Pertemuan di Kotaraja Bab 25 : Opas kenamaan berubah jadi manusia berdarah (Tamat)

25. Opas kenamaan berubah jadi manusia berdarah (Tamat)

Tatkala Leng Liu-peng berhasil menghindari serangan jarum pinus tadi, tubuhnya sudah mundur sejauh tujuhdelapan depa, ketika menghindari sergapan dua belas titik cahaya tajam, dia mundur lagi sejauh beberapa depa, ketika menghindari serangan pisau terbang, dia mundur sejauh sepuluh depa, menanti dia menghindari piau terbang, tubuhnya mundur pula sejauh enam belas depa.

Saat itu tubuhnya sudah mundur hingga tiba di tepi jurang. Lekas Leng Liu-peng menghentikan gerak tubuhnya,

dengan kesempurnaan tenaga dalam yang dimilikinya, meski gerak mundur segera terhenti namun kakinya yang sudah telanjur menginjak tempat kosong tak mungkin bisa ditarik lagi, badannya tetap tenggelam ke bawah dengan kecepatan tinggi.

Kali ini Leng Liu-peng memang salah perhitungan, tindakan yang dilakukan si Tanpa perasaan sebetulnya hanya bermaksud memotong jalan mundurnya, dia sama sekali tak berniat mendesaknya hingga tercebur ke dalam jurang.

Waktu itu gerakan tubuh mereka dilakukan secepat kilat, dalam keadaan seperti itu mustahil bagi mereka untuk mengutarakan isi hati melalui ucapan.

Leng Liu-peng telah salah mengartikan niat Tanpa pera saan, dia mengira pihak lawan menyerang dengan sepenuh tenaga, maka dia pun mundur lebih cepat lagi hingga akhirnya terperosok ke dalam jurang.

Seketika itu juga Leng Liu-peng merasa kepalanya pening, begitu kehilangan keseimbangan badan dia segera terperosok ke bawah, sambil berteriak aneh, lengannya mengayun ke sana kemari, bermaksud mencari sesuatu benda untuk berpegangan.

Mendadak lengan kirinya terasa mengencang, sebuah benda telah mencengkeram pergelangan tangan kirinya kuatkuat.

Tangan manusia, tangan si Tanpa perasaan.

Sayang Tanpa perasaan tidak memiliki tenaga dalam yang cukup, walaupun dia berhasil menangkap lengan lawannya tepat waktu, namun terbetot oleh tenaga Leng Liu-peng yang terperosok ke bawah, tak tahan tubuhnya ikut terperosok pula ke bawah.

Kini si Tanpa perasaan ikut terseret hingga tiba di tepi jurang, masih untung dia bertindak sigap, dengan tangan sebelah dia menangkap lengan Leng Liu-peng, tangan yang lain segera digunakan untuk berpegangan pada benda apapun yang tumbuh di tepi tebing.

Dalam posisi begini, beberapa kali Tanpa perasaan berusaha membetot naik tubuh Leng Liu-peng, tapi sayang tanpa tenaga dalam yang sempurna, mustahil baginya untuk berbuat begitu, beberapa kali percobaan yang dia lakukan membuat lengannya semakin linu dan kaku, ia sadar bila dicoba beberapa kali lagi niscaya dia tak sanggup mempertahankan betotannya lagi.

Dalam keadaan begini dia pun menghentikan percobaannya dan membiarkan tubuhnya ikut bergelantungan di tepi jurang.

Beberapa saat kemudian, setelah rasa kagetnya berhasil teratasi, Leng Liu-peng mulai bertanya, "Kenapa kau menolong aku?"

"Sebab gelang bajamu belum sempat kau gunakan, mana boleh kubiarkan kau mati duluan?"

Leng Liu-peng menutup mulut, kemudian katanya lagi, "Lepaskan aku!"

"Kenapa?"

"Sebab dengan menahan tubuhku, kau tak bakal bisa bertahan lama."

"Hm, tak kusangka kau pun cengeng macam perempuan," jengek Tanpa perasaan sambil tertawa dingin.

Maka Tanpa perasaan dan Leng Liu-peng pun saling bergelantungan di tepi jurang.

Matahari telah condong ke barat, burung gagak mulai beterbangan kembali ke sarangnya, malam sudah menjelang tiba.

Tanpa perasaan mulai merasakan lengannya linu dan lemas, tenaganya makin lama semakin lemah. Setelah berdiam diri sekian lama, akhirnya Leng Liu-peng berkata lagi, "Aku tak peduli kau akan memakiku cengeng atau tidak, mirip perempuan atau bukan, aku tetap memohon satu hal kepadamu."

"Apa?"

"Tolong lepaskan tanganmu!"

"Tutup mulutmu!" bentak Tanpa perasaan tak sabar.

Padahal andaikata Leng Liu-peng mau meminjam tenaga rekannya untuk melejit ke atas, dia masih mempunyai peluang untuk lolos ke atas tebing, namun bila dia berbuat begitu, maka Tanpa perasaan yang sudah mulai kehabisan tenaga itu pasti akan terperosok ke dalam jurang dan mati mengenaskan.

Tentu saja dia tak ingin melakukan hal itu.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara langkah kaki manusia berkumandang datang, suara langkah itu makin lama semakin dekat.

Angin berhembus kencang, senja sudah berlalu, malam pun menjelang tiba.

Darah dingin dan Tangan besi telah menelusuri setiap pelosok tempat, namun gagal menemukan jejak Leng Liupeng.

Hampir pada saat bersamaan, Darah dingin dan Tangan besi menghentikan langkah di luar sebuah hutan. "Tidak benar," bisik Tangan besi.

"Ya, memang tidak benar," Darah dingin mengangguk, "kenapa Leng Liu-peng menyerempet bahaya pergi menolong si Pengejar nyawa? Padahal antara dia dan Pengejar nyawa tak ada budi maupun dendam, pasti dia mempunyai maksud tertentu."

"Masalahnya apa maksudnya?"

"Sebelum terjadinya pertempuran dalam toko peti mati, Tanpa perasaan telah memanasi hati Leng Liu-peng hingga jagoan itu pergi dengan gusar." "Gara-gara kejadian itu, Leng Liu-peng bersumpah akan menantang si Tanpa perasaan untuk berduel satu lawan satu," sambung Tangan besi.

"Tapi selama ini Leng Liu-peng takut dengan tandu yang digunakan Tanpa perasaan."

"Itulah sebabnya dia menantang Tanpa perasaan untuk berduel satu lawan satu dan harus keluar dari tandunya."

"Benar, jika Tanpa perasaan masih berada di dalam tandu, tak mungkin Leng Liu-peng punya kesempatan untuk meraih kemenangan."

"Padahal tidak gampang untuk memaksa Tanpa perasaan keluar dari tandunya."

"Kecuali menggunakan umpan," ujar Darah dingin kemudian.

"Ya, Pengejar nyawa adalah umpannya!" "Kalau begitu kita telah salah arah."

"Leng Liu-peng tahu kalau kita bersembunyi di atas pohon, dia pun tahu kalau Tanpa perasaan pasti berada di belakang kita."

"Berarti mereka telah saling bertemu," seru Darah dingin dengan wajah berubah.

"Kalau begitu kita harus segera menyusul ke sana," seru Tangan besi.

Baru saja dia memutar badan, mendadak langit bertaburkan senjata rahasia, seluruh senjata rahasia dengan kecepatan luar biasa dan membawa desingan angin tajam menghajar ke tubuh mereka.

"Tu Lian!" teriak Darah dingin.

"Auyang Toa!" hardik si Tangan besi pula dengan penuh amarah.

Rupanya lantaran mereka asyik memikirkan keselamatan Tanpa perasaan hingga tidak sadar dirinya sudah dikuntit orang, begitu larinya melambat, mereka pun tersusul dari belakang. Ketika mendengar ada orang mendekati tebing, dengan kegirangan Leng Liu-peng segera berteriak, "He ... tolong ... kami berada di dalam jurang!"

Tampaknya orang itu segera menghentikan langkah, setelah agak ragu sejenak akhirnya dia berjalan mendekat.

"Loko!" Tanpa perasaan berteriak pula, "kami terpeleset hingga jatuh ke jurang, tolonglah tarik kami naik ke atas."

Orang itu berjalan semakin dekat lalu melongok ke bawah, Leng Liu-peng segera dapat melihat dengan jelas orang di atas tebing, dengan wajah berubah dia berseru tertahan.

Sementara itu orang yang berada di atas tebing telah menyahut sambil tergelak, "Hahaha . . rupanya kalian berdua."

Perasaan si Tanpa perasaan serasa tenggelam.

Ketika berada di depan toko peti mati, orang inilah yang berhasil memaksanya keluar dari dalam tandu, si manusia cebol she Sun.

Dia masih hapal betul dengan suara si cebol, bahkan tak pernah akan terlupakan.

Si cebol itu tak lain adalah murid kesayangan Kiu-yu Sianseng, si tukang gangsir Sun Put-kiong.

"Wah, kelihatannya kita memang berjodoh," seru Sun Putkiong sambil tertawa tergelak.

Tanpa perasaan tidak bicara, makin lama tanganya terasa makin linu, makin lama semakin kaku dan mulai mati rasa

Kembali Sun Put-kiong berkata sambil tertawa, "Saat ini Auyang Toa, Tu Lian, Suma Huang-bong dan Tok Ku-wi sedang mengejar si Tangan besi dan Darah dingin, sementara aku selalu berpendapat bahwa Leng Liu-peng dengan watak keledainya pasti akan mencari kau untuk ditantang berduel.

Dengan kemunculan si Tangan besi dan Darah dingin, berarti kau pasti menyusul di belakang, karena kau tidak leluasa bergerak. Itulah sebabnya aku berpisah dengan mereka, aku ingin mencari peluang bagus, dan ternyata ... hahaha ... memang aku si Sun tua yang lagi beruntung!" "Sun tua," teriak Leng Liu-peng gusar, "paling tidak kau mesti menarik aku naik dulu, ada urusan dibicarakan nanti."

Paras muka Sun Put-kiong berubah dingin dan ketus, jengeknya sambil menyeringai seram, "Kenapa aku mesti menarikmu naik?"

Paras muka Leng Liu-peng berubah hebat, dia seperti ingin mengucapkan sesuatu tapi akhirnya diurungkan.

Sambil tertawa dingin Sun Put-kiong mulai melangkah ke depan, perlahan kakinya diangkat ke atas, lalu dengan wajah berseri dan penuh ejekan dia mulai menginjak jari tangan si Tanpa perasaan yang masih berpegangan di pinggir jurang.

Julukan yang diberikan orang kepada Tu Lian adalah Bunga teratai beracun, sejak terjun ke dunia persilatan dia selalu membawa sebatang teratai beracun dalam genggamannya, dia kejam dan telengas, di balik bunga teratainya selalu disembunyikan senjata rahasia yang lembut dan sangat beracun, karenanya orang yang tewas di tangannya mungkin lebih banyak jumlahnya ketimbang senjata rahasia yang dimiliki.

Dia jarang sekali membokong, karena senjata rahasia milik-

Mendadak terdengar suara desingan aneh bergema membelah angkasa, terlihat sekilas cahaya tajam berkelebat membelah bumi.

Waktu itu Sun Put-kiong sama sekali tidak berada dalam posisi siaga, seluruh perhatiannya sudah tertuju pada tepi jurang, karena nyawa dua tokoh silat sudah terjatuh ke tangannya, keadaan itu membuat dia sangat bangga, sangat gembira.

Ketika mata golok membacok datang, dia tak sempat lagi menggangsir tanah, terpaksa tubuhnya melejit ke udara.

Reaksinya memang cukup cepat, tapi sayang gerakan golok itu jauh lebih cepat.

Dengan melambung ke udara dia memang berhasil menyelamatkan lututnya dari bacokan, tapi kelima jari tangannya, mulai ruas tulang kedua telah terpapas kutung. Ibu jari dan jari telunjuknya semula akan dipakai untuk mematahkan ibu jari si Tanpa perasaan, tapi sekarang jari-jari itu sudah terpapas kutung duluan, bahkan rontok persis di atas jari tangan si Tanpa perasaan.

"Wes!" setelah berputar satu lingkaran besar, cahaya tajam itu meluncur balik ke bawah tebing, kembali ke dalam genggaman Leng Liu-peng.

Sun Put-kiong tidak sempat merasakan sakit, menanti ia sadar, keempat jari tangannya sudah lenyap, ia baru memegangi pergelangan tangannya dengan tangan yang lain, membelalak-, kan matanya lebar-lebar dan memperdengarkan suara jeritan melengking dan amat menyayat hati.

Kemudian ia mulai melotot ke arah si Tanpa perasaan.

Dengan pandangan dingin Tanpa perasaan memandang pula ke arahnya.

Leng Liu-peng yang berada di bawah Tanpa perasaan, memandang pula ke arahnya dengan pandangan hambar.

"Kau...” jerit Sun Put-kiong.

"Kau yang ingin membunuh aku duluan," ujar Leng Liupeng tenang.

Wajah Sun Put-kiong sudah berubah merah padam, merah seperti babi panggang, pada saat itulah dia baru merasakan sakit yang luar biasa pada luka di kelima jari tangannya.

Rasa sakit yang merasuk tulang justru membuat si cebol menjadi tenang kembali, serunya setelah tertawa dingin, "Jangan lupa, kalian masih bergelantungan di tepi jurang, asal kupotong jari tangan si Tanpa perasaan, kalian segera akan mati di tanganku."

Leng Liu-peng balas tertawa dingin.

"Hm, kalau kau berani mendekat, meski sekarang aku masih bergelantungan di tepi jurang, tapi golokku masih sanggup membantai dirimu."

"Hahaha ... bagaimanapun juga kalian toh sudah tak mampu naik lagi, buat apa mesti repot-repot turun tangan sendiri, baiklah, akan kutunggu sampai kalian tercebur sendiri ke dalam jurang Begitu selesai berkata, dia pun berjalan menuju ke sisi sebatang pohon siong di sebelah kanan, katanya lagi, "Tapi ... terus terang saja, aku lebih suka membunuh sendiri kalian berdua ... bahkan kujamin tak perlu mendekati sisi tebing lagi."

Tanpa perasaan memandang ke arah pohon siong raksasa itu, sedang Leng Liu-peng memandang ke arah Sun Put-kiong, paras muka mereka berubah hebat.

Dengan satu gerakan cepat si Tangan besi menerjang ke arah Tu Lian, sementara si Darah dingin menyerang Auyang Toa.

Waktu itu lengan si Tangan besi telah berubah jadi sebuah lengan baja, ketika semua senjata rahasia menghajar seluruh lengannya, hampir seluruh senjata itu mencelat ke empat penjuru kemudian rontok ke tanah.

Dalam waktu singkat tubuh si Tangan besi sudah merangsek maju menghampiri tubuh perempuan itu.

Tu Lian terkesiap, lekas bunga teratainya dibabatkan ke kepala lawan.

Tangan besi sama sekali tidak berkelit, dia malah mengayunkan tangan mencengkeram datangnya senjata itu.

Tu Lian kegirangan, bukannya menarik kembali senjatanya dia malah memapaki tangan lawan, sebab dia tahu bunga teratai beracunnya penuh dengan duri, asal satu saja di antara duri itu menantap di tubuh lawan, niscaya musuh akan roboh keracunan.

Tangan besi mendengus dingin, begitu berhasil mencengkeram senjata itu, dia langsung membetot sambil melepaskan babatan.

Tangan besi memang memiliki tangan yang luar biasa kerasnya, bunga teratai beracun sama sekali tak mampu melukai tubuhnya.

Baru saja serangannya gagal mengenai lawan, tahu-tahu bunga teratai beracun itu sudah direbut Tangan besi, melihat hal ini Tu Lian terkesiap. Berhasil dengan serangan pertama, Tangan besi merangsek lebih ke depan, kembali sebuah pukulan tinju dilontarkan.

Ketika pukulan itu mencapai tengah jalan, serangan yang jelas tertuju ke tubuh Tu Lian mendadak berganti arah dan menghantam ke arah belakang.

Rupanya pukulan itu diarahkan ke tubuh Suma Huangbong.

Waktu itu sebenarnya Suma Huang-bong sudah berhasil menyelundup ke belakang tubuh si Tangan besi, dia sedang menyiapkan Sam-tiang-leng-gong-soh-ho-ci (ilmu jari tiga kaki menembus angkasa mengunci tenggorokan) untuk menyerang dengan sepenuh tenaga.

Ketika tinju si Tangan besi menyambar ke belakang, serangan itu datang secara tiba-tiba, dalam keadaan tidak siap, Suma Huang-bong segera memaksakan diri berkelit ke samping.

"Blam!", bahu kanannya seketika termakan oleh pukulan itu, tanpa ampun tubuhnya mencelat ke belakang.

Di saat tubuhnya terlempar itulah Suma Huang-bong segera melepaskan ilmu sentilan Sam-tiang-leng-gong soh-hoii (ilmu jari tiga kaki menembus angkasa mengunci tenggorokan) andalannya.

Lekas Tangan besi mengegos ke samping, desingan angin tajam itu memang gagal membidik tenggorokannya, namun tak urung bahu kirinya tersambar juga.

Untung saja lengannya sangat kuat, pada saat bahu kirinya terhajar serangan itu, dia pun sempat mendengar suara lain yani; sangat aneh.

Rupanya suara itu berasal dari hancurnya tulang bahu Suma Huang-bong yang dihantam secara telak tadi.

Posisinya waktu itu memang sangat rawan, dia harus satu lawan dua, bila ia tidak bertindak nekad, sulit baginya untuk lolos dalam keadaan selamat.

Itulah sebabnya di saat musuh masih kelimpungan, dia segera mengerahkan seluruh kekuatannya ke dalam sepasang tangannya, lalu berusaha menggempur posisi lawan. Kini lengan kirinya sudah tak sanggup lagi diangkat ke atas, tapi dia tak ambil perduli, tangan kanannya kembali bekerja keras dan meremas senjata bunga teratai beracun yang berhasil dirampasnya itu hingga hancur berkeping-keping.

Kemudian dia baru menerjang ke arah Tok Ku-wi.

Dia harus menghajar orang itu, sebab serangan maut Tok Ku-wi sudah mulai mengancam keselamatan jiwa rekannya.

0oo0

Dengan sekuat tenaga Sun Put-kiong mulai mendorong pohon siong raksasa itu, baru digoyang beberapa kali, jarum pinus sudah mulai berguguran, akar pohon pun sudah mulai mencuat sebagian dari permukaan tanah.

Tiba-tiba si cebol menghentikan goyangannya, dia mundur sedikit, memeriksa posisi kemudian melanjutkan goyangannya.

Batang pohon itu memang miring ke sisi tebing, dengan diarahkan posisinya, maka sekarang batang pohon raksasa itu mengarah ke tangan si Tanpa perasaan yang mulai kelelahan.

Seandainya batang pohon raksasa itu benar-benar tumbang dan menindih di atas tangan si Tanpa perasaan, bagaimana mungkin pemuda itu bisa menahan diri?

"He cebol, hentikan perbuatan terkutukmu!" kembali Leng Liu-peng membentak penuh kegusaran.

Sun Put-kiong menyeringai sinis, dia melanjutkan goyangannya terlebih kencang, ketika kelima jari tangannya mulai terasa sakit lagi, dia berhenti sejenak lalu melanjutkan kembali perbuatannya, sambil bekerja ejeknya, "Tutup mulutmu Leng Liu-peng, lebih baik menyerah saja!"

Leng Liu-peng mendengus dingin, tangannya digetarkan dan "Wes!", kembali cahaya tajam meluncur dari tangan kanannya.

Cahaya tajam itu langsung membabat ke arah batok kepala si cebol.

Setelah pengalaman tadi, Sun Put-kiong tak berani gegabah, lekas dia menyelinap dan bersembunyi di belakang pohon raksasa itu. "Duk!", cahaya tajam itu langsung menancap di batang pohon.

Sun Put-kiong seketika tertawa terbahak-bahak, teriaknya, "Leng Liu-peng, terima kasih banyak atas pemberian golokmu, hahaha..”

Golok itu menancap dalam pada dahan pohon itu, hal ini membuat batang pohon yang hampir tumbang itu semakin gawat keadaannya.

Dengan cepat si cebol mencabut golok dari atas dahan, siapa tahu golok itu mendadak bergetar dan terbang balik ke bawah tebing, lekas Sun Put-kiong menarik kembali tangannya, namun tak urung jari kelingkingnya kena terpapas juga.

Cahaya tajam itu terbang balik ke bawah tebing dan meluncur kembali ke tangan Leng Liu-peng.

Sun Put-kiong benar-benar sangat gusar, sambil berkaokkaok dia rendahkan badannya sambil menyusup ke bawah tanah, debu dan pasir pun beterbangan di angkasa, dalam waktu singkat akar pohon siong itu sudah tergali setengahnya, hingga setiap saat batang pohon itu bisa tumbang.

Mendadak si Tanpa perasaan membisikkan sesuatu ke sisi telinga Leng Liu-peng, menyusul kemudian jagoan golok dari wilayah Biau itu menggetarkan lengannya, sekali lagi cahaya tajam berkelebat ke atas.

Waktu itu tangan kiri si Tanpa perasaan berpegangan pada tebing jurang sedang tangan kanan memegang tangan kiri Leng Liu-peng, maka hanya tangan kanan Leng Liu-peng yang leluasa bertindak bebas, coba kalau bukan lantaran ilmu golok Leng Liu-peng sanggup mencabut nyawa orang dari jarak jauh, mungkin sedari tadi si cebol sudah berhasil melaksanakan niatnya.

Cahaya tajam terbang ke atas tebing langsung menyambar kepala si cebol, cepat Sun Put-kiong menundukkan kepala sambil menyusup ke dalam tanah.

Setelah berputar dua lingkaran, cahaya tajam itu kehabisan tenaga dan meluncur balik ke bawah tebing, pada saat itulah tiba-tiba si cebol Sun memunculkan diri dari bawah tanah, segumpal pasir segera ditimpukkan ke arah kilatan cahaya itu.

Sebenarnya cahaya berkilat itu tak lain adalah gelang besi, ketika dihajar oleh segumpal pasir, gelang besi itu segera terpukul hingga terbang ke samping dan jatuh entah kemana, benda itu tidak lagi terbang balik ke tangan Leng Liu-peng.

Melihat hal ini, si cebol Sun segera muncul kembali dari dalam tanah, ejeknya sambil tertawa tergelak, "Hahaha ... Leng Liu-peng, akan kulihat kau akan menyerangku dengan menggunakan apa lagi!"

Setelah tertipu satu kali, si cebol belajar dari pengalaman, dia tak berani mendekati sisi tebing, sambil merangkul batang pohon itu dia membentak, "Sekarang mampuslah kalian "

Tampaknya batang pohon itu segera akan terangkat dari dalam tanah, bila hal ini terjadi, Tanpa perasaan dan Leng Liupeng segera akan terlempar ke dalam jurang dan mati konyol.

Waktu itu Sun Put-kiong sudah kehilangan keenam jari tangannya, sakit hati ini membuatnya mata gelap, dalam hati kecilnya dia telah bersumpah akan menghabisi nyawa si Tanpa perasaan dan Leng Liu-peng.

Di saat yang amat kritis itulah mendadak paras muka Sun Put-kiong berubah hebat, sebab segulung desingan angin tajam tiba-tiba menyergapnya dari belakang.

Serangan itu cepat lagi kuat, tak kalah hebatnya dengan sambaran halilintar.

Karena tak sempat masuk kembali ke dalam tanah, juga tak sempat melompat keluar ke permukaan tanah, mau tak mau terpaksa dia membalikkan tubuh sambil menangkis.

Tapi dia lupa kalau tangan kirinya sudah tak berjari, padahal saat itu dia sedang menggunakan tangan kirinya.

"Blam!", tangkisannya langsung jebol, tubuh si cebol Sun Put-kiong seketika tersapu telak oleh tendangan dahsyat itu.

"Duk!", punggungnya menghantam dahan pohon siong dengan keras, saat itulah dia baru sempat berpaling.

Pengejar nyawa telah berdiri di hadapannya, waktu itu dia sudah mulai melepaskan tendangannya yang kedua. Sun Put-kiong sama sekali tidak menangkis, karena seluruh kekuatannya sudah dibikin buyar oleh tendangan pertama tadi.

Dia benar-benar tidak habis mengerti, bukankah Pengejar nyawa tergeletak dengan jalan darah tertotok? Kenapa dia bisa bangkit berdiri sambil menghadiahkan sebuah gempuran ke tubuhnya?

Sewaktu tubuhnya terhajar oleh tendangan kedua, Sun Putkiong sudah kehilangan kesadarannya, pada tendangan yang ketiga, nyawanya langsung menghadap raja akhirat, padahal si Pengejar nyawa total menghadiahkan empat tendangan berantai untuk dirinya.

Setelah tendangan keempat berlalu, batang pohon itu mulai tumbang ke arah tepi tebing.

Dengan gerakan cepat Pengejar nyawa segera menerjang ke tepi jurang, lalu dengan menggunakan kakinya dia mencongkel tubuh si Tanpa perasaan dan Leng Liu-peng.

Meminjam tenaga congkelan itu, mereka segera melayang ke atas tebing, saat itulah tubuh Pengejar nyawa kembali roboh terjungkal ke tanah.

Siksaan yang diterimanya selama berhari-hari ditambah luka yang dideritanya membuat kondisinya sangat lemah, tadi dia hanya mengandalkan sisa kekuatan yang dimilikinya untuk membunuh Sun Put-kiong dan menyelamatkan kedua orang itu, sekarang karena kehabisan tenaga dia pun jatuh pingsan.

Untung dengan sigap Leng Liu-peng menyambar tubuh Pengejar nyawa dan menyingkir sejauh tiga kaki.

Sedangkan Tanpa perasaan segera menggebrak tanah dan ikut menyingkir pula sejauh empat kaki.

Diiringi suara gemuruh yang keras, pohon raksasa itu tumbang ke arah jurang dengan membawa serta mayat si cebol Sun Put-kiong, dalam waktu singkat pohon itu lenyap dari pandangan mata.

Peristiwa yang baru lewat benar-benar menegangkan, untuk sesaat baik si Tanpa perasaan maupun Leng Liu-peng hanya bisa berdiri tertegun. Sebenarnya apa yang terjadi? Mimpi pun si cebol Sun Putkiong tidak menyangka kalau serangan cahaya terbang terakhir yang dilepaskan Leng Liu-peng sesungguhnya bukan bermaksud membunuhnya, biarpun dia berhasil memunahkan ancaman yang datang, namun gelang besi itu justru terjatuh ke arah dimana Pengejar nyawa sedang berbaring, senjata itu memang diarahkan untuk membebaskan jalan darahnya yang tertotok.

Kejituan arah sasaran memang tergantung pada keampuhan Leng Liu-peng, tapi orang yang merancang siasat itu justru si Tanpa perasaan.

Waktu itu persoalannya hanya satu, setelah dibebaskan dari pengaruh totokan, apakah Pengejar nyawa masih memiliki kekuatan untuk membunuh si cebol Sun Put-kiong.

Kuncinya justru terletak pada keenam jari tangan Sun Putkiong yang sudah dipapas kutung lebih dahulu oleh Leng Liupeng, karena datangnya serangan sangat mendadak dan di luar dugaan, dia pun tak mampu menahan tendangan maut Pengejar nyawa.

Dalam proses pengejaran terhadap ketiga belas orang pembunuh ini, Pengejar nyawa merupakan opas pertama yang terlibat dalam pengejaran ini, tapi juga merupakan orang pertama yang terluka.

Sun Put-kiong terhitung buronan pertamanya dan merupakan satu-satunya buronan yang tewas di tangannya, sedang pembunuh lainnya seperti Si Ku-pei dan Mo-sam Ha-ha tewas di tangan Tanpa perasaan, Kwan loya-cu, Bu Sengtang, Bu Seng-say dan Thio Si-au mati karena saling bunuh, sementara Seebun kongcu tewas di tangan si Darah dingin.

Darah dingin telah menerjang ke arah Auyang Toa, belum lagi tubuhnya tiba, dia sudah melepaskan tiga puluh tujuh tusukan pedang.

Sebenarnya jurus pedang yang ia miliki merupakan jurus serangan, tapi sekarang dia gunakan sebagai jurus bertahan, dengan tiga puluh tujuh jurus pedang dia rontokkan tiga puluh enam senjata rahasia. Ketika jurus yang ketiga puluh delapan dilancarkan, ujung pedangnya telah tiba di depan tenggorokan Auyang Toa.

Jumlah pihak lawan lebih banyak, dia harus menggunakan serangan kilat untuk menyelesaikan pertarungan itu secepatnya.

Auyang Toa baru bisa merasa yakin akan sesuatu setelah Darah dingin melancarkan serangan pedangnya yang ketiga puluh enam, dia yakin Darah dingin tidak pernah terluka oleh tusukan tombak raja bengis Tok Ku-wi.

Sadar akan keampuhan lawan, Auyang Toa segera menghimpun segenap kekuatan Im-yang-sin-kang yang dimilikinya untuk melancarkan serangan balasan, kipasnya seketika dilapisi hawa ungu yang menggidikkan hati.

Serangan pedang si Darah dingin sangat cepat, sebaliknya gerakan kipas Auyang Toa amat lamban, biarpun begitu, kipas Auyang Toa berhasil mengetuk badan pedang si Darah dingin tepat pada saatnya.

"Tring!", pedang itu patah jadi dua.

Auyang Toa memang jagoan paling tangguh dalam penggunakan ilmu Im-yang-sin-san, bukan saja ilmu kipas telah dikuasai dengan sempurna, termasuk tiga macam kepandaian andalan yang tercakup dalam ilmu kipas itupun telah dikuasai dengan baik, justru karena ilmunya tinggi maka dialah yang menjadi pemimpin Suma Huang-bong sekalian.

Im-Yang-sin-kang merupakan jenis kedua kepandaian andalannya.

Begitu pedangnya patah, Darah dingin segera menggetarkan kutungan senjatanya dan langsung menusuk tubuh Auyang Toa.

Kutungan pedang merupakan ilmu simpanan si Darah dingin.

Sebun-kongcu justru tewas oleh serangan semacam ini, tapi sayang Auyang Toa tidak menyadari akan hal itu, menanti kilatan cahaya kutungan pedang itu berkelebat, tahu-tahu ujung senjata sudah berada tiga inci dari tenggorokannya. Tergopoh-gopoh Auyang Toa membentang lebar kipasnya, ketika melancarkan serangan balasan, dia hanya mampu menggunakan tiga bagian kekuatan ilmu kipasnya.

"Sret!", tanpa ampun kutungan pedang itu menusuk bahu kiri Auyang Toa, sebaliknya babatan kipas itu menghantam pula dada lawan.

Tubuh si Darah dingin segera terlempar ke belakang, menembus pepohonan dan melayang turun beberapa kaki jauhnya dari posisi semula, darah muncrat keluar dari mulutnya.

Sebaliknya bahu kiri Auyang Toa juga terluka cukup parah, darah bagaikan pancuran air menyembur keluar dengan derasnya.

Pada pertarungan kali ini hasilnya adalah seri, tapi Darah dingin tahu kemenangan diraihnya lantaran dia menyerang duluan secara tiba-tiba sementara pihak lawan hanya menggunakan tiga bagian tenaga Im-yang-sin-kang, coba kalau dia menggunakan tujuh bagian tenaga serangannya, mungkin saat ini dia sudah roboh terkapar di tanah.

Auyang Toa pun berubah hebat paras mukanya, sebab dia tahu di antara empat opas yang tersohor di dunia persilatan, Tanpa perasaan merupakan jago yang paling susah dihadapi, disusul kemudian si Tangan besi, Pengejar nyawa dan terakhir si Darah dingin.

Tapi nyatanya sekarang, Darah dingin berhasil membuatnya terluka parah.

Sementara kedua belah pihak terkesiap, mendadak terdengar Tok Ku-wi membentak nyaring, tombaknya bagai seekor ular berbisa secepat petir menusuk datang.

Darah dingin sebenarnya ingin berkelit, namun serangan tombak itu datang dengan garangnya, hal ini memaksanya harus menghadapi dengan keras lawan keras, akan tetapi hal inipun tak dapat dia lakukan, sebab mustahil baginya untuk mendekati tubuh lawan.

Untunglah di saat itulah si Tangan besi muncul. Tonjokan maut yang dilontarkan si Tangan besi segera membentur keras tombak emas itu, meski gagal membuat senjata itu mencelat ke udara namun tombak telah dihajarnya hingga melengkung.

Menggunakan kesempatan itu, si Darah dingin segera menerobos maju ke depan.

Sebenarnya Tok Ku-wi berada pada posisi yang sang.il menguntungkan, tombaknya yang panjang membuat dia berada pada posisi yang jauh dari jangkauan lawan, tapi ketika si Darah dingin berhasil merangsek ke depan bahkan mendekati tubuhnya, Tok Ku-wi pun mati kutu, tombak panjangnya sama sekali tak berguna lagi.

Menggunakan kutungan pedangnya, si Darah dingin langsung menggorok leher Tok Ku-wi.

Dia pernah dibokong Tok Ku-wi, juga pernah menderita kerugian besar di tangan orang ini, maka ia bertekad menghabisi dulu musuh tangguhnya ini sebelum menghadapi yang lain.

Siapa tahu tiba-tiba berkelebat cahaya hitam, tangan kiri Tok Ku-wi tahu-tahu sudah menggenggam lagi sebatang tombak.

Tombak itu sangat pendek, ujung tombak yang tajam secepat kilat menotok ke depan, ternyata tombak rahasia inilah yang sebenarnya disebut tombak raja bengis.

Biarpun bentuknya pendek dan langsing, namun ketika membelah angkasa, berkumandanglah suara gemuruh yang memekakkan telinga.

Banyak orang persilatan yang selama ini salah mengira, mereka menganggap Tok Ku-wi hanya pandai bertarung jarak jauh dan lemah bertarung jarak dekat, seringkah mereka berupaya mendekati lawan, alhasil banyak di antara mereka yang harus mengorbankan jiwanya dengan percuma.

0oo0

Suasana hening mencekam seluruh tanah perbukitan, suara gemuruh yang datang dari batang pohon yang terjun ke dasar jurang sudah lama hilang, kini tak terdengar suara apapun. Sampai lama kemudian Tanpa perasaan baru berkata, "Sekarang kau boleh turun tangan."

"Tidak," Leng Liu-peng menggeleng, "aku sudah tak ingin bertarung lagi melawan dirimu."

"Tidak bisa." "Kenapa?"

"Sembilan belas tahun berselang, pernahkah kalian bertiga belas menyerbu ke rumah milik seorang yang bernama Seng Teng-thian? Pernahkah kalian membantai seluruh keluarganya dan membumi hanguskan rumahnya?"

"Jadi kau adalah ...” sekujur badan Leng Liu-peng gemetar keras.

"Aku adalah satu-satunya korban yang masih hidup hingga kini."

Dalam kegelapan tak nampak jelas bagaimana perubahan wajah Leng Liu-peng, tapi sampai lama kemudian ia baru berkata, "Ya, benar, cepat atau lambat kita memang harus bertempur."

"Daripada cepat atau lambat, kenapa tidak sekarang saja?" "Tidak bisa," tukas Leng Liu-peng.

"Kenapa?"

"Saat aku melarikan Pengejar nyawa dari tangan Auyang Toa tadi, perbuatanku ini telah mengejutkan si Darah dingin dan Tangan besi, aku kuatir saat ini mereka

Berubah paras muka Tanpa perasaan setelah mendengar ucapan itu, selanya, "Kalau begitu biar kuselesaikan dulu persoalan itu, kemudian baru bertarung melawanmu!"

"Keliru besar!" tukas Leng Liu-peng dingin. "Apanya yang salah?"

"Aku masih tetap merupakan salah satu komplotan mereka, aku mengerti jalan, biar kuajak kau datang ke sana, -sampai waktunya kau boleh menjadi opas dan-aku tetap menjadi pembunuh, kita bisa sekaligus menyelesaikan urusan dinas maupun urusan pribadi."

Tiba-tiba Tanpa perasaan tertawa, sahutnya, "Baik!" "Cepat bimbing saudara Pengejar nyawa masuk ke dalam tandu, selama berada dalam tandu, orang lain tak akan berani berbuat gegabah."

"Sepasang kakiku lumpuh, aku kurang leluasa untuk berbuat begitu, bagaimana kalau minta tolong kau saja yang m«m bawanya naik ke dalam tandu?"

Leng Liu-peng melengak, serunya tak tahan, "Kau tidak kuatir aku merampas barang mestikamu itu?"

"Aku percaya kau bukan manusia macam begitu!" jawab Tanpa perasaan kata demi kata.

Lama sekali Leng Liu-peng termangu, akhirnya setelah tertawa nyaring ujarnya, "Sungguh beruntung aku bisa bersahab.il dengan teman macam kau, biar mati pun aku tak menyesal."

Dengan cepat dia membopong tubuh si Pengejar nyawa dan menuju ke dalam tandu.

"Kalau begitu mari kita segera berangkat!" ujar Tanpa perasaan dengan suara hambar.

Ujung tombak sudah menyentuh tenggorokan si Darah dingin!

Serangan pedang yang dilancarkan si Darah dingin mendadak membacok miring, membabat persis ujung tombak.

Ketika benturan terjadi, kutungan pedang itu segera patah lagi jadi beberapa bagian, akan tetapi ujung tombak itupun terhantam miring ke arah lain.

Ketika ujung tombak menusuk ke dada kanan si Darah dingin, di saat darah belum lagi menyembur keluar, tiba-tiba si Darah dingin melolos lagi sebilah pedang.

Bukankah di tangan si Darah dingin sudah tak berpedang, darimana dia bisa melancarkan serangan pedang?

Ketika Tok Ku-wi menyadari apa yang terjadi, keadaan sudah terlambat, ternyata Darah dingin menggunakan tangannya sebagai pengganti pedang, cahaya keemasan lamat-lamat muncul dari balik telapak tangannya, secepat kilat telapak tangan itu dihujamkan ke depan.

"Telapak pedang!" Baru saja Tok Ku-wi merasa girang karena tusukan tombaknya mengenai sasaran, 'telapak pedang' lawan telah menghajar tenggorokannya.

Dalam sekejap air liur, air mata dan kotorannya meleleh keluar, dia ingin menjerit keras namun saluran tenggorokannya telah robek besar, tak sepatah kata pun sanggup diutarakan.

Dan saat itu pula tubuh Tok Ku-wi roboh terkapar ke tanah.

Sementara itu si Tangan besi sudah terjerumus dalam posisi yang sangat berbahaya.

Ketika dia memukul mundur serangan tombak Tok Ku-wi, Tu Lian, Auyang Toa dan Suma Huang-bong sudah menerjang ke depan dan mengurungnya.

Waktu itu Tu Lian amat gusar karena bunga teratai beracun telah hancur di tangan si Tangan besi.

Suma Huang-bong pun sangat marah karena tangan kanannya remuk terhajar kepalan tinju lawan.

Auyang Toa ikut merangsek ke depan, tapi serangannya bukan ditujukan ke arah si Tangan besi melainkan dihantamkan ke tubuh si Darah dingin, sebab bahu kanannya terluka parah gara-gara ditusuk si Darah dingin.

Begitu merangsek maju ke depan, kesepuluh jari tangan Tu Lian langsung ditusukkan ke wajah Tangan besi, rasa bencinya terhadap jagoan opas ini sudah merasuk hingga ke tulang sumsum.

Menghadapi ancaman seperti itu, si Tangan besi hanya melakukan satu perbuatan.

Dia lontarkan bunga teratai beracun yang sudah diremasnya ke wajah perempuan itu.

Meskipun seluruh alat rahasia yang terpasang dalam bunga teratai beracun telah rusak berantakan, namun senjata rahasia yang tersimpan di dalamnya masih menyembur keluar tiada hentinya.

Ketika melihat senjata andalannya dilontarkan ke arahnya, serta merta Tu Lian menyambut dengan kedua belah tangannya, siapa tahu senjata rahasia masih menyembur keluar dengan hebatnya, kali ini bahkan menyembur ke arah tubuhnya, lekas dia mengegos ke samping, tapi sayang beberapa batang di antaranya menghajar tubuhnya dengan telak.

Paras muka Tu Lian seketika berubah jadi pucat keabuabuan, dia segera merasakan sakit dan gatal yang luar biasa menyerang sekujur tubuhnya.

Sebagai pemilik racun senjata rahasia itu, tentu saja perempuan ini tahu sampai dimana kehebatan racun ganasnya, segera dia merobek pakaiannya dan membubuhkan obat penawar racun di sekitar luka, biarpun begitu, racun ganas yang telanjur bekerja dalam tubuhnya membuat dia gemetar keras, seluruh badannya jadi kaku dan gerakgeriknya pun jadi terhambat.

Tangan besi tahu, inilah kesempatan emas baginya untuk menghabisi perempuan itu, baru saja tubuhnya memburu ke depan, tiba-tiba tampak bayangan manusia berkelebat, Suma Huang-bong dengan sekopnya telah melancarkan sebuah bacokan.

Waktu itu lengan kiri si Tangan besi sudah terluka, terpaksa dia gunakan lengan kanannya untuk menangkis.

"Blam!", di tengah benturan keras, kedua orang itu samasama mundur tiga langkah, darah panas di rongga dada serasa bergolak.

Dalam pertarungan yang berlangsung amat singkat ini, si Tangan besi telah berhasil menghancurkan bunga teratai beracun, meremukkan lengan Suma Huang-bong, melontarkan tombak raja bengis dan melukai Tu Lian hingga luka parah, tapi dia sendiri pun dilukai oleh Suma Huang-bong hingga akibatnya tenaga serangannya jadi amat berkurang.

Di pihak lain, Auyang Toa sedang menerjang ke arah si Darah dingin dengan garangnya.

Selisih jarak antara si Darah dingin dan Tok Ku-wi sebenarnya sangat dekat, ketika ia melihat rekannya bertarung sengit melawan Darah dingin, lalu melihat kutungan pedang opas itu berhasil dihancurkan, saat itu sebenarnya Auyang Toa sudah menghembuskan napas lega.

Dia mengira si Darah dingin sudah mampus.

Tapi kemudian ketika melihat orang yang roboh ternyata Tok Ku-wi, Auyang Toa baru terkesiap, kipas Im-yangnya segera didorong sejajar dada, segulung tenaga pukulan berwarna ungu langsung menghantam tubuh Darah dingin.

Ketika merasakan datangnya ancaman, Darah dingin segera berpaling, namun sayang di antara sekian banyak jurus pedang yang dimilikinya, tak satu pun di antaranya yang mampu digunakan untuk menjebol pukulan hawa sakti itu.

Dalam keadaan terdesak terpaksa dia tusukkan telapak pedangnya ke tengah gulungan angin berwarna ungu itu.

Sewaktu hawa pedang berwarna emas itu saling bentrok dengan tenaga pukulan berwarna ungu, luka di dada karena pukulan kipas dan luka tusukan tombak yang diderita si Darah dingin segera me*ekah, akibatnya seluruh kekuatannya lenyap, dia menjerit keras lalu memuntahkan darah dan roboh tak sadarkan diri.

Auyang Toa kegirangan, lekas dia mendesak maju, kipasnya dirapatkan lalu disodokkan ke jalan darah Pek-hwehiat di tubuh Darah dingin.

Waktu itu langit sangat gelap, halilintar menyambar tiada hentinya, hujan deras tampaknya segera akan turun.

Saat itulah tiba-tiba terlihat sekilas cahaya terang berkelebat, langsung menghajar punggung Auyang Toa.

Merasakan datangnya serangan yang begitu tajam, Auyang Toa terkesiap, tak sempat lagi melanjutkan niatnya, segera dia berjumpalitan beberapa kali di udara kemudian melayang turun beberapa kaki dari posisi semula.

"Duk!", sebilah pisau panjang sudah menancap pada dahan pohon hingga tersisa gagangnya.

Sebuah tandu berwarna hitam tampak muncul tiga kaki di hadapannya, di samping tandu berdiri seorang kakek kurus kering. Tentu saja orang yang melancarkan serangan pisau terbang itu tak lain adalah si Tanpa perasaan.

Sementara kakek kurus yang berdiri di samping tandu itu tak lain adalah kakek tanpa golok Leng Liu-peng.

"Hah, kalian?" setelah menarik napas dingin Auyang Toa tertawa dingin.

Leng Liu-peng bergerak cepat, melesat ke udara dan melayang turun di samping tubuh Auyang Toa, serunya, "Auyang Toa, kami...”

Sebenarnya dia ingin bilang "kami tetap berada di satu jalur tapi sayang sebelum perkataan itu selesai diucapkan, Auyang Toa sudah mementang kipasnya dan melepaskan Im-yang-sinkang langsung menghantam dada Leng Liu-peng.

Serangan itu dilancarkan membabi buta tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk memberi keterangan, hal ini terjadi karena kesalah pahamannya terhadap Leng Liu-peng sudah kelewat mendalam.

Ketika dia menculik si Pengejar nyawa siang tadi, Leng Liupeng memang muncul dikawal si Tangan besi dan Darah dingin, kemudian dia muncul kembali .saat ini didampingi si Tanpa perasaan, dalam anggapannya Leng Liu-peng sudah menyeberang ke pihak lawan dan sekarang sedang mencari peluang untuk membokongnya.

Auyang Toa beranggapan: siapa turun tangan lebih dulu, dia yang kuat, maka tak ingin didahului lawan, dia melancarkan serangannya terlebih dulu.

Sebaliknya Leng Liu-peng biasanya menyebut Auyang Toa sebagai Kokcu, tapi hari ini karena dia tak ingin bermusuhan lagi dengan si Tanpa perasaan, selain itu dia pun merasa tak puas terhadap cara Auyang Toa menghadapi lawan dengan mengandalkan jumlah banyak, maka sengaja dia mengubah panggilannya dengan menyebut nama langsung. Siapa sangka perbuatannya ini justru telah memancing napsu membunuh rekannya itu.

Ketika melihat Auyang Toa melancarkan serangan mautnya, Leng Liu-peng terperanjat karena tidak menduga sebelumnya, maka dengan tergopoh-gopoh dia lemparkan gelang besinya ke depan langsung membabat tubuh lawan.

Auyang Toa tak ingin mengadu jiwa, cepat dia memutar hawa ungunya ke samping, kemudian langsung menumbuk cahaya dingin itu.

Begitu cahaya dingin tertumbuk hawa ungu, senjata gelang segera mencelat ke samping, menancap di dahan pohon dan tidak pernah balik lagi ke tangan Leng Liu-peng.

Semestinya serangan Leng Liu-peng belum tentu sanggup menandingi kehebatan Im-yang-sin-kang, namun dia tak seharusnya kehilangan senjata gelangnya pada gebrakan pertama.

Hal ini bisa terjadi lantaran Leng Liu-peng melepaskan serangannya tadi secara tergesa-gesa, apalagi tenaga dalamnya belum terhimpun, dengan sendirinya serangan itu langsung jebol ketika terhajar serangan Im-yang-sin-kang lawan.

Begitu gelang lawan berhasil dihajar hingga mencelat, sekali lagi Auyang Toa melancarkan pukulan dengan ilmunya itu, kali ini serangan diarahkan ke tubuh Leng Liu-peng.

Lekas Leng Liu-peng melejit ke udara untuk berkelit, tapi Auyang Toa segera menempel ketat di belakangnya.

Kembali Leng Liu-peng menarik napas panjang, tubuhnya . melambung beberapa kaki lebih ke atas, Auyang Toa membentak nyaring, dia ikut melambung, sementara hawa pukulannya yang berwarna ungu sudah mencapai ke hadapan lawan.

"Bagus!" bentak Leng Liu-peng keras, berada di tengah udara, sebuah bacokan kilat dilontarkan.

Bukankah gelang baja milik Leng Liu-peng sudah hilang?

Darimana datangnya pedang dalam genggamannya?

Cahaya tajam itu bukan berasal dari senjata, tapi muncul dari tangannya, ketajaman tangannya saat ini bahkan lebih tajam dari sebilah golok mestika.

Inilah yang dinamakan 'tangan golok', sebuah ilmu pukulan menggempur tanpa golok tingkat atas. Golok tangannya sudah dilatih menyatu dengan pikirannya, serangan itu mirip dengan ilmu pengendali pedang tingkat tinggi.

Begitu Leng Liu-peng mengeluarkan ilmu "gempuran tanpa golok", cahaya emas segera menyelimuti angkasa dan menjebol tenaga pukulan berwarna ungu, bahkan permukaan kipas Im-yang-sin-san ikut jebol karenanya, seketika ilmu pukulan Im-yang-sin-kang pun tak dapat digunakan lagi.

Berhasil menjebol serangan lawan, Leng Liu-peng segera melayang turun ke tanah, dia sama sekali tidak melancarkan serangan berikutnya.

Mendadak tampak cahaya hitam berkelebat, walaupun kipas di tangan Auyang Toa sudah jebol, namun belasan kerangka kipasnya masih utuh, tiba-tiba saja kerangka kipas itu berubah jadi sebuah ruyung panjang yang meluncur ke depan dengan kecepatan luar biasa.

Ruyung itu langsung meluncur ke depan dan menghujam hulu hati Leng Liu-peng dengan kecepatan luar biasa.

Cahaya kilat berkelebat, suara guntur pun menggelegar membelah bumi.

Sambil memegangi hulu hatinya, Leng Liu-peng menjerit tertahan, darah menyembur keluar dengan derasnya, sambil menuding ke arah Auyang Toa teriaknya, "Kau ... kau

Auyang Toa tertawa dingin.

"Hm, inilah jurus terakhir kipas sakti Im-yang, Im-yang-itsian (Im Yang satu garis)!"

Sambil berkata dia betot kembali ruyungnya, diiringi semburan darah yang lebih deras, Leng Liu-peng pelan-pelan berjongkok ke tanah kemudian roboh terkapar.

Di saat Leng Liu-peng tewas terhajar ruyung maut Auyang Toa, di pihak lain si Tanpa perasaan juga sedang menghadapi kesulitan.

Waktu itu Tu Lian telah selesai minum obat penawar racunnya, tapi ketika dia meraba wajahnya dan menjumpai seluruh kulit mukanya telah membengkak besar, hatinya merasa t panik bercampur benci, begitu melihat si Tangan besi sedang bertarung melawan Suma Huang-bong, dengan hati penuh amarah dia segera menyelinap ke belakang dan berniat membokong lawannya.

Tapi pada saat itulah Tu Lian segera menjumpai ada sebuah tandu berwarna hitam telah menghadang jalan perginya.

Diam-diam hatinya tercekat, tanpa terasa dia pun mulai membayangkan cerita yang pernah didengar tentang tandu itu, tapi lantaran selama ini dia belum pernah dirugikan oleh tandu itu, maka sembari meningkatkan kewaspadaan dia tetap melanjutkan maju ke depan.

Mendadak dia menjejakkan kaki langsung menerjang ke arah Tangan besi.

Begitu tubuhnya bergerak, dari balik tandu segera melesat pula tiga titik cahaya bintang berhawa dingin.

Tu Lian segera miringkan badan berbalik menerjang ke arah tandu, seketika ancaman tiga titik cahaya bintang itupun mengenai tempat kosong.

Dengan ujung kakinya menutul di atas kayu tandu, Tu Lian meloncat ke udara bagaikan capung menutul air, begitu naik ke atap tandu hitam tadi, sebuah pukulan dilontarkan ke bawah.

Belum lagi pukulan dilepas, tiba-tiba atap tandu terbuka lalu menyembur keluar puluhan batang batu terbang yang semuanya mengarah ke tubuhnya.

"Aduh celaka!" pekik Tu Lian dalam hati, lekas dia berjumpalitan dengan gaya burung belibis berbalik badan, tubuhnya melejit sejauh beberapa kaki dari posisi semula.

Tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan manusia berbaju putih, di antara getaran tangan kanannya sekilas cahaya putih melesat keluar dan menembus udara.

Tu Lian semakin terkesiap, dia sadar orang yang sedang ia hadapi sekarang adalah pemimpin empat opas, si Tanpa perasaan. Lagi-lagi dia mencukil tombak raja bengis yang tergeletak di tanah dengan ujung kakinya, lalu dengan senjata itu dia melakukan tangkisan.

Tombak raja bengis terbuat dari baja murni, sudah tentu tajamnya luar biasa, "Trang!", cahaya putih itu segera menghantam batang tombak.

Karena benturan yang sangat keras itu, cahaya putih mencelat ke arah sebatang dahan pohon dan menancap hingga tinggal gagangnya.

Sebaliknya Tu Lian merasakan pergelangan tangannya kaku dan kesemutan, tombak panjang itu ikut terlepas dari genggamannya.

Hujan mulai turun dengan deras, sedemikian derasnya sehingga tercipta selapis kabut yang sangat tebal.

Di tengah suara gemuruh yang memekakkan telinga, lamat-lamat masih terdengar suara pertarungan antara si Tangan besi melawan Suma Huang-bong serta suara pertarungan antara Leng Liu-peng melawan Auyang Toa.

Tu Lian terkejut bercampur takut, ketika cahaya kilat menyambar, tiba-tiba ia menjumpai sebuah sekop yang tergeletak di tanah.

Sekop itu sebetulnya berjumlah dua dan merupakan senjata andalan Suma Huang-bong, namun sejak lengan kanannya dihajar Tangan besi hingga hancur, salah satu senjata andalannya itu sudah terlepas dari tangannya.

Tu Lian tergerak hatinya, sekali berjumpalitan dia menyambar sekop itu dari atas tanah, kemudian secepat kilat menerjang ke depan tandu.

Hujan turun semakin deras, membuat seluruh pakaian yang melekat di tubuh Tu Lian basah kuyup, tapi sekop itu telah melindungi seluruh bagian tubuhnya yang mematikan dari kemungkinan serangan.

"Sret, sret", kembali dua titik cahaya terang meluncur keluar dari balik tandu, "Trang, trang", semua serangan itu menghajar sekop itu hingga mencelat ke samping.

Tu Lian merangsek maju lebih ke depan. "Sret, sret", kembali dua batang anak panah kecil meluncur ke tubuh perempuan itu, tapi lagi-lagi semua ancaman berhasil disampuk rontok oleh sekop itu.

Tu Lian menerjang maju makin cepat.

"Wes, wes, wes", tiga desingan tajam membelah bumi, tiga butir peluru besi dari tiga jurusan mengancam tubuh bagian atas, tengah dan bawah.

"Celaka!" pekik Tu Lian dalam hati, lekas dia menjejakkan kaki ke tanah sambil melambung ke udara.

Dua butir peluru besi berhasil dihindari dengan gampang, tapi sebutir yang lain menyambar di atas kepalanya, "Duk!", ketika membentur tusuk konde pada sanggulnya, peluru itu rontok ke tanah.

Hati Tu Lian bergidik, masih untung dia menghindar dengan cepat, kalau tidak, bisa jadi batok kepalanya sudah hancur.

Cepat tubuhnya melambung lagi ke udara, dengan sekop itu dia melindungi tubuhnya dan menerjang langsung ke arah tandu itu.

Seluruh tubuhnya telah tersembunyi di belakang senjata, sehebat apapun serangan senjata rahasia yang muncul dari dalam tandu, tak nanti bisa melukai tubuhnya lagi.

Dengan gerakan secepat petir Tu Lian menyerbu ke atas tandu dan siap menyerang.

Tiba-tiba tandu itu miring ke samping, kemudian terguling.

Melihat kejadian ini, Tu Lian kegirangan setengah mati, tapi sayang sebelum dia sempat berbuat sesuatu, tiba-tiba terasa desingan angin tajam menyambar, "Bles!", sebatang senjata berwarna putih tahu-tahu sudah menusuk punggungnya hingga tembus ke dada.

Tu Lian tertegun, pelan-pelan dia membalikkan tubuh, di balik kegelapan malam dan di tengah hujan yang amat deras, tampak si Tanpa perasaan sedang duduk bersila di belakang tubuhnya, saat itu pemuda berbaju putih itu sedang mengawasinya dengan pandangan dingin. Dalam waktu singkat Tu Lian terbayang kembali akan banyak kejadian, dia sadar apa yang menyebabkan dirinya kehilangan nyawa.

Senjata yang mencabut nyawanya' adalah sebilah pisau terbang yang dilepaskan si Tanpa perasaan, dia bisa terkena hajaran pisau terbang itu karena tak sadar kalau Tanpa perasaan sudah menanti di belakang tubuhnya, dia tak tahu lawan sudah menyelinap ke belakang tubuhnya, dia sudah bersembunyi di balik sekop itu namun justru senjata itu telah menghalangi pandangan matanya.

Dia melindungi seluruh tubuhnya dengan senjata itu karena seluruh perhatiannya hanya tertuju menghadapi tandu, padahal dia keliru, bukan tandu yang seharusnya diperhatikan, sebab musuh utamanya bukan tandu itu, melainkan si Tanpa perasaan.

Maka dia harus menerima kematian dalam keadaan yang amat mengenaskan.

Perlahan-lahan tubuh Tu Lian terkulai ke tanah, roboh untuk selamanya.

Baru saja Tanpa perasaan menekan permukaan tanah untuk balik ke dalam tandunya, mendadak terlihat sesosok bayangan manusia berkelebat, seorang telah menghadang di depan tandunya.

"Kau telah membunuh Leng Liu-peng?" tegur Tanpa perasaan ketus.

"Dan kau pun telah membunuh Tu Lian," sahut Auyang Toa sambil menyiapkan ruyung hitamnya.

Tanpa perasaan termenung, kemudian mendongakkan kepala, membiarkan air hujan membasahi seluruh wajahnya, setelah itu katanya, "Tahukah kau, sebelum tewas Leng Liupeng sudah menjadi sahabatku?"

"Aku tahu, justru karena itu aku terpaksa membunuhnya," jawab Auyang Toa sambil tertawa hambar.

"Dan karena itu pula aku harus membalas dendam baginya," sambung Tanpa perasaan tenang. Perlahan-lahan Auyang Toa mengalihkan sorot matanya ke tubuh Tu Lian yang tergeletak di tanah, mendadak dia bertanya, "Tahukah kau, apa hubunganku dengan dirinya?"

Tanpa perasaan tidak menjawab.

Setelah menarik napas panjang Auyang Toa berkata lebih lanjut, "Setahun berselang, dia telah melahirkan seorang anakku!"

Sekilas perasaan duka melintas di balik mata Tanpa perasaan, namun sejenak kemudian sudah pulih, sebuah ketenangan yang amat dingin dan sadis.

Auyang Toa mendongakkan kepala mengawasi hujan yang turun semakin deras itu, katanya lagi, "Oleh sebab itu sehebat apapun ilmu silat yang kau miliki, aku pun akan membalas dendam bagi kematiannya."

"Tahukah kau, bila aku tinggalkan tanduku dan berduel melawan Leng Liu-peng, berapa bagian kemungkinanku untuk meraih kemenangan?" tiba tiba Tanpa perasaan bertanya.

"Menurut kau?" "Hanya enam bagian!" "Sangat bagus."

"Ya, sangat bagus, tapi kenyataan kau berhasil membunuhnya."

"Kau tak perlu kuatir, sebab aku sendiri pun hanya memiliki lima bagian kemungkinan untuk meraih kemenangan."

"Dan sekarang, aku menantangmu untuk berduel," sela Tanpa perasaan dingin.

Auyang Toa segera mendongakkan kepala dan tertawa. "Hahaha ... apapun yang hendak kau ucapkan, yang pasti

tak mungkin kau punya kesempatan lagi untuk kembali ke dalam tandumu."

Di tengah hujan yang turun semakin deras, lamat-lamat terdengar suara bentakan yang bergema berulang kali, tampaknya pertarungan antara Tangan besi melawan Suma Huang-bong sudah mencapai puncaknya, kedua belah pihak sudah mengeluarkan jurus pamungkas untuk memaksa lawannya mengadu jiwa. Kepandaian silat Suma Huang-bong maupun Darah dingin boleh dibilang berimbang. Setiap kali melancarkan serangan, Darah dingin selalu mengarahkan ancamannya ke tenggorokan lawan, begitu pula dengan Suma Huang-bong, dia selalu mengancam tenggorokan opas itu.

Sebenarnya ilmu silat si Pengejar nyawa masih sedikit lebih tinggi daripada kungfu Darah dingin, sebaliknya kungfu yang dimiliki Tangan besi masih sedikit di atas kemampuan Pengejar nyawa.

Tapi lantaran sejak awal pertarungan, si Tangan besi harus bertempur sengit melawan Suma Huang-bong, Tu Lian dan Tok Ku-wi bertiga, pertempuran itu banyak menguras tenaganya, harus pula memecah perhatian, maka dia berhasil didesak oleh Suma Huang-bong, walau masih ada sebuah lengan bajanya yang bisa digunakan, namun dalam pertarungan ini dia lebih banyak tercecar daripada memegang peran dalam penyerangan.

Sekali Suma 1 luang-bong berhasil menduduki posisi di atas angin, semakin sulit bagi si Tangan besi untuk menyelamatkan kedudukan, sebab pada dasarnya kemampuan mereka tidak selisih banyak.

Setelah lewat tiga puluh gebrakan dan ternyata si Tangan besi belum juga dapat dirobohkan, situasi dalam pertarungan pun mulai terjadi perubahan.

Tulang bahu si Tangan besi telah dihajar Suma Huangbong hingga terluka parah, tapi lengan Suma Huang-bong juga kena dihajar hingga remuk dan lumpuh.

Padahal lengan si Tangan besi yang terluka adalah tangan kirinya, sementara lengan Suma Huang-bong yang lumpuh adalah tangan kanan.

Suma Huang-bong bukan termasuk orang kidal, dia seperti juga kebanyakan orang, lebih terbiasa menggunakan tangan kanannya, apalagi senjata andalannya adalah sepasang sekop, setelah kehilangan sebuah senjata andalannya, tentu saja dia jadi tidak leluasa untuk melancarkan serangan. Itulah sebabnya begitu mendapat kesempatan baik, Tangan besi segera menarik napas panjang dan mulai melancarkan serangan balasan sepenuh tenaga.

Delapan puluh jurus kemudian, pertarungan antara Tangan besi melawan Suma Huang-bong sudah berada pada posisi berimbang.

Tapi seratus jurus kemudian, Tangan besi mulai berhasil meraih posisi di atas angin.

Tentu saja Suma Huang-bong sangat menyadari akan posisinya itu, dia mulai panik bercampur gelisah, beberapa kali dia berusaha mencari peluang untuk melarikan diri, namun si Tangan besi tidak membiarkan lawannya berbuat begitu, pukulan maut yang dilontarkan menutup rapat seluruh jalan mundurnya.

Seratus tiga puluh jurus kemudian, Suma Huang-bong sudah mulai menunjukkan pertanda bakal kalah, posisinya makin berbahaya dan terancam maut.

Sadarlah Suma Huang-bong, bila pertarungan dibiarkan terus berlangsung, akhirnya dia pasti akan kehilangan nyawa, mendadak sambil membentak keras, senjatanya diayunkan ke depan.

Lemparan sekop Suma Huang-bong ini mesti tidak setajam serangan Leng Liu-peng dan tidak sekeji pisau terbang Mosam Ha-ha, namun cukup mendatangkan ancaman yang menakutkan.

Tangan besi tak berani gegabah, dia memutar tangannya si ap menyambut lemparan itu dengan sepenuh tenaga, tapi sebelum ia melakukan hal itu, mendadak dilihatnya Suma Huang-bong sudah menyentilkan jari tangannya, ternyata dia hendak mengunci tenggorokannya dengan ilmu jari tiga kaki menembus angkasa mengunci tenggorokan.

Untuk menghindar sudah tak sempat lagi, terpaksa Tangan besi menyambut datangnya ancaman itu dengan kekerasan, tapi masalah lain segera timbul, andaikata dia menangkis datangnya lemparan sekop, dia takkan bisa menangkis serangan jari tangannya, sebaliknya bila dia menangkis serangan jarinya, maka tak bisa menahan lemparan senjata lawan.

Ilmu jari tiga kaki menembus angkasa mengunci tenggorokan sudah termashur sebagai sebuah kepandaian untuk meremukkan tulang leher, sebuah serangan yang sangat mematikan, sementara sekop milik Suma Huang-bong pun tidak mudah ditangkis begitu saja, jelas dia sudah menggunakan jurus mengadu jiwa.

Dalam keadaan seperti ini. Tangan besi lebih suka menyambut datangnya lemparan sekop, ketimbang dia mesti menerima serangan jari penghancur tenggorokan itu.

Bukannya mundur, tiba-tiba Tangan besi malah bergerak ke depan.

Dengan mengandalkan lengan kanan, si Tangan besi menangkis datangnya desingan angin tajam itu, "Sret, sret", angin serangan sentilan jari menghajar telak lengannya, membuat pakaian yang dikenakan hancur tercabik-cabik, bahkan muncul dua garis hangus yang dalam, masih untung tulangnya tidak sampai terluka.

Pada saat bersamaan, lemparan sekop menghajar pula pinggangnya.

Waktu itu Tangan besi telah menghimpun segenap kekuatan tubuhnya di atas pinggang, dia memang sudah mempersiapkan diri untuk menerima lemparan senjata itu dengan keras lawan keras.

Selain memiliki sepasang lengan yang kuat bagai baja, si Tangan besi juga tersohor sebagai jago yang memiliki tenaga dalam paling sempurna di antara empat opas.

"Duk!", senjata itu menghajar telak pinggangnya, darah segera muncrat akibat luka yang ditimbulkan gesekan itu, namun lemparan sekop itupun berhasil ditangkis hingga mencelat ke samping.

Tangan besi tak tinggal diam, segera merangsek maju hingga nyaris tubuhnya saling bertumbukan dengan Suma Huang-bong. Suma Huang-bong tidak mengira musuhnya akan merangsek maju, mau menghindar sudah tak sempat, sisi lain sekop itu segera membabat dadanya.

Suma Huang-bong sama sekali tidak menduga akan terjadi peristiwa seperti ini, sehingga dia tidak mengerahkan tenaga dalamnya untuk berjaga-jaga, apalagi tenaga dalamnya memang kalah dibanding si Tangan besi, maka tak heran sekop itu membelah dadanya.

Jeritan ngeri yang memilukan hati pun berkumandang di tengah gemuruhnya suara hujan.

Memanfaatkan kesempatan ini, si Tangan besi merangsek maju, sebuah pukulan dihujamkan ke wajah lawan.

Tanpa ampun wajah kuda Suma Huang-bong langsung hancur, diiringi jeritan ngeri yang menggidikkan, tubuhnya roboh terkapar ke tanah.

Melihat Suma Huang-bong sudah roboh, si Tangan besi pun menghembuskan napas lega, ia cabut sekop yang menancap di pinggangnya, darah pun menyembur keluar dari lukanya.

Dia membalikkan tubuh, lalu bersandar pada sebatang pohon, napasnya tersengal-sengal, dia biarkan air hujan mencuci bersih noda darah yang membasahi tubuhnya.

Sekarang dia dapat bernapas lega, sebab musuh tangguhnya, Suma Huang-bong, sudah tak pernah bisa mengganggunya lagi, karena saat itu nyawanya sudah dalam perjalanan menuju ke langit barat.

Hujan turun semakin deras, seluruh pakaian si Tanpa perasaan maupun Auyang Toa sudah basah kuyup.

Tiba-tiba si Tanpa perasaan bertanya, "Siapa ketua kalian?" "Hahaha ... kenapa aku mesti menjawab pertanyaanmu,"

sahut Auyang Toa sambil tertawa tergelak, kemudian dengan mata berkilat dan tertawa seram, dia menambahkan, "aku takut sewaktu kau balik ke kotaraja nanti, istana terlarang sudah bukan menjadi istana terlarang lagi."

"Semisalnya kau pun tewas, berarti ada tiga belas jago yang mengorbankan nyawa demi dirinya, apakah kau anggap itu semua berharga?" "Baik, akan kuberitahu teriak Auyang Toa tiba-tiba, cahaya hitam berkelebat, bagaikan pagutan seekor ular berbisa dia menyerang dada lawan.

Tanpa perasaan menggetarkan tangan kanannya, sekilas cahaya putih meluncur keluar dan membumbung ke angkasa.

Saat itu seluruh badan Auyang Toa sudah dilapisi segumpal hawa murni berwarna ungu, tanpa melalui kipas andalannya pun dia mampu mengerahkan tenaga Im-yang-sin-kang.

Ketika cahaya putih membentur lapisan hawa ungu, pisau terbang itu segera rontok ke tanah.

Namun si Tanpa perasaan pun sudah melejit ke udara dan lolos dari tusukan ruyung berwarna hitam itu.

"Wes!", ruyung itu meluncur balik ke tangan Auyang Toa. Tidak menunggu si Tanpa perasaan melayang turun,

kembali Auyang Toa melepaskan tusukan kedua.

Berada di udara, lekas si Tanpa perasaan menarik napas panjang, tubuhnya melambung naik tiga depa ke atas, kemudian sepasang tangannya digetarkan, dua titik cahaya putih kembali meluncur.

Sekali lagi tusukan Auyang Toa mengenai tempat kosong, namun hawa khikang yang melindungi tubuhnya juga berhasil menggetarkan kedua bilah pisau terbang itu hingga mencelat ke arah lain.

Tidak menunggu Tanpa perasaan mencapai tanah, Auyang Toa merangsek maju, sekali lagi dia lepaskan tusukan.

Tanpa perasaan segera menghimpun tenaga murninya siap berkelit ke samping, mendadak pinggangnya terasa amat sakit, rasa sakit yang luar biasa membuat hawa murninya buyar, tubuhnya seketika terperosok jatuh ke bawah.

Rasa sakit yang timbul di pinggangnya itu disebabkan luka yang ia derita karena babatan golok Leng Liu-peng, ketika itu ia dipaksa keluar dari tandu oleh si cebol Sun sewaktu berada di depan toko peti mati tempo hari.

Dalam gugup dan paniknya, kembali si Tanpa perasaan melepaskan sebuah pisau terbang. Pisau itu meluncur ke arah Auyang Toa, tapi baru sampai tengah jalan sudah kehabisan tenaga, akibatnya senjata itu mencelat ke arah lain. Kini yang masih bisa dikendalikan Tanpa perasaan hanyalah gerakan tubuhnya yang meluncur jatuh ke bawah.

"Sret!", Auyang Toa segera menusuk iga kirinya dengan jurus sakti Im-yang-sin-san. Ruyungnya langsung melesat ke depan dan menghajar tubuh si Tanpa perasaan, diikuti cucuran darah, ruyung itu jatuh ke tanah.

"Hahaha ... serahkan nyawamu teriak Auyang Toa sambil tertawa seram.

Baru saja dia menyiapkan tusukan terakhir, tiba-tiba punggungnya terasa kaku.

Sebilah pisau berwarna putih telah menembus puntung dan keluar melalui dadanya.

Detik itu juga Auyang Toa menyaksikan sebuah ujung pr.au yang penuh bercak darah muncul dari dalam dadanya, lak .nl.i kejadian lain yang lebih mengejutkan dirinya daripada peii-

.tiw.i ini, dia mengawasi ujung pisau itu dengan terkesima, seolah tidak percaya dengan pandangan mata sendiri.

Dengan napas tersengal, Tanpa perasaan berbisik, "Kau kau tak usah heran ... tusukan itu ... muncul ... muncul il.in dalam tandu ... kau telah menyentuh tombol rahasia di ... di aLr. tandu ... maka ... maka pisau itupun meluncur keluar

Ketika selesai mendengar penjelasan itu, Auyang Toa bani roboh ke tanah, roboh terkapar di tengah genangan darah.

Selama ini dia paling takut menghadapi tandu milik Tanpa perasaan, maka dia berusaha dengan segala cara memaksa Tanpa perasaan keluar dari tandunya, tapi pada akhirnya dia tetap tewas oleh tandu itu.

Tubuh Auyang Toa sudah roboh terkapar di atas genangan lumpur, air hujan telah mengguyur darah yang mengucur keluar dari tubuhnya, membawanya masuk ke dalam endapan lumpur.

Akhirnya hujan pun reda. Orang pertama yang sadar dari pingsannya adalah si Pengejar nyawa.

Dengan langkah sempoyongan dia berjalan keluar dari dalam tandu, ia merasa udara amat segar, suasana pun amat hening. Tapi kemudian ia melihat mayat yang bergelimpangan, mayat Tu Lian, Leng Liu-peng, Tok Ku-wi, Suma Huang-bong bahkan mayat Auyang Toa.

Dia sangat kaget, sekujur badannya terasa menegang kencang.

Menyusul ia lihat seorang meronta bangun dari kubangan lumpur, dia adalah si Tangan besi.

Bahu kiri si Tangan besi sudah terhajar oleh ilmu jari tiga kaki menembus angkasa mengunci tenggorokan yang membuat lukanya sangat parah, masih untung bukan bagian tubuh yang mematikan, maka dengan kesempurnaan tenaga dalamnya, ia segera tersadar dari pingsannya.

Lekas si Pengejar nyawa memayangnya, tapi ia sendiri belum sembuh dari lukanya yang parah, dengan sempoyongan akhirnya dia bersandar pada sebatang pohon dan berdiri dengan napas tersengal.

Saat itulah mereka mendengar suara rintihan, ternyata si Darah dingin sedang merangkak bangun, luka yang dideritanya paling parah karena selain ditusuk tombak Tok Kuwi, dia pun kena dihajar Im-yang-sin-kang Auyang Toa.

Masih untung Darah dingin memiliki badan yang keras bagaikan baja, bukan cuma badan, semangat dan daya tahannya pun luar biasa.

Maka dia pun bangkit berdiri, selama masih bisa bernapas, dia memang tak ingin merangkak di tanah.

Tangan besi, Pengejar nyawa dan Darah dingin saling bergandengan tangan, sampai lama sekali mereka tak bicara, kemudian hampir bersamaan waktunya mereka berseru, "Mana Toa-suheng?"

Melihat tandu yang terbalik, perasaan mereka sudah dingin separoh, apalagi melihat si Tanpa perasaan yang tertelungkup di tengah kubangan tanpa bergerak, tak sepatah kata pun sanggup mereka ucapkan.

Tanpa perasaan tertelungkup di tengah kubangan, sekujur tubuhnya penuh lumpur, lumpur bercampur darah.

Mereka tak tahu apakah Tanpa perasaan masih hidup atau sudah mati. Melupakan luka yang mereka derita, selangkah demi selangkah mereka mendekat, namun Tanpa perasaan belum juga bersuara.

Mereka saling bertukar pandang sekejap, rasa sedih yang tak terlukiskan muncul dari balik mata mereka, kemudian mereka pun membangunkan Tanpa perasaan, membalik tubuhnya.

Lumpur menodai seluruh wajah Tanpa perasaan, tapi dia tidak pingsan, sambil perlahan-lahan membuka mata, dia menj; awasi wajah Tangan besi, Pengejar nyawa dan Darah dingin silili berganti, kemudian senyuman pun menghias ujung bibirnya.

"Kita semua selamat, kita semua sehat sentosa ... sayang hingga kini kita masih belum tahu siapakah ketua mereka demikian ia bergumam.

Tangan besi, Pengejar nyawa dan Darah dingin berbareng melompat bangun, kemudian mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak.

Asal persahabatan masih utuh, kekalahan bukan masalah bagi mereka, apalagi hasil pertarungan ini tidak terhitung suatu kekalahan.

Sekalipun kalah, mereka pun kalah sebagai seorang ksatria.

Pertarungan boleh kalah, tapi semangat, tujuan dan prinsip tak boleh kalah.

Sebagai seorang ksatria sejati, apa arti dari suatu kekalahan?

T A M A T
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar