Beng Ciang Hong In Lok Jilid 49

 
Ucapan Wan Ceng Liong seolah akan menyampaikan khabar khusus, hingga Kok Siauw Hong agak kaget juga.

"Khabar apa itu?" kata Kok Siauw Hong.

"Tentang Seng Cap-si Kouw, kau ingat dia?" kata Wan Ceng Liong.

"Ya, kenapa dia?"

"Dulu semasa mudanya dia sahabat baik calon mertuamu Han Tay Hiong, apa kau juga tahu tentang itu?" kata Wan Ceng Liong.

"Yang aku ketahui dia musuh Han Tay Hiong!"  kata Kok Siauw Hong.

"Kau benar, karena tak bisa mendapatkan cinta dari mertuamu, naka timbullah rasa bencinya pada mertuamu," kata Wan Ceng Liong. "Dia racun istri Han Tay Hiong, tapi dia fitnah Beng Cit Nio sebagai orang yang meracuni istri Han Tay Hiong. Hal ini baru belum lama aku ketahui dari Thio Thay Thian. Aku dengar Han Tay Hiong sudah berhasil membalasdendam padanya!"

"Memang begitu ceritanya," kata Kok Siauw Hong. "Aku dengar saat mertuamu bertarung dengan Seng  Cap-si Kouw. tiba-tiba muncul Kiong Cauw Bun, benar begitu?" kata Wan Ceng Liong.

"Ya, tapi dengan munculnya Kiong Cauw Bun membuat pertarungan ke-duanya terhenti karena Kiong Cauw Bun mengusulkan agar Seng Cap-si Kouw mengakui kesalahannya dan memusnahkan ilmu silatnya!" kata Kok Siauw Hong.

"Apa kau tahu, di mana sekarang Iblis Perempuan itu berada?"

"Sayang, aku tidak tahu," jawab Kok Siauw Hong. "Rupanya Kiong Cauw Bun punya rencana, sebab

sesudah Seng Cap-si Kouw kehilangan ilmu silatnya, dia dibawa ke Hek-hong-to oleh anak buah Kiong Cauw Bun," kata Wan Ceng Liong.

"Untuk apa dia bawa perempuan jahat itu?" kata Kok Siauw Hong.

"Dia ahli racun nomor satu di dunia Lang-ouw, ketika itu Kiong Cauw Bun belum menjadi konco bangsa Mongol. Mungkin karena tidak yakin bisa merebut ilmu racun dari tangan See-bun Souw Ya, dia ingin belajar ilmu racun dari Iblis Perempuan itu! Maka itu Seng Cap-si Kouw diserahkan pada pengawasan anak buahnya. Tapi sekarang aku dengar Iblis Perempuan itu sudah kabur dari Hek-hong- to! Apa kau belum mendengar khabar itu?" kata Wan Ceng Liong. "Apa? Bukankah ilmu silat dia sudah musnah? Bagaimana dia bisa kabur dari sana?" kata Kok Siauw Hong.

"Dia berhasil mencuri obat mujarab milik Kiong Cauw Bun, hingga lukanya sembuh. Kebetulan saat itu Kiong Cauw Bun tidak ada di pulau. Dengan demikian tak ada orang yang bisa menghalangi dia kabur! Anak buah Kiong Cauw Bun hanpir seluruhnya dibunuhnya. Hanya yang membawa dia ke pulau itu cuma luka parah." kata Wan Ceng Liong.

Mendengar keterangan itu Kok Siauw Hong jadi kuatir. Jika dia kabur pasti dia mencari Han Tay Hiong untuk balasdendam.

"Khabar ini harus segera aku sampaikan pada Paman Han," pikir Kok Siauw Hong.

Sesudah itu Wan Ceng Liong pamit pada Ong It Teng. "Apa kau tak mau bermalam dulu di tempatku?"

"Tidak, terima kasih. Aku akan mencari putriku dulu!" kata Wan Ceng Liong.

"Apa Wan To-cu akan ke Kim-kee-leng?" kata Siauw Hong.

"Ya, apa kau ada pesan?"

"Benar, katakan pada Nona Ci, orang yang dia cari jejaknya belum kuketahui!" kata Kok Siauw Hong.

"Siapa yang sedang dicari oleh Nona Ci?"

"Pendekar muda bernama Liong Sin," jawab Kok Siauw Hong.

"Baik, pesanmu akan kusampaikan," kata Wan Ceng Liong. "Ong Cee-cu, aku pamit!" "Baiklah," kata Ong It Teng.

Tak lama Kok Siauw Hong pamit pada Ong It Teng. "Kau berpesan pada Wan Ceng Liong, berarti kau tak

akan segera kembali ke Kim-kee-leng?" kata Ong It Teng.

"Ya, aku ingin segera menyampaikan pesan Wan Ceng Liong itu pada Paman Han," kata Kok Siauw Hong.

"Kau benar, tentang kaburnya iblis perempuan itu harus segera kau beritahu Han Tay Hiong," kata Ong It Teng. "Dengan demikian dia bisa waspada. Kau juga perhatikan tentang Liong Sin!"

"Baik," kata Kok Siauw Hong.

Dalam perjalanan meninggalkan Thay-ouw Kok Siauw Hong masih menyaksikan sisa-sisa pertempuran. Banyak mayat yang belum diselamatkan bahkan banyak yang terbawa arus danau. Entah di mana "Liong Sin"? Dia anggap pemuda itu sekalipun cacat wajahnya tapi baik hatinya.

"Dia mirip dengan Seng Liong Sen, kasihan Giok Hian!" pikir Kok Siauw Hong.

Kemudian pemuda itu terkenang pada Han Pwee Eng. "Jika si iblis bebas, dia akan mencari Paman Han. Bagaimana jika di tengah jalan dia bertemu dengan Pwee Eng? Ah, tak mungkin. masakan di dunia seluas ini bisa kejadian seperti itu?" pikir Kok Siauw Hong. "Tapi yang lebih mencemaskan, Pwee Eng belum pernah ke daerah suku Biauw, aku yakin dia belum tentu menemukan tempat ayahnya."

Ketika itu Han Tay Hiong masih istirahat di daerah suku Biauw   ditemani   oleh   Thio   Thay   Thian.   Dia   sedang mengobati luka-lukanya sehabis bertarung dengan Seng Cap-si Kouw.

Sudah setahun Kok Siauw Hong berbaikan lagi dengan Han Pwee Eng, walau mereka belum pernah berkumpul. Sekarang dia akan menyampaikan khabar pada Han Tay Hong. maka itu dia berharap bisa bertemu dengan Han Pwee Eng, kekasihnya itu. Maka itu dengan sangat tergesa- gesa Kok Siauw Hong melakukan perjalanan akan mencari calon mertuanya.

Pada suatu hari Kok Siauw Hong sampai di daerah Siamsay. daerah suku Biauw yang berada di ujung barat- laut. Jalan menuju ke sana harus melewati Bu-kang-kwan dan Peng-tiankwan.

Di Peng-tian-kwan tinggal keluarga Ciauw, kakak beradik Ciauw Siang Hoa dan Ciauw Siang Yauw. Karena pernah ke Thay-ouw, mereka pun kenal dengan Kok Siauw Hong. Sedangkan calon istri Ciauw Siang Hoa, Yo Kiat Bwee alias Tik Bwee, bekas pelayan Seng Cap-si Kouw, dia sahabat baik Han Pwee Eng.

Kebetulan Kok Siauw Hong lewat Peng-tian-kwan. Maka itu dia akan singgah dulu di rumah Ciauw Siang Hoa. Rumah keluarga Ciauw berada dekat kaki gunung. Ketika Kok Siauw Hong sedang berjalan saat itu jarang ada orang yang lalulalang. Tapi ketika Kok Siauw Hong sampai di rumah keluaga itu, pintu rumahnya tertutup rapat. Bahkan kelihatan seolah sudah ditinggalkan lama. Di sana- sini kelihatan kotor penuh sarang laba-laba. Kok Siauw Hong heran.

"Ke mana mereka? Apa mereka sedang berpergian atau mereka sudah pindah?" pikir pemuda ini.

Kok Siauw Hong penasaran, dia mengetuk pintu. "Siapa?" jawab suara dari dalam rumah. Hati Kok Siauw Hong lega juga. Ternyata seorang gadis suku Biauw membukakan pintu. Kok Siauw Hong heran. Untung nona Biauw itu pandai berbahasa Han hingga bisa diajak bicara.

"Tuan mencari siapa? Apa Tuan mencari majikanku?" kata gadis Biauw itu. Mendengar pertanyaan itu Kok Siauw Hong mengangguk, sekarang dia yakin barangkali budak nona ini budak keluarga Ciauw. Sudah lumrah di daerah itu banyak orang Han yang memakai orang suku Biauw sebagai pelayan mereka.

"Aku mencari majikan mudamu, kau siapa?" kata Kok Siauw Hong.

"Aku pelayan Nona Ciauw, namaku Say Hoa!" jawab gadis itu. "Tuan siapa?"

"Aku orang she Kok, kenalan kedua majikan mudamu itu," kata Kok Siauw Hong.

"Silakan masuk!" kata si nona.

Kok Siauw Hong masuk, sampai di dalam keadaannya sepisepi saja.

"Apa majikanmu sedang tak ada di rumah?" kata Kok Siauw Hong.

"Benar, semua sedang pergi ke Bu-kang-kwan ke tempat keluarga Bu," jawab si nona.

"Oh, sayang kedatanganku tidak kebetulan. Lain kali saja aku singgah lagi," kata Siauw Hong akan segera pergi. "Barangkali enam bulan lagi aku akan ke sini lagi!"

"Sabar Tuan, akan kupanggil dan kuberi tahu mereka!

Nona Yo pasti akan segera pulang!" kata pelayan itu. "Jangan merepotkan!" kata Kok Siauw Hong. "Tidak! Ini pesan Nona Yo sendiri, dia bilang jika ada tamu aku harus memberitahu mereka!" kata Say Hoa. "Mungkin kau tahu adat Nona Yo?"

"Aku tahu, tapi heran kok nona Yo bisa tahu akan kedatangan tamu? Apa kau ingat pernahkah ada seorang nona she Han ke mari?" kata Kok Siauw Hong.

"Nona Han? Ah, aku ingat, beberapa hari yang lalu memang datang seorang nona cantik. Mungkin dia yang

kau

maksud?" kata Say Hoa.

Kok Siauw Hong senang sekali.

"Kalau begitu, baiklah aku tunggu," katanya. "Tunggu sebentar," kata nona itu.

Dia pun masuk saat keluar lagi dia membawa sepoci teh dan makanan kecil untuk Kok Siauw Hong. lalu dia menuang teh ke sebuah cangkir yang dia suguhkan pada Kok Siauw Hong.

"Silakan diminum, Tuan," kata Say Hoa.

"Terima kasih," kata Kok Siauw Hong. "Kalau kau bisa silakan kau cari majikanmu!"

Ketika nona Biauw itu meninggalkannya, Kok Siauw Hong mengangkat cangkir air teh yang harum itu dan akan diminumnya. Tiba-tiba Kok Siauw Hong tak jadi minum,

lalu cangkir teh yang sudah diangkat itu dia letakan kembali di

atas meja. "Ah, hampir saja aku lupa!" tiba-tiba gadis Biauw itu berkata.

Dia mengambil sebuah ember air untuk menyirami salah satu pot bunga terletak di atas meja dekat jendela. Sudah menjadi kebiasaan di Tiongkok, keluarga orang mampu menggunakan pot bunga sebagai pajangan, tetapi jenis bunga anggrek hitam yang tumbuh di pot itu memang lain daripada yang lain.

Rasa curiga Kok Siauw Hong timbul. Dia merasa heran kenapa pelayan yang dia minta pergi memanggil majikannya itu masih memikirkan pekerjaan iseng seperti menyiram bunga segala? Tak lama terdengar pelayan itu berkata seperti pada dirinya sendiri.

"Bunga anggrek hitam ini diperoleh Majikan Tua kami dengan susah payah, setiap hari bunga ini harus aku sirami, jika tidak dengan cepat bunga ini akan layu. Nona Yo sangat suka pada bunga ini, sebelum pergi dia berpesan padaku agar aku menjaganya dengan teratur. Oh, silakan diminum tehnya, mengapa tidak diminum tehnya?"

Sesudah gadis Biauw itu pergi, Kok Siauw Hong tertawa sendiri, dia pikir dia tidak perlu terlalu curiga dengan sangat berlebihan. Tadi dia tidak jadi minum teh itu karena dia ingat pengalaman 'Liong Sin' yang pernah terjebak musuh ketika bermaksud berobat ke rumah tabib Ong di Souw-ciu. Hal itu karena sebelumnya dia tidak tahu kalau kediaman tabib sakti itu sudah dikuasai oleh musuh.

Meskipun gadis Biauw itu tampak bukan orang jahat, tapi tidak ada salahnya jika dia berhati-hati sedikit. Maka itu dia tetap tidak berani minum teh itu maupun makan makanan yang disuguhkan nona Biauw itu.

Kok Siauw Hong seorang penggemar bunga, karena iseng, dia dekati anggrek hitam yang disirami nona Biauw tadi. Dia lihat bunga itu sudah rontok dan hanya ada beberapa kelopak bunganya saja yang masih menempel. Tetapi bunga anggrek itu tampak indah sekali dan bau harumnya terasa memabukkan. Mau tak mau Kok Siauw Hong harus memuji bunga yang bagus itu. Di Pek-hoa-kok meski pun terdapat bermacam-macam bunga, tetapi belum pernah dia melihat di sana ada anggrek berwarna hitam jenis ini, pantas jika kata nona Biauw itu Nona Yo Kiat Bwee sangat menyukainya.

Ketika Kok Siauw Hong ingat pada Yo Kiat Bwee, dia jadi memikirkan nasib nona yang malang itu. Sejak kecil dia diculik orang, sesudah besar tertipu cintanya oleh Seng Liong Sen. Betapa pedih dan getir perasaannya. Sekarang dia telah menemukan pemuda yang benar-benar mencintainya, hal itu dia berharap dapat menghibur hatinya.

"Kejadian di dunia ini sering tidak terduga." pikir Kok Siauw Hong. "Seng Liong Sen telah mempermainkan Nona Yo, tapi akhirnya pemuda itu mati tak wajar! Entah aku tak tahu jika khabar itu kuberitahukan pada Tik Bwee. Apakah Tik Bwee akan merasa kasihan atau masih membencinya?"

Saat mengawasi bunga anggrek itu Kok Siauw Hong ingat pada Pek-hoa-kok dan dia terkenang kepada Ci Giok Hian. Tanpa terasa kepalanya tiba-tiba pening dan bayangan Ci Giok Hian terbayang di depannya. Bayangan itu membuat kepalanya semakin pening, lalu dia tidak ingat apa-apa lagi.....

Entah sudah berapa lama dia tak sadarkan diri? Dalam keadaan setengah sadar, tiba-tiba kepalanya terasa dingin segar seperti tersiram air, segera dia buka matanya. Saat itu Kok Siauw Hong melihat gadis Biauw itu berdiri di depannya sambil tersenyum manis. Ternyata gadis itu sedang mencipratkan air ke wajahnya. "Eehm! Rupanya kau? Mana majikanmu? Apa yang terjadi dengan diriku?" kata Kok Siauw Hong.

"Orang yang kau cari sudah ada di sini!" kata nona Biauw itu sambil tertawa.

Baru saja kata-kata nona Biauw itu selesai, terdengar suara dengusan yang menyeramkan.

"Kok Siauw Hong, bagaimana pun cerdiknya kau, tapi kau sekarang masuk ke dalam perangkapku!" kata orang itu.

Kok Siauw Hong kaget karena dia mengenali orang itu adalah Seng Cap-si Kouw. Semula dia khawatir Han Pwee Eng akan bertemu dengan Iblis Perempuan itu. Tidak terduga justru dia yang masuk perangkap Iblis Perempuan jahat itu. Kok Siauw Hong berniat melawan, tapi tubuhnya lemas bukan buatan.

"Kau tidur saja!" kata nona Biauw.

"Hm! Kok Siauw Hong," kata Seng Cap-si Kouw. "Kau beruntung bisa dilayani olehnya. Tahukah kau siapa dia? Hm! Dia adalah Sam Kiong-cu (Putri ketiga) kepala suku Biauw di Siam-say Barat!"

"Namaku Bong Say-hoa, aku pernah melihatmu di Siam- say Barat, mungkin waktu itu kau tak tahu siapa aku?" kata nona Biauw itu sambil tersenyum manis.

Setelah Seng Cap-si Kouw melarikan diri dari Hek-hong- to pertama-tama dia datang ke daerah Biauw di Siam-say Barat. Dia berusaha mencari Han Tay Hiong, sedang Tong- cu (Ketua) suku Biauw bernama Bong Tek Cie, adalah sahabat baik Seng Cap-si Kouw. Bong Say Hoa putri ketua Biauw itu menjadi anak angkat Seng Cap-si Kouw.

Saat Bong Tek Cie membantu Seng Cap-si Kouw memusuhi  kaum  persilatan  bangsa  Han,  dia  mendapat omelan dari Cong Tong-cu (Pemimpin Besar bangsa Biauw). Maka itu dia tidak berani membantu lagi si Iblis Perempuan itu. Saat dia datang lagi, dia hanya menyambutnya sebagai tamu dan sahabat lama saja.

Ternyata sifat Bong Say Hoa cocok dengan Seng Cap-si Kouw. Malah Seng Cap-si Kouw telah berjanji akan mengajari dia ilmu silat, dengan sengaja dia menguraikan tentang keindahan dan kemewahan di luar daerah Biauw. Dengan demikian Bong Say Hoa berhasil dia bujuk dan dia kabur bersama Seng Cap-si Kouw ke daerah Tiong-goan.

Kepergian Seng Cap-si Kouw hendak mencari tiga  orang, yaitu Han Tay Hiong, Beng Cit Nio dan Yo Kiat Bwee alias Tik Bwee. Dia mencari Han Tay Hiong dan Beng Cit Nio karena hendak membalas dendam, sedangkan Tik Bwee katanya orang yang paling dia benci! Dia benci pada bekas pelayannya itu karena dengan licik telah meracuni keponakannya, yaitu Seng Liong Sen hingga pemuda itu tak bisa menjalankan kewajiban sebagai suami atau tidak bisa berhubungan badan dengan istrinya. Sekarang Seng Cap-si Kouw pun sudah tahu, bahwa Kitab Racun milik keluarga ibu Kong-sun Po berada di tangan Ciok Leng. Sedangkan Ciok Leng sendiri ayah kandung calon suami Kiat Bwee atau ayah Ciauw Siang Hoa! Semula Yo Kiat Bwee tinggal di rumah keluarga Ciauw, tapi untuk menghindari musuh, keluarga Ciauw sudah lama pindah rumah. Sedang musuh besar keluarga Ciauw ialah Kiauw Sek Kiang.

Ketika Seng Cap-si Kouw dan Bong Say Hoa tiba di rumah keluarga Ciauw, rumah itu sudah kosong. Yo Kiat Bwee entah sudah pindah ke mana? Mereka kemudian tinggal sementara di rumah itu sambil menunggu musuhnya itu  pulang.  Tidak  diduga  keluarga  Ciauw  khususnya  Yo Kiat Bwee belum pulang juga. Mendadak muncul Kok Siauw Hong yang terperangkap oleh mereka.

Saat Kok Siauw Hong tiba Seng Cap-si Kouw tak ada di tempat. Dia sedang keluar rumah. Dengan cerdik Bong Say Hoa berhasil mermbius Kok Siauw Hong sehingga pemuda itu tidak berdaya. Lalu Bong Say Hoa mencari Seng Cap-si Kouw dan melaporkan hasil kerjanya itu. Saat itu Kok Siauw Hong kehilangan tenaganya dia tak mampu bergerak sedikitpun.

Terpaksa dia berbaring saja. Sambil tertawa si Iblis Perempuan berkata pada Kok Siauw Hong.

"Siauw Hong, kau telah menghirup bau harumnya 'Cian- jitcui' *) ilmu silatmu sudah punah, percuma saja kau hendak melawan! Lebih baik kau turuti apa yang akan kukatakan padamu." kata Seng Cap-si Kouw sambil tertawa terkekeh.

*). Obat bius bunga anggrek hitam yang mampu membuat mabuk seribu hari.

Kok Siauw Hong sadar sekalipun ilmu silatnya tidak punah, dia bukan tandingan si Iblis Perempuan itu. Maka itu dia geram sekali.

"Aku terperangkap muslihatmu, lebih baik aku mati saja! Kau jangan berharap aku mau menyerah padamu!" kata Kok Siauw Hong.

"Kau calon menantu sahabat baikku, mana tega aku membunuhmu?" kata Seng Cap-si Kouw sambil tertawa. "Tapi, jika kau tidak tunduk padaku, terpaksa aku akan membuatmu mati tidak hidup pun tidak!"

Sesudah itu si Iblis Perempuan menoleh ke arah Say Hoa. "Anak manis, pergilah kau urus bunga anggrek itu, jangan ladeni dia!" kata Seng Cap-si Kouw. "Ya, Bu! Dia berhasil kita tangkap karena jasa bunga anggrek hitam itu!" kata Bong Say Hoa. "Kok Siauw-ya kau jangan marah, kami suku Biauw senang menerima tamu. Jika tidak dengan cara demikian, mana mau kau tinggal di tempat ini!"

Bunga anggrek hitam itu sejenis bunga aneh khusus tumbuh di daerah suku Biauw, air yang dipakai menyiram bunga anggrek itu pun air murni yang mengandung belerang dan bunga itu akan berbau aneh. Maka itu diberi nama 'anggrek pembuat mabuk seribu hari'. Jika ada orang yang mencium bau bunga itu dia akan mabuk dan tak sadarkan diri.

Kok Siauw Hong sengaja memejamkan matanya dan berbaring menghadap ke arah dinding. Dia tidak mengacuhkan ucapan nona Biauw itu. Tentu saja hal itu membuat si Iblis Perempuan dongkol, dia balikkan tubuh Kok Siauw Hong agar menghadap pada mereka.

"Jika kau tidak mau menjawab semua pertanyaanku, itu artinya kau mencari susah sendiri!" kata Seng Cap-si Kouw mengancam.

Dengan gemas Seng Cap-si Kouw mengusap kelopak mata Kok Siauw Hong yang dipejamkan. Tak lama Kok Siauw Hong merasa matanya perih bukan main. Tanpa bisa ditahan air mata pemuda itu bercucuran.

"Bunuh saja aku!" teriak Kok Siauw Hong kesal.

"Sudah kubilang aku tidak akan membunuhmu!" kata Seng Cap-si Kouw. "Tak mudah kami menjebakmu, kenapa aku harus membunuhmu begitu mudah. Katakan padaku di mana Han Tay Hiong berada? Jika kau mau mengatakannya kau akan kuberi obat penawar untuk matamu!" "Kau Iblis yang kejam bagaikan seekor ular!" kata Kok Siauw Hong. "Melihatmu saja Paman Han muak sekali! Kau perempuan tak tahu malu, kau menginginkan Paman Han. Hm! Memalukan!"

Mendengar ejekan itu bukan main gusarnya Seng Cap-si Kouw sampai matanya mendelik saking gusarnya.

"Hm! Sengaja kau pancing kemarahanku agar aku membunuhmu! Aku tidak akan tertipu oleh akal busukmu itu. Malah kau akan kusiksa secara perlahan-lahan, nanti kau tahu rasa! Jika kau tahu bahaya, sebaiknya kau katakan di mana Han Tay Hiong dan perempuan she Beng itu berada?" kata Seng Cap-si Kouw.

"Kau Iblis Perempuan hina dan jahat!" jawab Kok Siauw Hong. "Aku tidak tahu Beng Cit Nio ada di mana, andaikan aku tahu pun, tak akan kuberitahu kau!"

"Sekarang katakan di mana budak busuk bernama Tik Bwee itu? Apa kau juga tahu di mana keponakanku! Tentu kau tahu, bukan?"

"Ya, memang aku tahu di mana keponakanmu itu berada, cuma sayang siapapun tidak akan mampu menemukannya!" kata Kok Siauw Hong sambil tertawa sinis.

"Kenapa?" tanya Seng Cap-si Kouw penasaran.

"Jika kau ingin mencarinya, susul saja dia di neraka!" kata Kok Siauw Hong.

"Apa kau bilang? Seng Liong Sen sudah meninggal? Kau yang membunuhnya?" kata Seng Cap-si Kouw geram.

"Dia orang yang kukagumi, tapi sayang aku tak bisa menolongi dia!" kata Kok Siauw Hong. "Aneh, bagaimana kau bisa kagum padanya? Jika demikian katakan terus-terang, siapa pembunuh keponakanku itu? Apa Tik Bwee?"

"Kau terlalu bodoh menilai orang dengan ukuran sifatmu yang busuk!" kata Kok Siauw Hong. "Pendapat seorang pengecut sepertimu dipakai menilai seorang pendekar!"

"Hm! Kau kira kau seorang pendekar?" ejek Cap-si Kouw.

"Sekalipun aku bukan seorang pendekar, tapi aku tahu membedakan yang jahat dan yang baik!" kata Kok Siauw Hong sengit. "Dengar baik-baik, Nona Yo bukan perempuan jahat sepertimu! Masalah keponakanmu, karena dia yang memulai maka jika Nona Yo membalas perbuatan keponakanmu itu aku kira wajar saja! Tetapi dia tidak akan tega membunuh keponakanmu itu!"

"Kau bilang kau kagum pada keponakanku, tapi  sekarang kau ejek dia!" kata Seng Cap-si Kouw.

"Benar harus dibilang benar salah harus dikatakan salah! Semua yang kuucapkan itu kenyataan semuanya!" kata Kok Siauw Hong.

"Kau jangan banyak bicara," kata Seng Cap-si Kouw, "katakan saja siapa yang membunuh dia?"

"Orang itu bernama Wan-yen Hoo! Apa yang bisa kau lakukan?" kata Kok Siauw Hong mengejek.

"Apa katamu? Dia dibunuh oleh Wan-yen Hoo?!" si Iblis Perempuan kaget bukan kepalang.

"Benar, pembunuhnya Wan-yen Hoo!" jawab Kok Siauw Hong tegas. "Oleh karena itu aku kagum padanya. Bicara terus-terang, aku pernah membenci keponakanmu itu, tapi ketika melihat kegagahannya melawan musuh dan  pantang menyerah, hal ini membuat aku mau tak mau harus mengaguminya. Hm, keponakanmu jauh lebih baik dibanding denganmu! Kau tidak bisa dibandingkan dengannya. Apa kau mau menuntut balas pada Wan-yen Hoo?"

Kelihatan si Iblis Perempuan sangsi.

"Aku kenal sifat licik keponakanku, saat keadaan kritis tidak mungkin dia tak menakluk pada lawan. Tetapi aku juga tahu Wan-yen Hoo seorang yang keji dan licik! Jika  dia tak bisa membujuk keponakanku, tidak mustahil dia akan membunuh keponakanku itu!" pikir Seng Cap-si Kouw. "Sebaiknya masalah ini akan kuselidiki dulu!"

Melihat si Iblis Perempuan itu sangsi, Kok Siauw Hong mengejeknya.

"Hai, akal busuk apa yang sedang kau rencanakan? Jika kau tidak berani pada Wan-yen Hoo untuk apa kau tanyakan soal keponakanmu itu?" kata Kok Siauw Hong.

"Membalas atau tidak itu urusanku," kata Seng Cap-si Kouw. "Tapi jika benar dia mati seperti ceritamu, kaupun tidak berguna lagi bagiku."

Sesudah itu Seng Cap-si Kouw menyentil dengan jari tangannya. Tak lama berhamburan obat bubuk yang menaburi tubuh Kok Siauw Hong yang tidak berdaya itu. Ternyata sejak tadi Bong Say Hoa masih mendengarkan pembicaraan Seng Cap-si Kouw di luar, ketika si Iblis Perempuan menaburkan obat. Bong Say Hoa berteriak. Dia coba mencegah Seng Cap-si Kouw berbuat begitu. Sayang obat itu sudah telanjur tertabur di tubuh Kok Siauw Hong.

"Anakku, aku sudah berjanji padamu, mana boleh aku membunuh  dia?  Tapi  dia  telah  mencaciku,  aku  harus memberi sedikit hukuman kepadanya. Kau jangan meminta ampun untuknya. Mari kita keluar saja."

Terpaksa Bong Say Hoa ikut Seng Cap-si Kouw keluar.

Seng Cap-si Kouw menutup pintu kamar itu sambil berkata pada Kok Siauw Hong,

"Sekarang kau boleh rasakan!" kata Seng Cap-si Kouw.

Tak lama Kok Siauw Hong merasakan seluruh tubuhnya gatal seperti digigit ribuan semut. Begitu sakitnya hingga terasa masuk ke tulang sumsum. Sakitnya sudah tak terasa tapi gatalnya bukan main. Tak hentinya Kok Siauw Hong menggaruk seluruh tubuhnya. Tetapi semakin digaruk semakin terasa gatalnya. Akhirnya kulit tubuhnya mulai lecet dan dagingnya berdarah-darah.

Saat itu Kok Siauw Hong benar-benar tersiksa. Sedang pikirannya kacau sekali. Keadaan pemuda ini serba salah, dia merasakan geli dan gatal bukan kepalang. Begitu lelahnya Kok Siauw Hong hingga untuk menggaruk tubuhnya saja dia sudah tak bisa.

Ketika keadaannya benar-benar tersiksa dan hampir pingsan, tiba-tiba Kok Siauw Hong merasakan tubuhnya nyaman. Sekarang rasa gatal itu mulai hilang. Sesudah otaknya jernih kembali dia lihat Bong Say Hoa berdiri di depannya. Nona itu sedang mengobati tubuhnya dengan obat entah obat apa? Ternyata pakaian pemuda ini sudah dilepas dari tubuhnya oleh Bong Say Hoa. Melihat pemuda itu mengawasinya, nona Biauw itu berkata halus.

"Bagaimana, apa sudah enakan tubuhmu?" kata si nona.

Kok Siauw Hong tidak menjawab pertanyaan itu. Dia jengkel karena nona manis itu membantu si Iblis Perempuan berbuat jahat. Ternyata obat itu manjur sekali, sekarang  rasa  gatalnya  sudah  hampir  hilang  seluruhnya. Kok Siauw Hong yang kesal tak mengucapkan terima kasih pada nona Biauw itu.

"Aku tahu kau benci kepadaku," kata si nona. "Sungguh aku tidak tahu kalau kau akan disiksa begini."

"Hm! Kau datang atas perintah Iblis Perempuan itu agar kau mendekatiku, bukan?" ejek Kok Siauw Hong. "Dasar perempuan keji, kalian jangan main sandiwara! Apa sebenarnya maumu?"

Tiba-tiba Bong Say Hoa menangis.

"Dengan tidak berpikir takut dimarahi oleh Suhu, aku mengobatimu, tetapi maksud baikku kau ejek begitu keji! Maafkan aku bersalah padamu, apa kau tidak bisa memaafkan kesalahanku?" kata Bong Say Hoa.

Melihat nona Biauw itu tidak berpura-pura baik, akhirnya pemuda itu jadi ragu-ragu.

"Jika bukan sedang berpura-pura, bagaimana Iblis itu bisa mengizinkan kau datang ke kamar ini?" kata Siauw Hong.

"Suhu pergi, aku ke sini di luar tahu Suhu," kata Bong Say Hoa sambil menyeka air matanya.

"Kau tidak takut ketahuan oleh gurumu?" kata pemuda itu.

Wajah nona itu berubah merah.

"Aku telah menyusahkanmu, sekalipun aku dihukum aku tidak menyesal!" kata si nona.

"Jika kau bukan orang jahat, mengapa kau mau diperalat oleh iblis perempuan itu?"

"Suhu telah menyiksamu, pantas jika kau mencaci dia! Tetapi   dia   baik   pada   Ayahku.   Ketika   daerah   Biauw diserang penyakit menular, berkat bantuan Suhu penyakit itu bisa dimusnahkan!" kata Bong Say Hoa. "Jiwa kami sekeluarga, dialah yang menolongnya. Lalu kuanggap dia sebagai ibu angkatku. Tentang permusuhanmu dengan Ibu angkatku, aku tidak tahu-menahu. Aku hanya menjalankan perintahnya. Dia berpesan jika ada orang asing mencarinya, aku harus membius tamu itu hingga pingsan. Jika aku tahu kau akan disiksa, itu tidak akan kulakukan!"

"Aku senang ternyata kau sangat baik," kata Kok Siauw Hong. "Harus kau sadari, betapa kejamnya Seng Cap-si Kouw itu!"

"Kami Ayah dan aku hutang budi kepadanya, oleh karena itu, sebelumnya kuanggap dia itu orang baik."

"Apa yang dilakukannya atas diri kalian itu cuma untuk memperalat kalian menghadapi orang-orang baik dari bangsa Han." kata Kok Siauw Hong.

"Dulu dia menyuruh kami membantu menghadapi seorang kakek she Han, yaitu calon mertuamu itu, bukan? Sesudah kejadian itu, Cong Tong-cu kami mengutus seorang she Ciok untuk memberitahu kami tentang kejahatan ibu angkatku itu. Waktu itu aku tidak percaya, tapi sekarang baru aku percaya." kata Bong Say Hoa.

"Kenapa kau baru percaya?" tanya Kok Siauw Hong. "Kaulah yang mengatakan kejahatannya tadi,"jawab

nona itu.

Kok Siauw Hong heran bagaimana gadis yang baru dia kenal mempercayai kata-katanya? Tapi Kok Siauw Hong tidak menanyakannya.

"Mengapa kau dimusuhinya? Oh, apa barangkali karena dia bermusuhan dengan mertuamu, lalu dia juga membencimu?" kata nona itu. "Mungkin begitu! Dia meracuni mertua perempuanku!" kata Kok Siauw Hong.

"Kenapa dia meracuni mertua perempuanmu?" tanya Bong Say Hoa.

Tampak Kok Siauw Hong enggan menjelaskan kejadian itu. Sambil tertawa nona itu berkata lagi.

"Aku tahu, mungkin soal cinta! Tapi di mana isterimu?" kata nona Say Hoa.

"Terus-terang kami belum menikah, tapi kedatanganku ini justru hendak mencari bakal istriku itu, sebab aku kuatir dia akan kepergok oleh ibu angkatmu!"

"Eh, kau seorang yang berbudi dan setia. Tentu nona Han itu sangat cantik, bukan?"

"Cantik atau tidak seseorang tidak perlu dinilai dari keadaan fisiknya. Barangkali benar calon istriku itu cantik, tapi jiwanya lebih baik lagi."

Mendengar ucapan Kok Siauw Hong, tiba-tiba wajah Bong Say Hoa berubah merah dan kedua tangannya gemetar sehingga botol obat yang dipegangnya terjatuh. Tapi untung tidak pecah.,

"Sungguh beruntung nona Han mempunyai seorang suami yang demikian cinta padanya sepertimu," kata Bong Say Hoa sambil menjemput botolnya yang tadi jatuh.

Saat si nona akan bicara lagi, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki sedang mendatangi. Nona Biauw itu kaget.

"Oh, Ibu angkat sudah pulang. Eh, dia membawa seorang kawannya!" kata si nona. "Biar aku keluar, tapi kau pura-pura belum sadar, supaya tidak ketahuan oleh Ibu angkatku!" Segera Bong Say Hoa berjalan keluar dari kamar itu, tak lama suara langkah kaki dua orang itu sudah sampai di depan pintu.

Kok Siauw Hong tahu sifat Seng Cap-si Kouw yang tidak pernah punya teman baik di kalangan Kang-ouw. Jika dia membawa seseorang Kok Siauw Hong heran.

"Kenapa dia membawa orang, dengan demikian identitasnya diketahui orang lain. Pasti orang itu hubungannya luar biasa dengan si Iblis Permpuan ini?" pikir Kok Siauw Hong.

-o~DewiKZ~Aditya~aaa~o-

Dikisahkan keadaan Seng Liong Sen, karena dia tidak bisa berenang, sesudah mengadu napas di dalam air dan dia berhasil menenggelamkan dua bajak laut, akhirnya Seng Liong Sen kehabisan napas. Untung tubuhnya berhasil terdampar gelombang dan pingsan.

Ketika Seng Liong Sen sadar dari pingsannya, dia tidak tahu sudah berapa lama dia pingsan. Dia mulai mencoba membuka matanya, kiranya dia sekarang ada di atas sebuah perahu kecil.

Saat matanya melirik mencoba mengawasi, di samping dia masih duduk dua orang, salah seorang sedang menatap ke arahnya sambil tersenyum. Bukan main kagetnya Seng Liong Sen saat dia mengenali siapa orang itu? Ternyata dia Uh-bun Tiong yang pernah bergaul lama dengannya.

"Rupanya kau sudah sadar, Saudara Liong," kata Uh- bun Tiong sambil tersenyum manis. "Pasti kau tidak mengira aku bisa menyelamatkan kau, bukan ?"

Bukan main kesal hati Seng Liong Sen yang menganggap nasibnya sedang sial, karena untuk kedua kalinya dia jatuh ke tangan orang ini. Terpaksa dia berpura-pura gembira dan mengucapkan terima kasih.

"Terima kasih, sedikitpun aku tidak mengira kau bisa menyelamatkan aku!" kata Seng Liong Sen.

"Kita ini sahabat yang pernah sependeritaan, kau pernah membantuku, mana bisa aku tinggal diam tanpa menolongimu," kata Uh-bun Tiong.

"Dari mana kau tahu ada malapetaka yang menimpa diriku?" tanya Seng Liong Sen sambil tersenyum.

"Kebetulan saja," kata Uh-bun Tiong. "Aku memang mengetahui kau berada di Thay-ouw, ketika angkatan laut kerajaan Song memasuki Thay-ouw, perahu ini ikut memasuki perairan itu. Baiklah sekarang kita bicara terbuka saja, aku kira kau sudah bertemu dengan It Beng To-jin dan Pek Hweshio di tempat Ong It Teng, bukan? Sekarang pasti kau sudah mengetahui asal-usulku dari mereka, bukan?"

"Walaupun aku sudah tahu, tapi sama sekali aku tidak ber maksud jahat kepadamu." kata Seng Liong Sen.

"Pasti, jika kau bermaksud jahat, masa aku bersedia menyelamatkanmu," kata Uh-bun Tiong. "Nah, sekarang kau sudah mengetahui siapa isteri Gak Liang Cun itu, bukan? Dia itu Bibiku, kali ini panglima angkatan laut yang memasuki Thay-ouw pun, Bupati Yang-ciu, pamanku itu. Kau jangan heran jika aku bisa masuk ke perairan ini bersama angkatan laut Kerajaan Song. Yang dikejar oleh angkatan laut kerajaan Song sisa bajak laut anak buah Su Thian Tek dan Kiauw Sek Kiang. Tapi jika mereka bertempur dengan Ong It Teng, aku menguatirkan keselamatanmu."

Seng Liong Sen pernah salah sekali, saat dia terperangkap    oleh    Wan-yen    Hoo.    Dengan  demikian kesalahan itu tidak boleh terulang lagi. Tapi dalam keadaan tidak berdaya, kepandaiannya bukan tandingan Uh-bun Tiong, maka terpaksa dia bersikap mengikuti arah angin saja. Dia mengucapkan terima kasih pula. Uh-bun Tiong girang sekali.

"Kedatanganku sangat kebetulan, dari jauh aku lihat perahumu berpapasan dengan kapal bajak Kiauw Sek Kiang. Kebetulan aku bisa menyelamatkanmu!" kata Uh- bun Tiong bangga.

"Apa pasukan kerajaan berhasil menangkap Kiauw Sek Kiang?" tanya Seng Liong Sen.

"Aku kurang tahu," jawab Uh-bun Tiong sambil tersenyum. "Perahuku berada di bagian depan pasukan Song, begitu berhasil menyelamatkan kau, kami segera meninggalkan Thay-ouw. Sekarang sudah hari yang kedua, jadi kau tidak sadar selama sehari penuh."

"Sudah selang sehari?" kata Seng Liong Sen terkejut. "Sekarang, kita ada di mana, di Thay-ouw?"

"Bukan di Thay-ouw! Kita sudah melintasi Cay-ciok- kie!" kata Uh-bun Tiong.

"Kalau begitu kita sudah memasuki perairan Tiang- kang!" kata pemuda itu.

"Benar. Aku kira kau tidak ingin kembali lagi ke tempat Ong It Teng, bukan? Kunasihati agar kau jangan berharap bisa pulang lagi. Apalagi kita sudah pernah mengalami kesukaran bersama, sesungguhnya aku pun merasa berat berpisah denganmu."

Diam-diam Seng Liong Sen mengelah napas panjang, kembali dia berada dalam cengkraman iblis ini. Kali ini mungkin sukar untuk dia bisa melepaskan diri lagi. Terpaksa dia menjawab. "Benar, ini merupakan pertemuan kembali dua sahabat lama, sudah tentu Siauw-tee ingin berkumpul lebih lama lagi denganmu. Kita sekarang mau ke mana?" kata Seng Liong Sen.

"Sebentar lagi akan kuberitahu kau, sekarang kau boleh makan dulu, sudah kusiapkan sedikit bubur," kata Uh-bun Tiong.

Karena tidak tahu apa tujuan Uh-bun Tiong, mengapa dia melayani dengan baik, hati pemuda ini jadi tidak tentram. Setelah selesai makan bubur sekadarnya, Uh-bun Tiong berkata lagi.

"Ini bajumu yang kau kenakan tempo hari, ini pedang dan beberapa potong uang perak serta botol obat yang ada di bajumu. Coba kau periksa apa ada yang hilang atau tidak? Eh, tampaknya botol itu berisi obat. Obat apa itu?"

"Obat kuat dari Tabib Ong," jawab Seng Liong Sen. "Jangan membohongiku, aku kira itu botol milik Khie

Wie!" kata Uh-bun Tiong. "Sebaiknya kau bicara jujur  saja!"

Melihat sang kawan kurang senang, Seng Liong Sen jadi tak enak hati.

"Kau benar, itu botol obat dari Khie Wie, aku diminta memakannya setiap bulan sekali. Aku juga tidak tahu apa khasiatnya?" kata Seng Liong Sen.

"Benar kau tidak tahu? Aku malah tahu!" kata Uh-bun Tiong. "Ini obat penawar yang harus kau minum setelah kau melatih tenaga dalam ajaran Khie Wie. Jika tidak kau minum, kau pasti akan menderita. Semakin lama tenaga dalammu berkurang. Ada kemungkinan kau akan terkena penyakit Cauw-hwee-jip-mo dan mengalami kelumpuhan total" "Apa betul begitu? Tapi Khie Wie tidak menjelaskan hal ini padaku, dia hanya menyuruhku minum obat ini setiap bulan sekali," kata Seng Liong Sen.

"Khie Wie memberi batas waktu untuk pulang ke sana dalam setengah tahun, kini sudah empat bulan berlalu, seharusnya sisa pil ini masih ada dua buah lagi, tapi kenapa masih ada tiga buah lagi?" kata Uh-bun Tiong.

"Karena tabib Ong memberiku obat, selama aku minum obat darinya, aku dilarang menggunakan obat lain," terpaksa Seng Liong Sen berbohong. Tentu saja Uh-bun Tiong tahu kebohongannya itu, tapi dia sengaja tidak membongkar kebohongan itu. Karena dia masih ingin memperalat Seng Liong Sen, maka itu sambil tertawa dia berkata.

"Baik, jika obat ini tidak kau perlukan lagi, berikan saja padaku, Saudara Liong aku harus berterima kasih padamu, kau telah mengajarkan dasar ilmu tenaga dalam aliran Khie Wie, selama sebulan telah kulatih dan memang ada kemajuan. Itu artinya ilmu yang kau ajarkan itu asli!"

"Mana berani aku menipumu, kita ini kawan yang pernah menderita bersama-sama," kata Seng Liong Sen.

"Tapi sayang kau lupa memberitahuku akibat buruk bagi orang yang meyakinkan tenaga dalam itu," kata Uh-bun Tiong. "Untung aku pun sudah tahu tenaga dalam Khie Wie ini hingga tidak sampai menyulitkan diriku! Sebenarnya aku pun tidak takut akibat yang akan kualami, tapi ada yang kukhawatirkan juga, apa Saudara Liong tahu?"

"Kepandaianmu sangat tinggi, lalu apa yang kau takutkan?" kata Seng Liong Sen. "Gunung yang tinggi masih ada gunung yang lain yang lebih tinggi lagi! Sekalipun aku lihay, tapi dibandingkan dengan Khie Wie aku belum bisa menyamainya," kata Uh- bun Tiong. "Bukan aku takut pada Khie Wie, tapi yang aku khawatirkan jika bangsat itu keburu mati."

Seng Liong Sen heran oleh keterangan tersebut.

"Terus terang aku tak tahu apa maksudmu?" kata Liong Sen.

"Masalahnya sederhana sekali," kata Uh-bun Tiong sambil tertawa. "Jika dia keburu mati, aku tidak bisa menuntut balas dengan tanganku sendiri. Eh,dia itu calon mertuamu jika aku menuntut balas padanya, kau akan membantu siapa?" tanya Uh-bun Tiong.

"Toa-ko, kau sendiri sudah tahu sebenarnya aku tidak ingin menjadi menantunya,"jawab Seng Liong Sen.

"Bagus, jadi kau akan membantuku," kata Uh-bun Tiong.

Karena terdesak, terpaksa Seng Liong Sen menjawab. "Saudara Uh-bun kau telah menyelamatkan jiwaku,

sudah tentu aku akan membantumu!" kata Seng Liong Sen.

"Bagus kalau begitu! Sekarang aku sudah tidak sabar menunggu keberhasilan tenaga dalam yang kulatih, mari ikut aku ke Sun-keng-san untuk mencari dan balas dendam pada Khie Wie! Setiba di sana baru akan kuberitahu kau bagaimana kita akan menyergapnya. Khie Wie tidak akan curiga jika dia melihatmu pulang karena tepat waktunya dengan waktu yang dia tentukan. Nah, mulai sekarang kita kawan sehidup-semati. Aku tahu isi hatimu, Saudara Liong, meski pun kau suka pada Khie Kie, tapi isteri lamamu sulit kau lupakan, betul tidak?" Dalam hati Seng Liong Sen tidak setuju pada pendapat Uh-bun Tiong, tapi terpaksa dia jawab.

"Ah, kau senang berkelakar Toa-ko! Aku bertunangan dengan nona Khie hanya untuk mencari keselamatan saja.

Sesungguhnya nona Khie juga sangat baik kepadaku dan tidak pantas jika aku berbalik mencelakainya." kata Seng Liong Sen.

"Jangan kuatir, aku pasti akan memenuhi cita-citamu. Tapi tua bangka she Khie itu akan kubinasakan, putrinya akan kuserahkan kepadamu. Apakah kau masih setia pada Ci Giok Hian terserah kau saja! Bagaimana? Apa aku cukup baik tidak padamu?" kata Uh-bun Tiong.

Seng Liong Sen mengucapkan terima kasih, tapi otaknya bekerja.

"Pada suatu hari kau juga pasti akan merasakan pembalasanku yang setimpal!" pikir Seng Liong Sen.

Kedua orang itu sama-sama liciknya, sekalipun di mulut mereka bicara manis. Setelah dua hari istirahat di atas perahu, tenaga Seng Liong Sen sudah pulih lagi. Kedua orang itu turun ke darat dan berjalan ke Sun-keng-san untuk mencari Khie Wie.

Suatu hari sampailah mereka di suatu kota kecil, Uh-bun Tiong ingin menambah perbekalannya. Kebetulan Seng Liong Sen pun ingin membeli sesuatu. Hari itu merupakan hari pasar di kota kecil itu, kedua orang itu langsung berbelanja.

Di tengah pasar yang penuh sesak itu, tiba-tiba Seng Liong Sen melihat dua orang yang mencurigakan. Dia sengaja mendekati mereka, kedua orang itu sedang bercakap-cakap dengan bahasa rahasia kalangan Kang-ouw. Tentu  saja  Seng  Liong  Sen  mengerti  apa  yang  mereka bicarakan. Lalu dia ikuti kedua orang itu. Uh-bun Tiong kurang sepakat pada niat Seng Liong Sen itu, terpaksa menuruti saja. Saat Seng Liong Sen masuk ke sebuah toko, dia membeli sebuah kipas. Dia pun pinjam alat tulis pada pemilik toko itu, lalu membuat lukisan tengkorak di kipas tersebut. Sesudah itu baru dia kejar kedua orang itu.

"Untuk apa kau lukis gambar itu?" tanya Uh-bun Tiong. "Lalu siapa kedua orang itu?"

"Mereka anak buah Kiauw Sek Kiang," jawab  Liong Sen.

"Kawanan bajak Kiauw Sek Kiang menggunakan tanda pengenal panji tengkorak, pantas saja kau membawa kipas bergambar tengkorak. Apa maksudmu? Apakah kau ingin menuntut balas?"

"Karena pergaulan Uh-bun Toa-ko yang luas, pasti kau juga kenal pada Kiauw Sek Kiang, bukan ?"

"Memang aku pernah bertemu sekali dengannya belasan tahun yang lalu, malah aku pernah bertukar pikiran tentang ilmu silat. Cuma kau jangan khawatir. Aku tidak akan merintangimu, jika kau ingin membunuh mereka berdua!" kata Uh-bun Tiong.

"Tapi aku perlu bantuanmu, Uh-bun Toa-ko," kata Seng Liong Sen.

"Kepandaian mereka berdua tidak seberapa, kenapa kau ragu dan takut tak mampu mengalahkan mereka?"

"Aku bukan mau minta bantuan untuk membunuh mereka! Aku hanya ingin kau mendekati mereka untuk mencari informasi!" "Oh, jadi kau ingin aku mengorek rahasia dari mereka! Sesudah itu baru kau bunuh mereka. Boleh saja! Kenapa tidak?" kata Uh-bun Tiong.

Mereka mengejar kedua orang itu. Dengan tenaga dalam mereka yang tinggi, hanya sebentar kedua orang itu sudah terkejar.

Melihat ada dua orang menyusul mereka, kedua orang itu heran dan sangsi. Lalu mereka siap siaga. Tapi sesudah dekat, Seng Liong Sen sengaja membuka kipas di tangannya sambil mengibas-ibas kipas itu.

"Hai saudara masih ingatkah kalian padaku?"

Gambar tengkorak yang ada di kipas yang dipegang oleh Seng Liong Sen tampaknya mengejutkan kedua orang itu. Salah seorang di antara mereka langsung menjawab.

"Siapa saudara ini? Rasanya kita belum pernah berkenalan?"

Seng Liong Sen membeberkan kipasnya perlahan-lahan, lalu berkata dengan gagah.

"Semula aku memang selalu mendampingi Su To-cu, tapi karena Kiauw To-cu senang padaku, dia memintaku pindah untuk mendampinginya. Bulan lalu aku baru masuk Pang ini. Bukankah kalian juga ikut bertempur di Thay-ouw tempo hari?" kata Seng Liong Sen.

Kawanan bajak pimpinan Kiauw Sek Kiang dan Su Thian Tek yang jumlahnya sampai tiga ribu orang, sudah tentu tidak semua anak buah bajak itu saling nengenal satu sama lain. Maka itu meski pun mereka merasa sangsi, terpaksa orang itu menjawab.

"Ah, pantas saja sepertinya kita sudah saling mengenal, kiranya kita pernah bertempur bersama-sama di Thay-ouw." -o~DewiKZ~Aditya~aaa~o-

Jumlah bajak laut pimpinan Kiauw Sek Kiang dan Su Thian Tek tidak sedikit maka tak mungkin merreka saling mengenal satu sama lain. Itu sebabnya Seng Liong Sen tidak merasa kikuk di tengah-tengah mereka.

"Kau siapa?" tanya salah seorang bajak pada Seng Liong Sen. "Aku juga anak buah bajak, mungkin karena kita tidak dalam satu kapal, maka kau tidak mengenaliku, tapi aku tahu siapa kau. Bukankah kau di kapal yang dipimpin oleh Ciong Hu-to-cu." kata Seng Liong Sen.

Sebenarnya ucapan Seng Liong Sen diucapkan sekenanya, tapi untuk menunjukkan bahwa orang yang diajak bicara oleh Liong Sen bukan orang rendahan dalam kelompok bajak laut, orang itu langsung berkata. "Kau benar, aku ingat kau ada di kapal Kiauw To-cu (Ketua Kiauw)! Untung saat itu Ciong Huto-cu bisa merebut sebuah perahu musuh dan menerjang keluar dari kepungan musuh. Di bawah pengawalanku dan kawan yang lain akhirnya kita selamat sampai di darat. Sayang banyak kawan kita yang terpencar!"

Kemudian dia mengawasi ke arah Uh-bun Tiong, dan bertanya pada Seng Liong Sen.

"Siapa dia, apa dia kawan kita juga?" kata orang itu.

"Dia sahabat Kiauw Pang-cu," jawab Seng Liong Sen sambil tersenyum.

"Namaku Uh-bun Tiong, kau tentu belum kenal padaku, kan?" kata Uh-bun Tiong. "Oh, maaf, rupanya Uh-bun Sian-seng!" kata orang itu sedikit kaget.

Kekagetan orang itu bisa dimaklumi, karena dia tahu siapa Uh-bun Tiong. Dia seorang jago kalangan Kang-ouw. Tapi heran kenapa Uh-bun Tiong mau berkenalan dengan bajak laut rendahan.

"Selama belasan tahun sejak Kiauw To-cu datang ke Tionggoan (Tiongkok), dalam pertempuran yang tidak diduga, kami saling mengadu kepandaian masing-masing, ternyata kekuatan kami setara." kata Uh-bun Tiong.

Sesudah itu dia mengambil tiga buah batu kecil yang segera dia kepal erat-erat. Saat dia membuka tangannya, batu-batu itu sudah hancur bagaikan tepung saja. Tentu saja kedua anak buah bajak itu kaget dan kagum melihat kepandaian Uh-bun Tiong itu.

Sengaja Uh-bun Tiong memamerkan kepandaiannya itu, dengan maksud ingin menunjukkan bahwa dia memang Uh-bun Tiong yang sejati.

"Agaknya sudah lama aku tidak bertemu dengan Kiauw Tocu," kata Uh Bun Tiong. "Aku dengar dia mengalami kekalahan besar hingga aku mencemaskan keadaannya. Saat aku bertemu dengan saudara Liong ini, aku minta penjelasan darinya. Akhirnya kita berkenalan."

"Dia benar, hingga sekarang pun aku tidak tahu keadaan Kiauw To-cu, apakah kalian tahu bagaimana keadaannya sekarang?" kata Seng Liong Sen.

"Sayang kami juga berpencar dengannya, maka itu kami tidak tahu di mana Kiauw To-cu berada? Padahal temanku baru dari Laut Timur dia tidak tahu keadaannya!" kata orang itu. "Jadi kau datang dari laut Timur, kalau begitu kau diutus oleh Kiauw To-cu untuk menyelidik. Benar begitu?" tanya Liong Sen.

"Benar sekali," jawab orang itu. "Maka itu sudah mendapat berita bagus tentang kaburnya tahanan Hek-hong To-cu, aku harus segera kembali untuk melaporkan hal itu pada Kiauw To-cu!"

"Apa yang kau maksudkan tahanan yang kabur itu seorang nenek bernama Seng Cap-si Kouw?" tanya Seng Liong Sen.

"Benar sekali, dia sudah kabur," jawab orang itu. "Aku dengar dia berhasil mencuri obat mujarab milik Hek-hong Tocu dan mengobati luka-lukanya. Maka itu akan kusampaikan kabar ini pada To-cu agar beliau waspada!"

Mendengar jawaban itu, Uh-bun Tiong baru sadar kenapa Seng Liong Sen berusaha ingin mengikuti kedua bajak itu.

Rupanya karena percakapan mereka menyinggung tentang kaburnya Seng Cap-si Kouw! Mendengar keterangan itu bukan main girangnya Seng Liong Sen walau dia tak menunjukkannya di depan mereka.

"Tahukah kalian, di mana si Iblis Perempuan itu bersembunyi?" kata Seng Liong Sen.

"Aku dengar dia tinggal di rumah keluarga Ciauw, karena calon menantu keluarga itu, katanya bekas pelayan Seng Capsi Kouw!" jawab orang itu.

"Kenapa kau tanyakan soal itu?" kata kawan orang yang bicara pada Seng Liong Sen. "Rasanya aku pernah melihatmu, dan setahuku kau tidak ada di kapal kami tempo hari!" Ternyata orang ini memang ada di kapal Ciong Bu Pa ketika menyaksikan sendiri perahu pemuda itu terbalik dihajar jangkar yang dilontarkan Ciong Bu Pa. Tapi dia melihatnya dari jarak agak jauh.

Ketika rahasianya sudah ketahuan, Seng Liong Sen menganggap tak perlu lagi menyembunyikan identitasnya, segera dia robek kipas bergambar tengkorak itu.

"Kau benar, matamu tajam juga! Memang akulah musuh besar To-cumu! Kau hebat mengenaliku. Tapi sayang sudah terlambat!" kata Seng Liong Sen.

Kedua bajak laut itu kaget dan menyesal karena telah tertipu oleh Seng Liong Sen. Mereka langsung maju. Dengan tipu "Siang-liong-cut-hay" (Dua naga keluar dari dasar laut), kedua telapak tangan mereka menghajar Seng Liong Sen. Tapi Seng Liong Sen dengan gesit menyelinap di antara kedua orang itu. Walau kepalan kedua orang itu berhasil mengenai tubuhnya, tapi tebasan kedua telapak tangan Seng Liong Sen tepat mengenai tengkuk kedua lawannya. Sesudah itu tengkuk kedua orang itu dicengkram dan diputar.

Seng Liong Sen ingin mempermainkan kedua orang itu. Tidak diduga dia mengeluarkan tenaga keras luar biasa. Tak lama dua orang itu diam karena tulang lehernya patah semua dam langung binasa. Menyaksikan kejadian itu, Uh- bun Tiong terperanjat, sambil tersenyum dia berkata,

"Selamat, Saudara Seng! Ternyata kau berhasil dan memperoleh dua keuntungan secara bersamaan!" kata Uh- bun Tiong.

Sejak dia kenal Uh-bun Tiong, orang she Uh-bun itu memanggil dia "Saudara Liong". Tapi sekarang tiba-tiba Uh-bun Tiong memanggil marga yang sebenarnya, marga Seng. Sudah tentu Seng Liong Sen pun kaget bukan kepalang, walau tak diperlihatkan.

"Keuntungan apa?" kata Seng Liong Sen. "Bukankah nasibku ada di tanganmu, apa yang untung!"

"Kau jangan kaget, saudara Seng," kata Uh-bun Tiong. "Walaupun kita sudah tahu rahasia masing-masing, tetapi kita telah bersumpah akan setia-kawan dan tidak membuka rahasia kita kepada orang lain. Baiklah, selanjutnya kau kupanggil Saudara Liong saja!"

"Terima kasih," kata Seng Liong Sen. "Tapi apa maksud Uhbun-heng mengenai keuntungan itu?"

"Aku yakin kau sudah tahu, kenapa bertanya lagi?" kata Uh-bun Tiong. "Pertama kau mendapat khabar tentang bibimu yang kedua tenaga dalammu maju pesat! Maka itu kuucapkan selamat padamu!"

Tidak diduga, tadi saat membekuk kedua orang itu dengan mudah dia bisa membinasakan mereka. Sebenarnya dia juga kaget ketika itu. Dia tahu tenaga dalamnya sudah maju pesat.

Sekarang dia hebat, tapi untuk melawan Uh-bun Tiong mungkin belum bisa. Seng Liong Sen sengaja berpura-pura lesu dan batuk-batuk.

"Kenapa kau batuk-batuk?" kata Uh-bun Tiong. Seng Liong Sen berpura-pura dadanya sesak.

"Kalau begitu kau istirahat dulu, jika perlu kuperiksa!" kata Uh-bun Tiong.

"Terima kasih," kata Seng Liong Sen. "Aku bisa mengatasinya. Tapi tolong saudara berjaga-jaga!"

Sesudah itu Seng Liong Sen pergi ke semak, duduk untuk mengumpulkan seluruh kekuatannya. Saat itu dia gunakan ajaran Tabib Ong untu mengatur pernapasan dan memusatkan pikirannya. Saat berkonsentrasi itu Seng Liong Sen seolah mati rasa, maka itu dia minta Uh-bun Tiong menjaganya.

Sedikit pun Uh-bun Tiong tidak curiga. Dia malah senang karena Seng Liong Sen percaya kepadanya untuk menjaga keselamatannya. Dengan setia dia menunggu. Sesudah cukup lama Seng Liong Sen mengakhiri semedinya lalu menghampiri Uh-bun Tiong.

"Saudara Uh-bun, terima kasih!" kata Seng Liong Sen.

Sekarang Seng Liong Sen merasa segar kembali, tenaga dalamnya juga sudah pulih. Rupanya dia pun puas karena suatu saat dia mencoba akan melawan Uh-bun Tiong. Dia ingin terlepas dari cengkramannya walau ada bahayanya. Tetapi jika tidak dicoba dan takut, bagaimana bisa berhasil?

"Mari kita berangkat!" kata Uh-bun Tiong. Dia segera berjalan di muka.

"Saudara Uh-bun, kita mau ke mana? Mengapa kita berjalan ke sana?" kata Seng Liong Sen.

"Eh, bagaimana kau ini. Melamun, ya? Kan sudah kukatakan dari awal, kita akan ke Sun-keng-san mencari Khie Wie!" kata Uh-bun Tiong kesal juga.

"Bukan aku yang salah, tapi kaulah yang berjanji akan menemaniku ke Siam-say mencari Bibiku?" kata Seng Liong Sen.

"Kata-kataku itu hanya untuk membohongi kedua orang yang kau bunuh itu!" kata Uh-bun Tiong. "Tapi kenapa kau anggap benaran!"

"Walau kau tidak sungguh-sungguh, aku yang sungguhsungguh," kata Seng Liong Sen. "Nah, kalau kau tidak mau ikut aku ke Siam-say Barat, aku akan pergi sendiri saja!"

"Ke Sun-keng-san dulu, baru aku ikut kau ke Siam-say," kata Uh-bun Tiong. "Bukankah kau sudah berjanji, maka janji itu harus kau tepati! Kenapa kau ingkar? Janji seorang enghiong harus ditepati!"

Seng Liong Sen tertawa.

"Kita berdua bukan "eng-hiong" tapi dua orang yang bertabiat rendah," kata Seng Liong Sen.

Mendengar ucapan itu Uh-bun Tiong kurang senang lalu mengancam.

"Ingat, rahasiamu ada di tanganku! Aku bisa memburukkan nama baikmu, atau kalau perlu kubunuh kau!" kata Uh-bun Tiong.

"Boleh saja kalau kau ingin menghancurkan namaku di depan umum, karena sekarang aku sudah tidak peduli lagi!" kata Seng Liong Sen. "Jika kau ingin membunuhku, silakan kau coba! Tapi aku kira sekarang tidak semudah itu kau bisa melakukannya!"

"Bagus! Kau ingin menantangku, jangan sombong! Apa yang kau andalkan? Ingat aku tidak akan membunuhmu, tapi justru akan menyiksamu dulu!" kata Uh-bun Tiong.

"Silakan, aku tidak takut!" kata Seng Liong Sen.

Mendadak Seng Liong Sen melancarkan sebuah serangan maut ke arah Uh-bun Tiong.

"Roboh kau!" kata Seng Liong Sen.

Diserang demikian mendadak bukan main marahnya Uh-bun Tiong ketika itu. "Bangsat! Baiklah, akan kubunuh kau!" kata Uh-bun Tiong.

Uh-bun Tiong maju menyerang sambil menghindari serangan lawannya. Tangan kanannya menghantam ke arah Seng Liong Sen. Ternyata Seng Liong Sen sudah siap untuk menghadapinya. Dia berkelit sambil menyerang lawan.

Uh-bun Tiong maju, tangan Seng Liong Sen berhasil dia cengkram dengan jurus "Kim-na-ciu-hoat". Ternyata Uh- bun Tiong ini lihay. Jika dia berhasil mencengkram lawannya, pasti lawan sulit terlepas dari cengkramannya. Jika dipaksa melepaskan cengkramannya tulangnya akan hancur.

Uh-bun Tiong mengira lawannya tidak berkutik saat dicengkram. Tak disangka Seng Liong Sen mengerahkan kekuatannya. Ototnya mengeras bagaikan baja. Saat Uh- bun Tiong menarik tangannya, Seng Liong Sen mendorongnya.

Sekarang dia bukan Seng Liong Sen yang dulu. Diserang begitu dia akan roboh tertarik oleh Uh-bun Tiong. Sekarang tenaga dalamnya sudah tidak selisih banyak. Saat Uh-bun Tiong menariknya, Seng Liong Sen mendorong. Maka itu tenaga tarikan bergabung dengan dorongan membuat Uh- bun Tiong terdorong hebat.

Melihat lawan terdorong mundur beberapa langkah, Seng Liong Sen maju menggunakan kesempatan itu untuk menyerang dengan jurus "Siang-liong-cut-hay" atau "Sepasang naga muncul dari lautan". Kedua tangan Seng Liong Sen mengancam lawan. Tapi Uh-bun Tiong tangguh, dia berkelit ke samping, telapak tangannya menebas tangan Seng Liong Sen. Melihat tangannya terancam Liong Sen membatalkan serangannya. Semula dia menyerang dengan kepalan  tangannya.  Tapi  sekarang  dia  mengubah telapak tangannya. Maka itu terjadilah sebuah benturan keras hingga baik Uh-bun Tiong maupun Seng Liong Sen terpental mundur.

"Hm! Kepandaianmu cuma begitu saja! Tapi kau berani main gila!" kata Uh-bun Tiong mengejek.

Tiba-tiba Liong Sen melompat dan membentak.

"Hm! Baik aku kalah satu pukulan, tapi sekarang akan kubayar!" kata Seng Liong Sen.

"Baik, silakan kau maju jika berani!" kata Uh-bun Tiong.

Sebenarnya Uh-bun Tiong kaget menyaksikan kemajuan lawannya, tapi hal itu tidak dia perlihatkan. Dia sadar tak mudah mengalahkan pemuda itu. Bahkan bukan tidak mungkin jika Uh-bun Tiong bertarung lebih lama, keduanya akan hancur bersama-sama.

Seng Liong Sen senang karena bisa mengimbangi lawan, namun dia khawatir setelah merasakan pukulan lawan hebat. Namun, dia yakin, dia mampu melawan Uh-bun Tiong. Setelah bertarung cukup lama sekarang Uh-bun Tiong tidak berani meremehkan lawannya. Sedangkan Seng Liong Sen pun tampak semakin gagah saja. Suatu saat Uh- bun Tiong melihat titik lemah lawan, dia segera menghantam ke titik tersebut.

"Duuk!"

Kembali Uh-bun Tiong berhasil menghantam lawan. Tapi lawannya hanya terdorong sedikit. Melihat Seng  Liong Sen tetap tegar, Uh-bun Tiong kaget karena dia tidak mampu merobohkan lawannya. Karena dongkol dia bernapsu akan membunuh lawan. Uh-bun Tiong sadar, pemuda itu tak bisa ditaklukkan. Jika berhasil membunuh Seng  Liong  Sen  sekalipun,  dia  tak  bisa  menggunakan tenaga pemuda itu, paling tidak dia bisa meminta bayaran kepada Wan-yen Hoo.

Sesudah Uh-bun Tiong melakukan serangan mautnya, tenaga kedua orang itu mulai berkurang. Tak heran jika Uh- bun Tiong sadar, bahwa dia tidak mungkin membunuh lawannya.

Saat itu Seng Liong Sen sudah berkali-kali terkena pukulan Uh-bun Tiong hingga napasnya mulai sesak. Terpaksa dia bertarung mati-matian. Melihat Seng Liong Sen mulai kalap, hal ini membuat Uh-bun Tiong gentar juga, terpaksa dia mundur jika lawan melancarkan serangan.

"Kau harus membayar hutangmu berikut bunganya!" kata Seng Liong Sen.

Dia lalu maju menyerang ke titik jalan darah lawan yang berbahaya. Saat serangan itu datang Uh-bun Tiong sempat merunduk menghidari totokan lawan. Tak terduga totokan itu mendadak berubah menjadi tamparan yang keras, Uh- bun Tiong terpukul roboh. Begitu jatuh Uh-bun Tiong segera melompat bangun.

"Bangsat! Hari ini kau harus mati!" bentak Uh-bun Tiong.

Tak lama keduanya sudah bertarung kembali. Tapi serangan mereka sudah mulai lamban.

Seng Liong Sen girang dan senang sekali, karena itu untuk pertama kalinya dia berhasil menghantam Uh-bun Tiong hingga roboh. Tapi saat dia hendak melancarkan serangan lagi, napasnya tiba-tiba sesak. Langkahnya terasa ringan, pukulannya pun sudah tidak bertenaga lagi. Jelas tenaga maupun kepandaian Seng Liong Sen masih kalah setingkat dari Uh-bun Tiong. Apalagi dia sudah belasan kali terpukul, hingga dia sadar kini dia mulai payah. Keduanya sudah mulai lemah.

Ketika Uh-bun Tiong melancarkan pukulan ganda, kedua kepalan Uh-bun Tiong tepat mengenai tubuh lawan. Tapi pada saat yang sama Seng Liong Sen pun sempat menghajar Uh-bun Tiong. Karena keduanya sama-sama terkena pukulan, mereka terhuyung ke belakang dan akhirnya roboh. Seng Liong Sen mengeluh, dia pikir karena tenaganya sudah habis jika mau mengadu jiwa pun tidak akan mampu. Dia tidak menduga jiwanya bakal melayang di tangan Uh-bun Tiong. Tapi karena tak mau mati begitu saja, dengan sekuat tenaga dia berusaha berontak bangun. Tapi sebelum bangun dia lihat Uh-bun Tiong sedang duduk. Seng Liong Sen tidak mengira, sebenarnya Uh-bun Tiong lebih kaget. Dia khawatir akan dibunuh oleh pemuda itu.

Karena Uh-bun Tiong baru latihan tenaga dalam aliran Khie Wie, tenaga dalamnya belum menyatu dengan tenaga dalam yang dipelajarinya. Biasanya hal itu tidak terasa. Tapi setelah bertarung hebat, karena kedua macam tenaga dalam itu bertentangan, maka dia harus duduk tenang untuk mengatur pernapasannya agar tenaga murninya yang mulai kacau tidak sampai bergolak. Jika dia tak bisa tenang kemungkinan dia bisa lumpuh. Seng Liong Sen heran.

"Kenapa Uh-bun Tiong tidak langsung menyerangku?" pikirnya.

Akhirnya kesempatan itu dia gunakan untuk istirahat, keduanya saling mengawasi. Tiba-tiba Uh-bun Tiong menghela napas.

"Kau pernah menyelamatkan jiwaku, sedang akupun pernah menyelamatkan jiwamu. Sebenarnya kita bersaudara senasib dan sepenanggungan! Tidak diduga sekarang menjadi musuh! Baiklah, aku sekarang tidak  akan memaksakan kehendakku. Kau boleh pergi jika ingin mencari bibimu untuk selanjutnya kita masih tetap bersahabat!" kata Uh-bun Tiong.

Saat itu Seng Liong Sen sadar bahwa yang dikatakan Uh- bun Tiong tidak tulus. Tetapi dia tidak tahu saat itu Uh-bun Tiong sedang menghadapi bahaya lumpuh. Dia hanya mengira Uh-bun Tiong kehabisan tenaga dan tidak berani bertempur lagi.

Karena keduanya sama-sama takut mati, akhirnya Seng Liong Sen berkata, "Baiklah, sejak saat ini kita sama-sama tidak berhutang budi satu sama lain."

Uh-bun Tiong yang menginginkan Seng Liong Sen segera pergi, sengaja menghela napas dengan agak menyesal.

"Jika kau tak mau lagi menganggapku  sebagai sahabatmu lagi? Terserah kau saja!" kata Uh-bun Tiong. "Ingat, aku berjanji tak akan membocorkan rahasiamu!"

Sesudah itu Seng Liong Sen langsung mendahului pergi meninggalkan Uh-bun Tiong. Dengan menggunakan sarung pedangnya yang dia jadikan tongkat, dia melangkah pergi.

Sekeluar dari hutan dia sudah tidak melihat Uh-bun Tiong, itu berarti dia tidak dikejar hingga Seng Liong Sen merasa lega. Sekarang dia sudah tahu, di mana bibinya berada. Maka itu dia bergegas ke desa Ciauw-yang-kwan! Setiba di desa itu dia langsung bertanya pada penduduk.

"Di mana rumah keluarga Ciauw?" kata Seng Liong Sen. "Di sana!" jawab orang yang ditanya.

Ternyata keluarga Ciauw sangat terkenal. Begitu sampai di depan rumah itu, dia langsung mengenali seorang nenek, itu bibinya. Saat itu Kok Siauw Hong sudah terjebak oleh nona Biauw. Sekarang Kok Siauw Hong di bawah pengawasan nona Biauw.

Ternyata gadis itu jatuh hati kepada Kok Siauw Hong dan hal itu sudah diketahui Seng Cap-si Kouw. Maka itu dia biarkan Bong Say Hoa menjaga Kok Siauw Hong. Dia memberi kesempatan kepada gadis Biauw itu untuk melepaskan Kok Siauw Hong. Menurut perkiraan si Iblis Perempuan, jika kedua muda-mudi itu melarikan diri, pasti Siauw Hong akan mencari Han Tay Hiong! Dengan demikian dengan mudah dia bisa menemukan orang yang sedang dicarinya itu. Agar siasatnya berjalan dengan baik, sengaja dia tidak berunding dulu dengan Bong Say Hoa.

Begitu si Iblis Perempuan keluar dari rumah keluarga Ciauw, dia mengawasi rumah itu dari kejauhan. Tiba-tiba dia melihat seorang lelaki bermuka buruk sedang mendatangi ke arahnya. Dia heran dan kaget ketika merasa orang itu sudah dikenalnya. Tanpa terasa dia berteriak keras.

"Hai, bukankah kau Seng Liong Sen, keponakanku?" kata si Iblis Perempuan.

"Benar, Bibi, ternyata kau masih mengenaliku!" kata Seng Liong Sen.

"Kenapa wajahmu berubah begitu? Siapa yang telah menyusahkanmu? Lekas katakan padaku?" kata si Iblis Perempuan geram. Seng Liong Sen menghela napas.

"Semua ini akibat perbuatanku sendiri, kita tidak bisa menyalahkan siapa pun!" kata Seng Liong Sen. Si Iblis Perempuan menatap ke arah Seng Liong Sen dengan heran. "Baru berpisah setahun, wajahmu telah berubah, bahkan watakmu pun rasanya sudah berubah! Khabarnya kau telah menikah dengan Nona Ci dari Pek-hoa-kok, mana istrimu?"

"Di Kim-kee-leng," jawab Seng Liong Sen.

"Kenapa dia ada sana? Apa kalian sudah berpisah?" tanya si Iblis Perempuan.

"Giok Hian mengira aku sudah mati, bahkan guruku dan sahabatku, juga semua orang yang kukenal mengira aku sudah mati. Sekarang seolah-olah aku ini orang mati yang hidup kembali! Semua kejadian dulu tidak ingin aku membicarakannya lagi!" kata Seng Liong Sen.

"Ah, kau keponakanku yang bernasib malang! Ternyata kau mengalami nasib buruk seperti aku yang selalu bernasib malang. Sekarang kau katakan, apa masalahmu itu pada Bibi!"

"Jika aku kisahkan terlalu panjang, Bi! Tapi syukur kita bisa bertemu lagi, nanti akan kuceritakan semua pengalamanku itu!" kata Seng Liong Sen.

"Baiklah, mari ikut aku pulang. Aku tinggal di rumah besar milik Ciauw Goan Hoa yang sekarang telah kududuki!" kata si Iblis Perempuan.

"Aku sudah tahu," kata Seng Liong Sen.

"Kau sudah tahu? Jadi kau sengaja mencariku ke sini? Dari mana kau tahu aku tinggal di sini?" kata si Iblis Perempuan.

"Dari salah seorang anak buah Kiauw Sek Kiang. Jangan kuatir, Bibi, orang itu sudah kubunuh sebelum sempat bertemu dengan pemimpinnya." kata Seng Liong Sen.

Kelihatan si Iblis Perempuan senang dan lega. "Sekalipun Kiauw Sek Kiang mencariku untuk menuntut balas, aku tidak takut! Tapi memang sebaiknya tempat tinggalku ini dirahasiakan!" kata si Iblis Perempuan itu.

"Di mana orang-orang keluarga Ciauw? Apa mereka telah Bibi bunuh semua?"

"Tidak! Tidak satupun mereka kubunuh! Malah orang yang sangat kau benci ada di sini! Orang itu sudah tertangkap. Dia boleh kau apakan saja sesukamu!" kata Seng Cap-si Kouw.

"Maksud Bibi dia Tik Bwee! Jangan ganggu dia, sebenarnya aku yang salah! Pribahasa mengatakan : Permusuhan lebih baik diakhiri saja! Tahukah Bibi, penyakitku pun sudah sembuh. Aku sudah tak ingin membalas dendam kepadanya." kata Seng Liong Sen.

Mendengar ucapan keponakannya, sang bibi menatapnya dengan perasaan heran sekali.

"Eh, apa yang terjadi? Sekarang kau begitu berubah Liong Sen!" kata sang bibi. "Kau boleh tak membalas dendam padanya, tapi urusanku lain! Kau jangan kaget, karena orang itu bukan Tik Bwee!"

"Apa? Bukan Tik Bwee, lalu siapa?" kata Seng Liong Sen.

"Nanti akan kau ketahui sendiri," jawab sang bibi. "Aku rasa dia orang yang paling kau benci. Malah perasaan dendammu lebih besar kepadanya dari pada kepada Tik Bwee!"

Si Iblis Perempuan yakin benar, jika Seng Liong Sen bertemu dengan Kok Siauw Hong, pendirian keponakannya itu akan berubah total. Sesudah berpesan pada Kok Siauw Hong agar berpura- pura belum sadar. Nona Bong meninggalkan Kok Siauw Hong.

Bong Say Hoa langsung keluar. Tak lama dia lihat Seng Cap-si Kouw datang bersama seorang pemuda berwajah buruk. Dia terkejut. Melihat muridnya kaget sang guru berkata,

"Dia keponakanku, kau boleh memanggil dia Toa-ko!"

Seng Cap-si Kouw memperkenalkan Say Hoa pada keponakannya. Nona itu memberi hormat dan memanggil toako.

"Apa orang itu sudah sadar?" kata Seng Cap-si Kouw. "Be. belum," jawab Say Hoa agak gugup.

Seng Cap-si Kouw langsung mengetahui, apa arti jawaban itu. Tetapi dia berpura-pura tidak tahu.

"Ya, jika sudah sadar laporkan, supaya Toa-komu bisa bicara dengannya!" kata Seng Cap-si Kouw.

Semua pembicaraan itu didengar oleh Kok Siauw Hong. Ketika mendengar kata "keponakan" Siauw Hong tahu karena si iblis hanya punya seorang keponakan, yaitu Seng Liong Sen.

"Seng Liong Sen sudah mati, lalu siapa yang dimaksud "keponakan" itu?" pikir Kok Siauw Hong.

Saat itu Seng Liong Sen sudah melangkah masuk bersama si Iblis Perempuan. Saat mata Seng Liong Sen bentrok dengan mata Kok Siauw Hong, keduanya kaget.

"Oh, kiranya kau masih hidup Liong Toa-ko!" teriak Kok Siauw Hong sangat gembira. Sesaat si Iblis Perempuan terkejut melihat sikap kedua pemuda yang aneh itu. Dia heran kenapa Kok Siauw Hong memanggil Seng Liong Sen "Liong Toa-ko"? Itu panggilan baru untuknya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar