23. Menjebak malah terjebak.
Sebun-kongcu telah melakukan sebuah kesalahan besar yang tak mungkin bisa terobati lagi.
Dia boleh saja mengunci pedang si Darah dingin hingga tak mampu dibetot kembali, tapi tidak seharusnya dia mematahkan pedang itu hingga putus jadi dua.
Dengan mematahkan pedang lawan, dia telah melepaskan kunciannya terhadap pedang itu.
Begitu patahan pedang itu terlepas dari gerakan mengunci, bagaikan seekor ular berbisa yang mematuk korbannya, si Darah dingin segera menerobos maju ke depan dan langsung menusuk tenggorokan lawan.
Berubah hebat paras muka Sebun-kongcu, lekas dia dorong sepasang kaitannya ke depan membacok tubuh lawan.
Darah dingin ingin membunuhnya maka dia pun akan membunuh si Darah dingin!
Cara pertarungan yang ia gunakan sekarang adalah pertarungan adu nyawa, dia yakin bila Darah dingin tak ingin mati, dia pasti akan mengurungkan ancaman itu dan berusaha menyelamatkan jiwa sendiri terlebih dulu.
Sayang, lagi-lagi dia telah melanggar satu kesalahan besar yang tak bisa diampuni.
Dia dipaksa oleh keadaan sehingga mau tak mau harus mengadu jiwa, sebaliknya Darah dingin memang jagonya menggunakan jurus nekad.
Sejak awal dia sudah memperhitungkan waktu, tenaga dan setiap perubahan dengan teliti dan seksama, setiap tindakan, setiap gerakannya sudah diatur sedemikian rupa hingga tak mungkin melakukan kesalahan sekecil apapun.
Ketika kaitan itu tiba di atas tengkuk si Darah dingin, tenaga serangannya mendadak hilang lenyap tak berbekas. Sebab pada saat itulah kutungan pedang si Darah dingin sudah menancap di tenggorokan Sebun-kongcu, tembus hingga ke belakang tengkuknya.
Ketika pedang menembus tenggorokannya, Sebun-kongcu seketika jadi lemas, dia tak mampu lagi menggunakan kekuatannya.
Biarpun kaitan itu sudah terangkat ke atas dan siap dibabatkan, sayang kekuatannya sudah tak cukup untuk melukai Darah dingin.
Sambil tertawa dingin si Darah dingin mencabut keluar kutungan pedangnya, darah segar segera menyembur keluar dari lukanya, "Trang!", sepasang kaitan itu terjatuh ke tanah sementara sambil memegangi tenggorokannya yang robek besar seru Sebun-kongcu, "Kau ... kau
"Karena kau mengutungi pedangku, maka aku pun membunuh dirimu!" kembali si Darah dingin berkata ketus.
Akhirnya Sebun-kongcu tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun, tubuhnya roboh terkapar ke tanah dan tidak bergerak lagi.
Senjata rahasia si Tanpa perasaan memang keji, namun pedang milik si Darah dingin jauh lebih telengas.
Sepasang kaki milik si Pengejar nyawa sebetulnya terhitung ganas juga, orang yang biasa menyerang dengan kaki seringkah memang jauh lebih keji ketimbang mereka yang menggunakan tangan, sebab kekuatan yang ditimbulkan kaki selalu lebih kuat dan ganas ketimbang kekuatan tangan.
Tapi dalam kondisi terluka apalagi berniat menangkap musuh dalam keadaan hidup, serangan yang dilancarkan si Pengejar nyawa jauh berkurang kehebatannya, dia paling hanya bisa mengurung Thio Si-au hingga tak mampu melarikan diri.
Beberapa kali Thio Si-au berusaha menerjang ke kiri menumbuk ke kanan, tapi tak pernah berhasil lolos dari kepungan bayangan kaki lawan, saat itulah tiba-tiba ia saksikan Mo-sam Ha-ha menemui ajalnya. Kejadian itu seketika membuat dia ketakutan setengah mati, sukmanya serasa sudah melayang meninggalkan raga. Dia paksakan diri untuk menyambut sebuah tendangan maut si Pengejar nyawa dengan bahu kirinya, kemudian meminjam kesempatan itu dia melayang ke arah pintu dan berusaha melarikan diri.
Baru saja tubuhnya melambung ke udara, dua batang jarum perak sudah meluncur ke arah tubuhnya. Tanpa perasaan telah melancarkan serangan. Thio Si-au benar-benar pecah nyali, terkejut bercampur ngeri dia paksakan diri untuk menarik napas panjang kemudian tubuhnya melambung lagi tiga depa ke atas.'
Serangan jarum perak pertama berhasil dihindari, tapi kemudian Thio Si~au merasa kaki kirinya teramat sakit, demikian sakitnya hingga membuat badannya merosot ke bawah.
Ketika tubuhnya baru merosot setengah depa, serangan kedua kembali meluncur tiba, enam batang jarum perak seluruhnya menancap telak di otot dan tulang kaki kanannya.
Thio Si-au menjerit kesakitan, rasa sakit yang menembus hingga ke tulang sumsum tak tertahankan lagi, badannya langsung roboh terjerembab, bukan saja sekujur badannya terasa sakit linu, pandangan matanya ikut berkunang-kunang.
Menanti dia membuka matanya kembali, tampak sebilah kutungan pedang sudah menempel di atas tenggorokannya.
Bercak darah masih menempel di ujung pedang itu, tak usah ditanya pun dia sudah tahu kalau darah itu adalah darah Sebun-kongcu.
"Kalau mencoba kabur lagi, akan kucabut nyawa anjingmu!" terdengar si Darah dingin mengancam sambil mengawasinya dengan pandangan ketus.
Thio Si-au tak berani berkutik lagi, hawa dingin tiba-tiba muncul dari telapak kakinya dan menjalar hingga ke ujung rambut.
Ketika luka pada lutut kirinya, luka enam batang jarum di kaki kanannya, luka bacokan di mata kanan dan luka tendangan di bahu kirim a meradang bersama, dia merintih keras lantaran rasa sakit yang luar biasa.
Saat ini keadaan luka yang diderita si Siucay berpayung besi Thio Si-au jauh lebih parah ketimbang luka yang diderita Pengejar nyawa.
Dengan pandangan ketus si Darah dingin mengawasinya, begitu tajam tatapan itu seakan menembus lubuk hatinya, jengeknya dingin, "Biar lebih sakit pun kau tetap harus menjawab semua pertanyaanku!"
"Tanya saja...”bisik Thio Si-au sambil merintih. "Siapa pentolan kalian? Siapa pula keenam pembunuh lainnya?"
Tiba-tiba Thio Si-au memejamkan matanya sambil membungkam, dia berlagak seolah sama sekali tidak mendengar pertanyaan itu.
"Jangan paksa aku menggunakan alat siksaan," ancam Darah dingin lagi.
Thio Si-au tetap memejamkan matanya rapat-rapat, namun sekujur badannya mulai gemetar, gemetar keras menahan rasa takut, ngeri dan seram yang luar biasa.
Si Pengejar nyawa yang duduk bersandar pada dinding ruangan tiba-tiba tertawa, ujarnya, "Siapa yang memerintahkan kau datang kemari? Siapa saja rekanrekanmu? Apa sasaran kalian selanjutnya? Hm, sudah terperosok dalam keadaan seperti inipun masih bersikeras enggan menjawab, kelihatannya kau memang sangat menarik
Bicara sampai di situ dia tertawa hambar, lanjutnya setelah menarik napas, "Apakah kau sudah lupa dengan perlakuan rekan-rekanmu terhadap kau? Kalian datang mengejar dan berusaha membunuhku lantaran mau diperalat Bu Seng-tang, kenyataan Kwan-loyacu pun sudah dia bunuh, coba kalau bukan pada saat terakhir Kwan Hay-beng juga mencabut nyawanya, mungkin kau pun ikut dibantai untuk menghilangkan jejak!"
Beberapa patah kata itu seketika membuat Thio Si-au terbelalak dengan wajah tertegun, dia membuka lebar matanya dan untuk sesaat tak mampu berkata-kata. Terdengar si Pengejar nyawa berkata lebih jauh, "Coba bayangkan kejadian terakhir, sewaktu aku bertarung sengit melawan Mo-sam Ha-ha, kaulah yang menggunakan payung besimu menangkis dua tendangan mematikan yang kulancarkan terhadapnya, tapi apa balasannya? Dia justru melukai mata kananmu hingga buta, dia tak sudi menggubrismu, meninggalkan dirimu begitu saja di tengah jalan, coba kalau bukan kedua orang Suheng-te yang membawamu kemari, memangnya kau bisa bertahan hidup seorang diri di tengah jalan? Kemudian apakah Sebun-kongcu berniat membalaskan sakit hatimu itu?"
Thio Si-au menggetarkan bibirnya seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi niat itu kembali diurungkan.
Kembali Pengejar nyawa berkata, "Di antara sekian banyak luka yang kau derita, bukankah luka di mata kananmu yang paling parah? Siapa yang mengakibatkan hal ini? Musuh? Atau justru rekanmu sendiri? Seandainya kau tidak menderita luka separah itu, belum tentu aku mampu mengurungmu di sini, tapi sekarang kau sudah terkapar dalam kondisi parah, lukamu membuat kau bertambah lemah, dengan keadaan seperti ini mungkinkah bagimu untuk bisa kabur dari cengkeraman kami bertiga?"
Lama sekali Thio Si-au termenung sambil berpikir, akhirnya sesudah menghela napas panjang katanya, "Seandainya aku bersedia menjawab, apa keuntunganku?"
Pengejar nyawa segera berpaling ke arah Tanpa perasaan, si Tanpa perasaan segera manggut-manggut seraya menjawab, "Kalau kau berterus terang, aku pun segera akan membebaskan dirimu. Asal di kemudian hari kau tidak melakukan kejahatan lagi, kami pun tak bakal membekukmu. Aku percaya luka yang kau derita hari ini cukup mengingatkan dirimu."
Thio Si-au tahu semua perkataan empat opas selama ini bisa dipercaya, maka lekas serunya, "Setelah mengucapkan janji, ribuan kuda pun tak dapat menariknya kembali "Tentu saja," Tanpa perasaan mengangguk. "Nah, katakan saja secara sukarela," sela si Darah dingin, "sebab memaksa kami menggunakan cara siksaan pun pada akhirnya kau akan menjawab juga."
Thio Si-au merasakan rasa sakit yang luar biasa muncul dari setiap luka di tubuhnya. Tanpa ragu lagi dia pun berkata, "Baik ... baik ... akan kukatakan..”
"Krak!", mendadak terdengar suara gemerutuk dari luar jendela, seakan ada sesuatu benda yang dilemparkan dekat jendela dan hancur berantakan.
"Hati-hati!" dengan wajah berubah hebat si Tanpa perasaan berseru, dua buah batu kerikil segera disambitkan keluar.
Belum selesai dia berseru, sebuah desingan angin tajam telah meluncur masuk ke dalam ruangan dan langsung mengancam tenggorokan si Darah dingin.
Serangan itu muncul secara mendadak, membuat Darah dingin tak sempat lagi menghindarkan diri, dalam keadaan kritis, mendadak persendian kakinya terasa kaku dan amat sakit, lekas dia menjatuhkan diri bertiarap, desingan angin tajam itupun menyambar lewat persis di atas kepalanya
Rupanya sambitan batu kerikil dari Tanpa perasaan telah menghantam tulang lutut di kaki kiri dan kanannya, membuat ia kehilangan tenaga sehingga badannya roboh tertelungkup.
Baru saja si Darah dingin lolos dari ancaman maut, mendadak terdengar suara gemerutuk bergema dari arah tulang tenggorokan Thio Si-au, tampak orang itu dengan wajah ngeri bercampur ketakutan sedang memegangi tenggorokan sendiri sembari berseru, "Suma
Darah tiba-tiba menyembur keluar dari mulutnya, darah bercampur hancuran tulang leher, tak sempat menyelesaikan perkataannya ia sudah roboh tewas di tanah.
Darah dingin segera melejit ke udara dan melesat keluar ruangan dengan menjebol daun jendela.
"Sam-tiang-leng-gong-soh-ho-ci (ilmu jari tiga kaki menembus angkasa mengunci tenggorokan)?" pekik si Pengejar nyawa terkesiap. "Benar!" Tanpa perasaan mengangguk.
Pengejar nyawa kembali menghela napas panjang, ujarnya, "Cukat-sianseng pernah berkata, di antara ketiga belas orang pembunuh itu ada seorang di antaranya pernah menghancurkan biji tenggorokan si petugas kentongan dengan ilmu jari tiga kaki menembus angkasa mengunci tenggorokan, waktu itu aku pun lantas berpikir, dalam dunia persilatan hanya ada tiga orang yang menguasai kepandaian itu, tapi rasanya dari ketiga orang itu tak nanti mereka sudi melakukan perbuatan sebejad ini... ai, tak tahunya ternyata Suma Huang-bong dari Cap-ji-lian-huan-wu belum mampus."
"Ya, seandainya Thio Si-au menjelang ajalnya tidak meneriakkan kata 'Suma', mungkin hingga kinipun tak ada yang bisa menebak siapa gerangan orang yang dimaksud," Tanpa perasaan menambahkan.
"Berarti tinggal enam orang pembunuh?" kata si Pengejar nyawa.
"Benar."
"Mungkinkah salah seorang di antaranya adalah Suma Huang-bong?"
"Benar!"
"Bagaimana kepandaian silat yang dimiliki Suma Huangbong dibandingkan Mo-sam Ha-ha?" "Hampir seimbang."
Pengejar nyawa kembali menghela napas panjang.
"Hai ... kalau begitu, kenapa kau masih tidak membantu
Su-sute melakukan pengejaran? Buat apa kau mengurusi aku? Apalagi masih ada lima orang pembunuh yang belum jelas identitasnya, jangan sampai lantaran aku, jejak ini kembali terputus!"
"Tidak usah kuatir, aku tahu dimana letak sarang mereka." "Sebelah selatan perkampungan Sebun berbinar sepasang
mata si Pengejar nyawa.
"Sebelah utara lembah Auyang," sambung si Tanpa perasaan cepat.
"Benar. Bukankah sewaktu sesumbar tadi secara tidak sengaja Sebun-kongcu telah menyinggung soal lembah Auyang? Bahkan secara terang-terangan mengakui kalau dia adalah pos penghubung selatan."
"Oleh sebab itu aku mesti berangkat dulu ke Lembah Auyang untuk melihat keadaan!"
Pengejar nyawa tertawa getir.
"Kalau sampai Auyang Toa yang sangat tersohor namanya di kolong langit pun sudah menjadi seorang pembunuh, kenapa kau masih belum juga berangkat ke sana?" katanya.
"Justru lantaran jagoan tangguh seperti Auyang Toa pun sudah terjun ke air keruh, maka aku semakin tak boleh meninggalkan dirimu seorang diri. Sekarang kau berada dalam kondisi luka parah, bila mereka gunakan kesempatan ini untuk menganiayamu, mungkin sulit bagimu untuk lolos dari maut."
"Lantas kau harus menunggu sampai kapan?" tanya si Pengejar nyawa dengan nada terharu.
"Bila empat bocah pedang sudah tiba di sini, akan kusuruh mereka mengantarmu pulang dulu ke istana Cukat-sianseng. Dengan kemampuan mereka ditambah kau, biar Auyang Toa turun tangan sendiri pun aku yakin kalian masih bisa membendung serangan mautnya."
"Jadi kau benar-benar menginginkan aku pulang duluan?" tanya Pengejar nyawa sambil tertawa getir.
"Luka yang kau derita saat ini cukup parah," ujar Tanpa perasaan dengan wajah serius, "kalau tidak pulang duluan, bagaimana mungkin kami bisa bekerja dengan perasaan tenang?"
Kemudian setelah menarik napas panjang, pintanya, "Bila kau masih menaruh sedikit saja perasaan percaya kepada Toasuhengmu ini, berilah muka kepadaku, pulanglah duluan."
Didesak cara begitu, mau tak mau terpaksa Pengejar nyawa menghela napas panjang.
"Kalau begitu, baiklah!"
"Sebentar lagi empat bocah pedang akan tiba di sini," hibur Tanpa perasaan lebih jauh, "bila di tengah jalan nanti kau bertemu dengan Ji-sute, suruh dia langsung berangkat ke lembah Auyang untuk melakukan pengintaian." "Baik!" sahut Pengejar nyawa sambil menghela napas, "semoga Toa-suheng baik-baik menjaga diri."
Ketika Darah dingin menerjang keluar ruangan, bayangan manusia di luar jendela itu segera berkelebat pergi meninggalkan tempat itu.
Melihat orang itu melarikan diri, Darah dingin pun segera mengerahkan segenap tenaga yang dimilikinya untuk melakukan pengejaran.
Yang satu kabur yang lain mengejar, kejar kejaran pun berlangsung hingga belasan li jauhnya.
Ternyata ilmu meringankan tubuh yang dimiliki orang itu hampir berimbang dengan Ginkang yang dimiliki Darah dingin, semakin mengejar Darah dingin semakin bersemangat, akhirnya dia pun berlari semakin cepat dan gencar.
Lambat-laun orang itu mulai kelelahan, dengus napasnya yang agak terengah mulai terdengar dari kejauhan.
"Suma Huang-bong, kau tak bakal lolos dari kejaranku!" Darah dingin mulai berteriak keras.
Waktu itu rembulan yang melengkung bagai sabit sudah condong ke langit barat, di antara kabut tebal yang menyelimuti permukaan tanah, terlihat bentangan tanah di hadapan mereka adalah sebuah tanah kuburan yang luas.
Tanah kuburan itu sangat kacau dan sama sekali tidak terawat, tampak bayangan manusia berkelebat, tahu-tahu Suma Huang-bong sudah menyelinap masuk ke balik sebuah batu nisan yang besar.
Darah dingin segera menghentikan langkahnya, setelah menyapu pandang sekejap batu nisan yang amat besar itu, ujarnya, "Suma Huang-bong, apakah kemampuanmu cuma bisa membokong orang? Kemana kau kubur semua keberanianmu untuk membunuh orang di hadapan umum?"
Suara tertawa seram berkumandang dari balik kuburan, kemudian terdengar orang itu mengejek dengan suara tajam, "Jadi kau sudah tahu namaku?" Waktu itu kabut tebal masih menyelimuti permukaan tanah, sesaat menjelang datangnya fajar biasanya merupakan saat yang paling gelap.
"Tentu saja, kau bernama Suma Huang-bong!" sahut si Darah dingin.
"Betul. Huang-bong ... kuburan terbengkalai ... hahaha ... barang siapa berani memasuki kuburan yang terbengkalai, biar mati pun tak perlu tempat kubur ..."
Mendadak dia muncul dari balik kuburan.
Biarpun si Darah dingin bernyali besar pun tak urung dibuat terperanjat juga oleh ulah orang itu.
Di bawah sinar rembulan yang redup, tampak lelaki yang bernama Suma Huang-bong itu berambut panjang tak terawat, berwajah penuh codet bekas bacokan dengan panca indera yang aneh dan luar biasa besarnya, kulit mukanya penuh lipatan dan kerutan hingga kalau dipandang dari kejauhan persis seperti daging mayat yang mulai membusuk, sungguh menakutkan.
Terdengar Suma Huang-bong tertawa seram sembari berpekik, "Kabut telah datang ... kabut telah datang ... tangis setan di balik kabut, hujan turun menambah kepedihan
Waktu itu kabut memang sangat tebal, sedemikian tebalnya hingga jarak pandang satu kaki pun tidak terlihat, bukan hanya benda di sekeliling jadi buram, bayangan hitam Suma Huangbong pun tak nampak jelas, dari kejauhan hanya terlihat bayangan tipis yang bergerak, persis seperti setan iblis yang sedang bergentayangan.
"Lihat pedang!" mendadak si Darah dingin membentak nyaring.
Kutungan pedangnya langsung menusuk ke balik kabut tebal, membelah lapisan kabut dan menusuk ke pusat lapisan kabut tebal itu.
Tiba-tiba berkilauan dua titik cahava kuning dari balik kabut tebal, Suma Huang-bong dengan masing-masing tangan menggenggam sebuah sekop tembaga melancarkan bacokan secepat kilat, "Cring!", bacokan itu langsung menjepit kutungan pedang si Darah dingin yang sedang menusuk datang.
Tidak banyak jagoan di kolong langit yang mampu menjepit kilatan pedang si Darah dingin, bahkan jagoan tangguh macam Sebun-kongcu pun membutuhkan dua ratus empat puluh dua jurus sebelum berhasil menjepit pedang jagoan ini.
Sambil mengerahkan tenaga dalamnya si Darah dingin menggerakkan badan pedang, ketika kutungan pedang saling bergesek dengan sekop tembaga itu, segera berkumandanglah suara gemerutuk yang sangat menusuk pendengaran.
Diam-diam ia merasa terkejut juga, namun rasa kagetnya tidak membuat dia salah tingkah atau gelagapan, sebab serangannya yang paling diandalkan belum lagi dilancarkan.
Serangan andalannya itu sangat dahsyat, jangankan musuh yang berada di hadapannya sekarang, musuh tangguh yang tiga kali lipat lebih hebat dari orang inipun pernah tewas termakan serangan itu. .
Belum habis ingatan itu melintas, mendadak tanah dimana kakinya berpijak merekah ke samping dan muncul sebuah liang besar, dari balik liang itulah muncul sepasang tangan yang pucat pasi tanpa warna darah, secepat sambaran petir mencengkeram sepasang tumitnya.
Tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring bergema dari balik kabut di tempat kejauhan sana, sebilah pedang dengan ronce warna merah tahu-tahu menusuk tiba dan langsung membelah pekatnya sang kabut.
Beberapa kejadian itu berlangsung hampir bersamaan waktunya, karena sepasang kakinya tergenggam, sulit bagi si Darah dingin untuk menghindarkan diri, satu-satunya cara hanyalah membuang pedangnya dan menyambut tibanya serangan tombak itu dengan tangan telanjang.
Baru saja si Darah dingin mengendorkan tangannya, tibatiba Suma Huang-bong merentangkan pula sepasang sekopnya, lalu secepat sambaran petir menggapit sepasang bahu Darah dingin dari kiri dan kanan. Seketika juga si Darah dingin merasakan tenaga tekanan yang sangat kuat bagai tindihan sebuah bukit karang dan gulungan ombak di tengah topan menghimpit tubuhnya, karena sepasang tangannya tak mungkin lagi bisa digerakkan, lekas dia mengerahkan tenaga dalam untuk melawan,
Saat itulah tusukan tombak panjang itu telah tiba di depan mata, langsung menyapu wajahnya.
Tombak ini bukan saja amat panjang, juga besar sekali, andaikata sampai tertusuk wajahnya, aneh kalau raut muka itu tidak porak poranda seperti disapu angin topan.
Dalam keadaan sepasang tangan terhimpit, sepasang kaki dicengkeram orang, terpaksa Darah dingin pentang mulutnya dan menggigit ujung tombak yang menusuk tiba, ternyata tombak itu tak mampu lagi melanjutkan tusukannya.
Walau begitu seluruh tubuh si Darah dingin pun ikut tak mampu bergerak lagi, dia sudah kehilangan peluang untuk menggeserkan badannya.
Tombak itu panjang, ujung lain tombak masih berada di balik kabut tebal, begitu juga si pemegang tombak itu, tubuhnya masih terbungkus di balik kabut, hanya terdengar suaranya yang nyaring bagai gembreng tembaga berseru lantang, "Bagus, bagus sekali! Ternyata kau sanggup menerima tusukan tombakku ini!"
"Tapi sayangnya saat ini kau ibarat orang yang sudah ke hilangan tangan, kehilangan kaki dan kehilangan mulut sambung orang di balik tanah kuburan itu sambil tertawa serani
Sembari berkata, sepasang tangannya segera menotok jalan darah di kaki si Darah dingin, lalu setelah melompat keluar dari dalam liang tanah, katanya lagi diiringi tertawanya vang menyeramkan, "Sekarang, apapun yang ingin kami perbuat, mau tak mau kau harus mentaatinya."
"Entah bagaimana keadaan si Darah dingin sekarang?" dengan perasaan kuatir si Pengejar nyawa berpikir, tandu bergerak sangat cepat bagaikan terbang, keempat bocah pedang yang menggotong tandu itu memang memiliki tenaga dalam yang tangguh.
Matahari di musim panas memang sangat -menyengat, si l'engejar nyawa sudah bermandikan keringat lantaran kepanasan, air keringat yang meleleh membasahi tubuhnya mendatangkan rasa sakit yang luar biasa ketika membasahi luka di bahunya
Pada saat itulah tiba-tiba ia mendengar suara pekikan nyaring yang amat keras.
Begitu suara pekikan itu berkumandang, tandu itupun berhenti seketika.
Begitu lembutnya tandu itu berhenti hingga sama sekali tidak menimbulkan getaran apapun dalam tandu.
Baru saja tandu itu berhenti bergerak, suara pekikan nyaring berkumandang lagi untuk kedua kalinya.
Suara pekikan itu berkumandang dari suatu tempat yang lauh tetapi lebih dekat daripada tempat asal suara pekikan pertama
Tatkala si Pengejar nyawa menyingkap tirai tandu, tampaklah lima-enam sosok bayangan sedang melompat keluar dari tepi jalan.
Si Pengejar nyawa terkesiap, ia jumpai kelima-enam orang itu muncul dengan wajah gugup bercampur ketakutan, terdengar salah seorang di antaranya berseru, "Celaka, kita sudah dikejar hingga tersudut dan tak ada jalan keluar lagi, terserah apa akibatnya, terpaksa kita harus bertempur habishabisan!"
Tapi seorang rekannya yang lain segera berkata dengan wajah murung, "Kita Kui-hu-jit-gi (tujuh orang gagah lencana setan) yang mengerubutnya harus kehilangan Lo-ngo yang kena dibantai, apalagi sisa kita berenam, apa mungkin kita bisa menghadapinya?"
Seorang yang lain berkata pula, "Tapi kita sudah kabur sejauh dua ratusan li, akhirnya masih tetap terkejar, daripada lari terus mending kita mengadu jiwa saja." Salah seorang di antara kawanan manusia itu segera melompat naik ke tempat ketinggian dan melongok sekejap sekeliling tempat itu, mendadak serunya agak panik, "Dia sudah datang, dia sudah datang, bajingan tengik itu telah menyusul datang."
Orang yang tampaknya pemimpin kawanan manusia itu segera menghardik nyaring, "Bagaimanapun juga mari kita bersembunyi dulu, nanti kita bokong dia beramai-ramai."
Begitu selesai bicara, keenam orang itu segera menyebarkan diri mencari tempat persembunyian, gerakgeriknya cepat, gerakan tubuhnya aneh tapi ampuh.
Melihat dan mendengar apa yang berlangsung di hadapan mereka, seorang bocah berpedang emas segera berbisik, "Tampaknya kehadiran mereka bukan untuk memusuhi kita."
"Ya, kelihatannya mereka sedang membuat jebakan di sini untuk membokong orang yang mengejar mereka."
"Aku dengar mereka menyebut diri sebagai si Lencana setan, entah organisasi atau perkumpulan apa itu?"
"Itu kan harus ditanyakan kepada Sam-susiok." Mendengar itu, si Pengejar nyawa pun menerangkan,
"Yang dimaksud lencana setan atau kui-hu adalah sebuah perguruan yang disebut Kui-hu-bun, mereka terdiri dari tujuh setan setan harta, setan perempuan, setan pembunuh, setan penipu setan perampok, setan pengkhianat dan setan perdagangan m.i-nusia. Ketika mereka bertujuh digabung jadi satu, maka hampir semua perbuatan amoral dan maksiat mereka lakukan. Sang Lotoa bernama Oh Hui, pandai menggunakan golok besar, dia selalu mencabut nyawa orang pada bacokan pertama dan jarang menggunakan bacokan kedua. Sang Loji bernama Khu Tok, pandai menggunakan golok tipis, setiap kali membunuh, dia selalu membiarkan korbannya tewas karena kehabisan darah. Losam bernama Kwe Pin, penampilannya seperti seorang kuncu, padahal hatinya busuk dan keji, dia ahli melukai orang dengan senjata rahasia beracunnya, Losi si nomor empat bernama Kim Hua, senjata yang digunakan adalah sepasang Boan-koan-pit beracun, barang siapa terkena racunnya, tubuhnya akan membusuk dan hancur dalam tujuh hari. Sang Longo bernama Ting Hay, sewaktu membantai korbannya, dia paling suka membuat cacad lawannya dan mengutungi keempat anggota tubuhnya. Loliok si nomor enam bernama Gui Kian, senjata andalannya adalah pukulan langsung ke tenggorokan. Lojit bernama Phang Hi, dia gemar menyiksa dan mengompas korbannya secara sadis. Konon suatu kali dia pernah mengompas seseorang sampai empat puluh sembilan kali, pada hakikatnya orang yang disiksa sudah tak berwujud manusia lagi."
Ketika mendengar penuturan itu, tanpa terasa keempat orang bocah pedang itu menggenggam gagang pedang masing-masing dengan erat, tampaknya emosi mereka meluap.
Melihat itu si Pengejar nyawa segera berkata sambil tertawa, "Tak usah emosi, hari ini mereka bertemu dengan aku, anggap saja hari naas mereka telah tiba, tapi sebelum bertindak ada baiknya kita lihat dulu siapa yang sedang mereka incar, apalagi mereka bertujuh sementara lawannya cuma satu orang, tapi kenyataannya Ting Hay berhasil dibantai, hal ini menunjukkan kungfu orang itu pasti hebat sekali."
Sementara itu keenam setan itu sudah menyembunyikan diri hingga sama sekali tak terlihat dari tepi jalan.
Waktu itulah tampak seorang berjalan mendekat dengan langkah lebar, baru saja tiba di dekat tempat persembunyian keenam orang setan itu, si Pengejar nyawa segera dapat mengenali siapa gerangan orang tadi, tak tahan sapanya, "Jisuheng!"
Orang itu kelihatan agak kaget, dengan sinar mata yang tajam ia berpaling, tapi segera serunya pula kegirangan, "Sam-sute!"
"Ji-susiok!" empat bocah pedang berseru pula menyapa. Pengejar nyawa segera menyingkap tirai tandu sambil melesat keluar, sementara si Tangan besi dengan langkah lebar memburu mendekat.
Tiba-tiba, "Sret, sret!", desingan angin tajam muncul dari arah belakang, langsung mengancam punggung si Tangan besi.
Diikuti cahaya tajam berkilauan dari arah depan, serangan itu langsung mengancam ke arah tenggorokan.
"Sarn-sute, kenapa kau bisa terluka?" tegur si Tangan besi kaget, biarpun matanya tertuju ke tubuh si Pengejar nyawa, namun tangan kirinya bekerja meraup berulang kali ke belakang, tahu-tahu seluruh senjata rahasia yang mengancam datang sudah tertangkap olehnya.
Kemudian kepalan kanannya meninju ke muka, menghantam persis di atas cahaya berkilauan itu, ujung pedang Gui Kian yang menusuk tiba seketika hancur berkeping-keping, bahkan ada beberapa bilah kepingan yang menancap di kaki Gui Kian.
Jerit kesakitan segera bergema memecah keheningan, tak ampun tubuh Gui Kian roboh terjungkal ke tanah.
"Aku tidak apa-apa," jawab Pengejar nyawa sambil tertawa, "justru keadaan Toa-suheng dan Su-sute yang sedikit rada gawat."
Baru selesai ia berkata, sebilah golok tipis telah membabat ke arah sepasang kakinya, sementara sepasang Boan-koan-pit muncul dari arah lain menotok jalan darah Tay-yang-hiat di kening kiri kanannya, masih belum cukup, sebilah kapak baja diayunkan pula membabat tubuh si Tangan besi.
Dengan kaki sebelah, si Pengejar nyawa menginjak golok tipis itu, baru saja akan menendang dengan kaki yang lain, tiba-tiba lukanya terasa sakit sekali. Menggunakan kesempatan itu golok tipis tadi segera ditarik balik kemudian dibacokkan ke tubuh Pengejar nyawa.
Terpaksa secara beruntun si Pengejar nyawa melancarkan tujuh jurus serangan dengan empat puluh sembilan perubahan, dia paksa Khu Tok untuk mempertahankan diri. Di pihak lain si Tangan besi telah menggetarkan kapak baja Phang Hi hingga patah, kemudian menangkap pula senjata Boan-koan-pit yang mengancam keningnya.
Tiba-tiba terdengar suara pekikan nyaring berkumandang memecahkan keheningan, empat setan yang tersisa segera ambil langkah seribu dan kabur terbirit-birit meninggalkan arena pertarungan.
Ternyata orang yang berpekik nyaring tadi tak lain adalah OhHui.
"Apakah Toa-suheng dan Su-sute telah berjumpa dengan pentolan ketiga belas orang pembunuh?" tanya si Tangan besi sambil mengurung Kim Hua.
Walaupun sudah berusaha menerjang ke sana kemari, Kim Hua tak pernah berhasil menjebol kepungan si Tangan besi, dalam keadaan begini terpaksa dia harus melakukan perlawanan dengan sepenuh tenaga.
Phang Hi menggunakan peluang itu untuk melarikan diri. Pengejar nyawa yang melihat itu segera meluncur ke udara sambil melayangkan sebuah tendangan maut, arah yang dihajar adalah dagu lawan.
"Duk!", tubuh Phang Hi mencelat ke udara lalu roboh terkapar ke tanah dengan batok kepala hancur, hancur seperti mangkuk tembikar yang dibanting ke tanah.
Sambil tertawa dingin Pengejar nyawa berkata, "Coba kalau kau tidak kelewat kejam sewaktu mengompas orang, belum tentu kubantai dirimu hari ini
Lantaran harus melayang sambil melancarkan tendangan, hawa murninya jadi bergolak dan lukanya pun jadi kesakitan. Melihat si Pengejar nyawa terpecah perhatiannya, Khu Tok melancarkan dua serangan ganas secara berbareng kemudian
membalikkan badan dan kabur.
Belum beberapa langkah dia lari, bayangan hijau kembali berkelebat, tahu-tahu empat bocah berbaju hijau dengan pedang terhunus telah mengurungnya.
Khu Tok adalah seorang gembong iblis yang membunuh orang tanpa berkedip, dia paling suka mencincang tubuh korbannya hingga hancur, sudah tentu dia tak pandang sebelah mata terhadap keempat orang bocah cilik itu.
Siapa sangka tiga puluh gebrakan kemudian, bukan saja ia tak berhasil menguasai keadaan, bahkan serangan keempat lawannya itu makin lama semakin gencar dan rapat, bukan saja kerja samanya terjalin sangat ketat, serangannya pun makin lama semakin telengas.
Dengan perasaan terkejut Khu Tok segera menegur, "Kalian adalah keempat bocah pedang si Tanpa perasaan?"
Empat bocah pedang itu kembali merubah jurus serangannya, tiba-tiba empat bilah pedang pendek melesat ke udara dengan kecepatan tinggi kemudian menusuk ke sepasang lengan dan kaki lawannya.
Khu Tok tak sanggup menghindarkan diri, tubuhnya langsung roboh terkapar ke tanah dengan darah bercucuran, golok tipisnya ikut mencelat hingga terlepas dari tangan.
Dalam pada itu si Tangan besi telah menghancurkan Boankoan-pit Kim iiua hingga patah jadi beberapa bagian, kemudian setelah menghajar tulang kaki lawannya hingga hancur, ia berkata, "Lebih baik kalian berdua menyerah saja, pulang ke kota-raja bersamaku untuk mempertanggung jawabkan perbuatan kalian secara hukum."
Kim Hua masih mencoba untuk kabur, tapi sebuah jotosan si Tangan besi memaksa orang itu harus berjongkok di samping Kho Tok dan Gui Kian sambil merintih kesakitan.
Oh Hui sang lotoa dan losam Kwee Pin segera memanfaatkan kesempatan itu untuk melarikan diri, kemudian bayangan tubuh mereka sudah lenyap dari pandangan.
Sepeninggal kedua setan itu, si Pengejar nyawa memanggutkan kepala, empat bocah pedang segera menanggapi kode itu dengan mengikat tubuh Kho Tok dan Kim Hua.
Menggunakan peluang ini, si Tangan besi datang menghampiri, setelah memeriksa sekejap luka di tubuh si Pengejar nyawa, tegurnya, "Terluka oleh golok lengkung orang Biau dan pukulan Tay-jiu-eng keluarga Kwan di Shantong?" "Benar," sahut Pengejar nyawa sambil menghela napas, "Jisuheng, mungkin saat ini Toa-suheng dan Su-sute sudah bertemu dengan mereka, nanti saja baru kuceritakan kisah itu kepadamu."
Kurang lebih delapan puluh tujuh li dari Lembah Auvang terdapat sebuah tempat yang disebut Sam-sek-kiok (Tiga tempat pelepas lelah).
Tempat ini dinamakan Sam-sek-kiok karena di situ memang terdapat tiga buah tempat yang bisa digunakan para pelancong untuk melepaskan lelah.
Tempat pertama adalah Sui-tau-hu (tahu air), konon kembang tahu buatan tempat ini amat tersohor hingga terkenal sampai dimana-mana.
Apalagi di musim panas seperti sekarang ini, dimana orang gampang dahaga, kembang tahu memang cocok untuk dinikmati, ditambah lagi si penjual tahu adalah seorang nona vang sangat ramah dalam melayani tetamunya, siapa orangnya yang tak ingin mencicipi 'tahu'nya?
Apa mau dikata, hari ini kedai kembang tahu ternyata tidak buka dasaran. Si Tanpa perasaan yang merasa sangat dahaga terpaksa harus beralih tujuan, ia mendekati tempat kedua, sebuah kedai yang berada di bawah sebuah pohon besar yang rindang, seorang burik menjual wedang teratai di situ.
Tempat teduh ketiga terlihat berada di kejauhan sana, sebuah kedai yang menjual sau-pia (kue goreng) serta susu kedelai, selain bisa menghilangkan dahaga, juga dapat menangsal perut yang lapar.
Tampaknya si tauke penjual sau-pia merasa sangat tidak puas ketika melihat ada tamu mendekati warung si burik, dari kejauhan dia berteriak lantang, "He ... tetamu ... kalau ingin menghilangkan dahaga, datanglah ke warung kami, susu kedelai yang lembut tanggung membuat kau merasa puas, jualan kami jauh lebih bersih dan sehat ketimbang wedang teratai jualan si burik itu!"
Mendengar teriakan itu, si burik naik pitam, kuatir si Tanpa perasaan berpindah ke warung orang hingga dia kehilangan langganan, sambil menahan tandunya dia balas mengumpat, "He penjual sau-pia, tutup mulut busukmu! Jangan kau bandingkan susu kedelaimu yang diambil dari air pecomberan dengan dagangan kami, berani amat kau berebut tamu dengan aku!"
Meluap amarah si penjual sau-pia mendengar umpatan itu, tiba-tiba dia berlari mendekat, lalu sambil menuding hidung si burik umpatnya, "Kau anggap wedang terataimu bersih? Sama saja, bekas binimu semalam juga kau campurkan ke situ
Secepat kilat si burik mencengkeram tangan si penjual saupia, teriaknya, "Katakan sekali lagi, cepat katakan sekali lagi
Si penjual sau-pia membalikkan tangan seraya mendorong, balasnya, "Kenapa aku tak berani bicara? Memangnya takut kepadamu?"
Dengan sempoyongan si burik terjatuh ke samping tandu, sekuat tenaga dia mencekal tangan si penjual sau-pia sambil mencaci maki, "Kau si anak jadah
Selama dua orang itu saling dorong, si Tanpa perasaan
>ang berada di dalam tandu sama sekali tak bergerak, bercak? pun tidak.
Tiba-tiba pertengkaran biasa seorang penjual wedang tera tai melawan penjual sau-pia berubah jadi sebuah kejadian yang luar biasa, saat itulah mendadak tubuh si burik menyelinap masuk ke hadapan tandu kemudian kilatan cahaya tajam me nyembul keluar dari balik tangannya.
Tak ada yang sempat melihat jelas benda apa yang dia lontarkan, sebab gerakan itu dilakukan secepat kilat.
Bersamaan dengan berkelebatnya cahaya tajam itu masuk ke balik tirai tandu, bergema suara dengusan tertahan, tiada jerit kesakitan, tiada jeritan orang sekarat.
Sesosok bayangan putih tanpa kaki nampak melambung ke udara dengan kecepatan tinggi.
"Sret!", sekali lagi cahaya tajam berkilauan muncul dari balik tandu dan meluncur balik ke tangan si burik, ternyata benda itu adalah sepasang gelang baja, pada gigi gelang terselip hancuran kayu. Ketika si Tanpa perasaan masih melambung di udara, kembali terlihat sesosok bayangan manusia melambung pula ke angkasa.
Orang itu tak lain adalah si penjual sau-pia, entah sedari kapan dalam genggamannya telah bertambah dengan sebuah kipas, sewaktu kipas itu dibentangkan maka terbacalah empat huruf besar di permukaan kipas itu, tulisannya adalah: "Siapa menentang aku, mati!"
Baru saja tulisan itu terbaca jelas, paling tidak ada dua puluh jenis senjata rahasia yang lembut kecil, ada yang terbang lurus, ada pula yang berpusing, menghajar tubuh si Tanpa perasaan yang masih melambung di udara.
Dari balik tubuh si Tanpa perasaan segera meluncur keluar tujuh-delapan buah titik cahaya berwarna hitam.
Ketujuh-delapan titik cahaya hitam itu mula-mula menghantam dulu senjata rahasia yang tiba duluan, begitu terjadi tumbukan, senjata rahasia itu tidak lantas rontok tapi menumbuk kembali senjata rahasia yang datang belakangan, setelah membaur jadi satu, seluruh senjata rahasia itu berguguran ke tanah.
Sebelum semua senjata rahasia itu rontok mencapai tanah, si Tanpa perasaan telah melayang balik ke dalam tandunya.
Kembali si burik menggetarkan tangannya, "Wes!", cahaya tajam lagi-lagi meluncur dari tangannya menyambar ke udara dan "Duk!", menghajar ke tengah tandu.
Namun pada saat itulah selembar lempengan baja muncul di depan tandu itu dan "Cring!", babatan senjata itupun tertahan oleh lapisan baja itu.
Percikan bunga api segera menyebar ke empat penjuru, tapi gara-gara benturan itu tenaga serangan pun bertambah lemah, sapuan itu seketika melenceng ke samping.
Lekas si burik menyambar balik senjatanya, namun air mukanya telah berubah jadi berat dan serius.
Dalam pada itu si penjual sau-pia telah berjumpalitan di udara sembari membanting diri ke bawah, senjata kipasnya langsung menghajar batok kepala orang yang berada di dalam tandu.
"Tring!", lagi-lagi muncul sebuah lempengan baja di atap tandu, karena tidak menduga akan hal ini, serangan kipas pun tak sempat ditarik balik, diiringi benturan nyaring, kipas itu segera menyodok di atas lempengan itu.
Tampaknya kepandaian silat yang dimiliki penjual sau-pia cukup tangguh, memanfaatkan tenaga pantulan yang terjadi, ia melayang ke samping kemudian turun ke permukaan tanah.
Si burik segera tertawa dingin, serunya lantang, "Bagus, kalau kau merasa punya kepandaian, ayo cepat keluar, jangan bersembunyi terus macam kura-kura Kalau tidak juga
keluar dari situ, jangan salahkan kalau kudorong tandumu hingga tercebur ke jurang."
Sembari berkata dia rentangkan sepasang tangannya dan siap memdorong tandu itu.
"Hati-hati!" mendadak si penjual sau-pia memperingatkan. Baru dia berteriak, dua desingan angin tajam sudah meluncur keluar dari balik lempengan baja, dua batang anak panah kecil melesat ke udara dengan kecepatan luar biasa.
Si burik terkesiap, waktu itu lengannya sudah direntangkan, mau mundur juga tidak sempat lagi. Cahaya tajam segera berkilauan, "Wes!", sebatang anak panah berhasil dihajar hingga rontok, tapi sebatang yang lain segera menghajar dadanya.
Di saat yang kritis itulah terlihat bayangan manusia berkelebat, dengan ibu jari dan jari telunjuknya si penjual saupia menjepit anak panah itu.
Si burik benar-benar terperanjat bercampur ngeri, lekas dia mundur hingga sejauh sepuluh kaki lebih.
Sementara si penjual sau-pia masih berdiri di hadapan tandu berlapis baja itu dengan pandangan dingin, jari tangannya masih menjepit anak panah itu.
"Auyang Kokcu, cepat amat gerak tubuhmu!" tiba-tiba terdengar si Tanpa perasaan memuji dengan suara hambar. Mula-mula si penjual sau-pia itu agak melengak, tapi kemudian sahutnya sambil tertawa dingin, "Tidak berani!"
"Ilmu kipas sakti Yin-yang-sin-san milikmu kelewat tangguh, kalau seorang penjual sau-pia bisa memiliki kepandaian semacam ini, hm luar biasa namanya," ujar Tanpa perasaan dingin.
Auyang Toa mengangkat bahunya, tiba-tiba ia tertawa lebar.
"Bagaimana pun seorang opas ampuh memang memiliki ketajaman mata yang luar biasa, tak kusangka kau berhasil membongkar penyamaran kami," katanya.
Kembali Tanpa perasaan mendengus dingin.
"Sam-sek-kiok sudah tersohor hampir belasan tahun lamanya, kalau beberapa sobat lama yang bekerja di tempat yang sama selama puluhan tahun pun masih ribut tiap hari untuk memperebutkan tetamu, kejadian ini sangat aneh, bisa jadi sudah sejak lama tak ada tamu yang berani berkunjung kemari lagi."
"Oh, rupanya aku telah salah memperhitungkan hal ini," Auyang Toa berseru tertahan.
Kembali Tanpa perasaan berkata, "Biarpun kalian saling dorong seperti anak kecil, namun setiap gerakan yang kalian lakukan semuanya beraturan, jelas merupakan gerak dasar seorang ahli silat. Sekilas pandang saja aku tahu kalau kalian sengaja menyembunyikan kungfu asli dan pura-pura berlagak untuk mengelabui orang."
Auyang Toa menggeleng kepalanya berulang kali, sekali lagi dia bentang lebar kipasnya, kemudian sambil berkipas katanya, "Percuma memiliki kungfu hebat, kenyataannya toh kami tak mampu menjebol tandu milikmu itu."
Tanpa perasaan tidak mengomentari pernyataan itu, tibatiba ujarnya, "Kalau aku tidak salah lihat, bukankah rekanmu itu adalah jago golok nomor wahid wilayah Biau, Bu-to-siu si kakek tanpa golok Leng Liu-peng?"
Semula si burik nampak kasar bercampur bengis, tapi sekarang sikapnya telah berubah jadi dingin menggidikkan hati, dengan pandangan tajam dia mengawasi tandu itu, lalu ujarnya, "Betul, aku memang Leng Liu-peng. Kau berhasil menghindari dua bacokan golokku, tapi aku nyaris terhajar dua batang anak panahmu, kagum! Sungguh mengagumkan!"
Tampaknya si Tanpa perasaan yang berada dalam tandu ikut bergetar hatinya, jelas ucapan itu merupakan penghormatan seorang ahli terhadap ahli yang lain.
"Kau tak perlu merendah," ujarnya kemudian, "aku bisa menghindari dua bacokan mautmu karena mengandalkan kehebatan tandu ini, coba kalau tanpa tandu, belum tentu aku sanggup menghadapinya. Apalagi serangan tanpa golokmu belum kau gunakan, perkataanmu tadi kurang adil bagimu."
Perlu diketahui. Leng Liu-peng merupakan jago paling ampuh di antara empat pengguna golok asal wilayah Biau.
Cahaya bangga terlintas di wajah Leng Liu-peng setelah mendengar perkataan si Tanpa perasaan, ia hanya membungkam diri tanpa bicara lagi.
Sedang Auyang Toa segera berkata, "Kami sudah melancarkan serangan bokongan terhadapmu, kenapa kau tidak melancarkan serangan balasan?"
Tanpa perasaan yang berada di dalam tandu tidak langsung menjawab, setelah termenung beberapa saat dia baru berkata, "Karena bokongan kalian tidak berhasil, maka aku mendapat kesempatan untuk melancarkan serangan balasan walau akhirnya berhasil dipunahkan kalian, sekarang bila aku mesti menyerang kalian dengan berhadapan, jangan lagi mesti menghadapi dua musuh tangguh sekaligus, kemungkinan menang bagiku rasanya kecil sekali.'
Mendengar itu Auyang Toa segera tertawa terbahak-bahak. "Hahaha ... benar juga perkataanmu itu. Sebaliknya aku
pun ingin sekali melancarkan serangan lagi, tapi melihat kau bersiaga penuh di dalam tandumu, aku rasa kami pun hanya mempunyai kemungkinan empat bagian untuk meraih kemenangan. Tanpa keyakinan yang melebihi enam bagian biasanya aku tak akan melakukannya." "Bagus," jengek Tanpa perasaan kemudian sambil tertawa dingin, "kalau memang begitu, kenapa kalian masih belum pergi juga dari sini?"
"Baik, kami akan pergi dari sini. Tapi sepanjang jalan kami akan selalu berusaha mencari peluang untuk memancing kau meninggalkan tandu, kemudian menyergapmu secara tibatiba, jadi lebih baik kau bersikap lebih hati-hati."
"Terima kasih atas perhatianmu, aku akan bertindak lebih hati-hati!" sahut Tanpa perasaan sambil mendengus dingin.
Kembali Auyang Toa terlawa tergelak.
"Hahaha ... aku segera akan pergi dari sini. Namun sebelum berangkat, aku ingin mencoba dirimu sekali lagi."
"Mau mencoba dengan cara apa?"
"Aku mempunyai keyakinan delapan bagian atas percobaan
ini
Tiba-tiba kipasnya dikebaskan ke muka, dua titik cahaya
tajam langsung melesat ke depan dan menerobos masuk melalui lubang kecil di bawah tirai tandu itu, sebuah lubang kecil yang tak gampang diketahui orang.
Dari lubang kecil itulah suara Tanpa perasaan berkumandang keluar.
Sedemikian cepatnya perubahan itu membuat orang tidak menyangka sama sekali, bahkan Leng Liu-peng sendiri pun tidak menyadari akan hal itu, menanti ia sadar akan kejadian itu, jarum beracun itu sudah menerobos masuk melalui lubang kecil itu, tepat dan sama sekali tidak melenceng.
Jarum beracun itu adalah jarum beracun yang mematikan begitu bertemu darah.
Dengusan tertahan segera berkumandang dari balik tandu.
Auyang Toa kegirangan setengah mati, teriaknya sambil tertawa terbahak-bahak, "Roboh kau! Roboh kau!"
Mendadak lempengan baja yang melapisi tandu bagian depan terbuka ke atas, menyusul tampak si Tanpa perasaan melotot ke arahnya dengan mata mendelik, di antara getaran sepasang tangannya, paling tidak ada dua-tiga puluh jenis senjata rahasia segera beterbangan di angkasa. Senjata rahasia itu ada yang menghajar ke depan, ada yang ke belakang, ada yang ke sisi kiri dan ada pula yang ke 'sisi kanan, bahkan ada di antaranya yang berpusing menuju ke belakang kemudian mengancam punggung lawan.
Begitu melihat si Tanpa perasaan menampakkan diri di hadapannya tadi, Auyang Toa sudah terperanjat, lekas dia melambung ke udara, kipasnya dibalik lalu dikebaskan ke samping, dia memutar senjatanya sedemikian rupa membentuk selapis jaring cahaya yang rapat dan sukar tertembus air hujan sekalipun.
Leng Liu-peng yang menyaksikan kejadian itupun ikut terkejut, segera dia membentak gusar, tangannya diayun ke depan dan sekilas cahaya tajam segera menyambar ke muka.
"Krak!", diiringi suara nyaring, lempengan baja di pintu depan randu itu menutup kembali, kilatan cahaya tajam itupun segera berputar di tengah jalan dan kembali ke tangan Leng Liu-peng.
"Tring, tring, tring", dentingan nyaring bergema susul menyusul, kedua-tiga puluh senjata rahasia itu segera berguguran ke tanah, menyusul kemudian Auyang Toa melayang turun ke permukaan tanah, namun bahunya kelihatan sudah basah kuyup oleh cucuran darah.
"Kau tidak apa-apa bukan?" Leng Liu-peng segera memburu maju sambil bertanya.
Auyang Toa menggeleng kepala berulang kali, setelah tertawa paksa sahutnya, "Sungguh tak disangka, pada akhirnya aku sendiri yang terkena jebakanmu. Aku lupa kakimu cacad, aku rasa kedua batang jarum Kian-hiat-coatmia-siu-hun-ciam (jarum pembetot sukma bertemu darah merenggang nyawa) yang kusambit masuk melalui lubang kecil itu hanya menghajar di atas bajumu bukan?"
Tanpa perasaan mendengus dingin dan tidak memberi tanggapan.
Auyang Toa kembali berkata, "Untung senjata rahasiamu tak ada yang dipoles racun, kalau tidak, kali ini mungkin aku sudah mendapat musibah besar." "Selamanya senjata rahasiaku tak perlu dipoles racun," dengus Tanpa perasaan ketus.
Auyang Toa agak tertegun, tapi kemudian ia tertawa tergelak, "Hahaha ... bagus, punya semangat! Kau memang tak malu disebut jagoan senjata rahasia! Cuma kau mesti ingat, kegagalanmu merobohkan aku pada hari ini tak nanti akan terulang lagi di masa mendatang. Baik, selamat tinggal."
Dia lipat sejata kipasnya, lalu beranjak pergi dari situ dengan langkah lebar.
Leng Liu-peng mengawasi pula tandu itu sekejap dengan pandangan mendalam, kemudian katanya sebelum beranjak, "Semoga di kemudian hari kau bisa keluar dari tandumu dan beradu senjata rahasia melawan aku."
Di bawah teriknya matahari, tandu itu masih tetap tak bergeser dari posisi semula.
Lewat lama sekali, matahari sudah berada di tengah angkasa, ketika bayangan tandu makin mengecil, pintu depan tandu itu baru pelahan-lahan terbuka dan muncullah wajah si Tanpa perasaan yang murung.
Waktu itu dia pun sedang berpikir, "Siapa bilang aku tak ingin menampilkan diri untuk berduel melawan Leng Liu-peng? Tapi kalau aku harus satu melawan dua, jelas aku masih bukan tandingan Auyang Toa berdua. Ai ... entah bagaimana keadaan si Darah dingin yang mengejar Suma Huang-bong?
Bisa jadi kondisi mereka lebih banyak celaka daripada selamat
0oo0
"Banyak celaka daripada selamat?" bocah berpedang emas mengedipkan mata berulang kali, setelah garuk-garuk kepala dan tertawa, lanjutnya, "Mana mungkin? Ilmu pedang yang dimiliki Su-susiok sangat tangguh, apalagi masih ada Suhu yang membantu, tak nanti dia tertimpa musibah."
Pengejar nyawa tertawa hambar, kembali dia meneguk araknya.
Ketika para tamu warung melihat ada seorang lelaki terluka yang dekil berduduk bersama empat orang bocah berbaju hijau, tanpa terasa mereka berpaling dan memperhatikan dengan sorot mata keheranan.
Pada saat itulah dari luar kedai terdengar seorang berseru dengan suara merdu, "Tahu air ... tahu air
Sambil berteriak menawarkan barang dagangannya, orang itu menyerbu masuk ke dalam ruang kedai.
Beberapa pelayan segera maju mengepung dan mengusii nya keluar sembari memaki, "Perempuan sialan, masakah berjualan sampai ke dalam kedai orang."
"Coba kalau bukan kulit tubuhmu putih mulus, sedari tadi sudah kulempar tubuhmu keluar dari sini."
Teriakan itu segera menyadarkan beberapa berandal untuk memanfaatkan kesempatan, beberapa orang segera tampil ke depan seraya berseru, "Wah ... cantik juga gadis ini!"
"Benar, kita harus mencicipi 'tahu'nya!"
"Aku lihat tahunya pasti empuk, putih dan nikmat!" Sambil menggoda mereka maju merubung, bahkan ada beberapa di antaranya mulai usil dengan menjawil pantatnya.
Melihat tingkah laku kawanan berandal itu, keempat bocah pedang mulai tak bisa menahan diri, dengan mata melotot dan wajah merah padam, mereka siap turun tangan.
Tapi melihat si Pengejar nyawa tidak memberi izin, mereka tak berani bertindak gegabah, beberapa saat kemudian, paman guru mereka memanggutkan kepala, serentak mereka melompat ke depan dengan wajah berseri.
Begitu tiba di belakang keenam orang berandal itu, si bocah berpedang perak segera membentak, "He, kawanan anjing, memangnya kalian anggap hukum tidak berlaku di sini?"
Mula-mula berandalan itu agak terkejut, tapi setelah berpaling dan melihat mereka tak lebih hanya beberapa orang bocah, seketika sambil tertawa menyeringai bentaknya keras, "Maknya, sialan, aku kira siapa yang datang, ternyata hanya beberapa orang anak jadah!" "Hm, bocah ingusan sudah berani mengumpat tuanmu, tampaknya kau memang sudah bosan hidup," seru seorang lelaki berwajah garang gusar.
Sambil berseru dia segera merentangkan tangan sambil melancarkan cengkeraman.
Tiba-tiba terdengar si bocah berpedang besi berteriak keras, "Paman guru ketiga, buat seorang hidung belang yang suka menganiaya seorang bocah, hukuman apa yang paling pantas?"
"Harus diganjar badan sakit semua!" jawab si Pengejar nyawa setelah meneguk araknya.
Baru selesai ia berkata, empat cahaya pedang telah berkelebat di angkasa dan keenam orang berandal itu tahutahu sudah roboh terjungkal sambil mengaduh, ada yang segera berjongkok minta ampun, ada pula yang jatuh pingsan lantaran kesakitan. Dari keenam orang itu, dua orang kehilangan jari tangan, satu kehilangan kaki, dan satu tercongkel otot kakinya hingga tak mampu merangkak bangun.
Selama hidup belum pernah para tetamu warung menyaksikan serangan pedang secepat itu, hampir semua yang hadir jadi melongo dan berdiri tertegun.
Tampaknya si nona pun agak tertegun, tapi tak selang lama ia sudah menangis tersedu-sedu, sambil menjura ke arah keempat bocah pedang itu, ujarnya, "Siauya berempat, terima kasih atas pertolonganmu, aku tak tahu bagaimana harus membalas budi kebaikan ini
"Cici tak usah berlaku sungkan," sahut bocah berpedang besi cepat, "lebih baik lain kali bertindak lebih hati-hati, sebab nona secantik Cici memang paling gampang memancing godaan dan tangan jahil"
Mendengar perkataan itu si nona segera tersenyum kembali, katanya, "Sungguh tak kusangka dengan usia semuda ini dan kungfu sehebat itu, kalian tidak gampang kesemsem oleh kecantikan wajah seseorang." "Nona cantik sekali, siapa bilang kami tak kesemsem?" sahut bocah berpedang emas tertawa.
"Coba lihat lagak kalian," kata si nona sambil tertawa, "dianggapnya kalian memang benar-benar tajam penglihatan?"
Begitu selesai bicara, tahu-tahu dalam genggaman nona itu telah bertambah dengan sepucuk Thiat-lian-hoa, bunga teratai baja, secepat sambaran kilat senjata itu langsung menyodok ke tubuh si bocah berpedang emas.
Melihat datangnya ancaman, ketiga orang bocah pedang lainnya terperanjat, belum sempat mereka berbuat sesuatu, mendadak melesat lewat kuncup bunga teratai dari balik senjata lawan dan langsung menghajar tubuh bocah berpedang perak hingga roboh terjengkang.
Baru saja bocah berpedang tembaga akan mencabut pedangnya, sebuah totokan di dadanya membuat ia terjungkal, sementara si bocah berpedang besi baru saja melepaskan satu tusukan, mendadak dari balik senjata teratai itu menyembur keluar segumpal asap merah, tak ampun tubuhnya ikut roboh terkapar di atas tanah.
Perubahan ini terjadi sangat tiba-tiba, bukan saja semua tamu dalam kedai dibuat terkesiap, termasuk kawanan berandal itupun ikut dibuat tertegun saking kagetnya.
Paras muka si Pengejar nyawa berubah hebat, ketika ia menyadari ada sesuatu yang tak beres dan baru saja akan berteriak memperingatkan, pihak lawan telah turun tangan terlebih dahulu.
Serangan ini sangat mendadak dan sama sekali di luar dugaan, sedemikian cepatnya sampai keempat bocah pedang yang mendapat didikan langsung dari si Tanpa perasaan dan Cukat-sianseng pun tak mampu meloloskan diri.
Terdengar nona itu tertawa dingin, sepasang kakinya melepaskan serangkaian tendangan berantai membuat dua tong tahu mencelat ke udara kemudian mengguyur tubuh keenam orang berandal yang masih tergeletak di tanah. "Bukankah kalian ingin mencicipi tahuku? Sekarang makanlah sepuasnya!" hardik nona itu dengan wajah hijau mem-besi.
Tak terkirakan rasa kaget dan takut keenam orang berandal itu, hantaman tahu yang mengguyur dari balik tong membuat tubuh mereka terluka parah, jerit kesakitan bergema tiada hentinya, tak lama kemudian tampak tubuh mereka mengejang keras lalu putuslah nyawa orang-orang itu.
Kematian kawanan berandal itu sama sekali tidak membuat paras muka nona itu berubah, justru para penghuni kedai lainnya yang berubah wajahnya.
Dengan pandangan sedingin es nona itu menyapu pandang sekejap para tamu dan pelayan warung yang sudah mundur ketakutan itu, kemudian ujarnya sambil tertawa dingin, "Kalian pun jangan harap bisa hidup. "
"Tok-lian-hoa (bunga teratai beracun), kau akan membantai mereka yang tidak bersalah?" mendadak terdengar seorang menegur dengan suara ketus.
Bunga teratai beracun berpaling dan memandang si Pengejar nyawa sekejap, lalu sahutnya seraya tertawa, "Nona mu tak pernah membiarkan korbannya hidup, kalau mau disalahkan, kalianlah yang mesti disalahkan karena sebagai penyebab pembunuhan ini
"Oh, rupanya kedatanganmu memang khusus untuk mencari gara-gara dengan diriku?"
Bunga teratai beracun tertawa genit.
"Kau tak usah berlagak pilon," jengeknya, "coba kalau kau tidak terluka, terpaksa nona pun mesti takut kepadamu. Tapi sekarang kau sudah terluka, keempat bocah cilik itupun sudah kurobohkan, buat apa kau tertawa terus? Hati-hati, suara tertawamu bisa membuat lukamu merekah lagi."
"Sudah kau apakan keempat bocah itu?"
"Tak usah kuatir, anggap saja keempat bocah itu memang pintar, lantaran mereka telah memuji kecantikan nonamu maka kali ini akan kuampuni jiwa mereka, sementara yang lain ” "Kau berani?" bentak Pengejar nyawa sambil melotot gusar. Bunga teratai beracun tertawa lebar.
"Siapa bilang nona tak berani?"
Secepat kilat si Pengejar nyawa merangsek maju, dalam waktu singkat dia melancarkan delapan belas buah tendangan berantai ke tubuh nona itu.
Dengan sigap Bunga teratai beracun mengegos ke kiri kanan sebanyak delapan belas kali, baru bisa lolos dari ancamann dan siap melancarkan serangan balasan, lagi-lagi si Pengejar nyawa melepaskan tiga puluh enam tendangan, bukan saja lebih cepat daripada delapan belas tendangan pertama, bahkan lebih dahsyat, lebih aneh dan lebih mengerikan.
Paras muka si Bunga teratai beracun berubah hebat, tangannya digetarkan, segumpal asap merah kembali menyembul keluar dari balik senjatanya.
Pengejar nyawa segera menutup pernapasannya sambil membuang tubuhnya ke belakang, secara beruntun dia berjum palitan tujuh delapan kali, lalu sambil menyambar tubuh keempat bocah pedang dia menerjang dinding ruangan dan melompat keluar dari situ.
Menanti dia berpaling, terlihat semua penghuni kedai itu sudah roboh terjungkal ke tanah, ada yang masih berbatukbatuk, ada pula yang sedang kejang.
Melihat si Bunga teratai beracun mengejar keluar ruangan, si Pengejar nyawa segera membentak gusar, "Tu Lian, persoalan ini merupakan perselisihan pribadi antara kau dan aku, tapi sekarang kau telah melakukan pembantaian secara sadis, ingat, suatu hari aku pasti akan menangkapmu dan menjatuhi hukuman yang setimpal untukmu."
"Hm, untuk menyelamatkan diri sendiri saja masih susah, buat apa kau mesti mengurus urusan orang lain. Nonamu sudah melakukan tujuh buah kasus besar, tak terhitung jumlah korban yang tewas di tanganku, mau menghukum nonamu? Hehehe ... mesti dilihat dulu kemampuanmu untuk berbuat begitu." Pengejar nyawa tertawa dingin.
"Sungguh luar biasa organisasi yang menampung kalian semua, bukan saja Kwan Hay-beng dari Kwangtong sudah di tarik, bahkan Sebun-san-ceng, Lembah Auyang, Mo-sam Haha dari Biau dan kau pun sudah bergabung jadi satu."
Tu Lian si Bunga teratai beracun kembali tertawa terkekeh. "Kau tak perlu mengulur waktu sebab ketiga orang
rekanmu tak nanti bisa datang menolong dirimu," katanya, "si Darah dingin sudah ditangkap Suma Huang-bong, Tanpa perasaan mungkin sudah diantar rohnya ke langit barat oleh Auyang Toa dan Leng Liu-peng. Sementara si Tangan besi ...? Hm, kalau si Monyet emas berlengan panjang Tok Ku-wi sudah terjun sendiri ke arena, memangnya dia bisa berbuat apa?"
"Kalau begitu kau saja yang roboh duluan!" bentak si Pengejar nyawa gusar.
Berbareng dengan selesainya bentakan itu, dia sudah melepaskan tujuh puluh satu jurus serangan, begitu rapat dan cepatnya serangan itu membuat Tu Lian harus menghadapi dengan napas tersengal-sengal.
Baru saja si Pengejar nyawa siap menerjang dengan sepenuh tenaga, tiba-tiba luka di bahunya terasa amat sakit, pinggangnya jadi linu dan gerak kaki pun ikut melambat, menggunakan peluang itu lekas Tu Lian berganti napas.
Si Pengejar nyawa segera membalik tangannya dan mencengkeram gagang senjata lawan kuat-kuat.
Tapi dia segera merasakan telapak tangannya jadi kaku, rupanya ujung senjata lawan telah dipasang beratus batang duri yang amat tajam.
Si Pengejar nyawa sangat gusar, dia menghimpun segenap tenaganya sambil mendesak ke depan, sekuat tenaga dia lepaskan sebuah tendangan maut.
Dalam melancarkan serangannya kali ini, dia telah menggunakan segenap kekuatan yang dimiliki, bisa dibayangkan betapa dahsyat dan hebatnya ancaman itu. Berubah hebat paras muka Tu Lian, ia tahu akan dahsyatnya serangan itu, dia pun sadar kemampuan vang dimilikinya masih belum mampu untuk menyambut datangnya ancaman itu.
Pada saat itulah tiba-tiba ia menyaksikan sebuah titik kelemahan yang terbuka di tubuh si Pengejar nyawa, bagian tubuh yang tidak terlindung itu terbuka saat lawannya sedang melambung di udara.
Tu Lian tak ingin kehilangan kesempatan baik itu, "Sret!" sebatang senjata rahasia berwarna biru segera melesat ke udara dan mengancam iga kanan si Pengejar nyawa, begitu selesai me nyerang, cepat dia mundur ke belakang.
Pengejar nyawa tidak menyangka pihak lawan telah mene mukan titik kelemahan pada pertahanan tubuhnya, baru saja dia melambung ke udara, tubuhnya kembali roboh terjungkal ke tanah.
Dalam keadaan seperti ini dia tak bisa berbuat banyak selain mengeluh sedih, "Coba kalau bukan gara-gara pukulan Kwan-loyacu, tak nanti kau bisa lolos dari tendangan mautku... "
Tandu yang ditumpangi si Tanpa perasaan berhenti di sebuah pos pemberhentian, tiga puluh delapan li dari lembah Auyang, sambil dahar ransum ia merasa sangat masgul dan murung.
Dia dapat merasakan begitu banyak musuh yang berada di sekelilingnya, sementara nasib, si Darah dingin, si Tangan besi dan si Pengejar nyawa masih belum jelas hingga kini.
Dia seolah-olah mendapat firasat mereka telah tertimpa nasib malang.
Kini dia berada di depan sebuah toko peti mati, suasana dalam toko itu amat sepi, tidak nampak pegawai yang sedang bekerja, juga tidak nampak ada langganan yang mampir di toko itu.
Tapi si Tanpa perasaan tahu, tak lama lagi pesanan akan banyak mengalir ke toko peti mati ini, sebab ada banyak orang mati yang membutuhkannya. Mungkin para penyerang gelap yang membutuhkannya, mungkin juga si Tanpa perasaan sendiri, tapi mungkin juga si tauke penjual peti mati yang membutuhkan.
Sebab ia telah menemukan, walaupun ilmu menyaru muka si tauke penjual peti mati amat sempurna, namun dengan pengalaman Tanpa perasaan yang sudah belasan tahun mengembara dalam dunia persilatan, dia dapat merasakan orang itu sudah pasti bukan seorang tauke penjual peti mati yang sederhana.
Selain itu ada satu hal lagi yang membuat telapak tangan si Tanpa perasaan berkeringat dingin, biasanya pada pandangan pertama paling tidak ia bisa menilai kemampuan serta kehebatan lawannya.
Tapi terhadap orang ini, ternyata ia tak dapat melihat atau menilai apapun, dia tak bisa menduga sehebat apa ilmu silat yang dimiliki orang ini.
Diam-diam si Tanpa perasaan menghela napas panjang, tandunya mulai digerakkan dan perlahan-lahan bergeser menuju ke pintu depan toko peti mati itu.
Dia tahu musuh sudah menanti kedatangannya, dalam keadaan begini percuma saja melarikan diri, daripada kabur memang jauh lebih baik menghadapi tantangan itu secara gagah berani.
Pada saat itulah terlihat seorang yang berperawakan tinggi besar, berlengan panjang muncul dari balik sebuah bangunan sambil menyeret lengan seorang pincang.
Orang berlengan panjang tinggi besar itu mempunyai potongan badan gemuk, gerak-geriknya seakan tidak leluasa namun tenaganya luar biasa, si pincang yang ditelikung olehnya sambil diseret keluar dari ruangan, mengumpat tiada hentinya, "Hei, kau ... kau tahu aturan tidak? Aku toh hanya berhutang duit kepadamu, mau ditagih juga duitnya, kenapa mesti main pukul? Kau ... kau pakai aturan tidak?"
Sambil saling membetot kedua orang itu bergeser mendekati tandu si Tanpa perasaan. Dua orang yang lain, seorang berdandan sebagai sastrawan, vang lain berdandan penjual jamu keliling dengan membawa golok besar ikut berjalan mendekat, lagak mereka seolah hendak melerai pertikaian itu.
Tampaknya keempat orang itu berasal dari dusun yang sama, karena mereka seperti sudah saling mengenal satu sama lain.
Terdengar kakek yang membawa golok besar kwan-to itu berseru, "Sudah, jangan berkelahi lagi, entar bisa merusak tandu orang lain."
"Betul A Wi, kau jangan kelewatan terhadap Lopek!" bujuk si sastrawan pula.
Kelihatannya orang berlengan panjang itu merasa jalan lewatnya terhadang tandu hingga membuatnya tidak leluasa, sambil berusaha mendorong tandu itu, teriaknya, "Apa pedulinya dengan kalian?"
Si kakek bergolok besar naik pitam, serunya, "Kalau kau berani mengganggu orang lagi, kubacok tengkukmu!" Sembari berkata, goloknya langsung dibabatkan ke depan.
Tapi begitu serangan tiba di tengah jalan, tiba-tiba arah bacokannya dialihkan ke atas tandu itu.
Golok itu sangat panjang, tenaga bacokannya kuat, tampaknya dia hendak membelah tandu itu jadi dua bagian.
Tapi sayang, kedua kayu penggotong tandu yang ada di depan tandu itu tidak terhitung pendek, ketika sang golok hampir menyentuh tandu, kayu panjang itupun sudah berada tak jauh dari tubuh kakek itu.
Selisihnya tidak terlalu jauh, hanya kurang lebih dua depa.
Pada saat itulah tiba-tiba dari ujung kedua kayu penandu itu muncul dua bilah pisau yang sangat tajam.
Hampir seluruh tubuh pisau itu menghujam ke dalam perut kakek itu.
Bacokan golok terhenti seketika di tengah udara, terdengar kakek itu membentak gusar, "Tanpa perasaan, kau
Tanpa perasaan mendengus dingin. "Hm, It-to-toan-hun (golok sakti pemutus sukma) Oh Hui, sudah bertahun-tahun si Tangan besi berusaha membekukmu, hari ini biarlah aku yang mewakilinya membunuhmu!"
Oh Hui tak sempat berteriak lagi, tubuhnya roboh terjungkal ke tanah.
Pada saat itulah si sastrawan, si lelaki berlengan panjang dan lelaki pincang turun tangan bersama.
Sastrawan itu mengayunkan tangannya, tiga belas titik cahaya bintang serentak meluncur keluar dan seakan membungkus angkasa.
Gerakan tubuh si pincang jauh lebih cepat lagi, bagaikan sambaran petir yang berkelebat tahu-tahu dia sudah menyelinap ke belakang tandu, terlihat cahaya tajam berkilauan dari tangannya, ia sudah menyerang dari arah belakang.
Si lengan panjang tak mau kalah dari rekan-rekannya, dia mencabut keluar sebatang tombak emas lalu ditusukkan ke dalam tandu.
Gerak serangannya amat cepat bagaikan kilat, sedemikian cepatnya hingga tiba terlebih dulu ketimbang datangnya ketiga belas titik cahaya Am-gi.
Tanpa perasaan sendiri pun tak sempat melihat dengan jelas bagaimana cahaya emas itu berkelebat, tahu-tahu ujung tombak sudah menyambar lewat di sisi pipinya.
Begitu mendadak datangnya serangan itu membuat pintu depan tandu tak sempat lagi diturunkan.
Lempengan baja paling hanya bisa digunakan untuk membendung serangan senjata rahasia, tapi saat itu tombak emas itu sudah telanjur menerobos masuk ke dalam ruang tandu.
Jangan kan lempengan baja tak sempat diturunkan, biar sempat ditutup pun rasanya tidak mudah untuk membendung tusukan maut ini.
Tanpa perasaan tidak berusaha menutup tandunya, dia pun tidak berkelit, ujung bajunya tiba-tiba dikebaskan ke muka, sekilas cahaya golok tahu-tahu sudah membabat keluar dengan kecepatan luar biasa.
Pisau terbang itu langsung mengancam hulu hati Tok Ku-
wi.
Dalam keadaan begini, seandainya Tok Ku-wi melanjutkan
niatnya membunuh si Tanpa perasaan, maka dia sendiri pun pasti akan tewas pula terhajar pisau terbang itu.
Tok Ku-wi membentak gusar, tombaknya diputar sambil mencongkel, dia tangkis pisau terbang yang mengancam tiba kemudian beringsut mundur ke belakang, setelah itu sambil menyilangkan tombaknya di depan dada, ia berdiri tanpa bereaksi lagi.
Bila gagal dengan serangan pertama, segera mundur sambil menanti kesempatan lain, itulah prinsip dari seorang jagoan berpengalaman.
Ketika tiga belas titik cahaya tajam yang dilancarkan sastrawan itu menerjang ke dalam tandu, mendadak tirai mutiara yang tergantung di depan tandu bergoncang keras.
Diiringi dentingan nyaring, ketiga belas titik cahaya itu segera terbendung oleh getaran mutiara di atas tirai dan rontok ke tanah.
Ternyata sastrawan ini tak lain adalah Kwe Pin, jagoan yang berhasil kabur dari cengkeraman si Tangan besi maupun Pengejar nyawa.
Tidak seperti rekannya, Tok Ku-wi, ketika melihat serangannya gagal, Kwe Pin segera menerjang maju lagi menghantam tandu itu.
'Dia tahu kepandaian silat yang dimiliki si Tanpa perasaan tidak lebih sama seperti orang biasa, opas ini hanya lihai dalam penggunakan senjata rahasia dan ilmu meringankan tubuh.
Ruang tandu itu sempit, asal dia berhasil menerjang masuk ke dalam tandu itu, maka Tanpa perasaan tak mungkin bisa menggunakan senjata rahasia dan ilmu meringankan tubuhnya, berarti dia punya kesempatan besar untuk membekuk lawan. Asal si Tanpa perasaan berhasil dibekuk, maka mereka bisa menggunakan orang ini sebagai umpan untuk memancing si Tangan besi datang menuntut balas.
Tubuh Kwe Pin sudah menerjang masuk ke dalam tandu.
Pada saat bersamaan si Tanpa perasaan harus menghadapi ancaman tombak emas Tok Ku-wi, bokongan dari si pincang dan ketiga belas titik cahaya tajam itu, tampaknya dia tak sempat lagi mencegah Kwe Pin menerobos masuk ke dalam tandu.
Di saat kritis itulah mendadak atap tandu terbuka lebar, si Tanpa perasaan dengan bajunya yang serba putih sudah melambung ke udara.
Begitu tubuh Kwe Pin menerjang masuk ke dalam tandu, lempengan baja di depan pintu tandu segera menutup, lalu terdengar suara alat rahasia yang bergerak dan disusul dengan suara dengusan tertahan.
Tanpa perasaan tertawa dingin, dengan cepat tubuhnya melayang balik ke dalam ruang tandu.
Saat itulah si pincang yang sudah mengintai dari belakang mulai bergerak melancarkan serangan.
"Wes!", cahaya tajam berkelebat, langsung membacok punggung pemuda cacad itu.
Tanpa perasaan segera menyadari datangnya ancaman, sebelum tubuhnya berbalik, tiga titik cahaya terang sudah meluncur duluan, sementara badannya meluncur lebih cepat lagi kembali ke dalam ruang tandu.
Ketiga titik cahaya tajam itu bukan diarahkan ke dalam tandu, melainkan menghajar di atas kilatan cahaya tajam itu, "Tring! Tring! Tring!", diiringi tiga kali dentingan nyaring, cahaya tajam itu bergetar lalu terbang balik ke belakang.
Bercak merah terlihat pula di atas baju si Tanpa perasaan yang putih bersih, namun tubuhnya sudah keburu meluncur masuk ke dalam tandunya.
"Sret!", cahaya tajam itu kembali membelok satu tingkungan sebelum akhirnya terbang kembali ke tangan si pincang. Saat itulah lempengan besi di depan pintu tandu terbuka lebar, kemudian tubuh Kwe Pin kelihatan terlempar keluar, seluruh tubuhnya tertancap berpuluh jenis senjata rahasia hingga keadaannya seperti landak.
"Leng Liu-peng?" tegur Tanpa perasaan kemudian setelah mendehem pelan.
Si pincang yang berada di belakang tandu mendengus dingin, tapi dia tak pernah mau berjalan keluar menuju depan tandu.
"Hebat, hebat" jengek Tanpa perasaan lagi dengan suara hambar, "ternyata nama besar si golok paling cepat dari Biau memang bukan nama kosong belaka."
Paras muka Leng Liu-peng berubah sebentar memerah sebentar memucat, namun ia tetap membungkam diri.
"Tahukah kau, apa sebabnya aku bisa termakan oleh sebuah bacokan golokmu?" Tanpa perasaan bertanya lagi.
Leng Liu-peng menggigit kencang ujung bibirnya, tapi akhirnya dia berkata juga, "Kenapa?"
"Hahaha ... hal ini bukan dikarenakan serangan golokmu kelewat cepat, tapi lantaran aku tidak percaya kalau manusia macam Leng Liu-peng pun bisa melancarkan serangan bokong-an!"
Berubah hebat paras muka Leng Liu-peng, tangannya yang menggenggam gelang besi nampak menegang kencang hingga otot-ototnya menonjol keluar.
Setelah tertawa tergelak, kembali Tanpa perasaan berkata, "Aku rasa kita sudah tak perlu berduel satu lawan satu di luar tandu lagi."
Paras muka Leng Liu-peng berubah jadi hijau membesi, ia tetap membungkam.
Monyet emas berlengan panjang Tok Ku-wi tak bisa menahan rasa ingin tahunya, setelah melirik rekannya sekejap, tanyanya, "Kenapa?"
"Karena aku tidak senang," sahut Tanpa perasaan sambil tertawa, "aku tak senang berduel melawan orang yang sukanya membokong dengan senjata rahasia dari arah belakang."
Sambil menarik muka Tok Ku-wi menegur, "Tanpa perasaan, kau sudah berpikir bagaimana kondisimu saat ini?"
"Tentu saja, aku terluka dan sekarang sedang dikepung orang."
"Kau sudah tahu siapa saja yang telah mengepungmu saat ini?" kembali Tok Ku-wi mengejek sambil tertawa
"Tok Ku-wi, si kakek tanpa golok, Leng Liu-peng serta jagoan yang melemparkan tombak untukmu tadi ... Oh Hui dan Kwe Pin sudah mampus, jadi tak masuk hitungan lagi, ditambah seorang yang hingga kini belum kujumpai kemunculannya."
"Betul sekali," Tok Ku-wi membenarkan, "tak perlu menyinggung jagoan lain, memangnya kau sanggup menghadapi serangan gabungan antara aku dan saudara Leng?"
"Ehm, kemungkinan untuk menang memang sangat kecil," jawaban dari Tanpa perasaan sangat tenang.
Leng Liu-peng yang selama ini tak pernah muncul ke hadapan tandu mendadak berteriak keras, "Tanpa perasaan, aku tidak peduli lagi dengan kejadian hari ini, bila kau berhasil lolos dari musibah hari ini, aku tetap akan menantangmu untuk berduel secara adil!"