Pertemuan di Kotaraja Bab 17 : Membunuh Dewa Iblis

17. Membunuh Dewa Iblis.

Suara tertawa si Dewa iblis amat nyaring, sedemikian nyaringnya membuat seluruh dinding tebing curam yang ada di sekitar tempat itu ikut bergetar keras, tanah dan bebatuan seakan dilanda gempa dahsyat, bumi serasa ikut bergetar.

Berubah hebat paras muka Ui Thian-seng, melihat kawanan jago baru akan berbelok menuju ke selat sempit, kembali ia membentak keras, "Cepat mundur dari tempat ini!" Terlihat batu dan pasir berguguran ke bawah dengan hebatnya, batu raksasa yang menggelinding jatuh seketika menyumbat semua jalan mundur kawanan jago itu, baru beberapa langkah Khong Bu-ki dan lainnya mengundurkan diri, ada tujuh delapan buah batu raksasa telah menyumbat jalan setapak yang sempit itu hingga semua jalan terhadang.

Ketika Ui Thian-seng mendongakkan kepala, lamat-lamat ia saksikan di atas tebing curam terdapat empat sosok bayangan manusia yang sedang mendorong batuan besar ke bawah tebing.

Bebatuan cadas yang besar dan berat memang berserakan di sepanjang tebing curam itu, karenanya asal didorong sedikit saja, bebatuan itu akan segera terguling dan meluncur ke bawah.

Padahal bebatuan cadas itu rata-rata sangat besar, paling tidak beratnya mencapai tiga ratusan kati, betapapun hebatnya tenaga dalam seseorang, bila tertumbuk oleh bebatuan cadas itu niscaya akan hancur.

Hal ini masih ditambah dengan situasi medan yang sangat tidak menguntungkan, selain jalan setapak sangat sempit, tidak gampang untuk berkelit, setiap kali ada batu cadas yang berguling ke bawah, jelas ruas jalan setapak pun bertambah sempit beberapa depa, jika kurang hati-hati menghindarkan diri, salah-salah badan bisa tergelincir masuk ke dalam jurang yang tak terhingga dalamnya.

Setelah meninjau sejenak keadaan situasi Ui Thian-seng segera sadar, satu-satunya jalan keluar baginya saat ini hanya menerjang ke arah pintu selat Kiam-bun-kwan.

"Terjang!" bentaknya tiba-tiba.

Cahaya golok berwarna keemasan segera berkilauan membelah angkasa, dia menerjang lebih dahulu ke arah Kiambun-kwan.

Melihat tingkah polah lawannya, Dewa iblis Lui Siau-jut hanya tersenyum, tiba-tiba ia melancarkan serangan.

Mulut selat untuk menuju ke Kiam-bun-kwan amat sempit, permukaan tanah jalan setapak pun amat gembur, bila orang kurang berhati-hati, besar kemungkinan akan terpeleset dan jatuh ke dalam jurang, bila ingin masuk selat itu dengan aman, satu-satunya jalan hanya melalui atas kepala Lui Siaujut.

Dalam posisi dan kondisi semacam inilah Dewa iblis melancarkan serangan!

Ketika golok emas Ui Thian-seng membacok ke bawah, Lui Siau-jut segera membungkukkan badan sambil menerobos bawah perut lawan.

Dengan posisi melambung di tengah udara, Ui Thian-seng akan menderita kerugian besar, bahkan pertahanan tubuhnya akan terbuka.

Lui Siau-jut segera mementang kelima jari tangannya yang keras bagai baja untuk menusuk hulu hati jago tua itu.

Lekas Ui Thian-seng menarik napas panjang, dia paksa tubuhnya melambung setengah depa lagi ke udara.

Lui Siau-jut segera membalik telapak tangan sambil melanjutkan cengkeraman, kali ini yang diarah adalah ikat pinggang Ui Thian-seng, begitu terpegang segera dia mengerahkan tenaganya sambil mengayun kuat-kuat, dia lemparkan tubuh jago tua itu ke arah jurang di sisi sebelah kanan.

Ui Thian-seng meraung gusar, tergopoh-gopoh dia kerahkan ilmu bobot seribu untuk meluncur ke permukaan tanah, apa mau dikata, badannya sudah terlanjur melewati batas jalan setapak itu, tanpa ampun badannya segera meluncur ke dalam jurang.

Mengetahui rekannya dalam bahaya, Khong Bu-ki segera menghentakkan tombaknya ke arah Ui Thian-seng yang sedang meluncur bebas.

Melihat ada tombak mengarah dekat tubuhnya, cepat Ui Thian-seng mencengkeramnya lalu bergelantungan di atas senjata itu.

Khong Bu-ki menghentakkan senjatanya, meminjam tenaga hentakan itu, Ui Thian-seng melayang balik ke posisi semula, walaupun akhirnya selamat, tak urung semua orang bermandikan peluh dingin saking tegangnya.

Lui Siau-jut tidak berniat melancarkan sergapan berikut, dia hanya berjaga di mulut selat dengan senyuman di kulum.

Hanya dalam satu gebrakan saja dia nyaris merenggut nyawa Ui Thian-seng, tentu saja orang lain semakin tak berani bertindak gegabah dengan melancarkan serangan ke arah iblis itu, apalagi mulut selat itu hanya bisa dilewati satu orang, kalau ingin menyerang pun hanya satu orang yang bisa melakukannya, tak seorang pun yakin bisa mengalahkan kesepuluh jari tangan Lui Siau-jut dalam situasi dan kondisi yang begitu tak menguntungkan ini.

"Blam, blam, blam", lagi-lagi ada batu cadas raksasa yang terguling dari atas tebing menghantam jalan setapak.

Sambil tertawa Lui Siau-jut berkata, "Inilah hadiah dari Soh-mia-su-sian-tong empat bocah dewa pembetot sukma, silakan kalian terima!"

"Lui Siau-jut," umpat Chin Ang-kiok gusar, "kalau punya nyali ayo kemari, kita berduel untuk menentukan menang kalah, membokong orang dengan cara busuk dan memalukan macam begitu, terhitung enghiong macam apa kau!"

Lui Siau-jut mendongakkan kepala tertawa terbahak-bahak, "Hahaha ... asal dapat menang, peduli amat enghiong atau bukan, bagi kami, semua cara itu halal!"

Begitulah, hujan batu cadas masih berhamburan dari atas tebing, sementara Lui Siau-jut berdiri menghadang di mulut selat yang sempit, Ui Thian-seng mesti pontang-panting menghindarkan diri dari timpaan batu gunung, keadaannya selain berbahaya juga amat mengenaskan.

Setelah serangkai hujan batu lewat, jalan setapak yang sempit itu sudah dipenuhi bebatuan yang berserakan di manamana, nyaris jalanan itu terputus dan susah dilalui lagi.

Ci Yau-hoa, Khong Bu-ki, pedang bambu dan pedang anggrek berempat terpisah sejauh beberapa kaki dari rombongan, mereka terhadang bebatuan cadas yang menggunung, sementara Ui Thian-seng, Chin Ang-kiok serta Pedang seruni, Pedang bunga bwe serta tiga orang pelindung benteng masih berdiri di mulut selat, saling berhadapan dengan Lui Siau-jut.

Lui Siau-jut tertawa terbahak-bahak, serunya lagi, "Anakanak, ayo sekali lagi!"

Diiringi suara gemuruh keras, kembali bebatuan gunung bergulingan dari atas tebing, sekali lagi para jago dibuat kalang-kabut tak keruan, semua orang berusaha menghindarkan diri, masih untung bagi keempat dayang bertubuh ramping, mereka punya kesempatan lebih besar untuk menghindarkan diri.

Berbeda dengan Sui-pit-jiu (tangan sakti penghancur cadas) Lu Ban-seng yang bertubuh tinggi besar, dia jadi kurang leluasa untuk menghindarkan diri, akhirnya sebuah batu besar menimpa di atas tubuhnya.

Baru saja dia muntah darah sambil roboh terjungkal, lagilagi sebuah batu raksasa menindih di atas badannya, tanpa ampun dia tewas seketika.

Menggunakan kesempatan di kala hujan batu sedang berlangsung, ketika debu dan pasir sedang beterbangan di angkasa, Chin Ang-kiok melepaskan tiga batang Hui-yan-piau, langsung diarahkan ke mulut selat Kiam-bun-kwan.

Pada saat yang sama Yu Keng-tong berusaha menerobos ke depan, baginya ia lebih suka bertarung habis-habisan melawan Lui Siau-jut ketimbang mati konyol di dasar jurang macam Lu Ban-seng.

Tiga batang Hui-yan-piau yang dilepas Chin Ang-kiok berhasil dihindari Lui Siau-jut secara mudah, baru saja perempuan itu berusaha menerobos mulut selat, tahu-tahu dewa iblis sudah muncul di hadapannya.

Segera Chin Ang-kiok melontarkan sebuah tusukan, tapi Lui Siau-jut membalikkan tangan mencengkeram pedang yang sedang menyambar tiba.

Perempuan itu terperanjat, sadar tak mungkin bisa menembus halangan di mulut selat itu, lekas dia mengambil keputusan, sambil membuang pedangnya dia melayang keluar dari selat yang sempit itu.

"Bagus, tindakan yang cerdas!" puji Lui Siau-jut sambil tertawa nyaring.

Menyusul kemudian terdengar jeritan ngeri yang memilukan hati berkumandang memecah keheningan, tubuh si naga sakti dari kolam Che, Yu Keng-tong terpental keluar dari jalan setapak dan meluncur ke dasar jurang dengan kecepatan tinggi, di atas dadanya tertancap pedang bercabang milik Chin Ang-kiok yang baru saja ditinggalkan.

Suasana hening yang mencekam menyelimuti seluruh tempat, hujan batu pun ikut berhenti sementara waktu.

Lui Siau-jut dengan garang dan gagahnya berjaga di mulut selat, biar dia hanya seorang diri, namun tak gampang untuk menembus pertahanannya itu.

Sepasang mata Ui Thian-seng sudah memerah lantaran gusar bercampur dendam, kepada Chin Ang-kiok serunya, "Sebentar kalau aku sudah menyerang maju dan menahan serangannya, kalian gunakan kesempatan itu untuk menerobos masuk ke dalam selat, tak usah pedulikan keselamatanku, kalian semua bukan tandingannya."

"Hm!" Chin Ang-kiok mendengus dingin, "bila kau mengadu jiwa dan kami berhasil lolos, itu masih ada harganya, celakanya kalau kau sudah mengorbankan jiwa dengan sia-sia, semua orang di sini tak bisa lolos, konyol namanya!"

Baru selesai mereka berbincang, diiringi suara tertawa nyaring, Lui Siau-jut berseru kembali, "Anak-anak, mari kita lakukan serangan yang ketiga kalinya!"

Kembali batu gunung bergulingan ke bawah tebing diiringi suara gemuruh yang memekakkan telinga, semua orang sekali lagi pontang-panting berusaha meloloskan diri.

Pedang seruni sudah menderita luka yang cukup serius semenjak pertarungannya melawan empat manusia bengis tempo hari, tak heran gerak-geriknya kurang lincah dan sedikit parah, tanpa disadari tubuhnya bergeser semakin dekat dengan mulut selat, ketika sadar akan posisinya, keadaan sudah terlambat, secepat sambaran kilat Lui Siau-jut telah mencengkeram tenggorokannya dan menggenjet hingga hancur.

Sekali lagi keheningan mencekam, yang tersisa saat ini hanya bebatuan gunung dan pasir yang berserakan di sepanjang jalan setapak itu.

Kini seluruh jalan setapak nyaris tersumbat oleh bebatuan besar, bila hujan batu sekali lagi dilancarkan, dapat dipastikan rombongan Ui Thian-seng bakal mati konyol di depan selat Kiam-bun-kwan itu.

Sadar akan situasi yang semakin tidak menguntungkan, Ui Thian-seng berbisik kepada Yau It-kang, "Bagaimanapun juga kita harus mengadu jiwa, daripada duduk menunggu kematian, lebih baik berusaha hingga titik darah penghabisan, gunakanlah senjata rahasia untuk menyerang, Chin-lihiap akan membantumu dengan sepenuh tenaga, sementara aku akan berusaha menjebol halangan itu."

"Baik!" sahut Yau It-kang.

"Baiklah," sahut Chin Ang-kiok pula sambil menghela napas.

Pada saat itulah tiba-tiba di atas tebing curam itu muncul suatu gerakan aneh.

Ketika Ui Thian-seng mendongakkan kepala, tampak keempat orang yang berada di puncak tebing telah menghentikan serangannya, sementara di hadapan mereka telah muncul empat orang manusia berbaju hijau, dilihat dari kejauhan, keempat orang itu mirip empat bocah lelaki yang mengusung sebuah tandu, siapa yang berada dalam tandu, tak seorang pun tahu.

Tampak kawanan bocah dewa pencabut nyawa yang mengenakan baju ungu itu segera maju mengepung, bahkan terlihat seperti mengucapkan beberapa patah kata, menyusul kemudian salah seorang di antara keempat manusia berbaju ungu itu tiba-tiba roboh terkapar.

Menyusul terlihat seorang manusia berbaju ungu lain melambung ke udara, di bawah cahaya matahari yang terik, tampak tubuhnya berjumpalitan beberapa kali di angkasa dan kelihatannya segera akan menerjang masuk ke balik tandu itu.

Tiba-tiba badannya yang melambung itu terhenti secara mendadak lalu terlempar ke dalam jurang, melewati jalan setapak di bawah dan meluncur langsung ke dasar jurang, jeritan ngeri yang memilukan hati kembali bergema memecah keheningan.

Ketika tubuh orang itu meluncur ke dasar jurang dan melalui sisi jalan setapak, semua orang dapat melihat dengan jelas bahwa di dada Sian-tong atau bocah dewa itu telah tertancap tiga batang anak panah yang berwarna kebirubiruan.

Tak ada yang tahu apa yang sudah terjadi di puncak tebing itu, tak ada yang tahu siapa manusia yang berada di dalam tandu itu, tapi bila dalam tandu benar-benar ada penghuninya, bahkan dalam sekali gebrak saja telah merobohkan dua orang bocah dewa pencabut nyawa, kehebatan kungfunya benarbenar menakutkan.

Berubah hebat paras muka Lui Siau-jut, teriaknya, "Anakanak, cepat turun kemari!"

Kalau dengan dua tangan pun tak bisa mengalahkan lawan, apalagi dari dua tangan tinggal tangan sebelah, jelas mustahil bisa menangkan musuhnya dalam kondisi seperti ini. Lui Siaujut sadar, daripada membiarkan dua orang bocah itu mengadu jiwa melawan orang dalam tandu, lebih baik selamatkan dulu yang tersisa baru kemudian mencari kesempatan untuk melakukan pembalasan.

Dalam pada itu Ui Thian-seng dan lainnya tidak terburuburu menerjang masuk ke selat Kiam-bun-kwan, asal dari atas tebing tak ada bebatuan gunung yang dijatuhkan lagi, paling yang bisa dilakukan Lui Siau-jut sekarang hanya mengurung mereka di tempat itu. 

Menggunakan kesempatan ini Ci Yau-hoa, Khong Bu-ki melewati tumpukan batu gunung yang berserakan dan bergabung kembali dengan Chin Ang-kiok. Dua orang bocah dewa tersisa yang ada di puncak tebing pun kabur ke bawah setelah mendengar teriakan si Dewa iblis, meski tebing itu curam, dengan kepandaian silat yang dimilikinya tidaklah terlalu sulit bagi mereka untuk menuruninya.

Keempat bocah berbaju hijau yang menggotong tandu pun perlahan-lahan ikut bergerak turun dari puncak tebing.

Padahal jalan tebing itu sempit, licin dan curam, berjalan seorang diri saja sudah amat sulit apalagi menuruni tebing sambil menggotong tandu, namun keempat orang bocah itu dapat berjalan tenang dan santai seakan sedang berjalan di jalanan datar saja, hal ini membuktikan kepandaian yang mereka miliki luar biasa.

Terkejut, kagum bercampur terkesima menyelimuti perasaan Ui Thian-seng, siapa gerangan jago yang berada dalam tandu itu?

Pertempuran sengit yang berlangsung di puncak tebing itu, bila dipandang dari punggung bukit yang jauh seakan pertarungan yang singkat, bahkan lebih mirip orang sedang menari, padahal sesungguhnya merupakan pertempuran berdarah yang benar-benar luar biasa tegangnya.

Soh-mia-sia-tong, bocah dewa pencabut nyawa, sesungguhnya sudah bukan bocah lagi, mereka adalah empat bersaudara, karena pertumbuhan badan mereka sudah terhenti sejak berusia sepuluh tahun, maka bentuk badan mereka menjadi cebol dan kecil selamanya, namun hati mereka sangat keji, buas dan telengas.

Tangan mereka sudah penuh berlepotan darah, jumlah korban yang tewas di tangan mereka berempat sudah tak terhitung jumlahnya, kali ini mereka mendapat perintah dari Lui Siau-jut untuk mendorong bebatuan dari puncak tebing, bagi keempat orang itu, tugas ini sangat menggembirakan dan merangsang hati, bagi mereka, berbuat begini seperti sedang menginjak mati semut kecil yang sedang merangkak, selain merangsang juga amat menghibur. Tatkala mereka sedang bersiap mendorong bebatuan gunung untuk keempat kalinya, tiba-tiba terdengar suara aneh bergerak mendekat, ketika mereka serentak membalikkan tubuh, terdengar seorang dengan suara dingin tapi penuh bertenaga menegur, "Kalian empat bocah dewa pencabut nyawa?"

Keempat orang itu serentak maju mengepung, justru lantaran wajah mereka mirip bocah cilik, mereka paling benci melihat bocah cilik, khususnya bocah-bocah cilik berwajah tampan, rasa benci mereka seolah ingin menelannya bulatbulat.

Padahal bicara sejujurnya, justru korban terbanyak yang tewas di tangan mereka adalah kawanan bocah cilik yang berwajah manis.

Menghadapi kepungan keempat bocah berbaju ungu itu, empat bocah berbaju hijau yang mengusung tandu sama sekali tidak panik atau gugup, terlihat sebilah pedang yang berbeda bentuknya tersoren di pinggang mereka.

Salah seorang bocah berbaju ungu segera menegur, "Manusia busuk darimana yang berada dalam tandu? Suruh dia cepat merangkak keluar untuk menerima kematian!"

Salah seorang bocah pengangkat tandu segera menjawab lembut, "Kongcu kami tidak leluasa bergerak sendiri, kalau hanya mengandalkan kemampuanmu, masih belum berhak untuk menghadirkan beliau."

Bocah berbaju ungu itu tertawa seram, umpatnya penuh amarah, "Tajam amat mulut busukmu, kenapa Kongcumu itu tidak leluasa bergerak sendiri? Memangnya kakinya buntung atau lumpuh separoh badan?"

Baru ia menyelesaikan perkataan itu, tiba-tiba berkelebat sinar tajam dari balik tandu, tahu-tahu ia merasa alis matanya kaku, pandangan mata jadi gelap dan tubuhnya roboh terjengkang ke tanah.

Ketiga bocah lainnya hanya melihat berkelebatnya sebuah benda dari balik tandu, tahu-tahu bocah berbaju ungu itu sudah roboh terkapar dengan sebatang jarum perak menancap sedalam setengah inci di tengah antara alis matanya.

Begitu rekannya roboh terkapar, paras muka ketiga bocah itu berubah hebat, salah seorang di antaranya segera melejit ke udara sambil menyerang.

Orang ini adalah bocah paling tangguh, paling hebat dan paling gesit di antara keempat bocah lainnya, begitu tubuhnya melambung dengan ilmu meringankan tubuh Cau-sang-pengpo (berombak tenang di atas rumput), ia segera berjumpalitan sambil membuat satu putaran di udara dengan jurus Hi-yaliong-bun (ikan meletik ke pintu naga).

Setelah berjumpalitan beberapa kali, dengan jurus Hui-niotok-lim (burung terbang menembus hutan) dia langsung menyerang ke arah tandu kayu itu.

Sepintas orang melihat dia hanya berjumpalitan beberapa kali di udara secara gampang dan sederhana, padahal untuk melakukan tiga perubahan dalam waktu singkat diperlukan ilmu gerak tubuh yang sangat hebat.

Begitu merangsek ke depan sambil menempel lekat di seputar tandu, maka mustahil bagi orang yang berada di balik tandu melancarkan sergapan dengan senjata rahasianya meski kungfu orang itu selihai apapun.

Padahal dia sendiri bersenjata tombak panjang yang dapat menembus papan setebal apapun, asal tusukan maut itu dilancarkan, maka orang dalam tandu akan tewas seketika, sekalipun tidak mengalami celaka pun paling tidak musuh akan dibikin kelabakan, apalagi dia masih mempersiapkan tiga buah perubahan gerak tubuh yang lain.

Begitu melihat jelas posisi orang di balik tandu, tombaknya langsung ditusukkan ke depan.

Orang di balik tandu sama sekali tak bergerak.

Tapi tiba-tiba bocah berbaju ungu itu merasakan dadanya kaku, sekujur badannya bergetar keras kemudian terjatuh ke bawah jurang. Hingga detik terakhir menjelang ajalnya, dia masih belum tahu apa gerangan yang terjadi hingga menyebabkan kematiannya.

Tapi dua orang bocah berbaju ungu lainnya yang bersiaga di sisi arena dapat melihat semua kejadian dengan jelas, dari sudut tandu dekat bocah berbaju ungu itu berdiri, tiba-tiba terbuka sebuah celah kecil, tiga batang anak panah berwarna biru secepat kilat melesat keluar dan menghajar dada rekan mereka.

Seketika itu juga bocah berbaju ungu itu roboh.

Sisa dua orang bocah berbaju ungu terkesima bercampur ngeri, untuk sesaat mereka hanya bisa termangu tanpa mampu berbuat sesuatu. Semenjak terjun ke dalam dunia persilatan, belum pernah mereka mengalami kejadian seperti ini, bahkan mimpi pun mereka tak pernah mengira kalau dalam sekali gebrakan saja kedua orang rekannya sudah tewas secara mengenaskan.

Dalam keadaan begitu, biarpun mereka berani turun tangan juga untuk sesaat tidak tahu bagaimana cara turun tangan

Saat itulah suara teriakan Lui Siau-jut berkumandang, datang dari punggung bukit, sejak tadi mereka berdua memang berharap datangnya perintah itu, tanpa banyak bicara lagi mereka kabur secepatnya meninggalkan tempat itu.

Dengan menderita kekalahan, dua orang bocah berbaju ungu itu berlarian turun ke bawah tebing, kemudian mendekati Lui Siau-jut dan membisikkan sesuatu.

Paras muka Lui Siau-jut seketika berubah hebat, mendadak dia melejit ke udara dan mendaki ke atas puncak tebing.

Melancarkan serangan dari puncak bukit merupakan posisi yang paling bagus.

Ui Thian-seng segera memahami maksud dan niat Lui Siaujut, lekas ia ikut berlari menaiki tebing curam itu.

Tampak Lui Siau-jut meluncur naik ke atas tebing dengan kecepatan luar biasa, tampaknya dia segera akan menghadang di depan tandu itu, mendadak seutas kain selendang sutera meluncur ke depan dan membelenggu kaki si Dewa iblis.

Begitu selendangnya berhasil melilit kaki lawan, Ci Yau-hoa membetotnya sekuat tenaga.

Lui Siau-jut segera merendahkan tubuh sambil memperkokoh posisi kuda-kudanya, walaupun pasir dan debu beterbangan, namun tubuhnya sama sekali tidak bergerak.

Karena hadangan ini, Ui Thian-seng segera menyusul tiba, golok emasnya dengan jurus Pa-ong-ko-kang (raja bengis menyeberangi sungai) membabat pinggang lawan.

Rasa benci dan dendam Ui Thian-seng terhadap Dewa iblis Lui Siau-jut boleh dibilang sudah merasuk hingga tulang sumsum, bukan saja hal ini disebabkan dia telah menderita kerugian besar di tangan orang hingga nyaris kehilangan nyawa, anak buahnya Lu Ban-seng, Yu Keng-tong, Be Lak-ka, lelaki kekar pembawa panji maupun si kacung pembawa golok sudah tewas di tangan orang ini, tak heran kalau rasa benci dan gusarnya mendekati kalap.

Dia sudah memperhitungkan dengan matang, dalam keadaan kaki terbelit kain selendang sutera, Lui Siau-jut pasti tak mampu menghindari babatan goloknya, dia harus menerima serangan itu dengan keras lawan keras.

Dia memang berharap Lui Siau-jut beradu keras lawan keras dengan dirinya.

Sebetulnya ilmu silat yang dimiliki Ui Thian-seng masih berimbang dengan kemampuan si Dewa iblis, namun bila ilmu silat Lui Siau-jut dibandingkan dengan Cun Yu-siang, tentu saja kemampuan si Dewa iblis jauh lebih hebat.

Kendatipun demikian, sehebat-hebatnya kepandaian silat yang dimiliki Lui Siau-jut, dia masih belum berani mengadu kekerasan melawan golok emas si harimau ganas Ui Thianseng.

Karena tak bisa menerobos ke atas, tak berani pula beradu kekerasan, terpaksa dia meluncur turun ke bawah.

Begitu dia meluncur ke bawah, bacokan golok menyambar lewat di atas kepalanya, Lui Siau-jut segera mementang kesepuluh jari tangannya, bagaikan kaitan tajam dia mencengkeram ke arah Ci Yau-hoa.

Dengan sigap Ci Yau-hoa mengegos ke samping, dari pinggangnya dia lolos sebilah pedang pendek yang memancarkan sinar keemasan, lalu balas menusuk ke tubuh lawan.

Baru saja pedangnya menyambar ke depan, mendadak Lui Siau-jut melejit ke udara, akibatnya serangan itu bukan saja gagal mengenai tubuh si Dewa iblis, sebaliknya malah membabat kutung selendang sutera yang melilit kakinya.

Lolos dari belitan selendang sutera, kembali Lui Siau-jut melejit ke udara, mendadak bayangan merah berkelebat, Chin Ang-kiok sudah merangsek maju sambil melepaskan sebuah tusukan.

Lui Siau-jut berkelit ke samping dengan sigap, dalam waktu singkat kembali ia melancarkan cengkeraman maut.

Pertarungan jarak dekat pun segera berkobar, tak lama kemudian baju bagian dada Lui Siau-jut telah bertambah dengan satu sobekan memanjang karena babatan pedang, sementara rambut Chin Ang-kiok awut-awutan tak keruan, coba serangan Lui Siau-jut lebih rendah sedikit, niscaya batok kepalanya akan terluka parah dan bermandikan darah.

Begitu bayangan tubuh kedua orang itu saling berpisah, dua batang Hui-yan-piau yang dilepas Chin Ang-kiok sudah meluncur ke muka bagaikan setan pencabut nyawa.

Dayang kesayangan Chin Ang-kiok, si Pedang seruni telah tewas secara mengenaskan di tangan Dewa iblis, serangan yang dilakukan perempuan itu sekarang tak lain adalah untuk membalaskan dendam kematian anak buahnya.

Lui Siau-jut mendengus dingin, tubuhnya berjumpalitan di udara dan menangkap kedua batang Am-gi itu dengan cekatan.

Mendadak deru angin tajam menyambar tiba dari belakang punggungnya, padahal waktu itu Lui Siau-jut sedang menyurut mundur, menghadapi ancaman yang datang, tibatiba ia melakukan perubahan mendadak, dari mundur tubuhnya malah menerjang maju dengan kecepatan tinggi.

Deru angin tajam yang muncul di belakang tubuhnya berasal dari bacokan golok yang dilancarkan Ui Thian-seng, bacokan itu sangat dahsyat dan mengerikan, golok tampak berlapis-lapis, secara beruntun bacokan berantai telah dilontarkan.

Dalam waktu singkat Ui Thian-seng telah melepaskan delapan belas bacokan, baru saja ia berhenti sejenak, Lui

Siau-jut telah membalikkan badan sambil mencengkeram bahu kanan Ui Thian-seng dengan tangan kirinya.

Karena bahu kanannya dicengkeram lawan, golok di tangan Ui Thian-seng tak sanggup melakukan bacokan lagi, namun dia tak mau menyerah, tangan kirinya segera mencengkeram pula bahu kanan Lui Siau-jut.

Kelima jari tangan Lui Siau-jut menancap dalam bahu Ui Thian-seng, sebaliknya tangan Ui Thian-seng yang mencengkeram bahu kanan lawan justru menimbulkan suara gemerutuk tulang yang keras, tubuh si Dewa iblis tiba-tiba merangsek ke tanah sedalam setengah depa lebih.

Kini paras muka Ui Thian-seng telah berubah menjadi merah padam, sementara paras muka Lui Siau-jut justru berubah menjadi pucat-pasi bagai mayat.

Melihat keadaan itu, Ci Yau-hoa dan Chin Ang-kiok segera menyerbu ke depan, mereka tak ingin kehilangan peluang untuk menghabisi musuhnya.

Meski menghadapi mara bahaya, Lui Siau-jut sama sekali tak panik atau kalut pikirannya, dia kebaskan ujung bajunya, dua batang Hui-yan-piau berbalik meluncur ke muka memapaki datangnya kedua jago wanita itu.

Chin Ang-kiok segera mengayun tangannya ke kiri kanan untuk mementahkan datangnya serangan Am-gi, tiba-tiba Lui Siau-jut melepas tangan kirinya kemudian berbalik mencengkeram leher Ui Thian-seng.

Bila cengkeraman itu sampai mengenai sasaran, niscaya Ui Thian-seng akan tewas seketika, biar dia pemberani dan tak takut bumi, dalam keadaan begini dia pun tak berani mempertaruhkan nyawanya, lekas dia ikut mengendorkan cengkeramannya dan melompat mundur.

Begitu Ui Thian-seng mengundurkan diri, Lui Siau-jut segera berjumpalitan di udara bagai burung belibis membalik badan, teriaknya sambil mundur dari arena, "Bubar!"

Maksud "bubar" jelas berarti "kabur dari situ", biarpun seorang diri Lui Siau-jut masih sanggup bertarung imbang melawan Ui Thian-seng, Ci Yau-hoa dan Chin Ang-kiok tiga orang jago tangguh, namun dia masih belum lupa diri, dia tahu di situ masih ada jagoan lain yang lebih tangguh, seperti Hong-ta-pit-pay Khong Bu-ki, empat orang bocah baju hijau pengusung tandu serta manusia misterius di balik tandu.

Baru saja Lui Siau-jut melambung ke udara, Am-gi-boanthian (senjata rahasia memenuhi angkasa) Yau It-kang segera mengayun tangan berulang kali, paling tidak ada tujuhdelapan belas macam senjata rahasia berhamburan di angkasa.

Berada di udara, Lui Siau-jut mengebas ujung bajunya ulang kali, seluruh senjata rahasia yang berhamburan ke lubuli nya hampir semuanya dapat ia terima secara gampang kemudian setelah berjumpalitan lagi beberapa kali, tampaknya dia segera akan melewati mulut selat Kiam-bun-kwan dan meloloskan diri.

Mendadak ia saksikan ada sebuah tandu sedang menunggunya persis di mulut masuk selat Kiam-bun-kiam.

Tampaknya tandu itu memang khusus menunggu kedatangannya.

Lui Siau-jut segera menerobos turun ke bawah, hatinya ikut tenggelam, dia tak ingin apa yang telah dia lakukan terhadap rombongan Ui Thian-seng, kini terwujud pada dirinya.

Ketika badannya menerobos turun, tangannya tidak tinggal diam, sekali ayun dia telah menyambitkan semua senjata rahasia yang barusan ditangkapnya dari serangan Yau It-kang itu ke arah tandu. Dalam anggapannya, dengan bertindak demikian, paling tidak ia bisa memaksa penghuni tandu itu untuk menampakkan diri.

Senjata rahasia yang dilancarkan Lui Siau-jut seolah dilancarkan bersamaan waktunya, padahal ada yang duluan dan ada pula yang belakangan, mungkin musuh bisa menghindari serangan pertama namun belum tentu bisa menghindari serangan kedua, dia memang bertindak demikian untuk berjaga-jaga segala kemungkinan.

Senjata rahasia yang mula-mula dilancarkan adalah sebiji teratai hijau Cing-lian-cu, menyusul dua batang gurdi segitiga, disusul lagi empat batang kaitan gigi serigala dan ditutup dengan delapan batang-jarum penembus tulang.

Ketika semua senjata rahasia itu tampaknya segera menghajar tandu itu, mendadak terlihat penghuni tandu menggerakkan badannya, sebutir peluru besi dilontarkan ke depan dengan kecepatan luar biasa.

Peluru besi itu tidak menyerang tempat lain tapi persis menumbuk senjata rahasia Cing-lian-cu, "Bluk!", karena daya luncur peluru besi yang kuat, senjata rahasia Cing-lian-cu terpental balik persis menumbuk dua batang gurdi segitiga.

Ternyata kekuatan peluru besi dan Cing-lian-cu belum habis, setelah menerjang tiga batang gurdi segitiga, keempat macam Am-gi itu menumbuk pula kaitan gigi serigala di belakangnya kemudian menumbuk pula kedelapan batang jarum penembus tulang.

Dalam sekejap keenam belas macam senjata rahasia itu satu per satu rontok ke tanah, menimbulkan suara dentingan nyaring.

Am-gi-boan-thian Yau It-kang yang termashur dalam dunia persilatan karena kemampuannya melepaskan senjata rahasia, sebenarnya sudah dibuat terkesima oleh cara Lui Siau-jut melepas senjata rahasia, namun sekarang dia semakin terkesima hingga terbelalak matanya menyaksikan kemampuan jago dalam tandu itu merontokkan lima belas macam senjata rahasia hanya dengan mengandalkan sebiji peluru besi.

Dalam pada itu Lui Siau-jut juga terbungkam, ketika angin gunung berhembus menggoyang ujung bajunya, terlihat paras mukanya telah berubah hijau membesi, sinar matanya tertuju ke arah tandu itu tanpa berkedip.

Orang di dalam tandu masih tidak bicara maupun melakukan sesuatu tindakan, seakan tandu itu tanpa penghuni.

Sampai lama sekali Lui Siau-jut termangu, akhirnya dia menegur dengan suara berat, "Tanpa Perasaan?"

Tirai penutup tandu pelan-pelan dibuka orang.

Di kolong langit, orang yang sanggup merontokkan lima belas macam senjata rahasia dengan menggunakan semacam senjata rahasia tak akan lebih dari sepuluh orang.

Dan orang yang sanggup merontokkan lima belas macam senjata rahasia yang dilancarkan Lui Siau-jut hanya dengan menggunakan semacam senjata rahasia, tak akan lebih dari lima orang.

Kebetulan si Tanpa Perasaan adalah satu di antaranya. Tirai di depan tandu pelan-pelan disingkap, tapi tidak menunggu tirai itu tersingkap, Lui Siau-jut dengan menggunakan sepasang tangannya yang kuat bagai baja dan tajam bagai anak panah telah melancarkan serangan, dalam serangannya kali ini dia menggunakan seluruh kekuatan yang dimilikinya.

Orang itu pasti menyingkap tirai tandu dengan menggunakan tangannya, ketika ia tampil di depan orang banyak untuk pertama kalinya, ketika ia memandang semua orang untuk pertama kalinya, seluruh pikiran dan perhatian orang itu pasti tertuju ke tengah arena, dalam keadaan seperti ini siapa pun tentu tak akan waspada.

Menyingkap tirai dengan menggunakan tangan jelas tak mungkin melancarkan serangan menggunakan senjata rahasia, apalagi Lui Siau-jut tahu si Tanpa Perasaan tak punya kaki. Secepat sambaran petir Lui Siau-jut menerjang maju, sebab inilah kesempatan terbaik baginya untuk bertindak.

Baru saja tirai tandu digulung ke atas, cakar maut Lui Siaujut sudah muncul di hadapannya.

"Wes!", bayangan putih tampak berkelebat lewat dari balik tandu, di saat yang paling kritis orang itu sudah melayang keluar melalui atas kepala Lui Siau-jut.

Aneh, orang tanpa kaki mengapa bisa memiliki ilmu meringankan tubuh secanggih itu?

Lui Siau-jut tidak sempat berpikir lebih jauh, "Brak!", tirai tandu meluncur jatuh kembali ke bawah, sementara musuh sudah berada di belakang tubuhnya.

Dalam posisi seperti ini, Lui Siau-jut tahu, dia harus melancarkan serangan sebelum musuh sempat berdiri tegak.

Tiba-tiba ia membalikkan badan, sekali lagi sepasang cakar mautnya menyambar ke muka dengan jurus perubahan yang lebih dahsyat.

Orang itu melayang turun satu kaki di belakangnya, waktu itu sedang mengawasi gerak-geriknya dengan pandangan dingin.

Lui Siau-jut merasa tercekat, belum habis ingatan kedua melintas, tiba-tiba ia merasakan datangnya dua desingan tajam dari belakang tubuhnya.

Lui Siau-jut sadar keadaan tak menguntungkan, tergopohgopoh dia membalikkan badan sambil bersiaga, sayang keadaan terlambat, tahu-tahu kakinya terasa kaku, tujuh batang jarum pencabut nyawa telah berjajar menancap di pahanya.

Sekuat tenaga si Dewa iblis melambung ke udara untuk melarikan diri, namun pada saat yang bersamaan orang berbaju putih itu kembali menggetarkan tangannya, tiga titik cahaya putih secepat petir meluncur tiba.

Buru-buru Lui Siau-jut menarik napas dalam-dalam sambil melambung lebih tinggi, dua titik cahaya putih itu segera menyambar lewat melalui kiri kanan ketiaknya, sementara titik cahaya ketiga langsung menghujam di perutnya. Lui Siau-jut tidak menjerit kesakitan, dia melayang turun dengan tenang lalu mengawasi pemuda berbaju putih yang sedang duduk bersila di atas tanah itu dengan pandangan putus asa.

Kini Ui Thian-seng dan kawan-kawan baru dapat melihat secara jelas, paras muka Lui Siau-jut telah berubah pucat bagai mayat, sepasang matanya merah membara, sebatang pisau terbang Liu-yap-to telah menancap di perutnya, begitu dalam pisau itu menghujam dalam perut hingga tinggal gagangnya saja yang tersisa, sementara dua batang Hui-to yang lain menancap dalam-dalam di tebing batu cadas yang keras.

Pedang anggrek yang bernyali kecil tak tahan menyaksikan adegan itu, dia menjerit keras karena kaget.

Tampak pemuda berbaju putih yang duduk bersila di atas tanah itu tidak memiliki kaki, sepasang kakinya sebatas lutut lenyap entah kemana, dia mempunyai alis yang runcing dengan sorot mata tajam.

Terdengar ia berkata dengan suara hambar, "Aku tahu, kau pasti sedang heran bukan, apakah di dalam tandu masih ada orang lain."

Lui Siau-jut melirik sekejap ke arah tandu kayu dengan tirai yang tertutup rapat itu, kemudian sambil menahan penderitaan yang luar biasa dia mengangguk.

Seandainya di saat membalikkan badan untuk menghadapi si Tanpa Perasaan tadi dia tidak melepaskan senjata rahasia hingga memecahkan perhatiannya dan terluka kakinya, ketiga batang pisau terbang yang dilepas si Tanpa Perasaan belum tentu bisa melukainya.

Terdengar si Tanpa Perasaan berkata lebih jauh, suaranya tetap tenang, dingin dan hambar, "Dalam tandu itu tak ada orang lain, hanya saja sudah kuduga sejak awal, kau pasti akan melancarkan serangan mematikan, maka di saat bersamaan ketika aku sedang menggulung tirai tadi, aku juga memencet tombol rahasia penyebar paku pencabut nyawa, ketika seranganmu gagal dan aku melayang keluar dari dalam tandu, kau malah membalikkan badan melakukan pengejaran, itulah sebabnya senjata rahasia yang telah kusiapkan dalam tandu segera menyergap punggungmu. Seandainya kau tidak duluan membokongku, aku pun tak akan menggunakan cara yang sama untuk membokongmu. Ketika seluruh perhatianmu sedang tertuju kepada diriku pun kau masih mampu menghindari dua baris paku pencabut nyawa yang menyerang, kemampuan semacam ini terhitung luar biasa dan patut dibanggakan”

Dengan penuh penderitaan Lui Siau-jut menggeleng kepalanya berulang kali, pakaian berwarna putih yang dia kenakan sudah basah oleh cucuran darah, tiba-tiba ia jatuh berlutut, sepasang tangannya direntangkan dengan telapak tangan menghadap ke atas, setelah mendongakkan kepalanya memandang angkasa dan menghela napas panjang, akhirnya pelan-pelan ia roboh terjengkang ke belakang, menghembuskan napasnya yang terakhir.

Sementara Lui Siau-jut menerjang naik ke atas puncak tebing kemudian bertarung melawan Ui Thian-seng dan terakhir bertarung melawan orang dalam tandu, Hong-ta-pitpay Khong Bu-ki dengan mengandalkan tombak panjangnya juga terlibat dalam pertarungan yang seru melawan seorang bocah berbaju ungu, sedangkan Pedang bambu, pedang anggrek serta pedang bunga bwe bersatu padu mengurung seorang bocah berbaju ungu yang lain.

Kedua orang bocah berbaju ungu itu menggunakan tombak panjang sebagai senjata andalannya, ilmu silat mereka jauh di atas kehebatan empat manusia bengis, Su-toa-ok-sin.

Yang berbeda adalah waktu itu Su-toa-ok-sin berempat melawan empat pedang, sedang sekarang tiga jago pedang melawan sebatang tombak, tak heran sepanjang pertarungan berlangsung, bocah berbaju ungu itu lebih banyak bertahan ketimbang melancarkan serangan.

Setelah melancarkan beberapa jurus serangan dengan gencar, bocah berbaju ungu itu bersiap menerjang keluar dari selat Kiam-bun-kwan untuk melarikan diri, tiba-tiba terlihat bayangan hijau berkelebat, seorang bocah cilik telah menerjang tiba dan menghadang jalan perginya.

"Hmm, lengan seekor belalang juga berani menahan terjangan sebuah gerobak!" umpat bocah berbaju ungu itu sambil tertawa seram.

Begitu selesai bicara, bocah berbaju hijau itu telah melolos pedangnya yang berwarna keperak-perakan, kemudian dengan jurus Cing-hong-cap-sah-si (tiga belas jurus angin puyuh) dia melancarkan serangan berulang kali, arah serangannya tidak menentu, persis seperti arah hembusan angin puyuh.

Bocah berbaju ungu itu terkesiap, tombaknya ditarik ke belakang melakukan pertahanan, ketika tiga belas jurus serangan berlalu, dia sudah terdesak mundur sejauh tujuh langkah.

Bocah berbaju hijau menarik kembali pedangnya, teriaknya sambil mundur, "Siau-ji, sekarang giliranmu!"

"Wes!", kembali seorang bocah berbaju hijau melompat maju ke depan, dia menggenggam sebilah pedang kecil berwarna keemasan, sebuah serangan dilancarkan, ternyata jurus serangan yang digunakan adalah Toan-cong-kiam-hoat (ilmu pedang pemutus usus) dari aliran Cing-sia-pay.

Bocah berbaju ungu tahu akan kelihaian musuh, sambil memusatkan seluruh perhatian dia membendung seluruh serangan, tak selang lama sekujur tubuhnya sudah basah kuyup oleh keringat.

Baru saja dia bersiap melancarkan serangan balasan, tibatiba bocah berbaju hijau mundur dari arena pertarungan sambil berseru, "Siau-sam-ji, sekarang giliranmu!"

Kembali seorang bocah berbaju hijau melompat ke tengah arena, "sret, sret, sret, sret", dalam waktu singkat dia sudah melepaskan empat buah serangan berantai, selain cepat, jurus serangannya juga ganas dan mengerikan, kali ini yang digunakan adalah Lok-eng-kiam-hoat (ilmu pedang elang sakti) dari Thian-san-pay. Sambil bertarung, bocah berbaju ungu mundur terus ke belakang, beberapa kali nyaris jiwanya melayang tersambar pedang musuh, malah jidatnya sudah bertambah dengan sebuah luka memanjang yang mengucurkan darah.

Sepanjang hidupnya sudah kelewat banyak bocah tak berdosa yang tewas secara mengenaskan di tangannya, baru kali ini dia terdesak hebat di tangan seorang bocah yang usianya jauh di bawah umurnya, bukan hanya terdesak, bahkan keadaannya benar-benar mengenaskan.

Ketika bocah berbaju hijau berhasil mendesaknya mundur ke tepi tebing cadas, tiba-tiba dia menarik kembali serangannya seraya berseru, "Siau-su-ji, sekarang tinggal giliranmu untuk memberi pelajaran kepadanya!"

Kembali muncul seorang bocah berbaju hijau maju menyerang dengan pedangnya, ilmu pedang yang ia gunakan hampir semuanya terbuka lebar, rupanya dia menggunakan Kay-pit-hui-thian-kiam (ilmu pedang pembelah batu pembuka langit) dari Thay-san-pay.

Waktu itu posisi bocah berbaju ungu sudah mepet dinding tebing, mustahil baginya untuk berkelit dari ancaman, maka dia lontarkan tombaknya ke depan.

Ketika bocah berbaju hijau menangkis datangnya lemparan tombak, bocah berbaju ungu segera memanfaatkan peluang itu untuk melarikan diri.

Sebenarnya perhitungan orang ini sangat tepat, dia punya peluang cukup besar untuk kabur dari kepungan musuh, sayang dia melupakan sesuatu, dia lupa kalau di situ masih ada Pedang bunga bwe, Pedang anggrek dan Pedang bambu yang menanti kedatangannya.

Satu babatan pedang dari Pedang bunga bwe segera memotong jalan pergi bocah berbaju ungu, belum sempat ia berbuat sesuatu, pedang dari Pedang bambu sudah menusuk kakinya.

"Blam!", tak ampun tubuhnya roboh terjerembab ke atas tanah, sebuah tusukan kilat dari Pedang anggrek segera menyudahi nyawanya yang penuh dosa. Di saat bocah berbaju ungu itu menemui ajalnya, bocah berbaju ungu yang lain juga telah terjerumus dalam posisi yang sangat berbahaya.

Hong-ta-pit-pay Khong Bu-ki sudah bertekad akan menangkan pertarungan ini, tombak panjangnya diputar sedemikian rupa hingga menimbulkan deru angin tajam yang sangat memekakkan telinga, makin bertarung dia makin perkasa, sebaliknya bocah berbaju ungu itu makin bertahan makin terdesak, sampai akhirnya kekuatan untuk melawan pun tak punya.

Bicara sesungguhnya, kepandaian silat yang dimiliki bocah berbaju ungu itu sebenarnya berimbang dengan kepandaian Khong Bu-ki. Namun lantaran Lui Siau-jut telah meneriakkan kata "cabut!", sementara ketiga orang rekannya juga telah tewas, hal ini membuat kepandaian silat yang dimiliki bocah berbaju ungu ini mengalami pukulan amat telak.

Barang siapa ketakutan, dia pasti tak akan mampu mengerahkan segenap tenaga dalam yang dimilikinya.

Berbeda dengan Khong Bu-ki, dia tidak menguatirkan apapun, juga tidak takut terhadap siapa pun, tak heran makin bertarung dia makin perkasa, tampaknya dua puluh gebrakan kemudian dia akan mencabut nyawa bocah berbaju ungu itu.

Pada saat itulah mendadak muncul suatu perasaan aneh dalam hati kecilnya, walaupun dia sangat membenci perbuatan kawanan manusia yang senang membokong lawan, namun dia pun merasa tak tega setelah melihat sorot mata si bocah berbaju ungu yang penuh minta ampun, dia merasa tak tega untuk menghabisi nyawa si bocah kerdil, lembut seperti anak-anak itu.

Mendadak Khong Bu-ki menarik kembali tombaknya dan "Krak!", ditancapkan ke atas tanah, kemudian sambil menuding bocah berbaju ungu itu dia menghardik, "Enyah kau dari sini!"

Bocah berbaju ungu itu tidak menyangka Khong Bu-ki akan melepaskan dirinya begitu saja, mula-mula ia sangsi, kemudian dengan penuh rasa terima kasih ia menjatuhkan diri berlutut sambil berseru, "Terima kasih Toaya karena tidak membunuhku."

Khong Bu-ki merasa sangat gembira, akhirnya ia berhasil menangkan pertarungan ini tanpa harus membunuh lawan, baru saja dia akan maju untuk membangunkan bocah itu, mendadak terlihat bayangan tombak menyambar lewat, tahutahu senjata itu sudah ditusukkan ke arah hulu hatinya.

Padahal posisi Khong Bu-ki waktu itu dalam keadaan terbuka, ia tak sempat menarik kembali tombaknya, juga tak sempat menangkis, terpaksa dia harus berkelit ke samping.

Siapa tahu, begitu dia berkelit, tubuhnya sudah tiba di sisi tebing yang curam, cepat Khong Bu-ki menghentikan langkah.

Bocah berbaju ungu itu memang berhati keji dan telengas, sekali lagi dia melepaskan sebuah tusukan ke depan.

Terpaksa Khong Bu-ki berkelit lagi ke samping, kali ini tubuhnya segera tercebur ke dalam jurang yang dalam.

Tampaknya Khong Bu-ki segera akan tewas dengan badan hancur, di saat kritis, satu ingatan melintas dalam benaknya, tombak yang masih ada dalam genggamannya segera ditusukkan ke atas dinding tebing, lalu badannya pun bergelantungan di atas tombak itu.

Sungguh jahat dan keji bocah berbaju ungu itu, dia enggan melepaskan musuhnya begitu saja, sambil melompat mendekati tebing, sekali lagi tombaknya ditusukkan ke bawah.

Saat itu tubuh Khong Bu-ki masih bergelantungan pada tombaknya, jelas sulit baginya untuk menghindarkan diri, dalam gelisahnya, dia segera menangkap tombak lawan dan dicekalnya kuat-kuat.

Khong Bu-ki gusar bercampur jengkel, dia jengkel pada diri sendiri, kenapa gara-gara tak tega akhirnya harus menelan lagi kekalahan yang kesekian ratus kali ... bahkan kekalahannya kali ini mungkin akan menjadi kekalahannya yang terakhir.

Pada saat itulah tampak empat titik bayangan hijau berkelebat lewat. Tak sempat menarik kembali tombaknya, sedang di hadapannya terbentang tebing yang curam hingga mustahil maju ke muka, terpaksa bocah berbaju ungu itu membalik ke belakang.

Tampak empat macam jurus serangan pedang yang berbeda datang menyergapnya, untuk sesaat dia bingung dan tak tahu harus menangkis serangan mana terlebih dulu.

Empat bilah pedang pada saat bersamaan menusuk bahu kiri, bahu kanan, kaki kiri dan kaki kanannya, bocah berbaju ungu menjerit kesakitan, tenaganya seketika hilang.

Menggunakan peluang itu, buru-buru Khong Bu-ki mengerahkan tenaganya sambil melompat naik ke bibir tebing.

Ketika keempat bocah berbaju hijau itu mencabut kembali pedangnya secara bersama-sama, semburan darah segar memancar, menyusul kemudian terlihat tubuh bocah berbaju ungu itu melompat melewati atas kepala Khong Bu-ki dan langsung menceburkan diri ke dasar jurang.

Dengan perasaan hati kebat-kebit lantaran ngeri bercampur seram, Khong Bu-ki merangkak ke tepi jalan setapak ... bagaimanapun akhirnya dia berhasil lolos dari kematian, masih punya kesempatan baginya untuk menderita kekalahan yang keseratus dua puluh delapan.

Pada saat bersamaan, Lui Siau-jut ikut terbabat golok hingga menemui ajalnya.

Setelah melalui selat Kiam-bun-kwan, dengan mengikuti jalan raya berbelok ke kanan, rombongan mulai meninggalkan daerah perbukitan terjal dan menuju ke gunung Ci-pak-san.

Asal mereka bertiga belas sudah melalui puncak Ci-kwanleng, maka Pak-shia, Benteng utara pun akan muncul di depan mata.

Selama dua hari perjalanan, si Tanpa Perasaan hanya duduk dalam tandu yang digotong keempat bocah pedang emas dan perak, meski begitu pergaulannya dengan Ui Thianseng, Khong Bu-ki, Ci Yau-hoa maupun Chin Ang-kiok berlangsung sangat akrab. Ui Thian-seng dan kawan-kawan menaruh sikap hormat bercampur kagum terhadap si Tanpa Perasaan, selain mengagumi kehebatan ilmu silat serta kecerdasannya dalam mengatur siasat pertarungan, mereka pun menaruh simpati atas lumpuhnya sepasang kaki pemuda itu serta wajah murung yang selalu mencekam hatinya.

Di antara sekian banyak orang, yang menaruh perhatian khusus terhadap si Tanpa Perasaan serta keempat bocah berbaju hijau itu adalah si Dewi terbang Ci Yau-hoa, menyusul kemudian Chin Ang-kiok serta ketiga orang dayangnya.

Tentu saja sikap Ui Thian-seng, Khong Bu-ki maupun Yau It-kang terhadap si Tanpa Perasaan juga sangat baik, namun bagaimanapun juga sikap seorang lelaki terhadap lelaki lain memang selalu ada batasnya, apalagi mereka bukan sahabat lama, bagaimana pun tetap ada jurang pemisah di antara mereka.

Ci Yau-hoa sendiri sebenarnya terhitung seorang wanita yang ramah, lembut dan sangat menawan hati, terhadap si Tanpa Perasaan dia menaruh perhatian serta simpati yang luar biasa, sementara Chin Ang-kiok termasuk wanita yang tinggi hati, tapi dia sangat terharu melihat si Tanpa Perasaan yang lumpuh kakinya, dia berpendapat seandainya si Tanpa Perasaan tidak lumpuh, kehebatannya tentu jauh lebih mengerikan.

Padahal seandainya Tanpa Perasaan tidak lumpuh kakinya, belum tentu dia akan melatih ilmu meringankan tubuhnya secara tekun, ilmu melepaskan senjata rahasianya juga belum tentu mencapai tingkatan sehebat itu, mungkin ini yang disebut 'Orang yang kehilangan kuda, belum tentu merupakan musibah'.

Chin Ang-kiok lebih suka keempat bocah berbaju hijau itu, terutama ketiga orang dayangnya yang menanjak usia remaja, si Pedang bunga bwe, si Pedang anggrek dan si Pedang bambu, seringkali mereka bermain, bergurau dan bercanda bersama. Sekalipun canda ria berlangsung terus, namun ada satu hal yang mereka ketahui dengan jelas, semakin mendekati benteng utara berarti mara bahaya semakin menghampiri mereka, setiap saat nyawa mereka bisa hilang begitu saja.

Malaikat iblis Cun Yu-siang memiliki kekuatan luar biasa hingga menggetarkan empat penjuru, namun kalah jauh bila dibandingkan kecerdikan serta kelicikan yang dimiliki Dewa iblis Lui Siau-jut, padahal menurut berita yang tersiar dalam dunia persilatan, kemampuan Mo-tauw (pentolan iblis) Si Kupei jauh lebih menakutkan ketimbang si Dewa iblis, apalagi di atas si Pentolan iblis masih ada iblis lain yang lebih mengerikan, Mo-kouw si Bibi iblis?

Hingga kini tak seorang jago persilatan pun yang mengetahui siapa nama si Bibi iblis, apa yang diketahui hingga sekarang hanyalah keempat utusan peronda yang salah satu anggotanya berhasil dibantai si Tanpa Perasaan.

Padahal kalau bicara soal kehebatan ilmu silatnya, kepandaian yang dimiliki utusan peronda ini masih jauh di atas kemampuan Cun Yu-siang.

Selain itu semua orang juga tahu bahwa si Pentolan iblis Si Ku-pei dengan ilmu toya iblis gilanya sudah merajai sungai telaga, belum lagi keempat anak buahnya yang dijuluki orang sebagai Siu-lo-su-yau (empat siluman sakti), konon selain mahir dalam menggunakan ilmu senjata rahasia, mereka pun pandai ilmu berganti rupa, ilmu racun maupun ilmu silat, nama dan kehebatannya jauh di atas kehebatan keempat bocah berbaju ungu anak buah si Dewa iblis.

Itulah sebabnya, sepanjang perjalanan, rombongan si Tanpa Perasaan harus selalu berhati-hati dan waspada terhadap segala kemungkinan.

ooOOOoo
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar