Beng Ciang Hong In Lok Jilid 57

 
Beng Teng berpura-pura bingung.

"Sungguh, aku tak tahu!" kata Beng Teng. "Kami hanya tahu menerima tugas untuk mengantar barang dan sebagainya! Mana berani kami menanyakan apa yang dikerjakan orang lain?"

"Saudara Beng kau jangan kuatir, kami tidak bermaksud menyelidiki urusanmu yang dulu," kata Wan-yen Hoo. "Peristiwa dulu itu luar biasa, tapi aku tak tahu bagaimana wajah calon pengantin yang kau antar itu?"

"Dia bisa dikatakan cantik juga," kata Tan Piauw. "Namun apa yang dia lakukan sangat keji! Kami merasakannya, bahkan saudara An Tak lebih celaka lagi. Matanya dia lukai!" Orang yang paling benci pada Han Pwee Eng adalah An Tak, karena salah satu matanya buta oleh nona itu. Dengan gusar An Tak mendehem.

"Hm! Jika dia bertemu lagi denganku, dia akan...." An Tak tak meneruskan kata-katanya.

"Akan kau apakan dia?" kata Tan Piauw.

"Aku akan minta nona itu pada Pangeran muda kita untuk kujadikan istri mudaku!" kata An Tak tanpa malu- malu.

Mendengar ucapan itu banyak yang kurang senang, karena mereka sangat menghormati Han Tay Hiong. Tapi mereka tak ada yang berani bergerak sebab mereka merasa ngeri. Ditambah lagi sekarang An Tak jadi pengawal Wan- yen Hoo.

Melihat para tamu kurang senang pada ucapan An Tak tadi, Wan-yen Hoo yang ingin bergurau pun batal, sebab hal itu bisa menjatuhkan kedudukannya sebagai pangeran.

"Jika kau mampu mengalahkannya, silakan saja! Apa yang mau kau lakukan terhadapnya," kata Wan-yen Hoo sambil tersenyum. Karena tak menyadari bahwa dia telah membuat para tamu gusar, An Tak malah tertawa dan berkata lagi dengan lantang.

"Baiklah, hadiah Pangeran-muda sangat kuhargai, terima kasih. Barangkali aku tak mampu mengalahkan diaTapi jika dibantu oleh kawan-kawanku, aku juga bisa menangkapnya!" kata An Tak dengan sombong. "Jika sudah tertangkap, kumusnahkan ilmu silatnya. Maka mau tak mau dia akan menjadi istri mudaku!"

Mendengar ucapan An Tak yang angkuh itu, Kok Siauw Hong marah karena calon istrinya dihina, tapi untung dia bisa menahan perasaannya dan tidak mengacaukan pesta tersebut.

Sudah umum dalam suatu pesta besar, sebelum makanan disajikan, pada setiap meja sudah disediakan makanan kecil. Di antaranya kuaci, kacang dan yang lainnya. Ketika Lie Tiong Chu sedang menikmati buah Ang-co, dia gusar saat mendengar kesombongan An Tak di depan para tamu itu.

Diam-diam Lie Tiong Chu mengambil biji buah angco dari mulutnya, dia siapkan untuk disentil. Dengan dialingi lengan bajunya jarinya bergerak. Biji buah angco itu meluncur deras ke arah mulut An Tak yang kebetulan sedang menganga. Tak ampun lagi biji buah angco itu masuk ke mulut An Tak. An Tak terkejut dan berteriak. "Aduh!"

Giginya copot sebuah dan berdarah. Saat itu An Tak pun berdiri tegak tak bisa bergerak. Mulutnya masih terbuka. Pemuda she Lie itu berbisik pada Kok Siauw Hong.

"Saat kita kemari, tak sengaja aku menginjak tahi kuda, rasa buah angco itu luar biasa," kata Lie Tiong Chu.

Walaupun geli Kok Siauw Hong cemas juga.

"Saudara Lie, apa perbuatanmu itu tak akan mengacaukan pesta besar ini?" bisik Siauw Hong. "Untuk kita tak apa-apa, tapi kekacauan ini bisa mencelakakan tuan rumah!"

"Jangan cemas, aku rasa jika hanya sebuah giginya yang patah tak apa-apa. Sekalipun mata dia yang satu lagi kubutakan, Wan-yen Hoo tidak akan berani mengusut perkara ini!" bisik Lie Tiong Chu.

Kok Siauw Hong mengangguk sekalipun agak ragu, dia menduga-duga, apa Wan-yen Hoo pernah bentrok dengan pemuda she Lie itu hingga dia takut pada Lie Tiong Chu? Para tamu kaget ketika mendengar jeritan An Tak yang tertahan dan melihat An Tak mematung di tengah para tamu. Mereka tak percaya ada orang yang berani mengganggu pengawal pangeran Kim itu. Kelihatan Wan- yen Hoo terperanjat. Sesuai dugaan orang she Lie itu, tiba- tiba Wan-yen Hoo menghampiri An Tak.

"Eh, kau bicara kurang sopan, pantas orang menghajarmu!" kata Wan-yen Hoo.

Si Rase Liar An Tak memuntahkan biji buah angco dan gigi dari mulutnya. Tapi mulutnya tetap terbuka tak bisa menutup kembali. Dari mata An Tak yang tinggal satu dan wajahnya yang pucat-pasi, para tamu tahu bahwa saat itu An Tak sedang menahan malu dan rasa sakit yang bukan main.

Srigala Tua Tan Piauw seorang berpengalaman, melihat kejadian atas diri An Tak itu, dia berkata pada Wan-yen Hoo.

"Pangeran, dia tertotok jalan darahnya. Kau sangat ahli dalam hal itu. Apa kau bisa menolonginya?" kata Tan Piauw.

Dengan sikap angkuh dan girang Wan-yen Hoo tersenyum.

"Kiranya matamu tajam sekali, akan kuobati dia!" kata Wan -yen Hoo.

Wan-yen Hoo memijit hidung An Tak, dia menjerit tertahan, akhirnya An Tak bisa terbebas dan bisa bergerak kembali.

"Terima kasih, Pangeran-muda," kata An Tak. Sambil berpura-pura marah Wan-yen Hoo berkata pada An Tak dengan tajam.

"Hm! Ingat An Tak, bencana tadi berasal dari mulutmu yang kotor. Hati-hati kau!" kata Wan-yen Hoo.

Tampak An Tak menunduk kemalu-maluan. Tetapi hatinya dongkol bukan main pada si penyerang gelap itu. Walau demikian dia terpaksa mengangguk membenarkan pendapat pangeran Kim itu. Tadi Lie Tiong Chu menggunakan jurus "Keng-in-ci-hoat", atau jurus jari sakti. Dia berhasil merontokkan gigi An Tak dan menotoknya hingga An Tak harus berdiri kaku seperti patung.

Ilmu "Keng-sin-ci-hoat" kebanggaan Bu-lim-thian-kiauw Tam Yu Cong itu berasal dari lukisan pusaka Kerajaan Kim. Yaitu 'Hiat-to-tong-jin'. IlmuTiam-hiat ini kecuali Bu- lim-thiankiauw, orang yang paling mahir ialah ayah Wan- yen Hoo, yaitu Wan-yen Tiang Cie. Sedang Wan-yen Hoo baru mempelajarinya ilmu itu beberapa tahun saja. Maka itu dia baru separuh saja menguasainya. Tak heran saat tahu An Tak ditotok dengan ilmu itu, dia heran dan kaget. Rupanya dia kuatir Bu-lim-thian-kiauw Tam Yu Cong ada di tengah pesta besar itu. Menurut silsilah Kerajaan Kim, kedudukan Bu-limthian-kiauw lebih tinggi dibanding kedudukan Wan-yen Hoo.

Ilmu silat Bu-lim-thian-kiauw pun jauh lebih tinggi dari Wan-yen Tiang Cie. Sekalipun Wan-yen Tiang Cie bergelar sebagai "Jago Nomor Satu Negeri Kim". Karena dia masih hormat pada Bu-lim-thian-kiauw, itu sebabnya Wan-yen Hoo tidak berani bertindak, ketika dia mengetahui anak buahnya dikerjai, dia tak berani berhadapan dengan Bu-lim- thian-kiauw. Ketika tak terjadi masalah dalam pesta itu, para tamu lega juga. Ternyata kejadian tadi berakhir begitu cepat.  Keadaan  pun  telah  tenang  kembali.  Wan-yen  Ho yang sangsi atas kejadian itu, mendadak teringat kepada seseorang.

"Ah, bukankah itu perbuatan Kong-sun Po? Dialah yang pernah mendapat petunjuk dari Bu-lim-thian-kiauw, dan bisa Keng-sin-ci-hoat? Tapi karena dia jujur, rasanya tak mungkin dia menyerang secara gelap?" pikir Wan-yen Hoo.

Bukan main bimbangnya hati Wan-yen Hoo. Buru-buru dia panggil Tan Piauw. Lalu memberi pesan rahasia agar mengawasi semua tamu di ruang pesta itu. Tan Piauw minta bantuan pada anak-anaknya agar ikut mengawasi tamu-tamu jika ada yang mencurigakan harus segera dilaporkan.

Ketika Tio Pin melihat Tan Piauw mendatangi, dia langsung menemuinya. Namun sikap Tio Pin yang mau menjilat itu tak dihiraukan oleh Tan Piauw yang sedang menuju ke arahnya. Segera Tio Pin memapak untuk mencari muka. Ternyata Tan Piauw tidak mengacuhkannya, dia hanya bicara sekadarnya. Walau Tio Pin masih mencoba ingin memperkenalkan Teng Sit pada Tan Piauw.

"Tidak usah kau perkenalkan aku pada Tuan Teng, aku sudah kenal lama dengannya," kata Tan Piauw angkuh.

Ucapan Tan Piauw membuat Teng Sit sedikit kaget. Tapi dia berusaha bersikap tenang.

"Aku hanya seorang pedagang cita," kata Teng Sit. "Sungguh aku merasa senang jika Tuan Tan pun mengenal namaku!"

"Jangan see-ji," kata Tan Piauw. "Siapa sih yang tak kenal toko suteramu itu? Aku dengar kau punya banyak toko cabang di Selatan. Di tokomu banyak sutera Souw-ciu dan Hang-ciu yang sulit ditemukan di Ibukota ini." "Terima kasih atas pujiannya, memang aku punya banyak cabang. Malah di Yang-ciu juga ada, dari sanalah sutera Hangciu dan Souw-ciu dikirim ke mari!" kata Teng Sit.

Kota Yang-ciu dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Kim, sedang di seberang sungai Yang-tze daerah itu termasuk wilayah Kerajaan Song. Sengaja Teng Sit menyebut cabang perusahaannya yang ada di Yang-ciu untuk menghindari tuduhan kalau dia punya hubungan dengan musuh. Teng Sit berusaha menutupi rahasia dirinya, sebaliknya Tan Piauw mencoba mengorek keterangan lebih dalam dari Teng Sit. Tapi dengan gigih Teng Sit tak mau membuka rahasia, hingga Tan Piauw kewalahan sendiri. Tiba-tiba An Tak menghampiri mereka.

"Akrab sekali kalian?" kata An Tak sambil mengipasi tubuhnya.

"Dia Tuan Teng, orangnya baik, ayo kuperkenalkan kau padanya," kata Tan Piauw. "Ini Saudara An Tak!"

"Sudah lama aku dengar namamu, kau sendirian atau bersama teman-temanmu?" kata An Tak.

Teng Sit tertegun. Karena tak tahu maksud pertanyaan An Tak itu, terpaksa dia menjawab dengan agak tersipu- sipu.

"Oh, aku datang mewakili toko kami, aku tak membawa teman!" kata Teng Sit.

"Tuan Teng membawa anak buahnya, bukan sahabatnya," kata Tio Pin menambahkan.

"Oh, begitu! Kebetulan bolehkah aku berkenalan dengan pembantu Tuan? Sebab suatu saat jika aku berbelanja kita sudah saling kenal!" kata An Tak. Teng Sit berpura-pura mencari anak buahnya di tengah kerumunan para tamu, hingga akhirnya dia berkata pada An Tak.

"Ah, sayang! Tadi mereka ada di sekitar sini, tapi sekarang entah ke mana mereka? Tapi jangan kuatir, jika Tuan datang ke toko kami, pasti Tuan akan kami layani dengan baik!" kata Teng Sit dengan ramah sekali. Tio Pin yang ingin mencari muka ikut bicara

"Itu mereka!" teriak Tio Pin sambil tangannya menunjuk ke arah Lie Tiong Chu dan Kok Siauw Hong. "Apa mereka perlu kupanggil ke mari?"

"Jangan! Tidak perlu!" kata An Tak. "Aku saja yang menemui mereka di sana untuk berkenalan."

An Tak mendekati Lie Tiong Chu. Kemudian dengan sekilas dia mengawasi Lie Tiong Chu, tak lama dia berpaling ke arah Kok Siauw Hong.

"Eh, rasanya kita pernah bertemu, siapa nama dan she Anda?" kata An Tak.

Kok Siauw Hong memang pernah bertemu, dua tahun yang lalu di medan perang yang sangat kacau, tapi saat bertemu mereka tidak bertarung. Ketika itu Kok Siauw Hong jatuh ke jurang terkena panah seorang ahli panglima Mongol. Sekarang Kok Siauw Hong jelas berbeda jauh dengan dulu. Padahal Kok Siauw Hong ingin menghindar dari An Tak, tapi An Tak malah menemuinya. Saat itu Kok Siauw Hong marah dan ingin menghajarnya.

"Aku rasa Tuan salah lihat," kata Siauw Hong. "Aku belum pernah bertemu dengan Tuan! Biasanya para tamu yang datang ke toko kami bisa kuingat!"

Padahal maksud kata-kata Siauw Hong sebenarnya ingin mengatakan,  bahwa  pada  seorang  picek  seperti  An  Tak, mana mungkin dia lupa? Tentu saj a An Tak yang tahu dia sedang disindir, menjadi dongkol bukan main.

"Baik, mari berkenalan!" kata An Tak.

Kemudian dia menjulurkan tangannya dengan maksud memijit tangan Siauw Hong, karena dia menganggap Siauw Hong ini kurang ajar sehingga perlu dihajar. Kok Siauw Hong pura-pura gugup dan berkata dengan ketakutan.

"Ah, mana berani aku berkenalan dengan Tuan An yang terhormat." kata Siauw Hong.

An Tak tidak peduli dia segera memegang tangan Kok Siauw Hong. Sambil menjerit seolah ketakutan, Siauw Hong bicara lagi.

"Eh, tangan Tuan keras sekali, aduh tanganku sakit sekali." kata Siauw Hong.

An Tak seolah tahu bahwa orang yang sedang dia pegang tangannya ternyata tidak bisa silat. Maka itu kesangsiannya jadi berkurang, walau dia masih tetap merasa pernah bertemu dengan Kok Siauw Hong ini.

Tapi ketika dia akan bertanya lagi, tiba-tiba terdengar penyambut tamu memberi tahu.

"Tamu agung telah tiba!" kata penyambut tamu.

An Tak menoleh, ternyata yang datang Ie Hoa Liong, dia murid Jen Thian Ngo. Ie Hoa Liong mengenakan seragam perwira pengawal kerajaan Kim. Melihat hal itu An Tak heran.

"Kenapa Ie Hoa Liong muncul di sini? Apa telah terjadi sesuatu?" pikir An Tak.

Tak lama terlihat Ie Hoa Liong mendekati Wan-yen Hoo. Lalu An Tak dan Tan Piauw buru-buru mendekat ke arah Wan-yen Hoo. Rupanya Ie Hoa Liong diperintahkan memanggil Wan-yen Hoo agar segera meninggalkan tempat pesta.

"Ada tamu yang harus Siaw Ong-ya temui sendiri!" kata Ie Hoa Liong.

"Siapa?" kata Wan-yen Hoo.

"Maaf hamba tidak tahu," jawab Ie Hoa Liong. "Ong-ya hanya memerintahkan hamba mencari Siauw Ong-ya agar pulang!"

"Baik, mari kita pulang!" kata Wan-yen Hoo.

Saat Wan-yen Hoo akan pamit, tiba-tiba An Tak tampak kesakitan sambil memegangi perutnya. Tentu saja Wan-yen Hoo jadi kaget.

"Eh, ada apa, An Tak?" tanya Wan-ten Hoo. "Aku......aku......"  An  Tak  menjawab  sambil   meringis

kesakitan.  Saat  itu  matanya  mendelik,  sedang  keringat

dinginnya bercucuran dari dahinya. "Gabruk!"

An Tak pun jatuh dan terguling di lantai dengan mulut terbuka seperti mau bicara, walau suaranya tak terdengar.

"Apa dia dilukai orang? Tadi dia ditotok hingga giginya copot! Mustahil orang itu ingin melukainya lagi? Ini keterlaluan!" kata Tan Piauw geram. An Tak diawasi oleh Wan-yen Hoo.

"Kali ini bukan jalan darah An Tak yang tertotok!" kata pangeran itu.

Tan Piauw segera memerintahkan anak-anaknya membangunkan An Tak. Ketika si pangeran Kim memeriksa nadi An Tak, tiba-tiba Wan-yen Hoo mundur karena mencium bau busuk. "Lekas bawa dia pergi!" kata Wan-yen Hoo.

"Harus di bawa ke mana?" tanya Tan Piauw yang menutup hidungnya karena bau busuk itu.

"Tentu saja ke belakang rumah ini, minta bantuan orang piauw-kiok. Kau kira mau di bawa ke mana? Kita harus segera pulang!" bentak Wan-yen Hoo. "Sekarang dia sudah tidak berguna lagi!"

Kejadian tak terduga itu membuat tamu-tamu kebingungan. Di tengah para tamu Lie Tiong Chu berbisik pada Kok Siauw Hong

"Kau memang hebat, saudara Kok, caramu jauh lebih bagus dari caraku tadi. Si Rase Liar An Tak benar-benar sial, jika dia matipun dia tidak tahu siapa pembunuhnya?" kata Lie Tiong Chu.

-o~DewiKZ~Aditya~aaa~o-

Mendengar pujian Lie Tiong Chu, Kok Siauw Hong tersenyum, dia berbisik pada kawan barunya ini dengan suara perlahan tapi jelas.

"Jika melihat kepandaiannya, aku jamin dia tak akan mati!" kata Kok Siauw Hong.

"Walau tidak mati, tetapi rasa sakitnya sudah merupakan siksaan yang luar biasa!" kata Lie Tiong Chu.

Ternyata apa yang dilakukan Kok Siauw Hong hanya berjabatan tangan dengan An Tak, orang tidak bisa menuduh dia yang mengerjainya. Rupanya saat dia diajak bersalaman oleh An Tak, sengaja Kok Siauw Hong menyalurkan Siauwyang-sin-kang ke tangan An Tak.

Karena ilmu itu sudah dipelajari Kok Siauw Hong hingga hampir sempurna, hingga saat bersalaman tadi sedikit pun An Tak tak merasakan apa-apa. Tetapi saat dia mau menghampiri Wan-yen Hoo, secara tiba-tiba barulah dia merasa perutnya sakit bukan main. Isi perut An Tak seolah bergolak, karena tak tahan tanpa terasa dia buang air besar.

Saat itu keadaan mulai kacau, tiba-tiba muncul seorang tamu baru ternyata dia Jen Thian Ngo, ayah Jen Ang Siauw.

Karena semua tamu belum tahu Jen Thian Ngo telah menjadi antek bangsa Kim, maka tak heran jika semua tamu gembira atas kedatangan tamu itu, sedang Kok Siauw Hong kaget.

Rupanya Kok Siauw Hong kuatir penyamarannya akan ketahuan oleh Jen Thian Ngo. Saat tak ada yang memperhatikan dirinya, diam-diam Kok Siauw Hong pergi untuk menghindari pertemuan dengan Jen Thian Ngo. Kemudian dia keluar dari ruang tamu lewat pintu samping.

Melihat kedatangan Jen Thian Ngo tentu saja Wan-yen Hoo girang. Mungkin mereka sudah berjanji datang secara berturut-turut. Kedatangan Jen Thian Ngo diharapkan oleh pangeran Kim ini, agar dia bisa menyelidiki tamu-tamu Beng Teng.

Karena sudah berjanji dengan Wan-yen Hoo, setiba Jen Thian-Ngo ke sana, dia berpura-pura tidak kenal dengan pangeran muda itu. Malah dia langsung menemui Beng Teng untuk menyampaikan selamat pada tuan rumah. Saat itulah Tan Piauw dan putra-putranya sedang menggotong An Tak dan masih berdiri di samping Beng Teng dengan perasaan bingung. Melihat keadaan AnTak, Jen Thian Ngopun tampak kaget. Setelah bicara sejenak dengan tuan rumah, Jen Thian Ngo pura-pura bertanya.

"Siapa dia?" kata Jen Thian Ngo.

"Kebetulan Anda datang, Jen Tay-hiap," kata Beng  Teng. "Karena kau sangat berpengalaman, tolong kau periksa penyakit orang ini! Apa dia dijahili orang atau memang sakit? Itu Siauw Ong-ya, dan orang ini bernama An Tak!" kata Beng Teng.

Dengan sikap dingin terpaksa Jen Thian Ngo berkenalan dengan Wan-yen Hoo.

"Aku cuma rakyat biasa, maka itu untuk mengurus anak buah seorang pangeran, aku tak berani!" kata Jen Thian Ngo.

Wan-yan Hoo pun bersikap acuh-tak-acuh.

"Pengikutku ini mendadak sakit keras, karena disini sulit mencari tabib, jika Anda tidak keberatan Tuan Jen mau membantu memeriksanya. Mati atau hidup kau tidak akan bertanggung-jawab."

Beng Teng sebagai tuan rumah tentu tidak ingin ada orang mati di rumahnya, dia juga ikut memohon pertolongan pada Jen Thian Ngo. Merasa didesak akhirnya Jen Thian Ngo menganggukkan kepalanya.

"Baiklah," kata Jen Thian Ngo, "akan kucoba memeriksanya!"

Tak lama Jen Thian Ngo sibuk memeriksa denyut nadi An Tak. Diam-diam dia terkejut, ternyata Siauw-yang-sin- kang yang dipelajari Jen Thian Ngo tidak setinggi yang dipelajari oleh Kok Siauw Hong, luka yang diderita An Tak diketahuinya karena Siauw-yang-sin-kang. Dia pun jadi curiga.

"Apa Kok Siauw Hong ada di sini?" pikir Jen Thian Ngo. "Bagaimana keadaannya Jen Lo-sian-seng?" kata Wan-

yen Hoo ingin tahu.

"Dia sakit, tapi tak berbahaya, akan kucoba mengobatinya," kata Jen Thian Ngo.

"Baik, aku mohon kau menolonginya," kata Wan-yen Hoo.

Sesudah itu Wan-yen Hoo pamit pada Jen Thian Ngo maupun Beng Teng karena akan segera meninggalkan tempat pesta. Seperginya pangeran Kim itu, Jen Thian Ngo berkata sinis.

"Jika dia bukan tamumu, aku tak mau menolonginya!" kata Jen Thian Ngo.

"Benar, tolongi dia, apa yang kau butuhkan akan kusediakan" kata Beng Teng agak gugup.

"Aku butuh sebuah kamar," kata Jen Thian Ngo. "Ada, mari ikut aku," kata Beng Teng.

Tio Pin dan yang lainnya menggotong An Tak yang baunya bukan main ke kamar yang disediakan Beng Teng, saat itu Jen Thian Ngo mengikutinya. Tiba-tiba...

"Siapa kau?" bentak Jen Thian Ngo.

Saat itu Jen Thian Ngo melihat bayangan berkelebat di tempat yang agak gelap dekat kamar dan dapur yang ditunjukkan Beng Teng.

"Barangkali tukang masak!" kata Beng Teng. Sebenarnya Beng Teng juga melihat bayangan itu hingga dia pun terkejut juga.

"Rasanya bayangan orang itu seperti orang yang kukenal," kata Jen Thian Ngo.

Pada saat bersamaan Beng In, putera kedua Beng Teng menuntun seseorang, mereka muncul dari kegelapan.

"Siapa orang ini, dari mana dia?" tanya Beng Teng. "Orang ini pengantar arang," jawab Beng In.

Melihat wajah tukang arang itu, Jen Thian Ngo percaya, bayangan tadi memang bayangan tukang arang itu. Dia jadi tak curiga lagi, ditambah lagi Beng In anak masih muda belia, dia baru berumur sekitar  tahun. Dia yakin anak itu tidak akan membohongi ayahnya, juga dia tidak kenal pada Kok Siauw Hong.

Semula Jen Thian Ngo ingin melihat lebih dekat wajah tukang arang itu. Tapi karena keburu datang orang-orang yang menggotong An Tak, dan An Tak pun tak henti- hentinya merintih kesakitan, Beng Teng mendesak Jen Thian Ngo agar segera mengobati tamunya itu. 

"Baik, silakan Tuan Beng layani tamu-tamu saja," kata Jen Thian Ngo.

Mungkin karena Jen Thian Ngo ingin bicara empat mata dengan An Tak, dia minta Beng Teng meninggalkannya.

"Aku harus ganti pakaian, harap Tio-heng wakili aku melayani tamu-tamu," kata Beng Teng pada Tio Pin.

Tapi Tio Pin pun bilang dia juga mau ganti pakaian karena terkena kotoran ketika menggotong An Tak. Melihat Tio Pin dan putranya sudah pergi, Beng Teng buru-buru ke dapur. Ternyata di dapur terdapat pelataran kecil. Saat itu tukang arang itu masih ada di sana, malah ditemani Beng In dan Chu Cu Kia.

Melihat Beng Teng muncul, tukang arang itu menyeka wajahnya yang kotor terkena arang, lalu berkata sambil tertawa.

"Beng Lo-piauw-thauw, ini aku!" kata tukang arang itu.

Beng Teng terkejut setelah melihat jelas siapa "tukang arang" itu, dan ternyata dia Kok Siauw Hong adanya. Beng Teng mengajak Kok Siauw Hong ke kamar lain, sesudah menutup pintu kamar, Beng Teng bertanya.

"Kok Siauw-hiap, kau sangat berani." kata Beng Teng. "Aku diperintah oleh Liu-li-hiap untuk menemuimu,"

kata Kok Siauw Hong. "Untung Chu Cu Kia mengenaliku dan aku disuruh menyamar jadi tukang arang. Putramu sangat cerdik. Aku kira Jen Thian Ngo tidak akan tahu siapa aku. Pamanku itu berkhianat, mungkin kau pun sudah tahu?"

"Ya, Jen Thian Ngo agak curiga, sudah jangan hiraukan dia!" kata Beng Teng. "Ada masalah apa kau diutus ke mari?"

"Tidak ada, dia hanya ingin kau membantu menyelidiki keadaan musuh," jawab Siauw Hong.

"Wan-yen Hoo pernah datang ke tempatku, rupanya dia mencurigaiku," kata Beng Teng. "Aku rasa sulit bagiku meninggalkan ibukota, aku tak tahu bagaimana cara kita berhubungan?"

"Aku menginap di toko sutera "Hong-hok", Tuan Teng orang Tiang-keng-pang yang baru mengadakan persekutuan dengan Kim-kee-leng, dia kawan seperjuangan kita," kata Siauw Hong. "Tadi Tan Piauw tak mengajaknya bicara, barangkali dia sudah tahu dan curiga padanya," kata Beng Teng.

"Tuan Teng cerdas, rasanya dia bukan orang yang lemah," kata Siauw Hong.

"Apa kau punya urusan lain?" kata Beng Teng.

Beng Teng tak bisa berlama-lama karena akan dicurigai. "Ada, mengenai masalah pribadi," kata Siauw Hong

sambil mengeluarkan sehelai uang kertas. "Uang ini berjumlah seribu tail perak, mertuaku minta agar aku menyerahkannya padamu, harap kau menerimanya"

"Uang apa ini?" tanya Beng Teng.

"Mertuaku bilang dia masih berhutang separuh biaya pengawalanmu dulu," kata Siauw Hong.

Beng Teng kelihatan kurang senang.

"Sesudah tahu mertuamu yang minta aku mengawal putrinya, mana berani aku minta biaya padanya. Ditambah lagi aku tidak mampu memenuhi kewajibanku dan nona Han tidak sampai di rumahmu, betapa malunya aku menerima uang ini." kata Beng Teng.

"Bagaimana jika aku bicara terus-terang," kata Siauw Hong.

"Silakan saja," kata Beng Teng.

"Kini kau membuka perusahaan baru, bukankah kau masih kekurangan modal?" kata Kok Siauw Hong.

"Benar, tapi mana berani kuterima uang itu!" kata Beng Teng.

"Maaf Beng Lo-cian-pwee, karena terlalu waktu mendesak, biar aku bicara langsung saja. Kau telah menerima  rekan  kerja  baru  bernama  Tio  Pin,  menurut pendapatku dia bukan orang baik, dia malah berbahaya bagimu." kata Siauw Hong.

"Ya, dia agak kikir, tapi belum terlalu jahat. Aku bersekutu dengannya hanya karena dia punya hubungan luas di Tay-toh. Tapi bagaimanapun nasihatmu ini, pasti kuperhatikan! Aku akan selalu waspada menghadapi dia." kata Beng Teng.

Ketika Kok Siauw Hong mendesak agar Beng Teng menerima uang itu, Beng Teng tetap menolak. Sesudah didesak akhirnya dia berkata, "Baiklah, uang ini kuterima untuk sementara sebagai pinjaman. Tapi aku tak akan menggunakannya untuk kepentingan perusahaanku. Uang ini akan kumanfaatkan untuk masalah lain. Apa kau pernah bertemu dengan Kang-lam Tay-hiap Kheng Ciauw alias Ciu Cioh di Lim-an?"

"Pernah sekali di tempat Bun Tay-hiap," kata Siauw Hong. "Apa ada masalah?"

"Dia punya seorang anak lelaki bernama Kheng Thian, usianya sekarang sekitar - tahun. Dulu ketika Kheng Tayhiap memimpin pasukan ke Selatan, putranya itu ditinggalkan di daerah Utara, karena aku sudah tahu di mana Kheng Tayhiap berada, aku mau mengirim putranya itu. Uangmu ini akan kugunakan untuk masalah itu!"

"Baik, akan kusampaikan hal ini pada Kheng Tay-hiap," kata Kok Siauw Hong.

Sebelum Beng Teng keluar untuk melayani Jen Thian Ngo, dia memberi sebuah alamat dan nama temannya yang tinggal di See-san, di kota Barat dengan pesan.

"Jika di tempat Teng Sit kurang aman kalian boleh pindah ke rumah temanku itu." kata BengTeng. Ketika Beng Teng keluar dan pergi ke ruang tamu, terlihat Jen Thian Ngo dan An Tak sudah menunggu kedatangannya.

"Eh, ke mana saja kau, aku mencarimu untuk mohon diri," kata Jen Thian Ngo.

Beng Teng beruasaha tenang dan menjawab.

"Ah, Jen Tay-hiap sangat lihay, hanya sebentar kau bisa mengobati Tuan An! Kenapa Jen Tay-hiap terburu-buru pergi? Jika mau silakan bermalam di sini saja untuk beberapa hari," kata Beng Teng berbasa-basi.

"Ah, aku tak berani merepotkanmu. Tempatmu ni sering dikunjungi orang-orang terhormat, saudara Beng!" kata Jen Thian Ngo.

Beng Teng dongkol sekali melihat sikap Jen Thian Ngo yang angkuh itu, padahal dia seorang pengkhianat. Sikap Jen agung-agungan dan angkuh sekali. Namun, kebenciannya itu tak diperlihatkan oleh Beng Teng. Dengan sikap hormat dia mengantarkan Jen Thian Ngo dan An Tak yang akan meninggalkan ruang pesta. Saat Teng Sit itu dan Lie Tiong Chu telah pergi tanpa pamit lagi pada Beng Teng. Ini karena mereka mendapat kisikan dari Chu Cu Kia agar mereka segera pergi.

Ketika itu Tio Pin sedang menyanjung kedatangan Jen Thian Ngo, Teng Sit cs pergi agar kepergian mereka tidak menarik perhatian tamu lain. Sesudah itu  mereka bergabung dengan Kok Hong dijalan raya. Sebenarnya mereka sudah kuatir ketika Jen Thian Ngo muncul di tengah pesta itu..

"Mungkin para tamu itu tidak tahu aku yang mengerjai An Tak," kata Kok Siauw Hong. "Tapi tidak Jen Thian Ngo. Dia lihay dan berpengalaman. Bukan tidak mungkin dia tahu aku pelakunya, walau dia tak tahu aku menyamar jadi pembantumu, Tuan Teng."

"Ya, tetapi kita pun harus berhati-hati dan waspada," kata Teng Sit memperingatkan.

"Kata Beng Lo-piauw-thauw, seorang temannya bernama Ho Kian Hang tinggal di See-san," kata Siauw Hong. "Dia pun berpesan jika keadaan sangat mendesak, kita bisa tinggal sementara di rumah temannya itu."

"Aku sudah tahu orang she Ho itu, walau dia tidak kenal aku," kata Teng Sit. "Yang pasti aku tidak bisa terus- menerus bersembunyi begitu saja agar tidak mencurigakan pihak musuh. Sebaiknya kita bertindak sesuai keadaan saja."

Sesampai di rumah Teng Sit, Kok Siauw Hong langsung menceritakan pengalamannya pada Jen Ang Siauw, terutama tentang ayahnya yang muncul di tempat Beng Teng. Mendengar cerita Kok Siauw Hong tentu saja Jen Ang Siauw jadi berduka.

"Kalau begitu dia sudah bertekad akan menjadi pengikut Wan-yen Hoo. Rasanya aku tak akan bisa membujuknya supaya insaf," kata Jen Ang Siauw.

"Semua orang pasti bisa melakukan kesalahan, termasuk Ayahmu. Kau sudah melakukan kewajibanmu, maka kau tidak perlu bersedih atau malu," kata Kok Siauw Hong. "Sekarang ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu."

"Tentang apa?" kata Jen Ang Siauw.

"Sudah mencapai tingkat berapa Siauw-yang-sin-kang yang di latih oleh Ayahmu?" tanya Kok Siauw Hong. "Aku sama sekali tidak tahu tentang Siauw-yang-sin- kang yang dipelajari oleh ayahku," jawab Ang Siauw. "Yang jelas dalam ilmu itu pasti bukan tandinganmu."

Sekarang Kok Siauw Hong pun tahu. bahwa ilmu Jen Thian Ngo belum tinggi sekali. Tapi yang mencemaskan dia jika Jen Thian Ngo mengenali apa yang dilakukan terhadap An Tak. Jika hal itu ketahuan bisa kacau. Malam harinya Jen Ang Siauw tak bisa tidur. Padahal sudah berbagai cara Han Pwee Eng berusaha menentramkan hati Jen Ang Siauw.

"Kau jangan berduka, bunga teratai yang tumbuh di lumpur pun akan tetap suci. Sekalipun Ayahmu tersesat dijalan yang salah, kau masih punya sahabat seperti kami," kata Han Pwee Eng.

Hati Jen Ang Siauw agak terhibur juga mendengar ucapan Han Pwee Eng itu. Tetapi sebelum mereka tidur, tiba-tiba daun jendela terbuka, menyusul dengan itu seseorang melompat ke dalam kamar mereka.

"Anakku, sejak kecil

aku menyayangimu, apakah sekarang kau ingin melupakan

Ayahmu?" kata Jen Thian Ngo.

Bukan main kagetnya Jen Ang Siauw, sesudah menenangkan rasa kagetnya, nona Jen lalu bicara.

"Jika Ayah mau berpihak pada kami dan menjadi orang baik, sudah tentu aku tetap menjadi putrimu dan kau Ayahku." kata Jen Ang Siauw.

"Lucu sekali, pada umumnya anak-anak tunduk pada orang tuanya, lagipula mana ada Ayah yang harus menuruti kehendak anaknya?" kata Jen Thian Ngo. "Baik buruk aku ini ayahmu, ayo ikut aku pulang!"

"Tidak, aku tidak akan ikut Ayah," kata Jen Ang Siauw. Tiba-tiba.

"Week!"

Pakaian Ang Siauw robek. Tapi untung karena Jen Thian Ngo kuatir putrinya terluka, dia melepaskan cengkramannya. Kalau tidak pasti nona itu terluka oleh cengkraman ayahnya. Melihat situasi demikian, Han Pwee Eng segera meniup lampu dan menarik Jen Ang Siauw ke belakang dia.

"Jen Lo-sian-seng, setiap orang punya cita-cita sendiri, kau tidak bisa memaksa kehendak putrimu." kata Han Pwee Eng.

"Sebenarnya anakku tidak kurang ajar, dia jadi begini garagara kau hai perempuan hina! Pasti kau yang mempengaruhinya," kata Jen Thian Ngo. "Baik, aku akan membuat perhitungan denganmu!"

Kamar itu gelap, terpaksa Jen Thian Ngo mencengkram berdasarkan suara nona Han tadi. ketika itu Han Pwee Eng menghunus pedang lalu menebas tangan Jen Thian Ngo yang hendak mencengkramnya. Mendengar suara tebasan pedang lawan, Jen Thian Ngo mengibaskan lengan bajunya untuk melibat pedang nona Han, sedang tangan yang lain menghantamnya.

"Braak!"

Tak lama meja hias yang terhajar pukulan tangan Jen Thian Ngo itu gompal sebagian. Hampir saja pedang di tangan Han Pwee Eng terampas oleh Jen Thian Ngo. Tak lama dia tendang meja itu hingga terjungkal, disusul tangan Jen Thian Ngo menghantam lagi.

"Ayah, kau melukaiku!" jerit Jen Ang Siauw.

Jen Thian Ngo terkejut bukan kepalang, segera dia mengubah pukulannya menjadi totokan jari tangannya.

Han Pwee Eng memutarkan pedangnya dengan keras sekali. Karena keadaan kamar itu gelap Jen Thian Ngo tidak berani ceroboh sehingga untuk sekian lama dia belum mampu merebut pedang lawannya. Sekarang Jen Thian Ngo sadar, jeritan putrinya itu ternyata hanya sebuah tipu- muslihat.

"Anak kurang ajar!" bentak Jen Thian Ngo. "Jika kau tak mau menurutiku, dan kau sampai terluka itu pantas bagimu!"

Nona Han membacok dengan pedangnya, tapi dengan cepat Jen Thian Ngo menyentilnya.

"Cring!"

Tak ampun lagi pedang nona Han tergetar menyamping dari sasaran. Benturan itu menimbulkan seberkas cahaya. Jen Thian Ngo juga tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Melihat kesempatan itu, dia langsung maju sambil mencengkram ke arah bahu nona Han. Melihat situasi yang membahayakan itu Jen Ang Siauw berseru.

"Ayah, aku tak mau ikut kau. Silakan kau bunuh aku!" teriak nona Jen. "Kau tak boleh mencelakai Nona Han!"

Saat itu bahu nona Han sudah tercengkram. Tapi karena Jen Ang Siauw berlaku nekat, tiba-tiba terdengar ayahnya mengeluh, tangannya yang mencengkram bahu Han Pwee Eng terlepas. Mendengar jeritan Jen Ang Siauw, Kok Siauw Hong dan Lie Tiong Chu terjaga dari tidurnya. Mereka memburu ke kamar nona Jen dan Han Pwee Eng. Pada saat yang tepat mereka tiba. Dalam kegelapan Jen Thian Ngo tak melihat apa-apa. Saat merasakan ada angin berkesiur, Jen Thian Ngo membalikkan tubuhnya sambil menyerang dengan cengkramannya. Tak lama tangan Jen Thiang Ngo bentrok dengan tangan Kok Siauw Hong dan dia mampu menghindari serangan Lie Tiong Chu.

Mereka langsung bertarung. Tapi dalam sekejap Jen Thian Ngo sudah tahu siapa lawannya. Dia kaget sekali. Walau serangan Kok Siauw Hong bisa dikenalinya, serangan Lie Tiong Chu yang menggunakan jurus Keng-sin- ci-hoat milik Bulim-thian-kiauw pun dia kenali  juga. Tenaga pukulan Jen Thian Ngo yang hebat membuat Lie Tiong Chu sesak napas. Apalagi dia pun sudah tertotok hingga tubuhnya mulai kaku, untung dia bertenaga lumayan lihay..

"Ilmu Tiam-hiat bocah ini hebat dan aneh, rasanya mirip kepandaian Wan-yen Hoo, tapi dia bukan orang Kim. Janganjangan dia murid Bu-lim-thian-kiauw?" pikir Jen Thian Ngo yang berpengalaman itu.

"Jen Thian Ngo, mau apa kau datang ke mari? Apa Wan-yen Hoo yang menyuruhmu?" bentak Kok Siauw Hong.

"Kurang ajar kau, Kok Siauw Hong!" damprat Jen Thian Ngo. "Aku ini pamanmu, dan aku hanya mencari putriku, lalu apa hubungannya denganmu?"

"Kau pengkhianat bangsa dan anjing musuh kami!" kata Kok Siauw Hong. "Aku tak mau mengakuimu sebagai pamanku! Ingat putrimu pun tak mau ikut denganmu!"

Karena malu Jen Thian Ngo jadi gusar bukan kepalang. "Putriku berubah sifat karena pengaruh kalian!" bentak Jen Thian Ngo. "Kok Siauw Hong, kau bergabung dengan kaum pemberontak, aku ingin menolongimu, tapi kau berani melawan pamanmu. Kau jangan sesalkan aku!"

Sambil berkata Jen Thian Ngo menyerang dengan gesit Kok Siauw Hong melakukan perlawanan, dia dibantu oleh Lie Tiong Chu, dan Jen Thian Ngo mereka keroyok berdua. Dongkol, gusar jadi satu saat dia menghadapi Kok Siauw Hong dan Lie Tiong Chu. Tapi jika ingat nona Jen dia jadi sedih.

"Jen Thian Ngo, sia-sia saja tingkahmu tadi di tempat pesta!" kata Kok Siauw Hong.

"Apa kau tak malu, berlagak jadi jagoan sejati? Padahal hatimu busuk bukan main! Sekarang kau tinggalkan tempat ini, jika tidak kau ingat golokku yang tak punya mata bisa membunuhmu!" kata Jen Ang Siauw.

Diam-diam Han Pwee Eng menggelengkan kepalanya mendengar kepolosan Jen Ang Siauw. Kedatangan Jen Thian Ngo yang sudah jelas sedang melaksanakan tugas dari Wan-yen Hoo, mana mungkin berharap dia mau menjaga rahasia mereka. Benar saja tiba-tiba Jen Thian Ngo bicara.

"Enak saja kau bicara, Kok Siauw Hong sudah tahu siapa aku ini? Mana mungkin aku biarkan dia hidup! Kau anakku, karena kau tak mau menuruti kata ayahmu, kau juga akan kutangkap!" kata Jen Thian Ngo.

"Adik misan, minggir! Karena dia tak mau pergi, biar kami mengusirnya!" kata Kok Siauw Hong.

Pertarungan di ruang gelap berlangsung kembali. Hal itu sangat berbahaya bagi Jen Thian Ngo yang dikeroyok beramai-ramai.     Karena     sudah     tahu   "persembunyian mereka" maka pikirnya mengapa pertarungan itu harus dilanjutkan. Tiba-tiba dia melancarkan serangan dahsyat untuk mendesak lawannya mundur. Kemudian secara tiba- tiba dia melompat ke luar jendela dan kabur.

"Sudah, jangan dikejar! Dia sudah pergi!" kata Jen Ang Siauw.

"Siapa bilang aku pergi. Dengar! setiap orang yang ada di sini tak kuizinkan keluar dari sini!" kata Jen Thian Ngo sambil tertawa.

Nona Jen mengawasi ke luar kamar, dia lihat ayahnya sedang berdiri tegak di pelataran rumah Teng Sit. Kok Siauw Hong terkejut dia sadar ada bahaya. Maka itu dia melompat keluar kamar bersama Lie Tiong Chu dan melancarkan serangan hebat ke arah Jen Thian Ngo.

"Jen Thian Ngo, kau bersekongkol dengan musuh bahkan kau membawa pasukan ke mari, bukan?" kata Kok Siauw Hong.

"Kau benar! Tepat sekali terkaanmu, tapi sayang terkaanmu sudah terlambat!" kata Jen Thian Ngo.

Tiba-tiba terdengar desingan suara anak panah disusul suara gedoran di pintu rumah Teng Sit. Tak lama pasukan Kim sudah menerobos masuk.

Saat di tempat pesta di rumah Beng Teng, dia memang mencurigai kedua pembantu Teng Sit. Maka sepulang ke istana Wan-yen Hoo, dia menanyai Tan Piauw dan An Tak. Malam itu Jen Thian Ngo mendatangi rumah saudagar sutera tersebut untuk mencari tahu. Sedang di luar rumah Tang Sit sudah bersiaga pasukan Kim. Jika diberi tanda, mereka akan menerobos masuk. Han Pwee Eng dan Jen Ang Siauw sudah menerjang keluar kamar. Melihat hal itu betapa gusar dan kuatirnya Jen Ang Siauw. "Lekas kalian pergi adik Eng! Biar kami yang melindungi kalian dari belakang!" kata Kok Siauw Hong.

Saat itu beberapa perwira tentara Kim sudah menerobos masuk ke halaman rumah. Melihat kedua nona itu, perwira yang menjadi pemimpin pasukan Kim berkata sambil tertawa.

"Eh cantik juga kedua nona ini. Kebetulan sekali, mereka bisa kita hadiahkan pada Ong-ya, jangan lukai mereka!" teriak perwira Kim itu.

Han Pwee Eng yang gusar segera menusuk dengan pedangnya. Perwira Kim itu berusaha menangkis serangan nona Han dengan goloknya. Tak lama terdengar suara benturan keras.

"Trang!"

Ujung golok perwira Kim itu tertebas oleh pedang Han Pwee Eng hingga buntung. Perwira Kim itu terkejut dan berteriak.

"Awas pedangnya tajam dan berbahaya!" kata si perwira Kim.

"Hei, keji amat perempuan ini!" kata yang lain. Serangan Han Pwee Eng yang bertubi-tubi membuat perwira Kim itu terdesak. Tapi tak lama dua orang kawannya maju untuk membantunya. Beberapa perwira Kim lainnya langsung menghadang Jen Ang Siauw. Mereka mngeluarkan kata- kata kotor untuk menggoda nona Jen. Bukan main gusarnya nona Jen dia pun berteriak.

"Kau dengar tidak, Ayah? Putrimu dihina, tapi kau diam saja!" teriak nona Jen.

Beberapa perwira itu kaget, satu di antaranya berkata. "Oh, rupanya kau putri Jen Lo Sian-seng?" kata perwira itu. "Aneh, kenapa bisa begitu?"

"Anak itu masih hijau, tapi kepala batu, aku harap kalian berlaku murah hati kepadanya," kata Jen Thian Ngo. "Anakku, lebih baik kau turuti kata-kataku, jika kau mau lari pun sudah tidak mungkin lagi, buat apa kau bela para penjahat?"

Bukan main sedihnya Jen Ang Siauw mendengar kata- kata ayahnya itu. Dengan air mata berlinang dia berkata.

"Tidak! Sekarang aku bukan anakmu lagi! Aku tidak mau punya ayah yang tidak tahu malu sepertimu. Sejak hari ini kita putus hubungan sebagai ayah dan anak!" kata nona Jen.

Tiba-tiba nona Jen membacok dengan goloknya sekuat tenaga ke arah seorang perwira di depannya. Dia seolah ingin melampiaskan kemarahannya pada perwira itu. Tapi perwira Kim itu tidak berani adu jiwa dengan Jen Ang Siauw, karena Wan-yen Hoo menyukai nona ini. Dengan demikian dia tidak berani mencelakai Jen Ang Siauw. Terpaksa dia melompat ke samping untuk menghindari serangan itu. Peluang itu tidak disia-siakan oleh nona Jen, dia menerjang untuk bergabung dengan Han Pwee Eng.

Sesudah bergabung, kekuatan mereka bertambah. Walau untuk menerjang keluar halaman rumah belum mampu. Melihat keadaan mereka terdesak, Kok Siauw Hong dan Lie Tiong Chu melancarkan serangan dahsyat. Lie Tiong Chu memainkan senjatanya, yaitu sepasang poan-koan-pit (alat tulis bangsa Tionghoa) yang terbuat dari baja murni. Ke mana pun ujung pit itu tertuju, yang di arah selalu jalan darah yang mematikan di tubuh musuhnya. Sedang Kok Siauw Hong memutarkan pedangnya begitu hebat, dia menggunakan  jurus  Cit-siu-kiam-hoatnya  yang  lihay  dan selalu menusuk jalan darah lawan. Sekalipun kepandaian Jen Thian Ngo lihay, jika menghadapi dua lawan muda yang tangguh mau tak mau dia kewalahan juga.

"Ternyata Siauw-yang-sin-kangnya telah maju pesat, bahkan Cit-siu-kiam-hoat-nya pun jauh lebih lihay dariku." pikir Jen Thian Ngo.

Ketika hati Jen Thian Ngo sedang bimbang, Kok Siauw Hong dan Lie Tiong Chu menyerang lebih gencar hingga Jen Thian Ngo terpaksa mundur. Kesempatan itu segera digunakan oleh Kok Siauw Hong berdua untuk menerjang ke luar kalangan.

Bersamaan dengan kilauan sinar pedang dan bayangan Poan-koan-pit, terdengar jeritan di sana sini. Ketiga perwira Kim tertotok oleh pit Lie Tiong Chu, sedang dua perwira Kim yang lainnya terluka oleh pedang Kok Siauw Hong. Perwira Kim yang satunya pun secara beruntun terkena tusukan pedang Han Pwee Eng dan bacokan golok Jen Ang Siauw hingga binasa. Kelima perwira Kim yang terluka itu pun roboh semua.

Jen Thian Ngo jadi kuatir dan berteriak minta bantuan. Dia langsung maju dan mencengkram bahu Kok Siauw Hong. Meskipun Siauw-yang-sin-kang dan Cit-siu-kiam- hoatnya tidak sehebat Kok Siauw Hong, tapi karena latihannya yang berpuluh-puluh tahun dan cukup ulet bisa menghadapi kegesitan Kok Siauw Hong. Tapi dengan gesit Kok Siauw Hong dan Lie Tiong Chu bisa melayani setiap serangan Jen Thian Ngo. Maka sulit untuk memperkirakan siapa yang akan kalah atau menang ketika itu. Saat itu Jen Ang Siauw dan Han Pwee Eng pun sudah berhasil menerjang ke luar dari kalangan pertempuran. Saat itu pasukan Kim menyerbu ke dalam rumah dan menggeledah seluruh rumah Teng Sit. Tapi karena cuaca malam itu gelap sekali,  maka  itu  penggeledahan  yang  dilakukan  pasukan Kim hanya bisa dilakukan separuh saja. Pada suatu ketika mendadak dari atap rumah turun sekaleng minyak panas, belasan prajurit Kim menjerit kaget karena kulit dan dagingnya melepuh. Ternyata orang yang menyiramkan minyak panas dari atas adalah Teng Sit.

"Itu orang yang kita cari, tangkap dia!" teriak seorang perwira Kim.

Tak lama secara beramai-ramai pasukan Kim langsung memburu ke halaman sebelah. Kesempatan ini digunakan oleh Han Pwee Eng dan Jen Ang Siauw untuk menerjang ke luar rumah.

"Lekas bantu Tuan Teng dan terjang ke luar, kita berkumpul di rumah sahabat she Ho itu." bisik Kok Siauw Hong pada Lie Tiong Chu.

"Baik," kata Lie Tiong Chu.

Segera dia menyerang Jen Thian Ngo dengan beberapa serangan maut. Setelah Jen Thian Ngo terdesak mundur, dia langsung melompat pergi. Kok Siauw Hong berlari ke arah lain, maksud dia untuk mengecoh Jen Thian Ngo agar mengejarnya. Dengan demikian Teng Sit yang kepandaiannya lemah bisa terhindar dari bahaya.

Jen Thian Ngo kuatir rahasia dirinya terbongkar oleh Kok Siauw Hong, dia langsung mengejar pemuda itu. Tanpa menghiraukan Lie Tiong Chu.

Ketika dua perwira Kim merintanginya, Kok Siauw Hong berhasil mencengkram perwira Kim itu, lalu melemparkannya ke arah Jen Thian Ngo. Tapi karena Jen Thian Ngo tahu kedua perwira itu berpengaruh di istana pangeran Wan-yen Hoo, dia terpaksa menangkap tubuh mereka agar tidak terbanting. Kesempatan itu digunakan Kok Siauw Hong untuk menyelinap dalam kegelapan. Kemudian Kok Siauw Hong memakai pakaian perwira Kim yang dikalahkan. Tapi setelah Jen Thian Ngo menurunkan kedua perwira Kim itu, dia tak melihat lagi Kok Siauw Hong berada di sekitarnya.

Namun, sekalipun Kok Siauw Hong berhasil keluar dari rumah Teng Sit, dia belum bebas dari bahaya. Di luar masih banyak pasukan Kim yang mengepungnya. Beruntung malam itu gelap sekali. Dengan demikian Kok Siauw Hong yang mengenakan pakaian seragam perwira Kim, tidak mudah dikenali hingga bisa menemukan Teng Sit di suatu tempat. Tiba-tiba dia dengar bentrokan senjata, menyusul suara bentakan.

"Setelah kupergoki kalian, mana mungkin kalian bisa kabur!" kata suara itu.

Mendengar suara orang yang keras sekali itu, Kok Siauw Hong kaget. Tapi karena di kegelapan dia tak tahu siapa orang itu. Jarak orang itu mungkin cuma puluhan meter saja dari situ. Maka itu dia mencemaskan keadaan nona Han dan nona Jen.

Kok Siauw Hong segera memburu ke arah suara itu. Ternyata di sana terlihat seorang lelaki tinggi besar dengan kepala gundul sedang memutarkan sebatang tongkat. Dengan demikian Han Pwee Eng dan nona Jen terhadang olehnya. Permainan tongkat si gundul pun lihay sekali, hingga debu dan pasir berterbangan karena sambaran angin tongkatnya. Ditambah lagi tentara Kim sudah datang membantunya

Kok Siauw Hong langsung maju, lalu dengan menggunakan jurus 'Pek-hong-koan-jit' (Pelangi putih menembus matahari) dia menusuk. Tak lama terdengar suara nyaring benturan pedang dengan tongkat orang itu. Pedang Kok Siauw Hong bergetar, tangannya kesakitan. Orang itu keheranan melihat penyerangnya berseragam tentara Kim.

"Siapa kau?" kata orang itu.

Tanpa menjawab Kok Siauw Hong, terus menyerang sebanyak tiga serangan. Dengan segera Kok Siauw Hong bekerja sama dengan Han Pwee Eng. Dengan menggabungkan sepasang pedang ditambah sepasang golok nona Jen, mereka mampu menghadapi tongkat lawan yang hebat itu.

"Hm, kepandaian kalian boleh juga!" kata orang itu."Tapi untuk lolos dari tongkatku ini sangat sulit!"

Kemudian orang itu memutarkan tongkatnya lebih hebat hingga suaranya menderu-deru. Siauw Hong dan Pwee Eng bisa bertahan, tapi nona Jen agak kewalahan. Tiba-tiba Kok Siauw Hong terkejut dan keheranan, mengapa dia mengenali ilmu tongkat orang itu, yaitu Hok-mo-thung-hoat (Ilmu tongkat penakluk iblis) dari Siauw-lim-pay. Ternyata orang itu bernama Soa Yan Liu, bekas murid perguruan Siauw-lim-sie. Karena berkhianat dia dipecat lalu bekerja pada Wan-yen Tiang Cie.

Soa Yan Liu memutarkan tongkatnya dengan hebat, hingga Han Pwee Eng dan Jen Ang Siauw kewalahan. Tetapi di saat gawat, Kok Siauw Hong berhasil membantu mereka, bahkan beberapa kali Soa Yan Liu harus menghadapi serangan Kok Siauw Hong yang berbahaya.

"Kau menggunakan Cit-siu-kiam-hoat. Apa kau Kok Siauw Hong?" bentak Soa Yan Liu.

"Benar, aku Kok Siauw Hong, kau mau apa?" kata Siauw Hong. "Kebetulan, aku memang mau menangkapmu!" kata Soa Yan Liu yang langsung menyerang dengan hebat.

Setelah berhasil menghalau pedang nona Han dan golok Jen Ang Siauw, tongkatnya segera menyerang kepala Siauw Hong.

Tiba-tiba terdengar suara seruling yang lembut, tetapi jelas meskipun dalam suasana pertempuran yang berisik. Soa Yan Liu kaget, sambil membentak ia berkata.

"Siapa kau?" kata Soa Yan Liu.

Berbareng dengan teguran Soa Yan Liu, Lie Tiong Chu menotok iga Soa Yan Liu dengan serulingnya. Melihat hal itu Soa Yan Liu menarik tongkatnya untuk menjaga diri dari serangan orang she Lie itu. Soa Yan Liu kaget atas serangan yang dilakukan Lie Tiong Chu dia pun jadi kelabakan.

"Kau tidak kenal aku dan serulingku, kan?P ejek Lie Tiong Chu. "Kebetulan sekali Guruku sedang mencarimu, jika berani kau jangan lari!"

"Jadi kau murid Bu-lim-thian-kiauw?" kata Soa Yan Liu. "Nona Jen, nona Han, lekas pergi! Murid murtad Siauw-

limsie ini akan dihajar oleh Guruku!" kata Lie Tiong Chu.

Soa Yan Liu kaget dan sangsi juga kuatir. Sebab jika Bulim-thian-kiauw ada di stu, dia bukan tandingannya.

"Ah, benarkah ucapannya itu? Jika benar aku bisa  celaka. Lebih baik aku waspada," pikir Soa Yan Liu.

Dulu mereka memang pernah bentrok, Soa pun telah merasakan kehebatan Bu-lim-thian-kiauw. Maka itu diajadi jerih sekali. Tak lama terdengar suara tentara Kim bersama siulan Jen Thian Ngo yang bersuit keras. Mendengar suara siulan itu, Soa Yan Liu senang bukan main. "Jen Lo-toa, lekas ke mari. Musuhmu ada di sini!" teriak Soa Yan Liu.

Saat itu Soa Yan Liu berpura-pura mengejar nona Han dan nona Jen. Padahal dia berusaha menghindari Lie Tiong Chu dan Kok Siauw Hong, karena dia takut pada Bu-lim- thiankiauw yang tiba-tiba bisa datang. Dalam kegelapan karena nona Han dan nona Jen tak kelihatan bayangannya lagi, Kok Siauw Hong mencemaskan keadaan mereka.

"Saudara Lie, harap kau lindungi Pwee Eng berdua, aku akan menghadapi Jen Thian Ngo."

Sesudah Lie Tiong Chu mengiakan, Kok Siauw Hong menerjang ke tengah pasukan Kim. Tak lama beberapa prajurit Kim telah dirobohkannya. Tapi mendadak suara seorang tua mengejeknya.

"Kok Siauw Hong, ayo ikut aku pulang!" kata Jen Thian Ngo.

-o~DewiKZ~Aditya~aaa~o-

Saat itu juga Jen Thian Ngo sudah ada di samping Kok Siauw Hong. Sekalipun Kok Siauw Hong mengenakan pakaian samaran perwira Kim, Jen Thian Ngo mengetahuinya kalau itu Kok Siauw Hong. Setelah Kok Siauw Hong melepaskan pakaian seragam perwira Kim, dia menerjang ke arah Jen Thian Ngo. Berbareng dengan itu pedangnya menusuk ke arah lawan. Tetapi bisa ditangkis oleh jari Jen Thian Ngo.

"Week!" Pakaian seragam yang dilemparkan Kok Siauw Hong robek oleh jari Jen Thian Ngo.

"Hm! Kau masih berani bertarung denganku?" kata Jen Thian Ngo yang langsung menyerang ke arah Kok Siauw Hong.

Serangan Jen Thian Ngo begitu hebat hingga pedang Kok Siauw Hong bergetar dan melenceng ke samping tak mengenai sasaran. Sedang tentara Kim yang terdorong sambaran angin serangan Jen Thian Ngo berjatuhan, hingga membuat suasana menjadi sangat kacau.

Saat Kok Siauw Hong dalam bahaya, tiba-tiba terlihat sinar pedang berkelebat ke arah Jen Thian Ngo. Ternyata itu pedang Han Pwee Eng yang muncul secara tiba-tiba di samping Kok Siauw Hong. Secepat kilat pedang nona Han menusuk ke tenggorokan Jen Thian Ngo.

Kok Siauw Hong kaget bercampur girang.

"Adik Pwee Eng, jangan hiraukan aku, pergi!" kata Kok Siauw Hong.

"Hm, kedatangan anak jahat ini kebetulan sekali, kalian berdua jangan berharap bisa lolos dari tanganku!" kata Jen Thian Ngo sedikit mengejek.

Karena Kok Siauw Hong sadar lawannya bukan ringan, dia melancarkan serangan hebat. Pedangnya sekaligus digunakan dengan pukulan tangan kosong. Tetapi Jen Thian Ngo masih sempat bergeser ke samping, lalu menyambut pukulan Kok Siauw Hong dengan keras melawan keras.

"Duuk!"

Kok Siauw Hong mengerahkan seluruh tenaganya menggunakan  jurus  Siauw-yang-sin-kang  miliknya. Meskipun dia kalah kuat dibanding Jen Thian Ngo, tetapi dalam hal Siauw-yang-sin-kang dia lebih baik. Sesudah mengadu pukulan, pemuda ini terdorong mundur beberapa langkah ke belakang. Tak lama darah segar keluar dari mulutnya. Sebaliknya lengan Jen Thian Ngo tiba-tiba terasa kaku.

Nona Han segera menarik Kok Siauw Hong lalu diajak melarikan diri, sesudah itu dia menanyakan keadaan pemuda itu dengan perasaan kuatir.

"Kau terluka?"

"Aku tidak apa-apa," jawab Kok Siauw Hong. "Tapi bagaimana keadaan adik Jen?"

"Entah, dia berpencar denganku, mungkin dia sudah lolos!" kata nona Han.

Saat tahu Kok Siauw Hong sendirian dalam bahaya, tanpa pikir panj ang nona Han berbalik untuk membantu kekasihnya. Karena itu dia lupa meninggalkan Jen Ang Siauw. Dalam kegelapan, ketika Jen Ang Siauw kehilangan Han Pwee Eng, diajadi gugup, hingga terpaksa lari tanpa melihat arah lagi. Sebisanya dia berusaha menyelamatkan diri. Saat berada di depan sebuah hutan, dia berhenti sejenak dan berpikir.

"Eh, apa ini yang dinamakan "Tian-tay" (Loteng Langit)?" pikir nona Jen. "Ah aku tak peduli yang penting aku bisa bersembunyi dan selamat!"

"Thian-tay" tempat sembahyang 'memuja langit' bagi para raja yang berkuasa saat itu. Luasnya beberapa li. Di sekitar Thian-tay ditanami pohon cemara dan hutan cemara itu berdaun rindang. Di tengah hutan cemara itu terdapat beberapa istana yang megah. Setiap setahun sekali atau dua kali raja mengadakan sembahyang di sana. Pada hari biasa tempat itu dijaga oleh prajurit karena terlarang untuk umum. Maka tak heran jika tidak ada yang berani datang ke sana, walau penjagaan bisa dikatakan dilakukan hanya sekadarnya saja.

Ketika Jen Ang Siauw menyusup ke dalam hutan cemara, di sana dia lihat beberapa prajurit Kim sedang meronda. Mereka pasti tidak menyangka jika daerah terlarang itu akan didatangi seorang nona cantik.

Diam-diam Jen Ang Siauw bergerak ke sana. Tapi tiba- tiba terlihat cahaya berkelebat, tak lama seseorang muncul di depannya. Bukan main kagetnya Jen Ang Siauw ketika mengenali orang itu ternyata Wan-yen Hoo. Saat itu Wan- yen Hoo memegang lilin dan di tangan lain sebuah kipas. Sambil tersenyum ceriwis Wan-yen Hoo berkata.

"Oh, rupanya kau, nona Jen! Sungguh tepat pepatah yang mengatakan. "Jika memang jodoh mau ke mana?" kata Wan-yen Hoo sambil tertawa ceriwis.

Jen Ang Siauw diam saja. Tapi secara tiba-tiba dia membacokkan goloknya. Wan-yen Hoo buru-buru memadamkan lilinnya, lalu kipasnya dipakai menangkis golok si nona secara perlahan.

"Eh, nona, kenapa kau galak begini?" katanya. "Bukankah kita pernah bersahabat? Siang dan malam aku senantiasa merindukanmu."

Karena malu, dan gemas Jen Ang Siauw dengan kasar memaki Wan-yen Hoo.

"Hm! Siapa yang mau berteman denganmu?" kata nona Jen.

Dia pun menyerang pemuda Kim itu secara bertubi-tubi. Tetapi  serangannya  bisa  dipatahkan  oleh  kipasnya  yang lihay. Sambil tertawa dan mengolok-olok nona Jen dia berkata.

"Hai, nona! Ayahmu sudah menerima lamaranku. Jika kau membunuh aku berarti kau membunuh suamimu sendiri, kenapa kau tega sekali? Lebih baik kau ikut aku pulang!" kata Wan-yen Hoo sambil tersenyum.

Saat menangkis serangan nona Jen, tangannya mencoba menangkap si nona. Bukan main gusarnya nona Jen. Tapi karena sadar dia bukan tandingan Wan-yen Hoo yang  lihay, dia membalikkan tubuhnya untuk lari. Ketika itu peronda yang mendengar suara keributan itu, segera membentak.

"Siapa itu?"

Wan-yen Hoo gusar segera membentak.

"Aku! Tidak ada apa-apa, lekas kalian kembali ke tempatmu!" kata Wan-yen Hoo.

Walau peronda itu mendengar ada suara dua orang. Tapi karena Wan-yen Hoo telah memperingatinya, maka dengan terpaksa mereka pergi.

Saat itu di kegelapan malam Jen Ang Siauw telah menyelinap kian ke mari di tengah hutan cemara. Tiba-tiba di depan dia terlihat ada cahaya kuning keemasan. Dari sana sebuah bangunan aneh laksana sebuah payung raksasa kelihatan berwarna emas yang muncul di depannya dan bertengger ke atas. Ternyata itu sebuah bangunan yang diberi nama "Hong-kiong-ih", salah satu istana di Thian- tam.

Bentuk Hong-kiong-ih itu bundar dan atapnya tanpa penyangga, gentingnya terdiri dari kaca berwarna biru langit, mirip dengan sebuah payung biru beratap emas. Karena Hong-kong-ih tempat terlarang bagi umum di Istana Terlarang, para penjaga tidak boleh memasuki tempat itu. Hal ini tentu tidak diketahui oleh Jen Ang Siauw. Maka itu dia heran melihat bentuk bangunan yang aneh itu.

"Di sini ada orangnya atau tidak?" pikir nona Jen.

Seketika dia ragu untuk bersembunyi di bangunan aneh itu. Apalagi ketika terdengar suara Wan-yen Hoo berkata padanya.

"Jangat takut, nona, di sini kita takkan diganggu orang lain." kata Wan-yen Hoo.

Suara pemuda itu seperti dekat di telinganya, maka tak heran jika nona itu kaget bukan kepalang. Dia berbalik dan langsung membacok, tapi serangan itu tak mengenai sasaran. Ternyata Wan-yen Hoo tak ada di sisinya, tapi ada di balik tembok "Hwee-im-pie" atau tembok tembus suara. Jika orang bicara di balik tembok itu, suaranya akan tembus ke bagian lain. Tapi nona Jen tak tahu hal ini, demikian juga dengan pemuda Kim itu, juga dia tak tahu keberadaan nona Jen itu di mana. Saat nona Jen sedang kebingungan, tiba-tiba Wan-yen Hoo bicara lagi.

"Aku di sini, Nona!" katanya.

Tak lama kelihatan Wan-yen Hoo berjalan sambil mengipasi dirinya menghampiri nona Jen Ang Siauw. Di belakang nona Jen terdapat dinding, sedang dari depan dia pemuda itu mendatangi. Dengan demikian nona Jen terdesak karena tak ada jalan lain. Dia kaget karena merasa terjebak.

"Tempat ini paling baik untuk pertemuan rahasia, kebetulan kau datang sendiri, ini pertanda kita memang ditakdirkan    berjodoh,"    kata    Wan-yen    Hoo.    "Untuk berkelahi sudah tentu kau tak akan bisa mengalahkan aku, lebih baik kita bicara baik-baik saja."

Jen Ang Siauw tidak menjawab malah memutar sepasang goloknya menyerang secara membabi-buta.

"Sekalipun harus mati aku akan adu jiwa denganmu!" kata Jen Ang Siauw.

"Hei, kau mau membunuh suamimu? Jangan! Aku sayang padamu!" kata Wan-yen Hoo. Sedangkan kipasnya bergerak dengan cepat dan...

"Traang!"

Salah satu golok Jen Ang Siauw terlepas dari tangannya. "Benarkan kataku? Apa kau masih ingin berkelahi terus?"

kata Wan-yen Hoo mengejek. "Sudah, ayo kucium kau!"

Saat terdesak dan nona Jen akan bunuh diri dengan cara membenturkan kepalanya ke dinding, tiba-tiba ada suara seseorang yang sudah di kenalnya berseru.

"Jangan takut, nona Jen, aku datang membantumu!" kata suara orang itu.

Saat Wan-yen Hoo merasa ada sambaran angin dari belakangnya, dia memutarkan kipasnya untuk menotok pergelangan tangan orang itu. Ternyata orang itu bersenjata Giok-siauw atau seruling kemala dan langsung membalas menotok ke punggung lawan dengan ilmu Thian-cu-hiat. Namun, Wan-yen Hoo memutarkan kipasnya untuk menangkis, sehingga terjadi benturan senjata mereka tak terhindarkan.

"Trang!"

Wan-yen Hoo berhasil menjatuhkan senjata lawan. Tapi tiba-tiba dia merasakan punggungnya panas  seolah terbakar. Merasa punggungnya sakit, bukan main kagetnya Wan-yen Hoo. Dia pun langsung melompat mundur beberapa langkah.

"Siapa kau?" bentak Wan-yen Hoo.

Tapi orang itu terus mengikuti ke mana Wan-yen Hoo bergerak, tak lama senjatanya kembali menotok Wan-yen Hoo.

"Hm, walau kau tidak kenal aku, tapi seharusnya kau tahu senjataku!" kata Lie Tiong Chu.

Ilmu Thian-cu-hiat memang kebanggaan Bu-lim- thiankiauw, yakni Keng-sin-pit-hoat berdasarkan gambar Hiat-totong-jin pusaka Kerajaan Song yang dicuri bangsa Kim. Selama ini benda itu tersimpan di keraton Kerajaan Kim. Untuk mempelajari ilmu tiam-hiat yang ada dalam lukisan di patung tembaga itu, Wan-yen Tiang Cie pernah mendirikan sebuah "lembaga penelitian khusus" dia mengundang semua ahli ilmu silat dari negeri Kim untuk menyelidikinya. Ternyata cara memecakan arti lukisan itu menghasilkan  halaman lukisan. Hanya Bu-lim-thian- kiauw dan Wan-yen Tiang Cie yang pernah membaca tulisan itu secara lengkap. Tetapi tentang kesimpulan yang mereka peroleh, ternyata berbeda-beda, walau  perbedaan itu tidak banyak. Sedang ilmu totok poankoan-pit maupun dengan seruling dari Lie Tiong Chu, dibanding dengan ilmu totok kipas Wan-yen Hoo, bisa dikatakan berasal dari satu sumber. Tetapi Wan-yen Tiang Cie maupun anaknya jerih kepada Bu-lim-thian-kiauw. Tak heran jika Wan-yen Hoo kaget saat melihat senjata Lie Tiong Chu. Nona Jen segera memungut goloknya yang tadi terjatuh oleh lawan.

"Lie Toa-ko, kebetulan kau datang, tangkap bangsat ini!" kata nona Jen.

Lie Tiong Chu menggagalkan beberapa serangan Wan- yen Hoo, pemuda Kim ini lalu membentak. "Hm! Rupanya kau murid Bu-lim-thian-kiauw, yang bergabung dengan negara musuh bangsa Kim. Kami memang sedang mencari dia untuk ditangkap! Hm! Jangan harap kau bisa lolos dari tanganku!" kata Wan-yen Hoo.

"Apa susahnya jika kau ingin mencari Guruku," kata Lie Tiong Chu. "Tak lama lagi dia akan sampai di sini."

Tujuan Wan-yen Hoo berkata begitu, dia ingin memancing dan mengetahui, benarkah Bu-lim-thian-kiauw ada di Tay-toh atau tidak? Mendengar tak lama lagi Bu-lim- thian-kiauw akan tiba, bukan main kagetnya Wan-yen Hoo.

Segera Lie Tiong Chu melakukan serangan berbahaya ke arah lawan. Tiba-tiba senjata serulingnya bergerak  membuat suatu lingkaran, lalu keempat jalan darah Wan- yen Hoo diserangnya.

"Jika bisa tangkap saja dia hidup-hidup!" teriak nona Jen.

Sesudah berkata dia langsung menerjang masuk untuk membantu. Saat itu golok nona Jen berkelebat cepat luar biasa.

Ketika itu Jen Ang Siauw berharap Wan-yen Hoo dijadikan sandera Dengan demikian mereka bisa bebas dari kepungan musuh dan kabur. Kata-kata nona Jen membuat Wan-yen Hoo sadar. Kini tahulah dia, Lie Tiong Chu cuma menggertaknya. Dia mengatakan Bu-lim-thian-kiauw datang hanya untuk mengelabuinya saja. Jika benar dia datang mana mungkin keduanya berusaha untuk menangkap dia.

AJdiimya dengan sekuat tenaga dia melayani kedua lawannya itu, nona Jen di tendang sedang kipasnya dia pakai untuk menangkis serangan Lie Tiong Chu. Melihat hal  itu,  nona  Jen  berkelit  dari  serangan  itu,  sedang   Lie Tiong Chu mendesak Wan-yen Hoo hingga mundur beberapa langkah.

"Kau mau lari ke mana bangsat?" bentak Lie Tiong Chu.

Ketika senjata pemuda she Lie ini menotok ke jalan darah lawan, Wan-yan Hoo buru-buru menangkis totokan itu dengan kipasnya, sehingga terdengar benturan senjata mereka.

Lie terus melakukan serangan dasyat, namun sayang Wan-yen Hoo bisa menangkis dengan kipasnya, sehingga sering terdengar suara beradunya kedua senjata mereka.

Suara beradu senjata mereka membuat Lie Tiong Chu heran karena mendengar dengung suara senjata lawan yang aneh. Tiba-tiba Wan-yen Hoo melompat jauh.

"Hm! Kau gertak aku, sekarang jangan harap kau bisa lolos!" kata Wan-yen Hoo.

Mereka bertarung di lantai bernama "Sam-im-ciok" di tangga "Hong-kiong-ih". Dengan demikian jika orang berteriak di batu pertama, maka akan menimbulkan suara kumandang yang aneh. Jika pada batu yang kedua dan ketiga, suara kumandang itu akan terdengar dua dan tiga kali. Itu terjadi karena gelombang suara itu memantul dari jarak yang tidak samamelalui "Hwe-im-pek" (dinding yang bisa berkumandang) yang bentuknya bundar. Rupanya hal ini tidak diketahui Lie Tiong Chu.

"Hm! Jika suara kumandang ini terdengar para peronda, mereka pasti akan tahu keberadaanku di sini," pikir Lie. "Ah, aku harus segera menangkap Wan-yen Hoo!"

Tak lama Wan-yen Hoo melompat ke atas sebuah altar batu putih yang tersusun tiga dan berbentuk bundar. Sedang Lie  Tiong  Chu  yang  tidak  tahu  altar  bundar  itu  altar sembahyang yang biasa digunakan oleh raja, tanpa berpikir panjang langsung mengejar lawannya

"Kau mau lari ke mana?" bentak Lie.

Namun, bersamaan dengan itu terdengar suara kumandang secara beruntun memekakkan telinga. Padahal tempat itu dianggap tempat suci, sekarang malah dipakai bertarung oleh kedua anak muda ini. Hal yang mengherankan dan belum pernah terjadi.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar