Serial Pendekar Bayangan Sukma eps 03 : Petaka Cinta Berdarah

SATU
Wajah Wirapati memerah. Tetapi dia diam saja. Kalau saja tidak ada yang dipikirkannya sejak tadi, sudah diserangnya Pratiwi itu. Diam-diam dia berpikir akan kedatangan Madewa Gumilang ke tempat ini. Dia kuatir, selagi dia bertanding dengan dewi cabul ini, Madewa Gumilang datang.

Sudah jelas dia akan menderita kekalahan, karena tenaganya akan habis dipakai untuk menandingi Pratiwi. Lebih baik dia mengajak berdamai saja dewi cabul itu. Atau kalau bisa biar mereka bersekutu untuk menghadapi Madewa Gumilang atau Pendekar Bayangan Sukma.

Maka dia pun mulai membaik-baikan Pratiwi dengan harapan dapat mengorek keterangan mengenai munculnya kembali Selendang Merah Itu.

"Aku tidak pengecut, Pratiwi. Tapi kupikir, kita belum pernah bermusuhan. Belum pernah sekali pun berbuat salah. Sekarang, mendadak saja kita saling menyerang penuh kebencian. Ini benar-benar tidak ada gunanya."

"Hmm, apa maumu sebenarnya, Wirapati?"

"Ha... ha... kau bolehlah membawa gadis itu. Aku pun tidak membutuhkannya. Aku hanya menyekap dia untuk memancing datangnya musuh besarku, orang yang telah membunuh kedua orang seperguruanku."

"Siapa dia?" tanya Pratiwi yang mulai tertarik dengan cerita Wirapati. "Madewa Gumilang," sahut Wirapati

dengan penuh kebencian.

"Siapa?" Pratiwi terkejut. "Madewa Gumilang?!"

"Ha... ha..agaknya kau terkejut mendengar nama itu, Dewi cabul. Apa kau punya permasalahan dengan orang yang bernama Madewa Gumilang?"

Pratiwi terdiam. Rupanya kau berada di sini, Madewa, geramnya dalam hati. Memang, sebenarnya Pratiwi hendak mencari Madewa, orang yang telah menyebabkan putusnya lengan kirinya. Walaupun memutuskannya adalah Biparsena, tetapi Pratiwi tetap menyalahkan Madewa Gumilang. Pemuda yang menjadi gara-gara dengan tersiarnya kabar tentang pusaka Dewa Matahari (baca : Pedang Pusaka Dewa Matahari).

Sejak menderita kekalahan dari Biparsena, Pratiwi langsung bersembunyi dengan lengan yang buntung. Sebenarnya dia tidak marah dengan Madewa, tetapi pemuda itu membiarkan dia semalaman suntuk tergeletak kedinginan tanpa dipindahkan ke tempat yang aman. Juga pemuda itu meninggalkannya begitu saja. Pratiwi geram kalau ingat akan Madewa. 

Selama setahun itu pula Pratiwi bersembunyi di puncak gunung Halimun. Dan secara kebetulan, di dasar bawah gunung itu, dia menemukan sebuah Kitab kuno yang berisikan ilmu silat. Dan kebetulan lagi, kalau ilmu itu hanya bisa dimainkan dengan sebelah tangan. Bagi yang bertangan lengkap, mau tak mau harus membuntungi tangan itu jika ingin menguasai ilmu yang terdapat di kitab kuno itu.

Dengan penuh semangat Pratiwi mempelajari semua isinya. Gerakannya semakin hari ,semakin hebat. Setahun genap, tamatlah si Dewi cabul dalam mempelajari ilmu silat yang sangat ampuh, yang diketahui Pratiwi bernama ilmu silat yang mengandalkan kelincahan tubuh dan gerakan sebelah tangan.

Setelah menguasai ilmu itu, keinginan Pratiwi untuk mencari Madewa semakin menggebu-gebu. Suatu siang dia pun berangkat. Selama perjalanannya, kebiasaannya sejak dulu muncul kembali kalau melihat pemuda-pemuda tampan.

Sudah setahun dia berusaha mematikan nafsu birahi demi menguasai ilmu yang terdapat dalam kitab kuno itu, kini nafsu itu bangkit Kembali. Hampir di setiap tempat Pratiwi menjerat setiap pemuda yang berkenan di hatinya untuk diajak bermain cinta sekaligus menyempurnakan ilmu selendang merahnya. Dengan mengeluarkan ilmu pengharum tubuhnya, tidak sulit bagi Pratiwi untuk mengajak pemuda-pemuda memenuhi nafsu birahinya. Semua bertekuk lutut. Dan seperti kebiasaan dewi cabul itu, jika si pemuda menolak, maka mautlah sebagai gantinya!

Suatu hari, sampailah dia ke tanah genting ini. Jarak yang sangat jauh sekali. Pratiwi beristirahat untuk melepas lelah. Belum lagi matanya terpejam, dia mendengar teriakan seorang gadis, yang ketakutan. Pratiwi langsung mencari sumber teriakan itu. Dan akhirnya dia mengetahui apa yang akan terjadi di dalam goa, Wirapati hendak menodai Nindia!

Dan Wirapati telah menyebutnyebut nama Madewa Gumilang, pemuda yang disebutnya musuh besarnya, kemarahan dan dendam Pratiwi semakin naik. Maka tanpa ragu-ragu lagi, dia menjawab pertanyaan Wirapati, "Yah... pemuda itu punya hutang yang belum terbayar!"

Wirapati tergelak. "Rupanya kau mendendam juga pada pemuda bangsat itu! Nah, mengapa kita tidak bekerja sama saja untuk menundukkannya? Pemuda setan itu kurasa semakin hebat saja. Dulu pun dia dengan mudah membunuh. dua saudara seperguruanku! Dengan ada kita, maksudku, dua orang yang saling bersatu, pasti akan mudah untuk mengalahkan pemuda itu."

Pratiwi terdiam. Perlahan matanya melirik lengan kirinya yang buntung akibat sabetan pedang Siluman Mata Air yang telah hangus pedang itu akibat sabetan Biparsena.

Tiba-tiba kepalanya menegak. Ia menatap Wirapati dengan tegas. Wirapati hanya tenang-tenang saja.

"Tidak, masalah ini tetap menjadi urusanku! Aku tidak mau kau mencampurinya! Biar kuselesaikan dendamku ini pada Madewa Gumilang! Sekarang, apa maumu Wirapati?"

Wirapati sudah menduga kalau itu jawabannya. Dia hanya mengangkat kedua bahunya.

"Baiklah, masalah itu memang harus diselesaikan sendiri-sendiri. Aku pun tidak ingin bermusuhan denganmu. Dan masalah gadis itu, terserah padamu."

"Maksudmu?"

"Kau bawa silahkan, tidak kau bawa silahkan."

Pratiwi belum tahu siapa sebenarnya gadis ini, seketika dia bertanya, "Sebenarnya, ada maksud apa kau menawan gadis ini?"

"Ha... ha... akhirnya pertanyaan itu datang juga. Dengar Pratiwi, gadis ini adalah putri seorang hartawan yang telah ditolong oleh Madewa dalam suatu perampokan.    Dan     sekarang   aku menawannya.  Jelas,  untuk  memancing kedatangan Madewa   ke   tanah  genting ini.  Kalau Madewa   tidak  datang,  aku akan menghina gadis ini habis-habisan, sebelum kubunuh. Dan   kepalanya akan kubawa ke rumah Hartawan itu sebagai rasa kesalku!" Wirapati tergelak lagi. Nindia menjerit  kecil.  Mengerikan! Ini semua bermula dari Madewa Gumilang. Wanita berlengan buntung itu pun agaknya  mendendam   pada  Madewa.

Diam-diam dia menyesal, Madewa telah menolong keluarganya!

Pratiwi manggut-manggut.  Jalan pikiran yang bagus. Kalau begitu dia harus membawa  gadis  ini. Dia  pun membutuhkannya untuk memancing Madewa. "Baik! Wirapati, aku akan membawa gadis  ini.  Jika Madewa  datang, katakan, kalau dia kutunggu di puncak gunung   Halimun!  Jangan sampai  dia tidak datang! Katakan juga, kuberi dia

waktu lima bulan sejak hari ini!" Pratiwi lalu menghampiri Nindia.

la tersenyum seraya mengulurkan tangannya.

"Ayo gadis manis, sekarang kau harus ikut aku."

Nindia hanya mengangguk saja. Dia pun merasa lebih baik ikut wanita itu daripada disekap Wirapati yang kemungkinan besar akan merenggut kehormatannya. Buru-buru dia mengenakan pakaiannya yang sobek-sobek akibat ulah Wirapati.

Sebelum pergi Pratiwi berkata pada Wirapati, "Katakan yang jujur pada Madewa, aku menunggu!"

Wirapati mengangguk sambil tergelak. Pratiwi mengandeng lengan Nindia. Tapi belum sampai mereka ke pintu goa, terdengar desingan beruntun dari belakang.

"Awasss!" desis Pratiwi seraya mendorong tubuh Nindia lalu dia sendiri bersalto dua kali. Dengan sigap dia berbalik. Wirapati tergelakgelak.

"Bangsat keji!" desis Pratiwi geram. Untung dia masih mendengar akan adanya angin kecil dari belakang. Rupanya Wirapati diam-diam melemparkan jarum-jarum berbisanya.

"Tidak mudah kau membawa gadis itu begitu saja, Pratiwi!"

"Apa maksudmu? Kau sudah mengatakan semauku untuk membawanya atau tidak."

"Masih juga tidak mengerti....

Aku yang mendapatkannya dengan susah payah, kau semudah itu membawanya. Tidak, aku akan mempertahankannya sampai Madewa datang menjemputnya." geram Wirapati yang jengkel serangan gelapnya luput.

"Bangsat!!" Pratiwi menggerakkan tangan kanannya. Mendadak Wirapati merasakan dorongan angin yang besar datang dari depan. Dia cepat berkelit. Dan dorongan angin itu menerjang dinding goa hingga hancur berantakan.

Wirapati agak kecut juga melihat serangan itu. Tanpa menggerakkan tubuhnya Pratiwi mampu mengirim pukulan jarak jauh. Sekarang Pratiwi yang tergelak. "Hik... hik... jangan kaget kau, Bangsat curang! Itulah yang dinamakan pukulan Angin Menghalau Hujan! Ilmu yang kudapat dari Kitab kuno di dasar gunung Halimun!"

"Bah! Keluarkan semua ilmumu, Pratiwi! Kita akan bertarung sampai mati!" bentak Wirapati seraya menyerang dengan pukulan lurus. Tangan yang mengepal itu mengeluarkan asap. Pratiwi agak kaget melihatnya. Tapi dia cepat memapaki dengan pukulan Angin Menghalau Hujan.

Tanpa menggerakan tubuhnya pula dia mengirimkan pukulan jarak jauh itu. Wirapati menggeram jengkel seraya bersalto. Masih melayang di atas dia menyerang kembali. Suasana dalam goa itu sangat gaduh sekali. Nindia hanya terpaku tanpa ada pikiran untuk melarikan diri. Dia menekap kupingnya dengan kedua tangannya untuk menutupi suara yang bising itu.

"Lihat serangan, Pratiwi! Ini yang dinamakan Naga Menguak Langit!" Lalu Wirapati menerjang dengan gerakan tangan yang cepat sekali. Terasa di kulit Pratiwi dorongan angin yang hebat. Gerakan Naga Menguak Langit begitu dahsyat, sambung menyambung. Jurus Pratiwi dihalaunya dengan sekali pukul. Tetapi Pratiwi cepat bangkit kembali. Dia menggunakan jurus Angin Menggoda Hujan. Mendadak saja tubuhnya bergoyang dengan hangat. Lirikannya pun menggoda.

Wirapati tergagap. la menghentikan serangannya. Jurus yang aneh. Jurus yang penuh godaan. la memperhatikan Pratiwi menggerakan seluruh tubuhnya, mengundang gairah sekali. Pinggulnya yang besar berlenggaklenggok penuh pesona. Dadanya yang montok bergoyang terayun-ayun. Membuat Wirapati menelan ludahnya.

Itulah jurus baru andalan Pratiwi. Yang membuat orang melihatnya terpana penuh gairah. Jurus yang aneh dan memgerikan. Karena yang tidak waspada akan mampus dengan sekali pukul. Begitu pula dengan Wirapati. Ia terpaku penuh gairah. Sedangkan Pratiwi semakin genit bergoyang. Hanya tinggal dua tindak lagi jaraknya berdiri dengan Wirapati.

Dan tiba-tiba dengan teriakan keras, Pratiwi menerjang dengan tangan lurus ke depan. Wirapati terkejut. Tak ada waktu untuk menangkis. Sebisa-bisanya dia berguling kesamping, tapi tak urung bahunya terkena pukulan Pratiwi. Wirapati  merasakan  bahunya  ditimpa godam yang sangat berat sekali. Dia terhuyung jatuh, Pratiwi terbahak. "Rasakan  itu, Bangsat curang!"

"Kau... kau yang curang, Pratiwi," geram Wirapati marah dan kesakitan.

"Hik... hik... Jadi orang jangan mata keranjang. Itulah akibatnya. Wirapati, saat ini aku tidak telengas menurunkan tangan mautku padamu, mengingat kau akan menghadapi musuhmu yang juga musuhku, biarlah tanda di bahumu kenangan dariku! ingat Wirapati, katakan pada Madewa kalau aku menunggu kedatangannya di puncak gunung Halimun!" Pratiwi lalu menghampiri Nindia yang pucat wajahnya. "Ayo gadis manis, kau ikut denganku! Kita tinggalkan si Bangsat curang itu di sini!"

Nindia memegang tangan Pratiwi. Begitu terpegang, dia merasakan tubuhnya terbang. Si Selendang Merah telah membawanya lari dengan ilmu meringankan tubuhnya yang hebat.

Di dalam goa, Wirapati mengumpat! "Bangsat kau Pratiwi, kalau kau bukan mencari musuhku juga, sudah kukejar ke mana pun kau pergi!!"

Nindia tidak banyak tanya dalam perjalanan. Dia merasa telah cukup baginya mengenal wanita cantik berlengan buntung ini. Tadi dia mendengar wanita ini bernama Pratiwi, alias Dewi cabul. Atau julukannya yang menakutkan si Selendang Merah.

Tadi dia kaget sekali karena merasakan tubuhnya terbang. Dia menjerit tertahan karena terkejut. Tetapi lama kelamaan terbiasa. Diamdiam Nindia ingin berguru pada wanita cantik ini.

Pratiwi tidak langsung membawa Nindia ke puncak gunung Halimun. Dia mengajaknya mampir di sebuah desa yang bernama Jati Beringin. Sebuah desa yang indah dan tentram.

Ki Lurah Lanangneweng adalah seorang lurah yang mampu dan baik dalam memimpin desanya. Ki Lurah juga seorang pesilat yang lumayan ilmunya. Karena lurahnya mempunyai ilmu silat, masyarakat di desa itu merasa aman dari gangguan orang-orang jahat. Sebab Ki Lurah Lanangwenang mampu menangani semua itu.

Hari ini Ki Lurah Lanangneweng sedang kedatangan tamu. Seorang lakilaki yang memakai ikat kepala putih dan bertato telapak tangan di tengahtengahnya ada seekor naga. Ki Lurah tahu siapa orang ini. Salah satu anggota dari Telapak Naga, yang katanya kini menguasai desa tetangga. Tetapi sebagai seorang lurah dan orang yang berilmu, Ki Lurah tenang-tenang saja. Dia menyambut baik kedatangan orang itu.

Anggota Telapak Naga yang bernama Caturseta mengusap-usap kedua tangannya. Dan sesekali meraba tato di dadanya. Yang dimaksudkan untuk menakut-nakuti lurah Jati Beringin itu.

Tetapi sedikit pun Ki Lurah tenang saja. Dia mendehem setelah mendengar penuturan Caturseta.

"Hmmm, maaf Saudara. Saya sebagai lurah di sini, merasa berkewajiban melindungi rakyat di sini. Jadi saya harap, Saudara maklum, kalau jawaban saya ini tidak berkenan di hati Saudara."

"Hhh, Ki Lurah!" suara Caturseta berwibawa. "Janganlah kita bersilat lidah, cepat katakan apa jawabanmu itu."

"Hanya satu Saudara, saya tidak mungkin bisa memenuhi permintaan Saudara itu."

Wajah Caturseta memerah. "Jadi. "

"Ya, saya sudah katakan, harap Saudara maklum."

Mendengar suara yang tenang itu naik darah Caturseta. "Ki Lurah, aku sudah katakan, kalau kau menolak, berarti kau berani menentang Perkumpulan Telapak Naga!"

"Bukan maksudku menantang, Saudara. Perkumpulan Telapak Naga telah terdengar kesaktiannya, karena pimpinan mereka yang bernama Krampelaksa adalah seorang tokoh yang sakti. Juga gelar yang dimilikinya pun membuat orang menjadi jeri, Naga Putih Peminum Tuak! Tapi Saudara... di sini saya sebagai lurah, punya kewajiban, yang mana menginginkan desa ini makmur dan tentram, tanpa gangguan apa-apa. Lalu tahu-tahu Saudara datang, dengan menyampaikan berita yang mengerikan.

Harus menyediakan seorang perawan murni yang dipersembahkan untuk Naga Putih Peminum Tuak, setiap malam Jum'at! Nah, mana mungkin saya bisa menerima permintaan itu, Saudara? Saya tidak ingin..."

"Tutup bacotmu, Ki Lurah!" geram Caturseta marah. "Kau benar-benar berani membangkang! Sudah kuminta secara baik-baik tapi kau tak mengindahkannya. Baik, perkumpulan Telapak Naga akan menculik perawan murni setiap malam Jum’at! Camkan itu, Ki Lurah!"

Setelah berkata demikian, Caturseta bangkit mohon diri. Tapi Lanangneweng menahannya, "Tunggu, Saudara!"

Caturseta berbalik dan mendengus. "Mau apa?!"

"Aku akan mempertahankan desa ini dari gangguan Perkumpulan Telapak Naga. Boleh kau melakukannya, tapi ingat, kami tidak akan tinggal diam!"

Kata-kata itu terdengar menghina sekali bagi telinga Caturseta. Benarbenar minta mampus orang ini. Maka sambil berseru keras, dia langsung menyerang dengan pukulan lurus kemuka. Ki Lurah Lanangneweng memang bukan lurah sembarangan. Dia cepat berkelit kesamping dan kakinya menyambar pinggang Caturseta.

"Des!"

Seharusnya Caturseta jatuh terguling terkena tendangan yang keras itu. Tapi dia hanya goyang sedikit. Lalu loncat menerkam. Tangan kanannya membuka, jari-jarinya merapat satu sama lain. Inilah ilmu Telapak Naga yang dimiliki oleh semua anggota perkumpulan Telapak Naga.

Naga Putih Peminum Tuak tidak tanggung-tanggung menurunkan ilmunya. Itu merupakan pamungkas dari ilmu perkumpulan Telapak Naga. Ilmu yang mengerikan!

"Hati-hati, Ki Lurah!!" sambil memperingatkan Caturseta menyerang. Sambaran angin yang datang dari telapak tangannya membuat Ki Lurah Lanangneweng kaget juga. Cepat dia berkelit. Tapi gerakan ilmu telapak naga begitu cepat. Maka tak ampun lagi, bagian belakang dari Lanangneweng terkena pukulan itu.

"Des!" Akibatnya sungguh mengerikan. Punggung Lanangneweng berasap. Dan terceplaklah di kepulan itu telapak berwarna hitam. Kalau ilmu itu Krampelaksa yang melakukannya, orang yang terkena bisa langsung mampus dengan tubuh hangus!

Caturseta terbahak. "Ha... ha... apa yang akan kau pertahankan, Ki Lurah? Ilmumu tak ada sejari dari ilmuku!" Lalu dia melompat dan menghilang, sementara tawanya masih menggema.

Dengan menahan sakit yang amat sangat, Ki Lurah berlari ke dalam rumahnya. Istrinya yang sedang menyusui anaknya terkejut melihat telapak hitam di punggung suaminya.

"Kakang Lanang! Kenapa punggungmu?!" jeritnya setelah meletakkan bayinya yang sedang tidur.

"Ambil, ambil... air, Nyai! Basahi tubuhku," kata Lanangneweng terbata.

Istrinya, Nyai Sekar, menuruti perintah suaminya. Seketika Lanangneweng merasakan sejuk di tubuhnya. Tetapi begitu air kering, kembali dirasakannya perih yang sakit sekali.

"Apa yang terjadi, Kakang?" tanya Nyai Sekar cemas.

"Orang Telapak Naga menyerangku."

"Siapa?"

"Tamu yang datang tadi. "

"Oh! Ke... kenapa dia menyerangmu? Begitu tega sekali... oh... punggungmu hitam, Kakang."

"Tidak apa Nyai, sebentar juga sembuh.... Orang tadi bernama Caturseta... dia salah seorang anggota dari perkumpulan Telapak Naga. "

"Lalu. "

"Dia minta padaku... agar menyerahkan setiap malam Jum'at. "

"Menyerahkan apa, Kakang?"

Lanangneweng terdiam. Lalu, "Dia minta... seorang perawan murni. yang

akan dipersembahkan untuk Naga Putih Peminum Tuak. "

"Oh, Tuhan...." Nyai Sekar menekap wajahnya. "Permintaan yang mengerikan!"

"Yah... itulah sebabnya aku menolak, lalu orang tadi menyerangku dengan pukulan Telapak Naga."

"Lalu... apa yang akan kau perbuat, Kakang?"

"Aku tidak tahu... yang pasti aku akan berusaha mengagalkan setiap aksi penculikan mereka. "

Tiba-tiba Nyai Sekar menjerit tertahan. Ki Lurah Lanangneweng kaget. "Ada apa, Nyai?"

"Nanti... nanti malam Jum'at, Kakang. "

"Oh!" Ki Lurah tersentak. Ia bangkit dengan cepat. "Aku harus memberitahu penduduk Nyai, agar mereka berhati-hati!" Lalu tanpa menghiraukan rasa sakitnya, Ki Lurah berlari ke luar rumah.

Istrinya hanya menangis terguguk di ranjang. Kehidupan yang sulit rupanya mulai merambati keluarganya. Yah, sejak Perkumpulan Telapak Naga mulai mendatangkan aksinya pada mereka.

***
DUA
Orang-orang terkejut ketika Ki Lurah berseru-seru di tanah lapang itu. Serentak mereka berduyun-duyun ke sana, ingin tahu apa sebabnya.

Mungkin ini penting sekali, karena Ki Lurah sendiri yang meneriakkannya.

Tak berapa lama kemudian, alunalun itu telah penuh sesak. Hampir semua penduduk menghadirinya.

Ki Lurah Lanangneweng berdiri di tengah-tengah mereka dengan sikap serba cepat.

Dia berseru, "Wahai kawan-kawan semua, ternyata desa kita ini tidak bisa bertahan lama dalam ketentraman dan kedamaiannya! Karena sebentar lagi bencana yang terburuk akan datang pada kita!"

Serentak terdengar gumaman ramai. Dan sahutan.

"Ki Lurah, apa maksudmu?"

"Bahaya apa yang datang pada kami, Ki Lurah?"

"Bukankah desa kita selalu tentram dan tak pernah ada keributan?"

"Cepat terangkan pada kami!"

"Sabar, sabar, Kawan-kawan! Aku akan menerangkan semuanya pada kalian, karena ini bencana yang terburuk yang akan menimpa kita!

Belum lima belas menit yang lalu, seorang yang mengaku bernama Caturseta datang ke rumahku. Ketahuilah, dia adalah salah seorang dari Perkumpulan Telapak Naga yang kita tahu mereka adalah orang-orang yang kejam!

Yang datang hanya untuk menyebarkan teror bagi kita semua!

Maksud kedatangan Caturseta itu adalah, agar aku mau menyediakan seorang perawan murni yang berada di sini untuk ketua mereka yang bernama Krampelaksar

Permintaan yang gila-gilaan dan jauh di bawah moral! Menyediakan seorang perawan murni untuk dipersembahkan kepada pemimpin mereka, adalah gila jika kita mau memenuhi permintaan itu!

Jelas-jelas aku menolak. Aku tidak mau mengorbankan setiap wargaku untuknya. Dan akhirnya kami berkelahi. Rupanya ilmuku jauh berbeda di bawah ilmu Caturseta. Dan ini sebagai kenang-kenangan dari orang itu!"

Ki Lurah Lanangneweng membalikkan badan. Terlihat pukulan hitam di punggungnya. Orang-orang berseru tertahan.

"Telapak Naga!" seruan itu terdengar panik di antara seruan tertahan orang banyak. Yang berseru itu adalah seorang perempuan cantik berlengan buntung.

Wanita yang berdiri di sampingnya menoleh. Lalu bertanya, "Apakah Telapak Naga itu, Kak?"

"Telapak Naga adalah nama jenis pukulan yang berbahaya, yang sekaligus dipakai untuk nama perkumpulan. Aku telah lama mendengar akan adanya perkumpulan baru yang sesat itu."

Dari depan terdengar lagi suara Ki Lurah Lanangneweng, "Kawan-kawan, orang dari perkumpulan Telapak Naga itu marah besar padaku! Setelah melumpuhkan aku, dia mengancam, akan menculik seorang perawan murni setiap malam Jum'at. Dan ancaman itu berlaku untuk detik ini!"

Kembali seruan tertahan terdengar. Dan gadis-gadis yang masih perawan semua mendadak berwajah pucat. Mereka ngeri akan menjadi sasaran penculikan itu dan diserahkan pada ketua perkumpulan sesat itu. Dan paniklah mereka semua, ketika ingat ini adalah malam Jum'at, di mana aksi penculikan yang pertama akan berlangsung.

Semua menjerit-jerit ketakutan, Beberapa orang Ibu merangkul anak perawannya erat-erat seolah aksi penculikan itu sudah terlaksana

Ki Lurah Lanangneweng menenangkan penduduknya. Setelah tenang, dia melanjutkan perkataannya lagi, "Kawankawan, sekarang maksudku untuk mengumpulkan kalian adalah, agar kita bersatu untuk melawan penculikpenculik itu! Dengan kekuatan yang banyak, kemungkinan besar aksi penculikan itu berhasil digagalkan!"

Semua mendukung usul itu. Tapi ada juga yang mengusulkan agar melapor pada raja. Agar raja yang menangani masalah itu. Tetapi Ki Lurah Lanangneweng menolak, dengan alasan, "Selagi kita mampu melawan, kita tidak perlu meminta bantuan raja dulu!"

"Tapi desa kita ini bisa merupakan neraka yang mengerikan bagi setiap anak gadis, Ki Lurah!" teriak salah seorang.

"Memang, tapi kita harus berusaha menghilangkan mimpi buruk itu! Kita harus bersatu, Saudara-saudara! Kita harus saling membantu menghalau setiap serangan yang datang!"

Dan mulai saat itulah, setiap kepala keluarga dan pemuda-pemuda mempersiapkan senjata dirumahnya. Juga memeriksa semua kunci jendela dan pintu. Bahkan ada yang memasang jebakan berupa lubang tanah yang ditutupi alang-alang.

Gadis manis yang duduk di warung nasi itu pun nampak ketakutan. Katakata lurah tadi telah membuatnya ngeri. Tetapi wanita cantik yang duduk di sebelahnya kelihatan tenang-tenang saja. Sedikit pun tidak menampakkan ketakutan. Malah setetes keringatnya pun tak jatuh.

Gadis muda itu melirik yang duduk di sebelahnya, yang masih asyik menikmati kue-kue yang dijual di warung nasi itu. Sebentar lagi malam akan tiba. Kini mereka akan menginap di mana, sementara bayangan penculikan terus saja menghantuinya.

"Kakak Pratiwi," gadis muda itu meluncurkan kata.

Wanita cantik yang masih asyik itu menoleh. Ia tersenyum melihat wajah gadis manis itu pucat.

"Jangan takut adik Nindia. Biarlah penculikan itu dilakukan, asal kita tidak diganggu."

"Tapi... aku takut, Kak."

"Hik... hik... selama aku berada di sisimu, tak perlu kau takuti. Ayo makanlah. "

"Saya sudah kenyang," gadis muda yang tak lain Nindia itu menunduk. Tiba-tiba dia berkata lagi, "Sebaiknya kita pergi saja dari tempat ini. Aku sudah mengantuk, Kak. Kita bisa cari penginapan sekarang."

"Kita akan menginap di sini, Nindia."

Nindia terkejut. Juga Bapak tua yang punya warung itu. Wah, bisa gawat. Dia tadi sudah beruntung tidak punya anak gadis lagi, tapi sekarang kedua wanita cantik ini akan menginap di sini. Bisa berabe. Buru-buru dia berkata, "Saudari yang terhormat, sebaiknya saudari ikuti saja kata-kata adik saudari. Adik saudari benar, lebih baik lekas mencari penginapan sebelum aksi penculikan itu datang."

"Ah, Bapak tua. Bilang saja kami tidak boleh menginap di sini." Pratiwi tersenyum manis.

Bapak tua itu tersipu. Tapi dia harus menjelaskan, "Bukan maksudku melarang kalian berdua menginap di sini. Tidak. Jika ancaman penculikan anak perawan itu tidak ada, sebulan pun kalian menginap di sini tak apa tanpa bayar. Tapi sekarang, biar pun kalian berani bayar mahal permalam, saya tetap tidak mengizinkan. Maklumlah saudari, saya takut kalau ancaman penculikan itu terjadi pada diri kalian berdua. "

Pratiwi hanya terkikik "Malah saya berharap akan diculik, Pak. Saya ingin kenal dengan Krampelaksa yang gelarnya mengejutkan orang."

Wajah Bapak Tua itu kaget bukan kepalang. Benar-benar gadis edan yang satu ini. Mengharapkan bertemu dengan Krampelaksa. Huh!

Orang mendengar namanya saja sudah ciut nyalinya, apalagi bertemu! Dan bukan hanya bertemu, akan dijadikan santapan malam Naga Putih Peminum Tuak itu! Mengerikan!

Bapak tua itu rupanya tidak mau lagi bercakap-cakap dengan gadis edan itu. Makanya dia langsung membereskan semua dagangannya.

Lalu berkata, "Maaf, warung ini akan tutup."

Pratiwi tidak membantah. Dia hanya tertawa saja. Setelah membayar, dia mengajak Nindia mencari tempat penginapan. Nindia merapatkan tubuhnya pada tubuh Pratiwi ketika melangkah, Apalagi malam sudah datang. Keadaan desa itu sunyi sekali, lain dari biasanya. Dan jam tujuh ini, gardugardu ronda sudah penuh dengan penjaga. Yang biasanya hanya lima orang, kali ini di setiap gardu ada lima belas orang lengkap dengan senjata, keris, tombak, golok dan lain-lain.

Mereka menemukan penginapan yang tak begitu besar. Harganya pun murah. Pemilik penginapan itu agak ragu-ragu mengizinkan mereka menginap. Dia rupanya juga tak ingin terlibat kesulitan. Kamar yang telah penuh itu hampir semuanya diisi oleh laki-laki. Juga ada wanita tapi yang telah bersuami dan punya anak.

Sekarang kedua gadis cantik itu ingin menginap di tempatnya. Tak ada jalan lain selain mengizinkan, apalagi mereka berjanji hanya satu malam menginap dan besok akan melanjutkan perjalanan.

"Huh! Semua seakan dibayangi oleh ketakutan!" gerutu Pratiwi ketika merebahkan tubuhnya di ranjang. Ia menggerutu panjang-pendek. Sementara Nindia hanya mendengarkan saja. Pratiwi berkata lagi, "Pokoknya, tengah malam nanti, aku akan keluar!"

Nindia tersentak, "Kemana, Kak?"

"Aku ingin tahu markas Perkumpulan Telapak Naga itu!"

Nindia ingin membantah, tapi dia tidak berani. Wanita cantik itu seakan yakin akan kemampuannya untuk membela diri. Maka Nindia mendiamkan saja. Ia juga merebahkan tubuhnya di ranjang.

Ketika merebahkan tubuhnya itulah Nindia teringat akan rumahnya. Ibunya. Ayahnya. Juga ketika penculikan yang dilakukan Wirapati atas dirinya. Dan nyaris dia diperkosa, Ingatan itulah yang membuat Nindia ketakutan ketika mendengar keterangan Ki Lurah Lanangneweng di alun-alun tadi siang! Dia menghela nafas panjang.

Diliriknya Pratiwi yang tengah memainkan selendang merahnya. Selama berada di sisi wanita cantik berlengan buntung itu, Nindia merasa keselamatannya terjamin!

Tak berapa lama kemudian, matanya pun terpejam.

***
TIGA
Tepat tengah malam, Pratiwi bangkit. Duduk di ranjangnya. Sejak tadi dia memang tidak tidur. Walaupun matanya terpejam. Pendengarannya tetap bekerja. Mendengar apa yang sedang atau akan terjadi di luar sana. Tetapi sejak tadi tidak terdengar apa-apa, hanya kantongan di gardu-gardu ronda, yang menandakan orang-orang desa itu sedang bersiaga penuh.

Tak jauh dari ranjangnya, terdengar dengkur yang lembut dan beraturan. Nindia yang keletihan sejak pagi tertidur pulas. Pratiwi bangkit berdiri. Memperhatikan wajah cantik Nindia. Gadis yang benar-benar cantik, yang membuat orang memandangnya dan tak mau lepas dari obyek yang mengasyikkan itu.

Sedikit pun tak ada noda yang membuat cacat wajah itu, selain kerut keletihan. Besok pun hilang kalau letihnya sudah hilang.

Wanita cantik ini, sayang kalau sampai dimakan oleh Wirapati, desis Pratiwi dalam hati. Merasa beruntung karena dia datang sebelum Wirapati melakukan aksinya.

Tetapi dewi cabul itu tetap orang sesat. Kegemarannya menghisap sari perjaka pria membuatnya terkenal sebagai orang sesat berwajah cantik.

Kali ini pun pikiran jelek melintas di benaknya. Ia tersenyum sendiri. Sejak tadi yang dipikirkan hanya mengenai Krampelaksa, ketua perkumpulan Telapak Naga dan ancaman penculikan perawan untuknya!

Pratiwi  yakin,  gadis  yang  tidur di hadapannya   ini   seorang   perawan murni.    Dan  diam-diam  Pratiwi   ingin menyerahkan Nindia untuk naga tua itu. Pasti     Naga     tua    itu  akan menerimanya  dengan   tangan  terbuka. Bagaikan anjing diberi sekerat daging. Biar bagaimana pun, Pratiwi tahu, kalau  saat ini  Nindia   sedang  dicari oleh  Madewa    Gumilang,   pemuda   yang telah  membuatnya mendendam!    Dengan diserahkannya Nindia kepada Krampelaksa, Pratiwi yakin, Krampelaksa akan takluk akan perintahnya.

Dan kekuasaan Perkumpulan Telapak Naga akan jatuh ke tangannya. Karena di saat Krampelaksa menggeluti tubuh Nindia, Pratiwi akan menghajarnya sampai minta ampun!

Dan merebut kekuasaan dari tangan Krampelaksa. Dan dia akan memerintahkan Krampelaksa dan anak buahnya untuk membunuh Madewa Gumilang.

Pekerjaan yang ringan dan mudah. Pratiwi terkekeh sendiri. Itulah rencana yang membayang di benak si Selendang Merah. Rencana yang keji dan menakutkan.

Diam-diam dia tersenyum, mengerikan. Matanya nanar membayangkan keberhasilan rencananya. Dia akan menangkap dan menyiksa Madewa Gumilang sampai menjerit-jerit.

Pratiwi menghampiri Nindia yang sedang tertidur pulas. Ia memperhatikan seluruh tubuh gadis itu. Benar-benar indah dan menantang.

Tiba-tiba tangannya bekerja dengan cepat. Menotok dua kali. Satu menotok urat di punggung Nindia dan satu menotok urat suara di lehernya. Dengan cepat dia menelanjangi gadis itu. Tidak puas hanya memperhatikan bagian luar tubuh gadis itu saja.

Terlihatlah suatu pemandangan yang indah dan penuh pesona. Setiap pria pasti akan mencair liurnya, dan langsung menggeluti tubuh indah itu. Bentuk tubuh yang bagus, tanpa cacat sedikit pun. Semua masih murni. Tidak puas hanya menatap, Pratiwi meraba seluruh tubuh Nindia. Halus. Mulus. Pratiwi sendiri bergetar merabanya.

Suatu santapan yang lezat untuk Krampelaksa. Pasti Naga tua itu tidak akan menolak disuguhkan hidangan yang lezat ini. Pratiwi kembali membetulkan pakaian Nindia dan melepaskan kedua totokannya.

Nindia yang masih tertidur pulas tidak tahu soal itu! Juga tidak tahu apa yang dipikirkan dan dikerjakan Pratiwi atas dirinya nanti.

Pratiwi kembali ke tempat tidurnya. Membayangkan lagi kemenangan yang ada di tangannya. Dia akan mencincang Madewa Gumilang, pemuda yang telah membuat sengsara bagi dirinya.

Dengan bantuan Krampelaksa, Pratiwi merasa kekuatannya bertambah.

"Aaaaaah! Tolooooong!" tiba-tiba terdengar jeritan itu. Menyentak dan membangunkan keheningan malam.

Pratiwi bergerak cepat. Dia melompat keluar melalui jendela dan segera mencari sumber suara itu. Tidak jauh darinya, para peronda sudah berpencar mencari pula. Pratiwi juga melihat, kalau Ki Lurah Lanangneweng berada di salah satu pencari itu! Benar-benar kesiagaan yang sigap! "Saudara, saudara! Kita berpencar!" seru Ki Lurah Lanangneweng.

"Suara jeritan itu terdengar dari rumah Tapadwipa! cepat, jangan sampai terlambat!!"

Mereka berjumlah dua puluh orang. Dan empat orang masing-masing menjaga di lima penjuru. Mengelilingi rumah itu.

Di dalam sang pemilik rumah sudah tergeletak bermandikan darah tak bernyawa, begitu pula dengan istrinya! Tapi jeritan itu terdengar parau dari dalam kamar, suara Murni, anak semata wayang Tapadwipa. Tapi kemudian terdiam. Rupanya si penculik telah menotok urat suara dan urat kejang sang gadis.

Penculik itu berpakaian hitamhitam. Ia sudah tahu kalau dirinya dikepung. Namun dia nampak tenangtenang saja. Tidak gelisah. Dengan santai dia memanggul tubuh Murni yang terdiam kaku, lalu keluar melalui pintu depan!

Serentak para pengurung. Mendekatinya. Orang itu terkekeh dengan tawa yang menakutkan.

Ki Lurah Lanangneweng maju dan berseru geram, "Bangsat biadab! Kembalikan gadis itu pada kami!"

Orang itu terus terkekeh. Tibatiba dia menghentikan kekehannya. Dan bersuara tajam, "Ki Lurah, tadi siang sudah kuperingatkan padamu, kalau aksi penculikan anak perawan di desa ini akan dilakukan oleh Perkumpulan Telapak Naga!"

Secara tak langsung Ki Lurah Lanangneweng sudah bisa menebak siapa penculik itu.

Dia membentak, "Caturseta! Kembalikan gadis itu pada kami, kataku! Jangan sampai kami melumat habis tubuhmu!"

Caturseta terkekeh lagi. "Apa kau tak salah omong, Ki Lurah?"

"Setaaannn! Kawan-kawan, habisi bangsat itu!" seru Ki Lurah sambil maju menyerang dengan goloknya. Serentak yang lain berbuat yang sama. Berpuluh senjata tajam melayang mengarah pada tubuh Caturseta.

Tetapi orang itu hanya terkekeh. Masih terkekeh pula dia membentak dan "wuutt!" tubuhnya sudah melompat dan berdiri di wuwungan rumah Tapadwipa. Senjata-senjata yang menyerang itu tak menemui sasarannya. Orang-orang menggeram antara jengkel dan kagum.

Tawa menggema lagi dari atas wuwungan Itu.

"Ha... ha... Ki Lurah Lanangneweng! Aksi Perkumpulan Telapak Naga tidak main-main. Ini buktinya! Sekarang aku permisi.... Kalau kalian tidak puas... tunggu kedatangan aksi kamu selanjutnya... malam Jum'at mendatang! Ha... ha...!"

Lalu sosok bayangan hitam itu melayang dan menghilang. Beberapa orang mencoba mengejar namun sia-sia. Bayangan itu seperti hilang begitu saja lenyap. Seolah menembus ke dasar bumi.

Ki Lurah Lanangneweng menggeram jengkel. Marahnya tidak ketulungan. Aksi penculikan didepan matanya, tidak mampu dielakkan.

Omongan orang-orang Telapak Naga benar-benar terbukti.

Beberapa orang pengejar kembali dengan tangan hampa. Dan melapor, "Kami tidak melihat apa-apa, Pak Kepala! Juga tidak mendengar apa-apa sedikit pun! Orang itu bagaikan iblis yang bisa menghilang!"

Ki Lurah menghela nafas, jengkel. "Mereka benar-benar luar biasa."

"Ya, Pak Kepala. Orang satu saja kita tidak mampu menangkapnya, apalagi dengan yang lainnya."

"Kita harus segera bertindak."

"Ya!!" sahut yang lain serempak. "Yah... kita harus segera bertindak. Kita tidak bisa mendiamkan aksi begini terus menerus. Kita harus berani berbuat hal yang penuh resiko. Kita harus berani menyerang ke desa sebarang, menghadapi langsung Perkumpulan Telapak Naga. Tapi. "

"Tapi apa, Pak Kepala? Usul itu kami dukung dengan sepenuh hati, demi membela kebenaran dan keadilan!"

"Ya, kami rela mengorbankan nyawa untuk desa ini! Untuk anak-anak perawan yang tak berdosa!"

"Ya, kami akan membela! Iya, tidak kawan-kawan?"

Yang lain bersorak setuju. Orangorang yang gagah berani, demi kebenaran dan keadilan.

Ki Lurah tersenyum melihat semangat mereka. Tetapi apa mereka mampu menghadapi Perkumpulan Telapak Naga yang dipimpin oleh tokoh sesat yang sakti?

Sedangkan tadi, melawan satu orang saja mereka tidak berdaya. Belum lagi yang lain?

Pak Lurah geram. Mengapa harus ada orang-orang sesat itu di muka bumi ini. Tetapi untuk keadilan dia pun rela mengorbankan nyawa.

Penuh keyakinan Pak Lurah mengangguk. Bersorak dengan disambut oleh yang lain penuh semangat. Mereka akan berjuang semampu mereka!

"Baik! Kita atur  rencana, lalu kita serang markas mereka! Kita gempur mereka sampai titik darah penghabisan! Dan sekarang, kembali kalian menjaga!" Orang-orang  yang rela berkorban.

Dengan semangat dan sorak gemuruh mereka kembali ke pos mereka. Ki Lurah mengajak beberapa orang untuk mengurus jenazah Tapadwipa dan istrinya.

***
EMPAT
Desa tetangga yang menjadi markas Perkumpulan Telapak Naga bernama Babakan Ngarai. Desa yang dulunya tentram dan damai. Udara yang sejuk selalu membuat penduduk Babakan Ngarai bekerja dengan giat.

Tetapi sejak orang-orang Telapak Naga berdatangan ke desa itu, Babakan Ngarai seperti mereka. Orang-orang itu mengacau dan mengobrak-abrik seisi desa itu. Bahkan kalau ada nama yang lebih pedih daripada neraka, pasti itu lebih tepat.

Memang ketika datang, orang-orang Telapak Naga tidak membuat onar. Mereka menunjukkan sikap sebagai tamu yang baik. Lurah Babakan Ngarai yang bernama Ringkihsamin, menyambut kedatangan mereka dengan baik.

Namun tinggal namun. Nasib Ringkihsamin tak ubahnya dengan Ki Lurah Lanangneweng. Tetapi lebih naas nasib Ringkihsamin. Dia ditemukan mati terbunuh dengan tubuh hancur. Dan di dada dan perutnya ada gambar cap lima jari. Tentunya bekas pukulan orang Telapak Naga.

Jadilah Babakan Ngarai desa yang mengerikan. Bagaimana tidak? Pajak dinaikkan dengan seenaknya. Ongkos hidup susah. Dan kadang masih dirampok dan dipukuli. Orang-orang laki yang kuat dan gagah, diharuskan menjadi anggota Telapak Naga. Yang tua dan tak mampu mereka bunuh dengan sadis, di hadapan anak dan istrinya.

Yang lebih menyeramkan sudah tentu nasib kaum wanitanya. Tak perduli gadis, perawan, wanita yang bersuami, ataupun yang sudah lanjut, kalau mereka suka, ditariknya wanita itu kesemak-semak. Dan digilir beramai-ramai sampai pingsan!

Nasib yang menyedihkan. Maka tak jarang gadis-gadis banyak yang bunuh diri sebelum atau sesudah diperkosa. Walaupun yang sedikit berani, bisa bermanis muka dan dengan sukarela menjadi selir salah seorang dari anggota perkumpulan itu atau dari ketuanya.

Tapi yang menghargai harkat kewanitaan? Mereka lebih rela mati daripada diinjak-injak kehormatannya. Dan bisa ditebak, lambat laun kaum wanita didesa itu berkurang. Itulah sebabnya, Perkumpulan Telapak Naga beralih mencari wanita ke desa sebarang! Sasarannya desa Jatiberingin! Yang terkenal akan kecantikan dan kemolekan mojangnya.

Dan Krampelaksa sudah mengirim utusannya Untuk berbicara dengan Ki Lurah Lanangneweng yang jelas-jelas menolak permintaan itu. Bayangan hitam itu berkelebatan dengan cepat. Di pundak orang itu tubuh seorang gadis terkulai lemah. Dialah Caturseta yang memakai ilmu larinya untuk menghindari kejaran orang-orang Jatiberingin.

Tugas hampir dijalankan dengan baik. Orang-orang itu tidak ada yang sanggup mengejarnya. Namun tanpa disadarinya, sejak tadi ada yang membuntuti. Seorang wanita cantik berlengan buntung.

Gerak dan langkahnya kelihatan lebih hebat daripada Caturseta. Dialah Pratiwi yang lihai. Di depan rumah yang megah, Pratiwi berdiri. Dua orang penjaga di sana tidak banyak. Begitu mengenali Caturseta. Mereka membuka pintu.

Caturseta langsung? masuk dan menuju ke ruang tengah, di mana ketuanya menunggu dengan tidak sabar. Dan matanya langsung melotot penuh birahi melihat kerja Caturseta yang membawa hasil.

Ia bangkit dan tertawa nyaring. Bertepuk. Memberi tanda agar Caturseta meletakkan 'buruan' itu.

Caturseta menurunkan gadis itu dalam posisi terlentang, hingga ketuanya bisa melihat kecantikan wajah dan kemontokan tubuh gadis itu, yang nyata tercetak oleh pakaian tipis yang dikenakannya.

Krampelaksa menjilat-jilat bibirnya. Matanya berkilat-kilat.

"Ha... ha... kerja yang bagus, Caturseta!" puji sang ketua. "Sebagai imbalannya, kau boleh ambil gadis ini besok, setelah aku pakai... ha... ha...!"

Caturseta membungkuk hormat, gembira. Sejak tadi dia sudah panas dingin memanggul dan memeluk tubuh gadis itu. Kalau saja dia tidak ingat akan ketuanya, sudah digarapnya lebih dulu perawan cantik itu.

Tapi jika ketahuan dia yang menggarap, bisa mampus tergantung besoknya!

Namun keinginan itu akan terpenuhi besok. Ketuanya akan memberikan gadis itu kepadanya. Biar bekas tidak mengapa, baru satu kali pakai. Apalagi dia sering menikmati tubuh wanita yang sudah berulang kali dipakai teman-temannya!

Besok, besok dia akan terbang ke sorga! Gembira Caturseta membayangkan itu. Dia buru-buru berpamitan.

"Terima kasih, Ketua! Saya mohon diri!" kata Caturseta seraya undur ke belakang. Ia melangkah ke samping dari bagian gedung itu.

Di pojok dekat taman sana, dia tinggal. Rumah mungil yang indah dan dirasakan Caturseta bagai sorga dunianya. Sorga yang indah. Di sana sudah ada dua wanita cantik yang menunggu. Itu wanita desa Babakan Ngarai, yang diambilnya sebagai wanita simpanannya.

Begitu sampai, dia memanggil kedua wanita itu yang langsung terburu-buru menghampirinya. Ia mencowel kedua pipi wanita itu. Dan mencubitnya dengan gemas.

"Kalian semakin cantik saja! Ayo kita main-main sejenak!"

Kedua wanita itu terdiam. Siksaan yang amat pedih yang merasa rasakan setiap kali melayani Caturseta. Namun menolak berarti maut, dan keduanya belum mau mati. Tak ada jalan lain. Dengan menahan air matanya agar tidak jatuh, Kedua wanita itu melayani Caturseta yang terkekeh-kekeh keenakan.

Yah... tirani benar-benar telah menjajah desa Babakan Ngarai. Desa yang diimpikan sebagai desa yang damai dan sentosa, sekarang bagaikan suatu wabah penyakit menular, yang ditakuti setiap orang.

Di dalam ruangan yang megah, Krampelaksa sedang memperhatikan gadis yang terlentang itulah Murni yang baru tersadar dari pingsannya terbelalak kaget. Di mana dia berada? Dan siapa orang ini?

Dia ingin bergerak, tapi tubuhnya terasa kaku. Dia ingin berteriak, tapi suaranya bagaikan menghilang.

Krampelaksa tertawa pelan. Lalu membungkuk. Tangannya membelai dada Murni yang montok yang hanya bisa mendelik dengan marah.

"Ha... ha... jangan galak-galak, Nona. Sebentar lagi kau akan kuajak bersenang-senang. Hmm, aku sudah tidak sabar ingin menikmati kehangatan tubuhmu." Sehabis berkata begitu Krampelaksa membawa Murni ke kamarnya. Gadis itu ingin meronta, tapi tetap tak bisa.

Dibaringkannya tubuh Murni di ranjang. Lalu dia sendiri membuka bajunya. Dengan gerakan cepat Krampelaksa melepaskan totokan di urat leher dan punggung. Ketika mulut Murni terbuka dengan mengeluarkan tenaga dalam sedikit!

Krampelaksa melempar pil ke mulut Murni yang langsung tertelan.

Murni tersedak. Dia bangkit dan berseru marah, "Bangsat rendah, kembalikan aku kerumahku"

Krampelaksa hanya tertawa. Gadis itu akan membentaknya lagi. Tapi tibatiba Murni merasakan hawa panas di tubuhnya. Dan kepalanya agak pening. Rupanya pil yang ditelan Murni tadi adalah pil perangsang dosis tinggi. Gajah pun akan terangsang diberikan pil itu.

Tubuh Murni menyentak-nyentak. Nafsu birahinya naik. Keinginannya yang satu itu mendadak begitu menggebu. Krampelaksa terbahak. Dia tidak membuang waktu lagi. Langsung diterkamnya tubuh gadis itu!

Rupanya tanpa setahu Krampelaksa, perbuatannya itu ada yang mengintai dari atas genting. Si Selendang merah, yang kini menahan nafas melihat adegan yang mengasyikkan di bawah sana.

Dia tadi terkejut, tidak menyangka siapa sebenarnya orang yang bernama Krampelaksa yang berjuluk Naga Putih Peminum Tuak. Disangkanya orang itu hanyalah seorang tua yang jelek dan kerap kali minum tuak. Tapi ini tidak. Orang Itu seorang pemuda yang tampan dan gagah, juga tidak meminum tuak. Malah kalau dilihat dengan seksama, orang itu lebih muda dari Caturseta!

Dan Pratiwi yakin, gelar peminum tuak itu bukan arti yang sebenarnya. Tapi sebagai orang pemetik bunga!

Melihat ketampanan dan kegagahan Krampelaksa, menitik air liur Pratiwi. Dia menginginkan pula pemuda itu. Tidak perduli bukan perjaka lagi, tapi dia ingin! Maka dia menunggu sampai pemuda itu selesai menggarap korbannya.

Hampir satu jam barulah 'pertarungan' itu selesai. Pratiwi langsung mendobrak genting dan turun ke bawah. Krampelaksa yang masih ngosngosan terkejut. Dia menyambar celananya. Tapi begitu dilihatnya yang datang seorang wanita cantik dia tersenyum. Santai saja dia memakai celananya.

"Ada apa gerangan Nona malam-malam begini datang kemari?"

Pratiwi tersenyum memikat. Ia melangkah dengan genit. "Aku ingin seperti gadis itu. "

Krampelaksa terkejut, tapi kemudian tersenyum. Ia membuka kedua tangannya lebar-lebar menyambut Pratiwi dalam pelukannya. Dasar keduaduanya manusia sesat, manusia yang tak bisa menahan nafsu. Di dalam kamar itu terulang lagi kemaksiatan yang hina!

Perbuatan jijik yang dilakukan oleh budak-budak nafsu! Nafsu memang membuat orang lupa daratan, apapun akan dilakukan untuk memuaskan nafsu itu. Orang yang sudah dikuasai nafsu begitu berbahaya. Itulah sebabnya, orang disuruh belajar bersabar. Maksudnya agar bisa mengekang nafsu apa pun juga!

Setelah perbuatan hina itu selesai, Pratiwi mulai dengan rencananya. Untuk menjerumuskan Nindia dalam pelukan Krampelaksa! Jelas saja Krampelaksa girang bukan main. Ini suatu suguhan yang bagus! Lagipula, dia pun masih bisa menikmati tubuh Pratiwi yang hangat, yang sudah lihai dalam urusan begituan.

Pratiwi bangkit. Menggeliatkan tubuhnya yang pegal. Lalu berpaling pada Krampelaksa.

"Tapi aku punya syarat untuk itu!"

Krampelaksa hanya tertawa. "Ha... ha... akan kupenuhi semua permintaanmu, Manis. "

Pratiwi tersenyum. Rupanya pimpinan Perkumpulan Telapak Naga sudah hampir bisa dikuasainya. Lalu dia berkata, "Aku minta, kau harus tunduk pada perintahku!"

Sedetik Krampelaksa terkejut. Tapi di detik lain dia kembali tertawa.

"Baik, baik, apa pun yang kau perintahkan, akan kulakukan. "

"Hik... hik... bagus. Aku suka padamu, Krampel. Sekarang dengarkan aku... aku punya dendam pada seorang yang bernama Madewa Gumilang. Dendamku itu akan kulaksanakan dipuncak Halimun beberapa bulan yang akan datang. Ketahuilah, Krampel... pemuda itu punya kesaktian yang hebat... dia murid tunggal Ki Rengsersari alias Pendekar Ular Sakti. "

"Apa? Pendekar Ular Sakti?!" Krampelaksa agak terkejut mendengarnya. Dulu gurunya pernah bercerita tentang kehebatan Pendekar Ular Sakti, tapi kemudian diketahui kalau orang sakti itu sudah mampus. Tapi kemudian Krampelaksa tertawa. "Aku tidak takut pada muridnya. "

Pratiwi tersenyum genit. "Aku sudah duga itu. Dan kamu tahu apa keinginanku. "

"Tak perlu kuatir, Manis. Aku akan membantumu menghadapi pemuda itu. Belum tentu dia mampu menandingi ilmu Telapak Nagaku yang lihai."

Pratiwi terkikik penuh hasutan. Dia merasa rencananya sudah matang. Sekarang harus segera kembali sebelum Nindia terbangun dan matahari terbit.

Dia mencium dulu Krampelaksa sebelum pergi. "Aku akan membawa gadis itu padamu Jum'at yang akan datang!" Lalu "wutt!" Pratiwi melesat dan menghilang bagai bayangan. Tapi harum tubuhnya yang membuat orang bisa mabuk birahi tercium di hidung Krampelaksa. Itulah Ilmu Pengharum Tubuh yang dipunyai si dewi cabul alias Selendang Merah.

***
LIMA
Deburan ombak yang keras terdengar beberapa kali. Suasana daerah itu sunyi dan menyeramkan. Tetapi dari kejauhan terlihat dua bayangan berkelebat dengan cepat dan ringannya. Seakan berlomba adu kecepatan berlari.

Kedua pemuda itu berwajah tampan. Hanya yang satu lebih besar dan tegap dan yang satunya lagi lebih kecil, tapi jelas kalau keduanya punya ilmu silat yang tinggi.

Kedua orang itu berhenti sambil menatap derasnya ombak yang berkejaran.

"Di mana tanah genting itu, Saudara Madewa?" tanya yang bertubuh kecil yang kita ketahui adalah sahabat baru Madewa Gumilang yang bernama Adi Permana atau Camar Walet Putih Dari Utara!

"Aku pun tidak tahu tempatnya," sahut pemuda yang berdiri di sampingnya sambil memandang berkeliling. Madewa memang hendak mencari tanah genting di mana putri dari Abindamanyu ditawan oleh Wirapati. Madewa sudah menceritakan semua itu pada sahabat barunya.

Tadi Madewa menolak sahabat barunya itu ikut ke tanah genting yang berada di sebelah timur laut selatan. Dia pikir ini urusan pribadinya dengan Wirapati setahun yang lalu. Tapi sahabat barunya itu tetap ingin ikut. Dengan seperti anak perempuan sahabat barunya itu ngambek!

Akhirnya tak ada pilihan lain, Madewa mengajaknya. Sahabat barunya itu sebenarnya tengah melakukan suatu tugas, di mana hendak melacak pembunuh ayahnya!

Tiba-tiba Madewa ingat, tanah genting itu berada di sebelah timur. Dia cepat mengajak sahabat barunya itu ke sana. Dengan mempergunakan ilmu lari, keduanya saling kejar mengejar. Tetapi tetap jarak mereka berbarengan, tak ada yang kalah dan menang. Namun dalam hati Madewa merasa, ilmu larinya masih berada jauh di atas ilmu lari Adi Permana. Sementara Adi Permana merasa, kalau sahabat barunya itu hanya mengeluarkan setengah dari ilmu larinya!

Tak kurang dari setengah jam, keduanya tiba di tanah genting. Suasana di sini lebih mencekam. Sunyi. Dan pohon-pohon besar yang tumbuh membuat bulu kuduk meremang melihatnya. Diam-diam Madewa heran melihat Adi Permana. Sebagai orang yang lama berdiam di gunung, kenapa nampak pucat melihat keadaan daerah ini. Seolah dia belum pengalaman menginjakkan kakinya ke tempat semacam ini!

Tetapi Madewa tidak lagi mempersoalkan hal itu, karena suara yang menyeramkan terdengar dari atas. Begitu menakutkan! Lagi-lagi Madewa melihat teman barunya itu seperti ketakutan. Wajahnya memucat. Padahal Madewa yakin, kalau ilmu silat yang dimiliki temannya itu tinggi! Madewa memperhatikan sekelilingnya.

"Wirapati, cepat kau tampakan

batang hidungmu, karena aku tidak sabar untuk membunuhmu!" bentak Madewa dengan disertai tenaga dalam dan terlihat kalau suaranya menggema sampai ke pantai laut selatan.

Tetapi bentakannya hanya disambut oleh tawa mengejek Wirapati yang menunggu sejak lama.

"Bangsat! Cepat kamu keluar!!"

"He... he... pemuda tolol, teriak-teriak tak ada gunanya!" terdengar bentakan itu. Sekarang ilmu arah belakang. Madewa cepat berbalik. Nyalimu sungguh besar, Pemuda tolol! Ketahuilah, sekarang adalah hari kematianmu karena ulahmu yang membunuh kedua saudara seperguruanku! Keduanya akan merasa aman kalau kau sudah mampus di tanganku!!"

"Cepat kau keluar! Aku... pun sudah tak sabar ingin menghajarmu!"

"He... he...!" Tiba-tiba Madewa merasakan angin dahsyat dari belakang. Pukulan jarak jauh yang berbahaya. Dia membentak. Sambil menubruk temannya yang terbengong, dia berguling berkelit. Pukulan itu luput menimpa pohon yang langsung tumbang.

"Bangsat keji! Kau berani berbuat curang, Cepat keluar!" geram Madewa seraya bangkit Adi permana pun berbuat demikian. Kali ini dia bersiaga. Bahkan dia mencabut sepasang pedangnya dengan sigap!

"He... he... kalau kau tidak ingin mati konyol cepat serang aku, Madewa... sebelum serangan gelap yang lain datang. "

"Bangsat!" Madewa mendengus. Tetapi sejurus kemudian dia berdiam. Berkonsentrasi Rupanya dia tengah mengeluarkan ilmu andalan pemberian gurunya, ilmu pandangan menembus sukma. Penglihatannya dapat menembus jarak yang jauh dan gunung sekali pun. Maka di detik lain terlihatlah di matanya, kalau Wirapati tengah ongkang-ongkang kaki di atap pohon sebelah kanan darinya. Lalu melompat berpindah. Sesekali dia berada gelayutan di pohon sebelah kiri Adi Permana.

Tiba-tiba Madewa membentak. Dan "Ciaaat!"

Tubuhnya menerjang ke atas dengan cepat. Wirapati terkejut. Dia langsung berkelit dengan  jalan  bersalto dan hinggap ke bawah. Madewa pun berbuat yang  sama.   Dan   kini  keduanya berhadapan  dengan  gagah.  Wirapati mendengus jengkel. Ternyata pemuda itu tahu permainannya  di   atas pohon dan kini tertawa mengejek melihatnya pias. "He... he...  Wirapati, Wirapati!

Sekali pun kau bersembunyi di dasar bumi, aku akan tahu tempatmu...!" Madewa mengejek. Tapi tawanya tahutahu terhenti. Dia membentak, "Sekarang, dl mana kau sembunyikan putri Nindia! Cepat berikan padaku Wirapati... kalau kau tak mau tubuhmu lumat kuhancurkan!"

Itu bukan gertakan sambal, Wirapati pun tahu hal itu. Tapi percuma kalau dia takut. Dia sudah mempunyai ilmu yang diandalkannya sekarang. Lagipula, Nindia dibawa pergi oleh Pratiwi. Biar dia berpurapura Nindia berada di dalam. Dia harus membunuh dulu pemuda setan Ini. Misalnya dia kalah, biarlah dia mati menyusul saudara seperguruannya, yang penting dia sudah membalaskan dendammu. Dan lagi masih ada dewi cabul yang mendendam juga. Nanti dia akan memberitahu di bawa siapa Nindia dan ditunggu di mana pemuda itu oleh Pratiwi.

Sekarang, dia harus berpura-pura Nindia ada padanya!

"Kau pikir kau mampu mengalahkanku, Pemuda edan! Jangan mimpi di siang bolong! Demi langit dan bumi, hari ini adalah hari kematianmu!"

"Jangan banyak bacot, di mana Nindia kau sembunyikan!"

"Dia tidak kurang apa-apa, bocah! Hanya kau boleh tahu, sampai besok kau tidak menolongnya, gadis itu sudah akan mati, karena sudah kuberi racun yang sangat ganas namun menghisap korbannya secara perlahan," sahut Wirapati berbohong agar Madewa kelihatan beringas. Dan benar, pemuda itu langsung menyerangnya demi jurus ular mematuk katak.

Gerakannya cepat dan tangannya meliuk mirip ular. Tapi Wirapati cepat berkelit lalu memapakinya dengan ilmu yang dimilikinya.

Tempat itu sekarang menjadi ramai. Dua orang jago yang bertarung laksana seribu ekor gajah yang mengamuk di tempat itu.

Adi Pernama hanya menyaksikan saja. Diana diam dia ngeri melihat pertarungan yang berbahaya itu. Tapi detik kemudian, dia mempersiapkan kedua pedangnya. Dia harus membantu Madewa Gumilang membunuh orang jelek itu. Apalagi tadi nyawanya sudah diselamatkan pemuda itu dari serangan gelap Wirapati!

Maka sambil menjerit dia masuk ke arena pertarungan. Kedua pedangnya berkelebat dengan cepat. Dan menyambar tempat-tempat yang berbahaya di tubuh Wirapati. Wirapati menjerit kaget. Dia menghindar sambil mencabut pedangnya.

"Bangsat cilik, kau beraniberaninya mencampuri urusanku!"

"Masa bodoh! Kau pun tadi hendak merenggut nyawaku! Saudara Madewa, izinkan aku untuk membalas sakit hatiku karena ulahnya tadi!!"

Tetapi Madewa menggeleng, lalu berkata tegas, "Saudara, kau tidak perlu ikut campur! Ini urusan kami berdua, sebaiknya kau minggir saja."

"He... he... betul, betul,... nanti kalau dia sudah mampus, kau baru maju, bocah cilik!" ejek Wirapati sambil meloncat setindak. Dan memainkan jurus pedangnya.

Tetapi Adi Pernama tidak mau mundur. Dia tetap jengkel akibat ulah Wirapati tadi. Tanpa menghiraukan seruan Madewa, dia menyerang Wirapati! Perbuatannya nekat sekali, karena dia masuk ke gulungan pedang Wirapati! "Saudara!" jerit Madewa.

Tapi terlambat. Pedang di tangan Adi Permana sudah menyambar kepala Wirapati. Namun Wirapati cepat menangkis. Dan gerakannya sukar ditebak, ilmu pedangnya aneh. Dia ganti menyambar pergelangan kaki Adi Permana, lalu menepis bahu pemuda itu yang langsung menekap bahunya yang berdarah karena tak sempat berkelit!

Madewa memburu. "Saudara, sudah kukatakan tadi, kau tidak perlu ikut campur urusan ini. Sebaiknya kau beristirahat!"

Adi Permana mengangguk. Sepasang pedangnya dimasukkan lagi kesarungnya. Dia merasa ilmunya tak berguna sekali. Percuma dia pergi dari perguruan untuk mencari pembunuh ayahnya kalau hanya sekali gebrak dia sudah kalah.

Setelah yakin Adi Permana mau menuruti sarannya, Madewa berbalik pada Wirapati.

"Kita teruskan permainan ini, Wirapati!"

"He... he... mau cepat-cepat mampus rupanya. Baik!" Wirapati menerjang dengan jeritan hebat. Pedangnya menyambar ke sana kemari. Madewa dengan mengandalkan kelincahan dan ilmu peringan tubuhnya, berkelit menghindar sambaran pedang itu. Diamdiam dia merasa heran. Wirapati salah seorang dari Tiga Dewa Penunggang Kuda memiliki ilmu pedang yang sangat aneh. Setahu Madewa dulu Wirapati bergelar pukulan tangan geledek yang hanya mengandalkan pukulan saja. Tetapi kini dia memiliki ilmu pedang yang aneh. Madewa tidak tahu, kalau Wirapati tengah mengeluarkan ilmu pedangnya yang baru, yang bernama ilmu pedang Membelah Mega!

Madewa sudah merasakan betapa hebatnya ilmu pedang itu. Dia membentak dan bersalto keluar dari lingkaran pedang itu.

Dia mendecak, "Ilmu pedang yang luar biasa!"

Wirapati terkekeh. "Kau jeri melihat kelihaianku sekarang, Madewa? Sudah kukatakan, kau akan mampus hari ini! Tahan serangan!!"

Wirapati kembali melancarkan serangannya. Pedangnya berkelebat dengan hebat. Madewa berkali-kali berkelit dan tidak diberi kesempatan untuk membalas. Jurus Ular Meloloskan Diri dan ditambah dengan kelincahannya membuat Madewa luput dari serangan yang hebat itu.

Wirapati berteriak dengan hebat. Kembali angin yang ditimbulkan oleh pedang itu bersiuran dengan hebat. Madewa tetap berkelit dan berjumpalitan. Tiba-tiba terdengar seruan, "Saudara! Pakai pedangku!!" ! Sambil bersalto Madewa menangkap sepasang pedang yang dilempar oleh Adi Permana.

"Tep!"

Pedang berhasil disambarnya, tapi belum lagi dia menjejakkan kakinya ke tanah, pedang Wirapati sudah menyambar. Tak ada jalan lain. Dengan sebisanya Madewa menangkis.

"Des!!"

"Traangg!"

Benturan kedua pedang itu menimbulkan pijar yang amat terang. Keduanya terhuyung. Dari mulut Madewa keluar cairan darah. Sedangkan Wirapati kembali berdiri dengan cepat tanpa cidera sedikit pun!

Jelas Wirapati yang menang. Sebab Madewa tengah bersalto di atas, seluruh tenaga dalamnya hanya dipakai untuk kekuatan saltonya, tidak untuk menangkis. Dan begitu serangan Wirapati dengan sepenuh tenaga dalamnya datang, Madewa kewalahan.

Wirapati tertawa mengejek.

"Ha... ha... inikah murid Pendekar Ular Sakti yang hebat itu? Bah, nol besar! Madewa... detik ini nyawamu harus melayang!" Wirapati menengadah ke langit-langit yang megah, saksikanlah, hari ini aku akan membunuh orang yang bernama Madewa Gumilang!"

Wirapati sudah bersiap. Adi Permana berseru, "Awas, Madewa!!" Madewa bangkit dengan memper-

siapkan pedangnya. Kali ini dia menghindar jalan darah di pergelangan tangan Wirapati, agar pedang yang dipegangnya terlepas. Maka begitu Wirapati menerjang, dia cepat membabatkan pedangnya ke pergelangan tangan Wirapati.

Wirapati terkejut. Dia menggeser tangannya ke kanan. Dari samping dia membalas. Tetapi belum lagi gerakannya sampai, dia sudah menyodok perut Madewa dengan pedangnya! Madewa sekarang yang terkejut. Keanehan dan keampuhan ilmu pedang itu membuatnya bingung. Dia menghindar dengan cepat. Tapi satu sontekan kaki pada lututnya membuat dia terhuyung.

Dan Wirapati sudah mengejar dengan pedangnya. Tak ada kesempatan bagi Madewa untuk mengelak. Menangkis pun sudah tak ada waktu lagi. Ujung pedang itu sudah mengancamnya.

Namun tiba-tiba keanehan terjadi. Tubuh Wirapati mental sebelum maksudnya tercapai. Dan jatuh muntah darah!

Madewa menghela nafas panjang. Keanehan itu terjadi lagi. Kehebatan ilmu yang didapatnya ketika secara tak sengaja menghisap air dari rumput kelangkamaksa, yang membuatnya bisa membalikkan serangan lawan jika sudah terdesak betul. Ilmu itu tidak bisa digunakan sembarangan. Dalam keadaan menang dia pun tidak bisa menggunakannya. Dan memang Madewa tidak tahu cara mengeluarkannya!

Adi Permana terkejut. Tadi dia sudah membayangkan kalau sahabat barunya akan mampus di ujung pedang Wirapati, tapi kini terlihat kawannya tegak dengan sempurna. Adi sudah bermaksud hendak menolongnya tadi.

Wirapati menggeram hebat.

"Setan! Dulu pun kau mengalahkan kami dengan ilmu setanmu itu, tapi sekarang sambutlah, Pukulan Naga Menguak Langit!"

Sesudah itu Wirapati menggerang hebat. Tangannya meregang. Dan dari dua kepalannya terlihat asap merah berkepulan. Menandakan inti dari ilmu itu sudah sampai di dua kepalannya.

Madewa merasa, kali ini dia harus menggunakan pula Pukulan Bayangan Sukma warisan gurunya yang hebat itu. Dia pun berkonsentrasi. Dan kedua tangannya menggeluarkan asap putih.

Kini keduanya sudah berhadapan. Masing-masing menatap lawannya dengan nafsu ingin membunuh! Dan Wirapati sudah mengerang dengan hebat. Dia menyerbu. Madewa pun tak mau kalah. Dia berbuat hal yang sama. Memapakinya!

Jeritan Adi Permana terdengar. Dan terdengar gelegar dari tempat itu. Kedua jotosan yang penuh tenaga sakti beradu.

"Duaarr!"

Keduanya kembali terhuyung. Tapi kali ini berbalik. Yang muntah darah... Wirapati, sedangkan Madewa tetap biasa walau nafasnya ngosngosan!

Kejadian yang mendebarkan! Wirapati diam-diam mengeluh. Ilmu

Pukulan Naga Menguak Langit, yang dipelajarinya selama setahun, ternyata belum mampu juga menandingi ilmu Pukulan Bayangan Sukma! Merasa sudah tak mampu lagi, Wirapati menjadi nekat. Biar bagaimana pun dia harus bisa membunuh pemuda ini, paling tidak memberi kenangan yang tak terlupa selama hidupnya!

Sambil menggeram hebat dia melompat menerjang dengan segenap ilmu saktinya itu. Madewa pun kembali memapaki. Dan kembali pula benturan dua buah tenaga sakti terjadi. Kali ini benar-benar mematikan. Madewa jatuh terhuyung dan muntah darah. Sementara Wirapati jatuh dalam keadaan sekarat. Tubuhnya terasa sakit sekali menyentak-nyentak aliran darahnya!

Benar-benar tidak ada harapan untuk membunuh pemuda berpakaian putih-putih itu. Tapi dia teringat, masih ada Pratiwi yang bisa membunuh pemuda itu. Dengan sisa tenaganya yang lemah, Wirapati berkata tersendat, "Pe.. pemuda gila... kau... tak akan menemukan.. gadis itu di sini....

Dia... dia... dibawa Pratiwi si Selendang Merah.... Dan kau. ditung-

gu di puncak gunung Halimun tiga

bulan men... datang... aku. ohhh!"

Tamatlah nasib Tiga Dewa Penunggang Kuda. Adi Permana berlari memburu Madewa. Dia pun masih terluka, namun dia cepat menubruk pemuda itu. Dan memberikannya sebuah pil putih. Madewa cepat menelannya. Badannya terasa agak mendingan. Adi Permana sendiri pun sudah menelan pil itu.

"Bagaimana keadaanmu, Saudara?"

"Ah... agak baikan. Terima kasih Adi, atas pilnya." Adi Permana membantu Madewa bangkit. Madewa berkata lagi, "Kita harus mencari desa yang terdekat.... Untuk menunggu saat tiga bulan mendatang. "

Sambil membimbing Madewa melangkah, Adi Permana bertanya, "Aku tidak tahu siapa Pratiwi si Selendang Merah itu?"

Madewa mengeluh. Masih ada persoalan lagi rupanya. Pratiwi, dewi cabul yang menjadi musuhnya sejak dulu. Ada persoalan apa lagi dengannya? Lagi Madewa mengeluh. Telah lama dia bertekad hendak mencari ayahnya... namun kembali masalah ini membuat perjalanannya terhambat (baca: Pedang Pusaka Dewa Matahari).

Keduanya terus melangkah. Begitu senja turun, keduanya tiba di desa Babakan Ngarai!

"Ya, aku yakin! Dia putraku! Aku yakin!" terdengar seruan itu. Dan yang berseru muncul dari balik semak.

Dan terdengar makian, "Bah! Ingat, Karto... sekian lama kau tidak menjumpai anak itu! Bagaimana mungkin kau bisa mengenali anak itu!"

"Diam kau, Pandan! Ini urusanku! Naluri kebapakanku menyatakan dia anakku!"

Pandan Ningsih mendengus. Lalu terdiam. Hatinya galau. Betapa harunya dia mendengar kata-kata itu. Naluri kebapakan.

Dia tidak mempunyai naluri macam itu. Tak sekali pun naluri keibuan. Untuk menutupi rasa harunya itu dia membentak, "Kau mau apa lagi?"

"Aku akan terus mengikuti pemuda itu dengan kawannya! Anakku sungguh luar biasa. Dia mampu mengalahkan orang sakti tadi!"

"Bah!"

"Kau jangan melecehkan anakku, Pandan!"

"Jelas saja dia menang. Karena ada bantuan temannya."

"Tapi anakku lebih sakti!"

"Tidak. Teman anakmu yang sakti. Dia mampu membunuh perlawanan orang yang bernama Wirapati itu!"

Kartonggolo menjadi panas.

"Kau pun belum tentu menang melawan anakku, Pandan!"

Pandan Ningsih terbahak.

"Anakmu? Ha-ha-ha... ingat Karto... anak ini laki-laki. Biar bagaimana pandainya ilmu anakmu, dia pasti akan bertekuk lutut di kakiku"

"Setan! Kau hendak mempengaruhi anakku pula?"

"Tidak. Aku sudah cukup puas dengan ayahnya."

"Hhh!" Kartonggolo mendengus. Sejak tadi dia dengan istrinya memperhatikan orang-orang itu bertanding. Kartonggolo berdebar keras melihat betapa gagahnya anak itu menghentikan serangan lawannya.

Ya, dia yakin. Salah seorang dari mereka itu anaknya. Yang lebih kecil dan berkumis tipis itu anaknya!

Dia yakin. Tompel besar di tangan kiri anak itu sudah merupakan tanda yang berarti buatnya.Dia akan tetap mencari dan mengikutinya

"Pandan, lebih baik kau pulang. Aku bisa menyelesaikan urusanku ini sendiri."

"Tidak!" Pandan Ningsih menggeleng tegas Lalu merajuk, "Karto... kita sudah sama-sana tua....

Masa kau tidak mengizinkan aku ikut? Aku kan istrimu. "

"Tapi kau hendak membunuh anakku."

Mendadak Pandan Ningsih mengangguk, tegas. "Ya!"

"Nah, lebih baik kau pulang."

 "Tidak, anak itu akan merebut kasih sayangmu dariku! Aku tidak perduli dia anakmu atau bukan. Aku harus membunuhnya! Aku tidak mau kau membagi kasih sayangmu padanya."

Kartonggolo mendengus jengkel. "Betapapun menyebalkan aku. Karena aku sayang kamu."

"Bah!" Kartonggolo mengambil tongkatnya. Lalu melangkah.

Pandan Ningsih menyusul, "Aku ikut, Karto!"

Kartonggolo diam saja. Terus melangkah. Begitu pula dengan istrinya. Dia mengikuti dengan senyum. Tertawa sambil bernyanyi-nyanyi.

Tingkahnya cepat berubah. Memang, Pandan Ningsih akhir-akhir ini cepat berubah. Kadang marah. Kadang tersenyum. Kadang merajuk. Pokoknya memusingkan Kartonggolo.

Tetapi Pandan Ningsih istrinya. Dia tidak boleh meninggalkannya begitu saja. Biar bagaimana pun dia istrinya yang tersayang, walau bukan ibunya Madewa. Oh, bagaimana dengan nasibnya Warsih sekarang?

***
ENAM
Sudah tiga kali Nindia memergoki Pratiwi keluar malam. Dan dia tidak tahu apa kebutuhan Pratiwi di malam itu. Dia hanya pura-pura tidur kalau Pratiwi bangun dan meloncat dari jendela.

Malam ini pun demikian. Nindia sengaja tidak tidur, namun matanya terpejam agar disangka tidur oleh wanita berlengan buntung itu. Tepat tengah malam, Pratiwi bangkit. Memeriksa sebentar pada gadis itu, lalu meloncat keluar melalui jendela.

Begitu Pratiwi menghilang, Nindia cepat melompat. Dia jadi penasaran sekali melihat tingkah si dewi cabul. Dengan keinginan yang bulat dia mengikuti ke mana Pratiwi pergi. Namun dia bukanlah seorang wanita yang ahli silat. Dia tidak punya ilmu lari cepat. Dia hanya seorang wanita yang anggun, lembut dan menggemari sastra. Maka baru beberapa detik saja, dia sudah kehilangan jejak. Pratiwi sudah menghilang entah ke mana.

Saat itu Nindia menyesali tidak bisa bermain silat! Dengan lesu dia kembali kekamarnya. Kembali direbahkannya tubuhnya di ranjang. Dia merenung memikirkan tingkah aneh kawan barunya itu. Benar-benar aneh. Apa tidak mungkin... Pratiwi menyelidiki kasus penculikan di malam Jum'at yang lalu? Ah, apa mau dia sebenarnya. Waktu itu dia saja berkata biar saja itu bukan urusannya. Jadi tidak mungkin dia menyelidiki tentang penculikan itu.

Sementara itu apa yang diduga Nindia sebenarnya benar. Tapi tidak sepenuhnya, karena Pratiwi sudah asyik dalam rangkulan Krampelaksa, yang tak perduli akan gadis yang dijanjikan Pratiwi.

Dia pun sudah senang Pratiwi mau melayaninya. Dan dia benar-benar sudah mabuk kepayang. Pratiwi memang wanita cabul yang hebat dengan ilmu pengharum tubuhnya siapa pun akan terlena. Tak kecuali ketua Perkumpulan Telapak Naga ini. Apa pun yang diminta Pratiwi akan dilakukannya!

Pratiwi gembira karena ketua ini sudah dalam genggamannya. Dengan dibantu olehnya, mungkin dia bisa mengalahkan musuhnya yang menimbulkan dendam kesumat yang dalam. Madewa Gumilang, ajalmu tak lama lagi....

Setelah bicara sebentar mengenai masalah dendamnya dengan Krampelaksa, Pratiwi pun kembali ke penginapan, yang pemiliknya telah dia paksa dan ancam untuk mengizinkannya menginap selama dua minggu tanpa bayar!

Nindia yang masih belum tidur langsung memejamkan matanya begitu Pratiwi datang. Pratiwi langsung tertidur tanpa curiga pada Nindia yang mengetahui perbuatannya.

Keesokkan harinya seperti biasa Nindia bangun. Dia tak bertanya tentang tingkah aneh Pratiwi. Seperti biasa dia mandi. Sehabis mandi itulah dia mendengar bentakan kasar dari salah sebuah kamar, "Hei, Bangsat tua! Kalau kau beritahu soal ini pada gadis di kamarku itu, kubunuh kau!!"

Nindia yakin itu suara si Selendang Merah. Tapi bukankah wanita itu masih tidur tadi? Buru-buru dia melesat ke kamarnya. Pratiwi sudah tidak ada di ranjangnya! Rupanya dia bangun ketika Nindia mandi. Lalu apa maksud Pratiwi membentak demikian? Dan siapa yang bentaknya?

Tahu-tahu pikiran jelek melintas di benak Nindia! Pratiwi hendak menjerumuskannya untuk dijadikan santapan Krampelaksa. Biar bagaimana pun juga, dia baru mengenal Pratiwi, yang disangkanya dewa penolong. Berpikiran jelek begitu, Nindia langsung melarikan diri. Dia berlari sekuat tenaga, menghindari si Selendang Merah. Dan tanpa sadar dia berlari di mana Krampelaksa berdiam dengan anak buahnya!

Pratiwi keluar dari kamar itu dengan jengkel. Rupanya kepergiannya setiap malam diketahui oleh pemilik penginapan itu. Pratiwi menjadi marah, dia kuatir rencananya akan tercium oleh Nindia. Makanya dia cepat mengancam dan memberi hajaran pada pemilik penginapan itu!

Lalu dia menyelinap kembali ke kamarnya. Disangkanya Nindia belum selesai mandi. Dia berpura-pura tidur kembali. Namun ditunggu sampai sekian lama, gadis itu tidak muncul-muncul. Dia cepat menyusul ke kamar mandi. Kamar mandi kosong.

Di mana gadis itu?

Seorang pengawal penginapan melihat Pratiwi tengah mencari sesuatu, dia menegur, "Mencari apa, Den Putri?"

"Oh. Memang lihat gadis yang selalu bersamaku?"

"O... yang cantik itu. Lihat."

"Di mana, Mang?" tanya Pratiwi memburu.

"Tadi dia berlari ke arah barat. Nggak tahu dia mau apa. Tapi kayaknya, dia seperti kabur. "

"Hah? Kabur?" tanya banyak tanya lagi, Pratiwi langsung melesat ke arah barat. Dia tidak mau rencananya gagal. Sementara itu siang sudah beralih ke sore. Nindia melangkah dengan letih. Tubuhnya dirasakan sakit semua. Terutama pergelangan kakinya. Tanpa diketahuinya, dia sudah memasuki daerah perbatasan tempat kekuasaan Perkumpulan Telapak Naga!

Terus Nindia melangkah. Dia yakin, Pratiwi akan mengejarnya. Makanya dia tidak ingin beristirahat. Dia paksakannya kakinya untuk melangkah.

Tiba-tiba terdengar derap langkah kuda dari belakang. Nindia terkejut. Apalagi ketika dilihatnya empat orang berwajah seram yang menaiki kuda itu. Buru-buru dia bersembunyi, tetapi kakinya tersangkut batang kayu.

"Aduh!"

Jeritannya malah mengundang minta para penunggang kuda. Mereka menghampirinya yang berusaha bangun namun tak kuasa. Dia sudah sangat lebih sekali.

Orang-orang itu mengurungnya. Wajah mereka mendadak berseri. Mata mereka seperti melotot melihat siapa yang terjatuh itu. Santapan nikmat di sore hari!

Salah seorang turun. Meneliti. Nindia yang sudah lemah sekali hanya pasrah pada nasib, berontak pun dia tidak akan mampu. Dia hanya bisa berdoa agar orang-orang ini berlaku baik. Namun doanya tak terkabul. Orang yang turun tadi berseru gembira pada teman-temannya.

"Hei, seekor kelinci manis di tengah hutan! Ha... ha... rezeki nomplok buat kita, Kawan-kawan!"

Kawan-kawannya yang berwajah seram pula berlompatan turun. Dan tertawa.

"Ha... ha... Nyaligluduk! Seret saja wanita ini, biar kita santap sekarang juga!" seru yang memakai baju loreng dengan senjata cakar besi yang terselip di pinggangnya. Dia juga memakai penutup kepala loreng. Dia bernama Macanrenggi. Yang dipanggil itu tertawa terbahak. Perutnya yang buncit terguncang oleh tawanya. Dia yang bernama Nyaligluduk. Orangnya pendek dan bersenjatakan kapak bermata dua.

"Ha... ha... bagus, bagus. Untuk apa disia-siakan! Ayo, bawa dia, Renggalawu! Kita santap beramairamai!"

Orang-orang buas itu terbahak. Dan menyeret tubuh Nindia ke semaksemak! Gadis itu berusaha meronta. Namun tenaganya dirasakan percuma untuk melawan orang-orang itu. Apalagi yang bernama Suryapurnama dan berjuluk si Toya Maut, menotok tubuh Nindia hingga dia terbaring kaku.

Suara tawa orang-orang sesat itu menggema di tempat sunyi. Mereka benar-benar manusia buas, yang tak kenal kasihan pada mangsanya. Pada yang lemah yang menjerit minta belas kasihan. Apalagi Nindia, nasibnya benar-benar mengerikan. Dia berniat akan membunuh diri dengan jalan menggigit lidahnya sampai putus. Namun lagi-Iagi si Toya Maut meluncurkan tangannya, menotok urat di leher Nindia hingga dia tak bisa menggerakkan mulutnya.

Nasib yang mengerikan itu sudah di ambang pintu. Nyaligluduk dan Macanrenggi sudah membuka pakaiannya sampai terbahak. Sementara Renggalawu dan Si Toya Maut melucuti pakaian gadis malang itu.

"Breet!"

"Breet!"

Sekarang tak ada sehelai benang pun yang menutupi bagian tubuh gadis itu. Tubuh yang telanjang bulat dan putih mulus, membuat nafsu mereka semakin naik.

Macanrenggi langsung menerkam mangsanya dengan buas.

"Perbuatan keji!!" terdengar bentakan itu dari atas dan yang membentak meluncur ke bawah. Menendang Macanrenggi yang hampir melaksanakan niatnya.

"Duk!"

Tubuh pendek bulat itu berguling dan mengaduh kesakitan. Orang yang baru datang itu membuka bajunya. Dan menutupi tubuh telanjang Nindia sambil memejamkan mata.

Perbuatannya itu membangkitkan kemarahan orang-orang buas itu. Macanrenggi bangkit dengan geram.

"Pemuda bangsat! Cepat menyingkir dari sini sebelum kubunuh kau!"

Pemuda itu hanya tertawa. Wajahnya yang tampan dengan kumis yang tipis membuatnya terlihat cantik saat tertawa itu.

"Ha... ha... manusia-manusia terkutuk macam kalian, harus dibasmi dari muka bumi ini!"

"Setan!" geram Nyaligluduk. "Sebutkan namamu, sebelum kami membunuhmu!"

"Namaku tak perlu kalian ketahui. Sekarang... kalianlah yang harus memperkenalkan nama. "

"Hhh! Kau dengarlah, kami ini tangan kanan ketua Perkumpulan Telapak Naga!" kata Nyaligluduk dengan pongahnya. Disangkanya pemuda itu akan ketakutan mendengar perkumpulan Telapak Naga disebut.

Tapi pemuda itu lagi-lagi hanya tertawa. "Telapak Naga kentut busuk! Jadi kalianlah orangnya yang telah membuat keonaran di desa ini dan...

mengganggu ketentraman desa seberang. "

"Ha... ha... itulah kami. Cepat kau bersujud dan minta maaf... agar kami mengampuni nyawa anjingmu. "

Pemuda itu tersenyum. "Justru nyawa kalian yang akan kucabut. Hmm, bersiaplah. Hari ini kalian berkenalan dengan Walet Putih dari Utara!

"Bangsat!" Nyaligluduk menggeram marah Dia mencabut senjatanya kapak bermata dua. Begitu pula dengan yang lain. Mereka mencabut senjata masingmasing.

Dan dengan teriakan hebat, keempatnya menerjang maju! Gerakan mereka buas, keji dan mematikan. Tetapi Walet Putih nampak tenang saja. Begitu mereka mendekat. Tiba-tiba dia melenting ke atas dengan lihainya.

Melihat serangan mereka gagal. Kembali dengan jeritan buas mereka serentak menyerang. Lagi-lagi Walet Putih memperlihatkan kelincahannya. Dan kali ini dia mencabut sepasang pedang di punggungnya.

"Bagus, bagus! Majulah kalian semua, hari ini... nyawa busuk kalian akan melayang...!" Nyaligluduk menerjang dengan bernafsu Jurusnya lebih hebat dari yang tadi. Kapak bermata duanya menyambarwajah Walet Putih. Tetapi dengan gerakan cepat Walet Putih memapak

Serangan kapak itu. Pedangnya yang satu menangkis, sedangkan yang satunya lagi menyodok perut Nyaligluduk.

Nyaligluduk menjerit kaget. Ia melompat ke samping.

"Bangsat!!"

"Ha... ha... orang-orang Perkumpulan Telapak Naga, hari ini kalian akan mampus di tanganku!"

Melihat temannya terdesak, Macanrenggi maju dengan cepat. Sambaran cakar besinya begitu dahsyat, menimbulkan angin yang amat kuat. Tetapi Walet Putih kembali memperhatikan kelincahannya. Dia menghindar kesana-kesini dengan sekali-sekali menusukkan pedangnya.

Renggalawu maju dengan pukulan tangan kosongnya. Dan si Toya Maut menyambarkan pukulan-pukulan jurus toyanya.

Tetapi sampai sejauh itu Walet Putih belum berhasil mereka lumpuhkan. Malah tiba-tiba, Renggalawu yang menyerang dengan berani, mengaduh dan ambruk dengan luka yang besar di perutnya.

"Renggalawu!" jerit teman-temannya kaget.

Walet Putih hanya tertawa pelan. "Itulah akibatnya bagi orang-orang Perkumpulan Telapak Naga!"

"Bangsat!" Nyaligluduk menggeram marah. "Kau telah membunuh teman kami, rasakan pembalasanku, pemuda bangsat!" Kembali mereka bertarung dengan hebat. Namun pemuda itu benar-benar lincah. Tiga buah senjata lawannya sekali pun belum berhasil menyentuh tubuhnya. Sampai dua puluh jurus berlangsung, pemuda itu tetap mampu bertahan.

Tiba-tiba Macanrenggi bersalto ke belakang dan berseru, "Cepat bentuk barisan empat penjuru!"

Kedua temannya cepat mendekat dan merapat. Mereka menutup jalan longgar yang  merupakan  kelemahan   mereka, karena  Renggalawu  tidak ada.  Jurus empat  penjuru  hanya bisa    dimainkan oleh empat orang.  Tetapi  tiga orang pun tak mengurangi kehebatan ilmu itu. "Ha...  ha... kau   salah,   macan jelek! Itu bukan jurus empat penjuru!

Tapi empat penjuru kehilangan satu!"

Diejek demikian, Macanrenggi menggeram hebat. Dan serentak mereka menyerang. Benar-benar jurus yang hebat. Mereka menyerang dengan bergantian. Satu menyerang, dua melindungi. Begitu seterusnya, hingga nafas dan tenaga mereka masih terhimpun sedangkan si Walet Putih nampak mulai kewalahan. Dia terdesak hebat.

Cakar besi Macanrenggi mengenai bahunya. Bahu itu berdarah. Tetapi serangan itu terus di lancarkan hingga Walet Putih tak bisa menghindar dan beristirahat. Tiba-tiba Walet Putih menjerit keras dan menerjang. Nekat menerobos serangan lawan. Keinginannya cuma satu, harus melumpuhkan orang yang menutupi kelonggaran yang lain. Maka dia pun nekat, terobosnya orang-orang itu. Toya Maut yang kali ini menutupi kelonggaran, agak terkejut, karena tahu-tahu pedang ditangan pemuda itu menyambar kepalanya. Dan bersalto dengan manisnya.

"Setan! Dia tahu kelemahan ilmu ini!"

"Jangan dirubah!" seru Macanrenggi. "Dia sudah kewalahan nampaknya! Merapat! Tutupi kelonggaran!"

Ketika Walet Putih menyerang tempat yang kosong lagi, mereka berguling dengan serentak. Dan senjata masing-masing menyambar ke atas, menyambar tubuh Walet Putih yang bersalto dengan manisnya. Tetapi tak satu pun senjata itu yang mengenai. Malah tiba-tiba Nyaligluduk menjerit.

"Auuuh!"

Lalu ambruk kelojotan. Dan mati dengan tubuh kehitaman. Di lehernya terdapat semacam jarum berbisa.

"Keji!" jerit Macanrenggi pada Walet Putih yang tersenyum sambil memegang sebuah sumpit.

"Ha... ha... kalianlah orangorang Perkumpulan Telapak Naga yang keji! Yang selalu membuat onar dan kerusakan! Kali ini nyawa anjing kalian kuampuni! Kalian laporkan semua ini pada pemimpin kalian! Katakan Walet Putih dari Utara akan mengobrakabrikan Perkumpulan Telapak Naga!"

"Tidak! Kau harus mati di tanganku, Walet jelek!" seru Macanrenggi marah. Dia menyerang. Dan "suittt!" tubuhnya ambruk termakan sumpit beracun dari si Walet Putih!

"Ha... ha... kau Toya buntung! Cepat pergi, atau... nyawamu ingin kucabut juga?!"

Toya Maut jadi bimbang. Tetapi akhirnya dia memutuskan untuk melapor dan akan menuntut balas kematian tiga orang temannya. Dengan sigap dia meloncat kudanya. Dan ngibrit dengan bergegas!

Walet Putih terbahak-bahak melihat anggota Perkumpulan Telapak Naga itu tunggang-langgang. Tiba-tiba dia ingat, akan gadis yang nyaris diperkosa perampok-perampok itu. Cepat dia membebaskan kedua totokan di tubuh gadis itu. Lalu berpaling ke depan ketika gadis itu memakai pakaiannya.

Nindia mendehem malu-malu. "Aem... eh. "

Walet Putih atau' yang kita kenal sebagai sahabat baru dari Madewa Gumilang menoleh. Gadis itu sudah selesai memakai baju. Dan alangkah cantiknya. Wajah yang masih tegang dan beberapa butir keringat yang masih berjatuhan, menambah cahaya di wajah gadis itu.

"Su... sudah, Nona?" Walet Putih gugup.

Nindia nunduk malu-malu. Apalagi wajah tampan tadi sempat melihat tubuhnya dalam keadaan telanjang bulat. Ia menunduk. Wajahnya semburat merah. Justru Walet Putih yang semakin gugup.

"Eh... aku... kau... mau ke mana, Nona?"

Nindia menggeleng pelan. "Kau... kau tidak bisukan?"

"Tidak," sahut Nindia pelan. Lalu mengangkat wajahnya. "Aku... tidak tahu mau ke mana... dan terima kasih atas pertolonganmu Saudara."

"Ah, pertolongan yang kecil saja...." Walet Putih atau Adi Permana merendah. "Kau tidak tahu mau ke mana?"

Nindia mengangguk pelan. Lalu menceritakan dari mana dia berasal dan mengapa dia sampai di tempat ini. Walet Putih yang mendengar penuturan itu agak kaget. Kalau memang gadis itu jujur, pasti dia yang tengah dicari Madewa Gumilang.

Berpikiran begitu Adi Permana bertanya, "Nona kenal dengan Madewa Gumilang?"

"Oh!" Nindia terkejut. Nama yang tak asing lagi. "Saya kenal dia Saudara. Saudara mengenalnya?"

Entah kenapa Walet Putih mengangguk pelan. Bersuara pelan pula, "Yah... saya kenal."

"Di mana Kang Madewa sekarang Saudara?"

"Kita akan menemuinya."

Walet Putih mengajak Nindia ke penginapannya. Dia tadi hendak membeli makanan. Ketika dia mendengar jeritan itulah dia datang membantu, lupa membeli makanan. Juga dia lupa ketika mengantarkan Nindia ke penginapannya.

Tentu saja Madewa terkejut melihat Nindia. Dia berseru, "Nona Nindia!"

Nindia berlari memeluk. Dan menangis di bahu Madewa. Diam-diam Walet Putih menghela nafas panjang.

"Ke mana saja selama ini kau, Nona?"

"Kang Madewa... aku tak tahu apa yang terjadi. Kejadian-kejadian itu membuatku takut. Untung...." Nindia menoleh Adi Permana, "ada Saudara itu.... Dia telah menolongku dari cengkeraman orang-orang Perkumpulan Telapak Naga. "

"Mengapa kau bisa sampai terlibat?"

Nindia menceritakan kembali apa yang telah diceritakannya pada Adi Permana. Madewa Gumilang kelihatan manggut-manggut. Jadi kali ini masih ada musuh besarnya, Pratiwi alias Selendang Merah. Dia harus menyelesaikan persoalan lama ini. Juga masalah baru akan keselamatan desa Jatiberingin yang tengah dilanda aksi penculikan oleh Perkumpulan Telapak Naga.

Madewa menoleh pada Adi Permana. "Saudara Adi... ada baiknya kita

bereskan masalah desa Babakan Ngarai ini, lalu desa Jatiberingin dari orang-orang Telapak Naga."

Adi Permana hanya mengangguk. Dia iri melihat Nindia memeluk Madewa!

"Baik Saudara... sebagai seorang sahabat... saya akan membantu sekuat tenaga."

Madewa menepuk bahu sahabatnya. "Saudara Adi... kalau kau tidak ikut denganku... mustahil aku bisa menemui Nona Nindia sekarang."

"Ah... Saudara. Itu hanya kebetulan saja. Lagipula... tidak begitu susah untuk mengalahkan begundal-begundal itu," sahut Adi Permana merendah.

Madewa tersenyum, mengucapkan terima kasih sekali lagi. Nindia pun tersenyum. Dia terkesan oleh ucapan Adi Permana itu. Ucapan seorang kesatria yang sejati. Yang selalu merendah.

Ia berpaling lagi pada Madewa. Perasaan rindunya akan dilampiaskan sekarang. Ia mempererat rangkulannya pada pemuda itu. Pemuda yang telah membuatnya jatuh cinta sejak pemuda Itu menolong keluarganya dari perampokan.

Diam-diam Adi Permana berpaling. Entah kenapa dia mendadak cemburu.Dan diam-diam pula meninggalkan keduanya. Malam tiba. Madewa menunggu sampai esok hari dengan bertanya-tanya pada Nindia. Gadis itu menceritakan pengalamannya selama disekap Wirapati. Pengalaman yang mengerikan.

Keesokan harinya, mereka segera menemui lurah Babakan Ngarai, yang mula-mula ketakutan menyambut mereka, namun setelah Madewa bilang mereka akan menolong desa Babakan Ngarai dari kekejaman Perkumpulan Telapak Naga, barulah lurah baru yang bernama Wiryokentono itu mempersilahkan mereka masuk.

Sebenarnya Wiryokentono tidak mau diangkat menggantikan lurah yang lama, Ringkihsamin. Namun orang-orang Telapak Naga memaksanya.

Dan dia ditindak habis-habisan oleh mereka. Harus menjalankan desa sesuai perintah mereka. Ki Lurah Wiryokentono berbisik, agar mereka berbicara pelan, karena kuatir terdengar oleh penjaga-penjaga itu. Madewa meminta petunjuk, di mana kiranya kediaman ketua Perkumpulan Telapak Naga.

Ki Lurah Wiryokentono menyahut dalam bisikan, "Sebelah timur dari desa Babakan Ngarai, dekat Hutan Waringin."

"Hutan Waringin?"

"Ya, Saudara pendekar. Ikuti saja sungai Cidangkelok... tepat di hilir berbeloklah ke kanan. Tak jauh dari sana hutan Waringin berada..."

Mereka berbincang-bincang lagi. Pelayan Ki Lurah Wiryokentono keluar membawakan hidangan.

"Hanya ada ini Saudara-saudara. silahkan."

"Ini sudah cukup, Ki."

"Lagipula, ini sudah merepotkan," sambung Adi Permana.

Mereka menikmati hidangan itu sambil meneruskan percakapan. Pelayan itu keluar lagi. Ia meletakkan baki di dapur dengan hati-hati. Tiba-tiba dia menyelinap ke luar. Berlari agak jauh dari rumah Ki Lurah Wiryokentono. Di tempat yang agak sunyi, pelayan itu mengambil kudanya. Dan memacu dengan cepat menuju hutan Waringin.

Ki Lurah Wiryokentono tidak tahu, kalau pelayan itu adalah mata-mata Krampelaksa!

Mereka masih meneruskan percakapan tanpa curiga.

***
TUJUH
Krampelaksa tengah marah-marah kepada Toya Maut, setelah mendengar laporannya. Wajahnya kesal. Matanya melotot. Ia menggebrak meja hingga patah berantakan! Mendengus berulangulang.

"Bodoh! Hanya dengan bocah ingusan saja kau tak mampu menghadapinya! Bodoh! Benar-benar bodoh! Kalian tak berguna menjadi pengawalku!"

Toya Maut menunduk.  Mendengarkan saja.  "Mana  kedua   temanmu?" Didengarnya lagi Krampelaksa bertanya. Toya Maut mengangkat wajahnya, takut-takut. Takut-takut pula menatap mata ketuanya.

"Mereka... mereka. "

"Apa mereka, Bodoh?!"

"Mereka mati ketua."

Krampelaksa sampai terbelalak kaget. Lalu duduk lagi setelah bisa menenangkan dadanya. Namun kegusarannya belum surut sedikit pun.

"Bodoh! Kalian bertiga tidak mampu mengalahkan bocah itu! Bahkan mengorbankan dua nyawa! Hhhh, siapa nama pemuda itu?"

"Walet Putih dari Utara gelarnya, Ketua," sahut Toya Maut sambil menunduk hormat.

Krampelaksa menggeram. Ia mengingat-ingat gelar itu. Hmm, baru sekarang dia mendengarnya. Gelar yang tidak menggetarkan, namun mampu mencabut nyawa dua pengawalnya!

"Sekarang juga, kau harus cari bocah itu! Hidup atau mati, kau harus mampu menghadapkan nya kepadaku! Ingat Surya kalau kau gagal... nyawamu taruhannya."

Toya Maut alias Suryapurnama, mengangguk. Ia hendak beranjak meninggalkan tempat itu. Tetapi terdengar seruan dari arah pintu, "Tahan!"

Semua menoleh ke arah sana. Pelayan Ki Lurah Wiryokentono masuk dengan tergopoh-gopoh. Dia adalah orang Krampelaksa yang sengaja ditugaskan untuk memata-matai Ki Lurah. Dan saat ini, sang mata-mata membawa kabar yang bagus.

Krampelaksa  mendengus, "Ada  apa, Suryo?  Pelayan  itu    berlutut   dan membungkuk hormat,   "Maafkan hamba ketua. Ada sesuatu yang hendak hamba sampaikan. Ini laporan penting ketua." Krampelaksa  duduk  di  samping Pratiwi   yang  sejak    tadi   tiba   dan membicarakan persoalan larinya korban untuk Krampelaksa. Tetapi   mendengar penuturan Toya Maut tadi, dia bisa menduga siapa wanita yang ditolong Walet Putih dari Utara. Pasti Nindia. Hmm, aku akan mencari gadis itu dan membunuh pemuda penolongnya, gumam Pratiwi dalam hati.

Terdengar suara Suryo, "Ketua, tadi Ki Lurah Wiryokentono kedatangan tamu.... Dan saya mendengar, mereka akan membantu Ki Lurah menghadapi ketua. "

"Hmm... sudah hebat Ki Tua itu.

Siapa nama orang-orang itu, Suryo?"

"Hamba kurang jelas mendengarnya.

Tetapi kalau tidak salah, mereka bernama... Madewa Gumilang. Adi Permana dan Nindia. "

Dua seruan terdengar. Satu dari Krampelaksa yang berseru mengejek. Nama-nama itu tidak membuatnya gentar. Satu seruan lagi dari Pratiwi yang terkejut. Madewa Gumilang dan Nindia, nama yang tak asing lagi baginya.

Ia menoleh pada Krampelaksa. "Saudara Krampel... rupanya

musuhku sudah sampai pula di desa ini... Madewa Gumilang, kau sudah mendengarnya bukan? Ada baiknya kita segera menyambut kedatangannya. Dan aku tidak perlu menunggu kedatangannya di puncak gunung Halimun!"

Krampelaksa terbahak.

"Ha... ha... kau tidak perlu takut, Manis. Orang-orang itu akan kita musnahkan. Biar kuhadapi orangorang itu sendiri."

Pratiwi tersenyum, walau sangsi apakah ketua Perkumpulan Telapak Naga ini mampu membunuh Madewa Gumilang? Murid tunggal Ki Rengsersari tidak boleh sembarangan dianggap enteng.

"Dia murid Ki Rengsersari, Krampel. "

Kali ini Krampelaksa menoleh. Kaget. Wajahnya jelas menampakkan kekagetannya. Murid Ki Rengsersari? Pendekar tua yang bergelar Pendekar Ular Sakti?

Pratiwi tahu, kalau Krampelaksa gentar juga. Tetapi dia diam saja, malah berkata, "Aku tahu kau mampu membunuhnya Krampel. Lakukanlah itu untukku. "

Krampelaksa terbahak. "Jangan kuatir, Pratiwi. Hmm, Suryo...

laporanmu kali ini bagus. Kembalilah kau ke rumah Ki Lurah Wiryokentono! Pelayan, berikan Suryo beberapa keping emas dan pakaian bagus!"

Wajah Suryo berseri-seri. Ia mengikuti pelayan yang disuruh Krampelaksa itu. Sementara si Toya Maut masih menunggu perintah selanjutnya.

Mendengar penuturan Suryo tadi, Krampelaksa merubah perintahnya. Ia berkata, "Surya purnama, kali ini kau kuperintahkan, untuk menghadang perjalanan tiga manusia edan itu kemari! KAU BUNUH mereka untukku!"

Suryapurnama alias si Toya Maut membungkuk hormat. Lalu undur ke belakang. Di luar dia membawa beberapa orang pengawal yang tangguh dan gagah. Lalu mulai menjaga dan menghadang, sekaligus... membunuh tiga manusia yang ingin memberontak itu.

Sementara itu dalam Pratiwi berkata pada Krampelaksa, "Krampel, musuhku rupanya sudah berada di sini. Kuminta kita harus menyiapkan segalanya, karena kedatangan mereka bersama seorang pemuda yang tangguh. Aku menduga dialah yang berjuluk Walet Putih dari utara!"

"Ha... ha... Selendang Merah.., rupanya kau takut menghadapi orangorang itu? Hmm... tapi baiklah... demi kau demi manisku. Kita akan bunuh ketiga manusia edan itu!!"

Sudah dua hari Suryopurnama alias si Toya Maut menjaga, tapi ketiga orang yang ditunggunya itu belum muncul-muncul juga. Jengkel dia menendang batu ke sungai Cidangkelok.

"Byur!!"

Percikan air itu mengenai orangorang yang berada di perahu kecil. Tetapi orang-orang itu diam saja, karena mereka kenal si Toya Maut, orang kejam dari Perkumpulan Telapak Naga. Mereka lewat saja tanpa menoleh. "Hei, kalian! Cepat kemari!" bentakan itu terdengar keras, dan membuat kakek tua yang mendayung itu tersentak. Ia menghentikan perahunya. Dan takut-takut memandang ke Suryapurnama.

"Tuan memanggil... saya?" tanyanya dengan suara menggigil.

"Ya! Cepat sini, Kakek keriput!"

"Saya... harus cepat pergi...menghantar penumpang saya ke desa seberang!"

Mendengar kakek itu berani bicara, wajah Suryapurnama memerah marah.

"Aku tak butuh penumpangmu! Aku butuh kau! Cepat berikan bayaran dari penumpangmu. "

Wajah kakek itu semakin pucat. Ketakutan. "Oh... Tuan... jangan...jangan ambil uang ini. Ini. untukanak dan istri saya. "

"Bangsat! Kau berani melawan rupanya?!"

"Buk... bukan maksudku. "

"Setan”, si Toya Maut mengangkat tangannya. Dan 'Siiing.'" beberapa jarum mautnya melayang ke arah kakek tua itu. Kakek itu gelagapan. Dan tubuhnya ambruk ke sungai.

Si Toya Maut terbahak-bahak. Juga anak buahnya. Di dalam, penumpang perahu itu hanya terdiam. Mereka tak mau ambil pusing dan masalah. Daripada mampus lebih baik didiamkan saja.

Perahu itu terus melaju didorong arus pelan sungai. Juga mayat si kakek tua yang mengambang, terbawa arus sampai ke hilir....

Sesudah jauh dari orang-orang itu, tiba-tiba kakek yang telah menjadi mayat meloncat dengan ringan ke perahu! Gerakannya baik dan mantap. Orang-orang yang berada di dalam pun keluar.

"Ha... ha... rencanamu berhasil Saudara Madewa. ..." salah seorang penumpang itu tertawa.

Kakek tua yang basah kuyup tersenyum. "Jangan dibuka samaran kalian. Mungkin kita harus menyamar terus sampai ke hutan Waringin. "

Orang-orang itu ternyata Madewa Gumilang, Adi Permana dan Nindia yang berdandan laki-laki. Mereka terus melaju dengan perahu mengikuti arus air.

Sampai di hilir mereka melompat dengan sigap. Madewa menggendong Nindia dan 'Hap!" ringan sekali dia bersalto sampai di tepian. Nindia memekik pelan ketika kepalanya berada di bawah.

"Kita sudah memasuki hutan Waringin," desis Madewa.

Mereka lalu melangkah dengan hati-hati. Samaran tidak mereka buka. Bagai layaknya penduduk di sekitar hutan Waringin ketiganya melangkah.

Hutan itu benar-benar mengerikan. Nindia sampai memegang tangan Madewa dengan erat dan agak mendekapnya ke dada. Sementara Adi Permana menghela nafas panjang. Tetapi diacuhkan saja pemandangan itu. Dia melangkah dengan mantap. Menahan gemuruh dadanya yang cemburu.

Belum ada dua puluh langkah mereka berjalan terdengar bentakan keras dari atas pohon, "Berhenti!" Lalu disusul dengan munculnya beberapa orang berwajah seram. Ada yang meloncat turun dari atas pohon, ada yang bermunculan dari semak. Mereka mengurung tiga orang pendatang itu dengan senjata di tangan.

Salah seorang yang berwajah codet maju selangkah dan membentak, "Kalian siapa? Dan mau ke mana?!"

Madewa yang menyamar sebagai kakek tua terbatuk, "Maaf... huk... huk... kami pejalan kaki yang ingin beristirahat... Tuan. Kami... dari jauh... huk... huk. "

"Hmm," Si Codet mendongak congkak. "Nama kalian siapa, hah?"

"Saya... Ronggosewu.... Ini kedua anak saya, Mardian dan Seta. "

"Hei, Kakek Tua ketahuilah olehmu... tempat ini terlarang untuk orang-orang selain anggota Perkumpulan Telapak Naga.... Jadi maaf saja, kalau kalian tidak bisa beristirahat di sini... kecuali...." Orang bercodet itu mengerling kawan-kawannya penuh arti. "Kalian memiliki uang yang banyak dan menyerahkannya pada kami. "

Teman-temannya tertawa-tawa setuju.

"Oh... ka... kalau uang. kami ada Tuan. ,"

Madewa yang menyamar sebagai kakek tua itu merogoh-rogoh tas bututnya. Adi Permana memperhatikan gerak-geriknya. Dan dia melihat Madewa membuat bogem tiga kali, tanda mereka harus menyerang.

Dan tiba-tiba terdengar bentakan Madewa, "Serang!" Dan des-des-des! Tiga orang tergeletak kaku tertotok jalan darahnya.

Teman-teman orang bercodet itu terkejut. Tetapi tak sempat berbuat apa-apa, karena mereka sudah terjengkang kelojotan dan mampus termakan sepasang pedang Adi Permana.

Tak seorang pun yang sadar akan kecepatan pedang Adi Permana. Mereka hanyalah penjaga-penjaga Telapak Naga yang sok bermulut besar.

Dan menemui ajalnya begitu cepat! Adi Permana mendengus, "Hhh! Omong besar saja!!"

Nindia yang memekik tadi, agak tenang sekarang. Madewa berbisik, perjalanan ini berbahaya. Kau harus tabah Nindia. Dan tahan perasaanmu jika melihat pembunuhan.

Lalu berseru, "Ayo kita tinggalkan tempat ini, sebelum yang lain datang!"

Serentak mereka berlari dan menghindar jauh-jauh dari tempat itu. Tetapi langkah mereka menuntun mereka sendiri ke neraka maut, di mana lima belas tombak di depan mereka, berdiri berpuluh-puluh penjaga lengkap dengan senjata.

Dan di antara orang-orang itu, berdiri Krampelaksa dan... Pratiwi!

***
DELAPAN
Ketiganya tersentak kaget. Serentak Madewa melindungi Nindia. Tetapi sikapnya tetap tenang, tetapi seperti penyamarannya sebagai kakek tua.

Dengan hati-hati dia berjalan ke depan, dua temannya mengikuti pula dengan tenang. Hanya Nindia yang agak gemetar. Dia menggigit bibirnya agar tidak tegang. Tapi bentakan keras itu mau tak mau menghentikan langkah kaki mereka.

"Kalian tetap disana!" suara itu menggelegar keras, diiringi tenaga dalam yang agak lumayan. Krampelaksa bertolak pinggang. Mereka berhenti.

"Ada apa Tuan?" tanya Madewa dalam penyamarannya.

"Jangan berpura-pura kalian! Penyamaran tak mutu kalian telah terbongkar! Cepat buka penyamaran kalian!!"

Madewa tetap berpura-pura. "Penyamaran apa, Tuan?"

"Bangsat hina!" Tiba-tiba Krampelaksa mengibaskan tangannya. Selarik sinar putih menghantam ke arah kepala Madewa. Sigap Madewa merunduk tapi tak urung rambut palsunya terkena sambaran itu. Terurailah rambut aslinya!

Krampelaksa terbahak. "Ha... ha... penyamaran orang-orang edan! Cepat kalian berlutut, sebelum kucabut nyawa kalian!"

Merasa penyamarannya itu tak ada gunanya lagi, Madewa membuka semua pemyamarannya. Ia mencabut kumis dan jenggot putihnya. Lalu membetulkan tubuhnya yang tadi membungkuk dan melangkah tersaruk-saruk, kali ini tegak dan gagah.

Adi Permana pun berbuat demikian. Dia mencabut kumisnya yang tebal hingga tampaklah kumisnya yang tipis. Nindia tidak membuka samarannya, ia tetap berdandan seorang laki-laki.

Madewa mendengus, "Krampelaksa.. kau memang seorang ketua yang hebat! Penyamaran kami ini kau ketahui! Tapi kau perlu ketahui, kalau kedatangan kami ini untuk mencabut nyawa sesatmu. Dan juga kau... Pratiwi! Tak perlu pertentangan kita selesaikan di puncak gunung Halimun, karena nyawamu akan kucabut hari ini juga!"

Pratiwi mengikik. "Hik... hik... pemuda ganteng. Kaupikir mampu mengalahkanku... mimpi burukmu akan berakhir hari ini... pemuda gagah. "

"Pratiwi! Apakah masalah Pedang Pusaka Dewa Matahari yang membuatmu masih mendendam padaku?"

"Hik... hik... persoalan itu telah selesai, Bocah. Ketahuilah...

dendamku ini karena kau meninggalkanku setelah lenganku dibuat buntung oleh Bayangan Hitam atau Biparsena. "

"Itu dendammu pada Biparsena, bukan padaku!"

"Hik... hik... bocah. Karena kelakuanmu yang meninggalkanku itulah yang membuatku marah. "

"Pratiwi, masalah ringan itu kau buat menjadi besar. Lengan itu aku yang menolong!"

"Salahmu sendiri... hik...hik...bocah... kalau kau mau melayaniku semalam saja. kuhapus semua masalah kita," kata Pratiwi tanpa malu-malu.

Wajah Madewa memerah antara marah dan malu, Ia melirik kedua temannya. Wajah Nindia memerah pula karena ketakutan dan malu mendengar ucapan Pratiwi. Dan Madewa terkejut melihat wajah Adi Permana pucat, kelihatan pias wajahnya yang nampak kaget. Tetapi Madewa tidak bisa berpikir lebih lama, karena Krampelaksa sudah berseru, "Kurung mereka bertiga!!"

Serentak pengawal-pengawalnya mengurung, dengan senjata tombak terhunus. Madewa bersiap. Ia agak bersyukur melihat Adi Permana bersiap pula dengan sepasang pedang kembar. Bahkan terlihat dia memberikan sebuah keris pada Nindia agar gadis itu bisa menjaga diri.

Madewa berseru, "Krampelaksa, jangan kau korbankannya nyawa-nyawa anak buahmu ini! Aku tidak membutuhkan nyawa mereka! Cepat kau maju dan kau... Pratiwi, cepat sebelum marahku menjadi naik!"

Krampelaksa dan Pratiwi hanya tertawa. Lalu terdengar Krampelaksa bertepuk tiga kali. Dan serentak para pengepung itu meloncat menerjang menusukkan tombak mereka. Madewa dan Adi Permana saling melindungi Nindia. Mereka membabat dan membasmi serangan yang datang. Dengan jurus Ular Meloloskan Diri Madewa menghindar dan membalas dengan jurus Ular Mematuk Katak. Sementara Adi Permana mengamuk dengan sepasang pedangnya.

Terdengar jeritan dan percikan darah di sana-sini. Suasana tempat itu seperti jadi neraka, karena dengan mudahnya nyawa melayang!"

Dalam  waktu yang   cukup singkat pengurung   itu    sudah menjadi  porakporanda   dan  kewalahan.  Hampir   dua puluh  orang  yang mati kena   pukul Madewa dan sabetan pedang Adi Permana. Melihat  anak   buahnya  tak mampu menandingi    kedua   pemuda    itu, Krampelaksa menghentikan serangan anak buahnya.   Ia menepuk bahu  Caturseta yang langsung   bersalto    untuk hinggap di depan Madewa dan kedua temannya berdiri.

Madewa tersenyum melihat tingkah sombong Caturseta. Ia pun beranjak ke depan setelah berbisik pada Adi Permana agar menjaga Nindia. "Silahkan. "

Mendengar kata itu Caturseta langsung melancarkan serangannya. Keji dan dahsyat. Serangan yang cepat dan susul menyusul. Tetapi Madewa bukanlah anak kemarin sore. Ular Meloloskan Diri berguna sekali saat ini.

Dan ketika melihat suatu lowongan yang kosong, Madewa tak mau menyianyiakan kesempatan itu. Tangannya menjotos pinggang Caturseta yang ambruk kelojotan.

Terdengar dua pekikan kaget. "Hebat dan kejam!" suara dari Krampelaksa.

"Pukulan Bayangan sukma!" jerit Pratiwi kaget.

Madewa berdiri tegak. Tidak menyerang Caturseta yang kelojotan tapi kemudian mati dengan pinggang serasa patah dan detak jantung berhenti saat pukulan itu mengenai pinggangnya.

Rupanya Madewa sudah tidak mau main-main lagi, jurus andalannya yang sangat dahsyat dikeluarkan pada tingkat tinggi! Pukulan dahsyat, tanpa terlihat gerakan tapi mampu mencabut nyawa sang lawan!

Tiba-tiba terdengar seruan keras dari arah belakang. Si Toya Maut datang dengan toyanya yang terayun ke arah Adi Permana. Dia yang sudah dua hari menjaga tapi tidak bertemu dengan orang-orang itu menjadi jengkel dan hendak kembali ke perkumpulan. Barangkali saja tiga orang yang dicarinya sudah datang dengan jalan menyelinap. Lebih baik dia membantu di sana daripada menjaga tak kunjung selesai.

Dan begitu kakinya tiba dilihatnya Madewa tengah merubuhkan Caturseta, kawan akrabnya! Dan kemarahannya bangkit. Dengan beringas dia menerjang dengan toyanya ke arah Adi Permana dan Nindia yang terkagum melihat pukulan sakti Madewa.

"Awaassss!" Madewa berseru seraya menubruk tubuh kedua kawannya hingga terguling. Wuitt! Toya Maut itu melewati kepala ketiganya. Tetapi toya itu terus mencecar dengan hebat. Hingga ketiganya agak kewalahan, terutama Madewa dan Adi Permana, karena harus melindungi Nindia!

Tetapi tiba-tiba Adi Permana melenting dengan indahnya ke atas. Dan pedangnya menghunus ke dada Suryapurnama dengan cepat! Reflek Suryapurnama menghentikan serangannya, menangkis pedang itu dengan tangkisan toyanya.

"Trang... trang. des!"

Kedua senjata itu menimbulkan bunyi yang ramai. Dan tangan kanan Adi Permana menyambar dada Suryapurnama hingga terjatuh.

Adi Permana melenting lagi dan bersalto dua kali dengan pedang kembali terhunus. Tapi tiba-tiba dia menghentikan serangannya dan "Trang...cringg... criiing. !"

Pedangnya menangkis senjata rahasia yang dilemparkan Krampelaksa!

"Setan! Curang!" maki Adi Permana ketika hinggap di tanah.

Krampelaksa terbahak. la mengibaskan tangannya pada Suryapurnama untuk menghentikan serangan.

"Baik, kita tak perlu berbasabasi lagi! Sekarang hadapi aku, Pemuda cantik!"

"Bangsat busuk! Majulah Akan kucabut nyawa anjingmu!"

Memerah wajah Krampelaksa. Dengan geram dia menerjang dengan tangan dan kaki ke arah Adi Permana. Pemuda itu cepat mengibaskan pedangnya. "Wuiit! Wuuut!"

Gerakan pedang itu cepat dan aneh. Krampelaksa balas menyerang dengan gesit pula. Si Selendang Merah yang dari tadi diam saja, mulai menguraikan selendangnya.

Sambil menjerit keras dia memainkan selendangnya. Angin selendang yang disertai tenaga dalam terdengar bising. Dan tiba-tiba ujung selendang itu menyambar ke arah Adi Permana yang tengah menahan serangan Krampelaksa.

"Pengecut curang!"Ujung selendang itu berada dengan sebatang ranting yang dilemparkan Madewa Gumilang. Pemuda itu pun menerjunkan diri di arena pertarungan. Dua pasang pertempuran yang dahsyat terjadi di hutan Waringin. Pengawal-pengawal Krampelaksa yang tersisa mundur agak menjauh. Begitu pula dengan Suryapurnama, dia pun mundur.

Nindia sendiri tetap bersiap-siap dengan keris yang diberikan Adi Permana.

Di arena pertarungan, perkelahian itu semakin dahsyat. Masing-masing mengeluarkan jurus-jurus silat mereka yang ampuh. Krampelaksa sudah mengeluarkan jurus andalannya, Telapak Naga!

Adi Permana tetap melayani dengan jurus pedangnya. Namun tanpa diduga, pukulan sakti Krampelaksa mengenai ujung pedangnya.

"Tap!"

Pedang itu terasa bergetar. Dan panas telapak tangan Adi Permana. Dia melepaskan pedang itu sambil menyabetkan pedangnya yang satu lagi. Tapi lagi-lagi dia melepaskannya, karena pedang itu pun berhasil ditepak Krampelaksa yang tertawa-tawa.

Adi Permana menjadi geram. Tibatiba dia mengerakkan tangannya. Kali ini dia mengeluarkan jurus tangan kosongnya. "Wutt!" tangannya mendadak terlihat banyak. Rupanya Adi Permana juga mempunyai jurus silat yang hebat.

Gerakannya penuh tenaga.

Tetapi Krampelaksa malah tertawatawa,

"Keluarkan semua ilmumu, bocah Telapak Naga akan mengakhiri permainanmu itu!"

Kembali Krampelaksa menyerang. Tangannya berubah menjadi hitam, menandakan inti. ilmunya sudah menyerap. Untunglah Adi Permana bisa menghindari dengan baik, jurus walet putihnya untuk menghindar dipergunakan habis-habisan. Sedikit saja dia gagal, bisa hangus termakan telapak tangan itu.

Walaupun begitu, Adi Permana masih bisa membalas juga. Tangannya yang berkembang menjadi banyak sempat mampir di bahu Krampelaksa, yang membuat orang itu semakin geram.

Sementara itu Selendang Merah agak kewalahan menghadapi Madewa Gumilang. Berkali-kali selendang merahnya mengenai tempat yang kosong. Jurus Ular Meloloskan Diri benar-benar hebat.

Bahkan Madewa sempat pula memukul bahu Pratiwi dengan jurus Ular Mematuk Katak.

Pratiwi terhuyung. Pukulan itu membuatnya pusing sejenak. Tapi kemudian dia menerjang lagi. Ia memperpadukan jurus Selendang merahnya dengan pukulan tangan kosong. Walaupun dimainkan dengan satu tangan, gerakannya sungguh hebat. Jurus Angin Membelah Badai dengan Jurus Angin Menghalau Hujan, membuat Madewa kewalahan. Bahunya terkena sambaran selendang merah Pratiwi yang membuatnya terhuyung karena sambaran angin keras menerpa dadanya.

"Des!"

Lagi Madewa terhuyung. Adi Permana terpekik kaget melihat sahabat barunya terhuyung, apalagi Pratiwi sudah menyerang lagi. Tanpa menghiraukan keselamatannya, dia bersalto dan menghalau serangan Pratiwi.

"Des! Duk! Duk!"

Dua buah pukulan penuh tenaga beradu. Tetapi tenaga Pratiwi lebih kuat. Adi Permana terhuyung ke belakang. Kepalanya terasa pening dan dadanya sesak.

Pukulan Pratiwi benar-benar mantap.

Madewa memburu, agar Adi Permana tidak terjatuh.

"Terima kasih, Adi."

"Awas. "

Seruan pelan Adi Permana menyadarkan Madewa, kalau bahaya masih siap mengancam keselamatan mereka. Dengan cepat dia menghindar sambil membopong tubuh Adi Permana.

Di tempat yang agak jauh dia berkata, "Pulihkan tenagamu Adi...

biar aku yang menghadapi mereka."

Lalu Madewa masuk kembali ke arena pertempuran. Pratiwi dan Krapelaksa terbahak. Hanya segitu saja perlawanan mereka?

Pratiwi menggerakan tangannya. Beberapa jarum rahasianya berterbangan ke arah Madewa. Madewa bersalto ke depan seraya menyerang dengan pukulan bayangan sukmanya.

Krampelaksa menghindar bersamaan dengan Pratiwi yang langsung berguling ke samping. Madewa mencecar Pratiwi. Tetapi dewi cabul itu tetap bukan orang sembarangan. Walaupun lengannya buntung, dia masih mampu bertahan. Bahkan membalas dengan ayunan telak selendang merahnya.

"Duk!" Madewa terhuyung. Dadanya digedor oleh ujung selendang merah Pratiwi yang berubah menjadi tombak.

Pratiwi lebih beruntung, karena jaraknya jauh dengan Madewa.

Krampelaksa langsung mengembang kan jari-jarinya. Sambil menjerit pukulan telapak naga siap menyambar Madewa. Tetapi gagal, Adi Permana sudah menyambar tubuhnya, membuat Krampelaksa urung menyerang Madewa.

Dia ganti menyerang Adi Permana. Rupanya pemuda itu sudah kelelahan. Dia hampir termakan oleh telapak naga Krampelaksa kalau saja dia tidak cepat memungut dan mengibaskan pedangnya ke leher lawannya.

"Hiaaat!"

Krampelaksa merunduk dan bersalto ke ke belakang. Tertawa melihat wajah pemuda itu pucat. "Ha... ha... lebih baik kau pulang saja kerumahmu. Atau menyerah di telapak kakiku! Ha... ha...!"

Madewa yang dua kali ditolong oleh Adi Permana cepat duduk bersila, Menahan emosi marahnya Dan dikeluarkannya seruling naga yang terselip dia tidak ada jalan lain, dia harus menggunakan kembali seruling ini. Pratiwi dan Krampelaksa terbahak. "Senjata apa lagi yang kau pakai,

Madewa?!" ejek Pratiwi sambil terkekeh.

Madewa tak perduli dengan ejekan itu. Dia berpaling pada Adi Permana. Tahu-tahu Adi Permana mendengar suara Madewa di telinganya, "Kau buat pingsan Nindia Adi, cepat! Lalu kau duduk dan kerahkan tenaga dalammu! Cepat kerjakan perintahku! Cepat, Adi!"

Adi Permana kebingungan. Apa maksud Madewa, tetapi terdengar lagi bentakan di telinganya, "Cepat! Adi, lakukan perintahku! Sebelum orangorang itu menyerang! Ini kesempatan yang bagus, selagi mereka masih terbuai oleh kemenangan! Adi... lakukanlah. "

Adi Permana tak banyak tanya lagi. Dia yakin akan sahabat barunya itu. Sambil bersalto ke belakang, dia memukul tengkuk Nindia yang tersentak dan terkulai pingsan. Lalu dia sendiri duduk bersila dan menghimpun tenaga dalamnya, seperti yang diperintahkan oleh Madewa.

Orang-orang itu terbelalak tak mengerti. Pratiwi dan Krampelaksa berpandangan. Dan serentak menyerang. Saat itulah Madewa meniup serulingnya! Suara seruling   itu  lembut dan mendayu-dayu. Namun membuat  Pratiwi dan Krampelaksa terguling, serangannya gagal.  Dan  suara   seruling   itu mengejar, seperti menyentak-nyentak di telinga    mereka.  Sakit   sekali dirasakan.   Keduanya tak  melanjutkan serangan,  malah  duduk   bersila  untuk menahan  suara   seruling itu   dengan tenaga dalam masing-masing.

Suara seruling itu sungguh hebat akibatnya. Pengawal-pengawal yang punya tenaga dalam sedikit, langsung pada kelojotan. Mampus dengan telinga berdarah. Yang menengah masih mampu bertahan. Tetapi segera menyusul yang lain, dalam keadaan yang sama.

Serangan tersembunyi itu sungguh hebat. Kedua orang itu bergetar menahan bunyi yang bising di telinga mereka. Sementara Adi Permana sudah bergoyang hebat tubuhnya. Dari mulutnya keluar darah kental....

Madewa meningkatkan permainan serulingnya. Ia menambah tenaga dalamnya. Dan penyentak. Semakin garang dan bising suara seruling itu.

"Aaaaah!" seruan itu terdengar berbarengan dari mulut Krampelaksa dan Adi Permana. Keduanya jatuh bergeletak, dengan mulut dan telinga berdarah, namun masih mampu bertahan. Sekuat tenaga agar ajal tidak menjemput mereka hari ini. Namun Krampelaksa menemui ajalnya hari itu juga, karena dia masih dalam keadaan emosi.

Pratiwi pun keadaannya sudah goyah. Dia sudah memerah habis tenaga dalamnya. Dan tak kuasa lagi membendung serangan seruling sakti itu. Dia pun terhuyung ke belakang. Ambruk.

Dengan bibir dan telinga berdarah pula. Melihat lawan-lawannya semua ambruk,. Madewa menghentikan meniup serulingnya. Lawan-lawannya sudah tidak mampu bertahan. Memang sebuah seruling sakti. Dan dia berpikir, kalau tidak dihentikan, Adi Permana bisa mati terkena serangan seruling itu.

Dengan bergegas dia memeriksa tubuh Adi Permana. Didudukannya pemuda itu. Dia pun bersila di belakangnya. Ditekannya kedua telapak tangannya di punggung-pemuda itu.

Ketika dia akan mengalirkan tenaga dalamnya, mendadak dia terguling. Sebuah serangan bersarang di punggungnya. Madewa bangkit dengan sigap.

Seorang wanita cantik dan seorang jembel tua telah berdiri di hadapannya. Madewa mengenal jembel tua itu, jembel yang pernah di tolong oleh Adi Permana.

"Ada apa dengan kalian?" Wanita cantik itu terkekeh. Jembel tua itu membentak, "Kau pemuda jahat! Kau telah melukai anakku ini! Aku akan mengadu jiwa denganmu!"

Madewa terkejut. Adi Permana anaknya jembel tua itu?

"Kalau anakku ini sampai menemui ajalnya, aku bersumpah akan membunuhmu!" seru jembel tua itu seraya memeriksa tubuh Adi Permana yang terkulai. Ia menangis tersedusedu. "Hu...hu... anakku... mengapa sampai begini, Nak? Sekian tahun kita berpisah, tapi setelah bertemu, suasananya begini. Kau akan berangkat meninggalkanku." Jembel tua menangis lagi. Tetapi mendadak dia mengangkat wajahnya "Kau?" bentaknya pada Madewa. "Kau telah menyebabkan kematian anakku! Kau harus kubunuh! Kau harus kubunuh!"

Madewa mundur selangkah. Apaapaan ini? Ia tidak mengerti akan semua ini. Dan jembel tua itu seperti menghalanginya mendekati Permana. Padahal dia harus segera ditolong, kalau tidak, sahabat barunya itu bisa mati.

"Jembel tua... kalau benar dia anakmu biarkanlah aku untuk mengobatinya" bujuk Ma dewa.

"Tidak! Kau ingin membunuh anakku!"

"Anakmu harus segera diobati."

"Tidak! Aku tidak mau anakku diobati oleh orang jahat macam kau! Kau ingin membunuh anakku!!"

Madewa menjadi serba salah. Posisinya terjepit. Dia harus bisa menyelamatkan nyawa Adi Permana. Tetapi bagaimana? Dia harus menyingkirkan jembel tua ini. Dan juga wanita cantik itu.

Tetapi sebelum Madewa bergerak, jembel tua itu berseru, "Pandan! Tolong aku... kau bunuh pemuda itu. Tolong pandan... bunuh pemuda itu!"

Wanita cantik itu hanya terkekeh. Ia beranjak mendekati Madewa dengan genit. Tatapannya manja dan mesra sekali. Mendadak Madewa merasakan sesuatu menyentak-nyentak tubuhnya.

Nafsu birahinya bangkit karena tatapan wanita itu. Hei, Madewa merasakan ada sesuatu yang tak wajar terhadap dirinya.

Ini pasti buat-buatan, bukan nafsu birahi alami dari dalam dirinya. Dia menghalau serangan diam-diam itu dengan membalas menatap kedua mata wanita itu.

Wanita itu tetap tersenyumsenyum. Tetapi mendadak dia mengaduh. Mengusap kedua matanya yang dirasakan perih.

Benar dugaan Madewa, mata wanita itu mengandung hipnotis yang membuatnya dimabuk birahi.

"Sialan!" gerutu wanita itu. Lalu dia menyerang Madewa. Gerakannya cepat dan tangkas. Dua buah pukulan dan kakinya menyerang secara serentak. Gerakan yang aneh, tetapi mantap.

Madewa memapaki dengan jalan menerjang pula. Dua buah tenaga beradu. Madewa terkejut. Tenaga dalam lawannya tidak boleh dianggap ringan.

Walaupun tidak membuatnya terhuyung, tetapi jari-jarinya terasa kesemutan.

Wanita itu pun merasakan demikian. Tetapi dia agak parah. Dadanya terasa sesak.

Tiba-tiba dia menjerit keras. Dan menyerang dengan kecepatan yang luar biasa. Lagi-lagi Madewa memapaki, tidak menggunakan pukulan andalannya. Madewa hanya memakai jurus Tembok Menghalau Badai. Dia berpikir, wanita ini dan jembel tua yang masih menangis, hanya orang-orang yang salah paham.

Lagi dua buah pukulan beradu. Kali ini wanita itu terhuyung. Dan ambruk.

"Pandan Ningsih!" jerit si jembel tua sambil memburu. Ia merangkul wanita itu. "Kau tidak apa-apa, Pandan? Kau tidak apa-apa, bukan?"

Wanita itu tersenyum, walau dari mulutnya mengeluarkan darah.

"Aku tidak apa-apa, Karto. Aku akan membunuh pemuda itu untukmu. Pemuda itu yang menyebabkan anakmu hampir mati, bukan?"

Jembel tua itu manggut dengan terburu-buru.

Wanita cantik itu tersenyum. "Kau tolonglah anakmu, Karto. Biar pemuda itu aku yang menghadapi. "

Wanita cantik itu bangkit dan siap menerjang Madewa lagi.

"Tahan!" seru Madewa buru-buru, mengingat nyawa Adi Permana dalam bahaya. "Kita sudahi dulu pertempuran ini, semua ini tidak berguna.

Karena ini hanya salah paham. Pemuda itu kawan seperjalananku.

Dia baru saja kena serangan seruling naga. aku harus segera menolongnya, kalau tidak akan segera mati Sekarang, perkenankan aku untuk menolongnya. Kalau aku memang berniat membunuhnya, kalian boleh membunuhku nanti. Aku tidak akan melawan."

"Tidak!" seru jembel tua. "Aku tidak mengizinkan anakku disentuh oleh kau! Kau jahat Kau hendak membunuh anakku! Tidak perlu mempengaruhiku, dengan mengatakan anakku ini kawan seperjalananmu!"

Tiba-tiba wanita cantik itu menoleh. "Karto, aku rasa benar. Pemuda ini kawan seperjalanan anakmu, Bukankah kita melihatnya bertanding di tanah genting beberapa minggu yang lalu? Kau masih ingat, Karto?" |

Jembel tua itu terdiam beberapa saat. Tiba-tiba dia mengangguk dan tertawa-tawa.

"He... he... benar, benar kau, Pandan. Aku ingat sekarang, pemuda ini yang bertarung dengan orang yang bernama Wirapati di tanah genting waktu itu. Ya, ya, aku ingat. Aku ingat."

Madewa kaget juga mendengarnya. Berarti kedua orang ini telah lama membuntutinya. Tetapi mendengar penuturan barusan, dia agak gembira, Karena ada kesempatan untuk menolong temannya itu, yang tak tahunya anak dari jembel tua.

"Benar, aku yang bertarung di tanah genting waktu itu. Dan anakmu, adalah sahabatku yang membantuku. Bagaimana sekarang, aku diperbolehkan untuk mengobatinya?"

"Ya, ya?" si Jembel tua menyingkir. Seolah memberi jalan. Madewa buru-buru menghampiri Adi Permana. Nafasnya tinggal satu-satu.

Wajahnya pucat sekali. Dan lemah tubuhnya. Kembali Madewa mendudukkan pemuda itu. Dan dia bersila. Di tekannya kedua telapak tangannya di punggung. Dan dialirinya tenaga dalamnya.

Si jembel tua dan wanita cantik itu hanya memperhatikan tanpa berbuat apa-apa.

Pengobatan itu berlangsung agak lama. Peluh sudah bermandi tubuh Madewa dan Adi Permana.

"Huak!" Adi Permana muntah darah. Bertanda darah kotor sudah ada yang keluar. Tahan sedikit, Adi. "

Madewa mengalirkan hampir separuh tenaga dalamnya. Ia rela melakukan itu, walau tubuhnya sudah terasa lemah. Adi Permana sudah dua kali menolongnya dari kematian.

Menotok beberapa jalan darah dan melonggarkan pernafasan Adi Permana. Lalu tangannya bergerak cepat. Merobek pakaian depan Adi Permana.

Dan bukan main terkejutnya dia, ketika tangannya langsung menyentuh dua buah gundukan halus yang lembut!

"Oh "

Madewa menarik tangannya kembali. Dan cepat menutup dada Adi Permana. Ternyata sahabatnya ini seorang wanita yang menyamar! Jelas dia kaget, karena tangannya menempel pada buah dada wanita itu. Madewa tidak jadi menyalurkan tenaga dalamnya.

Wajahnya mendadak memerah.

Bukan dia saja yang kaget, tetapi si jembel tua itu juga. Ia terbelalak. Tak percaya mendekati Adi Permana. Dan dengan seenaknya dia menyingkap pakaian Adi Permana, seolah tak percaya melihat buah dada wanita itu.

"Oh,  dia bukan, dia  bukan anakku!" serunya  tiba-tiba. Membuat Madewa dan wanita cantik itu terkejut. "Benar dia bukan anakmu, Karto?"

tanya wanita cantik itu.

"Bukan, bukan! Anakku laki-laki! Bukan dia! Dia perempuan! Dia punya buah dada!!" jembel tua itu menjeritjerit pilu. Dan menangis terguguk. "Hu... hu... ke mana lagi harus kucari anakku. "

Wanita cantik itu memeriksa tubuh Adi Permana. Benar, dia bukan lakilaki, dia seorang wanita. Wanita itu menghampiri dan membujuk jembel tua.

"Jangan menangis, Karto. Kita cari lagi anakmu itu. "

"Hu... hu... aku sedih, aku sedih, Pandan. Dia ternyata bukan anakku... hu... hu... anakku. "

"Sudahlah, kita akan mencarinya lagi".

"Kau tidak perlu ikut, kau akan membunuh anakku"

Wanita cantik itu menggeleng. "Tidak, aku tidak akan membunuh

anakmu. Aku pasti akan menyayangi anakmu. Seperti aku menyayangimu. "

Jembel tua itu terdiam. Menatap wanita cantik itu tak percaya. "Benar?"

Wanita cantik itu mengangguk. Jembel tua itu memeluknya.

Sementara itu Adi Permana muntah lagi. Madewa menghela nafas. Dia harus segera menolong sahabatnya lagi. Tak perduli siapa sahabatnya ini. Laki atau wanita.

Sambil memejamkan matanya, Madewa membuka pakaian sahabatnya itu. Dan tangannya menyentuh kembali gundukan halus yang lembut. Hati-hati dia menyalurkan tenaganya lagi. Kali ini matanya tetap terpejam.

Dan terdengar sahabatnya itu bernafas normal kembali. Setelah selesai, Madewa buru-buru menutup pakaian itu.

Mata sahabatnya perlahan-lahan terbuka dan terbelalak melihat Madewa telah mengancingi pakaiannya.

"Oh! Kau! Plak! Plak!!"

Dua buah tamparan mampir di pipi Madewa. "Kau... kau... aaahh. "

Madewa cepat menunduk. "Maafkan aku, Saudari... sungguh mati aku tidak bermaksud buruk... aku hanya ingin menolongmu."

"Tapi... tapi kau melihat...

kehormatanku...suara Adi Permana menghilang berganti suara wanita yang tersendat antara marah dan malu. Wajahnya memerah.

Madewa tetap menunduk. "Maafkan aku... aku tidak bermaksud kotor terhadapmu, Saudari. Aku tidak menyangka kau seorang wanita Aku tetap menyangka kau sahabat baruku yang bernama Adi Permana.

Lukamu  parah. Aku  masih tetap menyangka kau seorang laki-laki....

Dan... aku... aku. "

Madewa menunduk dengan wajah memerah.

Wanita itu menunduk pula. Isaknya terdengar    perlahan.  Kehormatannya dilihat   oleh pemuda  ini.   Betapa malunya. Betapa  marahnya. Tetapi pemuda ini bermaksud hendak menolongnya. Terdengar   suara   dari arah samping, "Benar Karto,  dia  seorang

wanita."

"Ya, ya... dia bukan anakku. Dia, bukan anakku. Anakku seorang lakilaki, yang pasti telah tumbuh remaja. Aku tahu Pandan, anakku pasti tumbuh dengan gagahnya. Dia akan menjadi orang yang perkasa. "

"Kalau begitu, ayo kita pergi. "

"Ya, ya! Kita pergi. Kau tidak akan membunuh anakku kan jika bertemu?"

"Tidak! Aku akan menganggapnya sebagai anakku sendiri"

"Ya, ya, anakku sendiri. Dan aku ayah kandungnya. Oh, Madewa..,."

Madewa serentak menoleh. Disangkanya jembel tua itu, memanggil dirinya. Tetapi dia tengah meratap dan menatap langit. bukan, dia bukan memanggilnya.

Mendadak dada Madewa berdebar. Debar keras. Orang itu memanggil anaknya? Madewa? Laki-laki? Tumbuh perkasa. Bergetar tubuh Madewa. Siapa orang tua itu?

"Jembel tua!" panggil Madewa pada keduanya yang akan beranjak.

Kedua orang tua itu berhenti.

Jembel tua itu tertawa pelan.

"He... he... maaf, maafkan aku anak muda. Benar dia sahabatmu. Dia bukan anakku. Anakku laki-laki. Bukan dia, bukan dia." .

"Jembel tua. "

"He. he... aku tahu maksudmu, kau masih marah bukan? Maaf, maafkan aku. "

"Bukan itu!"

"Lalu apa, anak muda?"

"Siapa nama anakmu, Jembel tua?"

"Oh, dia? Kau pernah bertemu? Di mana?, dimana? Cepat katakan padaku, di mana dia berada sekarang?"

"Aku tidak tahu dia di mana. Tetapi siapa nama anakmu itu?"

"He... he... nama yang bagus, Madewa Gumilang. Kau pernah mendengar nama itu? Pernah?"

Madewa tersentak. Mirip dengan namanya. Hati-hati dia menatap jembel tua itu. Diingat-ingatnya kejadian 15 tahun yang lalu. Dia hanya ingat, dia dan ibunya meninggalkan rumah. Dan ibunya baru bercerita, tentang semua yang telah menyebabkan mereka pergi.

"Apakah nama ibu anakmu Warsih Inten?" tanyanya hati-hati.

"He... he... kau mengenai ibu anakku, rupanya. Ya, ya. Dia istriku. Tolong beritahu aku anak muda, di mana dia berada sekarang?"

Madewa terdiam. Lemas seluruh tubuhnya. Ini pasti ayahnya. Pasti. Ayah yang dirinduinya. Yang sudah lama tak bertemu dengannya.

Mendadak dia menjatuhkan diri di depan jembel itu.

"Ayah!"

Jembel itu heran. Juga wanita yang mendampinginya.

"Apa maksudmu Anak muda?" Madewa mendongak.

"Ayah.,, akulah anakmu... anakmu ayah..."

"Kau?"

"Ya, aku anakmu. Yang telah 15 tahun tidak pernah bertemu. Aku Madewa Gumilang, Ayah."

"Hhh! Mana mungkin? Kalau begitu, siapa namaku, hah?"

"Ayah, aku anakmu. aku tahu namamu. Kau... bernama... Kartonggolo ayah, dan Warsih Inten ibuku. "

Jembel tua itu tersentak. Inikah anaknya? Mendadak dia menubruk Madewa. Menyingkapkan pakaian di lengan kanan Madewa.

Tompel besar yang menjadikan tanda kelahiran Madewa, ada di lengan kanan pemuda itu!

Ya, dia anaknya. Anaknya yang 15 tahun telah hilang. Jembel tua itu memeluk Madewa dengan erat. Kedua ayah beranak itu berpelukan dengan terharu.

Pandan Ningsih menghapus air matanya.

Adi Permana yang diketahui sebagai wanita menahan rasa haru pula.

"Ayah... aku rindu padamu. "

Kartonggolo menangis tersedusedu. Ia menciumi sekujur tubuh anaknya. Dia rindu pula. Lalu, lalu di mana istrinya? Di mana Warsih Inten?

"Madewa... di mana, di mana ibumu?"

Wajah Madewa berubah menjadi mendung. Ia menggeleng, pelan.

"Ibu sudah lama meninggal, Ayah. Dia bunuh diri ketika akan diperkosa oleh orang-orang jahat. "

"Oh, Gusti. Betapa besar dosaku kepadanya."

"Sudahlah, Ayah. Kita sudah bertemu." Madewa berdiri. Menatap Pandan Ningsih. Pandan Ningsih risih ditatap demikian. Disangkanya anak itu akan marah padanya, pada orang yang menyebabkan semuanya menjadi berantakan. Tetapi, "Bu..."

Pandan Ningsih tersentak.

Pemuda itu memanggilnya Ibu? Ibu. Ibu. Ibu. Oh, Dewa... betapa bahagianya... Pandan Ningsih tanpa ragu lagi memeluk Madewa. Suasana haru. Kartonggolo tersenyum. Putranya sedikit pun tidak menampakkan dendam pada Pandan Ningsih.

Tiba-tiba, "Awaaaass!" terdengar suara Adi Permana memekik.

Pratiwi tengah bangkit dengan susah payah dan melancarkan serangan dengan sisa tenaganya yang terakhir. Dia ingin pemuda itu mati bersamanya. Maka dia nekat berjibaku. Saat Madewa tengah membelakanginya.

Pratiwi memekik panjang dan menerjang. Bersamaan dengan itu, Kartongolo melompat, menghalau serangan Pratiwi pada anaknya.

Dan "Des! Aaaah!" Keduanya ambruk.

Pratiwi mati dengan sisa tenaganya terakhir. Kartonggolo ambruk tergeletak penuh darah.

"Aayaaaaah...! jerit Madewa kaget. Ia memburu. Ayahnya terkulai lemah penuh darah.

"Ayah... ayah... mengapa kau lakukan itu?"

Kartonggolo tersenyum walau kesakitan. Istrinya memburu pula. Juga Adi Permana.

"Karto...." rintih Pandan Ningsih pilu. Tak kuasa melihat suaminya penuh luka.

Tetapi Kartonggolo tersenyum. "Madewa... aku puas, bisa berbuat

kebaikan kepadamu, di akhir... hidupmu.... Selama ini... aku telah menyia-nyiakanmu... aku... aku... akan segera menyusul ibumu... Madewa... juga... jagalah d... dirimu... ah. "

Rintihan panjang mengakhiri hidup Kartonggolo. Tubuh itu terkulai di pangkuan Madewa.

Melihat suaminya meninggal, Pandan Ningsih menjerit-jerit. Ia mengambil sebilah pedang yang berserakan. Tanpa sempat dicegah, dia sudah menusukkan pedang itu ke dadanya.

"Aku akan menyusulmu, Karto!"

Dan tubuh itu ambruk pula penuh darah.

"Ibu!"

Tetapi Pandan Ningsih sudah mati.

Suasana sepi. Hening. Angin pun seolah tak mau berdesir. Madewa menatap kedua orang tuanya yang telah menjadi mayat. Tak sadar air matanya menitik.

Baru sekarang dia bertemu dengan ayahnya.

Dan baru beberapa menit pula harus meninggalkan semuanya. Pertemuan tadi seolah menambah kedukaan saja.

"Ayah... ibu... damailah kalian di sisi Tuhan..." Madewa memejamkan matanya. Air matanya merembes ke luar, mengalir di pipinya.

"Madewa. "

Madewa menoleh. Adi Permana. Dia tersenyum.

"Semua sudah berakhir, Saudari...

Maafkan aku. "

"Tidak ada yang perlu dimaafkan...." Gadis itu mengusap matanya. Mengangkat wajahnya. Dia tersenyum. Dan menggeleng perlahan. "Aku berbela sungkawa atas kematian orang tuamu," katanya pelan.

"Terima kasih, Saudari. Hanya

sekejap kami dipertemukan Tuhan...." | "Sudahlah, biarlah yang lalu

berlalu. "

Madewa tersenyum, getir.

"Aku minta maaf atas kelancanganku tadi. Sungguh Saudari aku tidak tahu kau seorang wanita. "

"Tidak apa, aku tidak marah. "

"Sungguh?"

Gadis itu mengangguk, agak sedih. Ia menatap Madewa. "Kau tidak mengenali ku, Madewa "

Suara gadis itu bagai menyentaknya. Madewa mengingat. Yah, sudah lama sebenarnya ia ingat itu. Gerakan-gerakan silat si gadis seperti pernah dilihatnya. Permainan sepasang pedang kembar, jurus pukulan seribu dan keris yang diberikan kepada Nindia, seperti pernah dialaminya dulu.

Tiba-tiba Madewa menghela nafas panjang. Terharu dia menatap gadis itu.

"Kau... kau... Ratih Ningrum?" tanyanya ragu-ragu.

Mata gadis itu berkaca-kaca. Tiba-tiba ia merangkul Madewa dengan erat.

"Madewa kekasihku... aku... Ratih Ningrum kekasihmu dulu. "

Madewa balas merangkul.

"Oh, Gusti... kita dipertemukan juga akhirnya, walau dalam keadaan begini. "

Gadis itu memang Ratih Ningrum. Seperti yang disarankan oleh ketiga gurunya sebelum dia berangkat, dia menyamar sebagai laki-laki dan mengaku bernama Adi Permana.

Dia memeluk kekasihnya dengan air mata menitik. Pencarian dan penyamarannya telah berakhir.

Madewa mendengar gadis itu mendesah. Ia, mengangkat wajahnya. Diciumnya bibir gadis itu dengan rasa rindu yang membara. Tetapi mendadak Ratih Ningrum melepaskan bibirnya.^

"Madewa... ada hubungan apa kau dengan... Nindia?" tanyanya tersendat. Sudan lama dia memendam cemburu yang amat sangat melihat gadis itu selalu bergayutan di lengan kekasihnya.

Ditahannya perasaan cemburunya waktu itu. Dan sekarang dia harus menumpahkannya.

Madewa tersenyum. Kekasihnya cemburu.

"Dia hanya putri seorang kaya yang bernama Abindamanyu. Aku hanya disuruh menyelamatkannya dari tangan Wirapati, yang telah kita bunuh bersama-sama. Dan kau tak perlu. cemburu, aku tidak punya hubungan apaapa dengannya. Aku hanya menganggap dia adik. Dan seorang putri orang kaya yang harus kuselamatkan."

"Ratih... kini kau seorang gadis yang pandai bersilat. Pasti tiga pengawal sakti itu telah menurunkan ilmunya padamu..."

Ratih Ningrum mengangguk. Dan bercerita tentang kepergiannya. Selain ingin mencari pemuda itu, dia juga ingin mencari pembunuh ayahnya.

Madewa tersentak. Biparsena... dia mati tanganku, desahnya dalam hati. Apakah aku harus mengatakan semua ini? Ah, pasti gadis itu marah sekali. Tetapi dia harus mengatakan semua itu.

Dan gadis itu terbelalak mendengar pengakuannya. Serentak ia melepaskan rangkulannya dan berlari. Matanya nyalang.

"Kau?!" serunya marah.

"Tenang dulu, Ratih... mari kujelaskan...." Perlahan Madewa menjelaskan semuanya. Dan terlihat kekasihnya menunduk menangis. Kemarahannya mereda. Madewa merangkulnya. "Kita sama sama kehilangan kasih sayang dari ayah, Ratih? Tapi kau mengerti bukan? Aku terpaksa membunuh ayahmu, karena dia adalah orang sesat yang harus dimusnahkan? Kau mengerti, Ratih?"

Ratih Ningrum mengangguk-angguk dalam dekapannya kekasihnya. Madewa menghela nafas lega.

Tanpa mereka sadari Nindia sudah tersadar dari pingsannya. Ia terkejut melihat Madewa merangkul seorang gadis. Tetapi herannya, gadis itu berkumis tipis. Oh, dia pasti Adi Permana, yang ternyata seorang gadis....

Dan berada dalam dekapan Madewa, pemuda yang dicintainya....

Hati Nindia terkoyak melihat kenyataan itu. Keduanya jelas saling mencintai. Tinggal dia yang sendiri. Pandangannya nanar dan terluka. Dia tidak mungkin dapat meraih cinta pemuda itu. Biarlah Madewa bahagia dengan gadisnya.

Tanpa menimbulkan suara, Nindia meninggalkan tempat itu dengan diamdiam. Dan sepasang kekasih itu terkejut, ketika tidak menemui Nindia di tempatnya.

Sayup-sayup terdengar suara dari kejauhan, "Madewa sayang... kudoakan kau berbahagia dengan gadis itu. "

"Nindia," desis Madewa pelan, pada angin.

Madewa akan mengejar, tetapi Ratih Ningrum menatapnya. Tatapan gadis itu penuh sinar cemburu. Madewa menjadi serba salah. Dia mencintai gadis ini, yang selalu dirinduinya. Biarlah Nindia mencari jalannya.

Ia menghela nafas, dan menguburkan mayat ayah dan ibu tirinya. Setelah itu mengajak Ratih Ningrum meninggalkan tempat itu.

Tak lama mereka pergi, Ki Lurah Lanangneweng dan anak buahnya datang. Mereka terkejut melihat mayat-mayat itu. Dan bersorak gembira ketika mengetahui bahwa mereka adalah orangorang Perkumpulan Telapak Naga! Orangorang yang mereka benci!

***
SEMBILAN
Di rumah besar itu, sedang terjadi rapat. Nampaknya sangat penting, karena di luar rumah itu beberapa orang siaga menjaga, lengkap dengan senjata. Juga di tempat penjuru rumah itu. Rapat berjalan dengan baik, tidak terjadi bantahan-bantahan yang bisa menimbulkan pertempuran darah.

Rapat dipimpin oleh seorang lakilaki tua berjubah putih. Ia memakai angkin berwarna biru. Wajahnya menampakkan kebengisan yang luar biasa. Di tangannya terpegang sebuah tongkat berkepala ular. Orang-orang rimba persilatan memberinya gelar: Datuk Sakti Berjubah Putih.

Rapat berbentuk empat persegi panjang. Di barisan sebelah kiri, duduk tiga orang laki-laki berkepala gundul Masing-masing memegangi sebuah rantai dan di ujung rantai itu terdapat sebuah bandul berduri.. Mereka menamakan diri Tiga Malaikat Berantai Emas.

Dihadapan mereka duduk seorang wanita dan dua orang laki-laki yang jauh berbeda usianya. Wanita itu berwajah cantik. Dan senyumnya begitu menghanyutkan. Lirikan matanya, bisa membuat orang mabuk kepayang. Dia bernama Roro Antika. Tetapi orangorang rimba persilatan menjulukinya Dewi Maut. Karena setiap kali kepruk, orang bisa mati seketika. Dan Roro Antika tidak akan melepaskan musuhnya sebelum menemui ajal.

Bahkan dia pernah menyiksa salah seorang musuhnya dengan ribuan ekor semut.

Laki-laki yang duduk di sebelah kirinya, adalah seorang laki-laki muda. Berperawakan tampan dan ganteng. Usianya paling tidak 27 tahun. Sejak tadi dia selalu berkipas. Dan kipasnya itu mengeluarkan aroma yang sangat harum. Dia menamakan dirinya Pendekar Kipas Sakti.

Dan di sebelah kirinya duduk seorang laki-laki tua bertubuh pendek dan gemuk. Kalau dilihat lebih tua dari Datuk Sakti Berjubah Putih. Orang itu hanya tenang-tenang saja. Bahkan kelihatan mengantuk. Dia lebih banyak memejamkan matanya daripada mendengarkan jalannya rapat itu. Namun walaupun nampak selalu mengantuk, pendengaran kakek itu sungguh luar biasa. Dia bisa mendengar suara sekecil apa pun. Dan dia dijuluki Dewa Tua Pengantuk. Mereka adalah orangorang dari golongan putih.

Kali     ini   rupanya   rapat  itu mengenai    munculnya   seorang   wanita sakti   yang   berjuluk  Dewi   Cantik Penyebar  Maut.  Dengan   beberapa  orang anak  buahnya,    dewi   itu    telah menyebarkan maut yang sangat mencekam. Mereka    membuat    kerusakan   dan keonaran   di  setiap desa.  Merampok. Membunuh.    Bahkan   menculik  beberapa orang bayi entah mereka apakan, karena orang tidak ada  yang tahu di mana tempat Dewi Iblis itu beserta muridmuridnya berada.

Dan sebagai orang dari golongan putih orang-orang yang berkumpul itu merasa berkewajiban untuk menolong yang lemah dengan berusaha mengusir mereka.

Datuk Sakti Berjubah Putih mengangkat wajahnya.

"Yah... kita harus Bersatu menghadapi Dewi Cantik Penyebar Maut, yang konon ilmu kesaktiannya sampai sekarang belum ada yang menandingi."

Terdengar suara dengusan bernada mengejek. Dengusan itu keluar dari mulut Roro Antika atau si Dewi Maut. Dia merasa kesal karena Datuk Sakti Berjubah Putih begitu mengagungkan nama Dewi Cantik Penyebar Maut. Bahkan menyuruh mereka bersatu!

Bah! Dia sendiri mampu membunuh dewi sesat itu.

"Lucu! Kau begitu ketakutan sekali, Kakek!" ejeknya langsung pada Datuk Sakti. "Biar kalau bertemu nanti, aku yang akan menghajar dewi sesat itu. Berani-beraninya dia muncul membuat onar. Dia belum tahu luasnya lautan tingginya langit!"

"Aku bukannya ketakutan, Dewi. Tetapi dengan bersatu, tenaga kita lebih banyak dan kuat. Mungkin, menghadapi anak buahnya saja, mm belum tentu sanggup," kata kakek itu bijaksana.

"Hhh! Kau ketakutan, Kakek! Di mana nama besarmu ini? menghadapi keroco-keroco itu kau begitu pucat?"

Sekian dulu sampai disini, kisah selanjutnya dapat anda ikuti dalam :

SELESAI
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar