Kisah Dua Saudara Seperguruan Jilid 01

 
Pada tiga puluh tahun yang lalu, dengan sebuah kereta keledai, penulis berangkat ke luar daerah perbatasan. Ialah pada bulan kesembilan dari musim ketiga, tanah datar ada belukar, hingga bumi nampaknya nempel dengan langit.

Sesudah melalui beberapa puluh lie, sang maghrib telah mendatangi. Di sekitar kita tidak ada rumah orang. Selagi kita mulai sibuk, tiba-tiba kita dengar tindakan kaki kuda di sebelah belakang. Dua penunggang kuda lagi mendatangi.

Tapi, setelah mendekati kita, suara tindakan jadi kendor. Nyata orang tidak lewati kita. Diam-diam kita kuatirkan orang jahat.

Dari dua penunggang kuda itu, yang kita lihat selagi kita menoleh ke belakang, yang satu berumur empat puluh tahun lebih, yang lainnya, tiga puluh lebih, dua-dua romannya keren, samar-samar kelihatan pedangnya masing-masing. Selagi kita berkuatir, tiba-tiba mereka liwati kita, kudanya dikaburkan, selagi liwat, mereka menoleh. Nampaknya mereka heran tapi mereka kabur terus.

Belasan lie lagi kita sudah pergi, kita tetap tidak melihat rumah orang. Sekarang sang maghrib sudah datang, kita jadi bingung, lebih-lebih setelah melihat dua orang tadi. Di mana kita mesti bermalam?

“Lihat!” tiba-tiba kusir berseru, seraya tangannya menunjuk ke depan.

Sebuah bukit kecil berada di depan kita, di tengah itu, nampak satu kuil tua. Di situ banyak pepohonannya. Kita segera menuju ke sana, dan berhenti di antara pepohonan. Kita mendaki sedikit akan hampirkan kuil itu. Kita mengetok pintu sekian lama, baharu kita dengar jawaban seorang tua: “Pintu tidak dikunci, masuk saja!”

Pekarangan dalam dan pendopo ada sunyi. Beberapa ekor lawa-lawa beterbangan sambil cecowetan. Di tengah pendopo, duduk bersila seorang niekouw, ialah pendeta perempuan yang usianya sudah lanjut. Dia duduk diam bagaikan patung. Selagi menantikan, kita lihat sebuah pohon besar, besarnya kira-kira sepelukan. Yang aneh ialah, di batang pohon itu ada dua buah tapak tangan yang dalam, tapak seperti dikorek. Sekian lama kita menunggu, niekouw itu tetap diam saja, maka dengan hati-hati, kita nanjak di tangga, selagi kita hampirkan bagian belakang orang alim itu, sekonyong- konyong dia menoleh dan kata sambil tertawa: “Tuan-tuan tentulah sudah letih.”

Sedetik saja kita lihat, sepasang mata yang tajam dan bersinar, sebuah muka yang sudah keriputan, akan tetapi, kita percaya di masa mudanya, niekouw itu mesti cantik luar biasa.

“Pinnie masih belum selesai,” kata pula niekouw itu, “silakan Tuan-tuan menantikan sebentar di kamar samping sana.”

Kita masuk ke kamar yang ditunjukkan, kamar itu tak berperabot kecuali sebuah meja dengan beberapa patungnya. Di situ ada sebuah tokpan yang luar biasa dengan setangkai bunganya, yang harum. Di pojok tembok, ada sekumpulan rumput, entah pepohonan apa.

Heran aku pikir, di tempat suci seperti ini, ada sebuah kuil dengan pendetanya perempuan.

Sembari menantikan si pendeta, aku keluarkan sejilid kitab Wei Mo Tjhing, untuk dibaca guna menenteramkan hati.

“Sungguh kau rajin, Tuan!” tiba-tiba aku dengar suaranya  si pendeta selagi aku membaca belum lama. “Apakah kau merasa aneh bahwa di tempat sesunyi ini ada sebuah kuil serta pendetanya? Mari kita pergi ke ruangan sana. Pinnie telah sediakan thee pahit untuk melenyapkan dahaga. Sembari minum, nanti pinnie tuturkan satu dan lain mengenai keadaanku.”

Kita terima baik undangan itu, sambil keringkan dua cawan thee.

Segera juga niekouw tua ini bicara tentang agama Budha serta agama Lhama, yang ada suatu cabang dari Budhisme, hanya Lhamaisme ada kecampuran kebiasaan-kebiasaan setempat yang zaman modern anggap tahayul. Umpama satu pendeta dari Tionggoan, sukar tancap kaki di Tibet apabila dia tidak turut segala kepercayaan kaum Lhama. Atau kalau dia tidak mengerti ilmu “telan golok muntahkan api”, dia mesti punya suatu kepandaian lain yang istimewa, umpama obat- obatan.

“Dan guruku adalah suatu niekouw, murid dari angkatan ketiga dari satu pendeta yang merantau ke Mongolia dan Tibet pada seratus tahun yang lampau. Guru besar itu dapatkan kedudukannya di sini karena ia bisa letaki burung di telapakan tangannya tanpa burung itu mampu terbang pergi. Maka akhirnya, guru besar itu bisa dirikan tiga buah biara, antaranya ini yang sekarang pinnie tempati….”

Selagi pendeta ini berkata demikian, hujan, yang sudah mulai turun sekian lama, menghembuskan angin ke dalam, menyingkap selembar kain penutup patung-patung di atas meja hingga kelihatanlah di situ sebuah patung lelaki yang romannya cakap dan gagah.

Pendeta itu terkejut, matanya bersinar, tapi lekas juga menjadi tenang pula.

“Jangan heran Tuan, itulah gambarnya tunanganku,” katanya kemudian.

Kenapa satu niekouw mempunyai tunangan?

Pendeta itu berikan keterangannya tanpa diminta lagi. “Tunanganku telah terbinasa pada tiga puluh tahun yang

lalu, binasa teraniaya di tangannya satu musuh,” demikian

penjelasannya. “Dia ada satu murid dari Golongan Silat Thay Kek Pay, sejak muda ia telah merantau, tapi kemudian ia binasa di tangannya satu manusia rendah. Oh, tak sanggup aku menutur terlebih jauh. Cukup kalau pinnie terangkan, untuk tunanganku itu, sudah tiga puluh enam tahun lamanya, pinnie lakoni ini macam penghidupan sunyi………” Angin di luar meniup makin keras, hujanpun tambah besar, suaranya terdengar nyata di pohon besar di luar kuil.

Sekonyong-konyong tampangnya si pendeta berubah, agaknya terkejut. Ia lantas ambil beberapa biji tasbih, ia timpukkan itu keluar, ke udara. Mulanya ia menimpuk satu biji, lantas nyusul yang kedua. Ini yang belakangan kebentrok sama yang pertama, yang lagi jatuh turun. Keduanya lantas perdengarkan satu suara nyaring. Enam biji dia timpukkan, tiga kali terdengar suara beradu itu.

Cuaca gelap, tapi semua tasbih bisa beradu satu dengan lain, itu menunjukkan ilmu kepandaiannya niekouw ini.

“Tasbih pinnie ini, dahulu di kalangan Kang-ouw, ada juga namanya yang kecil,” kemudian si niekouw bersenyum. “Ini dia yang dinamai piauw Bouw-nie-tjoe. Orang yang datang malam ini, sahabat atau lawan, mestinya kenal baik piauw pinnie ini!………”

Sebelum ucapan itu berhenti, dari atas pohon besar berkelebat dua bayangan orang seraya terdengar suaranya juga: “Soehoe, jangan lepas piauw! Inilah kita anak-anak yang datang!”

Bagaikan burung melayang, dua orang segera sampai di depannya niekouw tua itu.

“Aku tahu maksud kedatangan kau orang!” kata si niekouw. “Aku mesti turut kau orang untuk tugasku yang lagi belum selesai!”

Dua orang itu adalah dua penunggang kuda, yang tadi diketemukan di tengah jalan.

Setelah dua orang itu memberi hormat dan duduk, niekouw itu melanjutkan kata-katanya: “Kebenaran sekali Tuan datang ini malam! Besok pinnie sudah mesti ikut mereka ini, entah buat hidup terus atau terbinasa. Baiklah malam ini pinnie gunakan untuk memberi penuturan, agar anak-anak inipun sekalian mendapat tahu. Umpama kita terbinasa, Tuan, kau nanti boleh siarkan tentang aku ini, perihal hebatnya balas- membalas di kalangan Rimba Persilatan………”

Dan niekouw tua itu tuturkan riwayatnya, yang merupakan ceritera kita ini.

Demikian Liang Yusheng, si penulis, akhirkan permulaannya.

I

Distrik In-koan di perbatasan kedua Propinsi Shoatang dan Hoopak, dulu pernah jadi aliran dari Sungai Hong Hoo ke laut, ketika kemudian aliran itu digeser, air toh masih menggenang di situ, luasnya beberapa ratus lie, di situ orang masih mondar-mandir untuk pengangkutan di muka air, sedang di bagian-bagian yang dalam, permukaan air penuh dengan gelagah, ganggang dan rumput air lainnya. Inilah dia Muara Kho Kee Po yang kesohor. Di sini Touw Kian Tek berpusat di zaman Kerajaan Soei, namanya sama kesohornya seperti Wa Kong Tjee dari Tjin Siok Po dan Thia Kauw Kim beramai.

Di tepi Muara Kho Kee Po ini, ada satu dusun kecil, Kim Kee Tjoen namanya – Dusun Ayam Emas. Di belakang dusun ini ada sebuah bukit kecil tetapi indah. Sedangkan di atas bukit itu, di tanah yang datar, pada pagi itu dalam musim Tjoen yang permai, dua pemuda dan satu pemudi, asyik berlatih silat dengan gembira. Mereka ada Yo Tjin Kong, Tjoh Ham Eng serta Lioe Bong Tiap; yang pertama dan kedua ada murid yang kedua dan ketiga dari Lioe-kauwsoe Lioe Kiam Gim, guru silat kenamaan dari cabang Thay Kek Pay, dan yang ketiga ada gadisnya guru silat itu, satu nona cantik dan gesit. Ham Eng dan Bong Tiap asyik “adu kepandaian” dan Tjin Kong sedang menonton sambil bersandar di cabang pohon, tampangnya berseri-seri.

Cara berlatihnya kedua saudara seperguruan itu ada luar biasa. Ham Eng berlari-lari terputar-putar, tangannya mencekal tambang yang diikati dua belas butir bola pualam yang kecil mungil, kalau tambangnya digentak atau dikedut, tambangnya lantas jadi lempang dan kaku bagaikan toya, dua belas bola kecilnya lantas bergerak-gerak, bersinar menyilaukan mata. Setelah lari dua putaran, dengan larinya makin keras, Ham Eng lantas berseru: “Soemoay, kau juju dan seranglah!”

Lioe Bong Tiap mengejar, tangannya mencekal beberapa biji piauw besi – namanya piauw besi, sebenarnya itu ada uang tang-tjhie zaman Kaisar Ham Hong. Ini ada gantinya Kim-tjhie-piauw, yang tajam di kedua muka, yang Loo- kauwsoe Lioe Kiam Gim dapatkan dari Thay-kek Teng di Shoatang. Thay-kek Teng ada satu ahli silat she Teng dari cabang Thay Kek Pay juga.

Atas seruan soehengnya, sebelah tangannya Bong Tiap lantas bergerak, disusul sama menyambarnya sebiji piauw besi, tetapi si nona sendiri berseru: “Yang ketiga!” Gerakan tangannya adalah yang dinamai “Hong hong tian tjie” atau “Burung hong pentang sayap.”

Segera terdengar satu suara keras, atas mana, Ham Eng berhenti berlari, akan lihat bola pualamnya. Ia dapatkan benar sekali, bolanya yang ketiga yang telah kena dihajar sampai ikatan kawat halusnya putus dan bolanya jatuh.

“Bagus!” ia berseru dengan pujiannya sambil tertawa, sesudah mana, ia lari lagi.

Bong Tiap mengejar pula tanpa bilang suatu apa, ia berlari- lari dengan gunai ilmu entengi tubuh yang dinamai “Pat pouw kan sian” atau “Delapan tindak mengejar tonggeret”, lalu sembari lari ia menimpuk tiga kali, sekali ini sambil berseru: “Yang kesatu! Keempat! Kedelapan!” Sembari menyambit, ia berlompatan dengan tipu silat “Koay bong hoan sin” atau “Ular naga jumpalitan”. Lalu beruntun terdengar dua suara beradu, dua bola jatuh ke tanah. Tapi piauw yang ketiga dijepit antara dua jerijinya Ham Eng, siapa berbuat demikian sambil tertawa besar. Mukanya Bong Tiap menjadi merah. Dia telah menimpuk membikin tiga piauw bersinar sebagai tiga buah bintang. Ham Eng ketahui liehaynya sambitan itu, tapi dia pun hendak perlihatkan kepandaiannya, dia sengaja sambar yang ketiga dan tangkap itu. Untuk ini, ia berkelit dahulu, selagi piauw mendekati tenggorokannya, ia angkat tangan kirinya, jari telunjuk dan tengahnya lantas menjepit!

Melihat demikian, Yo Tjin Kong serukan supaya mereka berhenti berlatih, kemudian ia berikan pertimbangannya dengan berkata: “Soemoay punya permainan piauw sudah sempurna, hanya yang ketiga barusan, ditimpuknya secara terlalu terburu nafsu. Kau, Sam-soetee, masih banyak kelemahannya, gerakan Tiat-poan-kiomu masih lambat.

Adalah lebih baik kau berkelit dengan Yan Tjeng Sip-pat-hoan. Dalam pertempuran, orang mesti berhati tenang tapi juga gesit.”

Meski adanya pertimbangan dari sang soeheng itu, Bong Tiap tidak puas.

“Dari tiga piauw, cuma dua yang mengenai, aku tetap kalah!” katanya. “Sam-soeheng, mari kita berlatih pula, dengan tangan kosong!”

Ia kepal tangannya, dan menghampirinya. Tjoh Ham Eng angkat pundak.

“Kau sudah menang, Soemoay, kenapa kau masih belum puas?” katanya. “Kau tidak lelah tetapi aku yang sudah letih. Biar besok saja aku layani pula padamu….”

“Tidak, Soeheng!” mendesak si nona.

Usianya dua pemuda dan pemudi ini tidak berjauhan, Bong Tiap baharu enam belas, Ham Eng baharu delapan belas.

Bong Tiap ada anak tunggal, atau anak macan, biar dia dididik keras, dia tetap sangat disayang ayahnya, hingga ada kalanya, keinginannya mesti diluluskan. Murid kepala dari Lioe Kauwsoe sudah lulus dan sudah merantau sejak sepuluh tahun yang lalu, umurnya sudah tiga puluh lebih, dan murid kedua, Yo Tjin Kong, sudah mendekati usia tiga puluh tahun. Bertiga mereka ini biasa berlatih bersama-sama. Bong Tiap belum insyaf perbedaan antara laki- laki dan perempuan, ia tak merasakan apa-apa, ia suka turuti adatnya, sedang Ham Eng di lain pihak, kadang-kadang suka godai soemoay ini. Demikian barusan, ia sengaja tangkap piauwnya Bong Tiap.

Bong Tiap tak perduli orang mengalah, ia lantas saja menyerang dengan pukulan “Tjit seng tjiang” atau “Telapakan Tujuh Bintang”.

Ham Eng sudah bersiap, baharu ia hendak menangkis, atau Yo Tjin Kong telah berseru: “Jangan gaduh, he! Lihat, siapa itu datang?” Tangannya pun menunjuk.

Bong Tiap tarik pulang kepalannya, ia menoleh seperti juga Ham Eng, ke arah yang ditunjuk.

Sebuah perahu kecil dan enteng lagi mendatangi di tengah muara, memecah gelagah, lajunya sangat pesat. Perahu itu tidak pakai layar dan angin ada angin melawan. Terang itu bukan perahu nelayan. Di atas perahu itu ada seorang lelaki dengan tubuh yang besar.

Begitu lekas kendaraan itu mendekati pinggiran, penumpang itu enjot tubuhnya, lalu membarengi majunya perahu seperti berlompat, tubuhnya sendiri sudah meloncat ke darat, dengan tidak perdulikan lagi perahunya, dia berlari-lari terus ke arah rumah.

“Apakah Lioe Kiam Gim, Lioe Loo-soehoe ada di rumah?” dia tanya sembari menghampirkan tiga saudara seperguruan itu.

“Kau siapa? Ada urusan apa kau cari Lioe Loo-soehoe?” Ham Eng balik menanya. Orang itu kepriki pakaiannya.

“Jangan kau orang tanya aku siapa,” ia menjawab. “Asal aku sudah ketemu sama Lioe Loo-soehoe, dia pasti akan kenali aku. Aku cari Lioe Loo-soehoe untuk satu urusan sangat penting, yang mengenai nama baiknya perguruan kita. Hal ini, taruh kata aku beri tahu pada kau orang, tidak nanti kau orang bisa segera mengerti!”

Tiga orang itu melengak atas jawaban itu, tetapi Yo Tjin Kong, yang sudah punya sedikit pengalaman Kang-ouw, nampak kegesitan tubuh dan sikap orang itu, percaya orang tidak bermaksud jahat.

“Loo-soehoe ada di rumah,” ia segera berkata. “Tuan hendak menemui Loo-soehoe, silakan ikut siauwtee.”

Soeheng ini pun minta soemoaynya lekas pulang, akan memberi kabar.

Orang itu manggut, ia lantas ikut Tjin Kong, yang sengaja mengajaknya ambil jalanan yang sukar, akan mendaki tempat yang penuh batu.

“Awas, jalanan licin,” katanya sesampainya di jalanan yang batu-batunya berlumut. Ia hendak uji orang itu, ia sengaja bikin tubuhnya seperti terpeleset, supaya ia bisa betot ujung baju orang, untuk mana, ia gunakan kedua tangannya. Ia harap, umpama kalau ia tak mampu bikin orang terpeleset, sedikitnya tubuh dia itu akan seloyongan atau miring. Di luar dugaannya, orang itu tetap berjalan dengan tubuh tetap, melainkan mulutnya mengucap: “Ya, jalanan licin, hati-hati!”

Berbareng dengan itu, dari sebelah atas seorang lompat turun, tubuhnya melayang dengan pesat, turunnya di sampingnya Yo Tjin Kong, tangan kanannya dipakai menarik si murid, tangan kirinya dengan jeriji terlonjor, dengan tipu “Soen soei twie tjouw” atau “Menolak perahu mengikuti aliran air,” menotok pada tetamu yang tidak dikenal, yang pakai baju abu-abu. Orang itu terperanjat dengan serangan yang tiba-tiba itu, belum sempat lihat orang punya muka, ia sudah enjot tubuhnya, akan loncat ke samping, dari sini baharulah ia mengawasi, tapi sebelum ia bisa melihat tegas, orang yang baharu sampai itu sudah mendahuluinya, ia berseru: “Oh, kau, Kim Hoa?”

Sekejab saja, orang itu sudah maju untuk paykoei. “Soepeh, maafkan siauwtit,” katanya sembari memberi

hormat sambil berlutut. “Siauwtit belum sempat menemui

Soepeh tetapi Soepeh sudah mendahului menemui padaku….”

Orang itu adalah Lioe Kiam Gim, si guru silat, yang telah datang dengan lekas karena kecerdikan dan kegesitannya Bong Tiap, yang sudah pulang dengan cepat, akan dului soehengnya memberi laporan, hingga ayahnya ini menyangka, orang asing itu barangkali ada seorang Kang-ouw, yang datang untuk mencari gara-gara, hingga dia anggap baiklah ia mendahului menemui di luar rumahnya. Siapa tahu, tetamu itu adalah soetit, atau murid keponakan.

Kim Hoa hendak bicara sama itu soepeh, tapi si soepeh pegat ia.

“Sabar, mari kita bicara di rumah saja,” demikian kata Lioe Loo-kauwsoe.

Maka mereka bertiga, menuju ke rumah, tetapi, sesampai di sini, Kiam Gim ajak orang pergi ke latar di mana ada banyak pohon yang lioe, di bawah mana ada meja dan bangku- bangku dari batu, piranti duduk berangin.

Kim Hoa lantas duduk di sebelah bawah, tapi tidak menunggu sampai soepeh itu menegurnya, ia mendahului keluarkan sepucuk surat, untuk dihaturkannya.

Kiam Gim baca surat itu, sesudah mana, air mukanya berubah dengan segera. Surat itu datangnya dari Teng Kiam Beng, anaknya Thay- kek Teng. Kiam Beng ada soeteenya atau adik seperguruan, menurut runtunan murid-murid, tetapi di lain pihak, soetee ini adalah ahli waris dari Thay Kek Pay, sebab dialah yang diangkat jadi tjiang-boen-djin, orang yang mewariskan dan meneruskan pegang pimpinan dari kaum atau golongannya. Bunyinya surat ada demikian penting, hingga guru silat ini jadi terkejut.

Untuk ketahui duduknya perkara, baik kita mundur sedikit dari cerita ini.

Ayah dari Lioe Kiam Gim ada suatu sanak jauh dari Shoatang Thay-kek Teng, akan tetapi, di sebelah itu, mereka tinggal bertetangga, mereka cocok satu sama lain, maka pergaulan mereka jadi rapat. Maka juga, ketika Kiam Gim berumur tujuh atau delapan tahun, ayahnya minta Thay-kek Teng suka ajarkan silat pada anak ini.

Kiam Gim ada bertubuh kurus dan lemah luar biasa, karena itu Thay-kek Teng tidak lantas didik dia seperti murid-murid lain, hanya dia diperintahkan yakinkan Thay-kek-koen, guna lebih dahulu kuati tubuh. Tapi dia rupanya berjodoh sama ilmu silat, di sebelah rajin berlatih apa yang diajarkan, diam-diam ia perhatikan pelajarannya lain-lain murid. Hanya, belajar baharu satu tahun, oleh ayahnya, ia diajak pindah ke distrik tetangga, sebab ayah itu, yang tak berhasil hidup sebagai petani kecil, sedang pajak ada berat, pindah untuk bekerja membantui satu kenalannya, yang hendak tolong padanya.

Empat tahun lewat dengan cepat.

Pada suatu hari selagi Teng Loo-kauwsoe dan beberapa muridnya asyik pasang omong di depan rumahnya, jauh beberapa puluh tindak dari mereka, dua ekor kerbau tengah berkelahi, lantas yang satu, yang kalah, lari kabur, dan yang menang mengejarnya. Sedang begitu, di jalan besar, satu anak tanggung lagi berlari-lari mendatangi, ia agaknya tak perhatikan kedua ekor kerbau yang sedang main udak-udakan itu.

Melihat demikian, Thay-kek Teng terperanjat, sampai ia menjerit, karena cepat sekali, itu bocah hampir ketabrak. Guru silat ini lantas loncat lari, untuk menolongi. Tapi, belum ia sampai kepada mereka, tiba-tiba ia dengar satu suara keras, kedua kerbau terpental masing-masing, dan dengan matanya yang liehay, ia telah saksikan sebabnya itu.

Dengan “Ya ma hoen tjong”, atau “Kuda liar memecah suri”, suatu ilmu pukulan dari Thay-kek-koen, bocah itu tolak kerbau yang di depan dengan tangan kirinya dan kerbau yang di belakang dengan tangan kanannya, hingga dua binatang itu tak saling kejar pula, yang di depan terpental minggir, yang di belakang terdorong mundur. Gerakan kedua tangan itu, ada dengan “pinjam tenaga lawan”.

“Ah!” berseru Thay-kek Teng, apabila ia sudah awasi bocah itu, seraya menghampiri. “Kenapa kau ada di sini? Bagaimana caranya kau jadi peroleh tenaga besar dalam kepandaianmu ini?”

Itu bocah adalah Lioe Kiam Gim, yang sendirinya dengan rajin dan sungguh-sungguh meyakini terus pelajaran yang ia dapati dari gurunya, sampai ia insyaf sendiri, bahwa ia bisa berlatih dengan sempurna sambil insyaf sudah, akan kepentingannya. Hanya apa lacur, beberapa hari yang sudah, ayahnya telah menutup mata, karena mana, menurut pesan ayahnya, ia pulang untuk cari Thay-kek Teng. Apa mau, kebetulan sekali dua ekor kerbau adu tenaga, hingga ia telah perlihatkan tenaganya.

Thay-kek Teng kagum sekali, tapi selagi ia hendak tanyakan keterangannya bocah itu, mendadak ada orang berlompat ke depan mereka dan orang itu – satu bocah lebih kecil dari Lioe Kiam Gim – datang menyerang anak piatu ini. Kapan ia telah lihat bocah kecil ini, ia tidak mencegah, ia malah berdiri sambil usut-usut kumisnya dan bersenyum. Lioe Kiam Gim tidak sempat berbuat apa-apa, terpaksa ia layani penyerang itu.

Dengan “In liong sam hian”, atau “Naga mega muncul tiga kali”, anak kecil itu desak Lioe Kiam Gim, dada siapa ia serang. Ia ini tunggu sampai orang punya kepalan kiri hampir mengenainya, lantas ia pukul orang punya lengan. Ia gunai tipu silat “Lam tjiak bwee” atau “Mencekal ekor burung gereja”. Tapi dengan gesit, si penyerang tarik pulang tangannya, akan mulai dengan desakan lain.

Kiam Gim melayani sekian lama, ia merasakan hebatnya desakan musuh, tapi ia melayani terus, sampai tiga puluh gebrak, di waktu mana, Teng Loo-kauwsoe lantas berseru: “Cukup! Cukup! Sudah, Beng-djie, sudah cukup!”

Anak itu, yang dipanggil Beng-djie atau “anak Beng”, perhentikan serangannya dengan lantas, tapi setelah itu, ia sambar tangannya Kiam Gim, untuk ditarik sambil ia berseru- seru dengan kegirangan: “Aku dapat kawan! Aku dapat kawan!”

“Bagus, Anak, bagus!” Thay-kek Teng puji bocah she Lioe itu. “Kau bisa layani anakku, bagus! Kau ada punya harapan besar!”

Kiam Gim lebih tua dua tahun dari Teng Kiam Beng, Kiam Beng dapat didikan langsung, tetapi toh ia bisa tandingi anaknya itu, ini membuktikan ia mempunyai bahan baik dan keuletan, maka guru silat itu jadi sangat girang.

Sejak itu Thay-kek Teng terima Kiam Gim sebagai murid yang sah, malah Kiam Beng diperintah panggil soeheng padanya, sebab usianya yang lebih tua. Ia mengasih pelajaran yang sungguh-sungguh, malah ia turunkan tiga macam kepandaiannya yang liehay, ialah Thay-kek-koen, ilmu pedang Thay-kek-kiam dan ilmu melemparkan senjata rahasia Kim- tjhie-piauw. Kiam Gim pun sangat bersyukur pada gurunya ini yang ia pandang sebagai ayah sendiri, maklum ia ada anak yatim-piatu.

Sepuluh tahun lebih Thay-kek Teng didik murid dan anaknya itu, ketika datang saatnya ia hendak menutup mata, ia pesan mereka dengan kata: “Kita Kaum Thay Kek Pay, sejak kita diwarisi ilmu silat oleh guru besar kita Thio Sam Hong, ditugaskan untuk menolong yang lemah, maka itu, sadari bangsa Boan-tjioe merampas Tionggoan dan memerintah kita bangsa Han dengan sangat menindas, aku larang kau orang bekerja untuk bangsa Boan-tjioe, sedang di kalangan Kang- ouw, selagi merantau, aku ingin kau orang tindas yang galak dan bengis. Di lain pihak terhadap sesama kaum Boe-lim, Rimba Persilatan, jangan kau orang bertengkar, jangan bersikap keras, inilah akan menyebabkan hatiku tidak tentaram. Kau, Kiam Gim, kau harus bisa pimpin soeteemu!”

Itu waktu dua-dua Kiam Gim dan Kiam Beng sudah berumur dua puluh tahun lebih, tidak heran kalau mereka jadi tidak betah berdiam di rumah saja, maka kemudian, mereka pergi merantau, akan cari pengalaman.

Di akhir pergerakan “Thay Peng Thian Kok” yang gagal, di sana-sini masih ada perserikatan-perserikatan rahasia “Melawan Tjeng-tiauw untuk membangunkan Kerajaan Beng”, masih ada guru-guru silat yang mendidik murid-muridnya tidak perduli Kaisar Kee Keng melarang keras kepada rakyat membuka rumah-rumah perguruan silat, sebabnya ialah raja ini kuatir rakyat Han nanti berontak pula. Tapi kemudian, pemerintah Tjeng ubah haluan dengan coba membaiki guru- guru silat, ia anjurkan orang-orang bangsawan dan pembesar- pembesar negeri bergaul dan bersahabat sama ahli-ahli silat. Inilah politik pemerintah Tjeng hingga akhirnya muncul pergerakan Pahkoentauw atau Boxer.

Karena adanya sikap pemerintah itu, Kiam Gim dan Kiam Beng dapat keleluasaan dalam perantauannya, mereka jadi dapat banyak kenalan dan penghargaan, terutama di Shoatang dan Hoopak, di Hoopak, pusatnya adalah Kota Poo- teng. Di sini kedudukan mereka berimbang sama kedudukannya Tjiong Hay Peng dari Heng Ie Pay, Kiang Ek Hian dari Bwee Hoa Koen dan Koan Ie Tjeng dari Ban Seng Boen. Sikap pemerintah itu sebaliknya menyebabkan perpecahan diantara ahli-ahli silat, yang terbagi dua: mereka yang tetap mencinta negeri (Kerajaan Beng), dan mereka yang suka atau kena dilagui oleh politik mengambil hati itu.

Sebab pihak yang pertama jadi benci atau tak menyukai pihak kedua, yang dianggap sebagai golongan pengkhianat.

Kiam Gim dan Kiam Beng taat kepada pesan guru mereka, mereka tak sudi dilagui oleh pemerintah Tjeng, akan tetapi di sebelah itu, di antara mereka, segera timbul perubahan. Kalau Kiam Gim adalah tetap ramah-tamah, Kiam Beng menjadi kepala besar, sebab ia anggap, dia adalah ahli waris dari Thay Kek Pay, dan ia puas benar dengan kepandaiannya, ia tak sudi mengalah terhadap siapa juga, hingga ia telah bentrok dengan Tjiong Hay Peng dari Heng Ie Koen. Dalam hal ini, sia-sia saja Lioe Kiam Gim memberi nasihat pada itu soetee.

Mengenai bentrokan dari Kiam Beng dan Tjiong Hay Peng, halnya dimulai oleh kejadian yang berikut:

Pada suatu tengah malam, seperti biasa Teng Kiam Beng melatih diri. Waktu itu, bulan dan bintang sedang guram.

Tiba-tiba ia dengar sambaran angin lewat, disusul sama berkelebatnya satu bayangan di atas genteng tetangganya. Ia heran di waktu demikian ada kelayapan satu ya-heng-djin – ialah orang yang biasa keluar malam. Ia segera menyangka bayangan itu ada satu penjahat atau tukang ganggu orang- orang perempuan. Ia pun jadi tidak senang, sebab di sebelah kecurigaannya, ia anggap orang tidak pandang mata padanya. Maka terus ia loncat naik ke atas genteng, untuk menyusul, guna cari tahu bayangan itu siapa adanya atau apa maksudnya. Ia lantas dapat mencandak. Hanya anehnya, bayangan itu seperti punya mata di belakang. Ia tidak menoleh ke belakang, tetapi ia seperti ketahui ada orang kuntit padanya, lantas ia lari dengan keras sekali, hingga kali ini, percuma Kiam Beng mengejar, tak perduli bagaimana dia pandai berlari cepat, dia tak mampu mencandak lagi, dia tetap ketinggalan beberapa tumbak jauhnya.

Dengan tidak merasa, mereka sampai di luar Kota Poo- teng. Di sini, bayangan itu lari masuk ke dalam pekarangan lebar dari suatu gedung besar, yang banyak pepohonannya. Segera bayangan itu menepuk tangan, satu kali. Sambil bersembunyi di belakang sebatang pohon, Kiam Beng pasang mata. Ia lihat munculnya bayangan yang kedua, siapa lantas saling berbisik dengan bayangan yang pertama. Habis itu, mereka hampirkan tembok pekarangan, loncat naik ke atas sebuah ranggon kecil.

“Terang mereka hendak cari tahu keadaan,” pikir Kiam Beng, yang lalu maju sedikit, untuk bisa datang lebih dekat kepada mereka itu. Ia terus memasang mata dan kuping. Ia sembunyi di atas pohon dekat ranggon itu.

“Anak ayam itu berada di lauwteng ketiga,” kata bayangan yang satu. “Baharu saja aku tiupkan asap Ngo-kouw Hoan- hoen-hio, sekarang dia tentu sudah pingsan….”

Kiam Beng dengar kata-kata itu, menjadi gusar dengan tiba-tiba. Ia memang paling benci penjahat perugul orang perempuan. Ngo-kouw Hoan-hoen-hio adalah hio, yang asapnya bisa menyebabkan orang tak sadar akan dirinya. Tidak tempo lagi, ia keluar dari tempat sembunyinya dan loncat ke ranggon itu.

Dua bayangan itu terkejut dan loncat turun, tetapi jago Thay Kek Pay itu terus susul mereka dengan turun loncat ke bawah, hingga ia bisa datang dekat kepada mereka itu.

Dua-dua bayangan itu memakai topeng hitam, hingga kelihatan saja sepasang mata mereka masing-masing, yang mencorong. “Eh, makhluk apa berani campur urusan tuan-tuan besarmu?” mereka itu menegur.

“Ah, kawanan manusia rendah, sampai Teng Kiam Beng kau orang tidak kenali!” berseru jago Thay Kek Pay ini. “Lihat tanganku!”

Dua bayangan itu tidak takut, sebaliknya, yang satu mencabut pedang, yang lain mengeluarkan sepasang Poan- koan-pit, yang panjangnya kira-kira tiga kaki, dengan apa mereka mendahului menerjang.

Dengan tangan kosong, Kiam Beng lawan dua bayangan itu. Ia tidak takut sekalipun ia tidak bersenjata. Ia lantas berdaya, akan rampas gegaman orang itu.

Dua bayangan itu ada liehay, inilah ternyata dari gerak- gerakan mereka. Kiam Beng lihat orang bermula mainkan Tat- mo Kiam-hoat dari Siong Yang Pay, ujung pedang saban- saban menikam ke arah tempat-tempat kematian. Dan Poan- koan-pit, itu senjata yang mirip dengan pit atau potlot, ujungnya senantiasa mencari satu di antaranya tiga puluh enam jalan darah yang berbahaya. Ia gunai “Khong tjhioe djip pek djim”, ilmu dengan tangan kosong melawan senjata tajam, suatu ilmu dari Thay-kek-tjiang, tetapi ia tidak peroleh hasil, tak pernah ia mampu sambar senjata musuh, malah apa yang ia rasai aneh, terang-terang ia bakal tertikam atau tertotok, tiba-tiba dua bayangan itu tarik pulang senjata mereka, akan ditukar dengan gerakan lain. Hal ini terjadi beberapa kali, hingga ia anggap, orang rupanya jerih terhadapnya. Ia tidak tahu, coba ia berkelahi dengan satu lawan satu, ia bisa menang, tetapi ia dikepung dua musuh tangguh, kalau hendak dibikin celaka, ia sudah akan rubuh siang-siang. Ia tidak pernah menyangka bahwa orang ada kandung suatu maksud.

Pertempuran sementara itu sudah mengagetkan orang- orang di dalam gedung, segera datang serombongan orang yang bersenjata, yang pun bawa obor dan lentera, berikut teriakan mereka berulang-ulang: “Tangkap penjahat! Tangkap penjahat!” Hanya sesudah datang dekat, mereka tidak berani menyerang, mereka mengurung dari jauh-jauh saja, kecuali dua orang yang dandan sebagai kepala tjinteng, yang satu memegang tumbak, yang lain sepasang golok. Mereka ini tidak punya guna, baharu mereka hampirkan kedua bayangan, dua-duanya kena disapu kakinya hingga mereka rubuh terpental!

Teng Kiam Beng tidak harap bantuannya sekalian tjinteng itu, dengan sepasang tangan kosong, ia terus layani musuh- musuhnya, hingga mereka telah bergebrak lebih dari lima puluh jurus.

Segera datang satu serangan Poan-koan-pit kepada pundak kanan Kiam Beng, sepasang senjata itu bergerak dengan berbareng. Guru silat ini mendak, kakinya menggeser, sebelah tangannya balas menotok, tapi, belum sampai ia peroleh maksud, pedang menyambar dari belakangnya, hingga ia mesti kelit ke kiri, tubuhnya diputar, dengan begitu ia bisa balas menyerang si pemegang pedang itu, ia mengarah muka.

Penyerang itu buang mukanya ke belakang, tubuhnya turut, tapi begitu lekas pindahkan kaki kanan ke kanan, pedangnya menyabet kakinya orang itu. Ia menyerang sambil mendekam.

Dengan tabah Kiam Beng loncat untuk berkelit. Berbareng dengan itu, si pemegang pedang berseru:

“Misah!” Ini adalah ucapan rahasia, yang berarti “menyingkir”.

Ia pun terus loncat mundur, akan lari, ke pepohonan yang lebat, perbuatannya diturut oleh kawannya.

Sikapnya dua bayangan itu ada mengherankan, karena dalam pertempuran, mereka menang di atas angin. Apa yang mengancam mereka ialah rombongannya tuan rumah tetapi mereka ini tidak mengurung untuk menyerang. Kiam Beng tidak pikirkan itu, ia hanya maju, untuk mengejar. Ia baharu bergerak atau mendadak beberapa cahaya berkeredepan dari tempat lebat, menyambar kepadanya. Ia tahu adanya senjata rahasia, ia berkelit dengan lompat jumpalitan “Yan Tjeng Sip- pat-hoan” atau “Yan Tjeng jumpalitan delapan belas kali”, disusul sama “Koen tee tong”, atau “Bergulingan di tanah” begitu lekas tubuhnya mengenai bumi. Ia bergerak sangat gesit, tidak urung paha kanannya toh ketusuk sebatang senjata rahasia, yang membikin ia kaget, karena ia rasai kakinya jadi kaku dan gatal. Di lain pihak, di detik itu juga, kedua bayangan, yang bertopeng, lenyap di tempat lebat itu.

“Kejar! Kejar!” berulang-ulang berseru kawanan tjinteng, yang aksinya baik, tapi untuk nyerbu ke tempat lebat, mereka tidak berani.

Seorang berumur kurang-lebih lima puluh tahun, yang dandan sebagai satu sasterawan, lantas hampirkan Kiam Beng kepada siapa ia memberi hormat sambil menjura dengan dalam seraya terus mengatakan: “Tuan, terima kasih untuk bantuan kau ini, yang aku tak nanti lupakan….”

Kiam Beng lekas-lekas membangunkan orang tua itu. “Mari, Tuan, mari mampir!” kemudian kata si tuan rumah,

yang terus saja pimpin jago Thay Kek Pay itu, untuk diajak

masuk ke dalam, di mana orang melayaninya dengan hormat dan telaten, ada yang suguhi thee, ada yang sediakan hoen- tjwee.

Teng Kiam Beng tidak gemar bergaul sama orang-orang sebangsa hartawan ini, setelah hirup thee, ia berniat pamitan, apa mau, baharu saja ia bangun untuk berdiri, tiba-tiba ia rasai kakinya lemas, tanpa ia ingin, ia rubuh sendiri. Untuk bisa bangun, orang mesti pepayang padanya. Sekarang baharu ia insyaf, tadi ia sudah terkena senjata rahasia, terus ia raba pahanya, dari mana ia cabut senjata rahasia itu, yang masih menancap, tatkala ia periksa senjata itu, ia berseru: “Oh, Tok-tjie-lee!” Karena itu ada senjata rahasia yang dipakaikan racun. “Senjata apa itu? Adakah itu berbahaya?” tanya tuan rumah yang agaknya kaget.

“Ini ada senjata rahasia yang dipakaikan racun,” sahut Teng Kiam Beng sambil kerutkan alis, air mukanya pucat, suaranya separuh merintih. “Di kalangan Kang-ouw, ini ada satu senjata jahat, racunnya ada racun dari Tanah Biauw, atau Sin-kiang, racunnya segera bekerja begitu mengenai darah!

Luka ini tak dapat disembuhkan kecuali dengan obat kepunyaan si penyerang gelap sendiri. Rasanya aku tak dapat lagi keluar dari rumah ini….”

Tuan rumah periksa senjata rahasia itu dan juga lukanya. “Tin-djie, pergi lekas ke lauwteng belakang pada Djie-ie-

nio!” ia berkata. “Kau minta obat Pek-giok Seng-kie Poat-tok-

koh, kita nanti coba itu!” Kemudian pada Kiam Beng, ia tambahkan: “Di masa muda, aku pernah pangku suatu pangkat kecil di Pakkhia, di sana aku kenal satu thaykam tua siapa presen aku setengah botol kecil obat itu. Itu ada obat di dalam istana, katanya untuk sembuhkan segala racun atau gigitan binatang berbisa, juga buat obati luka-luka senjata rahasia. Di istana orang sediakan obat ini guna berjaga-jaga, kuatir ada penyerangan gelap. Sebegitu jauh aku belum pernah pakai obat ini, sekarang marilah kita coba.”

Tidak ada jalan, Kiam Beng terpaksa pakai obat itu, hanya aneh, begitu lekas lukanya dipakaikan kohyo itu, ia merasakan hawa adem, sampai ke hatinya, lalu kakinya itu, ia bisa gerak- gerakkan juga.

“Sekarang silakan Tuan tinggal sama aku di sini,” kemudian tuan rumah berkata pula. “Selama racun belum punah semua, Tuan mesti beristirahat di sini, buat beberapa hari, kalau tidak, luka akan kumat lagi dan itulah berbahaya.”

Kiam Beng tahu liehaynya racun itu, terpaksa ia terima baik undangan itu, untuk mana ia menghaturkan terima kasih.

Karena ia tinggal menumpang, lantas ia dapat tahu, bahwa tuan rumahnya ada Soh Sian Ie, hartawan di Poo-teng, yang punya beberapa ribu bauw sawah.

Selama beberapa hari, Kiam Beng dirawat dengan sempurna, tuan rumah senantiasa temani ia, untuk pasang omong, dari ilmu surat sampai segala urusan di Kota Raja. Ia memang mengerti sedikit tentang syair, sedang sawah ia punyai sejumlah bauw. Ia pun lihat orang itu manis budi.

Malah beberapa kali ada orang-orang melarat datang untuk mohon derma, beras, peti mati, dan lainnya, dan semua orang itu disambut sendiri oleh Sian Ie, yang luluskan semua permintaan. Maka ia percaya, hartawan ini juga budiman.

Di hari keempat, setelah sembuh betul, Teng Kiam Beng pamitan, Soh Sian Ie serta orang-orangnya antar dia sampai tiga lie, selagi ia mengucapkan terima kasih,, Sian Ie sendiri berulang-ulang panggil dia “enghiong besar”, “tuan penolong yang baik hati”, dan “Ini budi besar tidak nanti aku lupakan!” katanya. Dia tanya alamatnya, dia tanya, jago itu suka atau tidak bersahabat sama dia….

Tentu saja Kiam Beng menjawab bahwa ia suka bersahabat, karena ia sudah terima budi. Hanya, selagi ia berjalan pulang dengan bersyukur, di rumahnya Soh Sian Ie, hartawan itu sendiri lagi duduk berkumpul dalam kamar rahasianya bersama dua orang yang itu malam jadi bayangan dan memakai topeng, yang berpura-pura menjadi penjahat tukang perugul orang perempuan. Karena Soh Sian Ie sedang main sandiwara!

Dua orang bertopeng itu ada “tauw-teng wie-soe”, pahlawan kelas satu, dari istana Kerajaan Tjeng. Yang bersenjatakan pedang, Boan Eng Tjin, dan yang pegang Poan- koan-pit ada Ouw It Gok. Mereka sengaja dipinjam oleh Tjongtok Tee Kie dan Tit-lee, buat jalankan peranan, akan pedayakan Teng Kiam Beng, supaya ahli silat Thay Kek Pay ini bisa ditempel agar nanti tenaganya bisa dipakai oleh negeri guna hadapi musuh-musuh gelap bangsa Han. “Teng Kiam Beng rubuh dalam tipu-daya kita!” kata Bong Eng Tjin sambil bertepuk tangan dan tertawa gembira. “Dia jadi ahli Thay Kek Koen bukan namanya, dia benar-benar liehay, jikalau bukan kita berdua, dia tak dapat dilayani….”

“Teng Kiam Beng memang bukan orang sembarangan, tetapi ia tak ada di atasan kita,” It Gok turut bicara. “Coba aku merdeka, akan turuti hatiku, tidak nanti aku tak ada di atasan Kiam Beng,” It Gok perkenankan ia berlaku jumawa. “Kalau tidak Tee Tjongtok memesan wanti-wanti, aku pasti bikin dia mampus!”

“Kalau dia mampus runtuhlah daya-upaya kita!” Soh Sian Ie tertawa. “Laginya, buat apa menyingkirkan hanya dia seorang? Bukankah kita hendak pakai tenaganya untuk buyarkan persatuan dari kaum pencinta negeri kalangan Kang- ouw di Shoatang dan Hoopak ini? Aku kagumi kau orang berdua, terutama kau, Saudara Ouw, karena senjata rahasiamu tepat mengenai anggotanya yang tak membahayakan jiwanya. Sedang kau, Saudara Bong, sempurna sekali gunai ilmu pedang Heng Ie Pay dan Boe-kek kiam-hoat yang kau dapat curi pelajari, hingga dengan begitu, kau pasti akan bikin Kiam Beng bingung mengenai boegeemu!”

“Dan aku kagumi kau, Loosianseng!” Bong Eng Tjin tertawa pula. “Pandai sekali kau dengan angkatanmu, enghiong besar dan tuan penolong, hingga dia tidak curiga suatu apa terhadap kau, hingga kau sekarang bisa jadi sahabatnya!”

Tiga orang itu tertawa dengan gembira sekali.

Selagi tiga orang beriang-gembira, Kiam Beng sampai di rumahnya dengan tidak lama kemudian, datang orang-orang menyambanginya, karena selama tiga hari ia lenyap dengan tiba-tiba, orang jadi heran, sibuk dan berkuatir juga, di antara sahabat-sahabat itu ada Tjiong Hay Peng, Kiang Ek Hian dan Koan Ie Tjeng, semua mereka ini menanyakan, apa yang sudah terjadi. “Aku telah hadapi orang-orang jahat tidak dikenal,” Kiam Beng kata, dan ia tuturkan pengalamannya. “Dua orang itu ada liehay sekali, coba bukan aku, tidak saja aku akan cuma terkena senjata rahasia, jiwakupun bisa melayang di tangan mereka, di pedang atau Poan-koan-pit!”

Mendengar keterangan itu, semua tetamu menjadi heran. Rata-rata mereka itu nyatakan bahwa mereka belum pernah dengar perihal dua tjay-hoa-tjat itu – penjahat tukang perkosa orang perempuan. Mereka juga menduga dengan sia-sia belaka.

Teng Kiam Beng turut berpikir, ketika mendadak ia tanya Tjiong Hay Peng: “Di antara murid-murid Heng Ie Pay mu ada atau tidak seorang yang jangkung-kurus, yang pandai mainkan ilmu pedang Boe-kek Kiam-hoat?”

Tjiong Hay Peng, Ketua dari Heng Ie Pay, terperanjat. “Apa? Murid dari Heng Ie Pay?” ia tegaskan dengan mata

melotot. “Belum pernah ada orang Heng Ie Pay yang jadi tjay- hoa-tjat!” Dijawab secara demikian, Kiam Beng tertawa dingin.

“Ada atau tidaknya muridmu yang jadi tjay-hoa-tjat, aku tidak tahu!” katanya. “Tapi itu orang bertopeng, yang bersenjatakan pedang dan pakai topeng di waktu melawan aku, terang-terang telah gunai Boe-kek Kiam-hoat!” ia berdiam sebentar, lalu ia teruskan: “Bukan melainkan orang itu yang memegang Poan-koan-pit juga gerak-gerakan tubuh seperti pelajaran golonganmu!”

Dalam sengitnya, Kiam Beng sudah utarakan juga sangkaan belaka.

Tjiong Hay Peng jadi sangat gusar, sehingga ia keprak meja.

“Teng Kiam Beng, terang kau sengaja memfitnah aku!” ia berseru.

Kiam Beng pun gusar. “Aku melihat dengan mata sendiri, bagaimana itu bisa jadi keliru?” ia membalik. “Hm, kalau tidak tangan kosongku ini yang liehay, siang-siang aku telah mesti tewas di tangan mereka!”

Melihat kedua pihak telah jadi sangat panas, yang lainnya maju sama tengah, untuk menyabarkan mereka.

Tjiong Hay Peng tidak puas.

“Aku akan segera membikin penyelidikan!” kata Ketua Heng Ie Pay ini dalam murkanya. “Aku nanti segera kirim kabar pada semua muridku, pada sahabat-sahabat juga, jikalau ada muridku yang berbuat jahat, atau memperkosa orang perempuan, aku nanti kutungi tubuh mereka jadi delapan potong dan tikamkan mereka tiga lobang! Kalau tidak, kau mesti haturkan maaf pada Heng Ie Pay dengan adakan perjamuan!”

Setelah kata begitu, jago Heng Ie Pay ini lantas ngeloyor pergi.

Demikianlah sebab-sebab permulaan dari perselisihan antara Kiam Beng dengan Tjiong Hay Peng, orang-orang lain tak dapat menghindarkannya.

Selama itu, persahabatan antara Kiam Beng dan Soh Sian Ie menjadi tambah kekal setiap hari, karena hampir setiap hari Sian Ie kirim orangnya untuk menyampaikan bingkisan apa saja atau dia diundang untuk dijamu.

Lioe Kiam Gim lihat sikapnya itu saudara angkat, ia pernah berikan peringatan atau nasihat, ia minta saudara ini waspada, agar dia tak sampai terjebak. Ia kata: “Keluarga Soh ada hartawan dari Poo-teng, orang sebangsa dia yang budiman sukar dipatinya, sebaliknya kita orang Kang-ouw, kita biasa tolong si lemah yang tidak berdaya, cara bagaimana kita boleh bersahabat sama dianya? Saudara, aku harap karena sikapmu ini, jangan kau terbitkan kerenggangan di antara kita kaum Kang-ouw!” “Kau terlalu kukuh, Saudaraku!” Kiam Beng sahuti saudaranya itu. “Keluarga Soh betul-betul dermawan! Mustahil di antara mereka itu benar-benar tidak ada yang hatinya suci- murni?”

Selang beberapa hari, Soh Sian Ie bikin pesta shedjit, atau ulang tahun yang ke-51, pesta dirayakan di dalam taman bunga, selagi pesta berjalan, hartawan inipun membagi amal, pada orang-orang tua yang melarat: yang berumur lima puluh lebih mendapat dua tjhie perak, siapa berumur enam puluh lebih, didermakan lima tjhie, dan siapa berumur di atas tujuh puluh, memperoleh satu tail perak.

Kiam Beng saksikan amal orang itu, maka sepulangnya dari pesta, ia kata kepada Kiam Gim: “Kau lihat, kalau dia ada markis, bagaimana dia bisa begitu dermawan terhadap orang- orang tua miskin itu, yang malah ia sangat hormati?”

Kiam Gim tidak mau bantah saudara muda itu, tapi selang tiga hari, dia hampirkan soetee itu seraya bawa satu bocah umur enam atau tujuh tahun, dengan sikap beda dari biasanya, ia kata: “Soetee, sejak kecil kau hidup dalam keluarga yang berada, kau tidak kenal kesengsaraannya orang miskin! Kau lihat ini bocah, kau tahu dia siapa? Dia ini adalah bocah yatim-piatu dari kuli taninya Soh Sian Ie! Ayahnya garap tiga bauw sawahnya Soh Sian Ie, syukur buat ia, kalau dia sanggup membayar cukai saja. Lagi tahun yang sudah, karena musim paceklik, ayahnya terpaksa pinjam sepuluh tail perak dari Soh Sian Ie, bunganya begitu berat, belum satu tahun, jumlah itu naik jadi lima puluh tail. Mati daya, ayah itu telah gantung diri hingga binasa. Sudah begitu, rumahnya yang bobrok pun disita Soh Sian Ie, karena rumah itu adalah milik pertanggungan. Dia ini sudah tidak punya ibu, maka itu, sebab tidak punya tempat bernaung lagi, aku bawa ia pulang. Ini adalah kejadian yang aku kebetulan dapat tahu, entah berapa banyaknya yang di luar tahu kita!” Kiam Gim berhenti sebentar, lalu ia tambahkan: “Apakah Soetee ketahui, bagaimana Keluarga Soh itu dirikan rumah tangganya yang mewah? Dia sudah berkongkol sama pembesar-pembesar negeri, dia telah selundupkan candu, setelah punya banyak uang, ia beli pangkat, ia memangku jabatan, hingga kembali ia bisa kumpulkan banyak uang, buat dipakai beli sawah dan kebun, hingga kekayaannya jadi bertambah-tambah. Ia bisa dapatkan nama dermawan karena kecerdikannya, karena ia keluarkan sedikit uang, seperti buat betuli jembatan atau jalan besar, atau ia mengamal pada orang-orang tua melarat! Apa artinya akan dermakan sedikit uang kalau di lain pihak, dengan sedikit uang, ia coba mengamal untuk kelabui orang banyak? Memang Soh Sian Ie tidak menagih sendiri uang atau hasil uang yang dipinjamkannya dan uang sewaan tanahnya, diapun tidak aniaya kuli-kuli taninya, ia boleh bersikap sebagai orang budiman, tetapi orang-orangnya atau gundal, mereka ini bersikap sangat telengas dan kejam!”

Bukti atau keterangan yang dimajukan soeheng ini ada kuat, walaupun demikian, Kiam Beng anggap saudaranya telah terlalu bersikap keras, hingga Kiam Gim jadi kewalahan, ia pulang dengan ajak itu bocah yatim-piatu, yang ia jadikan muridnya dan rawat dengan baik, hingga di belakang hari, bocah ini jadi muridnya yang terpandai.

Lewat setengah bulan sejak Tjiong Hay Peng pulang dengan ngambek, guru-guru silat dan piauwsoe dari Kota Poo- teng kesohor telah terima undangan dari jago Heng Ie Pay itu, untuk hadirkan suatu pesta perjamuan. Kiam Beng pun terima undangan. Ia menyangka buahnya tuduhan terhadap orang she Tjiong itu, meskipun demikian, ia kirim balasannya, dan di harian pesta, ia datang bersama beberapa sahabatnya.

Setelah pertemuan dimulai, Tjiong Hay Peng angkat bicara. “Aku tidak punyai kepandaian suatu apa tetapi aku toh

ditugaskan untuk memimpin kaumku Heng Ie Pay,” demikian katanya. “Dengan sebenarnya, aku tidak sanggup pegang pimpinan, maka syukur Heng Ie Pay mempunyai aturan-aturan yang dipegang keras, yang pun ditaati oleh kaum kita. Begitu sejak pegang pimpinan, kaum kita belum pernah lakukan apa- apa yang mendatangkan malu bagi Heng Ie Pay, sedang terhadap kaum Kang-ouw, kita semua bisa hidup damai. Maka sayang sekali, pada setengah bulan yang baru lewat, karena kejar tjay-hoa-tjat, Toako Teng Kiam Beng, sudah kena dilukai dan dihinakan orang dan dalam hal itu, ia menuduh kita Kaum Heng Ie Pay. Seperti aku sudah janji, aku sudah lantas bertindak, akan cari tahu tuduhan itu. Tentang kedua tjay- hoa-tjat, aku tidak dengar suatu apa, tetapi dari berbagai pihak kaumku, aku telah terima laporan, tidak ada orangku yang main gila. Di Kota Poo-teng sendiri, Teng Toako  mestinya percaya aku, tapi sebaliknya ia sangsikan kejujuranku. Di sebelah itu, mestinya percaya tidak nanti ada muridku, atau cucu muridku, yang punya kepandaian akan pecundangi ahli waris dari Thay Kek Pay, meskipun dengan cara curang! Oleh karena itu sekarang aku adakan pertemuan ini untuk bersihkan diri, guna minta Teng Toako menghaturkan maaf kepada pihakku!”

Teng Kiam Beng tercengang atas ucapan tajam dari Tjiong Hay Peng. Memang, itu adalah hebat. Kalau ia tetap sangka Hay Peng, itu membuktikan Heng Ie Pay, itulah terlebih celaka pula, karena ia kena dirubuhkan oleh angkatan muda Heng Ie Pay. Meskipun demikian, ia toh tidak gampang-gampang hendak menyerah kalah.

“Kau menyangkal, kau punya bukti-buktinya,” ia kata kemudian. “Tapi aku, aku telah saksikan sendiri bagaimana orang telah bersilat dengan caranya Heng Ie Pay dan Boe-kek Kiam-hoat. Pendeknya, kecuali dua orang bertopeng itu dapat ditangkap, untuk dihadapkan ke muka kita beramai, aku tak sudi menghaturkan maaf!” Mendengar demikian, dengan tidak buka lagi baju luarnya yang gerombongan, Tjiong Hay Peng hampirkan Teng Kiam Beng, sembari angkat kedua kepalannya, untuk memberi hormat, ia kata: “Kalau tetap Teng Toako tidak niat haturkan maaf, baiklah kita turut saja aturan umum, aku mohon pengajaran dua-tiga gebrak dari kau!”

Itu ada tantangan untuk pieboe, adu kepandaian. “Kalau Tjiong Toako berniat berikan pengajaran padaku,

mustahil aku berani tak terima!” kata Kiam Beng sembari

tertawa jumawa. Tapi, belum ia tutup mulutnya, tangannya Tjiong Hay Peng sudah bergerak, menyerangnya.

Semua tetamu lain jadi terperanjat, mereka tidak sangka, pertempuran sudah lantas dimulai secara demikian getas, hingga mereka tak sempat lagi malang di tengah.

Tjiong Hay Peng mulai dengan “Tok pek Hoa San” atau “Dengan sebelah tangan membelah Gunung Tay San”. Adalah kepalan kanannya, yang mengarah batok kepalanya Teng Kiam Beng.

Kiam Beng elakkan kepalanya sambil lompat ke samping kiri, tapi dari sini, sambil putar sedikit tubuhnya, ia mendesak dengan tangan kanan melintang sebagai ancaman dan tangannya kiri menyerang pundak lawan.

Hay Peng turuti geser tubuh. Dengan “Lek tok tjian kim”, atau “Tenaga melawan seribu kati”, ia singkirkan tangan kanan lawan, lalu dengan membarengi, ia sodok iga kanannya Kiam Beng dengan kepalan kirinya.

Dengan “Tjiam liong tjhioe”, atau “Tangan menabas naga”, Kiam Beng babat lengan orang yang menyerangnya. Ini adalah tangkisan yang berupa serangan yang berbahaya sekali.

Dalam saat yang hebat itu, selagi kedua tangan hampir kebentrok satu dengan lain, tiba-tiba seorang lompat kepada mereka, nyelak sama tengah, kedua tangannya dipakai menangkis dua-dua serangan.

Tangkisan ini ada berbahaya tetapi pun hebat, kapan tangannya kedua lawan bentrok dengan dua tangannya ini orang ketiga, mereka pada mundur sendirinya. Tjiong Hay Peng menjadi gusar setelah ia kenali orang yang nyelak sama tengah itu ialah Lioe Kiam Gim, soeheng dari Teng Kiam Beng, karena ia lantas sangka, soeheng ini niat bantui soeteenya, akan tetapi, sebelum ia sempat bertindak apa-apa, Kiam Gim sudah mendahului menjura terhadap dia, dengan suara nyaring, orang she Lioe ini kata: “Kita Kaum Thay Kek Pay belum lakukan pembukaan secara resmi di Kota Poo-teng ini, kita belum punya murid yang menjadi ahli waris kaum kita, maka itu sekarang aku, sebagai soeheng dari Teng Kiam Beng, aku wakilkan golonganku akan menghaturkan maaf pada Tjiong Hay Peng dari Heng Ie Pay!”

Pernyataan Lioe Kiam Gim itu bikin suasana jadi reda dengan sekejab.

Tjiong Hay Peng lantas membalas hormat sambil ucapkan kata-kata merendah.

Kenapa Ketua dari Heng Ie Pay berbuat demikian? Itulah pertama karena Kiam Gim punya sikap laki-laki, sedang tadinya, dia memang hargai orang she Lioe itu, dan kedua, itu ada cara pemecahan yang ia memang inginkan, karena dengan begitu, mukanya Kaum Heng Ie Pay menjadi terang pula. Sebagai soeheng, Kiam Gim berhak bertindak secara demikian.

“Tepat, Lioe Lauwtee,” Kiang Ek Hian dari Bwee Hoa Pang berseru. “Bagus sekali tindakan kau ini! Sebenarnya, urusan ini kecil sekali dan tidak ada harganya untuk diperbesar. Kiam Beng bilang, dua binatang itu pergunakan Boe-kek Kiam-hoat, aku percaya kebenarannya itu. Memang, di antara orang- orang Kang-ouw, suka ada mereka yang curi beberapa jurus ilmu silat orang dan dua binatang itu, entah dari mana mencaploknya! Saudara Kiam Beng belum pernah yakinkan Heng Ie Pay, bisa sekali dia kena dikelabui, hingga ia keluarkan tuduhannya. Dan Tjiong Lauwtee, bisa dimengerti yang dia jadi tidak senang karena tuduhan itu mengenai kehormatan dia punya golongan. Di mana perdamaian telah didapat, baik hal ini tidak dibuat ganjelan, hanya mari, bersama-sama kita lanjutkan usaha kita akan cari tahu siapa adanya dua binatang itu! Saudara-saudara, hayo kita minum!”

Dan Kiang Ek Hian padukan cawannya Kiam Beng dan Hay Peng.

Jago she Kiang ini menduga benar dengan kata-katanya itu, karena betul, dua orang bertopeng itu gunakan beberapa jurus tipu-silat curiannya.

Biarpun perdamaian telah didapat, tampangnya Teng Kiam Beng masih pucat, saking tidak puas. Ia ada ahli waris dari Thay Kek Pay, sekarang soehengnya wakilkan ia menghaturkan maaf, inilah yang ia sangat tidak setujui. Ia pun masih mendongkol karena Tjiong Hay Peng berlaku galak demikian terhadapnya di depan sekian banyak tetamu. Ia anggap bahwa ia sudah kena dibikin rubuh. Hanya, karena orang banyak anggap pemecahan itu ada tepat, terpaksa ia tutup mulut.

Sejak itu, perhubungan di antara Kiam Beng dan Hay Peng jadi renggang sendirinya, malah persahabatannya dengan yang lain-lain juga jadi semakin tawar, tetapi di sebelah itu, pergaulannya dengan Soh Sian Ie jadi bertambah rapat, setiap dua atau tiga hari, mesti ada orangnya Keluarga Soh yang datang kepada Kiam Beng, atau Sian Ie sendiri yang datang berkunjung, untuk pasang omong. Soh Sian Ie cerdik sekali, kalau dia dengar Kiam Beng utarakan mendongkolnya pada Hay Peng, ia jawab dengan ringkas: “Mengenai kau orang kaum Rimba Persilatan, aku tidak berani omong suatu apa….”

Akan tetapi, pada suatu hari, selagi mereka bicara dengan asyik, sekonyong-konyong Soh Sian Ie tanya: “Lauwhia, namanya ilmu silat Thay Kek Pay ada sangat kesohor, kenapa di Poo-teng sini, Lauwhia tidak mau resmikan adanya golonganmu?”

Kiam Beng manggut-manggut waktu ia menjawab: “Sebenarnya aku telah pikirkan itu hanya sekarang belum sampai waktunya. Aku masih mesti merantau, akan cari pengalaman. Aku membutuhkan dasar yang kuat betul sebelumnya aku angkat diri. Begini juga ada pikiran soehengku, yang ingin kita tidak bertindak secara sembrono.”

Soh Sian Ie tertawa berkakakan atas keterangan itu. “Tetapi peribahasa mengatakan: Macan tutul mati

meninggalkan kulit, manusia mati meninggalkan nama!”

katanya. “Lauwhia ada turunan sah dari Thay Kek Pay, sudah seharusnya Lauwhia angkat diri, guna wakilkan leluhur, supaya Thay Kek Pay ada ahli warisnya, supaya sekalian leluhurmu itu pun bisa dimuliakan namanya. Harus diakui, bahwa soehengmu ada kesohor jujur dan namanya terjunjung, tetapi biar bagaimana, ia tetap ada orang luar, ia tak dapat menjadi anak berbakti atau cucu bijaksana….”

Teng Kiam Beng ketarik hatinya mendengar kata-kata yang beralasan itu. Kalau Thay Kek Pay mesti punyai tjiang-boen- djin, ahli waris yang menjadi ketua golongan, orang yang sah untuk itu adalah dia sendiri. Kiam Gim ada soeheng tetapi ia dari lain she, kecuali bila sudah tidak ada turunan dari Keluarga Teng. Demikian, dengan tidak pikir panjang lagi, ia lantas turut sarannya Soh Sian Ie. Untuk ini, Sian Ie membantu banyak sekali, dengan tenaga, dengan uang, dan dengan pengaruh pembesar negeri, malah dengan angkat juga orang she Teng ini menjadi penasihat ilmu silat, atau Kok-soet Kouw-boen, dari Istana Tjongtok dari Tit-lee. Kiam Beng coba tampik keangkatan itu, tetapi ia semakin hargakan Sian Ie sebagai sahabat yang jujur dan setia.

Mengenai tindakannya Kiam Beng yang angkat diri jadi tjiang-boen-djin dari Thay Kek Pay, golongan ahli silat lainnya tidak ada yang taruh perhatian besar, sedikit sekali kaum Rimba Persilatan yang kunjungi dia, buat memberi selamat atau mengutarakan pujian, malah Lioe Kiam Gim sendiri, nampanya tidak ada perhatiannya, saudara ini tidak bilang suatu apa. Hanya pada suatu malam – malaman besoknya soetee ini hendak resmikan pendiriannya – Lioe Kiam Gim datang dengan tiba-tiba. Saudara ini ada gendol satu pauwhok kecil, di pinggangnya tergantung pedangnya, dengan air muka sungguh-sungguh yang tercampur kemasygulan, dia berkata: “Soetee, aku kasih selamat pada kau karena kau hendak angkat namanya kaum kita. Mengenai tindakanmu aku tidak bisa bilang suatu apa. Seperti Soetee ketahui sendiri, aku dipiara dan dididik Soehoe sampai aku berusia dewasa, budinya Soehoe tak dapat aku lupakan. Hanya, mengenai kau ini, aku hendak sampaikan anggapan umum terhadapmu. Kau dianggap sudah nanjak ke cabang yang tinggi karena kau andali pengaruh pembesar negeri, karena kau berniat menjagoi sendiri. Aku tidak percaya omongan orang itu, aku percaya kau bukan bangsa penjilat dan jumawa, tetapi aku toh ingin sekali, janganlah kau kasih dirimu diangkat-angkat hingga kau jadi tersesat, lupa pada diri sendiri! Aku pun hendak beritahukan padamu, mendirikan kaum sendiri bukan pekerjaan gampang. Buat terima murid, akan angkat diri jadi soehoe, kau mesti ber-hati-hati, kau mesti jaga jangan sampai kau dipermainkan oleh murid yang buruk, sebab bisa jadi ada bangsa kurcaci, yang nanti datang buat berguru pada kau, lalu di belakang hari, dia cemarkan nama perguruan. Aku kuatirkan ini, dari itu, aku minta kau waspada. Soetee, bukankah dulu kau pernah tanya aku, aku sudi atau tidak menjadi tjiang-boen-djin akan gantikan kedudukan Soehoe?

Pasti sekali aku tidak berani terima itu, kesatu aku belajar belakangan dari kau, kedua sudah seharusnya sebagai anak, kaulah yang mewariskannya. Di sebelah itu kau ketahui sendiri, aku jadi soeheng pun disebabkan usiaku lebih tua dua tahun daripadamu. Soetee, mengenai kita, paham di antara kaum Kang-ouw mesti ada kekeliruannya, apabila aku tetap berdiam di sini, itu bisa jadi lebih hebat pula, maka itu, sekarang juga aku hendak pulang ke Shoatang. Gelombang di kalangan Kang-ouw, aku telah rasai cukup, dari itu aku pikir baiklah aku pulang ke kampungku, akan beristirahat. Soetee, sampai di sini saja, aku berangkat!”

Baharu Kiam Beng hendak mencegah, atau soeheng itu sudah meloncat untuk pergi dengan cepat. Tapi ia coba menyusul. Justeru itu, kelihatan Kiam Gim balik pula seraya terus kata: “Barusan aku lupa kasih tahu sepatah kata pada kau, yaitu untuk selanjutnya kau jangan cari persetorian pula!” Habis itu, soeheng ini kabur pula, tanpa sang soetee dapat candak ia. Hingga soetee ini kembali masygul.

Sejak angkat diri menjadi tjiang-boen-djin dari Thay Kek Pay, setelah berselang dua puluh tahun, di sebelah namanya jadi tambah kesohor, Teng Kiam Beng juga bisa bawa diri, jarang ia mencoba-coba kepandaian orang lain. Akan tetapi, di samping itu, pergaulannya sama Soh Sian Ie terus bertambah rapat, malah kemudian, ia bergaul juga sama pembesar- pembesar negeri.

Di sebelahnya Kiam Beng, Lioe Kiam Gim pulang ke Shoatang dan terus menikah. Kiam Beng sendiri sudah menikah, dengan nona yang dipilih oleh ayahnya. Isterinya Kiam Gim ada Lauw In Giok, gadisnya Lauw Tian Peng dari Kaum Ban Seng Boen. Ia tinggal bersama isterinya, di rumah mertuanya, di dalam Dusun Kim Kee Tjoen di Kho Kee Po, yang berada di perbatasan Hoopak. Dua puluh satu tahun telah lewat sejak Kiam Gim beristirahat, selama itu, ia telah punyakan tiga murid, sedang muridnya yang kepala adalah Law Boe Wie, itu bocah yatim-piatu anak petaninya Soh Sian Ie di Poo-teng. Nama Boe Wie ini, Kiam Gim yang sengaja berikan, artinya: jangan takut. Dia toh anak yang dipungut dari dunia kesengsaraan. Boe Wie sudah merantau sejak delapan tahun yang lalu. Di dalam tiga tahun yang pertama, masih ada kabar-ceritanya, tapi selanjutnya, setelah terkabar bahwa ia menuju ke Liauw-tong, ia seperti lenyap, sia-sia saja gurunya coba cari tahu tentang dia.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar