Badai Di Siauw Lim Sie Jilid 08

JILID: VIII

“HAMPIR dua puluh tahun lebih Buddha Hidup Ke delapan meninggalkan Persia” menjelaskan pemimpin orang Persia tersebut. “Kami sebagai Delapan Pelaksana, dengan ini telah berusaha untuk mencari beliau. Ada yang mengatakan bahwa beliau kembali ke India tempat asal beliau, ada juga yang memberita bukan bahwa Buddha Hidup Ke delapan telah berkelana di Tionggoan untuk melakukan perbuatan2 mulia dan mengambangkan agama Buddha, sebagaimana yang dapat dilakukannya. Kami sebagi Delapan Peiaksana, kami memiliki dua tugas. Tugas pertama, kami harus mengatur semua kepentingan Buddha Hidup, dan kami pula yang harus mengurus persoalan2 di luar agama kami. Karena itu kami tidak mencukur rambut dan tidak menganut hidup sebagai pendeta, Dan juga. kami selalu  berusaha  untuk  dapat  menyediakan  segala sesuatu kebutuhan Buddha Hidup menurut apa yang telah tercantum dalam “Tripitaka”, karena itu segala sesuatu peraturan mengenai Buddha harus kami kuasai  sepenuhnya. Hanya sayang sekali, kehilangan pegangan waktu Buddha Hidup Ke delapan mengatakan ingin merantau selama beberapa tahun, dan kami tidak dapat mengetahui tujuannya yang pasti, apakah beliau kembali ke India, atau memang pergi ke daratan Tionggoan. Karena itu pula selama belasan tahun kami mencari beliau, kami tidak memiliki pegangan, kami hanya menyebar murid-murid kami untuk menyelidikinya dimana beradanya Buddha Hidup Ke delapan.”

Sam Liu Taisu mengangguk sabar, diapun berulang kali menyebut kebesaran Sang Buddha. Memang Sam Liu Taisu pernah mendengar dari gurunya perihal delapan Pelaksana, yaitu delapan orang yang selalu mengurus kepentingan Buddha Hidup, yang tidak mencukur rambut dan memiliki dua tugas, yaitu tugas melayani Buddha Hidup disamping mengurus semua persoalan diluar agama.

Walaupun demikian, kedelapan orang Pelaksana yang tidak masuk sebagai pendeta itu disebut sebagai Delapan Pelaksana Suci, yang merupakan lambang dari Delapan Jalan Mulia pelajaran Sang Buddha.

“Kami terakhir telah mengalami suatu kesulitan. Di Persia kami memang menamakan diri kami sebagai orang2 Isiana Awan, yaitu istana Sorga yang akan menampung orang2 yang berbuat amal kebaikan didunia, tentu akan memperoleh pahala di Sorga. Dan kami orang-orang Istana Awan jelas hanya membantu mereka, agar mereka memperoleh jalan yang baik dan lurus dalam menyusuri Delapan Jalan Mulia. Bukankah Sang Buddha pun mengatakan: Dengan berbuat kebaikan mendatangkan kebaikan,    kejahatan    mendatangkan    kejahatan.   Inilah Hukum Hidup yang be nar, disebabkan itu pula kami telah menerima murid tidak sedikit jumlahnya, sebagai pendeta2 Istana Awan di Persia. Dan kami berusaha untuk mengembangkan pelajaran Sang Buddha dengan tetap mempergunakan “Tripitaka” sebagai kitab suci kami. (Tripitaka berarti Tiga “Keranjang Kebijaksanaan, terdiri dari tiga bagian yaitu Khotbah2, peraturan-peraturan kerahiban dan Pembahasan). Namun tentunya Losuhu belum lagi mengetahui bahwa kini dalam golongan pengikut Buddha terjadi perpecahan, yaitu terbagi dalam dua golongan, golongan yang menamakan dirinya Mahayana sebagai pendeta2 yang menghendaki perombakan dalam peraturan Buddha maupun penafsiran pelajaran yang diberikan Sang Buddha, dengan demikian banyak penyalahan dalam penafsiran penerangan yang diberikan Sang Buddha. Dan kami, dianggap sebagai aliran Kuno, dengan diberi nama Hinayana. Karena adanya perpecahan seperti itu, kami perlu segera menjemput Buddha Hidup Ke delapan, karena beliaulah yang kelak dapat memutuskannya, dan bagaimana cara yang baik untuk mengatasi semua itu, tentu Buddha Hidup Ke delapan jika berhasil kami temui, akan berhasil memberikan petunjuk yang sangat berharga.”

Sam Liu Taisu mengangguk. “Tidak Siauwceng duga bahwa keadaan pengikut Buddha terpecah seperti itu. Sayang. Sayang.” mengguman Sam Liu Taisu, “Inilah suatu kelemahan yang sangat buruk sekali”

“Benar Losuhu. memang kamipun berusaha untuk menyelesaikan persoalan tersebut, namun kenyataan yang ada, keadaan telah berobah demikian cepat, dimana para pendeta penganut Buddhism (Buddha Dharma) telah tersebar diseluruh tanah India dan meluas ke seberang lautan yang jauh, ke Utara, ke Selatan, ke Timur maupun ke Barat. Dengan demikian penganut di Tibet, agama Buddha dilebur menjadi agama Lhama (Lhamaism), di Tionggoan menurut berita yang kami terima agama Buddha bergandengan dengan ajaran Khung Cu (Khong Fu Cu, Confucianism) dan ajaran Lao-tze (Taoism), dan di Jepang agama Buddha bergandengan dengan ajaran Shinto, Dengan demikian, sekarang agama Buddha kami telah ter- bagi2 dalam beberapa golongan. Memang kini umat Buddhis yang terbanyak terdapat di Tionggoan, Jepang, Ceylon, Thailan Burma, Vietnam, Korea dan Mongolia. Diberbagai tempat lainnya pun terdapat pula penganut Buddha. Namun yang kami sesalkan, justru kini telah terjadi pemecahan dalam dua golongan yang akhirnya sangat merugikan sekali, karena bukan sedikit biku-biku Buddhis yang tidak mengerti apa yang diajarkan oleh Sang Buddha. Mereka menerangkan kepada orang lain menurut caranya sendiri. Kemudian mereka mengatakan bahwa keterangannya itulah yang paling benar dan yang lain-lain itu keliru. Kerapkali terjadi keterangan2 yang di ajarkan oleh mereka sangat bertentangan dan berlawanan dengan yang diajarkan oleh Sang Buddha.”

Sam Liu Taisu terkejut, dia segera juga merangkapkan sepasang tangannya, memuji akan kebesaran Sang Buddha. Memang selama beberapa tahun saja, di daratan Tionggoan telah tersiar agama baru, yaitu agama Buddha yang dibawa oleh Tat Mo Cauwsu yang menyiarkannya meluas sekali, dan pengikutnya, sekarang tidak sedikit. Agama Buddha berkembang terus.

“Jika demikian, baiklah Siauwceng akan memberitahukan kepada Cauwsuya kami, Soal Cauwsuya kami itu apakah memang Buddha Hidup Ke delapan yang tengah dicari oleh Siecu berdelapan, tidak bisa Siauwceng mengatakan. jika hal ini menyangkut dengan urusan agama kami, jelas hal ini tidak bisa dilalaikan.”

Setelah berkata begitu, Sam Liu Taisu bangun dari duduknya, dia merangkapkan kedua tangannya, dan kemudian pamitan sejenak untuk memberitahukan perihal kedatangan kedelapan orang Persia tersebut, yang ternyata adalah Delapan Pelaksana yang mengurus Buddha Hidup.

Selama menantikan kembalinya Sam Liu Taisu, ke delapan orang Persia itu telah duduk dengan sikap yang menghormat sekali. Walaupun mereka belum memperoleh kepastian bahwa Tat Mo Cauwsu adalah Buddha Hidup Ke delapan yang sedang mereka cari, namun melihat keangkeran Siauw Lim Sie sedemikian rupa, telah tertanam rasa hormat yang besar di hati mereka pada kebesaran Tat Mo Cauwsu sebagai seorang Guru Besar di Tionggoan ini.

Ke delapan orang Persia itu memang sesungguhnya Delapan Pelaksana di dalam Istana Awan. Mereka berdelapan yang mengurus keperluan Buddha Hidup. Dan jika usia mereka telah lanjut, mereka meninggal, maka kedudukan mereka digantikan oleh pengurus yang lainnya, hasil pemilihan dari seluruh penghuni Istana Awan. Dengan demikian, selamanya jumlah mereka harus delapan, yaitu Delapan Pelaksana dan selamanya tidak akan berkurang jumlah mereka, disamping itu tentu saja merekapun merupakan orang2 pilihan yang memiliki kepandaian sangat tinggi, disamping mengurus kebutuhan Buddha Hidup, merekapun berdelapan sebagai pelindung pribadi untuk keselamatan Buddha Hidup.

Yang menjadi pemimpin merupakan Pelaksana pertama, yang menduduki sebagai ketua dengan sebutan Toajing, yang kedua Jiekang ketiga Samlie, keempat Siemie, kelima Goliang keenam Lioktang, ketujuh Citpo dan ke delapan Pattuh.       Demikianlah       mereka       berdelapan    selalu melaksanakan tugas2 mereka, baik di dalam Istana Awan maupun diluar Istana Awan. Dan mereka tampaknya memang selalu diliputi kesibukan, sebab delapan Pelaksana memiliki tugas yang tidak sedikit. Karena itu mereka tidak pernah keluar dan Istana Awan terlebih lagi meninggalkan negeri mereka. Namun sekarang mereka telah tinggalkan Persia, negeri mereka, dengan demikian jelas persoalan yang tengah diurus oleh mereka merupakan persoalan yang sangat penting sekali apalagi memang menyangkut dengan Buddha Hidup Ke delapan yang sampai saat ini belum lagi kembali ke Persia.

Dalam pemilihan Buddha Hidup, umumnya diambil dari seorang pendeta India. Dan semua itu merupakan peraturan yang terdapat didalam agama Buddha. Dan memang pendeta pendeta yang diangkat sebagai Buddha Hidup memiliki tugas yang tidak ringan, sebab seorang Buddha Hidup harus dapat mengurus dan mengawasi seluruh pendeta Buddha didunia ini. Dengan demikian, seorang Buddha Hidup yang telah diangkat, seumur hidup dia harus melaksanakan tugasnya itu sampai menjelang tutup usia dihari tuanya. Barulah digantikan pula dengan Buddha Hidup lainnya.

Tetapi untuk pusat berpemerintahnya Buddha Hidup terhadap penganutnya, dipilih Persia, dimana disana didirikan Istana Awan, dan segala kegiatan Buddha Hidup diatur disana, jadi bukan ditanah kelahiran agama itu sendiri, yaitu India. Dan hanya Buddha2 Hidup saja yang diambil dan merupakan pendeta India.

Dengan dipusatkannya Persia sebagai tempat kegiatan Buddha Hidup melaksanakan tugasnya se-hari2, maka banyak sekali rakyat Persia yang jadi penganut Buddha, bahkan tiga perempat dari penduduk Persia pada saat itu menjadi penganut ajaran Buddha. Dan kitab suci mereka

2 adalah “Tripitaka” atau Tiga Keranjang Kebijaksanaan dan juga “Jatakas” yang berarti ber-macam2 cerita tentang hidup Siddhartha Buddha sebelum mencapai Penerangan Yang Mulia.

Ke delapan Pelaksana itu masih duduk di ruang tamu kuil Siauw Lim Sie dengan sabar. Sam Liu Taisu telah masuk agak lama, rupanya tengah memberikan laporan kepada Tat Mo Cauwsu.

Memang belakangan ini Tat Mo Cauwsu telah menutup diri, dimana tidak ada seorang tamupun yang akan diterima untuk menemuinya. Karena disamping usianya sudah lanjut, juga memang Tat Mo Cauwsu telah hampir tiba pada masa kesempurnaannya.

Tetapi urusan yang dibawa oleh ke delapan Pelaklsana, orang-orang Persia itu, sangat penting sekali, dan karenanya Sam Liu Taisu tidak berani untuk menerima hal-hal tersebut mewakili gurunya. Dia telah melaporkannya pada Tat Mo Cauwsu.

Tidak lama kemudian, ke delapan orang Persia itu melihat dua orang pendeta berjalan mengiringi seorang pendeta tua. Kedua pendeta yang mengiringi pendeta tua yang bertubuh kurus itu tidak lain dari Sam Liu Taisu dan Sin Ceng Taisu, adik seperguruan Sam Liu Taisu, murid kedua dari Tat Mo Cauwsu. Sedangkan pendeta tua yang berjalan di depan kedua pendeta itu, yang langkahnya pelahan, wajahnya terang memerah bersinar, dengan senyum yang ramah welas asih, tidak lain dari pada Tat Mo Cauwsu. Memang Guru Besar itu kini telah mencapai usia yang cukup lanjut, namun melihat pipinya yang memerah seperti itu, dia sehat sekali, dan sikapnya sangat tenang. Cepat-cepat kedelapan orang Persia itu telah berlutut mengangguk-anggukkan kepala mereka sampai kening mereka membentur lantai

“Atas berkah Sang Buddha yang memayungi kami, akhirnya kami berhasil menghadap Buddha Hidup (Hot- tong).” berseru delapan orang Persia tersebut dengan suara yang serentak dan sangat menghormat sekali.

Mereka telah melihat jelas Tat Mo Cauwsu, yang segera juga mereka kenali sebagai Buddha Hidup Ke delapan yang memang tengah dicari oleh mereka. Karenanya, mereka telah cepat-cepat menjalankan penghormatan besar buat Buddha Hidup Ke delapan itu.

Sedangkan Sam Liu Taisu dan Sin Ceng Taisu (yang sebelumnya memakai gelaran Lu Kak Siansu), memandang heran tertegun dengan sepasang mata yang terpentang lebar-lebar. Mereka seperti juga terkejut dan tidak menyangka sama sekali, guru mereka, yang selama ini mereka dampingi, adalah seorang Buddha Hidup, Buddha Hidup Ke delapan, yang memiliki kedudukan agung sekali diagama mereka. Mereka hanya mengetahui guru mereka adalah pendeta India dan memakai gelar sebagai Tat Mo Cauwsu, selain dari itu, perihal guru mereka tidak diketahui oleh mereka, Karenanya, sekarang memperoleh kenyataan bahwa Tat Mo Cauwsu memang sungguh-sungguh merupakan Buddha Hidup Ke delapan yang tengah dicari oleh kejalanan yang begitu jauh, namun akhirnya berhasil bertemu dengan Buddha Hidup yang mereka cari, benar- benar membuat Sam Liu Taisu dan Sin Ceng Taisu jadi memandang takjub. Dan tanpa mereka sadar, kedua murid Tat Mo Cauwsu ini telah menekuk kedua kaki mereka masing-masing, ikut berlutut disamping Tat Mo Cauwsu.

Tat Mo Cauwsu telah mengibaskan tangannya perlahan sekali,  dia  berujar  dengan  sabar  dan  lembut. “Bangunlah kalian....” katanya dengan suara yang perlahan, namun mengandung keangkeran dan kewibawaan.

Kedelapan Pelaksana dari Istana Awan telah bangun, tapi mereka tidak berani berdiri. Mereka dalam keadaan setengah berjongkok. Sedangkan Sam Liu Taisu dan Sin Ceng Taisu juga bersikap seperti itu. Karena sekarang mereka baru menyadarinya, bahwa guru mereka yang selama ini mereka hormati, adalah Buddha Hidup, seorang yang agung luar biasa dalam agama mereka. Dengan demikian rasa hormat mereka jadi meluap-luap terhadap guru mereka, terlebih lagi mereka pun merasa sangat beruntung sekali, dapat menjadi murid dari Buddha Hidup.

Tat Mo Cauwsu telah berkata dengan suara yang sabar: “Kalian berdelapan telah melakukan perjalanan jauh, tentunya kalian sangat lelah sekali. Besok baru kita membicarakan urusan yang akan kalian sampaikan padaku. Nah Sam Liu, pergi kau sediakan kamar untuk ke delapan saudaramu ini”

Kedelapan Pelaksana Istana Awan tidak berani membantah, mereka memberi hormat dan mengiyakan.

Sam Liu Taisu juga telah mengiyakan, kemudian cepat mempersiapkan delapan buah kamar di belakang kuil, untuk kedelapan saudaranya seagama tersebut.

Sedangkan Sin Ceng Taisu telah mempersiapkan minuman untuk orang-orang Persia tersebut, selama kamar mereka dipersiapkan.

Tat Mo Cauwsu telah tersenyum dengan sabar dan kembali ke dalam kuil.

Rupanya keluarnya Tat Mo Cauwsu hanya untuk memberikan penerangan pada kedelapan orang Persia itu, bahwa usaha mereka dan capai lelah mereka tidaklah sia- sia, karena memang akhirnya mereka bertemu dengan Buddha Hidup Ke delapan yang mereka cari. Hanya, hari ini Tat Mo Cauwsu menghendaki mereka berdelapan beristirahat dulu, barulah besok akan membicarakan urusan yang akan mereka laporkan pada Tat Mo Cauwsu, yang ternyata Buddha Hidup Ke delapan adanya.

Begitulah, selama satu hari itu, delapan orang Persia itu hanya bercakap-cakap dengan Sam Liu Taisu dan Sin Ceng Taisu. Banyak sekali yang mereka bicarakan, terutama sekali mengenai perkembangan terakhir mengenai Agama mereka di Persia, yaitu kitab 'Jatakas', yang mencatat cerita- cerita perihal kehidupan Sang Buddha Siddhartha sebelum memperoleh Penerangan Mulia, telah lenyap. Delapan Pelaksana dari Istana Awan tersebut ingin meminta petunjuk dari Buddha hidup.

Kitab “Jatakas” merupakan salah satu dari kitab suci umat Buddha. Karena dari itu, kitab “Jatakas” sama pentingnya dengan kitab suci “Tripitaka”.

“Jatakas” berarti bermacam-macam cerita tentang hidup Sidhartha Buddha sebelum mencapai penerangan Yang Mulia.

Menurut cerita-cerita itu, Buddha telah hidup berulang kali lebih dari  kali, (reinkarnasi), dan diantaranya terbagi sebagai berikut:  kali terlahir sebagai orang yang di puja-puja,  kali menjadi Raja,  kali menjadi pangeran,  kali menjadi orang terpelajar. 2 kali menjadi maling,  kali menjadi budak,  kali menjadi penjudi. Berkali-kali menjadi Singa, Rusa Kuda, Burung rajawali, Banteng, Ular dan juga Katak. Tapi sudah tentu Bodista (namanya sebelum mencapai penerangan) berbeda dari mahluk mahluk yang lainnya, baik sebagai Raja, Budak maupun Hewan dia selalu lebih dapat membawa diri dari pada kawan-kawannya. Salah, satu cerita tentang Bodista ketika masih menjadi burung:

“Waktu Brahmadatta berkuasa di Benares Bodista berulang lahir sebagai burung, dan menuntut hidup di rimba, bercampur dengan burung2 yang lain, diatas pohon yang tinggi dan yang cabang2nya membentang disana-sini.

Pada suatu hari, debu2 jatuh waktu cabang-cabang pohon itu bergesek satu dengan yang lainnya. Asap mulai mengepul. Melihat begitu Bodista berpikir: 'Jika kedua cabang bergesek demikian rupa, letikan api akan keluar dan jatuh ke bawah, lalu membakar daun2 yang kering, akhirnya pohon itu sendiri akan terbakar. Kita tidak harus tetap tinggal disini, kita harus segera terbang ke tempat lain.' Dia serukan kepada kawan2 yang lain agar sama2 terbang berlalu.

Jika kawan2 yang lain itu pandai seharusnya terbang bersama2 ke angkasa dan pergi ke tempat lain. Tapi mereka tidak menghiraukan dan tetap berdiam disitu. Tidak lama kemudian api menyala dan tepat di tempat Bodista tadi mengatakan dan pohon itu terbakar. Asap serta baranya membubung tinggi, sehingga akibatnya burung2 yang tertinggal menjadi buta, mereka tidak dapat berlalu, dan akhirnya mati hangus.”

Karena dari itu, sekarang orang2 Persia itu menjelaskan pada Sam Liu Taisu dan Sin Ceng Taisu, bahwa kitab suci 'Jatakas' telan lenyap entah berada dimana. Dan tentu saja kitab suci 'Jatakas' yang dimaksudkan itu adalah 'Jatakas' yang asli, dengan demikian itu merupakan suatu bencana yang tidak kecil buat kedelapan Pelaksana tersebut, yang bertanggung jawab terhadap seluruh kitab suci Buddha yang terdapat di Istana Awan. Terlebih lagi menurut mereka memang terjadi pemecahan dua golongan, yaitu aliran Hinayana dan Mahayana. Dengan demikian berarti penganut Buddha terpecah belah. Belum lagi di Jepang, Ceylon, Thailand, Burma, Vietnam, Korea dan Mongolia. Karena itu Hah Buddha Hidup Ke delapan walaupun bagai mana harus dicari untuk memintanya berikan petunjuknya, jika memang Buddha Hidup belum berhasrat kembali ke Persia. Dan tidak di-sangka2nya bahwa justru Buddha Hidup Ke delapan yang tengah mereka cari itu tidak lain dari Tat Mo Cauwsu, seorang pendeta suci pendiri Siauw Lim Sie, yang merupakan Guru Besar di daratan Tionggoan. Dan hal ini memang agak luar biasa, tidak pernah diduga oleh Delapan Pelaksana itu.

Sesungguhnya, Buddha Hidup Ke delapan yang kita kenal kemudian dengan sebutan Tat Mo Cauwsu itu dengan berdiam didaratan Tionggoan sekian lama, memiliki alasan tersendiri, yang menyangkut dengan keselamatan umat manusia yang tidak sedikit jumlahnya.

Buddha Hidup Ke delapan, waktu pertama kali tiba didaratan Tionggoan, telah melihat bahwa rakyat Tionggoan masih hidup hanya mengandalkan pelajaran2 Nabi Kong Fu Cu dan Lao-tze, tetapi mereka hanya mengetahui dan mengenai petunjuk maupun pelajaran dari kedua Nabi di Tionggoan itu, mereka masih belum bisa untuk menghayatinya. Dan sebab itulah, Buddha Hidup Ke delapan telah menyiarkan agama Buddha terhadap mereka, dengan direndengkan bersama-sama, pengajaran Nabi Khong Fu Cu maupun Nabi Lao-tze dimana ketiga agama ini jadi tersiar dengan berendeng, hidup subur bersama- sama di daratan Tionggoan.

Ada satu keuntungan yang telah dapat dicapai oleh Buddha  Hidup  Ke  delapan,  karena  di  saat  dia  tiba  di Tionggoan dan menyiarkan pelajaran agama Buddha, maka dia telah dapat mengangkat rakyat Tionggoan ke tingkat beragama yang jauh lebih baik, walaupun mereka memeluk sekaligus dengan tiga bentuk aliran Buddha, Lao-tze dan Khong Fu Cu, namun yang pasti mereka telah memperoleh bimbingan yang jauh lebih baik dari sebelumnya.

Sedangkan sumber utama dari penyiaran agama Buddha didaratan Tionggoan pada masa itu tergantung pada dibangunnya kuil Siauw Lim Sie tersebut.

Karena itulah, Tat Mo Cauwsu telah memperoleh gelaran atau disebut sebagai Guru Besar, karena tidak ada seorangpun di Tionggoan yang mengetahui bahwa Tat Mo Cauwsu, yang ilmu silatnya begitu tangguh dan mungkin merupakan orang yang memiliki kepandaian silat nomor satu di Tionggoan, dan merupakan pendeta yang jadi cikal bakalnya Siauw Lim Sie, adalah Buddha Hidup Ke delapan yang mulia dan agung.

Banyak yang dibicarakan antara Sam Liu Taisu, Sin Ceng Taisu dengan kedelapan Pelaksana dari Istana Awan itu. Yang mereka bicara kan tentu saja perkembangan dalam penyiaran agama Buddiia mereka, terutama sekali yang ingin diketahui oleh kedelapan Pelaksana dari Istana Awan itu adalah penyebaran agama Buddha yang selama ini di daratan Tionggoan. Perkembangan dalam penyiaran agama Buddha di daratan Tionggoan merupakan suatu hasil yang paling cemerlang, karena ditangani langsung oleh Buddha Hidup Ke delapan (Tat Mo Cauwsu) dengan demikian sampai sekarang ini didaratan Tionggoan, merupakan tempat yang terbanyak jumlah penganut agama Buddha.

Kedelapan Pelaksana dari Istana Awan juga telah menanyakan banyak sekali tentang dibangunnya kuil Siauw Lim Sie tersebut. Sam Liu Taisu sebagai murid pertama dari Tat Mo Cauwsu, dengan senang hati telah menceritakan dari awal dan sampai akhirnya pembuatan atau pembangunan kuil yang termegah didaratan Tionggoan dan juga merupakan sumber penyiaran agama Buddha.

Dengan demikian ke delapan Pelaksana dari Istana Awan telah mengetahui dengan baik bagaimana Tat Mo Cauwsu telah membuang tidak sedikit waktunya, bagaimana Budha Hidup ke delapan itu telah memperjuangkan segalanya untuk penyiaran agama Budha didaratan Tionggoan, merupakan pekerjaan yang tak mudah, karena Buddha Hidup Ke delapan, yang selamanya dikenal sebagai Tat Mo Cauwsu dikala ia berada di Tionggoan, merupakan orang India, yang kurang disenangi oleh penduduk Tionggoan dijaman itu. Namun akhirnya toh Tat Mo Cauwcu berhasil juga untuk menempatkan dirinya di Tionggoan, bahkan telah membangun kuil Siiuw Lim Sie dan menyiarkan pelajaran agama Buddha secara meluas di antara rakyat Tionggoan. Bahkan sekarang ini penganut Budhha yang berjumlah lebih kurang  juta orang, Tionggoanlah yang terbanyak umat Buddhisnya. Sedangkan di India sendiri, tempat kelahiran agama Buddha, umat Buddhis tidak banyak.

Setelah beristirahat satu hari lamanya di kuil Siauw Lim Sie, ke delapan orang Persia itu merasakan semangat mereka telah pulih dan rasa letih mereka telah lenyap. Tau Mo Cauwsu dipagi hari juga menerima mereka untuk bertemu dikamar semadhi Tat Mo Cauwsu, yang terletak disebelah selatan dari kuil Siauw Lim Sie, dekat dengan ruangan Tat Mo Tong, tempat penyimpanan seluruh kitab, serta barang2 milik Tat Mo Cauwsu.

Di hadapan Buddha Hidup Ke delapan ini, Toajing, delapan Pelaksana yang tertua atau nomor satu, yang jadi pemimpin dari ke delapan orang Persia tersebut, telah melaporkan semua yang terjadi di Persia belakangan ini, disamping itu juga menceritakan perihal lenyapnya kitab suci 'Jatakas' yang asli, dimana kitab suci itu kini berada belum lagi diketahui.

Tat Mo Cauwsu menerima laporan itu dengan sikap yang tenang kemudian pada Toajing berdelapan telah dikemukakan alasannya mengapa Buddha Hidup Ke delapan ini memilih Tionggoan sebagai tempat menyiarkan agama Buddha, disamping itu Buddha Hidup kedelapan ini menjelaskan pula alasan-alasan mengapa didirikannya kuil Siauw Lim Sie.

Toajing berdelapan telah mendengarkan dengan penuh perhatian.

“Seperti kalian ketahui, bahwa perkembangan di Persia mengenai pengikut-pengikut Sang Buddha, telah sejak lama kuketahui.” kata Buddha Hidup Ke delapan ini. “Dan juga memang sejak saat itu sesungguhnya aku ingin mengambil suatu langkah langkah untuk meredakan pertentangan diantara kedua golongan yang memperdebatkan mengenai penafsiran ajaran-ajaran Sang Buddha. Dan perihal diadakannya pertemuan dan berhimpun di Vesali untuk merundingkan perbedaan2 pendapat mereka, memang telah pula kudengar. Pada pertemuan demikian para pendeta, biku dan pemimpin-pemimpin tidak memperoleh persetujuan dan kata sepakat. Sebagian dari ajaran-ajaran Buddha ditafsirkan berbeda-beda. Dan karena itu mereka akhirnya terbagi-bagi dalam golongan2. Pertama terbagi dalam dua golongan, tetapi kemudian dari kedua golongan itu terpecah pula menjadi lebih banyak golongan2. Itu sudah hukum alam, ada satu tentu ada dua, ada dua tentu ada tiga dan seterusnya.” Berkata sampai disitu, Tat Mo Cauwsu telah menghela napas dalam2. Memang perhimpunan para pendeta, biku dan pemimpin Buddha yang terselenggarakan di Vesali tersebut berlangsung kurang lebih satu abad setelah Siddharta Gautama Buddha meninggal, disaat itulah penganut2nya mulai bertentangan bertengkar mengenai ajarannya.

“Peristiwa itu sangat menyedihkan sekali.” ujar Tat Mo Cauwsu pula. “Dan aku telah memikirkannya selama beberapa bulan, untuk mencari jalan yang se-baik2nya. Namun perkembangan yang terjadi sedemikian rupa, sehingga aku tidak memiliki pilihan lain untuk mangambil jalan, yang terbaik untuk menyelesaikan pertentangan diantara dua golongan tersebut. Dengan memanggil pemimpin dari kedua golongan menghadap padaku, mereka tentu bisa didamaikan dan mereka berjanji akan hidup rukun dihadapanku. Itu terlebih tidak baik lagi. Mereka mematuhi perintah dan nasehatku mungkin disebabkan terpaksa, karena mereka kedua golongan harus sama-sama menghormati Buddha Hidup, dan hal itu merupakan api dalam sekam, yang lebih tidak baik lagi jika dipendam terus menerus, bisa menimbulkan ledakan yang jauh lebih hebat dan merugikan agama kita kelak. Itulah yang membuat aku akhirnya mengambil kebijaksanaan lainnya. Aku meninggalkan Persia, aku merahasiakan kepergianku itu dan aku telah pergi ke Tionggoan. Pertentangan yang terjadi pada kedua golongan dalam agama kita itu justru masih diliputi keserakahan dan bodoh, penyiksaan atas diri sendiri. Dua hal itu tidak mungkin membawa orang kepada hidup yang lebih baik, dan pemimpin dari kedua golongan yang bertentangan bersikeras dengan pendirian mereka, menunjukkan keserakahan mereka, dengan demikian tidak mungkin mereka berhasil membawa pengikut-pengikutnya secara baik, sedangkan untuk mereka sendiri belum tentu

2 berhasil mencapai Hidup baik. Satu2nya yang dapat kuambil mematuhi apa yang pernah diajarkan Sang Buddha, yaitu 'Ikut Jalan Tengah', dan memang aku akhirnya memilih 'Jalan Tengah' itu. Aku meninggalkan Persia, dan memupuk pengikut dan penganut Buddha disini, dan ternyata berhasil. Disaat kedua golongan itu, Hinayana dan Mahayana tengah bertengkar, di Tionggoan sini justru telah terhimpun lebih banyak lagi jumlahnya pengikut ajaran Buddha dibandingkan dari jumlah kedua golongan itu walaupun mereka digabungkan. Dan sedikitnya. cita2ku itu telah berhasil sebagian, di Tionggoan agama Buddha tersiar demikian luas dan disambut dengan gembira oleh rakyat Tionggoan”

Mendengar penjelasan Buddha Hidup Ke delapan sebab musabab dibangunnya Siauw Lim Sie di Tionggoan dan tidak kembalinya Buddha Hidup ke Persia, bukanlah disebabkan Buddha Hidup tidak bertanggung jawab pada para pengikutnya di Persia. Naman justru untuk menghimpun umat Buddha yang lebih banyak lagi. Untuk mempersiapkan disaat kedua golongan di Persia tengah saling cakar dan bertentangan, di Tionggoan telah mulai tumbuh aliran-aliran lainnya dari pelajaran Sang Buddha, walaupun diiringi dengan pelajaran kedua Nabi didaratan Tionggoan lainnya, yaitu Khong Fu Cu dan Laotze,

Amal yang luhur dibuat oleh Buddha Hidup didaratan Tionggoan memiliki kepentingan yang sangat besar untuk pertumbuhan agama Buddha itu sendiri. Karena jika memang Buddha Hidup berusaha menyelesaikan pertentangan yang terjadi antara dua golongan, yaitu golongan Hinayana dengan Mahayana. Dus, setelah membuang waktu belasan tahun belum tentu berhasil mendamaikan dan mempersatukan mereka. Mungkin akan menimbulkan    akibat2    yang    lebih    tidak    diinginkan. Sekarang, justeru dengan mengambil 'Jalan Tengah' Tat Mo Cauwsu atau sesungguhnya Buddha Hidup Ke delapan itu berhasil untuk menanamkan kembali pelajaran Sang Buddha pada rakyat Tionggoan, dan terbukti sekarang justru Tionggoanlah yang memiliki penganut Buddha yang terbesar jumlahnya.

Banyak petunjuk yang diberikan Tat Mo Cauwsu kepada kedelapan Pelaksana Istana Awan itu. Dan juga meminta kedelapan orang Persia itu untuk kembali ke Persia, disana mereka harus melaksanakan tugas-tugas mereka sebagaimana biasa. Sedangkan Tat Mo Cauwsu tidak akan kembali ke Persia.

Tetapi ke delapan Pelaksana Istana Awan itu memohon agar mereka diijinkan menetap di Tionggoan untuk mendampingi Buddha Hidup Ke delapan ini, agar mereka dapat melaksanakan tugas mereka seperti biasanya, melayani semua keperluan Buddha Hidup Ke delapan tersebut. Namun dengan suara yang sabar, Tat Mo Cauwsu telah menolak permintaan kedelapan Pelaksan Istana Awan tersebut.

“Sayang sekali bahwa pengikut2 ajaran Sang Buddha di Persia sangat membutuhkan kalian, amal kalian disana lebih besar lagi. Dan disini, aku justeru telah menerima murid dimana mereka bisa melayaniku sebagaimana layaknya. Dengan demikian, kalian jangan kecewa, walaupun kalian kembali ke Persia, namun kalian melakukan pekerjaan yang luhur. Dan usahakanlah mendekati kedua golongan itu, Hinayana Mahayana satu dengan yang lain agar mereka tidak berselisih paham lagi dan dapat dipersatukan kembali. Jika memang terdapat sesuatu yang benar-benar sangat penting kalian boleh menghadap kemari, untuk mendengar keputusan dariku” Kedelapan orang Persia itu tidak bisa membantah perintah Buddha Hidup. Walaupun dengan hati yang berduka, namun mereka telah menerima tugas tersebut.

“Kalian berdiam saja dulu di Siauw Lim Sie ini selama satu bulan, setelah mana kalian baru melakukan perjalanan pulang ke Persia.” kata Tat Mo Cauwsu.

Kedelapan Pelaksana Istana Awan itu telah meminta beberapa petunjuk lagi dari Buddha Hidup Ke delapan ini, setelah itu mereka mengundurkan diri untuk kembali ke kamar masing-masing.

Memang selama satu bulan mereka akan berdiam di Siauw Lim Sie. Sesungguhnya, semakin lama waktu yang diberikan Tat Mo Cauwsu kesempatan buat mereka berdiam di Siauw Lim Sie, mereka tambah girang, maka mereka selalu berusaha untuk dapat memperoleh ijin dari Tat Mo Cauwsu agar diperkenankan menetap di kuil itu lebih lama pula.

Sayangnya justru Tat Mo Cauwsu hanya memberikan kesempatan padanya selama satu bulan saja, setelah mana kedelapan Pelaksana Istana Awan harus segera berangkat ke Persia guna melaksanakan tugas2 mereka kembali.

Dua minggu telah lewat. Dan selama berada di Siauw Lim Sie, kedelapan Pelaksana Istana Awan telah memperoleh ketenteraman di kuil. Siauw Lim Sie. Dengan demikian, segera juga mereka merasa tambah berat untuk meninggalkan Siauw Lim Sie dan kembali ke Persia jika memang telah tiba waktunya yang di peroleh dari Tat Mo Cauwsu, dimana mereka hanya tinggal dua minggu lagi berdiam di kuil tersebut.

Sedangkan Tat Mo Cauwsu. selama itu telah banyak memberikan wejangan dan nasehat kepada kedelapan Pelaksana  Istana  Awan.  Dengan  demikian  mereka  telah memperoleh banyak petunjuk, dan juga memang mereka telah berhasil untuk memperdalam pengetahuan mereka terhadap pelajaran-pelajaran agama mereka yang terpenting, yang sebelumnya tidak diketahui oleh mereka.

Tat Mo Cauwsu juga menjelaskan, walaupun ia telah membuka aliran baru dalam pengajaran ajaran Sang Buddha di daratan Tionggoan, tetapi Buddha Hidup Ke delapan tersebut tidak menyimpang dari apa yang pernah diajarkan kepada penganut Buddha di Persia.

Sedangkan kedelapan Pelaksana Istana Awan semakin berat juga hati mereka disaat waktu2 yang diberikan Tat  Mo Cauwsu semakin mendekati juga, dimana mereka akan segera meninggalkan Siauw Lim Sie dan Buddha Hidup.

Mereka telah menetap satu minggu lagi di kuil Siauw Lim Sie, dan selama itu mereka semakin gelisah. Kepada Sam Liu Taisu dan Sin Ceng Taisu mereka telah memintanya, agar mereka dapat membujuk Buddha Hidup Ke delapan Tat Mo Cauwsu, guru mereka itu, agar kedelapan Pelaksana Istana Awan diperkenankan untuk berdiam satu bulan lagi di kuil Siauw Lim Sie.

Namun usaha diri Sam Liu Taisu maupun Sin Ceng Taisu sama sekali tidak berhasil, Tat Mo Cauwsu tidak meluluskan permintaan mereka dan telah habis waktu diberikan Buddha Hidup Ke delapan pada kedelapan Pelaksana Istana Awan itu, mereka harus meninggalkan Siauw Lim Sie. Sedangkan waktu yang di berikan Tat Mo Cauwsu hanya tinggal beberapa hari lagi, dimana kedelapan pelaksana Istana Awan itu harus berlalu meninggalkan Siauw Lim Sie dan kembali ke Persia, guna mengurus segala keperluan di Istana Awan, di Persia.

Lima hari lagi ke delapan orang Persia tersebut, Toajing dan lain2nya. telah ber-siap2 untuk berkemas. Mereka juga ingin berpamitan dengan suatu upacara agama kepada Buddha Hidup Ke delapan itu, jika hari keberangkatan mereka telah tiba.

Namun pada tengah malam itu, dimana tinggal lima hari lagi Toajing berdelapan akan meninggalkan Siauw Lim Sie, telah terjadi sesuatu peristiwa di kuil Siauw Lim Sie itu.

Keadaan udara yang cukup sejuk dan sinar rembulan yang cukup terang dan rawan itu, disamping angin yang berhembus dengan perlahan dan lembut, tiba2 kegelapan malam telah di koyak2 oleh menyalanya api yang sangat besar sekali di belakang kuil Siauw Lim Sie. Api berkobar begitu cepat dan lidah-lidah api menyambar kesana kemari.

Untung saja ada beberapa orang pendeta Siauw Lim Sie yang mengetahui tentang terjadinya kebakaran tersebut. Segera juga para pendeta Siaw Lim Sie, dibantu kedelapan orang Persia itu, mereka berusaha memadamkan api.

Tetapi api berkobar begitu besar, lidah api telah menjilat kesana kemari. Tidak mudah untuk segera memadamkan api tersebut dalam waktu yang singkat. Walaupun akhirnya mereka berhasil juga mengendalikan api itu.

Yang membuat mereka gusar dan bertanya-tanya, entah siapa yang telah melepas api membakar belakang kuil Siauw Lim Sie. Itu masih bagus karena belum lagi api menjalar lebih meluas, telah keburu diketahui dan dapat dipadamkan, jika tidak tentu kerusakan-kerusakan yang diderita Siauw Lim Sie akan jauh lebih hebat lagi.

Beberapa orang murid Siauw Lim Sie segera berpencar untuk menyelidiki siapa orang yang telah menyebar api di kuil Siauw Lim Sie. Mereka menyelidikinya sampai ke kaki gunung. Demikianlah juga halnya dengan Toajing berdelapan,     merekapun     telah     membagi     diri  untuk menyelidiki dan berusaha membekuk penjahat yang telah menyebabkan kebakaran itu.

Tat Mo Cauwsu telah memuji kebesaran Sang Buddha beberapa kali, pendeta sakti itu tetap tenang dan berdiam dikamar semedhi nya. Dan pendengarannya yang sangat tajam, sekali, mendengar langkah kaki yang sangat ringan sekali, menunjukkan bahwa dia kedatangan tamu yang memiliki ginkang atau ilmu meringankan tubuh yang telah sempurna. Suara langkah kaki tamu tidak diundang itu pelahan sekali, jauh lebih perlahan dari jatuhnya sehelai daun kering.

Dengan memejamkan matanya dan sikap yang tetap tenang, disamping meneruskan membaca liamkhengnya, Tat Mo Cauwsu seperti tidak memperdulikan kedatangan tamu tidak diundang tersebut.

Sebagai seorang yang telah memiliki kepandaian sampai pada puncaknya, Tat Mo Cauwsu memiliki pendengaran yang tajam luar biasa, dia mendengar selintas saja, sudah mengetahui yang datang dua orang. Hanya yang seorang banyak dibantu oleh kawannya, untuk tidak menimbulkan suara, karena kepandaiannya yang masih dibawah orang satunya.

“Hei pendeta India yang tengik, keluarlah kau untuk menemui Lohu.” terdengar suara orang menantang dari luar jendela Tat Mo Cauwsu. Suara itu sangat perlahan, mungkin orang tersebut sengaja berucap perlahan seperti itu, agar murid-murid Siauw Lim Sie yang lainnya, yang waktu itu tengah sibuk sekali, merapikan keadaan dibelakang kuil yang tadi terbakar, juga sebagian tengah menyelidiki dan mencari jejak penjahat yang membakar kuil itu dengan menyelidiki di sekitar gunung Siauw  Sit San, yang terkenal dengan sebutan Siongsan, tidak mendengarnya. Tat Mo Cauwsu Berhenti membaca Liam kheng, sambil tersenyum sabar Tat Mo cauwsu bangkit, dia menggumam dengan suara yang ramah dan sabar: “Akh, rupanya Loceng menerima kunjungan tamu. Siancai. Siancai. mengapa  tidak singgah saja? Silahkan. Silahkan”

Kemudian dengan langkah kaki yang tenang Tat Mo Cauwsu telah menghampiri jendela, dia membuka daun jendelanya, diapun berkata pula dengan sabar: “Mari silahkan masuk. Loceng tahu, tentunya kalian memang tidak ingin diketahui murid2 Loceng, mengenai kedatangan kalian ini, bukan?.”

Orang diluar itu, yang tadi menantang, mengeluarkan seruan tertahan, menunjukkan dia kaget bercampur kagum, Tat Mo Cauwsu tidak melihat keluar, belum lagi melihat dia dan kawannya, tetapi Tat Mo Cauwsu telah mengetahui bahwa dia datang berdua. Dan yang. mengherankan, justru kawannya yang memiliki ginkang tidak sempurna dia itu tengah digendongnya, dengan demikian kawannya tidak melangkah sendiri, namun Tat Mo Cauwsu mengetahui bahwa dia datang berdua. Itulah pendengaran yang tajam sekali, benar2 Tat Mo Cauwsu seorang pendeta yang sangat sakti serta memiliki kepandaian sempurna sekali.

“Keluarlah. Lohu ingin meminta petunjukmn, pendeta tengik, menurut kata2 sahabatku di Kangouw, bahwa kau ingin memperalat semua jago2 Tionggoan, agar mereka tunduk dan menjadi kaki tanganmu, lalu menjadi pendeta dan kemudian bantu menyebarkan palajaran agamamu, bukankah itu merupakan maksud yang busuk sekali? Hemmm, kukira orang orang Tionggoan tidak mungkin dapat dipengaruhi olehmu, pendeta busuk.”

Mendengar perkataan orang tersebut yang demikian kasar, Tat Mo Cauwsu sama sekali tidak tersinggung atau gusar, bahkan dia tersenyum ramah, diapun dengan sikap yang lembut berkata: “Hal itu bisa kita perbincangkan nanti, silahkan Siecu masuk dulu”

“Hemmm, kau yang keluar, pendeta busuk.” menyahuti orang diluar.

Tat Mo Cauwsu tidak mau menarik urat leher bersikeras dengan orang tersebut. Selama berada di Tionggoan, dia memang sudah seringkali menghadapi manusia2 seperti ini, yang salah paham dan menduga buruk padanya, sebagai Pendeta India yang membuka pintu perguruan kuil di Tionggoan.

Dengan ringan tubuh Tat Mo Cauwsu telah melompat keluar dari kamarnya melalui jendela. Kemudian dia bisa melihat jelas orang itu. Seorang laki-laki. berusia telah lanjut, mungkin tujuh puluh tahun lebih. Sedangkan ditangannya, mengempit seorang laki2 bungkuk. Tetapi waktu Tat Mo Cauwsu keluar, justru lelaki bungkuk yang telah cukup lanjut juga usianya, dilepaskan sehingga berdiri di belakangnya.

Dan orang tua itu berkata dengan sikap mengejek: “Bagus, pendeta busuk. Kau dengan mengandalkan ilmu sihirmu, telah merajalela, dimana muridku ini, Tiai Tauw Kie, menjadi salah satu korban murid2 mu. Hemm, aku Kwan Hu Thong tidak akan membiarkan perbuatanmu ini lebih jauh lagi.”

Tat Mo Cauwsu merangkapkan sepasang tangannya, diam2 hatinya tercekat juga. Sebagai seorang Guru Besar, ia juga memiliki pengetahuan yang luas. Ia juga menyadari bahwa di Tionggoan banyak sekali terdapat jago-jago yang memiliki kepandaian tinggi. Tetapi diantara jago-jago itu hanya dua atau tiga orang saja yang kepandaiannya mungkin berimbang dengan kepandaian silatnya. Salah seorang dari jago-jago yang bisa menandinginya itu adalah Kwan Hu Thong, yang bergelar “Ban Hun Shia” atau “Selaksa Arwah Sesat”. Karena itu Tat Mo Cauwsu jadi terkejut mengetahui bahwa orang tua dihadapannya itu adalah Ban Hun Shia yang terkenal akan sifatnya yang aneh.

Akan tetapi Tat Mo Cauwsu tidak memperlihatkan perasaan terkejutnya itu, sikapnya tetap sabar dan tenang sekali waktu ia berkata: “Silahkan Siecu bersikap tenang dulu, dengarkanlah keterangan Loceng. Didalarn persoalan ini terdapat suatu kesalah pengertian.”

“Kesalah pengertian? Salah paham, maksudmu? Hemmmm, pendeta licik, apakah kau anggap aku masih anak2 ingusan yang mudah ditipu olehmu? Kau tidak perlu memajukan berbagai alasan, karena aku akan membongkar maksud licikmu itu.”

Setelah berkata begitu, tampak Ban Hun Shia telah melangkah mendekati Tat Mo Cauwsu, wajahnya dingin tidak memperlihatkan perasaan. Matanya memancar tajam. Dia memang merupakan salah seorang Datuk Persilatan di dalam rimba persilatan dari kelima datuk lainnya. Semuanya digelari Ngo-ok, lima datuk yaitu Toa Ok, Jie Ok, Sam Ok, Sie Ok, Ngo Ok. Kelima datuk itu menduduki wilayah ke kuasaannya sendiri-sendiri, yaitu di Utara, Selatan, Barat, Timur serta di Pusat, yaitu di wilayah  tengah atau juga di kota raja. Maka dengan demikian, kekuasaan mereka menjadi terbatas pada wilayah kekuasaan masing2 dan kelima datuk itu memiliki kepandaian yang sama-sama sangat sempurna sekali, satu dengan yang lainnya tidak bisa dirubuhkan dan dalam keadaan seperti itu, selalu mereka mengadakan pertemuan2 untuk menentukan siapa yang terlebih tinggi kepandaiannya diantara mereka. Namun acapkali mereka gagal untuk menentukan  siapa  yang  terliehay  diantara  mereka, sebab kepandaian mereka satu dengan lainnya sama sama sempurna, dengan demikian membuat mereka jadi tidak bisa saling merubuhkan, tidak ada yang dapat dilakukan atau juga yang memenangkan dalam pertandingan ilmu silat sehingga keharuman nama mereka sama terkenalnya.

Siapa tahu, sekarang di Tionggoan telah muncul seorang Guru Besar Tat Mo Cauwsu Seorang Guru Besar, yang disiarkan oleh jago jago Kangouw berada diatas kepandaian dari Ngo-ok tersebut, kelima datuk itu. Dengan demikian membuat kelima datuk itu penasaran sekali. Salah satu dari kelima, datuk itu tersebut, yaitu Sam Ok, yang menguasai wilayah selatan, jadi penasaran dan bersama muridnya  yang nomor tiga, yaitu Tiat Tauw Kie, telah mereka datang ke Siong San (Siauw Sit San), untuk mencari Tat Mo Cauwsu, guna mengukur ilmu, untuk mengetahui juga apakah memang benar kepandaian Tat Mo Cauwsu melebihi dari kepandaian kelima datuk, khususnya dirinya. Karena itu, dia ingin membuktikannya sendiri. Siapa tahu, justru muridnya secara kebetulan bertemu dengan Toajing berdelapan, dan justru oleh Toajing, Tiat Ta uw Kie telah dipengaruhi oleh ilmu sihirnya yang membuat Tiat Tauw Kie jadi mengantuk dan tertidur dalam saat-saat bertempur. Coba Toajing seorang yang memiliki sifat tidak baik,tentu Tiai Tauw Kie dengan mudah dapat di celakainya.

Waktu tersadar dari tidurnya dan terlepas dari pengaruh ilmu sihir Toajing,Tiat Tao Kie segera mencari gurunya, yang menginap disalah satu rumah penduduk di perkampungan tidak begitu besar disebelah utara kaki gunung Siong San, melaporkan segala tpa yang dialaminya. Tentu saja Tiat Tan Kie mengurargi dan melebihi bagian- bagian tertentu dalam ceritanya, untuk menutupi malunya. Dia mengatakan sesungguhnya dia telah berhasil mendesak delapan   murid   Tat   Mo   Cauwsu   yang mengepungnya,

2 namun mereka mempergunakan ilmu sihir, sehingga dia jadi merasa rnengantuk Untung saja dia bisa meloloskan diri dan akhirnya tertidur disebuah tempat.

Sang guru, yang memang memiliki adat sangat berangasan dan juga merasa kepandaiannya tertinggi didaratan Tionggoan, sekarang mendengar murid2 Tat Mo Cauwsu membuat muridnya jadi tidak berdaya, hatinya tambah panas. Niat mencari Tat Mo Cauwsu semakin kuat. Dia tidak mau mem-buang2 waktu lagi karena malam itu juga dia mengajak muridnya untuk mendatangi kuil Siauw Lim Sie, untuk “belajar kenal” dengan Tat Mo Cauw su, cikal bakal Siauw Lim Sie, yang didalam rimba persilatan dikenal sebagai Guru Besar.

Tat Mo Cauwsu melihat sikap Ban Hun Shia Kwan Hu Thong, telah tersenyum sabar, katanya: “Sabar, Siecu jangan membawakan adat seperti anak-anak”

“Seperti anak-anak? Hemmm, justru aku ingin memperlihatkan kepadamu, sesungguhnya Tionggoan bukan tempat orang sembarangan menjual lagak. Baiklah, mari kita mulai.”

Setelah berkata dengan sikap mendongkol seperti itu, Ban Hun Shia mengibaskan tangannya, seakan juga ia memang bersiap menantikan serangan Tat Mo Cauwsu.

Tetapi Tat Mo Cauwsu tetap berdiri tenang ditempatnya sama sekali tidak bergerak, dia telah memandang sambil tersenyum dengan ramah sekali, sepasang tangannya dirangkapkan, diapun berkata ”Janganlah kita diperbudak oleh nafsu belaka. Cobalah Siecu berpikir dengan kepala dingin, tentu Siecu akan menyadari bahwa dalam urusan ini terselip kesalah-pahaman belaka, jika memang kita bisa bercakap-cakap beberapa saat saja, tentu kesalah pahaman itu akan dapat dilenyapkan. Dan bukan disini Loceng akan mengatakan Sie cu memiliki pandangan yang salah, tapi jika memang Siecu bersedia untuk bertukar pikiran sejenak saja alangkah sangat menggembirakan sekali.”

Dan setelah berkata begitu, Tat Mo Cauwsu mengucapkan kebesaran Sang Buddha beberapa kali.

Mata Kwan Hu Thong mencilak, memancarkan sinar yang tajam. Memang dia aseran. Setiap orang Kangouw yang mendengar Ban Han Shia, tentu akan ketakutan menggigil dengan semangat seperti terbang meninggalkan raganya. Karena Datuk yang seorang ini memiliki perangai yang aneh sekali, terkadang ia bisa membela orang-orang yang tengah tertindas, namun tidak jarang juga justru dia yang: menghantam habis2an orang2 dikalangan lurus dengan alasan dia memang tidak menyukai peradatan yang sering mereka perlihatkan, dan merasa sebal dengan segalanya itu, yang dianggap Ban Hun Shia sebagai sikap bermuka-muka dan menjilat untuk ambil hati. Dan setiap ada jago muda ataupun orang2 Kangouw yang. terlalu menghormat padanya, tentu dia akan. berbalik merasa sebal dan akan menghajarnya. Jika ada jago Kangouw yang bersikap kasar dan kurang ajar padanya, maka diapun akan menghajarnya juga. Dengan demikian membuat semua orang Rimba Persilatan jadi salah tingkah jika berhadapan dengan Ban Hun Shia karena jika mereka terlalu menghormat, mereka akan dianggap bermuka dua, akan dihajar oleh Ban Hun Shia. bahkan dihajar bukan sekedar dihajar, tidak jarang sampai bercacad hebat bukan main. Tetapi seandainya mereka memperlihatkan sikap yang remeh tidak acuh, tentu merekapun dihajar hebat sekali, sampai mereka menderita dan bercacad atau juga akan menemui kematian.

Sebab itu banyak orang2 Kangouw yang mendengar di tempatnya     ada     Ban     Hun     Shia,     mereka    cepat2 menyingkirkan diri. Menghindarkan pertemuan dengan Ban Hun Shia merupakan jalan yang paling selamat.

Sekarang Ban Hun Shia melihat sikap Tat Mo Cauwsu. Dia beranggapan Tat Mo Cauw su mungkin juga merasa jeri padanya, karena Tat Mo Cauwsu telah mendengar akan kehebatannya dan nama besarnya. Dia memperdengarkan suara tertawa tawar. “Hemmm, di Tionggoan mungkin dimatamu sudah tidak ada orang yang patut dihargai oleh matamu, sehingga kau memakai gelaran sebagai Guru Besar. Dan aku Ban Hun Shia memang bersedia sekali untuk menjadi muridmu. Nah, untuk mengambil seorang murid sepertiku ini, tentu saja harus ada syaratnya, kau harus memperlihatkan kebisaanmu itu. Terus terang, jika kau mempergunakan ilmu sihir, untuk merubuhkan  aku, hal itu hanya akan membuat aku tetap memusuhimu”

Tat Mo Cauwsu mengangguk, katanya ”Baik, baik.

Memang Loceng juga mengetahui hal itu”

Waktu itu Tat Mo Cauwsu seorang yang sabar luar  biasa telah melihatnya bahwa sulit buat memberikan pengertian pada Ban Hun Shia jika memang diantara mereka belum lagi saling mengadu kepandaian dan kekuatan. Karenanya, mereka, guru dan murid, harus dapat ditundukkan dulu, baru kemudian memberikan pengertian padanya. Dengan demikian, tentu cara ini jauh lebih mudah jika dibandingkan harus memberikan pengertian dengan berlama-lama membujuk dan berusaha menyadarinya dari kekeliruannya itu.

“Nah, kau bersiaplah, mari kita main-main seribu jurus. Aku akan mengalah tiga jurus terhadap seranganmu” kata Ban Hun Shia dengan sikap mengejek.

Tat Mo Cauwsu merangkapkan sepasang tangannya. “Maaf, maaf, bukan Loceng tidak mau menerima  kebaikan Siecu mengalah tiga jurus pada Loceng, namun sudah menjadi kebiasaan pendeta-pendeta Buddha, jika memang seseorang tidak menggangunya, tidak dapat kami mengganggu siapapun juga. Terlebih lagi menyerangnya. Sedangkan jika seseorang berbuat jahat kepada kami. harus dibalas dengan kebaikan oleh kami. Maafkan, Siancai. Siancai. Tentu Siecu mengerti akan kesulitan kami dan tidak mendesak Loceng lebih jauh untuk menyerang terlebih dulu. Dan jika memang kita bertanding mengadu ilmu, itupun hanya sekedar main2 belaka, untuk mengetahui siapa sebenarnya yang memiliki kepandaian lebih tinggi atau rendah merupakan pekerjaan yang terlalu kekanak-kanakan. Didunia ini tidak ada yang sempurna. Itu yang harus diketahui oleh Siecu. Kesempurnaan tidak mungkin dicapai oleh seorang manusia, selain-telah berpulang ke Nirwana. Karena itulah, seseorang tidak mungkin bisa memiliki kepandaian yang tertinggi di dunia ini. Diatas yang tinggi masih ada yang lebih tinggi lagi. Dibawah yang rendah, masih terdapat yang lebih rendah. Dan itulah perputaran roda kereta, yang satu dibawah, yang satunya diatas. Dan bawah maupun di atas itu sama saja tidak ada perbedaannya. Disaat dibawah, bukankah menahan dan menunjang untuk suatu kekuatan menahan yang diatas. Dan seharusnya yang diatas itu berterima kasih pada yang dibawah telah menunjangnya dan bertahan sampai akhirnya dia berada-diatas tanpa ber-susah2. Demikian juga sebaliknya, yang dibawah harus berterima kasih kepada yang diatas, karena dengan adanya perputaran itu, berarti yang dibawah itu hidup. Dan 'hidup' itu sangat penting sekali. Terlebih lagi jika buat manusia. Tanpa 'hidup' yang sejati dalam diri seorang manusia, jangan harap dia bisa memperoleh ketenangan didunia ini, jangan harap dia bisa mencicipi kebahagiaan yang sejati, bukan kebahagiaan tersamar. Dengan ber-foya2, seorang manusia bisa memperoleh kegembiraan dan kebahagiaan. Tetapi itu hanya sekedar kebahagiaan tersamar. Tahukah Siecu, bahwa kami dari kalangan pendeta, selalu berusaha mencapai hidup bahagia dan kekal abadi?.”

Mendengar perkataan Tat Mo Cauwsu yang panjang lebar seperti itu, telah beberapa kali Ban Hun Shia mendengus memperdengarkan suara tertawa dingin. Juga dia telah berkata begitu Tat Mo Cauwsu selesai berkata: “Baik, baik, sudah selesai khotbahmu itu? Hemmm. sudah siapkah kau untuk main-main denganku pendeta licik? Tampaknya kau sangat pandai sekali bicara, tentunya dengan lidahmu yang pandai bersilat itu, engkau merupakan manusia yang sangat licik dan akan semakin tidak bisa mempercayai manusia macam kau!”

Dan sambil berkata begitu, tampak Ban Hun Shia telah melangkah mendekati Tat Mo Cauwsu. Sikapnya menantang sekali dan dia seperti akan menerjang maju mau menyerang.

Namun Tat Mo Cauwsu tetap saja ditempatnya, sama sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda dia tengah bersiap untuk menerima serangan.

Ban Hun Shia menyaksikan sikap si pendeta jadi tambah mendongkol. “Apakah memang kau tidak memandang sebelah mata padaku, membuat kau begitu meremehkan dan disaat aku ingin menyerang engkau pun tidak mau bersiap-siap, heh?” Bengis sekali suara Ban Hun Shia.

Didalam kalangan Kangouw dia sangat disegani dan dihormati oleh orang-orang rimba persilatan. Bahkan orang-orang Kangouw itu pada umumnya jika bertemu dengan dirinya akan menggigil ketakutan, akan berusaha menghindar   secepat   mungkin,   jika   perlu   mereka akan berlutut menyembah meminta agar mereka tidak dicelakai Ban Hun Shia. Mereka begitu ketakutan.

Tetapi Tat Mo Cauwsu ini, dengan sikapnya seperti itu, seperti juga meremehkan dirinya. Tentu saja membuat Ban Hun Shia Kvvan Hu Thong jadi gusar bukan main, karena dia merasa dirinya diremehkan dan itu merupakan suatu penghinaan yang tidak bisa diterima olehnya.

Tat Mo Cauwsu membawa sikap yang sabar sekali, dia pun dengan tenang dan sabar seperti tadi berkata: “Omitohud. Benar2 Siecu seorang yang tidak sabar. Nafsu belaka tanpa pertimbangan hanya akan membuat Siecu kurang kebijaksanaan, dan juga bisa membawa akibat yang buruk buat Siecu sendiri.”

“Aku tidak perlu nasehatmu. Tujuh puluh tahun lebih aku telah berada di dunia ini tidak perlu kau nasehati lagi, aku tahu apa yang perlu kulakukan!”

Sambil berkata begitu, Ban Hun Shia yang sudah tidak bisa mempertahankan diri, segera juga menjejakkan kakinya, tubuhnya tahu2 menyambar menerjang ke depan, gerakannya cepat sekali bagaikan seekor burung rajawali belaka, kedua tangannya telah ditonjokkan ke depan. Dan yang luar biasa adalah gerakannya yang begitu cepat, sehingga sulit untuk diikuti oleh pandangan mata biasa.

Tat Mo Cauwsu tetap tidak bergerak dari tempatnya, dia merasa kagum menyaksikan gerakan Ban Hun Shia Kwan Hu Thong, diam2 dia berpikir: “Orang She Kwan ini memiliki kepandaian yang baik sekali, jarang kulihat orang memiliki kepandaian setinggi dia, sayang adatnya terlalu berangasan”

Dan sambil berpikir begitu, Tat Mo Cauwsu telah angkat tangan kanannya, dia telah menerima hantaman kedua telapak tangan Ban Hun Shia secara bergantian. Tat Mo Cauwsu menangkis dalam sikap menerima serangan Ban Hun Shia dengan telapak tangannya itu seperti juga tidak mempergunakan tenaga. Namun kesudahannya benar2 hebat.

Ban Hun Shia Kwan Hu Thong merupakan seorang datuk dari kelima datuk yang memiliki kepandaian paling sempurna diseluruh daratan Tionggoan. Karena dari itu, dia memiliki pengetahuan yang sangat luas sekali.

Siapa tahu, sekarang justru Tat Mo Cauwsu telah bisa menerima serangannya itu dengan demikian mudah dan dengan sama mudahnya juga Tat Mo Cauwsu telah membuat dia tidak berdaya sama sekali, tenaganya seperti lenyap dan membuatnya jadi tidak berdaya untuk me- rubuhkan Tat Mo Cauwsu dalam jurus pertama itu.

Tat Mo Cauwsu seorang pendiri Siauw Lim Sie, yang dikenal sebagai Guru Besar di daratan Tionggoan. Justru sebutan Guru Besar terhadap Tat Mo Cauwsu itu membuat Ban Hua Shia jadi tidak puas, dan dia datang menyatroni.

Walaupun diluarnya dia seperti juga tidak-memandang sebelah mata pada Tat Mo Cauwsu toh kenyataannya dia tetap berwaspada, karena dia menyadari bahwa Tat Mo Cauwsu merupakan seorang pendeta yang memiliki kepandaian telah sempurna. Juga tadi waktu Tat Mo Cauwsu keluar dengan jalan melompat jendela kamar semendhinya, dia sebagai seorang yang telah mahir kepandaiannya, dapat melihat serta mengetahuinya ilmu meringankan Tat Mo Cauwsu benar-benar sangat sempurna.

Kegagalannya dalam jurus pertama ini tidak membuat Ban Hun Shia menjadi kaget atau kecewa. Justru begitu merasakan tenaga hantaman kedua telapak tangannya seperti    lenyap,    dia    telah    membatalkan  serangannya, menarik pulang kedua tangannya. Dengan menuruti salah satu langkah Pat Kwa, segi delapan, yaitu menurut kedudukan Pat Tauw atau delapan kedudukan bintang, dia telah melangkah dengan tubuh yang sebentar terhuyung ke kiri atau ke kanan, dengan gerakan seperti itu dia tampaknya bagaikan tengah mabuk arak. Dan juga gerakan tubuhnya memang aneh.

Tat Mo Cauwsu mengawasi sejenak, tampaknya pendeta ini kagum juga melihatnya. Hanya setelah melihat selintasan, dan disaat Ban Hun Shia masih bergerak kesana kemari dengan gerak langkah Pat Kwa, Tat Mo Cauwsu malah merangkapkan kedua tangannya. “Siancai. Siancai. Itulah ilmu silat yang sangat berharga dan liehay sekali. Hanya saja masih ada satu dua kelemahannya. ” kata Tat

Mo Cauwsu.

Semula waktu Tat Mo Cauwsu merangkapkan tangannya. Ban Hun Shia menduga bahwa Tat Mo Cauwsu mulai akan menyerangnya, dia ber-siap2 dan mengempos semangatnya, Namun siapa tahu justru Tat Mo Cauwsu merangkapkan tangannya itu bukan untuk menyerang, hanya untuk memberi hormat dan juga “mencela” bahwa ilmu langkah ajaibnya itu masih terdapat satu dua kelemahannya.

“Baik. Baik.” berseru Ban Hun Shia murka “Jika memang kau bisa merubuhkan langkah ajaib ini dan juga berhasil untuk melindungi dirimu selama sepuluh jurus dari seranganku, aku akan berlutut dihadapanmu.”

Tat Mo Cauwsu segera juga tersenyum sabar, katanya: “Sabar, sabar, penghormatan seperti itu sama sekali tidak diharapkan oleh Loceng. Hanya ada baiknya jika memang kita bertukar pikiran membicarakan berbagai kelemahan dan kehebatan ilmu silat, bukankah dengan demikian kita bisa mengetahui dibagian mana yang lemah dari ilmu kita itu?”

“Terimalah ini.” Ban Hu Shia yang sudah tidak bisa menahan sabar segera juga melangkah dengan tubuh dimiringkan kekiri, dia menyerang dengan mempergunakan tangan kirinya yang ditekuk sebatas dada,  sedangkan tangan kanannya telah dihantamkan. Tenaga lwekang yang dipergunakannya datang bergelombang. Gelombang yang kedua lebih kuat dari gelombang yang pertama. Demikian juga dengan gelombang ketiga lebih kuat dari gelombang yang kedua. Begitu seterusnya.

Sedangkan Tat Mo Cauwsu tidak terkejut oleh serangan tersebut, hanya saja pendeta ini memuji, katanya: “Bagus. Bagus! Ternyata memang inilah ilmu yang hebat sekali. Hanya masih ada beberapa kelemahan yang perlu diperbaiki Kwan Siecu, agar memperoleh kesempurnaan ilmu ini.”

Ban Hun Shia adalah seorang datuk yang disegani oleh keempat datuk lainnya, yang memiliki kepandaian cukup sempurna. Maka dari itu, dia mana bisa mempercayai dengan hanya melihat sebentar saja Tat Mo Cauwsu bisa mengetahui kelemahan dari ilmunya yang telah digubahnya selama puluhan tahun itu? Bukankah hal itu malah membuat Ban Hun Shia semakin penasaran. Dia mengempos semangatnya dan menyerang semakin kuat juga. Angin dari pukulannya itu menyambar menderu-deru ke diri Tat Mo Cauwsu.

Sedangkan Tat Mo Cauwsu tetap dengan sikapnya yang tenang dan sabar. Jurus pertama itu diterimanya dengan gerakan tubuh yang sangat lincah sekali. Tanpa dapat dilihat gerakannya, tahu2 tubuhnya telah berpindah tempat, berada di sebelah kanan dari lawannya itu. Dan Tat Mo Cauwsu tersenyum sabar sambil katanya: “Seharusnya jurus ini disempurnakan dengan tangan kanan ditekuk sedikit kedalam, kemudian perut dikempiskan menghisap udara bersih untuk memperkuat lwekang, dan tangan kiri yang menggantikan kedudukan tangan kanan menghantam dengan tiga bagian tenaga dalam. Hasilnya jauh lebih memuaskan dibandingkan dengan jurus yang tadi dipergunakan Siecu.”

Hati Ban Hun Shia tercekat kaget. Sebagai seorang yang memiliki kepandaian sempurna, keterangan singkat dari Tat Mo Cauwsu itu segera dimengertinya.

Diapun diam2 mengakuinya, bahwa jika memang menuruti cara yang diberitahukan oleh Tat Mo Cauwsu, tentu akan membuat pukulan pertamanya itu jauh lebih hebat jika dibandingkan dengan caranya seperti tadi.

Tetapi, dari menerima kebaikan itu, justru Ban Hun Shia semakin penasaran. Dari penasaran dia jadi murka. Disertai bentakan yang bengis, dia menyerang lagi jauh lebih hebat, dan tenaga yang dipergunakannya itu lebih kuat dari yang pertama. Tangan kirinya dengan dua jari ditekuk, tiga jari tangannya, jari telunjuk, tengah dan manis, dipergunakan untuk mengorek biji mata lawannya, disamping itu juga untuk menotok jalan darah penting tepat di tengah2 batang hidung, dengan mempergunakan jari tengah. Jelas itulah cara menyerang yang luar biasa sekali, karena jika gagal dengan serangan mengorek kedua biji mata lawan, serangan itu masih bisa dipergunakan untuk menotok jalan darah dibatang hidung lawan,

Tat Mo Cauwsu menggeleng kepala perlahan, diam- diam dia menyesali akan ketelengasan cara menyerang lawannya ini. “Ilmu silatnya memang sempurna, hanya dia agak tersesat” pikir Tat Mo Cauwsu.

2 Tidak sulit buat Tat Mo Cauwsu menghindarkan diri dari serangan lawannya, karena mudah saja Tat Mo Cauwsu mengangkat tangan kirinya, disilang dengan tangan kanannya, tahu2 dia telah “mengunci” tangan Ban Hui Shia.

Ban Hun Shia terkejut bukan main, jika memang tangannya “terkunci” oleh kedua tangan Tat Mo Cauwsu, itulah berbahaya sekali dan Ban Hun Shia juga mengerti, bahaya apa yaag akan diterimanya akibat “terkunci” seperti itu. Berarti tulang pergelangan tangannya bisa remuk dan tenaga untuk menarik tangannya lenyap, tidak bisa meneruskan serangannya, juga tidak bisa untuk menghindarkan diri lagi. Dia bisa berbahaya dua kali dalam saat itu, bahaya pergelangan tangannya hancur lumat tulangnya menjadi remuk, juga bahaya kalau memang waktu itu Tat Mo Cauwsu membarengi menyerang lagi, tentu dia tidak sanggup menghindarkan diri, pasti menjadi korban dari Tat Mo Cauwsu.

Walaupun dalam keadaan terjepit seperti itu. Bau Hun Shia tidak menjadi gugup. Dia cepat merobah kedudukannya, tangannya seperti diganduli oleh kekuatan seribu kati, tahu2 merosot turun cepat sekali kebawah, sehingga “kuncian” kedua tangan Tat Mo Cauwsu telah gagal dan tak berhasil sama sekali.

Dan Ban Hun Shia tidak tinggal diam, ia membarengi kedua tangannya lolos dari jepitan kedua tangan Tat Mo Cauwsu, cepat bukan main dia telah membarengi mengulur tangannya itu untuk mencengkeram dada Tat Mo Cauwsu.

Gerakan yang dilakukannya begitu dahsyat jarang ada orang yang bisa menghindarkan diri dari serangan seperti yang dilakukan Ban Hun Shia. Namun Tat Mo Cauwsu benar2 telah memiliki kepandaian yang sampai pada puncak kesempurnaan, karena dengan mudah dia telah mempergunakan jari telunjuknya yang di lonjorkan akan menotok pundak sebelah kanan lawannya.

Totokan itu tampaknya totokan biasa saja, tapi sebagai seorang yang memiliki kepandaian mahir seperti Ban Hun Shia, dia mengerti apa arti totokan tersebut.

Memang benar tanpa dielakkan, cengkeramannya itu akan berhasil mencengkeram dada Tat Mo Cauwsu, dan akan membuat dada Tat Mo Cauwsu tercengkeram robek atau juga pendeta itu akan mengalami derita terluka didalam jika saja lwekangnya tidak sempat untuk bereaksi. Namun yang hebat adalah Ban Hun Shia sendiri, jika dia berhasil mencengkeram, totokan jari telunjuk Tat Mo Cauwsu akan mengenai jalan darah Lung-kie-hiat di pundaknya, jalan darah itu jika kena ditotok, terlebih lagi oleh jari telunjuk seorang yang memiliki lwekang begitu hebat seperti Tat Mo Cauwsu, tidak ampun lagi dia akan sesak napasnya dan dalam satu dua detik dia sudah putus jiwa kalau urat nadinya itu terhancurkan oleh tolakan itu.

-oodwoo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar