Beng Ciang Hong In Lok Jilid 59

 
Kedua pemuda itu mengangguk, lalu mereka mohon diri pada Ketua Liok dan yang lainnya. Setelah meninggalkan markas Kay-pang, hari sudah tengah hari. Di tengah jalan Lie Tiong Chu menyuruh Ho Leng Wie agar pulang lebih dulu.

"Semula aku ingin tinggal di rumah pengasuh Guruku. Tapi ketika aku pindah ke rumah Teng Sit, aku berjanji akan kembali ke sana untuk menjenguknya. Sudah belasan hari aku pergi, rasanya sudah waktunya aku menjenguk orang tua yang baik budi itu." kata Lie Tiong Chu.

"Kau ingin mencari tahu tentang gurumu juga, bukan?" kata Ho Leng Wie.

"Benar," kata Lie Tiong Chu. "Jika Suhu sudah datang ke Tay-toh, beliau pasti datang ke rumah ibu asuhnya."

"Kalau begitu aku ikut kau ke sana," kata Ho Leng Wie. "Akujuga ingin bertemu dengan gurumu. Apalagi karena kita keluar bersama, maka kembali harus bersama juga. Jika tidak Ayahku pasti akan kuatir jika cuma aku yang pulang."

Ibu asuh Bu-lim-thian-kiauw Tam Yu Cong menjadi budak istana Wan-yen Tiang Cie, maka itu Ho Leng Wie kuatir jika membiarkan Lie Tiong Chu pergi sendirian.

Ibu asuh Bu-lim-thian-kiauw itu sudah janda, usianya enampuluh tahun lebih. Dia hanya mempunyai seorang anak laki-laki. Sesudah Bu-lim-thian-kiauw meninggalkan rumahmya, keluarga Tam tidak memperhatikan keadaan ibu asuhnya itu. Wan-yen Tiang Cie yang mengetahui hal itu,  berpikir  bahwa  orang  tua  Tam  Yu  Cong  masih bisa diperalat olehnya. Maka itu dia berpura-pura mengasihani dan merawat di istananya.

Walau anak lelaki ibu asuh Tam Yu Cong menjadi tukang kebun istana Wan-yen Tiang Cie, tapi tempat tinggalnya bukan di lingkungan istana melainkan di sebuah rumah kecil danjelek di luar taman bunga. Lie Tiong Chu membawa Ho Leng Wie ke tempat tinggal ibu asuhnya itu. Melihat kedatangan mereka, ibu asuh itu girang dan meminta agar mereka tinggal di rumahnya. Sesudah itu dia segera menyediakan makanan seperlunya.

"Terima kasih, harap kau jangan repot-repot. Aku tinggal di rumah saudara Ho, kedatangan kami ini karena ingin mencari kabar tentang Guruku, apa beliau sudah datang atau belum?"

"Aku sangat merindukan gurumu, apa benar dia akan datang?" kata perempuan tua itu. "Aku kira dia belum sampai, sebab biasanya dia ke mari."

"Sejak beberapa hari yang lalu aku tinggal di sini, apa hal itu sudah diketahui oleh anak buah Ong-ya atau belum? Pernahkah kau ditanyai?" tanya Lie Tiong Chu.

"Siapa yang mau memperhatikan nenek seperti aku? Lagipula kau tak perlu kuatir, bukankan kau pernah berpesan padaku? Mana mungkin aku sembarangan bicara." kata si nenek.

Tapi tiba-tiba terdengar suara orang bicara di luar. "Pasti ini rumahnya!"

"Ya, itu rumah ketiga di ujung taman, pasti tak salah!" kata kawannya.

Lie Tiong Chu kaget karena suara orang itu sudah dikenalnya. Benar saja kedua orang yang baru datang itu Wan-yen Hoo dan Jen Thian Ngo. Segera Lie Tiong Chu membisiki si nenek.

"Itu Siauw Ong-ya, kami harus sembunyi." kata Lie. "Lekas sembunyi di balik tumpukan kayu bakar, biar

kulayani mereka." kata si nenek.

Baru saja mereka bersembunyi, pintu depan telah didobrak dari luar hingga rusak dan terpentang. Tak lama terlihat Wan-yen Hoo dan Jen Thian Ngo masuk.

"Maaf, kami orang miskin tak punya apa-apa," kata si nenek dengan tubuh gemetar.

Diam-diam Lie Tiong Chu geli dan memuji lagak nenek itu. Dengan dongkol dan geli Jen Thian Ngo membentak.

"Hai, nenek, buka matamu dan lihat yang betul, beliau ini Siauw Ong-ya! Masa kau anggap kami ini perampok?" kata Jen Thian Ngo.

"Apa.. .apa katamu? Aku ini tu......tuli, kurang jelas?" kata si nenek.

Jen Thian Ngo membentak keras di tepi telinga si nenek. "Beliau ini Siauw Ong-ya, dengar tidak?" kata Jen Thian Ngo.

Buru-buru si nenek berlutut.

"Oh, jadi ini Siauw Ong-ya! Maaf, mohon ampun atas kebodohanku." kata si nenek meratap.

"Karena tidak tahu tidak bisa disalahkan," kata Wan-yen Hoo sambil tertawa. "Eh, nenek tua, selama ini Ong-hu memperlakukan kau dengan baik atau tidak?"

"Baik, baik sekali! Kami ibu dan anak tak akan melupakan kebaikan Ong-ya dan Siauw Ong-ya." kata si nenek. "Kalau begitu kau bicara sejujurnya!" kata Wan-yen Hoo.

"Apa yang ingin kau ketahui, Siauw Ong-ya?" kata si nenek.

"Aku dengar Pangeran Tam pulang, apa kau sudah bertemu dengannya?" kata Wan-yen Hoo.

Seolah kaget dan girang si nenek berkata

"Apa kau bilang? Pangeran Tam pulang ? Apa. Apa

betul begitu? Dia. di mana sekarang?"

"Dia ada di mana, justru itu yang mau kutanyakan padamu” kata Wan-yen Hoo.

"Oh, aku kira Siauw Ong-ya mau memberitahuku, tapi......tapi mana aku tahu di mana Tam berada? Jika beliau sudah pulang pasti akan datang menemui Ong-ya mana mau beliau datang ke tempatku yang buruk ini?" kata si nenek.

"Kau ibu asuhnya, sedang dia sudah tidak punya orang tua. Juga tidak mungkin dia tak menemuimu?" kata Wan- yen Hoo.

"Tapi.. .dia kan majikan dan aku hanya budaknya, mungkin saja dia kira aku sudah mati!" kata si nenek.

"Ternyata nenek ini tak tahu apa-apa Dengan demikian kita datang ke mari dengan sia-sia," kata Wan-yen Hoo.

"Aku kira nenek ini licin, coba kau tanya anak itu. Kalau perlu dengan kekerasan," bisik Jen Thian Ngo.

Wan-yen Hoo mengangguk. Karena mengira si nenek benar-benar tuli dan tak mendengar bisikan Jen Thian Ngo, Wan-yen Hoo mengeluarkan dua potong uang perak. "Ini uang jumlahnya seratus tail, jika kau mau berterusterang, aku berikan uang ini untukmu!" kata Wan- yen Hoo.

"Apa maksud Siauw Ong-ya?" kata si nenek. "Siapa yang dimaksud Siauw Ong-ya?"

Wan-yen Hoo membuat gambar wajah Lie Tiong Chu. "Dia she Lie, aku yakin kau pernah melihatnya. Di mana dia sekarang?" kata Wan-yen Hoo.

"Ah, siapa dia, aku belum pernah melihatnya!" kata si nenek.

"Coba kau renungkan, kau jangan bohongi aku!" bentak Wan-yen Hoo sambil mengeluarkan sebuah seruling.

"Orang itu murid Tam, dia juga membawa seruling seperti ini!" kata Wan-yen Hoo menegaskan.

"Maaf Siauw Ong-ya, mana mungkin dia mau kenal padaku si tua tak berguna!" kata si nenek.

Wan-yen Hoo jadi tak sabar, mendadak dia menggebrak meja sambil mendamprat si nenek.

"Kurang ajar! Jika kau tidak bisa diajak bicara baik-baik, barangkali harus dengan kasar?" kata Wan-yen Hoo. "Anakmu sudah berterus terang, apa yang kau ragukan. Aku ini saudara Tam Yu Cong, mustahil aku mencelakai muridnya?"

Si nenek tetap menggelengkan kepalanya.

"Siapa yang tak mau uang seratus tail perak. Tapi sayang aku tak tahu di mana mereka berada, jadi aku harus bagaimana?" kata si nenek.

"Plok!" Dengan keras Wan-yen Hoo menampar si nenek hingga dua giginya rontok dan berdarah dari mulutnya. Lie Tiong Chu yang sedang bersembunyi tidak tahan melihat kejadian itu. Dia ingin segera melompat keluar untuk menghajar Wan-yen Hoo. Tetapi sebelum Lie Tiong Chu keluar dari persembunyiannya, putra si nenek masuk ke rumah. Bukan main gusar dan sedihnya anak itu menyaksikan ibunya dianiaya.

"Siauw Ong-ya, sekalipun kau majikan kami, tapi kau keterlaluan sekali berani menganiaya Ibuku yang tidak berdosa!" kata anak itu.

"Katakan di mana orang she Lie itu. Jika kau katakan akan kuampuni ibumu, tapi jika tidak, kau pun akan kubunuh!" kata Wan-yen Hoo.

Tiba-tiba muncul seseorang di ruang itu.

"Akulah orang she Lie yang kau cari!" teriak Lie Tiong Chu.

Lie Tiong Chu langsung menyerang dengan hebat. "Trang!"

Seruling yang dipegang Wan-yen Hoo tersampok jatuh. Ho Leng Wie pun melompat keluar untuk menyambut pukulan Jen Thian Ngo dengan keras.

"Ho Toa-ko, lekas lari bersama ibumu!" kata Lie Tiong Chu.

Berbareng dengan itu seruling Lie melancarkan totokan kilat ke arah Wan-yen Hoo. Sebenarnya Keng-sin-cie-hoat yang dimiliki Wan-yen Hoo tidak lemah dibanding ilmu totok Lie Tiong Chu. Tetapi karena belum lama dia baru dikalahkan di Thian-tam, jelas rasa takutnya pada Lie belum  hilang.  Ditambah  lagi  Lie  menggunakan  seruling pusaka, sedang Wan-yen Hoo tanpa senjata. Tentu saja Wan-yen Hoo bertambah gugup dan ngeri. Maka dengan terpaksa dia mundur ke arah pintu depan. Anak si nenek segera menggendong ibunya lalu kabur lewat pintu belakang. Sedang Jen Thian Ngo sedang bertarung melawan Ho Leng Wie. Melihat gaya bersilat Ho Leng Wie dari kaum pengemis Jen Thian Ngo kaget.

"Hm! kiranya kau murid Kay-pang," ejek Jen Thian Ngo. "Katakan kau murid Bu Su Tun atau Liok Kun Lun? Sayang kau harus berhadapan denganku!"

Jen Thian Ngo menyerang dengan hebat sambil berseru. "Siauw Ong-ya, lekas kau keluar!" kata Jen Thian Ngo.

Saat itu Ho Leng-Wie sedang melancarkan pukulan, hingga kedua tangan mereka beradu.

"Braak!"

Keduanya terdorong mundur, sedang rumah itu bergetar keras hingga akhirnya ambruk. Saat itu Wan-yen Hoo yang sudah keluar sedang dibayangi oleh Lie Tiong Chu. Ho Leng Wie selangkah lebih lambat. Tiba-tiba sebuah balok meluncur, untung sempat ditangkis oleh Ho Leng Wie. Kemudian dia melompat keluar rumah.

Setiba di luar Wan-yen Hoo melepaskan sebuah anak panah bersuara untuk mengundang bantuan. Lie Tiong Chu yang marah langsung maju, serulingnya menotok bagian dada lawan. Ho yang berpikir Jen Thian Ngo kebih lihay dan bukan tandingannya, terpikir untuk menangkap Wan- yen Hoo.

Saat itu Wan-yen Hoo yang terus didesak jadi kelabakan menghadapi serangan Lie Tiong Chu yang gencar itu. Melihat situasi sangat buruk baginya, Jen Thian Ngo bergeser    sambil    melancarkan    pukulan    dahsyat untuk membantu Wan-yen Hoo. Tapi Ho Leng Wie tenis membayanginya

"Kubunuh kau!" bentak Jen Thian Ngo.

Ho Leng Wie yang tak menduga akan mendapat serangan ini, sem-pat menyambar sepotong kayu untuk menyambut serangan lawan. Dengan menggunakan jurus pemukul anjing dari kaum Kay-pang dia menyerang lawannya. Namun serangan Ho dapat ditangkis Jen Thian Ngo. Baju Jen Thian Ngo robek,dan kayu di tangan Ho pun patah. Tiba-tiba Jen Thian Ngo menerjang maju, dia coba mendesak ke arah Lie Tiong Chu.

"Siauw Ong-ya, biar orang she Lie ini aku yang hadapi!" kata Jen Thian Ngo.

Tentu saja Wan-yen Hoo girang, sekarang dia hanya menghadapi lawan yang seimbang.

"Hm! Kalian semua tak akan lolos dari tanganku! Termasuk si nenek dan anaknya akan kubunuh!" kata Wan- yen Hoo.

Ho Leng Wie marah bukan main, dia melabrak Wan-yen Hoo dengan hebat. Saat itu Lie Tiong Chu melancarkan serangan dengan seruling pusakanya, dia totok bagian atas dan bawah tubuh lawan. Serangannya mengarah ke  jalan darah yang mematikan lawan. Ternyata Lie Tiong Chu mendapat lawan yang seimbang, masing-masing tak mudah saling mengalahkan. Sesudah bertarung beberapa jurus, akhirnya Jen Thian Ngo yakin bahwa Lie Tiong Chu pemuda yang kabur bersama anak perempuannya tempo hari. Dengan gusar dia membentak.

"Hm! Jadi kaulah bangsat yang membawa kabur anak perempuanku, di mana kau sembunyikan putriku?" kata Thian Ngo. "Hm! Siapa bilang anakmu, dia sudah tak mau mengakutmu sebagai ayahnya!" kata Lie Tiong Chu.

"Bangsat! Rupanya kau tipu putriku, kau harus kubinasakan!" kata Jen Thian Ngo kalap.

Dia melancarkan serangan maut ke arah lawan. Memang kemampuan Jen Thian Ngo lebih tinggi dibanding Lie Tiong Chu yang kini tubuhnya telah bermandikan keringat. Beruntung Jen Thian Ngo agak ngeri pada ilmu Keng-sin- ciehoat lawan hingga Lie masih sanggup bertahan dari serangan Jen Thian Ngo ini.

Di pihak lain Ho Leng Wie sedikit lebih unggul dibanding Wan-yen Hoo. Tapi karena dia telah mengadu tenaga dengan Jen Thian Ngo, mau tak mau kekuatannya mulai berkurang, karena itu Wan-yen Hoo bisa bertahan dan terkadang bisa balas menyerang. Tiba-tiba Lie Tiong Chu menguatirkan nenek dan anaknya sekalipun mereka sudah kabur. Karena pikirannya agak terganggu, Jen Thian Ngo mampu mendesaknya lebih hebat.

"Bangsat! Lekas kau katakan di mana putriku jika kau ingin selamat!" kata Jen Thian Ngo. "Kalau tidak kau kubunuh!"

"Aku tak yakin Jen Ang Siauw punya ayah sepertimu tak tahu malu!" kata Lie Tiong Chu.

"Saat mampusmu sudah dekat pun kau masih keras kepala!" bentak Jen Thian Ngo sambil menyerang dengan gencar.

Ketika Lie Tiong Chu sedang terdesak, tiba-tiba muncul dua penunggang kuda mendatangi. Ternyata mereka dua perwira pengawal istana.

"Bagaimana, apa kalian sudah menangkap si nenek dan anaknya?" tanya Wan-yen Hoo. Saat itu mendadak muncul seorang pemuda pelajar dari belakang dua perwira pengawal istana itu.

"Ternyata kau, Suhu!" teriak Lie Tiong Chu girang bukan main.

Wan-yen Hoo terperanjat segera dia melompat keluar dari kalangan. Rupanya yang datang itu Bu-lim-thian-kiauw Tam Yu Cong.

"Benar, ini aku” jawab Bu-lim-thian-kiauw. "Sudah, kalian berhenti bertarung!"

Saat itu Jen Thian Ngo sedang melancarkan serangan dahsyat ke arah Lie Tiong Chu yang tidak akan mampu menangkis serangannya. Maka itu Jen Thian Ngo tidak menghiraukan bentakan Bu-lim-thian-kiauw, apalagi Jen juga tak kenal siapa yang membentaknya itu. Saat itu serangan Jen Thian Ngo sulit dihindarkan oleh Li Tiong Chu. Seandainya dia menangkis pun pasti dia akan terluka parah. Tapi Lie Tiong Chu tidak menghindar maupun menangkis. Setelah mendengar seruan Bu-lim-thian-kiauw, dia hanya meluruskan kedua tangannya ke bawah dan berkata.

"Baik Suhu!" kata Lie Tiong Chu.

Mendengar panggilan "Suhu" Jen Thian Ngo baru sadar bahwa orang itu Tam Yu Cong. Saat itu Jen Thian Ngo juga kaget hendak membatalkan serangannya, tapi terlambat.

"Plok!"

Muka Jen Thian Ngo tertampar oleh Tam Yu Cong. Melihat kejadian itu Wan-yen Hoo terperanjat, Jen Thian Ngo yang terhitung jago tua pun berhasil ditampar oleh Tam Yu Cong. "Ayahku jago nomor satu Kerajaan Kim, tapi rasamya sulit untuk melawan Tam Yu Cong," pikir Wan-yen Hoo.

"Siapa kau, beraninya kau tak mentaati perintahku?" kata Tam Yu Corig.

"Paman Tam, dia tamu Ayahku namanya Jen Thian Ngo!" kata Wan-yen Hoo. "Pasti Paman Tam pernah mendengar nama Jen Lo Sian-seng!"

"Oh, maafkan, aku bersalah pada muridmu," kata Jen Thian Ngo sambil tertawa.

Bu-lim-thian-kiauw Tam Yu Cong mengejek. Tanpa memperhatikan Jen Thian Ngo, dia berpaling ke arah Wan- yen Hoo.

"Sebagai bangsawan, kenapa kau datang ke tempat seperti ini dan menyusahkan seorang nenek yang tak berdosa padamu!" kata Tam Yu Cong.

Wan-yen Hoo gugup, dia menjawab dengan wajah berubah-ubah sebentar merah sebentar pucat.

"Harap maklum karena.....karena..."

"Maklum bagaimana? Kau menyuruh orang untuk menangkap mereka. Untung aku datang, jika tidak mungkin jiwa mereka sudah melayang," kata Bu-lim-thian-kiauw.

Tak lama kelihatan pasukan pengawal berdatangan, komandan pasukan itu Wan-yen Tiang Cie. Wan-yen Hoo girang dan berkata.

"Paman Tam, itu Ayahku datang menyambutmu!" kata Wan-yen Hoo.

Wan-yen Tiang Cie yang sudah dekat langsung berkata, "Hai Tam Yu Cong! Angin apa yang membawamu ke mari? Sudah lama aku ingin bertemu denganmu!": "Ong-ya, kedatanganmu untuk menangkap buronan, kan?" kata Bu-lim-thian-kiauw.

"Kau jangan bergurau, Tam Yu Cong!" kata Wan-yen Tiang Cie. "Masa lalu kenapa harus kau ungkit-ungkit lagi? Tadi Baginda baru membicarakan tentang dirimu, sayang beliau tak tahu kau ada di mana? Baginda mengundangmu datang untuk urusan kedudukanmu sebagai pangeran! Sekarang kau kembali, pasti baginda senang sekali. Aku sengaja menyambut kedatanganmu!"

Duapuluh tahun yang lalu, Bu-lim-thian-kiauw dianggap buronan Kerajaan Kim. Dia dianggap anti Raja Kim. Terpaksa Bu-lim-thian-kiauw melarikan diri. Kemudian Wan-yen Liang memimpin pasukan menyerbu ke wilayah Song. Tapi dalam pertempuran di Cay-ciok-kie, pasukan Kim hampir musnah seluruhnya oleh panglima Song bernama Kie Un Bun yang terkenal itu. Sedangkan sisa pasukan Kim lari ke Kwan-ciu.

Di sana Wan-yen Liang terbunuh oleh anak buahnya. Wan-yen Yong, atau saudara sepupunya menggantikannya naik tahta. Sekarang sudah berlalu belasan tahun lamanya.

Merasa tahta yang diperolehnya itu berkat jasa-jasa dari Bu-lim-thian-kiau walau tidak langsung, setelah Wan-yen Yong berkuasa, dia menghapus nama Bu-lim-thian-kiauw dari daftar buronan kerajaan Kim. Maka itu persengketaan dalam keluarga kerajaan itu selalu dirahasiakan dan tidak pernah diumumkan, orang luar hampir tidak ada yang tahu.

-o~DewiKZ~Aditya~aaa~o- Sebenarnya apa yang dikatakan Wan-yen Tiang Cie tidak semuanya benar. Walaupun Wan-yen Yong tidak menganggap Bu-lim-thian-kiauw sebagai duri dalam daging seperti anggapan Wan-yen Liang, tapi paling tidak dia hanya menghapus Tam Yu Cong dari daftar buronan saja. Sedang tentang gelar pangeran yang akan dikembalikan pada Tam Yu Cong, hanya omong kosong. Wan-yen Tiang Cie hanya ingin membohongi Bu-lim-thian-kiauw saja.

Wan-yen Yong memang pernah bicara dengan Wan-yen Tiang Cie tentang Bu-lim-thian-kiauw karena dia ingat pada Bu-lim-thian-kiauw Tam Yu Cong. Saat itu dia menyayangkan bakat dan kepandaian Tam Yu Cong yang tak dapat dimaafkan. Tapi Wan-yen Tiang Cie membisiki Wan-yen Yong, dia bilang Bu-lim-thian-kiauw itu sekalipun berdarah bangsawan Kim, namun perjuangannya memihak pada bangsa lain.

Wan-yen Yong menganggap bahwa Tam Yu Cong sebagai pangeran bangsa Kim, tidak akan menyerahkan wilayah Kim pada bangsa lain. Oleh karena itu, Wan-yen Yong berharap jika Tam Yu Cong kembali ke Tay-toh, dia ingin menemuinya.

Terpaksa Wan-yen Tiang Cie pun menyetujuinya, dia berjanji akan melaksanakan keinginan junjungannya itu. Akhirnya karena ada kesepakatan dengan junjungannya itu, Wan-yen Tiang Cie tak bisa menggunakan kekerasan terhadap Tam Yu Cong. Dia hanya menggunakan akal agar Tam Yu Cong mau datang ke istana. Maka itu walaupun Bu-Iim-thiankiauw berada di tengah kepungan pasukan Kim, dia tetap tenang. Sambil tertawa dia berkata begini.

"Kedatanganku bukan untuk memulihkan kedudukanku sebagai Pangeran Kim, karena tak berani aku merepotkan Ong-ya!" kata Tam Yu Cong.

"Apapun alasanmu, Sri Baginda ingin bertemu denganmu! Aku harap kau memberi muka padaku dan mau menemui Baginda. Jika tidak bagaimana aku memberi alasan pada beliau?" kata Wan-yen Tiang Cie.

Walau kepungan pasukan Kim sudah semakin ketat, sedikitpun Bu-lim-thian-kiauw tidak peduli sama sekali.

"Baik, undangan Ong-ya tidak bisa kutolak, maaf aku merepotkan Ong-ya saja." kata Tam Yu Cong.

"Kau sangat bijaksana, Tam Pwee-cu!" kata Wan-yen Tiang Cie sambil tertawa.

"Tapi bagaimana dengan muridku dan kawanku ini, apa Ong-ya mau menerima mereka juga?" kata Bu-lim- thiankiauw.

"Ya, masa mereka tidak diundang?" kata Tiang Cie.

Sebenarnya Lie Tiong Chu ragu, tapi karena gurunya yang mengajak, dia menurut saja. Mereka ikut dengan pengawalan pasukan Kim. Tak lama mereka sampai di istana Wan-yen Tiang Cie. Dia memimpin Tam Yu Cong, sedang Ho dan Lie Tiong Chu dilayani oleh Pan Kian Hoo, si kepala rumah tangga istana itu.

Saat berjabatan tangan Pan Kian Hoo mengerahkan tenaganya untuk menguji kedua tamunya itu. Ho Leng Wie dan Lie Tiong Chu pun merasakan tenaga dalam Pan Kian Hoo yang cukup tinggi. Di sini ada Jen Thian Ngo, Wan- yen Hoo, See-bun Souw Ya dan yang lain-lain, Jika mereka harus  bertarung  di  situ,  mereka  yakin  tak  mudah  untuk meloloskan diri dari sana. Wan-yen Tiang Cie diam-diam menguji tenaga dalam Bu-lim-thian-kiauw. Saat pelayan membawakan teh, Wan-yen Tiang Cie sengaja menerima nampan dari tangan si pelayan dan menyuguhkan sendiri air teh itu pada Bu-limthian-kiauw.

"Ini teh wangi hadiah dari Sri Baginda, silakan Pwee-cu mencicipinya." kata Wan-yen Tiang Cie.

"Terima kasih," kata Bu-lim-thian-kiauw.

Wan-yen Tiang Cie menyodorkan nampan ke dada Bu- limthian-kiauw. Segera Bu-lim-thian-kiauw mengetahui tuan rumah mengerahkan tenaga dalamnya untuk mengujinya. Jika nampan tak dia tahan dan membentur dadanya, maka dia akan terluka parah.

"Jangan sungkan, letakkan saja di meja!" kata Tam Yu Cong.

Saat tenaga keduanya bentrok, nampan teh itu bergetar, tapi air tehnya tidak tumpah. Tam Yu Cong langsung mengangkat cawan teh dan berkata.

"Harum dan sedap teh ini!" kata Tam Yu Cong.

Pelayan itu mengangkat nampan teh untuk diganti dengan nampan berisi makanan. Saat nampan terangkat, Wan-yen Tiang Cie kaget melihat bekas nampan tertera di atas meja. Tapi dia coba berusaha setenang mungkin.

"Anda hebat Tam Pwee-cu, aku kagum sekali. Tapi sayang meja ini jadi tidak rata, biar aku yang akan menghaluskannya kembali." kata Wan-yen Tiang Cie.

Dia mengusap meja yang berbekas nampan itu hingga rata kembali. Diam-diam Wan-yen Tiang Cie sadar bahwa tenaga dalam Bu-lim-thian-kiauw lebih tinggi setingkat darinya. Dia kaget tapi berusaha tenang. "Setinggi apapun kepandaiannya, dia sudah masuk perangkapku. Aku yakin dia tidak akan mudah lolos dari tanganku!" pikir Wan-yen Tiang Cie.

"Saudara Tam, selama ini kau berada di mana? Sri Baginda dan aku sangat rindu padamu." kata Wan-yen Tiang Cie.

"Aku berkelana di kalangan Kang-ouw, ke mana saja aku pergi, sulit kujelaskan padamu!" kata Tam Yu Cong.

"Luas sekali pengalaman Anda saudara Tam, pasti banyak kenalanmu. Aku ingin tahu, menurutmu siapa jagoan di kalangan kang-ouw sekarang ini?" kata Wan-yen Tiang Cie lagi.

"Kenalanku banyak dan hampir semuanya jago-jago silat zaman ini! Maka itu sulit sekali untuk menilai siapa yang paling jago!" kata Tam Yu Cong.

"Pendapatmu dan pendapatku pasti berbeda. Tapi ada dua orang yang aku ingin tahu, bagaimana penilaianmu terhadap mereka itu," kata Wan-yen Tiang Cie.

"Siapa mereka itu?" kata Bu-lim-thian-kiauw.

"Mereka suami istri yang sangat terkenal, Hong-lay-mo-li Liu Ceng Yauw, dan suaminya yang bergelar Siauw-go- kiankun Hoa Kok Han, pasti. Anda kenal mereka!" kata Wan-yen Tiang Cie.

"Benar, aku kenal mereka. Mereka itujago-jago luar biasa," kata Tam Yu Cong.

"Hong-lay-mo-lie berkedudukan di Kim-kee-leng, dia bersama laskar rakyatnya menentang bangsa Kim! Apa kau juga tahu?" kata Wan-yen Tiang Cie.

Tam Yu Cong mengangguk. "Aku tahu!" "Hm! Kalau begitu jago yang kau maksudkan orang yang menentang bangsa Kim, begitu?" kata Wan-yen Tiang Cie.

"Maaf Ong-ya, Jenghis Khan dari Mongol itu termasuk ksatria dan pahlawan bukan?" kata Tam Yu Cong.

"Kegagahan Jenghis Khan tidak ada bandingannya di zaman ini, jadi sudah tentu dia seorang ksatria besar!" kata Wan-yen Tiang Cie.

"Sejak Jenghis Khan memerintah Mongol beberapa puluh tahun lamanya, entah sudah berapa kali mereka bertempur dengan Kerajaan Kim. Walau mereka hidup damai dengan kita, tapi rencana mereka ingin mencaplok Kerajaan Kim bukan rahasia lagi. Apa menurut Ong-ya Jenghis Khan itu bukan musuh kita? Karena pendapat kita tidak sama, maka saat mengakui pahlawan dari pihak musuh pun akan berbeda."

"Tetapi bagaimanapun kau tetap bangsa Kim dan bukan bangsa Han?" kata Wan-yen Tiang Cie.

"Tapi kau pun harus mengakui, bahwa Kim-kee-leng itu tanah air bangsa Han," kata Bu-lim-thian-kiauw. "Menurut kita mereka itu pemberontak, namun menurut mereka malah sebaliknya!"

"Tentang saudara sepupumu Tam See Eng yang kalah besar saat memimpin pasukan untuk menyerang Kim- keeleng, apa kau juga tahu?" kata Wan-yen Tiang Cie.

"Peristiwa itu menggemparkan, sudah tentu aku pernah mendengarnya," jawab Bu-lim-thian-kiauw.

"Demi kejayaan Kim dan kehormatan keluarganu, apa pendapatmu jika kuusulkan kepada Sri Baginda agar kau diangkat menjadi panglima pasukan untuk menggempur Kim-kee-leng?" kata Wan-yen Tiang Cie. "Menurut pendapatku, musuh yang mengancam Kerajaan Kim adalah bangsa Mongol. Maka jika pemerintah mengerahkan kekuatan untuk menggempur Kim-kee-leng, rasanya sungguh ganjil." kata Tam Yu Cong.

"Berdamai dengan Mongol itu suatu keputusan Baginda, apa Anda anggap Baginda kurang bijaksana," kata Wan-yen Tiang Cie sambil berdiri hendak pergi.

Tadi Wan-yen Tiang Cie sengaja memancing Tam Yu Cong agar dia mengeluarkan pendapatnya yang menentang Kerajaan Kim. Dengan demikian dia bisa melaksanakan niatnya menangkap Tam Yu Cong. Ditambah lagi di luar istana sudah berkumpul pasukan panah dengan anak panah berbisanya. Sedang di belakang pintu angin sudah siaga jagojago pilihan. Jika Wan-yen Tiang Cie memberi aba-aba, dengan serentak Bu-lim-thian-kiauw bertiga akan dibinasakan. Bu-lim-thian-kiauw tetap tenang, dia tetap menanti apa yang ingin dilakukan oleh lawannya. Pada saat yang tegang itu, tiba-tiba terdengar orang berseru.

"Titah Raja tiba!"

Wan-yen Tiang Cie terperanjat ketika dia mendengar seruan itu. Dengan sangat terpaksa dia mengurungkan mengeluarkan perintah untuk membekuk Bu-lim-thian- kiauw dan kawan-kawan.

"Buka pintu untuk menyambut titah Baginda!" kata Wan-yen Tiang Cie.

Tak lama masuk seorang Thay-kam (sidasida istana) dan seorang Wisu (pengawal) istana. Wan-yen Tiang Cie sudah kenal pada Thay-kam bernama Maliha, Thaykam itu mengurus urusan istana dan paling dipercaya oleh Raja. Tapi Wisu itu tidak dikenalnya. Ketika Wan-yen Tiang Cie mau berlutut untuk menerima titah raja, mendadak Maliha berkata, "Ong-ya, titah Raja bukan ditujukan padamu, tapi pada Tam Pwee-cu!"

Mendengar keterangan itu, Bu-lim-thian-kiauw maju ke depan untuk mendengarkan titah raja.

Tak lama dengan suara lantang Maliha berseru,

"Hong-siang (Baginda) minta Pwee-cu menerima titah dan segera ikut ke istana untuk menghadap pada Hong- siang!"

Kejadian itu di luar dugaan Wan-yen Tiang Cie. Karena Maliha seorang Thay-kam kepercayaan baginda, Wan-yen Tiang Cie tidak berani membantah. Dia heran kenapa baginda menerima kabar secepat itu, padahal Tam Yu Cong baru saja tiba. Dia heran siapa sebenarnya Wi-su baru itu? Dia yakin belum pernah melihatnya. Diam-diam dia kuatir juga, janganjangan baginda memakai Wisu kepercayaannya untuk mengawasi gerak-geriknya. Dengan demikian Wisu itu sengaja dirahasiakan, pantas jika Wisu itu tidak dikenalnya. Karena berpikir bahwa baginda telah mencurigai dirinya, mau tak mau Wan-yen Tiang Cie jadi tak tentram. Selesai menerima titah raja, Bu-lim-thian- kiauw berkata.

"Apa murid dan keponakanku juga boleh aku bawa menghadap Hong-siang?" kata Tam Yu Cong.

"Boleh!" kata Maliha. "Terserah Hong-siang mau menerima atau tidak?"

Tam Yu Cong pamit pada Wan-yen Tiang Cie. Ketika ia sampai di luar, di sana sudah menunggu sebuah kereta kuda milik kerajaan Kim. Melihat kereta itu Wan-yen Tiang Cie tidak sangsi lagi, walau tetap merasa heran karena wi-su itu tak pernah bicara. Lie Tiong Chu dan Ho Leng Wie pun keheranan dan sangsi. Mereka pun berpikir, ia pikir si wi-su itu pernah dilihatnya, walau dia lupa di mana mereka pernah melihatnya.

Saat itu Tam Yu Cong sudah naik kereta bersama Maliha. Lie Tiong Chu dan Ho Leng Wie duduk di tempat kusir. Dan yang menjadi kusir wi-su istana Kim itu. Lie Tiong Chu dan Ho Leng Wie duduk di kanan dan kiri dia, tak sadar mereka mengawasi wi-su itu itu beberapa kali, tapi mereka tetap ragu. Ketika kereta sudah sampai di suatu tempat yang sepi, mendadak wi-su itu menghentikan keretanya dan berkata sambil tertawa.

"Lupakah kalian padaku? Sekarang silakan kalian turun di sini!" kata wi-su itu.

Mendengar suara wisu itu, seketika Ho Leng Wie terkejut bercampur girang, dia berseru.

"Hai, Suhu, ternyata kau!" kata Leng Wie.

Lie Tiong Chu pun baru ingat, wisu itulah yang pernah meno-longinya di Thian-tam tempo hari. Sambil tertawa terbahak-bahak Tam Yu Cong berkata.

"Bu Toa-ko, silakan kau turun di sini, biar kita membagi tugas! Kau pulang bersama muridku dan aku yang akan masuk ke istana bersama Ma Kong-kong." kata Tam Yu Cong.

"Eh, jadi kau tetap ingin masuk ke istana?" kata Bu Su Tun.

"Benar, jangan kuatir, aku pasti kembali," kata Tam Yu Cong. "Muslihat Tiang Cie sudah kuketahui, coba pikir, masa persoalan ini bisa kudiamkan?" Tam Yu Cun segera naik ke tempat kusir menggantikan Bu Su Tun, lalu melanjutkan perjalanan ke istana. Setelah turun dari kereta, Ho Leng Wie bertanya pada gurunya.

"Suhu, kenapa bisa begini?" kata Leng Wie.

"Semua terjadi secara kebetulan sekali. Ketika Tam Yu Cong datang, dia ke rumah ibu asuhnya. Ternyata di sana kalian sedang mendapat masalah," kata Bu Su Tun.

"Bagaimana dengan titah raja itu?" tanya Lie Tiong Chu. "Titah itu palsu!" kata Bu Su Tun.

"Kenapa Thay-kam itu mau membantu Suhu?" tanya Lie Tiong Chu heran.

"Dia kupaksa supaya menuruti perintahku," kata Bu Su Tun sambil tersenyum.

Tam Yu Cong tahu seluk-beluk istana karena dia seorang pangeran Kim. Sedang Bu Su Tun pernah bekerja sebagai pengawal raja Kim, dengan demikian dia tahu keadaan istana. Ketika Tam Yu Cong datang hendak menyelamatkan ibu asuhnya, Bu Su Tun yakin Tam Yu Cong pasti bertemu dengan Wan-yen Tiang Cie, dia lalu berusaha menculik Maliha, si thaykam. Karena diancam thay-kam itu menuruti perintah Bu Su Tun.

"Berani sekali Suhu menempuh bahaya! Tapi mengenai niat Wan-yen Tiang Cie ingin merebut tahta, Paman Bu juga yang memberi tahu Suhu?" kata Lie Tiong Chu.

"Saat datang ke istana, dia sudah memperoleh keterangan itu dari sahabatnya. Hanya sayang keterangannya kurang jelas dibanding penjelasanku," kata Bu Su Tun.

"Sekarang kita akan ke mana, ke markas Kay-pang atau ke tempat muridmu, Suhu?" tanya Ho Leng Wie. "Ke tempatmu saja agar ayahmu tidak kuatir," kata Bu Su Tun. "Alamatmu pun sudah kukatakan pada Tam Tay- hiap."

"Wan-yen Tiang Cie pasti tidak menduga kalau kita tidak ada di istana Kim. Andaikata dalam perjalanan kita ke Seesan, dia mengetahuinya, itu pun rasanya sudah terlambat," kata Lie Tiong Chu.

Dugaan Lie Tiong Chu tidak keliru, karena Wan-yen Tiang Cie telah mengetahui hal itu, sudah terlambat. Tentang Bu Su Tun yang menyamar juga sudah diketahui Wan-yen Hoo. Sesudah ayahnya mengantarkan Tam Yu Cong yang akan ke istana. Wan-yen Hoo menemui ayahnya, lalu mengisahkan kejadian di Thian-tam juga tentang seorang perwira Kim yang  dicurigainya. Mendengar keterangan itu Wan-yen Tiang Cie kaget, walau dia yakin Maliha bukan Maliha palsu, apalagi Thay-kam itu memang kepercayaan junjungannya. Tak lama Wan-yen Tiang Cie segera mengirim orang ke istana untuk menyelidiki kebenaran cerita anaknya itu. Selang tak lama datang laporan.

"Benar, Maliha memang mengantar Tam Yu Cong ke istana raja, tapi mereka hanya berdua saja tanpa si perwira dan kedua pemuda itu!" kata si pelapor.

Wan-yen Tiang Cie jadi sangsi.

"Maliha itu Thay-kam kesayangan baginda, dia pun membawa Tam Yu Cong ke istana. Jadi hal itu tidak perlu disangsikan lagi. Tetapi ke mana pengawal itu? Ini harus kuselidiki! "pikir Wan-yen Tiang Cie.

Segera Wan-yen Tiang Cie masuk ke istana untuk menghadap raja. Mengenai jejak pengawal serta kedua anak muda itu, Wan-yen Hoo yang diberi tugas untuk mengusutnya. Sesudah itu Wan-yen Hoo memilih belasan jago kelas tinggi yang terbagi empat tujuan untuk mengusut jejak ketiga buronan itu. Tiap kelompok disertai orang yang sudah mengenal Lie Tiong Chu dan Ho Leng Wie.

Ketika Bu Su Tun bersama Ho Leng Wie dan Lie Tiong Chu sampai di See-san, hari sudah hampir gelap. Saat itu mereka baru melewati Leng-san-sie, sebuah kuil di lereng bukit itu. Sedang untuk mencapai Pit-mo-giam atau tempat tinggal keluaga Ho, mereka masih harus mendaki lagi. Saat itu secara tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda yang riuh sekali di belakang mereka.

Ketika Bu Su Tun menoleh, tampak empat orang penunggang kuda sedang menyusul mereka. Sedang Jen Thian Ngo terlihat berada di antara para pengejar itu. Selain itu ada seorang kakek kurus yang pernah bertarung dengannya di Thian-tam,. Dia terlihat bersama dua orang kakek yang tinggi besar, seorang berumur limapuluh tahun, dan yang kedua tidak dikenalnya. Setelah dekat, kakek itu melompat dari kudanya sambil membentak.

"Beraninya kau menyamar sebagai perwira dan pengawal istana Di Thian-tam kami dikelabui olehmu, sekarang jangan harap kau bisa lolos dari tanganku!" kata si kakek.

"Hm, tua bangka macam kau punya kepandaian apa, beraninya kau membual di depanku?" kata Bu Su Tun.

Tempo hari kakek kurus itu memang pernah bertarung dengan Bu Su Tun. Tapi karena belum tahu lihaynya bekas Ketua Kay-pang itu, dia kira kepandaian Bu Su Tun setingkat dengannya. Padahal dia salah satu di antara tiga iblis yang paling ditakuti orang Kang-ouw, dan dia tidak pernah dia diolok-olok orang seperti itu? Maka itu dia balas mendamprat.

"Baik, kau boleh belajar kenal dengan tua bangka macam aku ini!" kata si kakek. Tak lama dia menyerang Bu Su Tun dengan hebat. Samberan angin pukulannya membawa hawa dingin itu seolah masuk ke tulang. Lie Tiong Chu dan Ho Leng Wie yang berdiri di samping menggigil kedinginan, sedang Bu Su Tun yang diserangnya tenang-tenang saja.

"Aku memang sedang gerah, terima kasih!" kata Bu Su Tun mengejek.

Ketika kedua tangan mereka beradu, si kakek kurus merasakan hawa hangat yang membuat tubuhnya kelelahan dan lesu, rasanya dia mengantuk dan ingin tidur. Si kakek kurus terkejut, dia gigit lidahnya hingga semangatnya timbul kembali. Tak lama dia menghantam lawannya tiga kali. Tetapi semua serangannya bisa ditangkis oleh Bu Su Tun.

"Hm! Siu-lo-im-sat-kangmu entah sudah berapa orang saja yang kau celakai! Sekarang tiba hari naasmu!" kata Bu Su Tun.

Berbareng kata-kata itu Bu Su Tun melancarkan serangan balasan yang dahsyat. Sebenarnya kakek kurus itu terhitung jago kelas tinggi di bawah Wan-yen Tiang Cie, tapi saat mendapat pukulan Bu Su Tun, dia bergetar. Tidak urung dia mundur beberapa langkah ke belakang. Pukulan Bu Su Tun disebut Kim-kong-ciang, ilmu pukulan bertenaga sakti, sejenis ilmu yang kekuatannya memang lebih tinggi dari si kakek, bahkan Kim-kong-ciang merupakan ilmu pukulan anti Siu-loim-sat-kang. Melihat kawannya terdesak, si kakek tinggi besar itu segera menerjang maju untuk mewakili kawannya menyambut pukulan Bu Su Tun.

"Braak!"

Langsung si kakek tinggi besar itu bergetar mundur dua tiga langkah ke belakang. Mulutnya keluar darah segar, jelas dia terluka dalam. Tapi telapak tangan Bu Su Tun  pun panas seperti terbakar, malah disertai rasa gatal-gatal dan ngilu.

"Hai, rupanya kau si iblis pencuri kitab pusaka keluarga Suang!" bentak Bu Su Tun. "Tapi sayang Hoa-hiat-tomu belum sempurna. Mana bisa kau melukaiku? Hm, tak akan kubiarkan kau mencelakai orang lain lagi!"

Sesudah itu kembali Bu Su Tun melancarkan pukulan keras. Semula mulut si kakek tinggi besar itu hanya terlihat mengeluarkan darah. Tapi sekarang dia muntah darah segar, seperti orang mabuk. Tubuhnya sempoyongan. Dari jarak jauh dia balas menghantam sekali ke arah Bu Su Tun. Aneh, setelah muntah darah, tenaga pukulan lelaki itu jadi bertambah dahsyat dibanding pukulannya tadi. Ketika kedua tangan mereka beradu maka terdengarlah suara keras. Si kakek kurus yang sudah bisa menenangkan dirinya lagi, segera berseru keras.

"Hei! Ternyata kau mahir Kim-kong-ciang, malah lebih hebat dibanding dengan Liok Kun Lun, apa kau ini Bu Su Tun yang pernah menjabat ketua Kay-pang?"

"Benar," jawab Bu Su Tun. "Siu-lo-im-sat-kang yang kau gunakan untuk mencelakai orang itu harus kumusnahkan!"

"Hm! Bu Su Tun, jangan sombong dulu!" ejek si kakek kurus. "Memang, jika satu lawan satu aku bukan tandinganmu, tapi karena sekarang kami berdua, untuk bisa menang kau perlu memanggil Liok Kun Lun dulu ke sini."

Sambil berbicara kakek kurus itu bergabung dengan si kakek tinggi besar. Setelah bergabung, tenaga pukulan mereka bertambah hebat. Kekuatan pukulan Bu Su Tun yang dahsyat itu pun dapat dihalau kembali oleh keduanya.

"Bu Su Tun jangan lupa, masih ada aku!" kata Jen Thian Ngo berseru sambil menerjang maju. "Hm! Rupanya kau buronan yang dicari pemerintah Kim! Kau jangan menyesal jika aku tidak memakai peraturan Kang-ouw!"

Cit-siu-kiam-hoat sebagai ilmu andalan Jen Thian Ngo memang termasuk ilmu khas di dunia persilatan, kekuatannya pun tidak di bawah kedua kakek kurus dan tinggi besar itu. Tadi Bu Su Tun mulai kewalahan menghadapi kerubutan kedua kakek itu, apalagi sekarang ditambah dengan Jen Thian Ngo. Lie Tiong Chu dan Ho Leng Wie tidak tinggal diam, segera mereka maju untuk membantu Bu Su Tun. Melihat Lie Tiong Chu, seketika Jen Thian Ngo naik darah.

"Hm! Kebetulan sekali kedatanganmu, keparat! Kau yang membawa anak perempuanku kabur! Maka itu akan kubinasakan kau dulu!" kata Jen Thian Ngo.

Namun, serangan Jen Thian Ngo ditangkis oleh Lie Tiong Chu dengan serulingnya yang tidak kalah tangkasnya, hingga berturut-turut sebanyak tiga kali serangan musuhnya bisa dipa-tahkannya, malah sekaligus dia balas mengincar jalan darah di tubuh lawan. Si kakek tinggi besar sempat melancarkan pukulan ke arah Ho Leng Wie.

"Awas anak Wie itu pukulan berbisa!" teriak Bu Su Tun memperingatkan muridnya itu.

Walau Ho Leng Wie mengiakan, dia tetap melancarkan serangan dengan keras lawan keras. Tiba-tiba dia hantam tangan musuhnya. Seperti pukulan gurunya, pukulan Ho Leng Wie pun dahsyat.

Maka itu terlihat si kakek tinggi besar agak jerih menghadapi pukulan itu. Tiba-tiba dia memutarkan tangannya agar tidak bentrok dengan tangan Ho Leng Wie. Tapi Ho Leng Wie segera mengganti serangannya sambil mengelak  dari  pukulan  musuh.  Karena  kedua  orang  itu sama lihaynya, masing-masing pukulan mereka luput mengenai sasaran.

Saat itu Bu Su Tun memuji ketangkasan muridnya itu. Padahal dia tahu keuletan Ho Leng Wie masih kurang. Jika mereka bertarung sedikit lama lagi, mungkin dia akan kewalahan menghadapi pukulan berbisa lawan. Segera dia mendesak mundur si kakek kurus, lalu menerjang ke arah lawan muridnya. Tak lama kedua telapak tangannya memukul sekaligus ke arah Jen Thian Ngo dan ke arah si kakek tinggi besar. Tapi si kakek tinggi besar itu menggeser mundur untuk menghindari pukulan dahsyat Bu Su Tun. Tak lama Jen Thian Ngo berseru.

"Baiklah, kau layani kedua bocah itu!" kata Jen Thian Ngo.

Sesudah itu dia langsung menghadapi Bu Su Tun bersama si kakek kurus. Sedang si kakek tinggi besar melayani kerubutan Lie Tiong Chu dan Ho Leng Wie. Pertarungan berlangsung sengit. Ternyata di pihak Jen Thian Ngo masih ada seorang laki-laki setengah umur, karena takut menghadapi pertarungan dahsyat itu dia tidak berani ikut bertempur.

Rupanya lelaki setengah umur ini Ie Hoa Liong, murid Jen Thian Ngo. Sedang si kakek tinggi besar See-bun Siouw Ya dan si kakek kurus itu Chu Kiu Sek. Sebenarnya kepandaian See-bun Souw Ya maupun Chu Kiu Sek termasuk kepandaian kelas satu. Jika mereka berdua maju bersamaan. Tapi sialnya, lawan mereka adalah Bu Su Tun yang tidak mempan racun pukulan mereka.

Di antara mereka berempat hanya Ie Hoa Liong yang kepandaiannya paling lemah, maka itu dia tidak berani ikut bertempur. Bahkan dia terus mundur semakin jauh karena tidak tahan oleh hawa dingin yang timbul dari Siu-lo-im- satkang yang digunakan Chu Kiu Sek.

Bu Su Tun melayani Jen Thian Ngo dan Chu Kiu Sek dengan sama kuatnya. Sedang di pihak lain Lie Tiong Chu dan Ho Leng Wie menghadapi See-bun Souw Ya. Tapi setelah dua tiga puluh jurus, lambat-laun mereka terdesak juga.

Sekalipun pukulan See-bun Souw Ya tidak sampai mengenai tubuh mereka, tapi hawa berbau amis itu sangat luar biasa hingga mereka mual. Lama-lama mereka jadi pening mencium bau tidak sedap itu. Lie Tiong Chu dan Ho Leng Wie selain harus menahan serangan lawan mereka juga harus mengerahkan tenaga dalam untuk melawan serangan hawa berbisa lawan. Tapi lambat-laun merekapun mulai kepayahan juga.

Melihat Ie Hoa Liong tidak berani ikut bertempur, bahkan menghindar semakin jauh, Jen Thian Ngo dongkol sekali, "Hai tolol, kenapa kau tidak lekas mencari bala- bantuan?" bentaknya.

Ie Hoa Liong yang sadar, segera melepas anak panahnya beberapa kali ke udara. Sesudah itu dia pun lari ke tempat kuda yang ditambat pada sebatang pohon. Tetapi sebelum sampai ke tujuan, tiba-tiba terlihat dua bayangan sedang mendatangi secepat kilat. Ketika Ie Hoa Liong menegasi, kiranya kedua orang itu Kok Siauw Hong dan Han Pwee Eng. Bukan main kagetnya Ie Hoa Liong, tanpa pikir panjang lagi dia bersembunyi di semak-semak. Untung Kok Siauw Hong dan Han Pwee Eng sedang terburu-buru ke tempat pertempuran, hingga mereka tidak memperhatikan persembunyian Ie Hoa Liong. Ketika sampai di lereng bukit tempat menambat kuda, tiba-tiba Han Pwee Eng mendapat akal.  Dia  sengaja  memotong  tali  kendali  kuda,  hingga keempat ekor kuda itu lepas semuanya, dengan demikian musuh tidak bisa melarikan diri.

Ketika mengetahui kedatangan kedua bayangan itu, Jen Thian Ngo jadi heran kenapa bala-bantuan itu begitu cepat datangnya. Namun, ketika Kok Siauw Hong berdua sudah dekat, barulah Jen Thian Ngo kaget ketika mengenali kedua anak muda itu. Dari jarak jauh Kok Siauw Hong sudah membentak.

"Bagus, Jen Thian Ngo! Kau masih berani main gila dan membantu musuh, jangan salahkan pedangku jika tidak kenal orang tua macam kau!" kata Kok Siauw Hong.

"Mari kita bereskan dulu See-bun Siuw Ya, aku kira Bu Pang-cu sanggup melayani Jen Thian Ngo dan Chu Kiu Sek," kata Han Pwee Eng.

"Ya!" kata Kok Siauw Hong.

"Saudara Lie, silakan istirahat, biar kami yang menggantikan kalian!" kata Kok Siauw Hong.

Kok Siauw Hong bersama Han Pwee Eng langsung menerjang ke tengah pertarungan, sinar pedang mereka berkelebat mengitari See-bun Souw Ya.

"Hm! Padahal kalian pernah kukalahkan, tapi nyata kau masih berani mencari masalah denganku!" kata See-bun Souw Ya.

"Jangan sombong, ayo kita bertarung lagi!" kata Kok Siauw Hong.

Kok Siauw Hong segera melancarkan serangan sebanyak tiga kali ke arah jalan darah lawan. Mendapat serangan itu bukan main kagetnya See-bun Souw Ya, ternyata ilmu pedang Kok Siauw Hong begitu maju pesat. Ilmu pedang Kok Siauw Hong memang jauh lebih maju, tapi anehnya kenapa dia bisa melancarkan serangan kilat hingga membuat panik See-bun Souw Ya. Ternyata hal itu bukan karena kemajuan ilmu pedangnya saja, tetapi serangan Siauw Hong digabung dengan ilmu pedang nona Han yang telah dilatihnya dengan tekun setahun lebih. Selain itu mereka juga diberi petunjuk oleh Kong-sun Po cara bagaimana melayani ilmu berbisa keluarga Suang. Sedang See-bun Souw Ya juga baru bertarung melawan Bu Su Tun, hingga membuat tenaganya terkuras cukup banyak. Belum lagi dia dikeroyok oleh Lie Tiong Chu dan Ho Leng Wie yang tak kalah lihaynya. Jadi tak heran saat menghadapi Siauw Hong dan nona Han dia jadi kewalahan. Serangan Siauw Hong dan Han Pwee Eng begitu gencar, hingga terpaksa See-bun Souw Ya menggunakan "Hoo-hiat-to" untuk mengimbangi lawanlawannya

"Hm! Bagus!" bentak Kok Siauw Hong. Ternyata serangan pemuda ini luar biasa cepatnya, sekalipun pedangnya agak melenceng oleh pukulan lawan, namun ujung pedangnya berhasil melukai telapak tangan See-bun Souw Ya.

"Aduh!" teriak See-bun Souw Ya. Tiba-tiba dia menyerang Han Pwee Eng, tapi dengan cepat dapat dihindari, hingga terkaman See-bun Souw Ya gagal. Setelah menyerang dengan hebat, See-bun Souw Ya langsung kabur. Nona Han yang melihat dia kabur akan mengejarnya, tapi Kok Siauw Hong berseru.

"Jangan dikejar!" kata Kok Siauw Hong. "Ilmu racunnya sudah rusak, untuk mengembalikannya dia harus berlatih paling tidak tiga tahun! Ada kemungkinan dia pun akan terserang penyakit gila. Apalagi dia baru kehilangan kitab racunnya. Rasanya sulit bagi dia sekarang!" Kata-kata Kok Siauw Hong sengaja diteriakkan agar didengar oleh See-bun Souw Ya yang sedang lari. Mendengar teriakan Kok Siauw Hong dia kaget bukan kepalang,

"Ah ternyata Wan Ceng Liong telah merebut kitab racunku. Kudengar dia akan menyerahkannya pada Hek- hong-to-cu Kiong Cauw Bun. Kenapa aku tak menemuinya Sekalipun dia tak mau mengembalikan kitab itu tapi jika dengan bantuan Liong-siang Hoat-ong mungkin dia terpaksa menyerahkannya" pikir See-bun Souw Ya. Rupanya kata-kata Kok Siauw Hong hanya ingin mengadu- domba musuh. Dengan demikian sekali serang dua sasaran diperolehnya.

Jen Thian Ngo dan Chu Kiu Sek hanya mampu menahan serangan Bu Su Tun seorang. Setelah ada bantuan dari anakanak muda, merekamulai kewalahan juga.

Melihat See-bun Souw Ya kabur, Chu Kiu Sek jadi cemas. Tiba-tiba dia muntah darah. Sesudah menyerang Bu Su Tun, dia menggunakan Thian-mo-kay-tee-hoat, yakni melukai diri agar bertambah tenaganya. Padahal lama-lama pun dia akan kehabisan tenaga. Ketika datang serangan Chu Kiu Sek, Bu Su Tun menyambut pukulan Chu Kiu Sek dengan sama hebatnya.

"Braak!"

Tubuh Chu Kiu Sek terlempar ke atas seperti bola, sedang Bu Su Tun tubuhnya bergetar hingga mundur dengan tubuh sempoyongan dan menggigil kedinginan.

Pada saat yang sama, saking gelisah Jen Thian Ngo tertotok seruling Lie Tiong Chu, hingga menjerit kesakitan. Segera dia membalikkan tubuhnya dan kabur. Tetapi tiba- tiba Jen Thian Ngo jatuh dan terguling ke bawah bukit. Saat Ho Leng Wie menoleh, dia lihat wajah Bu Su Tun kelihatan kebiru-biruan.

"Suhu, kenapa kau?" kata Ho Leng Wie.

Bu Su Tun mengelah napas panjang, dan berkata, "Tidak apa-apa, Siu-lo-im-sat-kang orang she Chu sudah kumusnahkan!"

Tiba-tiba terdengar Lie Tiong-Chu berseru: "He, di sana masih ada seseorang!"

Dari semak-semak terlihat seseorang merangkak keluar dengan wajah pucat. Ketika dia berusaha berdiri, orang itu menggeliat dua kali, lalu menjerit dan roboh lagi. Ie Hoa Liong yang bersembunyi di semak-semak bermaksud melarikan diri saat ada kesempatan baik, tak diduga dia terserang oleh tenaga pukulan Bu Su Tun dan Siu-lo-im-sat- kang sangat dingin yang dilontarkan Chu Kiu Sek Meskipun jaraknya jauh, tapi Ie Hoa Liong tidak tahan dan membuat darahnya beku.

"Bagus, rupanya kau, hai keparat!" bentak Kok Siauw Hong.

Dia mendekati Ie Hoa Liong. Melihat Kok Siauw Hong, bukan main takut dan kagetnya Ie Hoa Liong. Ditambah lagi dia terluka dalam. Saat Kok Siauw Hong sampai ternyata Ie Hoa Liong telah mati karena ketakutan.

"Hai, saudara Kok, bagaimana kau bisa sampai secepat ini?" kata Ho Leng Wie.

"Karena kalian tidak pulang, kami keluar jalan-jalan mencari kabar kalian," kata Kok Siauw Hong. "Tak diduga dari lereng bukit kami melihat panah api, lalu kami memburu ke sini." "Padahal panah api itu dilepaskan Ie Hoa Liong untuk minta bala-bantuan. Tapi nyatanya senjata makan tuan, yang datang malah kalian sedang dia sendiri mati," kata Lie Tiong Chu.

"Kita berhasil memusnahkan ilmu berbisa Chu Kiu Sek dan See-bun Souw Ya, juga membunuh Ie Hoa Liong yang mati ketakutan, tetapi sayang Jen Thian Ngo berhasil kabur," kata Kok Siauw Hong.

Tiba-tiba Bu Su Tun berkata pada Lie Tiong Chu. "Saudara Lie, sungguh kau tidak malu menjadi murid kesayangan Tam Tay-hiap, totokanmu tadi sangat hebat. Cuma kau sengaja memberi kelonggaran pada Jen Thian Ngo, kan?"

Muka Lie Tiong Chu berubah merah. "Penglihatan Paman Bu tepat sekali, karena. "

"Saudara Lie ini teman baik Piauw-moay sejak kecil," kata Kok Siauw Hong mewakili memberikan penjelasan, "sekalipun ayahnya sesat, tapi Piauw-moay ini berharap pada suatu hari ayahnya akan sadar kembali."

Memang benar Lie Tiong Chu sengaja memberi kelonggaran agar Jen Thian Ngo sadar pada kesalahannya. Ditambah lagi Lie Tiong Chu menyukai nona Jen Ang Siauw, putri Jen Thian Ngo tersebut.

-o~DewiKZ~Aditya~aaa~o- Mendengar ayahnya tadi ada di tempat itu, Jen Ang Siauw kaget dan cemas. Wajahnya pucat-pasi, sebab dia yakin ayahnya pasti dilukai kawan-kawannya.

"Bagaimana keadaan Ayahku?" kata Jen Ang Siauw lagi.

"Dia tidak terluka parah," kata Lie Tiong Chu. "Semoga dia bisa segera sembuh dan sadar mau kembali ke jalan yang benar."

Lie Tiong Chu menceritakan apa yang terjadi tadi. Sesudah itu mereka bergegas kembali ke rumah Ho Leng Wie. Ayah Ho Leng Wie girang melihat Bu Su Tun ikut datang, terutama setelah mendengar pengalaman Ho Leng Wie dan kawankawannya di kotaraja. Tapi mereka juga masih kuatir jika anak buah Wan-yen Tiang Cie mencari jejak mereka. Ayah Ho Leng Wie lalu berkata.

"Tempat ini sulit ditemukan. Lagipula di sini ada sebuah jalan bawah tanah, jika dalam keadaan gawat kita bisa meloloskan diri lewat belakang bukit ini. Sungguh aku tidak mengira kau akan bertemu dengan gurumu di tempat Wan- yen Tiang Cie, dan bertemu dengan Bu-lim-thian-kiauw. Kini yang aku kuatirkan, Tam Tayhiap yang pergi ke istana. Mungkin dia akan terjebak oleh kelicikan Wan-yen Tiang Cie.

Semoga saja dia bisa kembali dengan selamat." kata ayah Ho Leng Wie.

"Dia sudah memperhitungkan semua kemungkinan yang bakal dihadapinya. Bahkan dia cukup yakin atas usahanya. Andaikata dia gagal, untuk meloloskan diri rasanya tidak sulit," kata Bu Su Tun. "Jika tidak terjadi hal yang luar biasa, dalam dua tiga hari ini pasti dia sudah kembali ke sini. Aku pun sudah memberitahu alamat ini. Cuma yang harus kita waspadai jika musuh datang lebih dulu."

Malam itu tiada terjadi apa-apa, malam itu mereka bisa tidur dengan tenang. Esok harinya menjelang tengah hari, tiba-tiba terdengar suara suitan keras melengking tinggi.

"Itu pasti Bu-lim-thian-kiauw, dia sudah pulang!" kata Bu Su Tun. "Cepat sekali dia kembali, semula aku kira dia akan tinggal satu dua hari di istana."

Bu Su Tun bersuit untuk menjawab suitan tadi. Tak lama tampak sesosok bayangan muncul di depan pintu, orang itu langsung masuk sambil tertawa, terbahak-bahak. Dia  adalah Bu-lim-thian-kiauw Tam Yu Cong.

Saat itu sekujur tubuh Tam Yu Cong terlihat berlumuran darah. Tapi semangatnya tinggi, sedikitpun tidak ada tandatanda dia terluka.

Dengan hati lega Bu Su Tun bertanya.

"Saudara Tam, cepat sekali kau kembali. Bila melihat noda darah di tubuhmu pasti kau bertarung seru. Dengan siapa kau bertempur?" kata Bu Su Tan.

Ketika itu mereka berada di ruangan tengah setelah masing-masing duduk, pelayan membawakan air teh. Tak lama Bu-lim-thian-kiauw mulai menceritakan pengalamannya.

"Ketika Maliha kuancam dan kupaksa agar dia membawaku menghadap Raja. Wan-yen Yong ke kantornya. Saat itu raja Kim itu sedang membaca laporan panglima penjaga perbatasan yang melaporkan gerakan militer bangsa Mongol yang akan menyerang ke Selatan.

Saat itu Wan-yen Yong sedang berduka menerima laporan gawat itu. Tapi ketika mendengar ada suara dari belakangnya, dia menoleh dan melihat Maliha berlutut di lantai dan aku berdiri di sampingnya. Maliha seorang thay- kam kepercayaan raja, dia bisa bebas keluar-masuk istana Penjaga pintu pun tidak ada yang berani mencegah mereka masuk ke kantor raja. Ketika itu bukan main kagetnya Wan-yen Yong. Tanpa disadarinya laporan yang ada di tangan Wan-yen Yong terjatuh ke lantai. Saat dia akan menegur Maliha, aku mendahuluinya bicara.

'Semua ini bukan salah Maliha,' kataku. 'Karena ada berita penting, terpaksa kuminta agar dia mengantarkan aku menemui Tuanku. HarapHong-siang tidak gusar!'

Sambil berbicara kupungut laporan yang terjatuh itu, lalu mengembalikannya pada Wan-yen Yong. Dari isi berkas yang terbuka, sekilas telah kubaca sebagian hingga aku mengetahuinya bahwa itu sebuah laporan yang sangat gawat.

Sekalipun Wan-yen Yong sangsi dan tidak tentram berhadapan denganku dan begitu mendadak, tapi karena dia tahu aku jago nomor satu atau nomor dua negeri Kim, dia tidak berani memangil penjaga, sebab itu tidak akan ada gunanya. Sekalipun sekarang dia dikelilingi para pengawal pun sulit untuk menghadapi aku. Dengan terpaksa Wan-yen Yong harus mempercayai kata-kataku."

'Tam Pwee-cu, kenapa dulu kau tinggalkan negara Kim, padahal kau berjasa padaku! Aku bisa naik tahta karena jasamu! Selama ini aku memang memikirkanmu, sekarang kebetulan kau datang. Ada masalah apa silakan kau katakan saja.' kata Wan-yen Yong.

'Yang akan kulaporkan mengenai rahasia penting itu hanya boleh didengar oleh Hong-siang saja,' kataku.

Wan-yen Yong yang mengerti apa maksud ucapanku itu, segera dia memerintahkan Maliha mengundurkan diri. 'Perintahkan agar penjagaan di luar diperkuat, siapapun dilarang masuk ke tempat Tim!' kata Wan-yen Yong.

Sesudah Maliha keluar, aku mulai bicara.

'Aku baru dari tempat Wan-yen Tiang Cie,' kataku.

'Jadi kau dari sana? Aku memang pernah berpesan kepadanya agar dia membantuku mencarimu,' kata Wan- yen Yong.

'Kedatanganku bukan karena aku bertemu dengan Wan- yen Tiang Cie,' kataku sambil tersenyum. 'Tapi sebaliknya aku akan menyampaikan tentang pribadi Wan-yen Tiang Cie. Maaf, sebelum aku melanjutkan, lebih dulu mohon Hong-siang bersedia menjelaskan apa yang pernah dikatakan Wan-yen Tiang Cie tentang diriku?'

'Beberapa hari yang lalu dia memang membicarakan tentang kau. Dia mengakui bahwa kau seorang yang berbakat,' kata Wan-yen Yong.

'Yang aku maksud hal-hal buruk apa yang pernah dikatakannya tentang diriku,' kataku.

Wan-yen Yong tidak bodoh, sejak dia naik tahta, dia sudah merasa bahwa kekuasaan Wan-yen Tiang Cie terlalu banyak. Sebenarnya dalam batinnya dia kurang senang walau pada lahirnya dia berpura-pura senang hingga di menurut saja apa kemauan Wan-yen Tiang Cie. Sekarang jika aku membantunya, dengan senang dia bersedia bergabung denganku menghadapi Wan-yen Tiang Cie.

'Sesungguhnya dia... .dia tidak memburukkan dirimu, hanya sayang kau. '

'Sayang kenapa?' kataku.

'Kau pangeran kerajaan Kim, tapi kau tidak mau bekerja untuk  kerajaan  Kim,  sebaliknya  malah  bergaul  dengan bangsa Han yang memusuhi kerajaan kita,' kata Wan-yen Yong. 'Tapi bagaimana juga aku tidak percaya kepada ocehan Wan-yen Tiang Cie!'

'Ocehannya itu benar,' kataku.

Wajah Wan-yen Yong berubah seketika, untuk sejenak dia bingung, tidak tahu apa yang harus dikatakan.

'Aku harap Hong-siang mengatakan sejujurnya, saat menghadapi situasi seperti sekarang ini, mana musuh negara kita yang utama, bangsa Han atau bangsa Mongol?' kataku.

'Menurut situasi sekarang, musuh kita ya bangsa Mongol!' kata Wan-yen Yong. 'Tapi ingat bangsa Han pun banyak, suatu saat mereka pasti akan merebut kembali tanah airnya dari kita!'

'Tuanku harus membedakan mana yang penting dan yang tak penting, itu yang harus didahulukan. Masalah bangsa Han yang kelak meminta kembali tanah airnya, itu soal nanti. Tapi yang jelas musuh kita sekarang adalah bangsa Mongol!' kataku.

'Ya,' kata Wan-yen Yong terpaksa membenarkannya. 'Nah, jika demikian akan kulaporkan pada Hong-siang

mengenai muslihat Wan-yen Tiang Cie. Sebenarnya secara

diam-diam dia bersekongkol dengan bangsa Mongol untuk mengadakan pemberontakan merebut kekuasaan Hong- siang.'

'Apa benar begitu?' kata Wan-yen Yong kaget..

'Benar, bahkan telah kuhimpun tentang semua rencana jahatnya,' kataku.

Sesudah itu kuceritakan apa yang kudengar bersama Bu Su Tun tentang rencana busuk Wan-yen Tiang Cie. Tetapi Wan-yen Yong belum mau percayai sepenuhnya pada laporanku, sekalipun dia paling takut tahtanya direbut orang. Padahal dia mencurigai Wan-yen Tiang Cie yang kekuasaannya terlalu besar. Namun, sekalipun sangsi hati raja Kim itu cemas juga.

Pada saat itu di luar istana terdengar suara orang bicara perlahan. Wan-yen Yong memang tidak mendengarnya, tapi aku mengetahui ada orang bicara di luar dan ternyata itu suara Wan-yen Tiang Cie.

Saat itu Wan-yen Tiang Cie minta agar pengawal istana melaporkan kedatangannya, dan dia ingin menghadap pada raja. Tapi permintaannya ditolak oleh pengawal dengan alasan raja sedang bicara denganku dan baru akan menerima Wan-yen Tiang Cie bila aku sudah pergi. Terpaksa Wan-yen Tiang Cie mengatakan ingin mencari Maliha lalu pergi.

Aku tahu kedatangan Wan-yen Tiang Cie ke istana lalu mengatur tipu-muslihat untuk menjebaknya.

'Menurutmu bagaimana baiknya, padahal dia sepenuhnya memegang kekuasaan militer.' kata Wan-yen Yong.

'Hong-siang jangan takut,' kataku. 'Anggap saja tidak terjadi apa-apa sampai hari yang menentukan. Jika Wan- yen Tiang Cie berniat menangkap semua orang yang setia pada Hong-siang, saat itulah Hong-siang harus menggunakan cara dan menangkap mereka seluruhnya.'

'Pastikah akan berhasil?' kata Wan-yen Yong.

'Hamba tak yakin, tapi maukah Hong-siang mengikuti usulku?' kataku. 'Katakan saja, jika usulmu baik pasti akan kuturuti! Tapi jangan sampai diketahui Wan-yen Tiang Cie bahwa kita sedang berusaha menghadapinya.' kata Wan-yen Yong.

'Justru itu yang mau kukatakan. Sebentar lagi pasti Wan- yen Tiang Cie menghadap pada Hong-siang. Hong-siang boleh berpura-pura percaya penuh kepadanya dan tidak mempercayaiku. Jika dia meminta agar Hong-siang mengusirku atau meminta agar Hong-siang membunuhku, sanggupi saja.' kataku.

'Apa? Jika meminta agar aku membunuhmu boleh kusanggupi? Kau setuju begitu?' tanya Wan-yen Yong tercengang.

'Ini cuma sandiwara saja. Nanti pada saat Hong-siang benar-benar hendak membunuhku, sudah pasti aku punya akal untuk meloloskan diri. Asalkan Hong-siang menugaskan yang membunuhku harus pengawal kepercayaan Hong-siang!'

'Ya, aku mengerti, coba teruskan!' kata Wan-yen Yong. 'Sementara ini Hong-siang tidak boleh mengirim pasukan

untuk menggempur laskar rakyat Han. Sepengetahuanku, tidak lama lagi Wan-yen Tiang Cie berniat akan menyerang ke Kim-kee-leng, betul tidak?'

"Benar" jawab Wan-yen Yong'Tapi tidakkah laskar rakyat Han itu, suatu ancaman bagiku."

'Aku kira ancaman mereka tidak terlalu berbahaya dibandingkan ancaman dari bangsa Mongol, bukan?' kataku. 'Yang aku pikirkan sekarang adalah kepentingan Hong-siang. Sedang musuh yang harus dihadapi lebih dulu ialah orang Mongol yang sudah siap menyerbu ke sini. Hal itu terbukti dari laporan yang baru Hong-siang terima itu. Laporan itu bisa Hong-siang gunakan sebagai alasan untuk menarik pasukan yang telah disiapkan Wan-yen Tiang Cie untuk menggempur Kim-kee-leng. Kemudian mereka pindahkan ke perbatasan untuk menghadapi bangsa Mongol. Bukankah itu sangat baik, sekali kerja dua tujuan.'

'Sekali kerja dua tujuan tercapai? Ah, sekarang aku tahu maksudmu, kiranya dengan kesempatan ini kekuasaan Wan-yen Taiang-Cie bisa dikurangi!' kata Wan-yen Yong.

'Benar, apalagi Wan-yen Tiang Cie sudah bersekongkol dengan bangsa Mongol secara sangat rahasia. Jika Hong- siang memerintahkan agar perbatasan diberi bantuan, rasanya dia tidak akan berani membangkang. Dengan demikian pasukan kita bisa dikerahkan untuk melawan musuh yang menyerbu, berbareng dengan itu bisa mengurangi kekuatan Wan-yen Tiang Cie, maka untuk menghadapi muslihatnya kelak jadi lebih mudah.'

'Ya, bagus, sungguh akal yang bagus, hanya...' 'Apa yang Hong-siang sangsikan lagi?'

'Tapi jika serbuan Mongol dibantu laskar rakyat Han yang akan mengacau lalu bagaimana?'

'Tidak mungkin, bangsa Han pasti tidak akan bersedia berserikat dengan bangsa Mongol, mungkin sebaliknya mereka akan bangkit melawan kita. Tapi hal itu tak perlu Hong-siang kuatirkan.'

'Dari mana kau tahu, apa kau bisa menjamin hal ini?' 'Tentu saja, sebab pimpinan laskar di Kim-kee-leng aku

kenal. Malah boleh dikatakan bisa kuwakilkan Hong-siang untuk berunding dengan mereka.' kataku.

'Dari mana kau tahu mereka akan menerima usulmu itu?' kata Wan-yen Yong. 'Masalah ini sangat sederhana. Daerah inikan negeri bangsa Han. Jika mereka tidak bersedia diduduki bangsa Kim apalagi dijajah oleh orang Mongol. Jika sampai pasukan Mongol menyerbu ke sini, bukan cuma negeri Hong-siang saja yang hilang, tapi yang jadi korban paling besar justru rakyat jelata bangsa Han. Dengan demikian apakah laskar Han bisa tinggal diam? Sebab meski aku tak berani menjamin mereka akan tunduk kepada Hong-siang, tapi sedikitnya aku bisa menjamin mereka pasti akan ikut menghadapi orang Mongol apabila pasukan Mongol menyerbu ke Selatan.'

Wan-yen Yong, raja Kim yang punya pandangan jauh ke depan. Maka itu, setelah berpikir sejenak, dia merasa uraianku masuk akal, akhirnya dia berkata, 'Baiklah, malah yang paling penting sekarang untuk menghadapi ancaman bangsa Mongol. Semoga saja semua bisa berjalan seperti yang kau katakan. Tetapi kau perlu ketahui, sebab pasukan pengawal kerajaan masih berada di bawah pimpinan Wan- yen Tiang Cie.'

'Tapi tidak seluruh pasukan pengawal tunduk kepadanya, kan?' kataku. "Hong-siang tenang saja. Nanti setelah diatur dan harinya telah tiba, pasti kita bisa bergerak lebih dulu untuk mengatasi Wan-yen Tiang Cie.'

Sesudah itu aku menjelaskan rencana yang telah disusun itu. Rasa sangsi Wan-yen Yong hilang juga. Apalagi setelah mengetahui rencana kerjaku yang baik dan rapih itu.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar