Badai Di Siauw Lim Sie Jilid 06

Jilid: Vl

MELIHAT sikap Tong Miauw Liang, juga melihat bahwa Tong Miauw Liang hanya seorang bercacad tidak memiliki kedua tangannya, orang berbaju kuning dalam satu dua kali serangan tentu dia bisa merubuhkan Tong Miauw Liang. Maka begitu melihat Tong Miauw Liang memutar tubuh untuk berlalu, segera dia menggerakkan pedangnya untuk menikam punggung Tong Miauw Liang.

Tong Miauw Liang mendengar berkesiuran angin serangan. Walaupun dia telah bercacad tidak memiliki kedua tangannya, toh dia masih memiliki pendengaran yang tajam, juga tubuhnya bisa bergerak dengan gesit. Ginkang-nya tidak lenyap, kedua kakinya masih utuh. Maka tubuhnya itu dengan gesit sekali telah menyingkir ke samping untuk menghindarkan diri dari sambaran pedang orang berbaju kuning itu.

Tiga kali beruntun orang berpakaian baju kuning itu menikam dan menusuk, dan selama itu pula dia gagal dengan serangannya, karena Tong Miauw Liang dapat menghindarkannya dengan mudah.

Karena tidak memiliki sepasang tangannya maka Tong Miauw Liang tiadak bisa memberikan perlawanan. Yang dipikirkannya jalan satu-satunya ialah menyingkirkan diri. Setelah menghindarkan lagi dua tikaman dari orang berbaju kuning itu, Tong Miauw Liang kemudian menjejakkan kedua kakinya, tubuhnya telah mencelat ke tengah udara dan melambung tinggi sekali, lalu dia mengerahkan Ginkang nya untuk melarikan diri.

Orang berbaju kuning itu mengeluarkan bentakan bengis, dia mengejar. Malah pedangnya itu telah berkelebat lagi, menyerang dengan tikaman yang mematikan kepunggung Tong Miauw Liang,

Kali ini terpaksa Tong Miauw Liang harus menghindarkan diri dengan bungkukkan tubuh membarengi dengan itu, Tong Miauw Liang berusaha dengan mempergunakan kaki kanan nya menendang pergelangan tangan orang berbaju kuning itu. Namun tendangannya gagal, sebab lawannya itu telah keburu menarik pulang tangannya, dan pedangnya tahu-tahu telah menabas dengan cepat sekali keperut Tong Miauw Liang. Serangan yang kali ini datangnya begitu cepat, sehingga angin dari pedang tersebut berkesiuran kuat sekali.

Tong Miauw Liang tidak bisa menghindarkan diri dari mata pedang itu, karena jika ia berkelit kesamping, tentu mata pedang akan menyambar terus. Maka jalan satu- satunya untuk menyelamatkan dirinya, Tong Miauw Liang telah membuang dirinya ke tanah dan bergulingan beberapa kali.

Orang yang berpakaian baju kuning itu telah memperdengarkan suara ketawa dingin, ia pun membentak: “Sesungguhnya aku tidak berselera dan tidak sampai hati harus membinasakan seorang manusia bercacad seperti engkau. Lebih bijaksana jika memang engkau menyerahkan uang dan barangmu, jangan sampai memaksa mempergunakan kekerasan ku harus turunkan tangan kematian”

Tong Miauw Liang telah melompat bangun namun diwaktu itu dia sudah tidak mau me layani orang itu, sekali lagi dia telah memu tar tubuhnya untuk berlari.

Namun orang berbaju kuning itu telah mengejar lagi dengan menggerakkan pedang nya manikam beberapa  kali. Begitulah, mere ka berdua telah saling kejar ditegalan rumput yang tumbuh cakup tinggi itu.

Tapi yang membuat Tong Miauw Liang jadi sibuk sekali, orang berbaju kuning ini rupanya memang memiliki ilmu pedang yang lumayan, walaupun gerakkan tubuh Tong Miauw Liang sangat gesit, tokh kenyataannya orang berbaju kuning itu selalu dapat mengejar dan menyerangnya, lama kelamaan membuat Tong Miauw Liang jadi terdesak sekali. Coba jika memang kedua tangannya itu tidak buntung, jelas dia bisa memberikan perlawanan dan mungkin dalam beberapa jurus saja dia akan dapat merubuhkan lawannya tersebut.

Dengan mati-2an Tong Miauw Liang mengandalkan kegesitan tubuhnya berkelit kesana dan kemari tidak hentinya, sedangkan orang berbaju kuning itu telah menyerang bertubi-tubi tidak hentinya, dengan cepat belasan jurus telah lewat dan tubuh Tong Miauw Liang telah terluka di dua tempat, yaitu di paha kiri dan di dekat pundaknya.

“Apakah kau tetap keras kepala tidak mau menyerahkan barang dan uangmu?” bentak orang berbaju kuning itu

Tong Miauw Liang hanya me-lompat2 kesana kemari menghindarkan diri dari tikaman2 pedang orang berbaju kuning itu, dan tengah mencari kesempatan untuk dapat meloloskan diri. Sayang sekali, orang berbaju kuning itu telah mempergunakan pedangnya dengan gencar menikam dan menabas kearah Tong Miauw Liang, sehingga Tong Miauw Liang sama sekali tidak memperoleh kesempatan untuk melarikan diri, menghindarkan diri dari orang tersebut.

Diam-diam Tong Miauw Liang berpikir keras jika memang  dia  berhasil  menjauhi  diri  dari  orang  berbaju kuning tentu kesempatan itu bisa dipergunakan untuk melarikan diri. Dia telah beberapa kali berusaha untuk mendesak orang berbaju kuning itu dengan tendangan berantainya, namun karena memang lawannya mempergunakan pedang, jelas kakinya itu menendang leluasa, beberapa kali kakinya hampir tertabas pedang. Dengan sendirinya Tong Miauw Liang pun tidak memperoleh kesempatan untuk menyingkirkan diri.

Tong Miauw Liang sambil menggelakkan diri dari serangan-serangan yang dilancarkan oleh lawannya, dia berpikir keras berusaha untuk menyelamatkan diri. Namun bukanya memperoleh kesempatan meloloskan diri, malah dia telah tertikam lagi dua kali.

Begitulah, tubuh Tong Miauw Liang telah berlumuran darah. Sedangkan orang berbaju kuning itu menyerang semakin hebat, karena memang semangatnya terbangun melihat bahwa Tong Miauw Liang telah terluka seperti itu, dan dia yakin dalam waktu yang singkat tentu dia akan berhasil merubuhkannya.

Keadaan Tong Miauw Liang waktu itu terancam sekali, sekali saja jika dia lengah dan gagal menghindarkan diri dari sambaran pedang lawannya, dia bisa tercelaka seketika itu juga.

Orang berbaju kuning itu beberapa kali telah menyerang semakin hebat, dan telah mengeluarkan tenaga yang sekuatnya untuk menggerakkan pedangnya, menikam dan menabas. Walaupun usahanya selalu gagal dengan tikamannya itu, toh dia selalu menyerang kembali lebih ganas.

Waktu keadaan Tong Miauw Liang tengah terancam kematian, tiba-tiba dikejauhan terdengar suara bokkie diketuk dengan perlahan. Namun suara yang bening itu, bagaikan menyelusup kedalam telinga, bening dan tajam, perlahan namun jelas. Disusul kemudian tampak tengah mendatangi seorang pendeta berjubah putih, dengan wajah yang dihiasi oleh senyuman. Itulah seorang pendeta berusia antara tiga puluhan tahun lebih, sikapnya sabar sekali. .

Malah ketika melihat pertempuran yang pincang tengah berlangsung, dia telah berkata dengan suara yang sabar: “Mengapa harus bertempur seperti itu.? Ohhhhh alangkah memalukan sekali.... memalukan sekali menyerang orang yang tidak bersenjata!”

Muka orang berbaju kuning jadi berobah merah, dia telah menahan gerakkan pedangnya dan kemudian memutar tubuhnya untuk mengawasi pendata tersebut.

“Pendeta busuk, siapa kau, mengapa kau hendak mencampuri urusan kami? Atau memang engkau pun hendak mampus diujung pedang-ku?” bentak orang berbaju kuning itu dengan kasar.

“Siancai! Siancai! Sungguh galak sekali! Sungguh galak sekali!” berkata pendeta tersebut.

Tapi orang berbaju kuning itu telah menghampiri si pendeta, katanya ”Jika memang engkau hendak mencampuri urusanku, nih, kuhadiahkan dua tikaman padamu!” tahu-tahu pedang orang berbaju kuning itu telah menyambar akan menikam pada si pendeta.

Namun pendeta itu dengan sabar dan tenang telah menantikan tibanya mata pedang itu, dengan cepat dia telah merangkap kedua tangannya, pemukul bokkienya telah diketuk kan pada pedang sibaju kuning, yang terketuk dengan perlahan, namun kesudahannya pedang itu jadi patah! Orang berbaju kuning itu jadi mengawasi tertegun dengan mata terpentang lebar-lebar. “Kau.... kau. ”

katanya tergagap.

Hweshio itu tersenyum sabar. “Sekarang pergilah Siecu, diwaktu-waktu mendatang kau harus merobah kelakuanmu, karena jika memang kebetulan bertemu dengan orang yang memiliki kepandaian tinggi, suatu kali kelak tentu jiwa  siecu bisa terancam kematian” sabar sekali suara si pendeta,

Sedangkan orang berbaju kuning itu, yang mengetahui bahwa pendeta tersebut bukanlah seorang pendeta sembarangan dan memiliki kepandaian yang tinggi, telah membuang pedangnya yang buntung, dan memutar tubuhnya, kemudian berlari dengan secepat-cepatnya meninggalkan tempat tersebut.

Tong Miauw Liang ketika melihat bahwa dirinya telah ditolong oleh pendeta itu, dia menghampiri, membungkukkan tubuhnya memberi hormat.

Dia pun telah bersuara “ah,ah,ah,ah,ah,” beberapa kali.

Pendeta itu telah mengawasi Tong Miauw Liang beberapa saat, kemudian katanya: “Siancai! Rupanya Siecu seorang yang malang nasibnya. Apakah Siecu memang tidak bisa bicara?”

Tong Miauw Liang telah membuka mulutnya, maka terlihat lidahnya yang telah terpotong pendek, sehingga dia tidak bisa bicara. Dan pendeta itu telah mengangguk- angguk beberapa kali dengan wajah memancarkan sinar menaruh belas kasihan pada Tong Miauw Liang Dan pendeta tersebut juga telah melihat bahwa kedua tangan Tong Miauw Liang telah buntung, maka dia berkata lagi dengan suara yang perlahan mengandung perasaan iba: “Siancai!  Siancai!  Sungguh  keterlaluan  sekali  perampok tadi. Ternyata Siecu tidak memiliki kedua tangan! Entah bencana apa yang telah terjadi pada diri Siecu?”

Tapi karena Tong Miauw Liang tidak bisa bicara, dia hanya bisa bersuara “ah, ah. uh, sih, uh,” Si pendeta pun menghela napas dalam-dalam.

“Apakah ada suatu yang bisa Siauwceng bantu untuk “Siecu?” tanya si pendeta.

Tong Miauw Liang membungkukkan tubuhnya lagi seperti juga ingin mengucapkan terima kasih pada si pendeta yang telah menjadi'penolongnya.

Si pendeta telah berkata dengan sabar: “tidak perlu Siecu banyak peradatan seperti ini. Mari Siecu ikut bersama Siauwceng, tentu dalam perjalanan Siecu tidak akan diganggu oleh sebangsa manusia busuk seperti orang tadi!”

Tong Miauw Liang girang, mukanya berseri-seri, dia mengangguk-angguk beberapa kali, dan juga telah membungkukkan tubuhnya untuk menyatakan terima kasihnya.

Si pendeta juga girang, karena lihat bahwa Tong Miauw Liang memang bersedia untuk ikut bersamanya.

Begitulah, Tong Miauw Liang telah melakukan perjalanan ber-sama2 dengan pendeta tersebut.

Sepanjang dalam perjalanan si pendeta telah bercerita, bahwa dia adalah pendeta dari Siauw Lim Sie yang tengah melakukan pengembaraan untuk mencari pengalaman dan tambahan pengetahuan. Dengan berkelana, berkata si pendeta, dia ingin mengalami betapa sulitnya hidup dengan hanya mengandalkan derma dan belas kasihan dari orang2 yang mau memberikan sekedar derma padanya. Dengan menderita dan bersengsara menurut si pendeta, tentu dia akan jauh lebih tabah imannya, sehingga pelajaran Agama Buddha yang telah dipelajarinya itu bisa lebih teguh dan kuat lagi diresapinya.

Mengetahui bahwa pendeta ini berasal dari Siauw Lim Sie, Tong Miauw Liang agak terkejut. Karena diapun sering mendengar akhir-akhir ini mengenai kehebatan Siauw Lim Sie, yang memiliki murid-murid itu yang pandai dan selalu bertindak diatas kebajikan. Juga mengenai cikal bakal dari Siauw Lim Sie, yaitu Tat Mo Cauwsu, yang merupakan seorang Guru Besar ilmu silat didaratan Tionggoan ini. telah sering didengar oleh Tong Miauw Liang. Maka dalam suatu kesempatan, ketika mereka singgah di sebuah kuil tua yang sudah tidak terurus, dengan sebatang kayu di gigit dimulutnya dia menulis diatas tanah, menceritakan pengalaman dan riwayatnya sampai bercacad begitu, dia menulis banyak sekali, dan si pendeta, yang ternyata bergelar Wan Tang Hweshio, telah membacanya dengan teliti.

Diakhirnya Tong Miauw Liang menulis juga, bahwa dia bermaksud untuk ikut si pendeta ke Siauw Lim Sie, untuk hidup dengan tenteram dikuil itu, karena dia bermaksud utuk berguru di Siauw Lim Sie.

Dengan keadaan tubuhnya yang bercacad seperti itu, dia hendak mempelajari ilmu silat tingkat tinggi Siauw Lim Sie, sehingga kelak biarpun dia telah bercacad, bisa memiliki kepandaian khusus yang tinggi, yang bisa dipergunakan untuk membela diri jika dia mengembara lagi untuk mencari jejak Auwyang Toanio dan Sung-jie.

Waktu Wan Tang Hweshio melihat ditulisnya nama Auwyang Toanio dan Sung-jie, dia terkejut. Segera katanya ”Apakah Auwyang Toanio dan Sung-jie yang kau maksudkan itu adalah ibu dan anak yang telah mengalami bencana pada keluarga mereka? Tong Siecu?” Tong Miauw Liang juga terkejut, dia menulis di atas tanah dengan huruf-huruf yang tidak begitu bagus, yang bunyinya antara lain: “Apakah Taisu mengetahui perihal mereka? Suami Auwyang Toanio adalah Auwyang Fung Tang”

Wan Tang Hweshio mengangguk. “Benar. Mereka kini berada di Siauw Lim Sie, mereka terlindung dan tidak kurang suatu apapun juga”

Bukan main gembiranya Tong Miauw Liang diapun telah menulis di atas tanah, agar dirinya segera diajak ke Siauw Lim Sie, sebab Tong Miauw Liang ingin cepat-cepat bertemu dengan Auwyang Toanio dan Sung-jie.

Wan Tang Hweshio juga tidak keberatan. Dia merasa iba dan berkasihan melihat keadaan Tong Miauw Liang. Terlebih lagi setelah dia membaca cerita mengenai riwayat orang she Tong ini, yang harus bercacad disebabkan tu- gasnya untuk melindungi Auwyang Toanio dan Sung-jie, sedangkan ibu dan anak itu sekarang ini telah berada di Siauw Lim Sie.

Begitulah, Wan Tang Hweshio telah mengajak Tong Miauw Liang melakukan perjalanan ber-sama2 menuju ke Siauw Lim Sie.

Waktu Tong Miauw Liang riba di Siauw Lim Sie, dia memperoleh kenyataan Auwyang Toinio dan Sung-jie memang berada dalam keadaan sehat dan tidak kurang suatu apapun juga. Dia bersyukur kepada Thian bahwa ibu dan anak ini telah dipayungi dan dilindungi. Dingin demikian, berarti Sung-jie terhindar dari gangguan orang- orang Im-mo-kouw maupun orang2 lainnya yang memusuhi Auwyang Fung Tang. Terlebih lagi dengan beradanya di Siauw Lim Sie, maka jeias keselamatan ibu dan anak ini terjamin sekali, sebab seiuruh pen deta Siauw Lim Sie umumnya memiliki kepandaian yang tinggi.

Tong Miauw Liang menyatakan kepada Wan Tang Hweshio, bahwa dia bermaksud untuk mencukur rambut dan masuk mensucikan diri menjadi hweshio di Siauw Lim Sie. Keinginannya itu telah disampaikan Wan Tang Hweshio kepada Tat Mo Cauwsu, dan diluluskan.

Maka dengan melakukan upacara semestinya, Tong Miauw Liang menjalankan upacara cukur rambut, dan di- hari2 selanjutnya dia telah menjadi pendeta Siauw Lim Sie.

Walaupun sepasang tangannya buntung dan lidahnya telah dipotong hingga menjadi gagu selamanya, dia tokh menjadi pendeta yang tekun sekali mempelajari ajaran- ajaran Sang Budha. Bahkan atas bimbingan dan petunjuk dari Wan Tang Hweshio, dia telah memperoleh latihan ilmu silat yang khusus untuknya, yaitu beberapa macam ilmu silat yang mengandalkan sepasang kaki. Juga Ginkang yang luar biasa tingginya telah diwariskan kepadanya.

(Kelak Tong Miauw Liang dalam Rimba Persilatan dikenal sebagai seorang tokoh terkemuka yang memiliki kepandaian luar biasa tingginya, yaitu Jie Lay Hiap Khek, seorang tokoh dengan cacad kedua tangan yang tiada dan gagu, namun kepandaian ilmu tendangan berantainya luar biasa dan sulit ditandingi. Jie Lay Hiap Khek pun dikenal oleh orang-orang Kangouw diwaktu-waktu mendatang dengan sebutan Mie Seng Hweshio, namun karena cacad tubuhnya itu, dimana dia tidak memiliki sepasang tangan dan juga gagu, maka orang-orang Kangouw lebih kenal dengan julukannya Jie Lay Hiap Khek.)

Auwyang Toanio yang telah mengetahui perihal pedang Thiam Sim Kiam jatuh ditangan Tong Kak Taisu dan Say Ong   Kiam,   maka   telah   menganggap   urusan   itu habis sampai disitu, karena Tong Miauw Liang telah membuat seluruh catatan apa. yang pernah dialaminya itu, menyebutkan juga bahwa Tong Kak Taisu hanya menyimpan pedang itu, menanti sampai kelak Sung-jie telah dewasa, anak itu boleh mengambilnya dari tangan si pendeta.

Untuk hari-hari selanjutnya, Tong Miauw Liang, yang telah memakai gelarnya yang baru, yaitu Mie Seng  Hweshio dan menjadi murid dari Wan Tang Hweshio, yang merupakan murid nomor kedua puluh sembilan dari Tat Mo Cauwsu, telah mempelajari ajaran agama Buddha dan ilmu silat kelas tinggi. Waktu2nya habis untuk latihan2 yang dilakukannya dengan giat dan tekun sekali.

-oodwoo-

SUNG-JIE atau Auwyang Sung ternyata seorang anak yang cerdas sekali dan memperoleh kemajuan yang pesat. Dalam waktu lima tahun, dia telah menjadi seorang anak yang gesit dan memiliki ilmu pukulan yang hebat sekali. Karena selama lima tahun itu, Sung-jie telah berhasil mewarisi seluruh kepandaian Wan Sin Hweshio, hanya yang kurang adalah latihan dan pengalaman disamping tenaganya yang masih terlalu kecil, sebab waktu itu usianya baru jalan sepuluh tahun.

Wan Sin Hweshio yakin, jika memang Sung-jie mau mempelajari dengan giat dan tekun seluruh kepandaian yang telah diwarisinya itu, kelak Sung-jie tentu akan menjadi seorang pendekar yang sulit dicari tandingannya.

Selama lima tahun itu, dia juga banyak menerima petunjuk langsung dari Tat Mo Cauwsu, karena Guru Besar itu menyukainya. Memang benar Sung-jie bukan cucu murid  resmi  Tat  Mo  Cauwsu,  karena  dia  bukan  murid resmi Wan Sin Hweshio, namun anak ini memang memiliki bakat dan tulang yang bagus.

Tat Mo Cauwsu yang mengetahui hal itu, telah menurunkan beberapa macam kepandaian khusus padanya, disamping telah memberikan petunjuk2 yang berharga, dimana Sung-jie dalam usia sepuluh tahun itu telah menjadi seorang anak yang memiliki kepandaian cukup tinggi.

Auwyang Toanio sendiri tetap membantu di dapur dan juga mengambil kayu bakar, di mana dia telah menumpang di Siauw Lim Sie bersama puteranya, dengan demikian ia hanya bisa membantu tenaga, untuk memasakkan santapan dari para pendeta kuil tersebut.

Waktu telah beredar terus, selama itu Auwyang Toanio hanya mengharapkan Sung-jie cepat2 meningkat dewasa, dimana kelak dia akan menceritakan selengkapnya mengenai bencana yang telah menimpa keluarga mereka, menceritakan bagaimana orang2 Im-mo-kauw telah mencelakai ayah Sung-jie, dan bagaimana mereka akhinya ter-lunta2 dan juga pedang mustika Thiam Sim Kiam harus lenyap dari tangan mereka, yang sekarang disimpan di tangan Tong Kak Taisu.

Tapi Auywang Toanio tidak menyangka sama sekali, justeru selewatnya lima tahun itu, badai mulai menerjang Siauw Lim Sie, karena boleh dibilang, seluruh orang2 Kangouw di daratan Tionggoan mengetahui bahwa Auw- yang Toanio dan puteranya, Sung-jie, berada di Siauw Lim Sie. Bahkan jago2 Rimba Persilatan menduga pedang Thiam Sim Kiam masih berada ditangan mereka.

-oodwoo- PAGI ITU udara masih dingin, cahaya matahari juga bersinar belum begitu terik. Pohon-pohohpun masih digelayuti oleh butir-butir embun, dan burung-burung masih berkicau dengan riang menyambut tibanya sang pagi...

Disebuah jalan kecil di perut gunung Hoa-san, tampak seorang tengah melakukan perjalanan. Tapi keadaan orang itu agak luar biasa, karena cara berpakaiannya tidak bersamaan seperti penduduk daratan Tionggoan, bahkan muka orang itupun tidak seperti muka orang-orang Tionggoan umumnya, karena dia memiliki mata yang biru, hidung yang mancung sekali, dan jenggot serta kumis yang tebal sekali. Dialah seorang pendeta dengan kepala yang botak, seorang pendeta asing, yang jika dilihat dari cara berpakaiannya, dimana jubahnya itu memanjang disebelah kanan, dan berwarna kuning gading, dialah seorang pendeta dari Thian-tiok (India).

Melakukan perjalanan di jalan kecil di perut gunung Hoasan tidak mudah, karena disamping jalan yang kecil itu, tampak mulut jurang yang sangat lebar dan dalam sekali, jika sampai seseorang tergelincir dan terjerumus masuk ke dalam jurang, niscaya akan membawa kematian untuknya. Karenanya, jarang sekali orang melakukan perjalanan mengambil jalan kecil di perut gunung Hoasan tersebut.

Namun yang menakjubkan, pendeta asing itu melakukan perjalanan dengan tenang, sama sekali dia tidak memperoleh kesulitan. Juga langkah kakinya sangat ringan sekali dia telah melakukan perjalanan itu tanpa menoleh kiri kanan, dan kedua kakinya itu melangkah ringan bagaikan tubuhnya terapung-apung dan sepasang kakinya tidak menginjak tanah

Hal itu membuktikan bahwa Pendeta asing ini memiliki Ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang benar-benar telah mencapai tingkat yang sempurna sekali. Waktu si pendeta tengah melakukan perjalanan seorang diri, dalam ketenangan dan kesunyian pagi seperti itu, tiba- tiba dia mendengar suara menggeram yang menyeramkan sekali suara menggeram dari seekor binatang buas. Malah pendeta itu, yang mungkin berusia telah enam puluh tahun lebih, menahan langkah kakinya mengerutkan sepasang alisnya. Dia mengawasi sekelilingnya.

“Suara geraman itu seperti juga suara harimau!” pikirnya kemudian.

Dan baru saja pendeta tersebut berpikir begitu, diujung jalan kecil itu, dari arah depannya, tampak berlari-lari seekor harimau, yang tubuhnya belang-belang loreng dan berlari buas cepat sekali menghampirinya!

Pendeta asing itu bukannya terkejut malah tersenyum. “Akh, dipagi seperti ini. kau hendak mengajak Lolap untuk main-main” katanya dengan suara yang perlahan.

Dan pendeta tersebut telah berdiri diam ditempatnya dengan sikap yang tenang menantikan tibanya harimau itu.

Sedangkan binatang buas tarsebut telah menghampiri dengan berlari cepat sekali, dan dalam waktu yang dekat telah menghampiri di depan si pendeta. Dengan diiringi oleh suara geramannya yang sangat menyeramkan, dimana suara geramannya itu seperti menggetarkan tempat tersebut, tubuh harimau itu telah melompat ketengah udara menerkam si pendeta dengan ganas sekali dan sepasang kaki depannya terjulurkan dengan kuku-kukunya yang runcing tajam itu.

Si pendeta telah tersenyum dan mengawasi saja harimau yang tengah menerkam kepadanya. Setelah dekat, hanya terpisah setengah tombak, dengan gesit sekali si pendeta telah memiringkan tubuhnya melompat ke samping. Harimau itu menubruk tempat kosong. Tapi binatang buas tersebut penasaran sekali gesit dan buas mementangkan mulutnya memperlihatkan taring-taring yang runcing tajam harimau itu memutar tubuhnya, mendekam dengan kedua kaki depan tertekuk, kemudian dia melompat lagi menerjang kepada si pendeta.

Terkaman harimau itu bukan terkaman biasa saja, karena harimau itu sangat besar, hampir dua kali besarnya tubuh manusia, maka sampokan kakinya sangat kuat sekali. Waktu terkaman kedua kali ini dihindarkan si pendeta juga dengan mudah dan harimau itu jadi menubruk tempat kosong, kaki depan sebelah kiri telah menyampok sebuah batu gunung yang menonjol berukuran cukup besar. Batu itu terlepas dan menggelinding jatuh ke dalam jurang.

Si pendeta asing telah tersenyum ketika menyaksikan hal itu, katanya: “Sahabat, tampaknya engkau sangat lapar sekali. Demikian ganas dan juga bengis sekali”

Harimau itu seperti mengerti dirinya diejek, karena itu dengan menggerung keras, harimau itu kembali dengan penasaran menerkam diri si pendeta.

Kali ini pendeta asing tersebut tidak berusaha menghindarkan diri. Hanya waktu harimau itu menubruk kepadanya, pendeta itu telah menekuk kedua kakinya, dimana tubuhnya jadi berjongkok, dan kedua tangannya diulurkan keatas. Tahu2 si pendeta telah berhasil menangkap kedua kaki depan harimau tersebut.

Harimau tersebut belum lagi mengetahui apa apa, ketika tubuhnya telah dilontarkan oleh si pendeta ke-tengah2 mulut jurang itu, tubuh binatang buas tersebut melambung di tengah udara, dan meluncur turun masuk kedalam jurang. Hanya suara aumnya saja yang keras memenuhi sekitar   tempat   itu,   gerungan   yang   membawa kematian untuknya, karena binatang buas tersebut terbanting didasar jurang.

Pendeta asing itu telah tersenyum, dengan jari telunjuknya dia menjentik-jentik jubahnya, seperti hendak membersihkan debu yang melekat dijubahnya. Lalu melanjutkan perjalannya lagi.

Namun berjalan beberapa langkah, tiba2 si pendeta mendengar suara bergemuruh dari arah atasnya. Si pendeta telah mengangkat kepalanya, dia memandang keatas. Hatinya jadi terkejut, karena dari atas telah menggelinding sebungkah batu berukuran besar, menggelinding ke bawah, ke jurusannya.

Tapi si pendeta ini memang benar-benar memiliki ginkang yang sempurna, walaupun ia terkejut, toh dia tidak menjadi gugup. Melihat batu itu menggelinding ke arahnya dan jaraknya juga tidak jauh lagi, hanya tinggal beberapa tombak, pendata asing tersebut menjejakkan kedua kakinya.

Tubuhnya seperti juga melesatnya anak panah yang terlepas dari busur, telah melayang ke depan sejauh enam tombak. Waktu kedua kakinya hinggap menginjak tanah, dia menjejak lagi, tubuhnya melesat lagi enam tombak lebih, begitu dia mengulangi sampai empat kali, untuk menjauhi tempat yang akan ditimpa oleh jatuhnya batu besar itu.

Si pendeta memang berhasil menghindarkan diri dari timpahan batu besar itu, yang telah terbanting keras menggetarkan, tempat disekitar itu dan juga batu itu telah menggelinding terus masuk ke dalam jurang.

Si pendeta menghela napas dalam-dalam, dan kemudian mengangkat kepalanya mengawasi ke atas. Dilihatnya, sesosok tubuh manusia berdiri di ujung batu gunung yang menonjol di sebelah atas, yang kala itu tengah tertawa ber-gelak2. “Hebat? Hebat?” memuji orang diatas itu. “Harimau hanya dilumpuhkan dengan menggerakkan kedua tangan belaka, dan batu besar hanya dielakkan dengan lompatan-lompatan saja! Itulah kepandaian yang telah sempurna!”

Pendeta asing itu merangkapkan sepasang tangannya, dia telah berkata. “Sesungguhnya ada urusan apakah Siecu menjatuhkan batu besar itu, yang pasti akan mencelakai Lolap, kalau saja Lolap tidak keburu menyingkir?”

Orang di atas tebing itu, yang berdiri di tepian batu gunung yang menonjol, adalah seorang lelaki bertubuh tinggi kurus seperti galah, mukanya pun kurus dengan sepasang mata yang cekung. Waktu itu, dia telah melompat turun, tangan kanannya memegangi topi copio (topi bulat yang melesak) diatas kepalanya, dan waktu tubuhnya melayang ringan sekali ke bawah, diapun memperdengarkan suara tertawanya yang panjang.

Pendeta asing itu terkejut juga, dia melihat Ginkang orang ini tinggi sekali, karena tubuhnya itu melayang ringan sekali, seperti juga meluncurnya daun kering. Malah setiap kali ada batu yang menonjol, orang itu telah menotol dengan ujung kakinya, tubuhnya meluncur ke bawah semakin cepat. Tadi dia melompat turun dari ketinggian empat puluh tombak, dan tidak mudah orang yang berkepandaian tanggung-tanggung melompat dengan cara seperti itu, sebab salah-salah tubuhnya bisa terbanting binasa hancur di jalan kecil tersebut.

Tetapi orang bertubuh tinggi kurus seperti galah itu dengan ringan dan cepat sekali telah tiba di hadapan si pendeta.

2 Pendeta asing itu sesungguhnya tengah mendongkol karena mengetahui orang didepannya yang menggelindingkan batu ini. Tapi pendeta itu telah berdiam diri mengawasi dengan tajam

Orang bertubuh tinggi kurus itu telah berkata sambil tertawa-tawa ”Hoanceng (pendeta asing), rupanya merupakan orang baru di daerah ini, bukan?”

Pendeta asing itu telah merangkapkan sepasang tangannya memuji akan kebesaran sang buddha.

“Omitohud! Omitohud!” katanya. “Memang tepat apa yang dikatakan oleh Siecu. Siapakah Siecu dan mengapa hendak mencelakai Lolap?',

“Hahahahaha,” tertawa bergelak-gelak orang bertubuh kurus tinggi seperti galah itu. “Mencelakaimu, Hoanceng? Hahahaha, sama. sekali tidak! Aku hanya tertarik melihat kau memiliki ginkang yang tinggi sekali, dimana seekor harimau yang begitu besar telah kau hadapi dengan mudah dan kau berhasil melumpuhkannya, lalu melontarkan kedalam jurang dengan mudah! Dengan demikian telah memperlihatkan bahwa engkau merupakan Hoanceng yang memiliki kepandaian yang sangat tinggi sekali! Memang batu tadi sengaja kugelindingkan kebawah, namun itu hanya untuk membuktikan sampai berapa jauh ginkang yang luar biasa itu, membuat aku jadi kagum Luar biasa dan menakjubkan sekali”

Muka pendeta asing itu telah berobah, ia lalu berkata: “Apakah dengan bergurau seperti itu Siecu anggap lucu?”

Orang bertubuh tinggi kurus itu telah tertawa terbahak- bahak lagi, kemudian dia menyahuti: “Memang aku hanya bermaksud untuk bergurau, karena aku yakin, bahwa seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan ginkang  yang sempurna seperti kau, tentu tidak mungkin akan mampus dibawah tindihan batu itu”

“Itulah gurau yang mahal sekali harganya” kata si pendeta. “Siancai! Lolap harap, dilain waktu janganlah Siecu bergurau dengan cara seperti itu terhadap orang lain! Syukur jika memang orang yang diajak bergurau itu bisa menghindarkan dan menyelamatkan diri dari tindihan batu besar itu, jika dia gagal menyingkir, apa yang akan terjadi?”

Tetapi orang bertabuh tinggi kurus itu telah tertawa dingin. “Hoanceng! Kau telah menegur aku seperti itu, apakah engkau memang tidak puas diajak bergurau olehku?” Sikapnya pun telah berobah, matanya telah memandang tajam dan tertawanya itu telah lenyap.

Pendeta asing itu sabar sekali, dia menyahuti: “Tentu saja perbuatan yang dilakukan oleh Siecu bukan suatu perbuatan yang terpuji, dan jika memang Lolap menegur, itulah teguran yang selayaknya Mengapa Siecu harus gusar seperti itu?”

“Siapa kau dan dari mana asalmu, Hoanceng?” tegur orang bertubuh tinggi kurus itu. “Melihat kepandaianmu yang lumayan itu, tentunya kedatanganmu ke daratan Tionggoan ini dengan mengandung maksud tertentu, bukan?

Pendeta asing itu telah mengangguk perlahan, kemudian setelah memuji kebesaran sang Buddha, dia menyahuti: “Sesungguhnya Lolap berasal dari Thian-tiok, dari negeri Lolap itu yang letaknya cukup jauh, Lolap telah melakukan perjalanan ke daratan Tionggoan, dan bermaksud untuk mencari seorang sahabat, sedangkan Lolap bergelar Bianlu Syamar. !”

“Bianlu Syamar?” tanya, seorang tinggi kurus seperti gala. “Hmmmm siapa yang Hoanceng cari?” Pendeta asing itu tetap bersikap sabar, walaupun orang bertubuh kurus tinggi ini selalu memperlihatkan sikap kurang ajar dan tengik, dan bilang ”Sesungguhnya Lolap tengah mencari seorang sahabat, yang mungkin tidak dikenal oleh Siecu. !Dan jika memang Siecu tidak keberatan, bolehkah Lolap mengetahui nama yang mulia dari Siecu?”

“Hmmmm, akulah yang kuasa di Hoasan ini. Aku she Thio dan bernama Yang Lin. Orang-orang memberikan gelaran padaku Harimau Selaksa Kati! Hmmmm, setiap orang yang melewati tempat ini, tentu akan menemuiku dulu, untuk menghunjuk hormat. Dan kau Hoanceng, engkau seorang pendeta asing, namun engkau seenak perutmu saja, melewati tempat ini, malah berani memberikan teguran kepadaku disaat aku hanya mengajak kau untuk bergurau”

Si pendeta asing telah tersenyum, dia bilang dengan sabar: “Thio Siecu, Lolap lihat kepandaian yang dimiliki Siecu tidak rendah, disamping itu, tampaknya Thio Siecu pun memiliki pengetahuan yang luas, mengapa semua kepandaian yang dimiliki Siecu tidak dipergunakan untuk melakukan perbuatan-perbuatan mulia dan kebajikan? Bukankah itu lebih membahagiakan dan mendatangkan keuntungan yang tidak kecil untuk umat menusia lainnya, dibandingkan dengan berdiam di tempat yang sepi dan sunyi seperti ini?”

Muka Thio Yang Lin berobah tidak sedap dipandang, dia malah membentak: “Hoanceng engkau terlalu banyak mulut! Tidak perlu engkau mengatur diriku! Hmm, justru aku yang ingin memeriksamu, tentu kedatanganmu kedaratan Tionggoan ini, dengan menempuh perjalanan yang begitu jauh dari Thian-tiok ke Tionggoan ini, kau mengandung   maksud   tidak   baik.   Kau   harus mengakui dengan jujur, jika tidak, aku tentu tidak akan bertindak segan-segan memaksa engkau memberikan keterangan”

Mendengar perkataan Thio Yang Lin, si pendeta asing itu, Bianlu Syamar telah tersenyum, sabar, katanya dengan suara yang sabar dan ramah “Jika memang Thio Siecu berkata begitu, memang Lolap pun tidak berani terlalu banyak bicara memberikan petunjuk. Namun perlu Lolap tegaskan sekali lagi, bahwa perbuatan Siecu tadi, yang telah sengaja menggelindingkan batu gunung itu, untuk mencoba-coba ilmu seseorang, adalah perbuatan yang tidak terpuji dan jangan diulangi lagi”

“Oh pendeta busuk yang banyak mulut.... Kau terima ini!” bentak Thio Yang Lifi.

Dia memang memiliki gelaran Harimau Selaksa Kati, karena itu, tenaga serangannya pun sangat luar biasa. Tubuhnya memang kurus jangkung, dan juga seperti galah, namun tenaga dalam yang dipergunakannya sangat kuat sekali. Tenaga itu menimbulkan angin yang menderu-deru kuat sekali. Dengan cepat, angin pukulan itu telah membuat si pendeta tidak bisa berdiam diri saja, di mana Bianlu Syamar harus mengelakkan diri ke samping beberapa kali, karena Thio Yang Lin telah menyerangnya bertubi-tubi.

Waktu itu, tampak jelas Thio Yang Lin yang gagal dengan beberapa kali pukulannya itu, jadi penasaran.

“Hemm, memang engkau memiliki kepandaian yang lumayan, tapi dengan mengandalkan kepandaian seperti  itu, jangan harap engkau dapat menancapkan kaki di daratan Tionggoan! Atau memang engkau ingin mencontoh tingkah lakunya si Tat Mo Cauwsu, itu Hoanceng dari Thian-tiok juga yang telah begitu kurang ajar, berani membangun sebuah kuil di Siauw Sit San, dimana dia pura2     ingin     menyiarkan     pelajaran     agamanya,  tapi disamping itu juga telah membangun sebuah pintu perguruan baru, menerima murid yang banyak? Hahahahahaha, jangan harap engkau bisa menjadi orang kedua dari Tat Mo Cauwsu!”

Mendengar disebutnya Tat Mo Cauwsu, muka Bianlu Syamar berubah, dia mengelakkan diri dari pukulan tangan kanan Thio Yang Lin membarengi dengan itu dia  melompat mundur dua langkah ke belakang sambil berseru ”Thio Siecu, tahan!”

Thio Yang Lin memang tak mendesak lebih jauh, namun dia telah tertawa dingin sambil tanyanya: “Apa yang hendak kau katakan?”

“Ada yang hendak Lolap tanyakan!” menyahuti Bianlu Syamar.

“Katakan!” bilang Thio Yang Lin.

“Mengenai pendeta India yang Thio Siecu katakan tadi, jika tidak salah yang disebut Tat Mo Cauwsu itu....” kata Bianlu Syamar lagi.

“Hemmm, apakah Tat Mo Cauwsu itu sahabatmu, sahabat yang tengah engkau cari seperti yang kau katakan sebelumnya?” tanya Thio Yang Lin kemudian.

“Mungkin benar, mungkin juga tidak benar” menyahuti Bianlu Syamar.

“Mengapa begitu?” tanya Thio Yang Lin yang kini gilirannya jadi heran. “Mengapa mungkin benar mungkin juga tidak benar?”

“Karena boleh jadi pendeta India yang memakai nama Tat Mo Cauwsu itu adalah sahabat yang tengah Lolap cari, atau mungkin juga bukan sahabat yang tengah Lolap cari” menyahuti Bianlu Syamar. “Hemmm, tahukah engkau, siapa sesungguhnya Tat Mo Cauwcu itu?” tanya Thio Yang Lin. “Dialah seorang pendeta India yang telah mengembara dan berkelana didaratan Tionggoan ini! Dengan berbagai tipu ilmu sihir dia mempengaruhi jago2 Kangouw, sehingga dia dianggap sebagai seorang Guru Besar! Ha hahahahahaha! Aku tidak yakin dia memiliki kepandaian yang begitu tinggi! Justru jika aku memiliki kesempatan kelak, tentu aku akan mencarinya, untuk meminta pengajaran darinya guna membuktikan apakah dia sesungguhnya bernama kosong atau memang sebenar-benarnya dia memiliki kepandaian yang tinggi dan luar biasa. Itu memang perlu untuk dibuktikan!”

Bianlu Syamar telah menyahuti sambil merangkapkan kedua tangannya: “Omitohud! Omitohud! Lolap kira, tidak ada seorangpun pendeta dari Thian-tiok, yang hanya sekedar mengembara di daratan Tionggoan dengan menonjol-nonjolkan ilmu sihir! Karena tentu dengan menempuh perjalanan yang jauh, hal itu demi kepentingan urusan yang besar seperti juga untuk menyiarkan agama Buddha. Jika memang Thio Siecu mengatakan bahwa Tat Mo Cauwcu hanya datang untuk menonjol-nonjolkan ilmu sihir belaka, apakah gunanya itu?”

Tapi Thio Yang Lin telah tertawa dingin, dia bilang dengan sikap mengejek: “Hemmm tetapi aku tidak mau mempercayai para Hoanceng yang datang dari Thian-tiok, karena umumnya hanya pandai mempergunakan ilmu sihir untuk mempengaruhi orang-orang Tionggoan dengan tipu dayanya belaka! Baiklah, jika memang kau juga mengatakan bahwa kedatanganmu ke daratan Tionggoan bukan sekedar untuk urusan kecil, berarti engkaupun telah memiliki kepandaian yang bisa diandalkan, karenanya akupun ingin meminta petunjuk darimu seribu jurus! Kau tentu tidak keberatan untuk mengiringi permitaanku ini, bukan?'

Pendeta asing itu telah mengucapkan “Omitohud!” dua kali, lalu tersenyum sambil katanya: “Memang selama dalam perjalanan memasuki Tionggoan, Lolap telah menemui banyak kejadian dan orang-orang seperti Thio Siecu. Apakah Thio Siecu telah memikirkan baik2, bahwa semua tidak akan membawa suatu keuntungan apapun untuk Thio Siecu sendiri?”

“Tapi aku ingin membuktikan, apakah para Hoanceng yang datang ke daratan Tionggoan ini memang memiliki kepandaian yang tinggi, sehingga Tat Mo Cauwsu begitu kepala besar dan dia telah menganggap dirinya sebagai Guru Besar, seperti juga di daratan Tionggoan ini tidak terdapat lagi orang yang memiliki kepandaian berarti dan hanya dia seorang diri saja sebagai Guru Besar”

Mendengar perkataan Thio Yang Lin, Bianlu Syamar telah memuji akan kebesaran Sang Budha, lalu katanya: “Apakah memang Tat Mo Cauwsu sendiri yang menyatakan bahwa dirinya sebagai Guru Besar?”

“Hemmmm, walaupun bukan dia yang menyatakan bahwa dia sebagai Guru Besar, dan hanya pengikut2nya saja yang menyebut dia sebagai seorang Guru Besar, seharusnya ia menolak dan tidak memakai julukan seperti itu! Dengan mengangkat dirinya sebagai Guru Besar, bukankah berarti bahwa dia memang sama sekali sudah tidak memandang sebelah mata terhadap jago2 Tionggoan ini?”

Setelah berkata begitu, Thio Yang Lin tertawa dingin, kemudian melanjutkan lagi perkataannya ”Dan kau Hoanceng, apakah engkau juga datang ke daratan Tionggoan    ini    untuk    mengembangkan    pengaruh dan menancapkan kaki di daratan Tionggoan untuk memperoleh sebutan sebagai Guru Besar?”

Mendengar pertanyaan Thio Yang Lin, Bianlu Syamar telah tertawa ramah, katanya. ”Sama sekali Loiap tidak memiliki pikiran seperti yang dikatakan oleh Thio Siecu! Siancai. Malah kedatangan Lolap ke daratan Tionggoan untuk mencari seorang sahabat, yang telah belasan tahun berkelana di daratan Tionggoan dan belum juga pulang kembali kenegeri kami, maka Lolap bermaksud untuk mencarinya, guna mengajaknya pulang”

“Hemmmmm. jadi kau bukan hendak menancapkan kaki di daratan Tionggoan seperti halnya Tat Mo Cauwsu?” tanya Thio Yang Lin dengan suara yang mengejek. “Apakah itu bukan hanya sekedar alasan yang terlalu dibuat-buat saja?”

Bianlu Syamar telah tertawa lagi, katanya: ”Mengapa harus mencari-cari alasan yang kosong?” kata-katanya itu telah dibarengi dengan sepasang tangannya yang dirangkapkan, dan kemudian katanya lagi menyambungi dengan sikap yang tetap sabar: ”Jika memang Thio Siecu bermaksud untuk main-main beberapa jurus, Lolap juga tidak keberatan untuk menemani. Karena, jika permintaan Thio Siecu tidak dipenuhi, tentu selamanya Thio Siecu  akan beranggapan bahwa para pendeta dari Thian-tiok hanya pandai ilmu sihir saja...!”

Thio Yang Lin tertawa mengejek. “Bagus! Bagus! Aku tidak menyangka bahwa engkau Hoanceng bisa memiliki keberanian juga” katanya dan diapun telah bersiap-siap untuk menyerang, kemudian menyambungi perkataannya tadi: “Sekarang engkau bersiap-siaplah”

Bianlu Syamar telah mengangguk sabar “Ya, Thio Siecu sudah boleh mulai....!” katanya  dengan sikap  yang  tenang dan berdiri tetap ditempatnya untuk menantikan tibanya serangan dari lawannya ini.

Thio Yang Lin telah menggeser kakinya satu langkah, kemudian dengan cepat dia menggerakkan tangan kanannya, dimana dia telah memukul dengan kuat sekali. Atrgin pukulannya itu memang sangat kuat. Tidak percuma dia memperoleh julukan sebagai Harimau Selaksa Kati.

Dengan mengeluarkan angin yang menderu-deru, pukulan itu meluncur cepat sekali.

Namun Bianlu Syamar sama sekali tidak berkelit atau coba mengelakkan pukulan itu? karena dengan cepat sepasang tangannya dirangkapkan, dan dia menyambuti pukulan itu dengan kedua tangan berada didadanya,

“Bukkkkkk” Thio Yang Lin seperti juga memukul lapisan atau lempengan besi dan baja, karena begitu kuat daya pertahanan dari si pendeta asing ini, sehingga sedikitpun juga tubuhnya tidak bergeming dan kedua kakinya seperti telah tertancap kuat-kuat ditanah. Malah Thio Yang Lin sendiri merasakan kepalan tangannya itu agak sakit.

Diantara rasa sakit itu, Thio Yang Lin penasaran bukan main, dan meluncurkan tangan yang lainnya, menghantam lagi. Sama halnya seperti tadi, Bianlu Syamar sama sekali tidak menangkis, dia hanya menerima pukulan yang dilakukan oleh lawannya dan pukulan itu telah hinggap di telapak tangan Bianlu Syamar.

Terdengar benturan yang keras, kali ini Thio Yang Lin memukul jauh lebih kuat lagi tapi tubuh dari Bianlu Syamar tetap tidak bergeming.

Dengan demikian, Thio Yang Lin harus merasakan kepalan   tangannya   menderita   sakit   pula.   Tapi sebagai seorang yang memang memiliki kepandaian cukup tinggi dan telah dijuluki sebagai Harimau Selaksa Kati, dia tidak menyudahi pukulan-pukulannya sampat disitu saja, tahu- tahu kedua tangannya telah meluncur berbareng dan langsung memukul dengan dahsyat sekali. Tenaga pukulannya itu mungkin memiliki tekanan atau kekuatan seberat lima ratus kati!

Bianlu Syamar juga menyadari akan kehebatan pukulan lawannya.

Kali ini Bianlu Syamar tidak mau menerima pukulan tersebut dengan berdiam diri saja, dia telah menggeser kedudukan kakinya, tubuhnya didoyongkan kesamping dan kemudian telah menyingkir dengan gerakan yang gesit sekali, sehingga seperti tidak bisa dilihat oleh lawannya, bagaimana gerakan yang dilakukannya itu, sebab tahu2 tubuhnya berada di belakang Thio Yang Lin.

ThioYang Lin kaget bukan main. karena waktu itu dia tengah memukul dengan kuat sekuat tenaganya dan ketika dia kehilangan sasarannya, menyebabkan tubuhnya jadi terjerunuk dan maju ke depan hilang keseimbangan tubuhnya.

Sebetulnya jika memang Bianlu Syamar hendak mencelakainya, sama mudahnya dengan membalikan telapak tangannya, karena disaat tubuh dari Thio Yang Lin terjerunuk kemuka kehilangan keseimbangan kedua  kakinya dan ditambah dengan hanya tepukan telapak tangan pada punggungnya, tentu Thio Yang Lin akan  rubuh terjungkal.

Namun Bianlu Syamar tidak melakukan hal itu, dia hanya berdiri diam ditempatnya dengan tersenyum saja.

Thio Yang Lin telah berhasil menguasai tubuhnya dan kuda-kuda   kedua   kakinya,   sehingga   dia   tidak   sampai

2 tersungkur ke depan. Kemudian dia telah memutar tubuhnya, dan tertawa dingin sambil katanya: “Hemmm, rupanya engkaupun memiliki ilmu siluman, dimana engkau mengandalkan sekali ilmu sihirmu sama seperti halnya dengan Tat Mo Cauwsu itu. !”

“Siancai! Siancai! Lolap sama sekali tidak pernah mempergunakan ilmu sihir” kata Bianlu Syamar sambil tersenyum ramah. “Tadi Thio Siesu bergerak kurang gesit, sehingga Thio Siecu kehilangan sasaran dan tergempur kuda-kuda kedua kaki Thio Siecu di sebabkan tenaga serangan yang terlalu besar dan juga ketenangan Thio Siecu tidak terkumpul seluruhnya. Perlu diketahui, itulah sebabnya mengapa kuda2 Thio Siecu tergempur, jadi bukan disebabkan Lolap mempergunakan ilmu sihir.”

Tetapi Thio Yang Lin mendongkol dan penasaran sekali, dia tidak percaya bahwa Bianlu Syamar tidak mempergunakan ilmu sihir. Dia juga ingin mencoba sekali lagi menyerang pendeta itu, tentu saja sekarang dia berlaku jauh lebih waspada.

Dengan memperkuat kuda2 kedua kakinya Thio Yang Lin menghampiri Bianlu Syamar, lalu menghantam lagi dengan kedua tangannya. Jurus yang dipergunakannya adalah jurus “Naga Menghantam Karang”, tenaga yang dipergunakannya pun sangat kuat sekali, tenaganya berkesiuran menderu-deru. Sepasang tangannya yang meluncur berbareng itu memang menyerupai seekor naga yang tengah mengamuk, sehingga angin pukulan yang menerjang pada Bianlu Syamar itu hebat luar biasa, debu dan batu-batu kecil seperti juga disampok oleh gelombang topan, telah beterbangan.

Bianlu Syamar memandang tenang kepada Thio Yang Lin yang tengah menyerangnya dengan hebat seperti itu, dan waktu pukulan lawannya hampir tiba, kembali Bianlu Syamar telah menggeser kedudukan kakinya, tubuhnya bergerak gesit sekali, tahu-tahu telah melompat lenyap dari hadapan Thio Yang Lin.

Tapi kini Thio Yang Lin memang telah bersiap siaga, dia telah berlaku waspada. Dan waktu dia menyerang, memang dia telah berpikir bahwa pendeta ini tentu akan mencelat lenyap dari pandangan matanya. Karenanya, begitu melihat pundak si pendeta bergerak, segera juga Thio Yang Lin sambil menyerang, mementang matanya lebar2, sehingga dia bisa melihat bahwa Bianlu Syamar telah melompat ke sebelan kanan.

Tanpa menarik pulang tenaga pukulannya itu, dan tanpa merobah kedudukan kedua kakinya, kedua tangannya itu dibilukkan ke kanan, untuk diteruskan menghantam si pendeta. Tenaga pukulannya juga tidak berkurang.

Bianlu Syamar melihat bahwa kini lawannya lebih cerdik dari tadi, dia, tersenyum. Namun memang dasarnya Bianlu Syamar memiliki kepandaian yang tinggi sekali, begitu tenaga pukulan dari Thio Yang Lin menyambar dekat, dia menjejakkan tubuhnya, yang segera berkelebat lenyap lagi dari tatapan mata Thio Yang Lin.

Sedangkan Thio Yang Lin benar-benar penasaran  karena merasa dirinya dipermainkan oleh Bianlu Syamar, dengan mengeluarkan suara bentakan mengguntur, dia telah melompat di belakangnya, tubuhnya melayang di tengah udara dan sambil terapung begitu, dia memutar tubuhnya sambil menghantam dengan tangan kanannya, karena menduga musuhnya telah melompat ke belakang.

Angin pukulan itu kuat sekali, dugaan Thio Yang Lin memang tidak meleset, karena Bianlu Syamar benar telah berada di belakangnya, maka angin pukulannya itu telak sekali menghantam pundak si pendeta asing tersebut. Bianlu Syamar telah menerima pukulan ltu dengan pundaknya, karena dia tidak keburu untuk berkelit lagi, selain menyalurkan hawa murninya dipundaknya, menerima pukulan itu.

Tubuh Bianlu Syamar tergoncang bergoyang-goyang, namun kuda-kuda kedua kakinya tidak berobah, dan dia masih tetap berdiri di tempatnya. Dan kali ini Bianlu Syamar juga tidak berdiam diri saja, karena dia telah mempergunakan tangan kanannya untuk menotok kearah iga dari Thio Yang Ling.

Thio Yang Lin waktu kepalan tangan kanannya menghantam kuat pundak si pendeta, telah merasakan tangannya sakit bukan main seperti juga tulang jari-jari tangannya telah patah-patah. Dia melompat mundur, dan karena melompat mundur seperti itu, totokan yang dilakukan oleh Bianlu Syamar telah jatuh di tempat kosong.

Bianlu Syamar telah merangkapkan sepasang tangannya, katanya ”Thio Siecu, Lolap kira sudah tidak ada gunanya kita meneruskan cara-cara bermain seperti ini”

“Hemmmm, memang cara bermain seperti ini sudah tidak sesuai untuk kita! Aku hendak meminta petunjuk darimu dalam hal mempergunakan senjata tajam” Sambil berkata begitu, cepat bukan main tangan kanan Thio Yang Lin meraba pinggangnya, dia telah mencabut pedangnya yang berkilauan tajam sekali, diapun telah menabas udara kosong, dimana pedang itu mendengung keras sekali.

Bianlu Syamar telah mengulap-ulapkan tangan kanannya. “Thio Siecu, kau salah paham. Bukan maksud Lolap untuk main-main senjata tajam!” katanya cepat. “Maksud Lolap adalah menyudahi semua ini, karena tentu tidak ada gunanya untuk kita berdua.” “Buat engkau memang tidak ada gunanya, tapi untukku inilah berguna sekali, untuk mengetahui apakah memang Hoanceng-hoanceng yang datang kedaratan Tionggoah benar-benar memiliki kepandaian yang berarti! Lihat pe- dang!” dan menutup perkataannya itu, tampak tubuh Thio Yang Lin telah melompat gesit sekali, pedang ditangannya iiu juga berkelebat menyambar akan menikam ulu hati si pendeta asing tersebut.

Biaulu Syamar menghela napas. Dia mengelakkan diri dari dua tikaman Thio Yang Lin katanya:”Thio Siecu, apakah benar2 engkau tidak mau menyudahi semua permainan ini?''

“Tidak! Keluarkanlah senjatamu, agar kita bisa main- main sampai puas” teriak Thio Yang Sin, dan pedangnya telah berkelebat lagi dengan cepat sekali, dia telah menikam tiga kali lagi, baru kemudian melanjutkan perkataannya: “Jika engkau tetap tidak mau mencabut seajata tajammu, biarlah aku akan membinasakan engkau, jangan harap aku akan berkasihan kepada seorang Hoanceng seperti engkau!”

Dan memang Thio Yang Lin membuktikan perkataannya itu, tidak sungkan sungkan lagi langsung dia menikam beberapa kali kepada Bianlu Syamar, walaupun lawarnnya itu sama sekali tidak mencekal senjata tajam.

Bianlu Syamar telah berkelit kesana-kemari dengan gesit, sampai suatu kali ketika mata pedang lawannya menyambar akan menikam lengan kanannya, terpaksa Bianlu Syamar melancarkan serangan juga pada lawannya itu dengan sentilan jari telunjuknya.

“Tringgg,” pedang telah tersentil miring ke samping, tergetar keras sekali.

“Thio Siecu, jika memang Thio Siecu tidak mau menyudahi serangan-seranganmu, maafkanlah, Lolap tidak bisa berdiam diri lagi. Selamanya Lolap tidak pernah mempergunakan senjata tajam, tapi jika memang Lolap turun tangan, tentu senjata Thio Siecu akan rusak karenanya”

“Hahahaha” tertawa Thio Yang Lin bergelak-gelak. “Justru aku ingin melihat dengan ilmu sihirmu, apa engkau hendak merusak senjataku ini. inilah menarik sekali, awas serangan!” dan benar2 Thio Yang Lin telah menyerang ber- tubi2 kepada Bianlu Syamar, pedangnya itu telah me- nyambar2 cepat sekali ke tempat2 bagian tubuh yang mematikan

Bianlu Syamar menghela napas, dia berkelit beberapa kali, dan waktu suatu kali pedang itu menyambar ke arah iganya, saat itulah si pendeta telah mengulurkan tangan kanannya, membuka jari telunjuk dan ibu jarinya, dia menjepitnya. Begitu pedang Thio Yang Lin kena dijepit, pedang itu tak bisa bergerak, walaupun Thio Yang Lin menusuk sekuat tenaga atau menariknya sekuat tenaga  juga, pedang yang telah terjepit oleh jari telunjuk dan ibu jari sipendeta, sudah tidak bisa bergeming lagi!

Thio Yang Lin menarik pedangnya sekuat tenaga, pedang itu tidak bergeming, dia segera tersadar bahwa pendeta ini tentu mempergunakan Lwekang yang hebat sekali untuk menjepit pedang itu. Walaupun berulang kali Thio Yang Lin telah menikam dengan tekanan tenaga kuat pada tusukannya itu toh pedangnya sama sekali tak bisa bergerak maju. Maju tak bisa mundurpun tak bisa buat orang she Thio ini. Dan jalan satu2nya hanyalah melepaskan pedang itu. Namun pantangan bagi orang- orang Kangouw untuk melepaskan senjatanya terjatuh ke dalam tangan lawan. Waktu Thio Yang Lin tengah dalam keadaan bimbang seperti itu, dilihatnya pendeta India itu telah tersenyum sambil berkata ”Thio Siecu. apakah ingin diteruskan?”

Thio Yang Lin penasaran dan mendongkol bukan main, dia mengeluarkan bentakan yang nyaring sambil menusuk lagi dengan sekuat tenaganya, tapi tetap gagal, pedangnya tidak bergeming sama sekali.

Malah, untuk kagetnya Thio Yang Lin merasakan dari pedangnya itu menerobos ke telapak tangannya hawa yang panas, terlalu panas seperti juga panasnya api yang membakar telapak tangannya. Malah semakin lama semakin hebat saja menerjang ke telapak tangannya lewat pedangnya.

Mati2an Thio Yang Lin memusatkan seluruh kekuatan Lwekangnya pada telapak tangannya, dan dia berusaha menindih hawa panas yang menerobos ke telapak tangannya itu dari pedangnya, karena dia menyadari bahwa hawa panas itu tentunya adalah tenaga dalam si pendeta yang disalurkan lewat pedangnya yang tengah dijepit oleh Bianlu Syamar tersebut.

Tetapi semakin lama hawa panas itu semakin menerjang ke telapak tangannya lewat pedangnya semakin hebat, malah tubuh Thio Yang Lin jadi menggigil karenanya.

Bianlu Syamar telah tersenyum, katanya: “Lolap kira sudah cukup....!” dan pendeta India itu telah melepaskan jepitannya pada pedang Thio Yang Lin. Barulah orang she Thio itu bisa bernapas.

“Nah Thio Siecu, telah Siecu saksikan bahwa Lolap bukan mempergunakan ilmu sihir bukan? Hmmm, tentunya sekarang Siecu tidak akan berpendapat bahwa semua pendeta dari Thian-tiok hanya pandai mempergunakan  ilmu sihir untuk mempengaruhi lawan2nya, bukan?” Muka Thio Yang jadi berubah merah, tapi dia mengakui bahwa tenaga dalam pendeta itu memang jauh lebih tinggi dari kepandaiannya dan juga sungguh menakjubkan sekali. Dengan demikian, jelas akan membuat dia terluka atau bercelaka kalau memang sampai masih hendak meneruskan pertempuran mereka!

“Baiklah, Bianlu Syamar, rupanya kau memang mempunyai kepandaian yang mengagumkan, aku mengakui akan kehebatan kepandaianmu itu” kata Thio Yang Lin kemudian “Tapi kelak, jika memang engkau masih berada di daratan Tionggoan, tentu aku akan mencarimu untuk meminta petunjuk lebih jauh” sambil berkata begitu Thio Yang Lin memasukkan pedang dalam serangkanya dan memutar tubuhnya untuk berlalu.

Namun Bianlu Syamar telah memanggil: “Tahan dulu.

Janganlah Thio Siecu pergi”

Thio Yang Lin memutar tubuhnya, dia telah bertanya dengan sengit: “Apakah engkau hendak mendesakku terus setelah mengetahui bahwa kepandaianku berada dibawah kepandaianmu?” Dan setelah berkata begitu Thio Yang Lin mendengus: “Baik, baik mari kita meneruskan lagi pertempuran itu”

Rupanya dari mendongkol dan penasaran itu Thio Yang Lin jadi nekad, ia mencabut lagi pedangnya, walaupun dia menyadari bukan menjadi lawan pendeta tersebut, namun dia yakin bahwa dia pasti akan dapat menghadapinya, walaupun toh akhirnya kemungkinan besar dirinya akan terluka dan rubuh di tangan pendeta tersebut. Namun dia tidak mau dihina!

Bianlu Syamar telah menggelengkan kepalanya berulang kali katanya: “Bukan, bukan begitu maksud Lolap. Jangan Thio   Siecu   salah   mengerti.   Ada   yang   hendak   Lolop tanyakan kepada Thio Siecu, yaitu mengenai pendeta India yang Thio Siecu katakan memakai gelaran Tat Mo Cauwsu dan telah mendirikan dengan penuh kewibawaan sebuah pintu perguruan silat yang diberi nama Siauw Lim Pay”

Thio Yang Lin mengawasi tajam pada Bianlu Syamar, kemudian tertawa tawar, katanya ”Engkau menghendaki keterangan mengenai Tat Mo Cauwsu dariku? Kukira semua kalangan Kangouw telah mengetahui siapa adanya Tat Mo Cauwsu, yang katanya sebagai Guru Besar itu. Jika engkau bertanya pada siapa saja, tentu engkau akan memperoleh keterangan mengenai Guru Besar itu!”

“Tapi Thio Siecu, apakah Siecu bisa memberikan keterangan siapa sesungguhnya Tat Mo Cauwsu itu dan dia membangun kuilnya itu dimana, lalu kepandaian apa saja yang dimilikinya? Bagaimana keadaannya?” kata Bianlu Syamar.

“Hemmmm, Tat Mo Cauwsu seorang pendeta India, yang kabarnya memiliki kepandaian yang luar biasa dan sudah tidak ada tandingannya lagi. Dia berasal dari India dan berkelana di daratan Tionggoan, hanya ingin menyelidiki seluruh ilmu silat yang terdapat di daratan Tionggoan guna digabungkan menjadi semacam ilmu silat yang luar biasa. Menurut kabar yang tersiar, dia memang telah berhasil dengan usahanya, dimana seluruh inti dari ilmu2 silat yang terdapat di daratan Tionggoan telah digubahnya dan disatukan, sehingga tercipta semacam kepandaian yang katanya sangat luar biasa dan hebat. Tapi sampai sejauh itu, aku sendiri belum lagi membuktikan, sampai dimana kesaktian Tat Mo Cauwsu itu!”

Bianlu Syamar telah meng-angguk2 beberapa kali, kemudian katanya: “Lalu dimanakah letaknya Siauw Lim Sie itu?” “Di gunung Siauw Sit San!” menyahuti Thio Yang Lin.

“Apakah Thio Siecu akan pergi kesana juga untuk bertemu dengan Tat Mo Cauwsu?”

Thio Yang Lin tidak segera menyahuti, tampaknya dia ragu2. namun akhirnya mengangguk pula. “Jika aku memiliki kesempatan tentu aku ingin sekali mencari Tat Mo Cauwsu, untuk melihat apakah dia benar2 memiliki kepandaian yang hebat atau hanya nama kosong belaka” menyahuti Thio Yang Lin.

“Bagaimana jika kita berdua pergi bersama-sama untuk menemuinya bukankah Thio Siecu mengetahui keadaan di Tionggoan ini, sehingga dengan berjalan bersama Thio Siecu, tentu Lolap tidak perlu kuatir akan tersesat. ”

Thio Yang Lin terdiam sejenak, namun kemudian akhirnya dia berkata dengan bimbang “Apakah apakah Tat Mo Cauwsu itu adalah sahabatmu yang tengah kau cari?”

-oodwoo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar