Bujukan Gambar Lukisan Jilid 17

Jilid 17 : Lukisan yang dicari…..terlewatkan

"Encie In, mari kita kuntit dia." Tiong Hoa berbisik pada si nona. "Dialah Thian Hong cinjin yang terlihat di Kwie In Chung, sepasang pedangnya itu pedang mustika, nanti aku rampas untuk dihaturkan pada encie setujukah kau?" Nona Cek suka menurut, ia tertawa manis.

Keduanya lantas memutar tubuh, akan menyusul si imam.

Thian Hong cinjin bertemu beberapa orang yang dikenal, dia berhenti sebentar berbicara dengan mereka itu, dengan begitu dia menjadi membuang tempo, hingga dia dapat diawasi Tiong Hoa berdua, Kemudian terlihat dia naik keatas sebuah lauwteng kecil.

Setelah melihat didekat situ tidak ada lain orang, Tiong Hoa mengajak In Nio menuju ke lauwteng itu. Nyata ada beberapa orang yang berdiri menjaga, roman mereka itu keren, tangan mereka merabah goloknya masing-masing. Tiong Hoa melirik pada In ^io, ia mengedip mata.

Nona Cek mengerti, Maka dengan sobat keduanya lompat maju, sebat dan lincah sekali, mereka menotok orang-orang jaga itu, hingga semuanya pada berdiam seperti patung patung, Tidak ada satu yang keburu membela diri atau berteriak.

Dengan sebat keduanya maju lebih jauh, untuk masuk keruang dalam. Baru tiba di luar kamar, mereka sudah mendengar suara orang bicara di dalamnya, Kebetulan mereka mendengar suaranya Thian Hong cinjin: "Turut apa yang pintoo dengar Coan In-yam Kwie lam Ciauw telah menyerahkan kitab Lwee Kang Koen Pouw kepada Giam-ong-Leng cit-chee-cioe Pouw Liok It."

"Entah setan tua she Pouw itu, hari ini dia datang atau tidak?" kata satu suara yang nyaring, "surat undangan terbang sudah dikirim akan tetapi jawabannya belum di terima, Andaikata dia datang maka kami tiga saudara Hoa akan menyambutnya dengan barisan sam GoanTin, aku percaya kami akan berhasil membekuk padanya, Andaikata kami gagal, aku minta tootiang membantui, pasti dia bakal terbekuk. Dia mesti dipaksa menyerahkan kitab itu, supaya kita kemudian dapat menjadi jago."

"Kakak, aku minta janganlah kau menjadi jumawa." kata seorang yang ketiga, "sejak tiga puluh tahun dulu, si bangsat tua she Pouw telah mendapat julukan Pak Pit Lam Pouw, kalau sekarang dia muncul pula, pasti ilmu silatnya telah maju jauh, karena nya tak dapat kita alpa."

Tepat itu waktu terdengar suara lonceng yang nyaring mengalun.

Tiong Hoa tahu itulah tanda pertandingan bakal dimulai, maka dengan sebat ia ajak In Nio mengundurkan diri Mereka lompat naik kesebuah pohon yang besar dan daun nya lebat, untuk bersembunyi disitu sambil memasang mata. segera juga terlihat Thian Hong cinjin berjalan keluar bersama tiga orang, Mereka berjalan cepat sambil bicara terus, sama sekali mereka tidak memperhatikan orang- orang mereka, yang menjaga dengan berdiri diam saja.

Tiong Hoa menanti sampai orang sudah lewat jauh, bersama si nona ia lompat turun dari atas pohon, untuk pergi kelain-lain tempat lagi, Diwaktu begitu, siapa pun merdeka akan mengitari seluruh Hoa Kee Po. Tengah mereka berjalan itu, Tiong Hoa merasa angin bersiur dibelakang nya, ia menduga kepada orang penyusulnya, dengan cepat ia memutar tubuh, Maka ia melihat seorang muda, yang romannya bengis mengawasi tajam padanya dan berkata:

"Benar- benarlah bukan sembarang orang sekarang sudah waktunya pertandingan dimulai, kamu masih kelayapan disini, apakah maksud kamu." Dingin suara teguran itu.

"Maksud kami yalah kepada orang diatas batang lehermu" sahut Tiong Hoa tak kurang dinginnya.

Orang itu gusar, dengan sebat ia menghunus goloknya dengan apa ia lantas menyerang si anak muda, Goloknya itu tajam berkilau.

Tiong Hoa menjadi semakin panas hati. Maka ia tertawa dingin. ia menggeser kaki kirinya untuk berkelit, berbareng dengan itu sebelah tangannya diangkat menyamber kearah golok. sedang kaki kanannya berbareng melayang juga.

Tepat sekali gerakan tangan dan kakinya itu. si penyerang tertangkap tangannya, untuk segera ditarik dengan kaget hingga sambungan pun tidak lepas, sedang pahanya terjejak sampai tubuhnya terpental. Dia roboh menjerit kesakitan sejauh empat tombak, mulutnya memuntahkan darah, napasnya lantas berhenti.

Hebat jeritan itu, banyak orang yang mendengarnya, maka mereka itu lantas lari memburu. Ketika mereka menyaksikan peristiwa yang sudah terjadi itu, mereka heran dan melongoh, mereka saling mengawasi.

Tiong Hoa tersenyum ewah, ia ajak In Nio pergi meninggalkan kurbannya, untuk menuju kearah panggung loeitay, Disana orang sudah berkumpul banyak, berdesak-desak. banyak yang bicara satudengan lain, bicara dari hal dua orang yang lagi bertempur diatas panggung.

Tak lama Tiong Hoa berdua menyaksikan.

Lantas pihak lawan roboh kebawah panggung. Yang menang yalah piak tuan rumah, Dia lantas menunjuki kejumawaannya, Dia berpakaian mentereng maka dia nampak garang. Kata dia temberang: "siapa yang ilmu silatnya tidak berarti, jangan dia naik ke panggung sini, cuma-cuma untuk mencari malu sendiri "

Tantangan itu dijawab seorang pengemis usia pertengahan. Dia berpakaian banyak tambalannya tetapi pakaiannya itu bersih, Dibetulan iganya bergantung sebuah kantung besar, yang bergoyang goyang tak hentinya.

Melihat si pendeta, In Nio berbisik pada si pemuda : " Hampir semua orang Thian lam Kay Pang memelihara binatang yang berbisa, maka itu si jumawa itu pasti bakal terbinasa, Didalam kantung itu mesti ada sesuatu racunnya." si pengemis melempangkan pinggang dia kata nyaring

: "Ccie Peng Tong, buat apa kau mengepul ? Aku si pengemis, aku kenal kau baik sekali. Kaulah si murid yang pindah berguru kepada lain orang orang murtad menjemukan tetapi kau toh masih berani mementang mulut lebar-lebar "

"Siapa mau adu lidah denganmu " Peng Tong membentak ia kuatir rahasianya nanti dibeber lebih jauh, "Kau berani kemari ? Mari kita adu kepandaian kita "

"Baiklah jikalau kau mau " kata si pengemis. "Siapa takut padamu ?" perkataan itu ditutup dengan serangannya.

Peng Tong kaget, sampai ia tak keburu berkelit, atau menangkis, Bukan main sakit nya ketika pipinya terhajar, pipi itu kontan menjadi bengap dan merah. Dia juga pusing kepalanya dan berkunang-kunang matanya. "Pengemis bau mengapa kau main bokong?" tegurnya.

"Memangnya kau tidak sedia bertempur?" si pengemis membaliki. "Kalau cepat salah, baiklah, mari kita main perlahan " Semua hadirin tertawa.

Cek In Nio pun berludah sambil ia meletaki kepalanya didada si anak muda.

Peng Tong gusar hingga ia lantas melayangkan tinjunya, itulah hajaran "Memegang awan meniambret rembulan-" cepat dan keras.

si pengemis sudah bersiap sedia, ia tidak menangkis, hanya ia menjauhkan diri dengan cara istimewa, Yaitu ia menjejak tanah, untuk bcriompat, caranya luar biasa, yaitu ia lompat dengan kedua kaki naik terus melewati kepala, hingga ia menjadi kaki diatas, kepala dibawah, sudah begitu, dengan dua tangannya, ia menyambar ia bersilat dengan tipu "Kera putih melewati pelatokl" Dengan tangan kanan ia mengarah lengan, dengan tangan kiri ia menyerang ke muka.

Tangan Peng Tong kena terpegang, Dia kaget dan merasa sakit, Tangannya itu dicekal keras. Menyusul itu gaplokan melayang, mengenai pipi kanannya hingga giginya copot dan mengeluarkan darah disamping matanya kegelapan, Dia bingung, dia menahan sakit, Tahulah dia sekarang bahwa dia sudah kalah tetapi dia malu untuk lompat turun dari panggung.

Kin Lam sam Pa pun turut menjadi bingung, mereka berduka dan mendongkol. Untuk menyuruh Peng Tong turun, mereka malu.

Peng Tong tidak berdiam saja, saking malu dan penasaran, dia menyerang dengan senjata rahasia, Belasan golok lioe-yap-too merabu si pengemis, Goloknya itu pun dipakaikan racun, sebenarnya jarang dia mengguna i senjata rahasia itu, tapi sekarang dia menggunainya karena putus asa. Dia percaya dia bakal berhasil karena mereka berdiri berhadapan dan dia menyerang secara mendadak.

Sebenarnya si pengemis pun kaget sekali, syukur ia tidak menjadi bingung, seketika juga ia menjatuhkan diri celentang diujung panggung, kakinya menyangkel pinggiran, Dengan begitu semua golok lioe-yap-too lewat diatas nya.

Peng Tiong menyangka lawannya roboh ketika dia melihat kaki orang dipinggiran panggung dan membacok. Tengah dia mengayun goloknya itu, mendadak tubuh sipe ngemis bangun berdiri, Dia kaget bukan main. "Sahabat " katanya, ia mundur. Niatnya untuk

menyerah kalah, Apa mau tinju sipengemis sudah sampai tepat mengenai dada-nya. Dia merasa napasnya sesak. perkataannya terputus suaranya tertahan.

Dengan tangannya, ia menangkis tapi tangan itu lantas terasa nyeri sekali. Tidak sangsi lagi, dia melengak. niatnya lompat menyingkir apa mau, dadanya menjadi sesak sekali.

Dada itu tertekan Maka dia lantas muntah darah, tubuhnya terguling diatas panggung itu, jiwanya melayang.

Kin Lam sam Pa menyaksikan itu. mereka gusar bukan main, tetapi mereka tidak bisa mengumbar itu Peng Tong menjadi kurban kejumawaan dan kegarangannya itu, dia makan hasil keganasannya.

Kesudahan itu disambut dengan kesunyian.

Si pengemis merapihka n pakaiannya, ia berdiri diatas panggung, matanya mengawasi kesekitarnya, kemudian ia kata dengan peria han: "Kali ini aku HooBoenPeng menang satu babak sebab ini sahabat she Cie suka mengalah padaku"

Mendengar kata-kata itu. dibawah panggung terdengar suara tertawa, orang merasa lucu, Cie Peng Tong yang sudah mati dikatakan mengalah. In Nio tertawa terpingkal hingga ia bergelendot pada tubuh Tiong Hoa, kata ia: "Tidak beres pengemis itu, dia kurang bijaksana."

Boen Peng dapat dengar celaan itu, ia malu sendirinya, tetapi ia menyambutnya dengan tenang kemudian dengan perlahan ia berkata pula: "Dari pihak Hoa Kee Po ada siapa lagi yang mau naik kepanggung ini, aku sipengemis bersedia untuk melayani?"

"Hoo Boen Peng,janganterkebur" terdengar suara nyaring dibawah panggung, "Pintoo Biauw Ceng sioe akan menemani kau"

Satu bayangan orang lantas lompat naik keatas panggung, pesat dan tanpa bersuara ketika kakinya menginjak lantai.

"Apakah kau murid Hoa Kee Po?" ia tanya tawar.

Imam ini merah muka dan telinganya, Tapi dia tertawa menyeringai.

"Oh, anjing buta" dia membentak "Bagaimana kau sampai tidak mengenal imam kepala dari Hian Touw Koan?" Dalam murkanya. dia terus menghunus pedangnya yang berkilauan cahayanya.

Mengetahui orang bukan murid Hoa Kee Po, Boen Peng jadi mendongkol, ini imam berarti si jahat membantu si jahat, ia lantas keluarkan senjatanya, tongkat samcay Tham kong-cung, yang bersambung tiga, alat peranti menotokjalan-darah. Ketika ia mengerahkan tenaganya, tongkatnya itu menjadi lempang dan kaku.

Biauw Ceng sioe ingin mengangkat nama- nya. diatas Eng Hiong Tay, lantas ia menyerang, maka itu, ketika si pengemis melayani mereka segera bertarung.

Boen Peng berkelahi dengan sin Wan Thung-Hoat, ilmu tongkat Kera sakti salah satu ilmu silat dari Thian- lam Kay Pang, Partai pengemis dari selatan.

Inilah tandingan yang setimpal. Mereka bertempur seru dari jurus selanjutnya, Ceng sioe jadi memikir mana muka terang nya andaikata dia kalah? Maka ia ingin lekas merebut kemenangan. Dengan mendadak ia bersiul nyaring, selagi pedangnya mengancam, dengan tangan kirinya ia menjambret tongkat lawan yang dipakai menangkis.

Tongkat Boen Peng mempunyai gigi tajam dikedua sisinya, dari itu ia terperanjat melihat lawan berani menyambar tongkatnya itu. ia mengira si imam kebal, tak mempan senjata. Karena kaget, ia menjadi sedikit ayal.Justeru itu, pedang lawan melayang bukan main cepatnya. Tak ampun lagi, lengan kirinya kena terbabat hingga berdarah, dagingnya turut terpapas sedikit, ia menjadi mendongkol sekali. Tapi selagi sakit, ia tertawa dingin-

"Biauw Ceng sioe, nanti aku ajar kau kenal dengan ular dari Thian Lam" ia membentak, Berbareng dengan itu, sebelah tangan nya sudah memegang kantongnya.

Ceng sioe menang angin, dia menjadi berkepala besar.

Dia tertawa lebar dan kata: "Biasalah pengemis doyan main ular Tapi aku juga biasa melihat binatang itu yang suka muncul disekitar kelentengku itulah tak aneh" Meski demikian, diam-dium dia waspada.

"Baguslah kalau itu sudah biasa bagi-mu" kata Boen Peng. ia membuka mulut kantongnya, atas mana berlompatlah seekor ular panjang delapan kaki dan besarnya sejari tangan. Turun kelantai panggung, binatang merayap itu mengangkat kepalanya dan menggoyangkan ekornya, selagi matanya mengawasi tajam, mulutnya menggoyang-goyang lidahnya yang berbisa.

Ciut juga hati Ceng sioe memandang ular itu yang mempunyai kepala besar, tubuhnya hitam mengkilap. lidahnya merah matanya merah marong, ia malu bertempur melawan ular. Kalah celaka menang tak memperoleh nama, Tapi ia sudah membuka mulut lebar, tak dapat ia mundur pula, ia lantas mengawasi tajam.

Mulutnya Boen Peng mengasi dengar siulan nyaring, itulah anjuran buat si ular mulai menyerang, Binatang itu lantas berbunyi menyahuti, lalu tubuhnya bergerak. Dia maju dengan mulutnya dipentang, Hanya sejenak. ular menyambar, pedang menabas.

Biauw Ceng sioe membacok tapi gagal ular itu lewat, ekornya menyambar pipinya, Dia kaget, dia merasa sakit, Dia pun takut akan bisa ular. Menduga bahwa bisa sudah memasuki kulit dan dagingnya, dia menjerit keras. Dilain saat, kepala ular itu sudah berbalik, mengancam untuk memagut padanya....

Ketika mendadak terdengar seruan dari bawah panggung, terus sesosok tubuh besar berlompat naik, tangan kanannya di-luncurkan, guna menangkap tubuh ular itu pada punggungnya.

Hanya sekejab, binatang berbisa itu mati kutunya, Tak dapat dia memagut si imam, tak dapat dia juga dia memutar kepala, guna menggigit penangkapnya itu.

Bahkan ketika orang mengerahkan tenaganya, dia lantas berdiam tak berkutik lagi.

Hoo Boen Peng lantas mengenali orang itu, yalah Hoei Eng Cit-Ciang Hoa Wie si Garuda Terbang, anggauta ketiga dari Kin Lam sam Pa. ia menjadi bersakit hati, dengan mendongkol ia kata: "seekor ular saja sampai menyebabkan Hoa sam-thay-ya turun tangan sungguh beruntung ularku, dia akan mati meram" Muka Hoa Wie menjadi merah, dia likat. "Hoo Boen Peng, adakah kau seorang kenamaan?" ia menegur, "Kalau gurumu si setan tua tidak muncul, aku pun tidak mau melayani kau, akan tetapi kau menggunai ularmu biauw Koan-coe ini tetamuku, terpaksa aku mesti turun tangan" sembari berkata itut ia lemparkan ular kepada pemiliknya.

Boen Peng menyampuri sambil tertawa dingin. Dari sakunya ia mengambil sebutir pil hitam, yang ia kasi makan pada ularnya, habis mana binatang piaraan itu dimasuki pula kedalam kantongnya. Tanpa mengucap sepatah kata, ia lompat turun dari panggung adu jiwa itu.

Biauw Ceng siou ketakutan, ia merasai pipinya nyeri seperti terbakar. Benar dia berhati lega melihat musuh berlalu, tapi sekarang, ia berkuatir untuk pipinya itu Lekas sekali pipi itu menjadi bengap dan merah.

Menampak itu, Hoa Wie bingung, ia mengerti bisa ular sudah bekerja, Kalau bisa menyerang keulu hati, matilah si imam. Karena itu, segera ia menotok pundak dan dada imam itu, guna menutupjalan darah-nya, sedang dengan pisau belatinya ia memotong pipi orang, guna mengucurkan darah yang hitam, ia pun memencet, membikin darah keluar deras, Baunya itu sangat menusuk hidung.

Biauw Ceng sioe gemetaran mulutnya tak dapat mengeluarkan suara, ia mesti bersikap sebagai laki-laki, atau ia akan mendapat malu sendirinya, Bukankah tadi ia telah membuka mulut besar? Didalam hati, ia mengutuk si pengemis, ia sangat mendendam penasaran. Hoa Wie mengambil tiga butir obatnya, ia remas itu, terus ia borehkan ditempat yang luka, baru setelah itu sambil tertawa ia kata: "Saudara Biauw, mari kita turun. Kau perlu beristirahat "

Ceng sioe mengawasi kepada musuhnya, lalu ia turut tuan rumah mengundurkan diri.

Dipihak Hoa Kee Pe lantas ada seorang yang naik ke panggung, untuk menantang, guna meneruskan pertandingan.

Tiong Hoa melihat kesekitarnya, ia ingin melihat, siapa yang bakal menyambut tantangan selagi mengawasi itu, mendadak ia menyentuh tubuh In Nio disampingnya, terus ia kata perlahan: "Mereka itu datang "

Si nona pun lagi menantikan siapa bakal naik, ia tak mengerti kata-kata si anak muda. "siapa ?" tanyanya sambil mengawasi. Tiong Hoa berbisik.

"Lihat itu disebelah kiri panggung," katanya. "Bukankah itu mereka yang berdiri di depannya seorang dengan rambut kusut ?"

Masih In Nio tak dapat menerka, akan tetapi ia memandang kearah yang disebutkan. Benarlah dikiri punggung itu, dibelakang si orang rambut kusut, berdiri sepasang muda-mudi yang setimpal, sipemuda tampan, si pemudi cantik mirip bidadari.

Pemudi itu memang lah pemudi yang di tembok kota Pek tee dibuka topengnya oleh Tiong Hoa, setelah memandang mereka itu terutama si bidadari, ia tertawa perlahan, sedikit nona ini jelus tetapi ia memikir tak nanti pemuda itu berubah hatinya...

Tiong Hoa menghela napas. "Manusia itu bukannya rumput atau pohon yang tak ada rasa hatinya," sahutnya, "Aku memikirkan, encie, aku mendelong..." ln Nio heran, hingga ia memikirkan untuk kau "

Di pihak sana, si bidadari itu pun dengan sepasang matanya yang celi. Mengawasi kearah sini.

ooooooo Bab 19

TERLIHAT nona cantik itu melengak. mendapatkan sepasang muda-mudi yang memakai topeng ditempat umum ini, toh sinar matanya sinar terang dan gembira, pula lantas tampak senyumannya yang manis, tampak juga dua baris giginya yang putih dan bagus.

In Nio heran, ia bingung memikirkan kata-kata si pemuda, Ia terus menatap pemuda disisinya itu.

Tiong Hoa balik mengawasi ia bersenyum. "Masih terlalu siang untuk aku bicara jelas," katanya, "Asal encie percaya aku, cukup sudah"

Mau atau tidak, In Nio tertawa, "siapa tak tahu hati kamu bangsa laki-laki. Kamu, sesudah dapat tanah Liong, lantas mengharap juga memperoleh tanah Siok, Tapi tak aku menghiraukan itu, asal kau tidak melupakan aku"

Hati Tiong Hoa berdenyut telinganya terasa panas.

Demikian macam ia mesti menyambut hati si nona manis.

Diatas luitay, orang sudah mulai bertanding, Dibawah Kin Lam sam Pa asik bicara satu dengan lain, Mereka itu terpisah dekat juga dengan Tiong Hoa, walaupun mereka bicara perlahan, anak muda ini dapat mendengarnya, Mendengar suara orang pemuda ini ingat sesuatu. "Lagu-suara sam Pa seperti lagu suara orang Tiong- cioe," ia berpikir, "Mungkinkah gambar Yoe san Goat Eng didapatkan mereka ini?"

Sebenarnya ia sudah memikirkan melepas soal gambar itu, tetapi sekarang mendengar suara orang, timbul pula keinginannya, Lantas ia bisiki si nona: “Encie In, mari kita pergi kekamarnya sam Pa, untuk mencari serupa barang, Aku minta kau membantui aku." ia tidak menanti jawaban hanya ia menarik tangan si nona.

"Kau maksudkan Yoe san Goat Eng?" Ia tanya, ia menerka jitu.

Tiong Hoa mengangguk. Maka si nona mengikutinya.

Mereka berjalan dengan perlahan-lahan untuk tidak mencurigai orang, akan tetapi toh ada seorang yang melihatnya.

Dengan berhati-hati, Tiong Hoa mengajak In Nio masuk kedalam rumah, Mereka mesti berhati-hati agartakada orang yang melihatnya, Di tempat jagaan, mereka mendapatkan orang-orang yang tadi mereka totok masih berdiam terus seperti patung hidup, karena itu merdekalah mereka masuk ke dalam, untuk naik keatas lauwteng. Dengan sebat mereka bekerja untuk menggeledah, guna mencari gambar Yoe san Goat Eng. Mereka melihat banyak kitab dan gambar lainnya tetapi tidak gambar yang diingini itu. "Ah " kata Tiong Hoa, putus asa.

"Apakah kau percaya pasti gambar itu di miliki sam Pa

?" In Nio tanya berbisik,

Si anak muda menggeleng kepala. "Aku melainkan menerka," sahutnya.

"kalau begitu, kau tolol " kata si nona, "Mari kita keluar " 

Ketika itu mereka lagi berdiri dikamarnya Hoa Wie. Mendadak diluarjendela terdengar suaranya seorang nona : "jikalau kamu tidak lekas keluar, Hoa Wie bakal segera datang kemari"

Tiong Hoa melengak. itulah suara yang ia kenal.

"Eh, mengapa dia pun turut datang ke- mari?" katanya didalam hati, ia menarik tangan In Nio, buat diajak lompat keluar jendela, hingga dilain saat mereka sudah berada didalam rumpun pohon bambu, Dan situ mereka lantas melihat seorang bertubuh besar mendatangi bersama dua orang lain, cepat tindakannya.

Mendadak orang bertubuh besar itu merandak. Dialah Hoa Wie. sekarang dia mendapat kenyataan orang-orang jaganya mematung cuma mata mereka yang mengasi lihat sinar ketakutan-

"Rupanya mereka ini menjadi kurban- kurbannya sepasang muda mudi yang bertopeng itu." kata dia kepada kedua kawannya. "sam-pocoe tak menerka salah." sahut dua orang itu.

"Hm" Hoa Wie bersuara, lalu ia menotok bebas orang- orangnya itu. Hanya ia menjadi kaget dan heran, orang bukannya bebas hanya roboh sambil menjerit-jerit, terus mereka mengeluarkan darah dari mulutnya hidung dan lainnya, akan akhirnya mereka menghembuskan napas mereka.

Hoa Wie melengah hatinya mencelos, inilah hebat, Tengah ia berdiam itu, ia melihat datangnya tiga orang lain, yalah Thian Hong cinjin bersama dua pendeta kurus dan gemuk-yang membekal senjata Hong-pian-san di punggungnya, pelipisnya mereka itu muncul dan matanya tajam.

"Ada apakah?" tanya Thian Hong setelah datang dekat, ia heran menyaksikan tuan rumah bingung dan mayat-mayat berserakan-

"Telah terjadi perkara hebat disini", sahut Hoa Wie. ia lantas menutur ringkas, ia mengutarakan dugaannya atas diri muda-mudi bertopeng itu, ia bicara sabar tetapi gusarnya bukan main.

"Sepasang muda-mudi bertopeng?" kata Thian Hong, mengulangi Baru saja pintoo

melihatnya ditengah jalan, Memang gerak-gerik mereka mencurigai tetapi tidak berani aku mengusiknya, Tidak dinyana mereka berani main gila disini, sayang barusan mereka dikasi lewat."

In Nio mendengar suara si imam, hatinya panas. "Hidung kerbau ini tidak tahu malu " ia berbisik pada

Tiong Hoa. "Nanti aku hajar kedua buah telinganya " si pemuda tarik tangan si pemudi.

"sabar," bisiknya, "jangan kita muncul dulu, sebentar akan aku bikin kau puas encie In-"

Nona itu bersenyum, ia menaruh kepalanya didada si anak muda. Lantas terdengar suaranya sipendeta gemuk yang tertawa tak sedap.

"Mungkin sekali merekalah si sepasang anjing anak laki-laki dan perempuan dari Pouw Liok It si bangsat tua" katanya keras, "Kabarnya mereka itu tengah melakukan perjalanan. Mereka bertopeng, itu lebih memastikan dugaan, sungguh mereka jahat."

Selagi berkata begitu, pendeta ini terkejut sendirinya.

Mendadak ia merasai sikutnya kaku hingga ia seperti kehilangan tenaganya, ia mencoba mengangkat tangannya lalu ia menjadi terlebih kaget, ia heran- Tangannya itu tak kurang suatu apa. Cuma jalan darah nya yang kurang lurus sedikit, Hal itu ia tidak hiraukan lagi. Hoa wie heran-

"Kau kenapa, taysoe?" tanyanya, Tak keruan- ruanpendeta ini berhenti berbicara dan menggeraki tangannya itu, sedang wajah nya menandakan dia kaget dan heran.

"Tidak apa-apa," sahut si pendeta gemuk menggeleng kepala.

"Aku bukan maksudkan sepasang anaknya Pouw Liok It itu sudah datang dan mereka berada dibawah panggung, sang putera lagi berbicara dengan saudaraku. semenjak mereka berdua menaruh kaki di Khie kang, Lauw Hoe-congkoa n tak pernah berpisah dengan mereka itu, ia menguntit terus sampai disini, jadi mestinya lain orang..."

Tuan rumah ini agaknya gelisah, "Habis siapakah itu sepasang muda-mudi yang bertopeng itu?" tanya Thian Hong heran. "pula, apakah maunya mereka datang ke mari?"

"Inilah yang membikin aku memikir tanpa mengerti, Teng Kwie yang mati itu jarang keluar, jadi tidak ada alasan bahwa ia membangkitkan permusuhan pribadi, Ada kemungkinan yalah dia baru saja menyebabkan sepasang orang bertopeng itu gusar terhadapnya " ia

menoleh kepada kedua orang yang mengikutinya dan menanyai.

"Apakah kamu pernah melihat ada lain-lain saudara disini yang tertotok sepasang orang bertopeng itu?" "Maaf, pocoe," menyahut dua orang itu, rdengan sebenarnya kami berdua tidak dapat melihat kecuali kejadian atas dirinya Teng Kwie."

"Makhluk tak berguna" mendadak Hoa Wie mendamprat seraya tangannya melayang, Maka dua orangnya itu menjerit kesakitan, tubuh mereka terhuyung mulutnya mengeluarkan darah, lalu dengan muka pucat, mereka berdiri diam.

"Sabar, saudara Hoa," membujuk Thian Hong sambil tertawa, "Mereka ini tak dapat dipersalahkan, Marilah kita melihat kedalam lauw-teng, mungkin mereka itu sudah nelusup masuk."

Hoa Wie setuju maka ia mendahului masuk ke lauw- teng nya.

"Entah kita meninggalkan bekas atau tidak dalam lauw-teng itu?" berbisik Tiong Hoa pada In Nio.

si nona tertawa, ia kata: "Tak perduli ada bekas atau tidak. sekarang ini sukar untuk kita berkeliaran seperti tadi." Tiong Hoa berdiam, ia menggeleng kepala.

"Inilah buruk," katanya, "sekarang ini tak dapat kita tidak memperhatikan diri, Ya, sudahlah, karena kita sudah datang kemari sekalipun kedung naga dan sarang harimau, mesti kita masuki juga..."

Tiong Hoa menduga kawannya melihat sesuatu, ia turut mengawasi, ia tidak melihat apa juga, ia menjadi heran.

Tiba-tiba si nona berpaling dan kata, "Aku lagi pikirkan orang yang memberi peringatan pada kita itu, siapakah dia?"

Mukanya Tiong Hoa mendadak menjadi merah, tapi ia menggeleng kepala, "Entahlah," sahutnya tak tegas. In Nio menatap si pemuda, hingga dia membikin mukanya pemuda itu merah dan hatinya tak tenang, syukurlah mereka sama sama memakai topeng, hingga paras mereka tak nampa cuma terlihat sinarmata mereka yang berubah-rubah.

Tapi si nona cerdas, dia mulai membade. Dia hanya tidak cemburu. Dia ingat kata-kata si anak muda yang hanya memikirkannya. Mau atau tidak. keduanya toh saling berpikir.

Segera datangnya saatnya mereka melihat Hoa Wie semua menuju ke loeitay.

kita keluar," Tiong Hoa mengajak "Kita harus bikin bahwa kita putih- bersih dan tak takut apa juga."

In Nio menurut saja, maka keluarlah mereka dari tempat sembunyi dengan perlahan dan tenang, mereka menuju ke Eng Hiong Loei.

Ditengah jalan mereka terlihat beberapa penjaga, mereka itu heran, mereka bengong mengawasi. Tidak ada satu penjaga yang berani menghalang-halangi.

In Nio tertawa.

"Tadi tak ada penjagaan begini," katanya, "Rupanya inilah penjagaan yang baru diadakan oleh Hoa wie." Tiong Hoa mengangguk, ia membungkam.

selagi berjalan terus, mereka melihat seorang tua berbaju hijau muncul dari satu pengkolan- Dia bermuka kurus dan kumisnya sudah putih semua, Melihat muda- mudi itu, dia menghentikan tindakannya, dia mengawasi sambil tertawa.

"Kamu bertindak ditempat begini tetapi kamu tenang- tenang saja, teranglah kamu murid orang liehay" katanya, "Anak-anak muda, sudikah kamu perkenalkan diri kamu kepada aku si orang tua?"

Tiong Hoa melihat roman orang tak miripnya orang sesat, ia menyambut ber-senyum.

"Haraplah lootiang tak sembarang percaya kata-kata orang" katanya, manis, "Kami she Gouw, kami ingin melihat wajahnya orang-orang gagah disini, maka kami datang kemari, Yang mati itu berlaku keterlaluan kami sampai tidak dapat mengekang diri, dari itu kami keliru turun tangan menyebabkan kematiannya."

"kalau begitu kamu tak dapat disesalkan," kata orang tua itu. "Hanya kamu menggunai tutup muka, adakah itu disebabkan sesuatu?" Tiong Hoa menggeleng kepala.

"Kami terpaksa," sahutnya, "inilah titah guru kami yang kami tidak berani tentang." orang tua itu menarik napas, lagi dia menatap. Tiong Hoa memberi hormat.

"Kami mau melihat keramaian, maaf” kata nya. "sampai ketemu pula"

Tidak jauh dari situ, loei-tay sudah nampak. hanya aneh, diatas itu tidak ada seorang juga, sebaliknya dibawah panggung ada pertempuran beberapa rombongan banyak orang yang menonton sambil menjauhkan diri. Terlihat pula beberapa orang rebah binasa atau terluka, Tentu sekali, mereka menjadi heran hingga mereka tercengang.

Yang bertempur itu tiga pengemis melawan tiga orang Hoa Kee Po. Mereka bertempur seru sekali.

Tiong Hoa lihat sepasang muda mudi berdiri bersama Kim Lam Sam Pa tengah menonton-Si nona melihat ia berdua muncul, dia itu mengawasi sambil bersenyum, matanya memain hidup sekali. Diam-diam ia terperanjat. Tiba-tiba saja terdengar Hoa Wie berseru: "Berhenti dulu”

Nyaring suara itu, hingga keenam orang yang lagi bertempur itu berhenti dengan mendadak, semua lantas berpaling mengawasi tuan rumah. Dari pihak Kay Pang muncul seorang pengemis tua. "Hoa Sam-pocoe, apakah artinya ini?" dia tanya, Dia heran-Hoa Wie mengawasi tajam, tiba-tiba dia tertawa lebar-

"Soen Hoa-cioe," berkata dia, "permusuhan diantara Thian Lam Kay Pang dan pihak kami sulit dibereskannya, maka itu, pasti aku akan membuatnya kamu puas, Hanya janganlah kamu tergesa-gesa. Harap kamu menanti sebentar, ingin aku menanya itu sepasang muda-mudi yang tidak dikenal."

Pengemis tua dan kurus itu tidak berkata apa-apa. ia duduk numrah pula ditanah.

Hoa Wie lantas bertindak kearah Lie Tiong Hoa dan cek In Nio. ia diikuti Thian Hong Toolin serta si pendeta gemuk terokmok dan kurus kering.

Tepat disitu waktu maka terdengariah tertawa nyaring dari puteranya Pouw Liok It. Kata dia: "Hari ini, orang- orang yang datang ke Hoa Kee Po ini semuanya orang gagah, jikalau tidak demikian, tuan muda dan nona itu tidaklah nanti mereka berani datang ke mari, mereka toh seperti mengantarkan diri kedalam mulut harimau walaupun demikian, sam Pocoe,jikalau kau sudi mendengar suaraku, baiklah kau jangan menanam bibit permusuhan. Kamu harus ingat, urusan sekarang saja -- urusan Kay Pang dan urusan kami masih sulit pocoe menyelesaikannya" Mendengar itu, Hoa Wie tertawa dingin, sepasang alisnya terbangun-

Jikalau demikian." katanya keras, “Pastilah sepasang pria dan wanita itu yalah orang orang undangan Pouw siauw-tong kee, yang datang guna membantu pihakmu." si anak muda tidak gusar, dia bahkan tertawa.

"Aku Pouw Lim yang muda," Katanya sabar " walau pun ilmu silatku masih sangat cetek aku masih tidak membutuhkan bantuan orang, Yang terang yalah hari ini, tetamu-tetamunya Hoa Kee Po bukan sedikit jumlahnya." ia tertawa pula ia berpaling akan menambahkan "Encie Keng coba kau minta mereka itu memperlihatkan diri mereka, supaya pihak Hoa Kee Po tidak menyangka kita hendak main bersembunyi-sembunyian terhadapnya"

Nona Keng itu, Pouw Keng, tertawa manis, ia tidak menjawab saudaranya tetapi ia mengayun sebelah tangannya yang putih halus untuk meluncurkan sesuatu yang setibanya ditengah udara lantas meletus menerbitkan tiga sinar dadu, biru dan kuning, suaranya nyaring saling susul, terus muncrat bagaikan kembang api hingga menarik hati untuk dipandang. Menyambuti itu dari luar Hoa Kee Po terdengar sambutan siulan yang nyaring dan ramai.

Mendengar itu, Hoa Wie terkejut hingga mukanya menjadi pucat, dengan mendelong ia mengawasi kedua kakaknya, yalah Chee-bian Wie To Hoa Tay dan wie-tin Pat Hong Hoa Koei.

Wie-tin Pat Hong bernyali besar, dia tertawa, dia berkata: "Pouw Liok It terlalu kepala besar Dia tidak datang sendiri, dia mengirim dua bocah yang masih berbau susu. Adakah dia mengira Hoa Kee Po dapat saji dihina? Biar aku si orang tua minta pertimbangan semua orang gagah, diantara kita siapa yang benar dan siapa yang salah."

Pouw Lin pun menoleh kepada Pouw Keng dia tertawa dan berkata: "Encie Keng, belum pernah aku menemui tua bangka yang berani jumawa, disaat kematiannya ia masih omong besar. Tidakkah dia lucu hingga menyebabkan orang tertawa sampai giginya copot rontok?"

Kini Pak sam Mo menjadi sangat mendongkol hingga alis dan kumis mereka pada bangun berdiri, rupanya mereka tak dapat menguasai diri lagi, hendak mereka turun tangan- Atau mendadak si pengemis kurus dan tua tadi berlompat bangun dari tempatnya mendeprok. dia lompat kedepan tiga tuan rumah, untuk berkata dengan tawar:

"Aku si pengemis sudah mulai tak sabaran menantikan, maka itu aku minta samwie lekas menyelesaikan urusan kita Nyatanya sekarang selain samwie senantiasa mempersulit kami, samwie juga mempunyai sangkutan dengan pihak cit Chee Boen. Aku si pengemis tidak mengerti, bagaimana samwie hendak membereskan urusan kita ini?"

Hoa Wie tertawa mencemooh.

"Orang edan she soen" katanya, "jikalau kau menghendaki kematianmu, itulah tak sukar Memang siapa yang mau menyuruh kamu menanti lama-lama?"

Begitu berkata, ketua ketiga Hoa Kee Po lantas lompat kepada si pengemis untuk menyerang, Dia meluncurkan kedua tangannya yang sepuluh jerijinya kuat bagaikan gaetan suaranya pun sangat nyaring. Pengemis tua dan kurus menggeser tubuh dengan gesit sekali. Dia berkelit kekiri seraya tangan kanannya diangkat, bergerak dalam sikap "Burung walet menggaris pasir," tangannya itu menabas ketangan penyerang-nya, sedang tangan kirinya turut bergerak juga, hanya tangan kiri itu menyamber ke-punggung jago Hoa Kee Po itu dilima jalan darah.

Hoa Wie gagah dan gesit. Dia menarik pulang kedua tangannya, dia memutar tubuhnya, dengan begitu, bebaslah dia dari ancaman Tapi dia tidak mau berhenti begini bebas, begitu dia mengulangi serangannya.

Dengan begitu maka bertempurlah mereka dengan seru. Tiong Hoa dan In Nio menonton sambil bicara kasak-

kusuk, si anak muda sering di awasi oleh Pouw Keng, akan tetapi dia berlagak pilon-

Belum lama maka terdengarlah siulan nyaring dari arah rumah. Mendengar itu, pihak Hoa Kee Po terlihat beroman girang.

"Rupanya telah datang bala bantuan dari pihak tuan rumah." pikir Tiong Hoa.

segera tertampak datangnya empat orang seperti bayangan, mereka lalu lompat turun dari atas genteng, Merekalah empat orang tua, diantara siapa terdapat si orang tua ber baju hijau. Tiga yang lainnya masing- masing, berbaju merah, kuning dan hitam.

Segera yang berbaju kuning berkata, meskipun dia bicara dengan perlahan- "Aku minta kedua belah pihak suka berhenti sebentar. Aku si orang tua. ingin aku memberi pertimbangan yang adil" suaranya itu berat dan berpengaruh. Hoa Wie menyerang, untuk mendesak habis mana ia lompat mundur.

Si pengemis tua berhenti bertempur. Dia berkata dingin- "Aku si pengemis tua beruntung sekali dapat bertemu dengan ciangboenjin dari Kiong Lay Pay sungguh tidak disangka bahwa benar Kiong Lay Pay hendak merebut tempat kedudukan diselatan.”

Si orang tua berbaju merah tak menghiraukan ejekan itu, ia hanya memandang keluar Hoa Kee Po dimana tampak berlari-lari datangnya beberapa orang, cepat larinya mereka ketika mereka sampai lantas mereka pada roboh.

Merekalah lima guru silat yang bertugas menjaga Hoa Kee Po, sekarang mereka pada mandi darah, satu diantaranya dengan suara terputus-putus dan lemah, berkata: "Diluar rumah semua saudara pelbagai tokoh sudah terbinasakan orang-orang cit Chee Boen-" Habis berkata begitu, dia lantas mati seperti empat yang lainnya.

Kini Pak sam Mo kaget dan gusar, muka mereka pucat dan merah. Dengan mata bengis mereka menatap Pouw Keng dan Pouw Lim.

si orang tua baju merah pun berubah parasnya, sepasang alisnya yang putih mengkerut. "Pouw Liok It terlalu kejam, dia harus menerima pembalasan " katanya.

Thian Hong cinjin menyela: "jikalau tiga saudara Hoa tidak mencegah, mana dapat pintoo membiarkan mereka hidup sampai sekarang ini ?"

"Mereka kuatir tootiang menyebabkan bibit permusuhan dengan Pouw Liok It, maka dari itu mencegah tootiang," kata si orang tua baju merah, "Baiklah tootiang tidak menjadi berkecil hati." Thian Hong cinjin berkata pula: "Baru saja Pouw Liok It mendapatkan kitab Lay Kang Koen Pouw, kalau dia dibiarkan -saja kelak dibelakang hari dia bakal menjadi ancaman bencana bagi Rimba persilatan seumumnya, maka itu baiklah sekarang sebelum dia sempat memahamkannya, kita tumpas padanya, agar tak usahlah kemudian kita setiap malam bermimpi dalam kekuatiran "

Mendengar suara itu, Pouw Lim tertawa berkakak. "Thian Hong, kau bicara besar sungguh kau tidak tahu

malu " katanya mengejek "Kabarnya kau baru saja mendapatkan sepasang pedang mustika Wan Yoh Poo kiam buatan Bong siang Coe, dengan itu lantas kau mengaguli diri sebagai akhli pedang nomor satu dalam Rimba Persilatan, akan tetapi di Kang lam baru-baru ini kau dipermainkan seorang muda yang bersenjatakan hanya sebatang cabang yanglioe.

Didalam sepuluh jurus, sepasang pedangmu kena di bikin terlepas jikalau tuan mudamu menjadi kau, tentulah dia sudah mengeram diri didalam kuil, tidak nanti dia muncul pula dimuka umum mencari malu sendiri"

Muka Thian Hong jadi pucat dan merah padam bergantian. Dia berteriak: "Bocah malu yang ngoceh saja, hari ini kau tak dapat diberi ampun" Dia lantas menghunus sepasang pedangnya yang dia terus putar hingga sinarnya berkeredapan.

Pouw Lim pun lompat maju, tangannya mencekal sebatang tombak pendek. ketika muncul sebuah bendera kecil sutera merah dengan sulaman satu tengkorak putih serta tujuh buah bintang emas Dia tertawa dingin dan kata: "Didalam batas dua puluh jurus, tuan mudamu akan membikin pedang mu terlepas" Ia menggoyang tombaknya, hingga benderanya berkibar kibar.

Thian Hong mendongkol, tetapi ketika ia ingat halnya ia dipermainkan Tiong Hoa di Kwie ia Chung, hatinya ciut sendirinya, akan tetapi ia sangat gusar ia mengertak gigi, kedua matanyapun bersinar berapi. Di dalam hatinya ia kata:

“Jikalau aku tidak bikin kau mampus, tidak mau aku muncul lagi dalam dunia Rimba Persilatan-“ walaupun demikian- ia tidak lantas maju. ia ingat halnya Pak Pit Lam Pouw, yaitu di utara si orang she Pit dan di selatan si orang she Pouw. Pouw Lim ini puteranya Pouw Liok It, dia pasti berkepandaian lihai, maka tak mau ia berlaku sembrono.

Cuaca disaat itu yalah awan seperti menutup matahari angin bersiur-siur, sekitarnya sunyi.

Pertempuran sudah lantas dimulai, Pouw Lim menyerang jalan darah cengciok dari Thian Hong cinjin, Tombaknya bergerak dalam tipu silat Naga gusar menggulung sungai, Hebat serangannya itu.

Thian Hong cinjin bersuara, "Hm" Pedang kirinya tidak digeraki, hanya pedang kanannya. Dia hendak memapas benderanya tombak lawan, pedangnya menabas dari samping dengan tipu silat "Mementang sayap keluar dari rimba."

Ia sudah memikir, habis menyingkirkan bendera itu, tombak hendak ditempel, supaya pedang kirinya menggantikan menikam, merampas jiwa si anak muda.

Itulah pemikiran yang baik sekali, Hanya salah, belum lagi ia memapas berhasil, tubuh Pouw Lim sudah berkelebat, tahu-tahu orang lagi tertawa disebelah belakangnya "Hidung kerbau, apakah kau masih tidak mau melemparkan pedangmu," demikian teguran dingin lawan itu, yang dibarengi sambaran angin keras kepada punggung.

Thian Hong kaget, Akan tetapi ia tabah dan gesit, segera ia mencelat seraya memutar tubuhnya, Begitu ia berbalik, ia membarengi membacok dengan sepasang pedang mustikanya.

Ia menyerang tetapi toh ia terkejut ia merasa seperti ada yang memperlambat turunnya pedangnya itu.

"Aneh" pikimya, "Kenapa aku menemukan lawan seperti pemuda di Kwie In Chung itu?" Karenanya, ia menambah tenaga pada kedua tangannya.

Pouw Lim berlaku gesit dan cerdik, seagi lawan menekan, ia berkelit kekiri, dari sini ujung tombaknya meluncur pula, tetap mencarijalan darah ceng-ciok.

Dalam kagetnya, Thian Hong mundur, tapi terus ia maju pula, menyerang dengan tipu silat "Naga melayang, burung hong menari." selagi awan berkumpul dan angin bertiup itu, pedang berkilauan, bayangannya

menyamber-nyamber. semua orang menonton dengan kagum, Hebat pertempuran itu, semua berdiam.

Tiong Hoa dan In Nio menonton sambil berdiam juga, akan tetapi si anak muda dengan perhatian sepenuhnya, Disamping sering melihat kearah Pouw Lim, ia saban- saban melirik kearah keempat orang tua, Mereka itu sering mengawasi Nona Pouw, rupanya mereka mengandung maksud tidak baik.

Pouw Keng sebaliknya tenang dan gembira. Tenang karena ia menonton dengan tidak bergerak. Gembira sebab ia sering bersenyum tandanya ia memuji kepada adiknya, ia seperti tidak mengambil tahu kepada gerak- geriknya empat orang tua itu.

"Encie In," berbisik Tiong Hoa pada kawannya, "aku merasa keempat orang tua itu bermaksud buruk terhadap nona dan adik Pouw itu..."

"Memang mereka mengandung maksud buruk," kata si nona, bersenyum, "Mereka masih jeri terhadap kita, dari itu mereka ayal-ayalan menurunkan tangan-,."

Tiong Hoa mengawasi si nona, ia heran kenapa nona itu dapat menerka demikian.

Justeru itu, selagi ia melirik keempat orang tua, Tiong Hoa melihat si orang tua bermuka hijau bertindak cepat kearah me reka berdua, karena itu, sebentar saja dia sudah sampai.

"Saudara-saudara, kamu kakak beradik, gerak gerikmu luar biasa sekali, apakah maksud kamu?" dia tanya.

Dia menerka tepat, pikir Tiong Hoa terhadap In Nio. ia mesti menjawab pertanyaan itu, maka ia menyahut tawar sebabnya kenapa gerak gerik kami aneh yalah lantaran ada orang atau orang-orang yang jeri menemui kami, karena itu terpaksa kami membawa sikap kami ini..."

Orang tua itu nampak merasa aneh.

"Tak apalah kalau begitu" katanya seraya ia lantas mengundurkan diri pula seperti tadi, kembali ketempatnya.

Pertempuran sementara itu sudah melalui empat belasjurus, sekarang teriihat Pouw Lim merubah cara berkelahinya, Tombak hintang tujuh itu menjadi bertambah lincah hingga Thian Hong cinjin menjadi terdesak. hingga dia repot membela diri.Justeru karena terdesak itu. dia jadi gusar sekali, saban-saban dia mengasi dengar kutukannya.

Pouw Liok It kesohor sebelum memasuki usia tigapuIuh tahun, bisalah dimengerti juga yang ilmu silatnya telah diajari kepada sepasang anaknya ini. Pouw Lim pun cerdas.

Belum-belum ia sudah ketahui pedang lawan pedang mustika maka itu. siang-siang ia telah memikir caranya melayani pedang itu- Yang pertama harus dijaga yalah agar tombaknya tidak beradu dengan pedang, karena itu, licin sekali ia mainkan tombaknya itu. guna selalu menyingkir dari tab asan inilah yang membikin Thian Hong kewalahan berbareng penasaran bahkan kemudian dia menjadi berkuatir sebab semua percobaan selama belasan jurus itu tidak ada hasilnya.

Tepat selagi dua orang itu asyik bertarung seru, mendadak keempat orang tua Kiong Lay Pay itu, berbareng bersama ke dua pendeta gemuk dan kurus bergerak ke arah Pouw Keng, mereka berlompat untuk menyambar si nona Nona Pouw terkejut, dia berteriak.

Berbareng dengan itu satu bayangan pun berkelebat ke antara mereka

Kesudahannya itu, keempat orang tua dan kedua pendeta kena tertolak mundur hingga mereka berjumpalitan darah mereka terasa mandek. hingga mereka berdiri melongo dengan roman kaget dan nyali menggetar

Didepannya Nona Pouw sementara itu berdiri tegak seorang dengan muka bertopeng yang memperdengarkan tertawa dingin dan kata-kata ini: " orang yang menjadi ketua Kiong Lay Pay toh melakukan perbuatan begini rendah, sungguh aku yang rendah..."

Kata-kata ini belum sempat dilanjuti atau dia sudah lompat kearah pertempuran di mana ternyata Pouw Lim tengah didesak oleh Thian Hong cinjin yang sepasang pedangnya merabu dengan tipusilat "Thian lo tee bong" atau. jaring langit dan jala bumi."

Segera terdengar suara pedang yang nyaring, lalu tubuh imam itu terpental seperti terbang, sedang si anak muda lolos dari bahaya maut.

Pouw Lim sudah siap dengan serangannya yang mematikan ketika ia melihat saudara perempuannya diserbu oleh enam orang hingga dia menjadi sangat kaget, maka untuk dapat menolongi saudara itu, ia membatalkan serangannya, ia mesti memutar tubuh guna meninggalkan lawannya.

Justeru ia memutar tubuh itu, Thian Hong menggunai ketikanya yang baik, dari terdesak dia merangsak. lalu dengan sepasang pedangnya dia menyerang hebat. Maka tepat sekali datangnya pertolongan si anak muda.

Tiong Hoa bergerak dan turun tangan dengan dua macam tipu silat saling susul, Dia berlompat pesat dengan lompatan "Kioe Yauw seng Hoei sip-sam sie"" serta pukulan sian Thian Thay It Ciang," dengan begitu serangannya Thian Hong terhalang dan si imam tertolak kaget hingga dia tak dapat mempertahankan diri.

Kembali orang semua orang terkejut, mereka kagum dan heran-

Thian Hong tidak terhalang seperti ke-enam orang itu, setelah ia dapat menaruh kaki, dia sudah lantas lompat kedepan si anak muda, hatinya panas bukan main, Dia berkata dengan suara keren- "Tuan, sebenarnya siapakah kau?"

"Sebentar kau akan dapat tahu, tootiang, tak usah kau terburu napsu" sahutnya.

Thian Hong heran hingga ia berpikir ia seperti pernah dengar suara orang, yang ia rasa kenal, ia tidak usah berpikir lama atau ia terkejut, Dibenak otaknya segera berbayang wujudnya satu orang, saking kaget, ia mundur dua tindak.

Tiong Hoa mengawasi tajam. ia melihat sinar mata orang, ia menduga imam itu masih belum mengenali ia. bahwa orang tengah ragu-ragu, Karena itu, ia tertawa dingin pula terus ia memutar tubuhnya guna bertindak kedepan keempat jago Kiong Lay Pay.

Empat orang tua itu masih berdiri diam mereka mengawasi si anak muda, yang mcnghampirinya tindak demi tindak.

Sementara itu sang waktu berjalan, dari tengah hari menjadi lohor. Hanya cuaca guram, seperti sudah magrib, Angin keras tetapi mega bergumpal, Pohon- pohon me-ngasi dengar suara berisik bagaikan alam bergusar.

Lantas kedua pendeta, si gemuk dan si kurus, berlompat maju, guna menghalang di antara si anak muda dan keempat orang Kiong Lay Pay. si gemuk berkata nyaring: " Kamilah Coan-see Liang Hoed Kami ingin belajar kenal dengan kau, tuan"

Kata-kata itu disusul dengan dicekalnya hong-pian- san, senjatanya yang istimewa untuk kaum pendeta. semacam sekup. Tiong Hoa tidak jeri walaupun orang telah memperkenalkan diri Coan-sce Liang Hoed berarti Dua Buddha dari soecoan Barat, ia bahkan tertawa dingin dan kata menghina: "Tak sesuai julukan kamu itu"

Si gemuk tidak menghiraukan, dia lantas menyerang perbuatannya itu ditelan si kurus kawannya itu.

Tiong Hoa mendak sambil meluncurkan tangan Hoei Wan eioe yang seperti bisa mulur, tepat ia menyambuti lengan penyerang itu, atas mana si pendeta menjadi kaget, Tidak keruan-ruan, lengannya kesemutan, tenaganya lenyap secara tiba-tiba. Atau tahu-tahu senjatanya sudah berpindah ke tangan si orang bertopeng.

"Celaka" dia berteriak saking kaget dan takut, Tapi dia sudah terlambat Berbareng dia berteriak, berbareng dadanya mendapat gempuran sambil menjerit, tubuhnya mental balik, Celaka sekali tubuhnya itu justeru membentur hong pian-san si kurus itu si kurus menjadi kaget, ia mencoba menyingkirkan senjatanya, tetapi ia terlambat, berbareng tubuhnya terbentur, tangannya nyeri seperti patah, dadanya tergempur, tubuhnya mental sama-sama si gemuk.

Dengan mengasi dengar suara keras kedua nya roboh sampai lama, tak dapat berkutik, seluruh gelanggang menjadi gempar, hanya mereka bukan berseru girang, tetapi mereka berseru kaget, lalu semua berdiri menjublak. semua orang bingung dan tak mengerti.

Belum pernah mereka menyaksikan kehebatan semacam itu.

Pouw Lim dan Pouw Keng melengak juga, bahkan hati Pouw Keng menjadi kacau. Dia heran, dia bangun- Dia menyukai si anak muda, dia pun cemburu Akhirnya ia

cuma bisa menghela napas.

Pouw Lim seperti mengetahui hati kakak nya, Dia tertawa dan kata perlahan- "Encie, aku mengerti kau. semuanya kau serahkan padaku, kau jangan kuatir"

"Cis" berludah kakak perempuan itu, yang mukanya menjadi merah. "Adik Lim, jangan ngoceh. Memangnya aku kenapa?" si adik tertawa, dia tidak menjawab.

Nona itu malu dan mendongkol dia membanting- banting kaki. Mata In Nio tak lolos dari tingkah nona itu.

Setelah semua itu, si orang tua berbaju merah kata pada Tiong Hoa: "Siauwhiap. hebat tenaga dalammu, Apakah kau salah seorang turunan dari Pak Pit? "

Tiong Hoa segera memotong: "cianboenjin dari Kiong Lay Pay, tak usahlah kau

menerka-nerka asal usulku Dapat aku jelaskan, sebenarnya aku tidak mau usil urusan disini, kalau toh aku turun tangan barusan, itu disebabkan tak puas, aku melihat jalannya perkara. Kenapa sebagai ketua kau membokong seorang nona sebatang kara ?" orangtua itu likat, Dia memang salah, Dia bungkam.

Tiba-tiba Thian Hong cinjin maju menghampirkan, Dia tanya: "Apakah kau bukannya orang yang aku ketemui di Kwie In Chung, si orang she ?"

Belum orang menyebut she nya, Tiong Hoa sudah memotong juga: "Tak salah syukur kau masih ingat " ia pun segera menolak dengan kedua tangannya.

Thian Hong kaget, Ketika ia mengerti ancaman bahaya, ia sudah tidak keburu berdaya, Mendadak napasnya sesak. darahnya mandek, Matanya pun menjadi gelap ia berputus asa, ia menduga jiwanya bakal melayang.

Tiba-tiba dadanya lapang pula, hingga ia dapat membuka mata dan melihat dengan tegas. Untuk heran dan kagetnja, ia mendapatkan sepasang pedangnya sudah pindah ke tangan orang.

Tiong Hoa berkata keras : "Kau telah aku totok tujuh jalan-darahmu. Lekas kau pulang ke Tay Pa san. Pasti bakal merasa nyamannya tubuhmu terbakar sendirinya jangan kau ayal-ayalan, nanti disini kau memberi pertunjukan dari keburukanmu"

Mukanya si imam menjadi pucat, keringat nya mengetel bagaikan air hujan, Toh ia merasa aneh, walaupun katanya ia telah di totok tujuh jalan-darahnya, ia tidak merasakan sesuatu yang luar biasa, Tapi ia percaya kata-kata si anak muda, ia hanya percaya, totokan tentunya belum bekerja, inilah sebabnya, ia menjadi takut sekali, ia menduga, kalau totokan bekerja ia bakal merasa nyeri hari lewat hari, tubuhnya bakal jadi panas, nanti darahnya bakal jadi kering nanti ia  meroyan ,. Dalam takutnya, ia mengawasi keempat

tertua Kiong Lay Pay. ia percaya mereka itu sanggup menolongi ia dari totokan istimewa itu...

Keempat orang tua itu dapat menerka hati Thian Hong, tetapi terpaksa mereka berdiam, Mereka jeri untuk si orang bertopeng didepannya itu. Kalau perlu, mereka pikir, mereka masih dapat melawan, hanya bagai mana nanti jadinya? Hoa Kee Po sudah terkepung pihaknya Thian lam Kay Pang dan cit Chee Boen dari Keluarga Pouw. Dapatkah mereka bertahan guna Hoa Kee Po? Kalau sepasang orang bertopeng itu turun tangan, celakalah mereka semua...

Karena itu, mereka berpura pilon untuk sinar mata memohon bantuan dari imam itu, tak perduli si imam berada dipihak Hoa Kee Po.

Sementara itu Tiong Hoa merasa tak enak sendirinya, Terlepasan ia menyerang Thian Hong itu. ia sudah menggunai tipu silat Hoen Tek Jit Goat, atau Memetik Matahari dan Rembulan dari Kioe Yauw seng sip-sam sie. itulah hebat sebab Thian Hong tak dapat bertahan, ia ingat pesan mendiang gurunya.

Tapi mengawasi keempat orang tua, ia kata pada Thian Hong, sambil tertawa. "Thian Hong tootiang, untuk menolong diri sendiri orang tak berdaya, mana ada kesempatan lagi untuk orang mengurusi kau?"

Mukanya keempatjago Kiong Lay Pay itu menjadi merah, Mereka mesti menahan sabar. Terpaksa mereka berdiam dengan hati sangat mendongkol.

Thian Hong putus asa, maka itu, habis mengawasi Tiong Hoa. ia putar tubuhnya untuk ngeloyor pergi, hingga ia lenyap diantara angin, pasir dan debu...

Akhir-akhirnya si orang tua menghampirkan Tiong Hoa satu tindak. Ia mengawasi anak muda itu dengan ia memperlihatkan senyumannya ia kata: "Siauwhiap. inilah pertanyaan terakhir dari aku si orang tua. Aku ingin sekali ketahui maksud siauw-hiap datang ke Hoa Kee Po ini, sukakah kau menjelaskannya?"

Tiong Hoa menjawab sabar: "Bukankah aku yang muda sudah membilangnya? Kebetulan aku lewat disini, ingin aku menyaksikan wajah sekalian orang gagah." “Jikalau begitu, aku si orang tua mau minta siauwhiap. jangan campur disini, sudilah siauwhiap nonton saja dari pinggiran?"

Hebat untuk si baju merah, sebagai ketua satu partai berkenamaan, ia mesti bicara demikian merendah. Tiong Hoa mengasi lihat sikap tawar.

"Hanya satu hal aku yang muda belum jelas," ia bilang, "Apakah ciangboenjin suka memberi keterangan padaku?"

Si orang tua melengak. Tapi tak dapat ia berdiam lama.

"silahkan siauwhiap tanya." sahutnya, "Nanti aku si orang tua menjawab dengan sebenar-benarnya."

Tiga orang lainnya serta Kim Pak sam Mo heran bukan main, mereka mengawasi sambil berdiam saja. Mereka juga tidak mengerti kenapa orang tua itu menjadi demikian lemah. Mereka tidak tahu ketua itu jeri terhadap dua orang Hok dan in serta Thian Yoe sioe.

Lie Tiong Hoa sudah lantas mengajukan pertanyaannya, ia berlaku sabar, bicaranya pun perlahan.

"Aku yang rendah tak tahu apa maksudnya Hoa Kee Po membangun loeitay ini?" demikian pertanyaannya itu.

Si orang tua berbaju merah belum sempat menjawab atau dari sebelah barat daya dari atas sebuah pohon yang besar dan lebat terdengar tertawa yang nyaring yang diikuti kata-kata terang jelas ini:

"Anak. sudahlah tak usah kau campur banyak urusan lagi. Didalam kalangan Rimba Persilatan, banyak sekali teka tekinya yang sulit untuk diterka jitu Budi dan permusuhan yalah soal sulit, maka janganlah kau mendesak orang " 

Hanya sejenak terhenti suara itu, segera terdengar pula lanjutannya: "Hong Koen aku si orang tua suka memberi nasihat padamu supaya urusan hari ini dihentikan sampai disini, Kalau kamu memikir kitab Lay Kang KeenPouw, kenapa kau tidak mau pergi ke Inlam untuk berkunjung dan memintanya sendiri? Kenapa kau menggunai ini macam akal muslihat ?"

Kapan Tiong Hoa mendengar suara itu, dengan lantas ia menyerahkan pedang rampasannya kepada ln Nio, tanpa berayal sedetik jua ia lompat, untuk terus lari pesat ke arah pohon itu. Dalam sekejap saja ia sudah sampai diatas pohon tetapi ia kecele.

Tak ada orang disitu, tak nampak bayangan juga. Cuma pada sebuah cabang ia melihat di pantek paku sehelai kertas tulis putih yang bertuliskan sebagai berikut

: "semenjak di Yan Kee Po terus aku mengikuti jejakmu, Begitulah di Kee Leng aku melihat kau berada bersama gadisnya Losat Kwie Bo, itulah satu pasangan yang setimpal, senang aku melihatnya. Aku dengar Losat Kwie Bo terjatuh didalam tangannya Cit Chee Cioe. untuk sementara, baiklah kau jangan beritahukan hal itu kepada anaknya nyonya itu, kau pun harus bertindak dengan melihat gelagat. Aku masih mempunyai urusan, dari itu buat sementara kita berpisah disini. tunggu saja di Inlam nanti, disana nanti kita bertemu pula."

Seperti ia duga maka tanda tangan surat itu yalah Thian Yoe sioe, Maka itu, rupa-rupalah perasaannya anak muda ini. Hatinya terkesiap kapan ia ingat guru itu senantiasa menguntit ia. Coba ia nyeleweng, ia bersyukur bahwa ia selalu berjalan lurus. Dilain pihak. la girang guru itu demikian memperhatikan dirinya, Hanya akhirnya ia menyesal sebab tak dapat ia bertamu dengan guru yang baik budi itu.

Dengan masgul ia turun dari atas pohon, untuk lari balik ke panggung loeitay, ia tiba dengan mendapatkan medan pertempuran menjadi sepi, cuma tinggal In Nio seorang, yang lagi berdiri menjublak.

Terlalu asyik ia diatas pohon, sampai tak pernah ia menoleh kearah panggung, si nona terus mengawasi ia semenjak ia lari pergi, sampai ia kembali itu. Mata si nona mendelong.

"Kemana mereka?" ia tanya, heran, sekarang si nona bisa tertawa, "Thian lam Kay Pang telah menjanjikan empat jago Kiong Lay Pay serta Kin pak sam Mo untuk nanti bertemu pula pada tiga bulan kemudian-" sahutnya.

"Tempat pertemuan yalah di Chonggouw, katanya untuk menyelesaikan urusan mereka, hanya entah urusan apa itu. Turut lagu-suaranya pihak Kay Pang, rupanya urusan suatu sakit hati yang besar sekali." Berkata sampai di-situ, si nona menatap dengan sinar mata berarti Terus ia menambahkan "si Nona Pouw tadi mengawasi aku, mulutnya berkemik, tapi tak jadi dia bicara, Dia ragu-ragu sampai tiga kali berkelemik, Pouw Lim sendiri menggoyang benderanya keudara sampai tiga kali, entah apa maksudnya, habis itu dia memutar tubuh berlalu bersama saudaranya itu. Tahukah kau apa yang Pouw Keng hendak bilang?"

Tiong Hoa menggoyang kepala meskipun ia percaya, Nona Pouw tentunya hendak menghaturkan terima kasih yang dia telah ditolong, ia pun mentaati pesan gurunya akan tidak memberitahukan In Nio perihal ibunya yang tertawan orang. "Aku tidak dapat menerka," sahutnya, barangkali...barangkali."

In Nio tertawa mendengar orang cuma menyebut "barangkali" berulang-ulang tapi ia menyebabkan si pemuda merah mukanya. syukur pemuda itu mengenakan topeng.

"Kemana perginya keempat jago Kiong Lay serta Kin Pak sam Mo?" ia tanya. "Mereka pergi keluar Hoa Kee Po yang lainnya semua mengikuti mereka itu." "Aneh Aneh" "Aneh kenapakah?"

"Aneh sikapnya Kin Pak sam Mo. Mereka agaknya tenang seperti orang yang menantikan saja kesudahannya pertandingan." si nona mengawasi, ia tertawa.

"Sudah, mari kita pergi" katanya, "Tak dapat kita perdulikan urusan lain orang"

Nona ini menarik tangan si anak muda buat pergi ke istal dimana mereka menuntun keluar kuda mereka.

"Orang diatas pohon barusan itu tentulah gurumu?" tiba-tiba si nona tanya.

"Hitunglah separuh guruku," sahut Tiong Hoa. "siapakah dia?"

"Thian Yoe sioe,"

Si nona melengak. tapi la nampak girang. "Turut apa yang aku tahu, Thian Yoe sioe tak

menerima murid" katanya, "Bagaima caranya maka ia menerima kau se-paruh-separuh?" Nona ini sangsi.

“Jadi encie menyaksikan aku separuh murid Thian Yoe sioe?" ia menegasi. In Nio tersenyum.

"Yah, setengah percaya, setengah tidak." Tiong Hoa tidak mengerti. "Encie, apa artinya ini?" Nona itu tertawa.

"Kau bertemu dengan gurumu itu atau tidak," ia balik menanya. Tiong Hoa menggoyangi kepala.

Si nona pun berdiam, tetapi ia gembira. Lalu ia seperti memikiri sesuatu.

Ketika itu diluar, dialas rumput di jalanan, ditepian kali, terlihat tanda-tanda bekas pertempuran tanda penyerangannya orang-orang Pouw Liok It terhadap Kea Kee Po.

Dipuncak gunung disebelah depan itu waktu terlihat berlari- larinya tiga bayangan tiga orang. Mungkin merekalah Kin Pak sam Mo, ketiga pemilik dari Hoa Kee Po. Tiong Hoa heran kenapa sam Mo dan Kiong Lay soe sioe, yalah keempatjago tua Kiong Lay Pay itu. agaknya baik dimulut, lain dihati.

Selagi Tiong Hoa berpikir demikian, In Nio dibikin heran oleh hubungan ia dengan Thian Yoe sioe, Tiong Hoa tak menjelaskan secara memuaskan kenapa dia disayangi Thian Yoe sioe hingga dia diajari silat sedang Thian Yoe sioe tidak menerima murid.

Pemudi ini juga tidak mengerti hubungan diantara dia.

Tiong Hoa dengan nona Keng, Terang itu mencintai Tiong Hoa, tetapi Tiong Hoa sendiri seperti terbenam dalam keragu-raguan.

Selagi muda-mudi itu berangkat maka di dalam Hoa Kee Po tak sepuluh tumbak terpisahnya dari lauwteng, didalam sebuah rumah kecil, tergantung gambar lukisan "Yoe sian Goat Eng" yang seperti membikin Tiong Hoa memikirkannya sampai tak dapat tidur. Rumah kecil itu, rumah papan tertutup atap ada ruang atau kamar dimana Kin Pak sam Mo biasa melatih ilmu tenaga-dalamnya, Rumah itu tak menarik untuk dipandang. Tiong Hoa menduga gambar mesti dipajang di kamar yang mewah, ia tidak menyangka kepada rumah kecil itu.

Karena pandangannya ini, ia telah mengasi lewat, ia jadi mensia-siakan ketikanya yang baik. Hingga ia membutuhkan banyak waktu untuk mencari dilain tempat... Bukankah ini peruntungan?

ooooo
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar