Badai Di Siauw Lim Sie Jilid 03

Jilid: III

MING KANG Hweshio yang mengetahui dirinya tidak mungkin dapat meloloskan diri, jadi nekad. Dia telah menghentak tali kendali kereta, kedua kuda yang menghela kereta itu telah mencongklang mengangkat kedua kaki muka mereka masing-masing, sambil meringkik nyaring sekali, kemudian menerjang kedepan menyerbu kepada dua orang kawannya Tok Liong Pian Kwee Cai In.

Kedua orang itu mengeluarkan suara seruan kaget, karena mereka telah diterjang demikian mendadak oleh kedua kuda itu, dan tampaknya sulit sekali buat mereka menghindarkan diri. Namun hanya satu-satunya jalan buat mereka menghindarkan diri, hanyalah meninggalkan kuda masing- masing, keduanya melompat turun dengan gesit sekali, dan kedua kuda tunggangan mereka itulah yang diterjang oleh kereta.

Bukan main gusarnya Tok Liong Pian, tahu-tahu tangan kanannya telah mencabut keluar sebuah cambuk panjang, yang diujungnya terdapat sebuah tengkorak. Cambuk ini memang agak istimewa, karena cambuk tersebut selain bisa dipergunakan mencambuk lawannya dan juga dapat  melibat senjata lawan, juga memang tengkorak manusia yang berada di ujungnya itu bisa dipergunakan untuk menotok jalan darah. Dengan demikian, cambuk istimewa senjata Tok Liang Pian tersebut merupakan cambuk yang sangat hebat. Yang lebih luar biasa, dari sepasang mata tengkorak kepala manusia yang berukuran kecil itu, bisa mengeluarkan uap racun yang sangat ganas sekali! Setiap kali menggerakkan cambuk ini, yang melingkar-lingkar dan menyambar-nyambar kesana kemari, maka tampaklah jelas cambuk itu seperti juga seekor naga yang tengah melingkar lingkar kesana kemari Disebabkan senjatanya itulah, maka Kwee Cai In telah menerima julukannya sebagai Tok Liong Pian cambuk si Naga Berbisa.

Dengan gerakan yang sangat gesit sekali, tampak Tok Liong Pian telah melompat mendekati kereta, cambuknya yang berukuran panjang itu menyambar cepat sekali kearah kepala Ming Kang Hweshio, tengkorak-tengkorak-an kepala manusia yang berukuran kecil setengah kepalan tangan itu, telah menyambar menghantam kuat sekali.

Ming Kang Hweshio mengetahui bahaya tengah menyambar kearah kepalanya, dia memiringkan tubuhnya menghindarkan serangan itu, lalu dengan cepat kedua tangannya menarik menggentak tali kendali kuda,  sehingga kereta terus juga berlari dengan cepat, dikala itu kedua kuda yang menarik kereta tersebut seperti mengamuk dan kalap.

Tong Miauw Liang dan Auwyang Toanio jadi gelisah dan kuatir sekali, sedangkan Sung-jie, sianak lelaki kecil itu juga jadi ikut ketakutan.

“Ibu, kereta bisa terbalik jika dilarikan kencang terus seperti ini!” kata anak itu.

“Ya, ya, kau tenanglah nak!” kata siibu menghibur anaknya, dan Auwyang Toanio telah memeluk anaknya itu erat-erat.

Kala itu, tampak Auwyang Toanio telah mencekal buntalannya ditangan kiri, diapun telah berpaling kepada Tong Miauw Liang, katanya: “Jika keadaan memaksa, aku akan melompat keluar dari kereta ini bersama-sama dengan Sung-jie. !”

Tong Miauw Liang terkejut. “Itu sangat berbahaya, karena biarpun dapat lolos dari kereta ini, toh kalian akan jatuh ditangannya Tok Liong Pian itu!”

“Tapi kukira jika memang aku melompat di sebuah tikungan, tentu mereka tidak melihatnya! Nah, kau lihatlah, bukankah Tok Liong Pian bersama orang-orangnya itu telah berlari disebelah depan mendahului kereta kami ini?!”

Tong Miauw Liang ragu-ragu. Waktu itu Ming Kang Hweshio memang telah melihat bahwa Tok Liong Pian Kwee Cai In bersama kaki tangannya telah mendahului kereta, mereka berlari disebelah depan, dan mereka bermaksud setelah berlari sekian jauhnya baru akan menghadangnya dengan cara yang diperhitungkan agar tidak diterjang kereta tersebut, karena Ming Kang Hweshio tampaknya telah nekad dan kalap. Ming Kang Hweshio mengeluh, karena jika dia melarikan kereta itu ke jurusan depan, maka niscaya dalam nanti suatu kesempatan orang2nya Tok Liong Pian yang berjumlah cukup banyak itu. belasan orang, akan dapat merubuhkannya, dan bisa mencelakainya. Karenanya, Ming Kang Hweshio bermaksud akan memutar haluan keretanya itu. Namun waktu pendeta itu melirik, dilihatnya dibelakang kereta juga tampak dua orang dari kaki tangan Tok Liong Pian yang sengaja mengikuti saja.

Diam2 Ming Kang Hweshio mengeluh.

Diwaktu itulah tampak Ming Kang Hweshio nekad, dia melarikan kereta itu makin cepat juga, dan dikala itu kereta meluncur bagaikan sudah tidak terkendalikan.  Waktu kereta kuda itu telah meluncur terlebih mendekat dengan rombongan Tok Liong Pian dan kawan2nya itu, yang telah menantikan tibanya kereta itu dengan berbaris di pinggiran jalan, maka Ming Kang Hweshio mengeluarkan besi pemukul Bokkienya, dia mempergunakan ujungnya yang tajam untuk menusuk ekor kedua kuda itu.

Karuan saja kedua ekor kuda penarik kereta tersebut kesakitan bukan main, dan telah berjingkrakan, kemudian seperti kalap telah menerjang ke depan tidak terkendalikan lagi.

Kereta jadi dihela luar biasa cepatnya, tidak perduli waktu itu jalanan sangat licin sekali ditutup oleh salju.

Toan Miauw Lang dan Auwyang Toanio jadi mengeluh. Melihat demikian, tentunya mereka bisa celaka, karena tidak lama lagi tentu kereta pasti akan terbalik, sebab tidak terkendalikan.

Sedangkan kusir kereta yang lanjut usia itu. telah berpegangan kuat-kuat pada tiang pinggir kereta, mukanya pucat pias, karena dia ketakutan bukan main. Namun waktu kereta lewat didekat barisan Tok Liong Pian dan kawan-kawanya itu tampak beberapa orang kaki tangan Tok Liong Pian telah menggerakkan tangan mereka, melemparkan jarum-jarum dan beberapa macam senjata rahasia lainnya.

Hujan senjata rahasia itu memang tidak ada yang mengenai Ming Kang Hweshio. Namun yang celaka adalah kedua ekor kuda itu, waktu Ming Kang Hweshio mengebut dengan kedua tangannya dan angin kebutan kedua tangannya itu melindungi tubuhnya dari sambaran senjata rahasia, maka senjata rahasia yang runtuh itu malah telah berbalik menancap sebagian ditubuh kedua ekor kuda penarik kereta. Karena kesakitan sekali, kedua ekor kuda itu semakin kalap, berlari seperti kemasukan setan, dan kereta terhela semakin kuat dan cepat sekali. Namun baru setengah lie, kereta itu terbalik, karena salah satu rodanya telah membentur batu yang agak besar dan ditutup oleh salju yang cukup tebal, sehingga kereta itu terbalik dan terseret-seret oleh kedua ekor kuda yang masih dapat lari beberapa jauh, akhirnya kedua ekor kuda itupun telah terjerembab dan kemudian berusaha untuk bangkit. Tapi kedua ekor kuda itu tidak kalap lagi, hanya berdiri diam dengan meringkik perlahan.

Tok Liong Pian dan kawan kawannya juga telah memburu datang. Ming Kang Hweshio telah melompat turun waktu kereta ingin terbalik, sehingga dia tidak sampai terbanting. Yang kasihan adalah kusir kereta itu, Sie Toan, yang telah terbanling di tumpukan salju, kemu dian tertindih kereta dan terseret-seret, sehingga ketika kedua kuda itu telah merangkak berdiri, adalah Sie Toan yang tetap tertindih kereta itu, tidak bernapas lagi, telah meninggal.... Sedang Tong Miauw Liang dan Auwyang Toanio serta Sung-jie, memang terbolang baling terbanting kesana kemari waktu kereta terbalik dan terseret-seret oleh larinya kedua ekor kuda itu. Namun mereka haya menderita luka kecil saja, tidak membahayakan jiwa. Terlebih lagi memang Auwyang Toanio memeluk anaknya itu kuat-kuat waktu kereta terseret-seret oleh kuda-kuda yang tengah kalap itu

“Keluar semua dari dalam kereta!” bentak Tok Liong Pian yang masih bercokol dipunggung kudanya, ditangannya masih tercekal cambuknya.

Tong Miauw Liang menyadari bahwa dirinya tidak mungkin bisa memberikan perlawanan karena kepandaian Ming Kang Hweshio yang lebih lihai itu pun tidak berdaya menghadapi Tok Liong Pian itu maju untuk mengeroyok, dengan sendirinya Tong Miauw Liang tidak berdaya.

Ber-sama2 dengan Auwyang Toanio dan Sung-jie, Tong Miauw Liang telah merangkak keluar dari kereta itu. Ditangannya tampak mencekal buntalannya.

Auwyang Toanio sambil memeluki Sung-jie juga telah mencekal buntalan yang berisi pedang Thiam Sim Kiam. Muka Auwyang Toanio pucat pias, sedangkan Sung-jie memeluk ibunya kuat-kuatnya ketakutan sekali. Anak ini tampaknya merasa ngeri melihat begitu banyak orang-orang yang bermuka bengis dan keadaan mukanya menyeramkan serta aneh-aneh bentuknya.

Ming Kang Hweshio yang waktu itu tengah kalap karena mengetahui dirinya sudah tidak bisa meloloskan diri dari kepungan Tok Liong Pian dan orang-orangnya itu, merogoh lagi ke saku jubahnya, dia melontarkan empat butir benda bulat yang seperti telur itu, yang segera meledak dan menyebarkan asap yang tebal sekali, asap yang berbau harum semerbak dan mengandung racun yang bekerja hebat sekali.

Tok Liong Pian dan kaki tangannya yang mengetahui bahayanya racun itu, cepat-cepat telah menyingkir ke samping. Namun kesempatan ini dipergunakan oleh Ming Kang Hweshio untuk menyingkirkan diri. Salah seekor dari kedua ekor kuda penarik kereta itu telah dilepaskan dan kemudian dia melompat ke punggung kuda itu, yang dilarikan secepat mungkin untuk menyingkirkan diri!

Tong Miauw Liang dan Auwyang Toanio hanya mengawasi bengong saja. Mereka tidak menyangka bahwa Ming Kang Hweshio seorang yang pengecut.

Tok Liong Pian yang melihat Ming Kang Hweshio melarikan diri, dia tertawa dingin, tapi tidak mengejarnya. Kemudian dengan sorot mata yang tajam, Tok Liong Pian telah menatap pada Auwyang Toanio.

“Keluarkan Thiam Sim Kiam!” bentaknya.

Auwyang Toanio telah menggelengkan kepalanya. “Aku tidak mengetahui apa yang kau maksudkan dengan Thiam Sim Kiam itu. !” sahutnya.

“Engkau jangan pura-pura bodoh! Atau memang kalian menghendaki kami yang menggeledah sendiri?!” bentak Tok Liong Pian lagi. “Keluarkan Thiam Sim Kiam dan tinggalkan.... kalian boleh pergi meninggalkan tempat ini dengan selamat. !”

Auwyang Toanio tetap menggeleng. “Aku tidak mengetahui apa itu Thiam Sim Kiam!” katanya tetap dengan sangkalannya

Tok Liong Pian telah tertawa dingin, dia melirik kepada seorang kawannya yang berada disampingnya, seorang yang  bertubuh  tinggi  besar  dengan  muka  yang  terdapat bekas bacokan golok. Katanya ”Ambillah Thiarn Sim Kiam itu”

“Baik!” menyahuti simuka codet itu, dan segera melompat turun dari atas kudanya.

Tong Miauw Liang tidak bisa berdiam diri melihat bahwa orang itu tengah menghampiri Auwyang Toanio, segera Tong Miauw Liang berdiri melintang di depan Auwyang Toanio sedangkan tangannya telah bersiap-siap mencekal gagang pedangnya.

“Jangan ganggu kami” kata Tong Miauw Liang dengan suara nyaring. “Jika memang kalian memiliki urusan dengan Ming Kang Hweshio, janganlah kalian setelah gagal menangkap pendeta itu lalu ingin mengganggu kami! Kami orang-orang miskin yang tidak memiliki barang apa-apa, tidak memiliki uang yang banyak, percuma saja kalian merampok kami!”

“Hm, kami tidak perlu dengan uang kalian atau harta benda kalian! Jika memang kalian kekurangan uang dalam perjalanan, kamipun bersedia untuk memberikan seratus atau dua ratus tail kepada kalian. Tapi yang kami inginkan terhadap kalian, tinggalkan pedang Thiam Sim Kiam, dan setelah itu kalian boleh angkat kaki dari tempat ini tanpa kami ganggu!” kata Tok Liong Pian

Dan segera dia berkata kepada orang bermuka codet itu: “Laksanakan perintah!”

“Baik!” menyahuti orang yang dimukanya terdapat tanda bekas luka bacokan senjata tajam. Tubuhnya juga telah bergerak, melompat ke depan. Tangan kirinya bergerak akan mendorong Tong Miauw Liang ke samping, sedangkan tangan kanannya telah bergerak dengan cepat sekali akan merampas buntalan di tangan Auwyang Toanio. Bukan main mendongkol dan berkuatirnya Tong Miauw Liang, cepat sekali ia telah mencabut pedangnya, yang telah dipergunakan dengan segera begitu dicabut dari serangkanya. Sinar pedang itu berkelebat menyambar ke arah dada dari orang bermuka codet itu.

Gerakan yang dilakukan oleh Tong Miauw Liang ternyata tidak berpengaruh banyak untuk orang bermuka codet itu, karena cepat sekali tangan kirinya yang semula mendorong itu telah berobah arahnya tahu2 ia telah menotok pergelangan tangan Tong Miauw Liang, dan ingin merampas pedang Tong Miauw Liang.

Walaupun kepandaian Tong Miauw Liang tidak selihai suhengnya maupun Ming Kang Hweshio, tapi diapun bukan seorang yang lemah. Melihat pergelangan tangannya hendak ditotok, dia telah menarik pulang pedangnya, yang ditunjukkan dan tahu-tahu menikam ke arah perut orang bermuka codet.

Tikaman itu memang merupakan tikaman yang cepat dan bisa membawa maut untuk orang bermuka codet itu, karenanya ia mengeluarkan seruan kaget dan cepat-cepat menyingkir ke samping kanan.

Auwyang Toanio mempergunakan kesempatan itu telah melompat ke belakang beberapa langkah dan telah menarik tangan Sung-jie. Sehingga buntalannya itu terhindar dari jambretan orang bermuka codet itu.

Orang bermuka codet tersebut tampaknya, jadi murka dan penasaran, karena itu tanpa memperdulikan Tong Miauw Liang disampingnya, setelah berhasil mengelakkan dari tikaman pedang, tahu-tahu tubuh orang bermuka codet tersebut telah menubruk ke arah Auwyang Toanio. Auwyang Toanio tidak bisa menghindarkan diri dari tubrukan orang bermuka codet itu, sehingga tubuhnya kena di terjang terguling-guling, berikut dengan Sung-jie.

Waktu itu buntalan yang dicekal keras2 dan kuat-kuat oleh orang bermuka codet tersebut, sehingga Auwyang Toanio menjerit-jerit kalap.

Tong Miauw Liang tidak tinggal diam, ia melompat cepat sekali menikam dengan pedangnya.

Tapi disaat pedang tengah menyambar ke arah punggung orang bermuka codet itu, tahu tahu dari belakangnya berkesiuran angin yang kuat dan tajam. Seketika itu juga Tong Miauw Liang mengetahui bahwa dari arah belakangnya menyambar serangan membokong, karenanya dia tidak bisa meneruskan tikamannya, hanya telah menghindarkan diri kesamping sambil membatalkan tikamannya.

Tampak cambuk Tok Liong Pian telah menyambar lewat di atas kepalanya, terpisah beberapa dim saja. Ternyata Tok Liong Pian yang melihat Tong Miauw Liang hendak menikam orang bermuka codet itu, telah mempergunakan cambuknya untuk menyerang. Dan serangan yang dilakukannya itu bukan merupakan serangan yang ringan, karena telah berkesiuran menimbulkan angin serangan yang kuat sekali. Dengan demikian, telah membuat Tong Miauw Liang gagal dengan maksudnya menikam punggung orang bermuka codet itu.

Saat itu tampak jelas sekali, orang bermuka codet telah mendorong tubuh Auwyang Toanio dan Sung-jie, kemudian tubuhnya gesit bukan main, dengan membawa buntalan yang telah direbutnya itu, melompat ke atas punggung seekor kuda dan melarikan kudanya secepat mungkin meninggalkan tempat itu. Sedangkan Tok Liong Pian dan kaki tangannya yang lainpun telah memutar kuda mereka dan melarikan kuda tunggangan mereka dengan cepat menuju ke arah orang bermuka codet itu pergi dengan membawa buntalan Auwyang Toanio.

Auwyang Toanio telah berseru-seru: “Pedang itu....

pedang itu!”

Tong Miauw Liang menjejakkan kakinya, tubuhnya mencelat cepat sekali ingin mengejar.

Namun Tok Liong Pian dan orang-orangnya telah melarikan kuda mereka dengan cepat.

Tong Miauw Liang mengeluh, karena jika pedang mustika itu lenyap direbut oleh Tok Liong Pian, tentu sia- sialah usaha mereka melindungi pedang itu. Sedangkan Auwyang Fung Tang sendiri sampai menemui kematian di tangan orang-orang Im-mo-kauw hanyalah untuk mempertahankan pedang itu agar tidak jatuh ketangan musuh, tapi kini telah direbut oleh Tok Liong Pian, dan orang-orangnya itu.

Tong Miauw Liang melihat salah seekor kuda dari kedua ekor kuda penarik kereta masih terdapat disitu, dia berlari akan melepaskan ikatan kuda itu dari kereta, karena Tong Miauw Liang dalam bingungnya bermaksud akan mengejar Tok Liong Pian dan orang2nya itu. Namun baru saja Tong Miauw Liang melompat ke punggung kuda itu, dia mendengar suara jeritan yang mengerikan sekali dari arah dimana tadi Tok Liong Pian dan yang lainnya melarikan kuda mereka. Tong Miauw Liang telah melarikan kudanya untuk menyusul, segera dia melihat empat orang kawannya Tok Liong Pian tengah  menggeletak diatas tumpukan salju dengan merintih-rintih. Sedangkan Tok Liong Pian dan sisa orang orangnya itu telah melompat turun dari kuda masing-masing sambil mencekal senjata mereka, mengepung seseorang.

Tong Miauw Liang yang tiba ditempat itu dengan cepat melihat, salah seorang dari ke empat orang yang menggeletak ditumpukan salju itu terdapat si muka codet, dan buntalan yang tadi direbut simuka codet dari tangannya Auwyang Toanio, telah berpindah tangan dicekal orang yang tengah dikepung oleh Tok Liong Pian dan kawan- kawannya itu.

Tong Miauw Liang menegasi orang itu, yang ternyata seorang pendeta kurus berjubah kuning dan kumis serta jenggotnya tumbuh keriting, hidungnya mancung dan juga warna matanya kebiru-biruan. Itulah seorang pendeta yang angker dan gagah sekali.

“Say Ong Kiam, kau serahkan buntalan itu kepada kami dan kami tidak akan mengganggumu!” kata Tok Liong Pian dengan suara yang nyaring. “Kami juga tidak menarik panjang urusan kau telah merubuhkan keempat sahabat kami ini!”

Pendeta itu, yang dipanggil dengan sebutan Say Ong Kiam (Pedang Raja Singa), telah memperdengarkan suara tertawa dingin, sikapnya sangat tenang, bola matanya yang kebiru biruan itu telah mencilak-cilak memandang kesekitar tempat itu, lalu menyahuti: “Say Ong Kiam tidak pernah memuntahkan kembali apa yang telah ditelannya! Hemmmmm, menggelindinglah kalian, sebelum pedangku bicara meminta darah!”

Tok Liong Pian Kwee Cai In tampaknya gusar bukan main, dia berseru sambil menggerakkan cambuknya yang menyambar cepat sekali kearah si pendeta bermata biru  itu: “Engkau terlalu tekebur Say Ong Kiam, kau menduga kami jeri padamu, heh? Terimalah tiga seranganku ini. !”

Sipendeta tidak berdiam diri, waktu cambuk menyambar datang, dia hanya memiringkan tubuhnya, cambuk telah lewat disamping lengannya. Waktu cambuk Tok Liong  Pian membalik menyerampang ke pinggangnya, akan melibat pinggangnya itu, Say Ong Kiam dengan gerakan yang gesit sekali telah menjengkangkan tubuhnya. Kedua kakinya tetap berdiri pada tempatnya, hanya badannya yang menjeblak ke belakang dengan cepat sekali, sehingga cambuk Tok Liong Pian telah menyambar lewat di atas perutnya. Dan waktu cambuk telah lewat, tubuh Say Ong Kiam berdiri tegak kembali.

“Tok Liong Pian Kwee Cai In, engkau telah kuberi kesempatan untuk tetap memiliki kepalamu itu! Tapi jika engkau bandel dan bersikeras untuk ikutan memperebutkan pedang Thiam Sim Kiam, kukira batok kepalamu itu akan mengucapkan selamat berpisah dengan batang lehermu. !”

Sambil berkata begitu, dengan tangan kiri tetap mencekal buntalan yang telah direbutnya sedangkan tangan kanannya mencabut sebatang pedang. Pedang itu tampaknya bukan pedang sembarangan, karena berkilauan dan kepala gagang pedang itu berukiran kepada seekor singa, yang terbuat dari emas!

“Nah, silahkan maju jika memang ingin membuang jiwa percuma!” kata Say Ong Kiam lagi dengan suara yang dingin, “Tidak percuma Siauwceng Kwie Bun Hosiang menerima julukan Say Ong Kiam!”

Dan setelah berkata begitu, sipendeta yang ternyata bernama Kwie Bun Hosiang itu, telah mengangkat pedangnya yang dilintangkan didepan dadanya, Say Ong Kiam     diterimanya     merupakan     julukan    kehormatan untuknya, karena pedangnya itu memang hebat sekali dan ilmu pedangnya juga luar biasa. Jika memang menghadapi senjata senjata-tajam biasa saja, tidaklah mustahil tentu pedang Say Ong Kiam akan dapat menabas putus senjata lawan. Ilmu pedang Say Ong Kiam juga merupakan ilmu pedang yang sulit ditandingi.

Waktu itu Tok Liong Pian Kwee Cai In rupanya sudah tidak sabar lagi, karena dengan mendengus beberapa kali, cambuknya telah bergerak berulang kali menyambar bertubi-tubi kepada Say Ong Kiam atau Kwie Bun Ho siang. Angin menderu-deru karena cambuk itu menyambar- nyambar bsberapa bagian anggota tubuh Kwie Bun Hosiang yang bisa mematikan.

Tapi Kiwe Bun Hosiang tidak jeri menghadapi serangan cambuk Tok Liong Pian, karena dengan sebat sekali, pedangnya juga telah bergerak-gerak menyilaukan mata, berkelebat menyambar beberapa bagian yang mematikan ditubuh lawannya, dengan jurus dan gerakan yang aneh dan pedang itu menikam, menusuk dan menabas secara menyerampang, ataupun dengan memutar. Dengan demikian, tampak jelas betapa cambuk dan pedang itu telah saling sambar akan mengancam keselamatan jiwa dari lawan mereka.

Tapi kedua orang ini rupanya memiliki kepandaian yang berimbang, karena setelah lewat beberapa jurus, masih tidak terlihat siapa yang terdesak diantara keduanya.

Bagi seorang akhli silat, jalannya pertempuran itu telah memperlihatkan bahwa kepandaian Say Ong Kiam yang sesungguhnya berada diatas kepandaian Tok Liong Pian, karena jika Tok Liong Pian mempergunakan cambuk yang lebih banyak membantunya disebabkan jarak jangkau cambuk itu masih jauh sekali, berbeda dengan pedang yang hanya  dapat  mencapai  jarak  jangkau  yang  dekat  sekali. Dengan demikian tampak, walaupun mereka berimbang, namun kenyataannya memang Say Ong Kiam menang diatas angin.

Dalam keadaan seperti itu. Say Ong Kiam Kwie Bun Hosiang tidak tinggal diam atau hanya berkelit atau menyerang kosong, beberapa kali dia hampir berhasil menikam ke arah paha dan pundak dari lawannya, memaksa Tok Liong Pian selalu main kelit ke belakang.

Setelah lewat lagi beberapa jurus, maka Tok Lioag Pian meneriaki beberapa orang kawannya, agar mereka segera maju untuk membantunya. Dengan dikeroyok seperti itu, Say Ong Kiam memang berada dibawah angin, namun Kwie Bun Hosiang tetap memberikan perlawanan dengan gigih, dimana dia telah menyerang dengan jurus-jurus tikaman yang bisa mematikan,

Tok Liong Pian bersama dengan kawan-kawannya makin lama makin memperhebat serangan mereka. Dikala itulah tampak Say Ong Kiam dikepung dari segala jurusan,

Say Ong Kiam sendiri merasakan bahwa se sugguhnya jika pertarungan mereka berlangsung terus seperti itu, yang akan menderita kerugian adalah dirinya. Karenanya dia telah memperhebat serangannya dan berusaha untuk menyelesaikan dan menyudahi pertarungan tersebut dalam waktu yang singkat.

Tapi disebabkan kepandaian Tok Liong Pian dan kawan kawannya itu tidak rendah, di samping memang jumlah mereka juga banyak sekali, hingga dengan sendirinya Say Ong Kiam akhirnya jatuh dibawah angin. Terutama sekali diapun harus melindungi mencekal terus buntalan Auwyang Toanio, yang didalamnya terdapat pedang mustika Thiam Sim Kiam yang tengah diperebutkan itu. Tetapi Say Ong Kiam tidak habis daya, karena dia telah memutar pedangnya dengan cepat bagaikan kitiran, dia melindungi sekujur tubuhnya dengan sinar pedangnya itu, sehingga setitik airpun tidak mungkin bisa menerobos masuk dalam pertahanannya itu. Dan di kala tengah memutar pedangnya seperti itu, Kwie Bun Hosiang telah menggerakkan buntalan ditangan kirinya, tahu-tahu dia telah menimpuk kepada Tok Liong Pian.

Tok Liong Pian yang tidak menyangka akan disambit dengan buntalan yang cukup besar itu, yang menyambar kearah mukanya, cepat cepat berkelit. Namun waktu dia berkelit dengan melompat kesamping kiri, pedang Kwie Bun Hosiang telah bekerja dan “cep!”, pedang itu menancap dilengan Tok Liong Pian, sehingga Tok Lioag Pian mengeluarkan seruan kesakitan, melompat mundur ke belakang beberapa langkah.

Say Ong Kiam Kwie Bun Hosiang sendiri, begitu berhasil menikam Tok Liong Pian dengan pedangnya segera tangan kirinya menyambuti buntalan itu, yang dicekalnya lagi dengan kuat. Dengan demikian, maka segera juga terlihat Say Ong Kiam berhasil memutar pedangnya berulang kali, menyampok serangan senjata lawan, lalu mengulangi lagi tipunya itu, menyambitkan buntalannya pada salah seorang lawannya dan membarengi dengan tikaman.

Dengan cara menyerang seperti itu, Say Ong Kiam  Kwie Bun Hosiang berhasil membuat lawannya jadi kucar- kacir.

Dan ketika memperoleh kesempatan, Say Ong Kiam sambil menikam lawannya yang berada disebelah kanan, telah menjejakkan kakinya, tubuhnya melambung empat tombak lebih. “Sekarang aku tidak memiliki waktu untuk main-main dengan kalian, nanti kita jumpa lagi!” dan kemudian Kwie Bun Hosiang telah mengerahkan ginkangnya, dia telah berlari dengan cepat sekali, meninggalkan tempat itu.

Tok Liong Pian berseru bengis mengandung kemurkaan: “Kejar!” Lalu dengan tangannya yang satu memegangi luka dilengan kirinya, dia melompat mengejar.

Kawan-kawan Tok Liong Pian juga telah mengejar. Ada yang melompat keatas kuda mereka, untuk mengejar dengan mempergunakan kuda tunggangan mereka tersebut.

Tapi Say Ong Kiam Kwie Bun Hosiang telah berlari sangat cepat sekali, seperti juga angin. Walaupun dikejar dengan kuda, tokh tetap saja dia bisa memisahkan dirinya dalam jarak yang cukup jauh.

Tok Liang Pian yang menyaksikan hal itu, jadi tambah penasaran, dia telah mengerahkan seluruh sisa tenaganya, untuk mengejar terus. Sedangkan dua orang kawannya, yang menunggang kuda, berada didepannya. Dan kedua kawan Tok Liong Pian berhasil memperpendek jarak antara mereka dengan Say Ong Kiam.

Waktu mereka terpisah belasan tombak, kedua orang kawan Tok Liong Pian tersebut telah merogoh saku baju masing-masing, mengeluarkan senjata rahasia.

Dengan mempergunakan kekuatan tenaga dalam, keduanya telah menimpukkan senjata rahasia tersebut kepada Say Ong Kiam.

Say Ong Kiam bisa mengelakkan diri dari sambaran senjata rahasia tersebut, namun karena dia harus berkelit begitu, gerakannya jadi terhambat, dan kedua pengejarnya telah tiba hanya terpisah tiga tombak! WaKtu itu, kedua kawan Tok Liong Pian telah membarengi menimpuk pula dengan senjata rahasia mereka, sehingga benar-benar Say Ong Kiam tidak bisa meloloskan diri lagi dan terkejar oleh mereka.

Waktu itu Say Ong Kiampun mendongkol sekali, dia berseru bengis “Kalian benar-benar mencari mampus. !”

Menyusul dengan kata-katanya itu, Say Ong Kiam bukannya terus melarikan diri lagi melainkan tubuhnya melambung ke tengah udara memapak kedua pengejarnya, tubuh Say Ong Kiam melayang di tengah udara dengan ringan, dan tangannya yang mencekal pedang bergerak cepat sekali, pedangnya itu menyambar kepada tenggorokan kedua orang pengejarnya.

Namun kedua orang kawan Tok Liong Pian juga bukan orang-orang sembarangan, karena mereka memiliki kepandaian yang tinggi juga, dengan demikian, walaupun terkejut melihat menyambarnya tikaman-tikaman seperti itu, namun mereka berusaha mengelakkannya dengan menjatuhkan diri masing-masing menggelantung di perut kuda.

Karena gerakan pedang Say Ong Kiam Kwie Bun Hosiang sangat cepat, tidak urung kedua orang itu terluka dilengannya, dengan mengeluarkan suara “bret, bret!” dua kali, segera terlihatlah baju dilengan mereka telah robek oleh mata pedang Kwie Bun Hosiang!

Kwie Bun Hosiang telah ber-lari2 meninggalkan mereka. Kedua pengejarnya tidak meneruskan pengejaran mereka, karena keduanya telah melihat bahwa ilmu pedang pendeta itu memang benar-benar sangat tinggi dan sulit untuk dilayani oleh mereka.

Tok Liong Pian dan kawan-kawannya pun telah sampai di  tempat  kedua  kawan  mereka  berada,  yang  waktu   itu tengah duduk tertegun di punggung kuda mereka masing- masing. Tapi Say Ong Kiam sudah tidak terlihat bayangannya lagi, dia telah membawa lari buntalan berisi pedang Thiam Sim Kiam yang mereka perebutkan itu.

“Kejar terus.... walaupun bagaimana Thiam Sim Kiam harus dapat kita rebut dari sipendeta keparat itu!” teriak Tok Liong Pian Kwee Cai In dengan suara mengandung kemurkaan yang sangat.

Sambil berseru begitu, dia pun telah menghentak kudanya, yang dilarikan dengan cepat sekali, untuk mengejar Say Ong Kiam. Kawan-kawannya pun segera ikut melarikan kuda mereka dengan cepat untuk menyusul.

Tong Miauw Liang yang telah sampai di tempat itu jadi menahan lari kudanya, dia bimbang. Jika dia mengejar terus, tentu dia pun tidak mungkin bisa menghadapi Tok Liong Pian dengan kawan-kawannya itu, juga tidak mungkin dia bisa menandingi Say Ong Kiam. Sedangkan dipihak lain Auwyang Toanio bersama Sung-jie tengah menantikan dirinya dibelakang. Akhirnya Tong Miauw Liang mengambil keputusan untuk kembali saja. Dia melarikan kudanya dengan lesu.

Ketika dia tiba ditempat Auwyang Toanio dan Sung-jie berada, dilihatnya ibu dan anak itu tengah duduk ditumpukan salju dengan berdiam diri. Muka Auwyang Toanio tampak guram, sedangkan Sung-jie yang masih belum mengerti urusan telah memandang sekelilingnya dengan hati bertanya-tanya, entah apa yang baru saja tadi terjadi, dimana orang-orang itu telah bertempur. Memang akhir-akhir ini Sung-jie seringkali menyaksikan orang-orang yang bertempur, seperti ayahnya yang dikeroyok oleh orang-orang Im-mo-kauw, demikian juga ketika dirumah penginapan dan tadi dalam pertempuran yang terjadi antara Tok Liong Pian dengan Ming Kang Hweshio, lalu terjadi pula pertempuran antara Tok Liong Pian dengan Say Ong Kiam. Semua itu merupakan peristiwa yang membuat anak ini jadi tidak mengerti, mengapa orang-orang selalu harus bertempur. Dan yang membuat dia jadi tambah tidak mengerti lagi, mengapa ibunya dan dirinya bersama juga dongan Tong Miauw Liang, sang paman itu, selalu dikejar- kejar orang2 itu.

Tapi Sung-jie tidak memperoleh keterangan dari ibunya yang bisa membuatnya jadi mengerti, karena ibunya hanya mengatakan “tidak ada apa-apa, tidak ada apa-apa”, dan anak ini semakin jadi tidak mengerti.

“Sayang sekali Toanio, pedang itu telah terjatuh ditangan sipendeta bermata biru.... dia seorang pendeta yang memiliki kepandaian yang berada diatas Tok Liong Pian, aku tidak sanggup untuk mengejarnya. !”

menjelaskan Tong Miauw Liang kepada Auwyang Toanio dengan penuh penyesalan.

Auwyang Toanio telah menghapus air matanya, katanya dengan hati berduka sekali: “Sudahlah, yang terpenting sekarang kita harus melanjutkan perjalanan untuk mencapai Kangciu secepat mungkin.    mungkin disana ada seseorang

yang bisa menolong kita.   ! Bukankah Ming Kang Hweshio

mengatakan bahwa di Kangciu akan menanti Naga Sejati serta orang-orangnya yang akan melindungi kita!”

Tong Miauw Liang menghela napas. “Mengenai Ming Kang Hweshio saja kita masih ragu akan ketulusan hatinya, karena peristiwa yang akhir-akhir ini terjadi memperlihatkan tanda-tanda bahwa Ming Kang Hweshio juga seperti tengah mengincar pedang Thiam Sim Kiam. !

Hemmm, demikian juga halnya dengan Naga Sejati, aku ragu-ragu kalau-kalau dia bukan akan jadi orang yang dapat melindungi kita, malah sebaliknya akan menjadi orang yang bisa membahayakan diri kita” Auwyang Toanio menghela napas, katanya sambil menarik tangan Sung-jie: “Jika begitu kuserahkan saja pada Toako, apa sebaiknya yang kita lakukan, asalkan Sung-jie bisa dilindungi dan tidak mengalami sesuatu yang bisa membahayakan dirinya....!” berkata sampai  disitu Auwyang Toanio telah memeluk anaknya itu.

Tong Miauw Liang menghela napas, sahutnya kemudian setelah berpikir sejenak: “Jika menurut pendapatku Toanio, alangkah baiknya kita tidak usah menemui Naga Sejati. Kita memang tetap menuju ke Kangciu, setibanya disana aku akan menyelidiki secara diam-diam. Tapi kitapun harus berusaha agar kedatangan kita itu tidak diketahui siapapun juga.... inilah perlu kita lakukan, karena jika kedatangan kita di Kangciu diketahui oleh orang-orang yang mengincar pedang Thiam-Sim Kiam dan orang-orang itu menduga bahwa pedang Thiam Sim Kiam masih berada di tangan kita, sehingga, akan memancing kesulitan untuk kita!”

Auwyang Toanio setuju dengan pendapat Tong Miauw Liang, dia mengangguk saja, karena Auwyang Toanio memang sudah mempercayai Tong Miauw Liang untuk mengatur segalanya, agar mereka ibu dan anak dapat diselamatkan.

Begitulah, dengan hanya mempergunakan seekor kuda mereka bertiga telah melakukan perjalanan.

Dua hari mereka melakukan perjalanan yang melelahkan sekali, sampai akhirnya mereka tiba dipinggiran daerah Kangciu. Waktu itu, Tong Miauw Liang telah terpikir sesuatu, katanya: “Alangkah baiknya jika Toanio bersama Sung-jie berdiam dulu ditempat ini disebuah rumah penduduk, untuk menumpang sementara. Sedangkan aku akan pergi ke Kangciu untuk menyelidiki apa sesungguhnya yang terjadi dan siapa yang harus kita jumpai menurut pesan Suheng. karena itu, dengan Toanio

menumpang dulu bersama Sung-jie dirumah penduduk ditempat ini, tentu aku bisa melakukan penyelidikan yang lebih leluasa!”

Auwyang Toanio setuju dengan saran Tong Miauw Liang karena Auwyang Toanio juga tahu, jika dia ibu dan anak bersama-sama ikut Tong Miauw Liang, akan membuat Tong Miauw Liang tidak leluasa melakukan penyelidikan. Terutama sekali, memang Tong Miauw Liang selain harus melindungi mereka, pun harus menghadapi orang-orang yang memusuhi mereka, yang belum lagi diketahui jumlahnya dan pihak mana.

Begitulah, Tong Miauw Liang telah mendatangi rumah seorang penduduk ditempat itu, meminta agar Auwyang Toanio dan Sung-jie di perbolehkan untuk menginap beberapa hari disitu. Tong Miauw Liang memberikan alasan pada tuan rumah itu, seorang lelaki berusia setengah baya, bahwa dia hendak membeli barang-barang dagangan ke Kangciu dan menitipkan Auwyang Toanio yang diakui sebagai isterinya dan Sung-jie sebagai puteranya, kepada tuan rumah itu. Tentu saja tidak lupa Tong Miauw Liang telah memberikan lima tail perak kepada tuan rumah itu.

Permintakan Tong Miauw Liang diterima, malah Auwyang Toanio dan Sung-jie diperlakukan dengan hormat. Setelah menitipkan Auwyang Toanio dan Sung-jie, Tong Miauw Liang meneruskan perjalanannya menuju ke Kangciu. Untuk mencapai pusat keramaian Kangciu hanya terpisah belasan lie lagi, maka tidak lama kemudian Tong Miauw Liang telah tiba ditengah-tengah pusat keramaian Kangciu. Dia langsung menghampiri sebuah rumah penginapan yang cukup besar bertingkat dua, dan kepada pelayan meminta sebuah kamar. Setelah salin pakaian dan beristirahat sejenak, Tong Miauw Liang keluar dari rumah penginapan, untuk memulai penyelidikannya.

Kangciu merupakan daerah yang sangat ramai sekali, karena didaerah tersebut terbagi enam kota dan belasan perkampungan, Hanya pusat keramaian Kangciu memang terpusat di kota Man-su-kwan, sebuah kota yang terletak di- tengah2 daerah Kangciu, dengan sendirinya Tong Miauw Liang melihat bahwa sulit baginya untuk segera menemukan Ming Kang Hweshio, Say Ong Kiam atau juga Tok Liong Pian dengan kawan-kawannya itu. Dengan demikian, dia hanya hilir mudik mengelilingi kota tersebut.

Tong Miauw Liang telah berkeputusan, hari ini juga dia akan mengelilingi seluruh daerah Kangciu tersebut, untuk menyelidiki seluruh persoalan yang telah dialaminya akhir- akhir ini bersama dengan Auwyang Toanio dan Sung-jie.

Auwyang Fung Tang yang dikeroyok oleh orang-orang Im-mo-kauw yang diduga telah terbinasa, hanyalah disebabkan oleh pedang Thiam Sim Kiam. Sedangkan kini, jika memang terjadi pedang Thiam Sim Kiam masih berada ditangan Auwyang Toanio, jelas jiwa dari Auwyang Toanio pun terancam kematian. Sung-jie pun demikian. Walaupun sekarang pedang Thiam Sim Kiam itu telah terjatuh kedalam tangan sipendeta Say Ong Kiam, tetapi akhirnya toh tetap saja pihak orang-orang yang mengincar pedang tersebut akan melakukan pengejaran terhadap Auwyang Toanio dan Sung-jie, dimana jiwa ibu dan puteranya itu akan tetap terancam karenanya. Suheng Tong Miauw Liang, Auwyang Fung Tang memang telah perintahkan mereka pergi ke Kangciu, karena menurut Auwyang Fung Tang di Kangciu akan ada orang yang dapat menolong dan melindungi mereka. Namun Auwyang Fung Tang tidak sempat  menerangkan  siapa  adanya  orang  bisa  dimintai bantuannya itu, karena waktu itu Auwyang Fung Tang telah terdesak hebat sekali dibawah tekanan kawanan Im- mo-kauw.

Tong Miauw Liang sendiri tidak tahu dari mana dia harus melakukan penyelidikan, karenanya dia hanya berjalan mengelilingi kota tersebut.

Ketika Tong Miauw Liang tengah berdiri dipintu kota sebelah timur, waktu mana dia tengah bingung harus kemana mencari orang yang dimaksudkan Auwyang Fung Tang, disaat itulah dia melihat dari arah depannya berjalan seorang pendeta berkepala gundul dengan mata yang biru dan dipinggangnya tergantung sebuah, pedang yang cukup panjang bercahaya berkilauan. Pendeta itu ternyata tidak lain dari Say Ong Kiam Kwie Bu Hosiang!

Hati Tong Miauw Liang tercekat, cepat-cepat dia bersembunyi di dekat dinding sebuah rumah penduduk, kebetulan Say Ong Kiam tidak melihatnya, sehingga untuk selanjutnya Tong Miauw Liang bisa mengikuti pendeta itu dari jarak yang cukup jauh.

Say Ong Kiam telah menuju kearah selatan, dia berjalan tanpa pernah menoleh sehingga Tong Miauw Liang lebih leluasa mengikuti pendeta tersebut. Namun biarpun begitu Tong Miauw Liang tidak berani terlalu dekat mengikuti sipendeta, sebab dia mengetahui bahwa sipendeta memiliki kepandaian yang jauh jebih tinggi dari kepandaiannya.

Hanya saja Tong Miauw Liang heran serta menduga- duga, entah sipendeta akan menuju kemana. Dia berusaha agar tidak kehilangan jejak pendeta tersebut.

Setelah berada di muka sebuah kuil, Say Ong Kiam Kwie Bun Hosiang telah mengetuk pintu kuil, ia pandang sekitarnya sejenak dan ketika pintu kuil dibuka, dia menyelinap masuk, pintu kuil telah tertutup lagi. Karena hanya ini satu-satunya kesempatan Tong Miauw Liang untuk menyelidiki semua peristiwa yang telah dialaminya dan menyangkut juga dengan keselamatan Auwyang Toanio dan Sung-jie, karenanya dia jadi nekad, segera melompat keatas tembok kuil, dia menyelinap masuk kedalam.

Keadaan dikuil itu sunyi dan sepi sekali, tidak terlihat seorang pun pendeta pengurusnya.

Tong Miauw Liang telah menyelinap kedalam beberapa ruangan, sampai akhirnya dia menyembunyikan diri dibalik tirai sutera waktu melihat dua orang pendeta tengah mendatangi. Rupanya Kedua pendeta itu yang berusia antara tiga puluh tahun merupakan pendeta pengurus kuiL Mereka tengah bercakap-cakap dengan suara yang  perlahan, salah seorang pun tengah bilang: “Suhu telah menerima kedatanganya Say Ong Kiam. Menurut Suhu, jika memang Say Ong Kiam membawa barang yang dikehendaki, maka untuk selanjutnya kita merupakan pintu perguruan yang tiada tandingannya lagi. !”

“Ya, tapi disamping itu, kitapun harus berusaha berwaspada dan urusan pedang Thiam Sim Kiam yang dikehendaki Suhu tidak tersebar luas, karena jika urusan itu tersiar di kalangan Kangouw, niscaya akan memancing banyak kesulitan untuk kita, karena akan berdatangan kemari orang-orang Kangouw yang juga menghendaki pedang itu. !” kata pendeta yang seorang lagi.

Kawannya mengangguk membenarkan. Kemudian percakapan mereka semakin samar, sebab kaduanya telah berjalan semakin jauh dan akhirnya lenyap ditikungan.

Menanti lagi semakin lama ditempat persembunyiannya itu, barulah Tong Miauw Liang keluar untuk menyelinap keruangan lainnya. Dia menyelidiki setiap kamar, sampai akhirnya ketika dia sampai didepan jendela sebuah kamar yang besar dan tampak memancarkan sinar penerangan dari dalam, dia memperoleh kenyataan bahwa yang ada didalam kamar itu berdiam simata biru Say Ong Kiam yang tengah- bercakap-cakap dengan seorang pendeta tua, berusia enam puluh tahun lebih.

Tong Miauw Liang berlaku hati-hati sekali, karena dia mencegah agar tidak sampai di ketahui oleh Say Ong Kiam dan pendeta tua itu yang tentunya memiliki kepandaian yang tinggi pula, jelas dirinya akan celaka. Karenanya, dia telah berlaku sangat hati-hati sekali, Sampai langkah kakinya pun perlahan sekali, Dia usahakan agar tidak menimbulkan suara sedikitpun juga.

Tong Miauw Liang berhasil mengintai ke dalam kamar, dilihatnya Say Ong Kiam tengah menyerahkan pedang Thiam Sim Kiam yang telah berhasil dirampasnya kepada pendeta tua itu.

“Susiok!” kata Say Ong Kiam waktu itu “Dengan pedang Thiam Sim Kiam ini, tentu pintu perguruan kita akan dapat diangkat derajatnya lebih tinggi lagi. !”

Pendeta tua itu tidak menyahuti, dia hanya menyambuti pedang tersebut, yang dicabut keluar dari serangkanya dan kemudian diperhatikannya baik-baik.

“Hemmmm....” perlahan sekali mendengus pendeta tua tersebut, sang Susiok, setelah memperhatikan Thiam Sim Kiam sesaat lamanya, dia juga telah memasukkan pedang dalam serangkanya dan meletakkan didekat kakinya.

“Apakah Susiok puas?” tanya Say Ong Kiam kemudian.

Pendeta tua itu telah mengerutkan keningnya. “Ya, memang Thiam Sim Kiam inilah yang kukehendaki, untuk menyempurnakan latihanku.    tapi, dengan adanya pedang Thiam Sim Kiam ditanganku, berarti kita telah mengundang banyak lawan yang tidak lama lagi akan datang mengunjungi kita. !”

“Mengapa begitu Susiok?!” tanya Say Ong Kiam tidak mengerti dan mengawasi pendeta tua yang tengah termenung mengerutkan keningnya mengawasi pedang itu.

“Karena mereka umumnya mengetahui bahwa engkau merupakan keponakan muridku dan dengan Tok Liong Pian mengetahui Thiam Sim Kiam jatuh kedalam tanganmu, jelas dia akan mengerahkan orang-orangnya untuk mencari jejakmu, disamping itu pula akan menyelidiki kemari! Belum lagi orang-orang Kangouw yang mendengar bahwa pedang itu terjatuh kedalam tanganmu, tentu akan mencari jejakmu kemari. !”

Say Ong Kiam tersenyum, katanya dengan sikap agak sombong: “Walaupun mereka datang kemari, apa yang bisa mereka lakukan?” katanya. “Hmmm, dengan adanya Susiok, tentu aku bisa tenang-tenang  menghadapi  mere- ka. !”

Waktu itu, pendeta tua itu telah menghela napas lagi dan katanya ”Kwie Bun, engkau memang telah bekerja dengan baik, pedang Thiam Sim Kiam ini telah berhasil kau peroleh.... karena itu, sekarang aku ingin menyampaikan kepadamu, jika latihanku telah selesai, maka pelajaran Thiam Sim Kiamhoat akan kuwariskan semuanya kepadamu. !”

Muka Say Ong Kiam berseri-seri. “Terima kasih Susiok....!” katanya girang bukan main. Say Ong Kiam mengetahui bahwa Ilmu pedang Thiam Sim Kiam-hoat merupakan ilmu pedang yang luar biasa sekali, yang memiliki kehebatan yang bukan main. Ditambah lagi dengan pedang Thiam Sim Kiam yang cocok sekali untuk dipergunakan dalam menjalankan jurus-jurus Thiam Sim Kiamhoat!”

“Sekarang pergilah kau beristirahat dulu!” kata pendeta tua itu, “Engkau tentu letih telah melakukan perjalanan yang cukup jauh tanpa beristirahat. aku akan mempelajari

kemanfaatan pedang ini!”

Say Ong Kiam mengangguk, setelah memberi hormat kepada pendeta tua itu, dia telah mengundurkan diri.

Pendeta tua tersebut duduk bersila berdi:am diri mengawasi Thiam Sim Kiam yang menggeletak didepannya, sampai akhirnya dia berkata: “Pedang mujijat yang beriwayat.... entah telah berapa banyak korban yang berjatuhan karena kau. !”

Setelah mengguman begitu, tahu-tahu tangan pendeta itu sebat bukan main telah menbabat pedang itu, tampak sinar pedang berkelebat-kelebat cepat sekali, angin yang dingin berkesiuran didalam kamar itu. Rupanya pendeta tua itu mempergunakan jurus-jurus ilmu Thiam Sim Kiamhoat yang dimilikinya, gerakan pedangnya itu luar biasa sekali, sehingga berkelebat-kelebat bagaikan seekor naga yang tengah mengamuk dilautan!

Dengan demikian, terbukti bahwa kepandaian ilmu pedang pendeta tua itu memang luar biasa sekali.

Saat itu, tampak Tong Miauw Liang hanya mengintai dibalik jendela dengan tertegun saja. Betapa kagum dan ngerinya dia melihat pedang yang berkelebat-kelebat hebat seperti itu. Jika memang dirinya harus bertempur dengan pendeta tua tersebut, dan pendeta tua itu mempergunakan ilmu pedangnya itu, jelas tidak lebih dari tiga jurus Tong Miauw Liang akan rubuh ditangannya! Sedang Tong Miauw Liang tertegun seperti itu, tiba-tiba pendeta tua tersebut menyudahi latihan ilmu pedangnya dengan jurus penutupnya, mengeluarkan saruan nyaring, tangannya dilintangkan, tahu-tahu pedang diputar dengan gagang diluar dan ujung pedang didadanya, waktu itu dia menghadap membelakangi jendela dan ketika suara serunya itu terhenti, tanganya bergerak menimpukkan pedangnya itu, yang meluncur lewat ketiaknya, meluncur menancap dikayu jendela, tepat sekali di samping tempat Tong Miauw Liang mengintai!

Semangat Tong Miauw Liang serasa terbang, dia kaget bukan main, waktu dilihatnya pedang itu menyambar kearah matanya. Namun dia belum lagi sempat menarik kepalanya, diwaktu itu pedang telah menancap di kayu jendela!

“Masuklah.... mengapa sejak tadi hanya  mengintai disitu saja? Apakah memang hendak Loceng seret kedalam?!” mengguman pendeta tua didalam kamar itu dengan suara yang sabar, masih tetap berdiri membelakangi jendela.

Tong Miauw Liang sesungguhnya ingin memutar tubuh untuk melarikan diri dari tempat tersebut, tapi segera dia berpikir, jika pendeta tua tersebut mengejarnya pasti dirinya akan kena dicandak dan tentu dia akan di bekuk juga. Maka akhirnya dengan nekad dia malah melangkah mendekati pintu kamar.

“Masuklah!” pendeta tua itu telah berkata dari dalam kamarnya. Tong Miauw Liang mendorong daun pintu yang segera menjeblak terbuka.

Pendeta tua itu mengawasi Tong Miauw Liang yang waktu   itu   tengah   menutup   daun   pintu,   kemudian dia menunjuk kearah tikar bulat untuk. Tong Miauw Liang duduk disana

Tong Miauw Liang juga tidak mengucapkan sepatah kata, dia telah duduk disitu.

Pendeta tua tersebut telah menghela napas dia berjalan hilir mudik beberapa saat, sampai akhirnya duduk di atas tikar bulat yang memang menjadi tempat duduknya tadi. Dengan mata yang memancarkan sinar yang tajam, pendeta tua tersebut telah mengawasi Tong Miauw Liang, sampai akhirnya tanyanya dengan suara yang perlahan dan sabar: “Siapakah namamu?”

“Tong Miauw Liang....!” menyahuti Tong Miauw Liang.

“Hemmmm, engkau adalah orang pertama yang datang kemari!” kata pendeta tua itu. “Sejak pedang Thiam Sim Kiam ini kuterima dari keponakan muridku, Kwie Bun Hosiang, engkaulah orang pertama yang muncul dihadapan Loceng (pendeta tua )....! Apakah kedatanganmu ini ada hubungannya dengan pedang Thiam Sim Kiam ini?!”

Tong Miauw Liang mengangguk. “Ya....!” sahutnya sambil menganggukkan kepalanya.

“Apakah engkau yakin bisa ikut dalam memperebutkan pedang ini, karena Loceng melihat, bahwa kepandaianmu belum seberapa tinggi!” kata pendeta tua itu lagi.

“Memang Boanpwe tidak bermaksud memperebutkan pedang itu, hanya datang ingin mengambil pulang pedang itu. !” menyahuti Tong Miauw Liang.

“Mengambil pulang pedang ini?!” tanya pendeta tua itu sambil mengerutkan alisnya. Tong Miauw Liang mengangguk. “Ya, karena pedang itu semula milik Suhengku....” menyahuti Tong Miauw Liang.

“Pedang ini milik suhengmu?!” tanya pendeta tua itu, “Apakah engkau tidak keliru dengan pernyataan seperti itu?”

Tong Miauw Liang menggeleng. “Pedang itu memang milik suhengku, waktu akan dirampas oleh Tok Liong Pian, maka telah dirampas oleh Say Ong Kiam Kwie Buri Hosiang, yang menjadi keponakannya Locianpwe. Karena itu, jika memang Locianpwe tidak keberatan, aku hendak mengambil pulang pedang itu!”

“Hmmmm....!” mendengus pendeta tua tersebut, “Jadi pedang ini dirampas oleh Kwie Bun dari tanganmu?”

Tong Miauw Liang mengangguk. Pendeta tua itu berdiam diri, dia mengawasi pedang Thiam Sim Kiam, lalu mengawasi Tong Miauw Liang beberapa saat lamanya,, sampai akhirnya dia menghela napas, katanya: “Baiklah, lalu siapa suhengmu itu, yang kau katakan sebagai pemilik pedang ini?”

“Suheng  Boanpwe  itu  bernama  Auwyang   Fung Tang. !” menyahuti Tong Miauw Liang.

Muka sipendeta berobah, kemudian katanya: “Hemmm, kiranya orang she Auwyang. itu. !”

“Apakah Locianpwe kenal dangan suheng-ku itu?!” tanya Tong Miauw Liang.

Pendeta itu mengangguk perlahan, “Siapakah yang tidak kenal Auwyang Fung Tang sipendekar yang konon dianggap memiliki kepandaian luar biasa dalam kalangan Kangouw? Hemmmm, memang telah Loceng dengar bahwa Thiam Sim Kiam berada ditangan Auwyang Fung Tang, namun Loceng belum mendengar cerita dari keponakan muridku itu. Jika memang kau tidak keberatan, dapatkah engkau menceritakan semua peristiwa yang  terjadi sampai akhirnya Thiam Sim Kiam terjatuh kedalam tangan Kwie Bun, keponakan muridku itu?”

Tong Miauw Liang segera menceritakan segalanya, perihal kedatangan orang-orang Im-mo-kauw yang ingin merampas pedang itu, yang akhirnya telah mengeroyok Auwyang Fung Tang, dan juga akhirnya Auwyang Fung Tang meminta dia menyelamatkan Auwyang Toanio dan Sung-jie, isteri dan anaknya, yang. diperintahkan untuk diajak ke Kangciu.

Karena itu, dia berusaha melindungi Auwyang Toanio dan Sung-jie. Namun dalam perjalanan, disaat menuju ke Kangciu, justru orang-orang Im-mo-kauw telah mengejar dan berhasil menemui jejak mereka. Thian San Ngo Hauw, Sim Toako dan Sim Jieko, yang kemudian dihajar oleh Ming Kang Hweshio.

Lalu Ming Kang Hweshio yang telah didesak dan dirubuhkan oleh Tok Liong Pian, dan demikian juga Tok Liong Pian dengan kawan kawannya itu tidak berdaya untuk mencegah Say Ong Kiam merebut Thiam Sim Kiam.

Mendengar cerita Tong Miauw Liang, pendeta tua itu menghela napas dalam-dalam. Katanya: “Jika memang demikian urusannya, berarti pedang ini melalui jalan berdarah, dan baru tiba ditangan Loceng....!” beberapa kali pendeta tua itu telah menghela napas lagi, wajahnya pun guram. “Namun, tahukah Tong Siecu, sesunggunya Thiam Sim Kiam ini memiliki majikan yang sebenarnya, yang merupakan satu-satunya orang yang berhak terhadap pedang ini?!” Tong Miauw Liang mengawasi pendeta tua tersebut pedang sorot mata menyelidik. “Siapakah orang itu Locianpwe?!” tanya Tong Miauw Liang kemudian.

“Dia seorang aneh yang luar biasa, dia seorang yang memiliki kepandaian luar biasa dan telah belasan tahun mengundurkan diri dari dunia Kangouw. Dengan demikian, pedang Thiam Sim Kiam tersebut telah diwariskan kepada seseorang. Dan sama sekali Loceng tidak menyangka bahwa pedang Thiam Sim Kiam bisa berada ditangan suhengmu, Auwyang Fung Tang. Juga Loceng tidak tahu, entah dengan cara bagaimana pedang Thiam Sim Kiam bisa terjatuh kedalam tangannya....

karena jika ingin dikatakan bahwa Auwyang Fung Tang berhasil merebutnya dari tangan orang aneh berkepandaian sangat tinggi itu, jelas tidak mungkin. Karena walaupun tinggi sekali kepandaian Auwyang Fung Tang tidak mungkin dia bisa  menandingi  kepandaian  orang  aneh  itu. !”

Setelah bercerita sampai disitu, pendeta tersebut menghela napas lagi dalam-dalam. “Dan Loceng, walaupun tidak berani mengatakan kepandaian Loceng berada di atas kepandaian Auwyang Fung Tang, kenyataan yang ada bahwa Loceng pun bukan menjadi tandingan dari orang aneh itu. Karenanya, dengan demikian berarti pedang tersebut terjatuh ke-dalam tangan Auwyang Fung Tang dengan cara yang agak luar biasa. Apakah Tong Siecu tidak mengetahui cara terjatuhnya pedang itu kedalam tangan suhengmu?”

Tong Miauw Liang menghela napas sambil menggelengkan kepalanya, “Boanpwe hanya mendengar cerita Auwyang Suheng bahwa selamanya sejak dia memiliki pedang itu, tidak pernah mempergunakannya, dengan demikian pedang tersebut hanya disimpannya saja secara baik2. Namun Boanpwe tidak menyangka bahwa akhirnya Auwyang Suheng harus menerima kematian secara kecewa dan penasaran ditangan orang-orang Im-mo- kauw yang mengeroyoknya dan hanya disebabkan pedang ini....!” Dan kembali Tong Miauw Liang menghela napas dalam-dalam.

“Tapi menurut ceritamu, ketika kalian bersama dengan isteri dan anaknya orang she Auwyang itu meninggalkan rumah, Auwyang Fung Tang masih bertempur dengan orang-orang Im-mo-kauw.... jadi belum tentu dia terbinasa ditangannya orang-orang Im-mo-kauw, suatu kemungkinan bisa saja terjadi dimana Auwyang Fung Tang bisa meloloskan diri dari kepungan lawan-lawannya, mengingat akan kepandaiannya, memang setingkat dengan kepandaian yang dimiliki Loceng”

Tong Miauw Liang menghela napas dalam-dalam, untuk sejenak lamanya dia berdiam diri, dan akhirnya menggumam: “Namun ketika kami meninggalkannya, keadaan Auwyang Suheng telah terluka parah, sedangkan lawannya berjumlah banyak. Malah semakin lama orang- orang Im-mo-kauw berdatangan lebih banyak lagi, maka kemungkinan Auwyang Suheng bisa meloloskan diri dari mereka, jelas sangat tipis sekali. !”

“Hmmm!” mendengus pendeta tua tersebut, sambil mengawasi pedang Thiam Sim Kiam. “Memang jika pedang pusaka ini berada ditangan seseorang yang memiliki kepandaian tanggung-tanggung, tentu hanya akan membawa kecelakaan dan bencana untuk diri dan keluarganya. Hai, hai, entah sudah berapa banyak orang- orang yang mejadi korban dari pedang tersebut. !”

Tong Miauw Liang mengawasi si pendeta tua itu, kemudian dia berkata dengan suara yang perlahan: “Locianpwe       apakah       Locianpwe       bersedia    untuk menyerahkan dan mengembalikan pedang itu kepada Boanpwe, agar dapat Boanpwe serahkan kembali pedang tersebut kepada Auwyang Toanio, isteri Auwyang Suheng, karena dialah yang berhak memiliki pedang tersebut. Malah kami menuju ke Kangciu ini, menurut pesan Auwyang Suheng, harus menyerahkan pedang pusaka ini kepada seseorang, cuma saja.... cuma saja. ”

Tong Miauw Liang tak meneruskan perkataannya, karena dia ragu-ragu untuk melanjutkan perkataannya, dan dia telah mengawasi si pendeta itu.

Sedangkan pendeta tua itu telah mengawasi Tong Miauw Liang beberapa saat, baru kemudian dia berkata dengan kepala digelengkan perlahan: “Sayang sekali hal itu tidak mungkin dilakukan oleh Loceng.... harus Tong Siecu ketahui, jika sampai pedang Thiam Sim Kiam ini Loceng serahkan padamu, mengembalikan pada Auwyang Toanio, nidcaya bencana yang lebih hebat, akan menimpa isteri Auwyang Fung Tang dan puteranya itu. Tidakkah Tong Siecu mau berpikir lebih jauh, dengan adanya pedang Thiam Sim Kiam ditangan Loceng, tentu bencana yang seharusnya menimpa diri Auwyang Toanio dan puteranya itu telah tersingkirkan, sebab orang orang Im-mo-kauw dan juga orang-orang kang-ouw yang menghendaki pedang pusaka ini akan mencari Loceng. !”

Tong Miauw Liang mulai tidak tenang. Semula ia niat mau melunakkan hati si pendeta tua tersebut dengan menceritakan peristiwa yang sesungguhnya, dengan harapan kalau-kalau pendeta itu mau mengembalikan pedang tersebut.

Namun siapa tahu, pendeta tua tersebut telah menolaknya, Memang benar apa yang dikataka oleh pendeta tua itu, dengan tidak adanya pedang Thiam Sim Kiaro ditangan Auwyang Toanio, bencana bisa dihindari oleh ibu dan anak itu. Namun apakah orang-orang Kangouw mau mengerti, bahwa memang sesungguhnya pedang pusaka itu sudah tidak berada ditangan Auwyang Toanio?

Tong Miauw Liang duduk terpekur dengan hati yang bingung, bingung sekali. Untuk merampas pedang itu dengan mempergunakan kekerasan, tentu dia tidak sanggup melakukannya karena tidak mungkin dia bisa menandingi pendeta tua itu. Tapi untuk meluluskan keinginan si pendeta agar dia tidak berusaha mencampuri lagi persoalan pedang Thiam Sim Kiam, pergi meninggalkan kuil ini dengan bertangan kosong, inilah yang tidak diinginkan oleh Tong Miauw Liang.

Memang kepandaian Tong Miauw Liang tidak sehebat Auwyang Fung Tang. Waktu mereka bersama-sama menuntut ilmu, memang Auwyang Fung Tang memiliki sedikit kelebihan darinya, yaitu selain cerdas, pun memiliki bakat serta tulang yang baik, dengan demikian cepat sekali Auwyang Fung Tang dapat mewarisi seluruh kepandaian guru mereka dan juga akhirnya memperoleh latihan yang cepat sekali mencapai puncak kesempurnaan.

Sedangkan Tong Miauw Liang sendiri memang agak lambat setiap kali menerima pelajaran dari gurunya, itulah sebabnya dia tertinggal jauh oleh suhengnya. Cuma saja, Tong Miauw Liang memiliki jiwa yang bersih, jujur dan juga keras.

Setiap pekerjaan yang belum diselesaikannya, walaupun harus memakan waktu yang lama sekali, toh akan diusahakan untuk diselesaikannya dengan baik. Kekerasan hati dan keteguhan pendiriannya itulah yang membuat Tong Miauw Liang walaupun agak lambat menerima setiap pelajaran dari gurunya, toh gurunya itu menyukainya dan menyayanginya.

Sekarang, memperoleh urusan yang demikian rumit, Tong Miauw Liang pun tidak mau mundur. Walaupun dirinya mengetahui dirinya bukan menjadi tandingan pendeta tua itu namun untuk meninggalkan kuil ini dengan tangan kosong, hal ini tidak dikehendakinya. Ia telah berdiam diri saja dengan pikiran keras.

Pendeta tua itu telah melihat sikap dan kelakuan Tong Miauw Liang, dia tersenyum sabar, katanya: “Tong Siecu, apakah kau t tap berkeinginan untuk mengambil pulang pedang ini?”

Tong Miauw Liang tidak segera menyahuti dia bimbang untuk segera menjawab. Namun kepalanya akhirnya mengangguk.

“Sudah menjadi kewajibanku....!” kata Tong Miauw Liang kemudian. “Dan memang sudah menjadi tugasku juga, untuk melindungi Auwyang Toanio, isteri dari suheng-ku itu, bersama-sama dengan puteranya yang masih kecii itu, untuk tiba di Kangciu dengan selamat, disamping itu juga berusaha melindungi agar pedang Thiam Sim Kiam tetap berada ditangan mereka, menanti sampai kami berhasil berjumpa dengan orang yang dimaksudkan oleh suhengku itu. !”

“Jadi maksud Tong Siecu?!” tanya pendeta tua itu.

“Jika memang aku gagal melaksanakan tugasku, pedang Thiam Sim Kiam terjatuh ketangan orang lain, dan Auwyang Toanio bersama puteranya mengalami bencana, tentu akan membuat aku tidak tenang, bagaimana kelak aku harus mempertanggung jawabkan kepada suhengku jika kami bertemu di Akherat....? Dan suhengku itu jelas akan mati dengan mata tidak meram karena tidak tenang menyaksikan semua ini!”

Mendengar perkataan Tong Miauw Liang, pendeta tua itu telah mengangguk sabar, dia berkata dengan ramah: “Loceng memang mengetahui kesulitan Tong Siecu, tetapi disamping itu, perlu Tong Siecu ketahui, bahwa apa yang dilakukan oleh Loceng, secara tidak langsung sesungguhnya membawa kebaikan untuk Auwyang Toanio dan puteranya itu!”

Tong Miauw Liang telah mengangkat kepalanya memandang pendeta itu beberapa saat, kemudian katanya dengan suara yang ragu-ragu: “Tapi Locianpwe, memang dalam persoalan ini menyangkut beberapa persoalan yang belum lagi diketahui oleh Boanpwe dengan jelas. Dengan damikian, tentu saja Boanpwe tidak bisa mengatakan suatu apapun mengenai urusan pedang Thiam Sim Kiam. Karena Boanpwe hanya mengetahui harus melindungi isteri dan putera suhengku itu, juga termasuk pelang Thiam Sim Kiam tersebut. Dan kenyataan yang ada, tentu saja Boanpwe tidak mungkin bisa menerima begitu saja jika sampai pedang Thiam Sim Kiam harus lenyap dirampas oleh seseorang dari perlindungan Boanpwe.” sambungnya lagi.

-oodwoo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar