Beng Ciang Hong In Lok Jilid 03

 
Makin lama gadis berpakaian merah itu datang semakin dekat    saja.    Beng    Teng    maju    selaku    orang    yang bertanggungjawab atas kawatannya. Beberapa anak buahnya berseru-seru

"Houw Siauw Tiong Cou! Houw Siauw Tiong-cou. !"

teriak mereka.

Sebelum beberapa orang piauw-su itu meneriakkan teriakannya lagi. si baju merah sudah berada di hadapan mereka. Dia membentak sambil mengayunkan cambuknya.

"Kalian mau apa berteriak-teriak!" kata si nona.

Chu Cu Kia maju sambil memutarkan tombak peraknya. "Jika Nona tidak memakai aturan, jangan salahkan

kami. Silakan Nona turun dari kudamu!" kata Chu Cu Kia.

Chu Cu Kia memutarkan tombak peraknya, tapi pada saat yang bersamaan cambuk si nona berbaju merah sudah menyambar ke kaki Chu Cu Kia. Pada saat cambuk itu disentakkan dan ditarik kuat-kuat. maka tidak ampun lagi Chu Cu Kia pun terpelanting dan jatuh seketika itu juga.

Saat itu juga ujung cambuk segera membelit ke tombak Chu Cu Kia. saat cambuk itu dihentakkan oleh nona berbaju merah itu. tombak yang sedang dipegang Chu Cu Kia pun terlepas dari cekalannya.

Semua yang melihat kejadian itu terkejut. Hanya dengan dua gerakan nona berbaju merah itu mampu menaklukan Chu Cu Kia. Ini suatu bukti bahwa gadis berbaju merah itu sangat lihay.

Beng Teng sadar ia bukan tandingan gadis berbaju merah itu. tapi tetap maju menghadang. Nona baju merah mencambuk kudanya akan menerjang ke arah Beng Teng. hingga Beng Teng pun segera menyiapkan tamengnya untuk menahan terjangan kuda si nona baju merah.

"Roboh kau!" teriak si nona baju merah. Kehhatan ujung cambuk si nona menghantam tameng di tangan Beng Teng. sehingga tameng itu jadi miring dan mengenai pedang Beng Teng. Celakanya ujung pedang mengarah ke arah Beng Teng. untung ia sempat berkelit kalau tidak ia bisa celaka oleh pedangnya sendiri.

"Crass!" pedang Beng Teng tepat mengenai pohon.

Sekalipun nyawa Beng Teng selamat. tapi tak urung tubuhnya terpental jauh juga melewati pohon itu. Untung Beng teng tak sampai roboh terguling. Saat itu kuda merah si nona melewatinya, sedang nona itu pun tertawa.

"Nama besarmu tidak percuma!" puji si nona.

Ini bukan hinaan karena si nona pun jadi heran Beng Teng tak roboh oleh serangannya. Tapi tak urung ucapan nona ini membuat wajah Beng Teng jadi merah juga. Saat Beng Teng sedang melawan gadis berbaju merah, anak buahnya sedang bertarung melawan Ciu Hong. 

"Semalam kita sudah saling berkenalan, maka kali ini aku tak akan menyusahkan kalian!" kata Ciu Hong sambil tertawa.

Ciu Hong tak bersenjata ia hanya menggunakan cambuk kudanya yang ia ayun kian-kemari

Empat piauw-su andalan Beng Teng seperti Ciok Cong Thian, Cin Kan dan Sun Hua juga Chu Cu Kia tiga di antaranya sudah terluka. Sekarang hanya Sun Hua yang masih memaksakan diri melawan Ciu Hong. Tak sampai sepuluh jurus Cin Hong sudah membentak.

"Kena!"

Ujung cambuk Ciu Hong menyambar ke jalan darah Khekti-hiat Sun Hua. Ia hendak berkelit, tapi sudah terlambat   hingga   serangan   Ciu   Hong   tepat   mengenai sasaran dan Sun Hua tidak bisa bergerak lagi bagaikan patung.

"Maafkan aku. kau tak bisa bergerak untuk sementara saja. Nanti kau bisa bergerak sendiri!" kata Cin Hong  sambil tertawa.

Sun Hua gusar tapi ia juga kagum oleh kepandaian Ciu Hong itu. ujung cambuk lunak tapi si nona bisa menggunakannya dengan tepat, itu menandakan ia berilmu tinggi.

Beng Teng sudah terdesak sehingga kawan-kawannya ingin maju membantu dia Beng Teng menghela napas panjang.

"Sudah kita mengaku kalah saja!" kata Beng Teng. Sekarang  Ciu  Hong  sudah  berada  di  depan  kereta.

"Kakak  Han  aku  datang  menengokimu  lagi!"  kata  Ciu

Hong.

Si baju merah diam saja.

Sedangkan kedua lelaki tua yang berdiri di samping kereta segera memberi hormat kepada si baju merah.

"Nona Ci. apa khabar? Nona kami sedang kurang enak badan, ia sedang istirahat."

Si baju merah tersenyum.

"Oh ya. kalau dia sedang sakit aku harus menjenguknya." kata si baju merah.

Kedua lelaki tua itu bingung, mereka tak tahu harus berbuat apa. Tetapi tiba-tiba kerei jendela kereta terbuka, tak lama pintu kereta pun terbuka juga dan seorang gadis sambil tersenyum keluar dari sana.

Si baju merah tertawa. "Pwee Eng. maaf ya! Aku ini tamumu yang tak kau senangi, dan aku datang menemuimu sepagi ini!" kata si baju merah. "Maaf kedatanganku sangat mengganggumu!"

Semua piauw-su baru tahu kalau nona di atas kereta mewah itu bernama Han Pwee Eng.

"Kau jangan bicara begitu Kakak Ci. kau datang menemuiku itu sangat kuharap-harapkan. Hai angin apa yang telah membawamu ke mari?" kata Han Pwee Eng.

Memang Beng Teng sudah menduga si nona baju merah itu Ci Giok Hian. Kiranya terkaannya itu tepat sekali.

"Dari sikap mereka yang hangat dan lembut." pikir Beng Teng "mereka kelihatan seperti kakak beradik saja. Tetapi aku tak tahu dalam hati mereka mungkin terdapat ganjalan besar!"

Ci Giok Hian tersenyum.

"Siauw Hong gagal mengundangmu, maka itu aku sendiri yang datang menemuimu sekarang!" kata Ci Giok Hian. Han Pwee Eng menggelengkan kepala.

"Apakah Siauw Hong tidak menyampaikan pesanku! Aku sedang sakit sehingga tidak bisa menemuimu. itu sematamata agar aku tidak merepotkan kau." kata nona Han.

"Jika kau sedang sakit justru harus ada famili yang merawatmu. Hubungan kita sudah bagaikan kakak beradik saja. Mengapa kau merasa tidak enak jika aku yang merawatmu?" kata Ci Giok Hian.

Wajah Han Pwee Eng berubah kemerah-merahan

"Hm! Dia terus mendesakku, lebih baik aku bicara terus terang kepadanya!" pikir Han Pwee Eng. Tetapi sebeium nona Han bicara ia sudah didahului oleh Ci Giok Hian

"Sudah kau jangan membohongiku. Pwee Eng! Karena kau ingin buru-buru menikah sehingga kau melupakan aku Kakakmu! Iya kan?" kata Ci Giok Hian tegas.

Chan It Hoan si kakek kurus menyela.

"Jadi Nona Ci sudah tahu masalah ini. Kalau begitu kau tidak perlu menyalahkan Nona kami. Karena dari pihak lelaki telah memilih hari yang baik mereka akan segera menikah. Oleh sebab itu setelah Nona kami menikah, pasti ia akan berkunjung menemuimu di Pek-hoa-kok!" kata Chan It Hoan tegas dan tanpa tedeng aling-aling.

Mendadak Ci Giok Hian tertawa nyaring.

"Hm! Bukankah calon adik iparku itu bernama Kok Siauw Hong yang tinggal di Yang-cou? Jika benar dia. kau tak usah ke Yang-cou. sebab aku telah mengundang dia dan sekarang dia sudah ada di Pek-hoa-kok. Lebih baik kalian berdua menikah di sana saja."

Sesudah bicara Ci Giok Hian tertawa lagi.

"Untung kau bertemu denganku, kalau tidak, perjalanan kaiian akan sia-sia saja. Sungguh lucu jika mempelai perempuan yang akan menemui calon suaminya, tetapi ternyata kau tak menemui dia di sana!" kata Ci Giok Hian.

Mendengar ucapan Ci Giok Hian kelihatan Han Pwee Eng terkejut.

"Bagaimana ia bisa mengetahui dengan jelas masalah ini? Padahal kepandaian Kok Siauw Hong tidak rendah... Apakah dia telah dikalahkan oleh Ci Giok Hian?" pikir Han Pwee Eng yang jadi termangu sesaat. Semula Han Pwee Eng akan membohongi siapa nama calon suaminya. Ci Giok Hian memang bersahabat dengannya. Tetapi ketika nona Han akan menikah, ia tidak memberitahu sahabatnya itu. Sungguh mengherankan bagaimana nona Ci malah sudah tahu semua apa yang akan ia lakukan. Mengapa Han Pwee Eng tidak mau memberitahu kawannya kalau ia sudah bertunangan  dengan Kok Siauw Hong? Pasti ada sebabnya.

Ketika itu Han Pwee Eng teringat pada perkenalannya pertama kali dengan Ci Giok Hian, yaitu empat tahun yang lalu. Ketika itu dia baru berumur  tahun. Suatu ketika ayah nona Han menyuruh dia mengantarkan sepucuk surat untuk teman ayahnya yang tinggal di Ci-lam.

Di tengah perjalanan Han Pwee Eng menyaksikan kawanan perampok sedang merampok para pedagang. Nona Han menghunus pedangnya lalu bertarung dengan para perampok itu. Ini ia lakukan untuk menolong para pedagang dari gangguan para perampok itu.

Pada waktu itu kepandaian Nona Han belum seperti sekarang. Ketika itu nona Han nyaris celaka. Untung Ci Giok Hian muncul karena kebetulan lewat di tempat itu. Dia membantu Han Pwee Eng, akhirnya mereka berdua berhasil mengalahkan para perampok itu.

Ketika itu Ci Giok Hian sudah berumur  tahun, atau lebih tua dua tahun dari nona Han. Nona Ci lebih awal berkecimpung di Dunia Persilatan, maka tak heran kalau dia lebih berpengalaman. Setelah berbincang mereka merasa cocok satu sama lain. Tetapi karena Nona Han harus ke Ci-lam maka mereka pun berpisahan di tempat itu. Saat berpisah nona Han mengundang nona Ci untuk datang ke Lok-yang. permintaan nona Han itu oleh nona Ci disetujuinya. Setelah mengantarkan surat ke Ci-lam nona Han langsung pulang ke Lok-yang. Setiba di rumahnya ia menceritakan pengalamannya kepada ayahnya. Terutama tentang pertemuannya dengan Ci Giok Hian yang telah membantu dia mengalahkan para perampok sehingga mereka menjadi sahabat dengan nona Ci. Saat Han Tay Hiong telah selesai mendengar cerita puterinya itu. tampak dahi Han Tay Hiong berkerut-kerut, seolah ada sesuatu yang sedang dipikirkannya.

Han Pwee Eng heran menyaksikan ayahnya seperti itu. "Ada apa Ayah? Apakah Ayah kurang senang aku

bersahabat dengan orang Dunia Persilatan? Jangan salah duga kawanku itu kan seorang perempuan seperti aku. Tidak apaapa bukan?" kata nona Han.

Han Tay Hiong diam sejenak tak menjawab.

Rupanya Han Pwee Eng sejak kecil telah dijodohkan dengan anak lelaki keluarga bermarga Kok di Yang-cou. Sehingga saat Han Pwee Eng diminta mengantarkan suratpun nona Han telah dipesan oleh ayahnya, dia tidak boleh sembarangan bergaul dengan orang-orang Rimba Persilatan. Ayahnya hanya mengatakan dia diminta begitu agar kelak tak ada pergunjingan orang tentang keluarga mereka.

Tak lama kemudian Han Tay Hiong menjawab pertanyaan puterinya tadi.

"Ayah bukan tidak senang kau bergaul dengan siapapun." kata Han Tay Hong. "apalagi orang itu berilmu tinggi. Malah ayah gembira sekali. Tetapi ayah ingin tahu. apakah nona Ci itu tinggal di Pek-hoa-kok?"

Nona Han Pwee Eng mengangguk. "Ayah benar. Bagaimana Ayah bisa mengetahui dia tinggal di sana? Kata dia pemandangan di sana sangat  indah dan banyak bunga tumbuh di sana. Aku tak singgah di sana karena harus mengantarkan surat Ayah. Tetapi dia aku undang datang ke mari." kata Han Pwee Eng.

Mendengar jawaban puterinya Han Tay Hiong sedikit terperanjat.

"Apa kau memberitahu pada dia bahwa kau telah bertunangan dengan keluaga Kok di Yang-cou?" tanya sang ayah.

Wajah Han Pwee Eng berubah kemerah-merahan.

"Ah Ayah! Aku baru berkenalan dengannya, mana mungkin aku memberitahu soal pertunanganku segala." kata Han Pwee Eng sambil menunduk. Mendengar jawaban puterinya Han Tay Hiong manggut-manggut.

"Apa dia juga menanyakan kau mau apa ke Ci-lam?" tanya ayahnya lagi.

Pwee Eng menggelengkan kepalanya.

"Tidak! Aku cuma bilang bahwa aku ada urusan mau ke Cilam dan dia tidak bertanya apa-apa lagi. Ayah. Dia juga tidak cerewet kok!" kata Han Pwee Eng.

Han Tay Hiong tersenyum.

"Bagus kalau kau tak bilang apa-apa. Ingat! Selanjutnya kau jangan singgung-singgung mengenai keluarga Kok dari Yang-cou pada siapapun!" pesan ayahnya.

Mendengar pesan ayahnya itu Han Pwee Eng jadi tercengang, Ia tatap ayahnya sambil berkata.

"Memang kenapa Ayah?" kata si nona. Han Tay Hong mengerutkan keningnya. Setelah diam sesaat ia berkata.

"keluarga Ci dan keluarga Kok punya masalah." kata Han tay Hiong.

"Masalah apa Ayah?" tanya nona Han.

"Pokoknya punya masalah." kata ayahnya ia tak mau memberitahu masalah apa.

Han Pwee Eng tersenyum ia tak mau mendesak ayahnya.

"Oh begitu. Aku kira keluarga itu punya dendam, tak tahunya hanya punya masalah sedikit. Jika masalah itu kecil. aku tidak khawatir akan merepotkan." kata si nona.

Wajah Han Tay Hiong kelihatan serius.

"Sekalipun kedua keluarga itu tidak saling mendendam sampai saling bunuh, tetapi kau tetap tidak boleh memberitahu tentang hubungan kita dengan keluarga Kok." kata sang ayah.

Ia tatap puterinya dalam-dalam. "Baik. Ayah!" kata Han Pwee Eng.

Tiga bulan telah lewat sejak pertemuan antara nona Han dan nona Ci itu. Ci Giok Hian benar-benar datang ke Lok- yang. Seperti pesan ayahnya dalam bincang-bincang Han Pwee Eng tidak menyinggung-nyinggung soal pertunangan maupun hubungannya dengan orang she Kok dari Yang- cou.

Kedua nona itu bergaul akrab sekali. Setiap hari mereka kelihatan bersama-sama berlatih ilmu silat. Keduanya kelihatan sangat cocok satu sama lain. Setiap malam mereka membuat syair atau puisi. Kiranya Ci Giok Hian seorang nona yang Bun-bu-coan-cay (Mengerti sastra dan ilmu silat juga).

Setelah sebulan lamanya Ci Giok Hian berada di rumah Han Pwee Eng. ia pun pamit akan pulang ke Pek-hoa-kok. Sejak saat itu nona Ci tidak pernah datang-datang lagi ke rumah nona Han Pwee Eng.

Tetapi sungguh di luar dugaan, ketika Han Pwee Eng akan berangkat ke Yang-cou karena akan menikah dengan calon suaminya yang marga Kok di sana. mendadak Ci Giok Hian muncul.

Pada saat itu Ci Giok Hian sedang berdiri di depan Han Pwee Eng. Ia memaksa agar Han Pwee Eng mau datang ke lembah Pek-hoa-kok yang katanya untuk bertemu dengan calon suaminya Kok Siauw Hong. Dia juga bilang Siauw Hong sudah ada di sana atas undangannya. Han Pwee Eng jadi bingung, pergi atau jangan? ia bingung karena ia ingat pada pesan ayahnya.

"Ayah bilang keluarga Kok dan Ci punya masalah. ..

.Tetapi mengapa Ayah melarang aku menyebutkan nama calon suamiku kepada Ci Giok Hian? Sekalipun masalah yang dihadapi kedua keluarga bukan dendam kesumat, namun barangkali masalah itu sulit dijernihkan. Padahal Siauw Hong sudah akan menikah denganku, mana mungkin ia bersedia datang ke rumah Ci Giok Hian? Hanya satu yang mungkin terjadi, kecuali Kok Siauw Hong dipaksa oleh Ci Giok Hian karena Siauw Hong kalah olehnya. Sekarang Ci Giok Hian mengundangku, aku yakin ia bermaksud tidak baik. " pikir Han Pwee Eng.

Han Pwee Eng terus berpikir sehingga alisnya berkerut. "Bila  aku  tidak  mau  ikut  dengannya,  pasti  kami akan

bertarung. Padahal hubunganku cukup baik dengannya. Seandainya   dia   berniat   buruk,   belum   tentu   ia   akan mencelakai aku. Tetapi jika benar kata dia, aku harus menikah dengan Kok Siauw Hong di rumahnya. Bukankah Kok Siauw Hong akan kehilangan muka? Seandainya sampai orang tahu, tentu kami berdua akan menjadi bahan tertawaan." pikir Han Pwee Eng lagi dengan serius.

Lama nona Han berpikir.

"Kepandaian Kok Siauw Hong tidak rendah, tidak mungkin dia bisa dikalahkan dan dipaksa datang ke Pek- hoa-kok oleh Ci Giok Hian? Oh. entah benar atau tidak soal ini?" begitu nona Han berpikir terus.

Melihat nona Han diam saja seolah sedang berpikir keras. Ci Giok Hian menatapnya dengan tidak sabar lagi.

"Kau jangan curiga!" kata Ci Giok Hian sambil tersenyum, "Ingat Kok Siauw Hong sedang menunggumu di sana. Cepat ikut aku!"

Tiba-tiba Ci Giok Hian maju, Ia cekal tangan nona Han lalu ia tarik menuju ke kereta mewah. Tarikan ini membuat Han Pwee Eng tak sempat berpikir lagi.

"Tak peduli benar atau tidak, aku tidak mau ikut dengannya. Aku harus ke Yang-cou untuk menyelidiki masalah ini sampai semua jelas!" pikir Han Pwee Eng.

Tiba-tiba Han Pwee Eng mengibaskan tangan bajunya agar ia bebas dari tarikan nona Ci.

"Terima kasih atas maksud baikmu Kak Ci. tetapi aku tetap tidak ingin merepotkanmu." kata nona Han.

Ketika itu wajah Han Pwee Eng tetap berseri-seri. hingga orang yang menyaksikan adegan itu mengira keduanya sedang saling menolak dan memaksanya untuk pergi. Sebenarnya kedua nona itu sedang mengadu lwee-kang mereka. Ketika itu nona Han sedang mengenakan pakaian pengantin yang panjang. Saat dia mengibas tangannya tadi ia gunakan jari tangannya untuk menotok jalan darah di tetapak tangan Ci Giok Hian.

Beng Teng berilmu cukup lumayan. tetapi ia tidak melihat hal itu terjadi, apalagi anak buahnya.

Totokan yang diam-diam dilancarkan nona Han bernama "Lan Hoa Ciu Tiam Hoat". Ilmu totok ini merupakan ilmu simpanan keluarga Han yang sangat lihay.

Ketika itu nona Han sedang sakit, jika ia sungguh- sungguh berkelahi dengan nona Ci. pasti ia tidak akan sanggup melawan nona Ci. Dengan terpaksa ia mengeluarkan ilmu totok itu.

Nona Ci mencoba menangkis sambil tersenyum. "Adikku mengapa kau terlalu sungkan?" kata nona Ci Pada  saat  bersamaan  Ci  Giok  Hian  pun mengibaskan

lengannya.  Jari  tangan  nona  Ci  berbalik  menotok  jalan

darah nona Han. Nona Han jadi terperanjat dan berpikir.

"Kiranya kau tidak memandang hubungan kita yang baik." pikir nona Han. "sebaliknya kau desak aku demikian rupa. maka akupun tak akan sungkan-sungkan lagi kepadamu!"

Ketika nona Han akan menggunakan ilmu Kin-na-chiu untuk menghadapi nona Ci, lawannya mendadak mengubah serangannya, ini di luar dugaan nona Han. tidak heran jika lengannya jadi tertotok dan seketika itu juga ia kesemutan.

Lengan kanan nona Han telah terpegang erat oleh nona Ci. ia segera bersikap seolah jadi serba salah. Dia tersenyum sambil menggelengkan kepala, kemudian ia ikut saja saat diajak naik ke kereta oleh Ci Giok Hian. -o(DewiKZ~Aditya~Aaa)~o-

Kejadian yang dialami nona Han tak diketahui oleh para piauw-su. Tetapi hal itu tak bisa mengelabui mata kedua lelaki tua para pengawal nona Han. Mereka tahu apa yang terjadi. Bisa dibayangkan betapa terkejutnya kedua pengawal nona Han itu. Sekalipun mereka sadar mereka bukan tandingan nona Ci. tapi keduanya tetap menerjang maju hendak menolongi nona mereka. Sebelum sampai ke kereta, mereka melihat Ciu Hong sudah lama berdiri di sana. Nona Ciu tertawa cekikikan.

"Nonaku hanya ingin mengundang Nonamu, kalian tak ikut diundang!" kata si nona nakal itu.

Saat itu baik nona Han maupun nona Ci sudah naik ke atas kereta mewah. Tetapi kerei jendela kereta belum ditutup.

"Ciu Hong cepat minggir!" teriak nona Ci

Nona Ciu Hong segera menepi. Pada saat yang bersamaan tampak nona Ci mengibaskan tangannya ke luar jendela kereta.

"Chan Toa-siok! Liok Toa-siok! Jika kalian berdua mau ikut sebenarnya aku sangat senang. Tetapi sebaiknya kalian tanyakan dulu pada Nonamu, boleh ikut atau tidak?!" kata nona Ci Giok Hian sambil tertawa.

Ketika itu mereka sudah menerjang maju ke arah kereta, tiba-tiba mereka merasakan sambaran angin dahsyat ke  arah mereka. Kedua lelaki tua itu berhenti karena tertahan oleh tenaga dahsyat itu. Tubuh mereka bergoyang-goyang. Mereka terdorong oleh tenaga yang sangat kuat. Mau tak mau mereka pun tak maju lagi.

Tiba-tiba terdengar suara nona Han bicara.

"Kakak Ci baik padaku, aku akan ikut dengan dia untuk beberapa hari ke rumahnya. Lebih baik kalian pulang saja tak usah ikut kami!" kata Han Pwee Eng.

Rupanya nona Han terpaksa harus bilang begitu. "Ya!" kata kedua lelaki tua itu.

Saat kereta itu mulai bergerak Beng Teng segera lari mengejarnya.

"Nona Ci. biar bagaimana kau tak bisa pergi begitu saja!" kata Beng Teng mencoba menghalanginya. Nona Ci tertawa.

"Ketua Beng kau jangan cemas! Tugas kalian melindungi Nona Han bisa dikatakan sudah cukup, biarlah aku yang akan menggantikan kalian melindunginya. Mengenai usaha kalian aku tak ingin merebutnya!" kata Ci Giok Hian dengan nyaring.

Tiba-tiba ia mengayunkan tangannya. Kelihatan sebatang anak panah tangan meluncur keluar dari kereta. Tetapi anak panah itu tidak meluncur keras karena nona Ci tak menggunakan tenaga dalamnya saat ia melepaskannya. Beng Teng lega hatinya, Ia tahu nona Ci tak hendak melukai dirinya. Buru-buru dia ulurkan tangannya untuk menyambut anak panah itu. Lalu anak panah itu ia perhatikan dengan seksama, ternyata ada tulisan huruf "Ci'nya

"Silakan kau bawa anak panah itu untuk ditunjukkan kepada Paman Han. Itu bisa untuk bukti, aku jamin Paman Han akan melunasi sisa bayarannya padamu!" Sesudah itu dia melirik ke arah nona Han.

"Aku yakin Ayahmu itu bukan orang kikir, kan?" kata nona Ci.

Nona Han tersenyum.

"Sekalipun kami bukan orang yang kaya-raya. tetapi mengenai uang  tail emas itu. Ayahku pasti akan melunasinya." kata Han Pwee Eng. Kemudian ia berteriak ke arah Beng Teng. "Cong-piauw-thauw terima kasih kalian telah mengantarkan aku sampai ribuan lie jauhnya. Kau boleh pulang dan temui ayahku seperti pesan Kakak Ci. Ayahku tidak akan menyalahkan kalian!"

Beng Teng tak tahu benar tidaknya ucapan kedua nona itu. yang jelas keduanya telah memberi muka kepadanya. Karena tak mungkin menghalanginya lagi. ia biarkan kereta itu pergi.

Ciu Hong menaiki kuda merah milik nona Ci. ia mengikuti kereta itu dari belakang. Kemudian ia melambai- lambaikan tangannya ke arah kedua lelaki tua itu.

"Chan Toa-siok. Liok Toa-siok dan Cong-piauw-thauw. sampai bertemu lagi! Kami akan merawat dan melindungi Nona Han dengan baik. Beritahu pada Paman Han jangan khawatir!" kata nona Ciu.

Sesudah kereta mewah itu pergi dan tak kelihatan lagi. kedua lelaki tua itu menemui Beng Teng.

"Cong-piauw-thauw. bolehkan kami meminjam dua ekor kudamu?"

Beng Teng tertegun.

"Jadi kalian tak mau pulang bersama kami?" kata dia. Chan It Hoan, si kurus menghela napas panjang. "Nona kami telah dirampas orang, bagaimana kami punya muka untuk menemui majikan kami?" kata Chan It Hoan lesu.

Beng Teng mengerutkan dahinya.

"Lalu apa rencana kalian selanjutnya?" tanya Beng Teng. Chan It Hoan kelihatan sengit sekali.

"Memang kami bukan tandingan Nona Ci. tapi dia tidak boleh membuat majikan kami kehilangan muka. Pepatah mengatakan. "Di luar langit masih ada langit, selain dia masih ada orang lain lagi yang lebih pandai". Sekalipun nona Ci itu lihay. belum tentu tidak ada orang yang mampu mengalahkannya. Lembah Pek-hoa-kok itu mirip sarang harimau, kami berdua telah sepakat akan ke sana!" kata Chan it Hoan dengan tegas.

Beng Teng tahu maksud kata-kata Chan It Hoan. mereka akan mengundang pesilat tinggi untuk pergi mencari nona Ci dan menolongi nona Han. Beng Teng manggut-manggut.

"Kepandaian kami memang rendah." kata Beng Teng. "tetapi jika kalian tak keberatan, kami pun bersedia ikut kalian ke sana!"

Liok Hong, si gemuk menyela.

"Kami sangat berterima kasih pada maksud baik Congpiauw-thauw. Terus terang saja. kalian tak bisa ikut campur dalam masalah kami ini. Tugas kalian sudah cukup sampai di sini. Majikan kami pun, aku yakin tidak akan menyalahkanmu.

lebih baik kalian segera pulang saja ke Lok-yang!" kata Liok Hong.

Diam-diam Beng Teng menghela napas panjang. "Mana aku masih punya muka menagih sisa pembayaran itu? Begitu sampai di Lok-yang. Houw Wie Piauw-kiok harus segera tutup pintu! Selanjutnya aku harus pergi bersembunyi dan hidup sebagai orang biasa." pikir Beng Teng.

Setelah dipinjami dua ekor kuda kedua lelaki tua itu menaiki kuda pinjaman itu dan mereka langsung mengaburkan kuda itu dengan cepat.

Tak lama kelihatan Chu Cu Kia berjalan dengan terpincangpincang.

"Cong-piauw-thauw. kita. "

Sebelum Chu Cu Kia selesai bicara. Beng Teng menggoyangkan tangannya.

"Apa lagi yang harus kita bicarakan?" kata Beng Teng. "Simpan panji-panji kita. mari kita pulang!"

Dikisahkan Han Pwee Eng yang dipaksa ikut dengan nona Ci. Di sepanjang jalan kelihatan ia sangat menyesal, ia juga dongkol dan penasaran sekali. Oleh sebab itu ia terus diam saja. Nona Ci malah tertawa-tawa. Dia rapikan rambut Han Pwee Eng yang acak-acakan.

"Dik. kau marah padaku, ya?" kata nona Ci dengan lembut seperti dulu sebelum ada masalah.

Nona Han menggelengkan kepalanya.

"Aku tahu kau kesal karena aku bisa mematahkan serangan totokanmu itu. kan? Terus-terang ketika aku ada di rumahmu selama sebulan, aku sangat memperhatikan gerakan totokanmu itu! Tadi pada saat kau sedang lengah, aku baru berhasil mengalahkanmu. Tetapi jika kau sudah sembuh, belum tentu aku bisa mengalahkanmu. Aku harap saja  kelak  kita  tak  akan  bertarung  lagi.  Kita  akan  tetap menjadi kakakberadik yang baik. Sungguh aku tak berniat menghinamu. Aku berbuat begitu karena terpaksa. Sesampainya kau di rumahku kau akan paham." kata Ci Giok Hian.

Nona Han sangat benci pada kelicikan nona Ci ini. maka segera ia pejamkan matanya, ia tak mau meladeninya.

Nona Ci menatapnya sambil tersenyum.

"Oh ya. kau sedang sakit, lebih baik kau istirahat saja!" kata nona Ci.

Tiba-tiba dia mengibaskan lengan bajunya ke muka nona Han. Han Pwee Eng segera mencium bau harum yang sangat halus, dan ini membuat dia merasa nyaman sekali, tanpa terasa ia pun tertidur pulas.

Entah sudah berapa lama ia tertidur di kereta itu. Ketika ia bangun, saat ia membuka matanya, sekarang ia sedang terbaring di sebuah tempat tidur yang indah. Kelihatan lilin merah besar menyala terang sekali dan tercium aroma dupa yang sangat harum. Ternyata dia sekarang berada di sebuah kamar yang mewah dan indah.

Kini Han Pwee Eng merasa segar dan nyaman sekali. Akhir-akhir ini penyakit nona Han jadi bertambah parah,

napasnya memburu dan hatinya berdebar-debar terus. Pada

saat ia mengerahkan kekuatannya, ia heran sekali sekarang seolah tak ada masalah atas dirinya. Tentu saja ia jadi heran sekali.

"Aku tertidur hanya sebentar, tapi tubuhku jadi nyaman sekali." pikir nona Han.

Saat ia memperhatikan kamar itu. ia melihat sebuah cermin tembaga ada di situ. Ia langsung bercermin. dalam cermin segera terpeta wajahnya yang cantik. Dia tertegun sejenak, dia heran sekali. Wajahnya yang pucat-pasi sekarang jadi segar dan cantik sekali. Tiba-tiba mata Han Pwee Eng terbelalak.

"Apa saat aku tak sadar Kakak Ci telah mengobatiku?" pikir nona Han.

Ia memperhatikan kamar yang indah itu.

"Apakah ini kamar Kakak Ci. atau kamar lain khusus untuk aku? Aku kira dia baik padaku dan tak bermaksud jahat." pikir nona Han.

Saat ia memperhatikan seluruh ruangan ia melihat sehelai kertas tergantung di dinding kamar. Kertas itu berisi syair demikian bunyinya :

Kota terkenal berada di sebelah kanan. Menunggang kuda ke arah Barat. Melewati musim semi puluhan lie. Menghabiskan masa muda begitu saja. Saat meninggalkan kuda lewat sungai. Sungai pun jadi kering dan jembatan pun lapuk. Senja telah dekat. angin dingin berhembus. Kota pun jadi kosong. Kanda Tu tampan dan gagah berani. Justru kini harus mengalami kejutan Mimpi indah di tauw- teng hijau. Sulit melupakan cinta yang dalam. Dua puluh empat jembatan tetap ada. Hati terus bergejolak.

hutan dingin tak bersuara.

Terkenang obat warna merah di tepi jembatan. Tahukah setiap tahun melahirkan untuk siapa?

Setelah membaca syair itu Han Pwee Eng tertegun dan heran sekali.

"Mengapa Kakak Ci sangat menyukai syair Kiang Pek Ciok ini? Dia menuliskan kembali syair itu dan dia gantungkan di kamar ini. apa agar aku membacanya?" pikir nona Han. Kiang Pek Ciok penyair yang hidup di zaman Lam Song (Song Selatan). Syair itu ditulis setelah terjadi peperangan di kota Yang-cou. Atau syair itu bisa dikatakan berlatar belakang peperangan tersebut.

Hal ini yang mencengangkan nona Han. kebetutan Kok Siauw Hong tahir di kota Yang-cou. Sedang syair itu pun mengisahkan tentang percintaan. Karena itu hati nona Han jadi tergerak. Diam-diam ia berpikir.

"Kakak Ci menggemari syair ini. apa mungkin Kakak Ci punya hubungan dengan Kakak Kok?" pikir nona Han.

"Kata 'Kakak Tu' dalam syair itu siapa yang dimaksudkannya? Jika dimaksudkan Kakak Kok. tak  masuk akal. Sekalipun Kakak Kok orang Yang-cou. namun syair itu bernada sedih. oleh Kakak Ci syair itu mungkin ditujukan kepadaku agar aku membacanya, sedangkan aku akan menikah dengan Kanda Kok. Meskipun aku tak merasa terganggu oleh syair itu tetapi cukup merusak suasana." pikir nona Han.

Tampak nona Han bingung dan tak habis pikir, ia mencoba menghibur diri dan tertawa.

"Mungkin sajak ini ditempatkan di sini dengan tak punya maksud apa-apa. Tapi aku yang sok tahu menganggap diri pandai, dan menafsirkannya secara sembarangan tentang Kakak Ci." pikir nona Han.

Cukup ]ama nona Han melamun sendirian di tepi tempat tidur. Tak seorang pun yang datang ke kamar itu. Dia sengaja batuk-batuk beberapa kali. tetapi tak ada jawaban, ia jadi jengkel sendiri.

"Di mulutnya ia berkata manis, sekarang ia tak memperdulikan aku sendiri di sini! Apa ia pikir aku tak bisa mencari dia?" pikir nona Han. Nona Han ingat Ci Giok Hian mengatakan bahwa calon suaminya ada di sini. Jika ia ikut ia akan bertemu dengan calon suaminya itu. Sekarang dia sudah ada di sini. tetapi Kok Siauw Hong belum juga muncul menemuinya Sekarang nona Han jadi bingung sekali. Pada saat dia akan pergi mencari nona Ci dan akan menanyakan tentang Kok Siauw Hong. tibatiba ia batalkan niatnya itu.

"Jika hal itu aku tanyakan kepadanya, ah aku ini kan seorang calon pengantin. Apa itu tak akan jadi buah tertawaan orang?" pikir si nona.

Tapi jika ia duduk saja sambil melamun itu sangat menjengkelkan hatinya.

"Entah jam berapa sekarang?" pikir si nona.

Ia berdiri dan berjalan ke jendela, ia buka daun jendela, ia lihat rembulan di langit sana tampak bersinar terang. Di luar sana tampak sebuah taman bunga yang sangat luas. Tetapi di sana tak tampak ada orang.

Han Pwee Eng berjalan ke arah pintu lalu keluar dari kamar itu menuju ke taman. Bukan main indahnya taman bunga itu. Beraneka warna bunga mekar, tetapi ia tak tahu apa namanama bunga itu.

Di taman bunga itu terdapat gunung-gunungan dan tempat istirahat. Dia memuji keindahan taman bunga ttu.

"Sungguh indah tempat ini! Pantas Kakak Ci bilang lembah Pek-hoa-kok tak ada duanya di kolong langit ini! Tempat ini begini indah, apalagi tempat yang lainnya." pikir nona Han.

Sekalipun taman itu indah tetapi sayang pada saat itu hati Han Pwee Eng sedang kacau, jadi keindahan taman itu tak mendapat perhatiannya. Dia berjalan hilir-mudik sejenak

"Sekarang lwee-kangku telah pulih, sedang tempat ini tidak dijaga. Lebih baik aku melarikan diri ke Yang-cou untuk menyelidiki masalah itu. Tapi aku belum bertemu dengan Kakak Ci. Pergi tanpa pamit rasanya kurang pantas." pikir nona Han.

Dengan pikiran kusut ia terus melangkahkan kakinya sampai ia tiba di depan sebuah kolam yang ditanami bunga teratai. Kolam itu tertimpa oleh sinar rembulan dan kelihatan indah sekali. Ia berdiri di tepi kolam sambil melamun.

Saat itu ketika nona Han sedang mengawasi air kolam. tiba-tiba tertera bayangan orang berpakaian putih berdiri di belakang dia. Orang itu sedang tersenyum. Nona Han tertegun wajahnya segera berubah.

"Siapa kau?" bentak nona Han.

Semula ia kira orang itu Kok Siauw Hong. tetapi sesudah melihatnya dengan tegas ternyata bukan Siauw Hong. Ia langsung membentak. Memang sejak kecil nona Han telah bertunangan dengan Kok Siauw Hong. ketika itu dia baru berumur tiga tahun. Ayah Kok Siauw Hong datang ke rumah nona Han dan tinggal beberapa hari di sana. Pada saat itu Kok Siauw Hong sudah berumur delapan tahun, lebih tua lima tahun dari nona Han. Ketika itu juga dia mendengar Kok Siauw Hong sudah berlatih ilmu Tong Cu Kang (Lwee-kang Jejaka). Kok Ju Sih sangat sayang pada Kok Siauw Hong. ke mana pun ia pergi ia selalu dibawa oleh ayahnya.

Han Tay Hiong dan Kok Ju Sih dua sahabat kekal. kemudian mereka berdua sepakat akan menjodohkan anakanak mereka. Anak-anak mereka waktu itu masih kecil dan belum tahu apa-apa tetapi mereka tetap merencanakan pertunangan itu.

Setelah Kok Ju Sih dan Kok Siauw Hong pulang. keluarga itu jarang berhubungan, karena jarak rumah mereka berjauhan sekali. Setelah sepuluh tahun Han Tay Hiong datang ke Yang-cou. Nona Han tidak diajak ke sana karena masih kecil. ditambah lagi ia seorang nona yang harus menjaga diri.

Suatu hari pada saat Kok Siauw Hong datang untuk memberitahu khabar duka bahwa ayahnya telah meninggal. ketika itu nona Han sudah berumur  tahun. Bukan main berdukanya Han Tay Hiong. Pada saat bertemu Kok Siauw Hong itulah. Han Tay Hiong menceritakan tentang perjodohan pemuda itu dengan puterinya.

Ketika itu Kok Siauw Hong memberi alasan, karena ia masih muda dan sesuai tradisi bangsa Tionghoa ketika itu  ia harus berkabung selama tiga tahun, baru bisa melangsungkan pernikahan. oleh sebab itu ia belum bersedia menikah dengan nona Han. Akhirnya mereka sepakat setelah selesai berkabung baru pernikahan itu akan dilangsungkan.

Sungguh di luar dugaan di dalam negeri terjadi perang saudara, sehingga negara terbagi menjadi dua yaitu Song Utara dan Song Selatan. Dengan demikian Kok Siauw Hong tidak bisa menjemput calon isterinya dari Lok-yang. Ditambah lagi Han Tay Hiong pun mengalami kecelakaan sehingga ia menderita luka dalam. Sekalipun tak sampai parah dan kehilangan ilmu silatnya. tetapi Han Tay Hiong tak bisa mengantarkan puterinya ke Yang-cou. Akhirnya sampai Han Pwee Eng berumur  tahun, baru ia kirim puterinya itu untuk dinikahkan dengan Kok Siauw Hong di Yang-cou. Saat pertama kali nona Han bertemu dengan Kok Siauw Hong. ketika itu calon suaminya memberitahukan tentang ayahnya telah meninggal. Han Pwee Eng tidak menemuinya karena malu. Tetapi ia masih sempat mengintai dari jauh dan bisa melihat calon suaminya itu. Saat itulah ia terkesan pada calon suaminya, sehingga hatinya berbunga-bunga karena calon suaminya itu cukup tampan hingga timbul rasa cintanya pada pemuda itu.

Sedangkan pemuda yang bayangannya terpeta di  empang itu jelas bukan calon suaminya. Kok Siauw Hong. Tetapi pemuda yang kini sedang dihadapinya itu sebaya dengan calon suaminya. Selain itu ia juga tampan dan gagah. Ketika mata mereka beradu Han Pwee Eng terkejut karena ia bukan calon suaminya. Pemuda yang berpakaian serba putih itu tersenyum kepadanya.

"Nona Han jangan kaget. Giok Hian itu adikku. Aku kakaknya, namaku Giok Phang." kata pemuda itu sambil tersenyum manis.

Nona Han sekarang ingat bahwa tempo hari Ci Giok Hian pernah memberitahu dia. bahwa dia punya seorang kakak lelaki oleh sebab itu sekarang hati nona Han jadi sedikit tenang, lalu ia menegur pemuda itu.

"Sudah begini malam. kau mau apa ke mari?" tanya  nona Han tanpa terasa.

Sesudah menegur pemuda itu baru nona Han kaget. Sudah tentu Giok Phang boleh ke mana saja ia suka. karena rumah itu rumahnya. Tetapi teguran tadi sudah disampaikan tak bisa ditarik kembali. karena itu wajah nona Han pun jadi kemerahmerahan dan tersipu-sipu malu sekali. Untung Ci Giok Phang tak mempermasalahkan hal itu. "rembulan malam ini indah sekali." kata Giok Phang suaranya datar, ia berkata sambil tersenyum.

Ketika nona Han melihat senyuman pemuda itu tiba-tiba hatinya jadi berdebar-debar.

"Ah aneh sekali dia ini. bukan menjawab pertanyaanku, malah ngelantur ke soal lain." pikir nona Han. "Ah entah apa maksud dia berkata begitu?"

Ketika nona Han mengawasi pemuda itu. ia sedang tersenyum ke arahnya.

"Tadi aku pikir bunga teratai pasti lebih indah kelihatannya jika dilihat di malam hari. Lalu aku ke mari ingin melihatnya. Tetapi aku mendengar ada suara wanita, aku kira Giok Hian. adikku. Tak tahunya kau Nona Han! Maaf. aku telah mengejutkanmu. Harap Nona Han tak marah kepadaku."

Wajah Han Pwee Eng terasa panas, pasti berubah merah "Tidak apa-apa." jawab nona Han.

"Tak kusangka Nona Han juga menyukai bunga teratai di malam hari. ya?" Kata Ci Giok Phang.

Dari lagu suaranya nona Han tahu pemuda itu telah menganggap dia sebagai temannya saja. hal itu membuat nona Han jadi kesal. Tapi sekalipun pemuda itu bicara dengan sopan dan ramah sekali, namun si nona segan menegur lagi

"Aku datang ke tempat ini karena iseng saja. sekarang aku akan kembali ke kamarku." kata nona Han.

Nona Han berjalan menuju ke kamarnya sedang pemuda itu mengikutinya perlahan.

"Kau belum pernah ke taman ini. sungguh senang berjalanjalan di sini. Oh ya, aku dengar kau sedang sakit, bagaimana keadaanmu sekarang? Apa sudah mendingan sekarang?" kata Ci Giok Phang ramah.

"Itu cuma penyakit biasa." kata nona Han. "terima kasih atas perhatianmu. Sekarang aku merasa sudah baikan."

Ci Giok Phang tersenyum manis.

"Kalau begitu syukurlah, adikku Giok Hian sangat mencemaskaumu. ia takut kau tak segera sembuh. Dia minta aku menemuimu. tetapi aku pikir pasti kau belum sehat benar" kata Giok Phang.

Han Pwee Eng tertegun.

"Oh kiranya benar. Ci Giok Hian yang mengobaliku." pikir nona Han. "Tetapi mengapa dia tak segera menemui aku? Malah ia suruh kakaknya yang menemuiku. Sungguh keterlaluan!"

Melihat nona Han tertegun Ci Giok Phang kembali tersenyum pada si nona.

"Nona Han. aku dengar kau sudah hampir setahun menderita penyakit itu. benarkah? Siu Lo In Sat Kang (Pukulan Sesat Hawa Dingin) dari Chu Kiu Sek memang sangat lihay. oleh sebab itu penyakitmu itu tak bisa kau katakan penyakit biasa." kata Giok Phang.

Han Pwee Eng terkejut mendengar kata-kata pemuda itu.

"Oh. kiranya mereka sudah tahu aku menderita luka apa?" pikir nona Han. Chu Kiu Sek yang disebutkan pemuda itu adalah musuh besar ayahnya.

Delapan tahun yang lalu. ketika Han Tay Hiong pulang dari rumah Kok Ju Sih di Yang-cou, di tengah jalan Han Tay Hiong bertemu dengan musuh besarnya itu. Ayahnya bertarung dan terluka dalam karena terserang oleh ilmu Siu Lo  Im  Sat  Kang.  Sepasang  kaki  ayahnya  itu  jadi  agak lumpuh, tetapi masih bisa dipakai untuk berjalan hanya lambat.

Mengenai kejadian ini sebenarnya tak diketahui oleh siapapun. Ketika itu tidak bisa mengelabui Han Pwee Eng, dia tahu kepandaian ayahnya telah lenyap. Ketika ayahnya baru pulang sang ayah tak memberi tahu nona Han. siapa musuh besarnya itu.

Tanpa terasa tujuh tahun telah berlalu....

Selama tujuh tahun itulah Han Tay Hiong menggembleng puterinya ini dengan pelajaran ilmu silat tingkat tinggi. Sampai akhirnya Han Pwee Eng mahir dalam Ilmu Pedang Menusuk jalan Darah, ilmu ini sangat cepat dan ganas. Hanya dalam satu jurus ia mampu menusuk sebanyak tujuh jalan darah musuh. Ilmu pedang tersebut dinamakan Keng-sin Kiam-hoat (Ilmu Pedang Mengejutkan Dewa).

Han Tay Hiong mengajarkan ilmu itu kepada puterinya karena ia takut tiba-tiba musuh besarnya itu akan muncul.

Pada musim Semi tahun lalu. Chu Kiu Sek betul-betul muncul, Han Pwee Eng jadi merinding apabila ia ingat pertempuran waktu itu.

Ketika itu Han Tay Hiong sedang duduk bersila di tanah dan Chu Kiu Sek masuk ke halaman rumah mereka dengan wajah bengis. Saat melihat Han Tay Hiong sedang duduk di tanah. Chu Kiu Sek langsung menyerang Han Tay Hiong.

Han Pwee Eng ketika itu sedang di kamarnya ia seolah merasakan kamarnya itu bergetar, ia juga merasakan hawa dingin luar biasa menerobos masuk ke dalam kamarnya, ia cemas bukan main, ia sangat mencemaskan keselamatan ayahnya. Lalu ia mengintai keluar lewat celah-celah jendela. Dia lihat ayahnya roboh ketika diserang. Saking cemasnya nona Han melompat keluar dari kamarnya lewat jendela dan langsung melancarkan serangan yang hebat ke arah Chu Kia Sek. Nona Han menyerang dengan sebilah pedang dan menggunakan jurus dari ilmu Pedang Mengejutkan Dewa itu. Pada saat yang bersamaan pula, ayah nona Han yang tadi roboh melancarkan serangan mendadak ke arah perut Chu Kiu Sek. Terkena serangan itu Chu Kia Sek menggeram, lalu melompat dan kabur. Dari kejauhan masih terdengar suara jeritannya.

Han Tay Hiong telah duduk kembali sambil menggelengkan kepala dan tersenyum getir.

"Sayang, sungguh sayang sekali!" katanya. "Apa yang sayang. Ayah?" tanya nona Han.

"Sayang serangan pedangmu hanya berhasil melukai tiga jalan darahnya, tetapi ditambah dengan sebuah pukulanku, cukup membuat dia terluka parah! Dalam waktu tiga tahun lwee-kangnya belum tentu bisa pulih. Hm! Delapan tahun yang lalu aku terkena oleh sebuah pukulannya. Kini bisa dikatakan aku telah membalasnya!" kata Han Tay Hiong. Han Pwee Eng tersenyum puas.

"Sebenarnya Chu Kiu Sek tak memusuhi kaum muda, tetapi karena tadi kau telah menyerang dia dengan pedangmu, maka aku harap tiga tahun lagi kau harus siap- siaga pada pembalasannya, oleh karena itu, kau harus segera menikah tahun ini juga!" kata Han Tay Hiong.

Memang dalam usia  tahun si nona sudah pantas menikah, tapi ucapan ayahnya tadi membuat ia jadi bertanya pada ayahnya.

"Ayah. mengapa.    "

Han Tay Hiong langsung memotong kata-kata puterinya. "Coba perhatikan hawa murnimu! Bukankah di bagian dadamu terasa kurang nyaman?" kata ayahnya.

Han Pwee Eng mengerahkan hawa murninya. Benar saja di bagian dadanya ia merasakan sakit.

"Kau telah terserang hawa dingin Siu Lo Im Sat Kang si Iblis itu! Sekalipun lukanya tidak parah, tetapi jika tidak diobati pasti akan menyusahkanmu, keluarga suamimu memiliki ilmu Siauw-yang-sin-kang (Ilmu Tenaga Sakti Hawa Panas). Sekalipun ilmu itu tak bisa memecah ilmu tawan, tetapi mampu mengobati lukamu. Setelah kau menikah kau minta pada suamimu agar kau diajari ilmu itu. Aku yakin lukamu pasti akan sembuh kembali dan kalian berdua boleh bergabung. Tiga tahun kemudian jika si Iblis itu datang untuk menuntut balas, ilmu silatmu pasti sudah tinggi. Aku yakin kalian berdua akan mampu melawan si iblis itu!" kata Han Tay Hiong menjelaskan.

Sungguh di luar dugaan sebelum nona Han sempat menikah dan belajar Siauw-yang-sin-kang, luka yang dideritanya malah sudah diobati oleh Ci Giok Hian. Hal itu membuat ia bingung dan berpikir keras.

"Dia yang mengobatiku, tapi mengapa dilakukan dengan diam-diam tanpa setahuku? Apakah dia bawa aku ke mari hanya untuk mengobatiku? Dia bilang Kok Siauw Hong ada di sini. benarkah begitu? Atau itu hanya alasan saja supaya aku mau ke mari?" pikir Han Pwee Eng bingung bukan main.

Dia ingin menanyakan hat itu kepada Ci Gtok Phang. tetapi tak berani karena merasa tak enak hati dan baru kenal. Akhirnya ia berdiri termangu.

Ci Giok Pang menatap si nona sambil tersenyum. "Nona Han, izinkan aku memeriksa nadimu." kata Ci Giok Phang.

Pemuda ini kakak Ci Giok Hian. Ketika pemuda itu ingin memeriksa penyakitnya, tentu saja ia tak keberatan. Tak lama ia ulurkan tangannya pada pemuda itu. Baru pertama kali nona Han bersentuhan tangan dengan seorang pria, sehinga ia merasakan sesuatu yang aneh dan wajahnya terasa hangat, mungkin telah berubah jadi merah.

Setelah memeriksa nadi nona Han, tak lama pemuda itu melepaskan pegangannya.

"Kuucapkan selamat kepadamu. Nona Han. Ternyata hawa dingin yang bersarang di tubuhmu telah bersih, pasti tak akan kambuh lagi." kata pemuda itu sambil tersenyum.

Han Pwee Eng tersenyum getir.

"Oh ternyata kalian yang menyembuhkan penyakitku." kata nona Han. "Ketika aku tertidur pulas saat di kereta itu. Kakak Ci telah memberiku obat mujarab, ternyata sekarang aku telah sembuh? Terus terang Ayahku bilang sekalipun tidak parah tetapi penyakitku itu sulit diobati. Benar kan begitu?"

Ci Giok Phang tersenyum.

"Karena kau yang menanyakan hal itu kepadaku, maka aku harus jujur menjawab pertanyaanmu itu. Tetapi itu tidak ada sangkut-paumya dengan jasa adikku mengobatimu. Untuk mengobati penyakitmu itu dia telah mengorbankan lweekangnya yang dipelajarinya selama tiga tahun." kata Giok Phang.

Han Pwee Eng terperangah. "Oh. sebenarnya baru setahun ini aku menderita  penyakit itu. Apa Kakak Ci bisa meramal kejadian yang akan datang?" kata nona Han.

"Waktu adikku berkunjung ke rumahmu, dia telah menyiapkan diri untuk kejadian hari ini." sahut Ci Giok Phang. "Ketika itu ayahmu terluka oleh Siu-to-im-sat-kang sehingga sepasang kakinya lumpuh. iya kan?"

Han Pwee Eng mengangguk. "Benar." kata dia.

Nona Han termenung sejenak.

"Kiranya Kakak Ci tahu luka Ayahku." pikir dia. "Adikku sadar Iblis itu tak begitu mudah untuk

melepaskan ayahmu, cepat atau lambat ia akan menuntut batas. Pikir adikku seandainya bukan kau yang terluka parah, dia akan mengobati ayahmu."

Mendengar keterangan itu nona Han terharu sekali, ternyata Ci Giok Hian sangat memperhatikan dia dan ayahnya.

"Tak kukira begitu kejadiannya, sungguh menyesal aku telah menyusahkan Kanda Ci!" kata nona Han.

Wajah Giok Phang tiba-tiba berubah merah. Hal ini pun membuat Han Pwee Eng tercengang.

"Heran mengapa tiba-tiba wajahnya kemerah-merahan." pikir nona Han.

Ci Giok Phang lalu berkata.

"Sepulang adikku dari rumahmu, dia langsung pergi ke Go-bi-san mencari Bu Siang Sin-nie. Ia memohon agar diajari Ilmu Tusuk Jarum Memunahkan Racun. Bu Siang Sin-nie  mengabulkan  permintaannya.  Selama  setahun   ia belajar di sana." Ci Giok Phang berhenti sejenak, kemudian ia melanjutkan kata-katanya. "Sebenarnya Ilmu Tusuk Jarum itu tak mampu menyembuhkan penyakitmu itu. Untung kami tinggal di Pek-hoa-kok..."

Han Pwee Eng tercengang.

"Tempat ini memang indah lalu apa hubungannya dengan penyakitku?" tanya nona Han.

"Terus terang secara turun-temurun keluarga kami sudah menempati lembah ini hampir seratus tahun lamanya." kata Ci Giok Phang.

"Lalu kenapa?" desak nona Han.

"Moyang kami sangat menyukai berbagai bunga yang langka dan terkenal." kata Ci Giok Phang. "semula tempat ini hanya lembah liar belaka. Kemudian moyang kami mencari dan mengumpulkan berbagai bunga, lalu mereka tanam di tempat ini. Tak heran kemudian lembah ini jadi bernama Pekhoa-kok "

Han Pwee Eng tersenyum.

"Moyangmu yang menanami bunga sedangkan anak cucunya yang menikmati keindahannya. lalu apa hubungannya dengan penyakitku?" kata nona Han.

"Tentu saja ada hubungannya!" kata Giok Phang. "Di lembah ini terdapat bermacam-macam bunga dan rumput obat di antaranya ada yang berkhasiat untuk mengusir hawa dmgin dalam tubuh manusia. Salah satunya pohon bunga yang hanya berbunga  tahun sekali! Nona Han. ini mungkin satu keberuntungan bagimu. Tahun lalu pohon itu berbunga. Adikku lalu mencampur bunga itu dengan arak dan arak itu dinamai Kiu-thian-sun-yang Pek-hoa-ciu (Arak Seratus Bunga Berhawa Panas)" Setelah berkata begitu Giok Phang tersenyum.

Kemudian pemuda ini melanjutkan.

"Semalam pada saat kau tertidur pulas. diam-diam adikku memberimu arak obat tersebut. Setelah itu baru ia menggunakan ilmu tusuk jarum untuk memunahkan racun yang ada dalam tubuhmu. Tetapi adikku khawatir Iweekangmu belum pulih. Maka itu ia menyuruhku menggunakan Siauw-yang-sin-kang untuk melancarkan jalan darahmu agar bisa cepat sembuh!" kata Giok Phang sambil tersenyum.

Mendengar keterangan tersebut wajah Han Pwee Eng tampak kemerah-merahan.

"Rupanya dia mahir ilmu Siauw-yang-sin-kang.. Eh. jika dia gunakan ilmu itu untuk melancarkan jalan darahku, bukankah dia telah... aaah pasti dia telah meraba tubuhku." pikir nona Han jadi bertambah jengah.

Ci Giok Phang sadar apa yang membuat wajah nona itu berubah merah dan apa yang sedang dipikirkan oleh nona itu. hal ini membuat ia jadi kikuk bukan main.

"Terus terang baru tahun yang lalu aku belajar Siauw- yangsin-kang. Aku dan Kok Siauw Hong saling tukar- menukar ilmu silat. Dia mengajari aku Ilmu Siauw-yang- sin-kang, sedangkan kami mengajari dia ilmu silat andalan keluarga kami. Untuk menyembuhkan penyakitmu itu. semuanya harus lengkap. Yaitu menggunakan Ilmu Tusuk Jarum dari Go-bi-pay, arak obat Kiu-thian-sun-yang Pek- hoa-ciu dan Siauw-yang-sinkang. Maka itu penyakitmu bisa segera sembuh dan tidak butuh waktu dua tahun...Maaf Nona Han. kau harus memaafkan kelancanganku ttu!" kata Ci Giok Phang.

Wajah Han Pwee Eng berubah merah. Dia tak bisa menyalahkan   pemuda   itu   yang   ingin   menyembuhkan penyakitnya. Namun, cerita pemuda itu menambah lain kecurigaan yang ada di otak nona ini.

"Giok Hian bilang Kok Siauw Hong ada di sini." pikir nona Han. "dalam hal menguasai Siauw-yang-sin-kang rasanya Kok Siauw Hong lebih mahir dari Giok Phang. Tetapi kenapa Ci Giok Hian justru menyuruh kakaknya yang mengobatiku? Ayah pernah bilang di antara keluarga Ci dan Kok terdapat masalah. Tetapi atas dasar keterangan pemuda ini, mereka justru bersahabat baik? Aneh sekali?"

Saat nona Han sedang kebingungan, Ci Giok Phang berkata lagi.

"Ternyata Nona Han bisa sembuh dengan cepat, kami kakak beradik sangat girang sekali, ini suatu bukti bahwa obat Kiu-thian-sun-yang Pek-hoa-ciu itu memang sangat berkhasiat. Adikku hendak mengutus orang mengantarkan arak obat tersebut untuk ayahmu. Dengan lwee-kang yang ayahmu miliki. tanpa tusuk jarum memunahkan racun pun ayahmu pasti akan sembuh." kata Ci Giok Phang.

Mendengar kata-kata pemuda itu Han Pwee Eng terharu atas kebaikan keluarga Ci ini.

"Budi Kak Ci sangat besar, entah bagaimana aku membalasnya." kata nona Han. "Oh ya di mana Kakak Ci sekarang? Aku ingin mengucapkan terima kasih kepadanya." kata nona Han.

"Tak perlu tergesa-gesa, Nona Han!" kata Ci Giok Phang. "Sesudah kau paham benar masalahnya, baru kau boleh menemui adikku itu."

Han Pwee Eng tertegun.

"Dia ingin aku memahami masalah apa?" pikir nona Han. "Benar aku jadi bingung." kata nona Han. "Kakak Ci ingin mengobatiku, mengapa ia harus mengelabui aku?" Ci Giok Phang tersenyum.

"Jika sebelumnya ia memberitahu lebih dulu. ia khawatir kau tak bersedia menerima uluran tangannya untuk diobatinya!" kata Giok Phang.

Han Pwee Eng jadi bertambah curiga.

"Jadi dia ingin agar aku membalas budi kebaikannya itu?" pikir nona Han.

Saat nona Han sedang berpikir Ci Giok Phang telah bicara lagi dengan hati-hati.

"Adikku ingin meminta sesuatu kepadamu." kata pemuda itu sambil tersenyum. "Tetapi aku pun tidak tahu apakah Nona Han bersedia atau tidak mengabulkannya? Tetapi aku harap Nona Han tidak salah paham. Adikku tidak berharap kau membalas budinya itu. Seandainya Nona Han tak bersedia mengabulkan permintaannya itu. dia juga tidak berani memaksa!"

Sekalipun Ci Giok Phang berkata begitu, mereka telah menyembuhkan nona Han. Sesudah itu ia baru mengatakan masalah itu pada si nona, jelas ini sudah mereka rencanakan lebih dahulu, begitu yang ada dalam pikiran nona Han.

Sejak tadi Han Pwee Eng memperhatikan mimik wajah Ci Giok Phang dengan serius. Walau pemuda itu tersenyumsenyum, tapi kelihatan ia seolah tak enak hati untuk membicarakan permintaan adiknya itu. Selang sesaat nona Han bicara sebelum pemuda itu membuka mulutnya lagi.

"Aku dan Kakakmu bersahabat bahkan seperti kakak beradik saja." kata nona Han. "Ditambah lagi dia juga telah mengobatiku hingga sembuh. Jika dia mendapat kesulitan. bagaimana aku bisa tinggal diam? Jika aku bisa membantu dia, sekalipun harus menerjang lautan api. aku tak akan menolaknya!"

"Sesungguhnya....kau tak perlu menerjang lautan api. tetapi. Entah Nona Han bersedia atau tidak?" kata Ci Giok

Phang dengan suara terbata-bata dan ragu-ragu. Nona Han menatap pemuda itu, lalu katanya. "Katakan saja!" kata Han Pwee Eng.

"Ketika adikku mengundangmu ke mari. apa kau ingat adikku pernah bilang apa?" kata Ci Giok Phang.

Han Pwee Eng tersentak dan ia ingat perkataan ayahnya.

"Oh celaka! Seandainya dia ingin memperalat aku untuk membalas dendam pada Kanda Kok. wah celaka aku! Pasti sulit bagiku mengabulkannya." pikir nona Han.

Ci Giok Phang menatap nona itu sehingga Pwee Eng jadi menundukkan wajahnya dalam-daiam, dengan tersipu- sipu ia menyahut.

"Kakak Ci bilang bahwa Kok Siauw Hong ada di sini.....

dia berjanji akan mempertemukan kami di sini. Entah....Entah. "

Ci Giok Phang tersenyum.

"Sekarang kau ingin bertemu dengan Siauw Hong?" kata pemuda itu.

Han Pwee Eng mengangguk pipinya langsung merah. "Memang Siauw Hong ada di sini." kata Ci Giok Phang

dengan tenang. "Tetapi sekarang dia tidak leluasa untuk menemuimu!"

"Mengapa?" tanya nona Han keheranan. Setelah berkata begitu nona Han berpikir. "Ah pasti mereka telah menahan Siauw Hong di sini!" pikir si nona.

Ditanya begitu Giok Phang tidak menyahut, tapi malah ia bertanya.

"Bukankah sudah lama kalian tidak saling bertemu?" kata Giok Phang.

Han Pwee Eng sadar pasti telah terjadi sesuatu. Tapi karena ini menyangkut masa depannya, tak heran ia jadi agak malu-malu.

"Benar." jawab si nona. "sudah enam tahun kami tidak saling bertemu. Tapi kenapa?"

"Kalian berdua telah ditunangkan sejak kalian masih kecilkecil. ketika bertunangan kau pun baru berumur tiga tahun, bukan?" kata Ci Giok Phang.

Han Pwee Eng mengerutkan dahinya.

"Apa maksudmu mengatakan soal itu?" kata si nona Pemuda itu tersenyum

"Tak bermaksud apa-apa. kalian ditunangkan sejak masih kecil ditambah lagi rumah kalian pun sangat berjauhan jaraknya, kalian juga jarang berhubungan satu sama lain. Nona Han. pernahkah kau berpikir tentang pertunangan yang aneh itu.. .?" kata Giok Phang. 

Tak sadar nona Han mulai gusar.

"Masalah pertunangan itu atas persetujuan kedua belah pihak, orang tuaku dan orang tuanya, cocok atau tidak mengapa kau usil? Jangan ikut campur!" kata Han Pwee Eng.

Pemuda itu sedikit gugup dimaki begitu. "Aku dengar kau pergi ke Yang-cou akan menikah, tapi tahukah kau Kok Siauw Hong tidak ada di sana?  Sebaliknya justru dia ada di sini. Dia tak menyiapkan persiapan perkawinan. Apa kau tak merasa aneh? Apa kau tak ingin tahu sebab-musababnya? Memang aku tak berhak mencampuri urusan pertunanganmu itu. Tetapi bagaimana pun itu ada hubungannya dengan adikku! Aku sebagai kakak Ci Giok Hian. mau tidak mau harus ikut campur!" kata Giok Phang.

Nona Han kaget dan tersentak.

"Ah dia muiai bicara terang-terangan, baik! Aku juga harus bertanya dengan jeias kepadanya!" pikir nona Han.

Dengan menahan marah nona Han berkata lagi  "Adikmu   bilang   dia   mengundangku   ke   mari  untuk

mempertemukan   aku   dengan   Siauw    Hong.   Mengapa

setelah aku ada di sini aku tidak boleh menemuinya? Sebenarnya Siauw Hong ada di sini atau tidak?" kata nona Han agak kasar.

Giok Phang tersenyum.

"Kau kira adikku pembohong? Lihat ini!" dia menyerahkan sebuah perhiasan dari batu kumala pada nona Han. Kemudian Giok Phang melanjutkan kata-katanya. "Saudara Siauw Hong mengembalikan barang ini kepadamu, terimalah!" katanya.

Benda itu benar milik keluarga Han Pwee Eng sebagai tanda pertunangannya dengan Siauw Hong. Bukan main kagetnya Han Pwee Eng meiihat benda itu.

"Apa maksudnya ini?" kata nona Han tekejut. "Kau jangan kaget dan berduka. Jodoh memang sudah ditakdirkan oleh Thian (Tuhan), orang tak bisa memaksanya." kata Giok Phang dengan tenang.

Han Pwee Eng mengerutkan dahinya.

"Katakan dengan jujur, apakah ia ingin membatalkan pernikahan itu?" kata nona Han.

"Enam tahun itu bisa dikatakan lama tapi juga tidak, dikatakan singkat tetapi lama juga." kata Giok Phang mulai bicara lagi. "Selama enam tahun, apapun bisa terjadi sulit untuk diduga. Rupanya Kok Siauw Hong dan Ci Giok Hian saling mencintai, kejadian ini di luar dugaan mereka."

Han Pwee Eng tercengang. seolah ia tak percaya pada apa yang dikatakan oleh pemuda itu. Seperti orang linglung ia bertanya pada Giok Phang.

"Apa kau bilang?" kata nona Han. Pemuda itu menghela napas panjang.

"Adikku tidak bermaksud melukai hatimu, tapi mau bilang apa? Empat tahun yang lalu. sebelum adikku kenal denganmu, dia dan Kok Siauw Hong telah berikrar akan hidup bersama untuk selama-lamanya." kata Giok Phang.

Kabut yang selama ini menutupi pikiran nona Han telah buyar dan terkuak lebar. Teka-teki itu sekarang telah terbuka, semuanya sudah jelas. Tenyata Ci Giok Hian menculik dia ke lembah Pek-hoa-kok. karena masalah ini. Diam-diam Giok Hian mengobati penyakit Pwee Eng. dengan maksud agar Pwee Eng mau membalas budinya itu. dan bersedia melepaskan calon suaminya Kok Siauw Hong kepadanya. Wajah Han Pwee Eng telah berubah menjadi kehijauhijauan karena menahan marah. Sedangkan pemuda itu jadi kikuk dan serba salah.

"Aku tahu ini sangat keterlaluan." kata Giok Phang. "dan ini menyusahkan orang! Namun, nasi telah jadi bubur, mereka berdua tak mau berpisah. Sebaiknya kau berpikir dengan kepala dingin, karena perjodohanmu itu atas persetujuan keluarga kalian berdua. "

Dengan sengit Han Pwee Eng membentak. "Segera kau pergi temui mereka, suruh mereka menemuiku!" kata Pwee Eng. Giok Phang tersenyum.

"Sabar Nona Han. Setelah emosimu reda baru kau boleh menemui mereka!" bujuk Ci Giok Phang dengan sabar.

Seketika geram, malu, benci dan kesal maupun dongkol telah bercampur aduk dalam diri Han Pwee Eng. Tak lama ia pun berdiri dan langsung pergi.

Giok Phang mengejar nona itu.

"Nona Han sabar, sesuatu seharusnya bisa dibicarakan dengan baik-baik!" katanya sabar Han Pwee Eng tertawa dingin.

"Mau bicara baik-baik apa? Jika itu yang diinginkan oleh adikmu, baik aku akan membuat dia puas!" kata nona Han sengit.

Selesai bicara nona Han mengayunkan tangannya ke arah Ci Giok Phang. seketika itu meluncur sebuah benda bercahaya terang menyambar ke arah Giok Phang. Pemuda itu tertawa getir sambil menggeleng-geltengkan kepala.

"Eh! Kok aku yang kau salahkan?" kata dia.

Sambitan benda yang mengarah kepadanya dengan cepat disambut, ternyata itu sebuah mutiara putih gemerlapan. "Barang itu milik Kok Siauw Hong. serahkan pada adikmu, sekarang benda itu harus menjadi miliknya!" kata nona Han. Kiranya mutiara itu tanda pertunangan antara Kok Siauw Hong dan nona Han.

Ci Giok Phang tertegun. "Nona Han.. "

Tetapi nona Han sudah pergi jauh, ia lihat nona itu sudah melompati tembok pekarangan. Pemuda itu menghela napas panjang.

"Pasti dia sangat berduka.. " pikir Ci Giok Phang.

Ci Giok Phang bingung ia akan mengejar nona itu, tetapi sudah jauh. Entah itu salah siapa? Yang jelas kedua orang tua mereka yang bersalah telah menjodohkan anak-anak mereka, padahal saat itu anak mereka masih kecil dan belum tahu apaapa. Seandainya Ci Giok Phang bisa menyusul nona Han pun. lalu ia bisa apa? Menghibur atau memberinya penjelasan. Ah tak mungkin malah barangkali hanya akan menambah keruh suasana saja. Pemuda ini berdiri termangu-mangu. Sepasang matanya masih terus mengawasi ke arah lenyapnya nona Han yang elok itu.

Nona Han terus berlari ia tinggalkan lembah yang membuat ia berduka. Sekalipun indah sama sekali tak diperhatikannya. Tiupan angin malam yang dingin membuat dia tersentak.

"Bohong! Aku tak bisa mempercayai kata-kata kakak beradik itu!" pikir nona Han.

Saat ia sedang gusar tak habis pikir. Ci Giok Hian yang ia anggap sebagai kakaknya itu, malah telah mengatur rencana untuk merebut calon suaminya. Sebuah rencana yang paling busuk, ia juga benci pada Kok Siauw Hong yang   telah   membohonginya,   agar   datang   ke Yang-cou untuk melangsungkan pernikahan mereka. Dengan demikian ia harus menerima hinaan yang luar biasa itu.

Semula ia ingin mencari mereka untuk dicaci-maki. Tapi apa gunanya? Karena jika benar mereka saling mencintai, itu akan menambah sakit hatinya.

Ia menahan air matanya agar tidak jatuh, ia ingin segera meninggalkan lembah yang membawa petaka baginya itu. mudah-mudahan mimpi buruknya itu akan segera lenyap.

"Aku bersumpah tak ingin bertemu lagi dengan mereka!" pikir nona Han.

Tetapi hatinya sedikit tak rela bagaimana begitu mudahnya Ci Giok Hian merebut calon suaminya? Dan bagaimana ia bisa begitu saja melupakan penghinaan itu? Selain itu bayangan Kok Siauw Hong selalu muncui di pelupuk matanya. Apa ia mencintai pria itu? Dia sendiri tidak tahu. karena saat ditunangkan mereka berdua masih sangat kecil dan tak pernah bertemu walau hanya sekali saja. Enam tahun yang lalu nona Han hanya sempat melihatnya sebentar. Itu pun dari jauh.

Saat sedang melamun tiba-tiba nona Han tersentak. "Siapa tahu Ci Giok Hian membohongiku? Kata Ayahku

kedua keluarga itu punya masalah, siapa tahu dengan cara

licik dan rendah Ci Giok Hian membalas dendam pada Kok Siauw Hong. Biar bagaimana aku harus menyelidikinya dengan jelas!" pikir nona Han.

Setelah itu hati nona Han agak tenang, ia mengambil keputusan akan pergi ke Yang-cou seorang diri untuk mencari tahu kejadian yang sebenarnya....

-o(DewiKZ~Aditya~Aaa)~o- Selang dua hari di kota Yang-cou kedatangan seorang wanita cantik, dia adalah Han Pwee Eng. Memang semula Han Pwee Eng datang ke kota ini sebagai calon pengantin. Tetapi Setelah terjadi suatu kejadian yang di luar dugaan itu, maka pernikahannya dengan Kok Siauw Hong tertunda entah untuk berapa lama?

Dengan mudah nona Han bisa menemukan rumah keluarga Kok Siauw Hong. Rumah mereka dia ketahui dari ayahnya, bahwa mereka menempati sebuah gedung tua yang sangat terkenal. Rumah itu ada di jalan Tek-see.

Sebelum menuju ke rumah keluarga Kok. Han Pwee Eng singgah dulu di sebuah rumah makan untuk makan. Sesudah makan baru ia bertanya-tanya mencari gedung keluarga Kok itu. Karena hampir semua penduduk kota Yang-cou tahu gedung itu jadi tidak sulit ia mencarinya.

Ketika nona Han tiba di depan pintu gedung itu. ternyata pintunya tertutup rapat. Di sisi kiri dan kanan pintu gedung itu terdapat sepasang singa-singaan yang terbuat dari batu keras. Ketika diperhatikan oleh nona Han. ternyata pintu gedung itu sudah penuh dengan sarang laba-laba. jelas sudah itu menunjukkan bahwa keluarga Kok dalam waktu dekat tidak akan mengadakan pesta apapun, apalagi pesta pernikahan.

Setelah menyaksikan keadaan rumah itu kening nona Han berkerut.

"Jika di tengah jalan tak ada halangan. besok adalah hari pernikahanku dengan Kok Siauw Hong. Seharusnya gedung ini sudah dihias rapih. Tetapi entah mengapa sama sekali tak ada tanda-tandanya mereka akan mengadakan pesta perkawinan? Kalau begitu memang benar Kok Siauw Hong tak bersedia menikah denganku?" pikir nona Han. Sebagai seorang gadis balikan seorang calon pengantin ia anggap sungguh tak pantas untuk mencari keterangan, apakah benar atau tidak keluarga Kok akan mengadakan perkawinan. Pintu rumah itu tertutup rapat, ia tak pantas masuk ke dalam rumah itu.

"Jika tak ada niat mengadakan pernikahan di keluarga Kok ini, dan aku datang mencari calon suamiku, lalu apa kata orang nanti?" pikir Han Pwee Eng.

Dia berdiri sejenak di depan pintu, kemudian berjalan menjauhi rumah itu sambil berpikir.

"Nanti malam aku akan ke mari lagi untuk menyelidiki sampai jelas, apa sebenarnya yang terjadi? Jika Kok Siauw Hong tidak ada di rumah, apakah boleh aku menemui ibunya?" pikir nona Han.

Dari ayahnya nona Han pernah mendengar bahwa ibu Kok Siauw Hong seorang Rimba Persilatan, tentu tak ada halangan ia menemuinya.

"Malam ini diam-diam aku akan ke sana. jika ketahuan oleh ibunya, akan kujelaskan semuanya. Aku yakin ibunya tak akan menyalahkan aku." pikir nona Han.

Pada hari itu ia mencari dan bermalam di sebuah penginapan dan membayar uang sewanya untuk satu malam saja. Tepat pada tengah malam ia segera mengenakan pakaian ya-heng-sut (pakaian untuk berjalan malam bagi kaum Rimba Persilatan). lalu ia berjalan menuju ke rumah keluarga Kok.

Malam itu di tangit tak kelihatan bulan dan bintang pun tak muncul. Keadaan jalan raya dalam keadaan gelap dan hanya satu dua rumah terlihat ada penerangannya. Sesampai di depan gedung keluarga Kok. ia lihat gedung itu gelap tak kelihatan orang yang belum tidur. "Sebenarnya di gedung itu ada orang atau tidak?" pikir nona Han Pwee Eng bingung.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar