsa itu berbeda sikap daripada pemerintahnya. Mereka hidup bertani, raj in dan ramah- tamah, sama seperti bangsa Han sendiri. Yang busuk atau jahat, adalah golongan pembesar negeri atau tuan tanah, dan golongan ini pun dibenci mereka. Sekarang tak lagi ia merasa heran, kenapa In Tiong Kie menyingkir ke daerah perbatasan ini dan betah berdiam di sini.

Mulanya bertemu sama Tok-koh It Hang, Boe Wie tidak sebut-sebut In Tiong Kie, iapun tidak pakai cara kunjungannya orang Kang-ouw, sebaliknya ia berpura-pura sebagai satu pengungsi. Sebab sudah biasanya bagi ia untuk waspada.

Selama itu, ia belum tahu, jago tua itu ada orang macam apa.

Tok-koh It Hang bukan melainkan pandai silat, pengalamannya pun luas, matanya tajam, satu kali saja ia lihat tampangnya si pelarian ini, ia percaya orang bukannya orang sembarangan. Ia terutama lihat tegas sinar mata yang tajam dari orang ini. Maka ia pun curiga dan sangka orang hendak can tahu hal-ihwalnya. Karena ini, tidak ayal lagi, ia ajak Boe Wie main-main untuk beberapa jurus saja.

Tadinya Boe Wie menampik, ia merendah, tetapi iasebenarnyaingin ketahui kepandaiannya jago tua itu, maka akhirnya, ia terima tantangan. Adalah setelah keduanya bergebrak, Boe Wie mengerti, lawan tua ini ada jauh lebih liehay daripada ia, terpaksa siang-siang ia keluarkan kepandaiannya – ilmu Thay Kek Pay – untuk bisa melayani terlebih jauh.

Setelah berselang sedikit waktu. Boe Wie insyaf benar- benar bahwa ia bukan tandingannya jago tua itu. Jangan kata tubuhnya, bajunya saja ia tidak mampu langgar. Di sebelah itu, ia sendiri merasai tangannya sesemutan, entah dengan cara bagaimana ia diserangnya. Dengan sendirinya, ia keluarkan keringat dingin.

Di saat muridnya Lioe Kiam Gim hendak loncat keluar kalangan, mcndadakan si orang tua berseru: “Kau sebenamya keluaran Thay Kek Pay mana? Lekas bilang supaya tidak terbit salah mengerti!”

Sampai di situ, Boe Wie tunduk benar-bcnar. maka ia terus perkcnalkan dirinya, mendengar mana, si orang tua tertawa berkakakan.

“Jadinya kau ada mund kepala dan Lioe Kiam Gim? Pantas kau begird liehay!” bcrkata ia. “Sudah beberapa puluh jurus aku lawan kau, baharulah di dua jums yang terakhir aku bisa atasi padamu. Dalam halnya kau ini, bukannya ilmu silat Thay Kek yang kurang sempurna, itu adalah latihan kau sendiri yang masih kurang.”

Keduanya sekarang bicara secara asyik sekali, sampai Boe Wie tanya, Pek-djiauw Sin Eng ada punya perhubungan apa dengan In Tiong Kie.

Ditanya begini, Tok-koh It Hang heran, ia mengawasi dengan tajam.

“Apakah kau ada dari pihak Pek Sioe H wee?- akhimya ia tegaskan.

Boe Wie cuma bersangsi-sebentaran, ia lantas manggut. “Benar,” ia jawab. “Teetjoe ada dari Golongan Hok.

Bagaimana Lootjianpwee bisa menduga begitu jitu?” Jago tua itu tertawa.

“In Tiong Kie pernah beritaliukan aku, bahwa kau ada satu angkatan mudayang gagah dari Pie Sioe Hwee,” ia jawab. “Karena tcrkabar kau lagi diarah oleh pemerintah Boan, pada beberapa bulan yang lalu, In Tiong Kie sudah pergi ke Kwan- gwa untuk can kau. Kau sebut dia itu, mestinya kau telah bertemu dengannya. Sekarang kau telah sampai di sana, baik untuk sementara kau jangan pulang dulu.”

Boe Wie berpikir – ia berpikir dengan keras, lalu ia berbangkit, akan terus menjura pada tuan rumahnya.

“Taruh kata tee-tjoe berniat pulang, itu tak dapat dilakukan lagi,” kata ia “Sekarang tee-tjoe insyaf, tee•tjoe tidak pikir pula untuk lakukan pembuhuhan-pembunuhan gclap. Malah tee- tjoe ingin tetap tinggal di sini. Tee-tjoe mohon Lootjianpwee tcnma aku sebagai murid, untuk aku menambah pengetahuan….”

Boe Wie hendak berlutut, tapi Tok-koh It Hang segera mencegahnya dengan cepat cekal lengannya, untuk dikasih bangun.

“Tidak, Lauwtee, tak berani aku terima kau sebagai muridku,” berkata ia. “Aku tidak punya kepandaian untuk diturunkan kepada kau. Aku belum kenal pribadi dengan Lioe Loo kauwsoe, tetapi dia adalah orang yang aku kagumi, dari itu, tak dapat aku terima murid kepalanya, sebagai muridku. Aku tidak bisa.”

Walaupun orang menolak, Boe Wie masih mendesak. Ia kata ia bukan hendak meninggalkan Lioe Kiam Gim sebagai guru, tetapi ia tak ingin kembali ke Kwan-lwee, ia ingin tetap tinggal di Kwan-gwa ini, dari itu, pantas kalau ia yakinkan ilmu silat terlebih jauh, sedang buat cari guru yang pandai, itulah sukar sekali. Ia juga hunjuk, dahulu gurunya pernah pesan untuk ia menambah pelajaran dari Iain-lain cabang kaum persilatan, jadi tidak ada halangannya untuk ia berguru pada lain ahli silat.

Oi dalam kalangan persilatan, memang ada aturan umum, bi la dengan pcrsctujuannya sang guru, sang mu•rid boleh bclajar lebih jauh pada Iain-lain guru. Lioe Kiam Gim taat pada itu aturan, maka itu, ia berikan kemerdekaan dan izinnya pada mu•rid kepalanya ini.

Tok-koh It Hang bukannya tak sudi dapat murid sebagai Law Boe Wie, adalah itu aturan umum, yang ia tidak berani langgar, tapi sekarang ia dengar keterangannya pemuda ini - yang ia percaya-hatinya jadi girang. Hanya karena Boe Wie benar-benar lichay, ia tidak pandang dia sebagai murid yang biasa, ia pandang sebagai separuh kawan saja.

“Kau tidak ingin kembali kepada Pie Sioe Hwee, itulah tepat, Lauwtee,” kemudian ia kata. “Pembunuhan- pembunuhan gelap bukannya daya untuk mewujudkan usaha besar. Hanya, apabila kau jadi tawar karenanya, itu pun keliru. Tanpa menumpahkan darah, cara bagaimana bangsa Ouw itu bisa digulingkan dan diusir? Tanpa tindakan itu, bagaimana bisa ditumpas itu segolongan orang-orang berpengaruh yangjahat dan kejam? Darah mesti dikucurkan secara berharga, bukan seperti caranya Pie Sioe Hwee.”

Boe Wie ketarik dengan perundingannya ini guru baru, hatinya jadi terbuka.

“Aku ada lagi satu contohnya,” Tok-koh It Hang berkata lebih jauh. “Berbatasan dengan daerah Liauw-tong ini ada sebuah negeri yang dinamakan Rusia, rajanya dipanggil czar. Raja itu ada kejam, banyak rakyatnya yang dibuang ke batas Liauw-tong, ialah Siberia, dari itu, ada di antara rakyat itu yang nyelundup ke Liauw-tong. Menurut pelarian ini, Russia juga punyakan semacam perkumpulan mirip Pie Sioe Hwee, yang bertujuan menggulingkan rajanya. Kau harus mengerti, perkumpulan rahasia itu ada terlebih besar dari perkumpulan kita. Kita hanya binasakan satu-dua pembesar negeri, tapi dia bisa binasakan rajanya Itu telah terjadi belum seberapa lama ini. Tapi, satu raja telah binasa, Iain raja muncul sebagai gantinya, perkumpulan itu tetap tak dapat capai maksudnya. Maka kemudian orang Rusia namakan pembunuh gelap yang berani itu sebagai pendekar lacur yang tak berharga satu sen!”

Mendengar ini, Boe Wie menyengir.

Demikian selanjutnya, Boe Wie tinggal menumpang sama Tok-Koh It Hans, yang terima dirinya sebagai separuh guru, hingga ia sendiri jadi sebagai “separuh murid”, tapi toh ia telah terima pelajaran sepenuhnya.

Tok-koh It Hang bergelar Pek-Djiauw Sin Eng, bisa dimengerti kepandaiannya yang tinggi. Ilmu silatnya berdasarkan Golongan “Eng Djiauw Boen” – Cakar Garuda, di sebelah itu, ia ciptakan sendiri ilmu pukulan kim-na-tjhioe-hoat yang terdiri dan delapan kali delapan -enam puluh empat jums. Ia utamakan kegesitan tubuh, seperti garuda melayang menyambar. Tapi kim-na-hoat ini scbaliknya da ri pad a Thay- kek-koen. Kalau Thay-kek-koen ada “dengan lemas melawan yang keras”, kim-na-hoat adalah “sambil menyerang, membela diri”. kim-na-hoat gabungkan “luar” dan “dalam” jadi satu. Ia dapati julukannya justeru karena kegesitannya itu bagaikan garuda

Tok-koh ada she atau nama keluarga asal orang asing (Ouw) tetapi itu – dari barat-selatan – telah masuk ke Tionggoan sejak AhalaTong, hingga di zaman itu sudah diakui sebagai nama keluarga orang Han. Umpama ma-tua dari Tong Thay-tjong Lie Sie pin, ia ada orang she Tok-koh. Tok-koh It Hang ada asal Kwan-Iwee, karena singkirkan diri, ia jadi tinggal menetap di Liauw-tong. Ia pun tadinya beranggapan sebagai Boe Wie, ia duga sukar untuk ia tinggal sekian lama di tempat baru ini, anggajjjlflfiya jadi berubah. Sebab urnumnyaroRyat Boan ada sama seperti di Tionggoan, rupanya ini disebabkan, penduduk Liauw-tong adalah bangsanya sendiri dan dari itu, tidak perlu ditilik keras.

Beberapa tahun Law Boe Wie tinggal bersama Tok-koh It Hang, tidak pernah ia abaikan ilmu silatnya, tidak heran, kalau ia peroleh kemajuan. Di samping itu, ia terus suka berunding s%na gurunya itu, terutama mengenai pemerintah Boan serta sepak-terjang kebangsaan dari rakyat Tiongkok asli, umpama Lie Tjoe Sen dan Ang Sioe Tjoan dari Thay Peng Thian Koife Itu waktu, sehabis kegagalan Kaum Thay Peng, kedudukan pemerintah Boan makin kuat, karena bangsa asing mcmbantu padanya. Cita-citanya Tok-koh It Hang adalah mengumpul kawan, tidak fcekerja sama-sama pemerintah, flfnenunggu waktu, buat justeru bikin terguling pemerintah itu.

Boe Wie memang sudah punya dasar baik, dalam tempo empat-lima tahun saja, ia telah bisa wariskan Tok-koh It Hang punya enam puluh empat j’uros kim-na-tjhioe-hoat, serta tujuh puluh dua jalan ilmu pedang “Hoei Eng Tjiong-soan Kiam” atau “Burung garuda terbang berputaran”. Malah dari In Tiong kie, yang dating kepadanya setelah setengah tahun ia sampai di Liauw-tong, ia dapat pelajaran kepandaian “mengenai senjata rahasia dengan mendengar suara anginnya saja.

Dua-dua Tok-koh It Hang dan In Tiong Kie kagumi dan hormati Lioe Kiam Gim, tetapi mercka tidak sukai Teng Kiam Beng, soeteenya orang itu, apapula sekembalinya dari Kwan-I wee – Tionggoan – In Tiong Kie telah bawa cerita bahwa ahli waris Thay Kek Pay itu – yang kesohor Thay-kek-kiamnya, Thay-kek-koen dan Kim-tjhie-piauw sudah jadi angkuh terhadap kaum Kang-ouw dan telah bergaul rapat dengan pihak pembesar negeri, hingga dengan sendirinya dia itu jauhkan diri dari Rimba Persilatan. Pun ada banyak orang Kang-ouw yang tidak puas terhadap orang she Teng jtu.

“Pastilah akan ada satu hari, dengan sepasang telapakan tanganku yang hanya berdaging ini, aku nanti coba-coba semua tiga macam kepandaiannya itu!” kata Tok-koh It Hang sambil tertawa apabila ia dengar keterangan sahabatnya.

Law Boe Wie dengar perkataannya jago tua ini, hatinya bercekat, akan tetapi ia diam saja. Ia memang tidak puas terhadap sepak-terjangnya soesioknya itu, sudah begitur, ia juga tidak ketahui jelas keadaan orang.

Lima tahun sudah lewat sejak Boe Wie ikuti Tok-koh It Hang, perubahan telah banyak terjadi. Sarangnya Pie Sioe Hwee telah digulung sejak lama, maka itu pengawasan pembesar negera terhadap perkumputan rahasia itu telah jadi kurangan, apa pula Boe Wie yang tadinya dikepung-kepung, seperti lenyap dari muka bumi. Karena ini, dengan tidak sangsi-sangsi, Boe Wie bersedia akan kembal i ke Kwan-Iwee, ketika gurunya tugaskan dia merantau akan cari kawan-kawan sekerja. Hanya, bcgitu lekas ia mcmasuki Kwan-lwee, ia dengar satu perkara penting sebab mana ia terpaksa tunda dulu tugasnya.

Perkara apakah yang penting itu? Itu adalah halnya itu perampasan barang upeti yang dilindungi Teng Kiam Beng, yang kena dibegal di tempat tiga puluh lie di Hee-poan-shiadi Djiat-hoo, bahwa yang lakukan itu ada scorang tua dengan lidah Liauw-tong. Kejadian itu ada menggemparkan, karena Teng Kiam Beng, ahli waris Thay Kek Pay, kena dibikin malu. Caranya adalah, si or•ang tua asal Liauw-tong bertangan kosong tetapi Kiam Beng sudah gunai pedangnya, kepalannya, dan piauwnya juga dengan sia-sia. Kemudian menyusul kabar bahwa Lioe Kiam Gim, soeheng dan Teng Kiam Beng, yang telah hidup menyendiri di Kho Kee Po, sudah berangkat ke Utara, untuk mana. Lioe Kiam Gim telah minta bantuannya orang-orang tua yang kenamaan.

Kejadian itu telah jadi buah pembicaraan urnum, terutama karena orang menduga-duga, siapa si orang . tua Liauw-tong itu, apa Lioe Kiam Gim bakal adu kepandaian sama or•ang tua itu, dan bagaimana nanti kesudahannya, siapa menang, siapa kalah?

Oleh karena si begai tua disebut asal Li auw-tong. Law Boe Wie segera juga sangka “separuh gurunya” Tok-koh It Hang. Jago tua ini pemah kata ia hendak coba-coba Teng Kiam Beng deagan tangan kosong saja. Kalau ini dugaan benar, itulah hebat, scbab dua-dua Kiam Gim dan It Hang adalah gurunya sendiri. Kalau dua harimau berkelahi. sal ah satu mesti celaka. Dan kedua guru itu sama-sama liehay!

“Orang lain boleh menonton, tetapi aku tidak!” pikir Boe Wie. “Aku mesti damaikan mereka!”

Lantaran ini, seteiah bersangsi lama, Boe Wie ambil putusan akan pergi ke Djiat-hoo. akan can dua-dua gurunya itu, akan tetapi, justcru beg-itu, mendadakan ia tcrima satu kabar Iain, hingga ia mesti batalkan dahulu keberangkatannya ke Djiat-hoo dan mesti segera pergi ke Kho Kee Po!

Selama bikin perjalanan ini. Law Boe Wie tidak pakai namanya Tok-koh It Hang. Sebabnya ialah: kesatu, Tok-koh It Hang sudah asing dengan keadaan di Tionggoan, dan kedua, di sebelah itu, namanya Boe Wie ada tersohor dan dia sudah punya banyak kenalan atau sahabat, karena, dia adalah tokoh terkenal dari Pie Sioe Hwee. Boe Wie terima kabar penting itu selagi ia berada di pusat Hay Yang Pang di Pou-tay, Shoatang, sebagai tetamu dari wakdl kepala kaum itu, sebab pemimpinnya lagi berpergian. Untuk berpisah dari satu sahabat itu, guna cegah rahasia bocor, ia tidak berani sebut terang-terang hendak pergi ke Djiat-hoo.

Hoe-totjoe atau wakil Ketua dari Hay Yang Pang bernama Ie Tjee Ban, ia sudah berumur lima puluh tahun lebih tapi dengan Boe Wie, ia berbahasa.-.. cngko dan adik, pcrhubungan yang rapat ini bukan sebab pcrkcnalan saja hanya mereka pcrnah saling bantu, dan wakil ketua itu sangat hargai Boe Wie yang kosen dan djiatsim, scbagaimana Boe Wie meenghargai kejujuran orang. Sebenarnya Boe Wie belum tahu jelas asal-usulnya Ie Tjee Ban kecuali ia dengar, dia ini ada keluarga golongan RimbaHijau.

Law Boe Wie mesti berangkat dengan tiba-tiba, tapi Ie Tjee Ban tak izinkan dia pergi sebelum mereka dahar dan minum arak dulu, maka kesudahannya, berdua mereka duduk berjamu. Mereka masing-masing tenggak beberapa cawan, mereka dahar dan mengobrol dengan asyik, sampai satu kali, tuan rumah timbulkan satu soal.

“Lauwtee,” demikian kata tuan rumah itu, “kau muda dan gagah, dimana-mana orang hormati kau, tetapi aku, si tuabangka, orang pandang tak berguna. Ada orang ajak aku bckerja untuk dianya, orang bujuki aku bahwa hari depanku penuh pengharapan. Terang orang tak lihat aku karena aku jadi wakil dari suatu kawanan kecil…. Aku hilang muka!”

“Urusan apakah itu, Lauwko?” tanya Boe Wie dengan heran. “Kenapa Lauwko mesti hi lang muka? Kita toh merdeka, kita tidak mcngandal i pangreh-praja?”

“Kau benar, Lauwtee, tetapi or•ang telah bujuki aku, katanya sayang aku jadi wakil saja. Sebaliknya, mereka ingin aku bckerja untuknya, katanya, hari depanku penuh pengharapan…. Teranglah dengan itu orang pandang enteng padaku!”

Boe Wie tidak mengcrti, ia minta keterangan.

“Itulah ketuaku yang lama, yang ajak aku!” kata Ie Tjee Ban kemudian. “Sebaliknya aneh! Ketua itu telah menghilang dua puluh tahun lebih, atau sekarang ia muncul sebagai pahlawan dari Istana Raja Boan. Dia ajak aku bekerja ke In- koan, katanya sebab aku ketahui baik Propinsi Shoatang ini.”

Hatinya Boe Wie bercekat. In-koan ada distrik di mana ada tinggal gurunya: Lioe Kiam Gim. Kho Kee Po masuk dalam wilayah distrik itu. Ia tidak ketahui jelas hati Ie Tjee Ban, dari itu, ia pun tidak tahu hal ketua lama dari sahabat ini. “Untuk apa minta bantuan Lauwko diminta?” ia tanya. “Siapa tahu?” jawab Ie Tjee Ban. “Dia tidak mau

menerangkarmya, dia cuma kata urusan penting. Aku percaya,

itu ada hal untuk bikin or•ang celaka….”

Meski demikian, Ketua Muda Hay Yang Pang ini berikan keterangannya lebih jauh.

“Kau pasti tidak tahu, karena itu mengenai hal dua puluh tahun yang lalu, ketika kau masih kecil,” kata ia. “Itu waktu di daerah Seetjoan Barat, Lo-kee Ngo Houw, atau Lima Saudara Harimau She Lo, ada sangat kesohor. Dan aku ada salah satu kacungnya. Mereka berkepandaian ti nggi tapi aku tidak tahu hal-ihwal mereka, mereka mirip dengan orang Rimba Hijau. Di Seetjoan Barat, mereka tidak bisa tancap kaki, mereka buron ke Utara, tapi di sini, mereka bisa bekerja sama pembesar negeri, kedua pihak tidak saling ganggu, bila mereka peroieh hasil, mereka bagi hasil itu kepada pangreh-praja setempat.

Mereka biasa membegal dan memeras penduduk. Belakangan aku dengar di Djie-tjoe, Shoasay, mereka kena dilabrak satu nona, malah Lo Sam Houw, hilang jiwanya. Kejadian mi membuat rombongan mereka buyar, maka kemudian, aku masuk dalam Hay Yang Pang. Karena hilang satu saudaranya, Lo-kee Ngo Houw berubah jadi Lo-kee Soe-houw -Empat Harimau She Lo. Mereka menghilang, sampai tahu tahu, sekarang mereka jadi pahlawan Raja Boan. Sebenarnya aku jemu bercampur pula sama mereka, apa mau, mereka telah datang can aku, mereka hen dak gunakan aku scbagai pcrkakas. Coba tidak bukan pada kau, Lauwtee, sungguh aku tak sudi merijeiaskan ini….”

Tapi keterangan itu pun sudah cukup untuk Boe Wie. la malah ketahui lebih banyak tentang permusuhan antara Keluarga Lo dan Keiuaiga Lioe Kiam Gim dan In Giok bersama Lauw Tian Peng adalah hajar Lima Harimau Keluarga Lo itu. Kebinasaan Sam Houw di tangan In Giok menyebabkan orang katakan si nona ada nona gagah yaag ajaib! Pun, waktu hendak mulai pergi merantau, Kiam Gim pesan muridnya ini sekalian dengar-dengar perihal pcrsaudaraan Lo itu, maka kebetuIan sekali, sekarang ia dengar kabar penting itu.

“Ini tahun ada tahun luar biasa untuk aku!” kata Ie Tjee Ban, sesudah ia tenggak beberapa cawan pula. “Sudah aku ketemui ketua lamaku,. juga ketuaku sendiri telah dapat maiu dari seorang tua yang tidak dikenal, sesudah mana orang datarg untuk bersahabat sama dia.”

uPantas kemarin ini Toa-totjoe pergi dan terus tidak kembali,” Boe Wie kata.

“Ya, itulah sebabnya,” Ie Tjee Ban bilang. uIa mau pergi ke pusat kita di Lek-shia, akan can tahu tentang or•ang tua itu.

Lauwtee tentu belum tahu duduknya hai, nanti aku tuturkan. Toa-totjoe telah terima laporan ada beberapa orang asing, yang rornannya mencurigai, lagu-suaranya beda satu dari lain, dandanannyajuga berlainan. Mereka tidak bawa barang berharga tetapi sembunyikan senjata. Mereka tidak memasuki Kota Pou-tay untuk mondok, hanya pergi ambil tempat di kuil rusak beberapa lie di luar kota. Atas itu, Toa-totjoe larang orang banyak omong, ia sendiri ajak dua kawan, untuk pergi bikin penyel jdjkan secara diam-diam ke kuil itu. Kebetulan dari Lek-shia ada datang dua saudara kita, yang ilmu silatnya boleh diandali. Siapa tahu, sesampainya di kuil, mereka kena dipermainkan. Mereka bcrtiga memang tak dapat dibandingkan dengan kau, Lauwtee, tetapi mereka boleh diandalkan, tapi mereka toh kecele. Malam itu tidak ada cahaya rembulan. Mereka sampai kira-kira jam tiga lewat. Dari atas genteng di mana mereka mendekam, mereka dengar suara menggeros keras. Dengan gelantungi tubuh di payon, Toa-totjoe mengintip ke dalam. Kuil ada gelap, ia tidak lihat suatu apa. Tiba-tiba ia rasakan sebelah kakinya, yang dicanteldi payon, ada yang tank, maka segera-ia putar tubuhnya, akan naik pula ke genteng. Antara berkesiurnya angin dengar suara anjing dari kejauhan. Tidak jauh daripadanya, dua kawannya lagi memandang ke sekelilingnya. IaJantas tanya dua kawan itu, mereka Jiflm apa dan kenapa mereka tarik kakinya. Ditanya begitu, kedua kawan itu mengawasi, mereka kelihatannya heran dan duka. Mereka tidak tarik kakinya Toa-totjoe, malah mereka sendiri mcrasa scperti ada kebut dengan pelahan. Bertiga, rnerekajadi melengak. Justeru itu, dari samping, mereka dengar satu suara dalam dari seorang tua: “Aku di sini, kau orang nyata tak dapat lihat padaku! Buat apa kau orang keheranan tak keruan?” Mereka terperanjat, mereka menoleh dengan segera. Mereka lihat seorang tua berdiri di dekat mereka! Orang tua ini lantas tertawa, ia kata pula: “Bukanlah gampang bahwa Tuan yang terhormat datang dari tempat yang jauh, silakan kita turun ke pekarangan kosong di bawah sana untuk main- main! Kenapa eh -kenapa kau orang bersangsi? Apa kau orang takut? Apa kau orang jerih melihat banyak kawanku? Tidak, asal aku suruh seorang saja bantui aku, aku berlaku tak pantas pada kau orang, sahabat-sahabatku!”

Bercerita sampai di situ, Ie Tjee Ban berhenti sebentar, ia hirup pula araknya.

“Atas tantangan itu, Toa-totjoe jadi gusar dan terpaksa menerimanya,” kemudian ia melanjutkan. “Mereka turun ke tanah dan lantas bertempur. Belum ada sepuiuh jurus, Toa- totjoe sudah dibikm sibuk dan mandi keringat oleh pedangnya orang itu yang sambar sana dan sambar sini, ke bagian anggota-anggota yang berbahaya, tapi toh tidak pemah ujung pedang mengenai sasarannya. Di sebelah itu, sambil bertempur, orang tua itu saban-saban ngoceh, menganjurkan kedua kawan Toa-totjoe maju akan bantu Toa-totjoe mengepung padanya. Tentu saja kedua kawan itu jadi gusar, hingga mereka tak takut nanti ditertawai or•ang, mereka maju, akan mengerubuti. Mereka bertiga, tapi akhirnya, mereka sendiri yang kena dibikin repot, sampai sukar untuk mereka meloloskan diri. Sementara itu, rombongannya si orang tua muncul semua, mereka berdiri menonton, mereka pada tertawa, tidak ada satu yang bantui orang tua itu. Untuk setengah jam, Toa-totjoe bertiga di buat pcrmai nan, selagi mereka sangat malu, jengkel dan mendongkol, tiba-tiba si orang tua menghentikan pertandingan dan mengajak ikat persahabatan. Dia mengaku dari Heng Ie Pay, bahwa dia kebetulan lewat di Pou-tay, sama sekali mereka tidak bcrniat kurang baik. Orang tua itu tanya kedudukannya Toa-totjoe di dalam Hay Yang Pang, habis itu dia nyatakan, sama-sama orang Kang-ouw, ia harap kedua pihak suka saling bantu.

Secara begini, Toa-torjoe terlolos dari bahaya, ia menghaturkan maaf, kemudian ia ajak dua kawannya pulang. Ketika ditanya she dan namanya, orang tua itu menampik, ia hanya bilang, bila ada ketikanya, ia akan.datang mengunjungi. Orang tua itu ngaku dari Heng Ie Pay, ia benar perlihatkan bebcrapa jurus pukulan kaum itu, tetapi dua sahabatnya Toa- totjoe bilang, permainannya tidak terlalu lancar, sebab kalau didcsak, dia itu keluarkan ilmu silat Siong Yang Pay. Entah apa sebabnya itu—?

Mendengar itu, Boe Wie agaknya terperanjat

“Oh!” ia berseru dengan tiba-tiba. “Bukankah orang tua itu jangkung-kurus dan pedangnya ada Tjit-seng-kiam yang panjang?” ia tanya.

Ie Tjee Ban letakkan cangkir araknya, ia terkejut

“Benar! Eh, bagaimana Lauwtee kenal dia?” dia pun tanya. “Selama beberapa tahun merantau, aku pernah dengar

orang omong tentang orang tua itu,” sahut Boe Wie. “Dia itu

katanya teiah peroleh kesempumaannya ilmu pedang Tat-mo- kiam dari Siong Yang Pay serta telah berhasil mcncuri pclajari beberapa jurus ilmu pedang Boe-kek-kiam dari Heng Ie Pay, kalau iasedang bertempur, selamanya ia gunai dulu ilmu pedang curiannya itu. Orang yang Lauwko sebutkan itu mirip dengan orang tua tersebut, dari itu aku menanyakannya. Aku cuma pernah dengar namanya belum pemah aku ketemu padanya.” Otaknya Ie Tjee Ban sudah

terpcngaruh arak, ia tidak menanyakan lebih jauh, maka itu, sctclah bicara pula scbcntaran, untuk kasih sclamat jalan pada Boe Wie, mereka masuk tidur. Tapi malam itu Boe Wie tidak bisa tidur pulas, ia melek mata tcrus sampai terang tanah. Selama itu, ia sudah susun rapi keterangannya Ie Tjee Ban.

Lo-kce Soe Houw hendak bckcrj a di In-koan, tidak salah lagi, mereka itu tcntu hendak menuntut balas terhadap Keluarga Lioe. Si orang tua gagah itu muncuk berbarcngan, dia pun hendak ajak orang bekerja, mestinya dia ada punya hubungan sama Lo-kee Soe Houw. Ia pun percaya, orang tua itu mesti ada si orang tua yang dulu di rumahnya Soh Sian Ie sudah pancing soesioknya Teng Kiam Beng, karena mana, Teng Kiam Beng jadi bercidera dengan Tjiong Hay Peng, ahli waris atau Ketua dari Heng Ie Pay. Distrik Pou-tay ini memang ada jalan terusan ke In-koan.

“Soehoe telah pergi ke Utara, dengan begitu, Soenio mesti berada sendirian di rumah,” pilar ia terlebih jauh. “Soenio ada wariskan kepandaian golok Ngo-houw Toan-boen-too dari Ban Seng Boen, akan tetapi ia berscndirian saja, mana ia sanggup layani banyak musuh jahat?”

Sampai itu waktu, Boe Wie tidak pikir bahwa Yo Tjin Kong masih berguru dan Bong Tiap sudah tambah usianya, di scbelah siapa pun tambah Ham Eng. Maka itu ia jadi tambah joiatir, hingga ia rebah gulak-gulik saja, ia tak dapat tidur, hingga iamenyesal tidak bisa segera sampai di Kho Kee Po.

Demikiari sebabnya, ia membatalkan dulu perj alanannya ke Djiat-hoo, Law Boe Wie sudah segera menuju ke In-koan di mana ia sampai di Muara Kho Kee Po, di saat ia dapat tolong Bong Tiap dan Ham Eng dari gangguannya musuh-musuhnya Keluarga Lioe, sampai itu malam ia telah tolongi juga soenionya, dengan ia berhasil menawan Bong Eng Tjin si orang tua yang licin. Sayang, karena liciknya musuh, rumahnya Lioe Kauwsoe telah habis dimakan api dan Lioe Toanio, saking lelah, mendongkol dan karena 1ukanya di dalam, akhimya turut rubuh juga.

“Biar bagaimana aku toh datang sedikit teriambat, kata Boe Wie di akhir penuturannya sambil mcnghcla napas. “Aku tidak sempat kisiki Soemoay untuk bersiap hingga Soenio mesti bercapek-lelah. Aku percaya, setelah beristirahat Soenio akan dapatkan kesegarannya pula, dari itu, tak usah Soemoay kuatir,” ia menghibur.

Bong Tiap sudah mengerti keadaan, maka itu sambil memberi hormat, ia haturkan terima kasih mewakilkan ayah dan ibunya.

“Beruntung kau datang, Soeheng,” katanya. “Bila tak ada kau, entah bagaimana jadinya dengan kita semua….”

Boe Wie sibuk karena soemoay itu paykoei terhadapnya, sedang untuk mencegah, dengan cekal tangannya si nona, ia likat la tak dapat empo dan pondong si soemoay seperti dulu- dulu.’

“Soemoay, Soemoay…” katanya “Ini ada urusan kecil, kita ada di antara orang sendiri, jangan kau pakai adat- peradatan….”

Lantas Boe Wie ingat pengalamannyadi waktu masih kecil, ketika ia berkumpul sama guru dan soenio serta soemoay dan soeteenya. sama-sama berlatih silat, sampai belasan tahun ia merantau.

‘Tahun dan bu Ian mengejar-ngejar manusia, sekarang aku telah tambah usia!” katanya pula. Ia menghela napas. Tapi ia toh baharu berumur tiga puluh tahun. dan sedang gagahnya. Rupanya ia terpengaruh pengalamannya dan sekarang Hiat soemoay itu sudah jadi gadis remaja! “Soeheng, kau keliru Tjin Kong kata. “Kau belum tua, hanya kepandaiamu yang bertambah! Romanmu menghunjukkan kemudaanmu, begitupun caranya kau gunai pedangmu barusan!” Dan soetee ini tertawa. Boe Wie turut tertawa. Sementara itu orang telah sampai di rumahnya Hie Hong, di mana Lioe Toanio dipernahkan.

Lioe Toanio masih tetap belum sadar, maka Boe Wie minta Bong Tiap unut pula padanya, sedang Tjin Kong cekok ia dengan obat yang dicampun arak.

Tiga atau empat jam kemudian, tiba-tiba Lioe Toanio ingat akan dirinya.

“Tiap-djie, Tiap-djie!” ialah kata-katanya yang pertama keluar dan” mulutnya. Ketika ia geraki tubuhnya, nyata ia tidak bisa bangun. Maka ia cuma bisa pentang kedua matanya, akan awasi semua orang di sekitamya. Matanya bercahaya, rupanya, ia segera ingat pertempuran tadi.

“Bagaimana, Ibu?” Bong Tiap tanya.

Lioe Toanio coba geraki tubuhnya, ia merasakan lemas, hingga ia jadi kaget sendirinya, sampai ia keluarkan keringat dingin, hatinya mencelos. Ia pentang pula matanya.

“Kau orang semua mundur dulu, kecuaii Tiap-djie, aku hendak bicara sama ia,” katanya. suaranya dalam.

“Coba buka bajuku,” kata Lioe Toanio pada gadisnya, sesudah mcreka berada berdua saja.

Bong Tiap menurut, tapi lantas saja ia terkejut ketika ia lihat sebuah titik hitam di bawah tete kin dari ibunya. hu ada tanda darah man pada jajandarah “Djie-khie-hiat”. Itu ada bagian anggota yang kena serangannya tumbak dari LoToa Houw.

Lioe Toanio lamas kasih jalan napasnya akan kumpul semangamya, akan tetapi ia tak berhasil menyingkirkan tanda matang biru itu.

Ia insyaf artinya itu, karcna ia ada satu ahli silat, dari itu, mukanya lantas jadi pucat. “Ludeslah sekarang kepandaian silatku,” kata ia sambil bersenyum pada anak daranya. “Umpama kata aku bisa diobati scmbuh, aku tetap bercacat, aku tak lagi bisa bersilat. Totokan dari Lo Toa Houw ada iiehay sekali, dia telah gempur rusak khiekangku. Kalau aku ditolong pada waktu baharu saja terluka, dengan diunit saja, akibatnya tidak sehebat ini. Aku telah bcrkelahi melewati batas, cara bagaimana tubuhku tidak jadi lemah? Ah, Anak, sayang kepandaianku dari beberapa puluh tahun….”

Bong Tiap berduka bukan main, tetapi meski demikian, ia terhibur juga, karena jiwa ibunya masih tertolong.

“Anak, pergi kau ambil golokku Ngo-houw Toan-boen-too,” kemudian sang ibu surah anaknya.

Bong Tiap kaget.

“Ibu, buat apakah itu?” tanya ia. Lioe Toanio tertawa meringis.

“Anak toloH” katanya. “Mustahil aku hendak berlaku nekat! Aku tidak tega meninggalkan kau! Pergi ambil golokku hu, aku hendak lihat satu kali lagi. Kau kembaii bersama mereka semua.”

Bong Tiap menurut, ia lekas undurkan diri, ketika ia batik bersama Ngo-houw Toan-boen-too, Boe Wie bertiga ikuti dia, tetapi ketiga murid ini semua hunjuk roman duka, karena mereka sudah dapat tahu, jago betina itu tidak lagi menjadi jago betina. Mereka semua berdiam mengawasi soebo mereka.

Sinar matanya Lioe Toanio bersinar ketika iasuruh gadisnya bawa golok kepadanya.

Itu adalah senjata yang untuk banyak tahun tidak pemah berpisah darinya. Dan Bong Tiap agak bergemetaran ketika ia serahkan golok itu pada ibunya. Lioe Toanio berniat bangun, tetapi ia tak dapat geraki tubuhnya, maka itu, ia cuma ulur tangan kanannya. Ia minta gadisnya bantu ia. Ia raba goloknya, ia sentil itu, hingga sang senjata terbitkan suara nyaring.

“Bagus, bagusl” katanya, tetapi napasnya mengorong. Golok itu tajam dan mcngkilap. Lioe Toanio gapekan Hie

Hong, supaya keponakan itu datang dekat padanya.

“Golokku ini telah temani aku berberapa puluh tahun lamanya,” berkata ia, “dipadu dengan KiamGim, dia adalah kawanku yang terlebih tua jangan kau orang tidak pandang mata pada golokku ini, ada sejumlah orang gagah dari kalangan Kang-ouw yang telah tunduk di bawahnya. Umpama Lo Djie Houw, lengannya adalah aku yang bikin locot! Adalah engkongnya Tiap-djie yang berikan golok itu kepadaku, ia bikinnya ketika aku berumur satu tahun lantas setiap

tahundilebur dan dilebur lagi, saban-saban ditambah beratnya, setelah aku masufcumur sepuhih tahun, baharu aku diizinkan menggunakannya. Golok ini bukannya mustika, tapi tajamnya bukan main, apabila dipakai melukai orang, darahnya tidak menjadi karatan. Dan sekarang aku tak dapat pakai lebih jauh golok ini….”

Lioe Toanio berhen ti bicara untuk bernapas.

“Sebenamya aku niat wariskan golok ini pada Tiap-djie,” ia menyambungi kemudian, “tetapi Tiap-djie sudah punyakan pedang tajam buatan ayahnya sendiri, sedang Boe Wie sudah punyakan senjatanya juga, sedang Kaum Thay-kek biasa wariskan pedang saja, maka golokku ini, sekarang aku serahkan pada Hie Hong saja. Dia ada turunan Ban Seng Boen. dan Ngo-houw Toan-boen-too adalah goloknya Kaum Ban Seng Boen sendiri. Golok ini aku tidak dapat bawa ke lobang kubur, dengan aku berikan pada Hie Hong, aku bisa balas budinya, tadi malam dia sudah bantui kita— Hie Hong, man!” Hie Hong girang berbarcog berduka, dengan menjura, ia samburi golok dari bibinya itu.

“Tidak nanti aku sia-siakan pengharapan kau. Loodjinkee katanya dengan janjinya. “Aku akan simpan baik-baik golok ini”

“Bagus, Anak,”kata Lioe Toann?. yang napasnya memburu. “Coba kau sentil sekali lagi, kasih aku dengar! -Nah, sudah, kau simpanlah!” Semua orang menjadi sangat terharu.

“Dasar Soenio mcnyayangi keponakan sendiri pikir Yo Tjin Kong, murid kcdua dari Lioe Kiam

Gim. la mcrasa tidak enak scndirinya Tadi malam, ia juga tclah adu jiwanya

tapi sekarang soenio ini tidak sebut-sebut dia. Ia rada jelus, ia harapkan golok itu, hingga untuk sesaat, ia lupa Toan-boen- too ada goloknya Kaum Ban Seng Boen, yang tak dapat

diberikan pada orang dari lain kaum.

Benar Lioe Toanio ada guru perempuannya tapi ia sendiri ada muridnya Lioe Kiam Gim dari Thay Kek Pay, seharusnya ia bersenjatakan pedang.

Setelah bcrdiam sekian lama. Lioe Toanio menghela napas pula.

“Beginilah penghidupan,” katanya. “Sejak hari ini, untuk selama-lamanya aku akan pisahkan diri dari Rimba Persilatan. Sekarang kau orang insyaf bagaimana liehaynya geiombang dan badai dalam kalangan Sungai-Telaga. maka selanjutnya. kau orang harus lebih waspada dan berhati-hati. Sayang sekali aku tidak tahu dengan kepergiannya ini, entah bagaimana dengan Kiam Gim…. Tak bisa aku tak pikirkan dia….”

Air matanya nyonya ini meleleh keluar, ia batuk-batuk dua kali, setelah diam sesaat ia berkata pula: “Bicara halnya Kiam Gim pergi ke Utara ini. aku jadi ingat halnya soesiok kau dahutu telah jadi korban dua musuhnya yang memakai topeng. Boe Wie bilang, satu dari dua musuh itu adalah si orang tua yang semalam bersenjatakan pedang panjang, maka setelah dia kena ditangkap, pergi kau orang dengar pengakuannya! Pergilah kau orang, kecuali Tiap-djie, yang mesti temani aku.”

Nyonya itu rapati matanya, tapi mulutnya tertawa meringis….

Lioe Toanio Lauw In Giok ceburkan diri dalam dunia Kang- ouw sejak umur enam belas tahun, sampai umur dua puluh dua, baharu ia menikah sama Lioe Kiam Gim, setelah mana, ia tinggal menyendiri di Kho Kee Po. Selama enam tahun, dengan goloknya Ngo-houw Toan-boen-too, ia telah ketemui banyak orang gagah. Kalau ia undurkan diri karena pernikahannya, tidak demikian dengan suaminya. Kiam Gim mundur bcrduka karena sikap soeteenya. Tapi sekarang si nyonya mesti mundur betul-betul, karena lukanya yang hebat itu, maka itu, ia ada masygul dan menyesal bukan main.

Boe Wie berempat undurkan diri dengan masing-masing sangat bersusah had, mereka pergi tengok orang tawanan mereka.

Sejak tadi malam kena ditotok jalan darahnya “Oen-hian- hiat”, untuk lima jam, Bong Eng Tjin mesti rebah bagaikan mayat saja. Kalau dia diantap terus enam jam, dia bakal

sadar sendirinya, tapi kalau dia ditolongi, dia bisa mendusindi segala saat. Sekarang, lima jam telah berlalu, maka itu, dengan sendirinya, ia sadar dengan layap-layap. ia tahu ia berada dalam tangan musuh tetapi ia ada berkepala batu, atas pertanyaannya Boe Wie, ia tidak mau omong terus terang, percuma orang bujuk dia.

Akhir-akhirnya Boe Wie bersenyum ewah. “Apakah kau tetap menyangka aku tidak tahu hal-

ihwalmu?” kata muridnya jago tua dari Thay Kek Pay kemudian. “Kau adalah murid murtad dari Siong Yang Pay! Kau ada anjingnya bangsa Boan! Kau adalah manusia cabul dari kaum Kang-ouw! Dahulu soesiokku mengasih ampun kepada kau, sekarang aku tidak!”

Dicaci secara demikian, Bong Eng Tjin menjadi gusar. “Ya, aku ada orang Siong Yang Pay! Habis kau mau apa?”

ia berseru. “Ha, bocah, matamu picak! Cara bagaimana kau berani bilang aku ada manusia cabul dari kaum Kang-ouw? Dengan kepandaianmu, kau kalahkan aku, aku tidak akan bilang suatu apa, tetapi janganlah kaungaco-belo! Kau bilang dahulu soesiokmu kasih ampun padaku? Hm! Jangan membabi-buta! Pergilah kau tanya dia, siapa yang ketika itu dikasih ampun!”

Lantas Eng Tjin tutup pula mulutnya, ditanya bagaimanapun juga, ia bungkam. Akan tetapi dengan begitupun sudah cukup untuk Law Boe Wie mendapat kepastian, benarlah mi orang yang telah permamkan soesioknya, maka diam-dtam ia kedipi mata pada tiga kawannya, untuk mereka undurkan diri, kemudian ia tutup pjntu. Lalu, dengan sekonyong-konyong, ia dekati orang tua itu.

“Kau ada satu laki-laki maka coba kau bilang, kau punya perhubungan apa dengan Keluarga Soh dari Poo-teng?” ia tanya.

“Apa itu Keluarga Soh dari Poo-teng? Aku tidak tahu!” sahut Bong Eng Tjin sambil ia mendelik.

“Ha, kau tidak kenal Keluarga Soh dari Poo-teng?” BoeWie tertawa. “Aku lihat rupanya kau tetap tidak kenal walaupun jiwamu secara kecewa akan dipakai menebus dosanya!

Apakah kau ketahui, kenapa Ouw Toakomu tidak datang? Apa benar kau tidak tahu, bahwa kaulah yang disuruh jual jiwamu?”

Mendengar demikian, Bong Eng Tjin melengak. “Eh, apa kau bilang?” ia tanya. “Apa yang aku bilang adalah apa yang aku bilang!” jawab Boe Wie dengan tertawa sindirnya. “Di kalangan Kang-ouw, siapa berkorban untuk sahabatnya, pengorbanan itu ada harganya, akan tetapi lain dengan kau-kau bakal terbinasadengan tidak keruan juntrungannya! Kau barangkali tidak menyayangi jiwamu. tidak demikian dengan aku – aku sebaliknyaberkasihan…”

Sambil berkata demikian, diam-diam Boe Wie lirik air muka orang.

Tampangnya Bong Eng Tjin mcnjadi sebentar merah dan scbcntar pucat, terang ia terperanjat dan hcran. Mcnampak demikian, sambil terus tertawa menyindir, Boe Wie tambahkan: “Baik aku omong terus terang kepadamu! Kau mestrnya ketahui baik bahwa soesiokku serta Keluarga Soh, ayah dan anak, ada bersahabat kekai seperti saudara angkat. Dan kau mestinya ketahui baik, orang she Soh itu ada mcmpunyai perhubungan macam apa dcngan pembesar negeri! Orang she Soh itu dan pembesar negeri, yang berkongkol saw dcngan lain, sengaja kirimkan kcmari untuk kau ju-al jiwamu! Bersama itu sejumlah sisa kantong nasi – ialah orang-orang tidak berguna – kau dikirim kemari guna bokong Keluarga Lioe, berbareng dengan itu, soesiokku telah dibentahukan agar ia sampaikan warta kemari untuk kita siap sedia! Ini dia yang dinamakan meminjam goiok untuk mcmbunuh orang. Apakah benar kau tidak mengerti tipu daya teji itu? Inilah kelicmannya Ouw Toakomu! Apa betul-betul kau tidak mengerti? Kau toh ditugaskan juga meniliki lain orang?”

Boe Wie sudah karang satu cerita, tetapi ceritanya ini beralasan. Itulah sebab tadi malam, dari tubuhnya Bong Eng Tjin, ia-tdah dapatkan sepucuk surat rahasia Itu adalah suratnya Soh

Tjie Tjiauw dan Ouw It Gok dengan mana Bong Eng Tjin diperintah bokong Keluarga Lioe berbareng memasang mata kepada satu pahlawan Iain yang mendapat suatu tugas. Boe Wie berpengalaman luas, ia tahu, di an tar a pah 1 a wan-pah I a wan Boan ada kccurigaan atau kcjclusan, bahwa mereka itu saling intip satu dengan lain. Itu ada suatu tipu daya dari si Raja Boan, untuk dia bisa kcndalikan semua pahlawannya.

Dan ini adalah suatu rahasia dari Eng Tjin.

Mukanya Bong Eng Tjin jadi guram, ia percaya betul obrolannya Boe Wie.

“Saudara yang baik, terima kasih untuk keterangan kau ini!” katanya akhirnya. “Baiklah, kau dengar aku! Kau bilang Keluarga Soh dan soesiokmu ada seperti saudara angkat! Oh, Sahabat, itu dugaan yang meleset sangat jauh! Keluarga itu sengaja tempel soesiokmu supaya dengan begitu, soesiokmu jadi renggang perhubungannya sama kaum Kang-otfw.

Soesiokmu niat ajak gurumu, hal itu tidak disetujui sama Keluarga Soh, akan tetapi belakangan, keluarga itu tukar sikap, maka ia lantas menyetujuinya. Keluarga itu tidak takut, asal gurumu hendak lakukan suatu apa, yang tidak baik untuk mereka, dengan lantas gurumu tak akan lolos dari gcnggaman tangan mereka! Kelihatannya, kau dan soesiokmu, telah digunai juga oleh Keluarga Soh, apabila itu benar, aku juga hendak nasihati kepada kau or•ang untuk waspada!”

Dari berjongkok, Boe Wie berlompat bangun setelah mendengar keterangan orang itu. Ia bersenyum ewah.

“Terima kasih untuk keteranganmu! Terima kasih untuk nasihatmu!” katanya, yang kembali dekati jago tua itu, akan dengan tiba-tiba totok tubuh orang dengan jeriji tangannya, atas mana, Bong Eng Tjin segera bergulingan mampet jalan napasnya. Akan tetapi, walaupun demikian, mukanya masih hunjuk senyuman iblis.

Boe Wie telah berikan orang totokan Djie-khie-hiat yang liehay, yang mcminta korban jiwa, sesudah mana, ia panggil saudara-saudaranya, akan urus mayat musuh itu. Segera Boe Wie beritahukan saudara-saudaranya tentang bahaya yang mengancam guru mereka, di sebelah itu, ia berkuatir buat sepak-teigangnya Tok-koh It Hang, guru setengah itu – ia kuatir mereka nanti bergebrak. Kekuatiran lain adalah sang guru nanti kena dijebak oleh Keluarga Soh yang licin dan licik.

“Perlu aku lekas susul Soehoe,” ia menyatakan kemudian. “Aku suka ikut, Soeheng,” kata Bong Tiap, yang kuatirkan ayahnya. Ia juga ingin bantu soeheng itu, agar si soeheng tidak bersendirian. Perihal ibunya, ia sudah dapat kepastian ibu ini telah menjadi cacat, ia jadi tak usah kuatirkan apa-apa lagi. Berbareng dengan itu, dengan perjalanan ini ia jadi bakal dapat pengalaman.

Melihat si nona hendak ikut pergi, Ham Eng juga nyatakan suka turut. Bong Tiap deliki saudara seperguruan itu.

“Buat apa kau turut?” kata dia “Baiklah kau diam di rumah untuk temani Ibu! Bukankah Ibu sangat sayangi kau? Kenapa kau tidak hendak kawani Ibu?”

Ham Eng berdiam tetapi terang ia tidak senang diam di rumah.

Boe Wie pandang dua anak muda itu dengan bergantian, segera ia berkata: “Baik juga kalau Ham Eng turut! Tentang Socnio, kau jangan kuatir, aku bisa atur!” Ia lantas berpaling pada Hie Hong dan kata: “Saudara Lauw, aku serahkan Soenio kepada kau! Bukankah kau pernah bilang bahwa kau hendak pergi ke Shoasay pada pamanmu? Kau boleh sekalian ajak Soenio ke sana.”

Memang pernab Hie Hong menyatakan demikian, karena ia lihat rumah bibinya sudah musnah dan ia kuatir pihak Lo nanti datang untuk menuntut balas, dengan pergi pada Lauw In Eng, adik kandungdari Lioe Toanio, yang sekarangjadi ahfi waris Ban Seng Boen, kekuatirannya bisa diperkurang, karena In Eng ada kenamaan. Hie Hong setujui pikirannya Boe Wie. . “Baik, Saudara Law”, ia nyatakan.

“Dengan andali golok Ngo-houw Toan-boen-too yang Bibi hadiahkan padaku dan dengan periindungan saudara-saudara sekaumdi sepanjang jalan, aku percaya aku bisa mcngantar dengan tidak kurang suatu apa sampai di Shoasay.”

“Aku suka kawani Saudara Lauw pergi antara Soebo!” bcrkata Yo Tjin Kong, yang sadari tadi diam saja. Tapi scbenamya la kuarir Hie Hong tidak sanggup melindungi soenionya itu dan ia ingin sekalian perlihatkan kcpandaian Kaum Thay Kek Pay.

Pcngutaraannya Tjin Kong membuat Bong Tiap bertiga jadi girang, hati mcreka menjadi iega. Dcmikian diputuskan, Hie Hong dan Tjin Kong mengiringi Lioe Toanio beristirahat di Shoasay, sedang Law Boe Wie bersama Bong Tiap dan Ham Eng bcrangkai ke Utara. Dua-dua pihak tidak pcrnah menyangka bahwa hampir-hampir ia orang berpisahan untuk tidak bertemu pula….

V

Ketika hari itu Lioe Kiam Gim bersama keponakan muridnya, Kim Hoa, berangkat ke Utara, mereka tokukan perjalanan cepat sekali. Selang belasan hari, dengan tidak tampak suatu halangan, mereka telah sampai di Poo-teng. Sesudah lewat dua puluh tahun lebih, kelihatan Kota Poo-teng jadi berubah: adajalan-jalan yang lebih

ramai, adajalan-jalan yang jadi lebih sunyi. Ada sahabat- sahabatnya guru silat ini, yang sudah tidak berada Iagi di kota itu.

“Scgala apa telah berubah, kecuali sewenang-wenangnya bangsa Ouw…” kata Lioe Kiam Gim sambi 1 menghela napas, seraya urut-urut kumisnya. Dan ketika ia berhadapan sama Kiam Beng, ia sampai tidak lantas dapat mcngucapkan kata- kata hanya air matanya menetes jatuh.

“Soetee, apa kau ada baik?” dcmikian pcrkatannya yang ringkas sekali ketika kemudian ia bisa juga buka mulutnya. Ia ada sangat terharu.

Teng Kiam Beng ada bcroman sangat kucel, tidak tampak sifat jumawanya, mirip dengan seorang habis sakit, atau seperti ayam jago pecundang. Terang dia likat menemui saudara seperguruannya ini.

“Kau kcnapa, Soetee?” kemudian Kiam Gim tanya pula. “Apakah kau tidak terluka?”

Ditanya demikian, sepasang matanya Kiam Beng bcrsinar dengan tiba-tiba.

“Soeheng,” katanya, “walaupun orang telah rusaki nama Thay Kek Pay, akan tetapi dengan kepandaian yang aku punyakan, tidaklah gampang-gampang untuk orang cclakai aku, hanya sayang, bendera Thay Kek Kie, orang telah cabut!”

Kiam Beng masih bclum insyaf bahwa orang tidak niat lukai dia, bahwa iahendakdigoda saja, diganggu.

Lioe Kiam Gim menghela napas.

“Soetee,” katanya, “bukan aku hendak membangkit- bangkit, tetapi coba dulu dengar perkataanku, tidak nanti sampai terjadi seperti ini.

Dengan bersahabat dengan Keluarga Soh, bukankah kau jadi seperti cari pusing sendiri? Benar kau melindungi upeti akan tetapi aku percaya, orang melainkan tidak puas dan karenanya orang hendak coba-coba padamu!” la tidak mau menyesali terlebih jauh, karena mereka sudah sama-sama berusia lima puluh tahun lebih. Maka ia tambahkan: “Soetee, aku menyesal dahulu kita berpisahan, karena diantara kita terbit perbedaan faham. Sekarang aku datang untuk mencari jalan perdamaian, guna lenyapkan ketegangan.”

Kiam Beng jengah, akan tetapi ia kata: “Soeheng benar, akan tetapi di sebelah itu, aku telah terima budinya pihak Soh. Coba dulu sewaktu terluka senjata rahasia beracun tidak ada dia yang tolong obati aku, pasti sekarang lukaku itu tidak dapat dikcmbalikan. Menjadi manusia, orang mesti bisa bedakan kebaikan dari kejahatan, karena orang telah tolong aku, mana bisa aku tidak balas bantu padanya? Selama dua puluh tahun, pihak Soh tidak pernah berbuat tak selayaknya terhadap aku, hanya siapa tahu, sekarang telah terjadi ini gangguan kepadaku!”

Menampak orang tidak mau akui semua kekeliruannya, Kiam Gim tidak mau mendesak lebih jauh, ia hanya minta adik seperguruanttu tuturkan duduknya kejadian.

Kiam Beng tidak mau menuturkan dengan jelas, ia bilang saja bahwa ia sudah dibegal di tempat tiga puluh lie di luar Kota Hee-poan-shia di Djiat-hoo, bahwa begalnya ada seorang rua yang bicara dengan lidah Liauw-tong, kepandaian siapa “tidak tercela” tetapi tidak diketahui dari golongan mana.

Kiam Gim terima keterangan itu sambil bersenyum. la tahu baik perangainya soetee ini, yang angkuh, yang suka bicara banyak dalam hal kepuasan tetapi tak mau banyak omong dalam hal kegagalan. tetapi karena urusan ini ia anggap penting,ia toh masih menanyakan melit tentang kepandaiannya si orang tua, bagaimana gerak-gerakannya.

Apabilasang soetee telah jelaskan. pihak lawan hanya menggunai tangan kosong, akhimya soeheng mi berkata: “Itu adalah ilmu silat bahagian dalam dan luar yang telah tergabung menjadi satu, adalah tenaga Siauw-thian-seng atau Bintang Kecil yang dipergunakan untuk singkirkan segala seranganrnu. Kepandaian itu mirip dengan Sha-tjap-lak-tjhioe Kim-na-hoat dari Golongan Eng Djiauw Boen Bicara tentang Kaum Eng Djiauw Boen, di Hoolam ada Tang Kie Eng dan d, Hoo pa kada Hek Eng Ho- Di Liauw-tong, tidak pernah aku dengar ada or-ang yang paham kim-na-hoat. Aku kenal Tang Kie Eng dan Hek Eng Ho, aku pemah berunding dengan mereka, aku tahu benar, kepandaian mereka berimbang sama kepandaian kita, tapi sekarang ada orang yang melebihkan Soetee, dia mesti ada orang luar biasa dari Eng Djiauw Boen. Dia ada satu lawan yang tangguh, Soetee, tetapi walaupun demikian, tidak usah kita jadi gentar.”

Kiam Gim percaya, apabila ia berhadapan sama lawannya Kiam Beng, umpamanya ia tidak bisa peroieh kemenangan, i a toh tidak nanti sampai kena dikaiahkan. Tapi, mendengar pcngutaraannya itu, ia lihat muka saudaranya jadi pucat, ia mengerti, saudara itu malu, maka ia iekas ubah pcmbicaraannya.

“Eh, Soetee, bagaimana dengan Tee-hoe? Berapakah anak- anakmu?” ia tanya.

Ditanya begitu, air mukanya Kiam Beng pulih dengan cepat. “Isteriku telah meninggal dunia sejak beberapa tahun yang

lata,” ia menyahut. “Kita orang terpisah terlalu jauh, hingga aku tidak dapat kesempatan untuk mengabarkan kau, Soeheng.” Tiba-tiba, air mukanya kerabali berubah, agaknya ia sangat berduka “Anakku melainkan satu, ia sekarang telah pergi mencari jaiannya sendiri. Soeheng, ketika kita orang berpisah, anak itu sudah bisa memanggil peh-hoe kepadamu. Selama dua puluh tahun, aku cuma dapati ia seorang, tetapi sekarang, entah dia ada di mana…,”

Kiam Gim heran. “Setelah satu anak menjadi dewasa, kita yang menjadi ayah-bunda tidak ketahui lagi cita-citanya,” ia menyahut. “Di waktu kecilnya, Hiauw ada dengar kata, akan tetapi tambah tinggi usianya, tambah berubah perangainya. Pada suatu hari ia meninggalkan rumah-tangga, ia pergi jauh, tanpa pamitan lagi, ia melainkan meninggalkan sepucuk surat dalam mana ia nyatakan, ia tidak sudi berdiam nganggur di Poo-teng, bahwa ia ingin pergi mencari pengetahuan dan pengalaman. Ia kata ia tak sanggup menungkuli hari-hari yang tawar. Sebenarnya, dalam usia muda, siapa yang tidak ingin terbang merdeka bagaikan burung garuda? Bukankah kita bcrdua, dahulupun ada sangat bersemangat, ingin merantau dan ciptakan nama dalam dunia Sungai-Telaga? Hanya kita orang dapat keluar sesudah dapat perkenan dari guru kita!

Tidak demikian dengan Hiauw, tanpa mengucap sepatah kata, ia angkat kakinya! Dia pergi dalam usia dua puluh satu tahun, aku pun sudah tunangkan dia, kepergiannya itu membikin aku berduka….”

Suaranya Kiam Beng makin lama jadi makin perl ah an, nyata ia terharu scndirinya.

Kiam Gim bisa mengarti kesukarannya soetee ini sebagai satu ayah, maka itu, ia tidak mau omong terlebih banyak tentang anaknya, ia melainkan menghiburi.

Putera dari Teng Kiam Beng ada bernama Teng Hiauw, dia ada lebih tua sepuluh tahun daripada Lioe Bong Tiap, karena ia sudah masuk umur dua puluh enam tahun, Kiam Beng menikah lebih dahulu daripada soehengnya.

Teng Hiauw ada berpendapat lain daripada ayahnya. Selagi ia masih kecil, karena ayahnya “terpisah” dari kaum persilatan lainnya, ia jadi kckurangan kawan, hingga ia jadi kcsepian.

Tapi ia tetap kenal beberapa anak muda, dari siapa ia telah dengar tentang persahabatan ayahnya dengan Soh Sian Ie, ia jadi tidak senang terhadap sikap ayahnya itu. Di lain pihak, ia tidak puas dengan putusan ayahnya, yang sudah tunangkan ia dengan gadisnya satu hartawan sedang ia sebenarnya menaruh hati pada cucu percmpuan dari Kiang Ek Hian dari kalangan Bwee Hoa Koen. Mengenai cita-citanya ini, yang terintang, ia jadi makin tidak puas. Maka akhirnya, karena tak dapat bersabar lebih jauh, ia berlalu tanpa perkenan lagi. Ia tidak membutuhkan pesan atau surat perantaraan dari ayahnya lagi, ia hendak merantau dengan andali diri sendiri. Demikianlah, mengetahui kesukaran hati sang soetee, Kiam Gim kemudian bicarakan soal kedatangannya ini ke Utara.

“Soetee,” tanyanya, “sama sekali ada berapa orang kawannya begal itu?

Sesudah berhasil dengan perampasannya, karena mereka ada bawa banyak barang, mereka pasti tidak terlalu leluasa dengan kepergiannya, maka itu, apa Soetee tidak dapat cari tahu tentang mereka?”

Ditanya begitu, Kiam Beng kerutkan sepasang alisnya. “Aku menyangka padaTjiong Hay Peng dari Heng Ie Pay!”

iamenjawab. “Aku duga, mereka adalah orang-orang jahat yang dianjur-anjurkan oleh Tjiong Hay Peng! Bukankah Soeheng ketahui, Hay Peng tidak senang terhadap aku? Itu hari, dia sendiri tidak muncul. Si orang tua beriidah Liauw-tong itu cuma berkawan kira-kira sepuluh orang, akan tetapi mereka semua bukannya orang-orang sembarangan, sebagaimana dua guru silat dan dua muridku, yang turut aku, semua kena mereka bikin tidak berdaya. Jangan bicarakan pula tentang pegawai-pegawai negeri yang turut mengiringi….”

Rupanya Kiam Beng anggap ia sudah angkat terlalu tinggi pada musuhnya, maka bicara sampai di situ, lekas-lekas ia menambahkan, suaranya keras: “Walaupun demikian, aku tidak takut pada mereka! Aku telah kuntit mereka itu! Hanya, apa yang aneh, sesudah mengikuti sampai jauhnya seratus lie lebih dari Kota Hee-poan-shia, dengan tiba-tiba mereka lenyap di tempat yang dipanggil Sha-tjap-Iak Kee-tjoe. Kau barangkali tidak ketahui, Soeheng, rumahnya Tjiong Hay Peng justeru bcrada di Sha-tjap-lak Kee-tjoe itu!” Kiam Gim perdcngarkan suara “Oh!” tetapi ia terus tutup mulut.

Kiam Beng tidak puas melihat sikapnya soeheng mi. “Kau lihat, Soeheng,” ia tanya, “apa yang mcncurigai dalam hal ini?”

“Jadinya kau telah sangka Tjiong Hay Peng,” soeheng itu jawab.

“Sctelah itu, kau pcrnah atau tidak pergi padanya, untuk menanyakan?”

“Kenapa tidak, Soeheng?” sang soetee jawab. “Aku telah kunjungi padanya, tetapi ia tidak sudi menemui aku, ia kata, seumur hidupnya, ia tidak suka berteman sama pegawai negeri!”

Sepasang alisnya Kiam Gim bergerak apabila ia telah dengar keterangan itu.

“Habis, ada atau tidak kau pcrnah ben tahukan pembesar negeri tcntang sangkaan kau itu?” ia tanya.

Air mukanya Kiam Beng berubah pula untuk kesekian kalinya.

“Ah, Soeheng, mengapa kau pun lihat begini macam padaku?” tanyanya. “Biarpun aku bodoh. aku bukannya satu siauwdjin! Umpama kata benar pembegalan itu telah dilakukan oleh Tjiong Hay Peng, aku punya pedang dan piauw untuk memaksa minta pulang barang-barang upeti itu! Atau sedikitnya aku undang sahabat-sahabat dari Rimba Persilatan guna memutuskan siapa yang bersalah, siapa yang benar. Di dalam halnya kita kaum Rimba Persilatan, bukankah kita punya tata kehormatan sendiri? Maka itu, tidak I ah perlu digunainya pengaruh pembesar negeri!”

“Kau keiiru, Soetee,” Kiam Gim kata dengan cepat. “Sama sekali aku tidak pandang rendah padamu. Aku cuma tanya padamu. Aku justeru kuatirkan pembesar negeri campur tahu urusan ini karena yang tersangkut adalah barang-barang upeti. Kau benar, Soetee, dalam urusan kita kaum Rimba Persilatan, pembesar negeri tidak perlu campur tahu.” Hatinya Lioe Loo-kauwsoe menjadi lega sekali, scdang tadinya ia kuatir, karena kesesatan di satu waktu, soetee itu nanti seret tangannya pangreh praja. Sekarang temyata, soetee itu masih punyakan kehormatannya, dia cuma dipengaruhi oleh keangkuhannya.

Lantas soeheng ini berpikir, ia angkat tangannya kejidatnya.

“Soetee,” katanya kemudian, “kau telah curigai Tjiong Hay Peng, terutama karena kejadian ada di tempat yang termasuk kalangan pengaruhnya, karena itu – sangkaan kita benar atau tidak – dia harus dikunjungi. Siapa tahu, di sana kita justeru akan peroleh keterangan. Sekarang begini saja. Besok mari kita pergi ke Djiat-hoo, dengan andali mukaku, aku percaya dia tidak akan tidak terima padaku.”

Kiam Gim urut-urut kumisnya, ia menambahkan dengan cepat:

“Soetee,” demikian katanya, “kau antar upeti, kau bakal lewat di kalangan pengaruhnya Tjiong Hay Peng, seharusnya, sebelumnya itu, kau mesti kirim salah satu muridmu pergi membawa karcis nama padanya. Dengan jalan ini, kita sudah tidak berlaku tidak hormat. Kau sebaliknya kunjungi dia sesudahnya kejadian, bisa mengerti yang dia merasa kurang puas. Soetee tentu lebih mengerti daripada aku, siapa merantau, dia paling dulu mesti utamakan tata kehormatan, siapa melulu andali boegee, itulah keliru.”

Kiam Beng jengah, tetapi ia toh menyahut:

“Meskipun demikian,” katanya, “pada mulanya aku tidak berniat berlaku demikian….”

Begitulah dipastikan, besok soeheng dan soetee itu bakal pergi ke Djiat-hoo.

Pada itu malam, ada datang orangnya Keluarga Soh, yang menanyakan, perlu atau tidak pihak Soh kirim orang untuk pergi bersama. Entah bagaimana caranya, Keluarga Soh itu sudah lantas saja ketahui niat keberangkatannya orang itu. Di sebelah itu, wakil itu pun undang Lioe Kiam Gim untuk satu perjamuan.

Kiam Gim dengan lantas wakilkan soeteenya tampik itu tawaran bantuan dan undangan juga. Tapi ia bicara dengan manis serta jelaskan, dalam urusan di kalangannya Kang-ouw, kepergiannya banyak orang adalah tidak perlu. Ia mengucap terima kasih atas undangan itu.

Bantuan pihak Soh ditolak, tetapi dua guru silat, yang dulu tunrt Kiam Beng dan mendapat luka juga, mendesak mohon diajak. Sebelumnya menerima baik, Kiam Gim cari tahu dulu tentang mereka itu, yang kemudian ternyata ada Lie Kee Tjoen mnridnya Tjiang Han Tek dari Kaum Ngo Heng Koen dan Hoo Been Yauw muridnya Tjian Djie Sianseng dari Kaum Ouw Tiap Tjiang, dua-dua ada dari pihak golongan kenamaan. Juga murid kedua dan murid ketiga dari Kiam Beng, diajak bersama, sedang Kim Hoa, si murid kepala, ditinggai untuk jaga rumah.

Demikian di hari kedua, rombongannya Kiam Gim ini berangkat, Hawa udara di Djiat-hoo beda dengan iklim di Kanglam. Orang keluar dari Selat Hie Hong Kauw, jalan di sepanjang Sungai Loan Hoo, melewati Lo-sie-boen, dari situ menuju ke Hee-poan-shia. Ketika itu ada di bulan ketigadari musim Tjoen. Di waktu demikian di Kanglam, pohon dan bunga sedang segarnya, burung-burung gembira beterbangan, akan tetapi di Kwan-gwa ini, angin dingin sedang membadai, hujan dari salju sedang turunnya, atau kadang-kadang angin keras diseling dengan terbang berhamburannya batu halus atau pasir. Meski juga hawa udara ada demikian buruk, rombongannya Kiam Gim lakukan perjalanan dengan tetap bersemangat.

Sesudah melalui perjalanan sepuluh hari iebih, rombongannya Kiam Beng sampai di Hee-poan-shia pada waktu Icwat tengah hari. Coba udara ada terang, dengan iarikan kuda mereka, di maghrib itu, mereka bakal sampai di Sha-tjap-lak Kee-tjoe, ditempat kediamannya Tjiong Hay Peng, akan tetapi mereka tidak berbuat

demikian. Dan mereka juga tidak singgah di dalam kota. Mereka hanya jalan terus. dengan perlahan-lahan,sampai di luar kota, di tempat pembegaJan. Di sini baharulah mereka berhenti, untuk Lioe Kiam Gim perhatikan letaknya tempat itu.

Itu adalah suatu tanah pegunungan, cabang dari Gunang Yan San, yang banyak pengkolannya, sedang di sampingnya ada aliran Sungai Loan Hoo. Tempat itu merupakan satu selat mirip dengan piring. Di sini, hawa udara agak hangat, salju telah pada lumer. Di kedua tepi ada rimba dengan pepohonan dan rumput, yang daun-daunnya, atau cabangnya, memain dengan sampokan angin, daun dan pasimya pada rontok dan jatuh ke tanah.

Di atas kudanya, Kiam Gim memandang ke empat penjuru, sedang Kiam Beng, mengawasi jauh ke depan, air mukanya menjadi merah dan padam bergantian, suatu tanda ia malu dan mendongkol dengan berbareng, karcna teringatlah ia pada saat pembegalan.

Sesudah lewat sckian lama, tiba-tiba Kiam Gim tahan kudanya dan sambil menoleh pada adiknya seperguruan, ia berkata: “Soetee, kecurigaan kau beralasan!”

Kiam Beng pun tahan kudanya dengan tiba-tiba, ia mengawasi sambii hunjuk roman heran.

“Kau lihat apakah, Soeheng?” ia tanya.

Kiam Gim lantas gerak-geraki tangannya, akan rnenunjuk- nunjuk. “Lihatlah tempat ini,” sabut dia. “Di Timur, tempat ini menyambung dengan Kota Koan-shia, di Barat dengan Sin- tek, di Sclatan dengan Liong-hin, dan Utara dengan Peng- tjoan. Sin-tek dan Koan-shia adalah kota-kota yang ramai dari Djiat-hoo, maka itu, kawanan begal tak nanti da tang dari arah dua kota itu dan juga tidak akan menyingkir ke arah sana. Kawanan itu Jberlldah Liauw Tong semua, sedang kau orang sendiri datang dari Selatan, dari itu, mereka juga tidak mestinya muncul dari Liong-hin. Jadinya, jalan satu-satunya untuk mereka adalah jalan Utara, yaitu Peng-tjoan. Dan Sha- tjap-lak Kee-tjoe justeru bcrada di antara Peng-tjoan dan Hee- poan-shia. Bukankah kawanan begal benar datang dari sana?” Kiam Beng nampaknya gusar. “Kalau begitu, Soeheng,” katanya, “apakah tidak boleh jadi, perbuatan itu ada perbuatannya Tjiong Hay Peng? Jadinya sangkaanku tidak meleset?”

Kiam Gim berdiam, dia berpikir.

“Biar bagaimana, aku masih belum mau percaya Tjiong Hay Peng bisa berbuat demikian,” ia menjawab kemudian. “Hanya, paling sedikitnya, dia mcsti ketahui baik tentang kawanan begal itu. Orang-orang yang tempur kau bukannya orang- orang Kang-ouw dari tingkat sembarangan. Kalau benar mereka datang dari arah Sha-tjap-lak Kee-tjoe, tidak ada alasan yang dia tidak mendapat tahu. Mari, Soetee, malam ini juga kita orang mesti sampai di Sha-tjap-lak Kee-tjoe!”

‘Di saat rombongan ini hendak cambuk kuda mereka, untuk di larikan, tiba-tiba mereka dengar suara kelenengan yang datangnya dan dalam rimba, suara mana disusul dengan berketoprakannya kaki kuda.

Lie Kee Tjoen bersama Teng Kiam Beng dan murid- muridnya menjadi terperanjat, mereka lantas bcrsiap, untuk loncat turun dari kuda, guna hunus senjata mereka masing- masing. Kiam Gim sebaliknya berlaku tabah, ia mencegah.

“Jangan sembarangan, jangan geraki senjata!” katanya, yang goyangi tangan.

Hampir berbareng dengan perkataan Lioe Loo-kauwsoe ini, gombolan rumput di muka rimba kelihatan tersingkap, dari situ muncul beberapa orang. Kiam Beng semua mengawasi dengan tajam, mereka siap sedia.

Lioe Kiam Gim berlaku tcnang, ia turun dari kudanya, ia lepaskan lesnya, lalu ia bertindak maju, untuk papaki orang- orang itu, sedang yang jalan di muka ada seorang yang tubuhnya kekar. Ia ini maju untuk angkat rapat kedua tangannya, buat memberi hormat, seraya terus menegur: “Apakah di sini ada Lioe Loo-kauwsoe, Lioe Kiam Gim Sianseng?” Suaranya ada terang.

Cuma bersangsi sedetik saja, lalu Lioe Kiam Gim membalas hormat.

“Aku adalah Lioe Kiam Gim yang rendah,” ia menyahut. “Aku numpang tanya, Saudara-saudara ada urusan apa denganku?”

Mendengar jawaban itu, rombongan itu lantas loncat turun dari kuda mereka.

Kiam Gim mundur satu tindak. sikapnya tetap tenang.

Orang itu, dan kawan-kawannya, lantas memberi hormat pula, sambil menjura, menyatakan bahwa mereka hunjuk hormat mereka Mereka sebut dirinya “boan-pwee”, ialah orang-or•ang yang lebih muda tingkatannya.

Kembali Lioe Loo-kauwsoe membalas hormat, dengan tergesa-gesa, seraya menyatakan bahwa ia tidak berani terima kehormatan itu. Selagi ia hendak tanya, siapa adanya mereka dan guru mereka, orang tadi dengan cara sangat menghormat sudah maju akan serahkan sebuah peti kecil yang memuat karcis nama. “Guru-kita, Tjiong Hay Peng, mendengar kabar bahwa Lioe Loo-kauwsoe sudah datang, telah utus kita  hendak menyambut sambil haturkan hormatnya,” demikian pemimpin rombongan itu.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar