Pertemuan di Kotaraja Bab 24 : Hutang budi harus dibayar

24. Hutang budi harus dibayar.

Begitu selesai mengucapkan perkataan itu, Leng Liu-peng segera membalik tubuh dan beranjak pergi dengan langkah lebar, dia pergi tanpa menengok lagi ke arah tandu itu, biar sekejappun.

"Saudara Leng, saudara Leng!" Tok Ku-wi segera berteriak memanggil.

"Ternyata Leng Liu-peng memang seorang lelaki sejati!" puji Tanpa perasaan.

Tok Ku-wi kembali tertawa dingin. "Tak kusangka hanya dengan beberapa patah kata kau berhasil mengusir si tanpa golok dari tempat ini, mau tak mau aku mesti menyatakan kekagumanku."

Kemudian setelah berhenti sejenak, terusnya, "Boleh aku mengajukan satu pertanyaan?"

"Tanyakan saja."

"Darimana kau tahu kami sedang bermain sandiwara?" Tanpa perasaan segera tertawa.

"Sebab kemarin aku baru mendengar suara Leng Liu-peng, sekalipun raut mukanya telah berubah namun dia lupa mengubah logat bicaranya."

"Oh, rupanya begitu, tak heran kau bisa tahu," seru Tok Ku-wi seakan baru paham.

Mendadak terdengar seorang berseru sambil tertawa, "Saudara Tanpa perasaan, kalau toh kau masih mengenali suara Leng Liu-peng, tentunya kau pun masih ingat dengan logat suaraku bukan?"

"Saudara Auyang?" Tanpa perasaan menyahut sambil tertawa pula, "apakah lukamu masih terasa sakit? Tentu saja logat bicara Kokcu pun tak akan kulupakan."

Sambil menggoyang kipasnya dan berjalan santai Auyang Toa muncul dari sisi kanan tandu, kemudian berhenti di situ, kain putih yang membalut bahunya terlihat bercak darah.

"Kelihatannya sih jauh lebih enteng ketimbang luka bacokan yang saudara Tanpa perasaan terima hari ini."

"Ya, tampaknya memang begitu," Tanpa perasaan mengakui sambil tertawa getir.

Tiba-tiba Tok Ku-wi menyela, "Kalau toh saudara Tanpa perasaan sudah terluka

"Tidak seharusnya kita sia-siakan kesempatan emas yang diberikan Thian kepada kita semua sambung Auyang Toa cepat.

"Karena itu untuk kedua kalinya terpaksa kita harus melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan saudara Tanpa perasaan...”kata Tok Ku-wi lagi. Dengan suara lantang Auyang Toa segera menghardik, "Tuan opas Tanpa perasaan, tolong berilah sedikit petunjuk atas kemampuan Im-yang-sin-san milikku ini!"

Selesai berkata dia mengayun kipasnya lalu didorong sejajar dada ke depan.

Segulung tenaga pukulan tanpa wujud seketika menggulung keluar dari balik kipas, langsung menghantam sisi kanan tandu itu.

Hampir pada saat bersamaan Tok Ku-wi menggetarkan pula lengannya yang panjang, tombaknya disertai suara guntur yang menggelegar langsung menusuk tandu dari sisi kiri.

Dua gulung tenaga maha dahsyat menjepit datang dari kiri dan kanan, sedemikian dahsyatnya kekuatan itu membuat tandu itu meski terbuat dari lempengan baja rasanya tak sanggup menahan gempuran ini.

Tujuan utama mereka adalah memaksa si Tanpa perasaan mau menampilkan diri dari balik tandu, namun mereka pun sangat menguatirkan kehebatan senjata rahasia lawan, oleh sebab itu mereka bertekad menghancurkan tandu itu terlebih dulu sebelum mendesaknya lebih jauh

Tiba-tiba tandu yang ditunggangi Tanpa perasaan menerjang maju, padahal di hadapannya adalah toko peti mati, maka tandu bersama Tanpa perasaan langsung menerjang masuk ke dalam toko peti mati itu.

Begitu serangan mengenai tempat kosong, tubuh Auyang Toa dan Tok Ku-wi nyaris saling bertumbukan, lekas mereka tarik balik serangannya sambil berusaha menghadang jalan mundur tandu itu.

Saat itulah dari hadapan tandu menerjang masuk seseorang, sambil menyerbu datang teriaknya keras, "Tanpa perasaan, coba lihat siapakah aku!"

Dalam waktu singkat situasi arena jadi sangat kalut, Tanpa perasaan dengan menggerakkan tandunya berusaha menghindarkan diri dari serangan gabungan Auyang Toa dan Tok Ku-wi, dengan menyerbu masuk ke dalam toko peti mati sama halnya seluruh perhatian si Tanpa perasaan terpusat pada tauke penjual peti mati itu.

Menghadapi perubahan yang tiba-tiba itu, si tauke penjual peti mati tetap berdiri tenang, dia seakan tidak peduli dengan kejadian itu.

Saat itulah terdengar suara bentakan keras bergema di udara, menyusul muncul seorang sambil melancarkan bacokan.

Tanpa perasaan segera tertegun, dua puluh tiga macam alat rahasia yang terpasang dalam tandu tak satu pun yang bisa digunakan lagi.

Dia memang tak bisa berbuat apa-apa, sebab orang yang muncul secara tiba-tiba itu tak lain adalah si Darah dingin.

Darah dingin menerjang datang dengan kecepatan luar biasa, Tanpa perasaan tak sempat lagi mengetahui lebih jelas apa yang sedang terjadi, tapi ada satu hal dia tahu dengan pasti, senjata rahasianya tak boleh menghajar di tubuh adik seperguruannya itu.

Sementara dia masih gelagapan dan tidak tahu apa yang mesti diperbuat. Darah dingin sudah menerjang masuk ke dalam tandu.

Baru saja Tanpa perasaan siap mengulurkan tangan menyambut, mendadak ia temukan dua buah tangan lain berada di bawah ketiak Darah dingin.

Tangan itu putih, halus dan kecil bentuknya, namun dengan kecepatan bagaikan sambaran petir telah melancarkan dua totokan maut ke atas jalan darah pentingnya.

Ketika ia menemukan kejanggalan itu, si Darah dingin sudah berdiri persis di hadapannya, siapa pun tak bakal menyangka kalau di belakang punggung Darah dingin ternyata masih menempel seseorang.

Dalam keadaan seperti ini siapa pun jangan harap bisa menghindarkan diri, apalagi si Tanpa perasaan yang tak pandai bersilat. Dalam situasi yang amat kritis, mendadak Tanpa perasaan berpekik nyaring, tubuhnya menerjang ke udara dan nyaris menghindarkan diri dari ancaman kedua buah tangan itu.

Setelah berjumpalitan beberapa kali di udara, dengan gaya burung belibis membalik tubuh, dia melayang turun di tepi sebuah peti mati.

Dalam keadaan seperti ini, memang mustahil baginya untuk menerobos balik ke dalam ruang tandunya.

Sekali dia keluar meninggalkan tandu, orang lain tak akan memberi kesempatan lagi baginya untuk balik kembali ke tandu andalannya itu.

Kini dia merasa gusar, tapi juga merasa amat sedih.

Dapat dimaklumi bagaimana perasaannya saat ini, sebagai seorang yang cacad kaki, memang tidak mudah baginya untuk menghadapi sekian banyak jago tangguh yang buas bagaikan serigala itu.

Auyang Toa menggoyang kipasnya dan Tok Ku-wi menenteng tombaknya langkah demi langkah berjalan mendekat, lalu satu di kiri dan yang lain di kanan berdiri berjaga di tepi tandu.

"Sun si pejalan bawah tanah?"

"Tajam amat pandangan matamu, benar, akulah Sun Putkiong," jawab orang dalam tandu sambil tertawa keras, kemudian tirai disingkap dan seorang manusia cebol berwajah coklat, bertangan putih dan memelihara kumis tikus menampakkan diri.

Setelah berhenti sejenak, kembali ia berkata, "Tandumu sangat hebat, pajangannya tidak kalah dengan sebuah istana berjalan."

Hawa napsu membunuh berkelebat dari balik mata si Tanpa perasaan, dia seperti ingin mengucapkan sesuatu tapi kemudian diurungkan.

Tok Ku-wi kembali berseru sambil tertawa, "Seandainya Leng Liu-peng tahu kalau kau sudah keluar dari tandu, mungkin dia segera akan balik kemari dan menantangmu untuk berduel." Dalam keadaan tak mampu berjalan, tenaga dalam pun sangat cetek, terpaksa si Tanpa perasaan hanya bisa duduk bersandar di tepi peti mati.

"Saudara Tanpa perasaan, bila kau tidak balik ke tandumu, berdiri terus akan membuat kau lelah," jengek Auyang Toa sambil tertawa.

Tanpa perasaan tertawa dingin, dia sama sekali tidak menggubris sindiran itu, sebaliknya kepada si cebol hardiknya, "Cebol Sun, kau sudah apakan si Darah dingin?"

"Diapakan?" Sun Put-kiong tertawa, "dia sendiri yang datang mengejar kami, ketika aku muncul dari dalam tanah, dia pun kutangkap."

Darah masih meleleh keluar dari baju Tanpa perasaan, tapi badannya gemetar keras bukan lantaran rasa sakit lukanya, luka di hati jauh lebih membuatnya tersiksa.

Tok Ku-wi yang melihat hal itu segera tertawa dingin.

"He, Sun tua, kau jangan menempel emas di wajah sendiri, aku turut punya andil dalam membekuk si Darah dingin"

"Masih ada lagi aku si sepasang uang tembaga," seorang dengan suara parau tak sedap didengar bergema dari suatu tempat yang tak jelas letaknya, "kalian jangan mengangkangi sendiri keberhasilan itu."

Begitu ucapan tadi selesai diutarakan, peti mati yang berada di belakang Tanpa perasaan mendadak terbuka lebar, sesosok mayat kaku melompat keluar dari dalam peti itu, cahaya kuning berkelebat, sepasang sekop sudah menjepit ke arah lengan Tanpa perasaan.

Orang itu masih berdiri di tepi peti mati, perawakannya kurus lagi tinggi sehingga cenderung agak membungkuk, saat itu sepasang sekopnya sudah menjepit sepasang lengan si Tanpa perasaan dari arah belakang hingga memaksa pemuda itu tak sanggup bergerak lagi.

Merah padam sepasang mata Tanpa perasaan saking gusarnya, dengan penuh amarah dia membentak, "Suma Huang-bong Dengan langkah lebar Auyang Toa berjalan ke depan, ujarnya sambil tertawa dan menggoyang kipasnya berulang kali, "Saudara Tanpa perasaan, kali ini kau boleh mati dengan mata meram, kau tahu, untuk membekukmu kali ini siapa saja yang harus dihadirkan? Ada Leng Liu-peng dari Biau, ada Suma-sianseng dari Cap-ji-Iian-huan-wu, ada dua orang murid kesayangan To-yu-sinkun (dewa sakti golok sukma) dari

Siang-san yaitu saudara Sun dan Tok Ku-wi, kemudian ada pula aku si Auyang Toa. Wah, kau mesti berbangga karena ada begitu banyak orang yang mesti ikut beraksi, hahaha

Sambil menenteng tombak emasnya, Tok Ku-wi ikut mendekati si Tanpa perasaan selangkah demi selangkah, ujarnya pula sambil tertawa, "Empat opas kenamaan dari dunia persilatan ... hehehe ... saat ini kemungkinan besar si Pengejar nyawa sudah mampus di tangan Tu Lian, sedang kau...”

"Masih ada lagi si Darah dingin, Lote," sambung si cebol Sun sambil membanting tubuh Darah dingin ke atas tanah, "kami telah berhasil memaksa si Tanpa perasaan keluar dari sarangnya, berarti nilai penggunaanmu sudah habis

Berbicara sampai di situ, kelima jari tangannya segera dipentang lebar, kemudian bagaikan cengkeraman kuku garuda mencengkeram ke bawah.

Waktu itu si Darah dingin hanya bisa membelalakkan mata lebar-lebar, sayang jalan darahnya sudah tertotok hingga dia sama sekali tak mampu berkutik.

Tanpa perasaan sendiri pun tak mampu bergeser sedikitpun karena dia berada dalam cengkeraman Suma Huangbong.

Cengkeraman si cebol Sun segera terhenti di tengah jalan ketika melihat si Darah dingin tidak menunjukkan perasaan takut, dengan heran kembali dia menegur, "Kau tidak takut mati?"

Darah dingin masih juga tidak menjawab, namun sorot matanya dialihkan ke belakang si cebol dan menatapnya tanpa berkedip. Si cebol Sun terkesiap, tanpa sadar ia berpaling ke belakang, mendadak seorang bagaikan hembusan angin topan telah menerjang tiba, sebelum manusia cebol ini sempat melakukan sesuatu tindakan, tahu-tahu badannya sudah kena dirangkul lalu dibanting dengan kuat.

Tubuh si cebol yang kecil pendek itu seketika terlempar ke belakang, langsung menumbuk di atas badan Tok Ku-wi.

Sambil membentak marah Tok Ku-wi menyambut lemparan itu, kedua orang itu seketika saling bertumbukan hingga mundur sejauh tujuh delapan langkah.

Berbareng orang itu sudah meluncur ke arah Suma Huangbong dan menerjang secara hebat.

Menghadapi perubahan yang sangat mendadak dan sama sekali di luar dugaan ini Suma Huang-bong jadi gugup, terpaksa dia tarik kembali senjata sekopnya untuk menghadapi datangnya ancaman.

Auyang Toa tidak tinggal diam, dia memutar kipasnya sambil maju menyongsong kedatangan orang itu.

Waktu itu manusia tadi sedang menerjang ke arah Suma Huang-bong, mendadak di tengah jalan dia berputar arah, kakinya langsung menjejak ujung lain dari peti mati itu.

Sungguh dahsyat jejakan itu, peti mati itu langsung mencelat hingga miring ke samping, padahal waktu itu Suma Huang-bong sedang berbalik badan, dia tak mengira tempatnya berpijak tiba-tiba terguling ke samping, karena tempat berpijaknya hilang, kakinya langsung terjerumus ke dalam peti mati.

Dengan satu gerakan cepat orang itu menyambar penutup peti mati, kemudian ditutupkan ke atas peti mati itu rapatrapat.

Sementara itu Auyang Toa sudah merangsek ke depan, sebuah serangan langsung dilontarkan ke arah orang itu.

Pada saat itulah tampak cahaya tajam berkelebat langsung menerjang ke tubuh Auyang Toa, menghadapi ancaman itu, terpaksa dia kebaskan kipasnya sambil melompat mundur, sebatang pisau terbang tersampuk hingga mencelat ke samping.

Ternyata orang yang melancarkan serangan senjata rahasia itu adalah si Tanpa perasaan.

Ketika orang itu sudah selesai menutup kembali peti mati itu, sebuah pukulan keras segera dilontarkan ke bawah.

Jangan dilihat kayu penutup peti mati itu sangat tebal lagi kuat, jotosan itu ternyata berhasil menjebolnya hingga muncul sebuah lubang besar, tangan orang itu bagaikan sebuah jepitan baja langsung menerobos masuk melalui lubang itu dan mencengkeram tenggorokan Suma Huang-bong.

Sebenarnya kepandaian silat Suma Huang-bong cukup hebat, namun lantaran kakinya terpeleset hingga jatuh ke dalam peti mati, semua kepandaiannya jadi terbelenggu hingga tak mampu digunakan lagi.

Baru saja dia akan melompat bangun, tahu-tahu peti mati ditutup orang, dalam paniknya dia berusaha meronta bangun.

Siapa tahu saat itulah peti mati dihajar orang hingga berlubang, hancuran kayu langsung menghajar wajahnya hingga terluka dan berdarah, belum sempat dia berbuat sesuatu, tahu-tahu tenggorokannya sudah dijepit orang, dalam keadaan begini dia pun mati kutu. 

Tok Ku-wi meraung penuh amarah, setelah melempar tubuh si cebol ke tanah ia siap menerjang ke depan.

Namun hatinya langsung terkesiap sambil menghentikan langkah, ternyata seorang pemuda telah berdiri tegak persis di hadapannya dan saat itu sedang mengawasinya dengan pandangan dingin.

Orang itu adalah si Darah dingin, dalam genggamannya tak ada pedang tapi sudah mencekal sebilah golok panjang yang tadi digunakan si Tanpa perasaan untuk membidik Auyang Toa, ujung golok sudah menempel di atas tenggorokannya.

Tok Ku-wi merasakan seolah kulit tenggorokannya mulai merinding, tanpa sadar bulu kuduknya berdiri.

Saat Tanpa perasaan sedang mengawasi Auyang Toa dengan pandangan dingin, Auyang Toa yang berdiri pada jarak sepuluh langkah di hadapannya tak berani bertindak gegabah lagi, dia hanya berdiri tertegun di situ.

Kemudian terdengarlah si Tanpa perasaan berkata, "Ji-sute, terima kasih atas bantuanmu."

Ternyata manusia itu tak lain adalah si Tangan besi, opas kedua dari empat opas, jagoan yang memiliki sebuah tangan sakti dengan tenaga dalam yang amat sempurna.

Dan dia, ternyata tak lain adalah si tauke pemilik toko peti mati itu.

Waktu itu tangannya masih mencengkeram di atas tenggorokan Suma Huang-bong, sahutnya sambil tertawa, "Aku memang selalu menunggu datangnya kesempatan paling baik!"

Kemudian sorot matanya dialihkan ke atas luka di iga kiri saudara seperguruannya itu.

"Aku tahu," kata Tanpa perasaan, "kami tak akan menyalahkan dirimu, sedang mengenai lukaku ini tidak terlalu me-nguatirkan, kau tak usah kuatir!"

Tindakan yang dilakukan si Tangan besi kali ini boleh dibilang luar biasa sempurnanya, mula-mula dia melempar dulu tubuh si cebol Sun hingga menumbuk Tok Ku-wi, akibat tumbukan itu tombak panjangnya tak dapat menjangkau tubuh si Tanpa perasaan, setelah itu dia menyingkirkan Anyang Toa, kemudian baru menaklukkan Suma Huang-bong di dalam peti mati, dengan terlepasnya si Tanpa perasaan dari ancaman, ancaman Auyang Toa pun dapat diatasi sendiri oleh saudara seperguruannya, setelah itu secepat kilat dia bebaskan totokan si Darah dingin hingga kekuatan mereka jadi bertambah.

Kini si Tanpa perasaan saling berhadapan dengan Auyang Toa, si Tangan besi mencengkeram Suma Huang-bong, si Darah dingin mengawasi gerak-gerik Tok Ku-wi dan si cebol Sun.

Suasana pun berubah jadi hening dan sepi. Beberapa saat kemudian Auyang Toa baru menegur, "Kau adalah si Tangan besi?" "Benar," jawab Tangan besi sambil tertawa. "Hebat benar kepandaian silatmu."

"Terlalu memuji. Tapi asal kau berani turun tangan, maka aku pun bisa memberikan satu jaminan kepadamu."

"Jaminan apa?"

"Asal kau berani bergerak, Suma Huang-bong benar-benar akan masuk kubur!"

"Oya?" paras muka Auyang Toa segera berubah jadi hijau membesi.

Tangan besi kembali tertawa.

"Sebenarnya sih aku tak ingin membunuh Suma Huangbong aku hanya ingin menyeretnya ke pengadilan agar dia di adili menurut hukum. Tapi seandainya kau turun tangan terlebih dulu, terpaksa aku pun harus membantu Toasuhengku, aku tak boleh membiarkan kau melukai saudara seperguruanku itu. Terpaksa aku mesti menghabisi dulu nyawa Suma-sianseng."

Beberapa kali paras muka Auyang Toa berubah hebat, tapi akhirnya dia tak berani bergerak lagi.

Auyang Toa memang dapat melihat bagaimana darah masih mengucur keluar dari luka si Tanpa perasaan, jika ingin membunuh orang itu, sekaranglah saat yang paling tepat, apalagi si Tanpa perasaan sudah meninggalkan tandunya.

Tapi beberapa patah kata si Tangan besi membuatnya mati kutu, dia tahu bila dirinya bersikeras turun tangan, hal ini sama artinya membiarkan Suma Huang-bong mati duluan, padahal dia sendiri tidak yakin apakah serangannya akan berhasil membunuh si Tanpa perasaan.

Karena Auyang Toa tidak menyerang, Tok Ku-wi terlebih tak berani berkutik.

Dengan suara hambar kembali Tanpa perasaan berkata, "Ji-sute, aku lihat ilmu menyaru mukamu makin sempurna, tadi aku masih mengira kau adalah musuh."

Tangan besi tertawa. "Bukan ilmu menyaru mukaku yang bertambah sempurna, mungkin sejak lahir aku memang punya tampang jadi tauke penjual peti mati."

Bicara sampai di sini ia segera berpaling ke arah Suma Huang-bong dan tertawa.

Hampir meledak dada Suma Huang-bong saking dongkolnya, namun ia tak berani bertindak gegabah, maka tubuhnya sama sekali tak bergerak.

Selama hidupnya Suma Huang-bong paling senang bergumul di antara barang-barang keperluan orang mati, seperti kuburan, peti mati dan lain sebagainya, tapi dia justru ditangkap musuh di dalam peti mati, bisa dibayangkan bagaimana perasaan hatinya sekarang.

Dengan pandangan ketus si Darah dingin mengawasi Tok Ku-wi, lalu katanya, "Rupanya selain Si Ku-pei, Bu Seng-tang, Bu Seng-say, Kwan-loyacu, Thio Si-au, Mo-sam Ha-ha dan Sebun-kongcu bertujuh yang sudah mampus, kini tersisa kalian berenam yaitu Tok Ku-wi, si cebol Sun, Auyang Toa, Suma Huang-bong, Leng Liu-peng dan Tu Lian?"

Merah padam muka Tok Ku-wi lantaran mendongkol, teriaknya gusar, "Mau apa kau menanyakan hal ini? Kau sedang menanyai aku? Atas dasar apa aku mesti beritahu padamu?"

"Sayang bokonganmu di kuburan tempo hari tidak kena sasaran, tusukan tombakmu kurang hebat," jengek si Darah dingin ketus.

"Kemarin malam pandanganku memang agak kabur hingga tidak melihat jelas, tapi hari ini aku bisa melihat lebih tajam lagi," sahut Tok Ku-wi sambil menarik kembali sinar matanya.

"Betul, hari ini kita berdua bisa melihat lebih jelas, ini baru adil namanya," kata si Darah dingin lagi.

Sementara pembicaraan berlangsung, ujung tombak dan mata golok telah dipersiapkan.

"Blam!", mendadak terdengar suara benturan keras, menyusul tampak peti mati itu melambung ke udara. Tangan besi terperanjat, tiba-tiba ia melihat sepasang tangan muncul dari dalam tanah dan secepat kilat mencengkeram sepasang kakinya.

Menghadapi ancaman seperti ini, mau.tak mau si Tangan besi harus melejit ke udara, peti mati itupun langsung bergeser ke samping.

Belum lagi peti mati itu menyentuh tanah, Suma Huangbong sudah melompat keluar, sambil meraung kalap dia putar sepasang sekopnya menghantam jalan darah Tay-hiang-hiat di kening kiri dan kanan si Tangan besi.

Tentu saja peti mati itu tak bisa terbang sendiri, apalagi Suma Huang-bong tidak memiliki kemampuan sehebat itu.

Peti mati itu didorong ke udara oleh seorang dari dalam tanah, diangkat lalu dilempar ke angkasa.

Dan orang yang muncul dari dalam tanah itu tak lain adalah si cebol yang memang ahli soal menggangsir tanah, Sun Putkiong.

Tentu saja bukan cuma kepalaya yang muncul dari dalam tanah, masih.ada pula sepasang tangannya, tangan yang langsung mencengkeram kaki si Tangan besi.

Dengan cara inilah Darah dingin tertangkap tempo hari. Begitu peti mati mencelat ke udara, si Tangan besi baru terperanjat, segera ia sadar apa yang telah terjadi, saat itulah

dia baru menyesal kenapa telah melupakan Sun Put-kiong. Walaupun tadi dia sudah melemparkan tubuh si cebol,

namun tak sempat menotok jalan darahnya, padahal Sun Putkiong menduduki posisi nomor satu di bawah bimbingan si setan tua dari Kiu-yu, kedudukannya masih di atas Tok Ku-wi, sudah barang tentu dia memiliki ilmu simpanan yang luar biasa.

Kepandaian yang paling diandalkan olehnya selama ini adalah menggangsir tanah, seperti seekor trenggiling, dia bisa menyusup ke dalam tanah lalu tiba-tiba muncul di atas permukaan.

Pada saat Tok Ku-wi mendorong badannya tadi, dia sudah menyusup masuk ke dalam tanah lewat ujung peti mati, maka begitu peti mati itu disundul dengan kepalanya hingga mencelat ke udara, tangannya langsung menyergap kaki lawan.

Untung saja si Tangan besi segera menyadari akan hal itu, tepat pada saat terakhir tubuhnya melejit ke udara.

Namun dengan terjadinya peristiwa itu, Suma Huang-bong pun berhasil meloloskan diri.

Di saat si cebol Sun muncul dari bawah tanah itulah tibatiba si Tanpa perasaan melancarkan serangan, sepasang tangannya diayunkan bersama, tujuh-delapan belas titik cahaya hitam langsung menyergap ke tubuh Auyang Toa.

Serangan ini muncul secara mendadak dan di luar perkiraan siapa pun, dengan perasaan terkejut Auyang Toa memutar kipasnya berulang kali, dengan menepuk, menutul, membentur dan menangkis dia hajar semua senjata rahasia itu hingga mencelat ke samping.

Tapi pada saat itulah si Tanpa perasaan menepuk tangannya ke tanah dan segera menyelinap masuk ke dalam tandunya.

Menanti Auyang Toa berusaha mencegah, keadaan sudah terlambat.

Sementara kejadian itu berlangsung, dua peristiwa besar terjadi pada saat yang bersamaan. Seorang gadis tiba-tiba muncul di depan pintu kedai, sedang yang lain adalah Suma Huang-bong siap melancarkan serangan ke arah si Tangan besi.

"Semuanya berhenti!" Auyang Toa segera membentak. Seketika suasana di dalam toko peti mati itu jadi hening,

sepi dan tak terdengar suara lagi.

Sesaat kemudian terdengar gadis itu berkata dengan suaranya manja, "Aduh, kenapa begitu aku datang, kalian semua malah berlaku sungkan?"

Tangan besi, Tanpa perasaan dan Darah dingin segera berpaling, namun paras muka mereka seketika berubah hebat.

Tampak nona itu berjalan masuk dengan tangan kanan memegang senjata berbentuk bunga teratai, sementara tangan kirinya memayang seorang lelaki setengah umur dalam keadaan tidak sadar.

"Jadi kau adalah si Bunga teratai beracun Tu Lian?" tegur si Tangan besi gusar.

"Benar, memang aku si nona yang kau maksud," kata Tu Lian tertawa.

"Apa yang hendak kau perbuat terhadap si Pengejar nyawa?"

"Itu kan tergantung bagaimana kalian bersikap."

Sementara itu Auyang Toa sudah tertawa terbahak-bahak sambil memuji, "Tu-hiangcu, hebat perbuatanmu, hebat sekali!"

Kemudian sambil berpaling ke arah para jago lainnya, ia menambahkan, "Bagus sekali, sekarang nyawa si Pengejar nyawa sudah berada dalam genggaman kami, bila kalian ingin menyelamatkan jiwanya, datanglah ke lembah kami malam nanti dan kita bersua di depan telaga Bu-tok-tham, selewat malam ini, kami tidak tanggung keselamatan jiwanya."

Selesai berkata dia segera beranjak pergi dengan langkah lebar, Tu Lian tertawa getir dan menyusul di belakangnya.

Suma Huang-bong, si cebol Sun dan Tok Ku-wi nampak tertegun, tapi akhirnya mereka pun menyusul di belakangnya.

Dengan kening berkerut si Darah dingin siap melakukan pengejaran, tapi segera dicegah si Tangan besi, sambil menarik tangannya ia berbisik, "Jangan gegabah!"

Dengan langkah lebar Auyang Toa berjalan keluar dari toko itu, baru mencapai jalan raya, Suma Huang-bong telah menyusulnya, dengan perasaan tak habis mengerti Tu kian segera menegur, "Sekarang kita berada di atas angin, apalagi kita masih mempunyai sandera yang bisa digunakan sebagai ancaman, kenapa bukannya bertempur habis-habisan kita malah mundur?"

Auyang Toa hanya menggelengkan kepala sambil tertawa.

Dengan geram Suma Huang-bong mendepakkan kaki ke tanah, lalu teriaknya sangat marah, "Hari ini kau mesti memberi penjelasan kepadaku, kenapa kesempatan sebaik ini kau buang begitu saja?"

Sambil melanjutkan langkahnya, jawab Auyang Toa, "Sepintas tampaknya kita memang berada di atas angin, posisi memang menguntungkan pihak kita, tapi aku ingin bertanya, yakinkah kau bisa menangkan si Tangan besi?"

Suma Huang-bong tertegun, tapi segera sahutnya, "Kalau mesti satu lawan satu, rasanya sulit untuk dikatakan, tapi jika dibantu Sun-lotoa, aku rasa tidak sulit untuk membunuh bajingan itu."

"Baiklah, anggap saja kau dan Sun-lotoa sanggup menghadapi si Tangan besi, Tok Ku-wi l.oji menghadapi si Darah dingin, sedang aku dan Tu-niocu belum tentu berhasil menjebol tandu yang dihuni si Tanpa perasaan."

"Sangat masuk di akal, sangat masuk di akal," Tok Ku-wi wi menimbrung, "sekalipun begitu, tidak seharusnya kau buang kesempatan baik ini begitu saja, paling tidak kita masih punya kesempatan untuk menang!"

Mendadak si cebol Sun berkata, "Aku pikir Auyang Toako bukannya bermaksud melepas peluang ini, tapi dia ingin menciptakan satu peluang lain yang jauh lebih besar."

"Oya?"

Auyang Toa seketika tertawa tergelak.

"Hahaha ... betul sekali, kelihatannya hanya Sun-lotoa yang bisa menyelami jalan pikiranku."

Kemudian setelah berpaling ke arah Tok Ku-wi, lanjutnya, "Jangan lupa si Pengejar nyawa masih berada di tangan kita, malam ini mereka pasti akan datang menolong karena urusan itu dianggap sangat penting, jadi menurut pendapatku mereka akan mengerahkan segenap kekuatan yang dipunyai untuk melakukan pertolongan, dalam keadaan tergesa-gesa tak sempat lagi mereka untuk mengundang bala bantuan, asal yang datang hanya tiga orang Auyang Toa tertawa seram, lalu melanjutkan, "belum termasuk kekuatan kita semua, cukup mengandalkan alat rahasia yang ada di lembah Auyang pun sudah lebih dari cukup untuk mencabut nyawa mereka. Jadi kau pilih mana?"

Suma Huang-bong tidak dapat bicara lagi, dia segera terbungkam.

"Apa yang kita lakukan jika malam nanti Cukat-sianseng ikut datang?" tiba-tiba Sun Put-kiong bertanya.

Dengan cepat Auyang Toa menggeleng kepala berulang kali, jawabnya sambil tertawa, "Kemungkinan besar sang ketua sudah mulai bergerak saat ini, aku pikir sudah tak ada waktu lagi bagi Cukat-sianseng untuk ikut mencampuri urusan ini."

"Betulkah alat rahasia yang terpasang di lembah Auyang sangat tangguh seperti apa yang kau katakan?" tanya Tok Kuwi.

"Kalau soal itu kau tak usah kuatir" seru si cebol Sun sambil tertawa dingin.

"Kenapa?"

"Sebab lembah Auyang merupakan jalan mundur yang dipersiapkan sang ketua, seluruh alat rahasia dan jebakan yang ada di sana dirancang, dipersiapkan dan dipasang sendiri oleh sang ketua bersama guruku."

Setelah mendengar penuturan si cebol Sun, Suma Huangbong pun tenang kembali.

Sampai dimana kehebatan ilmu silat dan kecerdasan yang dimiliki sang ketua, semua orang sudah tahu dan merasa sangat yakin, ilmu barisan Ngo-heng-tin dari Kiu-yu-sinkun sang malaikat sakti dari Kiu-yu juga tak terbantahkan. Maka komplotan Suma Huang-bong saat ini seolah sedang melihat dan mendengar jerit kesakitan, teriakan minta tolong si Tanpa perasaan, si Darah dingin dan si Tangan besi....

Suasana remang sudah mulai menyelimuti langit di luar toko peti mati, bianglala senja membias di udara, burung gagak mulai terbang kembali ke sarangnya, bayangan tubuh rombongan Auyang Toa pun sudah lama lenyap di kejauhan sana. Saat itulah si Darah dingin bertanya, "Kenapa tidak kita kejar?"

Di balik senja yang mencekam, nada suaranya terdengar begitu murung, begitu letih.

"Kau sudah terluka?" seru si Tangan besi.

"Tidak, karena mereka akan menggunakan diriku sebagai umpan agar bisa memaksa Toa-suheng tinggalkan tandunya, selain itu mereka pun menganggap aku serta Toa-suheng tak bakal lolos dari cengkeraman mereka, maka selama ini aku tak pernah dicelakai, walau begitu, totokan jalan darah semalam suntuk cukup membuat tubuhku amat lelah."

"Syukurlah kalau tidak terluka," kata si Tanpa perasaan, "kini si Pengejar nyawa sudah terjatuh ke tangan mereka, apabila kita gunakan kekerasan untuk merebutnya sekarang, bagaimana pun juga kemungkinan besar Sam-sute yang bakal celaka."

"Tapi kau sudah terluka dan kondisi badanku lemah, padahal kita mesti berangkat ke lembah Auyang, tahukah kau apa nama lain dari lembah itu?"

"Lembah penggaet sukma!"

"Jauh sebelum kita terjun ke dunia persilatan, tahukah kau apa yang menyebabkan kematian Jian-li-sin-eng si elang sakti ribuan li, si opas kenamaan dari Khong-ciu dan Sian-yan Thianhong?" tanya si Darah dingin lebih jauh.

"Gara-gara mengejar seorang bajingan yang berkhianat kepada kerajaan, Sian-yan Locianpwe mati karena menyentuh alat perangkap."

"Dia mati dimana?" "Dalam lembah Auyang."

"Sekarang kita harus menolong Sam-suheng di sana, bukan saja harus menempuh perjalanan jauh, kondisi kita sendiri pun sedang lemah, bukankah kepergian kita sama halnya dengan mengantar kematian?"

"Siapa bilang kita baru akan turun tangan setibanya di sana?" "Benar," sambung si Tangan besi, "seharusnya tadi kita segera berangkat untuk melakukan pengejaran, bila perlu kita serang Auyang Toa habis-habisan. Tapi sekarang..”

"Sekarangpun kita bisa mengejar secara diam-diam," kata si Darah dingin tergerak hatinya, "lalu kita tunggu kesempatan baik baru turun tangan

"Ya. Meskipun pada akhirnya tidak menemukan kesempatan seperti itu, paling tidak kita bisa membuntuti mereka serta melewati setiap alat jebakan dengan lebih aman," terus si Tangan besi sambil tertawa.

"Aku rasa persoalan ini tak bisa ditunda lagi, kita harus segera menguntit mereka."

"Toa-suheng kurang leluasa ikut dalam penguntitan ini, lebih baik dia menjadi penghubung saja."

Tanpa perasaan menundukkan kepala memperhatikan kaki sendiri, lalu bisiknya, "Tentu saja aku tak bisa ikut, kalau begitu biarlah kita berhubungan sepanjang jalan dengan menggunakan kode rahasia."

"Baik," si Tangan besi segera menjura, "kami segera berangkat, semoga Toa-suheng bisa baik-baik menjaga diri!"

Ketika berada dua puluh dua li dari lembah Auyang, rombongan Auyang Toa yang telah menempuh perjalanan jauh sedang bersiap untuk istirahat.

Saat itulah Tu Lian berkata, "Auyang-kokcu, dimana kau akan mengurung si Pengejar nyawa?"

"Rawa Bu-tok-tham," sahut Auyang Toa sambil tertawa keras, "hanya di tempat itu dengan gampang kita bisa mengirim nyawa mereka terkubur di dasar Rawa."

"Menurut pendapatmu, apakah si Tanpa perasaan dan lainnya pasti akan datang kemari?"

"Mereka adalah kawanan pendekar yang mengutamakan kesetia kawanan, biar nyawa dijadikan taruhan juga mereka pasti akan datang untuk menolong si Pengejar nyawa."

"Bila Tanpa perasaan, si Tangan besi dan si Darah dingin pasti akan datang memenuhi janji, berarti si Pengejar nyawa tidak mesti dalam keadaan hidup." "Maksudmu...”

"Kita bunuh saja daripada meninggalkan bibit penyakit di kemudian hari" seru Tu Lian dengan wajah hijau membesi.

"Tidak boleh." "Kenapa?"

"Jika si Pengejar nyawa sudah jadi mayat, Tanpa perasaan dan lainnya pasti akan mengetahui hal ini, dan belum tentu mereka mau mempertaruhkan nyawa untuk menyeberangi rawa."

"Selain itu," sambung si cebol Sun, "bila sekarang juga kita bunuh si Pengejar nyawa, bisa jadi mereka yang menguntit akan segera mengadu jiwa dengan kita."

"Mereka menguntit?" gumam Tok Ku-wi melengak.

"Benar. Paling tidak di antara si Tanpa perasaan, si Tangan besi dan si Darah dingin, pasti ada dua orang yang menguntit kita secara diam-diam."

"Kenapa aku tidak mendengar apa-apa?"

"Sebab ilmu meringankan tubuh mereka sangat hebat, aku sendiri pun tidak mendengar apa-apa," kata si cebol Sun.

Kemudian setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Tapi aku dapat menebaknya."

Suma Huang-bong mendengus dingin.

"Kalau akan dibunuh, siapa pun yang datang juga percuma, tak seorang pun dapat menyelamatkannya."

Sambil berkata, dengan ibu jari dan jari telunjuknya dia melakukan sentilan ke udara.

"Betul" Tu Lian segera menyambung, "Sam-tiang-lenggong-soh-ho-ci (ilmu jari tiga kaki menembus angkasa mengunci tenggorokan) saudara Suma sangat hebat, si Tangan besi mau mencegah pun tak ada gunanya.

Persoalannya adalah perlukah kita membunuhnya sekarang?" "Asal setiap gempuran kita mendatangkan hasil, tidak ada salahnya kita bunuh dulu si Pengejar nyawa, berarti kita kehi-

angan seorang musuh tangguh, kemudian baru kita bantai kedua orang penguntit itu," tiba-tiba si cebol Sun berkata. "Betul," Suma Huang-bong mengerling sekejap ke arah Auyang Toa, "dengan demikian, kita pun tak usah mengganggu alat jebakan yang ada di lembah Auyang lagi."

Auyang Toa tertawa getir.

"Baiklah kalau begitu," katanya, "jika aku tak setuju, kalian bisa mencurigai aku punya maksud lain."

"Ucapan saudara Auyang kelewatan," ujar si cebol Sun hambar, "selama ini ketua selalu menganggap Kokcu bagaikan lengan kiri dan lengan kanannya, bahkan bertanggung jawab untuk mengadakan kontak dengan kami, mana berani kami menaruh curiga kepada Kokcu?"

Dalam pada itu Suma Huang-bong sudah merentangkan kesepuluh jari tangannya, diiringi suara gemerutuk seperti kayu yang dibelah, dia siap melancarkan serangan mematikan.

Pada saat itulah tampak sesosok tubuh manusia melayang bagai seekor burung elang, tanpa menimbulkan sedikit suara pun orang itu melayang turun persis di hadapan orang banyak.

Tanpa banyak pikir Tok Ku-wi segera menggetarkan tombaknya, siap melancarkan tusukan.

"Jangan, yang datang adalah saudara Leng!" cegah si cebol Sun segera.

Leng Liu-peng tertawa hambar, dia tetap tidak berkatakata. "Bagus sekali Leng si tanpa golok," Tok Ku-wi segera mengumpat, "tadi kami harus bertarung mati-matian dalam toko peti mati, sebaliknya kau pergi dengan santai, kau memang hebat, kau memang luar biasa!"

Tadi sewaktu berada dalam toko peti mati, bila Leng Liupeng tidak pergi meninggalkan tempat itu, dengan kekuatan komplotan Auyang Toa, paling tidak mereka sudah punya kesempatan untuk menangkan pertarungan itu, dan sejak tadi pula Auyang Toa mungkin sudah turun tangan.

Leng Liu-peng tertawa hambar, katanya perlahan, "Itulah sebabnya aku khusus kemari untuk menghaturkan permintaan maaf, harap kalian jangan marah lagi." Kakek tanpa golok Leng Liu-peng sudah terkenal karena wataknya yang aneh, tapi ilmu goloknya sangat hebat dan sudah mencapai tingkat sempurna, dia jarang mau tunduk kepada orang, tapi kini, secara terbuka dia minta maaf, tentu saja Tok Ku-wi sekalian jadi tak enak untuk memojokkannya lebih jauh.

Sambil tertawa Tu Lian segera berkata, "Saudara Leng tak usah banyak adat, tak mau mengembut musuh dengan jumlah banyak memang merupakan tindakan seorang ksatria, justru kami yang merasa malu."

Nada suaranya penuh mengandung sindiran yang tak sedap didengar.

Padahal Leng Liu-peng sangat berangasan dan kasar, biasanya dia gampang naik darah, tapi kali ini dia justru bersikap amat tenang, dengan tenang katanya, "Aku datang karena ingin meminjam orang."

"Pinjam orang?" Auyang Toa mulai merasakan gelagat tidak beres.

"Betul, mau pinjam seseorang," senyuman Leng Liu-peng sangat tenang dan wajar, "asal aku masih hidup, hutang ini pasti akan kubayar."

"Siapa yang hendak kau pinjam?" tanya si cebol Sun keheranan.

"Dia!" sambil menjawab Leng Liu-peng menuding ke tempat jauh.

Tanpa terasa si cebol Sun dan Auyang Toa berpaling, namun hanya kegelapan malam yang nampak di situ, bukan saja tak nampak seorang manusia pun, bayangan pun tidak kelihatan.

Pada saat itulah tubuh Leng Liu-peng sudah melambung ke udara, di antara kilatan cahaya yang muncul dari balik tangannya, dia serang Tok Ku-wi dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya menyerang Tu Lian.

Si Bunga teratai beracun tidak menyangka dirinya diserang, karena tak sempat melawan dengan senjata teratai beracunnya, terpaksa dia sambut datangnya serangan dengan telapak tangan kirinya.

Siapa tahu tiga jurus serangan yang dilancarkan Leng Liupeng mengandung tiga gerakan setiap jurusnya, berarti da sudah melepaskan dua puluh enam jurus serangan.

Ketika Tu Lian selesai menyambut serangan kedua puluh tujuh, tubuhnya sudah dipaksa mundur sejauh tujuh langkah.

Cahaya tajam yang muncul dari tangan kanan Leng Liupeng langsung mengarah tenggorokan Tok Ku-wi, karena tombaknya kelewat panjang, ia tak sempat menangkis ancaman itu, lekas badannya berbongkok untuk menghindarkan diri.

Menggunakan kesempatan itu, Leng Liu-peng segera melepaskan tendangan mengarah punggung si Pengejar nyawa.

Berubah hebat paras muka Suma Huang-bong, bentaknya, "Leng tanpa golok, kau cari mampus!"

Ilmu Sam-tiang-leng-gong-soh-ho-ci (tiga kaki menembus angkasa mengunci tenggorokan) segera disentil ke depan, dua gulung desingan angin tajam langsung melesat ke depan menghajar tenggorokan lawan.

Ketika babatan golok Leng Liu-peng menyambar, Tok Ku-wi segera menundukkan kepala menghindar, saat itulah Leng Liupeng menendang punggung si Pengejar nyawa, sementara tangan kirinya mendesak mundur Tu Lian, semua gerakan ini dilakukan hampir pada saat bersamaan.

Ketika dua desingan angin tajam dari Suma Huang-bong meluncur tiba, cahaya tajam kembali berkilat dari tangannya dan meluncur ke udara menyongsong datangnya ancaman.

"Duk, duk!", desingan jari tangan segera terpapas kutung, saat itulah Leng Liu-peng sudah menyambar tubuh si Pengejar nyawa lalu melambung ke udara, setelah menghindar dari sapuan kipas Auyang Toa, dia tarik kembali cahaya tajam yang berkilat di udara dan melesat pergi dari situ.

Si cebol Sun membentak keras, secepat sambaran kilat dia cengkeram sepasang kaki Leng Liu-peng. "Kalian sudah tidak mau nyawa si Pengejar nyawa?" tibatiba Leng Liu-peng mengancam.

Baru saja teriak itu bergema, mendadak dari atas sebatang pohon meluncur datang sesosok bayangan manusia, sepasang tinju bajanya langsung dihantamkan ke atas pergelangan tangan si cebol.

Merasakan datangnya ancaman yang begitu hebat, terpaksa si cebol Sun menarik kembali tangannya, mendadak ia mencengkeram dada orang itu.

Sekali lagi orang itu berganti jurus, kali ini sepasang tinjunya mengancam sepasang iga lawan, jelas jurus serangan semacam ini merupakan jurus serangan mengadu jiwa.

Tentu saja si cebol Sun tak ingin mati konyol, terpaksa dia tarik kembali ancamannya sambil melompat mundur

Menggunakan kesempatan itu, orang itu segera membalikkan badan dan kabur dari situ.

Auyang Toa membentak gusar, tubuhnya melambung ke udara, kipasnya langsung disodokkan ke jalan darah Tayyang-hiat di kening orang itu.

Mendadak dari sisi lain berkelebat cahaya tajam, sinar dingin itu langsung mengancam tenggorokannya.

Lekas Auyang Toa menarik kembali kipasnya sambil dipentang lebar di depan lehernya, "Crit!", pedang itu langsung menusuk di atas kipasnya.

Ternyata tusukan itu tidak berhasil menembus permukaan kipas, sebaliknya Auyang Toa sendiri juga dipaksa mundur ke belakang.

Begitu musuhnya mundur, orang itu menarik kembali pedangnya lalu balik badan dan kabur dari situ.

"Lihat serangan!" hampir bersamaan Tu Lian dan Tok Ku-wi membentak keras.

Dari balik senjata bunga teratainya tampak berpuluh titik cahaya biru menyembur ke depan dengan dahsyatnya.

Tapi gerakan tubuh kedua orang itu sangat cepat, hanya dalam waktu singkat bayangan mereka sudah lenyap dari pandangan mata. Suma Huang-bong hendak mengejar, namun sudah terlambat.

Merah padam wajah Auyang Toa saking jengkelnya, dengan penuh kebencian dia mengumpat, "Leng ... Liu ... Peng ... kau si pengkhianat!"

Sementara Tok Ku-wi sedang mengawasi arah dimana bayangan tadi lenyap dengan pandangan termangu, gumamnya, "Ternyata Leng si tanpa golok sudah bergabung dengan Cukat-sianseng ... ternyata mereka satu komplotan

...!"

"Tidak mungkin, tidak mungkin," seru si Cebol Sun dengan kening berkerut, "tampaknya mereka tidak mirip!"

"Betul, dua orang yang muncul terakhir memiliki kungfu yang sangat hebat," sambung Tu Lian cepat.

Auyang Toa melotot sekejap ke arah perempuan itu, kemudian ujarnya, "Walaupun gerakan tubuh orang pertama sangat cepat, tapi aku masih dapat mengenalnya, dia adalah si Tangan besi!"

"Benar, setelah diamati lebih teliti, aku pun merasa orang kedua mirip dengan si Darah dingin!" sambung Tok Ku-wi.

Tu Lian tidak berkata apa-apa, dia berjalan ke muka dan memungut senjata rahasianya satu per satu, setelah termenung sejenak, dia mendongakkan kepala dan berkata, "Ayo kita kejar mereka."

"Memangnya bisa disusul?"

"Tadi aku melepaskan dua puluh tiga jenis senjata rahasia, satu di antaranya meledak secara otomatis di tengah jalan dan menyemburkan tiga jenis senjata rahasia kecil, berarti jumlah keseluruhan adalah dua puluh enam senjata rahasia."

Kemudian sambil memperlihatkan senjata rahasianya yang lebih lembut dari bulu di atas telapak tangannya ia melanjutkan, "Sekarang yang tersisa tinggal dua puluh lima senjata rahasia, di antaranya dari tiga jenis Am-gi terkecil, ada satu yang tidak ditemukan. Padahal yang kuserang si Tangan besi, dia hanya menghindar dengan gerakan tubuhnya, sama sekali tidak berusaha menangkapnya." "Maksudmu si Tangan besi sudah terhajar oleh senjata rahasiamu?" tanya si cebol Sun.

"Sekalipun sudah terhajar telak, memangnya senjata rahasia sekecil itu bisa berbuat apa terhadapnya?" sambung Suma Huang-bong.

Tu Lian segera menarik wajahnya, dengan ketus dia berkata, "Suma-sianseng, tahukah kau apa yang menyebabkan kema-tian keempat puluh dua jiwa di Huangho-piau-kiok?"

"Memangnya?" Suma Huang-bong tertawa paksa.

Sambil menunjukkan jarum lembut yang berada di telapak tangan kirinya, Tu Lian berkata, "Aku hanya melemparkan sebatang jarum seperti ini ke dalam sumur mereka, akibatnya mereka pun mampus semua."

Lalu sambil membuat angka empat dan dua dengan jari tangannya, ia menambahkan, "Empat... puluh ... dua ... jiwa!"

Meskipun sepanjang hidupnya Suma Huang-bong sudah terbiasa membunuh orang, tak urung hatinya bergidik juga menyaksikan tingkah Tu Lian.

Terdengar perempuan kejam itu berkata lagi, "Aku sengaja membunuh mereka karena Congpiautau perusahaan Huangho-piau-kiok itu, Ui Jit-hay, pernah sesumbar dia tidak takut dengan racunku si Bunga teratai beracun Tu Lian!"

Ucapan yang pertama bermaksud untuk membuktikan kalau senjata rahasianya sangat beracun, tapi ucapannya yang terakhir jelas sengaja ditujukan kepada Suma Huang-bong."

Lekas Auyang Toa melerai sambil tertawa tergelak, "Untung saja nona Tu telah melepaskan senjata rahasia, mari kita segera mengejar si Tangan besi."

"Betul!" sambung Tok Ku-wi sambil tertawa dingin, pelanpelan dia menyeret tombaknya ke belakang, kemudian terusnya, "mumpung mereka belum pergi terlalu jauh."

Di ujung mata tombaknya terlihat bercak darah yang belum mengering.

Si cebol sun segera bertanya, "Siapa yang telah kau tusuk tadi?" "Darah dingin!"

Darah dingin! 

0oo0 Sambil berlari kencang si Tangan besi memperhatikan keadaan si Darah dingin, tiba-tiba ia berhenti berlari, sambil me-mayang tubuh si Darah dingin tegurnya cemas, "Kau terluka?"

"Tidak!"

"Lantas darimana datangnya darah di tubuhmu?" Darah dingin tertawa dingin.

"Tempo hari, ketika sedang mengejar Suma Huang-bong aku pernah mencicipi kehebatan tombak panjang Tok Ku-wi."

Sambil berkata dia mengeluarkan sebuah bungkusan kain dari sakunya, kain itu penuh berlepotan darah, katanya lebih jauh, "Tadi aku memang sengaja merobek kain ini lalu memoleskan sedikit darah di ujung tombaknya, darah babi!"

"Ah, tak kusangka, dalam keadaan begini pun kau masih sempat berbuat jahil" seru si Tangan besi.

"Bukan, aku tidak bermaksud jahil" bantah si Darah dingin cepat, "aku memang sengaja berbuat begitu agar mereka salah mengira kita sudah terluka, kemudian melakukan pengejaran terhadap kita. Asal kita sebar bercak darah dimana-mana, mereka pasti akan melacak terus jejak kita.

Dengan berbuat demikian Toa-suheng baru terhindar dari kawanan bandit itu."

Setelah berhenti sejenak, mencorong sinar pembunuhan dari balik matanya, lanjutnya, "Apalagi mereka mengira kita sudah terluka, kewaspadaan mereka pasti mengendor, kita bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk membunuh mereka satu per satu "

Dengan pandangan dalam si Tangan besi mengawasi Darah dingin sekejap, kemudian serunya sambil tertawa tergelak, "Hahaha ... Su-sute, tampaknya pengalamanmu maju pesat, aku merasa ketinggalan darimu." Baru saja si Darah dingin akan menyangkal, tiba-tiba sekujur tubuhnya jadi kaku, serunya tertahan, "Kau sudah terkena senjata rahasia beracun si Bunga teratai beracun?"

Tangan besi berpaling dan mengawasi lengan kiri sendiri, betul juga, sebatang jarum kecil berwarna hijau pupus menancap di tempat itu, dia segera mengerahkan tenaga dalamnya, jarum lembut itu tergetar keras lalu mencelat dan terjatuh ke tepi jalan. Seketika itu juga rerumputan di sekeliling tempat itu berubah jadi kuning layu, seakan terbakar oleh api.

Melihat itu si Tangan besi berseru tertahan, "Wouw, jahat benar racun senjata rahasia ini."

"Apakah kau keracunan?" tegur Darah dingin sangsi.

Kembali si Tangan besi tertawa tergelak, sambil menggerakkan sepasang lengannya ia berseru, "Su-sute, masih ingat dengan julukanku?"

"Sepasang lengan bagai tembaga, kebal racun kebal senjata, mampu menghancurkan emas melumat cadas, kau adalah si Tangan baja!"

"Itulah, biar racun yang dipoleskan di ujung senjata rahasianya sepuluh kali lipat lebih jahat pun bagiku sama saja

... tak berguna ..."

Kemudian setelah menghela napas panjang, terusnya, "Masih untung senjata rahasia itu mengenai lenganku, coba kalau tidak..."

"Coba kalau aku yang terkena senjata rahasia itu, mungkin saat ini aku sudah jadi mayat," sambung si Darah dingin, "aku memang tidak memiliki tangan baja seperti yang dimiliki Jisuheng."

Si Tangan besi tertawa.

"Sebaliknya jika tusukan tombak Tok Ku-wi itu ditujukan kepadaku," katanya, "tanpa pengalaman apapun dalam menghadapi tusukan tombaknya, mungkin keadaanku saat ini jauh lebih parah ketimbang terkena senjata rahasia si Bunga teratai beracun!" Bicara sampai di sini ia mulai menggerakkan tubuhnya lagi, ujarnya, "Ayo kita lanjutkan pelarian ini, sebentar lagi komplotan Auyang Toa pasti akan menyusul kemari."

Sambil berlari menyusul di samping rekannya, Darah dingin berkata lagi, "Ji-suheng, menurut pendapatmu mengapa Leng Liu-peng menyelamatkan Sam-suheng?"

"Aku sendiri pun tidak tahu apa alasannya. Menurut apa yang kuketahui, selama ini Sam-sute tak pernah berhubungan dengan Leng Liu-peng, jadi menurut perkiraanku, pertolongan ini belum tentu didasari niat baik."

"Sekarang kita pun tak tahu harus menemukan Leng Liupeng dimana!"

"Tapi ada satu hal bisa dipastikan, paling tidak Sam-sute jauh lebih baik terjatuh ke tangan Leng Liu-peng ketimbang berada di tangan Auyang Toa."

"Sayang kita belum tahu apa maksud tujuan Leng Liupeng?"

"Ingat, Leng Liu-peng pernah membokong Toa-suheng!" "Menurut dugaanku Leng Liu-peng tak bakal mengambil jalan balik, dia pasti berusaha menghindari Toa-suheng, mari

kita mengejar dari arah sini saja, mungkin inilah arah yang ditempuh Leng Liu-peng, di samping itu kita pun bisa menghindari orang yang mengejar kita."

"Toa-suheng cerdas dan cekatan, sayang kondisi badannya kurang baik, sepasang kakinya pun cacad, sedikit banyak dia gampang menderita kerugian," gumam si Tangan besi.

Bukan hanya si Tanpa perasaan yang cerdas dan cekatan, si Tangan besi dan Darah dingin pun termasuk jagoan yang mahir dalam bun maupun bu.

Tapi sayang kali ini dugaan mereka keliru besar.

Dengan sekuat tenaga mereka berlari terus, sampai lama sekali belum mereka temukan bayangan tubuh Leng Liu-peng, menanti mereka sadar gelagat tidak menguntungkan, keadaan sudah terlambat.

Leng Liu-peng berhasil menghadang si Tanpa perasaan. "Siapa di situ?" hardik Tanpa perasaan dengan suara dingin.

Sepasang tangannya yang berada dalam tandu sudah memegang tombol kedua puluh empat alat jebakannya, senjata rahasia pun sudah dalam genggaman dan siap dilancarkan, dalam keadaan demikian jangan kan manusia, seekor lalat pun jangan harap bisa terbang lewat tempat itu dengan selamat.

Ia bersikap begitu tegang karena dia tahu si pendatang adalah seorang jago persilatan yang berilmu tinggi.

Sepanjang perjalanan dia bergerak dengan mengikuti kode rahasia yang ditinggalkan si Tangan besi dan Darah dingin, ketika tiba di tepi hutan dia segera menangkap suara langkah kaki manusia yang sangat ringan, selain enteng juga sangat cepat.

Begitu mendengar suara langkah kaki itu, dia segera menghentikan tandunya.

Tampaknya orang itupun sadar kalau jejaknya sudah ketahuan, dia ikut menghentikan langkahnya dan sama sekali tidak bersuara.

Menyusul terdengar ranting pohon yang berada puluhan kaki jauhnya dari situ bergerak perlahan, sejenak kemudian ranting pohon yang berada tujuh delapan kaki dari sana kembali bergerak.

Tanpa perasaan tak boleh membiarkan si pendatang terlalu dekat dengan tandunya, namun dia pun tak ingin membunuh orang tanpa alasan.

Bila senjata rahasianya sudah dilontarkan keluar, maka termasuk dia sendiri pun tak mampu mengendalikannya lagi.

Jika pihak lawan dapat menyambut serangan itu berarti dia akan hidup, bila tak mampu menghadapinya maka biar dia sendiri pun tak akan mampu menolongnya.

Senjata rahasianya memang sangat ampuh dan luar biasa, tapi kehebatannya sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan keberanian yang dia miliki. Terdengar seorang berseru memuji, suara itu berasal dari atas sebatang pohon pinus delapan belas langkah di sisi tenggara.

"Tajam amat pendengaranmu!"

Suaranya datar, sama sekali tak berperasaan.

"Leng Liu-peng?" sapa Tanpa perasaan dengan sorot mata menyusut.

Seorang melayang turun ke tanah tanpa menimbulkan suara, sorot mata yang lebih tajam dari sembilu mengawasi tandu di hadapannya tanpa berkedip.

"Aku datang untuk mengantar hadiah untukmu," katanya. "Oya?"

"Nih, kuberikan padamu!" hardik Leng Liu-peng nyaring. "Blam!", telapak tangannya menghantam ke atas sebatang

pohon pinus, ketika batang pohon itu bergetar keras, sesosok tubuh manusia terjatuh dari ketinggian, jatuh persis di samping tandu

Jalan darah orang itu tertotok, lagi pula sedang menderita luka cukup parah, kejatuhan dari tempat yang tinggi ini seketika menimbulkan rasa sakit yang luar biasa, rasa sakit yang merasuk tulang sumsum, namun orang itu tetap mengertak gigi, mengeluh pun tidak.

Suasana hening, kejadian ini tampaknya cukup mengejutkan si Tanpa perasaan, sampai lama kemudian baru menyapa, "Sam-sute?"

"Benar Toa-suheng" sahut si Pengejar nyawa sambil tertawa paksa.

Kembali suasana hening untuk beberapa saat, sejenak kemudian baru ia berkata lagi, "Aku yang telah mencelakaimu."

"Kenapa begitu?"

"Tidak seharusnya kubiarkan kau pulang seorang diri, aku pun tidak seharusnya membiarkan Darah dingin mengejar musuh sendirian, akibatnya kalian berdua harus menderita." Mendengar itu si Pengejar nyawa tertawa tergelak, walaupun akibatnya lukanya pecah kembali, namun paras mukanya sama sekali tak berubah.

"Peduli amat," serunya, "prinsipku, selama gunung masih menghijau, kenapa mesti takut kehabisan kayu bakar?"

Setelah berhenti sejenak, kembali dia berkata, "Toasuheng, kau tak usah menguatirkan mati hidup kami, ingatlah beribu-ribu jiwa rakyat di kotaraja, asal kau perhatikan kesejahteraan orang banyak, aku pun akan merasa tenteram."

Maksud perkataan itu sangat jelas, dia minta si Tanpa perasaan tidak menerima ancaman Leng Liu-peng gara-gara menguatirkan keselamatan jiwanya.

Tanpa perasaan termenung lama sekali, kemudian sahutnya setelah menghembuskan napas panjang, "Aku tahu!"

Suasana jadi hening, tak ada yang berbicara lagi.

Lama kemudian si Tanpa perasaan baru berseru, "Saudara Leng!"

"Ada apa?" suara Leng Liu-peng dingin bagaikan salju. "Boleh tahu saudara Leng...”

Belum selesai perkataan itu diucapkan, Leng Liu-peng telah menukas, "Karena menyelamatkan si Pengejar nyawa, aku tidak mempunyai permintaan lain, aku hanya berharap kau bersedia keluar dari tandumu dan berduel melawan aku."

"Soal ini...”Tanpa perasaan agak tertegun.

"Jangan kau anggap Leng Liu-peng adalah seorang manusia yang lupa budi dan takut mati!" wajahnya mendadak memerah, ototnya menongol keluar karena menahan gejolak emosi, dengan susah payah akhirnya dia dapat mengendalikan diri, lanjutnya, "Aku merasa sangat berterima kasih karena sewaktu berada di Sam-sek-kiok (Tiga tempat pelepas lelah), kau telah mengampuni aku, juga tidak membocorkan rahasia itu, aku merasa berterima kasih sekali atas kebaikanmu itu."

Pagi itu, di tengah kota kecil, di depan toko peti mati, si pincang ribut dengan lelaki gemuk.

Si pincang itu tak lain adalah Leng Liu-peng, sementara lelaki gemuk itu adalah Tok Ku-wi. Mereka bergebrak, waktu itu masih ada pula Kwe Pin dan Oh Hui.

Oh Hui belum sempat mendekati tandu, goloknya belum sempat dibacokkan, dia sudah keburu mati.

Kwe Pin menyerang dengan senjata rahasia, menerjang masuk ke dalam tandu, tapi akhirnya mampus juga.

Di saat Tanpa perasaan melambung ke udara, Leng Liupeng ikut bergerak pula.

Tanpa perasaan melepaskan senjata rahasia untuk menangkis sinar tajam, tapi akhirnya tetap terluka oleh sambaran cahaya tajam itu.

Semua pengalaman itu bagi Leng Liu-peng bukan sesuatu yang patut dibanggakan, sebaliknya justru dianggap sebuah aib, suatu kejadian yang amat memalukan.

Selama hidup dia memang enggan melakukan perbuatan yang memalukan.

Wataknya aneh karena sewaktu masih kecil dulu, seluruh anggota keluarganya di wilayah Biau telah mati dibantai orang, ketika musuh besarnya melihat dia berbakat bagus maka ditangkaplah dia dan dibawa pulang, selama dalam itu dia harus menerima berbagai siksaan dan hinaan, tapi dia bersikukuh mempertahankan hidup, diam-diam mulai melatih diri secara tekun dengan kesetiaan dan keringat bercampur darah dia berusaha menarik simpati musuh hingga dapat mempertahankan hidup.

Ketika ia menginjak dewasa, ilmu silat telah berhasil dikuasainya, dia mulai menghabisi nyawa sanak saudara musuh besarnya itu, kemudian mengejar musuhnya sejauh delapan ratus li hingga gurun pasir.

Sampai akhirnya dia berhasil membantai musuhnya itu, menguliti mayatnya dan memenggal kepalanya untuk dibawa pulang ke wilayah Biau, Leng Liu-peng baru mulai mengembara kian kemari sambil membunuh orang semau hati.

Dia masih teringat jelas dengan peristiwa yang terjadi kemarin sore, waktu dia menyamar jadi si burik bersama Auyang Toa yang menyamar sebagai penjual sau-pia, berusaha membokong Tanpa perasaan di Sam-sek-kiok.

Waktu itu dia tak percaya tak mampu menjebol tandu itu hingga mencoba mencongkelnya, siapa tahu serangan sepasang anak panah membuatnya tak sempat menghindarkan diri.

Waktu itu, sebatang anak panah di antaranya berhasil disambut Auyang Toa, tapi sebatang yang lain tak sanggup dia hadapi sehingga terpaksa harus ditangkis dengan gelang bajanya.

Ditinjau dari kekuatan serangan itu, jelas posisinya tidak menguntungkan, seharusnya serangan itu tak mudah dipatahkan, siapa tahu anak panah itu mendadak rontok sendiri di tengah jalan.

Hal ini membuktikan Tanpa perasaan memang sama sekali tak berminat untuk menghabisi nyawanya.

Padahal dia sudah dua kali berusaha membokong Tanpa perasaan, tapi pada akhirnya Tanpa perasaan justru telah mengampuni nyawanya, bukan begitu saja, malah rahasia itu tak pernah dibocorkan pemuda itu.

Benarkah si Tanpa perasaan memang tak berperasaan?

Dia tak tahu, tapi baginya dia lebih suka mati ketimbang menjadi Leng Liu-peng yang mirip kura-kura!

Senyuman mulai muncul dari balik mata Tanpa perasaan, sapanya, "Saudara Leng..”

"Aku pernah menerima budi kebaikan sang ketua," tukas Leng Liu-peng cepat, "aku pun telah mewarisi kepandaian silatnya, aku tak boleh melakukan perbuatan yang mengkhianati dirinya."

"Aku mengerti!"

"Itulah sebabnya aku harus membayar lunas budimu terlebih dulu, kemudian baru menantangmu berduel."

Tanpa perasaan segera menekan tangannya di tempat duduk dan melayang keluar dari tandunya, setelah duduk di atas tanah, ujarnya, "Sekarang aku sudah keluar" Ketika melihat Tanpa perasaan hanya bisa duduk dan tak mungkin berdiri, kembali Leng Liu-peng berkata, "Aku tahu cara seperti ini tidak adil karena tubuhmu sudah bersatu dengan tandu itu, tapi aku tahu, bila kau tidak kusuruh keluar, bila kau masih berada-di dalam tandu, maka kemungkinanku untuk menang sama sekali tak ada."

"Tandu itu hanya barang luar, aku merasa cara seperti ini sangat adil, tentu saja kecuali kau memandang enteng aku si manusia cacad ini."

Perasaan hormat bercampur kagum memancar keluar dari balik mata Leng Liu-peng, kembali ujarnya, "Aku memang sengaja menotok jalan darah si Pengejar nyawa, karena aku tak ingin dia mencampuri urusan ini, aku tak ingin dalam duel nanti aku mesti memecah perhatian, begitu juga dengan dirimu."

Ketika dua jago sedang bertarung, menguatirkan keselamatan seorang yang berada di luar arena memang sangat mengganggu.

"Aku mengerti," Tanpa perasaan manggut-manggut. Leng Liu-peng mulai mundur dua langkah ke belakang,

perlahan-lahan pakaian yang dia kenakan mulai menggelembung besar, tampaknya dia sudah mulai menghimpun tenaga dalamnya.

Tanpa perasaan menundukkan kepalanya, sorot matanya yang tajam mengawasi terus jarum pohon pinus yang banyak berserakan di tanah, dia duduk seakan seorang pendeta yang sedang bersemedi, sorot matanya seolah tak pernah mau bergeser dari situ.

Pelan-pelan Leng Liu-peng menarik tangannya ke belakang, melolos gelang besinya, semua gerakan dilakukan amat lamban, tegas, bertenaga dan tidak memberi peluang kepada lawannya untuk menyergap, setelah itu ujarnya, "Orang bilang Tanpa perasaan mempunyai empat keampuhan, keampuhan pertama terletak pada tandunya, keampuhan kedua pada ilmu senjata rahasianya, keampuhan ketiga pada ilmu meringankan tubuh dan keampuhan terakhir pada bakat dan kecerdasannya. Biarlah hari ini kujajal tiga keampuhanmu yang terakhir."

Tanpa perasaan masih tetap memandang ke tanah, tapi suara jawabannya aneh dan sangat berat, sahutnya, "Orang bilang jagoan pengguna golok 'terhebat dan paling sempurna dari wilayah Biau adalah Jit-ci-si-sin (dewa mampus dari Jit-ci) Ho Thong, tapi kenyataan Ho Thong harus menelan kekalahan di tangan 'tanpa golok' mu. Orang bilang ilmu golok tercepat, tanpa titik kelemahan dan kokoh pertahanannya di wilayah Biau adalah si golok sakti ribuan li Mo-sam Ha-ha, tapi nyatanya Mo-sam Ha-ha sangat kagum dan takluk oleh 'tanpa golok' milikmu

Masih tetap mengawasi jarum pinus yang bertebaran di tanah, dia menambahkan, "Terus terang, aku sendiri pun tidak yakin dapat menjebol ilmu tanpa golokmu, oleh sebab itu perasaan hatiku kini ... kau tahu, bagaimana perasaan hatiku kini?"

"Bagaimana?"

"Sangat gembira!" jawaban Tanpa perasaan tetap tenang, tanpa gelombang.

Leng Liu-peng menarik kembali sorot matanya, kata demi kata ujarnya, "Dalam dua puluh lima tahun ini, kaulah orang pertama yang merasa gembira karena berduel melawanku."

"Ilmu silat adalah pekerjaan kita, bila kita tidak merasa gembira ketika harus menghadiri sebuah pesta pertarungan paling akbar, apakah pantas kita disebut seorang pesilat?"

Sesudah berhenti sejenak, kembali terusnya, "Apalagi sewaktu menghadapi kau, seorang jagoan yang sangat ahli di bidang senjata rahasia serta ilmu golok."

"Bila kita tidak mati lantaran pertarungan ini, aku pasti akan bersahabat dengan kau!" mendadak Leng Liu-peng berkata, kemudian setelah berhenti sejenak, tambahnya, "selama hidup aku belum pernah memiliki seorang sahabat sejati." "Ya, tapi sayang begitu kita turun tangan, siapa pun tak akan mampu mengendalikan nasib lawan," ucap Tanpa perasaan sedih.

"Ada satu hal aku perlu memberitahu kepadamu lebih dulu," mendadak Leng Liu-peng berbisik. "Katakan!"

"Bila aku telah selesai berkata nanti, kita segera akan turun tangan, kalau tidak, mungkin kita tak bakal bertarung lagi."

Mereka berdua mulai saling menyayangi, mulai saling simpati dan cocok, bila pertarungan tidak segera dilakukan, pertarungan itu memang tak mungkin berlangsung.

Tapi mereka berada di pihak yang saling berseberangan, mereka berada pada posisi saling bermusuhan, antara lurus dan sesat, pertarungan semacam ini sulit untuk dihindari.

Bila pertarungan mulai dilakukan, seorang di antara mereka mungkin harus berangkat menuju ke langit barat.

Angin gunung berhembus kencang, semakin banyak jarum pohon pinus yang berguguran.

Tebing bukit yang curam berada tiga puluh kaki di belakang Leng Liu-peng, dari situlah angin gunung berhembus datang.

Tempat apakah di seberang tebing curam itu? Tak ada yang tahu.

"Apapun yang bakal terjadi di antara kita, si Pengejar nyawa tetap harus hidup," teriak Leng Liu-peng dengan suara keras.

Bila dia dapat membunuh Tanpa perasaan, maka ia bisa pulang untuk memberikan pertanggung jawaban kepada sang ketua.

Dia sengaja mengucapkan perkataan yang lain, tujuannya agar Tanpa perasaan tak usah menguatirkan nasib rekannya, agar dia bisa memusatkan perhatian dalam pertarungan yang segera akan berlangsung.

Tentu saja Tanpa perasaan mengetahui hal ini.

Itulah ucapan terakhir Leng Liu-peng sebelum pertarungan berlangsung.

"Terima kasih!" jawab Tanpa perasaan dengan keras. Perkataan inipun merupakan perkataan terakhir Tanpa perasaan sebelum berlangsungnya pertempuran.

Begitu kata "terima kasih" selesai diucapkan, Tanpa perasaan melancarkan serangan lebih dulu daripada Leng Liupeng.

Meskipun pertarungan tetap harus dilangsungkan, namun ucapan "terima kasih" tetap harus disampaikan.

Akan tetapi dia tak yakin mampu menghadapi serangan 'tanpa golok' lawan, terpaksa dia berebut melancarkan serangan terlebih dulu.

Menyerang dulu, tangkap semua kesempatan yang ada dan bendung semua kesempatan lawan untuk melancarkan serangan balasan.

Baru saja Leng Liu-peng akan melancarkan serangan dengan senjatanya yang gemerlapan, serangan senjata rahasia Tanpa perasaan telah mengancam tiba.

Senjata rahasia jarum pohon pinus!

Biarpun jarum pohon pinus itu lembek namun setelah disentil Tanpa perasaan dengan disertai tenaga yang kuat, benda itu seketika menyebar ke angkasa bagaikan hujan bunga, langsung mengancam tubuh Leng Liu-peng.

Dengan satu gerakan ringan Leng Liu-peng melejit ke samping, serangan jarum pinus seketika mengenai tempat kosong.

Tapi baru saja serangan pertama gagal mengenai sasaran, kembali muncul tiga belas titik cahaya tajam langsung menghajar tubuh lawan.

Sekali lagi Leng Liu-peng melompat mundur, kali ini dia mundur sejauh satu depa lebih.

Tanpa perasaan tidak tinggal diam, bagaikan burung merpati dia melesat ke depan melakukan pengejaran, kembali tangan kirinya diayunkan ke depan, sekilas cahaya putih mengancam dada jagoan tanpa golok itu.

Leng Liu-peng menarik napas panjang, golok yang sebenarnya sudah siap di balik baju terpaksa ditarik balik, kembali tubuhnya melambung ke udara. Sekali ini dia mundur sejauh sepuluh depa, dari situ dia bersiap melancarkan serangan balasan.

Siapa sangka baru saja tubuhnya menyentuh tanah, si Tanpa perasaan telah menghardik lagi, "Awas Am-gi!"

Serangkaian titik cahaya tajam membentuk satu rangkaian cahaya kembali meluncur ke depan mengancam tubuh lawan. Dengan gerakan burung belibis membalik badan, Leng Liu-

peng berjumpalitan di udara, cahaya tajam menyambar, dia babat rantai putih itu hingga putus jadi dua, tiba-tiba "Sret, sret", kembali desingan tajam mendekati tubuhnya, delapan biji timah berduri meluncur datang dengan kecepatan luar biasa.

Terpaksa Leng Liu-peng melompat mundur lagi.

Tanpa perasaan mengimbangi terus gerakan lawannya, setiap kali pihak lawan mundur dia merangsek maju

Kali ini Leng Liu-peng mundur terlebih dulu sebelum si Tanpa perasaan sempat melancarkan serangannya, sambil mundur dia siap melepaskan serangan mautnya.

Asal cahaya tajam itu sudah dilontarkan, maka posisinya dari bertahan akan berubah jadi menyerang, gerakan mundur bagi seorang ahli senjata rahasia tidak terhitung sesuatu yang luar biasa.

Baru saja dia mundur setengah jalan, mendadak kakinya menginjak tempat kosong, keseimbangan tubuhnya seketika hilang, badannya terpeleset jatuh ke belakang.

Sekalipun tebing dimana ia berpijak tadi merupakan punggung bukit, seandainya dia terjatuh ke dasar jurang, paling tidak tulangnya akan patah.

Sejak awal pertarungan, Tanpa perasaan memang berebut melancarkan serangan terus menerus, sementara sejak awal Leng Liu-peng hanya mundur terus ....

0oo0
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar