Pertemuan di Kotaraja Bab 18 : Menggempur Pentolan iblis

18. Menggempur Pentolan iblis.

Bagaimanapun hati-hati dan waspadanya seorang, kadangkala ada juga saatnya teledor dan lupa menjaga diri. Awan gelap sudah mulai menyelimuti seluruh angkasa, rembulan yang redup mulai muncul dari langit timur, malam ini adalah malam yang sangat dingin.

Di atas bukit Ci-pak-san, rombongan jago itu mulai membuat api unggun untuk bermalam, bagaimanapun terburunya orang-orang itu, mereka enggan melakukan perjalanan malam, karena perjalanan semacam itu biasanya membawa resiko yang lebih besar.

Ketika api unggun telah siap, Yau lt-kang dengan senjata rahasianya berhasil membunuh dua ekor kelinci, sementara Khong Bu-ki berhasil membunuh seekor babi hutan, maka bau harum daging yang dipanggang pun mulai menyelimuti seluruh tanah perbukitan.

Tanpa Perasaan memilih sebuah tempat kering dan bersih, duduk di atas sebuah batu besar sambil makan rangsum kering yang dibekal.

Sementara Chin Ang-kiok meniup seruling membawakan sebuah lagu yang merdu merayu, membuat suasana malam ini semakin romantis.

"Chin-lihiap," Khong Bu-ki segera bertepuk tangan memuji, "tiupan serulingmu sungguh indah, sungguh menawan hati!"

Dengan termangu Ui Thian-seng memandang ke tempat jauh, sesaat kemudian ia pun berbicara dengan suara dalam, "Dulu sewaktu berkunjung ke Pak-shia, aku pernah menginap semalam di sini, waktu itu aku masih sempat melihat deretan lampu di bawah bukit sebelah sana, deretan lampu itu nampak sangat indah ketika dilihat dari kejauhan, tapi sekarang tak sebuah pun yang kelihatan. Ai ... entah bagaimana keadaan keponakan Ciu saat ini?"

Yau It-kang berdiri di sampingnya, dia seakan seorang bawahan setia yang selalu mendampingi panglima perangnya, dalam keadaan begini, tentu saja dia harus mengucapkan satu dua patah kata menghibur.

"Lo-pocu," ujarnya, "kau tak usah kuatir, aku yakin kedatangan kita tepat pada saatnya, bukankah benteng Pakshia sedang diserbu musuh sekarang? mana mungkin mereka memasang lentera untuk menerangi jalanan?"

Kemudian ia mencoba mengalihkan pokok pembicaraan ke soal lain, tanyanya lagi sambil tertawa, "Dulu Lo-pocu datang kemari dengan siapa saja?"

"Ooh suara Ui Thian-seng terdengar amat sendu, "dahulu

... dahulu aku sering berkunjung kemari bersama Lan Kengthian, Tincu dari Say-tin dan Ngo Kong-tiong, Lo-cecu dari benteng Lam-ce, kami beramai-ramai datang kemari mengunjungi Ciu Hong-cun, Lo-siacu dari benteng utara, hahaha ... bila malam menjelang tiba, kami bersama-sama menunggang kuda naik kemari dan berbincang-bincang hingga fajar menyingsing, suasana waktu itu sangat ramai, amat menggembirakan hati ... tapi kini, ai! Lan Keng-thian sudah berangkat duluan, disusul beberapa bulan kemudian Ngo Kong-tiong juga Ya, kini tinggal aku seorang, kalau

kedatanganku kali ini untuk menolong keponakan Ciu juga terlambat, entah bagaimana aku harus bertemu lagi dengan Hong-cun Lote di alam baka”

Yau It-kang tidak menyangka pertanyaannya malah mengungkit kembali kenangan masa lampau Ui Thian-seng yang penuh dengan kesedihan, untuk sesaat dia jadi gelagapan dan tak tahu apa yang mesti dilakukan.

Sementara itu Ci Yau-hoa sudah berjalan menghampiri Tanpa Perasaan, dengan suara lembut dia menegur, "Apakah kau ingin makan lebih banyak lagi?"

Seakan baru tersadar dari lamunan si Tanpa Perasaan berpaling, ketika melihat Ci Yau-hoa yang cantik bak bidadari dari kahyangan, mirip juga seorang ibu muda yang penuh kasih sayang, tiba-tiba ia merasa hatinya bergetar keras, sahutnya agak tergagap, "Aku aku sedang memikirkan

sesuatu ”

"Bukan soal itu yang kutanyakan," ujar Ci Yau-hoa sambil menggeleng kepala dan tertawa, "aku tanya, apakah kau ingin makan lebih banyak? Ehm, mau?" Merah jengah wajah Tanpa Perasaan yang semula pucat, sahutnya makin tergagap, "Maaf ... maaf cici Ci ... aku tidak mendengar jelas”

Ci Yau-hoa seakan tidak mendengar apa yang sedang dia katakan, seperti orang dewasa memberi hadiah kepada seorang bocah cilik saja, dari belakang pinggangnya ia keluarkan sepotong paha kelinci bakar lalu sambil disodorkan, katanya, "Nih, mumpung masih hangat, cepat dimakan."

Rembulan masih bersinar redup di balik kegelapan tapi angin berhembus sepoi, walaupun Siong-pak-san bukan tempat yang indah, walau tempat itu bukan tempat wisata terkenal, namun ketenangan dan suasana damai yang menyelimuti tempat itu justru jauh mengalahkan tempat lain.

Dengan termangu Tanpa Perasaan berpaling, mengawasi wajah perempuan itu tanpa berkedip, ia merasa wajah maupun sikap Ci Yau-hoa tak ubahnya seperti sikap seorang ibu yang sedang menyayangi putranya, tapi dia pun merasa perempuan ini mirip seorang gadis yang polos dan manja, anehnya justru dua ciri khas dari dua jenis wanita terangkum semua di balik senyuman manis perempuan itu.

Tanpa Perasaan terkesima, termangu sampai lama sekali.

Tidak banyak lelaki yang tidak menyukai perempuan dengan sifat dan penampilan seperti ini, sebab untuk memperoleh salah satunya saja sudah susah, apalagi keduaduanya terdapat pada perempuan ini.

Bagaimanapun juga Tanpa Perasaan tetap manusia, bahkan seorang lelaki yang masih muda, mana mungkin ia bisa seratus persen Tanpa Perasaan?

Ci Yau-hoa duduk bersanding dengan Tanpa Perasaan di atas sebuah batu besar, mereka berbincang penuh keasyikan, usianya memang sepuluh tahun lebih tua ketimbang usia pemuda itu, tentu saja perasaan lelaki macam dia sangat dipahami olehnya.

Biasanya lelaki muda semacam ini paling senang memamerkan semua kegagahan serta kehebatan yang dimilikinya, terutama ketika berada di hadapan seorang wanita, jarang ada lelaki yang mau membicarakan isi hatinya, apalagi berkeluh-kesah di hadapan seorang gadis dalam suasana begini romantis.

Ci Yau-hoa sudah bersiap untuk mendengarkan, tapi sayang Tanpa Perasaan jauh berbeda dengan lelaki kebanyakan.

Dia tidak berkeluh-kesah, tidak menceritakan segala kehebatan dan keperkasaannya, dia justru siap mendengarkan sang wanita bicara.

Maka mereka berdua pun sama-sama tidak bicara, mereka hanya siap mendengarkan pembicaraan lawan, mendengarkan suara yang muncul di sekeliling tempat itu.

Hembusan angin sepoi-sepoi terdengar bagai dengusan napas yang lirih, mereka seakan sedang menikmati suara angin, menikmati kabut yang mengambang di atas permukaan tanah, melihat rembulan yang mulai bergeser, bahkan mendengar detak jantung yang berdebar.

Sebenarnya Ci Yau-hoa telah menganggap Tanpa Perasaan sebagai anaknya, atau adiknya, atau bahkan kekasih hatinya? Bagaimana pula dengan Tanpa Perasaan? Dia menganggap

Ci Yau-hoa sebagai ibunya? Sebagai cicinya? Atau sebagai pujaan hatinya?

Bagaimanapun mereka berdua merupakan orang persilatan yang sepanjang tahun hidup berkelana.

Akhirnya Ci Yau-hoa membuka suara lebih dulu, nada suaranya selembut hembusan angin yang menggoyang dedaunan, ujarnya perlahan, "Kenapa kau tidak bertanya apakah aku pernah menikah?"

Tanpa Perasaan tersenyum, senyumannya sangat polos, senyuman tanpa dosa, sahutnya, "Bukankah hal semacam itu tidak penting?"

Ci Yau-hoa ikut tersenyum, senyumannya bukan saja dapat menggoyangkan bunga, bahkan pepohonan atau perbukitan pun akan bergoyang juga, apalagi hanya hati seseorang?

"Tapi aku ingin menanyakan hal itu kepadamu," katanya kemudian. "Bertanya kepadaku?" Tanpa Perasaan keheranan, "tanya aku sudah pernah menikah atau belum?"

"Tanya kau? Cis, tentu saja tidak!"

Tanpa Perasaan merasakan pipinya jadi panas, lekas sahutnya sambil tertawa, "Kalau kau ... aku, aku tidak tahu."

"Lantas kakimu itu ”

Mendadak paras muka Tanpa Perasaan berubah hebat.

Ci Yau-hoa tidak melanjutkan lagi kata-katanya, ia melihat si Tanpa Perasaan pelan-pelan mengalihkan pandangannya ke arah lain, mengawasi tebing bukit di kejauhan sana, mengawasi kegelapan malam yang mencekam, seakan sebuah patung arca yang dipenuhi berbagai pikiran dan masalah.

Dengan kepala tertunduk akhirnya Ci Yau-hoa berkata lagi, "Seandainya perkataanku tadi melukai hatimu, aku mohon maaf, bila kau merasa keberatan, pertanyaanku tadi tak perlu kau jawab."

Lewat lama kemudian si Tanpa Perasaan baru menjawab, suaranya seolah datang dari balik kegelapan sana, "Tidak, akan kuceritakan hal ini kepadamu."

Lalu ditatapnya wajah Ci Yau-hoa dalam-dalam, mengawasi biji matanya yang bening dan lembut, ia melanjutkan, "Karena selama ini aku tak pernah bercerita kepada siapa pun, aku jadi bingung cerita ini harus kumulai darimana."

"Ooh ” hanya perkataan itu yang muncul dari mulut Ci

Yau-hoa, kemudian ia menunggu dengan tenang jawaban sang pemuda.

Dengan nada suara aneh, nada suara yang seakan datang dari tempat yang amat jauh, si Tanpa Perasaan berkata, "Kisah ceritaku panjang sekali, karena mencakup kisah darah dan air mata selama enam belas tahun, mungkin bagimu cerita ini pendek, sebuah cerita yang sama sekali tak menarik."

"Katakanlah, akan kudengar semua kisahmu itu, mau panjang atau pendek, aku tetap akan mendengarkan hingga selesai." "Enam belas tahun berselang, aku adalah seorang bocah berusia enam tahun yang hidup dalam sebuah keluarga kaya raya, anggota keluarga kami berjumlah tiga puluh dua orang, ayahku seorang terpelajar, selain menguasai bun (sastra) juga pandai bu (silat), ia termashur karena kehebatannya merangkai syair. Ibuku juga sangat pandai menyulam, dia mampu menyulam sekuntum bunga yang tumbuh di pekarangan istana dalam selembar kain, bahkan jarum sulamnya bisa menusuk tujuh puluh dua buah jalan darah, selain pandai membunuh juga pandai mengobati penyakit....

"Waktu itu kehidupanku amat gembira, amat senang, tak ada kemasgulan, tak ada kesulitan lalu, pada suatu malam

tiga belas orang manusia berkerudung menyerbu ke dalam rumah kami ”

Paras muka si Tanpa Perasaan berubah jadi pucat, lebih pucat dari wajah sesosok mayat, setelah lama termenung dia melanjutkan, "Jeritan ngeri, teriakan kesakitan, ceceran darah, pembantaian, pembunuhan berlangsung dari waktu ke waktu

... ayahku roboh bermandikan darah, sebuah senjata rahasia menancap di punggungnya ibuku sedang mengawasi

ayahku, waktu itu dia tertangkap lalu disiksa dengan cara paling keji hingga tewas ... anggota keluargaku tiga puluh

dua orang, tak seorang pun yang dibiarkan hidup, bahkan anjing dan ayam pun mereka bantai hingga ludas ”

"Kemudian datang seorang berewok, memaksa aku untuk menunjukkan dimana pusaka keluarga dan ilmu jarum sakti disembunyikan, bahkan mengompas aku, menyiksa diriku habis-habisan, dan ... akibatnya sepasang kakiku jadi begini ...

aku tidak menangis, aku memang tak pandai menangis ...

kemudian datang seorang ceking sambil tertawa keras, ia menghampiriku lalu sekali tendang membuat badanku mencelat hingga roboh terjungkal di kebun belakang ....

"Sebelum pergi meninggalkan tempat itu, mereka membakar seluruh gedung bangunan kami, bukan saja mereka membakar semua yang ada, bahkan para tetangga yang berdatangan untuk menolong kebakaran pun dibantai satu per satu, kemudian tubuhnya dilempar ke dalam kobaran api ... waktu itu aku bersembunyi di balik semak belukar, dengan sepasang tanganku ini aku merangkak selangkah demi selangkah, akhirnya, aku pingsan dalam kegelapan ....

"Waktu itu aku sanggup merangkak keluar dari lautan api, karenanya akan aku ingat terus perbuatan keji mereka, akan kuingat terus dendam kesumat sedalam lautan ini, akan kuingat sampai mati peristiwa berdarah yang terjadi malam itu

..."

Tubuh si Tanpa Perasaan nampak gemetar keras ketika terhembus angin dingin, mendadak ia memandang sepasang tangan sendiri, suaranya terputus, napasnya tersengal-sengal, dia seakan sedang berusaha mengendalikan gejolak emosinya yang luar biasa.

Selang beberapa saat kemudian ia baru dapat mengendalikan diri, lanjutnya, "Ketika sadar dari pingsan, aku lihat cahaya bintang masih bertaburan di angkasa seorang

kakek kurus sedang membopong aku dengan penuh kasih sayang aku masih ingat adegan malam itu dengan sangat

jelas. Aku tahu dia adalah orang baik, seakan Thian yang mengirim dia untuk merawat dan menjagaku, maka aku pun menangis sejadi-jadinya, aku bertanya kepadanya kenapa para opas tidak membalaskan dendam bagi kematian ayah ibuku ?"

Bicara sampai di sini, ia tertawa dingin berulang kali, lalu terusnya, "Kakek itu memberitahu kepadaku, katanya 'Percuma, kawanan opas biasa hanya mampu menindas rakyat kecil atau melarang orang biasa berbuat begini begitu, setelah bertemu kaum pedagang kaya atau hartawan lalim, bertemu jagoan Hekto atau para kerabat kerajaan, mereka akan kehabisan daya dan tak mampu berbuat apa-apa'. Kemudian dia berkata pula, 'Percuma kuberitahukan semuanya ini kepadamu, kau tak bakal mengerti'. Tapi segera kujawab, 'Tidak, aku mengerti, aku sangat mengerti' ....

"Tampaknya orang tua itu tercengang oleh jawabanku, kemudian dia memberitahu aku, mungkin kehendak dari Thian lah hingga dia berjumpa dengan aku, ternyata dia pun orang yang bekerja di pengadilan. Cuma belum pernah ada seorang manusia pun yang tak berani dia tangkap dan belum pernah ada seorang manusia pun yang tak berani dia bunuh. Semua yang pantas dibunuh akan dibunuhnya ... lalu dia pun bertanya kepadaku dengan nada iba, 'Inginkah kau membalas dendam?'

"Tiba-tiba aku tidak menangis lagi, kepadanya aku berkata, 'Tidak ingin'. Dia makin tercengang. Aku bilang, 'Tolong ajarkan kepandaian kepadaku, aku ingin membalas dendam sendiri'. Pada mulanya dia bersikeras menolak permintaanku, maka aku pun mulai menangis lagi bahkan menangis makin keras ... akhirnya dia melihat sepasang kakiku yang hancur, aku pun berkata lagi, kalau kau menolak permintaanku, lebih baik jangan tolong aku, bukan saja aku harus membalas dendam sendiri, aku pun harus belajar kepandaian seperti kau, membalaskan dendam bagi ketidak adilan di kolong langit. Maka dia pun berkata sambil tertawa, 'Tidak kusangka dengan usiamu sekecil ini, ternyata kau sanggup mengucapkan kata-kata seperti ini'....

"Akhirnya dia pun mengabulkan permintaanku, bahkan memberitahu kepadaku, sejak hari itu dia akan mendidik dan memelihara aku secara seksama, pada saat yang sama dia pun mendidik pula beberapa orang adik seperguruan kalau

membayangkan kembali peristiwa masa lampau, aku sendiri pun merasa heran, kenapa sekecil itu aku bisa mengucapkan perkataan macam begitu hingga aku tumbuh jadi dewasa

baru kuketahui ternyata orang tua itu adalah Cukat-sianseng yang amat termashur itu, dan akhirnya kami bersaudara pun dikenal orang sebagai Empat opas."

Dari balik kegelapan malam, Tanpa Perasaan mulai tertawa.

Angin telah berhenti berhembus, tak terdengar suara lagi di sekeliling tempat itu, suasana terasa sangat hening. Dunia seakan sudah berhenti bergerak, seluruh kehidupan seakan telah berhenti bersuara, entah karena mereka sedang bersedih atau sedang berduka?

Lewat beberapa saat kemudian Ci Yau-hoa baru menghela napas sedih, ujarnya, "Akhirnya apakah kau berhasil menemukan kawanan perampok yang telah membantai seluruh isi keluargamu?"

Tanpa Perasaan menggoyang tangan dengan perasaan kaku, sahutnya hambar, "Hingga kini aku masih belum tahu siapakah mereka, tapi suatu saat nanti ... itulah sebabnya tiap hari aku sedang membalas dendam, bukan hanya balas dendam untuk diri sendiri, juga membalaskan dendam bagi semua orang di dunia ini yang sempat dibikin sengsara ... akhirnya mereka menyebutku Tanpa Perasaan, sebab setiap kali turun tangan, aku memang selalu Tanpa Perasaan”

Angin tidak berhembus lagi, suasana amat hening, manusia pun tidak bicara lagi, semuanya jadi sepi.

Ci Yau-hoa menyandarkan bahunya di sisi tubuh Tanpa Perasaan, bau harum yang aneh lamat-lamat berhembus keluar dari tubuhnya, mendatangkan perasaan hangat di hati Tanpa Perasaan.

Tak ada lagi pembicaraan, karena dalam keadaan seperti ini memang tidak dibutuhkan pembicaraan lagi.

Mendadak dari balik ketenangan yang mencekam malam yang sepi itu, terdengar suara ringkikan kuda berkumandang datang dari punggung bukit, suara itu bergema makin mendekati puncak perbukitan itu, cepat lagi terburu-buru.

"Ada dua ekor kuda!" Tanpa Perasaan hanya mengucapkan kata yang singkat.

Khong Bu-ki dan Yau It-kang segera melompat bangun dan menyongsong kedatangan ringkikan kuda itu, sekejap kemudian bayangan tubuhnya sudah lenyap di balik kegelapan.

Tampak dua ekor kuda berlari kencang menembus kegelapan, sekejap kemudian mereka telah tiba di puncak perbukitan itu. Di tengah malam buta yang begini sepi, kedua ekor kuda itu masih menempuh perjalanan begitu cepat dan terburuburu, seakan kedatangannya khusus mencari mereka.

Tak lama kemudian kedua ekor kuda itu sudah muncul di depan mata, kudanya nampak tinggi kekar sementara penunggangnya nampak cekatan dan gesit, ketika melihat di puncak bukit hadir rombongan lain, kedua orang itu nampak sedikit sangsi.

Pada saat itulah dari kedua sisi jalan muncul dua sosok bayangan manusia yang segera menghadang jalan pergi kedua ekor kuda itu, mereka adalah Khong Bu-ki dan Yau Itkang.

"Siapa kalian?" Khong Bu-ki segera menegur.

"Apa urusan denganmu!" sahut lelaki berbaju hitam itu gusar.

"Ada urusan apa kalian berdua menempuh perjalanan malam?" tegur Yau It-kang pula sambil tertawa.

Lelaki yang lain juga mengenakan pakaian berwarna hitam, pada baju bagian dada seakan terlihat sebuah sulaman bunga berwarna kuning, sambil mengayun pecut dia menghardik, "Jangan menghalangi Toaya bekerja!"

Khong Bu-ki menangkis cambukan itu dengan tombaknya, kemudian pertarungan sengitpun segera berkobar.

Dalam pada itu Ui Thian-seng sudah mendekati arena pertarungan, ia merasa raut muka lelaki bercambuk itu amat dikenal olehnya.

Sementara itu pertarungan telah berlangsung makin sengit, terdengar lelaki bersenjata kapak berseru dengan suara gelisah, "Maknya ... kalian sudah kelewatan menghina kami orang-orang Pak-shia, baiklah, biar malam ini Locu mengadu jiwa denganmu!"

Biar sudah tua Ui Thian-seng masih memiliki mata yang jeli, begitu melihat sulaman bunga kuning di atas baju lelaki berbaju hitam itu, ia segera berseru tertahan, "Tahan! Orang sendiri!" Bentakan itu nyaring bagai guntur membelah bumi, bayangan manusia segera berpencar, lelaki bersenjata sepasang kapak segera berpaling, wajah yang semula penuh diliputi kegusaran berubah jadi kejut bercampur gembira, teriaknya, "Ui-lopocu, ternyata kau sudah datang! Ternyata kau benar-benar sudah datang!"

Ui Thian-seng mendongakkan kepala sambil tertawa nyaring, "Hahaha ... ternyata memang benar kau, Nyo Su-hay, kenapa ilmu Kay-san-hu (kapak pembelah bukit) milikmu tidak sehebat dulu?"

Nyo Su-hay tertawa lebar hingga nyaris tak sanggup merapatkan mulut, seakan baru bertemu dengan sanak yang sudah lama tak bersua, ia segera menarik lengan lelaki kasar yang lain maju mendekat dan menjura seraya berseru, "Uilopocu, tadi Su-hay memang punya mata tak berbiji hingga begitu berani bertarung melawan kau orang tua, perbuatanku patut dihukum mati ... dia adalah saudara kita dari Benteng Pak-shia, bernama Tiau Sin, ingin menjumpai Ui-lopocu”

"Tidak usah banyak adat!" sela Ui Thian-seng sambil tertawa.

Siapa tahu Tiau sin segera menjatuhkan diri berlutut, lekas Ui Thian-seng membangunkannya, tapi dengan pedih Tiau Sin berkata, "Dengan susah payah kami berjuang untuk lolos dari kepungan, tujuannya tak lain adalah untuk mencari Ui-pocu, Lam-cecu dan Say-tincu ... Pak-shia sudah berbulan-bulan dikepung empat iblis langit, kini persediaan ransum sudah menipis. Orang-orang dalam benteng sudah banyak yang setengah mati karena kelaparan, dalam kondisi begini dilanda pula penyakit menular, sungguh kasihan kaum wanita, orang tua dan anak-anak, selama beberapa bulan terakhir banyak yang mati karena pertarungan, mati karena sakit dan kelaparan, sudah mendekati separuh penduduk kota yang menemui ajalnya, seandainya tidak dicegah nona Pek, sejak awal dia sudah ingin menyerbu keluar dari benteng untuk mengadu jiwa dengan kawanan begundal itu." "Cepat bangun” seru Ui Thian-seng dengan wajah berubah, "bagaimana keadaan benteng Pak-shia saat ini?"

Bukannya bangkit berdiri, malah bersama Nyo Su-hay mereka berlutut sambil memohon, "Pak-shia sudah hampir jatuh, empat iblis Su-toa-thian-mo dengan memimpin keenam belas orang jagoannya sedang menyerang kota untuk ketiga kalinya, kami sudah hampir tak mampu mempertahankan diri. Dari sepuluh pelindung kota, sudah tiga orang yang tewas dan tiga orang lainnya dijadikan 'manusia obat' untuk berbalik menyerang kota, ada dua orang lagi terluka sangat parah, aaai...”

"Cepat bangun, bangun dulu baru bicara," seru Ui Thianseng dengan suara berat.

Dengan berat hati Tiau sin merangkak bangun, katanya lagi; "Kekuatan kami tinggal beberapa puluh orang saja yang masih mampu bertarung, dengan berbekal nekad, kami berusaha menjebol kepungan untuk mencari bala bantuan, tapi kenyataan sekarang ... dari puluhan orang, tinggal kami berdua yang berhasil lolos, sedang lainnya...”

Ui Thian-seng menghela napas panjang. "Pasukan yang dikirim Lam-ce maupun Say-tin mengalami musibah dan penghadangan hingga mustahil bisa membantu kalian, sementara kekuatan benteng kami pun terpaksa harus dibagi jadi tiga bagian, satu bagian pergi menolong Lam-ce dan Saytin, satu bagian tetap mempertahankan benteng Tang-po sedang sisanya ikut aku menuju Pak-shia, siapa tahu sepanjang jalan kami berulang kali menjumpai penghadangan, yang tersisa kini pun tinggal tak seberapa...”

"Asal Lo-pocu sudah datang, Pak-shia pasti akan tertolong gumam Nyo Su-hay lirih, "aneh, keberhasilan kami lolos dari kepungan pun sebagian dikarenakan kekuatan pihak lawan secara tiba-tiba melemah, seolah secara tiba-tiba kekuatan mereka melemah setengahnya”

"Padahal tak ada yang perlu diherankan," tukas Ui Thianseng cepat, "hal ini dikarenakan malaikat iblis Cun Yu-siang beserta keempat malaikat bengisnya, Dewa iblis Lui Siau-jut dengan keempat bocah pencabut nyawanya telah tewas di tangan kami."

Semacam sorot mata aneh tiba-tiba melintas dari balik mata Tiau Sin dan Nyo Su-hay, mendadak teriak mereka kegirangan, "Kalau begitu bagus sekali... bagus sekali... Lopocu, bagaimana kalau sekarang juga kita berangkat ke Pakshia, kita tak boleh membuang waktu lagi."

"Baik," sahut Ui Thian-seng memutuskan, "tadinya kami enggan menempuh perjalanan malam lantaran tidak hapal seluk-beluk jalanan sekitar sini, kami kuatir terjebak dan, kena bokongan musuh, selain itu juga kuatir terjadi kesalah pahaman, tapi sekarang berbeda, dengan kau bertindak sebagai petunjuk jalan, memang lebih baik jika kita berangkat sekarang."

Ui Thian-seng berpaling ingin bertanya kepada Tanpa Perasaan, terlihat olehnya keempat orang bocah berbaju hijau itu sudah menggotong tandunya siap melakukan perjalanan, maka dia pun tidak banyak bicara lagi.

Sebaliknya Tiau Sin dan Nyo Su-hay mengawasi tandu itu sekejap dengan pandangan ragu, seakan ada yang mereka pikirkan.

Namun tak ada yang buka suara, juga tak terdengar sedikitpun suara.

Maka kuda pun ditinggalkan di bawah bukit, di bawah sinar rembulan, rombongan kecil itu mulai bergerak menembus hutan, langkah mereka sangat cepat namun tidak menimbulkan suara.

Tak selang dua kentongan, mereka sudah menuruni bukit Ci-pak-san, menelusuri jalanan setapak, sebuah benteng kuno sudah mulai nampak di kejauhan sana.

Suasana kota Pak-shia saat ini sudah tidak semegah dahulu lagi, seluruh kota dicekam kegelapan, tak secercah cahaya pun yang nampak.

Ketika rombongan itu semakin mendekati pintu kota, maka terbacalah tiga huruf besar yang terpampang dipintu gerbang kota," Wu-yangshia!'. Di sisi huruf besar itu, terukir pula beberapa huruf kecil yang bertuliskan, "Ditulis oleh Ciu Keng".

Ciu Keng adalah cikal-bakal pendiri benteng, dia adalah Shia-cu pertama benteng itu, kini sudah menurun sampai generasi keempat yang dipimpin oleh Ciu Pek-ih.

Hanya saja selama ini kota Pak-shia terkenal karena ramai dan megah, sepanjang sejarah belum pernah kota itu dicekam keheningan dan kegelapan seperti malam ini, mendatangkan kesan mengenaskan bagi yang melihat.

Ui Thian-seng merasa terenyuh, dia menghela napas panjang.

Tapi Tiau Sin buru-buru mencegahnya bicara lebih jauh, bisiknya, "Sst ... musuh berada di sisi kiri dan setiap saat mungkin akan muncul sambil melancarkan serangan, harap Uilopocu jangan berisik, biar kukirim tanda rahasia dulu untuk mengadakan kontak dengan Ciu-siaushiacu."

Ui Thian-seng manggut-manggut, maka Nyo Su-hay mengayunkan tangannya melepaskan tiga titik cahaya bintang ke langit, ketiga cahaya itu melesat ke udara lalu lenyap ditelan kegelapan.

Tak lama kemudian dari atas benteng kota melesat pula tiga titik cahaya bintang.

Diam-diam Ui Thian-seng terperanjat, dia tak menyangka kota yang nampak hening dan sepi itu ternyata memiliki penjagaan yang begitu ketat, bahkan setiap saat selalu dalam kewaspadaan tinggi.

Menyusul kemudian pintu kota dibuka orang, setitik cahaya lentera memancar keluar dari balik pintu.

Tiau Sin kembali berbisik, "Pintu kota sudah dibuka, ayo cepat kita masuk ke dalam, jangan sampai ditunggangi musuh."

Hingga kini musuh masih mengepung di sekeliling kota, sudah pasti penghuni kota tak akan berani membuka pintu gerbang menyambut kedatangan orang, untuk mengatasi persoalan ini, mereka hanya berani menggunakan cahaya lentera sebagai tanda rahasia, bagi mereka yang memahami tanda rahasia itu tentu saja segera akan bergerak masuk, tapi bagi yang tidak memahami, dapat dipastikan mereka akan ragu untuk bertindak.

"Cepat!" bisik Nyo Su-hay kemudian, dengan langkah lebar dia menerjang masuk terlebih dahulu, maka kawanan jago yang lain pun menguntit di belakangnya dan langsung memasuki pintu gerbang kota.

Ketika tiba di samping pintu gerbang, sekuat tenaga Nyo Su-hay mendorongnya ke belakang, diiringi suara gemuruh keras pintu baja yang besar itu terbuka setengah depa.

"Cepat menerobos masuk!" kembali Nyo Su-hay berbisik kegirangan.

Ternyata hingga detik ini musuh masih belum mengetahui jejak mereka, boleh dibilang hal ini merupakan satu keberuntungan, masalahnya sekarang mereka berada di tempat terang sementara musuh berada di tempat gelap, tak seorang pun di antara mereka mau berdiam lebih lama di luar kota, maka serentak semua orang menerobos masuk ke dalam kota.

Di dalam kota berdiri seorang kakek berwajah penuh keriput, jenggotnya sudah memutih semua, dia tua lagi bungkuk, tangannya memegang sebuah tongkat besar, kasar lagi berwarna hitam, tampaknya kakek ini tak akan mampu berdiri tegak tanpa memegang tongkat itu.

"Cepat masuk, cepat masuk, Pocu sedang menunggu di dalam."

Dengan langkah lebar Ui Thian-seng melangkah masuk ke dalam disusul Khong Bu-ki, keempat bocah, berbaju hijau dengan menggotong tandu ikut menerobos masuk ke dalam kota. Sementara Chin Ang-kiok, Ci Yau-hoa, Pedang bunga bwe, Pedang anggrek, Pedang bambu dan Yau It-kang baru saja akan menyusul masuk, mendadak terlihat salah seorang di antara bocah berbaju hijau itu membisikkan sesuatu ke sisi telinga Ui Thian-seng.

Begitu selesai mendengar bisikan itu, Ui Thian-seng yang sedang melangkah masuk itu segera menghentikan langkahnya sembari bertanya, "Mana Ong tua? Bukankah orang yang menjaga pintu adalah Ong tua?"

"Sudah mati," sahut kakek itu sambil memicingkan mata dan menghela napas panjang, "dia telah dibunuh oleh kawanan laknat berhati keji itu."

"Siapa kau?" mendadak Ui Thian-seng membentak nyaring.

Tiba-tiba kakek itu melompat mundur dengan gerakan cepat kemudian memperdengarkan suara suitan nyaring, melengking dan memekakkan telinga, tongkat di tangannya diputar kencang kemudian melontarkah sesuatu ke arah tandu.

"Blam!", benda yang menghantam tandu kembali terbang berpusing lalu meluncur balik ke tangan kakek itu.

Semua kejadian itu berlangsung dalam waktu singkat, tampaknya si Tanpa Perasaan telah dibokong orang!

Ui Thian-seng merasa sedih bercampur gusar, sambil menghardik nyaring dia melolos goloknya.

Di kala ia sedang melolos senjatanya, pertahanan tubuh pun terbuka hingga muncul titik kelemahan, tiba-tiba Nyo Suhay memanfaatkan kesempatan itu melancarkan sebuah bacokan maut dengan kapaknya.

Serangan kapak itu cepat bagaikan sambaran kilat.

Mimpi pun Ui Thian-seng tidak menyangka kalau orang yang melancarkan serangan bokongan justru datang dari orang yang berada di sisinya.

Tampaknya keempat orang bocah berbaju hijau itu sudah menduga akan terjadinya peristiwa itu, dua bilah pedang perak segera disilangkan ke depan dan "Criing!", bacokan kapak itu segera ditangkis, sementara dua bilah pedang emas langsung menusuk jalan darah penting di belakang tubuh Nyo Su-hay.

Oleh karena keempat orang bocah berbaju hijau itu turun tangan bersama, tandu yang mereka pikul pun segera terjatuh ke tanah, tepat di depan pintu gerbang kota.

Meski menghadapi ancaman bahaya maut Nyo Su-hay sama sekali tak panik, mendadak dia mencabut keluar kapaknya yang lain kemudian menangkis datangnya tusukan dari sepasang pedang emas itu.

Kemudian sambil mengayunkan sepasang kapaknya, dia mulai bertarung sengit melawan keempat orang bocah itu, bukan saja serangannya jauh lebih cepat ketimbang gerak serangannya sewaktu bertarung melawan Khong Bu-ki dan Yau It-kang dua kentongan sebelumnya, bahkan jauh lebih ganas dan hebat.

Pada saat itulah tiba-tiba Tiau Sin menyerbu maju ke muka, beruntun dia melancarkan belasan serangan dengan cambuk kudanya untuk memukul mundur keempat orang bocah berbaju hijau itu.

"Mundur!" tiba-tiba kakek itu membentak nyaring.

Bagaikan segulung asap tipis Nyo Su-hay dan Tiau Sin segera melesat ke sudut kota di ujung sana, sementara para jago masih tak habis mengerti oleh ulah lawan, kakek itu sudah mendongakkan kepala sambil memberi perintah lagi, "Tuang!"

Begitu rombongan Ui Thian-seng mendongakkan kepala ke atas, tak terlukiskan rasa terkejut mereka, ternyata di atas benteng kota berdiri dua orang lelaki berbaju hitam yang siap menuang segentong minyak mendidih ke arah bawah.

"Cepat mundur!" cepat Ui Thian-seng berteriak.

Tapi rombongan depan sudah telanjur memasuki kota, sementara orang yang berada di rombongan belakang masih belum jelas apa yang terjadi, padahal pintu gerbang kota lebarnya hanya setengah depa, mana mungkiri mereka bisa maju mundur secara gampang? Mau maju ke depan, di balik gerbang adalah tanah lapang yang luas, mana mungkin mereka bisa menyambut datangnya guyuran minyak mendidih dengan tangan?

Tampaknya rombongan Ui Thian-seng segera akan celaka terguyur minyak mendidih.

Pada saat itulah dari atas tembok benteng persis berhadapan dengan pintu gerbang menyambar lewat sekilas cahaya putih, sambaran itu cepat lagi gencar dan "Wes!", langsung menancap di atas batok kepala salah seorang dari dua lelaki yang siap mengguyur minyak mendidih ke bawah benteng.

Seketika itu juga lelaki itu roboh terjungkal ke bawah tembok.

Lelaki yang lain jadi terkesiap bercampur ngeri, dia tak berani lagi meneruskan guyuran minyak mendidih itu, sambil melejit ke udara dia mencabut goloknya siap melancarkan serangan, namun dari atas dinding di seberang sana lagi-lagi terlihat sekilas cahaya putih berkelebat dengan kecepatan tinggi.

"Turun!" kakek bersenjata tongkat segera membentak nyaring.

Buru-buru lelaki bersenjata golok itu menundukkan kepalanya sambil melompat turun, cahaya putih berkelebat persis di atas kepalanya, menanti ia berhasil melayang turun di bawah, beberapa lembar rambutnya yang terpapas kutung oleh sambaran cahaya putih itu ikut pula melayang turun dari udara.

Tak terlukiskan rasa takut dan ngeri yang mencekam hati lelaki itu, wajahnya berubah hijau kepucatan.

Dua buah gentong besar berisi minyak mendidih masih tertinggal di atas tembok benteng.

Di atas dinding benteng yang gelap duduk sesosok bayangan manusia, dia tak lain adalah seorang pemuda berbaju hijau yang cacad kedua kakinya.

Entah sedari kapan, si Tanpa Perasaan telah meninggalkan tandunya, tak seorang pun yang tahu, sedari kapan pula dia sudah berada di atas tembok kota.

Tampaknya sejak awal dia sudah tahu kalau gelagat tidak beres, maka sebelum terjadi sesuatu peristiwa, dia sudah berada di atas dinding kota duluan, ini yang dinamakan "belalang menubruk tonggeret, burung nuri mengincar dari belakang!".

Lelaki yang roboh binasa tadi, keningnya terhajar telak oleh sebilah pisau terbang sepanjang empat inci, Hui-to itu menghujam di atas keningnya hingga tertinggal gagangnya saja.

Dalam pada itu Nyo Su-hay, Tiau Sin beserta lelaki bergolok itu telah berdiri berjajar di belakang tubuh kakek itu, sementara si kakek tetap memandang semua orang dengan sepasang matanya yang sipit, meski setengah terpicing, namun sorot mata yang memancar keluar sungguh menggidikkan hati.

Di pihak lain, Chin Ang-kiok, Ci Yau-hoa, Pedang bunga bwe, Pedang bambu, Pedang anggrek serta Yau It-kang sudah menerobos masuk ke dalam benteng, kini pintu gerbang kota sudah didorong hingga terpentang lebar, semua orang pun saling berhadapan dalam dua rombongan.

Tiba-tiba kakek itu mendongakkan kepala dan tertawa seram, suaranya keras memekakkan telinga, bukan saja membikin gendang telinga semua orang terasa sakit, bumi pun seolah ikut bergetar keras.

Selesai tertawa, dengan sepasang matanya yang licik bagai rase, kakek itu berseru, "Bagus! Tanpa Perasaan, kau memang hebat!"

Tak terlukiskan rasa gusar Ui Thian-seng menghadapi kenyataan itu, mendadak satu ingatan melintas, dia seperti teringat akan seseorang, segera tegurnya, "Kau adalah Si Kupei?"

Kembali kakek itu mendongakkan kepala dan tertawa terairi, "Cun Yu-siang adik keempat dan Lui-samte telah tewas di tangan kalian, kau anggap aku akan berpeluk tangan saja?"

Dengan mata melotot Ui Thian-seng segera berpaling ke arah dua orang di sampingnya, kemudian tegurnya, "Berarti kalian juga bukan Nyo Su-hay dan Tiau Sin?"

Dari wajah 'Nyo Su-hay' dilepas selembar topeng kulit manusia, dia segera tampil sebagai seorang yang lain, sahutnya, "Tepat sekali, aku adalah anak buah si Pentolan iblis." "Aku adalah siluman besar Toa-yau dari empat siluman sakti," ujar 'Tiau Sin' sambil melepas juga selembar topeng kulit manusia.

Saking gusarnya, paras muka Ui Thian-seng berubah jadi kuning kehijauan, teriaknya penuh amarah, "Kemana perginya Nyo Su-hay dan Tiau Sin?"

'Tiau Sin' tertawa, "Topeng kulit manusia buatanku terbuat dari kulit manusia asli, menurut kau, kulit wajah siapa yang paling cocok digunakan sebagai bahan dasar topeng ini?"

"Lantas kemana perginya seluruh penghuni kota Pak-shia?" seru Ui Thian-seng lagi dengan wajah semakin gusar.

Suasana di dalam kota Pak-shia amat sepi, sedemikian sepinya seakan-akan berada dalam lingkungan tanah kuburan, bahkan tak sesosok bayangan manusia pun yang kelihatan, mungkinkah seluruh penghuni kota Pak-shia sudah dibantai orang?

Kini paras muka Ui Thian-seng telah berubah jadi merah padam, merah karena amarahnya telah memuncak, teriaknya keras, "Bagus, bagus sekali perbuatanmu Si Ku-pei! Hari ini aku bersumpah akan membalaskan dendam bagi kematian orang-orang Pak-shia!"

Perawakan tubuh Si Ku-pei gemuk, pendek mendekati cebol, sekilas pandang lebih mirip orang yang seluruh badannya sedang membengkak, lucu sekali, tapi begitu kau pandang sorot matanya, maka akan terasa bahwa orang ini selain jahat, keji, juga liciknya bukan kepalang.

"Biarpun kalian berhasil menjebol rintangan kami yang pertama, bukan berarti kemenangan telah kalian raih," ujarnya dingin, "aku pun tak punya pikiran untuk melepaskan kalian begitu saja, cepat atau lambat, pertarungan pasti akan terjadi. Cuma, sebelum itu aku ingin tahu, darimana kalian tahu kami berniat memecah belah kekuatan kalian, mengurung kalian dalam benteng lalu mengguyurnya dengan minyak mendidih?"

Hawa amarah Ui Thian-seng sudah memuncak hingga ke ujung rambut, apalagi melihat sikap Si Ku-pei yang begitu jumawa, seakan sama sekali tidak menganggap mereka sebagai musuh yang sepadan.

Namun sebagai orang yang jujur dan berbudi, dia enggan berebut jasa dengan orang lain, maka sahutnya tegas, "Bukan aku yang mengetahui ketidak beresan ini, si engkoh cilik itu yang minta aku bertanya kemana perginya Ong tua si penjaga pintu, padahal sudah puluhan kali aku berkunjung kemari, setiap kali datang, penjaga pintunya selalu berbeda, mana ada yang bernama Ong tua sebagai penjaga pintu gerbang? Hm, justru jawaban kalian yang menimbulkan kecurigaan kami."

'Si engkoh cilik' yang dimaksud tak lain adalah bocah berbaju hijau yang menggunakan ilmu pedang pemutus usus tadi, terdengar ia menyambung dengan suaranya yang polos, "Padahal pertanyaan itu bukan berdasarkan pikiranku, Kongcu kami yang menyuruh aku menyampaikan kepada Ui-lopocu, bahkan dia pun berpesan agar kami selalu waspada atas bokongan dari orang she 'Nyo' dan orang she 'Tiau' yang bisa dilakukan setiap saat."

Tanpa terasa semua orang mendongakkan kepala, tampak si Tanpa Perasaan dengan baju putihnya yang berkibar terhembus angin masih berada di atas dinding benteng.

Selang beberapa saat kemudian ia baru berkata, "Sebetulnya aku sendiri pun tidak tahu, bukan saja tak pernah berjumpa dengan Nyo Su-hay maupun Tiau Sin, aku pun belum pernah memasuki kota Pak-khia, mereka semua juga tidak memperlihatkan setitik kelemahan pun yang mencurigakan, justru yang menimbulkan kecurigaanku adalah pertarungan antara mereka berdua melawan saudara Khong dan Yau tadi, pertarungan itu kurang seru seakan dibuat-buat. Selain itu ketika menuruni bukit, kalian berdua pun menunjukkan kemahiran dalam ilmu meringankan tubuh, justru yang membuat aku curiga adalah kenapa kalian berdua sengaja menyembunyikan kungfu asli yang hebat? Kalau sudah beberapa hari tidak makan minum maupun beristirahat, kenapa gerak-gerik kalian tetap segar bugar? Biarpun semua itu hanya urusan sepele, tapi sangat menyolok bagiku." Selesai mendengar penjelasan itu, tanpa sadar Si Ku-pei melotot sekejap ke arah 'Tiau sin' serta 'Nyo Su-hay', kedua orang yang dipelototi pun hanya bisa saling bertukar pandang.

Terdengar si Tanpa Perasaan melanjutkan kembali katakatanya, "Padahal kau tak perlu menyalahkan mereka, jika kota Pak-shia benar-benar sudah terkepung, mustahil segampang itu kami bisa memasuki kota ini. Kalian bilang harus melalui pertarungan berdarah sebelum berhasil lolos dari kepungan, tapi di seputar tempat ini tiada jejak pertarungan terbaru, kalaupun ada, jejak pertarungan itu sudah terjadi tujuh-delapan hari berselang. Yang lebih penting lagi adalah kalian menggunakan petasan sebagai kode penghubung, aneh, sungguh aneh, apa kalian tidak kuatir petasan itu justru menarik perhatian para musuh yang sedang mengepung? Memangnya justru ingin menunjukkan keberadaan kalian? Kemudian sebelum masuk ke dalam kota, aku sempat mengendus bau minyak mendidih, maka setelah meninggalkan beberapa pesan kepada keempat bocahku, diam-diam aku melayang naik ke atas benteng dan berputar kemari, begitu kulihat dua orang dengan dua gentong minyak mendidih, segala sesuatunya pun jadi jelas."

Si Ku-pei mendongakkan kepala dan tertawa seram, diaj hujamkan tongkatnya ke tanah, lalu berseru, "Bagus! Bagus sekali! Kau memang tak malu menjadi salah satu di antara empat opas kenamaan! Tak aneh kalau aku pun tidak melihat sedari kapan kau naik ke atas tembok kota, rupanya sebelum masuki kemari, kau sudah naik duluan, kalau begitu mataku memang belum rabun!"

"Hm, kalau aku tidak naik duluan sebelum memasuki kota, mungkin badanku sudah remuk karena gebukan tongkatmu!" jengek Tanpa Perasaan dingin.

"Sayangnya, mau naik duluan atau naik belakangan, nasibmu tetap sama, badanmu tetap bakal hancur," ejek Si Ku-pei tertawa.

Begitu selesai berkata, dia segera melambung ke udara, badannya berpusing seperti sebuah kitiran langsung meluncur ke atas dinding kota, bayangan tongkat sebagai kitiran dan tubuhnya sebagai sumbu.

ooOOoo
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar