Bujukan Gambar Lukisan Jilid 08

Jilid 8 : Cinta kasih bunga berjiwa

Kim som melihat kawannya terancam bahaya, tanpa membilang apa-apa lagi ia maju menyerang dengan dua- dua tangannya, karena orang membelakangi ia, ia tak perduli bahwa ia menyerang punggung.

Benar-benar Boe-eng Hoei Long liehay sekali, Dia dapat berkelit dari serangannya sin b eng sioe-soe. Hanya dengan begitu, ia membatalkan serangannya terhadap Cee Cit.

Ia tertawa lebar, terus ia balik menyerang orang she Kim itu, bahkan ia berlaku keras sekali, hingga Kim som merasa ia seperti terkurung lawannya itu, yang bergerak- gerak gesit bagaikan bayangan yang berkelebatan..

Cee-cit maju maju pula, maka itu berdua Kim som ia melayani lawan yang tangguh itu,

Meski mengepung berdua, mereka tidak dapat berbuat banyak, orang terus dapat menyingkir dari pelbagai serangan mereka.

Cuma karena ia diserang lebih dulu, Khioe Cin koen tak dapat merebut kepala angin-...

Kam Jiak Hoei berdiri menjublak menyaksikan gurunya berdua mengepung guru musuhnya itu, ia tidak menyangka orang demikian gagah, pantas KimlengJie Pa terkebur dan galak. sudah gurunya kosen, guru itu pun melindungi mereka.

Malam itu, kecuali bintang banyak. rembulanpun baru muncul Maka nyata sekali terlihat ketiga orang bertempur seru itu Lie Tiong Hoa terus menyaksikan pertarungan itu, ia dapat melihat perbedaan di antara mereka itu, Benar Khioe Cin Koen terus bergerak dengan gesit akan tetapi Cee Cit berdua Kim som juga tidak terlihat bingung mereka ini tetap tenang, hanya setiap serangan mereka selalu menemui kegagalan. Lama-lama hal itu akan buruk juga akibatnya nanti.

"Aku telah berjanji hendak membantui Kim Som, sekaranglah waktunya," ia berbisik pada Lee Hoen. " Karena itu aku harap nona tetap bersembunyi di sini jangan kau sembarang bergerak."

Lalu tanpa menanti jawaban lagi ia lompat turun terus ia menghampirkan Khioe Cin Koao untuk segera menyerang.

Khioe Cin Keen bermata jeli, ia melihat bayangan berkelebat, karena menduga kepada musuh. ia tidak menangkis, hanya berbareng berkelit ia melesat terus kearah KamJiak Hoei untuk membekuk anak muda yang lagi berdiri diam ituJiak Hoei kaget tetapi dia sudah kena dibekuk.

Sambil tertawa terbahak-bahak. Boe-eng Hoi Long terus lari bersama orang tawanannya itu, Tepat dengan julukannya, ia lari cepat sekali masuk kedalam rimba.

Cee cit dan Kim som terkejut sambil berteriak. mereka mengejar

Tiong Hoa melengak. inilah ia tidak sangka. ia mau menolongi kawan, siapa tahu demikian rupa akibatnya.

Phang Lee Hoan melihat kejadian itu ia lompat turun dari tempatnya sembunyi. Ketika ia datang dekat si anak muda, anak muda itu masib melengak, ia tertawa geli. "Buat apa berdiri menjublak saja," sinona menegur, "Tak ada gunanya itu, Lebib baik kita menyusul mereka.

Tiong Hoa sadar karena ditertawakan, ia lantas lari menyusul bersama nona itu. Ketika mereka melintasi rimba di depan panggung Ie Hoa Tay itu dan sampai di sebuah tempat tinggi d iba wah mana ada jurang, mereka tidak lihat sekalipun bayangan orang. cuma sana angin yang menyamber-nyamber muka mereka.

Melainkan dikejauhan nampak kota Kimleng diwaktu malam di mana api terang di sana sini dan darimana pun terdengar samar-samar suara tetabuan dan nyanyian.

Lama berdua mereka berdiri menjublak di tanjakan itu, akhirnya dengan lesu mereka berjalanpulang kedalam kota. Mereka melihat kota ramai sekali, banyak pedagang, banyak pula penduduknya yang berpesiar, Mereka kembali terus ke Thian siang Kie. Tiong Hoa tidak gembira.

"Aku ingin pergi ke luar guna mencari tahu tentang mereka itu," kata ia pada si nona, "Aku minta nona menaati di sini, jangan kau pergi kemana-mana."

Lee Hoen tak tenang hatinya, Dalam tempo yang cepat ia jadi jatuh hati terhadap pemuda ini. ia tidak dapat mencegah tapi ia pun tak dapat melegakan hatinya, Maka ia kata: "Kau tidak mempunyai senjata untuk membela diri, saudara Lie, kau baik bawa gedangku ini."

Si anak muda menggoyangi tangan.

"Aku rasa tak perlu aku membekal senjata." katanya tertawa, "Dengan membawa pedang aku justeru mudah menarik perhatian semula kurcaci. Untuk kau, nona, terlebih baik lagi kau mempunyai senjata untuk melindungi dirimu."

Lee Hoen tidak dapat memaksa. "Baiklah, asal saudara lekas pulang," katanya.

Nona ini menghela napas melihat kepergian orang, ia pun merasa, ia menepas airmata, pikirannya kusut dan letih, ia masgul sekali, ia ingat ibunya pernah membilangi ia bahwa kalau dapat ia hendak dijodohkan pada seorang pelajar, supaya ia jangan mendapat peruntungan seperti ibunya, yang saban-saban di tinggal suaminya yang senantiasa repot dan sering menghadapi bahaya, sampai paling belakang suami itu-- yaIah ayahnya--tak pulang- pulang.

Hingga sekarang ia memperoleh kenyataan ayahnya itu sudah terbinasa di tangan manusia licik. ia pikir, kalau ibunya tahu ia memilih Tiong Hoa, seorang Kang ouw, mungkin ibunya berduka. Tapi, apa daya? ia telah menyintai pemuda she Lie ini.

Dengan mata mendelong, Lee Hoen mengawasi rembulan dari jendela kamarnya. Masih pikirannya bekerja, ia membiarkan airmatanya meleleh di kedua belah pipinya, sang angin membuat main rambutnya, dan sang rembulan mencari tampangnya yang cantik.

Tiong Hoa sendiri keluar dari hotel dengan tindakan cepat, dengan cepat juga ia jalan telasap telusup di antara orang banyak. Begitu ingin ia lekas tiba di luar kota, ia tidak tahu bahwa disaat ia keluar dari pintu hotel, ia sudah dilihat seorang yang terperanjat melihat padanya sampai orang itu mengeluarkan seruan tertahan, selanjutnya ia dibayangi orang itu. 

Tiong Hoa ketarik dengan kota Kimleng yang beda dari kota Yan-khia. Di samping itu ia menjadi bingung, Kemana ia mesti cari Cee Cit? Tadi saja saudara itu bersama Kim som sudah tidak keruan parannya.

"Ah, biarlah sudah..." pikirnya kemudian, "Dia gagah, tidak nanti dia dapat celaka, Bukankah dia berada bersama Kim som? Mungkin dia bakal segera kembali dan mencari aku Thian siang Kie."

Kesangsian ini membikio ia batal menuju terus ke luar kota, ia juga lantas mendengar nyanyian yang mengiringi tetabuan, ia bertindak ke arah suara itu, maka sebentar kemudian tibalah ia di tepi sungai Cin Hoay Hoo.

Di sungai itu terlihat banyak perahu pelesiran yang terpanjang sedang apinya di pasang terang-terang, Tetabuan dan nyanyian keluarganya dari tiap-tiap kendaraan air itu. oleh karena hatinya tertarik sangat, Tiong Hoa berdiri ditepian.

Di bagian hulu sungai Gin Hoay Hoo terpecah dua yalah bagian baratnya asal sungai Lie sooi, dan bag ia n timurnya sungai Kee fong sampai di gunung Hong san barulah bertemu menjadi satu terus dari pintu kota Tong- cee masuk kedalam kota di mana dia mendapat namanya yang kesohor itu, itu terletak dekat gereja Hoe CoeBio, kuilnya Khong Hoe Coe, di atasannya yaitu penyeberangan Tho-hoa-touw, dan di bawahannya jembatan Boen Tek Kio.

Ketika Tiong Hoa berdiri di tepian itu- waktu sudah lewat jam tiga dan bulan sisir sedang permainya, Di waktu begitu, orang masih terus bersenang-senang, Mungkin itu lah yang disebut suasana sorga.... Tiong Hoa tengah tersengsam kapan ia di sadarkan suara tercebur keras, lantas dari beberapa buah perahu di dekat situ nampak kepala orang pada muncul dujendela. ia pun lantas mendengar teriakan kaget: "Orang kecemplung" ia segera menoleh.

Maka ia melihat satu orang lagi bergulat dengan kematian, Beberapa kali nampak kepala orang itu muncul, lalu selam lagi, hingga terlihat rambutnya saja. Menampak demikian, tanpa berpikir lagi, pemuda ini lompat untuk menolongi.

ooooo

BAB 11

BEGITU ia menceburkan diri, Tiong Hoa lantas bergulat, dengan sang air, saking ingin menolong orang, sampai ia lupa babwa ia tak pandai berenang. Lantas ia kena tonggak air, syukur di bagian situ kali tak dalam, ketika kakinya nempel dengan dasar kali. ia dapat menjejak dan timbul pula tangan bebas ia sampai pada orang yang bercelaka itu, terus ia menjambret niatnya untuk diseret ke tepian, Dengan kedua tangannya ia pegang iga orang itu, untuk mengangkat tubuhnya.

Begitu dia terangkat dari dalam air, orang itu membuba kedua matanya, Tiong Hoa kaget sekali, ia merasakan mata orang sangat tajam dan bengis, Dengan mendadak ia menjadi bercuriga.

Habis melek. orang itu meram pula seperti ia mau pingsan. Justeru itu mulutnya terpentang dari dalam mulut itu menyemprot air kali mengenangi muka si anak muda, Tiong Hoa terkejut tak dapat ia membuka matanya. semprotan keras dan mendatangkan rasa nyeri, ia menjadi heran.

Lantas ia menduga bahwa ia lagi ditipu, hanya ia tidak kenal orang itu, Tengah ia gelagapan dan sukar bernapas itu, mendadak orang itu menekan kedua pundaknya, buat membikin ia terbenam kedalam air.

Sementara itu, meski air tidak deras mereka sudah hanyut beberapa tombak hingga mereka terpisah dari perahu petesira n yang terdekat tadi. Masih terdengar orang menjerit-jerit akan tetapi tidak ada yang terjun untuk menolong i.

Tiong Hoa sadar tapi ia tetap berkuatir, sekarang orang memegang lehernya untuk di cekek. Tentu sekali ia lantas sukar bernapas, Mukanya pun penuh air, Dalam keadaan begitu, hatinya menjadi panas ia mau menolong dirinya, Maka ia lantas meraba Kedua sikut orang itu, guna menotokjalan darah keng-kie.

Karena tidak bisa bernapas, tenaganya berkuraog, tetapi la mengerahkan sebisa-bisanya.

Orang itu pun kaget, ia lagi mencekek. tidak bisa ia membela diri, ia merasakan kedua lengannya sakit, lalu kaku, lalu lemas jerijinya si anak muda nempel seperti gaetan yang keras dan tajam. ia menahan sakit, ia mencekek terus, sekuatnya bisa.

Tiong Hoa pun bertahan terus, ia juga mesti menjaga agar air tak masuk ke hidung atau mulutnya. ia mengeraskan lehernya, ia mengerahkan tenaganya. Tak lama. ia merasa cekekan menjadi lebih kendor, lalu kendor dan terlepaslah tangan orang itu. Lekas-lekas ia timbul, ia masih mendengar suara nyanyian lantas ia tak ingat akan dirinya, ia tidak tahu berapa lama sang waktu sudah berjalan lalu ia merasa nyaman.

"Apakah aku berada diatas perahu pelesir itu?" ia tanya dalam hati, ia belum mau membuka matanya, Telinganya lantas mendengar suara nyanyian yang merdu. suara tetabuan menyertai nyanyian itu ia membuka matanya ketika hidungnya menyedot bau harum.

"Ooh..." ia berseru tertahan, saking heran, ia mendapatkan tubuhnya rebah diatas pembaringan ampar tersulam dan kelambu yang berkembang indah.

Ruang pun lengkap perabotannya serta indah-indah juga. Dua batang lilin menjadi penerangnya, di depannya ada berduduk seorang pelayan perempuan umur kira dua belas tahun tapi dia lantas berdiri dengan terperanjat rupanya dia lagi ngelenggut dan mendusin dengan tiba- tiba, terus dia lari keluar sambil memanggil-manggil, "Nona, nona, dia mendusin-"

"Ah, rupanya aku ditolongi oleh salah seorang nona tukang nyanyi, " pikir Tiong Hoa. ia lantas ingat pengalamannya. Lehernya juga masih terasa sedikit nyeri, ia hanya tidak mengerti, kenapa orang hendak mencelakai ia. Rupanya sengaja orang itu ceburkan diri, guna memancing dirinya, Ceroboh, ia memperoleh pengalaman ia menjadi insaf akan liciknya orang.

"Benar gila " katanya seorang diri, tertawa.

Mendadak ia terperanjat Baru sekarang ia mendapat tahu bahwa ia rebah tanpa pakaian- Mukanya menjadi merah, hatinya berdenyutan. ia merasa malu sendirinya, inilah, rupanya, yang menyebabkan si pelayan kabur

Ia melihat ke sekitarnya, ia menjadi putus asa, ia tidak mendapatkan baju atau celananya. Kecuali seprei atau selimut, tidak ada barang lainnya untuk menutupi tubuhnya itu.

"Celaka..." ia mengeluh.

Tidak lama, maka ia mendengar suaranya pelayan tadi, la juga mendengar tindakan kaki, bukan dari satu orang, ia mengawasi ke arah pintu.

Budak tadi muncul bersama seorang nona, yang berjalan belakangan itulah seorang nona cantik pakaiannya putih bersih, wajahnya tersungging senyuman. Nona itu bertindak terus ke muka pembaringan.

Kembali ia merah mukanya, sedang d idalam hatinya ia kata: "Dirumah pelesiran ada nona cantik begini "

Nona itu lantas duduk di bangku depan pembaringan. "Pastilah tadi kongcoe kaget." ia berkata, suaranya

halus dan merdu.

Mukanya Tiong Hoa menjadi merah pula.

"Terima kasih, nona, yang kau telah menolong aku." ia berkata. "Pasti aku akan membalas budimu ini."

Nona itu merah wajahnya.

"Kongcu tercebur di kali, pakaianmu basah, maka aku telah menyuruh orang mencucinya." kata ia. "Dis ini tidak ada pakaian pria, terpaksa kongcu harus menanti sampai besok pagi, Aku telah menitahkan orangku membeli seperangkat pakaian- Menyesal, sekarang kongcu harus menanti saja " "Ooh, nona, aku membikin kau pusing dan berabeh." kala Tiong Hoa, "terima kasih."

Dengan sendirinya anak muda ini malu sekali. Pastilah si nona yang telah meloloskan pakaiannya yang basah itu. Baiknya ketika itu ia masih pingsan, Kalau tidak, taktahu kemana mesti ia menaruh mukanya....

Tanpa merasa mata Tiong Hoa bentrok dengan sinar mata si nona, ia melihat pula bagaimana kecantikan nona itu, Hanya ia mendapatkan pada itu ada sinar kedukaan, ia tidak melihat gerak gerik dari seorang bunga berjiwa, ia mendapatkan sebuah muka yang halus dan bersih, tak ada sedikit juga sinar kegenitan.

Karena lihat sendirinya ia menggeser tatapannya, hingga sekarang ia melihat si budak perempuan.

Nona cilik itu tertawa geli.

"Hus." si nona menegur, " Lekas siapkan bubur serta beberapa rupa sayurnya buat kongcu bersantap."

Budak itu menyahut perlahan, lantas dia mengundurkan diri.

Tiong Hoa sendiri tiba-tiba mengasi dengar suara kaget perlahan, tangannya lantas meraba-raba kasurnya, ia seperti kehilangan sesuatu.

Si nona mengawasi, ia bersenyum. ia bertindak ke meja rias di samping pembaringan ia menarik laci yang kecil, untuk mengeluarkan sejilid buku kecil dengan kulitnya kulit kambing, Lalu ia kembali.

"Apakah kongcoe mencari buku ini?" ia seraya mengangsurkan buku itu.

Tiong Hoa lantas menyambut dan lihat itulah buku hadiahnya Thian Yoe sioe, ia merasa lega bukan main. Buku itu pun kering suatu tanda si nona telah menggangganginya. Maka ia puji kecerdasan nona itu.

Menghadapi nona ini, tiba-tiba Tiong Hoa ingat Cek In Nio. Keduanya sama-sama cantiknya, Bedanya adalah si nona Cek pandai ilmu silat, Baginya In Nio adalah nona yang tak boleh tak ada, sekarang di depannya ini, ada nona yang budinya besar, yang tak dapat ia segera membalasnya.

Kenapa nona ini menolong aku? pikirnya, ia lantas mendapat jawabannya, ia melihatnya dari sinar mata si nona sinar yang luar biasa, Maka diam-diam ia menghela napas. "Bagaimana sekarang?" pikirnya. "Terserahlah.-."

"Meskipun aku bodoh tetapi aku mengerti inilah kitab ilmu silat,” si nona berkata, "sedari masih kecil aku gemar ilmu silat itu, sayang aku tidak pernah mendapatkan gurunya, maka itu pertemuan kita ini adalah jodoh kebetulan sekali, Aku harap kongcu nanti suka memberi petunjuk satu dua padaku.” Karena ia menyebutkan jodoh. muka si nona bersemu dadu.

"Ah, aku gila nona," kata Tiong Hoa tiba-tiba, "Aku sampai lupa menghaturkan terima kasih padamu sebenarnya aku mengerti sedikit sekali tentang ilmu silat, maka itu mana berani aku menunjuk sesuatu pada nona." Nona itu bersenyum, ia tidak mengatakan apa- apa.

Kemudian si pemuda tanya, "Apakah aku boleh mendapat tahu she dan nama yang mulia dari nona?"

Nona itu bersenyum.

"Aku she Ho, namaku Ban in." sahutnya. "Apakah kongcu pun suka memperkenalkan diri kongcu?"

"Ooh Aku Lie Cie-tiong .." 

Nona itu agaknya heran, tapi ia tertawa.

"Benarkah kongcu bernama Lie Cie-tiong?" ia tanya, "Dalam ngelindur tadi, aku mendengar disebut-sebutnya kata-kata Hoa." Muka si pemuda merah.

"Aliasku yalah Tiong Hoa." ia kata, "Aku tidak nyana nona mendengar itu." Ketika itu budak tadi kembali dengan barang makanan.

Si nona berbangkit untuk menyambuti, terus ia berkata, "Kongcu, Kau rebab saja nanti aku yang menyuapi."

"Mana dapat aku memberabehkan nona." Kata si pemuda.

Si pemudi tertawa, ia tidak membuang apa apa. Hanya ia memegang sumpitnya, untuk mulai menyuapi.

Mau atau tidak. Tiong Hoa membuka mulutnya. ia lantas merasai santapan yang lezat. Beberapa kali sumbu lilin meletuk seperti kembang api.

Tiong Hoa makan sambil berbicara dengan si nona, ketika ia sudah cukup makan, pembicaraan masih dilanjuti, sampai terdengar ayam-ayam jago mewartakan datangnya sang fajar, ketika itu lilin tinggal sisanya, hampir padam..

Dari mulut Nona Ban in, Tiong Hoa mendapat tahu kejadian terlebih jauh, peristiwa itu disaksikan si nona yang kebetulan bersama adiknya tengah melayani seorang tetamu she Lin, ia ditolong i ketika ia mulai pingsan-

Musuhnya itu juga ditolong i tetapi jiwa dia keburu melayang, orang she Lin itu sebal melihat romannya si orang jahat, mayatnya dilemparkan pula ke sungai, orang she Lin itu menolong i menekan perutnya, untuk mengeluarkan airnya, lalu mengurutinya. Kemudian si nona menyatakan herannya pemuda ini sadar terus pulih kesehatannya.

Sementara itu hati Tiong Hoa bercekat, ia kuatir kitabnya telah dapat dilihat si orang she Lin, ia mengawasi kitab itu. si pemudi melihatnya, dia tertawa.

Jangan kuatir, kongcu." dia kata, " kitab ini cuma aku seorang yang mengetahuinya. Aku tahu, meski aku bukan orang Rimba Persilatan, kitab ini mestinya penting sekali, inilah kitab yang orang sukar mendapatkannya, dan kalau apa lacur kitab ini dapat di lihat lain orang, bahaya bisa datang karenanya."

Tiong Hoa heran, ia terperanjat. Luar biasa Ban in mengetahui itu. ia mengagumi si nona, yang rupanya pandai melihat selaian, "Mana dia tetamu she Lin itu?" kemudian ia tanya. Mukanya si nona merah.

"Ia sekarang berada di kamar adikku," sahutnya. "sebentar dia datang."

Tiong Hoa berdiam hatinya bingung, Bagaimana kalau orang datang ia masih tidak mempunyai pakaian? ia toh dapat rebah terus di pembaringan-

Ban in mengawasi sambil bersenyum, ia dapat menerka hati orang. Tiong Hoa melihat muka si nona, mukanya merah sendirinya.

Tak lama pelayan tadi muncul dengan satu bungkusan di tangannya, dia meletakinya di atas pembaringan.

"Inilah pakaian yang baru dibeli," kata si nona, lantas bersama pelayannya ia memberi hormat untuk terus mengundurkan diri, " Tiong Hoa bergerak cepat, untuk berpakaian, kemudian ia membersihkan muka dan memberesi rambutnya. Ketika ia berdiri di muka kaca- rasa, memandang wajahnya sendiri ia berdiam untuk berpikir.

"Entah bagaimana dengan Kwie Kian cioe dan sin- beng sioe-see," pikirnya, ia lantas ingat saudara angkat itu berdua "Bocah dengan Kam Jiak Hoei, dia dapat ditolong atau tidak Boe-eng Hoei Liong begitu liehay, apakah dia dapat disusul? Tentulah Khioe cin-koen dikejar terus sampai disarang nya. Di manakah sarangnya itu? jikalau aku tahu, harus aku susul mereka.

Kemudian ia menjadi masgul, ia telah tinggal Lee Hoen dirumah penginapan pasti nona itu bergelisah menantikan ia tak kunjung balik, ia tidak meny intai nona itu, si nona yang seperti menyintai sendiri padanya.

Ia cuma telah berjanji akan mengantari nona itu ke TOklok. ke guanya Yan Loei di Yan Kee Po, sekarang ia tidak kembali, bisa-bisa si nona mencurigai ia seperti pendusta.

Kalau benar, sulit ia memberikan keterangannya. Di matanya sudah ada Cek In Nio dan sekarang Ho Ban In, ia menyukai nona Ho, bukan terutama karena cantiknya, hanya di sebabkan pertolongannya dan kebaikan hatinya.

Ia merasa berhutang budi dan mesti membalasnya, Kalau Ban In jahat, ia bisa di celakai atau kitab silatnya dikangkangi, maka bingunglah ia. Bagaimana ia harus memilihnya.

Ah. kenapa aku jadi begini? Akhirnya ia tanya dirinya, tapi ia dapat menguasai diri, ia mengambil keputusan, Biarlah, segala apa terserah pada sang waktu dan keadaan Asal aku benar buat apa aku pusingi diri” Ia tidak usah berpikir lebih lama pula, Kupingnya lantas mendengar tindakan kaki sedikit berat, lalu di ambang pintu muncul seorang pria usia pertengahan dengan baju panjang biru, pundak dia dadanya lebar mukanya persegi, romannya gagah.

Dia memelihara kumis dan jenggot dan matanya bersinar tajam, Di belakangnya mengikut Ban in serta seorang nona lain yang cantik yang sujennya manis, ia lantas menduga kepada si tetamu she Lin maka ia segera menyambut.

Orang itu sudah lantas tertawa dan kata nyaring "Matanya Ban In jeli sekali, Memang saudara Lie tampan dan gagah, dia membikinnya Lie Tiang Keng malu sendirinya.”

Tiong Hoa menjura, sambil tertawa ia kata. "Tadi malam saudara Lim telah menolongi jiwaku, budi besar itu nanti aku ingat untuk selamanya."

Tetamu itu tertawa pula.

Tiong Hoa mendapat kenyataan Ban ln terus mengawasinya, ia jengah sendirinya.

Memang di matanya Ban in, Tiong Hoa tampan seperti Phoa An- Karenanya si nona jadi tercengang, Didalam hatinya dia memuji "Sungguh ia tampan-" Diam-diam dia girang sekali.

Lin Tiang Keng menarik tangan si nona di sisi Ban in, ia memperkenalkannya, "Inilah nona yang aku si orang she Lin mengenalnya, ialah nona Liw Wan Nio." Keduanya saling memberi hormat, Tiong Hoa kata ia senang dengan pertemuan ini. Kemudian Tiang Keng tertawa dan kata. "Kau gagah dan mulia, saudara Lie Bangsat itu cari niampusnya sendiri syukur saudara dapat bertahan dari cekekannya."

Tiong Hoa heran.

"Kenapa saudara tahu bangsat itu berpura menceburkan diri?" ia tanya.

"Hal itu gampang diketahui kalau dia benar kelelap. mana dapat dia mencekek orang? Dia pun meocekek dijalan-dsrah ouw kiat, jadinya dia memang mengarah jiwa saudara Ya, saudara Lie." Tiang Keng menambahkan, "Kenapa saudara bermusuh dengan bandit air dari Kee-leng itu?"

Tiong Hoa melongo.

"Barusaja aku keluar dari kota raja." ia menyahut. "Tadinya belum pernah aku masuk dalam dunia Kang ouw, belum juga pergi ke wilayah Pa-siok. Mana bisa aku bermusuh dengan penjahat air dari Kee-leng? Apakah saudara kenal penjahat itu?"

Orang she Lie itu mengangguk

"Dia sebenarnya satu di antara Kee-leng Jie Kauw. Dialah Long-Kauw Tiauw Kiat-Dengan saudaranya, dia sebenarnya tak pernah berpisahan- Maka heran kakaknya, Hoan-kang-kauw Tiauw Eng, tidak ada di- sana, Aku bukan cuma kenal kedua perompak itu, bahkan lima tahun dulu, ketika aku lewat di Kee-leng, aku bentrok dengan mereka. Ada orang yang datang sama tengah di antara kita. tak sampai kita bertempur."

Sembari menatap ia meneruskan "Mereka kenal saudara, kenapa dia mau membinasakannya?

“Inilah aneh. Ah mungkin Tiauw Kiat kena disogok lain orang, coba saudara ingat-ingat salama di tengah jalan, saudara pernah bentrok dengan siapa?" 

Tiong Hoa menggeleng kepala, Benar-benar ia tidak ingat, Sampai disitu orang terus juga tidak menanyakan lebih jauh. Ketika itu di dalam kamar itu pelayan mengatur meja perjamuan,

"Nona Ban in mengadakan perjamuan untuk menghilangkan kagetnya saudara Lie" kata orang she Lin itu kemudian- "inilah suatu hal yang membahagiakan seingatku belum pernah aku melihat Nona Ban-in melayani tetamu secara begini."

Mukanya Tiong Hoa merah. Nona Ho melirik ia bersenyum, lantas ia tunduk.

Begitu perjamuan di mulai Tiang Keng yang bicara paling banyak. Saban-saban dia tertawa, Tiong Hoa jengah, ia cuma bisa tersenyum. Wan Nio dan Ban In pun tertawa dan bicara banyak, Ban In melayani Tiong Hoa dengan telaten sekali.

"Saudara Lie, aku minta janganlah kau mensia-siakau kebaikan nona Ban In," kemudian Tiang Keng kata, suaranya nyaring, "walaupun nona Ban ln berada ditempat semacam ini, ia sebenarnya putih bersih bagaikan kemala yang disimpan hati-hati. Biasanya ia manis seperti bunga-bunga tho dan lie dan dingin bagaikan es, baru hari ini sikapnya luar biasa, manis dan ramah sekali, jikalau aku si orang she Lin telah diberikan ketika, pasti sudah siang-siang aku melamarnya, sayang nona Ban-in memandang aku hanya sebagai tukang pelesir, lain tidak juga nona Ban In tak sembarang menerima budi orang. Saudara Lie, mudah-mudahan kau melindunginya baik-baik,"

Telinga Tiong Hoa menjadi merah, hatinya memukul. "Akulah orang biasa saja, mana aku berharga menerima perhatian nona Ban In begini rupa" katanya, Diam-diam ia melirik nona itu. Ban-in likat, lalu matanya merah, airmata nya mengembeng...

"Hebat," pikir Tiong Hoa, “Tidak ada sebab untuk ia tidak menyintai nona itu yang cantik dan manis, yang telah melepas budi terhadapnya, ia pun mau percaya Tiang Keng bahwa si nona bukan sembarang bunga berjiwa, Hanyalah, bagaimana ia dapat menerima nona itu, Toh ia merasa sangat berkasihan, Maka akhirnya ia kata: "Asal Nona Ban In tidak mencela kejelekan dan kemiskinanku."

"Cukup, cukup sudah" Tiang Keng berseru memotong. "saudara Lie sudah menerima baik" Lantas dia memberi selamat kepada Ban in, siapa tunduk saja, kedua tangannya membuat main ujung batunya. Biarlah ia setangkai bunga, ia toh likat.

Tengah orang bersuka ria itu, mendadak terdengar suara tertawa dingin di atas genting hingga semua orang kaget, tatkala mereka menoleh ke pintu, di ambang itu terlihat seorang usia kira empatpuluh tahun, yang romannya bengis dan matanya galak, menatap tajam kepada Lie Tiang Keng.

"Aku kira siapa, tak tahunya Tiauw Loo-toe memberi kehormatan padaku dengan berkunjung ke mari." orang she Lin itu kata.

"Sejak perpisahan kita di Keeleng, lima tahun sudah berselang sebenarnya aku sangat kangen pada kau, loosoe, silahkan masuk. mari duduk minum bersama."

Memang orang itu Hoan kang-kauw Tiauw Eng si Ular naga Membaliki Sungai, salah satu dari Kimleng Jie kouw . dua jago Kimleng, kakak dari Long-kauw Tiauw si Ular naga Gelombang.

Tiauw Eng menyapu semua orang dengan sinar matanya yang bengis itu.

"Lin Loosoe aku numpang tanya." kata ia dengan keras " kenapakah adikku mati?" suaranya keras...

"Apakah benar dia telah dianiaya sahabatmu ini?" sekarang dia memandang bengis kepada Tiong Hoa seorang.

Lin Tiang keng tertawa.

“Justeru itulah hal gelap yang membingungkan aku si orang she Lin dan sahabatku ini!." dia menjawab. "Tadi malam sahabatku jalan-jalan di tepian sungai Cio Hoay Hoo, Tiba-tiba adikmu itu sengaja membuang diri nya kedalam sungai, lalu dia berteriak-teriak berpura-pura minta tolong seperti juga dia kelelap, sahabatku ini berhati mulia tanpa memperdulikan diri bisa terancam bahaya ia lompat untuk menolongi. Kesudahannya sahabat ini benar-benar terancam bahaya maut, Adikmu itu sudah mencekek leher pada jalan darah auwkiat,

Untuk menolong dirinya, sahabatku ini melakukan perlawanan. Apa lacur saudaramu itu terluka dan terbinasa karenanya, sahabatku ini juga ketolongan aku, jikalau tidak dia pasti lenyap jiwanya sebab dia telah pingsan, jikalau kau tidak percaya Tiauw Loosoe, kau periksalah lehernya sahabatku, sampai sekarang masih ada tapak jarinya adikmu itu.

Sahabatku ini baru saja datang dari Yan-khia, dia tidak kenal adikmu kenapa adikmu itu menggunai akalnya itu hendak mencelakakan dia, apakah alasannya?" Ditanya begitu Tiau Eng melengak. Tapi cuma sebentar, dan menyeringai.

"Tidak, aku tidak percaya" katanya keras. "Biar adikku buruk. tidak nanti dia berlaku demikian licik terhadap orang yang dia tidak kenali "

"Inilah justeru herannya" kata Tiang Keng sungguh- sucgguh, "Kalau Tiauw Lo-soe tidak percaya sungguh sukar, meski aku mempunyai lidah, tidak dapat aku bilang apa-apa lagi. Tadi malam langit cerah dan rembulan permai sekali, di sungai Cin Hoay perahu- perahu mundar mandir, ada banyak orang yang pesiar di sana ada banyak orang yang menyaksikan caranya adikmu terjun ke air. maka tak dapat aku mendusta.

Baiklah Tiauw Loosoe pergi ke sana dan minta keterangan dari orang banyak itu, juga aneh yala h kamu sendiri, Tiauw Loosoe. Aku tahu kamu biasanya tak pernah memisahkan diri kenapa tadi maLam justeru , terbit onar itu justeru kau tak ada di sampingnya?

Menurut aku, adikmu itu tentu telah dibujuk dan dianjuri orang lain, yang mencoba menggunai akal muslihat meminjam tangan orang melakukan pembunuhan"

Tiauw Eng berdiam, parasnya berubah, Alasan itu kuat sekali, Memang ia telah mencari keterangan dan apa yang ia dengar cocok dengan keterangannya Tiang Keng ini, ia hanya tak tahu adiknya itu terbujuk siapa.

"Apakah dia bukannya Yan Hong?" katanya seorang diri sesaat kemudian.

Mendengar disebutnya nama Yan Hong itu, Tiong Hoa bercekat. matanya bersinar, ia bertindak maju mendekati jago Kimleng itu "Apakah Yan Hong berada di sini?" ia tanya "Kalau begitu, jangan kau sesaikan siapa juga, saudaramu itu terbujuk. dia membantu harimau mengganas, dia mencari matinya sendiri,"

Mendengar kata-kata oraog, bangkit pula kemarahannya Tiauw Eng. dengan paras suram dia menatap si anak muda.

"Tak perduli siapa salah dan siapa benar nyatanya adikku terbinasa di tangan kau" dia menembak. "siapa membunuh, dia mesti mengganti jiwa siapa meminjam uang, dia mesti membayar uang juga. Maka sekarang aku si orang she Tiauw mau menagih padamu. Tentang Yan Hong, belakangan aku akan cari dia." Dia lantas maju mendekatt, untuk menyerang.

Lin Tiang Keng maju sama tengah.

"Tiauw Loosoe," katanya tertawa, "Aku tahu Tiauw Loosoe jujur, kenapa hari ini kau menentang dirimu sendiri? jikalau ini sampai tersiar, pastilah ini akan merugikan nama baikmu..."

Tiang Keng tahu Tiauw Eng lebih liehay daripada Tiauw Kiat, karena mana ia kuatir Tiong Hoa bukanlah lawannya maka ia hendak mencegah orang turun tangan.

Tiong Hoa sebaliknya panas hatinya, belum lagi Tiauw Eng berbicara pula, guna menjawab Tiang Keng, ia kata sambil tertawa dingini "Dia bukan cuma menentang dirinya, dia sengaja mencari gara-gara Dia tahu adiknya salah, dia masih datang ke mari Eh, orang she Tiauw, apakah kau anggap aku si orang she Lie dapat dipermain kan? -- saudara Lin, harap kau jangan mencegah aku. Aku ingin tanya dia tentang Yan Hong, dimana adanya dia itu"

Tiang Keng menduga pertanyaannya Tiong Hoa mesti ada latar belakangnya, ia lantas minggir.

"Kamar ini sempit, kenapa kita tidak mau pergi keluar?" kata Tiauw Eng dingin. "Aku si orang she Tiauw ingin ketahui berapa tinggi ilmu silat kau maka kau menjadi begini jumawa."

"Kau justeru yang jumawa." sahut Tiong Hoa. ia mengawasi tajam, lantas ia bertindak keluar.

"Hm "bersuara Tiauw Eng, yang terus mengikuti.

Beberapa tindak dari kamar itu ada sebuah kebun bunga kecil di mana ada banyak pohon bunga yang bunganya menyiarkan bau harum.

Di situ Tiang Hoa lantas berdiri berhadapan dengan Tiauw Eng yang galak itu.

Lin Tiang Keng menyusul bergema Lie oao Nlo danHoBanIn terpaksa mereka berdiri di pinggiran untuk menyaksikan. Mereka ini berkuatir, terutama Ban io, jantungnya memukul.

Kali ini Tiong Hoa bukan membawa adatnya, ia hanya panas hati mengingat Yan Kee Po yang licik itu. Mesti ada sebabnya kenapa, Yan Hong mencelakai ia, Tiauw Eng pasti tahu di mana adanya orang she Yan itu, maka ia ingin mengetahui alamatnya. sekalian dengan ini, ia perlu cari tahu juga halnya Ngo-sek kimbo.

Pertempuran sudah lantas dimulai tanpa mereka banyak bicara lagi. Tiauw Eng berseru. "Silahkan." lantas ia mendahului menyerang. Tiong Hoa berkelit ke kiri, tangan kanannya diulur, guna menangkap tangan kanan penyerangnya itu, yang serangannya tak mengenai sasarannya Jago Kim-leng menyerang berbareng dengan kedua tangannya dan tangan kanannya itu berada di sebelah luar, Dia putar tangan kanannya itu, terus dia menyerang pula, tangan kiri ke muka, tangan kanan ke dada.

Lin Tiang Keng terperanjat. Tahulah ia yang Hoan- kang kauw Ular naga yang nomor satu itu, hendak mendesak. guna lekas mengakhirkan pertempuran itu.

Lie Tiong Hoa ketahui hati orang, ia pun kata dalam hatinya: "Kau terlalu jikalau aku dapat bikin kau lolos, aku bukannya muridnya Thian Yoe sioe"

Ia lantas mengajukan dua-dua tangannya, guna menangkap masing masing sebuah lengan lawan, ia bukan nya menangkis atau berkelit, ia justeru menyambuti.

Tiauw Eng menyedot hawa dingin, Dialah orang Kang ouw yang berpengalaman yang matanya sangat awas, ia terkejut untuk cara perlawanan musuh ini, tentu sekali dia tak sudi mendapat malu, maka berbareng dia lantas memikir buat mengangkat kaki.

Begitulah dia cepat menarik pulang kedua tangannya sambil dia melengakka n tubuhnya, selagi tubuhnya itu rebah, kedua kakinya menjejak tanah, untuk lompatjumpalitan. Bagus lekas kedua kakinya mengenai tanah, begitu lekas jug a dia berlompat pula. Kali ini untuk lompat naik ke atas genting.

"Kemana kau mau lari." Tiong Hoa membentak. seraya ia meluncurkan tangannya, menyamber. Tubuh Tiauw Eng baru terapung lima kaki, tatkala dia merasakan s iuran angin- Dia kaget sekali, tengah dia keget, telinganya mendengar suara memberebet dari robeknya bajunya, sebab pundak kirinya kena d is amber si anak muda, yang telah mengguna Hoei Wan Cioe-hoat, hingga tangannya dapat terulur panjang.

Dia dapat sampai juga di atas genting, ketika dia menoleh dia melihat Tiong Hoa lagi memegangi bajunya itu yang tertiup angin. Dia melengak.

Tiong Hoa juga tidak menyangka orang lari demikian cepat, karenanya meskipun ia menyamber ia masih kurang sebat. Tidak demikian jago Kimleng itu mesti menderita hebat.

Lim Tiang Keng heran hingga ia tercengang sama sekali ia tidak melihat si anak lompat mengejar, toh pundak Tiauw eng kena dijambret hingga bajunya pecah.

Tiauw Eng masih panas hatinya sembari tertawa menyeringai dia kata:

"Ketahui olehmu" sakit hatinya adikku tak dapat tak di balas. Baik kau ketahul juga Yan Hong membenci kau sampai ditulang-tulangnya maka jangan kau harap kau dapat tidur nyenyak.”

Selagi berkata begitu, jago Kimleng itu berlompat untuk menyingkir Ketika suaranya berhenti, dia sudah pergi jauh lima tembak kira-kira Lie Tiong Hoa berseru ber lompat naik untuk menyusul.

“Jangan kejar, saudara Lie" Tiang Keng mencegah.

Tiong Hoa tidak memperdulikan cegahan itu, ia mengejar terus. Tiauw Eng berlari-lari dengan cepat, dia menuju ke luar kota, Dia telah melompati tembok tepi dia masih disusul terus.

Malam itu bulan terus indah, maka terlihat tegas dua orang itu berlari-lari berkejar-kejaran. Tiong Hoa mengejar tanpa memperdulikan bahwa ia mesti memasuki rimba pohon tho. Didalam tempe satujatn, tibalah mereka dibukit Ciong san, Disini Tiauw Eng lari naik, tiba ditengah gunung, terlihat dia lompat turun, tatkala si anak muda tiba, ia melongo. ia melihat jurang, yang tak nampak dasarnya.

"Aku cuma mau membekuk dia hidup-hidup untuk ditanya halnya Yan Hong." kata Tiong Hoa di dalam hati, "Aku tidak sangka dia terjun kedalam jurang. Aku telah membinasakan adiknya, buat apa aku membinasakan dia juga?" ia mengawasi kedalam sekali, Kemudian ia menghela napas, matanya memandang ke sekitarnya. pepohonan segar dan lebat daunnya nampak hijau gelap. Bunga-bunga lagi mekar dan memperlihatkan warna merah indah.

Tiong Hoa tersengsam oleh pemandangan malam yang indah itu. Tiba-tiba ia ingat Tiauw Eng dan berpikir, "Tidak. tidak mungkin siapa juga ingin hidup. siapa pun tak ingin mati. Tiauw Eng tidak menjadi kecuali. Dia belum mogok. kenapa dia tidak menyayangi jiwanya?

Mustahil dia benar-benar bunuh diri?.."

Meski ia memikir demikian, Tiong Hoa mengawasi ke dalam jurang dengan pikirannya terus bekerja hingga ia seperti ngelamun. Tengah ia berdiam itu mendadak ia mendengar bentakan di belakangnya dibarengi dengan satu tenaga menolak yang kuat keras sekali kepada tubuhnya, hingga ia tergentar dan napas seperti mandek. sebelum ia sempat berdaya, tubuhnya sudah terlempar.

Selagi jatuh itu, ia masih sempat mendengar tertawa nyaring di atas jurang. suara tertawa yang berkumandang di bukit itu.

"Mati aku " pikirnya selagi jatuh itu, "Mana ada

pertolongan lagi?" tubuhnya jatuh terus, Maka itu menanti saja kematiannya. Mungkin tubuhnya bakal remuk dan hancur di dasar jurang itu ia takut bukan main.

Dari dasar jurang itu terdengar suara binatang entah binatang apa.

"Sungguh malang nasibku" anak muda ini masih sempat berpikir, "Sudah tubuhku bakal remuk dan hancur, juga bakal digegaresi segala binatang alas."

Tiba-tiba ia merasa benturan keras, darahnya seperti bergolak, tapi ia bukannya jatuh di atas batu, ia pun mendengar lagi suara binatang tadi. Hidungnya lantas terserang bau amis. Cuma sebegitu perasaannya, terus ia tidak ingat apa apa lagi, tempo kemudian ia mendusin -- entah berapa lama ia sudah pingsan, ia merasakan seluruh tubuhnya sakit dan ngilu, tulang-tulangnya seperti patah semuanya.

Ketika ia membuka rnatanya, ia melihat hanya kabut, Tapi la mengawasi terus, hingga ia melihat tembok jurang di kiri- kanannya, tinggi dan lamping, tanpa ada pepohonannya, Dasar jurang itu penuh dengan batu kecil dan rumput liar. "Eh, kenapa aku tidak mati?" pikirnya heran, sambil ia melawan rasa nyerinya. ia lantas mengingat-ingat cara jatuhnya, terutama suara binatang itu serta baunya yang tak sedap. "Ah, apakah aku lagi ngelamun?" Ia heran kenapa ia tidak mati, jurang itu sangat dalam.

Dengan keheranan, ia merayap bangun untuk berduduk. la melihat ke kiri dan kanan, Lama-lama, ia mendapatkan darah yang nempel pada bulu binatang warna putih. ia mengawasi tajam, untuk memeriksa.

"Apakah aku ditolongi binatang itu?" akhirnya ia kena dirinya sendiri, "Kemana binatang itu sekarang?” ia melainkan melihat bulu yang bertumpuk.

"Ah " ia mengeluh. Karena merasa tubuhnya sangat nyeri, ia lantas bersila, untuk bersamedhi, guna menyalurkanjalan darahnya. Dalam hal ini, ia sudah mahir, selama di guanya Yan Loei ia telah melatih dirinya. ia lekas mendapatkan hasilnya, Belum berselang lama rasa nyerinya lantas kurang, ia meneruskan untuk kegirangannya, ia merasai napasnya berjalan lurus seperti biasa, ia lantas membuka matanya.

Sekarang ia dapat melihat mirip di siang hari, dan akhirnya ia lompat bangun, dari mulutnya terdengar siulan yang nyaring dan lama. sebagai akibatnya itu, ia mendengar dengungan kumandangnya. Tiba-tiba....

Dari arah depan, kejauhan terlihat berlari-lari datangnya dua ekor kera yang berbulu putih, yang dapat nya membawa barang apa berdiri seperti manusia tak apa. Kedua binatang itu rupanya datang karena mendengar siulan, Tapi waktu mereka melihat orang berdiri, keduanya merandak. terus mereka memutar tubuh, buat lari pergi. Tiong Hoa lari mengejar. Kalau benar ia ditolongi kedua binatang itu, ia mesti mengingat budi, tatkala ia ditempat dimana dua kera itu barusan merandak. la melihat di tanah belakangnya sejumlah buah piepa, semacam jeruk warna kuning rata-rata sebesar kepalan, yang baunya halus dan harum, tanpa merasa datanglah napsunya ingin memakan itu, maka ia memungutnya dan terus memakannya. ia mendapatkan rasa yang lezad, Kulitnya pun dimakan habis. Buah itu tidak ada bijinya.

"Inilah buah yang paling kesohor keluaran tong-teng- san, yang dipanggil Pek-see." pikirnya, "sekarang aku mendapati ini. Yang tanpa biji, mungkin inilah buah yang ada khasiatnya, Kera adalah binatang yang sipatnya mirip manusia, melihat aku pingsan, mereka tentu mau menolongi aku, hanya kenapa mereka pada kabur?"

Buah piepa itu manis sekali, ia maka pula hingga ketinggalan lima biji, Untuk heran nya, hilang sudah rasa ngilu dan nyeri nya, bahkan ia merasa segar seperti biasa, tidak tempo lagi ia lari ke arah kaburnya kedua kera tadi, ia girang sesudah ia lari sekian lama. Di sebelah depan berpeta dua tubuh putih dari kedua kera, Untuk menyusul mereka, ia lari dengan ilmu ringan tubuh Hong Hoei In soan.

“Jurang ini mesti ada jalan keluarnya, asal aku dapat susul kedua kera ita, pastilah aku akan dapat keluar dari sini." pikirnya sambil berlari-lari itu.

Kira lagi tigapuluh tombak akan ia dapat kepada kedua kera, kedua binatang itu mengasi dengar suaranya catcat Citctt, terus ke duanya lari naik ke lamping jurang.

Tiong Hoa heran kenapa kedua kera itu dapat manjat di situ, setelah ia tiba, herannya hilang, ia mendapatkan dua batang rotan yang tumbuh di atas itu, yang meroyot turun Ketika ia dongak, kedua kera lenyap. sejenak ia diam, ia heran dan berpikir.

"Pasti ada gua di tengah itu," ia menerka Apakah aku mesti naik? Kalau kedua kera menyangka aku bermaksud jahat, selagi aku naik, mereka dapat memutuskan rotan ini itu berarti aku bisa jatuh mampus..." Ia bersangsi mengawasi terus, keras ia berpikir.

"Ah, mustahil," pikirnya pula. "Kera itu dapat berpikir seperti manusia. Tadi mereka justeru menolongi aku. mustahil mereka menyangka jelek? Mungkin mereka kaget karena aku bersiul keras."

Masih ia bersangsi. Masih lewat tempo sekian lama.

Akhirnya ia mengertak gigi. "Mesti aku manjat," ia mengambil keputusan- "Tak dapat aku berdiam terus disini."

Maka ia menjambret rotan itu, ia mengenjot tubuh untuk naik kakinya membantu menginjak lamping jurang. Kedua tangannya memegang dan menarik bergantian pada kedua batang rotan itu, ia bertubuh enteng, toh manjat secara begitu, ia mesti menggunai tenaga berlebihan.

Tidak lama, ia merasai telapakan tangannya basah dengan peluh dan napasnya sedikit memburu. Tapi lekas juga ia sampai di tempat di mana tadi kedua kera menghilang. ia mendapatkan sebuah tempat terbuka yang muat hanya tubuh satu orang, ia naik ke situ. ia melihat jalanan seperti tanpa ujungnya yang menjulang ke atas, jala nan itu pun licin. Ia sebenarnya berkuatir tapi ia maju, tubuhnya dimiringkan, nempel rapat dengan batu gunung, ia berlaku hati-hati. ia masih memegangi rotan, yang ternyata keluar dari sebuah guha bundar kira dua kaki lebar. Begitu tiba, ia masuk ke dalam guha itu, Dengan berani ia berjalan terus, tanpa menghiraukan lorong berliku-liku. ia punjalan merayap. mcraagkang Guba itu gelap tapi ia dapat maju terus.

setelah lewat kira Iimapuluh tombak. Tiong Hoa mendapatkan dengkulnya sakit, Celananya sebatas dengkul itu pecah berlobang Tapi disini, terowongan lebih tinggi, hingga ia bisa berjalan sambil membungkuk.

Ini juga semacam penderitaan, maka itu Tiong Hoa ngelamun, hingga ia ingat Goei Loo-hoecoe, si pemegang kas yang ia kesalahan membunuhnya begitu juga si tukang loak, itulah siksaan bathin untuknya, setiap ia ingat, berduka dan menyesal.

Mahal ia membayarnya itu, karena sekarang ia mesti merantau, hidup sengsara dan menghadapi maut juga.

Tengah maju sambil berpikir itu, pemuda ini mendengar suara kera. ia menjadi bersemangat Hanya ketika ia mengawasi, ia tidak melihat apa-apa. Guha itu gelap. tapi tak dapat ia mundur, ia maju terus dengan perlahan dengan waspada.

Masih Tiong Hoa mendengar suara kera itu, tengah ia bertindak separuh merepe-repe, mendadak ia merasa dorongan yang kuat. sampai ia mesti mundur beberapa tindak. ia jadi kaget dan curiga, Lekas-lekas ia membuka dengan kedua tangannya, guna menyingkir dari dorongan itu ia mengguna i tenaga sian thian-thay It Ciang. "Di dalam guha ini mesti ada penghuninya." ia pikir. "jangan-jangan dia orang berilmu yang lagi mencucikan diri dan kedua kera tadi binatang piaraannya, jikalau dia tak suka terima aku, aku tidak boleh memaksa, hanya di tempat ini, aku perlu jalan keluar..."

Tiong Hoa meogerabkan tenaganya, ia salurkan itu kedua tangannya, lantas ia menolak ke depan, jalan ke arah dalam. perlahan tetapi keras. Begitu kedua tenaga bentrok. tenaga di sebelah dalam itu buyar. "oh " ia

mendengar suara tertahan, Lantas sunyi.

Untuk menarik pulang dorongannya itu, Tiong Hoa maju dua tindak. sekarang ia tak lagi merasa hawa di dalam gua seperti mandek. Rupanya itu disebabkan dorongannya barusan.

Suara "Oh" itu memastikan Tiong Hoa bahwa di dalam situ ada orang. sekarang baru ia ingat kealpaannya tadi. kalau suhu kosong mestinya lembab dan hawanya berbau busuk. tepi gua ini kering tanpa bau apa juga, Maka itu ketika ia maju, ia maju tindak demi tiadak matanya mengawasi tajam. ia masuk terus tanpa menghiraukan tuan rumah orang baik atau

Orang jahat. oleh karena ini hatinya tak tenang.

Sesudah jalan lima atau enam tombak. Tiong Hoa mendapatkan gua membiluk ke kiri, ia jalan terus, Lagi empat tombak. la mesti membiluk ke kiri pula, ia heran Tapi ia jalan terus, Lagi belasan tombak ia melihat sedikit cahaya terang.

"Itulah tentu sinar matahari," pikirnya, ia meniadi mendapat hati, ia menjadi bersemangat. Cahaya terang itu mungkin berarti ujungnya gua, Maka ia lantas bertindak terus, Ketika ia mendekati cahaya terang itu ia angkat kepalanya dongak, Maka ia melihat serupa barang persegi enam bernama kuning mirip kemala, itulah yang menerbit-cahaya itu yang menerangi guha yang gelap itu.

Guha ini atau lebih benar ruangannya luas dan bundar, Di depan Tiong Hoa kita dua tombak. la melihat seorang tua lagi duduk bercokol, tubuhnya kurus sekali, rambutnya kusut, tapi matanya tajam.

Dia pula memelihara kumis dan jenggot yang panjang sampai ke tanah, Dengan matanya yang tajam itu, dia mengawasi lalu kedua mata itu dirapatkan. sampai sebegitujauh dari dia pun terus membungkam.

Di kiri dan kanan orang toa itu berdiri menanti dua ekor kera putih, Yalah kedua kera yang tadi, Matanya kedua binatang itu bergerak tak hentinya, dan masing- masing kedua tangan mereka menggaruki pipinya tak sudahnya.

Yang mengherankan Tiong Hoa, di atasnya kepalanya orang tua itu terdapat cabang-cabang pohon yang tumbuh diselah-selah batu, semua cabang itu merosot turun. Pada cabang-cabang itu ada terdapat sebuah yang sarat buah piepa kuning yang tadi ia makan?

Ia pun telah mendapat cium bau yang harum dari buah itu.

"Belum pernah aku melih at p^hon tumbuh di batu gunung" pikirnya kagum. Kalau aku sudah keluar dari sini dan aku memberi tahukan orang tentang pohon ini, pasti mereka tak mau percaya dan akan mengatai aku ngobrol saja..." Sekarang Tiong Hoa melihat tegas, orang tua itu bertubuh katai dan kurus, Berduduk dia hanya hampir dua kaki, kalau dia berdiri paling juga tiga kaki lebih sedikit. Ruang itu tidak punya jalan lainnya atau pintu, Di belakang si orang tua tembok agaknya celong ia kaget untuk mendapat tahu guna itu guna buntu, susah-susah ia memasukinya tak tahunya guha itu tak ada belakangya....

Ia mengawasi tajam orang tua itu, tiba-tiba ia menerka: "Mungkinkah jalan keluar itu ada di belakangnya orang tua ini?" Karena ini, ia lantas memberi hormat sambil menjura, ia kata, "Boanpwee adalah orang yang telah jatuh kedalam jurang, diluar dugaanku boanpwee telah ditolongi kera loojinkee maka boanpwee ikut datang ketempat suci ini. Buat kelancangan ini, boanpwee minta maaf."

Ia menduga orang akan membuka matanya dan menjawab, tidak tahunya, orang tua itu tetap meram dan bungkam, tubuhnya bercokol tak bergeming.

Adalah kedua kera itu, yang tadinya berdiam saja, membuka mulutnya seperti orang mau tertawa.

Tidak puas Tiong Hoa tidak memperoleh jawaban, akan tetapi ia dapat menguasai diri, ia memberi hormat pula, dengan sedikit membungkuk. la kata: "Boanpwee tidak berani membikin kotor tempat bersih dan suci Ioo- jinkee ini, maka itu aku minta sukalah loojinkee tolong berikan petunjuk agar aku dapat melihat pula langit dan matahari, untuk itu aku akan sangat bersyukur."

Habis berkata, si anak muda mengawasi tajam, Ia mendapatkan orang tetap meram dan berdiam parasnya tetap dingin bagaikan es. ia jadi mendongkol berbareng bingung. " Kenapa orang bersikap dingin begini?" pikirnya.

Tiba-tiba anak muda ini terperanjat ia merasa pundaknya teraba oleh tangan yang berbulu.

ooooo

BAB 12

DALAM kagetnya, Tiong Hoa menyamber kebelakang. ia kena menangkap tangan yang berbulu itu, Dengan cepat ia menoleh, ia mendapatkan seekor kera muda warna putih, Binatang itu kena terpencet, dia kesakitan dan berbunyi tak hentinya, air matanya keluar meleleh.

Atas itu kedua kera di sisi si orang tua mengasi dengar suaranya.

Tiong Hoa lantas memikir, mungkin kera kecil ini anaknya kedua kera itu, dan ini tidak jahat, maka ia lekas mengendorkan cekalannya, Kera itu berhenti berbunyi, dia mengawasi anak muda kita, romannya jeri.

Sekonyong-konyong Tiong Hoa mendengar suara dingin dibelakangnya lagi:

"Jikalau kau ganggu sehelai saja bulunya keraku, jangan kau harap dapat keluar dari guha ini."

Tiong Hoa terkejut dengan lekas ia menoleh, sekarang ia dapat melihat kedua mata terpentang dari si orang tua, sinarnya tajam.

Orang tua itu mengawasi ia tidak membuat si anak muda gusar, ia lantas menanya: "Apakah kau tak puas ditegur aku si orang tua?"

Sebenarnya Tiong Hoa mendongkol juga orang tua itu ia hormati dan ia tanya dengan manis, dia main bungkam, atau tiba-tiba dia mengancam, ia mau menjawab bahwa ia bukan cuma gusar tetapi kata-kata yang keluar ialah, "Maaf loocianpwee diri apakah aku yang muda yang turun tangan terlebih dulu?"

"Hm." bersuara orang tua itu matanya mencilak. "tak perduli siapa yang turun mangan terlebih dulu tapi nyatanya kaulah yang memencet tangannya keraku itu."

Tiong Hoa tak dapat mengusai diri lagi maka ia kata sengit. "Di kolong langit ini belum pernah aku menemui orang tak bicara pantas seperti kau, loojinkee. Kalau begini tak tepat kau dinamakan orang pertapaan"

Matanya si orang tua berhenti bergerak. Dia melengak, Lantas dia tertawa terbahak-bahak.

Jikalau aku si orang tua kenal kepantasan, tidak nanti sekarang aku berada didalam ini guna dimana tidak ada langit dan matahari," sahutnya. "Disini aku telah bercokol lamanya duapuluh tahun-"

Mendadak airmuka nya berubah menjadi keren, Dia tanya, “Jikalau aku si orang tua bukan orang pertapaan, habis kau orang macam apa?"

Tiong Hoa melengak sebentar, lantai sepasang alisnya terbangun-

"Akufah seorang muda dan tak terpelajar, aku bukan orang yang berarti," ia menyahut "Adalah kau, kau jumawa sekali, kau tidak kenal hormati kau gampang marah Adakah kau orang pertapaan sejati? sudab dua puluh tahun kau bercokol disini untuk memelihara diri, nyata hatinya sia-sia belaka"

Tiong Hoa menduga orang mestinya murka besar, diam-diam ia bersiap untuk sesuatu serangan, akan tetapi diluar dugaannya, sinar matanya orang tua itu lantas berubah menjadi sabar, alisnya pun meng kerut, Ketika dia berkata dengan perlahan.

"Tidak salah" ujarnya. "Memang selama dua puluh tahun aku membersihkan diri, aku masih belum memperoleh ketenangan. Kau menerka benar, anak muda." dia lantas tersudut, ia kata pula: "Belum pernah aku bertemu dengan kau yang begini tidak kenal adat- istiadat. Mengenai pertanyaanmu barusan, dapat aku menerangkan disini cuma ada satu jalanan, tetapi tanpa petunjukku si orang tua, seumur mu tak nanti kau dapat mencarinya? Kecuali kau dapat terbang Karena kau tidak tahu aturan, aku malas membuka mulut lagi."

Dia berdiam, kedua matanya dirapatkan seperti semula.

Tiong Hoa berdiri menjublak. "Aneh orang tua ini, Bagaimana ia dikatakan tidak tahu aturan sedang tadi dua kali ia memberi hormat dan menanya dengan halus? Adalah si orang tua yang tak melihat dan tak menggubrisnya.

Ketika itu, entah kapan dia berjaannya, si kera kecil sudah berada diantara kedua kera besar, dia akrab sekali dengan kedua kera itu sebaliknya si kera besar, lantaran Di orang tua bersikap kaku itu, terlihat menggaruk-garuk tak hentinya.

Tidak lama, lantas terlihat kera dikiri si orang tua meng g era k- seraki kedua tangannya matanyapun memain, ia heran, ia mengawasi saja, tapi tak lama, ia dapat membade maksud orang ia diberi petunjuk untuk berlutut di depan orang tua itu, guna minta ditunjukijalan keluar. "Tidak." ia kata dalam hatinya, ia menggoyang- goyangi tangan kepada kera itu, selaku penolakannya.

Kera itu berjingkrak. dia agaknya bingung.

Tiong Hoa mengawasi, pikirannya bekerja, Lantas ia ingat, kalau jalanan benar ada dan si orang tua mengetahuinya, si kera mesti ketahui juga, Lalu ia mendapat pikiran, Maka lekas-lekas ia menggapai pada kera itu.

si kera menjawab pula dengan kedua tangannya, Maka itu lucu akan menyaksikan manusia dan binatang berbicara satu dengan lain seperti orang bicara dengan orang gagu. Lama mereka bergerak saling ganti, baru kemudian si kera mengerti maksudnya si anak muda.

Dengan mulut monyong, dengan ke dua tangannya, dia menunjuk ke belakang orang tua itu.

"Hm, tidak salah" kata Tiong Hoa dalam bati, Nyata dugaannya jitu. Jadi si orang tua yalah penghalang jalan keluar itu oleh karena ini, ia lantas berpikir pula, mencari akal untuk dapat molos, selang sekian lama, ia tertawa sendirinya, ia terus kata:

"Orang tua, percuma andaikata kau bercokol disini sampai seratus tahun Tak nanti kau insaf bahwa kosong itu ialah paras dan paras itu kosong."
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar